• Tidak ada hasil yang ditemukan

Characterization of Physicochemical Properties of Nanocalcium Extracted from Tilapia (Oreochromis niloticus) Bone

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Characterization of Physicochemical Properties of Nanocalcium Extracted from Tilapia (Oreochromis niloticus) Bone"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL EKSTRAKSI DARI TULANG IKAN NILA

(

Oreochromis niloticus

)

VANESSA NATALIE JANE LEKAHENA

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Karakterisasi Sifat Fisikokimia Nanokalsium Hasil Ekstraksi dari Tulang Ikan Nila (Oreochromis niloticus) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, April 2013

(4)

RINGKASAN

VANESSA NATALIE JANE LEKAHENA. Karakterisasi Sifat Fisikokimia Nanokalsium Hasil Ekstraksi dari Tulang Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Dibimbing oleh RIZAL SYARIEF, DIDAH NUR FARIDAH dan ROSMAWATY PERANGINANGIN.

Pemanfaatan tulang ikan sebagai sumber mineral seperti kalsium dan fosfor merupakan upaya untuk meningkatkan nilai ekonomis dari limbah tulang itu sendiri. Kalsium dan fosfor adalah senyawa penting yang berperan penting dalam proses metabolisme serta manfaat bagi kesehatan. Kalsium umumnya tersedia dalam ukuran mikro (µm) yang dalam sistem metabolisme tubuh penyerapannya hanya mencapai 50% dari total kalsium yang dikonsumsi sehingga alternatif terbaik untuk meningkatkan penyerapannya yaitu dengan memperkecil ukuran dalam nano (nm) menjadi nano kalsium dan salah satu cara untuk memperkecil ukuran dengan menggunakan milling.

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan nanokalsium dari tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) melalui tahapan ekstraksi menggunakan jenis pelarut yang berbeda yang dilanjutkan dengan proses milling serta mempelajari karakterisasi perubahan sifat fisikokimianya.

Penelitian ini dilakukan dalam 3 tahapan utama yaitu 1) persiapan bahan baku; 2) ekstraksi nanokalsium dari tulang ikan dan 3) karakterisasi sifat fisikokimia sampel nanokalsium.

Proses persiapan bahan baku dilakukan dalam beberapa tahapan proses seperti pencucian, perebusan, pengeringan dan pengecilan ukuran, selanjutnya dilakukan proses ekstraksi untuk melunakkan dan merubah struktur tulang sehingga memudahkan proses milling. Proses ekstraksi dilakukan dengan 4 metode ekstraksi, yaitu akuades (sampel A), NaOH (sampel B), NaOH dilanjutkan dengan HCl (sampel C) dan HCl (sampel D), yang dilanjutkan dengan proses milling menjadi nanokalsium sebelum dikarakterisasi, dengan menggunakan bahan baku (sampel BB) sebagai kontrol. Karakteristik fisikokimia yang dilakukan meliputi: rendemen, derajat putih, ukuran partikel, proksimat, kalsium dan fosfor, serta gugus fungsi, morfologi permukaan dan struktur kristal sampel.

Hasil analisis fisikokimia sampel menunjukkan bahwa sampel dengan sifat fisikokimia yang terbaik adalah sampel C, karena memiliki ukuran partikel kecil (145.50 nm) dan derajat putih (93.72%) atau memenuhi standar derajat putih kalsium komersil, dan rendah akan kadar air, protein dan lemak, tetapi tinggi kadar abu, kalsium dan fosfor dengan rasio Ca/P = 1.87. Hasil yang diperoleh adalah sifat kalsium yang mendekati sifat hidroksiapatit, sehingga jika diaplikasikan dalam bahan pangan memiliki sifat kelarutan dan bioavailabilitas yang baik.

(5)

Analisis menggunakan SEM (Scanning Electron Microscopy) menunjukkan adanya perubahan morfologi pada sampel hasil ekstraksi sebagai akibat dari proses ekstraksi dan jenis pelarut yang digunakan. Ekstraksi dengan larutan asam mengakibatkan morfologi sampel menjadi lebih berporos dan tajam, sedangkan ekstraksi menggunakan larutan basa mengakibatkan permukaan sampel menjadi lebih datar, dan ekstraksi menggunakan air tidak mempengaruhi morfologi permukaan bubuk tulang ikan nila.

Hasil analisis menggunakan EDS (Energy Dispersive X-Ray Spectroscopy) menunjukkan terdapat 4 unsur utama dalam semua sampel yaitu karbon (C), oksigen (O), fosfor (P) dan kalsium (Ca). Jenis pelarut mempengaruhi persen massa unsur sampel. Ekstraksi dengan larutan asam mengakibatkan meningkatnya persen massa fosfor dan menurunkan persen massa karbon dan kalsium.

(6)

SUMMARY

VANESSA NATALIE JANE LEKAHENA. Characterization of Physicochemical Properties of Nanocalcium Extracted from Tilapia (Oreochromis niloticus) Bone. Under direction of RIZAL SYARIEF, DIDAH NUR FARIDAH and ROSMAWATY PERANGINANGIN.

The utilization of fish bone as minerals source such as calcium and phosphorus is an effort to increase the economic value of waste fish bones. Calcium and phosphorus are essential compounds which play an important role in metabolic processes as well as health benefits. Generally, calcium is available in micro size, which is absorbed in the metabolic system at 50% of total calcium intake then the best alternative to improve absorption is reducing the size in nano (nm) so become nanocalcium, by milling process.

The research aimed to perform the extraction of nanocalcium from tilapia (Oreochromis niloticus) bones by using different types of solvents, followed by milling process and study the characterization of physicochemical changes.

The research was conducted in three main phases: 1) raw material characterized, using raw materials (sample BB) as a control. Physicochemical characteristics that observed are include yield, whiteness degree, particle size, proximate, calcium and phosphorus, functional groups, morphology surface and crystal structure of the sample.

Physicochemical analyzed that sample C is the sample with best character because has smaller particle size (145.50 nm) and the whiteness degree (93.72%) close to commercial standards of whiteness calcium as well as low of moisture, protein and fat content while ash, calcium and phosphorus content are high with ratio of Ca/P = 1.87. Calcium obtained is close to the hydroxyapatite characteristic so aplicate it in food has good properties mainly related to its solubility and bioavailability.

Absorption peaks of sample revealed by FTIR (Fourier Transform Infrared) identified that phosphate (PO43-) group indicated as the symmetric bending, symmetric stretching, asymmetric stretching, and asymmetric bending vibrations. Absorption band of carbonate (CO32-) group indicated the apatite carbonate type A and B.

(7)

flatter, while extraction using water did not change the surface morphology of tilapia bone powder.

The result of EDS (Energy Dispersive X-ray Spectroscopy) analysis showed that sample consist of 4 main elements such as carbon (C), oxygen (O), phosphorus (P) and calcium (Ca). The type of solvent affects the mass percent of there elements. Extraction using acid solution was increased mass percent of phosphorus and decreased mass percent of carbon and calcium.

XRD (X-Ray Diffraction) analysis showed crystalline phase in the sample form carbonate apatite either type A or B and hydroxyapatite [Ca5(PO4)3(OH)]. Samples performed crystalline and amorphous phase that indicated by the degree of crystallinity about 71.4-78.4% and the size of the formed crystals at 2 ≤

25.92 its range between 156.44-430.69 nm.

(8)
(9)

KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA NANOKALSIUM

HASIL EKSTRAKSI DARI TULANG IKAN NILA

(

Oreochromis niloticus

)

VANESSA NATALIE JANE LEKAHENA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)

Judul : Karakterisasi Sifat Fisikokimia Nanokalsium Hasil Ekstraksi dari Tulang Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

Nama : Vanessa Natalie Jane Lekahena NIM : F251090041

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Rizal Syarief, DESS Ketua

Dr Ir Didah Nur Faridah, M.Si Anggota

Prof (R) Dr Ir Rosmawaty Peranginangin, MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Pangan

Dr Ir Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)
(13)

PRAKATA

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas bimbingan, kasih dan karunia-Nya, termasuk kesempatan untuk menyelesaikan pendidikan jenjang S-2 di PS Ilmu Pangan dengan tesis berjudul “Karakterisasi Sifat Fisikokimia Nanokalsium Hasil Ekstraksi dari Tulang Ikan Nila (Oreochromis niloticus)”. Satu artikel terkait dengan penelitian ini yang telah dikirim untuk publikasi ke Jurnal Teknologi dan Ilmu Pangan dengan judul “Karakterisasi Fisikokimia Nanokalsium Hasil Ekstraksi Tulang Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

Menggunakan Metode Basa dan Asam”

Awal masa perkuliahan, penelitian hingga tahap penyelesaian studi dilewati atas bimbingan, bantuan, perhatian dan dukungan yang telah diberikan maka patutlah penulis mengucapkan terima kasih dan perhargaan kepada yang terhormat:

1. Ketua komisis pembimbing: Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS.

2. Anggota komisi pembimbing: Dr. Didah Nur Faridah, S.TP, M.Si dan Prof. (R) Dr. Ir. Rosmawaty Peranginangin, MS.

3. Ketua PS Ilmu Pangan: Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc.

4. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional – Beasiswa BPPS.

5. Rektor Universitas Muhammadiyah Maluku Utara dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, atas kesempatan dan rekomendasi yang diberikan untuk melanjutkan studi, serta bantuan biaya studi.

6. Pimpinan dan staf Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, khususnya kepada Ir. Murniyati, M.Si yang memberikan kesempatan untuk ikut dalam proyek penelitian pemanfaatan limbah hasil perikanan.

7. Teman-teman kuliah di PS Ilmu Pangan khususnya IPN 2009.

8. Papa Atjab (alm) dan mama Cici (alm) yang tak sempat melihat dan merasakan kebahagian ini. Ketiga adik terkasih, Maggyo Giovedy Lekahena, Aretha Viona Passal/Lekahena dan Mirella Patricia Tamaela/Lekahena, beserta dengan keluarga, yang telah memberikan bantuan moril maupun material.

Tesis ini masih jauh dari kata sempurna tetapi penulis berharap karya ilmiah ini dapat bermanfaat terutama dalam memahami proses ekstraksi dan karakterisasi nanokalsium.

Bogor, April 2013

(14)
(15)

DAFTAR ISI

Keunggulan dan Manfaat Teknologi Nano 15

3. METODOLOGI PENELITIAN

Ekstraksi Nanokalsium Tulang Ikan Nila 27

Karakterisasi Sifat Fisikokimia Bahan Baku dan Nanokalsium 29

Rendemen 29

Derajat Putih 30

Ukuran Partikel 31

Analisis Proksimat 32

Analisis Kalsium dan Fosfor 34

Analisis Gugus Fungsi Menggunakan FTIR 35

Analisis Morfologi Menggunakan SEM/EDS 37

Karakterisasi Kristal Menggunakan XRD 39

5. SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 43

Saran 43

DAFTAR PUSTAKA 45

(16)

DAFTAR TABEL

1. Komposisi proksimat dan total kalori 5 jenis ikan nila 6 2. Komposisi mineral dan total kalori 5 jenis ikan nila 6 3. Komposisi proksimat, energi dan mineral tepung tulang ikan nila 7

4. Pangan sumber kalsium dan bioavaibilitasnya 8

5. Rekomendasi asupan kalsium terhadap beberapa kelompok umur 10

6. Kode sampel 21

7. Data limbah dan perubahannya selama proses persiapan bahan baku 27

8. Hasil analisis fisik sampel 30

9. Komposisi proksimat nanokalsium tulang ikan nila, kalsium tulang

ikan cod dan salmon 32

10. Kadar kalsium dan fosfor sampel 34

11. Peta absorpsi FTIR sampel 36

12. Hasil analisis unsur sampel menggunakan EDS 39

13. Puncak-puncak profil XRD sampe 40

(17)

DAFTAR GAMBAR

1. Diagram alir tahapan penelitian 18

2. Diagram alir persiapan bahan baku 19

3. Diagram alir ekstraksi dan karakterisasi nano kalsium 20

4. Spektrum FTIR sampel 37

5. Mikrograf SEM sampel 38

(18)
(19)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Data limbah dan perubahannya 51

2. Ikan nila (Oreochromis niloticus) 51

3. Kondisi limbah tulang ikan nila 51

4. Proses perebusan limbah tulang ikan nila 52

5. Kondisi bahan baku tulang ikan nila 52

6. Metode ekstraksi kalsium 53

7. Hasil pengukuran partikel bahan baku 53

8. Hasil pengukuran partikel sampel A 54

9. Hasil pengukuran partikel sampel B 54

10. Hasil pengukuran partikel sampel C 55

11. Hasil pengukuran partikel sampel D 55

12. Hasil analisis proksimat dan mineral sampel 56

13. Hasil uji one-way ANOVA derajat putih sampel 56

14. Hasil uji one-way ANOVA kadar air sampel 56

15. Hasil uji one-way ANOVA kadar abu sampel 56

16. Hasil uji one-way ANOVA kadar protein sampel 56

17. Hasil uji one-way ANOVA kadar lemak sampel 57

18. Hasil uji one-way ANOVA kalsium 57

19. Hasil uji one-way ANOVA fosfor 57

20. Spektrum FTIR bahan baku 57

21. Spektrum FTIR sampel A 58

22. Spektrum FTIR sampel B 58

23. Spektrum FTIR sampel C 59

24. Spektrum FTIR sampel D 59

25. Mikrograf SEM bahan baku 60

26. Analisis EDS bahan baku 60

27. Mikrograf SEM sampel A 61

35. Profil difraktogram bahan baku 65

36. Profil difraktogram sampel A 65

37. Profil difraktogram sampel B 66

38. Profil difraktogram sampel C 66

(20)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penanganan limbah industri pengolahan hasil ikan merupakan salah satu permasalahan dalam industri pengolahan perikanan. Masalah limbah ini harus ditangani dan diatasi dengan baik dan terencana sehingga dapat mengurangi biaya yang harus dikeluarkan serta menghindari terjadinya pencemaran lingkungan.

Produksi tahunan ikan nila dunia adalah sekitar 1 500 000 ton atau senilai 1.8 miliar dolar US, hampir sama dengan total nilai produksi tahunan ikan salmon dan trout (Hemung 2013). Pengolahan ikan nila dalam bentuk fillet ikan yang dilakukan oleh P.T. Aqua Farm di Semarang, Jawa Tengah, menghasilkan limbah tulang ikan sebanyak 4500 kg per hari (10% dari total produksi harian sebesar 45 ton)1 dan belum dapat diolah serta dimanfaatkan untuk menjadi produk yang bernilai ekonomis.

Pemanfaatan tulang ikan nila sebagai sumber mineral terutama kalsium dan fosfor merupakan upaya peningkatan nilai ekonomis limbah tulang ikan, karena selama ini pemanfaatan tulang ikan tersebut masih terbatas pada pembuatan tepung tulang untuk pakan ternak atau dibuang sehingga menimbulkan masalah lingkungan, padahal tulang ikan nila memiliki kandungan mineral seperti kalsium dan fosfor yang bermanfaat.

Fraksi limbah padatan tulang ikan berkisar 10-15% dari berat ikan secara keseluruhan tidak termasuk kulit, dan merupakan sumber protein yang potensial, asam lemak tak jenuh esensial, vitamin, antioksidan, asam amino dan mineral (60-70%) dalam bentuk garam anorganik terutama kalsium fosfat, kreatin fosfat dan hidroksiapatit (Kim dan Mendis 2006; Malde et al. 2010; Huang et al. 2011).

Kalsium merupakan mineral yang paling banyak dalam tubuh yaitu > 99% dari tubuh manusia atau sekitar 1000-1200 g mengandung kalsium yang terkonsentrasi pada tulang dalam bentuk kalsium fosfat dan hidroksiapatit [Ca10(OH)2(PO4)6] dalam bentuk kristal yang melekat pada kolagen fibril. Selain

berperan penting dalam kekakuan dan kekuatan tulang, kalsium juga berperan penting dalam sebagian besar proses metabolisme, termasuk proses pembekuan darah, adhesi sel, kontraksi otot, sistem hormon, pelepasan neurotransmitter dan metabolisme glikogen, serta proliferasi dan diferensiasi sel (WHO 2006; Malde et al. 2010; Huang et al. 2011).

Beberapa kajian mengenai pemanfaatan tulang ikan dan potensi aplikasinya sebagai sumber kalsium alami telah dilakukan, diantaranya kalsium dalam tulang ikan cakalang dapat diekstrasi dengan teknik deproteinasi (Murtiningrum 1997); limbah tulang ikan patin sebagai alternatif sumber kalsium dalam produk mi kering (Mulia 2004); pemanfaatan tepung tulang ikan patin sebagai sumber kalsium dan fosfor dalam pembuatan biskuit (Kaya et al. 2007); limbah tulang ikan tuna sebagai sumber kalsium dengan metode hidrolisis protein (Trilaksani et al. 2006); tepung tulang ikan kakap merah dalam susu kedelai (Dongoran et al. 2008), dari hasil kajian-kajian tersebut diketahui bahwa limbah tulang ikan

1

(21)

berpotensi sebagai sumber kalsium alami yang dapat difortifikasi pada produk pangan untuk mencukupi asupan kalsium harian.

Produk pangan yang difortifikasikan dengan kalsium tulang akan menghasilkan produk yang kaya kalsium, untuk itu kalsium pada tulang harus diubah menjadi bentuk yang dapat dicerna melalui perubahan struktur matriks tulang dengan proses pelunakan yang dapat dilakukan dengan menggunakan metode ekstraksi dengan air panas dan larutan asam panas (Kim dan Mendis 2006). Penggunaan larutan asam (HCl, asam asetat, asam sitrat) dalam ekstraksi nanokalsium (Suptijah et al. 2010b) dan ekstraksi menggunakan NaOH 3% dalam pembuatan tepung tulang ayam sebagai sumber kalsium (Sittikulwitit et al. 2004). Penentuan efesiensi dan efektifitas keberhasilan fortifikasi kalsium dalam bahan pangan terhadap proses penyerapannya maka dilakukan analisis bioavailabilitas kalsium baik secara in vitro dan in vivo.

Analisis bioavailabilitas kalsium digunakan untuk menjelaskan proses fisikokimia dan fisiologis yang mempengaruhi penyerapan fraksional kalsium dalam tubuh sehingga mineral tersebut dapat digunakan oleh tubuh untuk menjalankan fungsi metabolisme (Trilaksani et al. 2006). Bioavailabilitas merupakan pertimbangan penting untuk mengembangkan strategi guna mencegah defisiensi kalsium melalui peningkatan ketersedian kalsium dalam bahan pangan. Faktor-faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas kalsium, bentuk kalsium yang digunakan untuk fortifikasi dan suplemen, serta metode yang digunakan untuk menjelaskan dan menilai bioavailabilitas kalsium, merupakan gambaran fortifikasi dan alternatif pemanfaatan kalsium untuk pemenuhan kebutuhannya (Fairweather-Tait dan Teucher 2002).

Pengujian bioavailabilitas kalsium tulang ikan yang dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya antara lain, kalsium tulang ikan salmon 21.9%, cod 22.5% dan dibandingkan dengan suplemen kalsium (CaCO3) 27.4% sebagai

kontrol (Malde et al. 2010), sedangkan bioavaibilitas kalsium hasil ektraksi dari tulang ikan lele, salmon dan kakap yang difortifikasi pada roti tawar putih menggunakan metode in vitro adalah 34.5-35.7% (Luu dan Nguyen 2009). Kalsium dalam bentuk tepung tulang ikan tuna memiliki penyerapan sebesar 0.86% atau 337.46 mg/100 g tepung tulang ikan (Trilaksani et al. 2006), sedangkan bioavailabilitas kalsium tulang ikan nila yaitu 9.38% atau 116.56 mgL-1, dikatakan pula bahwa penyerapannya lebih rendah jika dibandingkan kalsium kontrol tetapi dapat meningkatkan aktifitas transglutaminase (tTGase) dalam proses metabolisme (Hemung 2013).

Mineral kalsium umumnya tersedia dalam bentuk mikro, yang diduga dalam proses metabolisme tubuh terserap hanya mencapai 50% dari total kalsium yang dikonsumsi (Guyton 1987), sehingga alternatif terbaik untuk meningkatkan penyerapan kalsium secara maksimal adalah dengan membentuk nanokalsium (Suptijah et al. 2012). Nanokalsium merupakan mineral predigestif yang sangat efiesien dalam memasuki sel tubuh karena ukuran yang super kecil menyebabkan mudah memasuki reseptor sehingga dapat terabsorpsi secara cepat dan sempurna ke dalam tubuh (Park et al. 2007).

(22)

3

Park et al. (2007) menjelaskan bahwa penggunaan nanokalsium sebagai suplemen dalam susu yang diujikan pada tikus, lebih efektif dalam meningkatkan metabolisme kalsium dan massa tulang tikus tersebut, hal ini membuktikan bahwa ukuran partikel kalsium mempengaruhi tingkat penyerapannya, seperti yang dijelaskan oleh Chen et al. (2010) bahwa ukuran partikel merupakan faktor penting yang menjadi pertimbangan dalam ilmu formulasi ketika berhubungan dengan formulasi sistem disperse pangan.

Sintesis nanomaterial dapat dilakukan secara top down dan bottom up. Top down merupakan pembuatan struktur nano dengan memperkecil ukuran material, sedangkan bottom-up adalah dengan cara merangkai atom atau molekul dan menggabungkannya melalui reaksi kimia untuk membentuk nano struktur (Greiner 2009). Metode top down adalah penggerusan dengan alat milling, sedangkan teknologi bottom up yaitu menggunakan teknik sol-gel, presipitasi kimia, dan aglomerasi fasa gas (Dutta dan Hofmann 2005) dan penelitian ini menggunakan metode top down melalui proses penepungan.

Pemanfaatan teknologi nano untuk menghasilkan nanokalsium yang dilakukan oleh Suptijah et al. (2010a) dengan mengisolasi dan karakterisasi mineral crustacea sebagai sumber potensial nanokalsium dengan perlakuan lama waktu perendaman, tahapan ekstraksi dengan berbagai konsentrasi HCl dan lama waktu ekstraksi menjelaskan bahwa kondisi perendaman selama 1 hari, menggunakan konsentrasi HCl 1.0 N dan waktu ekstraksi 60 menit merupakan tahapan proses yang paling efisien dalam pembuatan nanokalsium dengan rendemen 61.7%. Nanokalsium dapat dimanfaatkan dalam berbagai produk dan fortifikasi pangan sebagai bentuk pangan fungsional yang bermanfaat untuk kesehatan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan nanokalsium dari tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) melalui tahapan ekstraksi menggunakan jenis pelarut yang berbeda yang dilanjutkan dengan proses milling serta mempelajari karakterisasi perubahan sifat fisikokimianya.

Manfaat Penelitian

1. Sumber informasi pemanfaatan limbah hasil produksi perikanan khususnya limbah tulang ikan nila sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomis.

2. Kandungan kalsium tulang ikan nila dapat dimanfaatkan sebagai sumber kalsium alami untuk memenuhi kebutuhan asupan kalsium harian karena memiliki potensi sumber daya yang besar dan bioavailabilitas yang baik. 3. Kalsium tulang ikan dalam bentuk nanokalsium mampu meningkatkan

(23)

Hipotesis

(24)

TINJAUAN PUSTAKA

Ikan Nila

Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan jenis ikan konsumsi air tawar dengan bentuk tubuh memanjang dan pipih kesamping dan warna putih kehitaman. Ikan nila adalah jenis ikan ekonomis penting dalam ekologi daerah tropis dan sub tropis termasuk Mesir. Ikan ini berasal dari Sungai Nil dan danau-danau sekitarnya dan merupakan spesies yang paling populer dari ikan bertulang di Afrika. Hal ini disebabkan ikan ini memiliki beberapa sifat yang menguntungkan yaitu mampu bertoleransi terhadap kualitas air yang buruk, berbagai macam makanan, plastisitas dalam pertumbuhan, daging ikan yang tebal dan rasa yang enak dan mampu untuk mengubah sampah organik dan domestik menjadi protein kualitas tinggi. Sifat yang menguntungkan lainnya yaitu waktu pemijahan yang panjang dan biologi reproduksi dengan waktu generasi pendek (Kariman et al. 2008).

Saat ini ikan nila telah tersebar ke negara-negara di lima benua yang beriklim tropis dan subtropis. Sedangkan di wilayah yang beriklim dingin, ikan nila tidak dapat hidup baik (Priatman 2000). Bibit ikan didatangkan ke Indonesia secara resmi oleh Balai Penelitian Perikanan Air Tawar pada tahun 1969. Setelah melalui masa penelitian dan adaptasi, barulah ikan ini disebarluaskan kepada petani di seluruh Indonesia. Nila adalah nama khas Indonesia yang diberikan oleh Pemerintah melalui Direktur Jenderal Perikanan.

Klasifikasi ikan nila adalah sebagai berikut: Kelas : Osteichthyes

Sub-kelas : Acanthoptherigii

Crdo : Percomorphi

Sub-ordo : Percoidea Famili : Cichlidae Genus : Oreochromis

Spesies : Oreochromis niloticus.

Ciri-ciri nila adalah bentuk badan pipih kesamping memanjang; mempunyai garis vertikal sepanjang tubuh 9-11 buah; garis-garis pada sirip ekor berwana merah sejumlah 6-12 buah; pada sirip pungung terdapat garis-garis miring; dan mata tampak menonjol dan besar, tepi mata berwarna putih. Nila merupakan ikan sungai atau danau yang cocok dipelihara di perairan tawar yang tenang, kolam dapat berkembang pesat pada perairan payau misalnya tambak.

Produksi perikanan budidaya ikan nila meningkat sebesar 23.96% per tahun dimana produksi pada tahun 2004 sebesar 7116 ton menjadi 220 900 ton pada tahun 2008. Pada tingkat dunia Indonesia berada pada peringkat empat negara produsen nila terbesar setelah Cina, Mesir dan Filipina (DKP 2009).

(25)

spesies ikan dan memberikan kontribusi untuk pemahaman variabilitas dalam kualitas daging dari spesies yang berbeda (Elagba et al. 2010).

Komponen zat gizi ikan air tawar berbeda antara spesies, jenis kelamin, ukuran, musim pemijahan, dan sebaran geografis (Zenebe et al. 1998). Selain itu, proses pasca panen dan pengolahan akan mempengaruhi umur simpan ikan (Clement dan Lovelli 1994). Pada Tabel 1 dan Tabel 2 menunjukkan komposisi proksimat dan komposisi mineral 5 species ikan nila.

Tabel 1 Komposisi Proksimat (g/100g berat kering) dan total kalori dari 5 jenis ikan nila yang komersil (Elagba et al. 2010)

Parameter L. niloticus B. Bayad O. niloticus S. schall T. lineatus

Total lipid (TL) 6.8 13.2 5.3 17.3 1.8

Kandungan mineral ikan bergantung pada spesies, jenis kelamin, siklus biologis dan bagian tubuh yang dianalisis. Selanjutnya dijelaskan bahwa faktor ekologis seperti musim, tempat pengembangan, ketersediaan jumlah nutrisi, suhu dan salinitas air juga mempengaruhi kandungan mineral (Martinez et al. 1998). Umumnya hampir sama berbagai spesies ikan dibandingkan dengan makro nutrien yang mempunyai variabilitas yang lebih besar (Tee et al. 1989).

Tabel 2 Komposisi mineral (ppm, µg/g berat kering) dan rasio (%) dari 5 jenis ikan nila komersil (Elagba et al. 2010)

(26)

7

Tulang Ikan

Tulang umumnya terdiri dari air, materi anorganik dan anorganik, masing-masing diperkirakan 15, 55 dan 30% (Aiko 1991). Total dari susunan tubuh ikan 10% adalah limbah tulang ikan yang memiliki kadar kalsium yang tinggi sekitar 14% dalam bentuk kalsium fosfat (Subasinghe 1996). Unsur utama dari tulang ikan adalah kalsium, fosfor dan karbonat, sedangkan yang terdapat dalam jumlah kecil yaitu magnesium, sodium, stronsium, fitat, klorida, hidroksida dan sulfat (Halver 1989). Abu dari tulang ikan terdiri dari kalsium sebanyak 34-36% dalam bentuk kalsium fosfat (Hamada et al. 1995). Beberapa mineral pada ikan merupakan unsur pokok dari jaringan keras seperti tulang, sirip dan sisik. Persentase berat kalsium pada ikan secara umum adalah 0.1-1% dengan rasio kalsium dan fosfor adalah 1.6:0.7 (Lovell 1989).

Tabel 3 Komposisi proksimat (g/100 g), energi (Kcal/100 g) dan mineral (mg/100 g) tepung tulang ikan nila (Petenuci et al 2008)

Komposisi Proksimata

a nilai rata-rata dan SD dengan 3 kali ulangan; b kandungan nitrogen (N x 6.25)

Tulang merupakan jaringan pengikat yang sangat khusus bentuknya. Tulang dibentuk dalam dua proses yang terpisah, yaitu pembentukan matriks dan penempatan mineral kedalam matriks tersebut. Tiga jenis komponen seluler terlibat didalamnya dengan fungsi yang berbeda-beda yaitu osteoblast dalam pembentukan tulang, osteocyte dalam pemeliharaan tulang, dan osteoclast dalam penyerapan kembali tulang. Osteoblast membentuk kolagen tempat mineral mineral melekat. Mineral utama di dalam tulang adalah kalsium dan fosfor, sedangkan mineral lain terdapat dalam jumlah kecil yaitu natrium, magnesium dan flour (Winarno 2008).

Kalsium

Kalsium merupakan makro elemen yang banyak terdapat pada kerangka dan gigi (99%), sisanya (1%) pada syaraf, otot dan darah. Sebagai komponen struktural, kalsium dan fosfor pada tubuh memiliki peranan dalam pembentukan dan perkembangan tulang dan gigi dan sebagai komponen metabolik, proses biokimia dan fisiologis termasuk fungsi normal otot, pembekuan darah, transfer ion anorganik melintasi membran, sekresi hormon, pelepasan enzim pada sistem selular, transduksi signal, dan fungsi reproduksi (Gaman dan Sherrington 1990; Sittikulwitit et al. 2004).

(27)

(Phiraphinyo et al. 2006). Ion kalsium pada permukaan tulang dapat berinteraksi dengan ion pada cairan tubuh sehingga berperan sebagai proses pertukaan ion. Sifat penting ini berhubungan peranan tulang sebagai sumber pertukaran kalsium untuk membantu mempertahankan konsentrasi konstan kalsium dalam darah (Gurr 1999).

Di dalam darah kalsium berada dalam tiga bentuk, yaitu : (1) kalsium yang terikat dengan protein (protein bound calcium atau nondiffusible calcium). Dalam keadaan ini kalsium sebagian besar berikatan dengan albumin dan sebagian kecil lagi berikatan dengan globulin. (2) Dalam bentuk ion (Ca2+), dan (3) Kalsium

kompleks yaitu yang berikatan dengan fosfat, bikarbonat atau sitrat (Piliang dan Djojosoebagio 2006).

Pangan Sumber Kalsium

Sumber kalsium utama adalah susu dan hasil olahan susu seperti keju. Ikan yang dikonsumsi dengan tulang, termasuk ikan kering serta tepung ikan yang dibuat dari keseluruhan tubuh ikan termasuk tulangnya merupakan sumber kalsium yang baik. Serealia seperti kacangan dan hasil olahan kacang-kacangan seperti tahu, tempe dan sayuran hijau merupakan sumber kalsium yang baik juga, tetapi bahan makanan ini banyak mengandung zat yang dapat menghambat penyerapan kalsium seperti serat, fitat dan oksalat (Almatsier 2002; (Guthrie 1975). Bahan pangan yang mengadung kalsium seperti pada Tabel 3.

Kalsium pada ikan terutama pada tulang membentuk kompleks dengan fosfor dalam bentuk apatit atau trikalsiumfosfat (Lovell 1989). Tulang ikan tinggi kandungan kalsium atau sekitar 2% (20 g/kg berat kering) dari berat total ikan (Malde et al. 2010). Bentuk ini terdapat pada abu tulang yang dapat diserap dengan baik oleh tubuh yaitu berkisar 60-70% (Lutwak 1982).

Tabel 4 Pangan sumber kalsium dan bioavailabilitasnya

Pangan

Sumber : Weaver dan Heany (1999)

Defisiensi Kalsium

(28)

9

sumber pangan lainnya umumnya relatif kecil. Efisiensi penyerapan kalsium meningkat jika diet yang dilakukan rendah kalsium. Penyerapan kalsium secara homeostatik bersamaan dengan penyerapan vitamin D. Inhibitor penyerapan kalsium dalam diet adalah oksalat dan asam fitat (WHO 2006).

Kemampuan penyerapan kalsium pada manusia akan menurun seiring bertambahnya usia karena itu sangatlah penting memiliki asupan kalsium yang cukup pada proses penuaan. Kebutuhan kalsium pada setiap individu dan kelompok tertentu bervariasi, kurangnya asupan kalsium diakibatkan karena pola makan dan kebiasan mengkonsumsi makanan tertentu (Gerstner 2003).

Kurangnya asupan kalsium dari makanan merupakan salah satu faktor dalam penyebab penyakit tertentu (Sittikulwitit et al. 2004). Konsumsi kalsium yang rendah bisa menyebabkan defisiensi dan bila berlanjut dapat mengakibatkan rickets, tetany, osteomalacia (tulang rapuh), dan osteoporosis yaitu kegagalan pertumbuhan tulang (Mervyn 1989).

Osteoporosis telah menjadi penyakit degeneratif penting di dunia terutama di Asia. Patah tulang akibat osteoporosis dapat terjadi pada salah satu tulang akan tetapi umumnya akan terjadi pada pinggul, tulang belakang tulang belakang, dan pergelangan tangan (NIH 2001). Patah tulang pinggul merupakan masalah kesehatan utama pada masyarakat di Asia bahkan diperkirakan pada abad berikutnya, 50% dari kasus patah tulang pinggul di dunia akan terjadi di Asia (Sittikulwitit et al. 2004). Peluang terjadi patah tulang pinggul pada usia 50 tahun dengan persentasi 14% pada wanita dan 5-6% pada pria. Masalah patah tulang menjadi masalah bagi wanita pada usia diakhir 70an hingga 80an. 80% wanita akan mengalami masalah patah tulang dan pengapuran pada usia diatas 75 tahun (NIH 2001).

Rekomendasi Asupan Kalsium

Referensi diet asupan kalsium seperti terlihat pada Tabel 3. ditentukan dengan mempertimbangkan penelitian terbaru dalam pencegahan osteoporosis. Rekomendasi ini ditetapkan pada tingkat yang dipercaya dapat memberikan manfaat maksimal untuk optimalisasi kepadatan tulang. Meskipun penting untuk mengkonsumsi kalsium yang cukup untuk memenuhi rekomendasi yang ditetapkan akan tetapi konsumsi kalsium yang berlebihan dapat membahayakan organ tubuh. Asupan kalsium yang direkomendasikan pada table tersebut merupakan toleransi konsumsi maksimum. Tujuan rekomendasi tersebut bukan untuk asupan, melainkan merupakan jumlah yang terbaik untuk menjaga kesehatan tulang (Digitale et al. 2008).

Asupan kalsium selama pertumbuhan sangat penting untuk pencapaian massa tulang yang dapat mengurangi risiko osteoporosis. Selain itu, asupan kalsium yang cukup telah dikaitkan dengan mengurangi risiko hipertensi dan kanker usus besar (Sittikulwitit et al. 2004). Meningkatkan komsumsi kalsium dapat menurunkan kolesterol dan kolesterol LDL pada tikus jantan (Malekzadeh et al. 2007).

(29)

sayuran (brokoli, kol dan polong-polongan), tahu yang di proses dengan kalsium sulfat, ikan serta merubah pola konsumsi yang rendah kalsium. Alternatif lainnya yaitu menggunakan suplemen kalsium atau dengan mengkonsumsi produk pangan yang difortifikasi dengan kalsium sebagai suatu nilai tambah. Untuk pemenuhan sumber kalsium dan ketersediannya dapat dikategorikan menjadi 2 yaitu bentuk garam anorganik (kalsium karbonat dan kalsium fosfat) dan bentuk garam organik seperti kalsium sitrat, kalsium laktat dan kalsium glukonat (Gerstner 2003; Digitale et al. 2008).

Konsumsi kalsium sebaiknya tidak melebihi 2500 mg sehari karena dapat mengakibatkan hiperkalsemia. Hiperkalsemia dapat menyebabkan hiperkalsiuria yaitu kondisi dimana kadar kalsium dalam urin melebihi 300 mg/hari. Kelebihan kalsium dapat menimbulkan batu ginjal atau gangguan ginjal, disamping itu dapat menyebabkan konstipasi (susah buang air besar). Kelebihan kalsium jarang terjadi akibat konsumsi makanan alami dan biasanya terjadi bila mengkonsumsi suplemen kalsium berupa tablet atau bentuk lain (Almatsier 2002). Rekomendasi asupan kalsium harian berdasarkan kelompok umur seperti terlihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Rekomendasi asupan kalsium terhadap beberapa kelompok umur Kel. Umur, Ibu Hamil dan

7-12 bln 270 Tidak ditetapkan

Anak 1-3 thn 500 2 500 and Nutrition Board, Institute of Medicine. 1997.

(30)

11

asupan harian kalsium oleh Scientific Committee on Food adalah 800 mg/hari (Gerstner 2003).

Bioavailabilitas Kalsium

Bioavailabilitas atau ketersediaan biologis adalah ukuran kuantitatif dari penggunaan nutrisi pada kondisi tertentu untuk menunjang struktur normal organisme serta proses-proses fisiknya (Fox 1988). Bioavailabilitas kalsium dari produk nabati dipengaruhi adanya oksalat dan fitat. Asam oksalat ditemukan dalam jumlah tinggi dalam makanan nabati seperti bayam, coklat atau kakao dan dalam jumlah yang lebih rendah dalam kacang kering, ubi jalar, teh, gandum, kangkung dan kedelai produk (Heaney dan Weaver 1990).

Persentase penyerapan kalsium akan meningkat menjadi 60 kali selama masa pertumbuhan, namun pada orang dewasa yang mengkonsumsi kalsium dalam jumlah yang cukup, penyerapannya akan menurun sebesar 10%. Secara normal penyerapan kalsium berkisar 30% (Allen dan Wood 1994).

Bioavailabilitas adalah kunci penentuan dalam suksesnya fortifikasi. Prioritas bioavailabilitas bukan terhadap identifikasi bentuk kalsium pada perubahan organoleptik produk pangan, tetapi kemampuan penyerapan dan proses homeostatik normal. Pemilihan produk pangan adalah hal yang sama pentingnya untuk keberlangsungan fortifikasi selama dalam kondisi diet yang menguntungkan. Umumnya, kalsium yang digunakan untuk fortifikasi atau suplemen memiliki penyerapan yang baik selama tidak terdapat inhibitor dan strategi nutrisi adalah untuk target utama dalam meningkatkan asupan total kalsium dibandingkan dengan masalah bioavailabilitas (Fairweather-Tait dan Teucher 2002). Agar nutrisi bahan pangan dapat digunakan tubuh, maka nutrisi tersebut harus dapat diserap oleh tubuh terlebih dahulu. Dalam keadaan normal sebanyak 30-50% kalsium yang dikonsumsi diabsorbsi tubuh. Hal ini dikarenakan penyerapan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah:

Zat Organik

Adanya zat organik yang dapat bergabung dengan kalsium dan membentuk garam yang tidak larut. Contoh dari senyawa tersebut adalah asam oksalat dan asam fitat. Asam oksalat dan kalsium membentuk garam yang tidak dapat larut, yaitu kalsium oksalat (Winarno 2008), sehingga mengendap di dalam rongga usus dan tidak dapat diserap ke dalam mukosa (Sediaoetama 2006).

Vitamin D

(31)

Serat Pangan

Serat pangan merupakan komponen tanaman yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan manusia, termasuk didalamnya komponen dinding sel tumbuhan (selulosa, hemiselulosa, pektin, pentosan dan lignin) dan polisakarida intraseluler seperti gum dan musilage (Spiller 2001). Selanjutnya menurut Harland dan Oberleas (2001) serat bersama-sama dengan fitat dan oksalat mengurangi penyerapan kalsium. Serat pangan membatasi bioavailabilitasmineral dengan cara mengikat, mengencerkan dan menjerat mineral dalam serat makanan atau memperpendek waktu transit nutrisi dalam usus (Iodarine at al. 1996). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Urbano dan Goni (2002) menyatakan bahwa jumlah serat tidak berpengaruh terlalu besar pada penyerapan mineral jika dibandingkan dengan jenisnya. Serat tidak larut air menghalangi lebih banyak kalsium daripada serat larut, menurunkan waktu transit bahan pangan selama di usus halus sehingga mengurangi waktu penyerapan kalsium (Blaney et al. 1996).

Protein

Protein bersama-sama dengan lemak, dikategorikan sebagai bahan pangan yang memiliki pengaruh pada bioavailabilitas kalsium. Sumber protein juga mempengaruhi penyerapan kalsium (Allen dan Wood 1994). Protein makanan juga dapat berpengaruh negatif terhadap ketersediaan biologis mineral jika mineral terperangkap dalam protein atau kompleks peptida yang resisten terhadap proteolisis. Situasinya serupa dengan kompleks mineral protein-fitat yang tidak tercerna dengan baik, sehingga penyerapan mineral menurun (Greger 1999). Namun, protein berperan penting dalam penyerapan kalsium ke dalam mukosa usus karena transpor kalsium melalui sel usus dapat terjadi melalui difusi atau dengan calbindin (protein pengikat kalsium). Calbindin berperan sebagai protein transpor untuk mengantarkan kalsium sitoplasma enterosit ke membran basal. Proses ini membutuhkan ATP (Groff dan Gropper 2001).

pH

(32)

13

Fosfor

Fosfor banyak sekali ditemukan baik di hewan maupun tanaman. Unsur ini dijumpai di dalam semua sel tubuh, dalam cairan tubuh dan dalam hampir semua makanan. Dari segi fisiologi, fosfor memegang peranan di dalam proses kontraksi otot, pada pembentukan tulang (osifikasi) dan aktivitas sekretosis. Disamping itu fosfor memegang peranan penting dalam pembentukan fosfat yang sangat diperlukan dalam transformasi energi. Penyebaran fosfor di dalam tubuh dilakukan dengan bantuan peredaran darah dan cairan antar sel (intercellular fluid). Bentuk fosfor yang diserap oleh usus beragam bergantung kepada makanan yang digunakan. Bentuk fosfor yang diserap melalui usus terdiri dari ikatan atau senyawa fosfat anorganik dan fosfat organik. Senyawa-senyawa fosfat ini dibebaskan dari makanan setelah mengalami hidrolisis selama proses pencernaan terjadi (Piliang dan Djojosoebagio 2006).

Proses absorpsi, fosfor dan kalsium saling berpengaruh erat sekali. Proses absorpsi kalsium yang baik diperlukan perbandingan Ca:P dalam hidangan 1:1 sampai 1:3. Selanjutnya menurut Guthrie (1975) batasan bagi rasio perbandingan Ca:P adalah dibawah 1:2. Perbandingan Ca:P lebih besar dari 1:3 akan menghambat penyerapan kalsium, sehingga hidangan yang demikian akan menimbulkan penyakit defisiensi kalsium yaitu rakhitis (Sediaoetama 2006). Jumlah fosfor bahan pangan maupun rasio Ca:P tidak mempengaruhi penyerapan kalsium pada orang dewasa atau bayi dengan berat di bawah normal (Allen dan Wood 1994). Sementara Almatsier (2002) menyatakan bahwa bukti terhadap anggapan adanya pengaruh rasio Ca:P ini belum ada sampai sekarang, dan pada umumnya rasio kalsium : fosfor dalam makanan antara 1:1 dan 1:2.

Ekstraksi Kalsium

Limbah tulang ikan hasil dari proses pengolahan ikan memiliki potensi yang untuk digunakan sebagai sumber kalsium mengingat akan kuantitas dari kalsium yang dihasilkan akan tetapi tulang terlalu keras dan tajam untuk dikonsumsi langsung sehingga perlu adanya upaya untuk menghasilkan kalsium dari tulang ikan sebagai bahan fortifikasi dalam bahan pangan, maka kalsium pada tulang ikan harus diubah bentuknya menjadi bentuk yang dapat dicerna dengan cara pelunakan struktur tulang. Beberapa metode yang digunakan pada penelitian sebelumnya yaitu ekstraksi menggunakan NaOH dengan pemanasan pada suhu dan tekanan tinggi untuk menghilangkan protein, jaringan pengikat dan lemak (Techochatchawal 2009), atau ekstraksi menggunakan air panas dan larutan asam panas (Kim dan Mendis 2006), atau ekstraksi menggunakan metode pemasakan superheated untuk mengurangi hilangnya komponen yang dapat larutdari jaringan tulang dan menghasilkan recovery yang baik dalam waktu singkat (Sittikulwitit et al. 2004), sedangkan untuk ekstraksi kalsium dari tulang ikan salmon dan cod oleh Malde et al. (2010) menggunakan enzim protease dengan pemanasan pada suhu tinggi.

(33)

menurunkan kadar protein dalam tulang hal ini ditunjukkan pada ekstraksi pertama kadar protein tulang ikan 26.20% dan pada ekstraksi keempat menjadi 18.16%, rendemen tepung tulang ikan sebesar 38.7% (Dongoran et al. 2007).

Penggunaan larutan basa juga merupakan salah satu cara yang umumnya digunakan untuk ekstraksi kalsium seperti pada penelitian Peranginangin dan Nurhayati (2011) menggunakan teknik ekstraksi yaitu perlakuan perendaman sampel pada larutan NaOH 0.5 N, 50 C hingga terbentuk ossein, dengan penggantian larutan NaOH selang waktu 6 jam hingga tulang menjadi lunak dan kemudian dinetralisasi menggunakan akuades hingga pH netral. Sampel tulang dihaluskan, kemudian dikeringkan pada suhu 50 C hingga kering, selanjutnya proses pengayakan sehingga diperoleh rendemen kalsium 26.60%, dengan kadar kalsium 8.01% dan fosfat 22.21%. Penggunaan NaOH 3% sebagai pengekstrak juga dilakukan dalam pembuatan tepung tulang ayam, yang kemudian dinetralkan dan dikeringkan pada 100 C dan dihaluskan (Sittikulwitit et al. 2004), sementara Murtiningrum (1997) menggunakan NaOH untuk deproteinasi dalam proses ekstraksi kalsium dari tulang ikan cakalang. Dimana dijelaskan bahwa peningkatan konsentrasi larutan pengekstrak dan lamanya proses ekstraksi cenderung menurunkan rendemen, kondisi ekstraksi terbaik yaitu dengan menggunakan NaOH 1.5 N dengan waktu 20 Jam menghasilkan rendemen 24.27%.

Penelitian tentang “Alternatives in Shrimp Biowaste Processing” yang dilakukan oleh Steven et al. (1998), dimana cangkang udang digunakan untuk pembuatan chitin dan chitosan. Tahap pertama dilakukan proses deproteinasi yaitu cangkang udang dihidrolisis dengan NaOH 4% pada suhu yang tinggi (70-120 C) sehingga protein pada cangkang udang terlepas, penambahan natrium borohidrida (NaBH4) untuk menghindari terjadinya oksidasi produk. Hasil dari

proses ini menghasilkan hidrolisat protein yang dapat dimanfaatkan sebagai bubuk protein yang dapat digunakan dalam pembuatan kue dan suplemen protein selanjutnya fraksi padat diberi perlakukan dengan HCl 4% tujuannya untuk mengubah kalsium karbonat yang tidak larut menjadi kalsium klorida larut dalam bentuk filtrat yang jika dinetralisasi dapat dimanfaatkan sebagai sumber kalsium.

Ekstraksi kalsium tulang ikan madidihang (Thunnus albacares) menggunakan larutan asam asetat dan HCl seperti yang dilakukan oleh Thalib (2009), menghasilkan kalsium 14.94-16.35%, sedangkan ekstraksi nanokalsium yang dilakukan oleh Suptijah et al. (2010b) menggunakan beberapa jenis larutan asam (HCl, asam asetat dan asam sitrat) sebagai larutan pengekstrak menunjukkan ekstraksi terbaik dihasilkan oleh proses ekstraksi menggunakan HCl 1.0 N dengan recovery mencapai 61% atau 24.4 g dari 1 kg berat bersih sampel cangkang udang, sementara asam asetat dan asam sitrat menghasilkan presentasi recovery yang lebih rendah yaitu 35% dan 41%.

(34)

15

bahwa waktu ekstraksi 1.5 jam merupakan perlakuan yang optimal dengan rendemen 8.53% (Khoirunisa 2011).

Teknologi Nano

Teknologi nano didefinisikan sebagai studi tentang fenomena dan manipulasi sistem fisik yang menghasilkan informasi yang signifikan dan pada skala spasial yang dikenal sebagai nano (10-9 m = 1 nm), dan panjangnya tidak melebihi 100 nm (Weiss et al. 2006). Materi nano adalah subtansi kimia atau materi yang dihasilkan atau dipakai pada ukuran yang sangat kecil, yang dikenal dengan skala nano, diperkirakan antara 1-100 nm (Cefic 2012).

Teknologi nano terfokus pada rancangan, karakterisasi dan bentuk struktur biologis dan nonbiologis lebih kecil dari pada 100 nm. Struktur partikel pada skala ini telah terbukti memiliki sifat fungsional. (Weiss et al. 2006; Uskokovic 2007). National Nanotechnology Initiative (2006) mengemukan bahwa teknologi nano berdasarkan pemahaman adalah materi yang berada pada dimensi sekitar 1 sampai 100 nanometer merupakan fenomena unik yang memungkinkan dalam aplikasi baru. Penerapannya dapat meliputi mesin dan teknologi, teknologi nano termasuk didalamnya pendugaan, pengukuran dan pemodelan.

Batasan antara makroskopik, mikroskopik, dan nanoskopik secara fisik tidak terlihat jelas serta bergantung pada efek yang menjadi perhatian. Namun, memperkecil ukuran partikel dari materi di bawah batas tertentu akan menghasilkan materi yang baru yang berubah dari materi awalnya sehubungan dengan: memberi pengaruh pada kristal partikel sehingga mendekati karakteristik fisik yang sesuai sifatnya; peningkatan luas permukaan deteksi dan dampaknya tergantung sifat, dan terbentuknya sifat bahan baru yang mencirikan batas ukuran partikel (Uskokovic 2007).

Keunggulan dan Manfaat Teknologi Nano

Pemanfaatan potensi teknologi nano telah diakui oleh banyak industri dan produk komersial seperti pada bidang mikroelektronik, kedirgantaraan, dan industri farmasi akan tetapi aplikasi nanoteknologi dalam industri pangan masih sangat terbatas. Namun, peningkatan dan penemuan dalam teknologi nano mulai berdampak pada industri pangan dan industri-industri terkait, ini mempengaruhi aspek-aspek penting keamanan pangan untuk sintesis molekul produk pangan baru dan ingredient (Weiss et al. 2006).

(35)

keragaman keamanan hayati persyaratan, dan proses teknologi yang teratur. Empat bidang utama dalam produksi pangan yang menguntungkan dalam pengembangan teknologi nano yaitu: pengembangan pangan fungsional, pengolahan mikro dan nano, pengembangan produk, dan metode serta rancangan instrumen untuk meningkatkan keamanan pangan dan keamanan biologi (Weiss et al. 2006).

(36)

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada Juni 2012 sampai dengan Desember 2012 bertempat di Laboratorium Pengolahan, Laboratorium Kimia dan Laboratorium Instrumen pada Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan (BBP4BPK), Jakarta. Laboratorium Analisis Bahan, Depertemen Fisika FMIPA, IPB dan PT BIN Batan, Serpong.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah tulang ikan nila yang di dapat dari Aqua Farm, Semarang. NaOH 1N, HCl 1N, dan bahan-bahan kimia untuk analisa proksimat.

Peralatan yang digunakan dalam pembuatan nanokalsium adalah berupa panci perebusan, laboratory mill, autoclave, seperangkat alat ekstraksi, alat gelas, vakum filtrasi, filter, tanur, oven, hot plate, timbangan, seperangkat unit analisis proksimat. Instrument untuk analisis yang digunakan: whitness meter, Particle Size Analyser (PSA), Atomic Absorption Spectrometry (AAS), Spectrometry UV-Vis dan Scanning Electron Microscopy (SEM/EDS), Fourier Transform Infrared (FTIR) dan X-ray Diffraction (XRD).

Metode Penelitian

Penelitian ini dibagi menjadi tiga tahapan penelitian yaitu : (1) Persiapan bahan baku; (2) Ekstraksi nanokalsium tulang ikan dan (3) Karakterisasi sifat fisikokimia bahan baku dan nanokalsium seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.

Penelitian I : Persiapan Bahan Baku

Tahap ini bertujuan untuk menghasilkan bahan baku dalam bentuk bubuk kasar tulang ikan nila yang siap diekstraksi. Tahap ini dilakukan dalam beberapa tahapan proses seperti pencucian, perebusan, pengeringan dan pengecilan ukuran seperti yang disajikan pada Gambar 2.

(37)

dikeringkan menggunakan pengeringan matahari (kadar air < 8%) dan pengecilan ukuran tulang ikan menjadi bubuk kasar tulang ikan nila (0.2-0.5 cm) yang siap untuk diekstraksi.

Penelitian II: Ekstraksi Nanokalsium Tulang Ikan

Tahapan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh metode ekstraksi terhadap karakteristik nanokalsium yang dihasilkan. Proses ekstraksi yang dilakukan menggunakan 4 metode ekstraksi (Gambar 3) dengan kode sampel (Tabel 6) yaitu: (1) akuades (Dongoran et al. 2007); (2) NaOH (Murtiningrum 1997); (3) NaOH dilanjutkan dengan ekstraksi menggunakan HCl

(Suptijah et al. 2010b); dan (4) HCl (Thalib 2009).

Ekstraksi dengan akuades (Modifikasi Dongoran et al. 2007)

Proses yang dilakukan adalah sampel tulang ikan nila, direbus menggunakan akuades pada suhu 100 C sebanyak 3 kali dengan waktu pada setiap perebusan adalah 60 menit, kemudian sampel difiltrasi dan didinginkan pada suhu ruang selanjutnya dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 50 C selama 12 jam (kadar air < 8%).

(38)

19

Ekstraksi dengan NaOH (Modifikasi Murtiningrum 1997)

Sampel tulang ikan nila diekstraksi dengan larutan NaOH 1 N (sampel:pelarut adalah 1:3) pada suhu 100 C selama 60 menit, proses ekstraksi ini dilakukan sebanyak 3 kali. Proses netralisasi dilakukan pada sampel menggunakan akuades dan dipanaskan pada suhu 100 C selama 60 menit sehingga pH sampel menjadi netral. Setelah mencapai pH netral, sampel dikeringkan menggunakan oven pada suhu 50 C selama 12 jam (kadar air < 8%).

Ekstraksi dengan NaOH dilanjutkan ekstraksi dengan HCl (Modifikasi Suptijah et al. 2010b)

Ekstraksi sampel menggunakan NaOH 1 N pada suhu 100 C selama 60 menit, difiltrasi dan dinetralkan dengan proses pencucian berulang menggunakan akuades hingga netral (pH = 7), selanjutnya dihidrolisis menggunakan HCl 1 N selama 24 jam pada suhu ruang dengan perbandingan sampel dan pelarut (1:3). Setelah proses perendaman 24 jam menggunakan HCl selanjutnya dilakukan proses ekstraksi pada suhu 100 C selama 60 menit. Sampel setelah diekstraksi selanjutnya didinginkan kemudian difiltrasi untuk memisahkan residu dan filtrat. Residu hasil pemisahan selanjutnya akan diekstraksi lagi dengan HCl 1 N (3 kali ekstraksi), didinginkan dan difiltrasi, kemudian residu hasil filtrasi dinetralkan hingga mencapai pH netral kemudian dikeringkan menggunakan oven pada suhu 50 C (kadar air < 8%).

Gambar 2 Diagram alir persiapan bahan baku

(39)

Ekstraksi dengan HCl (Modifikasi Thalib 2009)

Sampel tulang ikan nila dihidrolisis menggunakan HCl 1 N (sampel:pelarut adalah 1:3) selama 24 jam dan kemudian diekstraksi pada suhu 100 C selama 60 menit, didinginkan selanjutnya difiltrasi untuk pemisahan filtrat dan residu. Residu kemudian diekstraksi (3 kali ekstraksi) menggunakan HCl 1 N pada suhu dan waktu yang sama, kemudian didinginkan, difiltrasi dan dinetralisasi menggunakan akuades hingga mencapai pH netral. Sampel yang telah dinetralkan kemudian dikeringkan menggunakan oven pada suhu 50 C (kadar air < 8%). Semua sampel hasil ekstraksi dengan menggunakan 4 metode ekstraksi yang dilakukan, selanjutnya dikeringkan kemudian dibuat menjadi tepung menggunakan disc mill dan diayak menggunakan saringan 100 mesh, selanjutnya untuk mempertahankan mutu sampel dilakukan proses sterilisasi pada suhu 121C selama 15 menit.

(40)

21

Tabel 6 Kode sampel

Kode Sampel Keterangan

BB Bubuk kasar tulang ikan nila (bahan baku)

A Nanokalsium tulang ikan nila diekstraksi dengan akuades B Nanokalsium tulang ikan nila diekstraksi dengan NaOH C Nanokalsium tulang ikan nila diekstraksi dengan NaOH + HCl D Nanokalsium tulang ikan nila diekstraksi dengan HCl

Penelitian III: Karakterisasi Bahan Baku dan Nanokalsium

Karakterisasi sifat fisikokimia sampel dilakukan meliputi: rendemen, derajat putih (whiteness meter), ukuran partikel (PSA), analisis proksimat, analisis kalsium (AAS), analisis fosfor (spektrofotometer UV-Vis), karakterisasi morfologi (SEM), gugus fungsi penyusun (FTIR) dan struktur kristal (XRD).

Prosedur Analisis

1. Rendemen

Rendeman diperoleh dari perbandingan berat kering tepung tulang/serbuk kalsium (A) yang dihasilkan dengan berat tulang ikan kotor (masih terdapat sisa daging dan lemak) (B), dengan perhitungan:

Rendemen % = A

B x 100%

2. Analisis derajat putih

Derajat putih sampel dianalisis menggunakan whiteness meter (Kett Electric Laboratory, C-100-3). Sampel ditempatkan pada wadah yang transparan dan hasil pengukuran menyatakan intensitas warna 1 sampai 100.

3. Ukuran partikel (Rawie 2011)

(41)

4. Analisis proksimat

a. Kadar Air (AOAC 925.09 2005)

Cawan aluminium dengan tutupnya dikeringkan dalam oven pada suhu 98-100 selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator selama 10 menit dan ditimbang ketika mencapai suhu ruang (A). Sampel ditimbang sebanyak ± 2 g dalam cawan (B). Cawan beserta isi dikeringkan dalam oven vakum pada suhu 98-100oC selama 6 jam, kondisi vakum pada tekanan ≤ 25 mm Hg (3.3 kPa). Cawan dipindahkan ke dalam desikator lalu didinginkan dan ditimbang. Cawan beserta isinya dikeringkan kembali sampai diperoleh berat konstan (C), dengan perhitungan:

Kadar Air % bb = B-(C-A)

B x 100 %

b. Kadar Abu (AOAC 941.12 2005)

Disiapkan cawan untuk melakukan pengabuan, kemudian dikeringkan dalam oven selama 15 menit lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak ± 3 g dalam cawan (B), kemudian dibakar dalam ruang asap sampai tidak mengeluarkan asap lagi. Selanjutnya dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400-600oC selama 4-6 jam sampai terbentuk abu berwarna putih atau memiliki berat yang tetap. Abu beserta cawan didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang (C), dengan perhitungan:

Kadar % bb = C-A

B x 100 %

c. Kadar Protein Metode Mikro Abu Kjeldahl (AOAC 920.87 2005)

Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Pengukuran kadar protein dilakukan dengan metode kjeldahl. Sampel ditimbang sebanyak 2 gram, kemudian dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 50 ml, lalu ditambahkan 7 g K2SO4, kjeltab 0,005 g jenis HgO dan 15 ml H2SO4 pekat dan 10 ml H2O2

ditambahkan secara perlahan ke dalam labu dan didiamkan 10 menit di ruang asam. Contoh didestruksi pada suhu 410 oC selama kurang lebih 2 jam atau sampai cairan berwarna hijau bening. Labu kjeldahl dicuci dengan akuades 50 hingga 75 ml, kemudian air tersebut dimasukkan ke dalam alat destilasi. Hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer 125 ml yang berisi 25 ml asam borat (H3BO3) 4 % yang mengandung indikator

bromcherosol green 0.1 % dan methyl red 0,1 % dengan perbandingan 2:1. Destilasi dilakukan dengan menambahkan 50 ml larutan NaOH-Na2S2O3

(42)

23

% N= mL HCl – mL blanko x N HCl x 14.007 x 100 %

mg contoh

% Protein = % N x faktor konversi*

*) FK = 6.25

d. Kadar Lemak (AOAC 960.39 2005)

Labu lemak disediakan sesuai dengan ukuran alat ekstraksi soxhlet yang digunakan. Labu dikeringkan dalam oven dengan suhu 105-110 oC selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang (A). Ditimbang sebanyak ± 2 g sampel (B) dalam kertas saring, kemudian ditutup dengan kapas bebas lemak. Kertas saring beserta isinya dimasukkan ke dalam ekstraksi soxhlet dan dipasang pada alat kondensor. Pelarut heksan dituangkan ke dalam labu soxhlet secukupnya. Dilakukan refluks selama 5 jam sampai pelarut yang turun kembali menjadi bening. Pelarut yang tersisa dalam labu lemak didestilasi dan kemudian labu dipanaskan dalam oven pada suhu 105 oC. Setelah dikeringkan sampai berat tetap dan didinginkan dalam desikator kemudian labu beserta lemak ditimbang (C) dan dilakukan perhitungan kadar lemak.

Kadar Lemak % = C-A

B x 100%

5. Analisis Kalsium (AOAC 968.08 2005)

Pembuatan larutan kalsium standar. Terhadap larutan stok Ca 1000 ppm, dibuat deret standar 2, 4, 8 ppm dengan memipet 0,2; 0,4; 0,8 larutan stok Ca 1000 ppm, masing-masing ke dalam labu ukur 100 ml. Lalu ditambahkan larutan Cl3La.7H2O (lantan) sebanyak 1 ml ke dalam masing-masing labu takar

dan ditambahkan akuades sampai volume tepat 100 ml.

Penetapan sampel. Pengabuan basah (wet digestion) menggunakan HNO3

65%, HClO4 60% dan HCl 37%. Sebanyak 1 g sampel dimasukkan ke dalam

erlenmeyer 150 ml dan diberi HNO3 5 ml, kemudian didiamkan selama 1 jam.

Sampel selanjutnya dipanaskan selama 4 jam di atas hot plate, dan didinginkan. Setelah itu ditambahkan H2SO4 (pa = pro analisis) sebanyak 0.4

ml dan dipanaskan kembali selama 30 menit. Sampel diangkat dari hot plate dan diberi larutan HClO4:HNO3 (2:1) sebanyak 3 ml, kemudian dipanaskan

(43)

Ca = ( ml aliqout/1000) x FP x (ppm sampel – ppm blanko)

mg sampel x 100%

Ket : FP = faktor pengenceran Ca(mg/100) = % Ca x 1000

6. Kadar fosfor (AOAC 948.09 2005)

Preparasi larutan. Sebanyak 10 g amonium molibdat diencerkan dengan 60 ml akuades dalam labu takar, kemudian ditambahkan 28 ml H2SO4 pekat secara

bertahap dan diencerkan dalam akuades hingga 100 ml untuk menghasilkan larutan ammonium molibdat (NH4)6MnO24.4H2O) 10% (Larutan A). Sesaat

sebelum dianalisis, larutan A diambil sebanyak 10 ml dan ditambahkan dengan 60 ml akuades dan 5 gram FeSO4.7H2O dalam labu takar dan diencerkan

hingga 100 ml untuk menghasilkan larutan B.

Pembuatan larutan standar. Sebanyak 4,394 g KH2PO4 dilarutkan dalam

akuades sampai 1000 ml agar didapatkan konsentrasi P sebesar 1000 ppm. Sebanyak 10 ml larutan tersebut kemudian diencerkan dengan penambahan akuades 400 ml sehingga didapatkan konsentrasi sebesar 25 ppm. Kemudian dibuat konsentrasi larutan standar P = 2, 3, 4 dan 5 ppm masing-masing sebanyak 5 ml dengan mengambil larutan standar 25 ppm berturut-turut sebanyak 0.4; 0.6; 0.8 dan 1.0 ml. Masing-masing volume tersebut ditambahkan 2 ml larutan B dan akuades hingga 5 ml, kemudian dibaca dalam spektrofotometer dengan panjang gelombang () 660 nm.

Penetapan sampel.Larutan sampel ditambahkan 2 ml larutan B, lalu dipipet ke dalam kuvet sebanyak 3 ml dan dibaca pada  = 660 nm. Nilai absorbansi larutan standar 2, 3, 4 dan 5 ppm diukur dan diregresikan sehingga didapat persamaan y = a + bx. Kemudian nilai absorbansi sampel (y) dimasukkan untuk mendapatkan nilai konsentrasi sampel (x) Perhitungan kadar fosfor menggunakan rumus:

Fosfor dalam sampel P2O5 % =

C x 2.5 W Ket:

C = konsentrasi fosfor dalam sampel (mg/100 ml) yang terbaca dari kurva standar W = berat sampel yang digunakan

7. Karakterisasi gugus fungsi menggunakan FTIR (Huang et al. 2011)

(44)

25

(data point table) untuk keperluan pengolahan data. Selain data spektrum asli, dihasilkan pula data dengan perlakuan pendahuluan berupa garis dasar koreksi, normalisasi (nilai serapan diatur sehingga serapan tertinggi bernilai satu dan serapan terendah bernilai nol).

8. Karakterisasi morfologi menggunakan SEM/EDS (Cornor et al. 2003)

Analisis sampel menggunakan SEM (Scanning Electron Microscopy) untuk mengetahui morfologi sampel, sebanyak 2 mg sampel diletakkan pada plat alumunium dan didistribusikan pada permukaan plat tersebut kemudian dilapisi dengan emas-palladium (60:40) setebal 48 nm, selanjutnya sampel diamati menggunakan SEM (JEOL, JSM-35C) pada tegangan 22 kV. EDS (Energy Dispersive X-ray Spectroscopy) merupakan satu perangkat dengan SEM. Karakterisasi menggunakan EDS adalah suatu teknik yang dapat diterapkan dalam penentuan komposisi unsur permukaan. Teknik ini memanfaatkan sinar-Xyang dipancarkan oleh unsur-unsur pada permukaan tampak sampel akibat dibombardir oleh elektron.

9. Karakterisasi menggunakan XRD (Huang et al. 2011)

Analisis sampel menggunakan XRD (X-ray Diffraction) dilakukan untuk mengetahui fasa yang terdapat dalam sampel, menentukan ukuran kristal dan kristalinitas. Sampel dikarakterisasi menggunakan alat XRD (Emma GBC) yaitu 200 mg sampel dicetak langsung pada alumunium ukuran 2 x 2.5 cm dengan bantuan perekat, kemudian dihamburkan dengan Cu dengan panjang gelombang () 1.5406 Å pada kisaran 2 pada suhu 10 sampai 80 dan ukuran langkah 0.1.

Analisis Data

Analisis statistik pada penelitian dilakukan untuk data hasil analisis fisikokimia (derajat putih, proksimat, kalsium dan fosfor) menggunakan rancangan ANOVA one-way (RAL) dengan tiga kali ulangan pada tiap perlakuan dan jika hasil uji menunjukkan perbedaan yang nyata maka dianalisis lebih lanjut dengan uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada tingkat kepercayaan p< 0.05 (Steel and Torrie 1980), dengan menggunakan softwear SAS 9.1.3. Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut:

Y

ij

= µ +

i

+

ij

Keterangan:

Yij = Nilai pengamatan dari perlakuan ke-i (analisis fisikokimia) dan ulangan ke-j

µ = Nilai rataan umum

i = Pengaruh perlakuan ke-i (jenis pengekstrak)

(45)

Hipotesis:

Ho : Jenis pelarut pada proses ekstraksi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap karakteristik fisikokimia sampel.

(46)

HASIL DAN PEMBAHASAN

limbah tulang ikan pada penelitian ini. Tahapan awal persiapan bahan baku yaitu limbah tulang nila direbus pada suhu 100 C selama 30 menit yang bertujuan untuk menghilangkan lemak dan memudahkan proses pemisahan sisa daging yang menempel pada tulang selanjutnya didinginkan sebelum dilakukan proses pemisahan daging dan tulang. Setelah pemisahan daging dari tulang dan pencucian dihasilkan tulang ikan nila bersih seberat 8.7 kg atau 14.95% selanjutnya tulang ikan nila dikeringkankan menggunakan pengeringan matahari (kadar air ≤ 8%) dan menghasilkan tulang ikan nila kering seberat 5.5 kg atau 9.45% kemudian dilakukan proses pengecilan ukuran tulang menggunakan hammer mill sehingga menghasilkan bubuk tulang kasar (0.2-0.5 cm) dengan berat 4.3 kg atau 7.39% yang merupakan bahan baku (sampel BB) yang akan digunakan dalam tahapan ekstraksi nanokalsium tulang ikan. Proses pengecilan ukuran bertujuan untuk lebih memperluas permukaan bahan sehingga proses ekstraksi dapat berlangsung lebih cepat dan sempurna.

Tabel 7 Data limbah dan perubahannya selama proses persiapan bahan baku

Kondisi Data Limbah % Rendemen *

Sebelum Perebusan

Limbah tulang ikan nila 48.50%

Limbah kepala ikan nila 49.50%

Setelah Perebusan

Tulang ikan nila bersih 14.95%

Tulang ikan nila kering 9.45%

Bubuk kasar tulang ikan nila 7.39%

*

Dibandingkan dengan berat awal limbah ikan limbah (120 kg)

Ekstraksi NanokalsiumTulang Ikan

(47)

1. Ekstraksi dengan akuades

Ekstraksi sampel A yaitu ekstraksi menggunakan akuades yang dipanaskan yang merupakan modifikasi metode Dongoran et al. (2007), dengan bagian yang dimodifikasi yaitu tanpa proses penghilangan lemak (degreasing) menggunakan heksana, perbandingan sampel dan akuades serta banyaknya proses ekstraksi. Proses ekstraksi pada penelitian ini dilakukan sebanyak 3 kali dengan perbandingan sampel dan akuades yaitu 1:3.

Proses ekstraksi yang dilakukan adalah bahan baku direbus menggunakan akuades pada suhu 100 C selama 60 menit, didinginkan dan difiltrasi untuk pemisahan filtrat dan residu, selanjutnya residu diekstraksi lagi dengan akuades (3 kali perebusan). Residu hasil ekstraksi kemudian didinginkan dan dikeringkan menggunakan oven pada suhu 50 C selama 12 jam hingga mencapai kadar air < 8% selanjutnya sampel dibuat menjadi tepung menggunakan disc mill dan diayak pada saringan 100 mesh, dan untuk mempertahankan mutu sampel maka dilakukan proses sterilisasi pada suhu 121 C selama 15 menit.

Proses pelunakan tulang yang dilakukan menggunakan air dengan proses pemanasan dapat dijelaskan dengan adanya sejumlah kecil protein yang terlarut dalam air, menunjukkan adanya perubahan tekstur tulang (Malde et al. 2010). Proses pelunakan dilakukan untuk mempermudah pada proses milling untuk menghasilkan tepung dengan ukuran yang lebih kecil sehingga jika digunakan sebagai sumber kalsium dalam bahan pangan akan meningkatkan penyerapan dan asupan kalsium yang dikonsumsi.

2. Ekstraksi dengan NaOH

Ekstraksi sampel B, merupakan proses ekstraksi menggunakan NaOH, ekstraksi ini merupakan modifikasi metode Murtiningrum (1997). Modifikasi yang dilakukan mencakup: suhu pemanasan dan proses ekstraksi dan perbandingan larutan NaOH dan sampel. Pada penelitian ini menggunakan NaOH 1 N, pada suhu 100 C selama 60 menit, ekstraksi sebanyak 3 kali dan perbandingan larutan pengekstrak dan sampel 3:1.

Penggunaan NaOH (basa) sebagai larutan pengekstrak memiliki sifat yang lebih menguntungkan dibandingkan HCl (asam), karena kelarutan pada daerah alkalin lebih tinggi dari pada kelarutan pada daerah asam, hal ini disebabkan karena jumlah gugus bermuatan negatif lebih banyak daripada gugus yang bermuatan positif, dengan demikian protein dan NaOH membentuk ester makin sempurna sehingga protein yang dapat dihilangkan makin besar (Cheftel et al. 1985).

3. Ekstraksi dengan NaOH dilanjutkan ekstraksi dengan HCl

Gambar

Tabel 1 Komposisi Proksimat (g/100g berat kering) dan total kalori dari 5 jenis
Gambar 1 Diagram alir tahapan penelitian
Gambar 2 Diagram alir persiapan bahan baku
Gambar 3 Diagram alir ekstraksi dan karakterisasi nanokalsium
+6

Referensi

Dokumen terkait

dengan melakukan diversifikasi, karena fluktuasi risiko ini dipengaruhi oleh faktor makro yang dapat mempengaruhi pasar secara keseluruhan.  Faktor yang mempengaruhi : 

Misalnya: akta notaris masih dapat dibuktikan sebaliknya (dilumpuhkan) dengan akta notariil lainnya atau dapat pula oleh beberapa orang saksi. 2) Kekuatan bukti

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang berjudul: “ IMPLEMENTASI PROGRAM MENGHAFAL AL- QUR’AN D ENGAN METODE HANIFIDA DI SMP ISLAM ADILUWIH KECAMATAN ADILUWIH

Discovery Learning dan Discovery ialah pada Discovery masalah yang dihadapkan kepada siswa semacam masalah yang direkayasa oleh guru. Adapun model penemuan lain yang

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perubahan pada daerah pinggiran Kota Watansoppeng dengan menggunakan metode

Sikap bangunan baru (Hotel Alila, Hotel Swiss Belinn Solo, Hotel Solo View, Bank Mandiri Sriwedari) tidak mengacu pada karakter Arsitektur Tradisional kota

Tablet kunyah yang mengandung ekstrak etanol kelopak bunga rosella dibuat dalam 3 formula dengan konsentrasi bahan pengikat gelatin yang berbeda yaitu 5, 10, dan