• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Supervisory Coaching Behaviour Dengan Work Engagement Pada Salesperson

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Antara Supervisory Coaching Behaviour Dengan Work Engagement Pada Salesperson"

Copied!
156
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA SUPERVISORY COACHING

BEHAVIOUR DENGAN WORK ENGAGEMENT PADA

SALESPERSON

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan

Ujian Sarjana Psikologi

Oleh :

CHRISTIANA SARAGIH

091301098

FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)
(3)
(4)

Hubungan antara supervisory coaching behaviour dengan work engagement

pada salesperson

Christiana Saragih dan Vivi Gusrini Rahmadani Pohan

ABSTRAK

Perusahaan dituntut memiliki pengelolaan yang baik agar mampu bersaing

dalam dunia industri dan salah satu hal yang paling penting dalam suatu

organisasi atau perusahaan yaitu keberadaan Sumber Daya Manusia sebagai

karyawan. Karyawan yang bekerja hendaknya memiliki engagement pada pekerjaannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan

positif antara supervisory coaching behaviour dengan work engagement pada salesperson. Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah 100 orang salesperson yang diambil dengan metode accidental sampling. Data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan skala supervisory coaching behaviour (r= 0,899) dan skala work engagement (r = 0,861). Hasil analisis data menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara supervisory coaching behaviour dengan work engagement pada salesperson.Metode analisis data yang digunakan adalah analisis korelasi product moment pearson. Hasil analisis data diperoleh

nilai rxy= 0,278 (p<0,05).

(5)

The relationship between the supervisory coaching behaviour with work

engagement on salesperson

Christiana Saragih and Vivi Gusrini Rahmadani Pohan

ABSTRACT

Companies are required to have proper management in order to compete in

the industry and one of the most important thing in an organization or company

that is the presence of Human Resources as employee. Employees who work

should have engagement at work. This study aims to determine whether there is a

positive relationship between supervisory coaching behavior with work

engagement on salesperson. The subjects used in this study were 100 sales people

that was taken by accidental sampling method. Research data was collected using

supervisory coaching behavior scale (r = 0.899) and the scale of work engagement

(r = 0.861). Result of data analysis showed that there is a positive relationship

between supervisory coaching behaviour with work engagement on salesperson. Data analysis methods used are pearson product moment correlation analysis. The

results of the analysis of data obtained by the value of rxy = 0.278 (p <0.05).

(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,

atas kasih dan karunia-Nya yang telah memampukan saya dalam menyelesaikan

skripsi ini. Penyusunan skripsi ini guna memenuhi salah satu syarat untuk

menyelesaikan pendidikan di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara serta

meraih gelar Strata 1 (S1).

Penulis menyadari keberhasilan penulisan skripsi ini dapat terwujud berkat

bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, saya ingin menyampaikan rasa

hormat dan ucapan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu saya

selama proses penyelesaian skripsi ini dan juga selama menempuh pendidikan di

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, yaitu kepada:

1. Prof. Dr. Irmawati, psikolog selaku dekan Fakultas Psikologi yang telah

memberikan dukungan yang terbaik untuk kesuksesan seluruh mahasiswa

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Vivi Gusrini R. Pohan, Msc.MA, Psi selaku dosen pembimbing skripsi

yang dengan sabar telah memberikan ilmu, saran, dan arahan yang sangat

bermanfaat dan bersedia meluangkan waktu untuk membimbing saya

sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini.

3. Kak Siti Zahreni,M.Psi, Psi dan kak Rahmi Putri Rangkuti,M.Psi,Psi

selaku dosen penguji yang sudah memberikan saran dan masukan yang

sangat membangun pada penelitian saya. Terima kasih untuk bantuan dan

(7)

4. Ibu Meutia Nauly, M.Si, selaku dosen pembimbing akademik yang telah

memberikan saran dan motivasi selama masa perkuliahan di Fakultas

Psikologi.

5. Dosen-dosen pengajar di Fakultas Psikologi yang tidak mungkin saya

sebutkan namanya satu per satu. Terima kasih telah memberikan ilmu

yang sangat bermanfaat untuk saya.

6. Kedua orang tua saya yang selalu setia memberikan saya dukungan,

semangat dan yang tiada henti-hentinya mendoakan saya.

7. Saudara-saudara saya yang tercinta, adik saya Johny R.F Saragih, Jefry I.

Saragih, dan Maria E. Saragih, terima kasih buat doa, dan dukungannya.

8. Pihak perusahaan Bumi Putera dan Mega pratama general insurance, Auto 2000 atas izin yang diberikan dalam melakukan pengambilan data di

perusahaan.

9. Sahabat-sahabat saya terkasih, Lia, Katriin, Susy, Rani, Ory dan Rebekka

yang selalu memberikan semangat, masukan dan setia menemani saya.

Terima kasih untuk semuanya.

10.Sahabat-sahabat saya yang heboh, Ira P. Simarmata, Surya R. Situngkir,

dan Sinta N. Sipayung yang selalu memberikan tawa, dan keceriaan dalam

hidup saya. Terimakasih untuk setiap sukacita yang kita nikmati bersama.

11.Kelompok tumbuh bersama Zealrocks, kak Rini, Katriin, Susy dan Ory,

terima kasih setiap doa kalian bahkan juga semangat yang diberikan.

Untuk Kelompok tumbuh bersama Renovatio, bang Juppa, bang Armen,

(8)

12.Kelompok kecil Misericordias, Tefan, Ana, Melva, dan Ramot.

Terimakasih untuk dukungan dan doa kalian untuk kakak, Kelompok kecil

Aufklarung, Paras dan KPIPAku, Ria, Yunike, Devi, Flora dan Utary.

Terimkasih untuk semua yang kalian berikan.

13.Teman-teman koordinasi UKM KMK USU UP. Psikologi mulai dari

periode tahun 2011-2014, terkhusus untuk periode 2014, Rani Ketaren,

Rahel, Ester, Grace, Friska, Melfa, Mona, Kristin, Irvine dan Nirmay,

terimakasih untuk setiap doa, nasehat dan dukungan kalian. Mari

bersama-sama tetap taat dan setia.

14.Teman-teman angkatan 2009, kita telah melewati empat tahun ini

besama-sama, terima kasih untuk kebersamaan kita.

Akhir kata, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak

terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini

membawa manfaat bagi kita semua.

Medan, 15 Agustus 2014

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II LANDASAN TEORI A. Work Engagement ... 12

1. Definisi Work Engagement ... 12

2. Aspek-Aspek Work Engagement ... 15

3. Faktor-Faktor yang menyebabkan Work Engagement ... 16

B. Supervisory coaching behavior ... 18

1. Definisi Supervisory coaching behavior ... 18

2. Prinsip dasar dalam coaching ... 23

C. Salesperson ... 25

(10)

D. Hubungan antara supervisory coaching behavior dengan work

engagemen ... 27

E. Hipotesis Penelitian ... 29

BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel ... 30

B. Definisi Operasional Variabel ... 31

1. Work Engagement ... 31

2. Supervisory coaching behavior ... 31

C. Lokasi Penelitian ... 32

D. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel ... 32

1. Populasi ... 32

2. Sampel Penelitian ... 32

3. Metode Pengambilan Sampel ... 34

E. Metode Pengumpulan Data ... 34

1.Kolom Isian Data Pribadi ... 35

2.Skala ... 35

a. Work Engagement ... 35

b. Skala Supervisory coaching behavior ... 37

F. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 38

1. Validitas Alat Ukur ... 38

2. Uji Daya Beda Aitem ... 39

(11)

G. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 41

1. Hasil Uji Coba Skala Work Engagement ... 41

2. Hasil Uji Coba Skala Supervisory Coaching Behaviour... 43

H. Prosedur Penelitian ... 45

1.Persiapan Penelitian ... 45

2. Uji coba alat ukur ... 45

3. Revisi alat ukur ... 46

4. Pelaksanaan penelitian ... 46

I. Metode Analisa Data ... 47

1. Uji Normalitas ... 47

2. Uji Linearitas ... 47

BAB IV HASIL DAN INTERPRETASI A. Hasil Penelitian ... 49

1. Hasil Uji Asumsi ... 49

a. Uji normalitas ... 49

b. Uji Linearitas ... 50

2. Hasil Utama Penelitian ... 51

3. Kategorisasi hasil penelitian ... 52

a. Kategorisasi skor skala work engagement ... 52

(12)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 59

B. Saran ... 59

1. Saran Metodologis ... 60

2. Saran Praktis ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 62

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.Blue Print Skala Work Engagement ... 36

Tabel 2.Blue Print Skala Supervisory Coaching Behaviour ... 38

Tabel 3. Distribusi aitem skala work engagemet setelah uji coba ... 42

Tabel 4.Distribusi skala Supervisory Coaching Behaviour setelah uji coba.. 44

Tabel 5. Hasil uji Normalitas dengan One Sample Kolmogorov-Smirnov ... 49

Tabel 6. Hasil Pengujian Linearitas ... 50

Tabel 7. Hasil Model Summary Pada Analisa Pearson Correlation ... 51

Tabel 8. Nilai Empirik dan Nilai Hipotetik Work Engagement ... 52

Tabel 9. Kategorisasi Work Engagement Mean Hipotetik ... 53

Tabel 10. Nilai Empirik dan Hipotetik Supervisory Coaching Behaviour ... 54

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran A. Uji Validitas Isi ... 69

Lampiran B. Skala Uji Coba ... 95

Lampiran C. Uji Daya Beda dan Reliabilitas Aitem ... 105

Lampiran D. Skala Penelitian ... 114

Lampiran E. Hasil Olah Data Penelitian ... 123

(15)

Hubungan antara supervisory coaching behaviour dengan work engagement

pada salesperson

Christiana Saragih dan Vivi Gusrini Rahmadani Pohan

ABSTRAK

Perusahaan dituntut memiliki pengelolaan yang baik agar mampu bersaing

dalam dunia industri dan salah satu hal yang paling penting dalam suatu

organisasi atau perusahaan yaitu keberadaan Sumber Daya Manusia sebagai

karyawan. Karyawan yang bekerja hendaknya memiliki engagement pada pekerjaannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan

positif antara supervisory coaching behaviour dengan work engagement pada salesperson. Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah 100 orang salesperson yang diambil dengan metode accidental sampling. Data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan skala supervisory coaching behaviour (r= 0,899) dan skala work engagement (r = 0,861). Hasil analisis data menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara supervisory coaching behaviour dengan work engagement pada salesperson.Metode analisis data yang digunakan adalah analisis korelasi product moment pearson. Hasil analisis data diperoleh

nilai rxy= 0,278 (p<0,05).

(16)

The relationship between the supervisory coaching behaviour with work

engagement on salesperson

Christiana Saragih and Vivi Gusrini Rahmadani Pohan

ABSTRACT

Companies are required to have proper management in order to compete in

the industry and one of the most important thing in an organization or company

that is the presence of Human Resources as employee. Employees who work

should have engagement at work. This study aims to determine whether there is a

positive relationship between supervisory coaching behavior with work

engagement on salesperson. The subjects used in this study were 100 sales people

that was taken by accidental sampling method. Research data was collected using

supervisory coaching behavior scale (r = 0.899) and the scale of work engagement

(r = 0.861). Result of data analysis showed that there is a positive relationship

between supervisory coaching behaviour with work engagement on salesperson. Data analysis methods used are pearson product moment correlation analysis. The

results of the analysis of data obtained by the value of rxy = 0.278 (p <0.05).

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan dalam dunia industri dan organisasi, menuntut setiap

perusahaan memiliki pengelolaan yang baik untuk memantapkan persaingan

dalam dunia industri dan organisasi (Lingtangsari, Yusuf & Priyatama, 2012).

Salah satu hal yang paling penting dalam suatuorganisasi atau perusahaan yaitu

keberadaan sumber daya manusia. Sumber daya manusia dipandang sebagai aset

perusahaan yang penting, karena manusia merupakan sumber daya yang dinamis

dan selalu dibutuhkan dalam tiap proses produksi barang dan jasa

(Nasution,2009), karena itu perusahaan perlu membuat strategi dan kebijakan

dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

Strategi ataupun kebijakan yang dibuat oleh perusahaan hendaknya sesuai

dengan harapan karyawan karena jika kebijakan perusahaan tidak sesuai dengan

harapan karyawan akan membawa dampak buruk pada sikap kerja karyawan

(Nasution, 2009), bahkan tidak hanya itu kegagalan mengelola sumber daya

manusia dapat mengakibatkan timbulnya gangguan dalam pencapaian tujuan

dalam perusahaan, baik dalam kinerja, profit, maupun kelangsungan hidup

perusahaan itu sendiri (Rayadi, 2012). Maka, demi tercapainya keberhasilan

perusahaan, sangat diperlukan usaha yang tepat, dalam rangka mempertahankan

(18)

karyawan akan secara sadar memberikan kinerja terbaik dari dirinya kepada

perusahaan (Nusatria, 2011).

Karyawan yang merasa nyaman dan senang menimbulkan pandangan yang

positif terhadap pekerjaan mereka sehingga muncul keterikatan (work engagement) terhadap pekerjaan mereka. Keterikatan individupada pekerjaaan merupakan kunci keberhasilan dan profitabilitas organisasi (Ott dalam Piartrini,

2011), tidak hanya itu denganmenumbuhkan keterikatan karyawan pada pekerjaan

(work engagement) organisasi dapatmeningkatkan kualitas, produktivitas dan efisiensi operasional lebih tinggi (Piartrini, 2011). Riset menunjukan bahwa

karyawan yang terikat (engaged employee) merupakan karyawan yang lebih produktif (Gallup dalam Nusatria, 2011).

Keterikatan (work engagement) pada perusahaan menjadi ciri utama keberhasilan perusahaan dalam menangani masalah sumber daya manusia

(Lingtangsari, Yusuf & Priyatama, 2012). Menurut Schaufeli & Bakker (2003)

work engagement adalah keadaan motivasional yang positif yang dikarakteristikkan oleh vigor (semangat), dedication (dedikasi), dan absorption (seberapa jauh karyawan menghayati pekerjaannya).

Karyawan yang memiliki keterikatan (work engagement) tinggi pada pekerjaaannya menunjukkan perilaku positif sebagai berikut yaitu; menyatakan

hal yang positif tentang visi, misi dan kegiatan organisasi pada calon karyawan

potensial dan calon pelanggan potensial; memutuskan untuk bergabung dengan

organisasi tertentu dengan mengabaikan kesempatan berkarya dan mengekploitasi

(19)

dengan mengerahkan kemampuan dan potensi untuk mencapai sasaran

kerja dan bersedia melakukan kerja lembur, dan prakarsa baru dalam mengatasi

masalah yang dihadapi unit kerja/organisasi (Piartrini, 2011).

Engagement dibangun melalui proses, butuh waktu yang panjang sertakomitmen yang tinggi dari pemimpin (Mujiasih & Ratnaningsih, 2012). Di

dalam membangun engagement, peran pemimpin adalah dapat meningkatkan motivasi, kepuasan kerja dan komitmen serta dapat mengurangi tingkat stress

kerja karyawan. Tujuan dan efektifitas suatu organisasi akan tercapai apabila

kepemimpinan yang ada berjalan dengan baik (Reksohadiprodjo & Handoko

dalam Mujiasih, dkk., 2012).

Dalam struktur kepemimpinan di perusahaan terdapat beberapa level

manajemen, supervisi adalah level pertama dari manajemen dalam perusahaan.

Walaupun defenisi dari supervisi sederhana namun tugas dari seorang supervisor sangat kompleks (Rue & Byars, 2007). Supervisor merupakan first line manager yang bertanggung jawab langsung pada operasional di lapangan (Tobing&

Napitupulu, 2011). Seorang supervisor harus belajar untuk membuat keputusan, komunikasi yang baik, merencanakan dan memotivasi karyawan (Rue & Byars,

2007).

Taylor (dalam Certo, 2007) menunjukkan bahwa supervisor dan manager dapat meningkatkan efisiensi dengan mengarahkan bagaimana karyawan

(20)

untuk memperlakukan karyawan secara adil, membuat instruksi yang jelas, dan

membawa kekhawatiran karyawan untuk manajemen yang lebih tinggi

2007).

Supervisor tidak hanya harus memiliki kompetensi teknis yang kuat di bidangnya, namun juga harus memiliki kompetensi manajerial dan leadership yang memadai, serta kemampuan komunikasi yang baik. Kompetensi tersebut

mutlak dimiliki karena setiap supervisor harus mampu untuk memimpin dan membangun tim kerja yang kuat agar sasaran pekerjaan dapat tercapai dengan

maksimal(Tobing & Napitupulu, 2011).Hasil survey yang terdapat dalam

karyawan berhenti karena tidak menyukai supervisor mereka (The Business Research Lab, 2000). Hal ini menunjukkan peran seorang atasan atau supervisor dalam mengelola kinerja karyawan sangatlah krusial.

Dalam melakukan perannya sebagai seorang atasan, supervisor ikut dalam penentuan tujuan yang akan dicapai, membantu memecahkan masalah,

menyediakan dukungan sosial dan material serta memberikan feedback atas kinerja bawahan (Gemilang, 2007). Hal ini menunjukkan adanya perilaku

coaching yang ditunjukkan oleh supervisor. Coaching merupakan salah satu tugas seorang supervisor agar mampu mengelola kinerja karyawannya secara efektif (Nugroho, Hasanuddin & Brasit, 2011). Coaching adalah proses pengarahan yang dilakukan atasan/senior untuk melatih dan memberikan orientasi kepada

(21)

dengan peningkatan skill.Coaching menguntungkan dua pihak, yaitu : pemimpin dan pengikut (atasan dan bawahan), organisasi dan karyawan (Seger, 2007).

Seringkali terjadi pemaknaan yang tumpang tindih antara coaching dengan counseling dan mentoring. Pasmore (dalam Kosmaya, 2012) mengatakan coaching merupakan sebuah metode yang membantu karyawan untuk meningkatkan, mengembangkan, mempelajari keterampilan baru, dan mencapai

tujuan; counseling merupakan sebuah proses yang menekankan pada pemberian solusi dan saran untuk meningkatkan atau mengembangkan diri; mentoring merupakan proses yang digunakan individu yang terlatih dalam menyediakan

arahan dan saran bagi karyawan untuk mengembangkan karir. Atasan perlu

mengetahui hal ini agar dapat melakukannya dengan tepat.

Menurut Fielden (2005) coaching berpusat membuka potensi seseorang untuk memaksimalkan kinerjanya. Fokus pada meningkatkan kinerja dan

pengembangan keterampilan adalah kunci coaching yang efektif. Dalam melakukan coaching tidak selalu mengatakan kepada seseorang apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya. Kadang hanya mengawasi apa yang

sedang dilakukan dan menasihati bagaimana melakukannya dengan lebih baik.

Coaching tidak hanya membantu untuk meningkatkan kinerja karyawan dan penggunaan keterampilan dan kemampuan yang efektif, tetapi juga dapat

membantu meningkatkan kepuasan kerja dan motivasi (Fielden, 2005).Oleh

karena itu, berkenaan dengan hal-hal di atas, dapat dilihat bahwa seorang

(22)

oleh supervisor kepada karyawan utuk menunjukkan bahwa mereka dihormati dan dihargai ( Goodstone dan Diamante,1998; Hargrove, 1995; Hudson, 1999 dalam

Ellinger, Ellinger, & Keller, 2005). Supervisory coaching behavior adalah bagian dari hubungan antara karyawan dan supervisor dari hari ke hari. Goelman (2000, dalam Ellinger. dkk, 2005) mengatakan bahwa gaya coaching dalam kepemimpinan masih belum cukup berpengaruh di banyak organisasi.

Karyawan dalam penelitian ini dimaksudkan kepada salesperson yang melakukan kegiatan promosi yang langsung kepada sasaran yaitu penjualan secara

tatap muka (personal selling).Salesperson merupakan kunci untuk mendapatkan keuntungan bagi perusahaan. Salesperson merupakan aset, ujung tombak atau dapat dikatakan sebagai denyut nadi sebuah perusahaan. Tanpa mereka maka roda

perusahaan tidakakan berputar (Trimahanani, 2013). Menurut Lucas,

Parasuraman, Davis dan Enis (dalam Gunawan, Premanto & Sulistiawan, 2013)

dikatakan bahwa salesperson berbeda dengan jabatan lain karena salesperson dituntut untuk melakukan banyak interaksi, rentan konflik baik dengan

perusahaan atau dengan konsumen, serta penilaian kinerja yang lebih berdasarkan

pada output pekerjaaan (pencapaian target). Karakteristik-karakteristik itulah yang

membuat salesperson memiliki tingkat turnover yang cukup signifikan hingga mengakibatkan rendahnya engagement salesperson pada pekerjaannya.

Ketika seorang atasan meluangkan waktu untuk melakukan coaching kepada anggota timnya, maka itu merupakan investasi yang sangat berharga yang

(23)

pendekatan yang bersifat ’memanusiakan’ mereka dibandingkan sekedar

menganggapnya sebagai ’mesin’ pencetak keuntungan. Oleh karena itu atasan

sangat perlu untuk menunjukkan perilaku coaching(Trimahanani, 2013).

Permasalahan yang seringkali terjadi pada saat salespersonmelakukan pekerjaannya adalah munculnya keraguan saat ingin bertemu pelanggan atau

sedang kanvasing ke calon pelanggan sehingga membuat salesperson membatalkan kunjungannya, pembatalan terjadi lebih dikarenakan salesperson tiba-tiba menjadi down secara mental dan hilang semangat dikarenakan muncul pikiran-pikiran negatif seperti penolakan, membayangkan pelanggan akan

terganggu, rasa tidak enak, merasa tidak cocok, kehilangan mood dan ketakutan-ketakutan lainnya, begitupun ketika ingin melakukan follow up ke pelanggan atau prospek baru (Purnomo, 2013).

Salesperson pada perusahaan memiliki peran yang sangat penting karena mereka dituntut untuk dapat memenuhi target penjualan sekaligus membangun

relationship dan citra perusahaan melalui pelayanan yang mereka berikan pada konsumen. Peran membangun citra dan relationship seringkali bertentangan dengan tugasnya untuk mencapai target penjualan. Peran tersebut juga seringkali

dirasa berat dan membingungkan sehingga berpotensi menimbulkan stress yang

dapat memberi pengaruh negatif pada kinerjanya (Purwanto, 2002). Pengaruh

(24)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti di perusahaan

asuransi diketahui bahwa tantangan dan tuntutan ini seringkali membuat ‘agen’

tidak betah dan tidak engaged dengan pekerjaan mereka. Sehingga mengakibatkan tingginya tingkat turnover pada ‘agen’. Hal ini tentunya membawa dampak negatif terhadap perusahaan dimana perusahaan tidak dapat mencapai target yang

telah ditentukan.

Pemimpin merupakan seseorang yang memiliki peran penting terkait

dengan masa depan yang akanterjadi pada organisasi tersebut. Peran kepemimpinan

merupakan salah satu faktor pembentuk keterikatan karyawan di dalam

organisasi(Mujiasih & Ratnaningsih, 2012).Dalam penelitian yang dilakukan oleh

Andaria & Juswo (2002) menemukan bahwa supervisor memberikan pengaruh positif terhadap kegiatan penjualan yang dilakukan oleh salesperson.

Supervisory coachingbehavior merupakan hal yang penting bagi karyawan untuk dapat engaged dalam organisasi, dengan adanya coaching karyawan dapat mencapai prestasi kerja yang optimal, namun seperti yang

dikemukakan oleh Goelman (2000, dalam Ellinger. dkk, 2005) mengatakan bahwa

coaching dalam kepemimpinan masih belum cukup berpengaruh di banyak organisasi dan dalam kenyataannya seringkali supervisor tidak dapat memberikan ataupun menunjukkan perilaku coaching yang baik kepada karyawan mereka. Berdasarkan kondisi diatas, maka Peneliti tertarik ingin mengetahui apakah ada

(25)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang pemikiran yang telah diuraikan diatas, maka

masalah penelitian ini adalah apakah ada hubungan positif antara supervisory coachingbehaviour dengan work engagement pada salesperson?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan sebelumnya, maka

tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar hubungan

supervisory coaching behaviour dengan work engagement pada salesperson. D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengembangan ilmu

pengetahuan di bidang psikologi, khususnya dalam Psikologi Industri

dan Organisasi dalam aplikasinya terutama mengenai hubungan antara

supervisory coaching behaviour dengan work engagement pada salesperson. Sehingga dapat dijadikan sumber informasi untuk penelitian-penelitian berikutnya yang sama atau berhubungan dengan

(26)

2. Manfaat Praktis

a.Dapat memberikaninformasi tentang seberapa besar hubungan

supervisory coaching behaviour dan work engagement pada salesperson

b. Dapat memberikan masukan kepada perusahaan mengenai hubungan

supervisory coaching behaviour dan work engagement pada salesperson, sehingga perusahaan dapat meningkatkan work engagement pada salesperson.

E. Sistematika Penulisan

Penelitian ini terdiri dari lima bab dan setiap bagiannya terdiri dari sub-sub

bab yaitu :

BAB I : Pendahuluan

Berisikan uraian mengenai latar belakang penelitian, perumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika

penulisan.

BAB II : Tinjauan Pustaka

Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam

pembahasan, berisi uraian penjelasan mengenai variabel yang

digunakan dalam penelitian ini. Adapun variabel yang digunakan

(27)

BAB III: Metode Penelitian

Bab ini berisi uraian mengenai metode penelitian, meliputi identifikasi

variabel penelitian, definisi operasional dari work engagementdan supervisory coaching behaviour, populasi dan sampel, metode pengambilan data, uji coba alat ukur, prosedur pelaksanaan dan metode

analisa data.

BAB IV : Hasil dan Interpretasi

Bab ini berisi analisa data dan pembahasan mengenai laporan hasil

penelitian yang meliputi uji asumsi, yaitu uji normalitas dan linearitas,

hasil utama penelitian, dan pembahasan data-data penelitian ditinjau

dari teori-teori yang relevan.

BAB V : Kesimpulan dan Saran

Bab ini berisi kesimpulan dan saran dari hasil penelitian dan saran

(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Work Engagement

Saat ini perusahaan mengharapkan karyawan mereka menjadi proaktif,

inisiatif, bertanggungjawab secara profesional dan berkomitmen tinggi pada

standar peforma. Perusahaan membutuhkan karyawan yang penuh semangat dan

berdedikasi seperti: seseorang yang engageddengan pekerjaan mereka (Bakker & Leiter, 2010).

1. Definisi Work Engangement

Engagement pertama sekali diungkapkan oleh Kahn.Kahn (1990) mengungkapkan bahwa anggota-anggota dari suatu organisasi akan

mengikat diri dengan pekerjaannya dan kemudian mereka akan bekerja

dan mengekspresikan diri secara fisik, kognitif dan emosional selama

memerankan performanya. Aspek kognitif mengacu pada keyakinan

pekerja terhadap organisasi, pemimpin dan kondisi pekerjaan.Aspek

emosional mengacu pada bagaimana perasaan pekerja apakah positif atau

negatif terhadap organisasi dan pemimpinnya.Sedangkan aspek fisik

mengenai energi fisik yang dikerahkan oleh karyawan dalam

melaksanakan perannya.

(29)

high level of energy and strong identification with one’s work” dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa work engagement adalah perasaan positif yang dikarakteristikkan oleh semangat dan kekuatan seseorang

dalam bekerja. Harter et al. (dalam Wulandari, 2011) mendefinisikan work engagement sebagai keterlibatan individual dan kepuasannya sebagai wujud antusiasme kerja.

Work engagement merupakan sebuah motivasi dan pusat pikiran positif yang berhubungan dengan pekerjaan yang ditandai dengan vigor, dedication dan absorption (Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, & Bakker, 2002). Vigordikarakteristikkan dengan level energi yang tinggi dan ketahanan saat bekerja.Dedicationmenunjukkan rasa terlibat yang tinggi dalam suatu pekerjaan, dan mengalami rasa kebermaknaan dan

atusiasme. Absorption dikarakteristikkan oleh konsentrasi yang penuh dan merasa senang ketika bekerja.Definisi inifokus pada pengalaman

karyawan dalam aktivitas kerjanya (Bakker & Leiter, 2010).

Seseorang yang engaged menyatu dengan peran mereka, tanpa merugikan orang lain(Wulandari, 2011). Terdapat juga pandangan lain

mengenai engagement yaitu dengan mengasumsikan engagement sebagai lawan dari burnout. Bertentangan dengan burnout, karyawan yang engaged memiliki hubungan yang energikdan efektif dengan aktivitas pekerjaan merekadan mereka mampu menangani dengan baik tuntutan

(30)

Lockwood (dalam Wulandari, 2011) mendefinisikan engagement sebagai pernyataan oleh individu secara emosional dan intelektual

memiliki komitmen terhadap organisasi, yang diukur melalui tiga perilaku

utama: 1) berbicara positif mengenai organisasi kepada rekan kerja dan

pekerja berpotensi serta pelanggan, 2) memiliki gairah yang intens untuk

menjadi anggota organisasi, meski sebenarnya mendapat peluang kerja di

tempat lain, 3) menunjukkan usaha ekstra dan perilaku yang memiliki

kontribusi terhadap kesuksesan organisasi.

Work engagement merupakan sebuah konsep manajemen bisnis yang menyatakan bahwa karyawan yang memiliki engagement tinggi adalah karyawan yang memiliki keterlibatan penuh dan memiliki

semangat bekerja tinggi dalam pekerjaannya maupun dalam hal-hal yang

berkaitan dengan kegiatan perusahaan jangka panjang (Mujiasih &

Ratnaningsih, 2012). Engagement menunjukkan kegigihan dan meliputi afektif-kognitif yang tidak hanya fokus pada beberapa objek, kejadian,

individu atau perilaku (Schaufeli & Bakker, 2004).

Berdasarkan definisi-definisi yang telah dikemukakan diatas dapat

disimpulkan definisi work engagement adalah sebuah motivasi dan pusat pikiran positif yang berhubungan dengan pekerjaan yang ditandai dengan

(31)

2. Aspek- Aspek Engagement

Schaufeli dan Bakker (2003) mengkonsepkan aspek-aspek dari

engagement, yaitu, sebagai berikut; a. Vigor (semangat)

Vigor ditandai oleh tingginya tingkat energi dan ketahanan mental saat bekerja, kemauan untuk menginvestasikan upaya dalam pekerjaan

seseorang, dan ketekunan juga dalam menghadapi kesulitan. Karyawan

yang mendapat skor tinggi padavigor (semangat)selalu memiliki banyak energi, semangat dan stamina saat bekerja, sedangkan merekayang

mendapat skor rendah pada vigor (semangat )memiliki sedikit energi, semangat dan stamina dalam mengerjakan pekerjaan mereka.

b. Dedication (dedikasi)

Dedikasi ditandai dengan rasa penting, antusiasme, inspirasi,

kebanggaan, dan tantangan.Karyawan yang mendapat skortinggi pada

dedikasi memiliki identifikasi yang kuat dengan pekerjaan mereka

karena memaknainya, inspiratif, dan menantang. Selain itu,

merekabiasanya merasa antusias dan bangga tentang pekerjaan

mereka.Karyawan yang mendapat skor rendah tidak mengidentifikasi

diri dengan pekerjaan mereka karena mereka tidak memaknainya,

inspirasi, atau menantang, apalagi, mereka merasa tidak antusias atau

(32)

c. Absorption (absorbsi)

Absorbsi ditandai dengan konsentrasi penuh dan bahagia dalam

pekerjaan, dimana waktu berlalu dengan cepat dan sulit untuk

memisahkan diri dari pekerjaan.Karyawan yang mendapat skor tinggi

pada absorbsi merasa bahwa mereka menikmati pekerjaan mereka,

mereka merasa tenggelam oleh pekerjaan mereka dan memiliki

kesulitan untuk memisahkan dari pekerjaan mereka. Akibatnya, segala

sesuatu di sekitar mereka dilupakan dan waktu terasa cepat.Karyawan

yang mendapat skor rendah pada absorbsi tidak merasa menikmati atau

tenggelam dalam pekerjaan mereka, mereka tidak mengalami kesulitan

memisahkan dari itu, mereka juga tidak lupa segala sesuatu di sekitar

mereka, termasuk waktu.

3. Faktor-faktor yang Menyebabkan Work Engagement

Faktor-faktor yang menjadi penyebab utama work engagement,yaitu: 1. Job demands

Seperti psikologis, sosial, atauaspek organisasi yang memerlukan

kelanjutan upaya fisikdan / atau psikologis(misalnya, kognitifatau

emosional) dan karena itu terkait dengan biaya fisiologis dan/ atau

psikologis tertentu (Schaufeli & Bakker, 2004). Berdasarkan

Demerouti, dkk (2001, dalam Xanthopoulou, Bakker, Demerouti,

(33)

demands(tuntutan emosi), emotional dissonance (ketidaksesuaian emosi), dan organizational changes (perubahan terkait organisasi). 2. Job Resources

Job resources (sumber dayapekerjaan) merujuk kepada psikologis, sosial, atau aspek organisasi pekerjaan yang baik / atau(1)

mengurangi tuntutan pekerjaan dan biaya fisiologis dan psikologis

yang terkait, (2) fungsional dalam mencapai tujuankerja, (3)

merangsang pertumbuhan pribadi, pembelajaran dan

pengembangan. Job resources (sumber daya pekerjaan) meliputi empat faktor, yaitu :autonomy (otonomi), social support (dukungan sosial), supervisory coaching (bimbingan dari atasan), dan opportunities for professional development (kesempatan untuk berkembang secara profesional).Peran atasan sangat penting dalam

meningkatkan engagement karyawannya. Dalam meningkatkan engagement karyawannya supervisor menunjukkan perilaku mau mendengarkan, memberikan umpan balik kepada karyawan atau

disebut sebagai supervisory coaching behaviour . 3. Personal Resources

Merupakan aspek diri dan pada umumnya dihubungkan

dengan kegembiraan dan perasaan bahwa diri mampu

memanipulasi, mengontrol dan memberikan dampak pada

(34)

(Demerouti dkk, 2001, dalam Xanthopoulou, Bakker, Demerouti,

& Schaufeli, 2007).

Beberapa tipikal sumber daya pribadi antara lain: Self-efficacy (keyakinan diri) merupakan persepsi individu terhadap kemampuan dirinya untuk melaksanakan dan menyelesaikan suatu

tugas/tuntutan dalam berbagai konteks, Organizational-based self-esteem didefinisikan sebagai tingkat keyakinan anggota organisasi bahwa mereka dapat memuaskan kebutuhan mereka dengan

berpartisipasi dan mengambil peran atau tugas dalam suatu

organisasi (Chen, Gully, & Eden, 2001, dalam Xanthopoulou,

Bakker, Demerouti, & Schaufeli, 2007). Optimism (optimism) terkait dengan bagaimana seseorang meyakini bahwa dirinya

mempunyai potensi untuk bisa berhasil dan sukses dalam

hidupnya.

B. Supervisory CoachingBehaviour

1. Definisi Supervisory Coaching Behaviour

Seorang pemimpin perusahaan perlu mendorong meningkatkan

manajemen yang people oriented. Pemimpin yang baik meyakini bahwa karyawan lebih membutuhkan atasan yang mendorong kepada

pengembangan diri (Rogers, dalam Ellinger, Ellinger, & Keller 2005),

dibandingkan seorang atasan yang dapat menjawab semua masalah dan

(35)

Dalam struktur kepemimpinan di perusahaan terdapat beberapa

level manajemen, supervisi adalah level pertama dari manajemen dalam

perusahaan. Supervisor merupakan first line manager yang bertanggungjawab langsung pada operasional di lapangan (Tobing &

Napitupulu, 2011).Supervisor bertanggungjawab menghubungkan manajemen yang lebih tinggi kepada karyawan dan memperlakukan

karyawan secara adil, membuat instruksi yang jelas, dan menyampaikan

kekhawatiran karyawan untuk manajemen yang lebih tinggi (Certo, 2007).

Seringkali definisi mengenai supervisor dan manajer tumpang tindih dalam perusahaan, manajer adalah orang yg mengatur pekerjaan atau kerja

sama di antara berbagai kelompok atau sejumlah orang untuk mencapai

sasaran, mereka berwenang dan bertanggung jawab membuat rencana,

mengatur, memimpin, dan mengendalikan pelaksanaannya untuk

mencapai sasaran tertentu sedangkan supervisor adalah menghubungkan manajemen yang lebih tinggi kepada karyawan, mereka menjadi jembatan

antara manajer dan bawahannya dalam melaksanakan kebijakan yang telah

dibuat(Cremo dan Felix, 2000).

Supervisor memiliki dampak yang kuat pada kehidupan para karyawan. Hubungan seorang karyawan dengan atasannya sering menjadi

faktor yang paling berpengaruh apakah karyawan merasa dihargai dan

dihormati di tempat kerja. Perasaan dihargai dan dihormati adalah salah

satu faktor terbesar yang mempengaruhi keputusan karyawan untuk tetap

(36)

Coaching merupakan salah satu tugas seorang supervisor agar mampu mengelola kinerja karyawannya secara efektif (Nugroho,

Hasanuddin & Brasit, 2011).Sebagai coach, supervisor mengembangkan rencana untuk memenuhi hasil kinerja dan tujuan departemen dan

organisasi. Mereka harus membuat keputusan taktis sehari-hari yang

mengarahkan staf mereka lebih dekat ketujuan yang diinginkan.Mereka

dapat mengenali bakat dan tahu siapa yang memiliki bakat dan

keterampilan yang dimiliki. Supervisor secara khusus berkaitan dengan menciptakan lingkungan yang memelihara pertumbuhan profesional

(Cremo dan Felix, 2000).

Coaching tergantung pada kepercayaan, oleh karena itu coaching atasan yang sukses menyebabkan perubahan dari command and controlstyle, pada model manajemen yang didasarkan lebih kepada partnership untuk mencapai keberhasilan dan komitmen (Barry, 1992 dalam Ellinger, Ellinger, & Keller 2005).

Coaching berpusat pada membuka potensi seseorang untuk memaksimalkan kinerja sendiri. Fokus pada peningkatan kinerja dan

pengembangan keterampilan adalah kunci untuk coaching yang efektif(Fielden, 2005).Coaching adalah proses membimbing yang dilakukan atasan untuk melatih dan memberikan orientasi kepada

bawahannya tentang realitas ditempat kerja dan membantu mengatasi

(37)

Wilson (dalam Seger, 2007) mengatakan coaching dapat membantu individu atau organisasi untuk meraih kinerja optimal, mengatasi

hambatan dan rintangan terhadap pertumbuhan, dan untuk meraih

tujuan-tujuan spesifik dan tantangan-tantangan sebagai sarana pemenuhan,

pengembangan pribadi dan professional, keseimbangan hidup dan karya,

serta pencegahan. Coaching yang efektif membutuhkan pelatih dan orang dilatih untuk memenuhi peran relatif mereka.

Coaching menjadi alat yang penting dalam proses pengembangan kepribadian dan profesionalitas seseorang, sehingga seorang pemimpin

(atasan) diharapkan mampu menjadi coach yang baik kepada bawahannya (Seger, 2007). Sebagai pimpinan di suatu kantor kemampuan untuk dapat

mengoptimalkan kinerja bawahannya merupakan kebutuhan yang sangat

penting dengan berfokus pada usaha mengatasi segala masalah yang

timbul di tempat kerja melalui mekanisme coaching.

Apabila coaching dilakukan di tempat kerja oleh atasan kepada bawahannya, maka proses coaching dapat merupakan suatu dialog atau komunikasi dua arah antara atasan yang memberikan coaching tersebut dengan bawahannya. Membudayakan coaching di tempat kerja merupakan upaya yang harus dilakukan oleh setiap pimpinan suatu organisasi apabila

menginginkan kinerja organisasi dapat meningkat (Ubaydillah, 2008).

Menurut Grant (dalam Wilson, 2011), coaching adalah sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil, dan

(38)

pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pengembangan pribadi. Oleh

karena itu kemampuan supervisory coachingmeliputi bertanya, mendengar, memberi dan menerima feedback, komunikasi dan motivasi, daripada kemampuan atasan secara tradisional seperti persaingan,

mengontrol, pemecah masalah, dan terlihat lebih ahli (Ellinger, Ellinger, &

Keller 2005)

Coaching ditandai dengan kualitas hubungan yang tinggi antara atasan dan bawahannya.Leader-Member Exchange (LMX) (Agarwal,

Angst dan Magni, 2006), didasarkan pada rasa saling percaya dan peran

modellingsupervisor.LMX adalah teori yang memfokuskan pada interaksi antara pemimpin dan pengikutnya (Zahreni, 2008).Dalam teori ini

menggambarkan bagaimana pemimpin menggunakan kekuasaan mereka

untuk membangun hubungan dari sisi yang berbeda (Dierendonck, Le

Blanc & Breukelen, 2002).LMX tidak hanya melihat sikap dan perilaku

pemimpin dan pengikutnya tetapi menekankan pada kualitas hubungan

yang terbentuk.

Berdasarkan definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa

supervisorycoaching behaviour merupakan perilaku yang ditunjukkan dengan mendengar, memberi atau menerima feedback,dan mengarahkan karyawan untuk meningkatkan peforma kerja yang dilakukan oleh

(39)

2. Prinsip Dasar dalam Coaching

Supervisor perlu melakukan coaching yang efektif, sebelum melakukan proses coaching yang efektif supervisor perlu memiliki beberapa skills, Stone (1999) mengungkapkan lima prinsip coaching (Five coaching principle) yang merupakan dasar atau pondasi yang perlu dipahami oleh coach:

1. Mengumpulkan informasi

Seorang supervisor (coach) harus mendapatkan informasi dari karyawan tanpa membuat karyawan merasa bahwa dia

diinterogasi.Informasi ini sangat penting untuk membuat berbagai

macam keputusan mulai dari menyeleksi karyawan untuk ditugaskan

di jabatan tertentu hingga mengidentifikasi kekurangan karyawan

pada kompetensi tertentu, kesulitas yang dihadapi karyawan,

mengetahui minat dan aspirasi karyawan atau mendesain ulang

pekerjaannya dan mestimulasi kinerja di atas standar.

2. Mendengarkan

Mengajukan pertanyaan yang tepat tidak akan berarti banyak jika

seorang supervisor tidak mendengarkan jawaban karyawan. Seorang supervisor (coach) yang baik harus memiliki kemampuan mendengarkan dengan ”telinga ketiga”, memberikan banyak perhatian

pada tanda-tanda non-verbal dan postur tubuh karyawan sehingga dia

mampu menangkap pesan yang tersirat atau perasaan karyawan ketika

(40)

yang sesuai untuk menunjukkan bahwa dia menghargai pembicaran

yang dilakukan.

3. Menyadari / peka dengan apa yang terjadi di sekitarnya

Seorang supervisor harus sering berbicara dengan karyawannya untuk mengetahui apakah mereka punya masalah moral atau masalah-masalah

lain di tempat kerja yang dapat menurunkan produktivitas atau yang

dapat memicu timbulnya masalah lain atau bahkan menangkap gejala

jika karyawan enggan menyelesaikan pekerjaannya.

4. Mengajar karyawan

Sebagai seorang coach yang baik, seorang supervisor harus memilki kemampuan mengajar baik secara individu maupun kelompok. Bahkan,

sebelumnya dia juga harus mampu melakukan analisis kebutuhan

pelatihan untuk mengetahui kesenjangan kompetensi yang dimiliki

karyawan.

5. Memberikan Umpan Balik

Umpan balik sangat penting dilakukan untuk membantu karyawan

meningkatkan kinerjanya.Seorang supervisor perlu memberikan umpan

balik positif atau apresiasi terhadap hasil kerja karyawan.Jika karyawan

tidak mencapai hasil kerja yang diharapkan, umpan balik konstruktif

perlu disampaikan dengan cara-cara yang kondusif dan berfokus pada

(41)

C. Salesperson

1. Definisi Salesperson

Menurut businesss dictionarysales adalah seorang individu yang menjual barang dan jasa kepada orang lain. Kesuksesan seorang sales person biasanya diukur dengan jumlah penjualan yang ia mampu lakukan selama periode tertentu

dan seberapa baik ia membujuk orang untuk melakukan pembelian. Jika seorang

salesperson dipekerjakan oleh perusahaan, dalam beberapa kasus kompensasi dapat menurun atau meningkat berdasarkan jumlah barang atau jasa yang dijual.

Sedangkan Beberapa ahli seperti Russel Kotler (2000) dan Takt (2003)

dalam (Moningka & Widyarini, 2005) mendefinisikan salesperson daIam kerangkayang lebih modern.Seorang tenaga penjualtidak hanya sekedar menjual

namun merupakanpekerjaan yang sangat penting, karena berhubungan dengan

konsumen, dan interaksinya dapat mempengaruhi kepuasan dan kesetiaan

konsumen.Jadi, salesperson disini adalah individu yang menawarkan suatu produk dalam suatu proses penjualan.Salesperson biasanya melakukan strategi promosi atau penjualan tatap muka (personal selling), menurut Kotler (dalam Nugroho, 2010) penjualan tatap muka adalah sebuah penyajian secara lisan dalam

suatupembicaraan dengan satu atau beberapa pembeli.

Adapun ciri-ciri penjualan tatap muka (personal selling) menurut Djaslim (dalam Nugroho, 2010)adalah :

1. Tatap muka pribadi

Penjualan pribadi yang mempunyai hubungan hidup, langsung dan

(42)

2. Pemupukan hubungan

Dengan penjualan pribadi akan beraneka ragam hubungan, mulai dari

hubungan jual – beli sampai kepada hubungan persahabatan yang erat.

3. Tanggapan

Pembeli lebih tegas dalam mendengarkan dan memberi tanggapan,

sekalipun tanggapannya hanya merupakan ucapan terima kasih.

Permasalahan yang seringkali terjadi pada saat salesperson melakukan pekerjaannya adalah munculnya keraguan saat ingin bertemu pelanggan atau

sedang kanvasing ke calon pelanggan sehingga membuat sales membatalkan kunjungannya, pembatalan terjadi lebih dikarenakan salesperson tiba-tiba menjadi down secara mental dan hilang semangat dikarenakan muncul pikiran-pikiran negatif seperti penolakan, membayangkan pelanggan akan terganggu, rasa tidak

enak, merasa tidak cocok, kehilangan mood dan ketakutan-ketakutan lainnya, begitupun ketika ingin melakukan follow up ke pelanggan atau prospek baru (Purnomo, 2013). Kondisi ini menunjukkan peran supervisor dalam memberikan coaching kepada karyawannya sangatlah penting, sehingga karyawan dapat memiliki engagement terhadap pekerjaan mereka dan dapat mencapai target.

Berdasarkan definisi-definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa

salesperson adalah individu yang menawarkan suatu produk dalam proses penjualan tatap muka untuk merangsang konsumen membeli atau memakai barang

atau jasa yang diproduksi suatu perusahaan, dimana pelaksanaan kegiatannya

(43)

D. Hubungan antara Supervisory Coachingbehaviourdengan Work Engagement

Penelitian yang dilakukan oleh Schaufeli & Bakker (2004) mengenai “job demands, job resources, and their relationship with burnout and engagement: a multi-sample study” menemukan bahwa supervisory coaching yang termasuk dalam job resources memiliki hubungan terhadap engagement. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa supervisory coaching mampu menurunkan burnout pada karyawan.

Penelitian sebelumnya tentang pembinaan terhadap kinerja karyawan

dilakukan oleh Nugroho, Hasanuddin dan Brasit mengungkapkanbahwa ada

hubungan positif antara coaching terhadap motivasi kerja dan juga kinerjaindividual karyawan.Karyawan yang termotivasi memiliki tingkat

energi yang tinggi ketika bekerja, dalam hal ini berhubungan dengan vigor dalam work engagement.

Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Ellinger, Ellinger & Keller (2008)

menemukan bahwa supervisory coaching berhubungan dengan kepuasan kerja dan peforma kerja.Robins (dalam Nasution, 2009) mengatakan istilah

kepuasan kerja (job satisfaction) merujuk ke sikap umum seorang individu terhadap pekerjaannya.Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja tinggi

menunjukkan sikap yang positif terhadap kerja itu, sehingga mereka menjadi

(44)

Penelitian yang dilakukan oleh Xanthopoulou, Bakker, Demerouti, &

schaufeli (2009) juga menemukan hal yang sama mereka menemukan

bahwajob resources, yang salah satu faktornya adalah supervisory coaching memiliki hubungan yang positif dengan work engagement.

Peran supervisor sangat besar terhadap meningkatkan engagement bawahannya, apabila tindakan supervisor menyimpang dari ketentuan organisasi dapat mengakibatkan dampak psikologis yang dialami oleh anggota

organisasi yang bisa menimbulkan rasa tidak nyaman dalam bekerja dan

secara potensial bisa menurunkan engagement karyawan terhadap pekerjaannya (Fielden, 2005).

Perusahaan yang memberi gaji “bersaing” serta fasilitas “wah”, dengan

harapan individu jadi lebih produktif, bisa menampilkan kinerja terbaik.

Namun, upaya ini tidak selalu efektif untuk menumbuhkan spirit, motivasi, kepandaian dan sikap terpuji dari karyawan. Meski sudah diberi gaji diatas

rata-rata, tidak sedikit karyawan yang tetap bertingkah laku tidak produktif,

tidak mandiri, tidak berani mengambil keputusan dan resiko (Purnomo, 2013)

Riset menunjukkan upaya semacam ini tidak ampuh menghasilkan

perubahan perilaku yang bertahan lama, karena motivasinya bersifat eksternal,

bukan dari dalam diri individu. Coaching dengan nuansa komunikasi positif anggota tim terdorong untuk “berubah” tanpa merasa “diubah”, ia akan merasa

dibimbing tanpa merasa “digurui”, dan merasakan “tumbuh” tanpa dikerdilkan

(45)

kepada karyawan agar setiap karyawan dapat merasa engagement dengan pekerjaan mereka dan memberikan performa yang baik untuk perusahaan.

E. Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan sebagai jawaban sementara dalam penelitian ini,

yaitu:

Ada hubungan positif antara supervisory coaching behaviour dengan work engagement pada salesperson, yaitu semakin sering penilaian karyawan terhadap supervisory coaching behaviour atasan maka work engagement pun akan semakin tinggi, demikian sebaliknya, semakin jarang penilaian karyawan

(46)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian ada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk

mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiono, 2010). Metode

penelitian merupakan salah satu elemen penting dalam suatu penelitian, sebab

metode penelitian menyangkut cara yang benar dalam pengumpulan data,analisis

data dan pengambilan keputusan hasil penelitian (Hadi, 2000).

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode korelasional

kuantitatif, dimana penelitian korelasional menurut Azwar (2009) bertujuan untuk

menguji hubungan antara dua variabel.Penelitian ini bertujuan untuk melihat

hubungan antara Supervisory Coaching Behaviour dengan Work Engagement pada salesperson.

A. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel yang hendak diukur dalam penelitian ini adalah :

1. Variabel tergantung

Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah Work Engagement. 2. Variabel bebas

(47)

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Definisi operasional dari kedua variabel dalam penelitian ini adalah :

1. Work Engagement

Work engagement dalam penelitian ini merupakan dorongan kerjayang positif yang dikarakteristikkan dengan adanya semangat dan

energi yang tinggi , bangga dan antusias serta merasa menikmati

pekerjaannya.

Dalam penelitian ini, work engagement dilihat dari skor total keseluruhan dari alat ukur berupa skala work engagement yang disusun berdasarkan aspek-aspek work engagement dari Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, dan Bakker (2003), yaitu vigor, dedication, dan absorbtion dimana semakin tinggi skor totalnya berarti menunjukkan semakin tinggi pula

work engagement dan demikian sebaliknya.

2.Supervisory Coaching Behaviour

Supervisory coaching behaviour dalam penelitian ini adalah penilaian terhadap perilaku supervisor dalam mengumpulkan informasi, mendengarkan, menyadari/ peka dengan kondisi sekitar, mengajar

karyawan dan memberi umpan balik untuk meningkatkan peforma kerja

karyawan.

(48)

dari skor total keseluruhan dari alat ukur berupa skala supervisory coaching behaviour yang disusun berdasarkan prinsip dasar coaching (Stone, 1999) dimana semakin tinggi skor totalnya berarti semakin sering

atasan menunjukkan supervisory coaching behavior. C. Lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan di tiga perusahaan yang memiliki sales sebagai karyawan yaitu Bumi Putera, Mega Pratama General Insurance, Auto 2000 yang berlokasi di Medan-Sumatera Utara.

D. Populasi, Sampel, dan Metode Pengambilan Sampel

1. Populasi

Menurut Hadi (2000), populasi adalah keseluruhan dari

karakteristik atau unit hasil pengukuran objek atau subjek yang berada

pada suatu wilayah dan memenuhi syarat-syarat tertentu berkaitan

dengan masalah penelitian. Sedangkan Sugiyono (2010) menyatakan

populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas :obyek/subyek yang

mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh

peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan. Pada penelitian

ini populasinya adalah seluruh karyawan yang bekerja sebagai salesperson di kota Medan-Sumatera Utara.

2. Sampel

Menurut Hadi (2000), sampel adalah sebagian dari populasi yang

digunakanuntuk menentukan sifat-sifat serta ciri-ciri yang dikendalikan

(49)

penelitian ini, maka subjek penelitian adalah sebagian dari keseluruhan

populasi yaitu sampel.Adapun karakteristik populasi penelitian adalah

sebagai berikut:

1. Pria atau wanita yang yang bekerja sebagai salesperson 2. Usia minimal 20 tahun.

3.Karyawan tetap yang bekerja minimal 1 tahun.

Masa kerja 1 (satu tahun) diasumsikan telah cukup memiliki pemahaman

tentang nilai-nilai, tujuan, dan aturan perusahaannya (McShane &

Glinow, 2000).

Hadi (2000) menyatakan bahwa jumlah sampel yang lebih banyak

akan lebih baik dibandingkan dengan jumlah sampel yang lebih sedikit.

Oleh karena itu, dalam penelitian ini jumlah sampel yang digunakan

diperkirakan sebanyak 100 orang.

Klasifikasi berdasarkan jenis kelamin responden berjenis kelamin

laki-laki (48%) dan (52%) berjenis kelamin perempuan. Sedangkan

klasifikasi berdasarkan usia 20-40 tahun (70%) dan 41-60 tahun (30%).

Dalam penelitian ini subjek digolongkan menjadi 3 kelompok SMA,

diploma dan Srata (S1), klasifikasi berdasarkan tingkat pendidikan SMA

(57%), diploma (13%) dan Strata (30%). Klasifikasi berdasarkan masa

kerja 1-10 tahun (75%), 11-20 tahun (17%), 21-30 tahun (5%), dan 31-40

(50)

3. Metode Pengambilan Sampel

Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel dengan cara

nonprobability sampling, dimana teknik pengambilan sampel yang tidak memberi peluang/kesempatan sama bagi setiap unsur atau anggota

populasi untuk dipilih menjadi sampel (Sugiyono,2010).

Jenis pengambilan sampel adalah accidental sampling (convenience sampling).Menurut Soleh (2005) accidental sampling adalah prosedur sampling dimana sampel dipilih karena faktor kondisi, seperti keberadaan sampel pada tempat dan waktu yang tepat. Sedangkan menurut Sugiyono

(2004) accidental sampling adalah mengambil responden sebagai sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan bertemu

dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel bila orang yang kebetulan

bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel bila orang yang

kebetulan ditemui cocok sebagai sumber data dengan kriteria utamanya

adalah orang tersebut merupakan salesperson. E. Metode dan Alat Pengumpulan Data

Metode penelitian hendaknya disesuaikan dengan tujuan penelitian dan

bentuk data yang akan diambil dan diukur (Hadi, 2000). Data penelitian ini

diperoleh dengan menggunakan lapor diri berupa kolom isian pribadi

(51)

1. Kolom Isian Data Pribadi

Digunakan untuk memperoleh data mengenai usia, jenis kelamin,lama

bekerja dan tingkat tingkat pendidikan terakhir. Dalam hal ini subjek

diminta untuk menuliskannya dalam kolom yang tersedia.

2. Skala

Metode skala digunakan karena data yang ingin diukur berupa konstruk

atau konsep psikologis yang dapat diungkap secara tidak langsung

melalui indikator-indikator perilaku yang diterjemahkan dalam bentuk

aitem-aitem pernyataan (Azwar, 2000).

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan

dua skala, yaitu skala work engagement dan skala supervisory coaching behaviour.

a. Skala Work Engagement

Skala work engagement disusun berdasarkan aspek-aspek dari Schaufeli dkk (2003), yaitu vigor, dedication, dan absorbtion.

Dalam mengisi skala ini, partisipan diminta untuk memilih salah

satu dalam lima alternatif pilihan jawaban yang disusun berdasarkan skala

Likert. Setiap aspek akan diuraikan kedalam sebuah pernyataan favorable dan unfavorable, dimana subjek diberikan lima alternative pilihan, yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), netral (N), tidak setuju (TS), dan sangat

tidak setuju (STS). Untuk aitem yang favorable, pilihan SS akan mendapatkan skor lima, S mendapatkan skor empat, N mendapatkan skor

(52)

Sedangkan untuk aitem yang unfavorable, pilihan SS akan mendapatkan skor satu, S akan mendapatkan skor dua, N akan mendapatkan skor tiga,

TS mendapatkan skor empat, dan STS akan mendapatkan skor lima.

Dari setiap aspek yang telah diturunkan menjadi sejumlah aitem,

akan diperoleh skor total dari setiap aitem, yang menunjukkan semakin

tinggi skor total work engagement, maka akan diikuti oleh semakin tinggi work engagement.Skor total work engagementakan dibuat ke dalam bentuk kategorisasi dan akan dibagi menjadi 3 kategorisasi, yaitu rendah,

sedang, dan tinggi. Variabel yang digunakan dapat dilihat pada tabel

dibawah ini:

[image:52.595.113.512.403.731.2]

Tabel 1

Blue print skala work engagement

Aspek-Aspek Employee- Engagement

Indikator

Butir Aitem Jumlah

Favorable Unfavor able

Vigor

Memiliki level energi yang tinggi

1,3,12,14, 19

17 6

Adanya kemauan untuk menanamkan usaha

4,10 20,28 4

Memiliki level resiliensi yang tinggi

2 23 2

Dedication

Perasaan penuh makna terhadap pekerjaan

5,9 21 3

Bangga dan antusias terhadap pekerjaan

6,11,33 25,27 5

Merasa tertantang dengan pekerjaan

22,34 32 3

Absorption

Konsentrasi penuh dalam pekerjaan

7,13,24 15,26 5

Tenggelam dalam pekerjaan 8,18,29,30 16,31 6

(53)

b. Skala Supervisory Coaching Behaviour

Skala supervisory coachingbehavior disusun berdasarkan prinsip dasar dalam coaching oleh Stone (1999).

Model skala supervisory coachingbehaviourdibuat dengan model skala Likert. Setiap prinsip dasar akan diuraikan kedalam sebuah pernyataan

favorable dan unfavorable, dimana subjek diberikan lima alternatif pilihan, yaitu; selalu (SL), sering (SR), netral (N), kadang-kadang (KD),

dan sangat tidak pernah (TP). Untuk aitem yang favorable, pilhan SL akan mendapatkan skor lima, SR mendapatkan skor empat, N mendapatkan

skor tiga, KD mendapatkan skor dua, dan pilihan TP mendapatkan skor

satu. Sedangkan untuk aitem yang unfavorable, pilihan SL akan mendapatkan skor satu, SR akan mendapatkan skor dua, N akan

mendapatkan skor tiga, KD mendapatkan skor empat, dan TP akan

mendapatkan skor lima.

Dari setiap aspek yang telah diturunkan menjadi sejumlah aitem, akan

(54)
[image:54.595.105.518.158.542.2]

Tabel 2

Blue print skala Supervisory Coaching Behaviour

F. Uji Validitas dan Reliabilitas

Tujuan dilakukan uji coba alat ukur adalah untuk melihat seberapa jauh

alat ukur dapat mengukur dengan tepat apa yang hendak diukur dan seberapa jauh

alat ukur menunjukkan kecermatan pengukuran (Azwar, 2000).

1. Uji Validitas

Untuk mengetahui apakah skala psikologi mampu menghasilkan data yang

akurat sesuai dengan tujuan ukurnya, perlu pengujian validitas.Pendekatan Dasar dalam

coaching Indikator

Butir Aitem Juml

ah Favorable Unfavorable

Mengumpulkan

informasi

Mengetahui potensi karyawan

1,3,13,23 25,28 6

Mengetahui kesulitan yang dihadapi karyawan

2,5,10,29 24,30 6

Mendengarkan Memahami pesan yang disampaikan

4,12,16 20,31 5

Menyadari/peka dengan apa yang terjadi di sekitar

Mengetahui permasalahan yang dialami karyawan

9 14 2

Mengajar

Karyawan

Mengajarkan karyawan tentang pekerjaannya

6,19 27,33 4

Memberikan

umpan balik

Memberikan apresiasi kepada karyawan

4,18,22 32 4

Memberikan teguran kepada karyawan

21,26,17,8 ,34

15,11 7

(55)

terhadap validitas alat ukur dilakukan dengan menyusun terlebih dahulu

operasional aspek-aspek pengukuran yang tepat dalam blue-print.Uji validitas yang dilakukan pada penelitian ini adalah face validity dan content validity. Face validity merupakan tipe validitas yang paling rendah signifikansinya karena didasarkan pada penilaian terhadap format tampilan (appearance) tes. Bila penampilan tes telah memberikan kesan mampu mengungkap apa yang hendak

diukur, maka face validity dikatakan telah terpenuhi. Sedangkan content validity apakah aitem-aitem alat ukur sesuai dengan apa yang akan diukur. Content validity diperoleh melalui pendapat dari professional judgment. Pendapat professional diperoleh dengan cara berkonsultasi dengan tiga orang dosen serta

menggunakan koefisien validitas isi Aiken’s V. Formula ini didasarkan pada penelitian panel ahli terhadap suatu aitem mengenai sejauh mana aitem tersebut

memiliki konstruk yang diukur (Azwar, 2012).

2. Uji Daya Beda Aitem

Uji daya beda aitem bertujuan untuk melihat sejauh mana aitem mampu

membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki dan tidak

memiliki atribut yang diukur. Dasar kerja yang digunakan dalam analisis aitem

ini adalah dengan memilih item-item yang mengukur hal yang sama dengan yang

diukur oleh tes sebagai keseluruhan (Azwar, 2000).

Pengujian daya beda aitem ini dilakukan dengan komputasi koefisien

korelasi antara distribusi skor pada setiap aitem dengan skor total aitem itu

(56)

pengujian ini akan menghasilkan koefisen-koefisien aitem total yang dikenal

dengan indeks daya beda aitem (Azwar, 2009).

Indeks daya diskriminasi aitem merupakan indikator keselarasan atau

konsistensi antara fungsi aitem dengan fungsi skala secara keseluruhan yang

dikenal dengan istilah konsistensi aitem-total. Prinsip kerjanya dengan melakukan

seleksi aitem yang fungsi ukurnya selaras atau sesuai dengan fungsi ukur skala

sesuai dengan yang dikehendaki peneliti atau dengan kata lain memilih aitem

yang mengukur hal yang sama dengan apa yang diukur oleh skala sebagai

keseluruhan.

Besarnya koefisien korelasi aitem total berada pada rentang 0-1 dengan

tanda (+) atau (-).Semakin baik daya diskriminasi aitem, maka koefesien korelasi

semakin mendekati angka 1.Sedangkan koefesien yang mendekati angka 0 atau

memiliki tanda negatif mengindikasikan daya diskriminasi yang tidak

baik.Sebagai kriteria pemilihan atau berdasarkan korelasi aitem total, biasanya

digunakan batasan ≥ 0.30 (Azwar, 2009).Apabila ternyata jumlah aitem yang lolos

tidak mencukupi jumlah yang diinginkan, batasan kriteria dapat diturunkan

menjadi 0.25.

Uji daya beda aitem yang dilakukan pada alat ukur dalam penelitian ini

(57)

3. Uji Reliabilitas

Reliabilitas mengacu kepada konsistensi atau kepercayaan hasil ukur, yang

mengandung makna kecermatan pengukuran. Pegukuran yang tidak reliabel akan

menghasilkan skor yang tidak dapat dipercaya karena perbedaan skor yang terjadi

diantara individu lebih ditentukan oleh faktor eror daripada faktor perbedaan yang

sesungguhnya (Azwar, 2009).

Uji reliabitas alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan

pendekatan reliabilitas konsistensi internal, yaitu single trial administration dimana skala hanya diberikan satu kali saja pada sekelompok individu sebagai

subjek (Azwar, 2000).Pengujian reliabilitas dilakukan dengan menggunakan

koefesien Alpha Cronbach.Biasanya, reliabilitas telah dianggap memuaskan bila mencapai α = 0.90 (Azwar, 2009).

G. Hasil Uji Coba Alat Ukur

Uji coba skala work engagement dan skala supervisory coaching behaviour dilakukan pada 80 orang salesperson, namun yang data yang terkumpul diperoleh dari 65 orang salesperson.

1. Hasil Uji Coba Skala Work Engagement

Untuk melihat daya diskriminasi aitem, dilakukan analisa uji coba dengan

(58)

digunakan batasan r ≥ 0,30 (Azwar, 2009). Apabila ternyata jumlah aitem yang

lolos tidak mencukupi jumlah yang diinginkan, batasan kriteria dapat diturunkan

menjadi 0.25. Dalam penelitian ini, batasan yang digunakan r ≥ 0,30, jumlah

aitem yang diuji cobakan adalah 34 aitem. Diperoleh 23 aitem yang baik dan 11

aitem yang gugur. 23 aitem yang baik ini akan digunakan dalam penelitian dengan

kisaran koefisien r= 0,306, sampai dengan r= 0,565 dan reabilitas sebesar 0,861.

[image:58.595.115.511.384.703.2]

Distribusi aitem yang baik dari work engagement dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 3

Distribusi Aitem-Aitem Skala Work Engagement Setelah Uji Coba

Aspek-Aspek Employee- Engagement

Indikator

Butir Aitem Jumlah

Favorable Unfavor able

Vigor

Memiliki level energi yang tinggi

19 17 2

Adanya kemauan untuk menanamkan usaha

4,10 28 3

Memiliki level resiliensi yang tinggi

2 - 1

Dedication

Perasaan penuh makna terhadap pekerjaan

5,9 21 3

Bangga dan antusias terhadap pekerjaan

11,33 25,27 4

Merasa tertantang dengan pekerjaan

22,34 32 3

Absorption

Konsentrasi penuh dalam pekerjaan

13 15,26 3

Tenggelam dalam pekerjaan 8,29 16,31 4

(59)

2. Hasil Uji Coba Skala Supervisory Coaching Behaviour

Untuk melihat daya diskriminasi aitem, dilakukan analisa uji coba dengan

menggunakan aplikasi computer SPSS versi 20.0 for windows, kemudian nilai corrected item total correlation yang diperoleh dibandingkan dengan Pearson Product Moment dengan interval kepercayaan 95% yang memiliki harga kritik 0,272. Kriteria pemilihan aitem berdasarkan korelasi aitem total, biasanya

digunakan batasan r ≥ 0,30 (Azwar, 2009). Apabila ternyata jumlah aitem yang

lolos tidak mencukupi jumlah yang diinginkan, batasan kriteria dapat diturunkan

menjadi 0.25. Dalam penelitian ini, batasan yang digunakan r ≥ 0,30, jumlah

aitem yang diuji cobakan adalah 34 aitem. Diperoleh 18 aitem yang baik dan 16

aitem yang gugur. 18 aitem yang baik ini akan digunakan dalam penelitia

Gambar

Blue print skala Tabel 1 work engagement
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
+6

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis data dalam penelitian menggunakan product moment ini menunjukkan bahwapada dukungan organisasi dan keterikatan kerja memiliki korelasi positif

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara budaya organisasi dengan OCB pada pegawai, mengetahui tingkat perilaku OCB pada pegawai, mengetahui

Siswa yang kurang berhasil dalam menyelaraskan diri dengan dirinya sendiri maupun dengan lingkungannya seringkali membentuk pola perilaku yang keliru atau disebut dengan

Siswa yang kurang berhasil dalam menyelaraskan diri dengan dirinya sendiri maupun dengan lingkungannya seringkali membentuk pola perilaku yang keliru atau disebut dengan

Perilaku agresivitas merupakan suatu bentuk pencurahan energi yang berlebih pada diri seseorang yang tampak dalam tindakan secara fisik ataupun verbal dengan tujuan

HUBUNGAN ANTARA KEADILAN ORGANISASI DENGAN WORK..

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidak hubungan antara persepsi terhadap gaya kepemimpinan transformasional dengan work engagement. Berdasarkan

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “HUBUNGAN ANTARA GAYA KEPEMIMPINAN DENGAN MOTIVASI KERJA KARYAWAN DALAM ORGANISASI PERUSAHAAN” BELUM PERNAH