PERSPEKTIF ALUMNI TERHADAP METODE PEMBELAJARAN
TRADISIONAL DI PONDOK PESANTREN AL-
QUR’AN ASSANUSIAH
Studi kasus Pondok Pesantren Al-
Qur’an As
-Sanusiyah
( Pandeglang
–
Banten)
Di Susun Oleh :
Salimah Firdaus
109011000007
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta
i
ABSTRAK
Judul : Perspektif Alumni Terhadap Metode Pembelajaran Tradisional
Di Pondok Pesantren Al-Qur’an Assanusiah Penulis : Salimah Firdaus
NIM : 109011000007
Pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan tertua yang melekat dalam perjalanan kehidupan Indonesia sejak ratusan tahun yang silam dan telah banyak memberikan kontribusi signifikan dalam pembangunan bangsa ini, karena itu tak heran bila pakar pendidikan Ki Hajar Dewantoro dan Dr. Soetomo pernah mencita-citakan model system pendidikan pesantren sebagai model pendidikan Nasional. Bagi mereka model pendidikan pesantren merupakan kreasi cerdas budaya Indonesia yang berkarakter dan patut untuk terus dipertahan kembangkan. Karena banyak hal yang belum tereksplorasi dari pendidikan pondok pesantren tradisonal dalam perspektif pendidikan Islam Indonesia, maka penelitian ini dilakukan.
Secara spesifik penelitian ini bertujuan mengetahui Pandangan Alumni terhadap metode pembelajaran tradisional di pondok pesantren Al-Qur’an Assanusiah. Metode penelitian ini menggunakan metodologi penulisan kualitatif yaitu metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif, berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang diamati metode deskriptif analisis.
Hasil penelitian ini menunjukkan (1) bahwa dalam perspektif Alumni
terhadap metode pembelajaran tradisional, Menurut mereka metoe tradisional
ii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb.Kiranya tiada kata yang lebih pantas untuk diucapkan selain Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah, sebagai manifestasi rasa syukur kita keHadirat
Illahi Rabbi yang telah menghadiahkan anugerah yang begitu mahal harganya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga
senantiasa tercurah bagi baginda Nabi Muhammad saw, orang yang begitu
mencintai kita sehingga diakhir hayatnya yang beliau sebut dan kenang hanyalah
kita umatnya.
Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan (FITK), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis sangat berterima kasih dan memberikan penghargaan yang
setinggi-tingginya atas bantuan, dorongan dan bimbingan dari beberapa pihak. Ucapan
terima kasih dan penghargaan tersebut diajukan kepada:
1. Ibu Dra. Nurlena Rifa’i, Ph.D, MA Dekan FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Madjid Khon, M.Ag Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga kebijakan yang dibuat selalu mengarah
pada kontinuitas eksistensi mahasiswanya.
3. Ibu Marhamah Saleh, Lc. MA Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam
Jakarta. Terima kasih atas waktu luang yang telah diberikan untuk
memberikan pelayanan yang terbaik kepada kami selaku mahasiswa.
4. Ibu Dra. Hj. Ello Al-Bugis, M. Ag yang telah memberikan bimbingan dan
iii
5. Bapak dan Ibu Dosen Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmunya
kepada penulis selama perkuliahan.
6. Pimpinan dan staf Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah yang telah
memberikan pelayanan dan kesempatan yang seluas-luasnya kepada penulis
untuk menelaah dan meminjam buku-buku yang diperlukan dalam rangka
penyusunan skripsi ini.
7. Orang Tua penulis, Ayahanda Nur Soleh (Alm) dan Ibunda Hj.Syarifah
tercinta yang dengan tulus ikhlas merawat dan mendidik penuh rasa kasih
sayang, memberikan pengorbanan yang tidak terhitung nilainya dan
senantiasa mendoakan penulis dalam menempuh perjalanan hidup ini.
8. Ahmad Suheli pelipur lara dikala suka dan cinta, yang selalu setia
mendampingi perjuanganku sampai detik ini, yang tak pernah henti
memberikan dorongan dan motivasi kepada penulis untuk cepat
menyelesaikan skripsi ini, serta senantiasa memberikan pengajaran yang
berharga dalam kehidupan ini, hadirmu menjadi lebih indah dan bermakna
dalam kehidupanku.
9. Teman seperjuangan dalam menuntut ilmu Nuy, Putri, Wardah, Herni, Acha,
Rahma, dan semua teman kelas PAI A angkatan 2009 dan FIQIH A yang
sama-sama menempuh pendidikan program S1 di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Jakarta, 03 Juli 2014
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK...i
KATA PENGANTAR...ii
DAFTAR ISI...iv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1
B. Identifikasi Masalah...4
C. Pembatasan Masalah... 4
D. Perumusan Masalah ... 4
E. Tujuan Penelitian ... 4
F. Kegunaan Penelitian ... 5
BAB II KAJIAN TEORITIS A. Pesantren...6
1. Pengertian Pesantren...6
a. Sejarah Pesantren...7
b. Tujuan Pesantren...8
c. Kurikulum Pesantren ...10
d. Elemen-elemen Pesantren ...12
e. Bentuk-bentuk Pesantren ... 15
1) Salafiyah ...15
a) Pengertian tradisional...16
b) Pengertian pesantren tradisional...21
c) Karakteristik pesantren tradisional...21
v
2) Modern ...28
a) pengertian pesantren modern...28
b) karakteristik pesantren modern...28
c) metode pembelajaran modern...29
. B. Metode Pembelajaran ... 31
1. Pengertian Metode Pembelajaran ... 31
a. Pengertian Metode Menurut Para Ahli...33
b. Macam-Macam Metode...35
c. Metode pembelajaran pondok pesantren...39
C. Metode pembelajaran tradisional di pondok Pesantren Al-Qur’an Assanusiah .. 40
1. Metode Sorogan ... 40
2. Metode Bandongan...41
3. Metode Hafalan ...42
4. Metode Bahstsul Masail...42
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat Dan Waktu...45
B. Metode Penulisan ... 45
C. Fokus Penelitian ... 47
D. Teknik Pengumpulan ...47
vi
A. Gambaran Umum Pondok Pesantren Al-Qur’an Assanusiah ... ....49
1. Sejarah Singkat Berdirinya Pondok Pesantren Al-Qur’an Assanusiah...49
2. Tujuan berdiri Pondok Pesantren Al-Qur’an Assanusiah...50
3. Struktur Organisasi...53
4. Program kegiatan Pondok Pesantren Al-Qur’an Assanusiah...54
5. Kegiatan BelajarMengajar...56
B. Perspektif Alumni Terhadap Metode Tradisional Di Pondok Pesantren Al-Qur’an Assanusiah...56
1. Identitas Alumni...56
2. Pandangan alumni terhadap metode pembelajaran tradisional...60
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 65
B. Saran-saran ...66
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perspektif menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah cara
melukiskan benda pada permukaan yang mendatar sebagaimana yang terlihat oleh
mata, pengertian perspektif juga bisa berarti sudut pandang atau pandangan
seseorang yang terkait dengan suatu hal atau masalah tertentu.
Alumni menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
orang-orang yang telah mengikuti atau tamat dari suatu sekolah atau perguruan tinggi.
Sedangkan alumnus menurut kamus yang sama mempunyai pengertian orang
yang telah mengikuti atau tamat dari suatu sekolah atau perguruan tinggi.
Metodologi berarti ilmu tentang metode, sementara metode berarti cara kerja
yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai
tujuan yang ditentukan. Dalam ilmu tentang mengajar, metodologi disebut
didaktik yaitu ilmu yang membahas tentang kegiatan proses belajar mengajar
yang menimbulkan proses belajar. Didaktik dibedakan menjadi dua, yaitu
umum dalam mengajar dan belajar, sedangkan didaktik khusus yaitu membahas
cara-cara guru menyajikan bahan pelajaran kepada pelajar.1
Pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan Islam Indonesia yang
bersifat tradisional untuk mendalami ilmu agama Islam dan mengamalkan sebagai
pedoman hidup keseharian. Pesantren telah hidup sejak ratusan tahun yang lalu,
serta telah menjangkau hampir seluruh lapisan masyarakat muslim. Pesantren
telah diakui sebagai lembaga pendidikan yang telah ikut mencerdaskan kehidupan
bangsa. Pada masa kolonialisme berlangsung, pesantren merupakan lembaga
pendidikan agama yang sangat berjasa bagi masyarakat dalam mencerahkan dunia
pendidikan.2
Namun, belakangan reputasi pesantren tampaknya dipertanyakan oleh
sebagian masyarakat Muslim Indonesia. Mayoritas pesantren masa terkesan elitis,
jauh dari realitas sosial. Problem sosialisasi dan aktualisasi ini ditambah lagi
dengan problem keilmuan, yaitu terjadi kesenjangan, alienasi (keterasingan) dan
differensiasi (pembedaan) antara keilmuan pesantren dengan dunia modern.
Sehingga terkadang lulusan pesantren kalah bersaing atau tidak siap berkompetisi
dengan lulusan umum dalam urusan profesionalisme di dunia kerja. Dunia
pesantren dihadapkan kepada masalah-masalah globalisasi, yang dapat dipastikan
menanggung beban tanggung jawab yang tidak ringan bagi pesantren.
Semakin disadari, tantangan dunia pesantren semakin besar dan berat.
Paradigma “mempertahankan warisan lama yang masih relevan dan mengambil
hal terbaru yang lebih baik” perlu direnungkan kembali. Pesantren harus mampu
mengungkap secara cerdas problem kekinian kita dengan pendekatan-pendekatan
kontemporer. Disisi lain, modernitas, yang menurut beberapa kalangan harus
segera dilakukan oleh kalangan pesantren, ternyata berisi paradigma dan
pandangan dunia yang telah merubah cara pandang lama terhadap dunia itu
sendiri dan manusia.
1Tim Dirjen Pembinaan PAI pada Sekolah Umum, Metodologi Pendidikan Agama Islam,
Jakarta : Depatemen Agama RI, 2001, hal. 19
2Mujamil Qamar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi,
Dalam konteks yang dilematis ini, pilihan terbaik bagi pesantren adalah
mendialogkannya dengan paradigma dan pandangan dunia yang telah diwariskan
oleh generasi pencerahan Islam. Maksudnya, insan pesantren perlu memosisikan
warisan masa lalu sebagai “teman dialog” bagi modernitas dengan segala produk
yang ditawarkannya. Mereka harus membaca khazanah lama dan baru dalam
frame yang terpisah. Masa lalu hadir atau dihadirkan dengan terang dan jujur, lalu
dihadapkan dengan kekinian. Boleh jadi masa lalu tersebut akan tampak “basi”
dan tak lagi relevan, namun tak menutup kemungkinan masih ada potensi yang
dapat dikembangkan untuk zaman sekarang.
Salah satu hal yang perlu dimodifikasi adalah sistem pendidikan pesantren.
System pembelajaran tradisional, yaitu sorogan, bandongan, wetonan, hafalan
atau halaqah seharusnya mulai diseimbangkan dengan system pembelajaran
modern. Dalam aspek kurikulum juga seharusnya kalangan pesantren berani
mengakomodasi dari kurikulum pemerintah.
Pondok pesantren Al-Qur’an Assanusiah terletak di Jl. Raya Serang Km. 2
Kadu Merak Pandeglang Banten. Pondok pesantren Al-Qur’an Assanusiah ini
mengajarkan pendidikan pesantren secara tradisional.
Dari sinilah penulis melihat, ada suatu keistimewaan yang sampai saat ini di
zaman yang serba canggih ini Metode Tradisional masih dibudayakan di
Pondok Pesantren tersebut. Dengan alasan itu pun penulis tertarik sekali untuk
mengadakan penelitian yang kemudian penulis jadikan bahan untuk pengajuan
Skripsi dengan judul “PERSPEKTIF ALUMNI TERHADAP METODE
PEMBELAJARAN TRADISIONAL DI PONDOK PESANTREN AL-QUR’AN ASSANUSIAH” : “Studi Kasus Pondok Pesantren Al-Qur’an
B. Identifikasi Masalah
Dari Latar Belakang Masalah tersebut penulis mengidentifikasi masalah
sebagai berikut:
1. Profil alumni pondok pesantren Al-Qur’an Assanusiah
2. Pandangan alumni terhadap metode pembelajaran di pondok pesantren
tradisional
3. Metode-metode tradisional
C. Pembatasan Masalah
Dari beberapa permasalahan yang telah diidentifikasi diatas, maka
permasalahan dalam penelitian ini dibatasi pada:
1. Sasaran dalam penelitian ini adalah hanya dibatasi pada para alumninya
saja
2. Pandangan para alumni terhadap metode pembelajaran tradisional di
pondok pesantren Al-Qur’an Assanusiah
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah diatas, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah : “Bagaimanakah pandangan para
alumni terhadap metode pembelajaran tradisional di pondok pesantren
tersebut”?
E. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pandangan para alumni terhadap metode
pembelajaran di pondok pesantren tradisional
2. Untuk mengetahui metode pembelajaran yang diajarkan di pondok
F. Kegunaan Penelitian
Selanjutnya dengan dicapainya tujuan tersebut diharapkan dari hasil
penelitian ini dapat di peroleh kegunaanya antara lain:
1. Secara akademis, memberikan kontribusi bagi pengembangan penelitian
melalui metode pembelajaran tradisional sebagai alat bantu utama pada
Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Secara praktis, penellitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi
para teoritis, praktis dan aktivis Pendidikan Islam pada umumnya
termasuk juga para pengurus Pondok Pesantren Al-Qur’an Assanusiah
6 BAB II
KAJIAN TEORITIS
A. Pesantren
1. Pengertian Pesantren
Pengertian pesantren berasal dari kata santri dgn awalan pe-dan akhiran an
berarti tempat tinggal santri. Soegarda Poerbakawatja yg dikutip oleh Haidar
Putra Daulay mengatakan pesantren berasal dari kata santri yaitu seseorang yg
belajar agama Islam sehingga dgn demikian pesantren mempunyai arti tempat
orang berkumpul untuk belajar agama Islam. Ada juga yg mengartikan
pesantren adl suatu lembaga pendidikan Islam Indonesia yg bersifat
“tradisional” utk mendalami ilmu tentang agama Islam dan mengamalkan
sebagai pedoman hidup keseharian (2004: 26-27)
Dalam kamus besar bahas Indonesia pesantren diartikan sebagai asrama
tempat santri atau tempat murid-murid belajar mengaji. Sedangkan secara
istilah pesantren adl lembaga pendidikan Islam dimana para santri biasa
tinggal di pondok (asrama) dgn materi pengajaran kitab klasik dan
kitab-kitab umum bertujuan utk menguasai ilmu agama Islam secara detail serta
mengamalkan sebagai pedoman hidup keseharian dgn menekankan penting
Maka dengan demikian sesuai dengan arus dinamika zaman definisi serta
persepsi terhadap pesantren menjadi berubah pula. Kalau pada tahap awal
pesantren diberi makna dan pengertian sebagai lembaga pendidikan tradisional
tetapi saat sekarang pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional tak lagi
selama benar.
a. Sejarah Pesantren
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang tertua di Indonesia,
walaupun tidak ada literatur yang secara pasti menulis tentang kapan
munculnya pesantren pertama kali di Indonesia. Namun, paling tidak lembaga
pendidikan yang disebut pesantren ini telah ada ketika pada masa Walisongo,
yaitu sekitar abad ke VI-VII M.1
Sebagai institusi pendidikan Islam yang dinilai paling tua, pesantren
memiliki akar transmisi sejarah yang jelas. Orang yang pertama kali
mendirikannya dapat dilacak meskipun ada sedikit perbedaan pemahaman.
Dikalangan para sejarah terdapat perselisihan pendapat dalam menyebutkan
pendirian pesantren pertama kali. Sebagian mereka menyebutkan Syeikh
Maulana Malik Ibrahim, yang dikenal dengan Syeikh Magribi, dari Gujarat,
India, sebagaai pencipta pondok pesantren di Jawa.2
Dalam perspektif sejarah, lembaga pendidikan yang terutama berbasis di
pedesaan ini telah mengalami perjalanan sejarah yang panjang, sejak sekitar
abad ke-18. bahkan ada yang mengatakan sejak abad ke-13. Beberapa abad
kemudian penyelenggaraan pendidikan ini semakin teratur dengan munculnya
tempat-tempat pengajian. Bentuk ini kemudian berkembang dengan pendirian
tempat-tempat menginap bagi para pelajar (santri), yang kemudian disebut
pesantren. Pesantren pertama didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim.
Meskipun bentuknya masih sangat sederhana, pada waktu itu pendidikan
pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang terstruktur.
Sehingga pendidikan ini dianggap sangat bergengsi. Di lembaga inilah kaum
1Sahal Mahfud, Nuansa Fiqih Sosial,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1994),h. 14
muslimin Indonesia mendalami doktrin dasar Islam, khususnya menyangkut
praktek kehidupan keagamaan.3
b. Tujuan pesantren
Tujuan pendidikan pesantren merupakan bagian terpadu dari faktor-faktor
pendidikan. Tujuan termasuk kunci keberhasilan pendidikan, di samping
faktor-faktor yang lain terkait: pendidik, peserta didik, alat pendidikan, dan
lingkungan pendidikan. Keberadaan empat faktor ini tidak ada artinya bila
tidak diarahkan oleh suatu tujuan. Tak ayal lagi bahwa tujuan menempati
posisi yang amat penting dalam proses pendidikan sehingga materi, metode,
dan alat pengajaran selalu disesuaikan dengan tujuan. Tujuan yang tidak
jelasakan menguburkan seluruh aspek tersebut.
Menurut Mastuhu, tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan dan
mengembangkan kepribadisn muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau
berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawulan atau abdi
masyarakat tetapi Rasul yaitu menjadi pelayan masyarakat sebagaimana
kepribadian Nabi Muhammad (mengikuti sunnah Nabi), mampu berdiri
sendiri,bebas, dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau
menegakkan Islam dan kejayaan umat ditengah-tengah masyarakat („Izz
al-Islam wa al-Muslimin) dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan
kepribadian manusia.4
3Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor dan pembaharuan Pendidikan Pesantren,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada) hal.55
Mafred Ziemek, memberikan rumusan tujuan pesantren adalah
membentuk kepribadian, memantapkan akhlak, dan melengkapinya dengan
pengetahuan.5 Sementara Zamakhsyari Dhofier mengemukakan tentang tujuan
pesantren Tebuireng dalam 30 tahun pertama adalah untuk mendidik calon
ulama. Sekarang diperluas untuk mendidik para santri agar kelak dapat
mengembangkan dirinya menjadi “ulama intelektual” dan “intelektual
ulama”.6
Menurut Mujamil Qomar tujuan umum pesantren adalah membina
warga negara agarberkepribadian muslim sesuai dengan ajaran-ajaran agama
Islam dan menanamkan rasa keagamaan tersebut pada semua segi
kahidupannya serta menjadikan sebagai orang yang berguna bagi agama,
masyarakat dan negara. Adapun tujuan khusus pesantren adalah sebagai
berikut:
1) Mendidik siswa/siswi khusus pesantren adalah anggota masyarakat
untuk menjadi seseorang muslim yang bertakwa kepada Allah Swt,
berakhlak mulia, memiliki kecerdasan, keterampilan dan sehat
lahir batin sebagai warga yang berpancasila.
2) Mendidik siswa/siswi untuk menjadikan manusia muslim selaku
kader-kader ulama dan mubaligh yang berjiwa ikhlas,tabah,
tangguh, wiraswasta dalam mengamalkan sejarah Islam secara utuh
dan dinamis.
3) Mendidik siswa/siswi santri untuk memperoleh pribadi dan
mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan
manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya
dan bertanggung jawab kepada pembangunan bangsa dan negara.
4) Mendidik tenaga-tenaga penyuluh pembangunan mikro (keluarga
dan regional, pedesaan/masyarakat lingkungannya).
5 Mafred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, terjemahan Butche B. Soendjojo, (Jakarta: P3M, 1986), hal. 157.
5) Mendidik siswa/siswi agar menjadi tenaga-tenaga yang cakap
dalam berbagai sekor pembangunan, khususnya pembangunan
mental-spiritual.
6) Mendidik siswa/siswi untuk membantu meningkatkan
kesejahteraan sosial masyarakat lingkungan dalam rangka usaha
pembangunan masyarakat bangsa.7
Rumusan ini adalah yang paling rinci diantara rumusan yang pernah
diungkapkan oleh beberapa para ahli, tetapi harapan untuk
memberlakukan tujuan tersebut bagi seluruh pesantren rupanya kandas.
Kiai-kiai pesantren tidak mentransfer rumusan tersebut secara tertulis
sebagai tujuan baku bagi pesantrennya kendati orientasi pesantren tidak
jauh berbeda dengan kehendak tersebut.
Dari beberapa tujuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tujuan
pesntren adalah membentuk kepribadian muslim yang menguasai
ajaran-ajaran Islam dan mengamalkannya, sehingga bermanfaat bagi agama,
masyarakat, dan negara.
c. Kurikulum Pesantren
Pada sebagian pesantren, terutama pada pesantren-pesantren pada
masa sebelumnya perang, istilah kurikulum tidak dapat ditentukan.
Walaupun materinya ada di dalam praktek pengajaran, bimbingan rihani,
dan latihan kecakapan dalam kehidupan sehari-hari.8
Pembahasan kurikulum sebenarnya belum banyak dikenal
pesantren, bahkan di Indonesia pembahasan kurikulum belum pernah
populer pada saat proklamasi kemerdekaan apalagi sebelumnya. Berbeda
dengan kurikulum istilah materi pelajaran justru lebih dikenal dan mudah
7Mujamil Qomar,Pesanten Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi(Jakarta: Erlangga) hal. 6-7
dipahami di kalangan pesantren. Namun untuk pemaparan berbagai
kegiatan, baik yang berorientasi pada pengembangan intelektual,
keterampilan, pengabdian secara umum kepribadian agaknya lebih tepat
menggunkan istiah kurikulum.
Pemaknaan kurikulum sebagaimana yang telah disampaikan oleh
Umar Hamalik adalah program pendidikan yang disediakan oleh lembaga
pendidikan (sekolah) bagi siswa. Berdasarkan program pendidikan
tersebut santriawan/santri melakukan sebagai kegiatan belajar, sehingga
mendorong perkembangan dan pertumbuhannya sesuai dengan tujuan
pendidikan yang telah ditetapkan.
Kurikulum pesantren dalam wacana selanjutnya mengacu kepada
pengertian yang luas sehingga bisa meliputi kegiatan-kegiatan intra
kurikuler maupun ekstra kurikuler dan bisa melibatkan aktifitas yang
diperankan oleh santri maupun kiyai.
Apabila ditinjau dari mata pelajaran yang diberikan secara formal
oleh kiyai, maka sebagaimana yang telah diuraikan bahwa pelajaran yang
diberikan bisa dianggap sebagai kurikulum, yaitu berkisar pada ilmu
pengetahuan, agama dan segala faktanya.
Yang terutama dipentingkan ialah pengetahuan yang berhubungan
dengan bahasa Arab (ilmu Nahwu, Shorof dan ilmu Bahasa yang lainnya).
Dan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan syari’at. (ilmu Fiqih,
baik bagian ibadah maupun muamalahnya).ilmu-ilmu yang berhubungan
dengan Al-Qur’an dan tafsir-tafsirnya, hadis serta mustolah hadis, begitu
juga mengenai ilmu kalam, tauhid dan sebagainya yang biasanya sudah
masuk dalam pengajaran tingkat tinggi.9
Dari segi kurikulumnya, Arifin menggolongkan pesantren menjadi
tiga kelompok yaitu pesantren modern, pesantren takhassus (ilmu alat, ilmu
fiqih/ushul fiqh, tafsir/hadits, tasawuf/thariqat dan qira’at al qur’an) dan
pesantren campuran.
Jenis pendiidkan pesantren bersifat non formal, hanya mempelajari
agama, bersumber pada kitab-kitab klasik meliputi bidang-bidang studi
tauhid, tafsir, hadits, fikih, usul fikih, tasawuf, bahasa arab, mantic, dan
akhlak. Kurikulum dalam jenis pendidikan pesantren berdasarkan tingkat
kemudahan dan kompleksitas ilmu atau masalah yang dibahas dalam kitab,
jadi ada tingkat awal, tingkat menengah, dan tingkat lanjut, sedangkan jenis
pendidikan madrasah dan sekolah umum bersifat formal dan kurikulumnya
mengikuti ketentuan pemerintah.10
d. Elemen-elemen Pesantren
1. Kyai
Kyai adalah tokoh sentral dalam suatu pesantren, maju
mundurnya pesantren ditentukan oleh wibawa dan kharisma sang
kiai. Oleh karena itu tidak jarang terjadi, apabilasang kiai di suatu
pesantren wafat maka pamor pesantren tersebut merosot karena
kyai yang menggantikannya itu tidak setenar kyai yang telah wafat.
Kyai dalam bahasa pesantren ini biasanya mengacu kepada gelar
yang diberikan masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang
memiliki pesantren dan mengajarkan kitab-kitab Islam klasik
kepada santrinya.11
Sedangkan menurut Sulthon Masyhud bahwa kyai adalah
pemimpin, pendiri sekaligus pemilik pesantren. Yang biasanya
mengajarkan manuskrip-manuskrip keagamaan klasik berbahasa
Arab yang dikenal dengan istilah “Kitab Kuning” sementara para
santri mendengarkan sambil memberi catatan (ngesahi-Jawa) pada
kitab yang sedang dibaca.12
10M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, (Jakarta: Bani Aksara, 1991), hal. 251-252.
11Haidar Putra Daulay, Historitas dan Eksistensi Pesantrn, Sekolah dan Madrasah
(Yogyakarta: PT. Tiara Wacana,2001) h. 14
2. Masjid
Masjid sebagai elemen pesantren yang kedua menurut
Zamakhsyari Dhofier sebagai pusat pendidikan dalam tradisi
pesantren dan merupakan manifestasi universalisme dasar sistem
pendidikan Islam tradisional. Dalam perspektif sejarah Masjid
bukanlah sarana kegiatan peribadatan berkala, melainkan lebih
jauh dari itu yaitu masjid menjadi pusat bagi segenap aktifitas Nabi
Muhammad dalam berinteraksi dengan umat.
Masjid menurut Nurkholis Madjid masjid dapat juga dikatakan
sebagai pranata penting masyarakat Islam. Berawal dari masjid
inilah banyak aktifitas yang dilakukan melalui sarana ibadah,
sebagaimana terlihat dalam pertumbuhan dan perkembangan
sebuah pesantren. Disinilah peran masjid sebagai pusat aktifitas
kegiatan baik pendidikan, dakwah, ibadah, dan lain-lain. Disinilah
letak manifestasi universalisme yang terdapat dalam sistem
pendidikan Islam tradisional, dalam hal ini adalah pesantren.
Hingga sekarang ini kyai sering mempergunakan masjid sebagai
tempat membaca kitab-kitab klasik dengan metode wetonan dan
sorogan.
.
3. Santri
Santri sebagai unsur pokok pesantren yang ketiga setelah
kyai dan masjid. Tidak kalah pentingnya dari keempat unsur yang
lain. Biasanya santri terdiri dari dua kelompok, yaitu santri mukim
dan santri kalong.
Santri mukim ialah santri yang berasal dari daerah yang
jauh dan meneteap dalam pondok pesantren. Kedua adalah santri
kalong, santri kalong ialah santri-santri yang berasal dari daerah
sekitar pesantren dan biasanya mereka tidak menetap dalam
mengikuti suatu pelajaran di pesantren. Pesantren yang masih
tradisional biasanya lamanya santri bermukim tidak ditentukan
oleh tahun atau kelas, tetapi dari ukuran kitab yang dibaca.
4. Pondok
Istilah pondok boleh jadi berasal dari bahasa arab yaitu
funduq, yang berarti hotel atau penginapan.13 Istilah pondok ini
juga diartikan sebagai asrama para santri, dengan demikian
disebutkan didepan harus memiliki asrama, santri, masjid, kyai,
ustadz dan santri.
Ada beberapa alasan pokok mengapa pondok atau asrama
itu harus ada dalam suatu pesantren. Pertama, banyaknya santri-santri yang berdatangan dari daerah yang jauh untuk menuntut
ilmu kepada seorang kyai yang telah termasyhur keahlian. Kedua, karena pesantren-pesantren tersebut terletak di desa, jadi tidak ada
perumahan bagi santri yang berdatangan dari luar daerah. Ketiga, ada hubungan timbal balik atau saling berinteraksi antara kyai
sebagai orang tuanya sendiri. Disinilah letak pembelajaran dan
pembiasaan yang dialami santri untuk mencontoh pola tindakan
kyai, karena mereka saling berinteraksi selama 24 jam penuh. Dan
kyai bisa mengontrol dan mengetahui sejauh mana perkembangan
santri yang ada di bawah bimbingannya. Di sini peran kyai menjadi
bertambah berat karena kyai harus menjadi tauladan atau contoh
bagi semua santri yang ada, baik dalam msalah-masalah ibadah
maupun masalah-masalah sosial yang lain.14
13 Ahmad Warson Munawir, Kamus Arab-Indonesia,( Unit Pengadaan buku-buku ilmiahKeagamaan, Pondok Pesantren Al-Munawir q964),h. 1154
e. Bentuk-Bentu Pesantren
1. Salafiyah
Pesantren salafi, yaitu pesantren yang tetap mempertahankan
pelajarannya dengan kitab-kitab klasik, dan tanpa diberikan pengetahuan
umum. Model pengajarannya pun sebagaimana yang lazim diterapkan
dalam pesantren salaf, yaitu sorogan dan weton. Weton adalah pengajian yang inisiatifnya berasaldari kyai sendiri, baik dalam menentukan tempat,
waktu, maupun lebih-lebih kitabnya. Sedangkan sorogan adalah pengajian
yang merupakan permintaan dari seseorang atau beberapa orang santri
kepada kyainya untuk diajarkan kitab-kitab tertentu. Sedangkan istilah
salaf ini bagi kalangan pesantren mengacu kepada pengertian “pesantren tradisional” yang justru sarat dengan pandangan dunia dan praktek islam sebagai warisan sejarah, khususnya dalam bidang syari’ah dan tasawwuf.
Sejak tumbuhnya pesantren, pengajaran kitab-kitab klasik
diberikan sebagai upaya untuk meneruskan tujuan utama pesantren yaitu
mendidik calon-calon ulama yang setia terhadap faham Islam tradisional.
Karena itu kitab-kitab Islam klasik merupakan bagian integral dari nilai
dan faham pesantren yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Penyebutan
kitab-kitab Islam klasik di dunia pesantren lebih populer dengan sebutan “kitab-kitab kuning”, tetapi asal usul istilah ini belum diketahui secara pasti. Mungkin
penyebutan istilah tersebut guna membatasi dengan tahun karangan atau
disebabkan warna kertas dari kitab tersebut berwarna kuning, tetapi
argumentasi ini kurang tepat sebab pada saat ini kitab-kitab Islam klasik
sudah banyak dicetak dengan kertas putih
Pengajaran kitab-kitab klasik oleh pengasuh pondok (Kyai) atau
ustadz biasanya dengan menggunakan sistem sorogan, wetonan, dan
bandongan. Adapun kitab-kitab Islam klasik yang diajarkan di pesantren
menurut Zamakhsyari Dhofir dapat digolongkan ke dalam 8 kelompok,
Ushul Fiqh (yurispundensi), (4) Hadits, (5) Tafsir, (6) Tauhid (theologi),
(7) Tasawuf dan Etika, (8) Cabang-cabang lain seperti Tarikh (sejarah)
dan Balaghah”.
Kitab-kitab klasik adalah kepustakaan dan pegangan para Kyai di
pesantren. Keberadaannya tidaklah dapat dipisahkan dengan Kyai di
pesantren. Kitab-kitab Islam klasik merupakan modifikasi nilai-nilai ajaran
Islam, sedangkan Kyai merupakan personifikasi dari nilai-nilai itu. Di sisi
lain keharusan Kyai di samping tumbuh disebabkan kekuatan-kekuatan
mistik yang juga karena kemampuannya menguasai kitab-kitab Islam
klasik.
Sehubungan dengan hal ini, Moh. Hasyim Munif mengatakan
bahwa: “Ajaran-ajaran yang terkandung dalam kitab kuning tetap
merupakan pedoman hidup dan kehidupan yang sah dan relevan. Sah
artinya ajaran itu diyakini bersumber pada kitab Allah Al-Qur’an dan
sunnah Rasulullah (Al-Hadits), dan relevan artinya ajaran-ajaran itu masih
tetap cocok dan berguna kini atau nanti”.
Dengan demikian, pengajaran kitab-kitab Islam klasik merupakan
hal utama di pesantren guna mencetak alumnus yang menguasai
pengetahuan tentang Islam bahkan diharapkan diantaranya dapat menjadi
Kyai.
a. Pengertian Tradisional
Istilah pengetahuan tradisional pertama kali diintrodusir di dalam
instrumen hukum internasional. Istilah ini diberi pengertian ruang lingkup yang
berbeda oleh masing-masing lembaga internasional tersebut mempunyai tujuan
dan paradigma yang berbeda pula.15
Dalam sejarahnya pesantren Salaf (tradisional) merupakan cikal bakal
lembaga pendidikan Islam di Indonesia dan merupakan sistem pendidikan yang
khas Indonesia. Dalam tatanan sosial budayanya, lembaga pendidikan ini
merupakan basis keilmuan dan cagar tradisi keagamaan masyarakat muslim
Indonesia.
Secara etimologi kata “salaf” yang sering disinonimkan dengan istilah
“tradisional” berasal dari bahasa Arab as-salaf yanng berarti terdahulu, sehingga
as-salafas-shalihin artinya adalah para ulama terdahulu yang shaleh-shaleh.
Sedangkan menurut terminologi khazanah Islam, “salaf” berarti ulama
yang hidup terdahulu generasi abad I-III H, yaitu para ulama generasi sahabat,
Tabi’in dan Tabi’ at-Tabi’n yang merupakan kkurun terbaik pasca Rasul SAW.
Menurut Abdurrahman Wahid, bahwa standar dalam kategorisasi salaf adalah
angkatan Tabi’in (sucessors).16
Oleh karena itu, istilah “tradisional” sebagai sebutan akomodasi tradisi
lokal pra–islam lebih cocok dialamatkan kepada muslim tradisionalis yang tinggal
di daerah pedesaan.
Sedangkan istilah “tradisional” untuk pesantren lebih tepat jika untuk
menyambut sebagai institusi agama yang masih melestarikan tradisi, khususnya
warisan para ulama, baik ulama Nusantara maupun Timur Tengah. Dengan kata
lain, jika yang dimaksud istilah “ tradisional” ini adalah bentuk pelestarian tradisi
lokal pra-Islam, maka tidak sepenuhnya dapat diterima jika disinonimkan dengan
istilah “salafi” yang lebih menunjukkan kepada warna Timur Tengah-nya abad–
abad pertama dan pertengahan. Sehingga penyamaan term “salafi” oleh kalangan
pesantren sendiri.
Disamping itu, penyebutan istilah “tradisional” juga mengandung konotasi
yang negatif, yaitu dikotomi antara Islam modernis dan Islam tradisional atau
dikotomi baru islam fundamentalis (modernis) dan Islam kultural (NU)yang
sepertinya mengandung unsur-unsur sentimen antar kelompok muslim, terutama
kalau diingatkan polemik sengit antar kedua kubu pada tahun 1912-1926.17
b. Pengertian Pesantren Tradisional
Dalam pesantren tradisional, kitab Ta’lim al-Muta’alim adalah buku yang menjadi bacaan wajib. Kitab ini menjadi pegangan para santri hampir semua
pesantren di Indonesia. Sebelum membaca kitab-kitab lain, para santri
umumnya terlebih dahulu diharuskan membaca kitab ini. Sesuai dengan
namanya, kitab ini memuat prinsip-prinsip pengajaran dalam Islam.18
Dari penjelasan di atas penulis penulis menambahkan pengertian pesantren
tradisional menurut pendapat Zamakchsyari Dhofier, Nurcholis Madjid, dan
Mastuhu berikut pendapatnya:
1). Menurut Zmachsyari Dhofier
Menurut Zamachsyari Dhofier, pesantren tradisional adalah lembaga
pesantren yang mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai
inti pendidikan. Sedangkan sistem madrasah hanya untuk memudahkan
sistem sorogan yang dipakai dalam lembaga-lembaga pengajian bentuk
lama, tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan umum.
Khusus di dunia pendidikan Islam, mengingat sejarah perjalanan agama
ini yang sudah cukup panjang, munculnya kesan dan fakta tradisionalitas di
sana-sini tidaklah terhindarkan. Tradisi untuk tetap memakai kitab-kitab
klasik berbahasa Arab sebagai bahan pokok yang diajarkan pada santri,
kebiasaan untuk duduk bersila di lantai pada saat mengaji, juga peralatan
serba sederhana sampai kini masih menjadi gambaran yang lumrah bagi
sebagian lembaga pendidikan Islam, terutama pesantren.
17ibid, h. 130
Pesantren tradisional adalah pesantren yang masih kuat memegang
pola tradisional dari segi penyampaian dan pengajaran nilai–nilai islam.
Ciri dari pesantren ini adalah : kitab–kitab yang dipelajari masih dengan
cara atau sistem sorogan, bandongan maupun wetonan.
Cara-cara yang tersebut diatas adalah cara lama yang telah turun
temurun dipraktekkan. Ilmu yang dipelajari di pesantren tradisional ini
pada umumnya sama, demikian pula kitab–kitab yang dipakai. Hanya saja
ada perbedaan pengajaran diantara pesantren–pesantren tersebut, yaitu
terletak pada kadar ilmu yang dimiliki oleh kyai yang bersangkutan.
Ciri lain dari pesantren tradisional adalah : kemutlakan seseorang kyai
sebagai pemegang kekuasaan penentu suatu keputusan, pesantren ini
biasanya secara manajemen pun adalah manajemen keluarga.19
2). Nurcholis Madjid
Menurut Nurcholis Mdjid pesantren tradisional itu masih banyak sekali
mengalami kelemahan maka Cak Nur mempunyai banyak sekali kritikan
terhadap Pendidikan Islam Tradisional.
Salah satu untuk mewujudkan masyarakat madani ditentukan oleh
sejauh mana kualitas peradaban masyarakat. Peradaban suatu bangsa akan
tumbuh dan lahir dari sistem pendidikan yang digunakan oleh bangsa
tersebut. Masyarakat yang berperadaban adalah masyarakat yang
berpendidikan. Hal ini sesuai dengan konsep pendidikan yang
dikemukakan oleh Muhammad Naquib Al-Attas. Menurutnya pendidikan
islam itu lebih cepat diistilahkan dengan ta’dib (dibanding dengan istilah
tarbiyah, ta’lim dan lainnya), sebab dengan konsep “ta’dib” pendidikan
akan memberikan adab atau kebudayaan. Dengan istilah ini juga
dimaksudkan pendidikan berlangsung dengan terfokus pada manusia
sebagai objeknya guna pemenuhan potensi intelektual dan spiritual.
Lembaga pendidikan yang memainkan perananya di Indonesia, jika
dilihat dari struktur internal pendidikan Islam serta praktek-praktek
pendidikan yang dilaksanakan, ada empat kategori. Pertama, pendidikan
pondok pesantren, yaitu pendidikan Islam yang diselenggarakan secara
tradisional, bertolak dari pengajaran Qur’an dan hadits dan merancang
segenap kegiatan pendidikannya untuk mengajarkan kepada para siswa
Islam berbagai cara hidup atau way of life. Kedua, pendidikan madrasah, yakni pendidikan Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga model
Barat, yang mempergunakan metode pengajaran klasikal, dan berusaha
menanamkan Islam sebagai landasan hidup ke dalam diri para siswa.
Ketiga, pendidikan umum yang bernafaskan Islam, yaitu pendidikan Islam
yang dilakukan melalui pengembangan suasana pendidikan yang
menyelenggarakan program pendidikan yang bersifat umum. Keempat,
pelajaran agama Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga
pendidikan umum sebagai suatu mata pelajaran atau mata kmuliah saja.
Ditilik dari sejarah pendidikan Islam Indonesia, pesantren sebagai
sistem pendidikan Islam tradisional telah memainkan peran cukup penting
dalam membentuk kualitas sumber daya manusia. Tetapi, dalam
pandangan Cak Nur lembaga pendidikan ini telah banyak memiliki isi
kelemahan.20
3). Mastuhu
Menurut Mastuhu, adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya modal keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari. Pengertian tradisional di sini menunjuk bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan agama (Islam) telah hidup sejak 300 – 500 tahun lalu dan telah menjadi bagian yang mengakar dalam kehidupan sebagian besar umat Islam
20Nurcholis Madjid, Kritik Nurcholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional
Indonesia, dan telah mengalami perubahan dari masa ke masa. Tradisional bukan berarti tetap tanpa mengalami perubahan.21
Dari penjelasan diatas, penulis menyimpulkan pengertian pesantren
tradisional adalah pesantren yang masih mempertahankan tradisi lama,
dengan apa yang sudah diajarkan terdahulu atau turun temurun, dan masih
mempertahankan nilai-nilai Islam. Salah satu cirinya adalah masih
mengajarkan kitab-kitab klasik dengan cara mengajarkannya memakai
metode sorogan, bandongan, dan wetonan.
c. Karakteristik Pesantren Tradisional (salafiah)
Dalam masyarakat muslim Indonesia, banyak ditemukan
karakter-karakter yang ditemukan di masyarakat tradisional di daerah pedesaan
yang secara formal dalam wadah Jamiyyah NU, dan secara kultural
ditopang oleh transformasi nilai-nilai budaya dan agama dari pesantren
salafi.
Dalam kenyataannya memang demikian bahwa mayoritas
pesantren salafi dan kaum Nahdliyin sampai sekarang masih tampak
warna karekter itu, yaitu berpegang teguh pada sistem nilai dan tradisi
masa lalu, memelihara hubungan kekerabatan antarkeluarga pesantren,
mengagungkan para leluhur (para wali kiai atau guru yang sudah
meninggal), pola hidup yang sederhana , mandiri, dan selektif terhadap
patronase dan infiltrasi budaya dari luar.
Adapun nilai-nilai kultural yang hidup di pesantren, secara umum
adalah :
1) Adanya hubungan yang akrab antara kiai dan santri.
2) Tunduknya santri kepada kiai.
3) Pola hidup yang hemat dan sederhana
4) Semangat menolong diri sendiri (mandiri)
5) Memiliki jiwa tolong-menolong antar sesama dan suasana
persaudaraan sangat mewarnai pergaulan santri.
6) Pendidikan disiplin sangat ditekankan.
7) Berani menderita untuk mencapai tujuan.
8) Kehidupan agama yang baik, dan
9) Metode pendidikan yang sangat khas, yaitu, dengan metode
sorogan dan bandongan.22
d. Metode Pembelajaran Tradisional
Metode pembelajaran tradisional adalah metode yang sangat sering
sekali diterapkan oleh pesantren pada umumnya, khususnya pesantren
salaf, kebanyakan pesantren-pesantren menerapkan metode pembelajaran
di pondok pesantren menggunakan metode-metode pembelajaran
tradisional, bahkan masih banyak pula pondok pesantren modern yang
masih menerapkan metode pembelajaran tradisional di pondok pesantren
tersebut, seperti pondok pesantren Gontor, meskipun Gontor sudah
melakukan pembaharuan dalam pendidikan pesantrennya, pondok
pesantren Gontor masih tetap menerapkan metode tradisional, contohnya
dalam pembelajaran kitab-kitab Islam klasik dikarang para ulama
terdahulu, termasuk pelajaran mengenai macam-macam ilmu pengetahuan
AgamaIslam dan bahasa Arab.
Di kalangan pesantren kitab-kitab Islam klasik sering disebut kitab
kuning oleh karena itu warna kertas kitab kebanyakan berwarna kuning.
Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran di pesantren
sebenarnya banyak. Namun dalam penulisan skripsi ini penulis hanya akan
memaparkan lima metode yang lebih populer saja yaitu:
1) Metode Bandongan
Metode Bandongan disebut juga dengan metode wetonan, ada juga yang menyebutnya pengajian sentral. Metode bandongan dilakukan oleh seorang kyai atau ustadz terhadap
sekelompok peserta didik atau santri untuk mendengarkan
dan menyimak apa yang dibicarakannya dari sebuat kitab.
Selain pelaksanaan bandongan ini seorang kyai atau ustadz
membaca, menerjemahkan, menerangkan dan sering sekali
mengulas teks-teks kitab berbahasa arab tanpa harakat
(gundul) sementara itu santri dengan menggunakan kitab
yang sama masing-masing menggunakan pendhabitan
harakat, pencatat simbol-simbol, kedudukan kata, arti-arti
kata yang berada di bawah kata arab asli yang dimaksud.23
Metode wetonan atau disebut bandongan adalah metode
yang paling utama dilingkungan pesantren. Zamakhsyari
Dhofier menerangkan dengan cara guru membaca,
menerjemahkan, menerangkan dan mengulas buku-buku
Islam dalam bahasa Arab sedang sekelompok santri
mendengarkannya. Mereka memperhatikan bukunya sendiri
dan membuat catatan-catatan (baik arti maupun keterangan)
tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit.24
23Qodri Azizy, Depag RI ,Pola Pembelajaran di Pesantren,(Jakarta: Dirjen Binbaga Islam,2003) hal 5
Penerapan metode tersebut mengakibatkan santri bersikap
pasif.sebab kreatifitas dalam proses belajar-mengajar
didominasi ustadz atau kiai, sementara santri hanya
mendengarkan dan memperhatikan keterangannya. Dengan
kata lain, santri tidak dilatih mengekspresikan daya kritisnya
guna memcermati kebenaran suatu pendapat.
Wetonan dalam prakteknya selalu berorientasi pada
pemompaan materi tanpa melalui kontrol tujuan yang tegas.
Dalam metode ini, santri bebas mengikuti pelajaran karena
tidak diabsen. Kiai sendiri mungkin tidak mengetahui
santri-santri yang tidak mengikuti pelajaran terutama jika
jumlahnya mereka puluhan atau bahkan ratusan orang. Ada
peluang bagi santri untuk tidak mengikuti pelajaran.
Sedangkan santri yang mengikuti pelajaran mealalui metode
wetonan ini adalah mereka yang berada pada tingkatan
menengah.
2) Metode Sorogan
Metode sorogan ini merupakan kegiatan pembelajaran bagi
para santri yang lebih menitik beratkan pada pengembangan
kemampuan perseorangan atau individu di bawah pemimpin
seorang kyai atau ustadz. Metode ini juga disebut layanan
individual. Proses pembelajaran dengan metode sorogan ini, yaitu para santri ditugaskan membaca kitab, atau Al-Qur’an
sedangkan kyai atau ustadz yang sudah mumpuni menyimak
sambil mengoreksi dan mengevaluasi bacaan seseorang
santri.
Metode sorogan merupakan suatu metode yang ditempuh
dengan cara guru menyampaikan pelajaran kepada santri
kelompok santri tingkat rendah yaitu mereka yang baru
menguasai pembacaan Al-Qur’an melalui sorogan,
perkembangan intelektual para santri dapat ditangkap kiai
secara utuh. Dia dapat memberikan bimbingan penuh
kejiwaan sehingga dapat membeikan tekanan pengajaran
kepada santri-santri tertentu atas dasar observasi langsung
terhadap tingkat kemampuan dasar dan kapasitas mereka.
Sebaliknya, penerapan metode sorogan menuntut kesabaran
dan keuletan pengajar. Santri dituntut memiliki disiplin
tinggi. Disamping itu aplikasi metode ini membutuhkan
waktu yang lama, yang berarti pemborosan, kurang efektif
dan efisien.
3) Metode Musyawarah atau Bahtsul Masail
Metode musyawarah atau dalam istilah lain Bahtsul
Masail merupakan metode yang mirip denganmetode diskusi
atau seminar. Metode ibni dilakukan dengan cara beberapa
orang santri membentuk halaqah yang dipimpin langsung
oleh kyai atau seorang santri senior (ustadz) untuk membahas
suatu persoalan yang telah ditentukan sebelumnya. Dengan
demikian metode ini lebih menitik beratkan suatu persoalan
dengan argumen-argumen yang mengacu pada kitab-kitab
tertentu.25
Metode musyawarah tersebut mulai menarik
perhatian dan di praktekkan dalam wilayah yang lebih luas.
Beberapa pesantren yang terpengaruh langsung oleh Gontor,
mulai menerapkan percakapan bahasa Arab setiap hari yang
di wajibkan oleh seluruh penghuni pesantren, untuk
menunjang efektifitas dan efesiensi percakapan.
Dalam kelas musyawarah, sistem pengajarannya
sangat berbeda dari sistem sorogan dan bandongan, para
santri harus mempelajari sendiri kitab-kitab yang ditunjukkan
dan dirujuk. Kiyai memimpin kelas musyawarah seperti
dalam suatu seminar dan lebih banyak dalam bentuk
tanya-jawab, biasanya hampir seluruhnya diselenggarakan dalam
bahasa Arab, dan merupakan latihan bagi para siswa untuk
menguji keterampilannya dalam menyerap sumber-sumber
argumentasi dalam kitab-kitab Islam klasik.
Seringkali, pimpinan pesantren beberapa hari sebelum kelas
musyawarah dimulai menyiapkan bsejumlah pertanyaan bagi
pesertakelompok musyawarah yang akan bersidang. Sebelum
acara diskusi, peserta kelas musyawarah biasanya
menyelenggarakan diskusi untuk menyampaikan kesimpulan
masalah yang di siapkan oleh kiainya. Diskusi dalam kelas
musyawarah bernuasa bebas. Mereka yang mengajukan
pendapat diminta untuk menyebuutkan sumber berbagai
dasar argumentasi.
Mereka yang dinilai oleh kiyai sudah cukup matang untuk
menggali sumber-sumber referensi, memiliki keluasan
bahan-bahan bacaan dan mampu menemukan atau menyelesaikan
problem-problem menurut sistem jurisprudensi mazhab
Syafi’i diwajibkan menjadi pengajar kitab-kitab tingkat
tinggi.para kiai muda ini biasanya menulis
komentar-komentar atau pendapat-pendapat dalam bahasa Arab. 26
4) Metode Pengajian Pasaran
Metode pengajian pasaran adalah kegiatan belajar
para santri melalui pengkajian materi (kitab tertentu) pada
seorang kyai atau ustadz yang dilakukan oleh sekelompok
santri dalam kegiatan yang terus-menerus dalam waktu
tertentu. Tapi pada umumnya pengajian ini dilakukan pada
bulan Ramadhan. Metode ini mirip dengan metode
bandongan.
5) Metode Hafalan
Metode hafalan ialah kegiatan belajar santri dengan cara
menghafal suatu teks tertentu di bawah bimbingan dan
pengawasan seorang kyai atau ustadz. Para santri diberi
tugas untuk menghafal bacaan dalam jangka waktu tertentu.
Hafalan yang dimiliki santri ini kemudian dihafalkan di
hadapan kyai atau ustadznya secara priodik atau insidental
tergantung petunjuk kyai atau ustadz. Metode hafalan ini
biasanya berkenaan dengan Al-Qur’an, nadham-nadham
untuk disiplin ilmu nahwu, shorof, tajwid, maupun fiqih.27
Menurut penulis metode pembelajaran Tradisional sebagaimana
yang sudah penulis paparkan yaitu metode Bandongan, metode
Sorogan, metode Musyawarah atau Bahtsul Masail, metode pengajian
pasaran, dan metode hafalan. Dari sekian banyaknya metode
pembelajaran ini, yang sangat sering sekali diterapkan dalam kegiatan
belajar mengajar di pondok Pesantren Al-Qur’an Assanusiah yaitu
metode Sorogan, Bandongan, dan hafalan.
2. Pondok pesantren modern (khalaf)
a). Pengertian pondok pesantren modern
Seiring dinamika zaman, banyak pesantren yang sistem pendidikan
asalnya salaf berubah total menjadi pesantren modern. Ciri khas pesantren
modern adalah prioritas pendidikan pada sistem sekolah formal dan
penekanan bahasa Arab modern (lebih spesifik pada
speaking/muhawarah). Sistem pengajian kitab kuning, baik pengajian
sorogan wetonan maupun madrasah diniyah, ditinggalkan sama sekali.
Atau minimal kalau ada, tidak wajib diikuti. Walaupun demikian, secara
kultural tetap mempertahankan ke-NU-annya seperti tahlilan, qunut,
yasinan.
b). Karakteristik Pondok pesantren Modern
Pondok pesantren modern memiliki konotasi yang
bermacam-macam. Tidak ada definisi dan kriteria pasti tentang ponpes seperti apa
yang memenuhi atau patut disebut dengan pesantren 'modern'. Namun
demikian, beberapa unsur yang menjadi ciri khas pondok pesantren
modern adalah sebagai berikut: (1) Penekanan pada bahasa Arab
percakapan. (2) Memakai buku-buku literatur bahasa Arab kontemporer
(bukan klasik/kitab kuning). (3) Memiliki sekolah formal di bawah
kurikulum Diknas atau Kemenag.(4) Tidak lagi memakai sistem pengajian
tradisional seperti sorogan, wetonan, dan bandongan.
Kriteria-kriteria di atas belum tentu terpenuhi semua pada sebuah
pesantren yang mengklaim modern. Pondok modern Gontor, inventor dari
istilah pondok modern, umpamanya, yang ciri modern-nya terletak pada
penggunaan bahasa Arab kontemporer (percakapan) secara aktif dan cara
berpakaian yang meniru Barat. Tapi, tidak memiliki sekolah formal yang
c). Metode pembelajaran pesantren modern
Pada era 1970-an, pesantren mengalami perubahan yang sangat
signifikan yang tampak dalam beberapa hal. Pertama, peningkatan secara kuantitas terhadap jumlah pesantren. Tercatat di Departemen Agama,
bahwa pada tahun 1977, ada 4.195 pesantren dengan jumlah santri
sebanyak 667.384 orang. Jumlah tersebut meningkat menjadi 5.661
pesantren dengan 938.397 orang santri pada tahun 1981. kemudian jumlah
tersebut menjadi 15.900 pesantren dengan jumlah santri sebanyak 5,9 juta
orang pada tahun 1985. Kedua, menyangkut penyelenggaraan pendidikan. Perkembangan bentuk-bentuk pendidikan di pesantren tersebut
diklasifikasikan menjadi empat, yaitu: (1) Pesantren yang
menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum
nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan maupun yang juga
memiliki sekolah umum. (2) Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu
pengetahuan agama dalam bentuk Madrasah Diniyah. (3) Pesantren yang
hanya sekedar manjadi tempat pengajian. (4) Pesantren yang
menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk Madrasah dan
mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan umum meski tidak menerapkan
kurikulum nasional.
Perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa beberapa
pesantren ada yang tetap berjalan meneruskan segala tradisi yang
diwarisinya secara turun temurun, tanpa ada perubahan dan improvisasi
yang berarti, kecuali sekedar bertahan. Namun ada juga pesantren yang
mencoba mencari jalan sendiri, dengan harapan mendapatkan hasil yang
lebih baik dalam waktu singkat. Pesantren semacam ini adalah pesantren
yang kurikulumnya berdasarkan pemikiran akan kebutuhan santri dan
masyarakat sekitarnya.
Meskipun demikian, semua perubahan itu, sama sekali tidak
mencabut pesantren dari akar kulturnya. Secara umum pesantren tetap
transfer ilmu-ilmu pengetahuan agama (tafaqquh fi addin) dan nilai-nilai islam (Islamic values). (2) Lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial (social control). (3) Lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial (Social engineering). Perbedaan-perbedaan tipe pesantren di atas hanya berpengaruh pada bentuk aktualisasi peran-peran ini.
Modernisasi atau inovasi pendidikan pesantren dapat diartikan
sebagai upaya untuk memecahkan masalah pendidikan pesantren. Atau
dengan kata lain, inovasi pendidikan pesantren adalah suatu ide, barang,
metode yang dirasakan atau diamati sebagai hal yang baru bagi seseorang
atau sekelompok orang , baik berupa hasil penemuan (invention) maupun
discovery, yang digunakan untuk mencapai tujuan atau memecahkan
masalah pendidikan pesantren.
Menurut Nur Cholis Madjid, yang paling penting untuk direvisi
adalah kurikulum pesantren yang biasanya mengalami penyempitan
orientasi kurikulum. Maksudnya, dalam pesantren terlihat materinya hanya
khusus yang disajikan dalam bahasa Arab. Mata pelajarannya meliputi
fiqh, aqa’id, nahwu-sharf, dan lain-lain. Sedangkan tasawuf dan semangat
keagamaan yang merupakan inti dari kurikulum keagamaan cenderung terabaikan. Tasawuf hanya dipelajari sambil lalu saja, tidak secara
sungguh-sungguh. Padahal justru inilah yang lebih berfungsi dalam
masyarakat zaman modern. Disisi lain, pengetahuan umum nampaknya
masih dilaksanakan secara setengah-setengah, sehingga kemampuan santri
biasanya samgat terbatas dan kurang mendapat pengakuan dari masyarakat
umum. Maka dari itu, Cak Nur menawarkan kurikulum Pesantren Modern
Gontor sebagai model modernisasi pendidikan pesantren.28
B. Metode Pembelajaran
1. Pengertian Metode Pembelajaran
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, metodologi berarti ilmu tentang
metode atau uraian tentang metode. Dan dalam bahasa Arab disebut minhaj,
wasilah, kaipiyah, dan thoriqoh, semuanya adalah sinonim, namun yang
paling populer digunakan dalam dunia pendidikan Islam adalah thoriqoh,
bentuk jama’ dari thuruq yang berarti jalan atau cara yang harus ditempuh.
Menurut M. Arifin, Metodologi berasal dari dua kata yaitu metode dan logi.
Adapun metode berasal dari dua kata yaitu meta (melalui) dan hodos (jalan atau cara), dan logi yang berasal dari bahasa Greek (Yunani) yaitu logos (akal atau ilmu), maka metodologi adalah ilmu pengetahuan tentang jalan atau cara
yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan. Dengan demikian, metodologi
pendidikan adalah sesuatu ilmu pengetahuan tentang metode yang
dipergunakan dalam pekerjaan mendidik.29 Hanya saja, Mahmud Yunus
menambahkan baik dalam lingkungan perusahaan atau perniagaan, maupun
dalam kupasan ilmu pengetahuan dan lainnya.30
Dalam bahasa Inggris, metode di sebut method dan way, keduanya diartikan cara. Sebenarnya yang lebih layak diterjemahkan cara adalah kata
way itu, bukan kata method. Karena metode istilah yang digunakan untuk
mengungkapkan pengertian “cara yang paling tepat (efektif) dan cepat
(efisien)” dalam melakukan sesuatu.31 Maka metodologi dalam pengertian ini
adalah ilmu tetang metode yaitu ilmu yang mempelajari cara yang paling tepat
(efektif) dan cepat (efisien) untuk mencapaian tujuan pembelajaran
29 M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam; Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, cet. ke empat, Jakarta, Bumi Aksara, 1996. Hal. 61.
30 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta, Ciputat Press. 2000, Hal. 87
Pendidikan Agama Islam. Berdasarkan pengertian di tersebut, maka dijumpai
dalam buku metodologi pengajaran lebih banyak membahas
bermacam-macam metode, seperti metode ceramah, tanya jawab, diskusi, demontrasi dan
lain-lain.
Pengertian yang lebih luas tentang metodologi adalah pendapat Hasan
Langgulung, yang menyatakan bahwa metodologi pengajaran ialah ilmu yang
mempelajari segala hal yang akan membawa proses pengajaran bisa lebih
efektif. Dengan kata lain metodologi ini menjawab pertanyaan how, what, dan who yaitu pertanyaan bagaimana mempelajari sesuatu (metode)?, apa yang harus dipelajari (ilmu)?, serta siapa yang mempelajari (peserta didik) dan
siapa yang mengajarkan (guru)?.32
Pendapat yang semakna dengan di atas dikemukakan oleh Omar
Mohmmad Al-Toumy Al-Syaibany yang menyatakan bahwa :
“metode mengajar bermakna segala segi kegiatan yang terarah yang
dikerjakan oleh guru dalam rangka kemestian-kemestian mata pelajaran yang diajarkan, ciri-ciri perkembangan murid-muridnya, dan suasana alam sekitarnya dan tujuan menolong murid-muridnya untuk mencapai proses belajar yang diinginkan dan perubahan yang dikehendaki pada tingkah laku mereka. Selanjutnya menolong mereka memperoleh maklumat, pengetahuan, keterampilan, kebiasaan, sikap, minat dan nilai-nilai yang diinginkan”.33
32Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, edisi revisi, Jakarta, Al-Husna Zikra, 2000, Hal. 350
Pendapat di atas diperkuat dengan fiman Allah dalam surah An-Nahl :
125, yang artinya sebagai berikut :
Artinya: Serulah (Manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan nasehat yang baik, serta berbantahlah mereka dengan cara yang baik (QS.An-Nahl : 125).
Dengan demikian, metodologi pembelajaran tidak hanya membahas
metode semata, tapi kajiannya lebih luas yaitu mengaitkan cara mengunakan
metode dengan bahan yang diajarkan, peserta didik dan guru bahkan
lingkungan.
a. pengertian metode menurut para ahli
Adapun pengertian pembelajaran menurut beberapa ahli, sebagai
berikut :
1). Pendapat Gagne, bahwa pembelajaran diartikan seperangkat
acara pristiwa eksternal yang dirancang untuk mendukung
terjadinya proses belajar yang bersifat internal.
2). J. Drost (1999), menyatakan bahwa pembelajaran
merupakan usaha yang dilakukan untuk menjadikan orang
3). Mulkan (1993), memahami pembelajarann sebagai suatu
aktifitas guna menciptakan kreativitas siswa.34
Pada Pasal 1 butir 20 UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, yakni “Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”.
Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa pembelajaran adalah
serangkaian kegiatan atau situasi yang sengaja dirancang agar interaksi
peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar dapat melakukan
aktifitas belajar.
Dari beberapa pengertian tersebut, dapat dikemukankan beberapa
hal yang perlu diperhatikan dalam memahami metodologi pembelajaran,
yaitu sebagai berikut : metodologi pembelajaran adalah sebuah ilmu
dalam mengembangkan cara yang dilalui dalam proses pembelajaran yang
berupa prinsip-prinsip umum dalam mengajar dan belajar (didaktik
umum). Metodologi pembelajaran adalah sebuah ilmu yang membahas
cara yang paling cepat (efektif) dan cepat (efisian) yang dapat digunakan
guru dalam menyajikan materi dalam kegiatan proses pembelajaran dikelas
(Didaktik khusus).
b. Macam-Macam Metode
Metode menurut Djamaluddin dan Abdullah Aly berasal dari kata
meta berarti melalui, dan hodos jalan. Jadi metode adalah jalan yang harus
dilalui untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan menurut Depag RI dalam
buku Metodologi Pendidikan Agama Islam (2001:19) Metode berarti cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna
mencapai tujuan yang ditentukan. Menurut WJS. Poerwadarminta dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (1999:767) Metode adalah cara yang
telah teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai suatu
maksud. Berdasarkan definisi di atas, penulis dapat mengambil
kesimpulan bahwa metode merupakan jalan atau cara yang ditempuh
seseorang untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Adapun yang dimaksud pembelajaran Menurut Gagne, Briggs, dan
wagner dalam Udin S. Winataputra (2008) dalah serangkaian kegiatan
yang dirancang untuk memungkinkan terjadinya proses belajar pada siswa.
Sedangkan menurut UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas,
pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan
sumber belajar pada suatu lingkingan belajar.
Jadi pembelajaran merupakan proses interaksi peserta didik dengan
pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran
merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses
pemerolehan ilmu dan pengetahuan. Jadi dapat dikatakan Teori belajar
merupakan upaya untuk mendeskripsikan bagaimana manusia belajar,
sehingga membantu kita semua memahami proses inhern yang kompleks
dari belajar.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud metode pembelajaran adalah cara atau jalan yang ditempuh oleh
guru untuk menyampaikan materi pembelajaran sehingga tujuan
Metode pembelajaran banyak macam-macam dan jenisnya, setiap
jenis metode pembelajaran mempunyai kelemahan dan kelebihan
masing-masing, tidak menggunakan satu macam metode saja, mengkombinasikan
penggunaan beberapa metode yang sampai saat ini masih banyak
digunakan dalam proses belajar mengajar. Menurut Nana Sudjana terdapat
bermacam-macam metode dalam pembelajaran, yaitu Metode ceramah,
Metode Tanya Jawab, Metode Diskusi, Metode Resitasi, Metode Kerja
Kelompok, Metode Demonstrasi dan Eksperimen, Metode sosiodrama
(role-playing), Metode problem solving, Metode sistem regu (team
teaching), Metode latihan (drill), Metode karyawisata (Field-trip), Metode
survai masyarakat, dan Metode simulasi. Untuk lebih jelasnya, penulis
uraikan sebagai berikut:
1). Metode ceramah adalah penuturan bahan pelajaran secara lisan.
Metode ini tidak senantiasa jelek bila penggunaannya betul-betul
disiapkan dengan baik, didukung dengan alat dan media, serta
memperhatikan batas-batas kemungkinan penggunaannya. Me