• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis efektivitas bantuan dana penguatan modal lembaga usaha ekonomi pedesaan (DPM LUEP ) (Studi kasus DPMLUEP Kabupaten Bogor)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis efektivitas bantuan dana penguatan modal lembaga usaha ekonomi pedesaan (DPM LUEP ) (Studi kasus DPMLUEP Kabupaten Bogor)"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

(STUDI KASUS DPM – LUEP KABUPATEN BOGOR)

Harun A. Sume

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam Tugas Akhir yang berjudul :

Analisis Efektivitas Bantuan Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM-LUEP ) (Studi Kasus DPM-LUEP Kabupaten Bogor)

merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan bimbingan dari Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tugas Akhir ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain.

Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Agustus 2008

(3)

ABSTRACT

Harun A. Sume. Analysis Effectiveness of Strengthening Assistance Capital Funds of Rural Economic Trade Organization (LUEP) (A Case Study at DPM-LUEP Kabupaten Bogor). Supervised by Rizal Syarief (Committee Chairman), and Nora H. Pandjaitan (member).

Strengthening Assistance Capital Funds of Rural Economic Trade Organization (DPM-LUEP) is some amount of fund from national budget (APBN), which is allocated through de-concentrated funds for the paddy production centers as advanced funding to buy unpolished paddy/rice during the grant harvest with the buying price as determined by the government (HPP). DPM-LUEP is lent to the rural economic trade organization (LUEP) and it must be paid back to the government treasury as stipulated by the existing regulation.

The objectives of this study were 1) to identify characteristic of DPM-LUEP recipient groups, 2) to identify factors effecting income/profit increase in DPM-LUEP recipients, 3) to evaluate the effectiveness of determining requirement processes, the mechanism of grouping, the distribution and the return of the funds.The method of analysis were 1) descriptive analysis, 2) profitability analysis, and 3) Focus Group Discussion (FGD)

The DPM-LUEP recipient groups in Bogor regency are commonly those of small scale industries. This can be seen from their group organization with the number of workers between 5 to 19 persons, weak capital access, as well as weak administration and managerial groups. Similarly, their products were still marketed only in limited areas.

The result of the profitability analysis showed that the factors capable of increasing income/profit for DPM-LUEP recipients were a) the effectiveness in purchasing the raw materials/unpolished rice (the cycles), b) the increased purchase of raw materials which eventually increased the outcome of the processed products, c) the decrease of the total cost to the sale income, especially the efficiency of the total variable cost, and d) the product stock taking while waiting for the increase of product sale price (rice) in the market.

(4)

RINGKASAN

Harun A. Sume. Analisis Efektivitas Bantuan Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM – LUEP) (Studi Kasus DPM – LUEP Kabupaten Bogor). Di bawah bimbingan : Rizal Syarief, sebagai ketua dan Nora H. Pandjaitan, sebagai anggota

Dana penguatan modal lembaga usaha ekonomi pedesaan (DPM-LUEP) adalah sejumlah dana APBN yang dialokasikan melalui dana dekonsentrasi ke daerah sentra produksi padi. Dana ini merupakan dana bantuan untuk membeli gabah/beras petani pada saat panen raya sesuai harga pembelian pemerintah (HPP). DPM dipinjamkan kepada Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP) dan harus dikembalikan ke kas negara sesuai ketentuan yang berlaku.

Kajian ini bertujuan untuk : (1) Mengidentifikasi karakteristik penerima DPM-LUEP; (2) Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan pendapatan/keuntungan pada lembaga usaha ekonomi pedesaan penerima dana penguatan modal usaha; 3) Mengevaluasi efektivitas proses persyaratan penetapan, mekanisme penetapan kelompok, penyaluran DPM dan pengembaliannya oleh LUEP.

Metode analisis yang digunakan adalah : (1) analisis deskriptif; (2) analisis profitabilitas dan (3) focus group discussion (FDG).

Kelompok penerima DPM-LUEP di Kabupaten Bogor secara umum masih merupakan kelompok usaha kecil menengah. Hal ini terlihat dari kelembagaan kelompok dengan jumlah tenaga kerja 5-19 orang, akses permodalan serta administrasi dan manajerial kelompok yang lemah. Selain itu sistem pemasarannya juga masih terbatas wilayah pemasarannya.

Berdasarkan hasil analisis profitabilitas diketahui bahwa faktor-faktor yang dapat meningkatkan pendapatan/keuntungan pada LUEP penerima DPM, antara lain : (a) efektivitas dalam pembelian bahan baku/gabah (putaran/daur); (b) peningkatan pembelian bahan baku yang akan meningkatkan hasil produk yang diolah; (c) menurunkan biaya total untuk meningkatkan pendapatan penjualan, khususnya efesiensi biaya variabel total dan (d) melakukan stok produk untuk menunggu peningkatan harga jual produk (beras) di pasaran.

(5)
(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

ANALISIS EFEKTIVITAS BANTUAN DANA PENGUATAN MODAL LEMBAGA USAHA EKONOMI PEDESAAN (DPM – LUEP)

(STUDI KASUS DPM – LUEP KABUPATEN BOGOR)

Harun A. Sume

Tugas Akhir

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional

pada Program Studi Industri Kecil Menengah

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Judul Tesis :: Analisis Efektivitas Bantuan Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP ) (Studi Kasus DPM-LUEP Kabupaten Bogor)

Nama Mahasiswa : Harun AS Nomor Pokok : F052044115

Program Studi : Industri Kecil Menengah

Disetujui

Komisi Pembimbing,

Prof.Dr.Ir. Rizal Syarief, DESS Dr.Ir. Nora H. Pandjaitan, DEA

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Industri Kecil Menengah,

Prof.Dr.Ir. Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing, DEA Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(9)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga Tugas Akhir yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Industri Kecil Menengah (PS MPI), Sekolah Pascasarjana (SPs), Institut Pertanian Bogor (IPB) dapat diselesaikan. Penulis menyadari bahwa Tugas Akhir ini tidak akan tersusun tanpa bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof.Dr.Ir. Rizal Syarief, DESS selaku ketua Komisi Pembimbing atas pengarahan, bimbingan dan dorongan dalam penyusunan dan penyelesaian Tugas Akhir.

2. Dr.Ir. Nora H. Pandjaitan, DEA, selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah mengorbankan waktu dan pikirannya dalam memberikan bimbingan dan memberikan perhatiannya dalam penyusunan Tugas Akhir ini.

3. Prof.Dr.Ir. H. Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing, DEA, selaku penguji luar atas pengarahan, bimbingan dan dorongan selama proses studi di PS MPI.

4. Seluruh staf administrasi dan dosen pengajar PS MPI IPB yang telah memberikan bantuannya.

5. Istriku tercinta Sri Yuliati, SE atas dukungannya serta anak-anakku tersayang Sazie dan Dzaqie yang merupakan inspirasi selama kuliah sampai penyusunan laporan akhir ini selesai.

6. Ayahanda dan Ibunda serta seluruh keluarga tercinta yang selalu memberikan do’a restu, dukungan dan semangat.

7. Pimpinan Bidang Konsumsi Pangan, Pusat Konsumsi dan Keamanan Pangan, BKP yang telah memberikan kesempatan dan dukungan kepada penulis dalam menempuh dan menyelesaikan studi.

(10)

Penulis berharap bahwa Tugas Akhir ini dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi semua pihak yang berkepentingan. Oleh karena itu, saran dan kritik membangun akan diterima bagi perbaikan dan penyempurnaan di masa mendatang.

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ujung Pandang pada tanggal 4 September 1976 sebagai anak kesembilan dari sembilan bersaudara dari ayah H. Adama Sume dan ibu Hj. Saleha. Pendidikan Sarjana ditempuh di Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta, lulus pada tahun 1999. Pada tahun 2005 diterima di Program Studi Industri Kecil Menengah, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Penulis diterima bekerja di Departemen Pertanian pada tahun 2000 dengan jabatan staf pada Sekretariat Pelaksana Bimas Kota Bekasi. Menikah pada tanggal 8 Juli 2001 dengan Sri Yuliati, SE. Pada tanggal 12 April 2002 dikaruniai seorang putri yang bernama Sau Dzihni Tsabitha dan seorang putra yang bernama Sau Dzaqif Risagani pada tanggal 11 November 2006.

(12)

DAFTAR ISI II. LANDASAN TEORI A. Kemitraan Usaha……….…... 5

B. Kredit Modal Kerja ... 7

C. Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan ... 10

D. Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan ... 11

E. Mekanisme Penetapan, Penyaluran dan Pengembalian Dana ... 13

F. Mekanisme Penyelesaian Tunggakan... 18

G. Mekanisme Pengawasan dan Pengendalian... 19

H. Profitabilitas... 20

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum………...……... 31

B. Hal yang Dikaji…...………... 33

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 50

Saran... 51

DAFTAR PUSTAKA... 52

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Perkembangan Pelaksanaan DPM-LUEP Kab. Bogor... 32

2 Nilai MIR Kelompok Tani anggota LUEP ... 35

3 Nilai MOS Kelompok Tani anggota LUEP ... 36

4 Nilai Profitabilitas Kelompok Tani anggota LUEP... 37

5 Hasil FGD mengenai Persyaratan ... 40

6 Hasil FGD mengenai Proses Penetapan DPM-LUEP ... 41

7 Hasil FGD mengenai Proses Penyaluran dan Pengembalian ... 43

(14)

DAFTAR GAMBAR

.

Halaman

1 Prosedur Penetapan LUEP ... 14

2 Prosedur Penyaluran dan Pengembalian Dana... 16

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Kuesioner penelitian... 54

2 Laporan keuangan kelompok LUEP... 59

3 Profil kelompok LUEP ... 60

4 Pemasaran dan pengolahan hasil kelompok LUEP... 61

5 Perbandingan waktu ideal dengan waktu pelaksanaan dilapangan dalam proses penetapan DPM-LUEP ………... 62

(16)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Beras merupakan komoditas strategis dalam kehidupan sosial ekonomi nasional. Sekitar 95% penduduk Indonesia mengkonsumsi beras sebagai bahan pangan pokoknya, dan sekitar 21 juta rumah tangga petani memperoleh pendapatan melalui usahatani padi. Pada keadaan tersebut gejolak harga beras akan berdampak terhadap usahatani, kesejahteraan para petani dan buruh tani, serta para konsumen beras, terutama kelompok miskin. Apabila kejadian ini berjalan terus menerus dari tahun ke tahun dikhawatirkan akan menjadi disinsentif bagi para petani dalam berusahatani padi yang akhirnya dapat menurunkan produktivitas dan produksi. Pertambahan penduduk mengakibatkan kebutuhan beras menjadi meningkat dengan cepat yang akhirnya meningkatkan laju impor beras. Kondisi ini tidak menguntungkan bagi ketahanan pangan, ekonomi nasional, bahkan stabilitas nasional, karena semua komponen masyarakat masih memandang beras sebagai komoditas strategis.

Pola poduksi tahunan komoditas gabah/beras di daerah sentra produksi menunjukkan di bulan Januari sampai April dan pada bulan Juli sampai September produksi cukup melimpah, sedangkan permintaan gabah/beras bulanan relatif stabil sepanjang tahun, sehingga harga gabah/beras pada panen raya turun. Sebaliknya pada saat tidak ada panen (paceklik) produksi gabah/beras lebih rendah dari kebutuhan gabah/beras, sehingga harga gabah/beras meningkat. Kondisi ini menunjukkan bahwa harga gabah/beras berfluktuasi menurut musim.

(17)

maksimum 14% dan kadar hampa/kotoran maksimum 3%, serta Rp. 4.000 untuk pembelian beras dengan mutu kadar air 14% dan butir patah maksimum 20% (Badan Ketahanan Pangan Deptan, 2003).

Hasil pemantauan menunjukkan bahwa masih banyak petani yang menjual gabahnya di bawah harga yang wajar. Hal ini antara lain disebabkan oleh tidak adanya institusi penghubung antara Bulog/Dolog dengan petani/kelompok tani padi yang menjamin bahwa petani menerima harga sesuai dengan kebijakan HPP dan kurangnya akses Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP) terhadap dana untuk pengadaan gabah/beras. Ada tiga faktor yang menyebabkan harga gabah di tingkat petani pada musim panen raya masih tetap rendah, yaitu : (1) petani pada umumnya tidak mempunyai kemampuan, baik secara teknis ataupun ekonomis untuk menunda penjualan gabahnya, (2) mekanisme pengadaan gabah dalam negeri oleh Bulog tidak menjamin petani mendapatkan harga sesuai dengan yang ditetapkan oleh pemerintah, dan (3) kebijakan impor beras belum dapat melindungi harga gabah petani dari dampak harga beras internasional yang lebih rendah (Badan Ketahanan Pangan Deptan, 2003).

Untuk mengatasi rendahnya harga gabah petani pada saat panen raya, pemerintah melalui Badan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian melaksanakan program dana penguatan modal lembaga usaha ekonomi pedesaan (DPM - LUEP). Program ini merupakan salah satu upaya yang bersifat pelengkap terhadap kebijakan pembelian gabah dalam negeri oleh pemerintah. Program ini memberikan pinjaman modal tanpa bunga yang dilaksanakan melalui kontrak dengan kelompok tani, untuk dipergunakan dalam pembelian gabah/beras sesuai dengan harga pembelian pemerintah (HPP) yang telah ditetapkan (Badan Ketahanan Pangan Deptan, 2006).

(18)

Pelaksanaan DPM-LUEP tahun 2003 – 2006 berjalan dengan baik dengan jumlah dana yang disalurkan untuk pembelian gabah petani Rp 662,85 milyar dengan tingkat pengembalian dana penguatan modal di atas 90%. Namun demikian masih terdapat denda tunggakan yang belum dibayar sampai dengan tanggal 30 Desember 2007 sebesar Rp 1,8 milyar. Berdasarkan keberhasilan pelaksanaan DPM-LUEP maka kegiatan DPM-LUEP terus dilanjutkan dan diperluas. Pada tahun 2007, DPM digunakan untuk pembelian gabah/beras di 27 provinsi dengan alokasi dana penguatan modal Rp 251,7 milyar, dan pembelian jagung di 9 provinsi dengan alokasi dana Rp 58 milyar. Selain itu juga dilakukan pembelian kedelai di 4 provinsi dengan alokasi dana Rp 17 milyar (Badan Ketahanan Pangan, 2007).

Pelaksanaan program DPM-LUEP di Provinsi Jawa Barat, pada wal tahun 2003 dilaksanakan pada 16 Kabupaten, kemudian pada tahun 2004 pelaksanaanya turun menjadi 14 Kabupaten. Pada tahun 2005 pelaksanaan DPM-LUEP dilakukan pada 10 Kabupaten dan pada tahun 2006 meningkat menjadi 12 Kabupaten. Pada tahun 2007 pelaksanaan program DPM-LUEP di Propvinsi Jawa Barat dialokasikan dana sebesar Rp 25, 23 milyar dan dana pendamping yang bersumber dari APBD I sebesar Rp 10 milyar.

Berdasarkan Dewan Ketahanan Pangan Kabupaten Bogor (2006), Kabupaten Bogor sebagai salah satu sentra produksi beras di Jawa Barat pada tahun 2006 memiliki luas tanam 81.185 ha, dengan luas panen 79.635,59 ha dan produksi 419.339,35 ton. Seiring dengan proses otonomi daerah yang tengah berjalan pemerintah Kabupaten Bogor mengalokasikan dana APBN dalam bentuk (DPM - LUEP). Dana ini disalurkan kepada kelompok LUEP di Kabupaten Bogor untuk pembelian gabah/beras petani khususnya pada saat panen raya.

(19)

pada tahun 2006 bertambah menjadi tujuh kelompok. Pada tahun 2007 tercatat delapan kelompok penerima DPM-LUEP.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana karakteristik kelompok LUEP penerima DPM ?

2. Faktor-faktor apakah yang dapat meningkatkan profitabiltas LUEP penerima DPM ?

3. Bagaimana mekanisme persyaratan penetapan DPM, penetapan kelompok, penyaluran dan pengembalian DPM kepada LUEP dan kendala dalam implementasinya di lapangan ?

C. Tujuan

Kajian ini bertujuan untuk :

1. Mengidentifikasi karakteristik kelompok LUEP penerima DPM

2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan pendapatan/keuntungan pada LUEP penerima DPM

(20)

II. LANDASAN TEORI

A. Kemitraan Usaha

Kemitraan adalah strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Kemitraan merupakan suatu strategi bisnis maka keberhasilannya sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan di antara yang bermitra dalam menjalankan etika bisnis. Kemitraan merupakan sebuah solusi untuk mengurangi masalah ketimpangan yang dihadapi sebagian lapisan masyarakat dewasa ini dan sebagai antisipasi munculnya masalah yang sama di masa mendatang. Kemitraan dijadikan solusi karena baik keberadaannya maupun fungsi dan perannya diperlukan untuk memberdayakan semua lapisan masyarakat (Hafsah, 2000).

Menurut Tambunan (1996) salah satu pencetus kemitraan di Indonesia adalah pemerintah. DPM-LUEP merupakan salah satu program pemerintah yang berprinsip kemitraan, yang dalam hal ini kemitraan antara pemerintah dengan petani. Menurut Direktorat Jenderal Pembinaan Pengusaha Kecil Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil (1996), kemitraan adalah hubungan antara pengusaha besar dengan pengusaha kecil yang disertai bantuan pembinaan berupa peningkatan sumber daya manusia (SDM), peningkatan pemasaran, peningkatan teknik produksi, peningkatan modal kerja dan peningkatan kredit perbankan. Dalam pasal 2 ayat 1 Keputusan Menteri Pertanian tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian disebutkan bahwa tujuan kemitraan adalah untuk meningkatkan pendapatan, kesinambungan usaha, meningkatkan mutu sumber daya kelompok mitra, peningkatan skala usaha dalam rangka menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha kelompok mitra yang mandiri (Departemen Pertanian, 1997).

(21)

kesejajaran kedudukan dan derajat yang sama bagi kedua pihak yang bermitra (Hafsah, 2000).

Menurut Hafsah (2000) jenis-jenis pola kemitraan yang telah banyak dilaksanakan sebagi berikut :

1. Pola inti plasma, merupakan pola hubungan kemitraan antara kelompok mitra usaha sebagai plasma dengan perusahaan inti yang bermitra. Salah satu contoh kemitraan ini adalah pola perusahaan inti (PIR), dimana perusahaan inti menyediakan lahan, sarana produksi, bimbingan teknis, manajemen , menampung mengolah dan memasarkan hasil produksi.

2. Pola Subkontrak, merupakan pola hubungan kemitraan antara perusahaan mitra usaha dengan kelompok mitra usaha yang memproduksi kebutuhan yang diperlukan oleh perusahaan. Ciri khas dari bentuk kemitraan subkontrak adalah dalam melaksanakan kemitraan dilakukan dengan dengan membuat kontrak bersama yang mencantumkan volume, harga dan waktu. Pelaksanaan program DPM-LUEP melaksanakan kemitraan dengan pola subkontrak, dimana kemitraan antara LUEP dengan kelompok tani dalam pembelian gabah sesuai HPP diatur dalam kontarak dan kesepakatan kelompok yang bermitra.

3. Pola dagang umum, merupakan pola hubungan kemitraan usaha yang memasarkan hasil dengan kelompok usaha yang mensuplai kebutuhan yang diperlukan perusahaan sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan oleh perusahaan mitra. Pola kemitraan ini memerlukan struktur pendanaan yang kuat dari pihak yang bermitra dalam membiayai usahanya. karena pada dasarnya adalah hubungan sifat kemitraan pada dasarnya adalah hubungan membeli dan menjual terhadap produk yang dimitrakan.

(22)

5. Waralaba, merupakan hubungan kemitraan antara kelompok mitra usaha dengan perusahaan mitra yang memberi hak lisensi, merek dagang saluran distribusi perusahaannya kepada kelompok mitra usaha sebagi penerima waralaba yang disertai dengan bantuan dan bimbingan manjemen. Perusahaan mitra usaha sebagai pemilik waralaba, bertanggung jawab terhadap sistem operasi, pelatihan, program pemasaran dan merek dagang. Sedangkan pemegang usaha waralaba, hanya mengikuti pola yang ditetapkan oleh pemilik waralaba serta memberikan sebagian dari pendapatannya berupa royalti dan biaya lainnya yang terkait dari kegiatan usaha tersebut.

B. Kredit Modal Kerja

Kredit berasal dari bahasa yunani “Credere” yang berarti kepercayaan, karena dasar pemberian kredit adalah kepercayaan. Seseorang yang memperoleh kredit pada dasarnya adalah memperoleh kepercayaan. Didalam pemberian kredit terdapat dua pihak yang berkepentingan langsung yaitu pihak yang kelebihan uang yang disebut pemberi kredit dan yang membutuhkan uang disebut penerima kredit (Sinungan, 1987).

Menurut Sinungan (1987), kredit adalah suatu pemberian prestasi oleh suatu pihak kepada pihak lain dan prestasi itu akan dikembalikan lagi pada suatu masa tertentu yang akan datang disertai dengan kontra prestasi berupa bunga. Kredit yang diberikan atas dasar kepercayaan yang berarti bahwa prestasi yang diberikan benar-benar diyakini dapat dikembalikan oleh penerima sesuai dengan waktu dan syarat-syarat yang disetujui bersama. Unsur-unsur di dalam kredit meliputi :

1. Kepercayaan, merupakan suatu keyakinan pemberi kredit bahwa prestasi (uang, jasa dan barang) yang diberikan akan benar-benar diterimanya kembali di masa tertentu mendatang.

(23)

3. Degree of risk, yaitu pemberian kredit menimbulkan suatu tingkat resiko, dimasa tenggang adalah masa abstrak. Risiko timbul bagi pemberi karena uang/jasa/barang yang berupa prestasi telah lepas kepada orang lain.

4. Prestasi yang diberikan adalah suatu prestasi yang dapat berupa barang, jasa atau uang. Dalam perkembangan perkreditan di masa ini dimaksud dengan prestasi adalah pemberian kredit dalam bentuk uang.

Tujuan kredit mencakup ruang lingkup yang cukup luas. Dua fungsi pokok yang saling berkaitan dari kredit adalah :

1. Profitability, yaitu tujuan untuk memperoleh hasil dari kredit berupa keuntungan yang didapatkan dari pemungutan bunga.

2. Safety. Keamanan dari prestasi atau fasilitas yang diberikan harus benar-benar terjamin, sehingga tujuan profitability dapat benar-benar tercapai tanpa hambatan yang berarti.

Menurut Bank Mandiri (2008), kredit modal kerja adalah fasilitas yang diberikan baik dalam rupiah maupun valuta asing untuk memenuhi modal kerja yang habis dalam satu siklus usaha dengan jangka waktu maksimal 1 tahun.

Di dalam kehidupan perekonomian, perdagangan dan keuangan pada umumnya, Fungsi kredit modal kerja tidak terlepas dari fungsi kredit. Menurut Muljono (2001) garis besar fungsi kredit modal kerja adalah :

1. Meningkatkan daya guna (utility) dari suatu modal atau uang. Melalui kredit, dana yang mengendap di dalam kas Bank dapat dimanfaatkan oleh para debitur untuk memperbesar usaha produksi maupun perdagangan.

2. Meningkatkan daya guna (utility) dari suatu barang. Dengan adanya fasilitas kredit, para pengusaha dapat memproduksi bahan mentah menjadi barang jadi dan pendistribusiannya akan meningkat. Dengan demikian, pemanfaatan atas barang tersebut meningkat pula.

(24)

berusaha, sehingga penggunaan uang akan bertambah baik, secara kualitatif maupun kuantitatif.

4. Menimbulkan kegairahan berusaha masyarakat. Manusia adalah mahluk yang selalu melakukan kegiatan ekonomi, yaitu selalu berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya. Usaha sesuai dengan dinamika akan selalu berkembang dan fasilitas kredit yang diterima pengusaha dari pemberi kredit/bank, kemudian digunakan untuk memperbesar volume usaha dan meningkatkan produktivitasnya.

5. Kredit sebagai alat stabilisasi ekonomi. Untuk menekan arus inflasi dan usaha pembangunan ekonomi, kredit bank memegang peranan yang sangat penting. Arah kredit harus berpedoman pada segi-segi pembatasan kualitatif, yaitu pengarahan ke sektor-sektor yang produktif dan sektor-sektor prioritas yang secara langsung berpengaruh terhadap hajat hidup orang banyak.

6. Sebagai jembatan peningkatan pendapatan nasional. Penerima kredit akan berusaha untuk meningkatkan usahanya. Peningkatan usaha berarti peningkatan keuntungan. Orientasi pengusaha tidak hanya memenuhi pasar domestik, namun juga merambah pasar ekspor. Dengan demikian, kegairahan dalam melakukan usahanya akan meningkat untuk mendatangkan devisa bagi negara.

7. Sebagai alat hubungan ekonomi nasional. Negara yang kaya atau kuat perekonomiannya, demi persahabatan akan memberikan bantuan kepada negara yang sedang berkembang. Bantuan tersebut tercermin dalam bentuk bantuan kredit dengan syarat ringan, yaitu bunga yang relatif ringan dan jangka waktu penyelesaian yang panjang. Hal ini tercermin melalui bantuan antar negara yang disebut “G to G” (Government to Government).

(25)

diberikan dalam bentuk uang tunai yang akan digunakan dalam pembelian gabah/beras petani dengan jangka waktu pengembalian satu tahun.

Untuk memperoleh kredit modal kerja pada perbankan, ketentuan yang dipersyaratkan yaitu : (a) Mempunyai usaha yang layak dibiayai, (b) Mempunyai izin-izin usaha, seperti SIUP dan TDP, (c) Maksimum jangka waktu kredit 1 tahun dan (d) Agunan utama adalah usaha yang dibiayai. Debitur menyerahkan agunan tambahan jika menurut penilaian Bank diperlukan (Bank Mandiri, 2008).

C. Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan

Lembaga usaha ekonomi pedesaan (LUEP) adalah lembaga yang berbadan hukum atau berbadan usaha di pedesaan yang bergerak di bidang pembelian, pengolahan, pengemasan dan pemasaran gabah/beras, jagung atau kedelai. Lembaga berbadan hukum tersebut dapat berupa Koperasi Tani (KOPTAN), dan Koperasi Unit Desa (KUD). Lembaga yang berbadan usaha dapat berupa usaha milik perorangan atau kolektif yang berintegrasi dengan kelompoktani/gabungan kelompoktani (Gapoktan), usaha milik kelompoktani, atau gabungan kelompoktani (Badan Ketahanan Pangan, 2007).

Menurut Badan Ketahanan Pangan (2007), agar kegiatan DPM-LUEP pada tahun 2007 lebih berpihak dan memberi manfaat yang lebih besar bagi petani, maka LUEP perorangan atau kolektif penerima DPM diwajibkan untuk berintegrasi dengan kelompoktani untuk membentuk gapoktan atau berintegrasi dengan ke dalam Gapoktan yang telah eksis. Integarasi dilakukan untuk meningkatkan peran LUEP dalam memberdayakan petani yang tergabung dalam kelompoktani atau Gapoktan. Integarasi tersebut dilakukan dengan pola berikut :

(26)

2. LUEP perorangan atau kolektif yang telah memenuhi persyaratan dan selama ini telah menerima DPM difasilitasi Tim Teknis untuk membentuk Gapoktan bersama kelompoktani mintranya.

3. LUEP perorangan atau kolektif yang telah memenuhi persyaratan menerima DPM difasilitasi Tim Teknis untuk membentuk Gapoktan bersama kelompoktani di sekitarnya.

D. Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan

DPM-LUEP merupakan pinjaman tanpa bunga yang bersumber dari APBN yang dipinjamkan kepada lembaga usaha ekonomi pedesaan untuk pembelian gabah/beras. Tujuan DPM-LUEP untuk pembelian gabah/beras petani adalah : (a) Menjaga stabilitas harga gabah/beras yang diterima petani pada tingkat yang wajar; (b) Meningkatkan pendapatan petani padi di wilayah sentra produksi melalui pengamanan penerapan harga pembelian pemerintah (HPP); (c) Menumbuh kembangkan kelembagaan usaha ekonomi di pedesaan, yang dapat mendorong pertumbuhan dan menggerakkan perekonomian di pedesaan; (d) Meningkatkan kerjasama antara LUEP dengan petani/kelompok tani; (e) Memperkuat posisi daerah dalam ketahanan pangan wilayah yang berakumulasi pada ketahanan pangan nasional (Badan Ketahanan Pangan Deptan, 2006).

Untuk memperoleh dana penguatan modal kelompok LUEP harus memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan dalam pedoman umum DPM-LUEP. Persyaratan penetapan lokasi dan peserta kegiatan DPM-LUEP adalah sebagai berikut (Badan Ketahanan Pangan Deptan, 2006) :

1. Berbadan hukum dan atau Badan Usaha sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun. 2. Memiliki rekening (giro) Badan Usaha pada Bank Pemerintah/Bank

Pemerintah Daerah.

3. Berpengalaman dalam perdagangan gabah/beras sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, dengan bukti-bukti kuitansi/kontrak/kerjasama dan atau pernyataan yang disyahkan Tim Teknis Kabupaten/Kota.

(27)

5. Memiliki dan atau melakukan kerjasama dengan penggilingan padi dalam penggunaan sarana pengeringan, pengolahan dan penyimpanan, yang dibuktikan dengan perjanjian kerjasama dan diketahui oleh Tim Teknis Kabupaten/Kota.

6. Memiliki surat perjanjian kontrak pembelian gabah/beras dengan petani dan atau kelompok tani.

7. Memiliki mitra dagang untuk pemasaran gabah/beras.

8. Mampu menyediakan dan menyerahkan agunan barang tidak bergerak senilai sekurang-kurangnya 150% dari DPM yang diterima dan memberikan AHPT yang dibuat di hadapan notaris.

9. Bersedia menyerahkan surat kuasa pemindahbukuan dana LUEP dari rekening Giro 1 (satu) kepada Rekening Bendaharawan Penerima Provinsi.

10. Tidak menyalurkan DPM yang diterimanya kepada LUEP lainnya atau kepada Badan/Lembaga usaha lainnya.

11. Wajib menggunakan DPM untuk pembelian gabah/beras petani dan atau kelompok tani mitranya.

12. Bersedia membayar biaya notaris yang dipilih LUEP untuk mendapatkan surat AHPT.

13. Bersedia membuat laporan Form-A setiap bulan dan dikirimkan kepada Tim Teknis Kabupaten/Kota.

Sesuai dengan Pedoman Umum DPM-LUEP, pengusulan persyaratan oleh kelompok calon penerima DPM mulai dilaksanakan pada bulan Desember (Minggu IV). Dalam pengusulan persyaratan tersebut, kelompok diberikan waktu 15 hari untuk menyelesaikan dan memenuhi persyaratan yang dibutuhkan sebagai calon LUEP penerima DPM.

E. Mekanisme Penetapan, Penyaluran dan Pengembalian Dana

(28)

terjadi kerjasama yang saling menguntungkan antara petani dan LUEP. Petani mendapat manfaat, karena menerima harga gabah yang wajar, sedangkan LUEP mendapatkan nilai tambah dari pengolahan, penyimpanan dan penjualan gabah/beras (Badan Ketahanan Pangan Deptan, 2004). Oleh karena itu, diperlukan evaluasi mekanisme penetapan dan penyaluran dana sehingga dapat meningkatkan penyerapan gabah/beras petani serta pendapatan usaha ekonomi pedesaan (Badan Ketahanan Pangan Deptan, 2003).

Proses penetapan DPM-LUEP idealnya dilaksanakan 30 hari waktu kerja efektif yang dilaksanakan pada bulan Junuari (Minggu II), sehingga proses pencairan DPM dapat dilaksankaan pada bulan Februari – Maret untuk tahap awal.

(29)

Gambar 1. Prosedur Penetapan LUEP (Badan Ketahanan Pangan Deptan, 2006) Keterangan :

Garis Komando Identifikasi/Verifikasi Laporan

(4) Gubernur

Kepala Badan/Dinas/Kantor

KP/Unit Kerja Provinsi

Tim Teknis Provinsi

Kepala

Badan/Dinas/Kantor KP Unit Kerja Kab/Kota

Tim Teknis Kab/Kota

LUEP

Kel. Tani a

a (4)

b + (3)

(3) (3)

c + (5)

(1)

(2) Bupati

(30)

Keterangan :

a : Gubernur menetapkan Kepala Badan/Dinas/Kantor Ketahanan Pangan (KP) Provinsi sebagai penanggung jawab kegiatan dan menetapkan Tim Teknis DPM-LUEP tingkat provinsi.

b : Bupati/Walikota, menetapkan Tim Teknis Kab/Kota dan mengusulkan calon penerima DPM-LUEP kepada Badan/Dinas/Kantor KP provinsi.

c : Kepala Badan/Dinas/Kantor KP provinsi menetapkan peserta kegiatan DPM-LUEP.

(1) : Tim Teknis Kab/Kota melakukan identifikasi dan penilaian terhadap LUEP dan kelompok tani.

(2) : LUEP yang memenuhi persyaratan, membuat surat perjanjian pembelian gabah/beras dari kelompok tani.

(3) : Atas dasar surat perjanjian pembelian gabah/beras dari petani/kelompok tani oleh LUEP dan hasil identifikasi, Tim Teknis Kab/Kota mengusulkan kepada Kepala Badan/Dinas/Kantor KP Kab/Kota, untuk diusulkan ke Bupati.

(4) : Usulan dari Bupati/Walikota terhadap LUEP dan Kelompok tani, selanjutnya diverifikasi oleh Tim Teknis Provinsi.

(31)

KPPN

PROVINSI GUBERNUR

BENDAHARAWAN PROVINSI

Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)

BUPATI/WALIKOTA TIM TEKNIS KAB/KOTA

LUEP

Kelompok tani Rek Giro I

Rek Giro II

BANK

Penyetoran 1 x 24 jam d

f

f

e a

MOU b

3 1

4 c

c

2

Keterangan :

Garis komando Pengembalian DPM Laporan

Rekomendasi

(32)

Kerjasama (MOU) tentang penggunaan DPM-LUEP.

b. Dana yang telah diterima melalui rekening giro I LUEP di Bank Pelaksana Kabupaten/Kota, dapat dicairkan oleh LUEP dengan tahapan dan mekanisme sebagai berikut :

(1) LUEP mengajukan usulan penarikan DPM-LUEP ke Bank Pelaksana berdasarkan rekomendasi Tim Teknis Kabupaten/Kota. Untuk tahap pertama, usulan pengambilan dana oleh LUEP hanya diperkenankan maksimal 40 persen dari nilai kontrak dan pencairan untuk tahap berikutnya dapat dilaksanakan setelah penggunaan pencairan tahap pertama dipertanggungjawabkan dan berdasarkan rekomendasi Tim Teknis Kabupaten/Kota sesuai penilaian kinerja LUEP;

(2) Berdasarkan usulan penarikan dana oleh LUEP dan rekomendasi Tim Teknis Kabupaten/Kota, Bank Pelaksana mentransfer ke rekening giro II LUEP;

(3) LUEP dapat mencairkan DPM dari rekening giro II, untuk selanjutnya digunakan membeli gabah/beras petani sesuai dengan perjanjian kontrak jual beli dengan kelompok tani;

(4) LUEP wajib membeli gabah/beras petani mitranya pada wilayah kerja LUEP sesuai dengan kontrak yang disepakati. Pada putaran kedua dan seterusnya diatur lebih lanjut dalam petunjuk pelaksanaan di masing-masing provinsi.

c. Selambat-lambatnya pada tanggal 15 Desember, LUEP wajib mengembalikan DPM sebesar dana yang diterima ke rekening bendaharawan penerima provinsi.

d. Dana pengembalian DPM oleh LUEP yang diterima Bendaharawan Penerima Provinsi, disetor ke Rekening Kas Negara selambat-lambatnya satu hari atau 24 jam setelah tanggal penerimaan dari LUEP.

(33)

pokok maupun denda dan dinyatakan dengan berita acara serah terima jaminan/agunan.

f. Setelah tanggal 15 Desember, KPA Provinsi merekapitulasi data pengembalian per LUEP untuk kemudian dilaporkan kepada Bupati, Gubernur dan Badan Ketahanan Pangan pada tanggal 1 dan 15 setiap bulannya.

g. Pada saat tidak ada pembelian gabah/beras, LUEP wajib mengembalikan DPM yang diterimanya ke rekening I yang diatur lebih lanjut didalam petunjuk pelaksanaan masing-masing provinsi pelaksana kegiatan DPM-LUEP.

F. Mekanisme Penyelesaian Tunggakan

Penyelesaian tunggakan pinjaman dana DPM-LUEP dilaksanakan sesuai dengan ketetapan yang berlaku sebagi berikut :

1. Kepala Badan/Dinas/Kantor/Unit Kerja yang menangani ketahanan pangan provinsi menyerahkan agunan LUEP yang belum melunasi tunggakan pengembalian DPM-LUEP tahun anggaran yang telah berjalan ke KP2LN di wilayah kerja pelayanan untuk selanjutnya diproses sesuai dengan peraturan yang berlaku.

2. Penyerahan agunan dilakukan 50 hari setelah jatuh tempo pengembalian, dengan melampirkan : (i) data penyerahan kasus piutang, (ii) daftar agunan asli yang diserahkan, (iii) akta pemberian hak tanggungan (APHT).

3. Apabila nilai angunan yang dilelang lebih rendah dari nilai tunggakan maka LUEP wajib melunasi kekurangannya.

4. KP2LN melaporkan perkembangan proses pelelangan kepada Kepala Badan/Dinas/Kantor/Unit Kerja yang menangani ketahanan pangan provinsi, kemudian direkapitulasi dan dilaporkan kepada Gubernur dengan tembusan kepada Kepala Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian dan Bupati/Walikota.

G. Mekanisme Pengawasan dan Pengendalian

(34)

1. BupatiWalikota melalui pejabat yang ditunjuk melaksanakan pengawasan internal terhadap; (i) pelaksana kegiatan DPM-LUEP atas pengelolaan serta pelaksanaan teknis dan administratif, (ii) Bank pelaksana atas dasar proses pencairan, penyaluran dan pengembalian dana DPM, serta (iii) LUEP atas pemanfaatan DPM untuk membeli gabah petani.

2. Gubernur melalui pejabat yang ditunjuk melaksanakan pengawasan internal terhadap; (i) pelaksana kegiatan DPM-LUEP atas pengelolaan teknis dan administratif di tingkat kabupaten/kota, dan (ii) Bank pelaksana atas proses pencairan, penyaluran dan pengembalian dana DPM.

3. Menteri Pertanian melalui pejabat yang ditunjuk melaksanakan pengawasan internal terhadap pengelola kegiatan DPM-LUEP pada Badan Ketahanan Pangan atas pengelolaan kegiatan DPM-LUEP.

4. Pengawasan fungsional atas substansi yang sama di tingkat Kabupaten/Kota dan Provinsi juga dilaksanakan oleh pejabat fungsional dari Departemen Pertanian maupun dari instansi pengawasan pembangunan nasional yaitu BPKP dan BPK.

Mekanisme pengendalian dilakukan secara berjenjang mulai dari Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pusat.

1. Bupati/Walikota melalui Tim Teknis Kabupaten/Kota, dengan mengacu pada laporan hasil evaluasi dan pengawasan, melakukan pengendalian terhadap penyimpangan adminstratif maupun teknis pada pengelolaan dan pelaksanaan kegiatan DPM-LUEP di tingkat lapangan untuk menjamin tercapainya tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan di tingkat kabupaten. 2. Gubernur, melalui Tim Teknis Provinsi, dengan mengacu pada laporan

hasil evaluasi dan pengawasan tingkat kabupaten/kota dan Provinsi, melakukan pengendalian terhadap penyimpangan administratif maupun teknis pada kegiatan DPM-LUEP di tingkat kabupaten/kota dan Provinsi, dalam rangka menjamin tercapainya tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan di tingkat provinsi.

(35)

terhadap penyimpangan pada pengelolaan kegiatan DPM-LUEP di tingkat Provinsi, dalam rangka menjamin tercapainya tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan di tingkat nasional.

H. Profitabilitas

Perhitungan profitabilitas didasarkan atas berbagai aspek. Dalam hal ini ini, laju penghasilan sederhana (simple rate of return), yaitu keuntungan bersih setelah dipotong pajak dibagi rataan modal sendiri (average equity), cadangan (reserves), dan keuntungan yang belum terbagi harus lebih besar dari pada bunga yang berlaku di pasar modal (Soesarsono, 2003). Untuk menilai kemampuan usaha dalam memperoleh laba dapat dianalisa melalui : 1. Laju penghasilan (rate of return)

Laju penghasilan mencakup beberap faktor yaitu : (a) penghasilan penjulan (sale revenue), (b) biaya operasional, (c) penyusutan, (d) bunga pinjaman, (e) keuntungan sebelum dan sesudah dipotong pajak.

%

2. Lama pembayaran kembali (rate of repayment)

pajak

Untuk mengetahui besar keuntungan yang diperoleh harus diketahui besar biaya dan besar penerimaan. Keuntungan yang diperoleh adalah selisih penerimaan dikurangi biaya.

%

4. Marginal Income Ratio (MIR)

Marginal Income Ratio (MIR) adalah rasio antara marginal income dengan hasil penjualannya yang menggambarkan bagian dari hasil produk

(36)

yang tersedia untuk menutup biaya tetap dan laba (Sigit, 1987). Marginal Income adalah selisih antara hasil penjualan dengan biaya variabel.

%

Margin of Safety merupakan ratio antara volume penjualan yang diperkirakan dengan volume penjualan pada titik impas. Hubungan ini disebut sebagai batas keamanan bagi perusahaan, sehingga tidak merugi dan tidak pula memperoleh keuntungan (Sigit, 1987).

%

I. Focus Discussion Group

Menurut Lingkaran Survei Indonesia (2006) focus Discussion Group (FGD) yang biasa disebut diskusi kelompok terarah, secara sederhana dapat didefinisikan sebagai suatu diskusi yang dilakukan secara sistematis dan terarah atas suatu isu atau masalah tertentu. Meski sebuah diskusi, FGD tidak sama dengan pembicaraan di kedai warung kopi, karena FGD tidak hanya sebuah diskusi tetapi diskusi yang terarah dan sistematis. Dengan kata lain, FGD adalah sebuah bentuk diskusi dimana peserta, proses dan topik diskusi dirancang sedemikian rupa untuk mendapatkan informasi tertentu.

FGD adalah salah satu bentuk riset dalam penelitian sosial. Karena itu pelaksanaan FGD dilakukan dengan menggunakan prosedur tertentu. Penyelenggara menentukan tujuan dari riset dan merumuskankan tujuan tersebut ke dalam tahapan-tahapan FGD.

Ada 2 bentuk format FGD. Pertama, FGD dengan format ketat (terstruktur), kedua FGD dengan format cair (kurang terstruktur). Format diskusi yang dipilih akan menentukan bentuk selanjutnya dari diskusi.

J. Critical Path Method (CPM)

Pada metode CPM terdapat dua buah waktu perkiraan waktu dan biaya untuk setiap kegiatan yang terdapat dalam jaringan. Kedua perkiraan tersebut

(37)

adalah perkiraan waktu penyelesaian dan biaya yang sifatnya normal (normal estimate) dan perkiraan waktu dan penyelesaian dan biaya yang sifatnya dipercepat (crash estimate). Dalam menentukan perkiraan waktu penyelesaian akan dikenal istilah jalur kritis yang merupakan jalur yang memiliki rangkaian-rangkaian kegiatan dengan total jumlah waktu terlama dan dan waktu penyelesaian proyek tercepat. Sehingga dapat dikatakan bahwa jalur kritis berisikan kegiatan-kegiatan kritis dari awal sampai akhir jalur (Murahartawaty, 2008).

Dalam metode CPM, seorang manajer proyek harus mampu mengidentifikasi jalur kritis dengan baik, sebab pada jalur ini terdapat kegiatan yang jika pelaksanaannya terlambat akan mengakibatkan keterlambatan seluruh proyek. Dalam sebuah jaringan kerja dapat saja terdiri dari beberapa jalur kritis.

Dalam perhitungan waktu juga digunakan tiga asumsi dasar yaitu : (1) proyek hanya memiliki satu initial event (start) dan satu terminal event (finish), (2) saat tercepat terjadinya initial event adalah hari ke-nol, dan (3) saat paling lambat terjadinya terminal event adalah latest activity start time sama dengan earliest activity start time (Murahartawaty, 2008)

Adapun cara perhitungan dalam menentukan waktu penyelesaian terdiri dari dua tahap, yaitu perhitungan maju dan perhitungan mundur.

1. Perhitungan maju

Dimulai dari start menuju finish untuk menghitung waktu penyelesaian tercepat suatu kegiatan, waktu tercepat terjadinya kegiatan dan saat paling cepat dimulainya suatu peristiwa.

2. Perhitungan mundur

(38)
(39)

III. METODE KAJIAN

1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan Kabupaten Bogor terhadap 45 responden yang terdiri dari pengurus, anggota penerima DPM dan petugas pembinaan. Kegiatan ini dilakukan pada bulan Januari - Desember 2007.

2. Pengumpulan Data

Dalam pelaksanaan digunakan sistem pendekatan pada obyek yang akan dikaji, dengan memperhatikan kenyataan di tingkat kelompok penerima bantuan DPM-LUEP. Adapun tahap-tahap pelaksanaan kajian meliputi :

1. Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner (Lampiran 1) kepada kelompok tani, dalam hal ini melalui focus group discussion dengan 45 responden yang terdiri dari pengurus, anggota penerima dan petugas pembinaan DPM-LUEP.

2. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui penelusuran pustaka berupa literatur-literatur, jurnal dan laporan-laporan yang relevan dengan masalah yang akan dibahas.

3. Pengolahan dan Analisis Data

Metode yang digunakan untuk menganalisis dan menginterpretasikan data adalah :

1. Analisis Deskriptif Kualitatif

(40)

umum atau generalisasi (Sugiyono 2002). Metode deskriftif ini dimasudkan untuk memaparkan atau menggambarkan karateristik Lembaga Usaha Ekomomi Pedesaan (LUEP) penerima dana penguatan modal yang meliputi kelembagaan, permodalan, administrasi dan manajerial, serta pemasaran yang dilakukan oleh kelompok LUEP.

2. Analisis Profitabilitas

Profitabilitas adalah kemampuan usaha dalam memperoleh laba dari hasil penjualannya. Profitabilitas dihasilkan dari perkalian antara Marginal Income ratio (MIR) dengan Margin of Safety (MOS).

a. Marginal Income Ratio (MIR)

Marginal Income Ratio (MIR) adalah rasio antara marginal income dengan hasil penjualannya yang menggambarkan bagian dari hasil produk yang tersedia untuk menutup biaya tetap dan laba (Sigit, 1987). Marginal Income adalah selisih antara hasil penjualan dengan biaya variabel.

Jika nilai MIR melebihi 50%, maka kondisi usaha akan semakin baik. Kemampuan usaha untuk menutup biaya tetap dan mendapat laba semakin besar. Peningkatan harga jual produk atau penurunan biaya variabel per unit produk akan meningkatkan nilai MIR.

P.Q – AVC.Q

MIR = x 100% P.Q

P – AVC

MIR = x 100% P

Dimana :

P : Harga Jual per unit (Rp)

(41)

b. Margin of Safety (MOS)

MOS merupakan ratio antara volume penjualan yang diperkirakan dengan volume penjualan pada titik impas. Hubungan ini disebut sebagai batas keamanan bagi perusahaan, sehingga tidak merugi dan tidak pula memperoleh keuntungan (Sigit, 1987). Jika nilai MOS melebihi 50%, maka keadaan usaha semakin membaik akibat tingkat keamanan usaha dalam menurunkan volume produksi atau penjualannya semakin besar. Rumus yang digunakan sebagai berikut :

P.Q – P.BEP

MOS = x 100% P.Q

Q – BEP

MOS = x 100% Q

Dimana :

P : Harga Jual per unit (Rp)

Q : Jumlah produk yang terjual per bulan (kg/Bln) BEP : Produksi pada saat titik impas (kg)

Hasil perkalian MIR dengan MOS menggambarkan tingkat kemampuan usaha dalam menghasilkan laba pada tingkat produksi tertentu dan biaya tertentu. Menurut Sigit (1987), Break Even Point (BEP) diartikan sebagai suatu keadaan dimana dalam operasi perusahaan, perusahaan tersebut tidak memperoleh laba dan tidak menderita kerugian. Dengan analisis ini, perusahaan dapat mengetahui volume penjualan minimum yang tidak mengakibatkan perusahaan mengalami kerugian, tetapi juga belum memperoleh laba.

(42)

ke tiga faktor yang mempengaruhi BEP, yaitu biaya tetap, biaya variabel dan harga jual, maka nilai peubah yang digunakan adalah nilai rata-ratanya.

Asumsi-asumsi yang harus dipenuhi agar perhitungan BEP dapat dilakukan (Sigit, 1987) adalah :

1. Biaya tersebut harus dapat dipisahkan menjadi biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah biaya yang jumlah totalnya tetap dalam perubahan volume produksi tertentu. Biaya variabel adalah biaya yang jumlah totalnya berubah sebanding dengan perubahan volume produksi. Satuan dalam pengukuran kedua biaya ini adalah rupiah.

2. Biaya tetap secara total akan selalu konstan sepanjang periode kerja sampai kapasitas tertentu.

3. Biaya variabel berubah sebanding dengan perubahan volume produksi atau tetap sama untuk setiap unit.

4. Harga unit produksi tidak berubah selama periode yang dianalisis. 5. Perusahaan hanya memproduksi satu jenis barang.

6. Barang yang diproduksi terjual semua pada periode yang bersangkutan. Menurut Wibowo (2007), ada beberapa cara untuk menentukan BEP, yaitu menggunakan teknik persamaan dan pendekatan grafis. Persamaan perhitungan titik impas adalah :

dimana:

BEP : Jumlah produksi pada saat titik impas (Kg)

TFC : Total biaya tetap (Rp)

Harga per unit : Harga penjualan per unit (Rp/kg) Biaya variabel per unit : Biaya variabel per unit (Rp/kg)

3. Analisis Focus Discussion Group BEP

TFC

(43)

Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif Focus Discussion Group (FGD) untuk observasi yang tidak terukur dan hanya dapat dideskripsikan. (Gale, 2006). Lingkaran Survei Indonesia (2006) mendefinisikan FGD sebagai suatu diskusi yang dilakukan secara sistematis dan terarah atas suatu isu atau masalah tertentu.

FGD merupakan salah satu bentuk riset dalam penelitian sosial, karena itu pelaksanaan FGD dilakukan dengan menggunakan prosedur tertentu. Salah satu ciri penting FGD adalah fokus dan terarah. Beberapa hal yang menjelaskan kenapa FGD merupakan sebuah bentuk diskusi yang terarah adalah : (1) topik atau materi yang akan didiskusikan telah ditentukan oleh penyelenggara, serta (2) peserta FGD juga diseleksi dengan tujuan dan target informasi yang ingin didapat dari sebuah FGD.

Karakteristik dari FGD, antara lain : (1) format diskusi; (2) jumlah peserta antara 6-12 orang; (3) panjang/lama diskusi antara 1,5-2 jam tiap sesi; (4) peserta diseleksi atau ditentukan oleh penyelenggara sesuai dengan tujuan riset dan mempunyai karakteristik atau ciri yang sama; (5) bentuk data percakapan (termasuk intonasi atau mimik muka), gerak tubuh dan bahasa non verbal; (6) pengambilan data dari rekaman diskusi (bisa audio dan video) dan transkrip hasil diskusi; (7) moderator menggunakan petunjuk pelaksanaan diskusi dan dilengkapi dengan topik-topik yang akan didiskusikan termasuk alokasi waktu dari masing-masing topik; (8) format laporan deskripsi dan narasi dengan pengutipan pilihan komentar atau pendapat, serta analisis dari aspek (misalnya, argumentasi yang banyak muncul, sudut pandang yang banyak keluar dari peserta) (Lingkaran Survei Indonesia, 2006).

(44)

secara keseluruhan. Tujuan dari FGD adalah untuk pendalaman (insight). Dari peserta FGD dapat ditangkap alasan, motivasi dan argumentasi (Lingkaran Survei Indonesia, 2006).

Dalam kajian ini digunakan model focus group terhadap 45 responden yang merupakan pengurus, anggota dan petugas pembina kelompok LUEP. Pada kelompok penerima DPM-LUEP masing-masing kelompok diwakili oleh 6 responden, antara lain kelompok Mitra Sari, Oryza Sativa, Berkah Mandiri, Lisung Kiwari, Sugih Tani, Sari Mekar, Setia Kaum Tani, Subur Tani dan petugas pelaksana di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Peserta FGD mendiskusikan dan menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan untuk mendapatkan suatu kesimpulan yang dapat digunakan untuk mengevaluasi mekanisme penyaluran dana penguatan modal kepada lembaga usaha ekonomi perdesaan dan kendala dalam implementasi di lapangan. Wawancara yang dilakukan dalam FGD dilakukan secara langsung dan dibantu dengan memberikan pertanyaan dalam bentuk kuesioner.

4. Analisis Critical Path Method

Critical Path Method (CPM) merupakan metode untuk menentukan peluang sampai dimana pelaksanaan suatu proyek sesuai dengan waktu yang diantisipasikan (Hubeis, 2007). Ciri proyek didasarkan pada perhitungan waktu realistis dan terarah pada tugas jaringan kerja. Rumus yang dapat digunakan dalam CPM sebagai berikut :

(45)

WK = Waktu yang diperkirakan

(46)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Keadaan Umum

Kegiatan DPM-LUEP bersifat pelengkap dengan kegiatan lainnya dan dimaksudkan untuk saling memperkuat kegiatan serupa yang telah dilaksanakan oleh pemerintah dalam menjaga stabilitas dan meningkatkan harga gabah/beras di tingkat petani, seperti pengembangan lumbung desa, pengembangan sistem tunda jual dan pengadaan gabah/beras dalam negeri oleh Bulog.

DPM yang dipinjamkan kepada LUEP di Kabupaten Bogor dimanfaatkan untuk pembelian gabah/beras yang kemudian dilakukan pengolahan, sehingga mutunya meningkat melalui proses pengeringan, penggilingan, sortasi dan pengemasan, untuk kemudian dapat dijual ke pasar bebas (pasar lokal, perdagangan antar pulau, ekspor), ke mitra kerja sama (Koperasi Pegawai Negeri, Koperasi Karyawan, Perum Bulog, dan lainnya). Dari hasil pengolahan dan penjualan tersebut, kelompok dapat memperoleh nilai tambah dan keuntungan.

Kelompok penerima DPM-LUEP di Kabupaten Bogor merupakan kelompok yang telah berbadan hukum dengan bentuk Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN), Koperasi Tani (Koptan) dan Koperasi Unit Desa (KUD). Pelaksanaan DPM-LUEP di Kabupaten Bogor mulai dilaksanakan pada tahun 2004 dengan alokasi dana Rp 600.000.000,-, dan jumlah

penerima 4 kelompok. Pada tahun 2005 berkembang menjadi Rp 750.000.000,- dengan jumlah penerima dana 5 kelompok, dan pada tahun

(47)

Dalam perkembangan pelaksanaan DPM-LUEP yang diberikan kepada kelompok di Kabupaten Bogor, terdapat kelompok yang pada awalnya mendapatkan dana penguatan modal, namun pada pelaksanaan tahun berikutnya tidak dialokasikan. Hal tersebut disebabkan karena adanya faktor intern di dalam kelompok penerima yang menyangkut pengelolaan aktivitas dan manajemen kelompok.

Tabel 1. Perkembangan pelaksanaan DPM-LUEP Kab. Bogor

Dalam pembinaan DPM-LUEP di 8 kelompok LUEP dilaksanakan supervisi, monitoring dan evaluasi terhadap : (1) pembelian, penjualan gabah per bulan dan pelaporannya; (2) administrasi keuangan; (3) permasalahan dan pemecahan masalah; (4) kemitraan. sumber biaya dari Proyek Pengembangan Kelembagaan dan Ketahanan Pangan Propinsi Jawa Barat Tahun 2005 senilai Rp 10.500.000,-.

Maksud dan tujuan pembinaan DPM LUEP di Kabupaten Bogor adalah : (1) meningkatkan pemberdayaan kelembagaan ekonomi masyarakat melalui peran aktif kelompok LUEP dalam menjamin pemasaran gabah/beras

petani dengan harga jual yang masih menguntungkan usahatani padi;

1 Antanan 110.000.000 - - -2 Koptan Mitrasari 140.000.000 160.000.000 160.000.000 100.000.000 3 Koptan Lisungkiwari - 90.000.000 120.000.000 165.000.000 4 KUD Sugih Tani - 90.000.000 125.000.000 75.000.000 5 KUD Oryza sativa 280.000.000 300.000.000 300.000.000 300.000.000 6 Koptan Berkah Mandiri - 110.000.000 160.000.000 125.000.000 7 Gapoktan Setia Kaum Tani 70.000.000 - 67.500.000 210.000.000 8 Gapoktan Sari Mekar - - 67.500.000 75.000.000 9 Gapoktan Subur Tani - - - 100.000.000 Jumlah 600.000.000 1.000.000.000750.000.000 1.150.000.000

Nama Kel. LUEP No

2007 2006

Alokasi DPM LUEP (Rp)

(48)

(2) pembelian gabah/beras oleh LUEP dalam rangka menjaga stabilitas harga yang diterima petani minimal sesuai dengan HPP; (3) mendekatkan petani/kelompok tani terhadap pasar melalui kerjasama dengan LUEP.

B. Hal Yang Dikaji

Di dalam penelitian ini ada tiga komponen utama yang akan dikaji berkaitan dengan efektivitas pelaksanaan DPM-LUEP di Kabupaten Bogor yang meliputi karateristik penerima DPM-LUEP, faktor-faktor yang dapat meningkatkan pendapatan keuntungan pada lembaga usaha ekonomi pedesaan, evaluasi persyaratan penetapan LUEP penerima DPM, serta penetapan dan penyaluran DPM-LUEP. Hasil kajian yang digunakan untuk menganalisis dan menginterpretasikan data adalah sebagai berikut :

1. Karakteristik Kelompok Penerima DPM-LUEP

Kelompok LUEP, antara lain : Mitra Sari, Oryza Sativa, Berkah Mandiri, Lisung Kiwari, Sugih Tani, Sari Mekar, Sugih Tani dan Subur Tani, merupakan kelompok yang memiliki ciri berbeda dengan kelompok usaha lainnya. Dari hasil observasi terhadap responden didapatkan data sebagi berikut :

a. Kelembagaan

Delapan kelompok penerima DPM-LUEP, merupakan kelompok yang memiliki badan hukum dengan jenis koperasi tani, koperasi unit desa dan gabungan kelompoktani. Kelompok tersebut mempunyai umur yang bervariasi, tetapi keberhasilan usaha kelompok tani tersebut tidak bergantung umur usaha tetapi dari mutu dan jejak rekam (track record)

dalam melaksanakan usahanya. Semua kelompok tani tersebut termasuk usaha kecil karena jumlah tenaga kerjanya antara 5-19 orang sesuai pengertian usaha kecil menurut Deperin (1986).

b. Permodalan

(49)

pada responden diketahui bahwa sumber permodalan pada kelompok LUEP selain dari DPM-LUEP umumnya berasal dari modal sendiri, karena kelompok LUEP masih belum mengetahui dan mampu untuk mengakses permodalan pada perbankan (Lampiran 3).

c. Administrasi dan Manajerial

Pada awal pelaksanaan DPM-LUEP, kelompok LUEP penerima dana penguatan modal memiliki administrasi kelompok yang sangat lemah. Hal tersebut tercermin dari laporan dan pembukuan kelompok yang tidak teratur dan nilainya tidak mendekati kewajaran, karena tidak didukung dengan bukti-bukti yang akurat. Aspek manajerial kelompok tidak berjalan dengan baik. Hal tersebut disebabkan aktivitas produksi kelompok tidak dikelola dengan baik, sehingga aktivitas usaha menjadi kurang efisien. Namun dengan adanya program DPM-LUEP, perlahan-lahan administrasi dan majerial kelompok mulai dapat ditata dengan baik melalui pembinaan dan pendampingan oleh petugas pelaksana di tingkat Kabupaten.

d. Pemasaran

Di dalam dunia usaha modern, fungsi pemasaran memegang peranan sangat penting, terutama untuk masuk ke pasar, bahkan jika perlu menguasai pasar. Pemasaran hasil oleh kelompok LUEP berupa beras bermutu sebagai produk utama mempunyai pangsa pasar khusus dengan konsumen dan pedagang seperti pengguna akhir, pedagang pengecer, pedagang besar, toko dan industri. Untuk konsumen pengguna akhir, produk dapat diambil sendiri dan dibayar tunai, sedangkan untuk pedagang pengecer, pedagang besar dan toko pada umumnya dikirim langsung. Hal ini disebabkan jumlah produk yang dipesan lebih banyak dibandingkan pengguna akhir sehingga ada fasilitas pengiriman produk.

(50)

jumlah produk yang dipesan. Sistem pembayaran kredit menggunakan jangka waktu pembayaran satu bulan, karena dalam jangka waktu tersebut konsumen diharapkan telah mampu untuk memutar modalnya terlebih dulu (Lampiran 4).

2. Analisis Profitabilitas a. Marginal Income Ratio (MIR)

Nilai MIR dari Kelompok peserta LUEP dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa nilai MIR pada 7 kelompok penerima DPM-LUEP melebihi 50%. Hal tersebut menunjukkan bahwa kelompok penerima DPM-LUEP di Kabupaten Bogor secara umum memiliki kemampuan untuk menutup biaya vairabel total dan mendapatkan keuntungan.

Nilai tertinggi kelompok LUEP diperoleh kelompok Lisung Kiwari dengan nilai MIR 74,72%. Hal ini menunjukkan kemampuan kelompok Lisung Kiwari untuk menutup total biaya variabel dari hasil pendapatan penjualan dan mendapatkan laba cukup besar. Nilai MIR terendah diperoleh kelompok Sugih Tani dengan nilai MIR 43,03%, yang menunjukkan bahwa kemampuan kelompok untuk menutup total biaya variabel dan mendapatkan laba cukup rendah.

Tabel 2. Nilai MIR Kelompok Tani anggota LUEP

Kelompok tani Pendapatan Penjualan (Rp)

Biaya Variabel Total (Rp)

(51)

b. Margin of Safety

Nilai MOS kelompok penerima LUEP dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3 terlihat bahwa perolehan nilai MOS pada 7 kelompok telah melebihi 50%, bahkan beberapa kelompok telah melebihi 80%. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok LUEP secara umum telah dapat mencapai batas keamanan untuk menurunkan tingkat penjualannya sampai 80%. Semakin tinggi nilai MOS maka kondisi kelompok akan semakin membaik akibat tingkat keamanan usaha dalam menurunkan dan meningkatkan volume produksi dan nilai penjualannya semakin besar.

Nilai MOS tertinggi kelompok LUEP adalah Oryza Sativa dengan nilai 92,87%, yang menunjukkan bahwa tingkat penjualan aktual kelompok 92,87% di atas tingkat penjualan impasnya. Nilai MOS terendah adalah kelompok LUEP Sugih Tani dengan nilai 30,70% yang menunjukkan bahwa tingkat penjualan aktual kelompok hanya mencapai 30,70% di atas tingkat penjualan impasnya.

Tabel 3. Nilai MOS Kelompok Tani anggota LUEP

Kelompok tani Volume Produk (kg)

BEP (kg)

MOS (%) Oryza Sativa 240.420 17.152 92,87 Lisung Kiwari 180.498 15.301 91,52 Setia Kaum Tani 157.740 21.070 86,64

Mitra Sari 96.840 14.503 85,02

Berkah Mandiri 121.620 21.322 82,47

Sari Mekar 51.480 15.319 70,24

Subur Tani 68.790 20.751 69,83

Sugih Tani 34.470 23.887 30,70

(52)

Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa nilai BEP tertinggi ada pada kelompok tani Sugih Tani sebesar 23.887 kg, dimana total biaya tetapnya sebesar Rp. 42.140.000 dan biaya variabelnya Rp. 79.768.350. Sementara nilai BEP terendah adalah Mitra Sari sebesar 14.503 kg, dengan total biaya tetap Rp. 43.200.000 dan biaya variabel Rp. 114.396.200.

c. Profitabilitas

Dari hasil nilai MIR dengan MOS di atas, dapat diketahui nilai profitabilitas masing-masing kelompok tani. Nilai profitabilitas didapatkan dari perkalian antara MIR dengan MOS. Hasil nilai profitabilitas kelompok LUEP dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Nilai Profitabilitas Kelompok Tani anggota LUEP

Kelompok tani MIR (a) (%)

MOS (b) (%)

Profitabilitas (a x b) (%)

Lisung Kiwari 74,72 91,52 68,39

Mitra Sari 71,60 85,02 60,88

Oryza Sativa 65,03 92,87 60,39

Berkah Mandiri 69,04 82,47 56,94

Setia Kaum Tani 63,83 86,64 55,30

Sari Mekar 61,67 70,24 43,32

Subur Tani 60,82 69,83 42,47

Sugih Tani 43,03 30,70 13,21

(53)

Nilai Profitabilitas tertinggi diperoleh pada kelompok Lisung Kiwari 68,39%. Hal tersebut menunjukkan bahwa kemampuan untuk menutupi biaya total untuk memperoleh keuntungan sebesar 68,39%, sehingga menunjukkan pengembalian pinjaman cukup baik. Sementara itu, nilai profitabilitas terkecil diperoleh kelompok Sugih Tani sebesar 13,21%, sehingga kemampuan untuk menutupi biaya total dan memperoleh keuntungan kecil, yang mengindikasikan kemampuan kelompok dalam pengembalian pinjaman modal kurang baik.

Upaya untuk meningkatkan nilai profitabilitas kelompok penerima dana penguatan modal lembaga usaha ekonomi pedesaan untuk memperoleh keuntungan guna menutupi pinjaman modal dapat dilakukan dengan (a) melakukan efektifitas dalam pembelian bahan baku/gabah (putaran/daur), dalam hal ini memaksimalkan dana penguatan modal yang dipinjam untuk pembelian gabah dalam beberapakali perputaran pembelian; (b) peningkatan pembelian bahan baku yang akan meningkatkan hasil produk yang diolah; (c) menurunkan biaya total terhadap pendapatan penjualan, khususnya efisiensi biaya variabel total yaitu pada biaya upah giling, upah jemur, pemasaran dan biaya lain-lain; dan (d) melakukan stok produk menunggu peningkatan harga jual produk (beras) di pasaran.

3. Analisis Focus Discussion Group

Analisis FGD dilakukan untuk mengevaluasi efektifitas persyaratan penetapan, proses penetapan dan penyaluran dan pengembalian DPM pada kelompok LUEP di Kabupaten Bogor.

Bentuk riset dalam penelitian dan kajian ini menggunakan model focus group yang terdiri dari 45 orang responden peserta FGD. Dimana pada setiap kelompok LUEP berjumlah 5 - 6 responden pada 8 kelompok LUEP penerima dana penguatan modal, antara lain kelompok LUEP Mitra Sari,

(54)

hal yang dapat menjelaskan kenapa FGD adalah sebuah diskusi yang terarah. Topik atau materi yang akan didiskusikan telah ditentukan dalam mengetahui permasalahan yang terjadi dalam persyaratan penetapan, proses penetapan dan penyaluran dan pengembalian dana penguatan modal seperti pada Lampiran 6.

a. Persyaratan Penetapan LUEP Penerima DPM

Pada awalnya kelompok tani dan kelompok usaha tertarik dengan program DPM-LUEP karena merupakan pinjaman modal tanpa bunga. Dengan sistem non bunga seperti yang diterapkan LUEP, dibanding sistem bunga seperti di bank konvensional dianggap lebih menguntung-kan dan memihak kepada kelompok LUEP, karena prosesnya lebih mudah, menggunakan pola kemitraan, memuat program sosial dan risiko yang kurang akibat adanya pembinaan dan pengawasan langsung oleh petugas dan penanggung jawab DPM-LUEP. Sampai saat ini, selain pinjaman modal dengan sistem syariah dari program sejenis, baru program LUEP yang menjalankan sistem non bunga.

Persyaratan dalam penetapan DPM-LUEP telah disusun dengan memperhatikan kondisi dari kelompok LUEP, dimana dalam proses pengajuan DPM-LUEP harus memenuhi 13 persyaratan. Waktu yang diperlukan dalam proses pengajuan persyaratan DPM-LUEP maksimal 15 hari efektif, yang mulai dilaksanakan pada bulan Desember, dimana kelompok diberikan waktu 15 hari untuk menyelesaikan persyaratan yang dibutuhkan dalam penetapan calon DPM-LUEP.

Untuk mengetahui dan mendalami permasalahan-permasalahan yang dominan pada persyaratan penetapan LUEP penerima dana penguatan modal dilakukan analisis berdasarkan FGD yang dilaksanakan pada 8 kelompok penerima DPM-LUEP. Hasil FGD seperti disajikan pada Tabel 5.

(55)

Tabel 5. Hasil FGD mengenai Persyaratan

Permasalahan yang ditemui dalam FGD Hasil FGD (%)

Masalah Bkn Masalah

- Informasi mengenai persyaratan pengajuan

DPM-LUEP belum dipahami secara baik oleh kelompok.

89 11

- Manajemen dan administrasi kelompok

yang masih sangat sederhana 67 33

- Pemenuhan persyaratan yang belum

lengkap menjadikan waktu penyelesaian persyaratan menjadi tertunda

33 67

- Persyaratan yang harus dipenuhi terlalu

banyak. 49 51

- Kemitraan yang di syaratkan untuk

kelompok belum terdokumentasi dengan baik.

44 56

- Kelompok tani penerima harus berbadan

hukum, sehingga mengurangi kesempatan kelompok lain untuk mengakses DPM LUEP

93 7

- Kelompok tani/kelompok usaha belum

memilki rekening giro 44 56

- Terlalu besarnya persentase agunan yang

dipersyaratkan, sehingga mengurangi kesempatan kelompok yang kurang mampu

96 4

Permasalahan yang paling dominan dalam penetapan LUEP ditunjukkan pada Tabel 6 adalah :

1) Agunan yang dipersyaratkan sebesar 150% dari total pinjaman, dirasakan sangat memberatkan kelompok, karena akan mengurangi kesempatan kelompok yang tidak memiliki agunan atupun yang memiliki nilai agunan yang kecil dalam memperoleh DPM-LUEP. 2) Kelompok LUEP yang akan mengajukan DPM-LUEP harus berbadan

hukum, dimana secara umum diketahui bahwa kelompok LUEP di Kabupaten Bogor masih sangat terbatas yang terdaftar sebagai lemba-ga berbadan hukum, sehinglemba-ga akan menimbulkan kesan bahwa hanya lembaga yang telah mapan saja yang dapat mengakses DPM-LUEP. 3) Informasi mengenai persyaratan pengajuan DPM-LUEP belum

(56)

4) Manajemen dan administrasi kelompok yang masih sangat sederhana dimana kelompok dalam manajerial usaha belum dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip akuntansi dan pelaporan yang baik, hal tersebut berdampak pada pemenuhan persyartaan DPM-LUEP.

Tabel 6. Hasil FGD mengenai proses penetapan DPM-LUEP

Permasalahan yang ditemui dalam FGD Hasil FGD (%) Masalah Bkn Masalah

- Pesyaratan administrasi tidak disiapkan lebih awal oleh calon penerima DPM-LUEP tingkat

Kabupaten

49 51

- Dalam pelaksanaan penetapan LUEP di Kab, Tim Teknis Kabupaten tidak melaksanakan identifikasi sesuai dengan jadwal, yaitu pada awal bulan Januari.

22 78

- Penandatanganan SK dan pengusulan oleh Bupati ke Propinsi belum berjalan sesuai dengan jadwal (Januari)

22 89

- Seringnya terjadi keterlambatan dalam pelaksana-an verifikasi oleh Tim teknis Propinsi terhadap usulan penerima LUEP Kabupaten.

78 22

- Terlambatnya pengusulan rekomendasi oleh Tim Teknis Propinsi ke Gubernur berdampak pada keterlambatan penetapan penerima DMP-LUEP

78 22

- Penandatanganan SK penetapan LUEP oleh Gubernur sering mengalami keterlambatan yang berpengaruh pada proses penyaluran DPM, karena kendala non teknis

93 7

- SK yang telah penetapan oleh gubernur tidak dinformasikan dengan cepat kepada Instansi pelaksana di tingkat Kabupaten

33 67

- LUEP yang telah ditetapkan oleh Gubernur melalui Badan/Unit Kerja Propinsi tidak disampaikan secara cepat oleh Unit kerja penanggung jawab Kabupaten kepada Kelompok.

18 82

- Keterlambatan penetapan DPM LUEP dipengaruhi

birokrasi yang cukup panjang. 93 7

Atas dasar munculnya permasalah-permasalah dalam penetapan LUEP penerima dana penguatan modal, maka rekomendasi yang disarankan sebagai berikut :

(57)

2) Pelaksanaan pembinaan dan penyuluhan kepada kelompok LUEP dalam penguatan kelembagaan kelompok sehingga mampu meningkatkan aspek legalitas kelompok LUEP.

3) Penanggung jawab dan petugas pelaksana di tingkat Kabupaten/Kota perlu meningkatkan sosialisasi dan advokasi terhadap kelompok LUEP dalam meningkatkan pemahaman dan pengetahuan dalam mengajukan persyaratan penetapan LUEP.

4) Peningkatan manajemen dan administrasi kelompok LUEP melalui pendampingan dan pelatihan manajemen kelompok.

b. Proses Penetapan DPM-LUEP

Proses penetapan DPM-LUEP merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan dari persyaratan dalam penetapan LUEP penerima dana penguatan modal, dimana penetapan DPM-LUEP sangat dipengaruhi oleh kelengkapan persyaratan yang telah ditetapkan.

Dalam proses penetapan DPM-LUEP sangat dipengaruhi oleh kelancaran pelaksana birokrasi di tingkat Kabupaten/Kota dan Propinsi. Penetapan DPM-LUEP yang dimulai dari penetapan tim Instansi penanggung jawab dan Teknis di tingkat Propinsi dan Kabupaten, Identifikasi calon penerima di tingkat Kabupaten/Kota dan verifikasi usulan calon penerima DPM-LUEP oleh tim Teknis Propinsi sampai kepada penetapan DPM-LUEP oleh Gubernur dan Bupati idealnya dapat dilaksanakan dalam waktu kurang lebih 30 hari waktu kerja efektif yang dimulai pada bulan Januari.

Dari kenyataan pelaksanaan di lapangan tidak seperti yang ditetapkan di Pedoman umum (Pedum), Petunjuk pelaksanaan (Juklak) dan Petunjuk teknis (Juknis), dimana terjadi keterlambatan dalam proses penetapan sehingga waktu proses mejandi lebih lama kurang lebih 44 hari waktu kerja efektif. Hal tersebut menunjukkan bahwa faktor birokrasi dapat berpotensi besar menjadi kendala dalam proses penetapan DPM-LUEP (Lampiran 5).

(58)

DPM-LUEP, diketahui bahwa pada proses penetapan kelompok penerima dana penguatan modal masih terdapat ditemui permasalah dominan, seperti pada Tabel 7.

Tabel 7. Hasil FGD mengenai proses penyaluran dan pengembalian

Permasalahan yang ditemui dalam FGD Hasil FGD (%)

Masalah Bkn Masalah

- Usulan pencairan dana tidak direspon dan

ditindaklanjuti secara cepat oleh tim Teknis Kabupaten dan Bank pelaksana

11 89

- Proses pencairan dana kurang efektif, karena

dilakukan secara bertahap 78 22

- Dalam Alokasi DPM LUEP belum

memper-timbangkan luas wilayah, produksi dan produktivitas pada areal pelayanan LUEP

44 56

- Batas waktu pengembalian tunggakan 50

hari setelah jatuh tempo dirasakan sangat mepet (terlalu dekat dengan jatuh tempo)

89 11

- Rendahnya kedispilinan kelompok dalam

penggunaan DPM dan pemenuhan target dan waktu pengembalian DPM

42 58

- Bagi penerima DPM-LUEP yang menunggak

sebaiknya agunan tidak langsung dilakukan lelang

89 11

- Penilaian kelompok penerima DPM LUEP

tidak dilaksanakan secara general, sehingga kelompok yang menunggak tidak mempe-ngaruhi kelompok yang lancar dalam pembayaran

78 22

Permasalah-permasalahan yang paling dominan muncul dalam dalam proses penetapan DPM-LUEP adalah :

1) Keterlambatan dalam penandantangan surat keputusan oleh Gubernur yang disebabkan oleh faktor non teknis sehingga akan berpengaruh terhadap proses selanjutnya., dimana pada proses tersebut waktu ideal yang diperlukan adalah 3 hari, kenyataan dilapangan menjadi 7 hari. 2) Keterlambatan proses penetapan dan penyaluran DPM-LUEP sangat

Gambar

Gambar 1. Prosedur Penetapan LUEP (Badan Ketahanan Pangan Deptan, 2006)
Gambar 2. Prosedur Penyaluran dan Pengembalian Dana (Badan Ketahanan Pangan Deptan, 2003)
Tabel 1. Perkembangan pelaksanaan DPM-LUEP Kab. Bogor
Tabel 2. Nilai MIR Kelompok Tani anggota LUEP
+7

Referensi

Dokumen terkait

pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik lebih tinggi secara signifikan daripada siswa yang memperoleh pembelajaran

Ada beberapa perbedaan pada sistem ini dibandingkan jika perusahaan menerapkan sistem rekrutmen tradisional, namun perbedaan tersebut bukanlah suatu masalah karena perusahaan

sejenisnya dibuktikan dengan surat keterangan bebas narkoba dari Rumah

I ni bagi saya adalah petanda PAS akan menemui 'ajalnya' setelah terjebak dengan 'pakatan ahzab' bersama dengan Parti Keadilan Rakyat (PKR) dan DAP untuk menjatuhkan Kerajaan

Untuk mendapatkan respons steady state rangkaian terhadap eksitasi non-sinusoidal periodik ini diperlukan pemakaian deret Fourier, analisis fasor ac dan prinsip superposisi..

Tujuan penelitian dan pengembangan untuk mengembangkan model latihan kombinasi dribbling, passing dan shooting untuk peserta ekstrakurikuler bolabasket SMP Negeri 2

Khaled berulangkali menjelaskan bahwa penggantian secara halus dan lebih-lebih jika dilakukan secara kasar, kekuasaan atau otoritas Tuhan (Author) oleh Pembaca

Kesimpulan penelitian ini adalah: (1) pengembangan modul berbasis pendekatan JAS pada materi Gerakan Bumi dan Bulan yang terintegrasi Budaya Jawa dilakukan