• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran militer budak pada masa pemerintahan khalifah al-Mu’tashim 833-842 M

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran militer budak pada masa pemerintahan khalifah al-Mu’tashim 833-842 M"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN MILITER BUDAK PADA MASA PEMERINTAHAN

KHALIFAH AL-

MU’TASHIM 833

-842 M

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi

Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)

Oleh:

NUR MAYASARI

NIM: 1111022000021

JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

i Abstrak

Dinasti Abbasiyah pra al-Mu’tashim berkuasa, angkatan perang/militernya umumnya direkrut dari etnis Arab dan Persia. ketika lahirnya berbagai pemberontakan yang mengancam disintegrasi negara, tentara dari kalangan etnis Arab dan Persia ini tidak mampu mengatasinya. Dalam konteks inilah

al-Mu’tashim melihat diperlukan adanya angkatan perang yang kuat dan beribawa, memiliki loyalitas yang tinggi dan kemampuan strategi perang yang hebat, yang menurut beliau berasal dari etnis Turki. Studi ini ingin menjelaskan masalah di atas tentang kebijakan al-Mu’tashim merekrut budak melalui sumber tertulis.

Cara melihat persoalan di atas menggunakan perspektif politik. Adapun yang dipakai adalah metode sejarah. Perspektif politik menerangkan keterkaitan berbagai kelompok kepentingan yang saling membutuhkan. Sedangkan metode sejarah lebih menekankan pada pelacakan sumber data baik perpustakaan public dan pribadi untuk mendukung efidensi argument, selain melakukan berbagai diskusi guna mempertajam masalah.

Studi ini menemukan bahwa kebijakan yang diambil al-Mu’tashi dapat mengembalikan stabilitas keamanan negara.

(6)

ii

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur hanyalah kehadirat Allah Swt zat yang Maha Rahman

dan Maha Rahim terhadap seluruh mahluknya. Dialah yang menganugrahkan

berbagai nikmat dan karunia khususnya kepada penulis, sehingga dengan hidayah dan

inayah-Nya memberikan kemudahan kepada penulis dalam menyelesaikan Sarjana

Humaniora pada Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarief

Hidayatullah Jakarta. Semata untuk mendapat gelar Strata 1 berjudul “Peran Militer

Budak Pada Masa Pemerintahan Khalifah al-Mu’tashim 833-842 M”, ini dapat

diselesaikan.

Studi ini menemukan dengan adanya kebijakan al-Mu’tashim yang dapat mengembalikan stabilitas keamanan negara serta menjadikan militer budak salah satu

tumpuhan pasukan perang yang dapat diandalkan dengan keloyalitasnya dan

strateginya dalam hal peperangan. Semua ini direkrut dari budak-budak kemudian

dijadikan pasukan militer yang hebat. Dengan status budak tersebut bukanlah menjadi

hambatan untuk seseorang dapat berkuasa jika seseorang tersebut mempunyai

kemampuan yang mumpuni.

Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bantuan baik secara

langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis tidak lupa mengucapkan

terimakasih kepada semua pihak terutama kepada:

1. Kedua orangtua saya yaitu bapak Saran dan ibu Icah Suiyah yang telah

(7)

iii

maupun non materil, mendoakan saya tiada henti, mereka lah bagian hidup saya

yang paling indah yang pernah saya miliki. Tangis bahagia mereka yang saya

harapkan ketika mereka dapat melihat anaknya sukses. Jasa mereka tidak akan bisa

terbayar dengan jumlah rupiah sebesar apapun, terima kasih mamah, bapak yang

selalu ada buat anakmu ini hingga impian anakmu bisa tercapai semua berkat

mamah dan bapak.

2. Prof. Dr. Sukron Kamil, M.A, selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. H. Nurhasan M.A, selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN

Syarief Hidayatullah Jakarta sekaligus sebagai dosen pembimbing akademik saya,

yang selalu memberi motifasi kepada semua mahasiswa dan selalu member

pelayanan yang baik terhadap mahasiswa.

4. Solikatus Sa’diyah, M.Pd, selaku Sekertaris Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, yang selalu memberi pelayanan kepada mahasiswanya dengan baik.

5. Drs. Azhar Saleh M.A, selaku dosen pembimbing skripsi, terima kasih beliau

telah memotifasi dengan mengajarkan kemandirian untuk saya agar dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan cepat.

6. Drs. Saidun Derani, M.A, selaku dosen yang telah memberikan motivasi tanpa

henti kepada penulis.

7. Abdul Chair dan Drs. Saidun Derani, selaku dosen penguji, terimakasih atas

segala sesuatu yang memudahkan saya sehingga saya dapat melewati ujian

(8)

iv

8. Bapak, Ibu dosen yang selalu memberikan bimbingan dan pelajaran selama

penulisan mengikuti perkuliahan.

9. Kaka saya tercinta dan orang-orang di sekeliling saya, Nurdiana, Nurmawati, Tuti

Nurhalipah S.Kom, Ahmad Nur Wahid Sabil terima kasih selalu menasehati,

memotifasi, agar saya bisa sabar dan terus semangat menyelesaikan skripsi ini.

10.Teman-teman seperjuanganku, sahabat tercintaku SKI 2011 khususnya

SEKOTENG 2011, kelas Timur-Tengah, Indi Nisauf Fiqri, Nabilah, Ismawati,

Silvia, Yeni, Ulfa, Wira Kurnia, Wilda, Mulki Mulyadi, Sufyan, Alan Zuhri,

Dzikrul, dan Husen, M.Illham. Terima kasih kalian pernah menjadi bagian

hidupku yang terindah, berbagi keluh-kesah, kegembiraan, kesedihan, apapun itu

kalian luar biasa, semoga Allah mempertemukan kita kembali dalam kesuksesan

dunia maupun akhirat kelak. Pertemanan kita tidak hanya sampai disini semoga

impian kalian semua dapat tercapai amin allahuma amin.

11. Para karyawan/karyawati Perpustakaan Utama dan Fakultas Adab dan

Humaniora yang telah menyediakan fasilitas dalam rangka penulisan skripsi ini.

Semoga pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini,

senantiasa mendapatkan balasan yang baik dari Allah SWT Amin Allahuma

Amin. Dan penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari

kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari

pembaca demi lebih baiknya skripsi ini. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat

untuk semua Amin

Jakarta, 12 Agustus 2015

(9)
(10)

v DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 3

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 4

D. Tinjauan Pustaka ... 5

E. Landasan Teori ... 7

F. Metode Penelitian ... 8

G. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II : BIOGRAFI KHALIFAH AL-MU’TASHIM A. Asal-Usul Khalifah Al-Mu’tashim ... 13

B. Karir Politik Khalifah Al-Mu’tashim ... 14

C. Masalah- masalah yang dihadapi khalifah al-Mu’tashim ... 14

BAB III : MILITER BUDAK PADA MASA KHALIFAH AL-MU’TASHIM A. Latar Belakang Munculnya Militer Budak... 21

B. Usaha-usaha pembinaan militer budak ... 26

C. Tugas pokok militer budak ... 30

(11)

vi

B. Adminstrasi ... 41

C. Keagamaan ... 44

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 49

B. Saran ... 50

(12)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Khalifah al-Mu’tashim (833-842 M), perekrutan militer yang berasal dari

budak-budak mulai memainkan peran yang cukup penting dalam pemerintahan

Dinasti Abbasiyah. Akan tetapi dari berbagai sumber tertulis1 tersebut, penulis belum

menemukan keterangan atau penjelasan yang lebih mendalam dan rinci mengapa

peran militer budak begitu penting. Asumsi penulis bahwa kebijakan khalifah

al-Mu’tasim merekrut militer budak dalam konteks menjaga stabilitas pemerintahanya.

Studi ini ingin menjawab penjelasan diatas melalui sumber tertulis.

Sebelum masa pemerintahan khalifah al-Mu’tashim, Daulah Abbasiyah

sepanjang abad pertama hijriah menyandarkan kekuatan militernya pada pasukan

yang loyal dan kuat berasal dari etnis Arab dan Persia. Saat itu, pasukan Abbasiyah

mempunyai peranan besar dalam memadamkan beberapa pemberontakan dari

berbagai wilayah, seperti di Suriah, Persia, dan Asia Tengah, serta meredam serangan

Bizantium. Pada masa inilah orang-orang Arab dianggap sebagai pasukan militer

terhebat dan sangat disegani lawan-lawannya.2 Akan tetapi hal ini terbalik ketika

masa pemerintahan khalifah al-Mu’tashim, dimana peran militer etnis Arab sudah

mulai memudar dengan ditandai kalahnya khalifah al-Amin dalam perang saudara

1

Lihat Ahmad Amin, Zuhr al-Islam, ju z I, (Mesir: Maktabah Nahdah al-Mishriyah, 1966, cet-4),

Yoesoef Soub’by, Sejarah Daulah Abbasiyah I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), Ira M. Lapidus, Sejarah Ummat Islam Terj. Gufron A. Mas’adi ( Jakarta: Rajawali Press 1999 ), Daniel Pippes, Sistem Militer Pemerintahan Islam.

2

(13)

2

dengan al-Ma’mun (813-833 M) atau yang lebih dikenal perang bangsa Arab

melawan Persia. melihat kondisi semacam ini, timbul pemikiran al-Mu’tashim

memasukkan divisi baru dalam sistem organisasi militer Dinasti Abbasiyah.3

Divisi baru tersebut adalah rekrutan tentara berasal dari budak-budak etnis

Turki, baik dari wilayah Farghonah maupun Asia tengah lainnya. Masalahnya,

Khalifah al-Mu’tashim memandang bahwa tentara yang berasal dari etnis Arab

diragukan loyalitasnya dan lemah dalam berperang. Atas pertimbangan inilah

mengapa al-Mu’tashim lebih memilih budak-budak etnis Turki. Padahal sebelumnya

yang menjadi kekuatan utama tentara Abbasiyah adalah orang-orang Khurasan dan

Persia.

Pada sisi lain ketika al-Mu’tashim memegang tampuk kekuasaan Dinasti

Abbasiyah persoalan keamanan negara masih dipegang tentara berasal dari etnis

Persia, dan etnis Arab (Mesir,Yaman,Rabi’ah). Akan tetapi jumlah dan peran tentara

etnis Arab lebih sedikit dibandingkan dari Persia. dan secara sosiologis al-Mu’tashim

sendiri melihat langsung dalam perang melawan pemberontak kaum Zott4 dan Babik

al-Khurami5 lalu pertempuran dengan tentara Romawi.6Adanya penurunan semangat

3

,History of The Arabs, hal. 409.

4

Kaum Zott adalah pengembara yang mayoritasnya berasal dari India yang bertempat tinggal di pinggiran Teluk Persia. ketika al-ma’mun menjabat sebagai khalifah, beliau tidak mampu mengalahkan kaum tersebut. Akan tetapi ketika masa pemerintahan khalifah al-Mu’tashim kaum tersebut berhasil ditumpasnya pada tahun 291 H/834

M yang dipimpin oleh Ujaif bin An’basah.

5

Kaum Babik Khurami adalah kaum yang dipimpin langsung oleh Babik Khurami dengan ajaran-ajaran yang mengaku bahwa dalam dirinya menempel sifat ketuhanan. Disamping itu, mereka juga menghalakan perbuatan cabul, mesum, serta pergaulan bebas antara pria dan wanita. Akhirnya kelompok tersebut dapat diatasi oleh al-Mu’tashim dengan bantuan pasukan Afsyin Haidar bin Kawwus seorang panglima Turki dan kemudian mereka dihukum pancung oleh al-Mu’tashim.

6

Tentara Romawi adalah tentara yang bengis dan tega, mereka datang kembali setelah kekalahannya ditahun 832 M dengan kehancurannya dalam pertempuran Heraklea. Akan tetapi, ketika masa pemerintahan

al-Mu’tashim berhasil dikalahkannya dengan bantuan dua komandan yang terkenal yang bernama Afsyin Asynas

(14)

3

nasionalisme7 dan patriotisme8pasukan Abbasiyah etnis Arab dan Persia

mempertahankan negara. Dalam hubungan ini Ahmad Amin menyebutkan bahwa

kepercayaan khalifah melemah terhadap tentara etnis Arab dan Persia seiring dengan

perjalannya waktu. Apalagi secara biologis ibu al-Mu’tashim berasal dari Turki yang

bernama Mardiah.9

Demikianlah paparan di atas menyimpulkan bahwa berbagai faktor yang

mendorong terutama faktor kepentingan menjaga stabilitas negara, mengapa

al-Mu’tashim memasukkan divisi baru dalam dinas kemiliteran Dinasti Abbasiyah

berasal dari tentara/militer budak. Dengan latar belakang pemikiran diatas, studi ini

mencoba mendiskripsikan persoalan militer budak dalam pemerintahan khalifah

al-Mu’tashim lebih rinci dan mendalam pada bab-bab selanjutnya.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang pemikiran di atas mengandung beberapa poin masalah

yang dihadapi khalifah al-Mu’tashim akan dilihat lebih jauh dalam bab II, kemudian

pada bab III identifikasi masalah terkait munculnya budak militer dan upaya-upaya

pembinaannya masa pemerintahan khalifah al-Mu’tashim, pada bab IV dilihat

bagaimana kontribusi budak militer menjaga stabilitas Dinasti Abbasiyah.

7

Nasionalisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah paham ajaran untuk mencintai bangsa dan Negara sendiri. Selain itu Nasionalisme adalah kesadaran anggota dalam suatu bangsa yang secara potensial atau actual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabdikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bansa itu.

8

Patriotisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sikap seseorang yang bersedia mengorbankan segala-galanya untuk kejayaan dan kemakmuran tanah airnya atau semangat cinta tanah air. Sifat tersebut sangat diperlukan dalam pembangunan.

9

(15)

4

2. Pembatasan Masalah

Studi ini, subjek kajiannya dibatasi pada peran penting budak militer pada

masa khalifah al-Mu’tashim (833-842 M).

3. Rumusan Masalah

Masalah pokok studi ini adalah Bagaimana Peran Militer Budak Pada Masa

Pemerintahan Khalifah al-Mu’tashim 833-842 M.

Adapun Sub masalahnya sebagai berikut:

a. Bagaimana Asal-Usul Khalifah Al-Mu’tashim?

b. Bagaimana Latar Belakang Munculnya Militer Budak dan Pembinaannya?

c. Bagaimana Peran Militer Budak Pada Masa Pemerintahan Khalifah

al-Mu’tashim?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan memaparkan tentang gambaran khalifah al-Mu’tashim

memilih atau merekrut budak-budak Turki dalam membantu masa

pemerintahannya.

2. Untuk mengetahui mengenai peranan penting yang dimainkan oleh

budak-budak militer Turki dalam pemerintahan khalifah al-Mu’tashim.

Sedangkan kegunaan penelitian ini antara lain:

1. Secara akademis, studi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif

bagi pengembangan ilmu politik Islam, melalui sebuah pembelajaran tentang

(16)

5

2. Secara umum, studi ini diharapkan dapat memberikan sebuah inspirasi bahwa

status atau kedudukan seseorang tidak menjadi halangan atau hambatan untuk

dapat memegang posisi-posisi penting, sejauh memenuhi kreteria-kreteria

tertentu atau standar yang dibutuhkan.

D. Tinjauan Pustaka

Cukup banyak karya-karya yang membahas tentang sejarah Daulah

Abbasiyah, namun karya yang spesifik berbicara mengenai peran militer budak pada

masa pemerintahan khalifah al-Mu’tashim belum penulis temukan. Beberapa dari

hasil penelitian yang ada kaitannya dengan studi ini di antaranya adalah tulisan

Mundzirin Yusuf Kajian Awal Kemunduran Dinasti Abbasiyah10 secara spesifik, kajian tersebut berusaha melihat sebab-sebab kemunduran Daulah Abbasiyah yang

tercermin dalam kepemimpinan khalifah al-Mu’tashim. Sebab-sebab kemunduran itu

meliputi minimnya perhatian khalifah al-Mu’tashim terhadap ilmu pengetahuan dan

peradaban, kaku akan ideologi negara terutama memaksakan ajaran Mu’tazilah, dan

menyerahkan porsi terlalu besar urusan negara kepada orang-orang Turki yang

menyebabkan penolakkan dari masyarakat Baghdad. Tulisan ini tidak membahas

lebih detail mengenai peranan militer budak pada masa pemerintahan khalifah

al-Mu’tashim.

Hasil penelitian lain yang ada kaitannya dengan studi ini adalah skripsi yang

ditulis oleh Minanur Rohman (Mahasiswa Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam)

Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Sunan KaliJaga Yogyakarta 2013 dengan judul

10

Mengenai awal kemunduran Daulah Abbasiyah, lihat Mundzirin Yusuf, “Khalifah al-Mu’tashim,

(17)

6

Intervensi Militer Turki Dalam Pemerintahan Daulah Abbasiyah, secara spesifik studi

ini lebih menjelaskan mengenai campur tangan militer keturunan Turki dalam

pemerintah Abbasiyah dan merupakan titik kurva perjalanan politik Daulah

Abbasiyah dari masa kejayaan menuju masa kemunduran. Pada studi ini juga lebih

menekankan atau lebih detail memaparkan setelah pemerintahan khalifah

al-Mu’tashim. Tulisan ini tidak membahas mengenai peran militer budak pada masa al

-Mu’tashim. Adapun buku-buku yang dipakai menjadi sumber untuk tulisan tersebut

antaranya:

Buku Sejarah Sosial Umat Islam11membahas tentang budak militer hanya sebagian kecil dan lebih menekankan pada aspek sosial, dengan memperluas bingkai

sejarah Islam seluas wilayah Islam dan memperpanjang proses perkembangan Islam

sejek sebelum Islam masuk sampai batas 1980.

Sejarah mengenai militer budak secara lengkap telah ditulis oleh Daniel

Pippes dalam bukunya yang yang berjudul Sistem Militer Dalam Pemerintahan Islam12 dan Asal Muasal Sebuah sistem militer.13 Buku ini memberikan gambaran yang cukup lengkap mengenai budak militer dilihat dari konteks peradaban Islam,

tentang asal usul mereka dan bagaimana budak militer ini muncul pertama kali dalam

sejarah Islam.

11

Ira M.Lapidus, Sejarah Ummat IslamTer.Gufron A. Mas’adi ( Jakarta: Rajawali Pers 1999 )

12

Daniel Pippes, Sistem Militer Dalam Pemerintahan Islam ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993)

13

(18)

7

Kemudian buku yang ditulis oleh Ahmad Amin Dzuhru al-Islam Kitab14 yang bersumber bahasa Arab, dalam buku tersebut mengulas sebab-sebab mengapa

khalifah al-Mu’tashim lebih memilih orang Turki daripada orang Arab dan Persia.

Dengan pendekatan analitik dan komparatifnya buku ini kaya dengan sejarah

ankedot, peristiwa-peristiwa kecil, ditulis secara rapi, terinci dan jelas dengan

pencatatan sumber yang ada. Ia telah mengajukan dengan jelas masalah kaulasitas

dalam sejarah, budak militer hanya terdapat dalam kultur Islam.

Dengan melihat paparan karya ilmiah diatas, penulis meyakini bahwa titik

urgen dari penelitian ini terletak pada militer budak dalam pemerintahan al-Mutasim

Sebagaimana terlihat mereka yang awalnya seorang budak kemudian setelah ia

mempunyai kedudukan ia mampu mempengaruhi kerajaan dan bahkan dapat

mengendalikan suksesi pemerintahan.

E.Landasan Teori

Dalam studi ini teori yang dipakai adalah teori Ibnu Khaldun dalam bukunya

al-Muqodimmah: (muncul, bangkit, dan hancurnya negara) yang mengatakan bahwa:

1. Negara bangkit pertama didirikan oleh seorang pioner atau penguasa tinggi

2. Para pendukung atau pelaksana

3. Ketika kekayaan muncul orang-orang pejabat-pejabat tinggi sudah malas untuk

bekerja

4. Terakhir roboh ketika orang-orang sudah tidak adanya keloyalitasannya.15

14

Ahmad Amin, Zuhr al-Islam, juz I, (Mesir: Maktabah Nahdah al-Mishriyah, 1966, cet-4)

15

(19)

8

F. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Pakar sejarah Indonesia, Sartono Kartodirjo menyebutkan bahwa suatu

kejadian sejarah tidak tunggal penyebabnya. Jadi, banyak aspek yang perlu dilihat

mengapa suatu peristiwa itu terjadi. Dalam konteks studi ini untuk merekontruksi

kejadian masa lampau yang bersifat komprehensif beliau menekankan perlu memakai

berbagai pendekatan (multy approach), dari segi mana melihatnya, dimensi mana perlu dikaji, dan unsur-unsur mana yang perlu diungkapkan; sejarah, politik,

ekonomi, dan sosiologi.16

Pendekatan sejarah kajiannya lebih menekankan aspek kronologis waktu

dalam arti linear atau bisa juga diakronis kejadian. Lalu, sosiologi meneropong

segi-segi sosial peristiwa, misalnya golongan mana yang berperan beserta nilai-nilainya,

hubungan dengan golongan lain, konflik berdasarkan kepentingan, dan masalah

ideologi. Adapun politik biasanya melihat struktur kekuasaan, jenis kepemimpinan,

hirarki sosial, konflik kekuasaan, dan tak kalah penting persoalan manajemen

konflik.17

2. Sumber Data

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer dalam penelitian ini antara lain, dokumen berupa jurnal,

buku yang ada sangkut pautnya dengan militer budak pada masa pemerintahan

khalifah al-Mu’tashim 833-834 M.

16

Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992,hal. 4-5, 144-156.

17

(20)

9 b. Sumber Data Sekunder

Adapun sumber data sekunder antara lain; tulisan orang yang relevansi

dengan sumber data primer yang penulis dapatkan dari berbagai bacaan, jurnal,

makalah, buku, hasil penelitian media cetak dan elektronik.

2. Metode pengumpulan data

Penelitian ini menggunakan metode sejarah, yaitu suatu cara, jalan, atau

petunjuk pelaksana, atau arahan teknis untuk mendapatkan data yang diperlukan

dalam penulisan sebuah kisah sejarah.18 Sejalan dengan pengertian ini, Louis

Gottschalk19menjelaskan bahwa metode sejarah sebagai sebuah proses menguji dan

menganalisis secara kritis rekaman dan pengalaman masa lampau kesaksian sejarah

guna menemukan data yang autentik dan valid, serta upaya sistesis atas data semacam

itu menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya. Jadi, metode sejarah adalah sebuah

petunjuk atau pedoman untuk mendapatkan data sejarah yang dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Cakupan riset meliputi studi kepustakaan. Studi kepustakaan, yaitu menelusuri

sumber data dari berbagai bacaan, baik yang bersifat primer dan sekunder. Tujuannya

untuk mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan beragam material yang

terdapat di ruangan, baik perpustakaan publik maupun pribadi (privat library), misalnya buku-buku, jurnal, catatan pribadi, catatan kisah sejarah, dan hasil

penelitian,

3. Analisis Data

18Dudung Abdurahman, Metodologi Penelitian Sejarah, Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2007, hal. 53.

19

(21)

10

Data yang terkumpul diediting dan kemudian diklasifikasikan untuk

dikategorisasi. Selanjutnya, data yang terkumpul dipilah berdasarkan relevansi

dengan subyek kajian. Tahap kategorisasi bertujuan mengelompokkan setiap data ke

dalam unit-unit analisis berdasarkan kesesuaian antara satu tema dengan tema lainnya

sehingga menggambarkan keseluruhan analisis yang utuh. Sedang pada tahap

tipologisasi, beberapa data yang sudah diproses pada tahap kategorisasi, akan

dianalisis berdasarkan kecenderungan khu sus dari data-data yang terkumpul

sehingga akan tergambar tipologi yang relatif komprehensif di dalamnya. Oleh karena

itu skripsi ini bersifat deskriptif-kualitatif.20

4. Langkah penelitian

Secara umum, metode sejarah ini sendiri dilakukan dengan empat langkah,

yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi.21 Heuristik adalah pengumpulan

dan penelusuran sumber data. Adapun penelusuran sumber data primer dan sekunder

dilakukan ke perpustakaan, baik publik, seperti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan

perpustakaan koleksi pribadi yang ada kaitannya dengan pokok bahasan, di antaranya

Drs. Saidun Derani, MA.

Kritik eksteren dilakukan untuk menguji keaslian atau otentisitas sebuah

sumber sejarah yang asli. Sedang kritik interen dilakukan untuk menguji validitas

data sejarah. Langkah interpretasi adalah upaya menafsirkan data berdasarkan

perspektif tertentu sehingga fakta itu menjadi struktur yang logis. Langkah

20Best, dalam Sanafiah Faisal, (ed.), Metodologi Penelitian Kualitatif, Surabaya: Usaha Nasional, 1987, hal. 63.

(22)

11

historiografi adalah menuliskan hasil penafsiran menjadi sebuah kisah sejarah yang

utuh versi penulis.

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi ke dalam lima bab penulisan,

yaitu:

BAB I, Pendahuluan, berisi mengenai latar belakang masalah, pembatasan

masalah, dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka,

metode penelitian dan sistematika pembahasan.

BAB II, pada bab ini berisi mengenai Asal-usul al-Mu’tasim. Di samping itu

pula penggambaran mengenai karir politik al-Mu’tashim dan masa pemerintahan

al-Mu’tasim sebagai gambaran kondisi umum sebagai latar belakang sejarah (historical

setting) untuk memberikan gambaran situasi yang mendahului masa perbudakan militer.

BAB III pembahasan ini lebih memfokuskan pada perbudakan militer atau

budak militer. Dalam bab ini penulis menggambarkan akan adanya upaya

pengentasan status sosial bagi seorang yang awalnya sebagai seorang budak. Dalam

budak militer, pada saat proses pembentukan dan kristalisasi umat terus menuju

puncaknya bersamaan dengan kejayaan Islam di Jazirah Arab, dinamika-dinamika

internal umat islam tidak bisa lepas dari peran dan kontribusi dari sosok-sosok yang

pada awalnya memiliki status al’abd, al-riq dan statusnya dapat diperjualbelikan. Persoalan tersebut kemudian berkembang ketika secara psikologis seorang

(23)

12

merubah identitasnya serta mempunyai karir yang sangat mengagumkan dalam

kerajaan.

BAB IV pada bab ini berisi tentang peran militer budak dan peranannya pun

menjadi penting terutama pada masa khalifah al-Mu’tasim. Serta pengaruh militer

budak yang dapat menguasai pemerintahan ketika al-Mu’tashim wafat dan

mengambil alih pemerintahan khususnya pada dinasti Abbasiyah dalam pemerintahan

al-Mu’tashim.

BAB V merupakan kesimpulan dari apa yang telah diuraikan dalam bab-bab

sebelumnya. Kesimpulam merupakan hasil dari analisis data dan fakta yang telah

dihimpun atau merupakan jawaban atas beberapa pertanyaan yang dirumuskan di

(24)

13

BAB II

KHALIFAH AL-MU’TASHIM ( 833-842 M )

A.

Asal-Usul Khalifah Al-Mu’tashim

Untuk melacak riwayat hidup khalifah al-Mu’tashim secara lengkap

sesungguhnya amat sulit. Karena kehidupannya tidak dapat diuraikan secara

lengkap pada studi ini.

Nama asli dari khalifah al-Mu’tashim adalah Abu Ishaq Muhammad ibnu

Harun ar-Rasyid ibnu Muhammad al-Mahdi ibnu Al-Mansyur ibn Muhammad ibn

Ali ibn Abdullah ibnu al-Abbas9. Ia lahir pada tahun 178 H/793 M dikota Zapetra.

Ibunya bernama Maridah, yang berasal dari etnis Turki. Al-Mu’tashim adalah

seorang khalifah yang berjiwa sehat dan mantap, ia mempunyai karakter

pemberani dan dikenal dengan segi delapan atau al-Mutsammin: diberi gelar demikian karena dia adalah putra Abbas kedelapan, khalifah Abbasiyah

kedelapan, menjadi khalifah ketika umur 48 tahun, dilahirkan pada bulan Sya’ban

atau bulan kedelapan, dan memiliki delapan putra dan delapan putri.10

Dari kecil beliau dibesarkan di lingkungan militer, karena itu ia memiliki

sifat berani dan berminat untuk menjadi seorang pahlawan. Al-Mu’tashim tidak

berpengetahuan tinggi, sehingga ayahnya Harun ar-Rasyid tidak melantiknya

sebagai putra mahkota atau bakal khalifah. Pada masa pemerintahan al-Ma’mun,

ketika itu ia sudah dijadikan sebagai tangan kanan khalifah untuk menyelesaikan

berbagai kesulitan sekaligus memimpin peperangan. Dengan prestasinya tersebut

9

Jalaluddin al-Suyuti, Tarkih al-Khulafa, Juz I, (Lebanon: 2008 cet-1) hal.215.

10

(25)

14

kemudian al-Mu’tashim diangkat oleh al-Ma’mun sebagai gubernur di Syiria dan

Mesir.11 Saat bertugas di Mesir inilah, dia mendapat gelar Al-Mu’tashim Billah

yang artinya aku berlindung kepada Allah.12

Karir Politik al-Mu’tashim

Pada masa pemerintahan khalifah al-Ma’mun, seperti keterangan diatas

pihak tentara sendiri tidak senang atas diangkatnya khalifah al-Mu’tashim. Saat

itu pasukan besar yang tengah berada di front terdepan tepatnya di Asia kecil

ramai-ramai mendatangi Abbas ibn-al-Ma’mun untuk mengangkatnya sebagai

putra mahkota dan menyatakan kesediaan untuk membai’atnya sebagai khalifah13.

Tindakan al-Ma’mun tentang jabatan putra mahkota itu menjadikan al

-Mu’tashim setaraf dengan khalifah-khalifah pilihan. Anaknya sendiri al-Abbas

berkedudukan tinggi di kalangan angkatan tentara sebenarnya layak menjadi

khalifah, tetapi al-Ma’mun menyingkirkannya karena beliau menganggap

al-Mu’tashim lebih cerdas dan berani, walaupun al-Ma’mun menyadari bahwa

saudaranya tersebut kurang akan ilmu pengetahuan dan pengalaman ilmiah14.

Akan tetapi, dengan sikap al-Mu’tashim yang pemberani dan berjiwa militer

maka, al-Ma’mun tidak ragu lagi jika al-Mu’tashim dapat memegang amanat

sebagai khalifah saat itu.

11Syalabi, Mausu’ah al-Tarikh al-Islam, jilid 3, (Kairo: Maktabah Nahdjah al-Mishriyah,

1978 cet-4), hal. 192.

12Brockleman, Tarikh Syu’ub Islamiyah, terj. Nabih Amin Faris dan Munir

al-Ba’labaik, (Beirut: Dar al-Ilmi li al-Malayin 1974, cet-4) , hal.208.

13

Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudaan Islam, Terj. Al-Mukkaram Ustad dan Labib Ahmad. ( Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1993 ) hal.144

14

(26)

15

Masalah-masalah Yang Dihadapi Khalifah al-Mu’tashim

Dalam pemaparan ini, mungkin kita bisa mengulas apa yang terjadi

sebelumnya. Sebelum al-Mu’tashim diangkat menjadi khalifah kondisi kerajaan

saat itu di warnai dengan berbagai kemajuan di bidang ilmu pengetahuan. Di Bait

al-Hikmah dikumpulkan berbagai ilmu pengetahuan asing, buku-buku karya

asing, dan penerjemah buku-buku dalam bahasa Arab. Pada zaman itu muncullah

filosof Arab yang besar, seperti al-Kindi yang telah menulis beberapa ilmu

pengetahuan. Dan al-Hajaj bin Yusuf bin Matr telah menerjemahkan beberapa

buah buku karya Euclides dan buku Ptolemy. Itu lah salah satunya filosof Arab

yang muncul pada masa al-Mu’tashim menjadi khalifah yang paling terkenal dan

selalu disebut-sebut adalah al-Kindi.

Dengan perkembangan yang terus-menerus masyarakat saat itu telah

melahirkan pusat-pusat kekuatan baru dalam pemerintahan seperti kelompok

oposisi, militer, maupun ahli dalam bidang hukum. Kelompok-kelompok ini telah

berperan dalam kejadian dan pemerintahan yang cenderung melakukan koalisis.

Kekuatan-kekuatan ini tidak mampu membentuk sebuah lembaga politik

tersendiri sebagai bentuk ekspresi dari pemikiran dan kemampuan mengarahkan

pemerintahan sesuai pemahaman yang dianut. Oleh sebab itu, kekuatan ini selalu

memaksakan pandangan politiknya dengan cara kekerasan. Seiringnya

perkembangan zaman, akhirnya pemikiran mereka semakin melemah, menghilang

dan tenggelam. Yang terjadi akibat dari itu adalah dengan menggunakan cara

(27)

pemikiran-16

pemikirannya. Wajar saja jika Daulah Abbasiyah menggunakan kekuatan militer

untuk melaksanakan kebijakan politiknya15.

Terlepas dari uraian diatas dapat kita cermati dalam beberapa uraian

dibawah ini yang mampu mewarnai masa pemerintahan al-Mu’tashim saat itu

diantanya; ketika tahun 219/834 M, kaum Zott yang semula berada di sekitar

Basrah, kemudian meluas ke dalam Irak. Kemudian khalifah al-Mu’tashim

mengirim panglima Ajiff ibn Utbah untuk memadamkan pemberontakan

tersebut16.

Kaum Zott adalah suku-suku pengembara dari India yang pada masa

dinasti Sasanid (226-651 M) banyak berpindah dari India dan berdiam di lembah

Irak terutama di sekitar Basrah. Kelompok Zott ini sulit untuk diatur dan sering

menimbulkan kekacauan. Mereka hidup nomaden dengan sikap hidupnya yang

kasar17. Salah satu dari kelompok mereka yang membuat kekacauan di wilayah

Azerbaijan dan wilayah Tabaristan adalah Babek al-Kharrami. Akan tetapi pada

tahun 835 M mereka bangkit kembali bersama pasukannya dari tempat

persembunyian mereka.

Akhirnya khalifah al-Mu’tashim segera mengirim pasukan di bawah

panglima Afsin. Pasukan ini memiliki semangat yang tinggi dalam melakukan

pengejaran dan pertempuran terhadap kaum Zott yang berlangsung selama satu

setengah tahun. Akhirnya mereka melakukan perlawanannya yang terakhir di

Bazz. Babek al-Kharrami saat itu sempat meluputkan diri dari pengejaran

tersebut, tetapi dalam suatu pengejaran akhirnya ia dapat dicegat di wilayah

15 Khaerudin Yujah Sawy, Perebutan Kekuasaan Khalifah Menyingkap Dinamika dan Sejarah Kaum Sunni ( Yogyakarta: Syafira Insani Press, 2005 ), hal.35

16 Yoesoef Soub’by,

Sejarah Daulah Abbasiyah I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), h.221

17

(28)

17

Armenia. Dan kemudian ia dibawa ke Baghdad untuk menemui khalifah. Sejarah

mencatat bahwa khalifah al-Mu’tashim sendiri yang mengeksekusinya dengan

memancung sampai mati.

Begitu banyak kejadian atau fenomena yang terjadi pada masa

pemerintahan khalifah al-Mu’tashim. Setelah apa yang sudah terjadi dalam

pemerintahan al-Mu’tashim menjalankan dua amanat tertulis dari khalifah

sebelumnya yaitu al-Ma’mun. Isi dari amanat itu adalah yang pertama, agar

khalifah al-Mu’tashim melanjutkan perjalanan Mihnah yang telah digariskan al-Ma’mun dan senantiasa meminta pertimbangan hakim agung Ahmad Abi Daud.

Yang kedua, agar al-Mu’tashim bersifat lunak dan melindungi terhadap keluarga

Alawiyah18.

Mengenai kebijakan al-Ma’mun tentang Mihnah atau Inquisisi, pada masa

al-Mu’tashim kebijakan tersebut diberlakukan kembali. Inquisisi ini merupakan

ide awal dari al-Ma’mun untuk menguji dan mengajukan pertanyaan kepada orang

lain; dengan materi pertanyaan apakah “kamu melakukan hal ini dan itu” secara

terus menerus hingga orang tersebut mau mengatakan hal yang tidak ia katakan.

Hal ini penyebab utama sebuah fatwa atau sikap pendapat ulama yang berlawanan

dengan penguasa19.

Sebab yang lain adalah situasi dan kondisi yang mempengaruhi lembaga

kekhalifahan al-Ma’mun, antara lain meluasnya wibawa para ahli hukum dalam

pandangan masyarakat, berkembangnya gerakan zindiq, serangan oposisi terhadap

18 Yoesoef Soub’by,

Sejarah Daulah Abbasiyah I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), hal. 219.

19

(29)

18

pemerintah, dan keinginan al-Ma’mun untuk menjadikan pemerintahan sebagai

mediator berbagai aliran yang ada20.

Mengenai pergerakan zindiq, tentu berkaitan erat dengan apa yang menjadi garis

kebijakan mengenai Mihnah yang dijalankan khalifah al-Mu’tashim. Pergerakan

zindiq lebih berbahaya bagi pemerintahan dan agama dari pergerakan apapun

yang sudah disebutkan diatas. Pengajaran-pengajaran zindiq sudah berubah dari

waktu ke waktu sesuai dengan interprestasi pengikutnya.

Pertama kali pengikut-pengikut kitab suci Zend di Persia dinamakan

Zindiq atau Zanadiqa. Istilah ini berlaku bagi mereka yang tidak percaya bagi ketauhidan Tuhan tetapi menerima dengan dualismenya. Akhirnya mereka yang

percaya pada du aspek Tuhan yaitu cahaya dan kegelapan, dijelmakan sebagai

Yezdan dan Agriman. Orang-orang itu adalah orang kafir, yang mempunyai kebudayaan mereka sendiri, beberapa dari mereka diangkat sebagai pembimbing

khalifah-khalifah bani Umayyah21.

Zindiq terus berlaku setelah zaman pemerintahan khalifah Abbasiyah, yaitu Harun ar-Rasyid dan pindah ke istana al-Mu’tashim, bahkan salah satu dari

jenderal al-Mu’tashim, Afsin merupakan penganut Zindiq. Walaupun demikian orang-orang Zindiq banyak memberiakan sumbangan dalam pembangunan ilmu

pengetahuan, literatur, dan politik22.

Terlepas dari uraian diatas, masih ada lagi sebuah fenomena yang terjadi

dalam pemerintahan khalifah al-Mu’tashim, salah satunya al-Mu’tashim pernah

mengalami penyerangan terhadap wilayah kekuasaannya. Semenjak kehancuran

(30)

19

pasukan kaisar Theopilus dalam pertempuran Heraclea tahun 832 M, dengan

persiapan yang matang ia pun melancarkan serangan pada seluruh perbatasan Asia

Kecil. Tekanan terberat pada perbatasan Armenia dan Irak. Kaisar Theopilus

berhasil menghalau pasukan muslim dan maju memasuki wilayah utara Irak lalu

merebut dan menguasai kota Zapetra. Mereka membunuh para lelaki, anak-anak,

dan memotongi telinga dan hidung mereka23.

Kaisar Theopilus menaruh dendam terhadap orang-orang Kristen di Asia

kecil yang berada di bawah kekuasaan kaum muslim. Di antara wanita-wanita

menderita kebuasaan itu ada yang termasuk dari keluarga Hasyim. Kemudian

salah seorang perutusan dari wanita Hasyim melaporkan kejadian tersebut kepada

khalifah al-Mu’tashim.

Sejarah mencatat khalifah al-Mu’tashim mempersiapkan kekuatan besar

untuk menghadapi penyerangan tersebut. Di penghujung tahun 836 M khalifah

al-Mu’tashim berangkat ke Utara dan langsung melakukan serangan balasan pada

segenap penjuru perbatasan24.

Di lain pihak, beberapa resimen baru (Militer Budak) yang pada awalnya

memperkokoh kekuasaan khalifah, tetapi mereka sekaligus menjadi sumber

kerusuhan. Kondisi kota Baghdad sendiri disebutkan semakin sesak dengan

keturunan orang-orang Turki yang dihimpun oleh khalifah al-Mu’tashim. Dengan

jumlah mereka yang banyak mereka menggangu hak-hak masyarakat umum serta

23 Yoesoef Soub’by,

Sejarah Daulah Abbasiyah I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), hal. 225

24

(31)

20

menimbulkan kerusuhan dan kekacauan di kota Baghdad. Melihat keadaan ini

akhiranya rakyat mengadukan hal tersebut ke khalifah al-Mu’tashim25.

Akhirnya khalifah al-Mu’tashim mengambil keputusan untuk membangun

sebuah ibu kota baru dan memindahkan pasukan militer dari masyarakat umum.

Pada tahun 836 M di bangunlah ibu kota Sammara. Dengan memindahkan mereka

para militer, al-Mu’tashim mengharapkan akhir dari pertikaian antar warga dan

pasukan tentara, namun kota tersebut malah melahirkan persaingan antara atasan

dan berbagai resimen. Para pejabat menjadikan kalangan birokrat berada dalam

perwaliannya, menguasai pengaruh di wilayah gubernur. Lebih jauh lagi mereka

mengendalikan suksesi kekhalifahan26.

Akhirnya persaingan antara resimen menimbulkan anarkis. Antara tahun

861-870 M sejumlah pejabat tinggi menjadi korban pembunuhan. Pasukan militer

menjadi lepas kendali, dan sebagian mereka terlibat dalam serangkaian

perampokan27.

25

Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudaan Islam, Terj. Al-Mukkaram Ustad dan Labib Ahmad. (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1993 ) hal.182

26

Ira M. Lapidus, Sejarah Ummat Islam Terj. Gufron A. Mas’adi ( Jakarta: Rajawali Press 1999 ), hal. 196

27

(32)

21

BAB III

MILITER BUDAK PADA MASA AL-MU’TASHIM

A. Latar Belakang Munculnya Militer Budak

Dalam menyebutkan dalil mengenai latar belakang atau sebab akibat dari

munculnya militer budak, kita bisa terbantu dengan menggunakan rumusan umum

mengenai sebab akibat dari munculnya militer budak. Yakni dengan misalnya

bahwa X menyebabkan Y, selanjutnya dari tiga hal yang harus disebutkan.

Pertama, harus ada pertalian antara X dan Y. Kedua, harus ada hubungan waktu

yang layak dalam peristiwa terjadinya X sebelum Y. Dalam kasus budak militer

dan Islam, pertaliannya memang ada dan urutan waktunya tepat (Islam lebih dulu

lahir dari pada budak militer) untuk membuktikan adanya hubungan kausalitas

“Dugaan adanya pranatara yang menghubungkan keduanya harus dijelaskan”.

Perbudakan militer telah dihubungkan dengan Islam sebagai agama atau

peradaban Islam. Kalau militer budak itu dianggap merupakan bagian dari pada

agama atau sistem hukumnya kita menyebutkan“Islamic”. Tetapi kalau sebuah

aspek dari pada peradaban yang lebih menyebar yang menyertai budak itu, kita

menyebutnya “ Islamicate“27.

Dasar-dasar Islam (seluruh batang tubuh syari’ah yang mengatur aspek

kehidupan muslim) menjadi ciri kehidupan muslimin. Semua dasar tersebut

timbul bersamaan dengan datangnya agama sebagai kumpulan ajaran Islam.

Semua dasar tersebut non-fungsional dan hanya dapat dijelaskan menurut sudut

pandang cita-cita dan tradisi Islam. Jelas perbudakan militer bukan “Islamic”,

27

(33)

22

tidak ada sangsi agama yang dikenakan untuk itu. Tidak ada yang menyatakan

perbudakan itu merupakan bagian dari agama Islam atau sistem hukumnya. Hal

tersebut di atas menunjukkan kenyataan bahwa Islam, memberikan warnanya

pada kebudayaan itu cenderung mengambil nya. Islam cenderung menimbulkan

sebuah pola sosial total atas nama agama itu sendiri.

Pada masa awal terbentuknya kawasan politik di Madinah peran dan

fungsi militer sangat dominan pada saat itu. Dalam artian bahwa masyarakat kaum

muslim dan masyarakat lainnya di Madinah sangat berperan aktif dalam dinas

kemiliteran. Peran militer ditujukan sebagai dinamisator28 dan stabilisator29 dan

bahkan mendukung bagi dakwah Nabi Muhammad Saw dalam penyebaran agama

Islam. Hal ini dikuatkan dengan konstitusi Madinah atau piagam Madinah, yang

sengaja dikeluarkan beliau dalam membina kawasan yang baru terbentuk itu.

Dalam perkembangan selanjutnya dua wilayah keagamaan dan politis

tersebut, bersamaan dengan bentuk-bentuk konstitusi fungsional yang umum,

tidak lama kemudian tenggelam menjadi sebuah peradaban Timur Tengah yang

tunggal.

Betapapun besar kecilnya umat, merupakan sebuah kesatuan tunggal, yang

secara I deal berada di bawah pimpinan seseorang, yang pada pemerintahan

selanjutnya disebut dengan khalifah. Kesetiaan terhadap khalifah merupakan

ungkapan perasaan yang nyata ketaatan kepada kesatuan ummat. Persatuan

ummat dan pemerintahan khalifah menunjukkan ciri-ciri Islam (Jihad, atau aksi

28

Menimbulkan atau menjadikan dinamika, hal atau benda yeng menyebabkan timbulnya tenaga untuk selalubergerak.

29

(34)

23

militer) Madinah baik dimaksudkan untuk memperthankan diri maupun untuk

memperluas wilayah yang diperintah kaum muslim.

Tidak dapat disangkal, persatuan ummat berlangsung kira-kira tiga puluh

tahun ( hingga saat terbunuhnya Ustman tahun 35 H/656 M ). Tetapi, perang besar

sesama muslim bermula tahun 37 H/657 M dengan timbulnya perang saudara

antara Ali dan Muawiyah. Satu abad setelah itu, tahun 138 H/756 M ummat

secara resmi terpecah, ketika penguasa Umayyah di Spanyol tidak bersedia

mengakui khalifah Abbasiyah sebagai penguasa. Sejak saat itu, setiap lima tahun

sekali, setiap wilayah baru memerdekakan diri dan peristiwa demikian

berlangsung kira-kira satu abad.

Dalam kepemerintahan ternyata mereka masing-masing mempunyai basis

militernya sendiri dalam pemerintahan pusat maupun daerah atau pinggiran. Bani

Umayyah maupun pemerintahan Bani Abbasiyah tidak dapat memenuhi beberapa

tuntutan masyarakat, banyak sebagian masyarakat meninggalkan baik dalam dinas

kemeliteran maupun pemerintahan. Mereka lebih mencurahkan pada

urusan-urusan yang di luar kedua dinas tersebut, dalam hal tertentu lambat laun mereka

menjadi panutan bagi masyarakat banyak dalam agama. Posisi mereka secara

tidak langsung menggantikan posisi khalifah dalam kewenangan masalah agama.

Dalam waktu tertentu peran militer kaum muslim dalam hal ini suku Arab

dan Persia mengalami penurunan. Peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum

al-Mu’tashim menjabat sebagai khalifah mendorong al-Mu’tashim kehilangan

kepercayaan terhadap orang-orang keturunan Persia dan Arab. Al-Mu’tashim

menganggap bahwa orang-orang keturunan Persia, mereka mempunyai

(35)

24

berbagai keadaan, menyebabkan khalifah bertindak menindas mereka dengan

berbagai cara, berawal dari Abu Salamah al-Khallal, Abu Muslim al-Khurasani,

al-Fadl bin Sahl, dan seterusnya. Di pihak keturunan Arab juga mulai menyadari

kekuasaan mereka kian merosot setelah mereka diruntuhkan dengan sengaja

orang-orang Parsi. Karena peristiwa ini, al-Mu’tashim terpaksa mencari keturunan

lain yang bisa diharapkan dan memberinya kepercayaan.

Dari segi lain al-Mu’tashim mengikuti peperangan yang berkelanjutan dan

pertempuran sengit melawan kelompok Zatti, Babik al-Khurrami dan tentara

Romawi. Oleh sebab itu ia berpendapat perlunya diperkuat angkatan dengan

laskar keturunan-keturunan lain yang dikenal gagah berani untuk mencapai

kemenangan di medan peperangan tersebut, tentunya dalam hal kemiliteran

pasukan dari etnis Turkilah yang menjadi tumpuhan al-Mu’tashim karena beliau

menganggap pasukan tersebut sabar, berani dalam berperang.30

Terlepas dari uraian diatas, kita bisa melihat pertama kali militer budak itu

muncul dari segi waktu maupun perannya yang penting terhadap khalifah.

Mengenai budak militer sebaya dengan adanya keberadaan manusia yang menurut

sejarah jejaknya terlihat di tiap-tiap jaman dan bangsa.31 Sejarah menyebutkan

peperangan menyebabkan terjadinya atau adanya perbudakan. Penaklukan, dapat

melakukan apapun terhadap musuhnya. Ia bisa membunuh tentara yang

ditangkapnya, dan peperangan biasanya diikuti oleh sejumlah besar para budak.

Kita bisa merasa asing mendengar apa yang di sebut dengan budak. Status

budak itu tidak lebih dari sebuah barang yang dimiliki. Keberadaannya bisa

30

Ahmad Amin, Zuhr al-Islam, juz I, (Mesir: Maktabah Nahdah al-Mishriyah, 1966, cet-4) hal.5-6

31

(36)

25

dijadikan sebagai komoditas, layaknya sebuah barang yang dapat

diperjualbelikan. Nasib seorang budak tergantung pada tuannya. Dengan artian

perlakuan baik dan status tuannya dari seorang budak menjadi penentu bagi nasib

seorang budak tersebut. Akan tetapi umumnya budak diperlakukan tidak

manusiawi. Orang berfikir tentang budak dalam bentuknya yang lazim dikenal

sebagai pembantu rumah tangga atau buruh yang melaksanakan tugas yang secara

ekonomis produktif.

Dalam studi ini nampaknya mempunyai banyak interprestasi mengenai

budak. Budak yang kita kenal kadang-kadang terlibat dalam perang, akan tetapi

mereka berbeda sekali dengan budak militer. Sebagai perbandingan dengan budak

biasa, dapat dijelaskan, kehidupan seorang budak militer dapat dibagi dalam tiga

bagian yaitu masa ia diperoleh, masa peralihan, dan saat melaksanakan pekerjaan;

pada tiap tahap itu kehidupannya sangat berbeda dengan budak biasa.

Adapun perbedaan yang lain bermula dari kepemilikan, karena budak yang

dimiliki untuk dijadikan militer sangat terbatas jumlahnya dibandingkan dengan

budak biasa. Begitu seorang penguasa atau tokoh terkemuka memutuskan akan

memilki budak-budak untuk keperluan militer, ia bersikap hati-hati dalam

memilih orang-orang yang akan dijadikan budak.

Seperti halnya budak pada masa dinasti Abbasiyah, tepatnya pada masa

khalifah al-Mu’tashim, dapat dikatakan telah mencapai puncak proses (aksi,

interaksi, dan reaksi). Dapat kita lihat pada jendral Afsin, Bugha al-Kabir, dan

lain-lain telah mengharumkan nama mereka dalam pemerintahan. Kondisi

demikian bukan saja membawa perubahan atas nama pimpinan atau khalifah

(37)

26

kekuasaan yang dapat mereka raih. Adapun usaha-usaha pembinaan militer budak

tersebut dapat dilihat dalam pemaparan selanjutnya.

B.Usaha-usaha Pembinaan Militer Budak

Mengenai militer budak, budak militer ini berbeda dengan semua jenis

budak yang lain. Militer budak mengabdikan hidupnya dalam dinas militer. Sejak

saat diperoleh hingga ia pensiun. Yang dimaksud dengan budak-budak biasa ialah

semua budak yang tidak menjadi tentara atau alat pemerintahan. Budak-budak

seperti itu kadang-kadang secara kebetulan terlibat dalam perang, tetapi mereka

sama sekali berbeda dari budak-budak militer. Sebagai perbandingan dengan

budak-budak biasa, dapat dijelaskan, kehidupan seorang budak militer dapat

dibagi dalam tiga bagian: masa ia diperoleh, masa peralihan, dan saat melaksanakan pekerjaan

Perbedaan antara budak biasa dengan budak militer, memang dalam status

mereka sma-sama budak akan tetapi dapat dilihat dari segi pemilikan, mutu yang

tinggi, masa peralihan, bagaimana budak-budak militer ini melaksanakan

tugas-tugas pentingnya, dan kekuasaan yang dimiliki budak militer. Mengenai budak

biasa, mereka menjadi arus utama dalam kelompok militer tempat mereka

bertugas. Kalau budak-budak biasa merupakan milik perorangan, Sedangkan

budak militer milik para pemimpin mereka. Karena kekuatan militer, mereka

mendapat penghormatan dan kekuasaan sebagai pembantu atau buruh yang rendah

derajatnya. Walaupun mereka budak, tapi merupakan bagian dari kelompok elite

yang berkuasa serta, dapat berhubungan langsung dengan penguasa, memegang

berbagai posisi penting dan menikmati fasilitas kekayaan dan kekuasaan32.

32

(38)

27

Terlepas dari uraian mengenai usaha-usaha pembinaan militer budak

dalam artian bagaimana perekrutannya, pelatihan, dan sampai penggunaannya

secara professional dalam catatan sejarah akan dipaparkan lebih lanjut dalam studi

ini. Yang pertama mengenai perekrutan para khalifah. Dalam perekrutan ini khalifah tidak hanya mengumpulkan tawanan-tawanan perang pada waktu

pasukan mereka menang dalam pertempuran serta menaklukkan daerah-daerah.

Mereka sudah mengatur segalanya secara berlanjut agar rakyat yang ditaklukkan

menyerahkan budak-budanya, ada pula perolehan budak didapat dalam pasar

budak yang dapat dibeli.

Kekuasaan orang-orang Islam diharuskan mengirim budak-budak ke

penguasa-penguasa dibuat sebagai upeti atau pajak. Dengan cara seperti ini

penguasa-penguasa muslim memberikan jaminan untuk diri mereka sendiri atas

pasukan budak-budak secara tetap, bahkan hingga setelah masa penaklukkan

berakhir33.

Dalam kenyataannya kaum Abbasiyah tidak memiliki atau mewarisi

pengaturan-pengaturan ala Muawiyah mengenai budak-budak (dengan

pengecualian seperti halnya baqt) dan mereka sendiri hampir tidak pernah mempunyai taklukannya sendiri. Sebagai akibatnya, mereka hampir selalu

mengeluarkan uang untuk mendapatkan budak-budak mereka. Kalau kaum

Umayyah hampir tidak pernah melakukan pembelian untuk budak-budak (kecuali

sedikit pada tahun-tahun terakhir). Tetapi, kaum Abbasiyah harus membeli untuk

mendapatkan hampir semua budak-budaknya. Hanya dalam kesempatan yang

jarang adanya kaum Abbasiyah tidak harus membeli budak-budak yang

33

(39)

28

dibutuhkan. Pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid, 100 dan 1000 budak

dikirim sebagai kharaj dari Gilam, demikian pula 1000 dan mungkin 4000 orang

Turki dari Khurasan. Khums dalam periode pertama pemerintahan kaum Abbasiyah kelihatannya hanya figurative semacam tanda kehormatan saja, dan

tidak pernah mengikutkan adanya budak34.

Kemudian berbagai agen mengumpulkan budak-budak untuk khalifah.

Al-Ma’mun kemudian meminta khalifah al-Mu’tashim untuk menyediakan

orang-orang Turki dan al-Mu’tashim ganti menengok orang lain, ia mengirim

pembeli-pembeli ke Samarkand, termasuk mawla-mawlanya sendiri dan juga mengirim

permintaan kepada gubernur Khurasan Abdullah bin Tahir (213-230 H/824-845

M), yang kemudian mengirimkan balik budak-budak kepada al-Ma’mun. Dan

dengan melalui pujian yang dialamatkan kepada usaha-usaha yang dilakukan

Yahya bin Akhtam, seorang qadi dan pejabat tinggi, yang diberikan oleh

al-Ma’mun bisa diduga bahwa Yahya bin Akhtam berjasa besar sekali dalam

pengumpulan budak.35 Tidak semua dibeli beberapa diantaranya ikut dengan

sukarela dan sebagian lainnya ditangkap.

Setelah militer budak tersebut diperoleh secara sistematik, berlanjut

dengan usaha latihan yang terorganisir atau yang kedua dalam usaha-usaha pembinaan militer budak. Dalam proses latihan suatu hal yang penting dalam

militer budak, sementara serdadu-serdadu yang tidak merdeka kurang

memperoleh latihan militer yang formal, mungkin saja kadang-kadang di antara

mereka ada yang telah memiliki pengalaman militer sebelum memasuki

34

Ibid, hal. 239

35

(40)

29

masyarakat Islam. Keahlian yang mereka bawa kadang cukup menjadikan para

budak maupun mawla penguasa-penguasa militer yang diakui.

Bukti akan adanya sistem untuk melatih dapat dilihat riwayat seseorang

yang hidup sekitar masa tersebut, yakni riwayat tentang diri Ahmad bin Tulun

(lahir tahun 220 H/835 M), menekankan bukan pada latihan militer, tetapi dalam

aturan agama. Pendidikan tidak sama dengan pendidikan seorang non-Arab, yang

berarti ia mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan Islam.

Petunjuk yang paling pasti menjelaskan hal ini yakni adanya penggunaan

kata atau istilah Istina, bahwa para budak menjalani latihan baru yang lebih

sistematik sekitar tahun 204 H/820 M. Biarpun kata tersebut dipergunakan di

sana-sini sebelum waktu tersebut, kata tersebut muncul lebih sering dalam

penjelasan-penjelasan mengenai orang-orang Turki al-Mu’tashim.36 Ketiga yaitu pengerjaan secara professional yang mulai dari sekitar tahun 205 H/820 M cukup

kuat. Sejak waktu itu budak-budak bekerja full time, menerima upah tetap dan

pakaian lain dari pada yang lain, serta tinggal di daerah/tempat yang terpisah,

mereka harus mengabdikan dirinya sepanjang tahun.

Khalifah al-Mu’tashim menjadikan mereka pengawal keamanan pribadi,

selanjutnya, mereka digabungkan ke dalam angkatan tentara kerajaan, dengan

keberanian dan kegagahan mereka serta keberhasilan dalam peperangan, maka

mereka diberikan pula penghargaan oleh khalifah. Saat itu al-Mu’tashim

memberikan pakaian seragam yang indah kepada orang-orang Turkinya; brokat

emas dan sutra, ikat pinggang emas dan sutra, kerah baju emas serta hiasan-hiasan

lainnya. Dia tidak hanya membuat mereka suatu pandangan yang indah, tetapi

36

(41)

30

membikin mereka gampang di bedakan dari pasukan-pasukan lainnya. Dengan

dandanan tersebut mereka memakai seragam kerajaan. Jelas mereka

serdadu-serdadu yang bernilai tinggi.

Pemisahan orang-orang Turki dari pasukan-pasukan lain di samarra’

memberikan petunjuk akhir, bahwa mereka adalah budak-budak militer. Di kota

penduduk lainnya, terpisahkan oleh tembok, jauh dari pasar maupun khalayak

ramai. Untuk melengkapi “pengasingan” al-Mu’tasim membangun untuk mereka

masjid-masjid, tempat-tempat mandi dan sebuah pasar kecil. Dia bahkan mencari

budak-budak wanita itu dengan bayaran serta melarang mereka bercerai. Bagian

kota ini ada di luar batas daerah yang berpenduduk.

Pada waktu naek kejenjang kekuasaan pada tahun 218 H/833 M,

al-Mu’tasim mendelegasikan sejumlah besar orang-orang Asia Tengah masa-masa

pemerintahannya di gemakan oleh nama-nama mereka seperti Ahsnas, Itakh,

Bugha al-Kabir, Wasif dan Afsin, yang membela al-Mu’tashim dalam berbagai

peristiwa.37

C. Tugas Pokok Militer Budak

Bicara mengenai tugas militer budak, saat itu para militer budak

melaksanakan tugas-tugas penting dan memikul beban yang berat, mereka

bertugas sepanjang tahun, membentuk korps elite, menyediakan banyak perwira

dan menjulang dengan cepat dalam hirarki militer. Daftar kegiatan mereka tidak

dapat diungkapkan pada studi ini; dalam berbagai situasi mereka melaksanakan

semua tugas militer yang mungkin dilakukan. Dalam tugasnya militer budak

sangat berbeda sekali dengan budak-budak biasa, mereka (militer budak) saat

37

(42)

31

berperang membentuk korps besar dan berperang dalam satuan-satuan budak yang

terpisah tidak seperti budak biasa yang cenderung bahu-membahu dengan majikan

mereka. Selain itu, cara kerja militer budakpun berbeda mereka cenderung berdiri

untuk menunggu dan berkumpul dengan militer budak yang lain, kalaupun

mereka segera berpencar (untuk melaksanakan tugas), secepat itu pula mereka

berkumpul kembali sangat luar biasa budak militer ini.38

Selain itu, mereka secara bergiliran menjaga setiap kemah dalam jumlah

yang diperlukan, begitu pula cara yang dilakukan dengan pelayan pribadi (pelayan

raja), sehingga mereka tidak senpat berkelompok. Pada masa lampau, sejak hari

pertama mereka dibeli hingga kemajuan yang mereka capai selama

bertahun-tahun dan diangkat untuk memegang jabatan yang lebih tinggi, para pelayan saat

itu telah diorganisasikan dengan efisien seperti pendidikan dan tingkat mereka.39

Di bawah ini beberapa kutipan langsung afri Daniel yang diambil dari Siyasat namah mengenai karir budak dalam kerjaan tertentu. Dalam kutipan ini saya ambil di kerajaan Samaniah, sebagai gambaran mengenai proses tersebut perlu

diperlihatkan.

Daniel Pippes mengatakan bahwa:

Para pelayan atau pembantu mendapat kenaikan posisi sesuai dengan

lamanya mereka menjalankan tugas dan besarnya jasa mereka. Karena itu, setelah

seorang pelayan diberi, selama satu tahun ia bertugas sebagai perawat sanggurdi

seorang penunggang kuda dengan menggunakan mantel Zandaniji dan sepatu boot dan pelayan ini tidak diizinkan selama satu tahun pertama itu menunggang

kuda baik secara sembunyi-sembunyi maupun didepan umum, dan kalau ia

38

Daniel Pippes, Sistem Militer Pemerintahan Islam, hal. 313-314.

39

(43)

32

kedapatan menunggang kuda ia akan mendapatkan hukuman. Setelah itu ia

merampungkan tugasnya satu tahun, pemimpin kemah berbicara dengan kepala

rumah tangga istana dan kepala rumah tangga ini memberikan informasi kepada

raja, kemudian mereka memberikan kepada pelayan seekor kuda Turki kecil,

dengan pelana yang terbungkus kulit. Setelah tugas satu tahun dengan kuda dan

cambuk, dalam tahun ketiga ia mendapat ikat pinggang untuk dikenakan

dipingganggnya.

Pada tahun keempat mereka memberikan kepadanya sebuah tempat anak

panah dan sebuah busur yang diikat ketubuhnya ketika ia menunggang kuda. Pada

tahun kelima ia memperoleh pelana yang lebih baik dan sebuah kekang yang

diberi hiasan bintang di samoing sebuah mantel dan pentung. Di tahun keenam ia

diberikan tugas sebagai pembawa mangkuk atau pengangkat air dan ia

menggantungkan sebuah gelas berbentuk piala dari pingangnya. Tahun ketujuh ia

bertugas sebagai pembawa jubah.

Pada tahun kedelapan mereka memberikan kepadanya kemah dan enam

belas pasak dan menambah tiga pelayan yang baru dibeli kedalam pasukannya.

Mereka menggelarinya pemimpin kemah dan mewajibkannya mengenakan

pakaian yang terbuat dari lakan hitam yang diberi hiasan kawat perak dan sebuah

mantel (jubah) yang dibuat dari Ganja.

Setiap tahun mereka diberi pakaian yang semakin baik begitu pula hiasan

yang dipakainya, disamping posisi dan tanggung jawabnya, hingga ia menjadi

pemimpin pasukan dan seterusnya sampai akhirnya ia menjadi kepala rumah

tangga. Ketika keserasiannya, keterampilan dan keberaniannya mulai dikenal

(44)

33

dan didapati menaruh perhatian penuh terhadap rekan-rekannya di samping setia

kepada tuannya, barulah setelah ia berusia tiga puluh lima atau empat puluh tahun,

mereka mengangkatnya menjadi amir dan menugaskannya di sebuah propinsi.40

Selama seribu tahun penuh, yakni sejak awal abad ke 3H/9 M hingga awal

abad ke 13 H/19 M, orang-orang muslim, secara tetap, teratur dan sengaja

memperkejakan budak-budak sebagai serdadu. Hal ini terjadi di semua tempat

dalam dunia Islam, dan Afrika tengah sampai Asia Tengah, dari Spanyol ke

Bengal dalam kurun waktu yang sedemikian panjang yang begitu luas.41

Berbicara mengenai munculnya pertama kali budak militer dalam Islam,

ada dua pertanyaan yang harus dijawab mengenai siapa dan kapan pertama kali

terjadinya perbudak militer atau sistem pekerjaannya dan bagaimana hal itu

berkembang. pembahasan ilmiah modern semuanya sependapat untuk

mengetengahkan nama al-Mu’tashim kedalam usaha untuk memasukkan orang

-orang Turki ke dalam angkatan perang dan usahanya untuk mengembangkan

perbudakan militer. Dia bertanggung jawab atas kepercayaan yang berlebihan

pada suatu bentuk baru dari ketentaraan, sehingga dia telah membuka jalan untuk

adanya suatu pengambil alihan kekuasaan militer setelah ia meninggal. Namun

dalam hal ini masih ada keraguan, apakah al-Mu’tashim adalah orang pertama kali

menggunakan orang-orang Turki atau al-Ma’mun?

Dalam kesempatan ini dapat kita sebutkan beberapa pendapat mengenai

siapa pertama kali yang memperkejakan serdadu-serdadu budak. Montgomery

mengatakan bahwa al-Ma’mun dikatakan sebagai orang yang pertama kali

memperkejakan serdadu-serdadu budak dari perbatasan kerajaan, kebanyakan

40

Daniel Pippes, Sistem Militer Pemerintahan Islam , hal. 313-314.

41

(45)

34

mereka adalah dari suku Barbar dari Sahara atau suku Turki dari seberang sungai

Oxsus. Orang-orang itu tidak berpihak kemana-mana dalam pertikaian politik dan

pasukan yang lebih baik sebagai pertimbangan utama-mereka.42

Pernyataan Lapidus justru berbeda dan terkesan kurang jelas dalam

memberikan argumentasinya dalam menilai siapa yang pertama kali memasukkan

budak Turki dalam ketentaraan. Akan tetapi Lapidus seolah-olah menjelaskan

bahwa antara al-Ma’mun dan al-Mu’tashim menyebutkan secara bersamaan.

Sampai pada masa khalifah al-Mansur jumlah mereka sangat sedikit. Al-Mansur

adalah orang pertama yang sengaja mengumpulkan orang-orang Turki. Pada masa

al-Ma’mun peran mereka meningkat, sehingga tujuan awal dari pertama

digunakannya orang-orang Turki tersebut sering kali terlupakan.43

Al-Mu’tashim mengikuti contoh al-Ma’mun untuk membeli orang-orang

Turki dengan harga tinggi; dimasukan untuk dilatih secara sistematik beberapa

orang untuk menjadi penasehat dan untuk menarik orang-orang Asia tengah

masuk Islam serta bergabung dalam ketentaraan muslim. Lebih jauh al-Mu’tashim

membeli budak-budak Turki karena pada hakekatnya dia disuruh al-Ma’mun.

dengan diakuinya peran utama yang dimainkan al-Ma’mun, slah satu penelaahan

yang menyebutkan bahwa, al-Ma’mun telah mengawali penggunaan orang-orang

Turki dalam dinas kemiliteran.

Biarpun nyatanya al-Ma’mun adalah tokoh yang mengawali praktik ini,

namun sistem perbudakan militer belum ada pada masa al-Ma’mun.

kesimpulannya adalah al-Mu’tashimlah yang pertama kali dengan sistemnya jelas

-jelas adanya perbudakan militer. Akibatnya sebagian besar tentaranya terdiri dari

42

Montgomery W.Watt, Kejayaan Islam, Kajian Kritis Dari Tokoh Orientalis (Yogyakarta: Tiara Wicana, 1990). Hal. 123-124.

43

(46)

35

budak Turki, yang kemudian juga mendominasi ketentaraan, sebagian dari mereka

sudah memeluk Islam sejak masa Ummayah diantara mereka juga ada yang

Majusi dan menyembah berhala dan saat itu pula orang-orang Turki sudah belajar

bahsa Arab.44

44

Ahmad Amin, Zuhr al-Islam, juz I, (Mesir: Maktabah Nahdah al-Mishriyah, 1966, cet-4) hal. 6.

(47)

36

BAB IV

PERAN MILITER BUDAK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH

AL-MU’TASHIM

A.Keamanan

Sebelum al-Mu‟tashim diangkat menjadi kepala pemerintahan, beliau

adalah tangan kanan al-Ma‟mun dalam memadamkan beberapa pemberontakan

diantaranya; melawan kaum zot, babik al-khurami, dan meneruskan peperangan

dengan Romawi. Dan ketika al-Mu‟tashim menjabat sebagai kepala

pemerintahan masalah demi masalah datang kepadanya diantaranya adalah; Pada

tahun 218 H44/834 M, muncul pemberontakan yang dimotori oleh keturunan Ali,

yaitu Muhammad Ibnu Qasim bin Ali bin Umar bin Ali bin Husain bin Ali.

Pemberontakan tersebut pertama kali muncul di Kuffah dan di Khurasan, yang

kemudian merambat ke kota-kota lain. Akan tetapi, lagi-lagi pemberontakan

inipun dapat dipadamkan, karena kerja keras yang dilakukan oleh Abdullah bin

Thahir. Sedangkan Muhammad sendiri dapat ditangkap dan diserahkan kepada

al-Mu‟tashim dan akhirnya dipenjarakan di Sammara, nasibnya tidak diketahui

sama sekali.

Ketika al-Mu‟tashim diangkat sebagai khalifah ada seorang laki-laki

menyatakan bantahannya kepada al-Ma‟mun ketika ia berada di Syam dengan

berkata; “wahai amirul mu‟minin lihatlah betapa serupanya apa yang dimiliki

orang Arab di Syam dengan apa yang dimiliki ahli Khurasan dan juga mu‟tashim

mulai merasa dengan lemahnya kepercayaan orang-orang Furs kepadanya, yang

44

Referensi

Dokumen terkait

Jenis tema dalam iklan pendidikan bahasa Inggris The Jakarta Post pada bulan Mei 2011, kebanyakan dari mereka menggunakan Topical Theme, terutama Unmarked Topical

Keragaman, efektivitas, dan perilaku kunjungan serangga penyerbuk pada tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.. Bogor (ID): Institut Pertanian

Fleksibilitas bahan baku diukur melalui tiga tahapan. Tahapan pertama fleksibel dilihat dari kecepatan proses transformasi melinjo menjadi emping dibutuhkan

Bidang dan Kegiatan Usaha Perdagangan batubara dan pertambangan batubara melalui Anak Perusahaan pemegang 12 (dua belas) Izin Usaha Pertambangan pada Wilayah IUP di Provinsi

Analisis Asosisasi Daun Sang dengan Pinanga speciosa.. Frekuensi hadirnya

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah penerapan metode bermain peran dalam pembelajaran IPS kelas V SD dapat meningkatkan motivasi belajar

Mengat ur propert ies bean at au m engat ur variabel ke dalam scope yang berbeda m em bukt ikan bahwa fungsi dapat di refact or disuat u t em pat dan t idak baik dengan dom

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH NUSA TENGGARA BARAT BIRO PERENCANAAN UMUM DAN ANGGARAN. DATA DIKJUR/PELATIHAN SATKER BIRO RENA SEMESTER II