PENGARUH POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP PERILAKU ANAK AUTIS DI YAYASAN TALI KASIH MEDAN
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial
Universitas Sumatera Utara
Disusun Oleh : ESTHER SILABAN
100902030
DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAK DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL Nama: Esther Silaban
NIM : 100902030
ABSTRAK
Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Perilaku Anak Autis di Yayasan Tali Kasih Medan
Anak autis merupakan anak yang mengalami gangguan perilaku, perilaku anak autis yang tidak seperti anak normal lainnya seperti bahasa yang tidak efektif, tidak dapat berkomunikasi dengan baik, tidak peka terhadap lingkungan, emosi yang tidak stabil, agresif dan tantrum atau mengamuk tidak pada tempatnya. Perilaku anak autis ini dapat ditangani dengan terapi perilaku yang dikenal dengan metode ABA (Aplied Behavior Analyst). Orang tua adalah orang yang paling efektif dalam menerapkan terapi ini pada anak, karena orang tua adalah orang yang paling dekat pada anak. Untuk itu pola asuh orang tua yang tepat sangat dibutuhkan untuk penyembuhan perilaku anak autis, sehingga perilaku anak tersebut menjadi perilaku yang dapat diterima di masyarakat. Pola asuh dikategorikan menjadi 3 jenis, yaitu perilaku demokrasi, permisif dan otoriter.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian ekspalanatif. Responden dari penelitian ini adalah orang tua dari anak-anak autis yang menjalani terapi di Yayasan Tali Kasih Medan dengan jumlah 20 orang. Instrument analisis data yang digunakan kuesioner, wawancara dan observasi yang kemudian di analisis melalui tabulasi data yang tertuang dalam tabel data tunggal.
Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh pola asuh orang tua terhadap perilaku anak autis yang ada di Yayasan Tali Kasih Medan, namun pengaruhnya sangat rendah. Hal ini dapat dilihat dengan interpretasi tabel koefisien korelasi Product Moment terhadap hasil perhitungan koefisien korelasi observasi sebesar r = 0,26 yang terletak antara 0,20 – 0,30, yang diartiakn korelasinya positif signifikan sangat rendah. Sehingga hipotesisis nihil Ho ditolak, dan Ha diterima.
UNIVERSITY OF NORTH SUMATERA
FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTEMEN OF SOCIAL WELFARE
Nama : Esther Silaban NIM: 100902030
ABSTRACT
Influence of The Parent’s Parenting For Autistic Child’s Behavior in Yayasan Tali Kasih Medan
Child with autism are children who have behavioral disorders, autistic child's behavior is not like any other normal child as a language that is not effective, can not communicate well, are not environmentally sensitive, emotionally unstable, aggressive and raging tantrums or misplaced. The behavior of child with autism can be treated with behavioral therapy known as ABA method (Analyst Behavior Analyst). Parents are the most effective in applying this therapy in child, because the parents are the people who are closest to the child. To the parents’ parenting is needed for proper healing of autistic children’s behavior, so that the child’s behavior becomes acceptable behavior in society. Parenting categorized into 3 types, namely democratic behavior, permissive and authoritarian.
This research uses research methods explanative. The responden in this study were parents with child of autism in Yayasan Tali Kasih Medan. Instrument of data analysis used were questionnaires, interviews, observation for child of autism in that yayasan and tabulation data containeiden a single data table.
The result showed the influence Parenting of the Parents for behavioral child of autism in that Yayasan Tali Kasih Medan, but the influence very weak. It can be seen with the interpretation of the Product Moment correlation coefisient table of the calculated correlation coefficient observased for r = 0,26 which lies between 0,20 – 0,39 which means a significant positive correlation is very weak or low. So that the nihil hypothesis Ho is rejected and Ha accepted.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan saya, Tuhan Yesus kristus,
karena kasih dan berkatNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan
semestinya. Sebab penulis sebagai manusia biasa hanya bisa berusaha dan yang
terutama hanya bisa berpengharapan pada Dia. Penulisan skripsi ini merupakan karya
ilmiah dari penulis, yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
dari Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara, dengan judul : Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap
Perilaku Anak Autis di Yayasan Tali Kasih Medan.
. Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada pihak yang ikut
serta memberikan kontribusi baik berupa bimbingan, saran dan komentar yang sangat
membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Dalam kesempatan yang
berbahagia ini, penulis menyampaikan terima kasih banyak kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
2. Selaku Ketua Jurusan Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu
Kesejahteraan Sosial, Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Drs. Bengkel Ginting M.Si selaku dosen pembimbing penulis
4. Kepada seluruh dosen Ilmu Kesejahteraan Sosial dan staf pengajar di Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang telah memberikan materi kuliah selama
penulis mengikuti perkuliahan.
5. Secara khusus penulis persembahkan kepada orang tua, orang yang paling
penulis kasihi dan hormati ayahanda Badu Panangar Silaban dan ibunda Ledi
Pangaribuan, buat semua doa, pengorbanan dan dukungannya yang telah
Terkhusus buat mama yang sangat berjuang untuk kami anak-anaknya ini,
semoga mama semakin bijaksana dan kuat serta semakin bersukascita di
dalam Tuhan.
6. Penulis juga tidak lupa berterima kasih kepada abang-abang, kakak dan
adik-adik penulis yang tidak henti-hentinya memberi dukungan kepada penulis,
baik dukungan doa maupun dukungan moril. Kepada bang Ivy Christanto
Silaban, SS dan kak Friska Simanjuntak, S.PAK; bang Johnslow Silaban, SH;
kak Elen White Silaban S.pd; Sunrise Silaban; dan Young Elisabeth Silaban.
Terima kasih buat semuanya, penulis yakin kita semua akan menjadi
anak-anak yang membanggakan orang tua, bangsa dan negara, dan terutama untuk
kemuliaan Tuhan. Kita akan menjadi satu keluarga yang sukses dan bahagia,
serta menjadi berkat bagi orang lain.
7. Untuk seluruh keluarga penulis, baik dari keluarga dari pihak mama ataupun
keluarga dari pihak papa, terima kasih buat doa dan dukungannya.
8. Untuk oppung Ny. Ir. JK Pangaribuan br. Sianipar beserta keluarga, penulis
mengucapkan terima kasih banyak buat dukungan-dukungan serta saran yang
membangun yang diberikan kepada penulis. Semoga kedepannya kalian tetap
menjadi saluran berkat bagi sesama untuk kemuliaan Tuhan.
9. Buat kelompok kecik ‘Abigail’, (Denti Monica Hutahaean, Esther Silaban,
Grace M. S Hutagalung, Megawati Sitinjak, dan Sartika br. Karo). Terima
kasih ya buat doa dan penguatan yang telah diberikan kepada penulis. Semoga
kita menjadi the next Abigail, menjadi perempuan yang cantik, kuat dan
bijaksana di dalam Tuhan.
10.Buat teman-teman staambuk 2010 yang menjadi teman seperjuangan selam
Riada, Intan, Sintong, Silva, Erlince, Foniah, Erwin, Juwita, Pera, Dimas,
Dwi, Ayu Maya, Wenni dan yulizar, yang telah berjuang mulai dari awal
untuk tugas akhir ini. Buat teman-teman IKS 2010 yang lain, seperti Debora,
Umi, Feri, Prima, Liberson, Ardi, Leo, Desi Hutajulu, Rahma serta
teman-teman yang lain, yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, terima kasih
semuanya. Tetap semangat ya.
11.Kepada Ibu Sari selaku pihak administrasi yang telah mengizinkan penulis
melakukan penelitian di Yayasan Tali Kasih Medan, begitu juga kepada
responden yang telah meluangkan waktu untuk menjawab kuesioner yang
diberikan penulis untuk membantu penyelesaian skripsi ini. Terima kasih buat
semuanya, semoga Tuhan membalas jasa-jasa kalian.
12.Buat semua pihak yang turut membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yang
tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih buat bantuan dan
kerjasamanya.
Sebagai manusia biasa, penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang
membangun dan menambah kesempurnaan skripsi ini. Dengan harapan penulis,
semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Atas perhatian dan kemaklumannya,
penulis mengucapkan terima kasih.
Medan, Juli 2014
Penulis,
DAFTAR ISI
halaman
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI... vi
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR BAGAN ... xiii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 9
1.3 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 10
1.4 Sistematika Penelitian ... 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Orang Tua ... 12
2.2 Pola Asuh Orang Tua ... 12
2.2.1 Pengertian Pola Asuh ... 12
2.2.2 Dimensi Pola Asuh ... 14
2.2.3 Jenis-jenis Pola Asuh ... 16
2.2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh ...18
2.3 Perilaku ... 19
2.3.1 Pengertian Perilaku ... 19
2.3.2 Faktor yang Mempengaruhi Perilaku dan Aspek Perkembangan Perilaku ... 21
2.3.3 Pembentukan Perilaku ... 24
2.5 Autis ... 28
2.5.1 Pengertian Autis ... 28
2.5.2 Kriteria Autis ... 29
2.5.3 Faktor Penyebab Autis ... 33
2.5.4 Perilaku Anak Autis ... 34
2.5.5 Penanganan Pada Anak Autis ... 37
2.6 Kesejahteraan Anak ... 39
2.6.1 Kesejahteraan Anak Penyandang Cacat ... 40
2.7 Kerangka Pemikiran ... 41
2.8 Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional ... 44
2.8.1 Defenisi Konsep ... 44
2.8.2 Defenisi Operasional ... 45
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian ... 48
3.2 Lokasi Penelitian ... 48
3.3 Populasi dan Sampel ... 48
3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 49
3.5 Teknik Analisis Data ... 49
BAB IV DESKRIPSI LOKASI 4.1 Visi dan Misi Yayasan Tali Kasih Medan ... 51
4.2 Rangkaian Terapi Pada Yayasan ... 51
4.3 Latar Belakang Yayasan ... 52
4.4 Model Pendidikan Terpadu Autisme di Yayasan ... 53
BAB V ANALISIS DATA
5.1 Analisa Tabel Tunggal ... 59
5.2 Analisa Kuantitatif ... 96
BAB VI PENUTUP
6.1 Kesimpulan ... 98
6.2 Saran ... 99
DAFTAR TABEL
Tabel 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis
Kelamin Anak Autis ... 59
Tabel 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Usia Anak Autis ... 60
Tabel 5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Agama Anak Autis ... 61
Tabel 5.4 Distribusi Responden Berdasarkan Usia Orang
Tua Anak Autis ... 62
Tabel 5.5 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir ... 62
Tabel 5.6 Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan ... 63
Tabel 5.7 Distribusi Responden Berdasarkan Status Orang Tua
Anak Autis ... 64
Tabel 5.8 Distribusi Responden Berdasarkan Kuantitas Orang Tua
Mengajak anak Berinteraksi ... 65
Tabel 5.9 Distribusi Responden Berdasarkan Kuantitas Orang Tua
Memperkenalkan Anak Kepada Kawan-kawan Yang Lain ... 66
Tabel 5.10 Distribusi Responden Berdasarkan Kuantitas Orang Tua
Memberikan Pujian Terhadap Keakraban Anak ... 67
Tabel 5.11 Distribusi Responden Terhadap Kuantitas Memberikan
Pengarahan Kepada Anak ... 68
Tabel 5.12 Distribusi Responden Berdasarkan Kuantitas Memberikan
Imbalan Terhadap Kepatuhan Akan Disiplin ... 69
Tabel 5.13 Distribusi Responden Terhadap Kemauan Orang Tua
Menanyakan Alasan Anak ... 69
Untuk Meningkatkan Potensi Anak ... 70
Tabel 5.15 Distribusi Responden Terhadap Sikap Langsung Memarahi
Anak Ketika Anak Berbuat Salah ... 71
Tabel 5.16 Distribusi Responden Terhadap Pemberian Perintah
Kepada anak ... 72
Tabel 5.17 Distribusi Responden Terhadap Kuantitas Memarahi Anak Ketika
Anak Menolak Perintah ... 73
Tabel 5.18 Distribusi Responden Terhadap Penerapan Disiplin Dalam
Segala Hal Pada Anak ... 74
Tabel 5.19 Distribusi Responden Terhadap Pengawasan Yang Ketat
Kepada Anak ... 75
Tabel 5.20 Distribusi Responden Terhadap Pemberian Hukuman Kepada
Anak Jika Melanggar Aturan Dari Orang Tua ... 76
Tabel 5.21 Distribusi Responden Terhadap Kuantitas Membiarkan Anak
Bermain Sendiri ... 77
Tabel 5.22 Distribusi Responden Terhadap Sikap Mengabaikan Jika Anak
Menangis ... 78
Tabel 5.23 Distribusi Responden Terhadap Kebebasan Yang Diberikan
Terhadap Anak ... 79
Tabel 5.24 Distribusi Responden Terhadap Sikap Langsung Menuruti
Permintaan Anak ...80
Tabel 5.25 Distribusi Responden Terhadap Kuantitas Menuruti Keinginan
Anak Walaupun Hal Itu Salah ... 81
Tabel 5.26 Distribusi Responden Terhadap Waktu Yang Lebih Banyak
Dengan Anak Setiap Harinya ... 82
Tabel 5.27 Distriibusi Responden Terhadap Kuantitas Anak
Berkomunikasi dengan Orang Tua ... 83
Tabel 5.28 Distribusi Responden Terhadap Kuantitas Anak Bermain
Sendiri ... 84
Tabel 5.29 Distribusi Responden Terhadap Sikap Ketidaktanggapan Anak
Jika Dia Dipanggil ... 85
Tabel 5.30 Distribusi Responden Terhadap Ketidakmauan Anak Berkomunikasi
Dengan Teman-temannya ... 86
Tabel 5.31 Distribusi Responden Terhadap Ketidakcocokan dan
Ketidakakraban Anak Dengan Teman-temannya ... 87
Tabel 5.32 Distribusi Responden Terhadap Ketidakmampuan Anak
Mengikuti Aturan Permainan ... 88
Tabel 5.33 Distribusi Reponden Terhadap Cara Anak Mengutarakan
Keinginannya Dengan Menangis ... 89
Tabel 5.34 Distribusi Responden Terhadap Respon Anak Yang Mengamuk
JIka Permintaanya Ditolak ... 90
Tabel 5.35 Distribusi Responden Terhadap Kuantitas Anak Melukai
Dirinya Sendiri ... 91
Tabel 5.36 Distribusi Responden Terhadap Kuantitas Anak Melukai
Orang-orang Yang Disekitarnya ... 92
Tabel 5.37 Distribusi Responden Terhadap Kuantitas Anak Merusak
Tabel 5.38 Distribusi Responden Terhadap Penolakan Anak Akan
Hadiah ... 94
Tabel 5.39 Distribusi Responden Terhadap Kuantitas Anak Meminta Hadiah
DAFTAR BAGAN
halaman Bagan 2.1 ... 44
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAK DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL Nama: Esther Silaban
NIM : 100902030
ABSTRAK
Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Perilaku Anak Autis di Yayasan Tali Kasih Medan
Anak autis merupakan anak yang mengalami gangguan perilaku, perilaku anak autis yang tidak seperti anak normal lainnya seperti bahasa yang tidak efektif, tidak dapat berkomunikasi dengan baik, tidak peka terhadap lingkungan, emosi yang tidak stabil, agresif dan tantrum atau mengamuk tidak pada tempatnya. Perilaku anak autis ini dapat ditangani dengan terapi perilaku yang dikenal dengan metode ABA (Aplied Behavior Analyst). Orang tua adalah orang yang paling efektif dalam menerapkan terapi ini pada anak, karena orang tua adalah orang yang paling dekat pada anak. Untuk itu pola asuh orang tua yang tepat sangat dibutuhkan untuk penyembuhan perilaku anak autis, sehingga perilaku anak tersebut menjadi perilaku yang dapat diterima di masyarakat. Pola asuh dikategorikan menjadi 3 jenis, yaitu perilaku demokrasi, permisif dan otoriter.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian ekspalanatif. Responden dari penelitian ini adalah orang tua dari anak-anak autis yang menjalani terapi di Yayasan Tali Kasih Medan dengan jumlah 20 orang. Instrument analisis data yang digunakan kuesioner, wawancara dan observasi yang kemudian di analisis melalui tabulasi data yang tertuang dalam tabel data tunggal.
Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh pola asuh orang tua terhadap perilaku anak autis yang ada di Yayasan Tali Kasih Medan, namun pengaruhnya sangat rendah. Hal ini dapat dilihat dengan interpretasi tabel koefisien korelasi Product Moment terhadap hasil perhitungan koefisien korelasi observasi sebesar r = 0,26 yang terletak antara 0,20 – 0,30, yang diartiakn korelasinya positif signifikan sangat rendah. Sehingga hipotesisis nihil Ho ditolak, dan Ha diterima.
UNIVERSITY OF NORTH SUMATERA
FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTEMEN OF SOCIAL WELFARE
Nama : Esther Silaban NIM: 100902030
ABSTRACT
Influence of The Parent’s Parenting For Autistic Child’s Behavior in Yayasan Tali Kasih Medan
Child with autism are children who have behavioral disorders, autistic child's behavior is not like any other normal child as a language that is not effective, can not communicate well, are not environmentally sensitive, emotionally unstable, aggressive and raging tantrums or misplaced. The behavior of child with autism can be treated with behavioral therapy known as ABA method (Analyst Behavior Analyst). Parents are the most effective in applying this therapy in child, because the parents are the people who are closest to the child. To the parents’ parenting is needed for proper healing of autistic children’s behavior, so that the child’s behavior becomes acceptable behavior in society. Parenting categorized into 3 types, namely democratic behavior, permissive and authoritarian.
This research uses research methods explanative. The responden in this study were parents with child of autism in Yayasan Tali Kasih Medan. Instrument of data analysis used were questionnaires, interviews, observation for child of autism in that yayasan and tabulation data containeiden a single data table.
The result showed the influence Parenting of the Parents for behavioral child of autism in that Yayasan Tali Kasih Medan, but the influence very weak. It can be seen with the interpretation of the Product Moment correlation coefisient table of the calculated correlation coefficient observased for r = 0,26 which lies between 0,20 – 0,39 which means a significant positive correlation is very weak or low. So that the nihil hypothesis Ho is rejected and Ha accepted.
BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang
Dalam setiap kehidupan manusia pasti memiliki keluarga, baik itu keluarga
secara biologis maupun keluarga secara pergaulan dalam interaksi dan kehidupan
bersosialisasi. Keluarga merupakan suatu kelompok terkecil dalam suatu tatanan
kehidupan sosial, yang dihubungkan oleh kelahiran, pernikahan, atau adopsi dan
tinggal bersama serta berbagi fungsi sosial lainnya satu dengan yang lain.
Seiring perkembangan zaman fungsi keluarga juga mengalami perubahan dari
masa ke masa. Dahulu, pandangan tradisional mengatakan orang mengakui
pernikahan hanya untuk memperoleh keamanan ekonomi, penyediaan barang-barang
dan jasa, serta untuk memperoleh status sosial, dan juga untuk melanjutkan keturunan.
Kemudian terjadi perubahan pandangan mengenai fungsi keluarga, yakni orang
menginginkan pernikahan yang dilandasi cinta, keinginan untuk hidup bersama dan
memuaskan kebutuhan emosional, mampu membesarkan anak sebagai penerus
keturunan, selain juga ingin memiliki keamanan ekonomi. (Hal-hal tersebut kini
menjadi penting terkait dengan alasan mengapa seseorang menikah, cinta dan afeksi
merupakan harapan utama orang dalam pernikahan saat ini ( Degenova, 2008).
Keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak. Sudah menjadi hal yang biasa dalam
budaya Indonesia, jika dalam sebuah keluarga menginginkan kehadiran anak.
Kehadiran anak sebagai buah dari pernikahan dalam sebuah keluarga membawa
pasangan yang sudah menikah tersebut secara otomatis mempunyai pertambahan
tugas dan tanggung jawab, yakni tugas perkembangan sebagai orang tua.
Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama dan utama bagi anak
keluarga sangat mempengaruhi kehidupan dan perkembangan anak karena
pengalaman interaksi di dalam keluarga akan menentukan pola dan tingkah laku anak
terhadap diri sendiri dan orang lain dalam masyarakat. Keluarga terutama orang tua
memberikan dasar pembentukan tingkah laku, watak, moral dan pendidikan anak
Orang tua adalah orang yang bertangggung jawab penuh dalam anak. Dalam
arti sempit orang tua adalah bapak dan ibu. Tanggung jawab tersebut menyangkut
semua aspek dalam kehidupan anak bukan hanya menyangkut pemenuhan nafkah
anak secara fisik, namun menyangkut pemenuhan nafkah anak secara psikis.
Orang tua selalu mempunyai pengaruh yang paling kuat pada anak. Setiap
orang tua mempunyai gaya tersendiri dalam hubungannya dengan anak-anaknya,
memiliki cara yang berbeda-beda dalam mendidik dan mengasuh anak-anak mereka.
Dan baik buruknya hubungan serta cara mendidik dan mengasuh anak oleh orang tua
tersebut akan mempengaruhi perkembangan sosial anak. Secara umum proses menjadi
orang tua meliputi antara lain kelahiran anak, perawatan, dan memberi pengasuhan
pada anak.
Mengasuh anak berarti adanya sebuah proses yang menunjukkan suatu
interaksi antara orang tua dan anak secara berkelanjutan. Dari proses ini dihasilkan
suatu perubahan, baik perubahan pada orang tua maupun anak. Mengetahui seni
mengasuh anak merupakan salah satu tantangan yang dihadapi orang tua. Kebanyakan
orang tua belajar tentang seni dalam mengasuh anak melalui pengalamannya sendiri,
dari hasil observasi dan ingatan mengenai bagaimana dahulu orang tua mereka
mengasuh. Sehingga pengasuhan yang diberikan orang tua kepada anaknya kurang
efektif karena setiap anak mempunyai sifat yang berbeda.
Seni mengasuh anak dapat disebut sebagai pola asuh orang tua dalam
tua meliputi tidak hanya pemenuhan kebutuhan fisik (makan, minum, pakaian, dan
lain sebagainya) dan kebutuhan psikologis (afeksi atau perasaan) tetapi juga
norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan
(Gunarsa, 2002).
Pola asuh merupakan suatu cara terbaik yang ditempuh orang tua ataupun
pendidik dalam mendidik anak sebagai perwujudan dari rasa tanggung jawab kepada
anak, dimana tanggung jawab untuk mendidik anak ini merupakan tanggung jawab
primer. Bentuk pola asuh orang tua terhadap anak tersebut juga merupakan interaksi
antara anak dengan orang tua selama mengadakan kegiatan pengasuhan, mendidik,
membimbing dan mendisplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan
sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat (Schocib, 2000 :15).
Pola pengasuhan menurut Baumrind (dalam Sigelman, 2002) mengandung dua
dimensi tingkah laku yakni, dimensi acceptance/resposiveness dan dimensi
demandingness/control. Dimensi acceptance/resposiveness menggambarkan
bagaimana orang tua merespon anaknya, berkaitan dengan kehangatan dan dukungan
orang tua. Sedangkan dimensi demandingness/control menggambarkan bagaimana
standar yang ditetapkan oleh orang tua bagi anak, berkaitan dengan control perilaku
dari orang tua kepada anak-anaknya.
Kedua dimensi di atas akan membentuk beberapa jenis pola asuh yang
diterapkan oleh orang tua kepada anak. Menurut Baumrind (dalam Sigelman, 2002)
pola asuh terdiri dari tiga jenis yakni, authoritative, authoritarian dan permissive,
kemudian Maccoby & Martin (1983) menambahkan satu jenis pola asuh lagi dengan
pola asuh Neglectful. Authoritarian parenting merupakan pola asuh yang
mengkombinasikan tingginya demandingness/control dan rendahnya
dimensi baik demandingness/control maupun acceptence/responsive. Selanjutnya
pada permissive parenting pola pengasuhan ini mengandung demandingness/control
yang rendah dan acceptence/responsive yang tinggi. Terakhir neglectful parenting
merupakan orang tua yang mengkombinasikan rendahnya demandingness/controldan
acceptence/responsiveyang rendah pula (Sigelmen, 2002).
Melalui pola asuh tersebut yang diberikan orang tua kepada anaknya, maka
setiap orang tua tersebut pasti menginginkan anaknya menjadi orang yang
berkepribadian baik, sikap, mental yang sehat serta akhlak yang terpuji.Sekalipun
anak tersebut anak yang berkebutuhan khusus atau anak yang abnormal.
Ternyata dalam perjalanan sebuah keluarga, anak-anak yang dilahirkan tidak
selalu normal. Ditemui pula anak-anak yang dilahirkan dengan kebutuhan khusus.
Pada dasarnya setiap orang tua berharap akan memiliki anak-anak yang bertumbuh
kembang secara normal. Namun, sudah merupakan kodrat yang tidak dapat ditolak
atau dihindari bahwa manusia itu diciptakan dengan berbagai macam bentuk manusia
di dunia. Ada anak yang normal dan ada juga anak yang abnormal.
Seorang anak dikatakan normal apabila mampu berkembang dengan baik dan
seimbang seiring pertumbuhannya dan berlangsung seperti individu lain pada
umumnya. Sedangkan pada kondisi anak-anak dengan kebutuhan khusus akan
mengarah pada keterlambatan dan gangguan pada perkembangan dan tumbuh
kembangnya, salah satunya Autis. Autis dapat terjadi pada semua kelompok
masyarakat yakni mereka yang memiliki orang tua dengan latar belakang sosial,
ekonomi, budaya dan pendidikan yang beragam.
Autis merupakan salah satu penyimpangan dalam perkembangan sejak masa
gangguan pada perkembangan bahasanya (komunikasi) dan adanya kebiasaan untuk
melakukan pengulangan tingkah laku yang sama (Yusuf, 2003).
Jumlah anak yang terkena autis semakin meningkat pesat di berbagai belahan
dunia. Di Kanada dan di Jepang pertambahan ini mencapai 40 persen sejak 1980. Di
California sendiri pada tahun 2002 disimpulkan terdapat 9 kasus autis per harinya. Di
Amerika Serikat disebutkan autis terjdi pada 15.000 – 60.000 anak dibawah 15 tahun.
Kepustakaan ini menyebutkan prevelensi autis 10-20 kasus dalam 10.000 orang.
Bahkan ada yang mengatakan 1 diantara 1000 anak. Di Inggris pada awal tahun 2002
bahkan dilaporkan angka kejadian autis meningkat sangat pesat. Dicurigai 1 diantara
10 anak menderita autis.
Fakta membuktikan, autis bukanlah sesuatu hal yang baru, dan ada di
sekeliling kita. Sampai saat ini belum ada penelitian khusus yang dapat menyajikan
data autism pada anak di Indonesia. Bila diasumsikan dengan prevelensi autism pada
anak di Hongkong, dimana jumlah anak usia 5-19 tahun di Indonesia mencapai
66.000.805 jiwa (BPS, 2010).
Meski belum ada angka pasti berapa sebenarnya jumlah anak autisme
di Indonesia, namun pemerintah merilis data jumlah anak penyandang autisme bisa
berada di kisaran 112 ribu jiwa. Jumlah kasus autisme mengalami peningkatan yang
signifikan. Jika tahun 2008 rasio anak autis 1 dari 100 anak, maka di 2012 terjadi
peningkatan yang cukup memprihatinkan dengan jumlah rasio 1 dari 88 orang anak
saat ini mengalami autisme. Di Indonesia, pada 2010, jumlah penderita autisme
diperkirakan mencapai 2,4 juta orang. Hal itu berdasarkan data yang dikeluarkan oleh
Badan Pusat Statistik. Pada tahun tersebut jumlah penduduk Indonesia mencapai
237,5 juta orang dengan laju pertumbuhan 1,14 persen. Jumlah penderita autisme di
ini diprediksi jumlah penyandang mencapai tiga juta orang dengan perbandingan 6 di
antara 10 ribu kelahiran (http://lintasfakta.com/2013/10/07/).
Di Indonesia yang berpenduduk sekitar 200 juta orang, hingga saat ini belum
diketahui berapa persisnya jumlah penyandang autis namun diperkirakan jumlah anak
autis dapat mencapai 150-200 ribu orang. Perbandingan antara laki-laki dan
perempuan adalah 4 : 1. Namun anak perempuan yang terkena akan menunjukkan
gejala yang lebih berat (Judarwanto, 2008). Penyebanya adalah karena laki-laki lebih
banyak memproduksi testosteron, sementara perempuan lebih banyak memproduksi
esterogen. Kedua hormon itu memiliki efek bertolak belakang terhadap suatu gen
pengatur fungsi otak yang disebut retinoic acid-related orphan receptor-alpha atau
RORA. Testosteron menghambat kerja RORA, sementara estrogen justru
meningkatkan kinerjanya.
Autis diklasifikasikan sebagai ketidaknormalan perkembangan neuro yang
menyebabkan interaksi sosial. Kemampuan komunikasi, pola kesukaan, dan pola
sikap yang tidak normal sebagai karakteristik mereka. Selain tidak mampu
bersosialisasi, anak-anak penyandang autis juga tidak dapat mengendalikan emosinya
(Veskarisyanti, 2008).
Ketidaknormalan perkembangan neuro pada anak autis sangat mempengaruhi
perilaku si anak tersebut, tentunya dengan perilaku anak yang abnormal juga. Perilaku
merupakan setiap cara reaksi atau respon manusia, makhluk hidup terhadap manusia
dan lingkungannya. Pada umumnya perilaku anak autis dikategorikan ke dalam dua
jenis perilaku, yaitu berperilaku berlebihan (hiperaktif) dan berperilaku kekurangan
(hipoaktif).
Dari karakteristik anak autis yang demikian dapat diketaahui bahwa anak autis
perilaku anak. oleh karena itu tentu saja orang tua yang memiliki anak autis
mempunyai cara dan pola asuh tersendiri dalam mengasuh dan membesarkan anaknya
tersebut. Salah satu dari karakteristik anak autis itu adalah pola sikap yang tidak
normal. Pola sikap ini sangat berkaitan dengan perilaku anak dalam kehidupannya.
Dan hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi orang tua si anak penyandang autis.
Menurut Akmal Taher (dalam tribun news.com), Penanganan anak autis
membutuhkan kesabaran dan konsistensi. Fenomena ini merupakan perjalanan yang
panjang, jadi orang tua seharusnya tidak berhenti pada ketidakmampuan anak. Namun
perlu upaya untuk menggali bakat-bakat serta potensi yang dimiliki. Intervensi yang
tepat bagi seorang anak yang telah terdiagnosis sebagai penyandang gangguan autis
adalah terapi untuk masalah-masalah yang dialami. Misalnya, terapi wicara untuk
masalah komunikasi, terapi perilaku untuk masalah afektif dan terapi okupasi untuk
mengatasi permasalahan perkembangan motorik yang berpengaruh pada kemampuan
komunikasi, perilaku dan kognitif. Karena itu, keberhasilan penanganan anak-anak
penyandang autis tergantung dari pendekatan holistic yang meliputi diagnosa akurat,
terapi dan pendidikan yang tepat, serta dukungan yang kuat dari keluarga terdekat,
terutama orang tua dan semua sektor terkait.
Ternyata baik pada kondisi anak normal maupun anak berkebutuhan khusus,
salah satunya anak dengan gangguan Autis, keterlibatan orang tua serta pemberian
pola asuh yang tepat memberikan pengaruh besar pada keberhasilan tumbuh kembang
anak. Sangat penting bagi orang tua mampu memberi pengasuhan yang tepat pada
anak, khususnya anak dengan gangguan Autis agar dapat membantu anak bertumbuh
kembang dengan lebih baik.
Autis pada anak bukan aib bagi keluarga, ia hanya satu dari begitu banyak
hari. Anak autis tetap seorang anak yang membutuhkan cinta kasih, perhatian,
disiplin, bimbingan, dan pengarahan. Karena ia milik masa depan. Sudah menjadi
kewajiban orang tua untuk mengantar anaknya ke masa depan yang lebih baik.
Namun, kebanyakan orang tua mengalami shock bercampur perasaan sedih,
khawatir, cemas, takut dan marah ketika pertama kali mendengar diagnosa bahwa
anaknya mengalami gangguan Autis. Mereka menganggapnya sebagai bencana akibat
kesalahan masa lalu orang tua. Setiap orang tua pasti berbeda-beda reaksi
emosionalnya, bagaimanapun reaksi emosional yang dimunculkan oleh para orang tua
tersebut adalah hal yang wajar dan alamiah. Khusus pada para ibu yang memiliki anak
dengan gangguan Autis perasaan bersalah dan merasa tidak adil lebih mereka rasakan.
Rasa bersalah sangat besar tersebut tentu saja bisa melumpuhkan semangatnya untuk
mengatasi masalah pada anaknya.
Masalah pada anak autis yang paling tampak adalah masalah perilaku. Anak
autis memiliki perilaku khas dan cenderung aneh jika dibandingkan dengan anak-anak
normal lainnya. Masing-masing anak autis memiliki perilaku aneh yang berbeda
antara yang satu dengan yang lain.
Salah satu terapi penting bagi anak autis adalah terapi perilaku (behavior
therapy). Terapi ini akan memberikan hasil yang lebih baik jika dipadukan dengan
terapi lainnya, seperti terapi wicara, terapi okupasi dan pendidikan khusus. Terapi
perilaku ini bertujuan untuk mengurangi perilaku aneh yang tidak wajar dan
menggantinya dengan perilaku yang bisa diterima di masyarakat (Sunar, Dwi 2007:
233-240).
Sementara perilaku anak terbentuk dan berkembang melalui proses
komunikasi dari keluarga terutama dari orang tua. Pembentukan perilaku anak tidak
interaksi manusia, dalam hal ini interaksi dari manusia tersebut di dapatkan anak
adalah orang tua karena orang tua adalah tempat interaksi yang paling dekat dan tepat.
Di dalam komunikasi dan interaksi dari orang tua tersebut, orang tua perlu
menerapkan pola asuh kepada anak untuk dapat membentuk perilaku anak menuju
masa depannya.
Yayasan Tali Kasih merupakan salah satu tempat pusat terapi untuk anak-anak
autis yang ada di kota Medan dan merupakan pusat kegiatan belajar masyarakat untuk
anak berkebutuhan khusus yang pertama di Medan. Selain menjadi pusat terapi,
Yayasan ini juga sebagai wadah bagi anak-anak autis untuk mendapat pendidikan,
seperti membaca dan menulis. Sehingga Yayasan Tali Kasih Medan ini merupakan
Sekolah sekaligus untuk terapi anak autis.
Orang tua anak-anak autis yang diterapi di yayasan ini ikut serta menemani
anaknya tersebut. Orang tua anak memang mempercayakan anaknya kepada yayasan
tersebut untuk diterapi dan dididik, sekaligus sebagai tempat penitipan anak mereka.
Namun para orang tua tetap meluangkan waktunya untuk ikut serta dalam
mendampingi dan mengasuh anaknya di yayasan tersebut.
Dari latar belakang yang telah dipaparkan, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian yang berjudul Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Perilaku
Anak Autis di Yayasan Tali Kasih Medan).
1.2Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka masalah
yang dapat dirumuskan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah “ Bagaimana
pengaruh pola asuh orang tua terhadap perilaku anak autis yang ada di Yayasan Tali
1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ada
atau tidaknya pengaruh pola asuh orang tua dalam membentuk perilaku anak autis
yang ada di Yayasan Ananda Karsa Mandiri Medan.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah :
a. Manfaat praktis : penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan serta
memberikan konstribusi bagi pihak yang terkait dalam penelitian ini mengenai
jenis pola asuh orang tua yang tepat kepada anaknya, terutama kepada anak
dishabilitas, seperti anak autis.
b. Manfaat teoritis : penelitian ini berguna untuk menambah konsep-konsep dan
teori keilmuan mengenai pembentukan perilaku anak autis dan tentang pola
1.4Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan memahami dan mengetahui isi yang terkandung dalam
skripsi ini, maka diperlukan sistematika. Sistematika penulisan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
BAB I: PENDAHULUAN
Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian.
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisikan mengenai teori-teori yang berkaitan dengan
penelitian, dan kerangka pemikiran, defenisi konsep dan defenisi
operasional.
BAB III: METODE PENELITIAN
Bab ini berisikan uraian metodologi penelitian yang terdiri dari tipe
penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel, teknik
pengumpulan data dan teknik analisis data.
BAB IV: DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Bab ini berisikan uraian tentang sejarah geographis dan gambaran
umum tentang lokasi dimana peneliti melakukan penelitian
BAB V: ANALISIS DATA
Bab ini berisikan mengenai uraian data yang diperoleh dari hasil
penelitian beserta analisisnya
BAB VI: PENUTUP
Bab ini berisikan kesimpulan dari hasil penelitian dan saran-saran
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Orang tua
Orang tua atau ibu dan ayah merupakan bagian dari keluarga inti. Orang tua
dalam keluarga adalah kelompok sosial yang bersifat abadi, dikukuhkan dalam
hubungan nikah yang memberikan pengaruh keturunan dan lingkungan sebagai
dimensi penting yang lain bagi anak (Gunarsa dan Gunarsa, 1993 : 26).
Menurut Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
yang dimaksud dengan orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung atau ayah dan/ibu
tiriatau ayah dan/atau ibu angkat.
2.2 Pola Asuh Orang Tua 2.2.1 Pengertian Pola Asuh
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata pola berarti cara kerja, bentuk
(struktur yang tetap), sistem. Selanjutnya kata asuh atau mengasuh artinya menjaga
(merawat dan membimbing anak). Mengasuh juga mengandung pengertian
membimbing yang meliputi membantu dan melatih supaya dapat berdiri.
Pengasuhan menurut (Schochib,2000: 15) adalah orang yang melaksanakan
tugas membimbing, memimpin, atau mengelola. Pengasuhan yang dimaksud di sini
adalah mengasuh anak. Menurut Darajat mengasuh anak maksudnya adalah mendidik
dan memelihara anak itu, mengurus makan, minum, pakaiannya, dan keberhasilannya
dalam periode yang pertama sampai dewasa. Dengan pengertian diatas dapatlah
dipahami bahwa pengasuhan anak yang dimaksud adalah kepemimpinan, bimbingan,
Pengertian pola asuh orang tua terhadap anak merupakan bentuk interaksi
antara anak dan orang tua selama mengadakan kegiatan pengasuhan yang berarti
orang tua mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk
mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan
setempat dan masyarakat. Orang tua mempunyai peran yang sangat penting dalam
menjaga, mengajar, mendidik, serta memberi contoh bimbingan kepada anak-anak
untuk mengetahui, mengenal, mengerti, dan akhirnya dapat menerapkan tingkah laku
yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Pola
asuh yang ditanamkan tiap keluarga berbeda dengan keluarga lainnya. Hal ini
tergantung dari pandangan pada diri tiap orang tua (Gunarsa, 2002: 86).
Pola asuh orang tua merupakan pola perilaku orang tua yang paling menonjol
atau paling dominan dalam menangani anaknya sehari-hari. Pola orang tua dalam
mendisiplinkan anak, dalam menanamkan nilai-nilai hidup, dalam mengajarkan
keterampilan hidup, dan dalam mengelola emosi. Dari beberapa cara penilaian gaya
pengasuhan, yang paling sensitif adalah mengukur kesan anak tentang pola perlakuan
orang tua terhadapnya. Kesan yang mendalam dari seorang anak mengenai bagaimana
ia diperlakukan oleh orang tuanya, itulah gaya pengasuhan (Sunar, Dwiti, Euis, 2004:
93).
Pada hakekatnya pengasuhan merupakan arahan kepada anak agar memiliki
keterampilan hidup. Dalam padanan kata lain pengertian arahan sama dengan
pengertian disiplin, yaitu bagaimana cara orang dewasa (orang tua, guru, atau
masyarakat) mengajarkan tingkah laku moral kepada anak yang dapat diterima
kelompoknya. Disiplin berkaitan dengan cara untuk mengoreksi, memperbaiki,
Arahan dan bimbingan yang baik membantu anak untuk dapat mengontrol
dirinya sendiri, memiliki tanggung jawab, dan membantu anak dalam membuat
pilihan yang bijkasana. Disiplin berperan besar dalam perkembangan anak karena
dapat memenuhi kebutuhan akan rasa aman dan kepastian tingkah laku. Anak
mendapatkan rasa aman karena mengetahui mana yang boleh dilakukan dan mana
yang tidak boleh dilakukan. Disiplin memungkinkan anak melakukan hal yang
diterima lingkungannya, dan oleh karena itu mendapatkan penghargaan atau pujian.
Penghargaan dan pujian merupakan kebutuhan mendasar bagi seorang individu untuk
tumbuh kembang dengan sehat. Disiplin juga membantu anak dalam keputusan
mengendalikan tingkah lakunya, serta membantu anak dalam mengembangkan hati
nurani, sehingga peka dengan nilai kebenaran.
2.2.2 Dimensi Pola Asuh
Baumrind (dalam Sigelman, 2002) menyatakan bahwa pola asuh terbentuk
dari adanya dua dimensi pola asuh, yaitu; (1) Acceptance/Responsiveness;
menggambarkan bagaimana orang tua berespons kepada anaknya, berkaitan dengan
kehangatan dan dukungan orang tua. Mengacu pada beberapa aspek, yakni;
1) sejauh mana orang tua mendukung dan sensitif pada kebutuhan anak-anaknya,
2) sensitif terhadap emosi anak,
3) memperhatikan kesejahteraan anak,
4) bersedia meluangkan waktu dan melakukan kegiatan bersama,
5) serta bersedia untuk memberikan kasih sayang dan pujian saat anak-anak mereka
berprestasi atau memenuhi harapan mereka.
Dapat menerima kondisi anak, orang tua responsif penuh kasih sayang dan
membiarkan anak-anak mereka tahu ketika mereka nakal atau berbuat salah. Orang
tua kurang menerima dan responsif sering kali cepat mengkritik, merendahkan,
menghukum, atau mengabaikan anak-anak mereka dan jarang mengkomunikasikan
kepada anak-anak bahwa mereka dicintai dan dihargai.
Selanjutnya dimensi (2) Demandingness/Control; menggambarkan bagaimana
standar yang ditetapkan oleh orang tua bagi anak, berkaitan dengan kontrol perilaku
dari orang tua. Mengacu pada beberapa aspek yakni;
1) pembatasan; orang tua membatasi tingkah laku anak menunjukkan usaha orang tua
menentukan hal-hal yang harus dilakukan anak dan memberikan batasan terhadap
hal-hal yang ingin dilakukan anak,
2) tuntutan; agar anak memenuhi aturan, sikap, tingkah laku dan tanggung jawab
sosial sesuasi dengan standart yang berlaku sesuai keinginan orang tua,
3) sikap ketat; berkaitan dengan sikap orang tua yang ketat dan tegas dalam menjaga
agar anak memenuhi aturan dan tuntutan mereka. Orang tua tidak menghendaki
anak membantah atau mengajukan keberatan terhadap peraturan yang telah
ditentukan,
4) campur tangan; tidak adanya kebebasan bertingkah laku yang diberikan orang tua
kepada anaknnya. Orang tua selalu turut campur dalam keputusan, rencana dan
relasi anak, orang tua tidak melibatkan anak dalam membuat keputusan tersebut,
orang tua beranggapan apa yang mereka putuskan untuk anak adalah yang terbaik
dan benar untuk anak.
5) kekuasaan sewenang-wenang; menggambarkan bahwa orang tua menerapkan
kendali yang ketat, kekuasaan terletak mutlak pada orang tua.
Mengendalikan atau menuntut aturan yang ditetapkan orang tua,
mereka dengan ketat untuk memastikan bahwa aturan-aturan dipatuhi. Orang tua yang
kurang dalam pengendalikan atau menuntut (sering disebut orang tua permisif)
membuat tuntutan yang lebih sedikit dan memungkinkan anak-anak mereka memiliki
banyak kebebasan dalam mengeksplorasi lingkungan, mengungkapkan pendapat
mereka dan emosi, dan membuat keputusan tentang kegiatan mereka sendiri.
2.2.3 Jenis-jenis Pola Asuh
1. Pola Asuh Demokratis
Gaya pengasuh dicirikan beberapa kondisi dimana orangtua senantiasa
mengontrol perilaku anak, namaun control tersebut dilakukan dengan fleksibel atau
tidak kaku. Orang tua meminta anak untuk menunjukkan prestasi- prestasi tertentu.
Permintaan tersebut di dasari pengetahuan bahwa prestasi tersebut sesuai dengan
tingkat perkembangan umurnya. Orangtua memperlakukan anak dengan hangat,
membangun rasa percaya diri, dan anak diperlakukan secara unik. Orangtua
berkemunikasi dalam banyak hal dengan anak. Kemampuan orang tua dalam
mengetahui kebutuhan anak serta kemampuan mendengarkan aspirasi anak menjadi
cirri gaya pengasuhan ini. Nilai kepatuhan anak terhadap otoritas orangtu tetap
mendapat perhatian, walaupun bukan menuntut kepatuhan yang total.
Anak yang diasuh dengan gaya pengasuhan demokratis akan mengembangkan
percaya diri, kontrl emosi yang baik, selalu ingin tahu, menggali hal- hal yang dapat
memperluas wawasan dan kematangan pribadinya. Anak mampu menemukan arah
dan tujuan dari tugas- tugas perkembangannya. Anak mengembangkan sikap
2. Pola asuh Otoriter
Gaya pengasuhan ini menenpatkan orangtua sebagai pusat dan pengendali
utama dan pemegang kendali. Orangtua melakukan control yang ketat terhadap anak
yang didasarkan kepada nilai- nilai yang dipercayai absolute kebenarannya. Sikap dan
perilaku anak dikontrol dan dievaluasi dengan menggunakan nilai yang absolute juga.
Nili kepatuhan menjadi dominan dan sangat penting bagi orangtua, dan dijadikan
sebagai indicator keberhasilan pengasuh yang dilaksanakan orang tua. Demikian
halnya dengan nilai otoritas orangtua. Orangtua sangat sensi jika anak dinilai tidak
menghiraukan atau bahkan tidak menghormati orangtua lagi.
Anak yang dibesarkan dengan pengasuhan otoriter akan mengembangkan
sikap sebagai pengekor, selalu tergantung pada orang lain dalam mengambil
keputusan, dan tidak memiliki kemandirian pribadi. Anak sulit untuk menangkap
makna dan hakikat dari setiap fenomena hidup, kurang fokus terhadap aktifitas yang
dikerjakan, dan seringkali kehilangan arah yang dituju (amless ). Anak tidak memiliki
rasa percaya diri yang tinggi, dipenuhi ketakutan berbuat salah, dan cenderung sulit
mempercayai orang- orang yang disekitarnya. Akumulasi dari karakteristik negative
tersebut menyebabkan anak memiliki kecenderungan untuk agresif dan mempunyai
tingkah lau yang menyimpang.
3. Pola Asuh Permisif
Sesuai dengan namanya, gaya pengasuhan permisif (serba membolehkan )
dicirikan oleh perilaku orangrua yang senantiasa menyetuji keinginan anak. Orangtua
bukan hanya senantiasa melibatkan anak dalam pengambilan keputusan atau
kebijakan, tapi juga menjadikan pilihan anak sebagai kebijakan keluarga. Anak
menjadi sumber pengambilan keputusan berbagai hal dalam keluarga. Hal tersebut
kurang melakukan evaluasi dan control terhapa perilaku anak. Disisi lain orang tua
tidak menuntut atau meminta anak untuk menunjukkan prestasi yang seharusnya
ditunjukkan sesuai usia perkembangannya.
Anak yang dibesarkan dengan gaya pengasuhan permisif akan tumbuh
menjadi ank yang control dirinya rendah, kurang bertanggung jawab, tidak terampil
dalam mengatasi masalah, dan tidak frustasi. Anak kurang mengembangkan
keinginantahuan apalagi memenuhi keinginantahuan yang ada. Anak cenderung
impulsive dan agresif, sehingga bermasalah dalam pergaulan sosialnya. Rendahnya
keterampilan emosi sosial menyebabkan kepercayaan diri rendah. Anak yang
dibesarkan dengan pola asuh permisif menunjukkan tidak matangnya (mature )
tingkat perkembangan sesuai usianya.
Jika pengasuhan dimensi arahan dikombinasikan dengan gaya pengasuhan
dimenasi kehangatan ( The Warmth Dimension), Baumrind menambahkan satu lagi
gaya pengasuhan yaitu gaya pengabaian dan penolakan. Kombinasi antara kontrol
orang tua dengan perlakuan hangat orang tua dapat digambarkan sebagai berikut :
1) Gaya pengasuhan demokratis : memiliki kontrol tinggi dan kehangatan tinggi.
2) Gaya pengasuhan permisif : memiliki kontrol rendah tapi kehangatan tinggi
3) Gaya pengasuhan otoriter : memiliki kontrol tinggi dan kehangatan renda
4) Gaya pengsuhan penolakan : baik kontrol maupun kehangatan rendah (Sunarti,
Euis, 2004: 117).
2.2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh.
Darling (1999) mengatakan ada tiga faktor yang mempengaruhi pola asuh,
yaitu:
Jenis kelamin anak mempengaruhi bagaimana orang tua mengambil tindakan pada
anak dalam pengasuhannya. Umumnya orang tua akan bersikap lebih ketat pada
anak perempuan dan memberi kebebasan lebih pada anak laki-laki. Namun
tanggung jawab yang besar diberikan pada anak laki-laki dibandingkan anak
perempuan.
2. Kebudayaan
Latar belakang budaya menciptakan perbedaan dalam pola asuh anak. Hal ini juga
berkaitan dengan perbedaan peran dan tuntutan pada laki-laki dan perempuan
dalam suatu kebudayaan.
3. Kelas sosial ekonomi
Orang tua dari kelas sosial ekonomi menengah ke atas cenderung lebih permissive
dibanding dengan orang tua dari kelas sosial ekonomi bawah yang cemderung
autoritarian.
2.3 Perilaku
2.3.1 Pengertian Perilaku
Perilaku adalah setiap cara reaksi atau respons manusia, makhluk hidup
terhadap manusia. Perilaku adalah aksi, reaksi, terhadap perangsangan dari
lingkungan. Melihat dan memperhatikan perilaku orang maka akan terlihat
macam-macam. Perilaku yang over bisa dibagi lagi dalam :
a. Perilaku yang disadari, dilakukan dengan kesadaran penuh, tergantung dari aksi
dalam otak besar.
b. Perilaku Reflektoris, gerakan refleks yang dalam tahap pertama berkaitan dengan
sum-sum tulang belakang belum disadari. Kemudian tingkah laku refleks disadari,
c. Perilaku di luar pengaruh kehendak, tidak disadari dan berpusat pada sumsum
penyambung atau gerakan otot karena kepekaan otot.
Perilaku yang tidak mudah terlihat, terselubungi :
a. Kognisi : penyadaran melalui proses penginderaan terhadap rangsang dan
interpretasinya. Perilaku meliputi segala hal berupa reaksi terhadap rangsang,
menyadarinya dan memberi arti atau belajar dan mengingat arti yang dipelajari.
b. Emosi : perasaan, suasana di dalam diri yang dimunculkan oleh penyadaran
terhadap isi perangsangan.
c. Konasi : pemikiran, pengambilan keputusan untuk memilih sesuatu bentuk
perilaku.
d. Penginderaan : meliputi penyampaian atau mengantar pesan ( rangsangan ).
(Gunarsa, 2000:4)
Perilaku adalah semua tindakan atau tingkah laku seorang individu, baik kecil
maupun besar, yang dapat dilihat, di dengar dan dirasakan (oleh indra perasa di kulit,
dan bukan yang dirasakan di hati) oleh orang lain atau diri sendiri. Jadi perilaku
meliputi bicara atau suara, gerakan-gerakan atau aksi-aksi berupa gerakan yang
beraturan atau tidak beraturan, tertuju ataupun tidak tertuju , sengaja ataupun tidak
sengaja dan berguna atuapun tidak berguna. Semua perilaku individu pasti di dahului
oleh suatu penyebab atau antecedent, baik eksternal maupun internal. Penyebab
eksternal dapat diperoleh dari individu lain atau lingkungan sekitarnya. Penyebab
internal dapat berasal sikap atau attitude, dan emosi yang didasari oleh watak dan
kepribadian seseorang. Setiap perilaku juga akan memberikan suatu akibat atau
konsekuen, baik bagi individu itu sendiri, orang lain ataupun pada lingkungannya.
Karakteristik Perilaku :
a. Perilaku adalah perkataan dan perbuatan individu. Jadi apa yang dikatakan dan
dilakukan oleh seseorang merupakan karakteristik dari perilakunya.
b. Perilaku mempunyai satu atau lebih dimensi yang dapat diukur, yaitu : frekuensi,
durasi, dan intensitas.
c. Perilaku dapat diobservasi, dijelaskan, dan direkam oleh orang lain atau orang yang
terlibat dalam perilaku tersebut.
d. Perilaku mempengaruhi lingkungan, lingkungan fisik atau social
e. Perilaku dipengaruhi lingkungan
f. Perilaku bisa tampak atau tidak tampak.
2.3.2. Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku dan Aspek Perkembangan Perilaku Perilaku atau aktivitas pada individu atau organisme tidak timbul dengan
sendirinya, tetapi sebagai akibat dari stimulus yang diterima oleh organisme yang
bersangkutan baik stimulus eksternal maupun stimulus internal. Perilaku individu
dapat mempengaruhi individu itu sendiri, dan juga dapat mempengaruhi lingkungan.
Demikian pula, lingkungan dapat mempengaruhi individu. Secara garis besar,
perilaku manusia diakibatkan oleh :
a. Genetika
b. Sikap, adalah suatu ukuran tingkat kesukaan seseorang terhadap perilaku tertentu
c. Norma sosial, adalah pengaruhh tekanan social
d. Kontrol perilaku pribadi, adalah kepercayaan seseorang mengenai sulit tidaknya
Perilaku manusia sangat berbeda antara satu dengan yang lainnya. Perilaku itu
sendiri adalah suatu fungsi dari interaksi antara seseorang individu dengan
lingkungannya. Berikut adalah aspek perkembangan perilaku ( Syamsudin, 2003 ) ;
1. Perkembangan perilaku kognitif
Secara kualitatif perkembangan perilaku kognitif diungkapkan oleh Piaget,
sebagai berikut :
a. Tahap Sensori-Motor (0-2)
Inteligensi sensori-motor dipandang sebagai inteligensi praktis (practical
intelligence), yang berfaedah untuk belajar berbuat terhadap lingkungannya sebelum mampu berfikir mengenai apa yang sedang ia perbuat. Inteligensi individu pada tahap
ini masih bersifat primitif, namun merupakan inteligensi dasar yang amat berarti
untuk menjadi fondasi tipe-tipe inteligensi tertentu yang akan dimiliki anak kelak.
Sebelum usia 18 bulan, anak belum mengenal object permanence. Artinya, benda
apapun yang tidak ia lihat, tidak ia sentuh, atau tidak ia dengar dianggap tidak ada
meskipun sesungguhnya benda itu ada. Dalam rentang 18 - 24 bulan barulah
kemampuan object permanenceanak tersebut muncul secara bertahap dan sistematis.
b. Tahap Pra Operasional (2 – 7)
Pada tahap ini anak sudah memiliki penguasaan sempurna tentang object
permanence. Artinya, anak tersebut sudah memiliki kesadaran akan tetap eksisnya
suatu benda yang harus ada atau biasa ada, walaupun benda tersebut sudah ia
tinggalkan atau sudah tak dilihat, didengar atau disentuh lagi. Jadi, pandangan
terhadap eksistensi benda tersebut berbeda dengan pandangan pada periode sensori
motor, yakni tidak bergantung lagi pada pengamatannya belaka. Pada periode ditandai
oleh adanya egosentris serta pada periode ini memungkinkan anak untuk
dengan menggunakan kata-kata yang benar serta mampu mengekspresikan
kalimat-kalimat pendek tetapi efektif.
c. Tahap konkret-operasional (7-11)
Pada periode ditandai oleh adanya tambahan kemampuan yang disebut sistem
of operation (satuan langkah berfikir) yang bermanfaat untuk mengkoordinasikan
pemikiran dan idenya dengan peristiwa tertentu ke dalam pemikirannya sendiri. Pada
dasarnya perkembangan kognitif anak ditinjau dari karakteristiknya sudah sama
dengan kemampuan kognitif orang dewasa. Namun masih ada keterbatasan kapasitas
dalam mengkoordinasikan pemikirannya. Pada periode ini anak baru mampu berfikir
sistematis mengenai benda-benda dan peristiwa-peristiwa yang konkret.
d. Tahap formal-operasional (11 - dewasa)
Pada periode ini seorang remaja telah memiliki kemampuan mengkoordinasikan
baik secara simultan maupun berurutan dua ragam kemampuan kognitif yaitu :
1)Kapasitas menggunakan hipotesis
Kemampuan berfikir mengenai sesuatu khususnya dalam hal pemecahan masalah
dengan menggunakan anggapan dasar yang relevan dengan lingkungan yang dia
respons dan kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak.
2)Kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak
Kemampuan untuk mempelajari materi-materi pelajaran yang abstrak secara luas
dan mendalam.
2. Perkembangan Perilaku Afektif
Aspek emosional dari suatu perilaku, pada umumnya selalu melibatkan tiga
variabel, yaitu :
(1) rangsangan yang menimbulkan emosi (stimulus)
(3) pola sambutan. Yang mungkin dirubah dan dipengaruhi adalah variabel yang
kesatu (stimus) dan yang ketiga (respons), sedangkan variabel yang kedua
merupakan yang tidak mungkin dirubah karena terjadinya pada individu secara
mekanis. Terdapat dua dimensi emosional yang sangat penting untuk dipahami
yaitu:
a. senang – tidak senang (suka-tidak suka);
b. intensitasnya (kuat-lemah).
3. Perkembangan Perilaku Psikomotorik
Perkembangan psikomotorik memerlukan adanya koordinasi fungsional antara
neuronmuscular system(sistem syaraf dan otot) dan fungsi psikis (kognitif, afektif,
konatif).
Dua prinsip utama dalam perkembangan psikomotorik, yaitu : bahwa
perkembangan itu berlangsung dari yang sederhana kepada yang kompleks, dan dari
yang kasar dan global (gross bodily movements) kepada yang halus dan spesifik dan
terkoordinasikan (finely coordinated movements).
2.3.3 Pembentukan perilaku
Penelitian Rogers mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku
baru (berperilaku baru), didalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan,
yakni :
a. Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui
setimulus (objek) terlebih dahulu
b. Interest, yakni orang mulai tertarik kepada stimulus
c. Evaluation (menimbang – nimbang baik dan tidaknya stimulus bagi dirinya). Hal
d. Trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru
e. Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan
sikapnya terhadap stimulus.
Pembentukan perilaku dapat diamati dari luar melalui 3 hal, yaitu :
1. Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang
melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Faktor-faktor yang
mempengaruhi pengetahuan seseorang adalah :
a) Faktor interernal, yaitu faktor dari diri sendiri, misalnya intelegensia,
minat dan kondisi fisik.
b) Faktor eksternal, yaitu faktor dari luar diri, misalnya keluarga,
masyarakat dan sarana
c) Faktor pendekaatan belajar, yaitu faktor upaya belajar misalnya
strategi dan upaya dalam pembelajaran
2. Sikap ( attitude)
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
dari stimulus atau objek. Allport menjelaskan sikap mempunyai tiga
komponen pokok, yaitu :
a) Kepercayaan (keyakinan), ide, konsep terhadap objek
b) Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap objek
c) Kecenderungan untuk betinndak (tend to be have)
3. Praktik (tindakan)
Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan diperlukan faktor
dan faktor dukungan (support). Praktik ini mempunyai beberapa tingkatan,
yaitu :
a) Persepsi. Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan
tindakan yang diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama
b) Respon terpimpin. Dapat melakukan sesuatu dengan urutan yang benar
dan dengan sesuai contoh adalah indikator praktik tingkat kedua
c) Mekanisme. Apabila seseorang telah melakukan tindakan secara
otomatis atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah
mencapai praktik tingkat ketiga
d) Adopsi : adalah suatu tindakan yang sudah berkembang dengan baik.
Artinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran
tindakan tersebut. (Handojo. Y, 2003).
2.4 Pengertian Anak
Menurut John Locke (dalam Gunarsa, 2000) anak adalah pribadi yang masih
bersih dan peka terhadap rangsangan-rangsangan yang berasal dari lingkungan.
Augustinus yang dipandang sebagai peletak dasar permulaan psikologi anak,
mengatakan bahwa anak tidaklah sama dengan orang dewasa, anak mempunyai
kecenderungan untuk menyimpang dari hukum dan ketertiban yang disebabkan oleh
keterbatasan pengetahuan dan pengertian terhadap realita kehidupan, anak-anak lebih
mudah belajar dengan contoh-contoh yang diterimanya dari aturan-aturan yang
bersifat memaksa.
Menurut the Minimum Age Convention nomor 138 (1973), pengertian tentang
anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun ke bawah. Sebaliknya, dalam
Indonesia melalui Keppres nomor 39 tahun 1990 disebutkan bahwa anak adalah
mereka yang berusia 18 tahun ke bawah. Sementara itu, UNICEF mendefinisikan
anak sebagai penduduk yang berusia antara 0 sampai dengan 18 tahun.
Undang-undang RI nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahtaraan Anak, menyebutkan bahwa
anak adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan
Undang-undang Perkawinan menetapkan batas usia 16 tahun. (Huraerah, 2006:31)
Jika dicermati, secara keseluruhan dapat dilihat bahwa rentang usia anak
terletak pada skala 0 sampai dengan 21 tahun. Penjelasan mengenai batas usia 21
tahun ditetapkan berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial
serta pertimbangan kematangan sosial, kematangan pribadi, dan kematangan mental
seseorang yang umumnya dicapai setelah seseorang melampaui usia 21 tahun. Hal ini
dipertegas dalam Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
yang mengatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun,
termasuk anak yang masih didalam kandungan.
Batasan umur seseorang masih dalam kategori anak, berdasarkan beberapa
peraturan yang ada di Indonesia cukup beragam, yang antara lain adalah sebagai
berikut:
1. Undang-Undang RI. No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; memberi batasan
yang berbeda antara anak perempuan dengan anak laki-laki, yakni anak
perempuan berumur 16 tahun dan anak laki-laki berumur 19 tahun;
2. Undang-Undang RI. No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; pasal 1
ayat (2) menyebutkan bahwa: “Anak adalah seseorang yang belum mencapai
umur 21 (dua puluh satu ) tahun dan belum pernah kawin.”
3. Undang-Undang RI. No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pasal 1
telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai 18 (delapan
belas) tahun dan belum pernah kawin”.
4. Undang-Undang RI No. 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO
tentang Batas Usia Minimum Anak Bekerja, adalah 15 (lima belas) tahun.
5. Undang-Undang RI. No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 1,
angka (5), menyebutkan bahwa: ”Anak adalah setiap manusia yang berusia
dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang
masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.”
6. Undang-Undang RI. No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD,
dan DPRD; Usia Pemilih minimal 17 (tujuh belas) tahun.
7. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) memberi batasan mengenai
pengertian anak atau orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum
berumur 21 (dua puluh satu) tahun; seperti yang dinyatakan dalam pasal 330
yang berbunyi: “ belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur
genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu kawin”.
2.5 Autis
2.5.1 Pengertian Autis
Autis berasala dari kata “autos” yang berarti segala sesuatu yang mengarah
pada diri sendiri. dalam kamus psikologi umum (1982), autis berarti preokupasi
terhadap pikiran dan khayalan sendiri, dengan kata lain lebih banyak berorientasi
kepada pikiran subyektifnya sendiri daripada melihat kenyataan atau realita
kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu penderita autis sering disebut orang yang hidup
Pada awalnya istilah autis diambilnya dari gangguan schizophrenia, dimana
Bleur memakai autis ini untuk menggambarkan perilaku pasien skizofrenia yang
menarik diri dari dunia luar dan menciptakan dunia fantasinya sendiri. namun ada
perbedaan yang jelas antara penyebab dari autis pada penderita skizofrenia dengan
penyandang autis infantile. Pada skizofrenia, autis disebabkan dampak area gangguan
jiwa yang di dalamnya terkandung halusinasi dan delusi yang berlangsung minimal
selama 1 bulan, sedangkan pada anak-anak dengan autis infantile terdapat kegagalan
dalam perkembangan yang tergolong dalam criteria gangguan pervasif dengan
kehidupan autistic yang tidak disertai dengan halusinasi dan delusi (Lainhart-DSM
IV, 1995).
Autis atau autis infantile (Early Infantile Autis) pertama kali dikemukakan
oleh Dr. Leo Kanner pada tahun 1943 seorang psikiatris Amerika. Istilah autis
digunakan untuk menunjukkan suatu gejala psikosis pada anak-anak yang unik dan
menonjol yang sering disebut Sindrom Kanner. Cirri yang menonjol pada Sindrom
Kanner antara lain ekspresi wajah yang kosong seolah-olah sedang melamun,
kehilangan pikiran dan sulit sekali bagi orang lain untuk menarik perhatian mereka
atau mengajak mereka berkomunikasi. Diperkirakan 75%-80% penyandang autis ini
mempunyai retardasi mental, sedangkan 20% dari mereka mempunyai kemampuan
yang cukup tinggi untuk bidang-bidang tertentu (Chaplin, 1997:15).
2.5.2 Kriteria Autis
Pada dasarnya gangguan autis tergolong dalam gangguan perkembangan
pervasive, namun bukan satu-satunya golongan yang termasuk dalam gangguan
perkembangan pervasive (Pervasive Development Disorder) menurut DSM IV
perkembangan pervasive disebut oleh para orang tua atau masyarakat sebagai autis.
Padahal di dalam gangguan perkembangan pervasive meski sama-sama ditandai
denga gangguan dalam beberapa area perkembangan seperti kemampuann interaksi
sosial, komunikasi serta munculnya streotipe, namun terdapat beberapa perbedaan
antar golongan seperti, gannguan Autistik Infantile (Infantile Autis), Sindrom Rett
(Rett’s Syndrome), Gangguan Disintegrasi Masa Kanak (Childhood Disintegrative Disorder), Sindrom Asperger (Asperger’s Syndrome) (Veskariyanti, 2008: 15-16).
1. Autistik Infantile
Ciri yang menonjol pada autis ini antara lain ekspresi wajah yang
kosong seolah-olah sedang melamun, kehilangan pikiran dan sulit sekali bagi
orang lain untuk menarik perhatian mereka atau mengajak mereka
berkomunikasi. Gangguan autis ini lebih banyak dijumpai pada pria dibanding
wanita dengan ratio 5:1. Gannguan autis abnormalitas sudah muncul sejak
tahun pertama kelahiran.
Kriteria Autistik Infantile, yaitu :
1. Kelemahan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik. Minimal
harus ada dua gejala-gejala di bawah ini :
a. Tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai : kontak
mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak-gerik yang
kurang tertuju.
b. Tidak bisa bermain dengan teman sebaya
c. Tidak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain
d. Kurangnya hubungan emosional yang timbale balik
2. kelemahan kualitatif dalam bidang komunikasi, dengan gejala-gejala
a.bicara terlambat atau sama sekali tidak berkembang
b.bila bisa bicara, bicaranya tidak dipakai untuk komunikasi
c.sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang
d.cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif dan kurang bisa meniru.
3. pola perilaku serta minat dan kegiatan yang terbatas dan berulang
4. cara bermain yang simbolik dan imajinatif
5. hiperaktif dan hipoaktif
3. Sindrom Rett
Sindrom Rett adalah gangguan neurologis (syaraf). Awalnya
perkembangan anak normal. Tetapi setelah 5 bulan sampai 30 bulan
perkembangannya menurun. Kemampuan untuk melaksanakan kegiatan
berkurang. Ciri autis muncul, komunikasi dan sosialisasi dan perilaku streotipe
kadang disertai ganggguan motorik.
Kriteria Syndrom rett, yaitu :
1. Regresi yang menyeluruh dan berat pada anak perempuan (jarang sekali
pada anak laki-laki)
2. Menimbulkan retardasi mental yang berat
3. Gangguan berbahasa, bahkan sama sekali tidak dapat berbahasa
4. Gangguan pada fungsi tangan (timbul gerakan-gerakan tangan di depan
seperti memeras/bertepuk tangan yang terus menerus)
5. Deficit neurologik lainnya.
4. Gangguan Disintegrasi Anak
Gannguan disintegrasi anak merupakan gangguan yang melibatkan
hilangnya keterampilam yang telah dikuasai anak setelah satu periode
anak laki-laki. Perkembangan normal anak terjadi hanya pada tahun pertama,
setelah itu secara signifikan keterampilan yang telah dimiliki seperti
pemahaman, penggunaan bahasa dan yang lainnya menghilang. Selain itu juga
terjadi keabnormalan fungsi yang tampak pada gangguan komunikasi, serta
minat dan aktifitas yang sempit.
Kriteria gangguan disintegrasi anak :
1. Perkembangan awal biasanya normal, termasuk bicaranya
2. Terjadi regresi yang berat antara usia 2-10 tahun yang meliputi fungsi
bahasa, sosialisasi, kognitif dan kemampuannya dalam keterampilan
sehari-hari.
5. Sindrom Asperger
Gangguan Asperger adalah bentuk yang lebih ringan dari gangguan
perkembangan pervasive. Ditunjukkan dengan penarikan diri dari interaksi
sosial serta perilaku yang streotip, namun tanpa disertai keterlambatan yang
signifikan pada aspek bahasa dan kognitif. Asperger mirip dengan autis
infantile dalam hal interaksi sosial yang kurang.
Kriteria Sindrom Aperger yaitu :
1. Biasanya didiagnosis sat usia ≥ 6 tahun
2. Sulit berteman, interaksi sosial sangat kurang
3. Sulit membaca / berkomunikasi dengan cara non verbal / isyarat missal
ekspresi wajah
4. Sulit memahami bahwa orang lain dapat mempunyai pikiran atau perasaan
yang berbeda dari dirinya.