HUBUNGAN ANTARA SUPERVISORY COACHING
BEHAVIOUR DENGAN WORK ENGAGEMENT PADA
SALESPERSON
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan
Ujian Sarjana Psikologi
Oleh :
CHRISTIANA SARAGIH
091301098
FAKULTAS PSIKOLOGI
Hubungan antara supervisory coaching behaviour dengan work engagement
pada salesperson
Christiana Saragih dan Vivi Gusrini Rahmadani Pohan
ABSTRAK
Perusahaan dituntut memiliki pengelolaan yang baik agar mampu bersaing
dalam dunia industri dan salah satu hal yang paling penting dalam suatu
organisasi atau perusahaan yaitu keberadaan Sumber Daya Manusia sebagai
karyawan. Karyawan yang bekerja hendaknya memiliki engagement pada pekerjaannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan
positif antara supervisory coaching behaviour dengan work engagement pada salesperson. Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah 100 orang salesperson yang diambil dengan metode accidental sampling. Data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan skala supervisory coaching behaviour (r= 0,899) dan skala work engagement (r = 0,861). Hasil analisis data menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara supervisory coaching behaviour dengan work engagement pada salesperson.Metode analisis data yang digunakan adalah analisis korelasi product moment pearson. Hasil analisis data diperoleh
nilai rxy= 0,278 (p<0,05).
The relationship between the supervisory coaching behaviour with work
engagement on salesperson
Christiana Saragih and Vivi Gusrini Rahmadani Pohan
ABSTRACT
Companies are required to have proper management in order to compete in
the industry and one of the most important thing in an organization or company
that is the presence of Human Resources as employee. Employees who work
should have engagement at work. This study aims to determine whether there is a
positive relationship between supervisory coaching behavior with work
engagement on salesperson. The subjects used in this study were 100 sales people
that was taken by accidental sampling method. Research data was collected using
supervisory coaching behavior scale (r = 0.899) and the scale of work engagement
(r = 0.861). Result of data analysis showed that there is a positive relationship
between supervisory coaching behaviour with work engagement on salesperson. Data analysis methods used are pearson product moment correlation analysis. The
results of the analysis of data obtained by the value of rxy = 0.278 (p <0.05).
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,
atas kasih dan karunia-Nya yang telah memampukan saya dalam menyelesaikan
skripsi ini. Penyusunan skripsi ini guna memenuhi salah satu syarat untuk
menyelesaikan pendidikan di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara serta
meraih gelar Strata 1 (S1).
Penulis menyadari keberhasilan penulisan skripsi ini dapat terwujud berkat
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, saya ingin menyampaikan rasa
hormat dan ucapan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu saya
selama proses penyelesaian skripsi ini dan juga selama menempuh pendidikan di
Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, yaitu kepada:
1. Prof. Dr. Irmawati, psikolog selaku dekan Fakultas Psikologi yang telah
memberikan dukungan yang terbaik untuk kesuksesan seluruh mahasiswa
Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Vivi Gusrini R. Pohan, Msc.MA, Psi selaku dosen pembimbing skripsi
yang dengan sabar telah memberikan ilmu, saran, dan arahan yang sangat
bermanfaat dan bersedia meluangkan waktu untuk membimbing saya
sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini.
3. Kak Siti Zahreni,M.Psi, Psi dan kak Rahmi Putri Rangkuti,M.Psi,Psi
selaku dosen penguji yang sudah memberikan saran dan masukan yang
sangat membangun pada penelitian saya. Terima kasih untuk bantuan dan
4. Ibu Meutia Nauly, M.Si, selaku dosen pembimbing akademik yang telah
memberikan saran dan motivasi selama masa perkuliahan di Fakultas
Psikologi.
5. Dosen-dosen pengajar di Fakultas Psikologi yang tidak mungkin saya
sebutkan namanya satu per satu. Terima kasih telah memberikan ilmu
yang sangat bermanfaat untuk saya.
6. Kedua orang tua saya yang selalu setia memberikan saya dukungan,
semangat dan yang tiada henti-hentinya mendoakan saya.
7. Saudara-saudara saya yang tercinta, adik saya Johny R.F Saragih, Jefry I.
Saragih, dan Maria E. Saragih, terima kasih buat doa, dan dukungannya.
8. Pihak perusahaan Bumi Putera dan Mega pratama general insurance, Auto 2000 atas izin yang diberikan dalam melakukan pengambilan data di
perusahaan.
9. Sahabat-sahabat saya terkasih, Lia, Katriin, Susy, Rani, Ory dan Rebekka
yang selalu memberikan semangat, masukan dan setia menemani saya.
Terima kasih untuk semuanya.
10.Sahabat-sahabat saya yang heboh, Ira P. Simarmata, Surya R. Situngkir,
dan Sinta N. Sipayung yang selalu memberikan tawa, dan keceriaan dalam
hidup saya. Terimakasih untuk setiap sukacita yang kita nikmati bersama.
11.Kelompok tumbuh bersama Zealrocks, kak Rini, Katriin, Susy dan Ory,
terima kasih setiap doa kalian bahkan juga semangat yang diberikan.
Untuk Kelompok tumbuh bersama Renovatio, bang Juppa, bang Armen,
12.Kelompok kecil Misericordias, Tefan, Ana, Melva, dan Ramot.
Terimakasih untuk dukungan dan doa kalian untuk kakak, Kelompok kecil
Aufklarung, Paras dan KPIPAku, Ria, Yunike, Devi, Flora dan Utary.
Terimkasih untuk semua yang kalian berikan.
13.Teman-teman koordinasi UKM KMK USU UP. Psikologi mulai dari
periode tahun 2011-2014, terkhusus untuk periode 2014, Rani Ketaren,
Rahel, Ester, Grace, Friska, Melfa, Mona, Kristin, Irvine dan Nirmay,
terimakasih untuk setiap doa, nasehat dan dukungan kalian. Mari
bersama-sama tetap taat dan setia.
14.Teman-teman angkatan 2009, kita telah melewati empat tahun ini
besama-sama, terima kasih untuk kebersamaan kita.
Akhir kata, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak
terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini
membawa manfaat bagi kita semua.
Medan, 15 Agustus 2014
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 9
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Manfaat Penelitian ... 9
E. Sistematika Penulisan ... 10
BAB II LANDASAN TEORI A. Work Engagement ... 12
1. Definisi Work Engagement ... 12
2. Aspek-Aspek Work Engagement ... 15
3. Faktor-Faktor yang menyebabkan Work Engagement ... 16
B. Supervisory coaching behavior ... 18
1. Definisi Supervisory coaching behavior ... 18
2. Prinsip dasar dalam coaching ... 23
C. Salesperson ... 25
D. Hubungan antara supervisory coaching behavior dengan work
engagemen ... 27
E. Hipotesis Penelitian ... 29
BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel ... 30
B. Definisi Operasional Variabel ... 31
1. Work Engagement ... 31
2. Supervisory coaching behavior ... 31
C. Lokasi Penelitian ... 32
D. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel ... 32
1. Populasi ... 32
2. Sampel Penelitian ... 32
3. Metode Pengambilan Sampel ... 34
E. Metode Pengumpulan Data ... 34
1.Kolom Isian Data Pribadi ... 35
2.Skala ... 35
a. Work Engagement ... 35
b. Skala Supervisory coaching behavior ... 37
F. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 38
1. Validitas Alat Ukur ... 38
2. Uji Daya Beda Aitem ... 39
G. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 41
1. Hasil Uji Coba Skala Work Engagement ... 41
2. Hasil Uji Coba Skala Supervisory Coaching Behaviour... 43
H. Prosedur Penelitian ... 45
1.Persiapan Penelitian ... 45
2. Uji coba alat ukur ... 45
3. Revisi alat ukur ... 46
4. Pelaksanaan penelitian ... 46
I. Metode Analisa Data ... 47
1. Uji Normalitas ... 47
2. Uji Linearitas ... 47
BAB IV HASIL DAN INTERPRETASI A. Hasil Penelitian ... 49
1. Hasil Uji Asumsi ... 49
a. Uji normalitas ... 49
b. Uji Linearitas ... 50
2. Hasil Utama Penelitian ... 51
3. Kategorisasi hasil penelitian ... 52
a. Kategorisasi skor skala work engagement ... 52
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 59
B. Saran ... 59
1. Saran Metodologis ... 60
2. Saran Praktis ... 60
DAFTAR PUSTAKA ... 62
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.Blue Print Skala Work Engagement ... 36
Tabel 2.Blue Print Skala Supervisory Coaching Behaviour ... 38
Tabel 3. Distribusi aitem skala work engagemet setelah uji coba ... 42
Tabel 4.Distribusi skala Supervisory Coaching Behaviour setelah uji coba.. 44
Tabel 5. Hasil uji Normalitas dengan One Sample Kolmogorov-Smirnov ... 49
Tabel 6. Hasil Pengujian Linearitas ... 50
Tabel 7. Hasil Model Summary Pada Analisa Pearson Correlation ... 51
Tabel 8. Nilai Empirik dan Nilai Hipotetik Work Engagement ... 52
Tabel 9. Kategorisasi Work Engagement Mean Hipotetik ... 53
Tabel 10. Nilai Empirik dan Hipotetik Supervisory Coaching Behaviour ... 54
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran A. Uji Validitas Isi ... 69
Lampiran B. Skala Uji Coba ... 95
Lampiran C. Uji Daya Beda dan Reliabilitas Aitem ... 105
Lampiran D. Skala Penelitian ... 114
Lampiran E. Hasil Olah Data Penelitian ... 123
Hubungan antara supervisory coaching behaviour dengan work engagement
pada salesperson
Christiana Saragih dan Vivi Gusrini Rahmadani Pohan
ABSTRAK
Perusahaan dituntut memiliki pengelolaan yang baik agar mampu bersaing
dalam dunia industri dan salah satu hal yang paling penting dalam suatu
organisasi atau perusahaan yaitu keberadaan Sumber Daya Manusia sebagai
karyawan. Karyawan yang bekerja hendaknya memiliki engagement pada pekerjaannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan
positif antara supervisory coaching behaviour dengan work engagement pada salesperson. Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah 100 orang salesperson yang diambil dengan metode accidental sampling. Data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan skala supervisory coaching behaviour (r= 0,899) dan skala work engagement (r = 0,861). Hasil analisis data menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara supervisory coaching behaviour dengan work engagement pada salesperson.Metode analisis data yang digunakan adalah analisis korelasi product moment pearson. Hasil analisis data diperoleh
nilai rxy= 0,278 (p<0,05).
The relationship between the supervisory coaching behaviour with work
engagement on salesperson
Christiana Saragih and Vivi Gusrini Rahmadani Pohan
ABSTRACT
Companies are required to have proper management in order to compete in
the industry and one of the most important thing in an organization or company
that is the presence of Human Resources as employee. Employees who work
should have engagement at work. This study aims to determine whether there is a
positive relationship between supervisory coaching behavior with work
engagement on salesperson. The subjects used in this study were 100 sales people
that was taken by accidental sampling method. Research data was collected using
supervisory coaching behavior scale (r = 0.899) and the scale of work engagement
(r = 0.861). Result of data analysis showed that there is a positive relationship
between supervisory coaching behaviour with work engagement on salesperson. Data analysis methods used are pearson product moment correlation analysis. The
results of the analysis of data obtained by the value of rxy = 0.278 (p <0.05).
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan dalam dunia industri dan organisasi, menuntut setiap
perusahaan memiliki pengelolaan yang baik untuk memantapkan persaingan
dalam dunia industri dan organisasi (Lingtangsari, Yusuf & Priyatama, 2012).
Salah satu hal yang paling penting dalam suatuorganisasi atau perusahaan yaitu
keberadaan sumber daya manusia. Sumber daya manusia dipandang sebagai aset
perusahaan yang penting, karena manusia merupakan sumber daya yang dinamis
dan selalu dibutuhkan dalam tiap proses produksi barang dan jasa
(Nasution,2009), karena itu perusahaan perlu membuat strategi dan kebijakan
dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Strategi ataupun kebijakan yang dibuat oleh perusahaan hendaknya sesuai
dengan harapan karyawan karena jika kebijakan perusahaan tidak sesuai dengan
harapan karyawan akan membawa dampak buruk pada sikap kerja karyawan
(Nasution, 2009), bahkan tidak hanya itu kegagalan mengelola sumber daya
manusia dapat mengakibatkan timbulnya gangguan dalam pencapaian tujuan
dalam perusahaan, baik dalam kinerja, profit, maupun kelangsungan hidup
perusahaan itu sendiri (Rayadi, 2012). Maka, demi tercapainya keberhasilan
perusahaan, sangat diperlukan usaha yang tepat, dalam rangka mempertahankan
karyawan akan secara sadar memberikan kinerja terbaik dari dirinya kepada
perusahaan (Nusatria, 2011).
Karyawan yang merasa nyaman dan senang menimbulkan pandangan yang
positif terhadap pekerjaan mereka sehingga muncul keterikatan (work engagement) terhadap pekerjaan mereka. Keterikatan individupada pekerjaaan merupakan kunci keberhasilan dan profitabilitas organisasi (Ott dalam Piartrini,
2011), tidak hanya itu denganmenumbuhkan keterikatan karyawan pada pekerjaan
(work engagement) organisasi dapatmeningkatkan kualitas, produktivitas dan efisiensi operasional lebih tinggi (Piartrini, 2011). Riset menunjukan bahwa
karyawan yang terikat (engaged employee) merupakan karyawan yang lebih produktif (Gallup dalam Nusatria, 2011).
Keterikatan (work engagement) pada perusahaan menjadi ciri utama keberhasilan perusahaan dalam menangani masalah sumber daya manusia
(Lingtangsari, Yusuf & Priyatama, 2012). Menurut Schaufeli & Bakker (2003)
work engagement adalah keadaan motivasional yang positif yang dikarakteristikkan oleh vigor (semangat), dedication (dedikasi), dan absorption (seberapa jauh karyawan menghayati pekerjaannya).
Karyawan yang memiliki keterikatan (work engagement) tinggi pada pekerjaaannya menunjukkan perilaku positif sebagai berikut yaitu; menyatakan
hal yang positif tentang visi, misi dan kegiatan organisasi pada calon karyawan
potensial dan calon pelanggan potensial; memutuskan untuk bergabung dengan
organisasi tertentu dengan mengabaikan kesempatan berkarya dan mengekploitasi
dengan mengerahkan kemampuan dan potensi untuk mencapai sasaran
kerja dan bersedia melakukan kerja lembur, dan prakarsa baru dalam mengatasi
masalah yang dihadapi unit kerja/organisasi (Piartrini, 2011).
Engagement dibangun melalui proses, butuh waktu yang panjang sertakomitmen yang tinggi dari pemimpin (Mujiasih & Ratnaningsih, 2012). Di
dalam membangun engagement, peran pemimpin adalah dapat meningkatkan motivasi, kepuasan kerja dan komitmen serta dapat mengurangi tingkat stress
kerja karyawan. Tujuan dan efektifitas suatu organisasi akan tercapai apabila
kepemimpinan yang ada berjalan dengan baik (Reksohadiprodjo & Handoko
dalam Mujiasih, dkk., 2012).
Dalam struktur kepemimpinan di perusahaan terdapat beberapa level
manajemen, supervisi adalah level pertama dari manajemen dalam perusahaan.
Walaupun defenisi dari supervisi sederhana namun tugas dari seorang supervisor sangat kompleks (Rue & Byars, 2007). Supervisor merupakan first line manager yang bertanggung jawab langsung pada operasional di lapangan (Tobing&
Napitupulu, 2011). Seorang supervisor harus belajar untuk membuat keputusan, komunikasi yang baik, merencanakan dan memotivasi karyawan (Rue & Byars,
2007).
Taylor (dalam Certo, 2007) menunjukkan bahwa supervisor dan manager dapat meningkatkan efisiensi dengan mengarahkan bagaimana karyawan
untuk memperlakukan karyawan secara adil, membuat instruksi yang jelas, dan
membawa kekhawatiran karyawan untuk manajemen yang lebih tinggi
2007).
Supervisor tidak hanya harus memiliki kompetensi teknis yang kuat di bidangnya, namun juga harus memiliki kompetensi manajerial dan leadership yang memadai, serta kemampuan komunikasi yang baik. Kompetensi tersebut
mutlak dimiliki karena setiap supervisor harus mampu untuk memimpin dan membangun tim kerja yang kuat agar sasaran pekerjaan dapat tercapai dengan
maksimal(Tobing & Napitupulu, 2011).Hasil survey yang terdapat dalam
karyawan berhenti karena tidak menyukai supervisor mereka (The Business Research Lab, 2000). Hal ini menunjukkan peran seorang atasan atau supervisor dalam mengelola kinerja karyawan sangatlah krusial.
Dalam melakukan perannya sebagai seorang atasan, supervisor ikut dalam penentuan tujuan yang akan dicapai, membantu memecahkan masalah,
menyediakan dukungan sosial dan material serta memberikan feedback atas kinerja bawahan (Gemilang, 2007). Hal ini menunjukkan adanya perilaku
coaching yang ditunjukkan oleh supervisor. Coaching merupakan salah satu tugas seorang supervisor agar mampu mengelola kinerja karyawannya secara efektif (Nugroho, Hasanuddin & Brasit, 2011). Coaching adalah proses pengarahan yang dilakukan atasan/senior untuk melatih dan memberikan orientasi kepada
dengan peningkatan skill.Coaching menguntungkan dua pihak, yaitu : pemimpin dan pengikut (atasan dan bawahan), organisasi dan karyawan (Seger, 2007).
Seringkali terjadi pemaknaan yang tumpang tindih antara coaching dengan counseling dan mentoring. Pasmore (dalam Kosmaya, 2012) mengatakan coaching merupakan sebuah metode yang membantu karyawan untuk meningkatkan, mengembangkan, mempelajari keterampilan baru, dan mencapai
tujuan; counseling merupakan sebuah proses yang menekankan pada pemberian solusi dan saran untuk meningkatkan atau mengembangkan diri; mentoring merupakan proses yang digunakan individu yang terlatih dalam menyediakan
arahan dan saran bagi karyawan untuk mengembangkan karir. Atasan perlu
mengetahui hal ini agar dapat melakukannya dengan tepat.
Menurut Fielden (2005) coaching berpusat membuka potensi seseorang untuk memaksimalkan kinerjanya. Fokus pada meningkatkan kinerja dan
pengembangan keterampilan adalah kunci coaching yang efektif. Dalam melakukan coaching tidak selalu mengatakan kepada seseorang apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya. Kadang hanya mengawasi apa yang
sedang dilakukan dan menasihati bagaimana melakukannya dengan lebih baik.
Coaching tidak hanya membantu untuk meningkatkan kinerja karyawan dan penggunaan keterampilan dan kemampuan yang efektif, tetapi juga dapat
membantu meningkatkan kepuasan kerja dan motivasi (Fielden, 2005).Oleh
karena itu, berkenaan dengan hal-hal di atas, dapat dilihat bahwa seorang
oleh supervisor kepada karyawan utuk menunjukkan bahwa mereka dihormati dan dihargai ( Goodstone dan Diamante,1998; Hargrove, 1995; Hudson, 1999 dalam
Ellinger, Ellinger, & Keller, 2005). Supervisory coaching behavior adalah bagian dari hubungan antara karyawan dan supervisor dari hari ke hari. Goelman (2000, dalam Ellinger. dkk, 2005) mengatakan bahwa gaya coaching dalam kepemimpinan masih belum cukup berpengaruh di banyak organisasi.
Karyawan dalam penelitian ini dimaksudkan kepada salesperson yang melakukan kegiatan promosi yang langsung kepada sasaran yaitu penjualan secara
tatap muka (personal selling).Salesperson merupakan kunci untuk mendapatkan keuntungan bagi perusahaan. Salesperson merupakan aset, ujung tombak atau dapat dikatakan sebagai denyut nadi sebuah perusahaan. Tanpa mereka maka roda
perusahaan tidakakan berputar (Trimahanani, 2013). Menurut Lucas,
Parasuraman, Davis dan Enis (dalam Gunawan, Premanto & Sulistiawan, 2013)
dikatakan bahwa salesperson berbeda dengan jabatan lain karena salesperson dituntut untuk melakukan banyak interaksi, rentan konflik baik dengan
perusahaan atau dengan konsumen, serta penilaian kinerja yang lebih berdasarkan
pada output pekerjaaan (pencapaian target). Karakteristik-karakteristik itulah yang
membuat salesperson memiliki tingkat turnover yang cukup signifikan hingga mengakibatkan rendahnya engagement salesperson pada pekerjaannya.
Ketika seorang atasan meluangkan waktu untuk melakukan coaching kepada anggota timnya, maka itu merupakan investasi yang sangat berharga yang
pendekatan yang bersifat ’memanusiakan’ mereka dibandingkan sekedar
menganggapnya sebagai ’mesin’ pencetak keuntungan. Oleh karena itu atasan
sangat perlu untuk menunjukkan perilaku coaching(Trimahanani, 2013).
Permasalahan yang seringkali terjadi pada saat salespersonmelakukan pekerjaannya adalah munculnya keraguan saat ingin bertemu pelanggan atau
sedang kanvasing ke calon pelanggan sehingga membuat salesperson membatalkan kunjungannya, pembatalan terjadi lebih dikarenakan salesperson tiba-tiba menjadi down secara mental dan hilang semangat dikarenakan muncul pikiran-pikiran negatif seperti penolakan, membayangkan pelanggan akan
terganggu, rasa tidak enak, merasa tidak cocok, kehilangan mood dan ketakutan-ketakutan lainnya, begitupun ketika ingin melakukan follow up ke pelanggan atau prospek baru (Purnomo, 2013).
Salesperson pada perusahaan memiliki peran yang sangat penting karena mereka dituntut untuk dapat memenuhi target penjualan sekaligus membangun
relationship dan citra perusahaan melalui pelayanan yang mereka berikan pada konsumen. Peran membangun citra dan relationship seringkali bertentangan dengan tugasnya untuk mencapai target penjualan. Peran tersebut juga seringkali
dirasa berat dan membingungkan sehingga berpotensi menimbulkan stress yang
dapat memberi pengaruh negatif pada kinerjanya (Purwanto, 2002). Pengaruh
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti di perusahaan
asuransi diketahui bahwa tantangan dan tuntutan ini seringkali membuat ‘agen’
tidak betah dan tidak engaged dengan pekerjaan mereka. Sehingga mengakibatkan tingginya tingkat turnover pada ‘agen’. Hal ini tentunya membawa dampak negatif terhadap perusahaan dimana perusahaan tidak dapat mencapai target yang
telah ditentukan.
Pemimpin merupakan seseorang yang memiliki peran penting terkait
dengan masa depan yang akanterjadi pada organisasi tersebut. Peran kepemimpinan
merupakan salah satu faktor pembentuk keterikatan karyawan di dalam
organisasi(Mujiasih & Ratnaningsih, 2012).Dalam penelitian yang dilakukan oleh
Andaria & Juswo (2002) menemukan bahwa supervisor memberikan pengaruh positif terhadap kegiatan penjualan yang dilakukan oleh salesperson.
Supervisory coachingbehavior merupakan hal yang penting bagi karyawan untuk dapat engaged dalam organisasi, dengan adanya coaching karyawan dapat mencapai prestasi kerja yang optimal, namun seperti yang
dikemukakan oleh Goelman (2000, dalam Ellinger. dkk, 2005) mengatakan bahwa
coaching dalam kepemimpinan masih belum cukup berpengaruh di banyak organisasi dan dalam kenyataannya seringkali supervisor tidak dapat memberikan ataupun menunjukkan perilaku coaching yang baik kepada karyawan mereka. Berdasarkan kondisi diatas, maka Peneliti tertarik ingin mengetahui apakah ada
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang pemikiran yang telah diuraikan diatas, maka
masalah penelitian ini adalah apakah ada hubungan positif antara supervisory coachingbehaviour dengan work engagement pada salesperson?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan sebelumnya, maka
tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar hubungan
supervisory coaching behaviour dengan work engagement pada salesperson. D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengembangan ilmu
pengetahuan di bidang psikologi, khususnya dalam Psikologi Industri
dan Organisasi dalam aplikasinya terutama mengenai hubungan antara
supervisory coaching behaviour dengan work engagement pada salesperson. Sehingga dapat dijadikan sumber informasi untuk penelitian-penelitian berikutnya yang sama atau berhubungan dengan
2. Manfaat Praktis
a.Dapat memberikaninformasi tentang seberapa besar hubungan
supervisory coaching behaviour dan work engagement pada salesperson
b. Dapat memberikan masukan kepada perusahaan mengenai hubungan
supervisory coaching behaviour dan work engagement pada salesperson, sehingga perusahaan dapat meningkatkan work engagement pada salesperson.
E. Sistematika Penulisan
Penelitian ini terdiri dari lima bab dan setiap bagiannya terdiri dari sub-sub
bab yaitu :
BAB I : Pendahuluan
Berisikan uraian mengenai latar belakang penelitian, perumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika
penulisan.
BAB II : Tinjauan Pustaka
Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam
pembahasan, berisi uraian penjelasan mengenai variabel yang
digunakan dalam penelitian ini. Adapun variabel yang digunakan
BAB III: Metode Penelitian
Bab ini berisi uraian mengenai metode penelitian, meliputi identifikasi
variabel penelitian, definisi operasional dari work engagementdan supervisory coaching behaviour, populasi dan sampel, metode pengambilan data, uji coba alat ukur, prosedur pelaksanaan dan metode
analisa data.
BAB IV : Hasil dan Interpretasi
Bab ini berisi analisa data dan pembahasan mengenai laporan hasil
penelitian yang meliputi uji asumsi, yaitu uji normalitas dan linearitas,
hasil utama penelitian, dan pembahasan data-data penelitian ditinjau
dari teori-teori yang relevan.
BAB V : Kesimpulan dan Saran
Bab ini berisi kesimpulan dan saran dari hasil penelitian dan saran
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Work Engagement
Saat ini perusahaan mengharapkan karyawan mereka menjadi proaktif,
inisiatif, bertanggungjawab secara profesional dan berkomitmen tinggi pada
standar peforma. Perusahaan membutuhkan karyawan yang penuh semangat dan
berdedikasi seperti: seseorang yang engageddengan pekerjaan mereka (Bakker & Leiter, 2010).
1. Definisi Work Engangement
Engagement pertama sekali diungkapkan oleh Kahn.Kahn (1990) mengungkapkan bahwa anggota-anggota dari suatu organisasi akan
mengikat diri dengan pekerjaannya dan kemudian mereka akan bekerja
dan mengekspresikan diri secara fisik, kognitif dan emosional selama
memerankan performanya. Aspek kognitif mengacu pada keyakinan
pekerja terhadap organisasi, pemimpin dan kondisi pekerjaan.Aspek
emosional mengacu pada bagaimana perasaan pekerja apakah positif atau
negatif terhadap organisasi dan pemimpinnya.Sedangkan aspek fisik
mengenai energi fisik yang dikerahkan oleh karyawan dalam
melaksanakan perannya.
high level of energy and strong identification with one’s work” dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa work engagement adalah perasaan positif yang dikarakteristikkan oleh semangat dan kekuatan seseorang
dalam bekerja. Harter et al. (dalam Wulandari, 2011) mendefinisikan work engagement sebagai keterlibatan individual dan kepuasannya sebagai wujud antusiasme kerja.
Work engagement merupakan sebuah motivasi dan pusat pikiran positif yang berhubungan dengan pekerjaan yang ditandai dengan vigor, dedication dan absorption (Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, & Bakker, 2002). Vigordikarakteristikkan dengan level energi yang tinggi dan ketahanan saat bekerja.Dedicationmenunjukkan rasa terlibat yang tinggi dalam suatu pekerjaan, dan mengalami rasa kebermaknaan dan
atusiasme. Absorption dikarakteristikkan oleh konsentrasi yang penuh dan merasa senang ketika bekerja.Definisi inifokus pada pengalaman
karyawan dalam aktivitas kerjanya (Bakker & Leiter, 2010).
Seseorang yang engaged menyatu dengan peran mereka, tanpa merugikan orang lain(Wulandari, 2011). Terdapat juga pandangan lain
mengenai engagement yaitu dengan mengasumsikan engagement sebagai lawan dari burnout. Bertentangan dengan burnout, karyawan yang engaged memiliki hubungan yang energikdan efektif dengan aktivitas pekerjaan merekadan mereka mampu menangani dengan baik tuntutan
Lockwood (dalam Wulandari, 2011) mendefinisikan engagement sebagai pernyataan oleh individu secara emosional dan intelektual
memiliki komitmen terhadap organisasi, yang diukur melalui tiga perilaku
utama: 1) berbicara positif mengenai organisasi kepada rekan kerja dan
pekerja berpotensi serta pelanggan, 2) memiliki gairah yang intens untuk
menjadi anggota organisasi, meski sebenarnya mendapat peluang kerja di
tempat lain, 3) menunjukkan usaha ekstra dan perilaku yang memiliki
kontribusi terhadap kesuksesan organisasi.
Work engagement merupakan sebuah konsep manajemen bisnis yang menyatakan bahwa karyawan yang memiliki engagement tinggi adalah karyawan yang memiliki keterlibatan penuh dan memiliki
semangat bekerja tinggi dalam pekerjaannya maupun dalam hal-hal yang
berkaitan dengan kegiatan perusahaan jangka panjang (Mujiasih &
Ratnaningsih, 2012). Engagement menunjukkan kegigihan dan meliputi afektif-kognitif yang tidak hanya fokus pada beberapa objek, kejadian,
individu atau perilaku (Schaufeli & Bakker, 2004).
Berdasarkan definisi-definisi yang telah dikemukakan diatas dapat
disimpulkan definisi work engagement adalah sebuah motivasi dan pusat pikiran positif yang berhubungan dengan pekerjaan yang ditandai dengan
2. Aspek- Aspek Engagement
Schaufeli dan Bakker (2003) mengkonsepkan aspek-aspek dari
engagement, yaitu, sebagai berikut; a. Vigor (semangat)
Vigor ditandai oleh tingginya tingkat energi dan ketahanan mental saat bekerja, kemauan untuk menginvestasikan upaya dalam pekerjaan
seseorang, dan ketekunan juga dalam menghadapi kesulitan. Karyawan
yang mendapat skor tinggi padavigor (semangat)selalu memiliki banyak energi, semangat dan stamina saat bekerja, sedangkan merekayang
mendapat skor rendah pada vigor (semangat )memiliki sedikit energi, semangat dan stamina dalam mengerjakan pekerjaan mereka.
b. Dedication (dedikasi)
Dedikasi ditandai dengan rasa penting, antusiasme, inspirasi,
kebanggaan, dan tantangan.Karyawan yang mendapat skortinggi pada
dedikasi memiliki identifikasi yang kuat dengan pekerjaan mereka
karena memaknainya, inspiratif, dan menantang. Selain itu,
merekabiasanya merasa antusias dan bangga tentang pekerjaan
mereka.Karyawan yang mendapat skor rendah tidak mengidentifikasi
diri dengan pekerjaan mereka karena mereka tidak memaknainya,
inspirasi, atau menantang, apalagi, mereka merasa tidak antusias atau
c. Absorption (absorbsi)
Absorbsi ditandai dengan konsentrasi penuh dan bahagia dalam
pekerjaan, dimana waktu berlalu dengan cepat dan sulit untuk
memisahkan diri dari pekerjaan.Karyawan yang mendapat skor tinggi
pada absorbsi merasa bahwa mereka menikmati pekerjaan mereka,
mereka merasa tenggelam oleh pekerjaan mereka dan memiliki
kesulitan untuk memisahkan dari pekerjaan mereka. Akibatnya, segala
sesuatu di sekitar mereka dilupakan dan waktu terasa cepat.Karyawan
yang mendapat skor rendah pada absorbsi tidak merasa menikmati atau
tenggelam dalam pekerjaan mereka, mereka tidak mengalami kesulitan
memisahkan dari itu, mereka juga tidak lupa segala sesuatu di sekitar
mereka, termasuk waktu.
3. Faktor-faktor yang Menyebabkan Work Engagement
Faktor-faktor yang menjadi penyebab utama work engagement,yaitu: 1. Job demands
Seperti psikologis, sosial, atauaspek organisasi yang memerlukan
kelanjutan upaya fisikdan / atau psikologis(misalnya, kognitifatau
emosional) dan karena itu terkait dengan biaya fisiologis dan/ atau
psikologis tertentu (Schaufeli & Bakker, 2004). Berdasarkan
Demerouti, dkk (2001, dalam Xanthopoulou, Bakker, Demerouti,
demands(tuntutan emosi), emotional dissonance (ketidaksesuaian emosi), dan organizational changes (perubahan terkait organisasi). 2. Job Resources
Job resources (sumber dayapekerjaan) merujuk kepada psikologis, sosial, atau aspek organisasi pekerjaan yang baik / atau(1)
mengurangi tuntutan pekerjaan dan biaya fisiologis dan psikologis
yang terkait, (2) fungsional dalam mencapai tujuankerja, (3)
merangsang pertumbuhan pribadi, pembelajaran dan
pengembangan. Job resources (sumber daya pekerjaan) meliputi empat faktor, yaitu :autonomy (otonomi), social support (dukungan sosial), supervisory coaching (bimbingan dari atasan), dan opportunities for professional development (kesempatan untuk berkembang secara profesional).Peran atasan sangat penting dalam
meningkatkan engagement karyawannya. Dalam meningkatkan engagement karyawannya supervisor menunjukkan perilaku mau mendengarkan, memberikan umpan balik kepada karyawan atau
disebut sebagai supervisory coaching behaviour . 3. Personal Resources
Merupakan aspek diri dan pada umumnya dihubungkan
dengan kegembiraan dan perasaan bahwa diri mampu
memanipulasi, mengontrol dan memberikan dampak pada
(Demerouti dkk, 2001, dalam Xanthopoulou, Bakker, Demerouti,
& Schaufeli, 2007).
Beberapa tipikal sumber daya pribadi antara lain: Self-efficacy (keyakinan diri) merupakan persepsi individu terhadap kemampuan dirinya untuk melaksanakan dan menyelesaikan suatu
tugas/tuntutan dalam berbagai konteks, Organizational-based self-esteem didefinisikan sebagai tingkat keyakinan anggota organisasi bahwa mereka dapat memuaskan kebutuhan mereka dengan
berpartisipasi dan mengambil peran atau tugas dalam suatu
organisasi (Chen, Gully, & Eden, 2001, dalam Xanthopoulou,
Bakker, Demerouti, & Schaufeli, 2007). Optimism (optimism) terkait dengan bagaimana seseorang meyakini bahwa dirinya
mempunyai potensi untuk bisa berhasil dan sukses dalam
hidupnya.
B. Supervisory CoachingBehaviour
1. Definisi Supervisory Coaching Behaviour
Seorang pemimpin perusahaan perlu mendorong meningkatkan
manajemen yang people oriented. Pemimpin yang baik meyakini bahwa karyawan lebih membutuhkan atasan yang mendorong kepada
pengembangan diri (Rogers, dalam Ellinger, Ellinger, & Keller 2005),
dibandingkan seorang atasan yang dapat menjawab semua masalah dan
Dalam struktur kepemimpinan di perusahaan terdapat beberapa
level manajemen, supervisi adalah level pertama dari manajemen dalam
perusahaan. Supervisor merupakan first line manager yang bertanggungjawab langsung pada operasional di lapangan (Tobing &
Napitupulu, 2011).Supervisor bertanggungjawab menghubungkan manajemen yang lebih tinggi kepada karyawan dan memperlakukan
karyawan secara adil, membuat instruksi yang jelas, dan menyampaikan
kekhawatiran karyawan untuk manajemen yang lebih tinggi (Certo, 2007).
Seringkali definisi mengenai supervisor dan manajer tumpang tindih dalam perusahaan, manajer adalah orang yg mengatur pekerjaan atau kerja
sama di antara berbagai kelompok atau sejumlah orang untuk mencapai
sasaran, mereka berwenang dan bertanggung jawab membuat rencana,
mengatur, memimpin, dan mengendalikan pelaksanaannya untuk
mencapai sasaran tertentu sedangkan supervisor adalah menghubungkan manajemen yang lebih tinggi kepada karyawan, mereka menjadi jembatan
antara manajer dan bawahannya dalam melaksanakan kebijakan yang telah
dibuat(Cremo dan Felix, 2000).
Supervisor memiliki dampak yang kuat pada kehidupan para karyawan. Hubungan seorang karyawan dengan atasannya sering menjadi
faktor yang paling berpengaruh apakah karyawan merasa dihargai dan
dihormati di tempat kerja. Perasaan dihargai dan dihormati adalah salah
satu faktor terbesar yang mempengaruhi keputusan karyawan untuk tetap
Coaching merupakan salah satu tugas seorang supervisor agar mampu mengelola kinerja karyawannya secara efektif (Nugroho,
Hasanuddin & Brasit, 2011).Sebagai coach, supervisor mengembangkan rencana untuk memenuhi hasil kinerja dan tujuan departemen dan
organisasi. Mereka harus membuat keputusan taktis sehari-hari yang
mengarahkan staf mereka lebih dekat ketujuan yang diinginkan.Mereka
dapat mengenali bakat dan tahu siapa yang memiliki bakat dan
keterampilan yang dimiliki. Supervisor secara khusus berkaitan dengan menciptakan lingkungan yang memelihara pertumbuhan profesional
(Cremo dan Felix, 2000).
Coaching tergantung pada kepercayaan, oleh karena itu coaching atasan yang sukses menyebabkan perubahan dari command and controlstyle, pada model manajemen yang didasarkan lebih kepada partnership untuk mencapai keberhasilan dan komitmen (Barry, 1992 dalam Ellinger, Ellinger, & Keller 2005).
Coaching berpusat pada membuka potensi seseorang untuk memaksimalkan kinerja sendiri. Fokus pada peningkatan kinerja dan
pengembangan keterampilan adalah kunci untuk coaching yang efektif(Fielden, 2005).Coaching adalah proses membimbing yang dilakukan atasan untuk melatih dan memberikan orientasi kepada
bawahannya tentang realitas ditempat kerja dan membantu mengatasi
Wilson (dalam Seger, 2007) mengatakan coaching dapat membantu individu atau organisasi untuk meraih kinerja optimal, mengatasi
hambatan dan rintangan terhadap pertumbuhan, dan untuk meraih
tujuan-tujuan spesifik dan tantangan-tantangan sebagai sarana pemenuhan,
pengembangan pribadi dan professional, keseimbangan hidup dan karya,
serta pencegahan. Coaching yang efektif membutuhkan pelatih dan orang dilatih untuk memenuhi peran relatif mereka.
Coaching menjadi alat yang penting dalam proses pengembangan kepribadian dan profesionalitas seseorang, sehingga seorang pemimpin
(atasan) diharapkan mampu menjadi coach yang baik kepada bawahannya (Seger, 2007). Sebagai pimpinan di suatu kantor kemampuan untuk dapat
mengoptimalkan kinerja bawahannya merupakan kebutuhan yang sangat
penting dengan berfokus pada usaha mengatasi segala masalah yang
timbul di tempat kerja melalui mekanisme coaching.
Apabila coaching dilakukan di tempat kerja oleh atasan kepada bawahannya, maka proses coaching dapat merupakan suatu dialog atau komunikasi dua arah antara atasan yang memberikan coaching tersebut dengan bawahannya. Membudayakan coaching di tempat kerja merupakan upaya yang harus dilakukan oleh setiap pimpinan suatu organisasi apabila
menginginkan kinerja organisasi dapat meningkat (Ubaydillah, 2008).
Menurut Grant (dalam Wilson, 2011), coaching adalah sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil, dan
pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pengembangan pribadi. Oleh
karena itu kemampuan supervisory coachingmeliputi bertanya, mendengar, memberi dan menerima feedback, komunikasi dan motivasi, daripada kemampuan atasan secara tradisional seperti persaingan,
mengontrol, pemecah masalah, dan terlihat lebih ahli (Ellinger, Ellinger, &
Keller 2005)
Coaching ditandai dengan kualitas hubungan yang tinggi antara atasan dan bawahannya.Leader-Member Exchange (LMX) (Agarwal,
Angst dan Magni, 2006), didasarkan pada rasa saling percaya dan peran
modellingsupervisor.LMX adalah teori yang memfokuskan pada interaksi antara pemimpin dan pengikutnya (Zahreni, 2008).Dalam teori ini
menggambarkan bagaimana pemimpin menggunakan kekuasaan mereka
untuk membangun hubungan dari sisi yang berbeda (Dierendonck, Le
Blanc & Breukelen, 2002).LMX tidak hanya melihat sikap dan perilaku
pemimpin dan pengikutnya tetapi menekankan pada kualitas hubungan
yang terbentuk.
Berdasarkan definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa
supervisorycoaching behaviour merupakan perilaku yang ditunjukkan dengan mendengar, memberi atau menerima feedback,dan mengarahkan karyawan untuk meningkatkan peforma kerja yang dilakukan oleh
2. Prinsip Dasar dalam Coaching
Supervisor perlu melakukan coaching yang efektif, sebelum melakukan proses coaching yang efektif supervisor perlu memiliki beberapa skills, Stone (1999) mengungkapkan lima prinsip coaching (Five coaching principle) yang merupakan dasar atau pondasi yang perlu dipahami oleh coach:
1. Mengumpulkan informasi
Seorang supervisor (coach) harus mendapatkan informasi dari karyawan tanpa membuat karyawan merasa bahwa dia
diinterogasi.Informasi ini sangat penting untuk membuat berbagai
macam keputusan mulai dari menyeleksi karyawan untuk ditugaskan
di jabatan tertentu hingga mengidentifikasi kekurangan karyawan
pada kompetensi tertentu, kesulitas yang dihadapi karyawan,
mengetahui minat dan aspirasi karyawan atau mendesain ulang
pekerjaannya dan mestimulasi kinerja di atas standar.
2. Mendengarkan
Mengajukan pertanyaan yang tepat tidak akan berarti banyak jika
seorang supervisor tidak mendengarkan jawaban karyawan. Seorang supervisor (coach) yang baik harus memiliki kemampuan mendengarkan dengan ”telinga ketiga”, memberikan banyak perhatian
pada tanda-tanda non-verbal dan postur tubuh karyawan sehingga dia
mampu menangkap pesan yang tersirat atau perasaan karyawan ketika
yang sesuai untuk menunjukkan bahwa dia menghargai pembicaran
yang dilakukan.
3. Menyadari / peka dengan apa yang terjadi di sekitarnya
Seorang supervisor harus sering berbicara dengan karyawannya untuk mengetahui apakah mereka punya masalah moral atau masalah-masalah
lain di tempat kerja yang dapat menurunkan produktivitas atau yang
dapat memicu timbulnya masalah lain atau bahkan menangkap gejala
jika karyawan enggan menyelesaikan pekerjaannya.
4. Mengajar karyawan
Sebagai seorang coach yang baik, seorang supervisor harus memilki kemampuan mengajar baik secara individu maupun kelompok. Bahkan,
sebelumnya dia juga harus mampu melakukan analisis kebutuhan
pelatihan untuk mengetahui kesenjangan kompetensi yang dimiliki
karyawan.
5. Memberikan Umpan Balik
Umpan balik sangat penting dilakukan untuk membantu karyawan
meningkatkan kinerjanya.Seorang supervisor perlu memberikan umpan
balik positif atau apresiasi terhadap hasil kerja karyawan.Jika karyawan
tidak mencapai hasil kerja yang diharapkan, umpan balik konstruktif
perlu disampaikan dengan cara-cara yang kondusif dan berfokus pada
C. Salesperson
1. Definisi Salesperson
Menurut businesss dictionarysales adalah seorang individu yang menjual barang dan jasa kepada orang lain. Kesuksesan seorang sales person biasanya diukur dengan jumlah penjualan yang ia mampu lakukan selama periode tertentu
dan seberapa baik ia membujuk orang untuk melakukan pembelian. Jika seorang
salesperson dipekerjakan oleh perusahaan, dalam beberapa kasus kompensasi dapat menurun atau meningkat berdasarkan jumlah barang atau jasa yang dijual.
Sedangkan Beberapa ahli seperti Russel Kotler (2000) dan Takt (2003)
dalam (Moningka & Widyarini, 2005) mendefinisikan salesperson daIam kerangkayang lebih modern.Seorang tenaga penjualtidak hanya sekedar menjual
namun merupakanpekerjaan yang sangat penting, karena berhubungan dengan
konsumen, dan interaksinya dapat mempengaruhi kepuasan dan kesetiaan
konsumen.Jadi, salesperson disini adalah individu yang menawarkan suatu produk dalam suatu proses penjualan.Salesperson biasanya melakukan strategi promosi atau penjualan tatap muka (personal selling), menurut Kotler (dalam Nugroho, 2010) penjualan tatap muka adalah sebuah penyajian secara lisan dalam
suatupembicaraan dengan satu atau beberapa pembeli.
Adapun ciri-ciri penjualan tatap muka (personal selling) menurut Djaslim (dalam Nugroho, 2010)adalah :
1. Tatap muka pribadi
Penjualan pribadi yang mempunyai hubungan hidup, langsung dan
2. Pemupukan hubungan
Dengan penjualan pribadi akan beraneka ragam hubungan, mulai dari
hubungan jual – beli sampai kepada hubungan persahabatan yang erat.
3. Tanggapan
Pembeli lebih tegas dalam mendengarkan dan memberi tanggapan,
sekalipun tanggapannya hanya merupakan ucapan terima kasih.
Permasalahan yang seringkali terjadi pada saat salesperson melakukan pekerjaannya adalah munculnya keraguan saat ingin bertemu pelanggan atau
sedang kanvasing ke calon pelanggan sehingga membuat sales membatalkan kunjungannya, pembatalan terjadi lebih dikarenakan salesperson tiba-tiba menjadi down secara mental dan hilang semangat dikarenakan muncul pikiran-pikiran negatif seperti penolakan, membayangkan pelanggan akan terganggu, rasa tidak
enak, merasa tidak cocok, kehilangan mood dan ketakutan-ketakutan lainnya, begitupun ketika ingin melakukan follow up ke pelanggan atau prospek baru (Purnomo, 2013). Kondisi ini menunjukkan peran supervisor dalam memberikan coaching kepada karyawannya sangatlah penting, sehingga karyawan dapat memiliki engagement terhadap pekerjaan mereka dan dapat mencapai target.
Berdasarkan definisi-definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
salesperson adalah individu yang menawarkan suatu produk dalam proses penjualan tatap muka untuk merangsang konsumen membeli atau memakai barang
atau jasa yang diproduksi suatu perusahaan, dimana pelaksanaan kegiatannya
D. Hubungan antara Supervisory Coachingbehaviourdengan Work Engagement
Penelitian yang dilakukan oleh Schaufeli & Bakker (2004) mengenai “job demands, job resources, and their relationship with burnout and engagement: a multi-sample study” menemukan bahwa supervisory coaching yang termasuk dalam job resources memiliki hubungan terhadap engagement. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa supervisory coaching mampu menurunkan burnout pada karyawan.
Penelitian sebelumnya tentang pembinaan terhadap kinerja karyawan
dilakukan oleh Nugroho, Hasanuddin dan Brasit mengungkapkanbahwa ada
hubungan positif antara coaching terhadap motivasi kerja dan juga kinerjaindividual karyawan.Karyawan yang termotivasi memiliki tingkat
energi yang tinggi ketika bekerja, dalam hal ini berhubungan dengan vigor dalam work engagement.
Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Ellinger, Ellinger & Keller (2008)
menemukan bahwa supervisory coaching berhubungan dengan kepuasan kerja dan peforma kerja.Robins (dalam Nasution, 2009) mengatakan istilah
kepuasan kerja (job satisfaction) merujuk ke sikap umum seorang individu terhadap pekerjaannya.Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja tinggi
menunjukkan sikap yang positif terhadap kerja itu, sehingga mereka menjadi
Penelitian yang dilakukan oleh Xanthopoulou, Bakker, Demerouti, &
schaufeli (2009) juga menemukan hal yang sama mereka menemukan
bahwajob resources, yang salah satu faktornya adalah supervisory coaching memiliki hubungan yang positif dengan work engagement.
Peran supervisor sangat besar terhadap meningkatkan engagement bawahannya, apabila tindakan supervisor menyimpang dari ketentuan organisasi dapat mengakibatkan dampak psikologis yang dialami oleh anggota
organisasi yang bisa menimbulkan rasa tidak nyaman dalam bekerja dan
secara potensial bisa menurunkan engagement karyawan terhadap pekerjaannya (Fielden, 2005).
Perusahaan yang memberi gaji “bersaing” serta fasilitas “wah”, dengan
harapan individu jadi lebih produktif, bisa menampilkan kinerja terbaik.
Namun, upaya ini tidak selalu efektif untuk menumbuhkan spirit, motivasi, kepandaian dan sikap terpuji dari karyawan. Meski sudah diberi gaji diatas
rata-rata, tidak sedikit karyawan yang tetap bertingkah laku tidak produktif,
tidak mandiri, tidak berani mengambil keputusan dan resiko (Purnomo, 2013)
Riset menunjukkan upaya semacam ini tidak ampuh menghasilkan
perubahan perilaku yang bertahan lama, karena motivasinya bersifat eksternal,
bukan dari dalam diri individu. Coaching dengan nuansa komunikasi positif anggota tim terdorong untuk “berubah” tanpa merasa “diubah”, ia akan merasa
dibimbing tanpa merasa “digurui”, dan merasakan “tumbuh” tanpa dikerdilkan
kepada karyawan agar setiap karyawan dapat merasa engagement dengan pekerjaan mereka dan memberikan performa yang baik untuk perusahaan.
E. Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan sebagai jawaban sementara dalam penelitian ini,
yaitu:
Ada hubungan positif antara supervisory coaching behaviour dengan work engagement pada salesperson, yaitu semakin sering penilaian karyawan terhadap supervisory coaching behaviour atasan maka work engagement pun akan semakin tinggi, demikian sebaliknya, semakin jarang penilaian karyawan
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian ada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk
mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiono, 2010). Metode
penelitian merupakan salah satu elemen penting dalam suatu penelitian, sebab
metode penelitian menyangkut cara yang benar dalam pengumpulan data,analisis
data dan pengambilan keputusan hasil penelitian (Hadi, 2000).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode korelasional
kuantitatif, dimana penelitian korelasional menurut Azwar (2009) bertujuan untuk
menguji hubungan antara dua variabel.Penelitian ini bertujuan untuk melihat
hubungan antara Supervisory Coaching Behaviour dengan Work Engagement pada salesperson.
A. Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel yang hendak diukur dalam penelitian ini adalah :
1. Variabel tergantung
Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah Work Engagement. 2. Variabel bebas
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian
Definisi operasional dari kedua variabel dalam penelitian ini adalah :
1. Work Engagement
Work engagement dalam penelitian ini merupakan dorongan kerjayang positif yang dikarakteristikkan dengan adanya semangat dan
energi yang tinggi , bangga dan antusias serta merasa menikmati
pekerjaannya.
Dalam penelitian ini, work engagement dilihat dari skor total keseluruhan dari alat ukur berupa skala work engagement yang disusun berdasarkan aspek-aspek work engagement dari Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, dan Bakker (2003), yaitu vigor, dedication, dan absorbtion dimana semakin tinggi skor totalnya berarti menunjukkan semakin tinggi pula
work engagement dan demikian sebaliknya.
2.Supervisory Coaching Behaviour
Supervisory coaching behaviour dalam penelitian ini adalah penilaian terhadap perilaku supervisor dalam mengumpulkan informasi, mendengarkan, menyadari/ peka dengan kondisi sekitar, mengajar
karyawan dan memberi umpan balik untuk meningkatkan peforma kerja
karyawan.
dari skor total keseluruhan dari alat ukur berupa skala supervisory coaching behaviour yang disusun berdasarkan prinsip dasar coaching (Stone, 1999) dimana semakin tinggi skor totalnya berarti semakin sering
atasan menunjukkan supervisory coaching behavior. C. Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan di tiga perusahaan yang memiliki sales sebagai karyawan yaitu Bumi Putera, Mega Pratama General Insurance, Auto 2000 yang berlokasi di Medan-Sumatera Utara.
D. Populasi, Sampel, dan Metode Pengambilan Sampel
1. Populasi
Menurut Hadi (2000), populasi adalah keseluruhan dari
karakteristik atau unit hasil pengukuran objek atau subjek yang berada
pada suatu wilayah dan memenuhi syarat-syarat tertentu berkaitan
dengan masalah penelitian. Sedangkan Sugiyono (2010) menyatakan
populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas :obyek/subyek yang
mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh
peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan. Pada penelitian
ini populasinya adalah seluruh karyawan yang bekerja sebagai salesperson di kota Medan-Sumatera Utara.
2. Sampel
Menurut Hadi (2000), sampel adalah sebagian dari populasi yang
digunakanuntuk menentukan sifat-sifat serta ciri-ciri yang dikendalikan
penelitian ini, maka subjek penelitian adalah sebagian dari keseluruhan
populasi yaitu sampel.Adapun karakteristik populasi penelitian adalah
sebagai berikut:
1. Pria atau wanita yang yang bekerja sebagai salesperson 2. Usia minimal 20 tahun.
3.Karyawan tetap yang bekerja minimal 1 tahun.
Masa kerja 1 (satu tahun) diasumsikan telah cukup memiliki pemahaman
tentang nilai-nilai, tujuan, dan aturan perusahaannya (McShane &
Glinow, 2000).
Hadi (2000) menyatakan bahwa jumlah sampel yang lebih banyak
akan lebih baik dibandingkan dengan jumlah sampel yang lebih sedikit.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini jumlah sampel yang digunakan
diperkirakan sebanyak 100 orang.
Klasifikasi berdasarkan jenis kelamin responden berjenis kelamin
laki-laki (48%) dan (52%) berjenis kelamin perempuan. Sedangkan
klasifikasi berdasarkan usia 20-40 tahun (70%) dan 41-60 tahun (30%).
Dalam penelitian ini subjek digolongkan menjadi 3 kelompok SMA,
diploma dan Srata (S1), klasifikasi berdasarkan tingkat pendidikan SMA
(57%), diploma (13%) dan Strata (30%). Klasifikasi berdasarkan masa
kerja 1-10 tahun (75%), 11-20 tahun (17%), 21-30 tahun (5%), dan 31-40
3. Metode Pengambilan Sampel
Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel dengan cara
nonprobability sampling, dimana teknik pengambilan sampel yang tidak memberi peluang/kesempatan sama bagi setiap unsur atau anggota
populasi untuk dipilih menjadi sampel (Sugiyono,2010).
Jenis pengambilan sampel adalah accidental sampling (convenience sampling).Menurut Soleh (2005) accidental sampling adalah prosedur sampling dimana sampel dipilih karena faktor kondisi, seperti keberadaan sampel pada tempat dan waktu yang tepat. Sedangkan menurut Sugiyono
(2004) accidental sampling adalah mengambil responden sebagai sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan bertemu
dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel bila orang yang kebetulan
bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel bila orang yang
kebetulan ditemui cocok sebagai sumber data dengan kriteria utamanya
adalah orang tersebut merupakan salesperson. E. Metode dan Alat Pengumpulan Data
Metode penelitian hendaknya disesuaikan dengan tujuan penelitian dan
bentuk data yang akan diambil dan diukur (Hadi, 2000). Data penelitian ini
diperoleh dengan menggunakan lapor diri berupa kolom isian pribadi
1. Kolom Isian Data Pribadi
Digunakan untuk memperoleh data mengenai usia, jenis kelamin,lama
bekerja dan tingkat tingkat pendidikan terakhir. Dalam hal ini subjek
diminta untuk menuliskannya dalam kolom yang tersedia.
2. Skala
Metode skala digunakan karena data yang ingin diukur berupa konstruk
atau konsep psikologis yang dapat diungkap secara tidak langsung
melalui indikator-indikator perilaku yang diterjemahkan dalam bentuk
aitem-aitem pernyataan (Azwar, 2000).
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
dua skala, yaitu skala work engagement dan skala supervisory coaching behaviour.
a. Skala Work Engagement
Skala work engagement disusun berdasarkan aspek-aspek dari Schaufeli dkk (2003), yaitu vigor, dedication, dan absorbtion.
Dalam mengisi skala ini, partisipan diminta untuk memilih salah
satu dalam lima alternatif pilihan jawaban yang disusun berdasarkan skala
Likert. Setiap aspek akan diuraikan kedalam sebuah pernyataan favorable dan unfavorable, dimana subjek diberikan lima alternative pilihan, yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), netral (N), tidak setuju (TS), dan sangat
tidak setuju (STS). Untuk aitem yang favorable, pilihan SS akan mendapatkan skor lima, S mendapatkan skor empat, N mendapatkan skor
Sedangkan untuk aitem yang unfavorable, pilihan SS akan mendapatkan skor satu, S akan mendapatkan skor dua, N akan mendapatkan skor tiga,
TS mendapatkan skor empat, dan STS akan mendapatkan skor lima.
Dari setiap aspek yang telah diturunkan menjadi sejumlah aitem,
akan diperoleh skor total dari setiap aitem, yang menunjukkan semakin
tinggi skor total work engagement, maka akan diikuti oleh semakin tinggi work engagement.Skor total work engagementakan dibuat ke dalam bentuk kategorisasi dan akan dibagi menjadi 3 kategorisasi, yaitu rendah,
sedang, dan tinggi. Variabel yang digunakan dapat dilihat pada tabel
dibawah ini:
[image:52.595.113.512.403.731.2]Tabel 1
Blue print skala work engagement
Aspek-Aspek Employee- Engagement
Indikator
Butir Aitem Jumlah
Favorable Unfavor able
Vigor
Memiliki level energi yang tinggi
1,3,12,14, 19
17 6
Adanya kemauan untuk menanamkan usaha
4,10 20,28 4
Memiliki level resiliensi yang tinggi
2 23 2
Dedication
Perasaan penuh makna terhadap pekerjaan
5,9 21 3
Bangga dan antusias terhadap pekerjaan
6,11,33 25,27 5
Merasa tertantang dengan pekerjaan
22,34 32 3
Absorption
Konsentrasi penuh dalam pekerjaan
7,13,24 15,26 5
Tenggelam dalam pekerjaan 8,18,29,30 16,31 6
b. Skala Supervisory Coaching Behaviour
Skala supervisory coachingbehavior disusun berdasarkan prinsip dasar dalam coaching oleh Stone (1999).
Model skala supervisory coachingbehaviourdibuat dengan model skala Likert. Setiap prinsip dasar akan diuraikan kedalam sebuah pernyataan
favorable dan unfavorable, dimana subjek diberikan lima alternatif pilihan, yaitu; selalu (SL), sering (SR), netral (N), kadang-kadang (KD),
dan sangat tidak pernah (TP). Untuk aitem yang favorable, pilhan SL akan mendapatkan skor lima, SR mendapatkan skor empat, N mendapatkan
skor tiga, KD mendapatkan skor dua, dan pilihan TP mendapatkan skor
satu. Sedangkan untuk aitem yang unfavorable, pilihan SL akan mendapatkan skor satu, SR akan mendapatkan skor dua, N akan
mendapatkan skor tiga, KD mendapatkan skor empat, dan TP akan
mendapatkan skor lima.
Dari setiap aspek yang telah diturunkan menjadi sejumlah aitem, akan
Tabel 2
Blue print skala Supervisory Coaching Behaviour
F. Uji Validitas dan Reliabilitas
Tujuan dilakukan uji coba alat ukur adalah untuk melihat seberapa jauh
alat ukur dapat mengukur dengan tepat apa yang hendak diukur dan seberapa jauh
alat ukur menunjukkan kecermatan pengukuran (Azwar, 2000).
1. Uji Validitas
Untuk mengetahui apakah skala psikologi mampu menghasilkan data yang
akurat sesuai dengan tujuan ukurnya, perlu pengujian validitas.Pendekatan Dasar dalam
coaching Indikator
Butir Aitem Juml
ah Favorable Unfavorable
Mengumpulkan
informasi
Mengetahui potensi karyawan
1,3,13,23 25,28 6
Mengetahui kesulitan yang dihadapi karyawan
2,5,10,29 24,30 6
Mendengarkan Memahami pesan yang disampaikan
4,12,16 20,31 5
Menyadari/peka dengan apa yang terjadi di sekitar
Mengetahui permasalahan yang dialami karyawan
9 14 2
Mengajar
Karyawan
Mengajarkan karyawan tentang pekerjaannya
6,19 27,33 4
Memberikan
umpan balik
Memberikan apresiasi kepada karyawan
4,18,22 32 4
Memberikan teguran kepada karyawan
21,26,17,8 ,34
15,11 7
terhadap validitas alat ukur dilakukan dengan menyusun terlebih dahulu
operasional aspek-aspek pengukuran yang tepat dalam blue-print.Uji validitas yang dilakukan pada penelitian ini adalah face validity dan content validity. Face validity merupakan tipe validitas yang paling rendah signifikansinya karena didasarkan pada penilaian terhadap format tampilan (appearance) tes. Bila penampilan tes telah memberikan kesan mampu mengungkap apa yang hendak
diukur, maka face validity dikatakan telah terpenuhi. Sedangkan content validity apakah aitem-aitem alat ukur sesuai dengan apa yang akan diukur. Content validity diperoleh melalui pendapat dari professional judgment. Pendapat professional diperoleh dengan cara berkonsultasi dengan tiga orang dosen serta
menggunakan koefisien validitas isi Aiken’s V. Formula ini didasarkan pada penelitian panel ahli terhadap suatu aitem mengenai sejauh mana aitem tersebut
memiliki konstruk yang diukur (Azwar, 2012).
2. Uji Daya Beda Aitem
Uji daya beda aitem bertujuan untuk melihat sejauh mana aitem mampu
membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki dan tidak
memiliki atribut yang diukur. Dasar kerja yang digunakan dalam analisis aitem
ini adalah dengan memilih item-item yang mengukur hal yang sama dengan yang
diukur oleh tes sebagai keseluruhan (Azwar, 2000).
Pengujian daya beda aitem ini dilakukan dengan komputasi koefisien
korelasi antara distribusi skor pada setiap aitem dengan skor total aitem itu
pengujian ini akan menghasilkan koefisen-koefisien aitem total yang dikenal
dengan indeks daya beda aitem (Azwar, 2009).
Indeks daya diskriminasi aitem merupakan indikator keselarasan atau
konsistensi antara fungsi aitem dengan fungsi skala secara keseluruhan yang
dikenal dengan istilah konsistensi aitem-total. Prinsip kerjanya dengan melakukan
seleksi aitem yang fungsi ukurnya selaras atau sesuai dengan fungsi ukur skala
sesuai dengan yang dikehendaki peneliti atau dengan kata lain memilih aitem
yang mengukur hal yang sama dengan apa yang diukur oleh skala sebagai
keseluruhan.
Besarnya koefisien korelasi aitem total berada pada rentang 0-1 dengan
tanda (+) atau (-).Semakin baik daya diskriminasi aitem, maka koefesien korelasi
semakin mendekati angka 1.Sedangkan koefesien yang mendekati angka 0 atau
memiliki tanda negatif mengindikasikan daya diskriminasi yang tidak
baik.Sebagai kriteria pemilihan atau berdasarkan korelasi aitem total, biasanya
digunakan batasan ≥ 0.30 (Azwar, 2009).Apabila ternyata jumlah aitem yang lolos
tidak mencukupi jumlah yang diinginkan, batasan kriteria dapat diturunkan
menjadi 0.25.
Uji daya beda aitem yang dilakukan pada alat ukur dalam penelitian ini
3. Uji Reliabilitas
Reliabilitas mengacu kepada konsistensi atau kepercayaan hasil ukur, yang
mengandung makna kecermatan pengukuran. Pegukuran yang tidak reliabel akan
menghasilkan skor yang tidak dapat dipercaya karena perbedaan skor yang terjadi
diantara individu lebih ditentukan oleh faktor eror daripada faktor perbedaan yang
sesungguhnya (Azwar, 2009).
Uji reliabitas alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan reliabilitas konsistensi internal, yaitu single trial administration dimana skala hanya diberikan satu kali saja pada sekelompok individu sebagai
subjek (Azwar, 2000).Pengujian reliabilitas dilakukan dengan menggunakan
koefesien Alpha Cronbach.Biasanya, reliabilitas telah dianggap memuaskan bila mencapai α = 0.90 (Azwar, 2009).
G. Hasil Uji Coba Alat Ukur
Uji coba skala work engagement dan skala supervisory coaching behaviour dilakukan pada 80 orang salesperson, namun yang data yang terkumpul diperoleh dari 65 orang salesperson.
1. Hasil Uji Coba Skala Work Engagement
Untuk melihat daya diskriminasi aitem, dilakukan analisa uji coba dengan
digunakan batasan r ≥ 0,30 (Azwar, 2009). Apabila ternyata jumlah aitem yang
lolos tidak mencukupi jumlah yang diinginkan, batasan kriteria dapat diturunkan
menjadi 0.25. Dalam penelitian ini, batasan yang digunakan r ≥ 0,30, jumlah
aitem yang diuji cobakan adalah 34 aitem. Diperoleh 23 aitem yang baik dan 11
aitem yang gugur. 23 aitem yang baik ini akan digunakan dalam penelitian dengan
kisaran koefisien r= 0,306, sampai dengan r= 0,565 dan reabilitas sebesar 0,861.
[image:58.595.115.511.384.703.2]Distribusi aitem yang baik dari work engagement dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 3
Distribusi Aitem-Aitem Skala Work Engagement Setelah Uji Coba
Aspek-Aspek Employee- Engagement
Indikator
Butir Aitem Jumlah
Favorable Unfavor able
Vigor
Memiliki level energi yang tinggi
19 17 2
Adanya kemauan untuk menanamkan usaha
4,10 28 3
Memiliki level resiliensi yang tinggi
2 - 1
Dedication
Perasaan penuh makna terhadap pekerjaan
5,9 21 3
Bangga dan antusias terhadap pekerjaan
11,33 25,27 4
Merasa tertantang dengan pekerjaan
22,34 32 3
Absorption
Konsentrasi penuh dalam pekerjaan
13 15,26 3
Tenggelam dalam pekerjaan 8,29 16,31 4
2. Hasil Uji Coba Skala Supervisory Coaching Behaviour
Untuk melihat daya diskriminasi aitem, dilakukan analisa uji coba dengan
menggunakan aplikasi computer SPSS versi 20.0 for windows, kemudian nilai corrected item total correlation yang diperoleh dibandingkan dengan Pearson Product Moment dengan interval kepercayaan 95% yang memiliki harga kritik 0,272. Kriteria pemilihan aitem berdasarkan korelasi aitem total, biasanya
digunakan batasan r ≥ 0,30 (Azwar, 2009). Apabila ternyata jumlah aitem yang
lolos tidak mencukupi jumlah yang diinginkan, batasan kriteria dapat diturunkan
menjadi 0.25. Dalam penelitian ini, batasan yang digunakan r ≥ 0,30, jumlah
aitem yang diuji cobakan adalah 34 aitem. Diperoleh 18 aitem yang baik dan 16
aitem yang gugur. 18 aitem yang baik ini akan digunakan dalam penelitia