• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemampuan Empati Orang Tua dan Perilaku Anak Autis (Studi Kasus Tentang Kemampuan Empati Orang Tua Dalam Membentuk Perilaku Anak Autis di Sekolah Terapi YAKARI Kota Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kemampuan Empati Orang Tua dan Perilaku Anak Autis (Studi Kasus Tentang Kemampuan Empati Orang Tua Dalam Membentuk Perilaku Anak Autis di Sekolah Terapi YAKARI Kota Medan)"

Copied!
134
0
0

Teks penuh

(1)

KEMAMPUAN EMPATI ORANG TUA

DAN PERILAKU ANAK AUTIS

(Studi Kasus Tentang Kemampuan Empati Orang Tua Dalam Membentuk Perilaku Anak Autis di Sekolah Terapi YAKARI Kota Medan)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan

Pendidikan Sarjana (S-1) Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Komunikasi

Diajukan oleh : YULIA SYAHRINA. R

060904037

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ABSTRAKSI

Skripsi ini berjudul Kemampuan Empati Orang Tua Dalam Membentuk Perilaku Anak Autis (Studi Kasus Tentang Kemampuan Empati Orang Tua Dalam Membentuk Perilaku Anak Autis di Sekolah Terapi YAKARI Kota Medan). Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan membahas bagaimanakah kemampuan empati orang tua dalam membentuk perilaku anak autis di sekolah terapi YAKARI Jl. Abdullah Lubis No. 30 Medan. Empati adalah sikap menerima atau tidak menerima dalam membentuk perilaku anak penderita autis. Sedangkan autisme adalah preokupasian terhadap pikiran dan khayalan sendiri atau dengan kata lain lebih banyak berorientasi kepada pikiran subyektifnya sendiri daripada melihat kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan beberapa teori yang relevan, yaitu: Komunikasi antar pribadi, Psikologi Komunikasi, Autisme, Empati, Sikap, Perilaku dan Teori S-O-R. Peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif, dimana peneliti mendeskripsikan atau merekonstruksi wawancara-wawancara mendalam terhadap subjek penelitian. Temuan dan analisis data disajikan berupa kata-kata atau narasi.

Penelitian ini tidak menggunakan sampel tetapi menggunakan subjek penelitian atau informan. Subjek penelitian dalam penelitian ini ada 4 orang yang dipilih menurut sejumlah kriteria tertentu. Pengumpulan data dilaksanakan dengan cara melakukan observasi dan wawancara mendalam (indepth interview) terhadap subjek penelitian tersebut. Analisis data dilakukan secara kualitatif yaitu dengan mengaitkan variabel kemampuan empati orang tua dengan variabel perilaku anak autis.

(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan

anugerah-Nya yang berlimpah kepada peneliti sehingga peneliti dapat

menyelesaikan dengan baik skripsi ini yang berjudul “Kemampuan Empati Orang

Tua dan Perilaku Anak Autis (Studi Kasus Tentang Kemampuan Empati Orang

Tua Dalam Membentuk Perilaku Anak Autis di Sekolah Terapi YAKARI Kota

Medan)”. Skripsi ini merupakan tugas akhir perkuliahan peneliti dan sebagai salah

satu pemenuhan syarat kelulusan dan perolehan gelar pendidikan sarjana (S-1)

dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Komunikasi,

Universitas Sumatera Utara.

Untaian kata yang paling tulus peneliti mengucapkan terima kasih

sedalam-dalamnya kepada orangtua peneliti yakni, Ayahanda Syahrul Rambe atas

doa dan dukungannya serta Ibunda Eka Yuliani yang selalu sabar membimbing

dan memberikan semangat, cinta dan kasih sayangnya disepanjang dua puluh dua

tahun perjalanan hidup peneliti. Untuk adik yang paling peneliti sayangi dan cintai

Sofyan Indra Rambe, terima kasih atas doa, dukungan, canda tawanya dan selalu

berharap bahwa peneliti nantinya akan menjadi manusia yang berguna di masa

yang akan datang.

Dalam pelaksanaan dan penyusunan skripsi ini peneliti tidak hanya

mengandalkan kemampuan diri sendiri. Begitu banyak pihak yang memberi

(4)

motivasi. Oleh karena itu, peneliti mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. M. Arif Nasution, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Amir Purba, M.A selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Dewi Kurniawati, M.Si selaku Sekretaris Departemen Ilmu

Komunikasi FISIP USU.

4. Bapak Drs. Humaizi, M.A selaku Pembantu Dekan I Departemen Ilmu

Komunikasi FISIP USU.

5. Ibu Emilia Ramadhani S.Sos selaku dosen pembimbing peneliti yang telah

banyak membantu, membimbing, memberikan masukan-masukan dan

memiliki kesabaran, serta begitu baik memperlakukan peneliti selama proses

penulisan skripsi ini.

6. Ibu Dra. Fatma Wardi Lubis, M.A selaku dosen pembimbing awal peneliti

yang telah banyak membantu dan membimbing.

7. Para dosen Ilmu Komunikasi FISIP USU yang selalu memberikan contoh

yang patut untuk ditiru oleh peneliti.

8. Kak Ross, kak Icut, kak Maya dan Tante Izat yang selalu setia membantu

peneliti dan semua dukungan serta pengertiannya.

9. Orang yang peneliti sayangi Tri Nugroho terima kasih untuk kasih sayangnya,

doa, kesabaran, dukungan, suka duka, bantuan baik moril maupun materil,

(5)

10.Sahabat terbaik peneliti : Olin, Wulan (Tiwol), Gesy, Topik terimakasih untuk

doa dan dukungannya. Takkan terlupakan semua kenangan dan takkan mampu

peneliti membalas bantuan baik moril maupun materil serta semua

kebahagiaan yang selama kita mengarungi persahabatan.

11.Sahabat peneliti : Wita, Emir, Bang Novan, Riri, Pakde, Aghi, Soya, Tika,

Adis, Mira, Abi, Teguh, Wya, Dina, Imeh, Wulan, Icha, Mandha, Nurul.

Terima kasih atas dukungan dan kerja samanya.

12.Teman seperjuangan peneliti Rara, terima kasih atas doa, motivasi, dukungan,

masukan-masukan, suka duka, canda tawa, yang selalu menemani dan

membantu peneliti.

13.Pak Fahri dan seluruh guru terapis di sekolah autis YAKARI yang selalu

membimbing dan memberi masukan-masukan kepada peneliti.

14.Seluruh Para orang tua dan adik-adikku, khususnya bagi para informan di

sekolah terapi autis YAKARI yang telah banyak memberikan waktu dan

kesempatan bagi peneliti untuk melakukan wawancara mendalam.

Peneliti menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan. Untuk itu, peneliti dengan rendah hati meminta saran dan masukan

yang bisa membangun dari semua pihak demi kesempurnaan tulisan ini. Semoga

Skripsi ini bermanfaat bagi seluruh pihak dan dapat membuka khazanah berpikir

kita.

Medan, Maret 2010 Peneliti,

(6)
(7)
(8)

III.4. Teknik Pengumpulan Data ... 62

IV.1.3. Analisis Variabel Kemampuan Empati Orang Tua ... 66

IV.2.3. Analisis Variabel Kemampuan Empati Orang Tua ... 77

(9)

IV.4.3. Analisis Variabel Kemampuan Empati

Orang Tua ... 98

IV.4.4. Analisis Variabel Perilaku Anak Autis ... 100

IV.4.5. Analisis Data (Matriks) ... 102

IV.4.6. Pembahasan ... 103

IV.5. Pembahasan ... 104

BAB V : PENUTUP V.1. Kesimpulan ... 112

V.2. Saran ... 115

(10)

DAFTAR TABEL

DAFTAR TABEL ... viii

Daftar Tabel Tabel 1 Rangkuman Temuan Penelitian Informan I ... 71

Tabel 2 Rangkuman Temuan Penelitian Informan II ... 82

Tabel 3 Rangkuman Temuan Penelitian Informan III ... 93

(11)

DAFTAR BAGAN No. Bagan

Bagan 1 Teori S-O-R ... 12

Bagan 2 Model Teoritis ... 14

Bagan 3 Teori S-O-R ... 46

(12)

DAFTAR LAMPIRAN - Pedoman Wawancara

- Lembar Catatan Bimbingan Skripsi

- Surat Izin Penelitian Ke Kasubag Pendidikan FISIP USU

- Surat Izin Penelitian Ke Sekolah Terapi Autis YAKARI

(13)

ABSTRAKSI

Skripsi ini berjudul Kemampuan Empati Orang Tua Dalam Membentuk Perilaku Anak Autis (Studi Kasus Tentang Kemampuan Empati Orang Tua Dalam Membentuk Perilaku Anak Autis di Sekolah Terapi YAKARI Kota Medan). Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan membahas bagaimanakah kemampuan empati orang tua dalam membentuk perilaku anak autis di sekolah terapi YAKARI Jl. Abdullah Lubis No. 30 Medan. Empati adalah sikap menerima atau tidak menerima dalam membentuk perilaku anak penderita autis. Sedangkan autisme adalah preokupasian terhadap pikiran dan khayalan sendiri atau dengan kata lain lebih banyak berorientasi kepada pikiran subyektifnya sendiri daripada melihat kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan beberapa teori yang relevan, yaitu: Komunikasi antar pribadi, Psikologi Komunikasi, Autisme, Empati, Sikap, Perilaku dan Teori S-O-R. Peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif, dimana peneliti mendeskripsikan atau merekonstruksi wawancara-wawancara mendalam terhadap subjek penelitian. Temuan dan analisis data disajikan berupa kata-kata atau narasi.

Penelitian ini tidak menggunakan sampel tetapi menggunakan subjek penelitian atau informan. Subjek penelitian dalam penelitian ini ada 4 orang yang dipilih menurut sejumlah kriteria tertentu. Pengumpulan data dilaksanakan dengan cara melakukan observasi dan wawancara mendalam (indepth interview) terhadap subjek penelitian tersebut. Analisis data dilakukan secara kualitatif yaitu dengan mengaitkan variabel kemampuan empati orang tua dengan variabel perilaku anak autis.

(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perkembangan manusia banyak didukung dari beberapa faktor,

diantaranya adalah faktor kesehatan, gizi, dan mental atau psikologis, dimana

faktor-faktor tersebut saling mendukung satu sama lainnya dalam kehidupan.

Setiap manusia sesungguhnya adalah citra tuhan yang mempesona. Pesona itu

dijumpai dalam diri semua bayi yang baru lahir ke dunia. Memiliki buah hati yang

sehat, aktif, dan cerdas, adalah impian setiap orang tua. Sayangnya, karena

beberapa faktor, impian ini tidak bisa diwujudkan. Sang buah hati lahir dengan

kelainan yang mengakibatkan gangguan pada kemampuan motorik maupun

sensorik.

Seperti halnya terhadap anak penderita autis. Autisme berasal dari kata

“autos” yang berarti segala sesuatu yang mengarah pada diri sendiri. Dalam

kamus psikologi umum (1982), autisme berarti preokupasi terhadap pikiran dan

khayalan sendiri atau dengan kata lain lebih banyak berorientasi kepada pikiran

subyektifnya sendiri daripada melihat kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari.

Oleh karena itu penderita autisme sering disebut orang yang hidup di “alamnya”

sendiri.

Autisme atau autisme infantile (Early Infantile Autism) pertama kali

dikemukakan oleh Dr. Leo Kanner 1943 (Budiman, 1998) seorang psikiatris

(15)

pada anak-anak yang unik dan menonjol yang sering disebut Sindrom Kanner.

Ciri yang menonjol pada sindrom Kanner antara lain ekspresi wajah yang kosong

seolah-olah sedang melamun, kehilangan pikiran dan sulit sekali bagi orang lain

untuk menarik perhatian mereka atau mengajak mereka berkomunikasi.

Reaksi pertama orangtua yang paling mungkin adalah kekecewaan dan

kesedihan mendalam, yang kemudian disusul rasa malu. Perasaan malu ini pula

yang membuat para orangtua memilih untuk bersembunyi dan menutup-nutupi

keadaan buah hatinya dari lingkungan sekitar ketimbang mencari informasi yang

benar mengenai kelainan buah hatinya.

Meski sudah banyak sekolah-sekolah khusus atau pusat konsultasi yang

menangani anak dengan kelainan mental, tidak banyak orangtua yang

meresponnya secara positif.Akan tetapi, ada juga orangtua yang sudah

memeriksakan kondisi sang buah hati kepada dokter dengan spesialisasi di bidang

ini. Namun, pergi ke dokter anak saja tidak cukup. Para orangtua perlu

berkonsultasi lebih lanjut dengan lembaga yang khusus menangani perkembangan

anak dengan kelainan mental. Di situ lah orangtua bisa mengikuti perkembangan

dan pertumbuhan sang buah hati. Mulai dari hal yang paling kecil hingga hal yang

paling kompleks. Ketika ada salah satu kelainan pada perkembangan sang buah

hati pun, orangtua tidak perlu panik dan dapat memberikan penanganan dini agar

memperkecil berbagai kemungkinan terburuk.

Oleh karena itu peranan orang tua sangat dibutuhkan dalam membantu

persoalan-persoalan yang dihadapi sekaligus sangat menentukan dalam

(16)

depannya. Sehingga tidak melebihi kenyataan jika dikatakan bahwa peranan orang

tua turut mewarnai perkembangan perilaku anaknya dalam keluarga.

Untuk mempersingkat waktu penelitian, mempermudah peneliti dan

tidak memperbanyak biaya dan keterbatasan peneliti untuk meneliti semua orang

tua yang mempunyai anak penderita autis khususnya yang mengikuti sekolah

terapi YAKARI yang berlokasi di Jl. Abdullah Lubis No. 30 Medan. Maka

peneliti memfokuskan penelitian kepada orang tua dan anak penderita autis yang

mengikuti sekolah terapi di YAKARI.

Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk meneliti mengenai

kemampuan empati orang tua dan perilaku anak autis di sekolah terapi YAKARI.

Peneliti memilih lokasi penelitian di sekolah terapi YAKARI karena peneliti

melihat bahwa kemampuan empati orang tua terhadap perilaku anak autis di

sekolah terapi YAKARI tersebut berdampak positif. Berdasarkan pengamatan

sementara, peneliti melihat bahwa kemampuan empati orang tua dan perilaku

anak autis di sekolah terapi YAKARI dapat berdampak positif bagi orang tua.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka

dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

“Bagaimanakah kemampuan empati orang tua dalam membentuk

(17)

1.3 Pembatasan Masalah

Untuk menghindari ruang lingkup penelitian yang terlalu luas sehingga

dapat mengaburkan penelitian, maka peneliti menetapkan batasan masalah yang

lebih jelas dan spesifik mengenai hal - hal yang diteliti.

Adapun pembatasan masalah yang akan diteliti adalah :

a. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dimana peneliti mendeskripsikan

atau merekonstruksi wawancara mendalam terhadap subjek penelitian tanpa

menjelaskan hubungan antar variabel atau menguji hipotesis.

b. Subjek penelitian adalah Orang tua dari anak penderita autis yang

bersekolah terapi di YAKARI.

c. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Februari 2010.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah kemampuan

empati orang tua dalam membentuk perilaku anak autis.

b. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon atau tanggapan orang tua

dalam membentuk perilaku anak autis.

c. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui permasalahan yang pada

(18)

1.4.2 Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Secara akademis, penelitian diharapkan dapat memperkaya khasanah

penelitian dan sumber bacaan di lingkungan FISIP USU, khususnya di

Departemen Ilmu Komunikasi.

b. Secara teoritis, penelitian ini berguna untuk menambah pengetahuan dan

memperluas wawasan peneliti mengenai ilmu komunikasi khususnya

tentang Psikologi Komunikasi sebagai bagian dari ilmu komunikasi.

c. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi dan

masukan yang positif bagi pihak yang terkait dalam penelitian ini.

1.5 Kerangka Teori

Sebelum melakukan penelitian, seorang peneliti tentu menyusun suatu

kerangka teori. Kerangka teori disusun sebagai landasan berpikir yang

menunjukkan dari sudut mana peneliti menyoroti masalah yang akan diteliti

(Nawawi, 1995:39).

Menurut kerlinger menyatakan teori merupakan himpunan konstruk

(konsep), definisi dan preposisi yang mengemukakan pandangan sistematis

tentang gejala dengan menjabarkan relasi di antara variabel, untuk menjelaskan

dan meramalkan gejala tersebut (Rakhmat, 2004:6). Dengan adanya kerangka

teori peneliti akan memiliki landasan dalam menemukan tujuan arah penelitiannya.

(19)

1.5.1 Komunikasi Antar Pribadi

Secara etimologi istilah komunikasi dalam bahasa Inggris, yaitu

communication berasal dari bahasa latin communication, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama yang dimaksud adalah sama makna atau sama arti. Jadi komunikasi terjadi apabila terdapat kesamaan makna mengenai suatu

pesan yang disampaikan oleh komunikator dan diterima oleh komunikan (Effendy,

2003:30).

Salah satu tujuan komunikasi adalah mengubah sikap dan perilaku

seseorang atau sekelompok orang sebagaimana yang dikehendaki komunikator,

agar isi pesan yang disampaikan dapat dimengerti, diyakini serta pada tahap

selanjutnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Carl I Hovland (Effendy, 1996:8)

mengemukakan bahwa komunikasi adalah suatu proses dimana informasi

seseorang (komunikator) menyampaikan perangsang-perangsang (biasanya

lambang-lambang dalam bentuk kata-kata) untuk mengubah tingkah laku orang

lain. Untuk itu harus ada kesepahaman arti dalam menyampaikan informasi

sehingga tercapai komunikasi yang efektif.

Komunikasi juga dapat diartikan sebagai bentuk interaksi manusia yang

saling berpengaruh mempengaruhi satu dengan yang lain, sengaja atau tidak

sengaja. Tidak terbatas pada bentuk komunikasi menggunakan bahasa verbal,

tetapi juga ekspresi muka, lukisan, seni dan teknologi (Hafied Cangara, 2002:20).

Menurut Mulyana (2002:73), komunikasi antar pribadi adalah

komunikasi antara dua orang atau lebih secara tatap muka, yang memungkinkan

(20)

Sedangkan menurut Rogers dalam Depari (1988) mengemukakan bahwa

komunikasi antar pribadi merupakan komunikasi dari mulut ke mulut yang terjadi

dalam interaksi tatap muka antara beberapa pribadi (Liliweri, 1991:12).

Lebih jauh lagi, De Vito (1976) mengemukakan beberapa ciri

komunikasi antar pribadi (Liliweri, 1991:13) yaitu :

1. Keterbukaan

2. Empati

3. Dukungan

4. Rasa Positif

5. Kesamaan

1.5.2 Psikologi Komunikasi

Psikologi berasal dari kata Yunani “psyche” yang artinya jiwa. Logos

berarti ilmu pengetahuan. Jadi secara etimologi psikologi berarti ilmu yang

mempelajari tentang jiwa, baik mengenai gejalanya, prosesnya maupun latar

belakangnya.

Sedangkan, komunikasi dalam bahasa Inggris, yaitu communication

berasal dari bahasa latin communication, dan bersumber dari kata communis yang

berarti sama. Sama yang dimaksud adalah sama makna atau sama arti. Jadi

komunikasi terjadi apabila terdapat kesamaan makna mengenai suatu pesan yang

disampaikan oleh komunikator dan diterima oleh komunikan (Effendy, 2003:30).

Psikologi terutama mengarahkan perhatiannya pada perilaku manusia

(21)

perilaku manusia itu. Psikologi juga memandang komunikasi dengan makna yang

lebih luas yang meliputi penyampaian energi alat indera ke otak, proses saling

pengaruh di antara berbagai sistem organisme dan diantara organisme. Menurut

Carl I Hovland & Janis bila komunikasi didefinisikan melalui

pendekatan/prespektif psikologi maka psikologi adalah proses individu

menyampaikan stimulus untuk merubah/mempengaruhi perilaku individu lain

.

Namun, menurut pendapat George A.Miller membuat definisi psikologi

yang mencakup semuanya : Psychology is the science that attempts to describe,

predict, and control mental and behavioral event. Dengan demikian, psikologi komunikasi adalah ilmu yang berusaha menguraikan, meramalkan, dan

mengendalikan persistiwa mental dan behavioral dalam komunikasi (Miller,

1974:4).

Akan tetapi, sebenarnya psikologi sosial adalah psikologi komunikasi.

Dimana dari salah satu defenisi mutakhir menyebutkan psikologi sosial adalah

usaha untuk memahami, menjelaskan, dan meramalkan bagaimana pikiran,

perasaan dan tindakan individu dipengaruhi oleh apa yang dianggapnya sebagai

pikiran, perasaan, dan tindakan orang lain yang kehadirannya boleh jadi

sebenarnya, dibayangkan, atau disiratkan (Kaufmann, 1973:6).

Didalam penelitian ini, peneliti menggunakan psikologi komunikasi

sebagai dasar hubungan terhadap kemampuan empati orang tua dalam membentuk

(22)

1.5.3 Autisme

Istilah Autisme berasal dari kata "Autos" yang berarti diri sendiri "Isme"

yang berarti suatu aliran. Berarti suatu paham yang tertarik hanya pada dunianya

sendiri. Autistik adalah suatu gangguan perkembangan yang kompleks

menyangkut komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi. Gejalanya mulai

tampak sebelum anak berusia 3 tahun. Bahkan pada autistik infantil gejalanya

sudah ada sejak lahir. Diperkirakan 75%-80% penyandang autis ini mempunyai

retardasi mental, sedangkan 20% dari mereka mempunyai kemampuan yang

cukup tinggi untuk bidang-bidang tertentu (Chaplin, 1997:15).

Anak penyandang autistik mempunyai masalah/gangguan dalam bidang

(Handojo, 2003:18-20) yaitu :

1. Komunikasi

2. Interaksi sosial

3. Gangguan sensoris

4. Pola bermain

5. Perilaku

6. Emosi

1.5.4 Empati

Empati berasal dari bahasa Yunani εμπάθεια yang berarti “ketertarikan

(23)

mengenali, mempersepsi, dan merasakan perasaan orang lain

.

Taylor menyatakan bahwa empati merupakan faktor esensial untuk

membangun hubungan yang saling memercayai. Ia memandang empati sebagai

usaha menyelam ke dalam perasaan orang lain untuk merasakan dan menangkap

makna perasaan itu. Empati memberikan sumbangan guna terciptanya hubungan

yang saling memercayai karena empati mengkomunikasikan sikap penerimaan

dan pengertian terhadap perasaan orang lain secara tepat .

Tubesing memandang empati merupakan identifikasi sementara terhadap

sebagian atau sekurang-kurangnya satu segi dari pengalaman orang lain.

Berempati tidak melenyapkan kedirian kita. Perasaan kita sendiri takkan hilang

ketika kita mengembangkan kemampuan untuk menerima pula perasaan orang

lain yang juga tetap menjadi milik orang itu. Menerima diri orang lain pun tidak

identik dengan menyetujui perilakunya. Meskipun demikian, empati

menghindarkan tekanan, pengadilan, pemberian nasihat apalagi keputusan. Dalam

berempati, kita berusaha mengerti bagaimana orang lain merasakan perasaan

tertentu dan mendengarkan bukan sekedar perkataannya melainkan tentang hidup

pribadinya: siapa dia dan bagaimana dia merasakan dirinya dan dunianya

.

1.5.5 TEORI S-O-R

Dalam penelitian ini, model komunikasi yang digunakan adalah model

(24)

laku social dapat dimengerti melalui suatu analisis dan stimulus yang diberikan

dan dapat mempengaruhi reaksi yang spesifik dan didukung oleh hukuman

maupun penghargaan sesuai dengan reaksi yang terjadi. Dengan kata lain,

menurut Effendy (2003: 254) efek yang ditimbulkan sesuai dengan teori S-O-R

yang merupakan reaksi yang bersifat khusus terhadap stimulus khusus, sehingga

seseorang dapat mengharapkan dan memperkirakan kesesuaian antara pesan dan

reaksi komunikan.

Prinsip teori ini pada dasarnya merupakan suatu prinsip belajar yang

sederhana, dimana efek merupakan reaksi tethadap stimulus tertentu. Dengan

demikian, seseorang dapat mengharapkan atau memperkirakan suatu kaitan yang

erat antara pesan-pesan media dan reaksi audiens. Dalam proses perubahan sikap,

maka sikap komunikasi hanya dapat berubah apabila stimulus yang menerpanya

melebihi apa yang pernah dialaminya.

Prof. Dr. Mar’at (Effendy, 2003:255) dalam bukunya “Sikap Manusia,

Perubahan Serta Pengukurannya” mengutip pendapat Hovland, Janis dan Kelly

yang menyatakan bahwa dalam menelaah sikap baru, ada tiga variabel penting

yaitu :

a. Perhatian,

b. Pengertian,

c. Penerimaan

Berdasarkan uraian di atas, maka proses komunikasi dalam teori S-O-R

ini dapat digambarkan sebagai berikut :

(25)

Gambar di atas menunjukkan bahwa perubahan sikap tergantung pada

proses yang terjadi pada individu. Stimulus atau pesan yang disampaikan kepada

komunikan mungkin diterima atau mungkin ditolak. Komunikasi akan

berlangsung apabila ada perhatian komunikan.

Setelah komunikan mengelolanya dan menerimanya, maka terjadilah

kesediaan untuk mengubah sikap.

Sehubungan dengan penjelasan di atas, teori S-O-R dalam penelitian ini

dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Stimulasi : Kemampuan empati orang tua.

2. Organism : Orang tua yang mempunyai anak penderita autis yang

bersekolah terapi di YAKARI.

3. Response : Peningkatan perilaku anak autis.

1.6 Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah hasil pemikiran rasional yang bersifät kritis

dalam memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang dicapai serta

Stimulus Organism

Perhatian

Pengertian

Penerimaan

(26)

perumusan kerangka konsep merupakan bahan yang akan menuntun dalam

merumuskan hipotesis penelitian (Nawawi, 1995:40).

Konsep adalah penggambaran fenomena yang hendak diteliti yakni

istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak

kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu

sosial (Singarimbun, 1995:11). Adapun variabel-variabel yang akan diteliti dalam

penelitian yaitu :

1. Kemampuan empati orang tua adalah sikap penerimaan dan pengertian akan

perasaan dan mendengarkan sekedar perkataan seorang anak tentang hidup

pribadinya, siapa dia dan bagaimana dia merasakan dirinya dan dunianya.

2. Perilaku anak autis adalah Perilaku seorang anak penderita autis yang

tertarik hanya pada dunianya sendiri.

1.7 Model Teoritis

Variabel-variabel yang telah dikelompokkan dalam kerangka konsep

(27)

Bagan II Model Teoritis

1.8 Variabel Operasional

Berdasarkan kerangka teori dan kerangka konsep diatas, maka dibuat

operasional variabel yang berfungsi untuk kesamaan dan kesesuaian dalam

penelitian yaitu empati, keterbukaan, dukungan, rasa positif, perilaku, stimulasi

diri, suasana dan pikiran :

1. Empati

Sikap menerima atau tidak menerima dalam membentuk perilaku anak

penderita autis.

2. Keterbukaan

Sikap keterbukaan orang tua yang dimulai dengan kesabaran dan tanggung

jawab yang penuh terhadap anak penderita autis.

3. Dukungan

Stimulus Kemampuan Empati oRang Tua

Organism

Perhatian

Pengertian

Penerimaan

(28)

Perhatian orang tua serta memahami perasaan anak penderita autis dengan

memberikan pendidikan atau memberikan sekolah khusus terapi pada anak

autis.

4. Rasa Positif

Perasaan dan pikiran yang positif serta optimis akan masa depan anak

penderita autis.

5. Perilaku

Berperilaku berlebihan (Hiperaktif) dan berperilaku kekurangan (Hipoaktif).

6. Stimulasi Diri

Adanya suatu perilaku stimulasi diri untuk melakukan gerakan yang

diulang-ulang, seperti berjalan bolak-balik, geleng-geleng kepala, dan

berputar-putar.

7. Suasana

Tidak suka pada perubahan yang akan cenderung membuat anak penderita

autis emosi.

8. Pikiran

Adanya suatu preokupasi yang sangat terbatas pada suatu pola pikiran,

(29)

BAB II

URAIAN TEORITIS

II.1. Komunikasi Antar Pribadi

II.1.1. Pengertian Komunikasi Antar Pribadi

Secara etimologi istilah komunikasi dalam bahasa Inggris, yaitu

communication berasal dari bahasa latin communication, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama yang dimaksud adalah sama makna atau sama arti. Jadi komunikasi terjadi apabila terdapat kesamaan makna mengenai suatu

pesan yang disampaikan oleh komunikator dan diterima oleh komunikan (Effendy,

2003:30).

Salah satu tujuan komunikasi adalah mengubah sikap dan perilaku

seseorang atau sekelompok orang sebagaimana yang dikehendaki komunikator,

agar isi pesan yang disampaikan dapat dimengerti, diyakini serta pada tahap

selanjutnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Carl I Hovland (Effendy, 1996:8)

mengemukakan bahwa komunikasi adalah suatu proses dimana informasi

seseorang (komunikator) menyampaikan perangsang-perangsang (biasanya

lambang-lambang dalam bentuk kata-kata) untuk mengubah tingkah laku orang

lain. Untuk itu harus ada kesepahaman arti dalam menyampaikan informasi

sehingga tercapai komunikasi yang efektif.

Menurut Mulyana (2002:73), komunikasi antar pribadi adalah

komunikasi antara dua orang atau lebih secara tatap muka, yang memungkinkan

(30)

Sedangkan menurut Rogers dalam Depari (1988) mengemukakan bahwa

komunikasi antar pribadi merupakan komunikasi dari mulut ke mulut yang terjadi

dalam interaksi tatap muka antara beberapa pribadi (Liliweri, 1991:12).

II.1.2 Ciri-ciri Komunikasi Antar Pribadi

Menurut De Vito (1976) ada beberapa ciri komunikasi antar pribadi

(Liliweri, 1991:13) yaitu :

1. Keterbukaan

Komunikator dan komunikan saling mengungkapkan ide atau gagasan

bahkan permasalahan secara bebas (tidak ditutup-tutupi) dan terbuka tanpa

rasa takut atau malu. Keduanya saling mengerti dan saling memahami.

2. Empati

Segala kepentingan yang dikomunikasikan ditanggapi dan diterima dengan

penuh perhatian oleh kedua belah pihak.

3. Dukungan

Setiap pendapat, ide atau gagasan yang disampaikan akan mendapat

dukungan dari pihak-pihak yang berkomunikasi. Dukungan membantu

seseorang untuk lebih bersemangat dalam melaksanakan aktivitas serta

meraih tujuan yang diinginkan.

4. Rasa Positif

Rasa positif menghindarkan pihak-pihak yang berkomunikasi untuk curiga

(31)

5. Kesamaan

Komunikasi akan menjadi lebih akrab dan jalinan pribadi akan menjadi kuat

apabila memiliki kesamaan tertentu, seperti kesamaan pandangan, sikap,

usia dan kesamaan idiologi, dan sebagainya.

II.1.3. Sifat Komunikasi Antar Pribadi

Komunikasi antar pribadi dari mereka yang saling mengenal lebih

bermutu karena setiap pihak mengetahui secara baik tentang liku-liku hidup pihak

lain, pikiran dan pengetahuannya, perasaannya, maupun menanggapi tingkah laku,

seorang-seorang yang sudah saling mengenal secara mendalam lebih baik

ketimbang yang belum mengenal. Kesimpulannya bahwa jika hendak

menciptakan suatu komunikasi antar pribadi yang lebih bermutu maka harus

didahului dengan suatu keakraban (Liliweri, 1991:30).

Adapun tujuh sifat yang menunjukkan bahwa suatu komunikasi antara

dua orang merupakan komunikasi antar pribadi dan bukan komunikasi lainnya,

yang terangkum dari pendapat-pendapat Reardon (1987), Effendy (1986), Porter

dan Samovar (1982) menyebutkan sifat-sifat yang membedakan (Liliweri,

1991:31) yaitu :

1. Komunikasi antar pribadi melibatkan di dalamnya perilaku verbal maupun

nonverbal. Perilaku verbal maupun nonverbal masing-masing dapat

menunjukkan seberapa jauh hubungan antara pihak-pihak yang terlibat

(32)

2. Komunikasi antar pribadi melibatkan perilaku yang spontan, scripted dan

contrived. Suatu perilaku spontan timbul karena kekuasaan emosi yang

bebas dari campur tangan kognisi. Perilaku scripted merupakan hasil belajar

seseorang secara terus menerus. Terakhir perilaku yang contrived karena

dikuasai sebagian besar oleh keputusan-keputusan yang rasional.

3. Komunikasi antar pribadi sebagai suatu proses yang berkembang. Proses

yang berkembang menandakan adanya kedinamisan yang pada gilirannya

meningkatkan mutu studi komunikasi antar pribadi.

4. Komunikasi antar pribadi harus menghasilkan umpan balik, mempunyai

interaksi dan koherensi. Suatu komunikasi antar pribadi harus ditandai

dengan adanya umpan balik dan interaksi yang terjadi mengandalkan suatu

perubahan dalam sikap, pendapat dan pikiran, perasaan dan minat ataupun

tindakan tertentu. Koherensi menandakan adanya suatu benang merah yang

terjalin antara pesan-pesan yang terungkap sebelumnya dengan yang baru

saja yang diungkapkan.

5. Komunikasi antar pribadi biasanya diatur dengan tata aturan yang bersifat

intrinsik dan ekstrinsik. Pengertian intrinsik adalah suatu standard dari

perilaku yang dikembangkan oleh seseorang sebagai panduan bagaimana

mereka melaksanakan komunikasi. Sedangkan ekstrinsik adalah adanya

aturan lain yang ditimbulkan karena adanya pengaruh pihak ketiga atau

pengaruh situasi dan kondisi sehingga komunikasi antar manusia harus

(33)

6. Komunikasi antar pribadi menunjukkan adanya suatu tindakan. Sifat yang

dimaksud adalah suatu hubungan sebab akibat yang dilandasi adanya

tindakan bersama-sama sehingga menghasilkan proses komunikasi yang

baik.

7. Komunikasi antar pribadi merupakan persuasi antar manusia. Dimana untuk

mencapai kesuksesan harus dikenal latar belakang psikologis dan sosiologis

seseorang.

II.1.4 Efektivitas Komunikasi Antar Pribadi

Dikatakan efektif bila dalam waktu tertentu tujuan dapat tercapai dengan

baik. Semakin sedikit waktu yang dipakai semakin efektif kegiatannya. Ini berarti

komunikasi antar pribadi efektif jika dalam waktu tertentu komunikan memahami

pesan yang disampaikan komunikator dengan baik dan melaksanakannya.

Berkomunikasi efektif berarti bahwa komunikator dan komunikan sama-sama

memiliki pengertian yang sama tentang suatu pesan. Komunikasi antar pribadi

dinyatakan efektif bila pertemuan komunikasi merupakan hal yang menyenangkan

bagi komunikan (Rakhmat, 2001:133).

Steward L. Tubs dan Sylvia Moss (dalam Rakhmat, 1996:16) juga

menambahkan bahwa tanda-tanda komunikasi yang efektif memiliki tanda-tanda

atau setidaknya menimbulkan, yaitu:

1. Saling pengertian

2. Memberikan kesenangan

(34)

4. Hubungan sosial yang semakin baik

5. Adanya tindakan

Selain itu ada beberapa faktor-faktor pembentuk komunikasi antar

pribadi dengan orang lain menurut pendapat Cassagrande (1986) bahwa orang

berkomunikasi dengan orang lain karena (Liliweri, 1991:48) :

1. Setiap orang memerlukan orang lain untuk saling mengisi kekurangan dan

membagi kelebihan.

2. Setiap orang terlibat dalam proses perubahan yang relatif tetap.

3. Interaksi hari ini merupakan spektrum pengalaman masa lalu, dan membuat

orang mengantisipasi masa depan.

4. Hubungan yang diciptakan kalau berhasil merupakan pengalaman yang

baru.

II.2. Psikologi Komunikasi

II.2.1. Pengertian Psikologi Komunikasi

Psikologi berasal dari kata Yunani “psyche” yang artinya jiwa. Logos

berarti ilmu pengetahuan. Jadi secara etimologi psikologi berarti ilmu yang

mempelajari tentang jiwa, baik mengenai gejalanya, prosesnya maupun latar

belakangnya.

Sedangkan, komunikasi dalam bahasa Inggris, yaitu communication

berasal dari bahasa latin communication, dan bersumber dari kata communis yang

(35)

komunikasi terjadi apabila terdapat kesamaan makna mengenai suatu pesan yang

disampaikan oleh komunikator dan diterima oleh komunikan (Effendy, 2003:30).

Namun, menurut pendapat George A.Miller membuat definisi psikologi

yang mencakup semuanya : Psychology is the science that attempts to describe,

predict, and control mental and behavioral event. Dengan demikian, psikologi komunikasi adalah ilmu yang berusaha menguraikan, meramalkan, dan

mengendalikan persistiwa mental dan behavioral dalam komunikasi (Miller,

1974:4).

II.2.2. Proses Psikologi Komunikasi

Dance (1967) mengartikan komunikasi dalam kerangka psikologi

behaviorisme sebagai usaha “menimbulkan respons melalui lambang-lambang

verbal”, ketika lambang-lambang verbal tersebut bertindak sebagai stimuli

(Rakhmat, 1989:3).

Psikologi juga menyebut komunikasi pada penyampaian energi dari

alat-alat indra ke otak, pada peristiwa penerimaan dan pengolahan informasi, pada

proses saling pengaruh diantara berbagai sistem dalam diri organisme dan diantara

(36)

II.2.3. Ciri Pendekatan Psikologi Komunikasi

Menurut Fisher ada empat ciri pendekatan psikologi pada komunikasi

(Rakhmat, 1989:9) yaitu :

1. Penerimaan stimuli secara indrawi (sensory reception of stimuli).

2. Proses yang mengantarai stimuli dan respons (internal mediation of stimuli).

3. Prediksi respons (prediction of response)

4. Peneguhan respons (reinforcement of responses)

II.3. Autisme

II.3.1. Pengertian Autisme

Dalam beberapa tahun terakhir ini para psikolog perkembangan semakin

banyak mendapat rujukan dari dokter anak untuk mengkonsultasikan anak-anak

usia 2-4 tahun dengan gejala-gejala autisme. Autisme, merupakan salah satu

gangguan perkembangan yang semakin meningkat saat ini, menimbulkan

kecemasan yang dalam bagi para orangtua. Jumlah penderita autisme meningkat

prevalensinya dari 1 : 5000 anak pada tahun 1943 saat Leo Kanner

memperkenalkan istilah autisme menjadi 1 : 100 ditahun 2001 Nakita, 2002

(Veskarisyanti, 2008:17). Kondisi ini menyebabkan banyak orangtua menjadi

was-was sehingga sedikit saja anak menunjukkan gejala yang dirasa kurang

normal selalu dikaitkan dengan gangguan autisme (Chaplin, 1997: 5).

Autisme berasal dari kata “autos” yang berarti segala sesuatu yang

mengarah pada diri sendiri. Dalam kamus psikologi umum (1982), autisme berarti

(37)

banyak berorientasi kepada pikiran subyektifnya sendiri daripada melihat

kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu penderita autisme

sering disebut orang yang hidup di “alamnya” sendiri (Chaplin, 1997:17).

Pada awalnya istilah “autisme” diambilnya dari gangguan schizophrenia,

dimana Bleuer memakai autisme ini untuk menggambarkan perilaku pasien

skizofrenia yang menarik diri dari dunia luar dan menciptakan dunia fantasinya

sendiri. Namun ada perbedaan yang jelas antara penyebab dari autisme pada

penderita skizofrenia dengan penyandang autisme infantile. Pada skizofrenia,

autisme disebabkan dampak area gangguan jiwa yang didalamnya terkandung

halusinasi dan delusi yang berlangsung minimal selama 1 bulan, sedangkan pada

anak-anak dengan autisme infantile terdapat kegagalan dalam perkembangan yang

tergolong dalam kriteria Gangguan Pervasif dengan kehidupan autistik yang tidak

disertai dengan halusinasi dan delusi (Lainhart-DSM IV, 1995).

Autisme atau autisme infantile (Early Infantile Autism) pertama kali

dikemukakan oleh Dr. Leo Kanner 1943 (Budiman, 1998) seorang psikiatris

Amerika. Istilah autisme dipergunakan untuk menunjukkan suatu gejala psikosis

pada anak-anak yang unik dan menonjol yang sering disebut Sindrom Kanner.

Ciri yang menonjol pada sindrom Kanner antara lain ekspresi wajah yang kosong

seolah-olah sedang melamun, kehilangan pikiran dan sulit sekali bagi orang lain

untuk menarik perhatian mereka atau mengajak mereka berkomunikasi.

Diperkirakan 75%-80% penyandang autis ini mempunyai retardasi mental,

sedangkan 20% dari mereka mempunyai kemampuan yang cukup tinggi untuk

(38)

II.3.2. Karakteristik Autisme

Ada beberapa karakter atau ciri-ciri yang bisa terlihat pada diri anak

penderita autisme (Handojo, 2003:50-51) yaitu :

1. Biasanya merupakan bayi yang manis dan baik, namun sangat pasif dan

sangat pendiam seperti tidak mempunyai bayi di rumah.

2. Sebagian kecil justru sebaliknya menjerit sepanjang waktu tanpa henti, tanpa

dapat ditenangkan / dibujuk, tanpa orang tua tahu sebabnya.

3. Tidak menunjuk saat usia 12 bulan.

4. Usia 12 bulan tidak mengoceh.

5. Usia 16 bulan tidak keluar satu katapun.

6. Usia 24 bulan belum bisa merangkai 2 kata.

7. Hilangnya kemampuan bahasa.

8. Tidak bisa bermain pura-pura (Pretend Play).

9. Kurang tertarik untuk berteman.

10. Sangat sulit untuk memusatkan perhatian.

11. Tidak adanya respon bila dipanggil namanya, cuek terhadap orang lain /

Lingkungan.

12. Kontak mata sangat minim / Tidak ada.

13. Gerakan tubuh yang repetiti / Misal Hand Flapping, Rocking.

14. Tantrum yang hebat.

15. Tertarik berlebihan terhadap sebuah objek misal kipas angin yang berputar

16. Menolak perubahan terhadap hal-hal rutin.

(39)

II.3.3. Kriteria Autisme

Pada dasarnya gangguan autisme tergolong dalam gangguan

perkembangan pervasive, namun bukan satu-satunya golongan yang termasuk

dalam gangguan perkembangan pervasive ( Pervasive Developmental Disorder)

menurut DSM IV (1995). Namun dalam kenyataannya hampir keseluruhan

golongan gangguan perkembangan pervasif disebut oleh para orangtua atau

masyarakat sebagai Autisme. Padahal di dalam gangguan perkembangan

pervasive meski sama-sama ditandai dengan gangguan dalam beberapa area

perkembangan seperti kemampuan interaksi sosial, komunikasi serta munculnya

perilaku stereotipe, namun terdapat beberapa perbedaan antar golongan seperti,

gangguan Autistik Infantile (Infantile Autism), Sindrom Rett (Rett’s Syndrome),

Gangguan Disintegrasi Masa Kanak (Childhoad Disintegrative Disorder),

Sindrom Asperger (Asperger’s Syndrome) (Veskarisyanti, 2008: 15-16).

1. Autistik Infantile

Ciri yang menonjol pada autistik ini antara lain ekspresi wajah yang

kosong seolah-olah sedang melamun, kehilangan pikiran dan sulit sekali bagi

orang lain untuk menarik perhatian mereka atau mengajak mereka berkomunikasi.

Gangguan Autistik lebih banyak dijumpai pada pria dibanding wanita dengan

ratio 5 : 1. Gangguan autistik abnormalitas sudah muncul sejak tahun pertama

(40)

Kriteria Autistik Infantile, yaitu :

1. Kelemahan kualitatif dalam interaksi sosial.

2. Kelemahan kualitatif dalam bidang komunikasi.

3. Pola perilaku serta minat dan kegiatan yang terbatas dan berulang.

4. Cara bermain yang simbolik dan imajinatif.

5. Hiperaktif dan Hipoaktif

2. Sindrom Rett

Sindrom Rett adalah gangguan Neurologis (Syaraf). Awalnya

perkembangan anak normal. Tetapi setelah 5 bulan sampai 30 bulan

perkembangannya menurun. Kemampuan untuk melaksanakan kegiatan

berkurang. Ciri Autisme muncul, komunikasi, sosialisasi dan perilaku stereotipi

kadang disertai gangguan motorik.

Kriteria Sindrom Rett, yaitu :

1. Regresi yang menyeluruh dan berat pada anak perempuan ( Jarang sekali

pada anak laki-laki)

2. Menimbulkan retardasi mental yang berat.

3. Gangguan berbahasa, bahkan sama sekali tidak dapat berbahasa.

4. Gangguan pada fungsi tangan (timbul gerakan-gerakan tangan didepan

seperti memeras / bertepuk tangan yang terus menerus).

(41)

3. Gangguan Disintegrasi Anak

Merupakan gangguan yang melibatkan hilangnya keterampilan yang

telah dikuasai anak setelah satu periode perkembangan normal pada tahun

pertama. Gangguan ini biasa muncul pada anak laki-laki. Perkembangan normal

anak terjadi hanya pada tahun pertama, setelah itu secara signifikan keterampilan

yang telah dimiliki seperti pemahaman, penggunaan bahasa dan yang lainnya

menghilang. Selain itu juga terjadi keabnormalan fungsi yang tampak pada

gangguan komunikasi, serta minat dan aktivitas yang sempit.

Kriteria Gangguan Disintegrasi Anak :

1. Perkembangan awal biasanya normal, termasuk bicaranya.

2. Terjadi regresi yang berat antara usia 2 -10 tahun yang meliputi :

- Fungsi Bahasa

- Sosialisasi

- Kognitif

- Kemampuannya dalam ketrampilan sehari-hari.

4. Sindrom Asperger

Gangguan Asperger (Asperger’s Disorder) adalah bentuk yang lebih

ringan dari gangguan perkembangan pervasif. Ditunjukkan dengan penarikan diri

dari interaksi sosial serta perilaku yang stereotip, namun tanpa disertai

keterlambatan yang signifikan pada aspek bahasa dan kognitif. Asperger mirip

(42)

Kriteria Sindrom Asperger yaitu :

1. Biasanya didiagnosis saat usia ≥ 6 tahun.

2. Sulit berteman, interaksi sosial sangat kurang.

3. Sulit membaca / berkomunikasi dengan cara non verbal / isyarat misal

ekspresi wajah.

4. Sulit memahami bahwa orang lain dapat mempunyai pikiran atau perasaan

yang berbeda dari dirinya.

5. Perilaku yang “kaku” dengan minat yang terbatas.

Pada umumnya anak penderita autisme bisa juga dilihat dari perilaku,

stimulasi diri, suasana, dan pikiran (Handojo, 2003:17) :

1. Perilaku : Berperilaku berlebihan (Hiperaktif) dan berperilaku kekurangan

(Hipoaktif).

2. Stimulasi Diri : Adanya suatu perilaku stimulasi diri untuk melakukan

gerakan yang diulang-ulang, seperti berjalan bolak-balik, geleng-geleng

kepala, dan berputar-putar.

3. Suasana : Tidak suka pada perubahan yang akan cenderung membuat anak

penderita autis emosi.

4. Pikiran : Adanya suatu preokupasi yang sangat terbatas pada suatu pola

pikiran, seperti duduk termangu dengan tatapan kosong.

Anak penyandang autistik mempunyai masalah/gangguan dalam bidang

(Handojo, 2003:18-20) yaitu :

1. Komunikasi

(43)

a. kemampuan wicara tidak berkembang atau mengalami keterlambatan

b. pada anak tidak tampak usaha untuk berkomunikasi dengan lingkungan

sekitar.

c. anak tidak imanijatif dalam hal permainan atau cenderung monoton

d. Bahasa yang tidak lazim yang selalu diulang-ulang atau stereotipik.

2. Interaksi sosial

Timbulnya gangguan kualitas interaksi sosial yaitu :

a. Anak mengalami kegagalan untuk bertatap mata, menunjukkan wajah

yang tidak berekspresi.

b. Ketidakmampuan untuk secara spontan mencari teman untuk berbagi

kesenangan dan melakukan sesuatu bersama-sama.

c. Ketidakmampuan anak untuk berempati, dan mencoba membaca emosi

yang dimunculkan oleh orang lain.

3. Perilaku

Aktivitas, perilaku, dan ketertarikan anak terlihat sangat terbatas. Banyak

pengulangan terus-menerus dan stereotipik seperti :

1. Adanya suatu kelekatan pada rutinitas atau ritual yang tidak berguna,

misalnya kalau mau tidur harus cuci kaki dulu

2. Adanya suatu preokupasi yang sangat terbatas pada suatu pola perilaku yang

tidak normal, misalnya duduk di pojok sambil menghamburkan pasir seperti

air hujan, yang bisa dilakukannya berjam-jam.

3. Adanya gerakan-gerakan motorik aneh yang diulang-ulang, seperti

(44)

4. Gangguan sensoris

1. Sangat sensitif terhadap sentuhan, seperti tidak suka dipeluk.

2. Bila mendengar suara keras langsung menutup telinga.

3. Senang mencium-cium, menjilat mainan atau benda-benda.

4. Tidak sensitif terhadap rasa sakit dan rasa takut.

5. Pola bermain

1. Tidak bermain seperti anak-anak pada umumnya.

2. Tidak suka bermain dengan anak sebayanya.

3. Tidak bermain sesuai fungsi mainan, misalnya sepeda di balik lalu

rodanya diputar-putar.

4. Menyenangi benda-benda yang berputar, seperti kipas angin, roda sepeda.

6. Emosi

1. Sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, tertawa-tawa, menangis tanpa

alasan.

2. Temper tantrum (mengamuk tak terkendali) jika dilarang atau tidak

diberikan keinginannya.

3. Kadang suka menyerang dan merusak, berperilaku yang menyakiti dirinya

sendiri, serta tidak mempunyai empati dan tidak mengerti perasaan orang

lain.

II.3.4. Penyebab Autisme

Dalam catatan pakar autis Nakita, 2002 (Veskarisyanti, 2008:17) jumlah

penyandang autisme dibandingkan dengan jumlah kelahiran normal dari tahun

(45)

kelahiran. Peningkatan yang tajam ini tentunya menimbulkan pertanyaan, ada

perubahan apa dalam rentang waktu tersebut sehingga kasus terjadinya autisme

bisa meningkat tajam tidak saja di Indonesia tetapi juga di berbagai negara.

Sekitar 20 tahun lalu, penyebab autisme masih merupakan misteri.

Sekarang, berkat alat kedokteran yang semakin canggih, diperkuat dengan

autopsi, ditemukan penyebabnya antara lain gangguan neurobiologis pada

susunan saraf pusat (otak). Biasanya gangguan ini terjadi dalam tiga bulan

pertama masa kehamilan, bila pertumbuhan sel-sel otak di beberapa tempat tidak

sempurna (Veskarisyanti, 2008:17).

Faktor Penyebab :

• Gangguan pada Susunan Syaraf Pusat, disebabkan oleh :

1. Faktor Genetik

2. Gangguan pertumbuhan sel otak janin, inveksi virus janin, perdarahan,

keracunan selama hamil muda

3. Gangguan pencernaan

4. Keracunan Logam Berat (Pg, Hg, Cad)

5. Gangguan auto imunity

Penyebabnya bisa karena (toxoplasmosis, cytomegalo, rubela dan

herpes) atau jamur (candida) yang ditularkan oleh ibu ke janin. Bisa juga selama hamil sang ibu mengkonsumsi atau menghirup zat yang sangat polutif, yang

meracuni janin. Ada pendapat seorang ahli yang menyatakan bahwa lingkungan

yang terkontaminasi zat-zat beracun bisa menimbulkan kerusakan usus besar dan

(46)

Faktor Genetika :

1. Mutasi Genetika : penyebab multifaktor

2. Telah ditemukan lebih dari 7 gen yang berhubungan dengan autisme. Perlu

beberapa gen untuk menimbulkan gejala autisme.

Penyebab multifaktorial dengan ditemukannya kelainan pada tubuh

penderita, munculnya gangguan biokimia, dan ada pula ahli yang berpendapat

autisme disebabkan oleh gangguan jiwal psikiatri. Menurut para peneliti, faktor

genetik juga memegang peranan kuat, dan mi terus diteliti. Pasalnya, manusia

banyak mengalami mutasi genetik, yang bisa karena cara hidup yang semakin

“modern” (penggunaan zat kimia dalam kehidupan sehari-hari, faktor udara yang

semakin terpolusi).

II.3.5. Teknik Penanganan Autisme

Penanganan / intervensi terapi pada penyandang autisme harus dilakukan

dengan intensif dan terpadu. Terapi secara formal sebaiknya dilakukan antara 4–8

jam sehari. Selain itu seluruh keluarga harus terlibat untuk memacu komunikasi

dengan anak. Penanganan penyandang autisme memerlukan kerjasama tim yang

terpadu yang berasal dari berbagai disiplin ilmu antara lain psikiater, psikolog

neurolog, dokter anak, terapis bicara dan pendidik.

Terapi perlu diberikan untuk membangun kondisi yang lebih baik.

Terapi juga harus rutin dilakukan agar apa yang menjadi kekurangan anak dapat

terpenuhi secara bertahap. Bagi orangtua anak dengan kelainan ini disarankan

(47)

Perlu diingat bahwa terapi harus diberikan sedini mungkin sebelum anak

berusia 5 rahun. Sebab, perkembangan pesat otak anak umumnya terjadi pada usia

sebelum 5 tahun, tepatnya puncak pada usia 2-3 tahun.

Ada beberapa terapi autis yang paling efektif untuk anak penderita

autisme (Veskarisyanti, 2008:41-55) yaitu :

1. Terap Biomedik

Terapi biomedik fokus pada pembersihan fungsi-fungsi abnormal pada

otak. Anak-anak akan diperiksa secara intensif. Dengan terapi ini diharapkan

fungsi susunan saraf pusat bisa bekerja dengan lebih baik sehingga gejala autisme

berkurang atau bahkan menghilang.

2. Terapi Okupasi

Terapi okupasi berguna untuk melatih otot-otot halus anak. Hampir

semua kasus anak autistik mempunyai keterlambatan dalam perkembangan

motorik halus. Gerak-geriknya sangat kaku dan kasar, mereka kesulitan untuk

memegang benda dengan cara yang benar, kesulitan untuk memegang sendok dan

menyuap makanan ke mulutnya, sulit bermain bola selaiknya anak normal, sulit

bersalaman, atau memetik gitar. Dengan terapi ini anak akan dilatih untuk

membuat semua otot dalam tubuhnya berfungsi dengan tepat.

3. Terapi Integrasi Sensoris

Integrasi sensoris berarti kemampuan untuk mengolah dan mengartikan

seluruh rangsang sensoris yang diterima dari tubuh maupun lingkungan, dan

(48)

Terapi ini berguna meningkatkan kematangan susunan saraf pusat,

sehingga lebih mampu untuk memperbaiki struktur dan fungsinya. Aktivitas ini

merangsang koneksi sinaptik yang lebih kompleks, dengan demikian bisa

meningkatkan kapasitas untuk belajar.

4. Terapi Bermain

Terapi Bermain sebagai penggunaan secara sistematik dan model teoritis

untuk memantapkan proses interpersonal. Pada terapi ini, terapis bermain

menggunakan kekuatan terapiutik permainan untuk membantu klien

menyelesaikan kesulitan-kesulitan psikososial dan mencapai pertumbuhan,

perkembangan yang optimal.

Terapi bermain adalah pemanfaatan pola permainan sebagai media yang

efektif dan terapis, melalui kebebasan eksplorasi dan ekspresi diri. Bermain

merupakan bagian integral dari masa kanak-kanak, salah satu media yang unik

dan penting untuk memfasilitasi perkembangan :

- Ekspresi bahasa,

- Ketrampilan komunikasi,

- Perkembangan emosi, ketrampilan sosial,

- Ketrampilan pengambilan keputusan, dan

- Perkembangan kognitif pada anak-anak.

5. Terapi Perilaku

Terapi perilaku, berupaya untuk melakukan perubahan pada anak autistik

dalam arti perilaku yang berlebihan dikurangi dan perilaku yang berkekurangan

(49)

Terapi ini memfokuskan penanganan pada pemberian reinforcement

positif setiap kali anak berespons benar sesuai instruksi yang diberikan. Tidak ada

hukuman (punishment) dalam terapi mi, akan tetapi bila anak berespons negatif

(salah/ tidak tepat) atau tidak berespons sama sekali maka ia tidak mendapatkan

reinforcement positif yang ia sukai tersebut.

Tujuan penanganan ini terutama adalah untuk meningkatkan pemahaman

dan kepatuhan anak terhadap aturan. Dan terapi ini hasil yang didapatkan

signifikan bila mampu diterapkan secara intensif, teratur dan konsisten pada usia

dini.

6. Terap Fisik

Penyandang autisme memiliki gangguan perkembangan dalam motorik

kasarnya. Kadang tonus ototnya lembek sehingga jalannya kurang kuat.

Keseimbangan tubuhnya juga kurang bagus. Fisioterapi dan terapi integrasi

sensoris akan sangat banyak menolong untuk menguatkan otot-otot dan

memperbaiki keseimbangan tubuh anak.

7. Terapi Wicara

Autisme mempunyai kesulitan dalam bicara dan berbahasa.

Kadang-kadang bicaranya cukup berkembang, namun mereka tidak mampu untuk

memakai kemampuan bicaranya untuk berkomunikasi/berinteraksi dengan orang

lain. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, materi speech therapy sebaiknya

dilakukan berkolaborasi dengan metode ABA. Selain itu mereka juga harus

memahami langkah-langkah dalam metode Lovaas sebagai dasar bagi materi yang

(50)

Terapis wicara adalah profesi yang bekerja pada prinsip-prinsip di mana

timbul kesulitan berkomunikasi atau gangguan pada berbahasa dan berbicara bagi

orang dewasa maupun anak.

8. Terapi Musik

Terapi musik adalah suatu terapi yang menggunakan musik untuk

membantu seseorang dalam fungsi kognitif, psikologis, fisik, perilaku, dan sosial

yang mengalami hambatan maupun kecacatan.

Terapi musik ini memiliki manfaat :

1. Memperbaiki self-awarences.

2. Meningkatkan hubungan sosial, penyesuaian diri, lebih mandiri, dan peduli

dengan orang lain.

3. Mengakomodasi dan membangun daya komunikasi.

4. Membangun identifikasi dan ekspresi emosi yang sesuai

Meningkatkan kesadaran akan dirinya, memusatkan perhatian,

mengurangi perilaku yang negatif yang tidak diharapkan, membuka komunikasi,

menciptakan hubungan sosial yang berpengaruh positif pada pertumbuhan dan

perkembangan positif.

9. Terapi Perkembangan

Terapi ini didasari oleh adanya keadaan bahwa anak dengan autis

melewatkan atau kurang sedikit bahkan banyak sekali kemampuan bersosialisasi.

Yang termasuk terapi perkembangan misalnya Floortime, Son-rise dan RDI

(Relationship Developmental Intervention). Floortime dilakukan oleh orang tua

(51)

Sementara RDI (Relationship Developmental Intervention) mencoba

untuk membantu anak menjalin interaksi positif dengan orang lain, meskipun

tanpa menggunakan bahasa.

10. Terapi Visual

Individu autistik lebih mudah belajar dengan melihat (visual

learners/visual thinkers). Hal inilah yang kemudian dipakai untuk

mengembangkan metode belajar kornunikasi melalui gambar-gambar. Beberapa

video games bisa juga dipakai untuk mengembangkan ketrampilan komunikasi.

11. Terapi Medikaméntosa

Disebut juga dengan terapi obat-obatan (Drug Therapy). Terapi ini

dilakukan dengan dengan pemberian obat-obatan oleh dokter yang berwenang.

12. Terapi Melalui Makanan

Terapi melalui makanan (Diet Therapy) diberikan untuk anak-anak

dengan masalah alergi makanan tertentu. Pada jenis terapi ini biasanya ditemukan

anak penderita autis terkadang susah makan atau mengalami alergi ketika

mengkonsumsi makanan tertentu, oleh sebab itu dalam terapi ini diberikan solusi

tepat bagi para orangtua untuk menyiasati menu yang cocok dan sesuai bagi

(52)

II.4. Empati

Empati berasal dari bahasa Yunani εμπάθεια yang berarti “ketertarikan

fisik”. Sehingga dapat didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk

mengenali, mempersepsi, dan merasakan perasaan orang lain

.

Tubesing memandang empati merupakan identifikasi sementara terhadap

sebagian atau sekurang-kurangnya satu segi dari pengalaman orang lain.

Berempati tidak melenyapkan kedirian kita. Perasaan kita sendiri takkan hilang

ketika kita mengembangkan kemampuan untuk menerima pula perasaan orang

lain yang juga tetap menjadi milik orang itu. Menerima diri orang lain pun tidak

identik dengan menyetujui perilakunya. Meskipun demikian, empati

menghindarkan tekanan, pengadilan, pemberian nasihat apalagi keputusan. Dalam

berempati, kita berusaha mengerti bagaimana orang lain merasakan perasaan

tertentu dan mendengarkan bukan sekedar perkataannya melainkan tentang hidup

pribadinya: siapa dia dan bagaimana dia merasakan dirinya dan dunianya

.

Empati merupakan respons yang kompleks, meliputi komponen afektif

dan kognitif. Dengan komponen afektif, berarti seseorang dapat merasakan apa

yang orang lain rasakan dan dengan komponen kognitif seseorang mampu

memahami apa yang orang lain rasakan beserta alasannya. Daniel Batson (1995,

2008) menjelaskan adanya hubungan antara empati dengan tingkah laku

(53)

Ada tiga teori empati (Sarwono, 2009:128-129) :

1. Hipotesis empati altruisme

Menurut Batson, 1995-2008 (Sarwono, 2009:128-129) dalam hipotesis

empati altruisme dikatakan bahwa perhatian yang empatik yang dirasakan

seseorang terhadap penderitaan orang lain akan menghasilkan motivasi

untuk mengurangi penderitaan orang tersebut. Motivasi menolong ini bisa

sangat kuat sehingga seseorang bersedia terlibat dalam aktivitas menolong

yang tidak menyenangkan, berbahaya, bahkan mengancam jiwanya.

2. Model mengurangi perasaan negatif

Baron, Byrne, dan Branscombe, 2006 (Sarwono, 2009:128-129) menyatakan

bahwa model mengurangi perasaan negatif. Mereka menjelaskan bahwa

orang menolong untuk mengurangi perasaan negatif akibat melihat

penderitaan orang lain. Dengan demikian, tingkah laku menolong dapat

berperan sebagai self-help agar seseorang terbebas dari suasana hati yang

tidak menyenangkan.

3. Hipotesis kesenangan empatik

Dalam hipotesis ini, dikatakan bahwa seseorang akan menolong bila ia

memperkirakan dapat ikut merasakan kebahagian orang yang akan ditolong

atas pertolongan yang akan diberikannya. Satu hal yang paling penting disini

adalah seseorang yang menolong perlu untuk mengetahui bahwa

(54)

Dari tiga teori empati yang telah dijelaskan, terlihat bahwa kondisi afektif

seseorang merupakan element yang penting. Seseorang menolong karena

tindakannya akan meningkatkan perasaan positf dan mengurangi perasaan negativ

atas dirinya.

II.5. Sikap dan Perilaku

II.5.1. Pengertian Sikap dan Perilaku

Sikap dapat didefinisikan dengan berbagai cara dan setiap definisi itu

berbeda satu sama lain. Trow mendefinisikan sikap sebagai suatu kesiapan mental

atau emosional dalam beberapa jenis tindakan pada situasi yang tepat. Di sini

Trow lebih menekankan pada kesiapan mental atau emosional seseorang terhadap

sesuatu objek. Sementara itu Allport seperti dikutip oleh Gable mengemukakan

bahwa sikap adalah sesuatu kesiapan mental dan saraf yang tersusun melalui

pengalaman dan memberikan pengaruh langsung kepada respons individu

terhadap semua objek atau situasi yang berhubungan dengan objek itu.

Defenisi sikap menurut Allport ini menunjukkan bahwa sikap itu tidak

muncul seketika atau dibawa lahir, tetapi disusun dan dibentuk melalui

pengalaman serta memberikan pengaruh langsung kepada respons seseorang.

Harlen mengemukakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kecenderungan

seseorang untuk bertindak dalam menghadapi suatu objek atau situasi tertentu

(Sarwono, 2009: 81).

Menurut Mueller (1986) sikap adalah merupakan suatu konstruk

psikologi yang digambarkan sebagai kepercayaan, pendapat, minat, nilai, prilaku

(55)

bahwa sikap adalah suatu respons yang evaluatif, yang dinamis dan terbuka

terhadap kemungikinan perubahan dikarenakan interaksi seseorang dengan

lingkungannya. Dan sikap hannya akan berarti jika tampak dalam bentuk

kenyataan yaitu prilaku yang lisan maupun yang dibuat (Liliweri, 1991:128-129).

Sikap adalah perasaan seseorang tentang obyek, aktivitas, peristiwa dan

orang lain. Perasaan ini menjadi konsep yang merepresentasikan suka atau tidak

sukanya (positif, negatif, atau netral) seseorang pada sesuatu. Sedangkan perilaku

adalah segenap manifestasi hayati individu dalam berinteraksi dengan lingkungan,

mulai dari perilaku yang paling nampak sampai yang tidak tampak, dari yang

paling dirasakan sampai yang paling tidak dirasakan (Faturochman, 2009:43).

Sikap dikembangkan dalam tiga model, yaitu :

1. Afeksi

Respon afektif adalah respon fisiologis yang mengekspresikan kesukaan

individu pada sesuatu.

2. Kecenderungan perilaku

Kecenderungan perilaku adalah indikasi verbal dari maksud seorang

individu.

3. Kognisi

Respon kognitif adalah pengevaluasian secara kognitif terhadap suatu objek

sikap. Kebanyakan sikap individu adalah hasil belajar sosial dari

(56)

II.5.2. Pembentukan Sikap

Sikap dibentuk melalui proses belajar sosial, yaitu proses dimana

individu memperoleh informasih, tingkah laku, atau sikap baru dari orang lain.

Sikap dibentuk melalui empat macam (Sarwono, 2009:84-85) yaitu :

1. Pengondisian klasik

Proses pembelajaran dapat terjadi ketika suatu stimulus selalu diikuti oleh

stimulus yang lain, sehingga stimulus yang pertama menjadi suatu isyarat

bagi stimulus yang kedua.

2. Pengondisian instrumental

Proses pembelajaran terjadi ketika suatu perilaku mendatangkan hasil yang

menyenangkan bagi seseorang, maka prilaku tersebut akan diulang kembali.

3. Belajar melalui pengamatan

Proses pembelajaran dengan cara mengamati perilaku orang lain, kemudian

dijadikan sebagai contoh untuk berperilaku serupa.

4. Perbandingan sosial

Proses pembelajaran dengan membandingkan orang lain untuk mengecek

(57)

II.5.3. Fungsi Sikap

Menurut Baron, Byrne, dan Branscombe, 2006 (Sarwono, 2009:86-87)

terdapat lima fungsi sikap yaitu :

1. Fungsi pengetahuan

Sikap membantu kita untuk menginterpretasi stimulus baru dan menanpilkan

respon yang sesuai

2. Fungsi identitas

Sikap terhadap kebangsaan indonesia yang kita nilai tinggi dengan

mengekspresikan nilai dan keyakinan serta mengkomunikasikan “siapa kita”

3. Fungsi harga diri

Sikap yang kita miliki mampu menjaga atau meningkatkan harga diri.

4. Fungsi pertahanan diri

Sikap berfungsi melindungi diri dari penilaian negatif tentang diri kita

5. Fungsi memotifasi kesan

Sikap berfungsi mengarahkan orang lain untuk memberikan penilaian atau

kesan yang positif tentang diri kita.

Dari pengertian sikap diatas dapat kita simpulkan bahwa perilaku akan

muncul dipengaruhi oleh sikap dalam diri kita. Perilaku yang berada dalam

kendali individu secara sadar dan rasional akan mempengaruhi terhadap sikap dan

(58)

II.6. Model SOR

Dalam penelitian ini, model komunikasi yang digunakan adalah model

S-O-R (Stimulus-Organisern-Respon). Model ini mengemukakan bahwa tingkah

laku sosial dapat dimengerti melalui suatu analisis dan stimulus yang diberikan

dan dapat mempengaruhi reaksi yang spesifik dan didukung oleh hukuman

maupun penghargaan sesuai dengan reaksi yang terjadi.

Dengan kata lain, menurut Effendy (2003: 254) efek yang ditimbulkan

sesuai dengan teori S-O-R yang merupakan reaksi yang bersifat khusus terhadap

stimulus khusus, sehingga seseorang dapat mengharapkan dan memperkirakan

kesesuaian antara pesan dan reaksi komunikan.

Prinsip teori ini pada dasarnya merupakan suatu prinsip belajar yang

sederhana, dimana efek merupakan reaksi tethadap stimulus tertentu. Dengan

demikian, seseorang dapat mengharapkan atau memperkirakan suatu kaitan yang

erat antara pesan-pesan media dan reaksi audiens. Dalam proses perubahan sikap,

maka sikap komunikasi hanya dapat berubah apabila stimulus yang menerpanya

melebihi apa yang pernah dialaminya.

Prof. Dr. Mar’at (Effendy, 2003:255) dalam bukunya “Sikap Manusia,

Perubahan Serta Pengukurannya” mengutip pendapat Hovland, Janis dan Kelly

yang menyatakan bahwa dalam menelaah sikap baru, ada tiga variable penting

yaitu :

a. Perhatian,

(59)

c. Penerimaan

Berdasarkan uraian di atas, maka proses komunikasi dalam teori S-O-R

ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Bagan III Teori S-O-R

Gambar di atas menunjukkan bahwa perubahan sikap tergantung pada

proses yang terjadi pada individu. Stimulus atau pesan yang disampaikan kepada

komunikan mungkin diterima atau mungkin ditolak. Komunikasi akan

berlangsung apabila ada perhatian komunikan.

Setelah komunikan mengelolanya dan menerimanya, maka terjadilah

kesediaan untuk mengubah sikap.

Sehubungan dengan penjelasan di atas, teori S-O-R dalam penelitian ini

dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Stimulasi : Kemampuan empati orang tua.

2. Organism : Orang tua yang mempunyai anak penderita autis yang

bersekolah terapi di YAKARI.

3. Response : Peningkatan perilaku anak autis.

Stimulus Organism

Perhatian

Pengertian

Penerimaan

(60)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

III.1.1 Sejarah Singkat Yayasan Ananda Karsa Mandiri (YAKARI)

Yayasan Ananda Karsa Mandiri (YAKARI) dibentuk untuk mewadahi

pendidikan dan pelayanan kesehatan bagi anak-anak Autis di Kota Medan. Pada

Awalnya Keluarga Drs. Ahmad Rusly yang tinggal dan bekerja di Medan,

mendapatkan anak pertama mereka Ahmad Dzaky Yusran yang lahir pada tanggal

30 mei 1996 memiliki sikap dan perilaku yang menurut mereka sebagai orangtua

muda agak aneh dan berbeda dengan anak-anak lain yang pernah mereka lihat.

Ketika Anak mereka berusia 18 bulan, semuanya kelihatan berjalan

normal dan sesuai perkembangannya dengan Kartu Menuju Sehat (KMS) yang

mereka dapatkan pada klinik anak di Medan. Namun seiring dengan berjalannya

waktu, Dzaky yang pada saat berusian dua Tahun, mulai menunjukkan

gejala-gejala aneh dan tidak seperti anak-anak lain, antara lain tidak merespon teguran

atau sapaan, tidak mau bergabung dengan anak-anak lain, senang menyendiri,

menangis dan tertawa tanpa ada sebab, berlari-lari tanpa tujuan dan

bertepuk-tepuk tangan. Hal ini segera dikonsultasikan kepada Dokter anak, namun mereka

merasa “Tenang dan Bahagia” karena menurut dokter hal itu biasa terjadi pada

anak pertama, nanti lama-lama juga akan seperti anak lainnya.

Ketika Dzaky berusia 30 bulan, ketenangan Rusly dan Istrinya kembali

Gambar

Gambar di atas menunjukkan bahwa perubahan sikap tergantung pada
Gambar di atas menunjukkan bahwa perubahan sikap tergantung pada
Tabel 1 Rangkuman Temuan Penelitian Informan I
Tabel 2 Rangkuman Temuan Penelitian Informan II
+3

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu sumber informasi yang penting bagi para pengguna laporan keuangan dalam pengambilan suatu keputusan ekonomi adalah melalui laporan keuangan. Laporan

Rekomendasi yang dapat diberikan pada pendidik anak usia dini selanjutnya bahwa masih banyak kegiatan - kegiatan yang dapat digunakan dalam meningkatkan

Specifically, we hypothesize an effective audit committee’s internal and external audit quality demand function diminishes the attractiveness of cost savings and underscores

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menguji, menganalisis, dan mengetahui apakah rasio lancar, rasio hutang atas modal, return on assets, return on equity, dan ukuran

General Policy Speech by Prime Minister Junichiro Koizumi to the 163'd Session of the

Berdasarkan batasan masalah di atas yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Adakah perbedaan hasil belajar kognitif siswa yang signifikan antara kelompok

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) Perbedaan hasil belajar Ilmu Ukur Tanah antara mahasiswa yang berasal dari SMK dan SMA melalui penerapan

Term yang menunjukkan durasi yang jelas batasanya berisi tentang waktu-waktu tertentu atau momentum kebajikan, waktu untuk beribadah dan juga menunjukkan perjalanan