KEMAMPUAN EMPATI ORANG TUA
DAN PERILAKU ANAK AUTIS
(Studi Kasus Tentang Kemampuan Empati Orang Tua Dalam Membentuk Perilaku Anak Autis di Sekolah Terapi YAKARI Kota Medan)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan
Pendidikan Sarjana (S-1) Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Komunikasi
Diajukan oleh : YULIA SYAHRINA. R
060904037
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ABSTRAKSI
Skripsi ini berjudul Kemampuan Empati Orang Tua Dalam Membentuk Perilaku Anak Autis (Studi Kasus Tentang Kemampuan Empati Orang Tua Dalam Membentuk Perilaku Anak Autis di Sekolah Terapi YAKARI Kota Medan). Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan membahas bagaimanakah kemampuan empati orang tua dalam membentuk perilaku anak autis di sekolah terapi YAKARI Jl. Abdullah Lubis No. 30 Medan. Empati adalah sikap menerima atau tidak menerima dalam membentuk perilaku anak penderita autis. Sedangkan autisme adalah preokupasian terhadap pikiran dan khayalan sendiri atau dengan kata lain lebih banyak berorientasi kepada pikiran subyektifnya sendiri daripada melihat kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan beberapa teori yang relevan, yaitu: Komunikasi antar pribadi, Psikologi Komunikasi, Autisme, Empati, Sikap, Perilaku dan Teori S-O-R. Peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif, dimana peneliti mendeskripsikan atau merekonstruksi wawancara-wawancara mendalam terhadap subjek penelitian. Temuan dan analisis data disajikan berupa kata-kata atau narasi.
Penelitian ini tidak menggunakan sampel tetapi menggunakan subjek penelitian atau informan. Subjek penelitian dalam penelitian ini ada 4 orang yang dipilih menurut sejumlah kriteria tertentu. Pengumpulan data dilaksanakan dengan cara melakukan observasi dan wawancara mendalam (indepth interview) terhadap subjek penelitian tersebut. Analisis data dilakukan secara kualitatif yaitu dengan mengaitkan variabel kemampuan empati orang tua dengan variabel perilaku anak autis.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
anugerah-Nya yang berlimpah kepada peneliti sehingga peneliti dapat
menyelesaikan dengan baik skripsi ini yang berjudul “Kemampuan Empati Orang
Tua dan Perilaku Anak Autis (Studi Kasus Tentang Kemampuan Empati Orang
Tua Dalam Membentuk Perilaku Anak Autis di Sekolah Terapi YAKARI Kota
Medan)”. Skripsi ini merupakan tugas akhir perkuliahan peneliti dan sebagai salah
satu pemenuhan syarat kelulusan dan perolehan gelar pendidikan sarjana (S-1)
dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Komunikasi,
Universitas Sumatera Utara.
Untaian kata yang paling tulus peneliti mengucapkan terima kasih
sedalam-dalamnya kepada orangtua peneliti yakni, Ayahanda Syahrul Rambe atas
doa dan dukungannya serta Ibunda Eka Yuliani yang selalu sabar membimbing
dan memberikan semangat, cinta dan kasih sayangnya disepanjang dua puluh dua
tahun perjalanan hidup peneliti. Untuk adik yang paling peneliti sayangi dan cintai
Sofyan Indra Rambe, terima kasih atas doa, dukungan, canda tawanya dan selalu
berharap bahwa peneliti nantinya akan menjadi manusia yang berguna di masa
yang akan datang.
Dalam pelaksanaan dan penyusunan skripsi ini peneliti tidak hanya
mengandalkan kemampuan diri sendiri. Begitu banyak pihak yang memberi
motivasi. Oleh karena itu, peneliti mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. M. Arif Nasution, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Drs. Amir Purba, M.A selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Dra. Dewi Kurniawati, M.Si selaku Sekretaris Departemen Ilmu
Komunikasi FISIP USU.
4. Bapak Drs. Humaizi, M.A selaku Pembantu Dekan I Departemen Ilmu
Komunikasi FISIP USU.
5. Ibu Emilia Ramadhani S.Sos selaku dosen pembimbing peneliti yang telah
banyak membantu, membimbing, memberikan masukan-masukan dan
memiliki kesabaran, serta begitu baik memperlakukan peneliti selama proses
penulisan skripsi ini.
6. Ibu Dra. Fatma Wardi Lubis, M.A selaku dosen pembimbing awal peneliti
yang telah banyak membantu dan membimbing.
7. Para dosen Ilmu Komunikasi FISIP USU yang selalu memberikan contoh
yang patut untuk ditiru oleh peneliti.
8. Kak Ross, kak Icut, kak Maya dan Tante Izat yang selalu setia membantu
peneliti dan semua dukungan serta pengertiannya.
9. Orang yang peneliti sayangi Tri Nugroho terima kasih untuk kasih sayangnya,
doa, kesabaran, dukungan, suka duka, bantuan baik moril maupun materil,
10.Sahabat terbaik peneliti : Olin, Wulan (Tiwol), Gesy, Topik terimakasih untuk
doa dan dukungannya. Takkan terlupakan semua kenangan dan takkan mampu
peneliti membalas bantuan baik moril maupun materil serta semua
kebahagiaan yang selama kita mengarungi persahabatan.
11.Sahabat peneliti : Wita, Emir, Bang Novan, Riri, Pakde, Aghi, Soya, Tika,
Adis, Mira, Abi, Teguh, Wya, Dina, Imeh, Wulan, Icha, Mandha, Nurul.
Terima kasih atas dukungan dan kerja samanya.
12.Teman seperjuangan peneliti Rara, terima kasih atas doa, motivasi, dukungan,
masukan-masukan, suka duka, canda tawa, yang selalu menemani dan
membantu peneliti.
13.Pak Fahri dan seluruh guru terapis di sekolah autis YAKARI yang selalu
membimbing dan memberi masukan-masukan kepada peneliti.
14.Seluruh Para orang tua dan adik-adikku, khususnya bagi para informan di
sekolah terapi autis YAKARI yang telah banyak memberikan waktu dan
kesempatan bagi peneliti untuk melakukan wawancara mendalam.
Peneliti menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu, peneliti dengan rendah hati meminta saran dan masukan
yang bisa membangun dari semua pihak demi kesempurnaan tulisan ini. Semoga
Skripsi ini bermanfaat bagi seluruh pihak dan dapat membuka khazanah berpikir
kita.
Medan, Maret 2010 Peneliti,
III.4. Teknik Pengumpulan Data ... 62
IV.1.3. Analisis Variabel Kemampuan Empati Orang Tua ... 66
IV.2.3. Analisis Variabel Kemampuan Empati Orang Tua ... 77
IV.4.3. Analisis Variabel Kemampuan Empati
Orang Tua ... 98
IV.4.4. Analisis Variabel Perilaku Anak Autis ... 100
IV.4.5. Analisis Data (Matriks) ... 102
IV.4.6. Pembahasan ... 103
IV.5. Pembahasan ... 104
BAB V : PENUTUP V.1. Kesimpulan ... 112
V.2. Saran ... 115
DAFTAR TABEL
DAFTAR TABEL ... viii
Daftar Tabel Tabel 1 Rangkuman Temuan Penelitian Informan I ... 71
Tabel 2 Rangkuman Temuan Penelitian Informan II ... 82
Tabel 3 Rangkuman Temuan Penelitian Informan III ... 93
DAFTAR BAGAN No. Bagan
Bagan 1 Teori S-O-R ... 12
Bagan 2 Model Teoritis ... 14
Bagan 3 Teori S-O-R ... 46
DAFTAR LAMPIRAN - Pedoman Wawancara
- Lembar Catatan Bimbingan Skripsi
- Surat Izin Penelitian Ke Kasubag Pendidikan FISIP USU
- Surat Izin Penelitian Ke Sekolah Terapi Autis YAKARI
ABSTRAKSI
Skripsi ini berjudul Kemampuan Empati Orang Tua Dalam Membentuk Perilaku Anak Autis (Studi Kasus Tentang Kemampuan Empati Orang Tua Dalam Membentuk Perilaku Anak Autis di Sekolah Terapi YAKARI Kota Medan). Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan membahas bagaimanakah kemampuan empati orang tua dalam membentuk perilaku anak autis di sekolah terapi YAKARI Jl. Abdullah Lubis No. 30 Medan. Empati adalah sikap menerima atau tidak menerima dalam membentuk perilaku anak penderita autis. Sedangkan autisme adalah preokupasian terhadap pikiran dan khayalan sendiri atau dengan kata lain lebih banyak berorientasi kepada pikiran subyektifnya sendiri daripada melihat kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan beberapa teori yang relevan, yaitu: Komunikasi antar pribadi, Psikologi Komunikasi, Autisme, Empati, Sikap, Perilaku dan Teori S-O-R. Peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif, dimana peneliti mendeskripsikan atau merekonstruksi wawancara-wawancara mendalam terhadap subjek penelitian. Temuan dan analisis data disajikan berupa kata-kata atau narasi.
Penelitian ini tidak menggunakan sampel tetapi menggunakan subjek penelitian atau informan. Subjek penelitian dalam penelitian ini ada 4 orang yang dipilih menurut sejumlah kriteria tertentu. Pengumpulan data dilaksanakan dengan cara melakukan observasi dan wawancara mendalam (indepth interview) terhadap subjek penelitian tersebut. Analisis data dilakukan secara kualitatif yaitu dengan mengaitkan variabel kemampuan empati orang tua dengan variabel perilaku anak autis.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perkembangan manusia banyak didukung dari beberapa faktor,
diantaranya adalah faktor kesehatan, gizi, dan mental atau psikologis, dimana
faktor-faktor tersebut saling mendukung satu sama lainnya dalam kehidupan.
Setiap manusia sesungguhnya adalah citra tuhan yang mempesona. Pesona itu
dijumpai dalam diri semua bayi yang baru lahir ke dunia. Memiliki buah hati yang
sehat, aktif, dan cerdas, adalah impian setiap orang tua. Sayangnya, karena
beberapa faktor, impian ini tidak bisa diwujudkan. Sang buah hati lahir dengan
kelainan yang mengakibatkan gangguan pada kemampuan motorik maupun
sensorik.
Seperti halnya terhadap anak penderita autis. Autisme berasal dari kata
“autos” yang berarti segala sesuatu yang mengarah pada diri sendiri. Dalam
kamus psikologi umum (1982), autisme berarti preokupasi terhadap pikiran dan
khayalan sendiri atau dengan kata lain lebih banyak berorientasi kepada pikiran
subyektifnya sendiri daripada melihat kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu penderita autisme sering disebut orang yang hidup di “alamnya”
sendiri.
Autisme atau autisme infantile (Early Infantile Autism) pertama kali
dikemukakan oleh Dr. Leo Kanner 1943 (Budiman, 1998) seorang psikiatris
pada anak-anak yang unik dan menonjol yang sering disebut Sindrom Kanner.
Ciri yang menonjol pada sindrom Kanner antara lain ekspresi wajah yang kosong
seolah-olah sedang melamun, kehilangan pikiran dan sulit sekali bagi orang lain
untuk menarik perhatian mereka atau mengajak mereka berkomunikasi.
Reaksi pertama orangtua yang paling mungkin adalah kekecewaan dan
kesedihan mendalam, yang kemudian disusul rasa malu. Perasaan malu ini pula
yang membuat para orangtua memilih untuk bersembunyi dan menutup-nutupi
keadaan buah hatinya dari lingkungan sekitar ketimbang mencari informasi yang
benar mengenai kelainan buah hatinya.
Meski sudah banyak sekolah-sekolah khusus atau pusat konsultasi yang
menangani anak dengan kelainan mental, tidak banyak orangtua yang
meresponnya secara positif.Akan tetapi, ada juga orangtua yang sudah
memeriksakan kondisi sang buah hati kepada dokter dengan spesialisasi di bidang
ini. Namun, pergi ke dokter anak saja tidak cukup. Para orangtua perlu
berkonsultasi lebih lanjut dengan lembaga yang khusus menangani perkembangan
anak dengan kelainan mental. Di situ lah orangtua bisa mengikuti perkembangan
dan pertumbuhan sang buah hati. Mulai dari hal yang paling kecil hingga hal yang
paling kompleks. Ketika ada salah satu kelainan pada perkembangan sang buah
hati pun, orangtua tidak perlu panik dan dapat memberikan penanganan dini agar
memperkecil berbagai kemungkinan terburuk.
Oleh karena itu peranan orang tua sangat dibutuhkan dalam membantu
persoalan-persoalan yang dihadapi sekaligus sangat menentukan dalam
depannya. Sehingga tidak melebihi kenyataan jika dikatakan bahwa peranan orang
tua turut mewarnai perkembangan perilaku anaknya dalam keluarga.
Untuk mempersingkat waktu penelitian, mempermudah peneliti dan
tidak memperbanyak biaya dan keterbatasan peneliti untuk meneliti semua orang
tua yang mempunyai anak penderita autis khususnya yang mengikuti sekolah
terapi YAKARI yang berlokasi di Jl. Abdullah Lubis No. 30 Medan. Maka
peneliti memfokuskan penelitian kepada orang tua dan anak penderita autis yang
mengikuti sekolah terapi di YAKARI.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk meneliti mengenai
kemampuan empati orang tua dan perilaku anak autis di sekolah terapi YAKARI.
Peneliti memilih lokasi penelitian di sekolah terapi YAKARI karena peneliti
melihat bahwa kemampuan empati orang tua terhadap perilaku anak autis di
sekolah terapi YAKARI tersebut berdampak positif. Berdasarkan pengamatan
sementara, peneliti melihat bahwa kemampuan empati orang tua dan perilaku
anak autis di sekolah terapi YAKARI dapat berdampak positif bagi orang tua.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
“Bagaimanakah kemampuan empati orang tua dalam membentuk
1.3 Pembatasan Masalah
Untuk menghindari ruang lingkup penelitian yang terlalu luas sehingga
dapat mengaburkan penelitian, maka peneliti menetapkan batasan masalah yang
lebih jelas dan spesifik mengenai hal - hal yang diteliti.
Adapun pembatasan masalah yang akan diteliti adalah :
a. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dimana peneliti mendeskripsikan
atau merekonstruksi wawancara mendalam terhadap subjek penelitian tanpa
menjelaskan hubungan antar variabel atau menguji hipotesis.
b. Subjek penelitian adalah Orang tua dari anak penderita autis yang
bersekolah terapi di YAKARI.
c. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Februari 2010.
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah kemampuan
empati orang tua dalam membentuk perilaku anak autis.
b. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon atau tanggapan orang tua
dalam membentuk perilaku anak autis.
c. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui permasalahan yang pada
1.4.2 Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Secara akademis, penelitian diharapkan dapat memperkaya khasanah
penelitian dan sumber bacaan di lingkungan FISIP USU, khususnya di
Departemen Ilmu Komunikasi.
b. Secara teoritis, penelitian ini berguna untuk menambah pengetahuan dan
memperluas wawasan peneliti mengenai ilmu komunikasi khususnya
tentang Psikologi Komunikasi sebagai bagian dari ilmu komunikasi.
c. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi dan
masukan yang positif bagi pihak yang terkait dalam penelitian ini.
1.5 Kerangka Teori
Sebelum melakukan penelitian, seorang peneliti tentu menyusun suatu
kerangka teori. Kerangka teori disusun sebagai landasan berpikir yang
menunjukkan dari sudut mana peneliti menyoroti masalah yang akan diteliti
(Nawawi, 1995:39).
Menurut kerlinger menyatakan teori merupakan himpunan konstruk
(konsep), definisi dan preposisi yang mengemukakan pandangan sistematis
tentang gejala dengan menjabarkan relasi di antara variabel, untuk menjelaskan
dan meramalkan gejala tersebut (Rakhmat, 2004:6). Dengan adanya kerangka
teori peneliti akan memiliki landasan dalam menemukan tujuan arah penelitiannya.
1.5.1 Komunikasi Antar Pribadi
Secara etimologi istilah komunikasi dalam bahasa Inggris, yaitu
communication berasal dari bahasa latin communication, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama yang dimaksud adalah sama makna atau sama arti. Jadi komunikasi terjadi apabila terdapat kesamaan makna mengenai suatu
pesan yang disampaikan oleh komunikator dan diterima oleh komunikan (Effendy,
2003:30).
Salah satu tujuan komunikasi adalah mengubah sikap dan perilaku
seseorang atau sekelompok orang sebagaimana yang dikehendaki komunikator,
agar isi pesan yang disampaikan dapat dimengerti, diyakini serta pada tahap
selanjutnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Carl I Hovland (Effendy, 1996:8)
mengemukakan bahwa komunikasi adalah suatu proses dimana informasi
seseorang (komunikator) menyampaikan perangsang-perangsang (biasanya
lambang-lambang dalam bentuk kata-kata) untuk mengubah tingkah laku orang
lain. Untuk itu harus ada kesepahaman arti dalam menyampaikan informasi
sehingga tercapai komunikasi yang efektif.
Komunikasi juga dapat diartikan sebagai bentuk interaksi manusia yang
saling berpengaruh mempengaruhi satu dengan yang lain, sengaja atau tidak
sengaja. Tidak terbatas pada bentuk komunikasi menggunakan bahasa verbal,
tetapi juga ekspresi muka, lukisan, seni dan teknologi (Hafied Cangara, 2002:20).
Menurut Mulyana (2002:73), komunikasi antar pribadi adalah
komunikasi antara dua orang atau lebih secara tatap muka, yang memungkinkan
Sedangkan menurut Rogers dalam Depari (1988) mengemukakan bahwa
komunikasi antar pribadi merupakan komunikasi dari mulut ke mulut yang terjadi
dalam interaksi tatap muka antara beberapa pribadi (Liliweri, 1991:12).
Lebih jauh lagi, De Vito (1976) mengemukakan beberapa ciri
komunikasi antar pribadi (Liliweri, 1991:13) yaitu :
1. Keterbukaan
2. Empati
3. Dukungan
4. Rasa Positif
5. Kesamaan
1.5.2 Psikologi Komunikasi
Psikologi berasal dari kata Yunani “psyche” yang artinya jiwa. Logos
berarti ilmu pengetahuan. Jadi secara etimologi psikologi berarti ilmu yang
mempelajari tentang jiwa, baik mengenai gejalanya, prosesnya maupun latar
belakangnya.
Sedangkan, komunikasi dalam bahasa Inggris, yaitu communication
berasal dari bahasa latin communication, dan bersumber dari kata communis yang
berarti sama. Sama yang dimaksud adalah sama makna atau sama arti. Jadi
komunikasi terjadi apabila terdapat kesamaan makna mengenai suatu pesan yang
disampaikan oleh komunikator dan diterima oleh komunikan (Effendy, 2003:30).
Psikologi terutama mengarahkan perhatiannya pada perilaku manusia
perilaku manusia itu. Psikologi juga memandang komunikasi dengan makna yang
lebih luas yang meliputi penyampaian energi alat indera ke otak, proses saling
pengaruh di antara berbagai sistem organisme dan diantara organisme. Menurut
Carl I Hovland & Janis bila komunikasi didefinisikan melalui
pendekatan/prespektif psikologi maka psikologi adalah proses individu
menyampaikan stimulus untuk merubah/mempengaruhi perilaku individu lain
.
Namun, menurut pendapat George A.Miller membuat definisi psikologi
yang mencakup semuanya : Psychology is the science that attempts to describe,
predict, and control mental and behavioral event. Dengan demikian, psikologi komunikasi adalah ilmu yang berusaha menguraikan, meramalkan, dan
mengendalikan persistiwa mental dan behavioral dalam komunikasi (Miller,
1974:4).
Akan tetapi, sebenarnya psikologi sosial adalah psikologi komunikasi.
Dimana dari salah satu defenisi mutakhir menyebutkan psikologi sosial adalah
usaha untuk memahami, menjelaskan, dan meramalkan bagaimana pikiran,
perasaan dan tindakan individu dipengaruhi oleh apa yang dianggapnya sebagai
pikiran, perasaan, dan tindakan orang lain yang kehadirannya boleh jadi
sebenarnya, dibayangkan, atau disiratkan (Kaufmann, 1973:6).
Didalam penelitian ini, peneliti menggunakan psikologi komunikasi
sebagai dasar hubungan terhadap kemampuan empati orang tua dalam membentuk
1.5.3 Autisme
Istilah Autisme berasal dari kata "Autos" yang berarti diri sendiri "Isme"
yang berarti suatu aliran. Berarti suatu paham yang tertarik hanya pada dunianya
sendiri. Autistik adalah suatu gangguan perkembangan yang kompleks
menyangkut komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi. Gejalanya mulai
tampak sebelum anak berusia 3 tahun. Bahkan pada autistik infantil gejalanya
sudah ada sejak lahir. Diperkirakan 75%-80% penyandang autis ini mempunyai
retardasi mental, sedangkan 20% dari mereka mempunyai kemampuan yang
cukup tinggi untuk bidang-bidang tertentu (Chaplin, 1997:15).
Anak penyandang autistik mempunyai masalah/gangguan dalam bidang
(Handojo, 2003:18-20) yaitu :
1. Komunikasi
2. Interaksi sosial
3. Gangguan sensoris
4. Pola bermain
5. Perilaku
6. Emosi
1.5.4 Empati
Empati berasal dari bahasa Yunani εμπάθεια yang berarti “ketertarikan
mengenali, mempersepsi, dan merasakan perasaan orang lain
.
Taylor menyatakan bahwa empati merupakan faktor esensial untuk
membangun hubungan yang saling memercayai. Ia memandang empati sebagai
usaha menyelam ke dalam perasaan orang lain untuk merasakan dan menangkap
makna perasaan itu. Empati memberikan sumbangan guna terciptanya hubungan
yang saling memercayai karena empati mengkomunikasikan sikap penerimaan
dan pengertian terhadap perasaan orang lain secara tepat .
Tubesing memandang empati merupakan identifikasi sementara terhadap
sebagian atau sekurang-kurangnya satu segi dari pengalaman orang lain.
Berempati tidak melenyapkan kedirian kita. Perasaan kita sendiri takkan hilang
ketika kita mengembangkan kemampuan untuk menerima pula perasaan orang
lain yang juga tetap menjadi milik orang itu. Menerima diri orang lain pun tidak
identik dengan menyetujui perilakunya. Meskipun demikian, empati
menghindarkan tekanan, pengadilan, pemberian nasihat apalagi keputusan. Dalam
berempati, kita berusaha mengerti bagaimana orang lain merasakan perasaan
tertentu dan mendengarkan bukan sekedar perkataannya melainkan tentang hidup
pribadinya: siapa dia dan bagaimana dia merasakan dirinya dan dunianya
.
1.5.5 TEORI S-O-R
Dalam penelitian ini, model komunikasi yang digunakan adalah model
laku social dapat dimengerti melalui suatu analisis dan stimulus yang diberikan
dan dapat mempengaruhi reaksi yang spesifik dan didukung oleh hukuman
maupun penghargaan sesuai dengan reaksi yang terjadi. Dengan kata lain,
menurut Effendy (2003: 254) efek yang ditimbulkan sesuai dengan teori S-O-R
yang merupakan reaksi yang bersifat khusus terhadap stimulus khusus, sehingga
seseorang dapat mengharapkan dan memperkirakan kesesuaian antara pesan dan
reaksi komunikan.
Prinsip teori ini pada dasarnya merupakan suatu prinsip belajar yang
sederhana, dimana efek merupakan reaksi tethadap stimulus tertentu. Dengan
demikian, seseorang dapat mengharapkan atau memperkirakan suatu kaitan yang
erat antara pesan-pesan media dan reaksi audiens. Dalam proses perubahan sikap,
maka sikap komunikasi hanya dapat berubah apabila stimulus yang menerpanya
melebihi apa yang pernah dialaminya.
Prof. Dr. Mar’at (Effendy, 2003:255) dalam bukunya “Sikap Manusia,
Perubahan Serta Pengukurannya” mengutip pendapat Hovland, Janis dan Kelly
yang menyatakan bahwa dalam menelaah sikap baru, ada tiga variabel penting
yaitu :
a. Perhatian,
b. Pengertian,
c. Penerimaan
Berdasarkan uraian di atas, maka proses komunikasi dalam teori S-O-R
ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar di atas menunjukkan bahwa perubahan sikap tergantung pada
proses yang terjadi pada individu. Stimulus atau pesan yang disampaikan kepada
komunikan mungkin diterima atau mungkin ditolak. Komunikasi akan
berlangsung apabila ada perhatian komunikan.
Setelah komunikan mengelolanya dan menerimanya, maka terjadilah
kesediaan untuk mengubah sikap.
Sehubungan dengan penjelasan di atas, teori S-O-R dalam penelitian ini
dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Stimulasi : Kemampuan empati orang tua.
2. Organism : Orang tua yang mempunyai anak penderita autis yang
bersekolah terapi di YAKARI.
3. Response : Peningkatan perilaku anak autis.
1.6 Kerangka Konsep
Kerangka konsep adalah hasil pemikiran rasional yang bersifät kritis
dalam memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang dicapai serta
Stimulus Organism
• Perhatian
• Pengertian
• Penerimaan
perumusan kerangka konsep merupakan bahan yang akan menuntun dalam
merumuskan hipotesis penelitian (Nawawi, 1995:40).
Konsep adalah penggambaran fenomena yang hendak diteliti yakni
istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak
kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu
sosial (Singarimbun, 1995:11). Adapun variabel-variabel yang akan diteliti dalam
penelitian yaitu :
1. Kemampuan empati orang tua adalah sikap penerimaan dan pengertian akan
perasaan dan mendengarkan sekedar perkataan seorang anak tentang hidup
pribadinya, siapa dia dan bagaimana dia merasakan dirinya dan dunianya.
2. Perilaku anak autis adalah Perilaku seorang anak penderita autis yang
tertarik hanya pada dunianya sendiri.
1.7 Model Teoritis
Variabel-variabel yang telah dikelompokkan dalam kerangka konsep
Bagan II Model Teoritis
1.8 Variabel Operasional
Berdasarkan kerangka teori dan kerangka konsep diatas, maka dibuat
operasional variabel yang berfungsi untuk kesamaan dan kesesuaian dalam
penelitian yaitu empati, keterbukaan, dukungan, rasa positif, perilaku, stimulasi
diri, suasana dan pikiran :
1. Empati
Sikap menerima atau tidak menerima dalam membentuk perilaku anak
penderita autis.
2. Keterbukaan
Sikap keterbukaan orang tua yang dimulai dengan kesabaran dan tanggung
jawab yang penuh terhadap anak penderita autis.
3. Dukungan
Stimulus Kemampuan Empati oRang Tua
Organism
• Perhatian
• Pengertian
• Penerimaan
Perhatian orang tua serta memahami perasaan anak penderita autis dengan
memberikan pendidikan atau memberikan sekolah khusus terapi pada anak
autis.
4. Rasa Positif
Perasaan dan pikiran yang positif serta optimis akan masa depan anak
penderita autis.
5. Perilaku
Berperilaku berlebihan (Hiperaktif) dan berperilaku kekurangan (Hipoaktif).
6. Stimulasi Diri
Adanya suatu perilaku stimulasi diri untuk melakukan gerakan yang
diulang-ulang, seperti berjalan bolak-balik, geleng-geleng kepala, dan
berputar-putar.
7. Suasana
Tidak suka pada perubahan yang akan cenderung membuat anak penderita
autis emosi.
8. Pikiran
Adanya suatu preokupasi yang sangat terbatas pada suatu pola pikiran,
BAB II
URAIAN TEORITIS
II.1. Komunikasi Antar Pribadi
II.1.1. Pengertian Komunikasi Antar Pribadi
Secara etimologi istilah komunikasi dalam bahasa Inggris, yaitu
communication berasal dari bahasa latin communication, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama yang dimaksud adalah sama makna atau sama arti. Jadi komunikasi terjadi apabila terdapat kesamaan makna mengenai suatu
pesan yang disampaikan oleh komunikator dan diterima oleh komunikan (Effendy,
2003:30).
Salah satu tujuan komunikasi adalah mengubah sikap dan perilaku
seseorang atau sekelompok orang sebagaimana yang dikehendaki komunikator,
agar isi pesan yang disampaikan dapat dimengerti, diyakini serta pada tahap
selanjutnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Carl I Hovland (Effendy, 1996:8)
mengemukakan bahwa komunikasi adalah suatu proses dimana informasi
seseorang (komunikator) menyampaikan perangsang-perangsang (biasanya
lambang-lambang dalam bentuk kata-kata) untuk mengubah tingkah laku orang
lain. Untuk itu harus ada kesepahaman arti dalam menyampaikan informasi
sehingga tercapai komunikasi yang efektif.
Menurut Mulyana (2002:73), komunikasi antar pribadi adalah
komunikasi antara dua orang atau lebih secara tatap muka, yang memungkinkan
Sedangkan menurut Rogers dalam Depari (1988) mengemukakan bahwa
komunikasi antar pribadi merupakan komunikasi dari mulut ke mulut yang terjadi
dalam interaksi tatap muka antara beberapa pribadi (Liliweri, 1991:12).
II.1.2 Ciri-ciri Komunikasi Antar Pribadi
Menurut De Vito (1976) ada beberapa ciri komunikasi antar pribadi
(Liliweri, 1991:13) yaitu :
1. Keterbukaan
Komunikator dan komunikan saling mengungkapkan ide atau gagasan
bahkan permasalahan secara bebas (tidak ditutup-tutupi) dan terbuka tanpa
rasa takut atau malu. Keduanya saling mengerti dan saling memahami.
2. Empati
Segala kepentingan yang dikomunikasikan ditanggapi dan diterima dengan
penuh perhatian oleh kedua belah pihak.
3. Dukungan
Setiap pendapat, ide atau gagasan yang disampaikan akan mendapat
dukungan dari pihak-pihak yang berkomunikasi. Dukungan membantu
seseorang untuk lebih bersemangat dalam melaksanakan aktivitas serta
meraih tujuan yang diinginkan.
4. Rasa Positif
Rasa positif menghindarkan pihak-pihak yang berkomunikasi untuk curiga
5. Kesamaan
Komunikasi akan menjadi lebih akrab dan jalinan pribadi akan menjadi kuat
apabila memiliki kesamaan tertentu, seperti kesamaan pandangan, sikap,
usia dan kesamaan idiologi, dan sebagainya.
II.1.3. Sifat Komunikasi Antar Pribadi
Komunikasi antar pribadi dari mereka yang saling mengenal lebih
bermutu karena setiap pihak mengetahui secara baik tentang liku-liku hidup pihak
lain, pikiran dan pengetahuannya, perasaannya, maupun menanggapi tingkah laku,
seorang-seorang yang sudah saling mengenal secara mendalam lebih baik
ketimbang yang belum mengenal. Kesimpulannya bahwa jika hendak
menciptakan suatu komunikasi antar pribadi yang lebih bermutu maka harus
didahului dengan suatu keakraban (Liliweri, 1991:30).
Adapun tujuh sifat yang menunjukkan bahwa suatu komunikasi antara
dua orang merupakan komunikasi antar pribadi dan bukan komunikasi lainnya,
yang terangkum dari pendapat-pendapat Reardon (1987), Effendy (1986), Porter
dan Samovar (1982) menyebutkan sifat-sifat yang membedakan (Liliweri,
1991:31) yaitu :
1. Komunikasi antar pribadi melibatkan di dalamnya perilaku verbal maupun
nonverbal. Perilaku verbal maupun nonverbal masing-masing dapat
menunjukkan seberapa jauh hubungan antara pihak-pihak yang terlibat
2. Komunikasi antar pribadi melibatkan perilaku yang spontan, scripted dan
contrived. Suatu perilaku spontan timbul karena kekuasaan emosi yang
bebas dari campur tangan kognisi. Perilaku scripted merupakan hasil belajar
seseorang secara terus menerus. Terakhir perilaku yang contrived karena
dikuasai sebagian besar oleh keputusan-keputusan yang rasional.
3. Komunikasi antar pribadi sebagai suatu proses yang berkembang. Proses
yang berkembang menandakan adanya kedinamisan yang pada gilirannya
meningkatkan mutu studi komunikasi antar pribadi.
4. Komunikasi antar pribadi harus menghasilkan umpan balik, mempunyai
interaksi dan koherensi. Suatu komunikasi antar pribadi harus ditandai
dengan adanya umpan balik dan interaksi yang terjadi mengandalkan suatu
perubahan dalam sikap, pendapat dan pikiran, perasaan dan minat ataupun
tindakan tertentu. Koherensi menandakan adanya suatu benang merah yang
terjalin antara pesan-pesan yang terungkap sebelumnya dengan yang baru
saja yang diungkapkan.
5. Komunikasi antar pribadi biasanya diatur dengan tata aturan yang bersifat
intrinsik dan ekstrinsik. Pengertian intrinsik adalah suatu standard dari
perilaku yang dikembangkan oleh seseorang sebagai panduan bagaimana
mereka melaksanakan komunikasi. Sedangkan ekstrinsik adalah adanya
aturan lain yang ditimbulkan karena adanya pengaruh pihak ketiga atau
pengaruh situasi dan kondisi sehingga komunikasi antar manusia harus
6. Komunikasi antar pribadi menunjukkan adanya suatu tindakan. Sifat yang
dimaksud adalah suatu hubungan sebab akibat yang dilandasi adanya
tindakan bersama-sama sehingga menghasilkan proses komunikasi yang
baik.
7. Komunikasi antar pribadi merupakan persuasi antar manusia. Dimana untuk
mencapai kesuksesan harus dikenal latar belakang psikologis dan sosiologis
seseorang.
II.1.4 Efektivitas Komunikasi Antar Pribadi
Dikatakan efektif bila dalam waktu tertentu tujuan dapat tercapai dengan
baik. Semakin sedikit waktu yang dipakai semakin efektif kegiatannya. Ini berarti
komunikasi antar pribadi efektif jika dalam waktu tertentu komunikan memahami
pesan yang disampaikan komunikator dengan baik dan melaksanakannya.
Berkomunikasi efektif berarti bahwa komunikator dan komunikan sama-sama
memiliki pengertian yang sama tentang suatu pesan. Komunikasi antar pribadi
dinyatakan efektif bila pertemuan komunikasi merupakan hal yang menyenangkan
bagi komunikan (Rakhmat, 2001:133).
Steward L. Tubs dan Sylvia Moss (dalam Rakhmat, 1996:16) juga
menambahkan bahwa tanda-tanda komunikasi yang efektif memiliki tanda-tanda
atau setidaknya menimbulkan, yaitu:
1. Saling pengertian
2. Memberikan kesenangan
4. Hubungan sosial yang semakin baik
5. Adanya tindakan
Selain itu ada beberapa faktor-faktor pembentuk komunikasi antar
pribadi dengan orang lain menurut pendapat Cassagrande (1986) bahwa orang
berkomunikasi dengan orang lain karena (Liliweri, 1991:48) :
1. Setiap orang memerlukan orang lain untuk saling mengisi kekurangan dan
membagi kelebihan.
2. Setiap orang terlibat dalam proses perubahan yang relatif tetap.
3. Interaksi hari ini merupakan spektrum pengalaman masa lalu, dan membuat
orang mengantisipasi masa depan.
4. Hubungan yang diciptakan kalau berhasil merupakan pengalaman yang
baru.
II.2. Psikologi Komunikasi
II.2.1. Pengertian Psikologi Komunikasi
Psikologi berasal dari kata Yunani “psyche” yang artinya jiwa. Logos
berarti ilmu pengetahuan. Jadi secara etimologi psikologi berarti ilmu yang
mempelajari tentang jiwa, baik mengenai gejalanya, prosesnya maupun latar
belakangnya.
Sedangkan, komunikasi dalam bahasa Inggris, yaitu communication
berasal dari bahasa latin communication, dan bersumber dari kata communis yang
komunikasi terjadi apabila terdapat kesamaan makna mengenai suatu pesan yang
disampaikan oleh komunikator dan diterima oleh komunikan (Effendy, 2003:30).
Namun, menurut pendapat George A.Miller membuat definisi psikologi
yang mencakup semuanya : Psychology is the science that attempts to describe,
predict, and control mental and behavioral event. Dengan demikian, psikologi komunikasi adalah ilmu yang berusaha menguraikan, meramalkan, dan
mengendalikan persistiwa mental dan behavioral dalam komunikasi (Miller,
1974:4).
II.2.2. Proses Psikologi Komunikasi
Dance (1967) mengartikan komunikasi dalam kerangka psikologi
behaviorisme sebagai usaha “menimbulkan respons melalui lambang-lambang
verbal”, ketika lambang-lambang verbal tersebut bertindak sebagai stimuli
(Rakhmat, 1989:3).
Psikologi juga menyebut komunikasi pada penyampaian energi dari
alat-alat indra ke otak, pada peristiwa penerimaan dan pengolahan informasi, pada
proses saling pengaruh diantara berbagai sistem dalam diri organisme dan diantara
II.2.3. Ciri Pendekatan Psikologi Komunikasi
Menurut Fisher ada empat ciri pendekatan psikologi pada komunikasi
(Rakhmat, 1989:9) yaitu :
1. Penerimaan stimuli secara indrawi (sensory reception of stimuli).
2. Proses yang mengantarai stimuli dan respons (internal mediation of stimuli).
3. Prediksi respons (prediction of response)
4. Peneguhan respons (reinforcement of responses)
II.3. Autisme
II.3.1. Pengertian Autisme
Dalam beberapa tahun terakhir ini para psikolog perkembangan semakin
banyak mendapat rujukan dari dokter anak untuk mengkonsultasikan anak-anak
usia 2-4 tahun dengan gejala-gejala autisme. Autisme, merupakan salah satu
gangguan perkembangan yang semakin meningkat saat ini, menimbulkan
kecemasan yang dalam bagi para orangtua. Jumlah penderita autisme meningkat
prevalensinya dari 1 : 5000 anak pada tahun 1943 saat Leo Kanner
memperkenalkan istilah autisme menjadi 1 : 100 ditahun 2001 Nakita, 2002
(Veskarisyanti, 2008:17). Kondisi ini menyebabkan banyak orangtua menjadi
was-was sehingga sedikit saja anak menunjukkan gejala yang dirasa kurang
normal selalu dikaitkan dengan gangguan autisme (Chaplin, 1997: 5).
Autisme berasal dari kata “autos” yang berarti segala sesuatu yang
mengarah pada diri sendiri. Dalam kamus psikologi umum (1982), autisme berarti
banyak berorientasi kepada pikiran subyektifnya sendiri daripada melihat
kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu penderita autisme
sering disebut orang yang hidup di “alamnya” sendiri (Chaplin, 1997:17).
Pada awalnya istilah “autisme” diambilnya dari gangguan schizophrenia,
dimana Bleuer memakai autisme ini untuk menggambarkan perilaku pasien
skizofrenia yang menarik diri dari dunia luar dan menciptakan dunia fantasinya
sendiri. Namun ada perbedaan yang jelas antara penyebab dari autisme pada
penderita skizofrenia dengan penyandang autisme infantile. Pada skizofrenia,
autisme disebabkan dampak area gangguan jiwa yang didalamnya terkandung
halusinasi dan delusi yang berlangsung minimal selama 1 bulan, sedangkan pada
anak-anak dengan autisme infantile terdapat kegagalan dalam perkembangan yang
tergolong dalam kriteria Gangguan Pervasif dengan kehidupan autistik yang tidak
disertai dengan halusinasi dan delusi (Lainhart-DSM IV, 1995).
Autisme atau autisme infantile (Early Infantile Autism) pertama kali
dikemukakan oleh Dr. Leo Kanner 1943 (Budiman, 1998) seorang psikiatris
Amerika. Istilah autisme dipergunakan untuk menunjukkan suatu gejala psikosis
pada anak-anak yang unik dan menonjol yang sering disebut Sindrom Kanner.
Ciri yang menonjol pada sindrom Kanner antara lain ekspresi wajah yang kosong
seolah-olah sedang melamun, kehilangan pikiran dan sulit sekali bagi orang lain
untuk menarik perhatian mereka atau mengajak mereka berkomunikasi.
Diperkirakan 75%-80% penyandang autis ini mempunyai retardasi mental,
sedangkan 20% dari mereka mempunyai kemampuan yang cukup tinggi untuk
II.3.2. Karakteristik Autisme
Ada beberapa karakter atau ciri-ciri yang bisa terlihat pada diri anak
penderita autisme (Handojo, 2003:50-51) yaitu :
1. Biasanya merupakan bayi yang manis dan baik, namun sangat pasif dan
sangat pendiam seperti tidak mempunyai bayi di rumah.
2. Sebagian kecil justru sebaliknya menjerit sepanjang waktu tanpa henti, tanpa
dapat ditenangkan / dibujuk, tanpa orang tua tahu sebabnya.
3. Tidak menunjuk saat usia 12 bulan.
4. Usia 12 bulan tidak mengoceh.
5. Usia 16 bulan tidak keluar satu katapun.
6. Usia 24 bulan belum bisa merangkai 2 kata.
7. Hilangnya kemampuan bahasa.
8. Tidak bisa bermain pura-pura (Pretend Play).
9. Kurang tertarik untuk berteman.
10. Sangat sulit untuk memusatkan perhatian.
11. Tidak adanya respon bila dipanggil namanya, cuek terhadap orang lain /
Lingkungan.
12. Kontak mata sangat minim / Tidak ada.
13. Gerakan tubuh yang repetiti / Misal Hand Flapping, Rocking.
14. Tantrum yang hebat.
15. Tertarik berlebihan terhadap sebuah objek misal kipas angin yang berputar
16. Menolak perubahan terhadap hal-hal rutin.
II.3.3. Kriteria Autisme
Pada dasarnya gangguan autisme tergolong dalam gangguan
perkembangan pervasive, namun bukan satu-satunya golongan yang termasuk
dalam gangguan perkembangan pervasive ( Pervasive Developmental Disorder)
menurut DSM IV (1995). Namun dalam kenyataannya hampir keseluruhan
golongan gangguan perkembangan pervasif disebut oleh para orangtua atau
masyarakat sebagai Autisme. Padahal di dalam gangguan perkembangan
pervasive meski sama-sama ditandai dengan gangguan dalam beberapa area
perkembangan seperti kemampuan interaksi sosial, komunikasi serta munculnya
perilaku stereotipe, namun terdapat beberapa perbedaan antar golongan seperti,
gangguan Autistik Infantile (Infantile Autism), Sindrom Rett (Rett’s Syndrome),
Gangguan Disintegrasi Masa Kanak (Childhoad Disintegrative Disorder),
Sindrom Asperger (Asperger’s Syndrome) (Veskarisyanti, 2008: 15-16).
1. Autistik Infantile
Ciri yang menonjol pada autistik ini antara lain ekspresi wajah yang
kosong seolah-olah sedang melamun, kehilangan pikiran dan sulit sekali bagi
orang lain untuk menarik perhatian mereka atau mengajak mereka berkomunikasi.
Gangguan Autistik lebih banyak dijumpai pada pria dibanding wanita dengan
ratio 5 : 1. Gangguan autistik abnormalitas sudah muncul sejak tahun pertama
Kriteria Autistik Infantile, yaitu :
1. Kelemahan kualitatif dalam interaksi sosial.
2. Kelemahan kualitatif dalam bidang komunikasi.
3. Pola perilaku serta minat dan kegiatan yang terbatas dan berulang.
4. Cara bermain yang simbolik dan imajinatif.
5. Hiperaktif dan Hipoaktif
2. Sindrom Rett
Sindrom Rett adalah gangguan Neurologis (Syaraf). Awalnya
perkembangan anak normal. Tetapi setelah 5 bulan sampai 30 bulan
perkembangannya menurun. Kemampuan untuk melaksanakan kegiatan
berkurang. Ciri Autisme muncul, komunikasi, sosialisasi dan perilaku stereotipi
kadang disertai gangguan motorik.
Kriteria Sindrom Rett, yaitu :
1. Regresi yang menyeluruh dan berat pada anak perempuan ( Jarang sekali
pada anak laki-laki)
2. Menimbulkan retardasi mental yang berat.
3. Gangguan berbahasa, bahkan sama sekali tidak dapat berbahasa.
4. Gangguan pada fungsi tangan (timbul gerakan-gerakan tangan didepan
seperti memeras / bertepuk tangan yang terus menerus).
3. Gangguan Disintegrasi Anak
Merupakan gangguan yang melibatkan hilangnya keterampilan yang
telah dikuasai anak setelah satu periode perkembangan normal pada tahun
pertama. Gangguan ini biasa muncul pada anak laki-laki. Perkembangan normal
anak terjadi hanya pada tahun pertama, setelah itu secara signifikan keterampilan
yang telah dimiliki seperti pemahaman, penggunaan bahasa dan yang lainnya
menghilang. Selain itu juga terjadi keabnormalan fungsi yang tampak pada
gangguan komunikasi, serta minat dan aktivitas yang sempit.
Kriteria Gangguan Disintegrasi Anak :
1. Perkembangan awal biasanya normal, termasuk bicaranya.
2. Terjadi regresi yang berat antara usia 2 -10 tahun yang meliputi :
- Fungsi Bahasa
- Sosialisasi
- Kognitif
- Kemampuannya dalam ketrampilan sehari-hari.
4. Sindrom Asperger
Gangguan Asperger (Asperger’s Disorder) adalah bentuk yang lebih
ringan dari gangguan perkembangan pervasif. Ditunjukkan dengan penarikan diri
dari interaksi sosial serta perilaku yang stereotip, namun tanpa disertai
keterlambatan yang signifikan pada aspek bahasa dan kognitif. Asperger mirip
Kriteria Sindrom Asperger yaitu :
1. Biasanya didiagnosis saat usia ≥ 6 tahun.
2. Sulit berteman, interaksi sosial sangat kurang.
3. Sulit membaca / berkomunikasi dengan cara non verbal / isyarat misal
ekspresi wajah.
4. Sulit memahami bahwa orang lain dapat mempunyai pikiran atau perasaan
yang berbeda dari dirinya.
5. Perilaku yang “kaku” dengan minat yang terbatas.
Pada umumnya anak penderita autisme bisa juga dilihat dari perilaku,
stimulasi diri, suasana, dan pikiran (Handojo, 2003:17) :
1. Perilaku : Berperilaku berlebihan (Hiperaktif) dan berperilaku kekurangan
(Hipoaktif).
2. Stimulasi Diri : Adanya suatu perilaku stimulasi diri untuk melakukan
gerakan yang diulang-ulang, seperti berjalan bolak-balik, geleng-geleng
kepala, dan berputar-putar.
3. Suasana : Tidak suka pada perubahan yang akan cenderung membuat anak
penderita autis emosi.
4. Pikiran : Adanya suatu preokupasi yang sangat terbatas pada suatu pola
pikiran, seperti duduk termangu dengan tatapan kosong.
Anak penyandang autistik mempunyai masalah/gangguan dalam bidang
(Handojo, 2003:18-20) yaitu :
1. Komunikasi
a. kemampuan wicara tidak berkembang atau mengalami keterlambatan
b. pada anak tidak tampak usaha untuk berkomunikasi dengan lingkungan
sekitar.
c. anak tidak imanijatif dalam hal permainan atau cenderung monoton
d. Bahasa yang tidak lazim yang selalu diulang-ulang atau stereotipik.
2. Interaksi sosial
Timbulnya gangguan kualitas interaksi sosial yaitu :
a. Anak mengalami kegagalan untuk bertatap mata, menunjukkan wajah
yang tidak berekspresi.
b. Ketidakmampuan untuk secara spontan mencari teman untuk berbagi
kesenangan dan melakukan sesuatu bersama-sama.
c. Ketidakmampuan anak untuk berempati, dan mencoba membaca emosi
yang dimunculkan oleh orang lain.
3. Perilaku
Aktivitas, perilaku, dan ketertarikan anak terlihat sangat terbatas. Banyak
pengulangan terus-menerus dan stereotipik seperti :
1. Adanya suatu kelekatan pada rutinitas atau ritual yang tidak berguna,
misalnya kalau mau tidur harus cuci kaki dulu
2. Adanya suatu preokupasi yang sangat terbatas pada suatu pola perilaku yang
tidak normal, misalnya duduk di pojok sambil menghamburkan pasir seperti
air hujan, yang bisa dilakukannya berjam-jam.
3. Adanya gerakan-gerakan motorik aneh yang diulang-ulang, seperti
4. Gangguan sensoris
1. Sangat sensitif terhadap sentuhan, seperti tidak suka dipeluk.
2. Bila mendengar suara keras langsung menutup telinga.
3. Senang mencium-cium, menjilat mainan atau benda-benda.
4. Tidak sensitif terhadap rasa sakit dan rasa takut.
5. Pola bermain
1. Tidak bermain seperti anak-anak pada umumnya.
2. Tidak suka bermain dengan anak sebayanya.
3. Tidak bermain sesuai fungsi mainan, misalnya sepeda di balik lalu
rodanya diputar-putar.
4. Menyenangi benda-benda yang berputar, seperti kipas angin, roda sepeda.
6. Emosi
1. Sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, tertawa-tawa, menangis tanpa
alasan.
2. Temper tantrum (mengamuk tak terkendali) jika dilarang atau tidak
diberikan keinginannya.
3. Kadang suka menyerang dan merusak, berperilaku yang menyakiti dirinya
sendiri, serta tidak mempunyai empati dan tidak mengerti perasaan orang
lain.
II.3.4. Penyebab Autisme
Dalam catatan pakar autis Nakita, 2002 (Veskarisyanti, 2008:17) jumlah
penyandang autisme dibandingkan dengan jumlah kelahiran normal dari tahun
kelahiran. Peningkatan yang tajam ini tentunya menimbulkan pertanyaan, ada
perubahan apa dalam rentang waktu tersebut sehingga kasus terjadinya autisme
bisa meningkat tajam tidak saja di Indonesia tetapi juga di berbagai negara.
Sekitar 20 tahun lalu, penyebab autisme masih merupakan misteri.
Sekarang, berkat alat kedokteran yang semakin canggih, diperkuat dengan
autopsi, ditemukan penyebabnya antara lain gangguan neurobiologis pada
susunan saraf pusat (otak). Biasanya gangguan ini terjadi dalam tiga bulan
pertama masa kehamilan, bila pertumbuhan sel-sel otak di beberapa tempat tidak
sempurna (Veskarisyanti, 2008:17).
Faktor Penyebab :
• Gangguan pada Susunan Syaraf Pusat, disebabkan oleh :
1. Faktor Genetik
2. Gangguan pertumbuhan sel otak janin, inveksi virus janin, perdarahan,
keracunan selama hamil muda
3. Gangguan pencernaan
4. Keracunan Logam Berat (Pg, Hg, Cad)
5. Gangguan auto imunity
Penyebabnya bisa karena (toxoplasmosis, cytomegalo, rubela dan
herpes) atau jamur (candida) yang ditularkan oleh ibu ke janin. Bisa juga selama hamil sang ibu mengkonsumsi atau menghirup zat yang sangat polutif, yang
meracuni janin. Ada pendapat seorang ahli yang menyatakan bahwa lingkungan
yang terkontaminasi zat-zat beracun bisa menimbulkan kerusakan usus besar dan
Faktor Genetika :
1. Mutasi Genetika : penyebab multifaktor
2. Telah ditemukan lebih dari 7 gen yang berhubungan dengan autisme. Perlu
beberapa gen untuk menimbulkan gejala autisme.
Penyebab multifaktorial dengan ditemukannya kelainan pada tubuh
penderita, munculnya gangguan biokimia, dan ada pula ahli yang berpendapat
autisme disebabkan oleh gangguan jiwal psikiatri. Menurut para peneliti, faktor
genetik juga memegang peranan kuat, dan mi terus diteliti. Pasalnya, manusia
banyak mengalami mutasi genetik, yang bisa karena cara hidup yang semakin
“modern” (penggunaan zat kimia dalam kehidupan sehari-hari, faktor udara yang
semakin terpolusi).
II.3.5. Teknik Penanganan Autisme
Penanganan / intervensi terapi pada penyandang autisme harus dilakukan
dengan intensif dan terpadu. Terapi secara formal sebaiknya dilakukan antara 4–8
jam sehari. Selain itu seluruh keluarga harus terlibat untuk memacu komunikasi
dengan anak. Penanganan penyandang autisme memerlukan kerjasama tim yang
terpadu yang berasal dari berbagai disiplin ilmu antara lain psikiater, psikolog
neurolog, dokter anak, terapis bicara dan pendidik.
Terapi perlu diberikan untuk membangun kondisi yang lebih baik.
Terapi juga harus rutin dilakukan agar apa yang menjadi kekurangan anak dapat
terpenuhi secara bertahap. Bagi orangtua anak dengan kelainan ini disarankan
Perlu diingat bahwa terapi harus diberikan sedini mungkin sebelum anak
berusia 5 rahun. Sebab, perkembangan pesat otak anak umumnya terjadi pada usia
sebelum 5 tahun, tepatnya puncak pada usia 2-3 tahun.
Ada beberapa terapi autis yang paling efektif untuk anak penderita
autisme (Veskarisyanti, 2008:41-55) yaitu :
1. Terap Biomedik
Terapi biomedik fokus pada pembersihan fungsi-fungsi abnormal pada
otak. Anak-anak akan diperiksa secara intensif. Dengan terapi ini diharapkan
fungsi susunan saraf pusat bisa bekerja dengan lebih baik sehingga gejala autisme
berkurang atau bahkan menghilang.
2. Terapi Okupasi
Terapi okupasi berguna untuk melatih otot-otot halus anak. Hampir
semua kasus anak autistik mempunyai keterlambatan dalam perkembangan
motorik halus. Gerak-geriknya sangat kaku dan kasar, mereka kesulitan untuk
memegang benda dengan cara yang benar, kesulitan untuk memegang sendok dan
menyuap makanan ke mulutnya, sulit bermain bola selaiknya anak normal, sulit
bersalaman, atau memetik gitar. Dengan terapi ini anak akan dilatih untuk
membuat semua otot dalam tubuhnya berfungsi dengan tepat.
3. Terapi Integrasi Sensoris
Integrasi sensoris berarti kemampuan untuk mengolah dan mengartikan
seluruh rangsang sensoris yang diterima dari tubuh maupun lingkungan, dan
Terapi ini berguna meningkatkan kematangan susunan saraf pusat,
sehingga lebih mampu untuk memperbaiki struktur dan fungsinya. Aktivitas ini
merangsang koneksi sinaptik yang lebih kompleks, dengan demikian bisa
meningkatkan kapasitas untuk belajar.
4. Terapi Bermain
Terapi Bermain sebagai penggunaan secara sistematik dan model teoritis
untuk memantapkan proses interpersonal. Pada terapi ini, terapis bermain
menggunakan kekuatan terapiutik permainan untuk membantu klien
menyelesaikan kesulitan-kesulitan psikososial dan mencapai pertumbuhan,
perkembangan yang optimal.
Terapi bermain adalah pemanfaatan pola permainan sebagai media yang
efektif dan terapis, melalui kebebasan eksplorasi dan ekspresi diri. Bermain
merupakan bagian integral dari masa kanak-kanak, salah satu media yang unik
dan penting untuk memfasilitasi perkembangan :
- Ekspresi bahasa,
- Ketrampilan komunikasi,
- Perkembangan emosi, ketrampilan sosial,
- Ketrampilan pengambilan keputusan, dan
- Perkembangan kognitif pada anak-anak.
5. Terapi Perilaku
Terapi perilaku, berupaya untuk melakukan perubahan pada anak autistik
dalam arti perilaku yang berlebihan dikurangi dan perilaku yang berkekurangan
Terapi ini memfokuskan penanganan pada pemberian reinforcement
positif setiap kali anak berespons benar sesuai instruksi yang diberikan. Tidak ada
hukuman (punishment) dalam terapi mi, akan tetapi bila anak berespons negatif
(salah/ tidak tepat) atau tidak berespons sama sekali maka ia tidak mendapatkan
reinforcement positif yang ia sukai tersebut.
Tujuan penanganan ini terutama adalah untuk meningkatkan pemahaman
dan kepatuhan anak terhadap aturan. Dan terapi ini hasil yang didapatkan
signifikan bila mampu diterapkan secara intensif, teratur dan konsisten pada usia
dini.
6. Terap Fisik
Penyandang autisme memiliki gangguan perkembangan dalam motorik
kasarnya. Kadang tonus ototnya lembek sehingga jalannya kurang kuat.
Keseimbangan tubuhnya juga kurang bagus. Fisioterapi dan terapi integrasi
sensoris akan sangat banyak menolong untuk menguatkan otot-otot dan
memperbaiki keseimbangan tubuh anak.
7. Terapi Wicara
Autisme mempunyai kesulitan dalam bicara dan berbahasa.
Kadang-kadang bicaranya cukup berkembang, namun mereka tidak mampu untuk
memakai kemampuan bicaranya untuk berkomunikasi/berinteraksi dengan orang
lain. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, materi speech therapy sebaiknya
dilakukan berkolaborasi dengan metode ABA. Selain itu mereka juga harus
memahami langkah-langkah dalam metode Lovaas sebagai dasar bagi materi yang
Terapis wicara adalah profesi yang bekerja pada prinsip-prinsip di mana
timbul kesulitan berkomunikasi atau gangguan pada berbahasa dan berbicara bagi
orang dewasa maupun anak.
8. Terapi Musik
Terapi musik adalah suatu terapi yang menggunakan musik untuk
membantu seseorang dalam fungsi kognitif, psikologis, fisik, perilaku, dan sosial
yang mengalami hambatan maupun kecacatan.
Terapi musik ini memiliki manfaat :
1. Memperbaiki self-awarences.
2. Meningkatkan hubungan sosial, penyesuaian diri, lebih mandiri, dan peduli
dengan orang lain.
3. Mengakomodasi dan membangun daya komunikasi.
4. Membangun identifikasi dan ekspresi emosi yang sesuai
Meningkatkan kesadaran akan dirinya, memusatkan perhatian,
mengurangi perilaku yang negatif yang tidak diharapkan, membuka komunikasi,
menciptakan hubungan sosial yang berpengaruh positif pada pertumbuhan dan
perkembangan positif.
9. Terapi Perkembangan
Terapi ini didasari oleh adanya keadaan bahwa anak dengan autis
melewatkan atau kurang sedikit bahkan banyak sekali kemampuan bersosialisasi.
Yang termasuk terapi perkembangan misalnya Floortime, Son-rise dan RDI
(Relationship Developmental Intervention). Floortime dilakukan oleh orang tua
Sementara RDI (Relationship Developmental Intervention) mencoba
untuk membantu anak menjalin interaksi positif dengan orang lain, meskipun
tanpa menggunakan bahasa.
10. Terapi Visual
Individu autistik lebih mudah belajar dengan melihat (visual
learners/visual thinkers). Hal inilah yang kemudian dipakai untuk
mengembangkan metode belajar kornunikasi melalui gambar-gambar. Beberapa
video games bisa juga dipakai untuk mengembangkan ketrampilan komunikasi.
11. Terapi Medikaméntosa
Disebut juga dengan terapi obat-obatan (Drug Therapy). Terapi ini
dilakukan dengan dengan pemberian obat-obatan oleh dokter yang berwenang.
12. Terapi Melalui Makanan
Terapi melalui makanan (Diet Therapy) diberikan untuk anak-anak
dengan masalah alergi makanan tertentu. Pada jenis terapi ini biasanya ditemukan
anak penderita autis terkadang susah makan atau mengalami alergi ketika
mengkonsumsi makanan tertentu, oleh sebab itu dalam terapi ini diberikan solusi
tepat bagi para orangtua untuk menyiasati menu yang cocok dan sesuai bagi
II.4. Empati
Empati berasal dari bahasa Yunani εμπάθεια yang berarti “ketertarikan
fisik”. Sehingga dapat didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk
mengenali, mempersepsi, dan merasakan perasaan orang lain
.
Tubesing memandang empati merupakan identifikasi sementara terhadap
sebagian atau sekurang-kurangnya satu segi dari pengalaman orang lain.
Berempati tidak melenyapkan kedirian kita. Perasaan kita sendiri takkan hilang
ketika kita mengembangkan kemampuan untuk menerima pula perasaan orang
lain yang juga tetap menjadi milik orang itu. Menerima diri orang lain pun tidak
identik dengan menyetujui perilakunya. Meskipun demikian, empati
menghindarkan tekanan, pengadilan, pemberian nasihat apalagi keputusan. Dalam
berempati, kita berusaha mengerti bagaimana orang lain merasakan perasaan
tertentu dan mendengarkan bukan sekedar perkataannya melainkan tentang hidup
pribadinya: siapa dia dan bagaimana dia merasakan dirinya dan dunianya
.
Empati merupakan respons yang kompleks, meliputi komponen afektif
dan kognitif. Dengan komponen afektif, berarti seseorang dapat merasakan apa
yang orang lain rasakan dan dengan komponen kognitif seseorang mampu
memahami apa yang orang lain rasakan beserta alasannya. Daniel Batson (1995,
2008) menjelaskan adanya hubungan antara empati dengan tingkah laku
Ada tiga teori empati (Sarwono, 2009:128-129) :
1. Hipotesis empati altruisme
Menurut Batson, 1995-2008 (Sarwono, 2009:128-129) dalam hipotesis
empati altruisme dikatakan bahwa perhatian yang empatik yang dirasakan
seseorang terhadap penderitaan orang lain akan menghasilkan motivasi
untuk mengurangi penderitaan orang tersebut. Motivasi menolong ini bisa
sangat kuat sehingga seseorang bersedia terlibat dalam aktivitas menolong
yang tidak menyenangkan, berbahaya, bahkan mengancam jiwanya.
2. Model mengurangi perasaan negatif
Baron, Byrne, dan Branscombe, 2006 (Sarwono, 2009:128-129) menyatakan
bahwa model mengurangi perasaan negatif. Mereka menjelaskan bahwa
orang menolong untuk mengurangi perasaan negatif akibat melihat
penderitaan orang lain. Dengan demikian, tingkah laku menolong dapat
berperan sebagai self-help agar seseorang terbebas dari suasana hati yang
tidak menyenangkan.
3. Hipotesis kesenangan empatik
Dalam hipotesis ini, dikatakan bahwa seseorang akan menolong bila ia
memperkirakan dapat ikut merasakan kebahagian orang yang akan ditolong
atas pertolongan yang akan diberikannya. Satu hal yang paling penting disini
adalah seseorang yang menolong perlu untuk mengetahui bahwa
Dari tiga teori empati yang telah dijelaskan, terlihat bahwa kondisi afektif
seseorang merupakan element yang penting. Seseorang menolong karena
tindakannya akan meningkatkan perasaan positf dan mengurangi perasaan negativ
atas dirinya.
II.5. Sikap dan Perilaku
II.5.1. Pengertian Sikap dan Perilaku
Sikap dapat didefinisikan dengan berbagai cara dan setiap definisi itu
berbeda satu sama lain. Trow mendefinisikan sikap sebagai suatu kesiapan mental
atau emosional dalam beberapa jenis tindakan pada situasi yang tepat. Di sini
Trow lebih menekankan pada kesiapan mental atau emosional seseorang terhadap
sesuatu objek. Sementara itu Allport seperti dikutip oleh Gable mengemukakan
bahwa sikap adalah sesuatu kesiapan mental dan saraf yang tersusun melalui
pengalaman dan memberikan pengaruh langsung kepada respons individu
terhadap semua objek atau situasi yang berhubungan dengan objek itu.
Defenisi sikap menurut Allport ini menunjukkan bahwa sikap itu tidak
muncul seketika atau dibawa lahir, tetapi disusun dan dibentuk melalui
pengalaman serta memberikan pengaruh langsung kepada respons seseorang.
Harlen mengemukakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kecenderungan
seseorang untuk bertindak dalam menghadapi suatu objek atau situasi tertentu
(Sarwono, 2009: 81).
Menurut Mueller (1986) sikap adalah merupakan suatu konstruk
psikologi yang digambarkan sebagai kepercayaan, pendapat, minat, nilai, prilaku
bahwa sikap adalah suatu respons yang evaluatif, yang dinamis dan terbuka
terhadap kemungikinan perubahan dikarenakan interaksi seseorang dengan
lingkungannya. Dan sikap hannya akan berarti jika tampak dalam bentuk
kenyataan yaitu prilaku yang lisan maupun yang dibuat (Liliweri, 1991:128-129).
Sikap adalah perasaan seseorang tentang obyek, aktivitas, peristiwa dan
orang lain. Perasaan ini menjadi konsep yang merepresentasikan suka atau tidak
sukanya (positif, negatif, atau netral) seseorang pada sesuatu. Sedangkan perilaku
adalah segenap manifestasi hayati individu dalam berinteraksi dengan lingkungan,
mulai dari perilaku yang paling nampak sampai yang tidak tampak, dari yang
paling dirasakan sampai yang paling tidak dirasakan (Faturochman, 2009:43).
Sikap dikembangkan dalam tiga model, yaitu :
1. Afeksi
Respon afektif adalah respon fisiologis yang mengekspresikan kesukaan
individu pada sesuatu.
2. Kecenderungan perilaku
Kecenderungan perilaku adalah indikasi verbal dari maksud seorang
individu.
3. Kognisi
Respon kognitif adalah pengevaluasian secara kognitif terhadap suatu objek
sikap. Kebanyakan sikap individu adalah hasil belajar sosial dari
II.5.2. Pembentukan Sikap
Sikap dibentuk melalui proses belajar sosial, yaitu proses dimana
individu memperoleh informasih, tingkah laku, atau sikap baru dari orang lain.
Sikap dibentuk melalui empat macam (Sarwono, 2009:84-85) yaitu :
1. Pengondisian klasik
Proses pembelajaran dapat terjadi ketika suatu stimulus selalu diikuti oleh
stimulus yang lain, sehingga stimulus yang pertama menjadi suatu isyarat
bagi stimulus yang kedua.
2. Pengondisian instrumental
Proses pembelajaran terjadi ketika suatu perilaku mendatangkan hasil yang
menyenangkan bagi seseorang, maka prilaku tersebut akan diulang kembali.
3. Belajar melalui pengamatan
Proses pembelajaran dengan cara mengamati perilaku orang lain, kemudian
dijadikan sebagai contoh untuk berperilaku serupa.
4. Perbandingan sosial
Proses pembelajaran dengan membandingkan orang lain untuk mengecek
II.5.3. Fungsi Sikap
Menurut Baron, Byrne, dan Branscombe, 2006 (Sarwono, 2009:86-87)
terdapat lima fungsi sikap yaitu :
1. Fungsi pengetahuan
Sikap membantu kita untuk menginterpretasi stimulus baru dan menanpilkan
respon yang sesuai
2. Fungsi identitas
Sikap terhadap kebangsaan indonesia yang kita nilai tinggi dengan
mengekspresikan nilai dan keyakinan serta mengkomunikasikan “siapa kita”
3. Fungsi harga diri
Sikap yang kita miliki mampu menjaga atau meningkatkan harga diri.
4. Fungsi pertahanan diri
Sikap berfungsi melindungi diri dari penilaian negatif tentang diri kita
5. Fungsi memotifasi kesan
Sikap berfungsi mengarahkan orang lain untuk memberikan penilaian atau
kesan yang positif tentang diri kita.
Dari pengertian sikap diatas dapat kita simpulkan bahwa perilaku akan
muncul dipengaruhi oleh sikap dalam diri kita. Perilaku yang berada dalam
kendali individu secara sadar dan rasional akan mempengaruhi terhadap sikap dan
II.6. Model SOR
Dalam penelitian ini, model komunikasi yang digunakan adalah model
S-O-R (Stimulus-Organisern-Respon). Model ini mengemukakan bahwa tingkah
laku sosial dapat dimengerti melalui suatu analisis dan stimulus yang diberikan
dan dapat mempengaruhi reaksi yang spesifik dan didukung oleh hukuman
maupun penghargaan sesuai dengan reaksi yang terjadi.
Dengan kata lain, menurut Effendy (2003: 254) efek yang ditimbulkan
sesuai dengan teori S-O-R yang merupakan reaksi yang bersifat khusus terhadap
stimulus khusus, sehingga seseorang dapat mengharapkan dan memperkirakan
kesesuaian antara pesan dan reaksi komunikan.
Prinsip teori ini pada dasarnya merupakan suatu prinsip belajar yang
sederhana, dimana efek merupakan reaksi tethadap stimulus tertentu. Dengan
demikian, seseorang dapat mengharapkan atau memperkirakan suatu kaitan yang
erat antara pesan-pesan media dan reaksi audiens. Dalam proses perubahan sikap,
maka sikap komunikasi hanya dapat berubah apabila stimulus yang menerpanya
melebihi apa yang pernah dialaminya.
Prof. Dr. Mar’at (Effendy, 2003:255) dalam bukunya “Sikap Manusia,
Perubahan Serta Pengukurannya” mengutip pendapat Hovland, Janis dan Kelly
yang menyatakan bahwa dalam menelaah sikap baru, ada tiga variable penting
yaitu :
a. Perhatian,
c. Penerimaan
Berdasarkan uraian di atas, maka proses komunikasi dalam teori S-O-R
ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Bagan III Teori S-O-R
Gambar di atas menunjukkan bahwa perubahan sikap tergantung pada
proses yang terjadi pada individu. Stimulus atau pesan yang disampaikan kepada
komunikan mungkin diterima atau mungkin ditolak. Komunikasi akan
berlangsung apabila ada perhatian komunikan.
Setelah komunikan mengelolanya dan menerimanya, maka terjadilah
kesediaan untuk mengubah sikap.
Sehubungan dengan penjelasan di atas, teori S-O-R dalam penelitian ini
dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Stimulasi : Kemampuan empati orang tua.
2. Organism : Orang tua yang mempunyai anak penderita autis yang
bersekolah terapi di YAKARI.
3. Response : Peningkatan perilaku anak autis.
Stimulus Organism
• Perhatian
• Pengertian
• Penerimaan
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
III.1 Deskripsi Lokasi Penelitian
III.1.1 Sejarah Singkat Yayasan Ananda Karsa Mandiri (YAKARI)
Yayasan Ananda Karsa Mandiri (YAKARI) dibentuk untuk mewadahi
pendidikan dan pelayanan kesehatan bagi anak-anak Autis di Kota Medan. Pada
Awalnya Keluarga Drs. Ahmad Rusly yang tinggal dan bekerja di Medan,
mendapatkan anak pertama mereka Ahmad Dzaky Yusran yang lahir pada tanggal
30 mei 1996 memiliki sikap dan perilaku yang menurut mereka sebagai orangtua
muda agak aneh dan berbeda dengan anak-anak lain yang pernah mereka lihat.
Ketika Anak mereka berusia 18 bulan, semuanya kelihatan berjalan
normal dan sesuai perkembangannya dengan Kartu Menuju Sehat (KMS) yang
mereka dapatkan pada klinik anak di Medan. Namun seiring dengan berjalannya
waktu, Dzaky yang pada saat berusian dua Tahun, mulai menunjukkan
gejala-gejala aneh dan tidak seperti anak-anak lain, antara lain tidak merespon teguran
atau sapaan, tidak mau bergabung dengan anak-anak lain, senang menyendiri,
menangis dan tertawa tanpa ada sebab, berlari-lari tanpa tujuan dan
bertepuk-tepuk tangan. Hal ini segera dikonsultasikan kepada Dokter anak, namun mereka
merasa “Tenang dan Bahagia” karena menurut dokter hal itu biasa terjadi pada
anak pertama, nanti lama-lama juga akan seperti anak lainnya.
Ketika Dzaky berusia 30 bulan, ketenangan Rusly dan Istrinya kembali