• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS HASIL BELAJAR FISIKA SISWA BERDASARKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KONKRET DAN FORMAL SMAN 1 ABUNG PEKURUN KOTA BUMI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS HASIL BELAJAR FISIKA SISWA BERDASARKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KONKRET DAN FORMAL SMAN 1 ABUNG PEKURUN KOTA BUMI"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS HASIL BELAJAR FISIKA SISWA BERDASARKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KONKRIT DAN FORMAL

DI SMAN 1 ABUNG PEKURUN KOTA BUMI

Oleh

EDI HARDI KURNIAWAN

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PENDIDIKAN

Pada

Jurusan Pendidikan MIPA

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

Alivia Dariswati

ABSTRAK

ANALISIS HASIL BELAJAR FISIKA SISWA BERDASARKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KONKRET DAN FORMAL

SMAN 1 ABUNG PEKURUN KOTA BUMI

Oleh

EDI HARDI KURNIAWAN

Kemampuan berpikir siswa tidak lepas dari peran seorang guru, karena peran seorang guru berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Selain itu soal yang diberikan oleh guru juga merupakan salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan, karena sebagian besar soal yang diberikan kepada siswa belum mengacu ke arah berpikir siswa, yaitu siswa diharapkan dapat berpikir secara simbolik atau imajinatif dalam memecahkan suatu permasalahan.

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan persentase kemampuan berpikir siswa yang memiliki penalaran pada tahap operasional formal dan konkret, persentase pengaruh tahap operasional konkret dan formal terhadap penguasaan konsep siswa. Jenis penelitian yang dilakukan adalah deskriptif yaitu dengan mengidentifikasi kemampuan berpikir dan penguasaan konsep yang dimiliki oleh siswa SMAN 1 Abung Pekurun kota bumi dalam bentuk tes yang terdiri dari dua jenis tes yaitu tes SCDT dan tes pengguasaan konsep.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase kemampuan berpikir siswa SMAN I Abung Pekurun Kota Bumi yaitu pada kategori A1 dengan persentase 20%, kategori C1 sebesar 2,85% dan kategori C2 sebesar 77,14%.

Berdasarkan analisis data dari hasil penelitian diketahui bahwa siswa sebagian besar memiliki kemampuan berpikir pada tahap operasional konkret dengan kategori C2 dengan penguasaan konsep cukup baik.

(3)
(4)
(5)
(6)

x DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Ruang Lingkup Penelitian ... 7

II. KERANGKA TEORITIS A. Tinjauan Pustaka 1. Kemampuan Berpikir ... 8

2. Tahap Operasional Konkret ... 17

3. Tahap Operasional Formal ... 24

B. Penguasaan Konsep ... 31

C. Tes kemampuan Berpikir ... 34

D. Program Anates ... 36

E. Kerangka Pemikiran... 37

F. Hipotesis ... 38

III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 41

(7)

xi

C. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data ... 42

D. Teknik Analisis Data ... 42

1. Skoring Kemampuan Berpikir ... 43

2. Analisis Penguasaan Konsep Siswa ... 43

3. Analisis Penguasaan Konsep Berdasarkan Kategori C1, C2, A1 dan A2 ... 44

4. Tabulasi Data ... 44

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ………. 46

1. Tabulasi Data Tes SCDT Berdasarkan Jawaban Siswa ... 46

2. Data Pada Materi Tes Penguasaan Konsep Siswa ... 47

3. Data Hasil Tes Penguasaan Konsep Jawaban Siswa ... 47

4. Data Hasil Tes Berdasarkan Tingkat Penguasaan Konsep Siswa ... 48

5. Analisis penguasaan Konsep Berdasarkan Kategori C1, C2, A1 dan A2 ... 49

6. Penguasaan Konsep Siswa Pada Kategori C1 dan C2 ... 50

7. Penguasaan Konsep Siswa Pada Kategori A1 dan A2 ... 51

8. Parameter Daya Beda dan Tingkat Kesukaran Soal Tes SCDT ... 51

a. Pilihan Jamak ... 51

b.Uraian (essai) ... 52

B. Pembahasan... 52

V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 58

B. Saran ... 59

(8)

xii LAMPIRAN

1. Kisi-Kisi Tes SCDT ... 60

2. Soal Tes SCDT ... 61

3. Jawaban Tes SCDT ... 68

4. Kisi-Kisi Tes Penguasaan Konsep ... 69

5. Soal Tes Konsep Siswa ... 71

6. Jawaban Tes Konsep Siswa ... 76

7. Data Hasil Instrumen SCDT ... 78

8. Data Hasil Tes Penguasaan Konsep ... 80

9. Paremeter Butir Soal Pilihan Jamak Tes SCDT ... 82

10. Paremeter butir Soal Uraian (Essai) Tes SCDT ... 84

11. Surat Izin Penelitian ... 86

12. Surat Keterangan Penelitian ... 87

13. Daftar Hadir Seminar Proposal ... 88

14. Daftar Hadir Seminar Hasil ... 89

15. Kartu Kendali Skripsi ... 90

(9)

1

I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Kekhawatiran para pendidik dan pemerhati pendidikan berkaitan dengan rendahnya daya serap siswa, kesalahan pemahaman dan rendahnya

kemampuan siswa dalam menerapkan konsep-konsep baik dalam kehidupan maupun teknologi terjadi hampir pada setiap jenjang pendidikan di Indonesia.

Banyak hasil penelitian pendidikan dan psikologi pendidikan menemukan bahwa penyebab utama dari masalah tersebut adalah rendahnya daya imajinasi atau ketidakmampuan siswa dalam mengoperasikan kemampuan berpikir

formal atau abstraknya. Sayangnya, temuan-temuan tersebut jarang disadari oleh kalangan pendidik di Indonesia.

Upaya peningkatan mutu pendidikan telah dilakukan oleh pemerintah secara

bertahap, salah satunya yaitu adanya pembaharuan kurikulum yang bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan secara menyeluruh, berkaitan dengan hal

tersebut diharapkan mutu pendidikan di setiap daerah mengalami peningkatan. Sejalan dengan pembaharuan kurikulum diharapkan mutu pendidikan di daerah-daerah lain juga mengalami peningkatan. Pembaharuan kurikulum

akan disesuaikan dengan tujuan pendidikan yang terbagi ke dalam tiga ranah, dimana setiap ranah terdapat tujuan-tujuan yang lebih spesifik. Adapun ketiga

(10)

2 ranah tersebut yaitu kognitif, afektif dan psikomotor, sedangkan untuk

meningkatkan kemampuan berpikir siswa lebih ditekankan pada ranah kognitif.

Menurut Asna (2009: 1) dalam “perbaikan mutu pendidikan dasar dan menengah juga dilakukan dengan upaya pembaharuan kurikulum”.

Pengembangan pembaharuan kurikulum sampai yang terakhir adalah

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang masih terus

disosialisasi-kan sampai sekarang bertujuan untuk menyempurnadisosialisasi-kan kurikulum sebelum-nya, diharapkan mutu pendidikan di Indonesia dapat berhasil. Adanya pembaharuan kurikulum disebabkan kurikulum lama dipandang tidak efektif

dan tidak relevan lagi dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Misalnya kurikulum KTSP yang masih terus melakukan perbaikan agar diperoleh

kurikulum yang sesuai dengan karakteristik dan kondisi nyata di sekolah.

Menurut Jeremy dalam Erman (2008: 26)

banyak inovasi strategi dan metode pembelajaran yang dilakukan guru di kelas kurang berhasil atau gagal karena dalam implementasinya kurang memperhatikan karakteristik siswa, termasuk perkembangan kemampuan berpikirnya.

Banyak faktor yang menyebabkan kurang berkembangnya kemampuan berpikir siswa misalnya guru yang masih kurang memperhatikan seberapa

besar kemampuan berpikir yang dimiliki oleh setiap siswanya karena dapat berakibat pada hasil nilai akhir yang kurang maksimal. Selain itu dapat disebabkan guru saat melakukan proses pembelajaran di kelas hanya

mengarahkan siswa untuk berpikir konkret yang terbatas pada pemahaman koservasi sebaliknya pelajaran IPA lebih ditekankan untuk menanamkan siswa

(11)

3

Selain kemampuan berpikir salah satu yang harus dimiliki oleh siswa adalah

pengetahuan. Pengetahuan itu sendiri dibagi menjadi dua macam yaitu pengetahuan faktual (factual knowledge) dan pengetahuan tahapan perilaku seseorang (procedural knowledge). Pengetahuan faktual berisi tentang

beberapa informasi fakta misalnya nama suatu negara atau rumus. Sedangkan pengetahuan tahapan perilaku seseorang yaitu tentang suatu proses belajar

yang mempergunakan tahap penalaran tertentu.

Dengan demikian seorang guru diharapkan mampu menggali kemampuan siswa agar dapat menanamkan kemampuan untuk bernalar secara tepat dan

berdaya guna dalam memecahkan suatu masalah. Balitbang Diknas tahun 1995 menemukan masih banyak siswa berdaya imajinasi yang lemah atau berkemampuan pikir rendah disebabkan materi pembelajaran IPA selalu

disajikan dalam bentuk abstrak. Hal ini disebabkan siswa dalam memecahkan masalah tanpa disertai adanya objek permasalahan itu secara nyata, dalam arti siswa melakukan kegiatan berpikir secara simbolik atau imajinatif terhadap

objek permasalahan itu. Untuk menyelesaikan masalah yang bersifat abstrak akan mudah dilakukan oleh orang yang memiliki kemampuan berpikir abstrak

yang tinggi dan kemampuan tersebut akan dapat dicapai oleh anak yang sudah mencapai tahap operasional formal yang baik.

Peran seorang guru juga sangat berpengaruh pada suatu pembelajaran, oleh

(12)

4 mengkombinasikan antara pengamatan, imajinasi, dan eksperimentasi

walaupun dalam tingkat yang paling sederhana. Misalnya kemampuan untuk mengajukan pertanyaan yang lebih produktif selama proses pembelajaran

sangat penting, karena dapat meningkatkan kemampuan kognisi siswa.

Guru memiliki pengaruh besar terhadap kemampuan berpikir seorang siswa, karena suatu proses pembelajaran dikatakan berhasil apabila siswa dapat

memahami materi yang telah diberikan. Setiap siswa memiliki perbedaan dalam hal kualitas proses kreatif dan cara berpikir berdasarkan tingkat kemampuan, latar belakang ekonomi maupun sosial budaya. Seorang siswa

dikatakan berhasil dalam pencapaian tujuan pembelajaran di sekolah dapat diketahui dari hasil evaluasi siswa yang akan dibandingkan dengan standar

ketuntasan sekolah tersebut.

Piaget membagi tingkat kemampuan berpikir menjadi dua macam yaitu tingkat kemampuan berpikir konkret dan tingkat kemampuan berpikir formal. Pada

tingkat kemampuan berpikir konkret terbagi menjadi 3 kategori, yaitu: kategori C1, kategori C2, dan kategori C3, sedangkan tingkat kemampuan berpikir fomal terbagi ke dalam 5 kategori yaitu: kategori A1, A2, A3, A4 dan

A5. Dimana untuk setiap kategori memiliki ciri-ciri khusus yang dapat

dibedakan dari kategori yang lain, karena setiap siswa akan dapat memecahkan

suatu masalah berdasarkan tingkat kemampuan berpikirnya. Untuk struktur kognitif siswa yang berkembang pada tahap operasional konkret, ditinjau dari soal yang diberikan oleh guru kepada siswa sebagian besar kemampuan

(13)

5 memiliki pemahaman konservasi yaitu siswa dapat memahami suatu objek

(benda) tanpa adanya penambahan atau pengurangan pada objek (benda) tersebut walaupun obyek (benda) tersebut telah diubah-ubah bentuknya.

Berdasarkan uraian di atas, telah dilakukan penelitian dengan judul “Analisis

Hasil Belajar Fisika Siswa Berdasarkan Kemampuan Berpikir Konkret dan Formal di SMAN 1 Abung Pekurun Kota Bumi”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Berapa persen siswa yang memiliki penalaran pada tahap operasional formal?

2. Berapa persen siswa yang memiliki penalaran pada tahap operasional

konkret?

3. Berapa persen kontribusi tahap operasional konkret terhadap penguasaan

konsep siswa pada kategori tingkat berpikir konkret C1 dan kategori tingkat berpikir konkret C2?

4. Berapa persen kontribusi tahap operasional formal terhadap penguasaan

konsep siswa pada kategori tingkat berpikir formal A1 dan kategori tingkat berpikir formal A2?

C.Tujuan Penelitian

(14)

6 1. Persentase kemampuan siswa yang memiliki penalaran pada tahap

operasional formal.

2. Persentase kemampuan siswa yang memiliki penalaran pada tahap

operasional konkret.

3. Persentase kontribusi tahap operasional konkret terhadap penguasaan

konsep siswa pada kategori tingkat berpikir konkret C1 dan pada kategori tingkat berpikir konkret C2.

4. Persentase kontribusi tahap operasional formal terhadap penguasaan

konsep siswa pada kategori tingkat berpikir formal A1 dan kategori tingkat berpikir formal A2.

D.Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat :

1. Memberikan sumbangan pemikiran bagi guru fisika SMAN 1 Abung Pekurun Kota Bumi agar lebih memperhatikan seberapa besar kemampuan

penalaran yang dimiliki oleh setiap siswa yang bertujuan untuk mempermudah kegiatan pembelajaran.

2. Dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dan informasi yang bermanfaat dalam rangka meningkatkan hasil belajar IPA materi Fisika siswa.

3. Dapat mengetahui bagaimanakah hasil belajar siswa berdasarkan

(15)

7 E.Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah:

1. Objek penelitian adalah siswa SMAN 1 Abung Pekurun Kota Bumi tahun pelajaran 2012.

2. Analisis adalah kesanggupan seseorang untuk menggunakan atau

menguraikan suatu konsep dengan cara melakukan penyelidikan terhadap

suatu peristiwa untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya.

3. Penalaran pada tahap operasional konkret merupakan kemampuan berpikir yang mempunyai ciri-ciri siswa telah dapat mengetahui simbol-simbol

matematis, tetapi belum dapat menghadapi hal-hal yang abstrak.

4. Penalaran pada tahap operasional formal siswa mempunyai ciri-ciri telah

memiliki kemampuan berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia.

5. Penguasaan konsep fisika dalam penelitian ini adalah nilai yang diperoleh

(16)

8

II. KERANGKA TEORITIS

A.Tinjauan Pustaka

1. Kemampuan Berpikir

Beberapa ahli mendefinisikan tentang pengertian berpikir baik secara umum maupun khusus. Soemanto (2006: 31) mendefinisikan bahwa :

Berpikir mempunyai arti yaitu meletakkan hubungan antarbagian pengetahuan yang diperoleh manusia. Adapun yang dimaksud pengetahuan disini mencakup segala konsep, gagasan, dan pengertian yang telah dimiliki atau diperoleh manusia. Berpikir merupakan proses yang dinamis yang menempuh tiga langkah berpikir yaitu, pembentukan pengertian, pembentukan pendapat dan pembentukan keputusan.

Berdasarkan definisi di atas, berpikir dapat diartikan sebagai pengetahuan awal yang dapat diperoleh dengan cara menghubungkan antara satu dengan yang lainnya baik berupa konsep, gagasan, ataupun pengertian sehingga baru

terbentuk suatu kesimpulan.

Dalyono (2007: 224) mengemukakan

berpikir termasuk aktivitas belajar, dengan berpikir orang memperoleh penemuan baru, setidak-tidaknya orang menjadi tahu tentang hubungan antar sesuatu.

Menurut Dalyono (2007: 224) dengan berpikir diharapkan seorang siswa dapat

menemukan sendiri jawaban dari permasalahan yang diberikan oleh guru dengan begitu diharapkan siswa akan lebih jauh mengerti dan memahami

(17)

9

Selain itu pendapat menurut para ahli mengenai berpikir itu bermacam-macam,

misalnya dari ahli psikologi asosiasi yang menganggap bahwa berpikir adalah kelangsungan tanggapan-tanggapan dimana subyek yang berpikir pasif. Pengertian dari subjek yang berpikir pasif adalah siswa, sehingga dalam

pembelajaran diharapkan guru yang aktif, siswa hanya menyimpulkan dari semua penjelasan materi yang telah diberikan oleh guru. Sehubungan dengan

pendapat Plato dalam Suryabrata (2001: 54), mengatakan bahwa berpikir adalah aktivitas ideasional. Kemudian Plato juga beranggapan bahwa berpikir itu adalah berbicara dalam hati. Berdasarkan pendapat terakhir dari Plato

dikemukakan dua kenyataan yaitu,

(1) Bahwa berpikir itu adalah aktivitas, jadi subyek yang berpikir aktif (2) Bahwa aktivitas itu sifatnya ideasional, jadi bukan sensoris atau

motoris, walaupun dapat disertai oleh kedua hal itu; berpikir itu mempergunakan abstraksi-abstraksi atau “ideas”.

Berdasarkan pendapat Plato dalam Suryabrata (2001: 54) yaitu agar guru lebih menekankan kepada siswa untuk lebih banyak melakukan aktivitas pada saat

pembelajaran misalnya praktikum. Dalam menjelaskan materi diikuti dengan melakukan praktikum yang diaplikasikan langsung dalam kehidupan

sehari-hari diharapkan siswa atau subyek dapat berpikir aktif serta lebih memahami materi yang diberikan. Sehingga dapat disimpulkan berpikir adalah suatu

proses yang dinamis yang dapat dilukiskan menurut proses atau jalannya.

Berdasarkan pendapat Dewey dalam Nasution (2008: 71) berpikir yaitu “sebagai proses relektif yang pada dasarnya tak berbeda dengan berpikir

(18)

10 sedangkan proses deduktif yaitu mencari, menganalisis, dan menguji hipotesis.

Perbedaan antara berpikir ilmiah dengan berpikir relektif yaitu berpikir relektif dapat digunakan untuk memecahan berbagai macam masalah termasuk

masalah sosial. Adapun langkah-langkah pemecahan masalah menurut Dewey dalam Nasution (2008: 71) yaitu sebagai berikut

(1) Mengenal dan merumuskan masalah.

(2) Merumuskan hipotesis itu yaitu memungkinkan jawaban dalam bentuk generalisasi yang ditemukan sendiri yang harus diuji kebenarannya.

(3) Menyelidiki implikasi hipotesis dengan mengumpulkan data atau pengetahuan.

(4) Mengetes hipotesis dengan menguji implikasi atau konsekuensi hipotesis berdasarkan data atau pengalaman.

(5) Mengambil kesimpulan yaitu menerima hipotesis, menolaknya, memodifikasinya, atau menyatakan bahwa berdasarkan data yang ada belum dapat diambil kesimpulan.

Apabila seorang siswa telah berpikir dalam memecahkan suatu permasalahan

yang dihadapi, maka pada diri siswa tersebut terjadi suatu proses berpikir yang menurut Suryabrata (2001: 54-55) “melalui tiga tahap yaitu pembentukan pengertian, pembentukan pendapat dan penarikan kesimpulan”. Seorang siswa

dalam berpikir dan saat memecahkan suatu permasalahan maka siswa akan melalui tiga tahapan sebelum terbentuknya suatu kesimpulan yaitu diawali

dengan pembentukan pengertian, pembentukan pendapat barulah terbentuk suatu keputusan atau kesimpulan. Selanjutnya tugas dari seorang guru yaitu dituntut untuk mampu mengembangkan kemampuan berpikir setiap siswanya,

dengan harapan siswanya akan mampu memecahkan masalah dan dapat

memberikan pendapat sehingga terbentuklah suatu kesimpulan. Seorang siswa

(19)

11 dengan baik maka dapat dikatakan kemampuan berpikir dan kerja pikir siswa

tersebut baik yang dapat dilihat pada Tabel 2.1

Tabel 2.1 Beberapa macam tingkat berpikir

Tingkat Nama tingkat berpikir Macam kerja yang diajarkan

5 Evaluasi

4 Analisis dan sintesis 3 Aplikasi

2 Komprehensi 1 Pengetahuan

Berpikir kreatif atau berpikir memecahkan masalah Berpikir mengursikan dan menggabungkan

Berpikir menerapkan

Berpikir dengan konsep Belajar reseptif dan menerima

Berdasarkan Tabel 2.1 seorang siswa dalam hal tingkat berpikir dimulai dari

tingkat yang paling rendah terlebih dahulu yaitu dari pengetahuan dimana siswa menerima konsep kemudian siswa mampu mengenal konsep, menerapkan konsep, menggabungkan beberapa konsep selanjutnya pada

tingkat terakhir siswa telah dapat memecahkan masalah.

Proses berpikir akan terjadi dalam diri siswa jika guru memberikan kesempatan

kepada siswa untuk menggunakan kemampuan berpikirnnya dengan cara mengajukan pertanyaan kepada siswa yang bertujuan untuk mampu

merangsang kemampuan berpikir siswa.

Kemampuan siswa dapat ditingkatkan salah satunya dengan guru memberikan pertanyaan yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan dan meningkatkan

kemampuan berpikir. Salah satu aspek guru yang menunjang untuk meningkatkan kemampuan berpikir siswa adalah dengan memberikan

(20)

12 pendapat Carin (1997: 102) yaitu “kemampuan guru mengajukan pertanyaan

dapat merangsang kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa”. Selain itu Carin (1997: 2) juga menyatakan bahwa “kita belajar dengan berpikir, hanya dengan

berpikir kita menjadi kreatif, jika diberi kesempatan untuk menjadi kreatif”. Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh Carin agar terjadinya suatu

proses berpikir dalam diri seorang siswa, seorang guru juga harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk menggunakan pikirannya dengan memberikan pertanyaan kepada siswa yang bertujuan siswa tersebut dapat mengembangkan

kemampuan berpikirnya.

Mengetahui berkembangannya kemampuan berpikir yang dimiliki seseorang seperti yang dikemukakan oleh Nasution (2008: 23) yang menyatakan

…pelajaran yang sungguh mereka anggap dapat mengembangkan kemampuan intelektual seperti matematika, fisika, kimia, biologi, … pe -lajaran yang diberikan termasuk pe-lajaran yang sulit karena memerlukan intelegensi yang tinggi.

Berdasarkan penjelasan di atas untuk mengembangkan kemampuan intelektual

atau berpikir siswa dapat dilihat dari hasil pelajaran eksak yaitu matematika, fisika, kimia, dan biologi karena pelajaran ini dianggap siswa termasuk

pelajaran yang sulit disebabkan siswa memerlukan intelegensi yang tinggi untuk dapat mengerti, memahami, dan memecahkan masalah pada pelajaran tersebut.

Selain siswa diajak untuk menggunakan kemampuan berpikirnya dengan memberikan suatu permasalahan, seorang guru juga sangat berpengaruh terhadap berkembangnya kemampuan berpikir setiap siswanya. Karena suatu

(21)

13 siswa diperoleh secara maksimal. Sehingga seorang siswa dituntut untuk dapat

mengembangkan kemampuan berpikirnya dalam memecahkan suatu

permasalahan dan mampu menyelesaikannya dengan baik, maka siswa tersebut

dapat dikatakan memiliki kemampuan berpikir yang baik.

Sebenarnyakemampuan berpikir seorang siswa dapat dilatih sejak usia dini sesuai dengan pendapat Nasution (2008: 24) “kemampuan berpikir adalah

sekumpulan ketrampilan yang kompleks yang dapat dilatih sejak usia dini”. Tetapi banyak faktor yang mempengaruhi tingkat kemampuan berpikir siswa, Kemampuan berpikir seorang siswa sebenarnya dapat ditingkatkan, salah

satunya dengan memberikan pertanyaan yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan serta dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa.

Kemampuan berpikir merupakan salah satu faktor penting yang harus

diperhatikan oleh setiap guru, karena seorang siswa dikatakan memiliki kemampuan berpikir yang baik apabila hasil belajar siswa tersebut jauh lebih maksimal atau sesuai dengan kriteria ketuntasan minimal (KKM) di sekolah.

Selain itu masih banyak siswa di Indonesia yang memiliki perilaku mental yang tertutup disaat proses pembelajaran dan hal ini tidak dapat diukur atau

diamati. Untuk mengetahui perilaku setiap siswa, maka guru harus melihat berdasarkan tingkat pengetahuan siswanya dengan menggunakan Taxonomy of Educational Objectives dalamHilman (2010: 2)membagi tujuan pendidikan

dalam tiga ranah dan untuk setiap ranahnya terdapat tujuan-tujuan yang lebih spesifik, tetapi untuk melihat berapa besar kemampuan berpikir yang dimiliki

(22)

14 cognitive domain meliputi segi intelektual dan proses kognitif dapat dilihat

pada Tabel 2.2

Tabel 2.2 Mengenai proses pada ranah kognitif disertai dengan penjelasan

No Proses kognitif Penjelasan

1. Pengetahuan yakni mempelajari dan mengingat fakta, kata-kata, istilah, peristiwa, konsep, prinsip, aturan, kategori, metodologi, teori dan sebagainya.

2. Pemahaman yakni menafsirkan sesuatu, menterjemahkannya dalam bentuk lain, menyatakannya dalam kata-kata sendiri, mengambil kesimpulan dari apa yang diketahui, menduga akibat sesuatu berdasarkan pengetahuan yang dimiliki, dan sebagainya.

3. Penerapan yakni menggunakan apa yang dipelajari dalam situasi baru, mentransfer.

4. analisis dan sintesis

yaitu menguraikan suatu keseluruhan dalam bagian-bagian untuk melihat hakekat bagian-bagian-bagian-bagiannya serta hubungan antara bagian-bagian itu dan menggabung-kan bagian-bagian dan secara kreatif membentuk sesuatu yang baru.

5. Evaluasi yaitu menggunakan kriteria untuk menilai sesuatu. 6. Kreasi yakni merancang, membangun, merencanakan,

memproduksi, menemukan, membaharui, menyempurnakan, memperkuat, memperindah, mengubah dsb.

Adapun ranah afektif atau afective domainmenurut Nasution (2008: 49), meliputi kesadaran akan sesuatu, perasaan, dan penilain tentang sesuatu. Ranah

afektif dapat dilihat pada table 2.3.

Tabel 2.3 Mengenai proses pada ranah afektif disertai dengan penjelasan No Proses ranah afektif Penjelasan

1. Memperhatikan Menunjukkan minat, sadar akan adanya suatu gejala, kondisi, situasi, atau masalah tertentu. 2. Merespons Memberikan reaksi terhadap suatu gejala,

situasi, atau kegiatan sambil merasa puas. 3. Menghargai Menerima suatu nilai, mengutamakannya,

(23)

15 No Proses ranah afektif Penjelasan

4. Mengorganisasi nilai

Dengan mengkonsepsualisasikan dan mensistematisasikannya dalam pikirannya. 5. Mengkarakterisasi

nilai-nilai

Menginternalisasikannya, menjadikannya bagian dari pribadinya dan menerimanya sebagai falsafah hidupnya.

Berdasarkan Tabel 2.3 dapat dilihat mengenai proses pada ranah kognitif

dalam taksonomi, siswa dapat mempelajari atau menguasai suatu materi pelajaran dari tingkat terendah terlebih dahulu baru kemudian ke tingkat yang lebih tinggi. Adapun tingkat terendah yang harus dilalui siswa yaitu

pengetahuan, artinya siswa cukup mengetahui suatu konsep yang diberikan. Pada tingkat kedua pemahaman dimana siswa diharapkan dapat memahami

suatu permasalahan. Sedangkan selanjutnya siswa dituntut dapat menerapkan pengetahuan yang diperoleh dengan permasalahan lain yang lebih kompleks.

Pada tingkat analisis dan sintesis, siswa dituntut dapat menguraikan dari keseluruhan ke dalam bagian-bagian untuk melihat hakekat bagian-bagiannya serta hubungan antara bagian-bagian itu dan menggabungkan bagian-bagian

secara kreatif untuk membentuk sesuatu yang baru. Untuk tingkat evaluasi, siswa dapat menyelesaikan soal atau permasalahan yang dihadapi dengan baik.

Pada tahapan terakhir siswa diharapkan mampu berkreasi yakni merancang, membangun, merencanakan, memproduksi, menemukan, membaharui, menyempurnakan, memperkuat, memperindah, mengubah dan sebagainya.

Meningkatkan perkembangan kemampuan berpikir abstrak siswa harus diiringi

dengan kemampuan yang dimiliki oleh guru dalam hal strategi dan metode mengajar yang baik dan disesuaikan dengan permasalahan di sekolah karena

(24)

16 berpikir siswa ditandai dengan siswa dapat melatih dan mengembangkan

kemampuan berpikir abstraknya.

Selain itu menurut Cepni dalam Erman (2008: 8) pada “tingkat berpikir konkret dan tingkat berpikir formal hanya dibedakan menjadi 2 kategori, yaitu

C1 dan C2 untuk tingkat berpikir konkret serta A1 dan A2 untuk tingkat berpikir formal”. Berdasarkan pendapat Cepni dalam Erman (2008: 8) tingkat

kemampuan berpikir hanya dibedakan menjadi dua kategori yaitu kategori tingkat berpikir konkret yang terdiri dari C1 dan C2 serta tingkat berpikir formal yaitu terdiri dari A1 dan A2. Pembagian kemampuan berpikir individu

ke dalam kategori-kategori tersebut ditentukan melalui skor tes kemampuan berpikir. Untuk tingkat berpikir dibedakan berdasarkan tes kemampuan

berpikir atau Science Cognitif Development Test (SCDT) yang mencakup 9 kemampuan berpikir siswa.

Pembagian tingkat berpikir individu ke dalam kategori-kategori ditentukan melalui skor tes kemampuan berpikir atau SCDT dari forum pembelajaran dan

pengajaran IPA Asia Pasifik yang mencakup 9 aspek kemampuan berpikir antara lain:

(1) Classification Reasoning, yaitu kemampuan menggolongkan fakta ke dalam bagan yang tersusun sesuai dengan kesamaan sifat atau keseragaman.

(2) Conservational Reasoning, yaitu kemampuan memahami bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah benda-benda adalah tidak

berhubungan dengan pengaturan atau tampilan dari objek atau benda-benda tersebut.

(3) Combinatorial Reasoning, yaitu kemampuan menggabungkan atau menghilangkan faktor-faktor yang mempengaruhi atau tidak mempengaruhi suatu kondisi tertentu.

(25)

17 (5) Seriational Reasoning, yaitu kemampuan mengurutkan sesuatu

berdasarkan dimensi kuantitatif.

(6) Correlational Reasoning, yaitu kemampuan menghubungkan kejadian-kejadian khusus atau observasi yang terdiri atas dugaan-dugaan tertentu.

(7) Controlling Reasoning, yaitu kemampuan memecahkan problem eksperimen dengan mengontrol semua faktor dan hanya merubah atau faktor saja untuk menentukan bagaimana pengaruhnya. (8) Propational Reasoning, yaitu kemampuan memberikan jawaban

terhadap problem yang menyangkut proposional dan perbandingan. (9) Hypothetical Reasoning, yaitu kemampuan memecahkan

masalah-masalah abstrak yang relatif rumit dengan menggunakan hipotesis yang berhubungan.

Berdasarkan penjelasan di atas, diketahui bahwa untuk tingkat berpikir konkret maupun formal hanya dapat dibedakan menjadi 2 kategori yang telah ditentu-kan berdasarditentu-kan tes SCDT yang mencakup 9 aspek kemampuan berpikir.

2. Tahap Operasional Konkret (concrete operational stage)

Menurut Piaget yang dikutip oleh Soemanto (2006: 132) melalui proses asimilasi dan akomodasi, struktur kognitif seseorang berkembang dari tingkat

sensorimotorik sampai dengan berpikir formal dengan klasifikasi sebagai berikut:

(1) Sensori motorik (umur: 0-2 tahun), (2) Praoperasional

(umur: 2-7 tahun), (3) Berpikir konkret (umur: 7-11 tahun), (4) Berpikir formal (umur: 11-16 tahun)

Selama perkembangan kognitif dari tahap sensori-motorik (0-2 tahun) pada anak-anak akan terlihat upaya untuk mampu melakukan suatu gerakan tertentu

(26)

18 lingkungannya. Stimulus atau informasi hanya diperoleh melalui respon alat

indera yang dimiliki oleh individu tersebut.

Periode konkret terjadi pada usia dari 7 hingga 11 tahun, pada periode ini siswa

sudah mampu menggunakan operasi karena pada tahap ini yang berkembang ialah berpikir logis. Siswa akan dapat memecahkan masalah yang bersifat

konservasi dan konkret. Pada tahap ini kemampuan berpikir anak tidak lagi didominasi oleh persepsi, sebab anak sudah mampu memecahkan masalah secara logis. Selama pada tahap operasional konkret anak akan berpikir secara

logis tetapi belum mampu menerapkan secara logis masalah hipotetik dan abstrak karena perkembangan afektif utama selama tahap operasional konkret

adalah konservasi perasaan. Operasi konkret adalah tindakan mental yang bisa bolak-balik dan berkaitan dengan objek yang nyata dan konkret. Operasi konkret memungkinkan anak untuk mengkoordinasi beberapa karakteristik dari

pada hanya fokus pada satu sifat benda saja.

Menurut pendapat Djaali (2008: 71) menyatakan bahwa :

tahap operasional konkret merupakan tahap trasmisi antara tahap praopersional dengan tahap berpikir formal (logika). Selama tahap operasional konkret perhatian anak mengarah kepada operasi logis yang sangat cepat. Tahap ini tidak lama dan didominasi oleh persepsi dan anak dapat memecahkan masalah dan mampu bertahan dengan pengalamannya

Berdasarkan pendapat Djaali (2008: 71), tahap operasional konkret terletak

diantara tahap praopersional dan tahap operasional formal. Pada tahap opersional konkret siswa hanya mampu menghafal tetapi belum mampu

(27)

19

Tahap praoperasional dan berpikir konkret yaitu dimana untuk setiap siswa

mulai berusaha untuk mengenal beberapa keteraturan-keteraturan dan

melakukan klasifikasi atau mengelompokkan obyek-obyek yang dapat direspon oleh alat inderanya berdasarkan kemauannya atau mengikuti pola tertentu.

Pada tahap berpikir konkret, individu sudah dapat membedakan benda-benda berdasarkan kriteria-kriteria yang dapat direspon oleh alat inderanya. Bahkan

siswa sudah dapat melakukan perbandingan-perbandingan logis berdasarkan kriteria-kriteria yang dapat direspon oleh alat inderanya.

Hal ini sesuai dengan pendapat Soemanto (2006: 133) yang menghubungkan

antara tahap operasional konkret dengan soal.

pada tahap operasional konkret untuk soal-soal perhitungan fisika siswa telah dapat mengetahui simbol-simbol matematis, tetapi belum dapat menghadapi hal-hal yang abstrak.

Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh Soemanto (2006: 133) pada tahap operasional konkret siswa hanya mampu mengetahui dan

mengoperasi-kan simbol-simbol yang matematis, untuk simbol-simbol yang kompleks dan abstrak hanya terselesaikan pada tahap operasional formal. Pada tahap

operasional konkret siswa hanya mampu menyelesaikan soal dalam bentuk tertentu saja yang dapat dilihat berdasarkan ciri-ciri pada setiap kategori berdasarkan klasifikasi Piaget, sedangkan untuk soal yang bersifat

menganalisis hanya dapat diselesaikan pada siswa yang memiliki tingkat kemampuan berpikir yang tinggi yaitu pada tahap operasional formal.

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Nasution (2008: 112) mengenai

(28)

20 …proses berpikir anak berkembang terus berkat bertambahnya

pengalaman dan pengetahuannya. Pada usia sekitar 7 tahun telah tampak pemikiran logis pada anak. Ia telah dapat melihat hubungan antara hubungan bagian dengan keseluruhan juga dapat melihat analogi. Akan tetapi pada fase pertama pemikirannya terutama mengenai data yang konkret. Kegiatan mentalnya ditunjukkan kepada objek dan kejadian yang konkret yang langsung dihadapannya.

Berdasarkan definisi yang dikemukakan Nasution (2008: 112) proses berpikir

anak pada tahap operasional konkret akan terus mengalami berkembangan berdasarkan pengalaman dan pengetahuan siswa yang terus bertambah.

Selanjutnya siswa hanya mampu berpikir logis terutama tentang data yang masih konkret disebabkan siswa pada tahap operasional konkret hanya mampu menghafal disebabkan belum dapat mengembangkan kemampuan berpikir

abstraknya secara baik.

Selanjutnya pada tahap operasional konkret untuk perkembangan intelektual seorang siswa dipengaruhi oleh beberapa faktor karena pada tahap ini siswa

hanya mampu memecahkan masalah dalam bentuk verbal, Piaget mengiden-tifikasi ada empat faktor yang mempengaruhi transisi perkembangan anak

untuk setiap tahap yang dikemukakan oleh Nasution (2008: 113)

Faktor-faktor yang dapat membantu perkembangan intelektual antara lain : (1) Kematangan, terutama pertumbuhan, namun dapat dipengaruhi. (2) Pengalaman, pengaruh lingkungan.

(3) Trasmisi sosial, apa yang diperolehnya dari lingkungan kebuda-yaannya, namun perlu diolah secara mental.

(4) Keseimbangan, artinya bahwa bila dihadapkan dengan masalah akan mengalami gangguan keseimbangan dan tidak akan puas sebelum masalah dipecahkan untuk mengembalikan

keseimbangannya pada taraf yang lebih tinggi.

(29)

21 kematangan dan pengalaman, selanjutnya dipengaruhi oleh lingkungan

sekitarnya yaitu trasmisi sosial dan keseimbangan. Misalnya siswa diberi soal mengenai fluida yaitu air yang dimasukkan ke dalam bentuk bejana yang

berbeda tetapi volume air tetap, maka siswa akan mulai berpikir mengenai masalah konkret, berpikir sambil memanipulasi benda tanpa disertai adanya

contoh maka siswa belum dapat untuk memecahkan masalah verbal yang lebih kompleks.

Pada tahap operasional konkret seorang siswa dalam memecahkan suatu masalah akan melalui proses yang berurutan, hal ini sesuai dengan pendapat

yang dikemukakan oleh Sukmadinata (2008: 50)

Masa konkret operasional disebut juga masa performing operation yaitu pada tahap ini anak sudah mampu menyelesaikan tugas-tugas

menggabungkan, memisahkan, menyusun, menderetkan, melipat dan membagi.

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Sukmadinata (2008: 50) siswa dalam memecahkan masalah melewati proses yang berurutan yaitu dimulai dari

menggabungkan, memisahkan, menyusun, menderetkan, melipat dan yang terakhir yaitu membagi. Sehingga pada tahap ini siswa belum mampu

mengembangkan kemampuan abstrak karena siswa masih pada tahap menghafal belum mampu menganalisis soal yang jauh lebih kompleks. Menurut Piaget (http://id.wikipedia.com) proses-proses penting selama

(30)

22

Tabel 2.4 Proses-proses yang dilewati pada tahap operasional konkret.

No Proses pada tahap konkret

Pengertian Contoh

(1) Pengurutan Kemampuan untuk mengurutan objek menurut ukuran, bentuk, atau ciri lainnya.

Apabila seorang diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari benda yang paling besar ke yang paling kecil.

(2) Klasifikasi Kemampuan untuk memberi nama dan

Anak tidak lagi memiliki keterbatasan logika berupa animisme (anggapan bahwa semua benda hidup dan berperasaan).

(3) Decentering Seorang anak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu permasalahan untuk bisa

memecahkannya

Seorang anak tidak akan lagi menganggap cangkir lebar tapi pendek lebih sedikit isinya dibanding cangkir kecil yang tinggi.

(4) Reversibility Ditandai dengan seorang anak mulai

Seorang anak dapat dengan mudah menentukan bahwa 4+4 sama dengan 8, 8-4 akan sama dengan 4, jumlah sebelumnya

(5) Konservasi Kemampuan untuk memahami bahwa

Apabila anak diberi cangkir yang seukuran dan isinya sama banyak, mereka akan tahu bila air dituangkan ke gelas lain yang ukurannya berbeda, air di gelas itu akan tetap sama banyak dengan isi cangkir lain.

(6) Penghilangan

(31)

menyimpan boneka di dalam kotak, lalu meninggalkan ruangan, kemudian Ujang memindahkan boneka itu ke dalam laci, setelah itu baru Siti kembali ke ruangan. Anak dalam tahap operasi konkret akan mengatakan bahwa Siti akan tetap menganggap boneka itu ada di dalam kotak walau anak itu tahu bahwa boneka itu sudah dipindahkan ke dalam laci oleh Ujang.

Karplus dalam Erman (2008: 7) mengemukakan tentang pembagian kategori

berdasarkan tingkat kemampuan berpikir konkret yaitu

tingkat kemampuan berpikir konkret seseorang dapat dibagi menjadi 3 kategori yaitu (1) kategori C1, (2) kategori C2 dan (3) kategori C3. Adapun untuk setiap kategori mempunyai ciri-ciri khusus yang dapat dibedakan dari kategori yang lain.

Berdasarkan definisi Karplus dalam Erman (2008: 7) untuk setiap individu pada tahap operasional konkret dalam memecahkan suatu masalah akan sesuai

berdasarkan tingkatan kemampuan berpikirnya yang terbagi menjadi 3 kategori yaitu kategori C1, kategori C2, dan kategori C3 .

Mengetahui tingkat kemampuan berpikir dikemukakan oleh Karplus dalam Erman (2008: 8) seorang siswa khususnya pada tahap operasional konkret mempunyai ciri-ciri tersendiri untuk setiap kategorinya, yaitu :

(1) Kategori berpikir konkret C1, pada kategori ini seorang hanya dapat melakukan klasifikasi sederhana dan generalisasi berdasarkan kriteria-kriteria yang tampak atau dapat direspon oleh alat indera (observable).

(2) Kategori berpikir konkret C2, pada kategori ini seseorang sudah dapat melakukan konservasi logis, yaitu membandingkan jumlah zat sebelum dan sesudah dikurangi atau ditambah dengan

(32)

24 (3) Kategori berpikir konkret C3, pada kategori ini, seorang selain

dapat mengoperasikan semua ciri-ciri yang dimiliki oleh C1 dan C2, seseorang mulai dapat melakukan klasifikasi dan generaliasi serta membuat korespondensi berdasarkan kriteria-kriteria yang dapat direspon alat indera.

Berdasarkan Karplus dalam Erman (2008: 8) pada tahap operasional konkret seorang siswa memiliki tingkatan kemampuan yang berbeda-beda dalam hal

memecahkan masalah misalnya diberikan soal fisika yang menuntut siswa untuk mampu mengembangkan kemampuan berpikir abstraknya karena banyak

faktor yang menyebabkan siswa tidak dapat mengembangkannya sehingga siswa hanya mampu menyelesaikan soal sesuai dengan tingkatan kemampuan berpikirnya.

3. Tahap Operasional Formal (formal operational stage)

Periode operasional formal untuk di Indonesia terjadi pada usia 11 hingga menjelang dewasa. Selama tahap operasi formal struktur kognitif menjadi matang secara kualitas, anak mulai dapat menerapkan operasi secara konkret

untuk semua jenis masalah hipotesis, masalah verbal, dan ia dapat

menggunakan penalaran ilmiah dan dapat menerima pandangan orang lain

yang dihadapi di dalam. Adapun berpikir formal ditandai dengan hilangnya sifat egosentris.

Menurut Kohstan yang dikutip oleh Djaali (2008: 72) menghubungkan antara tahap operasi formal dengan tingkat inteligensi.

(33)

25 Berdasarkan definisi Kohstan yang dikutip oleh Djaali (2008: 72) pada tahap

operasional formal dipengaruhi oleh tingkat inteligensi, karena tingkat

inteligensi itu sendiri sebenarnya dapat dikembangkan walaupun hanya sebatas

dari segi kualitas atau hanya sebatas pada tingkat kemampuan berpikir saja yang diharapkan cara berpikir siswa secara metodis atau terstruktur.

Kemampuan berpikir formal ini adalah suatu aspek yang penting dari

inteligensi, tetapi bukan satu-satunya. Aspek yang ditekankan dalam kemam-puan berpikir abstrak adalah penggunaan efektif dari konsep-konsep yang diserta dengan simbol-simbol dalam menghadapi berbagai situasi khusus dalam

menyelesaikan suatu problem atau masalah.

Menurut Flavell yang dikutip oleh Dalyono (2007: 40-41) pada tahap operasi formal memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

(1) Pada pemikiran anak remaja adalah hypothetico-deductive.

Ia telah dapat membuat hipotesis-hipotesis dari suatu problema dan membuat keputusan terhadap problema itu secara tepat, tetapi anak kecil belum dapat menyimpulkan apakah hipotesisnya ditolak atau diterima. (2) Periode propositional thingking

Remaja telah dapat memberikan statemen atau proposisi berdasar pada data yang konkret. Tetapi kadang-kadang ia berhadapan dengan proporsi yang bertentangan dengan fakta.

(3) Periode combinatorial thingking

Bila remaja itu mempertimbangkan tentang pemecahan problem ia telah dapat memisahkan faktor-faktor yang menyangkut dirinya dan

mengombinasi faktor-faktor itu.

Menurut pendapat di atas ciri-ciri yang harus dilewati seorang siswa pada tahap

opersional formal yaitu seorang siswa dituntut untuk dapat membuat keputusan terhadap masalah yang dihadapi kemudian siswa mulai memberikan pendapat atau saran selanjutnya siswa harus mampu memecahkan masalah. Sehingga

(34)

26 sudah dapat membedakan antara kenyataan yang dapat diterima secara riil

dengan harapan yang diinginkan.

Sukmadinata (2008: 50) juga mengungkapkan

Masa formal operasional disebut juga masa proportional thingking yaitu pada masa ini anak sudah mampu berpikir tingkat tinggi. Mereka sudah mampu berpikir secara deduktif, induktif, menganalisis, menyintesis, mampu berpikir abstrak dan berpikir reflektif, serta memecahkan berbagai masalah.

Pada tahap operasional formal seorang siswa untuk dapat ke tingkat yang lebih tinggi, siswa dapat mengkaji dan menyadari konsistensi dan relevansi

pengetahuan yang dimilikinya dengan teori-teori yang secara ilmiah masih berlaku karena pada tahap ini siswa mulai dapat berteori secara logis

berdasarkan hasil pengalamannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Nasution (2008: 111) yaitu “pada usia 12 tahun anak mulai berpikir secara abstrak dengan mengunakan generalisasi dan konsep-konsep”.

Selain itu Nasution (2008: 112) juga menyatakan bahwa

Semua jenis masalah logis, termasuk mengemukakan dan menguji hipotesis dapat dipecahkan; telah dapat menganalisis validitas cara-cara berpikir; pemikiran formal masih egosentris dalam arti masih ada kesukaran untuk menyesuaikan yang ideal dengan kenyataan.

Berdasarkan definisi yang dikemukakan olehNasution (2008: 111-112) dapat disimpulkan bahwa siswa yang telah berusia 12 tahun mulai untuk dapat mengembangkan kemampuan berpikir abstrak disertai dengan generalisasi

pada konsep-konsep konkret selain itu ia juga dapat melakukan klasifikasi dan generalisasi pada konsep-konsep abstrak termasuk mengemukakan dan

(35)

27 dapat berteori secara logis berdasarkan hasil pengalamannya walaupun pada

tahap operasional formal siswa masih mengalami kesukaran untuk menyesuaikan antara ide yang dikemukakan dengan kenyataan. Hal ini didukung dengan pendapat Hartono dan Sunarto (2006: 105) yang menghubungkan antara berpikir operasi formal dengan tingkah laku.

dengan berpikir operasi formal memungkinkan orang untuk mempunyai tingkah laku problem solving yang betul-betul ilmiah, serta memungkin-kan untuk mengadamemungkin-kan pengujian hipotesis dengan variabel-variabel tergantung yang mungkin ada.

Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh Hartono dan Sunarto (2006: 105)

dapat disimpulkan siswa pada tahap operasional formal sudah mampu membuktikan apakah hipotesis atau pendapatnya sesuai dengan fakta atau

kenyataan sehingga dapat diterima oleh lingkungan sekitarnya.

Kemampuan berpikir formal tidak lepas dari pengetahuan tentang konsep, karena berpikir memerlukan kemampuan untuk membayangkan atau

menggambarkan benda dan peristiwa yang secara fisik tidak selalu ada. Orang

yang memiliki kemampuan berpikir abstrak atau formal yang baik jika sudah dapat memahami konsep-konsep abstrak dengan baik. Sehingga kemampuan

berpikir abstrak atau formal adalah kemampuan untuk menemukan pemecahan masalah tanpa hadirnya objek permasalahan itu secara nyata, dalam arti siswa melakukan kegiatan berpikir secara simbolik atau imajinatif terhadap objek

permasalahan itu. Untuk menyelesaikan masalah yang bersifat abstrak akan mudah dilakukan oleh orang yang memiliki kemampuan berpikir abstrak yang

(36)

28

Hal ini sesuai dengan pendapat Soemanto (2006: 133) yaitu “pada tahap

operasi formal anak telah memiliki pemikiran yang abstrak pada bentuk-bentuk lebih kompleks”. Seperti yang dijelaskan pada tahap operasional konkret di atas, pemikiran pada tahap operasional formal dalam pengoperasian

simbol-simbol fisika mampu menyelesaikan dalam bentuk soal yang lebih sulit. Berdasarkan definisi Soemanto (2006: 133) dapat disimpulkan bahwa seorang

siswa yang sudah memiliki tingkat berpikir pada tahap operasional formal atau pemikiran abstrak yang baik maka siswa sudah dapat melakukan pengopera-sian simbol-simbol fisika saat menyelesaikan soal walaupun dalam tingkat

yang lebih sulit dikarenakan siswa sudah mampu menganalisis soal dan mengaplikasikannya dalam bentuk simbol-simbol.

Karplus dalam Erman (2008: 8) mengemukakan tentang pembagian kategori

berdasarkan tingkat kemampuan berpikir formal yaitu

Kemampuan berpikir formal seseorang dibagi menjadi 5 kategori, yaitu: (1) kategori A1, (2) kategori A2, (3) kategori A3, (4) kategori A4, dan (5) kategori A5.

Berdasarkan keterangan di atas, diketahui bahwa tingkat berpikir formal seseorang dibedakan menjadi lima kategori, yaitu A1, A2, A3, A4 dan A5.

Pada tahap operasional formal siswa sudah mampu untuk mengembangkan

kemampuan berpikir abstraknya sehingga siswa dapat memecahkan berbagai masalah walaupun dalam bentuk yang lebih kompleks. Selanjutnya pada tahap

(37)

29 kemampuan berpikir siswa yang berbeda-beda yang ditinjau dari siswa yang

mampu memecahkan masalah walaupun dalam bentuk yang lebih rumit.

Adapun ciri-ciri untuk setiap kategori pada tahap operasional formal menurut Karplus dalam Erman (2008: 8-9)sebagai berikut :

(1) Kategori berpikir abstrak A1, seseorang yang sudah mencapai kategori ini dapat melakukan klasifikasi ganda (multiple

classification), konservasi logis, serial ordering, memahami sifat konsep abstrak, aksiomal dan teori.

(2) Kategori berpikir abstrak A2, yang ditandai dengan kemampuan berpikir kombinasi, seperti menghitung secara sistematik genotip dan fenotip sesuai dengan karakteristik dua atau lebih gen-gen. (3) Katergori berpikir abstrak A3, seseorang mulai memiliki

kemampuan menginterpretasi hubungan fungsional dalam persamaan matematika.

(4) Kategori berpikir abstrak A4, seseorang mulai dapat

mengidentifikasi variabel-variabel dalam suatu desain eksperimen. (5) Kategori berpikir abstrak A5, seseorang telah mampu memahami

konsistensi atau pertentangan antara satu teori dengan teori lain atau dengan pemahamannya atau pengetahuan lain yang dapat diterima oleh masyarakat ilmiah

Berdasarkan pendapat Karplus dalam Erman (2008: 8-9) pada tahap operasional formal terbagi menjadi 5 kategori yang dibedakan berdasarkan

tingkat kemampuan berpikir siswa dalam hal memecahkan masalah walaupun dalam hal yang lebih kompleks. Pada kategori A5 siswa telah memiliki tingkat

kemampuan berpikir yang paling tinggi misalnya seseorang yang dapat

membuat teori, hukum atau prinsip-prinsip bisa dijadikan acuan atau pedoman hingga sekarang.

Nur dalam Tawil dan Suryansari menjelaskan pada operasi penalaran formal terbagi menjadi lima macam yaitu penalaran proporsional, pengontrolan variabel, penalaran probabilistik, penalaran korelasional, dan penalaran

(38)

30 Pada penalaran korelasional ditandai dengan siswa pada tahap ini telah mampu

mengidentifikasi serta menghubungkan antara variabel satu dengan variabel yang lainnya. Karena pada penalaran ini siswa telah mampu mengidentifikasi

dan mengklarifikasi hubungan antara variabel satu dengan variabel yang lainnya.

Penalaran proporsional menurut pendapat Nur dalam Tawil dan Suryansari

(2007: 11) adalah “sebagai suatu struktur kualitatif yang memungkinkan pemahaman sistem-sistem fisik kompleks yang mengandung banyak faktor”. Berdasarkan pendapat Nur dalam Tawil dan Suryansari (2007: 11) siswa yang

tergolong pada tahap operasional formal akan dapat memahami dan menjawab dengan benar soal-soal yang berkaitan dengan masalah proporsional dan rasio

meskipun materi tersebut belum pernah diberikan kepada siswa.

Selain itu menurut Nur dalam Tawil dan Suryansari (2007: 12) “perkembangan kemampuan pengontrolan variabel merupakan indeks

perkembangan intelektual”. Berdasarkan pendapat Nur dalam Tawil dan

Suryansari (2007: 12) siswa telah jelas membedakan antara tahap operasional formal dari tahap-tahap berpikir sebelumnya karena siswa pada tahap ini lebih

ditekankan untuk lebih banyak melakukan aktivitas misalnya praktikum, dengan demikian siswa akan terbiasa untuk memecahkan masalah walaupun dalam tingkat yang lebih rumit.

Penalaran Probabilistik menurut Nur dalam Tawil dan Suryansari (2007: 13) yaitu “terjadi pada saat seorang menggunakan informasi untuk memutuskan

(39)

31 Dari pendapat yang dikemukakan Nur dalam Tawil dan Suryansari (2007: 13)

siswa telah mampu membedakan hal-hal yang pasti dan hal-hal yang mungkin. Pada tahap ini siswa telah mampu mengembangkan kemampuan berpikir

intelektualnya karena ditandai dengan dapatnya membedakan hal-hal yang pasti terjadi dan hal-hal yang memiliki kemungkinan terjadi dari perhitungan

peluang.

Penalaran kombinatorial menurut Hudoyo dalam Tawil dan Suryansari (2007: 15) yaitu “pada tahap operasi formal anak juga mampu berpikir

kombinatorial”. Berdasarkan pendapat Hudoyo dalam Tawil dan Suryansari

(2007: 15) siswa pada tahap ini telah dapat memecahkan masalah karena siswa dituntut untuk dapat berpikir mandiri, baik secara konkret maupun secara

abstrak yang disertai dengan penalaran formal.

B.Penguasaan Konsep

Salah satu konsekuensi pembelajaran berbasis kompetensi yang diberlakukan

saat ini berdampak pada siswa yang harus dapat mencapai kriteria ketuntasan minimal yang ditentukan oleh setiap sekolah, dilihat berdasarkan standar kompetensi yang diharapkan dapat dicapai oleh siswa meliputi tiga standar

kompetensi yaitu standar materi, standar isi atau standar konsep (content standart) dan standar penampilan (performance standar). Standar konsep

(40)

32 Pengertian konsep menurut Sagala (2007: 71)

Konsep adalah buah pemikiran seseorang atau sekelompok orang yang dinyatakan dalam definisi sehingga menghasilkan produk pengetahuan yang meliputi prinsip hukum dan teori, konsep diperoleh dari fakta, peristiwa, pengalaman, melalui generalisasi dan pemikiran abstrak.

Berdasarkan pendapat Sagala (2007: 71) konsep adalah buah pemikiran seseorang atau kelompok yang diperoleh melalui generalisasi dan pemikiran abstrak yang dapat menghasilkan produk pengetahuan yang meliputi prinsip

hukum dan teori, konsep diperoleh dari fakta, peristiwa, pengalaman.

Sedangkan menurut Wangmuba (2009: 2), untuk proses belajar konsep dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu

(1) Pemberian contoh-contoh, belajar konsep akan lebih cepat apabila menggunakan contoh-contoh positif daripada menggunakan contoh-contoh negatif.

(2) Atribut, jumlah atribut yang relavan dan tidak relevan

mempengaru-hi tingkat kemudahan mempelajari konsep. Makin banyak atribut tambahan yang relevan, maka belajar konsep akan lebih cepat dan mudah, atau sebaliknya.

(3) Umpan balik dapat menyediakan informasi terhadap kebenaran atau kesalahan hipotesis yang digunakan individu.

(4) Perbedaan individu, dalam pembentukkan konsep-konsep antar individu satu dengan yang lain dapat berbeda, tergantung pada tingkat usia, intelegensi, kemampuan berbahasa, pelatihan, atau pengalaman masing-masing.

Berdasarkan pendapat Wangmuba (2009: 2) proses belajar dalam hal penguasaan konsep yang baik dipengaruhi oleh empat faktor antara lain

pemberian contoh-contoh, atribut, umpan balik berupa informasi dan terakhir adanya perbedaan individu. Untuk setiap siswa akan memiliki tingkat

(41)

33 Siswa dikatakan telah menguasai konsep yaitu memiliki empat kemungkinan

untuk menggunakannya, menurut Slameto (2003: 141)

(1) Siswa dapat menggolongkan apakah contoh konsep yang dihadapi sekarang termasuk dalam golongan konsep yang mana atau dalam konsep yang lain.

(2) Siswa dapat mengenal konsep lain dalam hubungan super-ordinat, subordinate, atau koodinat.

(3) Siswa dapat menggunakan konsep tersebut untuk memecahkan masalah.

(4) Penguasaan konsep memudahkan siswa untuk mempelajari konsep-konsep.

Penguasaan konsep berdasarkan proses berpikir siswa dalam hal pencapaian suatu hasil pembelajaran yang maksimal, maka siswa dituntut untuk mampu menguasai konsep-konsep pembelajaran, tetapi sebagian besar siswa sekarang

hanya sebatas pada penhafalan rumus. Adapun salah satu cara untuk mengukur penguasaan konsep siswa adalah dengan melakukan evaluasi. Evaluasi

menurut Dimyati dan Mujiono (2002: 200) “merupakan proses untuk menentukan nilai belajar siswa melalui kegiatan atau pengukuran hasil belajar”. Berdasarkan pendapat Dimyati dan Mujiono (2002: 200) siswa

dikatakan berhasil dalam pembelajaran dapat dilihat dengan memberikan evaluasi kepada siswa berupa tes. Tes evaluasi berupa penguasaan konsep

dapat digunakan untuk melihat seberapa jauh pemahaman konsep yang dikuasi siswa, sedangkan untuk mengetahui tinggi rendahnya penguasaan konsep siswa dapat menggunakan metode yang mengacu kepada pedoman menurut Arikunto

(42)

34 Tabel 2.5 Kriteria Tingkat Penguasaan Konsep

Tingkat Nilai Rata-Rata Kualifikasi Nilai ≥81 Baik sekali

≥66 Baik

56-65 Cukup baik

≤55 Kurang baik

Berdasarkan pendapat Arikunto (2007: 254) yang dapat dilihat pada Tabel 2.5,

dalam penelitian ini diukur dengan tes evaluasi berupa penguasaan konsep bertujuan untuk mengetahui tinggi rendah kualifikasi penguasaan konsep yang dimiliki oleh siswa.

C. Tes Kemampuan Berpikir

Menganalisis lembar tes SCDT untuk soal yang terbagi menjadi dua yaitu 10 soal pilihan jamak dan 2 soal essai atau uraian. Untuk soal essai atau uraian siswa yang tidak mampu menjawab semua pertanyaan akan bernilai nol (0),

dimana setiap pertanyaan yang mampu dijawab benar oleh siswa akan diberi skor satu (1). Sebaliknya siswa yang tidak mampu menjawab pertanyaan maka

akan diberi skor nol (0), sehingga skor maksimum yang diperoleh dari tes SCDT adalah 22 poin.

Selain itu menurut Cepni dalam Erman (2008: 8) pada “tingkat berpikir konkret dan tingkat berpikir formal hanya dibedakan menjadi 2 kategori, yaitu

C1 dan C2 untuk tingkat berpikir konkret serta A1 dan A2 untuk tingkat berpikir formal atau abstrak”. Berdasarkan pendapat Cepni dalam Erman

(2008: 8) kemampuan berpikir terbagi menjadi dua kategori yaitu kategori tingkat berpikir konkret dan kategori tingkat berpikir formal atau abstrak

(43)

35 untuk kategori tingkat berpikir formal terdiri dari A1 dan A2. Untuk membagi

kemampuan berpikir siswa telah ditentukan melalui tes SCDT yang membagi menjadi dua kategori yaitu kategori tingkat berpikir konkret dan kategori

tingkat berpikir formal. Untuk kategori tingkat berpikir formal dapat diberi simbol dengan huruf A atau F karena karena tidak ada ketentuan untuk kategori

tingkat berpikir formal harus disimbolkan dengan huruf A, A merupakan simbol dari kata abstrak sedangkan F simbol untuk formal.

Kemampuan berpikir seorang siswa dapat diukur dengan melakukan suatu tes SCDT, menurut Lawson dan De Vito dalam Erman (2008: 8) pada tes

kemampuan berpikir SCDT dapat dilihat pada Tabel 2.6

Tabel 2.6 Kategori Tingkat Berpikir Siswa Skor SCDT Tingkat Berpikir

0-6 Konkret C1 7-14 Konkret C2 15-20 Formal A1 20-22 Formal A2

Berdasarkan pendapat Lawson dan De Vito dalam Erman (2008: 8) dapat

dilihat pada Tabel 2.6 tingkat berpikir siswa dapat dikategorikan menjadi 4 kategori yaitu tingkat berpikir konkret C1, konkret C2, formal A1 dan formal A2 yang ditentukan berdasarkan kemampuan berpikir SCDT. Dimana siswa

dikatakan masuk dalam kategori konkret C1 jika memperoleh skor antara 0-6, siswa masuk dalam kategori C2 memperoleh skor antara 7-14, siswa dikatakan masuk ke dalam kategori A1 jika memperoleh skor antara 15-20 dan terakhir

(44)

36 D. Program Anates

Program ini dapat digunakan untuk analisis butir soal dalam bentuk pilihan

ganda dan bentuk essai (uraian) dalam Rosidin dkk. (2007: 5)

Dalam menganalisis data, program ini relatif mudah karena hanya diperlukan ketelitian dalam memasukkan data (data entry). Apabila salah dalam memasukkan data maka berakibat hasil data yang diperoleh tidak tepat dan pada penggunaan program ini dapat menggunakan bahasa Indonesia. Selain itu dalam penskoran pada setiap testee dapat di

hubungkan ke Microsoft Office Excel untuk menghitung nilainya.

Menurut Suryabrata dkk. dalam Rosidin dkk. (2007: 8) menetapkan kriteria

mutu dapat dilihat pada Tabel 2.7

Tabel 2.7 Kriteria Kualitas Butir Soal

Kriteria Indeks Kategori

Prop Corect (Tarap Sukar Soal atau P) 0,000-0,250 0,251-0,750 Prop Endorsing (Proporsi Jawaban) 0,000-0,010

0,011-0,050 0,051-1,000

Kurang Cukup Baik Alpha (Reliabilitas Soal) 0,000-0,400

0,401-0,700 0,701-1,000

Rendah Sedang Tinggi

Berdasarkan Tabel 2.7 di atas untuk kriteria tarap sukar soal (Prop Corect) terbagi menjadi tiga kategori yaitu dari indeks 0,000-0,250 dalam kategori

sukar, indeks 0,251-0,750 dalam kategori sedang dan indeks 0,751-1,000 dalam kategori mudah. Daya Beda (Poin Biserpal) terbagi menjadi empat kategori yaitu dari indeks D ≤ 0,199 termasuk dalam kategori sangat rendah,

(45)

37 masuk dalam kategori sedang, dan indeks D ≥ 0,400 masuk dalam kategori

tinggi. Proporsi jawaban (Prop Endorsing) terbagi menjadi tiga kategori yaitu untuk kategori kurang dimulai dari indeks 0,000-0,010, pada kategori cukup

dari indeks 0,011-0,050 dan kategori baik dari indeks 0,051-1,000. Reliabilitas soal (Alpha) terbagi menjadi tiga kategori yaitu kategori rendah dari indeks

0,000-0,4000, kategori sedang dari indeks 0,401-0,700 dan kategori tinggi pada indeks 0,701-1,000.

E.Kerangka Pemikiran

Fisika merupakan ilmu pengetahuan yang tersetruktur karena sebelum

menguasai materi dengan tingkat kesukaran yang lebih tinggi di erlukan kemampuan penguasaan materi dasar sebagai pengetahuan prasyarat.

Pemahaman yang menyeluruh terhadap suatu materi sangat diperlukan dalam pembelajaran fisika, karena akan menunjukkan kemampuan penguasaan yang dimiliki siswa terhadap suatu meteri. Selain itu mata pelajaran fisika juga

selalu dihadapken dengan hal-hal yang abstrak dan berimplementasi pada kehidupan sehari-hari, sehingga seorang sisea ditumtut untuk bernalar idealis,

logis dan abstrak. Oleh sebab itu, belajar fisika akan lebih berhasil jika proses pembelajaran selalu memperhatikan kemampuan penalaran yang dimiliki oleh siswa.

Pada dasarnya pengetahuan seseorang bersifat dinamis, yaitu selalu berubah dan berkembang tergantung pada individu dan interaksinya dengan lngkungan.

(46)

38 individuakan mempengaruhi tingkat pengetahuan individu tersebut. Salah satu

perkembangan tersebut adalah perkembangan intelektual individu yang mengertai pertumbuhan fisiknya.

Usia siswa SMA rata-rata sudah lebih dari 11 tahun, artinya jika di tinjau dari teori perkembangan piaget, siswa siswa SMA seharusnya sudah mampu

menggunakan kemampuan berpikir formalnya. Dengan memiliki kemampuan tersebut maka siswa dapat bernalar idealis, logis dan mampu menyelesaikan masalah-masalah yang abstrak. Salah satu upaya yang dilakukan peneliti untuk

membuktijan pendapat tersebut yaitu dengan menganalisis kemampuan penalaran siswa kelas XI SMAN 1 Abung Pekurun Kota Bumi.

Untuk mengetahui tingkat penalaran siswa peneliti menggunakan instrumen

penalaran yaitu menggunakan tes kemampuan berpikir atau Science Cognitive Development Tes (SCDT). Kemudian untuk mengetahui tingkat kevalidan dan

reliabelitas tes SCDT digunakan program Anates. Melalui upaya tersebut maka dapat diperoleh informasi seberapa baik tes SCDT apabila digunakan untuk mengukur kemampuan penalaran siswa. Untuk memberikan gambaran lebih

(47)

39

Gambar 2.1 Diagram Kerangka Pemikiran

F. Hipotesis

Berdasarkan uraian di atas maka dapat diambil hipotesis antara lain sebagai berikut :

1. Hipotesis Pertama

Persentase siswa yang memiliki operasional formal di pengaruhi oleh jumlah siswa yang mampu mejawab dengan benar soal-soal pada kategori

tingkat berpikir formal A1 dan A2

2. Hipotesis Kedua

Persentase siswa yang memiliki operasional konkrit di pengaruhi oleh jumlah siswa yang mampu mejawab dengan benar soal-soal pada kategori tingkat berpikir konkrit C1 dan C2

Kemampuan Berpikir Konkrit

Tes SCDT Tes

Penguasaan Konsep

Siswa

Kemampuan Berpikir Formal

(48)

40 3. Hipotesis Ketiga

Persentase kontribusi operasianal konkrit siswa terhadap penguasaan konsep siswa pada kategori C1 dan C2 akan lebih besar jika siswa-siswa

tersebut memiliki penguasaan konsep pada kategori cukup baik

4. Hipotesis Keempat

Persentase kontribusi operasianal formal siswa terhadap penguasaan

(49)

41

III. METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini dilihat berdasarkan tingkat eksplanasi yaitu deskriptif, deskriptif itu sendiri adalah tingkat penjelasan dengan tujuan menjelaskan variabel yang akan diamati yaitu kemampuan berpikir dan tingkat penguasaan

konsep yang dimiliki oleh siswa.

B.Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dari penelitian ini adalah sisawa kelas XI.IPA semester 2 (genap) SMAN 1 Abung Pekurun Kota Bumi tahun pelajaran 2011/2012 yang terdiri dari satu kelas yang berjumlah 35 siswa.

2. Sampel

Sampel penelitian ini menggunakan sampling jenuh atau teknik penentuan

sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel atau yang lebih kita kenal dengan nama sampel total yaitu jumlah populasi sama dengan jumlah sampel. Sampel dalam penelitian ini terdiri dari kelas

(50)

42 berdasarkan kemampuan kognitif siswa yang dilihat dari hasil belajar siswa

terhadap mata pelajaran fisika.

C.Sumber dan Teknik Pengambilan Data

Sumber data dalam penelitian ini yaitu data primer, data tersebut diperoleh

secara langsung dari responden (siswa). Data dapat dilihat berdasarkan kekonsistenan jawaban siswa pada lembar jawaban tes SCDT dan tes

penguasaan konsep.

Teknik pengambilan data pada penelitian ini yaitu dalam bentuk kuesioner dengan bentuk tes yang terdiri dari dua jenis tes yaitu tes SCDT dan tes

pengguasaan konsep. Tes SCDT digunakan untuk mengukur atau melihat seberapa besar kemampuan berpikir siswa, sedangkan tes pengusaan konsep digunakan untuk mengetahui seberapa besar penguasaan konsep yang dimiliki

oleh siswa.

D. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan data kuantitatif yaitu data yang berbentuk angka, dalam penelitian ini hanya terdapat data kuantitatif karena hanya mengukur berapa besar persentase kemampuan berpikir dan penguasaan konsep siswa.

Untuk data kuantitatif diperoleh dengan memberikan tes kepada siswa yaitu tes SCDT dan tes penguasaan konsep. Data pada penelitian ini yaitu dalam

(51)

43

Metode pengumpulan data pada penelitian ini yaitu menggunakan tes yang

terdiri dari tes intelegensi atau tes kemampuan intelektual yang mengukur taraf kemampuan berpikir terutama yang berkaitan dengan potensi di sekolah dan tes penguasaan konsep atau test academic ability yaitu tes yang

mengukur kemampuan akademik dalam penguasaan konsep khususnya untuk materi usaha dan energi.

1. Skoring Kemampuan Berpikir

Setelah data kemampuan berpikir setiap siswa terkumpul, selanjutnya data dianalisis. Dari data yang diperoleh dapat mengkategorikan tingkat

berpikir siswa, tetapi terlebih dahulu dilakukan skoring pada tiap-tiap lembar jawaban tes SCDT. Analisis skoring tersebut kemudian

dikategorikan yaitu kategori A1, kategori A2, kategori C1 dan kategori C2.

2. Analisis Penguasaan Konsep Siswa

Setelah data diperoleh maka data dianalisis untuk mendeskripsikan penguasaan konsep fisika siswa, untuk jawaban soal siswa yang telah

terkumpul selanjutnya dideskripsikan berdasarkan jawaban siswa yang benar akan diberi skor 1, sedangkan siswa yang menjawab soal salah akan diberi skor 0.

(52)

44

Data yang diperoleh kemudian dikonversikan berdasarkan kriteria standar

nilai sebagai berikut :

Tabel 3.1 Pengelompokan nilai berdasarkan kriteria standar nilai

Nilai (%) Kategori

≥81 Baik Sekali

≥ 66 Baik

55 - 65 Sedang

≤ 55 Kurang

Sumber Arikunto (2007: 254)

3. Analisis Penguasaan Konsep Berdasarkan kategori C1, C2, A1 dan A2

Untuk menggolongkan kemampuan berpikir siswa ke dalam empat kategori, yaitu tingkat berpikir konkret C1, konkret C2, formal A1 dan

formal A2, maka data yang digunakan untuk mendeskripsikan penguasaan konsep tiap kategori :

Keterangan :

n yaitu jumlah untuk mewakili setiap kategori pada tingkat berpikir C1,

C2, A1 dan A2

4. Tabulasi Data

(53)

45 operasional konkret dan persentase siswa yang memiliki kemampuan

berpikir pada tahap operasional formal secara sederhana.

Setelah menganalisis data untuk mengetahui berapa besar pencapaian pokok bahasan, selanjutnya melakukan mengkategorikan tingkat berpikir

siswa dengan melakukan skoring pada tiap-tiap lembar jawaban tes penguasaan konsep, selanjutnya data akan ditransfer dalam bentuk yang

lebih ringkas yaitu dengan membuat tabel data.

Tabel 3.2. Rentang persentase tingkat penguasaan konsep

Nilai (%) Kategori

0% - 45% Rendah

46% - 65% Sedang

66% - 85% Tinggi

86% - 100% Sangat Tinggi

(54)

58

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa:

1. Persentase kemampuan siswa SMAN 1 Abung Pekurun yang memiliki

penalaran pada tahap operasional formal untuk kategori A1 sebanyak 7 siswa dengan persentase sebesar 20% dari 35 siswa.

2. Persentase kemampuan siswa SMAN 1 Abung Pekurun yang memiliki penalaran pada tahap operasional konkret pada kategori C1 sebanyak 1

siswa dengan persentase sebesar 2,85% dan untuk kategori C2 sebanyak 27 siswa dengan persentase sebesar 77,14% dari keseluruhan jumlah siswa.

3. Persentase kontribusi tahap operasional konkret terhadap penguasaan konsep pada kategori C1 terdapat 1 siswa dengan persentase sebesar

2,85% yang masuk dalam kategori kurang baik dan untuk tingkat berpikir konkret pada kategori C2 sebesar 77,14% yang terbagi menjadi 4 yaitu, 1 siswa memiliki penguasaan konsep baik sekali, 6 siswa memiliki

penguasaan konsep baik, 9 siswa dengan penguasaan konsep cukup baik dan sebanyak 11 siswa memiliki penguasaan konsep kurang baik.

Gambar

Tabel 2.1 Beberapa macam tingkat berpikir
Tabel 2.2 Mengenai proses pada ranah kognitif disertai dengan penjelasan
Tabel 2.4 Proses-proses yang dilewati pada tahap operasional konkret.
Tabel  2.5 Kriteria Tingkat Penguasaan Konsep
+6

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan perhitungan jarak genetik dari ketiga lokasi pengambilan ikan Kelabau yang berbeda di Kalimantan Barat, diperoleh nilai jarak genetik terdekat adalah antara

Positioning adalah tindakan untuk merancang citra perusahaan agar mendapatkan tempat khusus dalam pikiran konsumen melalui ciri khas dan BAPE Car Wash yaitu car

Salah satu pedoman mudah yang dapat dilakukan untuk melakukan rehabilitasi mangrove disuatu lokasi adalah dengan melihat jenis tumbuhan mangrove yang terdapat

Hasil penelitian menunjukan bahwa keempat bahan memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap kapasitas efektif alat dan nilai organoleptik kerenyahan dan organoleptik aroma namun

Urutan unsur yang ada pada deret volta baik untuk diketahui dengan baik agar dapat menentukan mana yang seharusnya menjadi katoda dan anoda yang benar.

Uzimajući u obzir sve aktivne korisnike, odnosno one koji internetu pristupaju i putem pametnih telefona i podatkovnih kartica, gustoća usluge širokopojasnog pristupa

with ghee, butter milk or hot water twice or thrice daily either half an hour before food or half an hour after

Kuala Panduk Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Petodaan Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Teluk Meranti Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Pulau Muda