• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembentukan Tunas Adventif Pisang Barangan(Musa accuminata L.) dengan Posisi Potongan dan Konsentrasi BAP yang Berbeda.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pembentukan Tunas Adventif Pisang Barangan(Musa accuminata L.) dengan Posisi Potongan dan Konsentrasi BAP yang Berbeda."

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

 

PEMBENTUKAN TUNAS ADVENTIF PISANG BARANGAN

(

Musa acuminata

L.) DENGAN KONSENTRASI BAP DAN POSISI BONGGOL

EKSPLAN YANG BEBEDA SECARA IN VITRO

SKRIPSI

Oleh:

NURNAWIYAH KARTIKA SARI

070301008

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PEMBENTUKAN TUNAS ADVENTIF PISANG BARANGAN

(

Musa acuminata

L.) DENGAN KONSENTRASI BAP DAN POSISI BONGGOL

EKSPLAN

YANG BEBEDA SECARA IN VITRO

SKRIPSI

Oleh:

NURNAWIYAH KARTIKA SARI

070301008

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(3)

 

iii 

Judul Skripsi : Pembentukan Tunas Adventif Pisang Barangan(Musa accuminata

L.) dengan Posisi Potongan dan Konsentrasi BAP yang Berbeda

Nama : Nurnawiyah Kartika Sari

NIM : 070301008

Departemen : Budidaya Pertanian

Program Studi : Agronomi

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Ir. Mariati, M.Sc. Ir. Jonis Ginting, MS.

Ketua Anggota

(4)

ABSTRAK

NURNAWIYAH KARTIKA SARI. : Pembentukan Tunas Adventif Pisang

Barangan (Musa accuminata L.). Penelitian ini dilakukan di bawah bimbingan

Ir. Mariati, Msc dan Ir. Jonis Ginting, Ms.

Perbanyakan pisang barangan secara generatif hanya menggunakan anakan pada

umumnya menghasilkan 2-3 anakan saja. Namun, kebutuhan bibit tidak terpenuhi maka

digunakan teknik kultur jaringan dengan menggunakan BAP dan posisi bonggol eksplan

agar dapat menghasilkan bibit pisang barangan lebih banyak dalam waktu yang relatif

singkat. Penelitian ini mengkaji tanggap pertumbuhan tunas adventif pisang barangan

terhadap konsentrasi BAP dan posisi bonggol eksplan yang berbeda secara in-vitro yang

telah dilaksanakan di laboratorium kultur jaringan Dinas Pertanian Gedung Johor Medan

Polonia pada Maret-Mei 2011 menggunakan Rancangan Acak Lengkap

faktorial.Parameter yang diamati adalah Jumlah akar (buah), Panjang akar (cm), Waktu

inisiasi akar (hari), Jumlah tunas (buah), Panjang tunas(cm), Waktu inisiasi tunas (hari).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan BAP dan Posisi bonggol

eksplan tidak berbeda nyata terhadap semua parameter

(5)

 

RIWAYAT HIDUP

Nurnawiyah Kartika.Sari dilahirkan di Medan, Sumatera Utara pada

tanggal 19 november 1989 anak dari Ayahanda Syamsul Bahri dan Ibu Siti

Fauziah. sebagai putri pertama dari tiga bersaudara.

Pendidikan formal yang pernah ditempuh adalah SD Kemala Bhayangkari I

Medan lulus pada tahun 2001, SLTP Kemala Bhayangkari I Medan lulus

tahun 2004 dan SMA Kemala Bhayangkari I Medan lulus tahun 2007. Tahun

2007 diterima sebagai mahasiswa Universitas Sumatera Utara, Fakultas Pertanian

pada Departemen Budidaya Pertanian Program Studi Agronomi.

Selama mengikuti perkuliahan penulis pernah asisten laboratorium

Perbanyakan Vegetatif Tanaman (2011). Selain itu penulis aktif dalam organisasi

ekstra kampus HMI Komisariat FP USU (2007-2009) dan pengalaman di bidang

kemasyarakatan, penulis peroleh saat mengikuti Praktek Kerja Lapangan (PKL) di

Sumatera Bakrie Plantations Tbk, Kisaran pada bulan Juli sampai Agustus

tahun 2010.

     

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. karena atas berkat

dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul

”Pembentukan Tunas adventif Pisang Barangan ( Musa accuminata L.)”.

Pada kesempatan ini penulis menghaturkan ucapan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada Ayahanda Syamsul Bahri dan Ibunda Siti Fauziah. yang

telah membesarkan dan mendidik penulis selama ini. Penulis menyampaikan

ucapan terima kasih kepada Ibu Ir. Mariati, Msc dan Bapak Ir. Jonis Ginting, MS

selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan

memberikan berbagai masukan, mulai dari penetapan judul, melakukan penelitian,

sampai pada ujian akhir.

Terima kasih kepada kedua orang tua saya yang telah membesarkan

penulis dengan kasih sayang dan kesabaran, adik-adikku Levita Indriani dan

Rizky Muhamadi yang telah menjadi penyemangat bagi penulis dalam

menyelesaikan perkuliahan. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih

kepada kak Asni SP, dan sahabat-sahabat terbaikku Agus Salim, Rofikoh A.

Siregar, Ahmad Fadli Arbian, Wulan Devita Sari, Mazidah Ulfa,Meilisya Dwi

Arga, Subarianto, Dedi Irawan sari dan sahabat-sahabat angkatan 2007 yang telah

(7)

 

vii 

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh

sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi

kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih.

(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... i

RIWAYAT HIDUP ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR . ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Hipotesa Penelitian ... 3

Kegunaan Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Biologi Jamur Merang ... 4

Siklus Hidup Jamur Merang ... 5

Syarat Tumbuh Jamur Merang ... 7

(9)

 

ix 

Media tumbuh ... 8

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu ... 12

Bahan dan Alat ... 12

Metode Penelitian ... 12

Peubah Amatan ... 14

Umur mulai panen (hari) ... 14

Panjang badan buah (cm) ... 15

Diameter Tudung (cm) ... 15

Jumlah badan buah (buah) ... 15

Bobot basah/plot (g) ... 15

Lamanya periode panen (hari) ... 15

Pelaksanaan Penelitian ... 16

Sanitasi rumah kaca ... 16

Persiapan media ... 16

Fermentasi pengomposan ... 16

Sterilisasi media ... 17

Sterilisasi rumah kaca dan kotak ... 17

(10)

Inkubasi ... 18

Penyiraman ... 18

Pengendalian kontaminan ... 18

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil ... 19

Pembahasan ... 25

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 29

Saran ... 29

DAFTAR PUSTAKA ... 30

(11)

 

xi 

DAFTAR TABEL

No. Hal.

1. Tabel 1. Rataan Jumlah Akar ...20

2. Tabel 2. Rataan Panjang Akar...21

 

3. Tabel 3. Rataan Waktu Inisiasi Akar...21

4. Tabel 4. Rataan Jumlah Tunas...22

.

5. Tabel 5. Rataan Panjang Tunas...24

6. Tabel 6. Rataan Waktu Inisiasi Tunas...24

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Hal.

1. Bagan Penelitian...34

2. Tabel Kegiatan Penelitian...35

3. Komposisi Media Murashige dan Skoog...36

4. Data Pengamatan Jumlah Akar (buah)...37

5. Data Transformasi Jumlah Akar √X+0.5...37

6. Sidik Ragam Jumlah Akar...38

7. Data Pengamatan Panjang Akar (cm)...39

8. Data Transformasi Panjang Akar √X+0.5...39

9. Sidik Ragam Panjang Akar...40

10.Data Pengamatan Waktu Inisiasi Akar (hari)...41

11.Data Transformasi Waktu Inisiasi Akar √X+0.5...41

12.Sidik Ragam Waktu Inisiasi Tunas...42

13.Data Pengamatan Jumlah Tunas (buah)...43

  14. Data Transformasi Jumlah Tunas √X+0.5...43

(13)

 

xiii 

16. Data Pengamatan Panjang Tunas (cm)...45

17. Data Transformasi Panjang Tunas √X+0.5...45

18. Sidik Ragam Panjang Tunas...46

19. Data Pengamatan Waktu Inisiasi Tunas (hari)...47

20. Data Transformasi Waktu Inisiasi Tunas √X+0.5...47

(14)

 

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Berdasarkan Sensus Pertanian Tahun 2003 (SP 2003, BPS 2004), rumah

tangga tani yang terlibat dalam budidaya pisang di Indonesia sebanyak 16 juta

atau 30% dari rumah tangga pertanian secara keseluruhan yang berjumlah

52,9 juta rumah tangga pertanian. Hal ini menggambarkan bahwa setiap 10 orang

petani 3 diantaranya menanam pisang baik sebagai tanaman perkarangan maupun

sebagai tanaman kebun/ladang. Potensi yang besar ini bila dikelola dengan baik

akan dapat meningkatkan pendapatan petani secara signifikan.

Data Badan Pusat Statistik Sumatera Utara (2010) menunjukkan produksi

pisang barangan terjadi peningkatan mencapai angka 15793 ton dengan luas areal

13787 ha, dimana produksi/ha 11.46 kw/ha. Jika dibandingkan dengan produksi

tahun 2008 yang hanya mencapai 7043 ton dengan luas areal 6311 ha, dimana

produksi/ha 11.66 kw/ha. Diantara sekian banyak jenis pisang, jenis pisang

barangan termasuk jenis pisang yang sangat digemari oleh masyarakat, selain

pisang barangan memiliki rasa yang manis pisang barangan juga memiliki nilai

gizi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pisang lainnya.

Permintaan buah pisang barangan terus meningkat dari tahun ke tahun,

tetapi belum diikuti dengan peningkatan produktivitas. Beberapa kendala dalam

budidayanya adalah bibit/anakan yang sangat terbatas. Dari 1 tanaman induk

(15)

anakan saja, padahal kebutuhan bibit untuk pengembangan budidaya ini sangat

banyak. Pengembangan kebun seluas 6000 ha untuk memenuhi kebutuhan pasar

eksport dan 2500 ha untuk industri membutuhkan benih kultivar canvendish dan

non cavendish sebanyak- banyaknya 10 juta tanaman. Kebutuhan benih tersebut

diharapkan dapat membuka peluang investasi usaha bisnis benih sumber kultivar

unggul . Salah satu cara mengatasi masalah kekurangan bibit tersebut dengan cara

menggunakan teknik perbanyakan secara kultur jaringan (Fiani, 1994).

Dengan teknik perbanyakan tanaman secara kultur jaringan dapat

diperbanyak bibit tanaman pisang barangan dalam jumlah yang banyak dan dalam

waktu yang relatif singkat. Abdany (2001) dari hasil penelitiannya dengan

perlakuan ZPT BAP pada beberapa tingkat konsentrasi, melaporkan bahwa

konsentrasi BAP 5 mg/l mampu membentuk tunas adventif dari daun pisang

barangan, sementara itu Wahyudi (2004) melaporkan dari hasil penelitiannya

yang menggunakan Eksplan bonggol pisang barangan dengan konsentrasi

BAP 3,6, 9, 12 mg/l pada semua perlakuan menghasilkan tunas adventif.

Dari beberapa laporan penelitian tentang pembentukan tunas adventif dari

pisang barangan secara kultur jaringan belum ada yang menggunakan posissi

bonggol eksplan dengan konsentrasi BAP yang lebih rendah dari 3 mg/l, oleh

karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengeruh

pemberian BAP terhadap pembentukan tunas adventif pisang barangan dengan

(16)

Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui tanggap pertumbuhan tunas adventif pisang barangan

terhadap konsentrasi BAP dan Posisi bonggol eksplan yang berbeda secara

in vitro

Hipotesis Penelitian

1. Konsentrasi BAP yang berbeda berpegaruh nyata terhadap pertumbuhan

tunas adventif dan akar pisang barangan.

2. Posisi bonggol eksplan yang berbeda berpengaruh nyata terhadap

pertumbuhan tunas adventif dan akar pisang barangan.

3. Ada Interaksi antara posisi bonggol eksplan dengan konsentrasi BAP

terhadap pertumbuhan tunas adventif dan akar pisang barangan.

Kegunaan Penelitian

1. Sebagai bahan dalam penyusunan skripsi yang merupakan salah satu syarat

untuk dapat memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian Universitas

Sumatera Utara, Medan.

2. Sebagai bahan informasi bagi pihak yang membutuhkan.

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Pisang Barangan

Suhadirman (1997) menyebutkan bahwa Musa acuminata ini berdasarkan

klasifikasi tumbuhan ini sebagai berikut : Kingdom : Plantae;

Filum : Magnoliophyta; Kelas : Magnoliopsida; Ordo : Zingiberales;

Famili : Zingiberraceae; Genus : Musa; Spesies :Musa acuminata L.

Tanaman pisang termasuk kedalam family Zingiberraceae dan golongan

herba. Pisang yang dapat dimakan berasal dari dua spesies yaitu Musa acuminata

dan musa balbisiana, dengan jumlah kromosom dasar n= 11. Pada umumnya

kultivar- kultivar pisang bersifat diploid dengan jumlah kromosom 22

(Satuhu dan Supriadi, 2000).

Batang pisang berakar rimpang dan tidak mempunyai akar tunggang. Akar

ini berpangkal pada umbi batang. Akar terbanyak berada dibagian bawah sampai

kedalaman 75-150 cm. Sedangkan akar yang bearada dibagian samping umbi

batang tumbuh kesamping dan mendatar, panjangnya dapat mencapai 4-5 meter.

Ada dua macam perakaran yaitu perakaran utama, akar batang yang menempel

pada bonggol batang dan perakaran sekunder, akar tumbuh dari perakaran utama

sepanjang 5 cm dari pangkal akar (Satuhu dan Supriadi, 2000).

Batang pisang sebenarnya terletak dalam tanah berupa umbi batang.

Dibagian atas umbi batang terdapat titik tumbuh yang menghasilkan daun dan

pada suatu saat akan tumbuh bunga pisang ( jantung) . Sedang yang berdiri tegak

(18)

ini terbentuk dari pelepah daun pisang yang saling menelungkup dan menutupi

dengan kuat dan kompak sehingga bisa berdiri tegak seperti batang tanaman.

Tinggi batang semu ini berkisar 3,5 – 7,5 meter tergantung jenisnya

(Cahyono, 1995).

Bonggol adalah batang pisang yang terdapat didalam tanah. Pada sepertiga

bagian bonggol sebelah atas terdapat mata calon tumbuh tunas anakan

(Gunawan, 1987; Smith, 1992)

Lembaran daun (lamina) pisang lebar dengan urat daun utama menonjol

berukuran besar sebagai pengembangan morfologis lapisan batang semu

(gedebong). Urat daun utama ini sering disebut sebagai pelepah daun. Lembaran

daun yang lebar berurat sejajar dan tegak lurus pada pelepah daun. Urat daun ini

tidak ada ikatan daun yang kuat ditepinya sehingga daun mudah sobek akibat

terkena angin kencang (Suhardiman, 1997).

Bunga pisang berupa tongkol yang sering disebut jantung. Bunga ini

muncul dari primodia yang terbentuk pada bonggolnya. Perkembangan primodia

bunga memanjang keatas hingga menembus inti batang semu dan keluar inti

batang semu. Bunga jantan dan bunga betina terjalin dalam satu rangkaian yang

terdiri dari 5-20 bunga. Rangkaian bunga ini nantinya membentuk buah, yang

disebut satu sisir. Satu bunga jantung dapat pula terdiri dari 1-2 rangkaian bunga

sehingga deretan sisirnya sangat panjang, misalnya pisang seribu

(Gunawan, 1987; Smith, 1992)

Kulit buah kuning kemerahan dengan bintik- bintik coklat. Daging buah

agak orange. Satu tandan terdiri dari 8-12 sisir. Dalam setiap sisir terdiri dari

(19)

jenis tanaman pisang. Adapun pembentukan buah pisang sesudah keluar, maka

akan terbentuk sisir pertama, kemudian memanjang lagi dan terbentuk sisir kedua

dan ketiga dan seterusnya. Jantungnya perlu dipotong sebab sudah tidak bisa

menghasilkan sisir lagi (Wattimena, 1992).

Wahyudi (2000) dari penelitiannya melaporkan bahwa dengan

penggunaan konsentrasi NAA 0,5 mg/l memberikan hasil terbaik untuk persentase

pertumbuhan yaitu 100%, jumlah tunas 3,35 buah, panjang tunas yaitu 4,7 mm

dan jumlah eksplan yang membentuk tunas yaitu 80%.

Amri (1998) dari hasil penelitian melaporkan bahwa perlakuan tingkat

konsentrasi arang aktif dengan taraf 0,02 gram berpengaruh nyata terhadap

peubah amatan panjang tunas pada 9 MSt, jumlah akar serta panjang akar.

Sedangkan terhadap peubah amatan : saat muncul tunas 6,7 dan 8 MST, jumlah

tunas serta saat muncul akar 6 MST, 7MST, dan 8 MST berpengaruh tidak nyata.

Kultur Jaringan

Kultur jaringan itu sendiri dapat diartikan suatu metode untuk mengisolasi

bagian tanaman serta menumbuhkannya dalam kondisi yang aseptik secara

in-vitro Sehingga bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi

menjadi tanaman lengkap (Hartman, dkk, 2002).

Berbeda dengan teknik perbanyakan vegetatif konvensional, kultur

jaringan melibatkan pemisahan komponen-komponen biologis dan tingkat

pengendalian yang tinggi dalam memacu proses regenerasi dan perkembangan

jaringan. Setiap urutan proses dapat dimanipulasi melalui seleksi bahan tanaman,

(20)

seperti jamur dan bakteri. Semua itu dimaksudkan untuk memaksimalkan produk

akhir dalam bentuk kuantitas dan kualitas propagula berdasarkan prinsip

totipotensi sel (Zulkarnain, 2009).

Menurut Yusnita (2003) dibanding dengan perbanyakan tanaman secara

konvensional, perbanyakan tanaman secara kultur jaringan mempunyai beberapa

kelebihan sebagai berikut:

1. Untuk memperbanyak tanaman tertentu yang sulit atau sangat lambat

diperbanyak secara konvensional. Perbanyakan tanaman secara kultur

jaringan menawarkan peluang besar untuk menghasilkan jumlah bibit

tanaman yang banyak dalam waktu relatif singkat sehingga lebih ekonomis.

2. Perbanyakan tanaman secara kultur jaringan tidak memerlukan tempat yang

luas.

3. Teknik perbanyakan tanaman secara kultur jaringan dapat dilakukan

sepanjang tahun tanpa bergantung pada musim.

4. Bibit yang dihasilkan lebih sehat.

5. Memungkinkan dilakukannya manipulasi genetik.

Kultur jaringan akan lebih besar persentase keberhasilannya bila

menggunakan jaringan meristem. Jaringan meristem adalah jaringan muda, yaitu

jaringan yang terdiri dari sel-el yang selalu membelah, dindingnya tipis, belum

mempunyai penebalan dari zat pektin, plasmanya penuh, dan vakuolanya

kecil-kecil. Kebanyakan orang menggunakan jaringan ini untuk tissue culture.

Sebab, jaringan meristem keadaannya selalu membelah, sehingga

diperkirakan mempunyai zat hormone yang mengatur pembelahan

(21)

Eksplan

Eksplan artinya jaringan tanaman yang digunakan sebagai bahan tanam di

dalam botol. Eksplan dipilih dari jaringan yang masih muda karena jaringan

tersebut tersusun atas sel-sel yang masih muda dan selalu membelah. Dengan

demikian diharapkan nantinya bisa menghasilkan tanaman yang sempurna.

Sebagai eksplan (Purwanto, 2007).

Ukuran eksplan juga menentukan keberhasilan kultur jaringan. Eksplan

yang berukuran besar sangat dikhawatirkan bannyak mengan dung kontaminan,

tetapi ukuran eksplan yang terlalu kecilpun dianggap kurang efektif karena

kemampuan perkembangannya dalam media sangat lambat. Ukuran eksplan yang

paling baik adalah 0,5-1 cm, namun ukuran ini dapat bervariasi tergantung

materialtanaman yang dipakai dan jenis tanamannya (Gunawan, 1995)

Nisa (2009) melaporkandari hasil penelitiannnya bahwa campuran NAA

dan Kinetin dengan kultivar pisang berpengaruh nyata terhadap semua peubah

pengamatan. Perlakuan NAA 0,4 mg l-1 + kinetin 6 mg l-1 kultivar pisang mauli

memberikan hasil yang tertinggi terhadap persentase hidup eksplan yaitu 87,5%

dan persentase kontaminasi terendah yaitu < 5% sedangkan pemberian NAA 0,8

mg l-1 + kinetin 9 mg l-1 kultivar pisang kepok memberikan saat pertumbuhan

(22)

Media Kultur

Media kultur merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan

perbanyakan tanaman secara kultur jaringan. Berbagai komposisi media kultur

telah diformulasikan untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan

tanaman yang dikulturkan (Yusnita, 2003).

Sebelum membuat medium, maka terlebih dahulu kita harus menentukan

medium apa yang akan kita buat. Jenis medium dengan komposisi unsur kimia

yang berbeda dapat digunakan untuk media tumbuh dari jaringan tanaman yang

berbeda pula (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

Medium yang digunakan untuk kultur in vitro tanaman dapat berupa

medium padat atau cair. Medium padat digunakan untuk menghasilkan kalus yang

selanjutnya diinduksi membentuk tanaman yang lengkap (disebut sebagai planlet),

sedangkan medium cair biasanya digunakan untuk kultur sel. Medium yang

digunakan mengandung lima komponen utama yaitu senyawa anorganik, sumber

karbon, vitamin, zat pengatur tumbuh dan suplemen organik (Yuwono, 2008).

Media yang digunakan secara luas adalah media MS yang dikembangkan

pada tahun 1962. Dari berbagai komposisi dasar ini kadang-kadang dibuat

modifikasi, misalnya hanya menggunakan ½ dari konsentrasi dari garam-garam

makro yang digunakan (1/2 MS) atau menggunakan komposisi garam makro

(23)

10 

10 

pengatur tumbuh yang akan digunakan disesuaikan dengan tujuan inisiasi kultur

(Gunawan, 1995).

Lingkungan In Vitro

Lingkungan kultur merupakan hasil interaksi antara bahan tanaman,

wadah kultur, dan lingkungan eksternal ruang kultur, memiliki pengaruh yang

sangat besar terhadap suatu sistem kultur jaringan. Secara teoritis, semua variabel

di dalam setiap wadah kultur pada ruang kultur yang sama adalah seragam.

Sebagai konsekuensinya, hal yang sama terjadi pula di wadah-wadah kultur pada

ruang kultur yang lain. Agar pertumbuhan kultur seragam maka keseragaman

faktor lingkungan harus diupayakan, tidak hanya di dalam ruang kultur, tetapi

juga di dalam semua wadah kultur dengan cara menggunakan wadah yang

seragam (Zulkarnain, 2009).

Menurut Gunawan (1995) lingkungan tumbuh yang dapat mempengaruhi

regenerasi tanaman meliputi:

 Temperatur

 Penyinaran: panjang penyinaran, intensitas penyinaran, dan kualitas sinar,

serta

 Ukuran wadah kultur

Dalam teknik kultur jaringan tanaman, cahaya dinyatakan dengan dimensi

lama penyinaran, intensitas dan kualitasnya. Prof. Murashige menyarankan untuk

(24)

merupakan pencerminan dari kebutuhan periodisitas tanaman yang bersangkutan

dilapangan. Kualitas cahaya mempengaruhi arah diferensiasi jaringan

(Yusnita, 2003).

Pengaruh intensitas cahaya terhadap pembentukan akar bergantung pada

cara pemberian cahaya tersebut. Protokorm Cymbidium yang berwarna hijau akan

membentuk akar dan tunas bila diberi intensitas cahaya 2200 sampai 2500 lux.

Namun, bila disimpan dalam gelap hanya membentuk tunas. Pembentukan akar

disini diduga ada kaitannya dengan metabolisme nitrogen yang terjadi dengan

adanya cahaya. Untuk keperluan kultur jaringan cahaya putih dari lampu

flourscent dengan intensitas 1000 lux untuk fase inisiasi dan subkultur, sedangkan

untuk fase pengakaran dan persiapan planlet sebelum dilakukan aklimatisasi

menggunakan intensitas 5000 sampai 6000 lux. Intensitas yang lebih rendah akan

menghasilkan planlet yang mengalami etiolasi dengan daun yang berwarna pucuk.

Lama penyinaran yang dianjurkan adalah 16 jam per hari (Wattimena, dkk, 1992).

Zat Pengatur Tumbuh

Zat pengatur tumbuh memegang peranan penting dalam pertumbuhan dan

perkembangan kultur. Faktor yang perlu mendapat perhatian dalam penggunaan

zat pengatur tumbuh antara lain jenis zat pengatur tumbuh yang akan digunakan,

konsentrasi, urutan penggunaan, dan periode masa induksi dalam kultur tertentu

(Gunawan, 1995).

Terdapat kisaran interaksi yang luas antara kelompok auksin dengan pula

dengan senyawa-senyawa kimia lainnya dan dipengaruhi oleh faktor-faktor

(25)

12 

12 

menyerupai sitokinin atau sebaliknya. Meskipun demikian, baik auksin maupun

sitokinin, keduanya seringkali diberikan secara bersamaan pada medium kultur

untuk menginduksi pola morfogenesis tertentu, walaupun rasio yang dibutuhkan

untuk induksi perakaran maupun pucuk tidak selalu sama. Terdapat keragaman

yang tinggi antargenus, antarspesies, bahkan antar kultivar dalam hal jenis serta

takaran auksin dan sitokinin yang dibutuhkan untuk menginduksi terjadinya

morfogenesis (Wilkins, 1989).

Benzil aminopurin (BAP)

Sifat paling karakteristik yang berkaitan dengan sitokinin adalah

perangsangan mereka terhadap pembelahan sel pada kultur jaringan tanaman. Satu

dari reaksi yang benar-benar dramatis terhadap sitokinin adalah pembentukan

organ-organ yang terjadi di bawah kondisi yang tepat dalam berbagai kultur

jaringan. Heide (1965) menemukan bahwa sitokinin-sitokinin tertentu beberapa

kali lebih efektif daripada kinetin itu sendiri pada penginduksian pembentukan

tunas dan lebih jauh bahwa spesies atau kultivar tertentu Begonia yang biasanya

tidak membentuk tunas-tunas kebetulan didaun atau berbuat demikian hanya

kadang-kadang saja, dengan pemprosesan sitokinin mengeluarkan pembentukan

tunas yang melimpah (Wilkins, 1989).

Sitokinin biasanya tidak digunakan untuk tahap pengakaran pada

mikropropogasi karena aktivitasnya yang dapat menghambat pembentukan akar,

menghalangi pertumbuhan akar, dan menghambat pengaruh auksin terhadap

inisiasi akar pada kultur jaringan sejumlah spesies tertentu. apabila ketersediaan

(26)

jaringan yang dikulturkan akan terhambat. Akan tetapi, apabila jaringan tersebut

disubkulturkan pada medium dengan kandungan sitokinin yang memadai maka

pembelahan sel akan berlangung secara sinkron (George dan Sherrington, 1984).

Zat pengatur tumbuh yang diberikan harus dapat diabsorbsi dan

ditranslokasikan ke jaringan target. Hal ini tentu tergantung dari formulasi dan

konsentrasi zat pengatur tumbuh sehingga dapat dikatakan bahwa pada

konsentrasi tersebut belum dapat diabsorbsi dan ditranslokasikan oleh tanaman

untuk pertumbuhan dan perkembangan (Wattimena, dkk, 1992).

Catrina (2009) melaporkan dari hasil penelitiannya melaporkan bahwa

BAP dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap peubah waktu

munculnya tunas pertama. Tunas pertama muncul pada minggu ke-1 dan ke-2.

Semua eksplan mampu bertunas 100% dalam waktu empat minggu, namun tunas

yang tercepat muncul diperoleh dari media MS + BAP 13.32 μM yaitu pada 6.6

HST. Media yang optimum untuk multiplikasi anthurium wave of love adalah MS

+ BAP 6.66 μM dan ½MS + BAP 13.32 μM. Komposisi media MS + BAP 6.66

μM menghasilkan tunas yang banyak dengan menggunakan BAP yang lebih

sedikit, sedangkan ½MS + BAP 13.32 μM menghasilkan tunas yang sama banyak

dengan hanya menggunakan media setengah MS, namun BAP yang digunakan

harus lebih banyak. Sedangkan menurut Andriana (2005) melaporkan hasil

penelitiannya bahwa multiplikasi menunjukkan bahwa perlakuan

BAP (1, 2, 3, 4 ppm) tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap peubah

jumlah tunas besar, jumlah tunas kecil, jumlah primordia, jumlah nodul, total

jumlah tunas, dan panjang tunas pisang FHIA-17. Rata-rata total jumlah tunas

(27)

14 

14 

antara beberapa periode subkultur. Perlakuan BAP memberikan pengaruh yang

nyata pada peubah jumlah akar, panjang akar dan panjang daun. Rata-rata jumlah

akar pisang FHIA-17 terbanyak didapatkan pada perlakuan BAP 1 ppm pada

subkultur 7, yaitu 11.8. Sedangkan untuk peubah ratarata panjang akar, BAP

memberikan pengaruh yang nyata pada subkultur 5 dan subkultur 7. Pada

subkultur 5, akar pisang terpanjang didapatkan dengan perlakuan BAP 1 ppm,

yaitu sebesar 8 cm. Sedangkan pada subkultur 7, akar pisang terpanjang

didapatkan dengan perlakuan BAP 2 ppm, yaitu sebesar 4.4 cm. Perlakuan BAP

memberikan pengaruh nyata terhadap peubah rata-rata panjang daun pisang

FHIA-17 pada subkultur 5 dan subkultur 7. Pada subkultur 5, daun pisang

terpanjang didapatkan dengan perlakuan BAP 1 ppm, yaitu sebesar 4.8 cm.

Sedangkan pada subkultur 7, daun pisang terpanjang didapatkan dengan perlakuan

BAP 2 ppm, yaitu sebesar 3.8 cm.

Hasil percobaan perlakuan giberelin terhadap kualitas tunas didapatkan

bahwa tinggi tanaman, panjang batang semu, panjang pelepah, lebar daun dan

panjang akar dipengaruhi oleh jenis tunas. Perlakuan giberelin berpengaruh nyata

pada tinggi tanaman, jumlah akar, panjang batang semu dan lebar daun.

Sedangkan konsentrasi BAP pada media asal berpengaruh nyata hanya pada

peubah panjang pelepah pada minggu keempat. Pertambahan tinggi tanaman

terbesar, jumlah akar terbanyak, batang semu, pelepah, dan akar terpanjang, serta

daun terlebar dihasilkan pada perlakuan asal media BAP 3 ppm dan pada jenis

tunas tinggi. Pemberian giberelin 20 ppm dapat menghasilkan panjang batang

(28)

jumlah akar terbanyak, daun terlebar dan akar terpanjang dihasilkan oleh giberelin

0 ppm.

(29)

16 

16 

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Dinas Pertanian

Gedung Johor Medan Polonia dengan ketinggian ± 25 meter diatas permukaan

laut, yang dimulai pada bulan Maret sampai dengan Mei 2011.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah bonggol

tanaman pisang yang berumur 3 bulan . Bahan untuk media meliputi larutan stok

media MS, BAP, agar-agar, NaOH 1 N, HCl, pH meter, aluminium foil dan

aquades. Bahan sterilisasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah alkohol

70% dan betadine.

Alat-alat yang digunakan adalah autoklaf, Laminar Air Flow (LAF), botol

kultur, erlenmeyer, pipet skala, gelas ukur, petridis, skalpel, gunting, bunsen,

timbangan analitik, hot plate, batang pengaduk, lemari es, kertas milimeter, pinset,

oven, dan alat-alat lainnya yang mendukung penelitian ini.

Metode Penelitian

Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial

dengan dua perlakuan, yaitu:

Faktor I : Tingkat konsentrasi Pemberian BAP dengan 6 taraf :

B0 = 0

(30)

B2 = 1 mg/l

B3 = 1,5 mg/l.

B4 = 2 mg/l

B5 = 2,5 mg/l

Faktor II : Posisi Eksplan

P1 = Posisi eksplan bagian kiri bawah

P2 = Posisi eksplan bagian kanan bawah

P3 = Posisi eksplan bagian kiri atas

P4 = Posisi eksplan bagian kanan bawah

Kombinasi perlakuan ada 16, yaitu:

B0P1 B1P1 B2P1 B3P1 B4P1 B5P1

B0P2 B1P2 B2P2 B3P2 B4P2 B5P2

B0P3 B1P3 B2P3 B3P3 B4P3 B5P3

B0P4 B1P4 B2P4 B3P4 B4P4 B5P4

Jumlah ulangan : 4 ulangan

Jumlah Tanaman/botol : 1 tanaman

(31)

18 

18 

Data hasil penelitian dianalisis dengan sidik ragam model linier sebagai

berikut:

Yij = µ + αi + βj + (αβ)ij + εij

i = 1,2,3,4 j = 1,2,3

Dimana:

Yij = Hasil pengamatan dari konsentrasi BAP pada taraf ke-i dan varietas pada

taraf ke-j

µ = Nilai tengah

αi = Efek dari konsentrasi BAP pada taraf ke-i

βj = Efek Varietas pada taraf ke-j

(αβ)ij = Interaksi antara konsentrasi BAP pada taraf ke-i dengan varietas pada

taraf ke-j

εijk = Galat dan konsentrasi BAP pada taraf ke-i dengan varietas pada taraf

ke-j

Jika perlakuan berpengaruh nyata maka dilanjutkan dengan DMRT

(32)

Sterilisasi Alat dan Bahan

Adapun alat yang disterilisasi adalah botol kultur, erlenmeyer, pipet skala,

gelas ukur, petridis, skalpel, gunting, pinset dan aquadest dan selanjutnya

alat-alat tersebut terlebih dahulu dicuci dengan deterjen, kemudian dibilas dengan

air, setelah itu dikeringkan. Kemudian alat seperti skalpel, pipa skala, pinset dan

cawan petri dibungkus dengan kertas, sedang untuk erlenmeyer dan gelas ukur

permukaannya ditutup dengan aluminium foil. Setelah itu, semua botol kultur,

alat-alat dan aquadest dimasukkan ke dalam autoklaf pada tekanan 17,5 psi,

dengan suhu 1210C selama 60 menit. Kemudian alat-alat tersebut dimasukkan ke

dalam oven kecuali botol kultur.

Persiapan Media

Media yang digunakan dalam penelitian ini adalah Murashige dan Skoog

(1962), komposisi dapat dilihat pada Lampiran 3. Media yang telah dicampur

diatas hot plate diukur pH sampai 5,8 kemudian disterilkan didalam autoklaf

dengan suhu 1210C, tekanan 17.5 psi selama 30 menit setelah itu dibagikan

kedalam 6 erlenmeyer lalu diberi BAP pada setiap erlenmeyer sesuai perlakuan

BAP. Dibagikan kedalam 4 botol kultur untuk setiap perlakuan dan diberi label

sesuai perlakuan masing-masing.

Persiapan Eksplan

Eksplan yang digunakan adalah bonggol yang diambil dari anakan pisang

(33)
(34)
(35)

22 

22  Parameter Pengamatan

Jumlah Tunas (buah)

Dihitung pada akhir penelitian dengan menghitung tunas yang muncul

yang memiliki kriteria panjang tunas lebih dari 0,5 cm.

Panjang tunas (cm)

Diukur pada akhir penelitian dengan menggunakan kertas milimeter mulai

dari tempat munculnya tunas (pangkal) sampai ujung tunas tertinggi

Waktu inisiasi tunas (hari)

Diamati setiap hari dengan melihat tunas yang muncul.

Jumlah akar (buah)

Dihitung pada akhir penelitian dengan menghitung akar yang muncul yang

memiliki kriteria panjang akar lebih dari 0,05 cm

Panjang akar (cm)

Diukur pada akhir penelitian dengan menggunakan kertas milimeter mulai

dari tempat munculnya akar (pangkal) sampai ujung akar tertinggi dengan kriteria

pada bonggol terlihat muncul radikula yang berwarna putih.

Waktu inisiasi akar (hari)

(36)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Jumlah akar (buah)

Data hasil pengamatan jumlah akar 12 MST dapat dilihat pada

Lampiran 4 sedangkan daftar sidik ragam dapat dilihat pada Lampiran 5.

Perlakuan BAP dan perlakuan Posisi bonggol eksplan. Rataan jumlah akar dari

perlakuan BAP dan Posisi bonggol eksplan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengaruh Konsentrasi BAP dan Posisi bonggol eksplan terhadap jumlah akar (buah) pada umur 12 MST

Perlakuan B0 B1 B2 B3 B4 B5 Rataan

P1 0.00 7.00 0.75 2.00 0.50 3.75 2.33

P2 0.00 2.25 0.00 1.25 1.50 1.25 1.04

P3 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

P4 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

Rataan 0.00 2.31 0.19 0.81 0.50 1.25

Tabel 1 menunjukkan bahwa rataan jumlah akar tertinggi dihasilkan oleh

B1(BAP 0,5mg/l) yaitu sebesar 2.31 buah dan terendah terdapat pada B0 yaitu

sebesar 0.00 buah.

Pada perlakuan Posisi bonggol eksplan rataan jumlah akar tertinggi

dihasilkan oleh P1(posisi eksplan bagian kiri bawah) yaitu 2.33 buah dan

terendah terdapat pada P3 dan P4 yaitu sebesar 0.00.

Panjang akar (cm)

Data hasil pengamatan panjang akar 12 MST dapat dilihat pada

(37)

24 

24 

Perlakuan BAP dan perlakuan Posisi bonggol eksplan. Rataan panjang akar dari

perlakuan BAP dan Posisi bonggol eksplan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Pengaruh konsentrasi BAP dan Posisi bonggol eksplan terhadap panjang

Tabel 1 menunjukkan bahwa rataan jumlah akar tertinggi dihasilkan oleh

B1(BAP 0,5mg/l) yaitu sebesar 4.20 buah dan terendah terdapat pada B0 yaitu

sebesar 0.00 buah.

Pada perlakuan Posisi bonggol eksplan rataan jumlah akar tertinggi

dihasilkan oleh P1(posisi eksplan bagian kiri bawah) yaitu 2.22 buah dan

terendah terdapat pada P4 yaitu sebesar 0.69.

Waktu inisiasi akar (hari)

Data hasil pengamatan waktu inisiasi akar 12 MST dapat dilihat pada

Lampiran 8 sedangkan daftar sidik ragam dapat dilihat pada Lampiran 9.

Perlakuan BAP dan perlakuan Posisi bonggol eksplan. Rataan waktu inisiasi akar

dari perlakuan BAP dan Posisi bonggol eksplan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Pengaruh konsentrasi BAP dan Posisi bonggol eksplan terhadap waktu inisiasi akar (hari) pada umur 12MST

Perlakuan B0 B1 B2 B3 B4 B5 Rataan

P1 30.25 26.00 23.50 20.00 23.50 25.00 24.71

P2 30.00 25.25 24.00 21.25 25.00 25.00 25.08

P3 30.00 30.00 24.00 22.00 25.00 25.00 26.00

(38)

Rataan 30.06 27.81 23.88 21.06 24.63 25.00

Tabel 3 menunjukkan bahwa rataan waktu inisiasi akar tertinggi dihasilkan

oleh B0(BAP 0 mg/l) yaitu sebesar 30.06 hari dan terendah terdapat pada B3 yaitu

sebesar 21.06 hari.

Pada perlakuan Posisi bonggol eksplan rataan waktu inisiasi akar tertinggi

dihasilkan oleh P3(potongan eksplan bagian kiri atas) yaitu 26.00 dan terendah

terdapat pada P1 yaitu sebesar 24.71.

Jumlah tunas (buah)

Data hasil pengamatan jumlah tunas 12 MST dapat dilihat pada

Lampiran 10 sedangkan daftar sidik ragam dapat dilihat pada Lampiran 11.

Perlakuan BAP dan perlakuan Posisi bonggol eksplan. Rataan jumlah tunas dari

perlakuan BAP dan Posisi bonggol eksplan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Pengaruh konsentrasi BAP dan Posisi bonggol eksplan terhadap waktu Jumlah tunas (buah) pada umur 12MST

Perlakuan B0 B1 B2 B3 B4 B5 Total

P1 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

P2 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

P3 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

P4 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.75 0.29

Rataan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.44 0.07

Tabel 4 menunjukkan bahwa perlakuan BAP dan perlakuan Posisi

bonggol eksplan, tunas hanya dihasilkan oleh B5 (BAP 2,5 mg/l) yaitu sebesar

1.75 buah Pada perlakuan Posisi bonggol eksplan jumlah tunas dihasilkan oleh

(39)

26 

26  Panjang tunas (cm)

Data hasil pengamatan panjang tunas 12 MST dapat dilihat pada

Lampiran 12 sedangkan daftar sidik ragam dapat dilihat pada Lampiran 13.

Perlakuan BAP dan perlakuan Posisi bonggol eksplan. Rataan panjang tunas dari

perlakuan BAP dan Posisi bonggol eksplan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Pengaruh konsentrasi BAP dan Posisi bonggol eksplan terhadap waktu Panjang tunas (cm) pada umur 12MST

Perlakuan B0 B1 B2 B3 B4 B5 Total

P1 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

P2 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

P3 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

P4 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2.63 0.44

Rataan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.66 0.11

Tabel 5 menunjukkan bahwa perlakuan BAP dan perlakuan Posisi bonggol

eksplan, panjang tunas hanya dihasilkan oleh B5 (BAP 2,5 mg/l) yaitu

sebesar 0.66 cm. Pada perlakuan Posisi bonggol eksplan panjang tunas hanya

dihasilkan oleh P4(potongan eksplan bagian kanan atas) yaitu 0.44 cm.

Waktu inisiasi tunas (hari)

Data hasil pengamatan waktu inisiasi tunas 12 MST dapat dilihat pada

Lampiran 15 sedangkan daftar sidik ragam dapat dilihat pada Lampiran 16.

Perlakuan BAP dan perlakuan Posisi bonggol eksplan. Rataan waktu inisiasi tunas

(40)

Tabel 6. Pengaruh konsentrasi BAP dan Posisi bonggol eksplan terhadap waktu Waktu inisiasi tunas (cm) pada umur 12MST

Perlakuan B0 B1 B2 B3 B4 B5 Total

P1 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

P2 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

P3 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

P4 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 60.50 10.08

Rataan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 15.13 2.52

Tabel 6 menunjukkan bahwa inisiasi tunas hanya dihasilkan oleh

B5 (BAP 2,5 mg/l) yaitu sebesar 60.50 hari Pada perlakuan Posisi bonggol

eksplan waktu inisasi tunas hanya dihasilkan oleh

P4 (potongan eksplan bagian kanan atas) yaitu 10.08 hari.

Pembahasan

Hasil analisis sidik ragam diketahui bahwa pemberian BAP tidak

berpengaruh nyata terhadap semua perlakuan Dari data dapat dilihat ada

kecendrungan semakin tinggi konsentrasi BAP yang diberikan maka jumlah tunas

yang dihasilkan akan semakin tinggi.karena pemberian konsentrasi BAP yang

tertinggi pada perlakuan ini masih bisa direspon oleh tanaman sehingga tanaman

terdorong untuk melakukan pembelahan sel secara aktif.

Gunawan (1992) menyatakan bahwa sitokinin meningkatkan baik sitokinesis

maupun pembesaran sel,tetapi sitokenesis tidak meningkatkan pertumbuhan

organnya sendiri, sebab sitokenesis hanya merupakan proses pembelahan saja.

Dari hasil analisis sidik ragam diketahui bahwa pemberian BAP tidak

berpengaruh nyata terhadap pembentukan akar, panjang akar dan jumlah akar. Hal

(41)

28 

28 

berkesinambungan dengan auksin yang ada pada tanaman pisang barangan. Pada

dasarnya setiap tanaman telah memiliki hormon auksin dan sitokinin yang

berbeda- beda, maka pada pemberian BAP yang rendah maka terbentuk akar

adventif pada tanaman pisang barangan,karena pada bagian bawah bonggol pisang

barangan banyak terdapat hormon auksin.

Dari hasil analisis sidik ragam diketahui bahwa potongan tidak

berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas yang terdapat pada semua perlakuan.

Dari data dapat dilihat bahwa ada kecendrungan ketelitian membelah bonggol

pisang barangan tersebut. Hal ini diduga karena posisi dari titik tumbuh dari setiap

bonggol pisang letak nya berbeda- beda . Gunawan (1992) menyatakan faktor dari

setiap fisiologis setiap tanaman berbeda- beda dan dari setiap tanaman memiliki

auksin dan sitokinin yang berbeda priode dari masa inkubasi dari setiap tanaman

juga berbeda.

Dari hasil analisis sidik ragam diketahui bahwa potongan tidak

berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas hal ini juga diduga karena keberhasilan

morfogenesis suatu kultur in-vitro sangat dipengaruhi oleh eksplan yang

dikulturkan dan ukuran eksplan yang digunakan. Wattimena (1992) ukuran yang

terlampau kecil akan kurang daya tahannya bila dikulturkan sementara bila

terlampau besar akan sulit mendapatkan eksplan yang steril. Setiap jenis tanaman

maupun organ memiliki ukuran eksplan yang optimum untuk di kulturkan.

Dari hasil analisis sidik ragam diketahui bahwa interaksi BAP dan

Potongan tidak berpengaruh nyata terhadap semua peubah amatan seperti jumlah

akar, panjang akar, waktu inisiasi akar, panjang tunas, jumlah tunas dan waktu

(42)

diberikan telah mampu mencapai taraf keseimbangan untuk pertumbuhan dan

morfogenesis tanaman, Wattimena, dkk (1992) menyatakan kultur jaringan

morfogenesis dari eksplan selalu tergantung dari interaksi antara konsentrasi BAP

dan Potongan. Perlu diperhatikan bahwa apa saja yang digambarkan tentang

pengaruh interaksi anatara konsentrasi BAP dan Posisi merupakan gambaran

kasar. Interaksi yang ditemukan dalam praktek umumnya lebih kompleks.

Konsentrasi yang di perlukan dari masing- masing ZPT tersebut (sitokinin)

tergantung dari jenis eksplan, genotipe, kondisi kultur serta jenis sitokinin yang

dipergunakan. Selain itu, pada keadaan tertentu BAP dapat mendukung auksin

terhadap eksplan. Didukung oleh Hendaryono dan wijayani (1994) menyatakan

dalam pertumbuhan jaringan, sitokinin berpengaruh terutama pada proses

pembelahan sel. Bersama- sama dengan sitokinin dengan kadar yang relatif

rendah, diferensiasi cendrung kearah pembentukan akar adventif. Sedangkan pada

pemberian sitokinin dengan kadar yang relatif tinggi, diferensissi akan cenderung

(43)

30 

30 

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Perlakuan konsentrasi BAP berpengaruh nyata terhadap semua

parameter perlakuan.

2. Perlakuan konsentrasi BAP 2,5 mg/l merangsang munculnya tunas

lebih cepat di bandingkan dengan perlakuan lain.

3. Interaksi antara konsentrasi BAP dan Posisi eksplan berpengaruh nyata

terhadap semua parameter perlakuan.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan meningkatkan konsentrasi BAP

yang di gunakan dalam usaha meningkatkan pembentukan tunas adventif pisang

(44)

Bakhtiar, A. 1991. Manfaat Tanaman Pisang.Makalah Penataran Petani dan Pedagang Pengumpul Pisang di Kabupaten Simalungun , Sumatera Utara.

Cahyono, A. 1995.Potensi Pengembangan Budaya dan Peluang Agribisnis Pisang. Prodising. Seminar Nasional. Ketahanan Pangan dan Agribisnis. PSE. Sumatera Utara 21 – 22 November 2000 : 110 – 116.

Fiani, A. dan A. Denian. 1994. Teknologi Budidaya Pisang. Dalam: Proseding Seminar Penelitian Tanaman Pangan no 05 – 1994 Balai Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pertanian Sub Balai Penelitian Tanaman Pangan Solok Hal 65 - 67.

George, E.F and P.D. Sherrington. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture, Handbook and Directory of Comercial Laboratoryes. Easter Press, England.

Gunawan, L.W. 1995. Teknik Kultur Jaringan In Vitro dalam Hortikultura. Penebar Swadaya: Jakarta.

Hartmann, H.T., D.E. Kester, F.T. Davies and R.L. Geneve. 2002. Plant Propagation Principles and Practiese, 6th Ed. New Delhi: Prentice Hall of Insia Private Limited.

Hendaryono dan Wijayani. 1994. Pengetahuan Dasar Biologi Bunga dan Teknik Penyerbukan Silang Buatan. PT. Gramedia: Jakarta.

Nazir, N. 2000. Pisang Budidaya Pengolahan dan Prospek Diserfikasinya . Okada. Yayasan Hutanku : Padang.

Purwanto, W. A. 2007. Budi Daya Pisang. Kanisius: Yogyakarta.

Reni ,W. 2005. Variasi Morfologi dan Sistem Polinasi Pisang yang Terdapat di Kurai, Kecamatan Suliki Kabupaten Limapuluh Kota Skripsi Fakultas FMIPA Universitas Andalas Padang: Padang.

Satuhu, S. dan A. Supriadi ., 1990. Pisang Budidaya Pengolahan dan Prospek Pasar. Penebar Swadaya: Jakarta.

Suhardiman, P ., 1997 Budidaya pisamng Cavendish. Kanisius : Yogyakarta.

(45)

32   

32 

Wilkins, M.B., 1992. Fisiologi Tanaman. Penerjemah Sutedjo M.M dan Kartasapoetra A.G. penerbit Bumi Aksara: Jakarta.

Yusnita, 2003. Kultur Jaringan. Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien. Agromedia Pustaka: Jakarta.

Yuwono, T. 2008. Bioteknologi Pertanian. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.

(46)
(47)

34 

34  Lampiran 2. Tabel kegiatan penelitian

(48)

Lampiran 3. Komposisi media murashige dan skoog (MS)

Gambar

Gambar 1.GTanaman PPisang Barrangan
Tabel 1.   Pengaruh Konsentrasi BAP dan Posisi bonggol eksplan terhadap jumlah akar (buah) pada umur 12 MST
Tabel 3.  Pengaruh konsentrasi BAP dan Posisi bonggol eksplan terhadap waktu                inisiasi akar (hari) pada umur 12MST
Tabel 4.  Pengaruh konsentrasi BAP dan Posisi bonggol eksplan terhadap waktu         Jumlah tunas (buah) pada umur 12MST
+3

Referensi

Dokumen terkait

Jika dilihat rata- rata Dividend payout ratio dan rata-rata debt to equity ratio perusahaan property dan real estate yang rutin membagikan dividen dapat diketahui bahwa

Faktor lain yang berperan dalam kegagalan praktik pemberian ASI ekskluisf pada penelitian ini dikarenakan subyek dengan pengetahuan rendah terkait dengan kandungan dan

El tallo principal o tronco del árbol, forma una horqueta, generalmente a la altura del pecho de una persona adulta, de donde salen de 4 a 5 ramas primarias.. En algunos lugares

kedisiplinan di Sekolah Tinggi Perikanan Jurusan Penyuluhan Perikanan Bogor baik dari indikator perumusan tujuan, jumlah pembina, media yang digunakan, monitoring,

2. Berjalan-jalan, sangat baik untuk meregangkan otot-otot kaki dan bila jalannya makin lama makin cepat maka akan bermanfaat untuk daya tahan tubuh. Jika

Data-data yang dimasukkan ( input ) dalam program ini adalah data-data numerik dalam format tabel dengan n -data yang berupa tabel data hujan ( P ), tabel data

Kedua, baik penggunaan buku ajar berbasis multimedia interaktif berbahasa Inggris maupun modul berbasis multimedia interaktif berbahasa Inggris dalarn pembelajaran

dari percobaan dan perhitungan laju korosi yang telah dilakukan, memang laju korosi paling besar baik pada percobaan korosi basah maupun korosi atmosferik