• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Pernikahan Pada Jamaah Salafiyyah (Studi Deskriptif Mengenai Proses Pernikahan Pengikut Dakwah Salafiyyah di Kota Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Proses Pernikahan Pada Jamaah Salafiyyah (Studi Deskriptif Mengenai Proses Pernikahan Pengikut Dakwah Salafiyyah di Kota Medan)"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

PROSES PERNIKAHAN

PADA JAMAAH SALAFIYYAH

(Studi Deskriptif Mengenai Proses Pernikahan Pengikut Dakwah Salafiyyah di Kota Medan)

SKRIPSI

OLEH:

MUHAMMAD IQBAL (040905005)

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis mengucapkan segala puji bagi Allah yang telah

memberikan nikmat Iman, Islam, dan Kesehatan bagi penulis sehingga penulis

dapat menyelesaikan tugas penyusunan skripsi ini untuk persyaratan mendapatkan

gelar kesarjanaan. Tidak lupa juga selawat dan salam dilimpahkan kepada nabi

besar Muhammad SAW juga kepada sahabatnya dan keluarganya. Semoga

penulis dapat menjadi orang yang istiqamah dalam memegang agama Allah dan

berupaya sekuat tenaga mengikuti sunnah Rasullullah.

Tentu saja dalam proses pembuatan skripsi ini tidak lepas dari pada bantuan

pihak-pihak lain. Untuk itu penulis merasa perlu mengucapkan banyak terima

kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini baik yang langsung maupun tidak langsung. Untuk itu penulis merasa

perlu mengucapkan terima kasih kepada;

1. Kedua orang tua penulis yaitu papa dan mama, serta mbak Iwa Heriama

selaku kakak penulis satu-satunya dan keluarga penulis lainnya yang tidak

mungkin disebutkan satu per satu namanya.

2. Bapak Prof. Dr. Arif Nasution, selaku dekan Fakultas ilmu sosial dan ilmu

politik, Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. Zulkifli Lubis, MA, selaku ketua Departemen Antropologi

FISIP USU.

4. Bapak Drs. Yance, Msi, selaku dosen penasehat akademik penulis yang

telah membimbing penulis selama menjadi mahasiswa dalam lingkungan

(3)

5. Bapak Drs. Irfan Simatupang, Msi, selaku dosen pembimbing skripsi

penulis yang telah mengarahkan dan membimbing penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

6. Bapak dan Ibu dosen dan staf pengajar Deparatemen Antropologi FISIP

USU yang tidak mungkin penulis sebutkan namanya semua, yang telah

membimbing dan mendidik serta memberikan ilmunya kepada penulis.

7. Kepada para ustadz salafiyyah; ustadz Ali, ustadz Abdul Fattah, ustadz

Nurdin dan lain-lainnya, yang telah memberikan informasi dan keterangan

kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Teman-teman penulis dalam berdakwah; Andika Salafy, Dedek

As-Salafy, Jaka Langkati, Mirza Brandani, Tyas Maidani, Rizky

Al-Binjy, dan lain-lainya, yang telah mendukung dan membantu penulis

dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Teman-teman organisasi Forum Studi Islam Ilmiah (FORSIL) USU, yang

telah membantu dan mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

10.Teman-teman penulis stambuk 2004, yang telah membantu dan menjadi

teman yang baik bagi penulis.

11. Teman-teman yang lain yang tidak mungkin disebutkan namanya, yang

juga mendukung dan membantu penulis.

12.Para Informan penulis yang membantu penulis untuk mendapatkan data

dan keterangan dalam menyelesaikan skripsi ini.

(4)

Sebagai makhluk Tuhan yang lemah tentu saja dalam pembuatan dan

penulisan skripsi ini masih banyak terjadi kesalahan sehingga masih banyak

mungkin yang perlu dikomentari dan dikritisi. Untuk itu, penulis juga

mengharapkan masukan yang baik dari berbagai pihak yang sifatnya membangun

agar skripsi ini semakin baik nantinya. Dan sekali lagi penulis ucapkan terima

kasih.

MEDAN, MEI 2008

(5)

ABSTRAKSI

Skripsi ini berjudul; Proses Pernikahan Pada Jamaah Salafiyyah. Hal-hal yang dijelaskan adalah tata cara dan aturan-aturan tentang pernikahan yang dilakukan oleh jamaah salafiyyah. Fokus yang diteliti meliputi; upacara atau tata cara sebelum pernikahan berlangsung, kemudian tahapan pelaksanaan pernikahan, dan selanjutnya tata cara setelah pernikahan. Alasan ketertarikan penulis untuk melaksanakan penelitian ini adalah adanya asumsi bahwa jamaah salafiyyah memiliki pola perilaku yang khas dalam pemahaman mereka terhadap ajaran Islam, termasuk dalam hal ini adalah upacara pernikahan yang mereka selenggarakan, menurut mereka sesuai dengan aturan yang ada di dalam Qur’an dan sunnah nabi. Dengan penelitian yang bersifat deskriptif, penulis mencoba mengungkapkan proses pernikahan pada jamaah salafiyyah. Data diambil penulis dari hasil wawancara mendalam dengan beberapa informan kunci yaitu para ustadz dari jamaah salafiyyah, juga para informan lain yaitu pengikut dakwah salafiyyah yang sedang melangsungkan pernikahan. Penelitian dilakukan dengan observasi atau pengamatan secara langsung pelaksanaan penyelenggaraan pernikahan pada jamaah salafiyyah. Selain itu data juga diperoleh melalui studi literature atau studi kepustakaan.

. Tujuan pernikahan menurut jamaah salafiyyah yang paling utama adalah beribadah kepada Allah, ini berarti semua tata cara dan aturan pernikahan dan pelaksanaannya harus sesuai dengan hukum-hukum agama yang mereka pahami, dari mulai pembatasan jodoh atau perempuan-perempuan yang tidak boleh dinikahi menurut jamaah salafiyyah hingga bentuk pernikahan yang dilarang. Selanjutnya, sebelum penyelenggaraan pernikahan ada tahap-tahap yang harus dilalui oleh calon mempelai laki-laki dan perempuan yaitu dimulai dari bagaimana memperoleh informasi tentang jodohnya, bagaimana kriteria perempuan yang dianjurkan untuk dinikahi, masa perkenalan calon jodoh dan saling melihat satu sama lainnya, penentuan hari pernikahan dan penentuan mas kawin, dan hal-hal apa saja yang dilarang sebelum pernikahan pada jamaah salafiyyah seperti pacaran misalnya. Pada tahapan penyelenggaraan pesta atau pernikahan dimulai dari akad nikah dan syarat sahnya pernikahan, kemudian dilanjutkan dengan khutbah nikah, penyelengaraan pesta, dan hal-hal yang dilarang dilakukan pada penyelenggaraan pesta pernikahan seperti memotret, menghias pengantin, menyelenggarakan hiburan dengan alat-alat musik dan lain-lain. Kemudian dilanjutkan dengan adab-adab setelah pernikahan yang dimulai darisalat dua rakaat setelah akad nikah bersama isteri dan mendoakannya, kemudian hal-hal yang berhubungan dengan peraturan hidup berumah tangga yaitu mengenai hak-hak suami dan hak-hak isteri.

(6)
(7)

IV.3.2. Beberapa Aturan Berumah Tangga ... 95

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 98

V.1. Kesimpulan ... 98

V.2. Saran ... 103

DAFTAR PUSTAKA ... 104

LAMPIRAN

Daftar Nama Informan Daftar Istilah

(8)

ABSTRAKSI

Skripsi ini berjudul; Proses Pernikahan Pada Jamaah Salafiyyah. Hal-hal yang dijelaskan adalah tata cara dan aturan-aturan tentang pernikahan yang dilakukan oleh jamaah salafiyyah. Fokus yang diteliti meliputi; upacara atau tata cara sebelum pernikahan berlangsung, kemudian tahapan pelaksanaan pernikahan, dan selanjutnya tata cara setelah pernikahan. Alasan ketertarikan penulis untuk melaksanakan penelitian ini adalah adanya asumsi bahwa jamaah salafiyyah memiliki pola perilaku yang khas dalam pemahaman mereka terhadap ajaran Islam, termasuk dalam hal ini adalah upacara pernikahan yang mereka selenggarakan, menurut mereka sesuai dengan aturan yang ada di dalam Qur’an dan sunnah nabi. Dengan penelitian yang bersifat deskriptif, penulis mencoba mengungkapkan proses pernikahan pada jamaah salafiyyah. Data diambil penulis dari hasil wawancara mendalam dengan beberapa informan kunci yaitu para ustadz dari jamaah salafiyyah, juga para informan lain yaitu pengikut dakwah salafiyyah yang sedang melangsungkan pernikahan. Penelitian dilakukan dengan observasi atau pengamatan secara langsung pelaksanaan penyelenggaraan pernikahan pada jamaah salafiyyah. Selain itu data juga diperoleh melalui studi literature atau studi kepustakaan.

. Tujuan pernikahan menurut jamaah salafiyyah yang paling utama adalah beribadah kepada Allah, ini berarti semua tata cara dan aturan pernikahan dan pelaksanaannya harus sesuai dengan hukum-hukum agama yang mereka pahami, dari mulai pembatasan jodoh atau perempuan-perempuan yang tidak boleh dinikahi menurut jamaah salafiyyah hingga bentuk pernikahan yang dilarang. Selanjutnya, sebelum penyelenggaraan pernikahan ada tahap-tahap yang harus dilalui oleh calon mempelai laki-laki dan perempuan yaitu dimulai dari bagaimana memperoleh informasi tentang jodohnya, bagaimana kriteria perempuan yang dianjurkan untuk dinikahi, masa perkenalan calon jodoh dan saling melihat satu sama lainnya, penentuan hari pernikahan dan penentuan mas kawin, dan hal-hal apa saja yang dilarang sebelum pernikahan pada jamaah salafiyyah seperti pacaran misalnya. Pada tahapan penyelenggaraan pesta atau pernikahan dimulai dari akad nikah dan syarat sahnya pernikahan, kemudian dilanjutkan dengan khutbah nikah, penyelengaraan pesta, dan hal-hal yang dilarang dilakukan pada penyelenggaraan pesta pernikahan seperti memotret, menghias pengantin, menyelenggarakan hiburan dengan alat-alat musik dan lain-lain. Kemudian dilanjutkan dengan adab-adab setelah pernikahan yang dimulai darisalat dua rakaat setelah akad nikah bersama isteri dan mendoakannya, kemudian hal-hal yang berhubungan dengan peraturan hidup berumah tangga yaitu mengenai hak-hak suami dan hak-hak isteri.

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah

Keragaman masyarakat dan budaya manusia seharusnya mengarahkan setiap

orang untuk mengakui kaberadaan orang lain dan saling mengetahui secara baik

satu sama lain dalam rangka saling berhubungan dan bekerja sama untuk

kemanfaatan yang timbal balik dan untuk kesejahteraan umat manusia. Dalam hal

ini, keragaman memperkaya pengalaman dan perkembangan manusia dan menjadi

pertanda akan ciptaan Tuhan yang sangat indah, bukan sebagai pembawa

pertentangan. Manusia dapat terus mendiskusikan perbedaan-perbedaan mereka

dengan cara yang masuk di akal, sementara tetap menyadari akan kemajemukan

mereka (Osman,2006;27).

Keanekaragaman masyarakat Indonesia yang terdiri atas berbagai suku

bangsa dan agama yang berbeda secara otomatis akan membuat keanekaragaman

kebudayaan. Kebudayaan yang ada dari setiap suku bangsa akan menjadi nilai

lebih bagi bangsa Indonesia. Di antara keanekaragaman di berbagai segi

kehidupan masyarakat seperti suku bangsa, agama, ras, dan daerah yang terdiri

atas kepulauan itu memiliki peranan dan berpengaruh dalam mengisi kepribadian

atau watak manusia Indonesia.

Keanekaragaman kebudayaan suku bangsa yang ada di Indonesia itu tidak

(10)

peralihan tingkat sepanjang hidup, yang dalam antropologi disebut dengan istilah

“stage along the life cycle” yaitu berupa fase tingkat kehidupan seperti masa bayi,

masa penyapihan, masa anak-anak, masa remaja, masa pubertet, masa sesudah

nikah, masa tua, dan sebagainya (Koentjaraningrat,1985;89).

Van Gennep menganggap rangkaian ritus dan upacara sepanjang tahap

pertumbuhan, atau lingkaran hidup individu (life cycle rites) itu sebagai rangkaian

ritus dan upacara yang paling penting dan mungkin paling tua dalam masyarakat

dan kebudayaan manusia (Koentjaraningrat,982;75).

Fase-fase dari masa peralihan itu tidak sama pentingnya pada setiap manusia

yang memiliki nilai-nilai yang dibentuk tidak hanya dari kebudayaan suku

bangsanya, tetapi agama juga mempengaruhi sistem berfikir dan berprilaku setiap

individu untuk mengambil tindakan dan berbuat di dalam kehidupan ini. Di dalam

peranannya inilah agama sebagai pengontrol pola tingkah laku manusia juga

berbicara mengenai fase-fase dari tingkat kehidupan manusia dengan

aturan-aturan dan nilai-nilai tersendiri di samping juga faktor kebudayaan dari suku

bangsa manusia itu sendiri.

Salah satu fase dari masa peralihan yang paling penting dalam lingkaran

kehidupan semua manusia di dunia yang merupakan bentuk peralihan dari tingkat

hidup remaja yang sedang mengalami masa pubertet ke tingkat hidup berkeluarga

adalah pernikahan. Pernikahan yang mencakup tata cara dan ritual upacaranya

merupakan unsur kebudayaan yang di selalu diamati dari masa ke masa dan akan

ada dalam masyarakat yang memiliki nilai-nilai yang menjadi pegangan hidupnya.

(11)

norma-norma yang sangat luas dan kuat, mengatur dan mengarahkan tingkah laku

setiap individu dalam masyarakat dan juga mengatur dan mengukuhkan suatu

hubungan yang sangat sensial antara manusia yang berlainan jenis.

Meskipun pernikahan merupakan suatu ikatan suci yang tidak dapat

terlepaskan dari ketentuan Tuhan, tetapi setiap individu memiliki tujuan dan

alasan yang berbeda-beda untuk melaksanakan suatu pernikahan yaitu sebagai

pengatur kehidupan seks, memberi status sosial dalam kelompok atau kerabat,

memberi hak milik akan anak-anak dan harta, gengsi dan memelihara hubungan

baik antara kelompok-kelompok atau kerabat (Daradjat,1984 ;4, Keesing,198;152,

Ihromi,198;80).

Pernikahan yang berlangsung pada manusia atau individu dalam masyarakat

tertentu, akan terus berlangsung dan berulang-ulang pada waktu-waktu tertentu di

dalam kehidupannya. Tahap-tahap pertumbuhan sepanjang hidup individu akan

mempengaruhi dan membawa perubahan-perubahan terhdap individu itu sendiri,

baik secara biologis, sosial budaya maupun kondisi jiwanya. Oleh karena itu, tiap

tingkat pertumbuhan yang membawa setiap individu memasuki tingkat dan

kehidupan sosial yang baru dan lebih merupakan saat-saat yang penuh tantangan

di dalam kehidupannya.

Parsudi Suparlan juga mengemukakan bahwa perkawinan adalah hubungan

permanen antara lelaki dan perempuan yang diakui sah oleh masyarakat yang

bersangkutan, yang berdasarkan atas peraturan perkawinan yang berlaku. Suatu

perkawinan bukan hanya mewujudkan adanya keluarga dan memberikan

(12)

hubungan-hubungan di antara kerabat-kerabat masing-masing pasangan tersebut (

Suparlan,1981;171).

Agama sebagai pegangan hidup yang mempengaruhi pola prilaku dan

kepribadian individu juga mengatur masalah pernikahan. Berhubungan dengan

masalah pernikahan juga banyak di singgung di dalam isi kitab suci. Hal ini

mempertegas dan memperjelas bahwa segala macam segi kehidupan yang

kompleks untuk mengatur dan mengarahkan kehidupan manusia seluruhnya telah

diterangkan dan diatur agama untuk pegangan dan pedoman hidup manusia

termasuk juga di dalamnya tentang masalah pernikahan.

Dipandang dari sudut keagamaan, maka aturan agama dalam hal pernikahan

merupakan pengatur kelakuan manusia yang bersangkut paut dengan kehidupan

jenis kelaminnya, terutama mengenai persetubuhan antara laki-laki dan

perempuan. Di dalam norma agama ada aturan-aturan yang menyebabkan seorang

laki-laki tidak dapat berhubungan intim dengan perempuan tertentu. Dengan

adanya aturan pernikahan di dalam agama maka pernikahan juga memiliki fungsi

lain yaitu memberi ketentuan hak dan kewajiban serta perlindungan dari hasil

pernikahan yaitu anak-anak. Pernikahan juga memenuhi akan kebutuhan manusia

akan harta dan pengelolaannya.

Agama Islam merupakan agama yang memiliki banyak penganutnya di

Indonesia telah dijadikan nilai-nilai ajarannya di dalam segi kehidupan

penganutnya juga mengatur tentang pernikahan. Di dalam kitab suci Al-Qur’an,

Allah berfirman :” Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia

(13)

dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan

sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda

bagi kaum yang berfikir”(Q.S.30:21).

Tuntunan tuntunan mengenai adab dan tata cara pernikahan juga telah ada

dan di atur di dalam Islam. Hukum-hukum peraturan dan tuntunan adab-adab

pernikahan tidak hanya diatur oleh Qur’an saja, namun hadits nabi yaitu yang

disebut sunnah sebagai acuan pegangan hukum dalam Islam juga banyak

mengatur tata cara dan tuntunan proses pernikahan. Nabi Muhammad bersabda

"Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga

hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara

kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat

mengendalikanmu." (HR. Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi).

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa nilai-nilai ajaran agama yang

dipegang oleh penganutnya merupakan bagian dari suatu kebudayaan. Dalam hal

ini nilai-nilai ajaran agama Islam secara langsung terintegrasi dengan kebudayaan

pada masyarakat Indonesia. Nilai-nilai ajaran agama Islam juga dikatakan telah

mengatur seluruh segi kehidupan masyarakat Indonesia karena mayoritas

penganutnya, terutama dari segi yang berhubungan dengan tingkat peralihan

perubahan lingkungan sosial yang dalam hal ini dimaksudkan adalah melalui

pernikahan.

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk meneliti tentang proses

pernikahan sebagai suatu ritus dan upacara dalam agama Islam yang dalam hal ini

(14)

kelompok yang tetap fokus menyerukan kepada gerakan dakwah untuk kembali

kepada ajaran murni berdasarkan Qur’an dan sunnah sesuai dengan pemahaman

generasi salafus shalih yang dalam hal ini nabi Muhammad dan para sahabatnya.

Gerakan dakwah salafiyyah baru terdengar tahun-tahun belakangan ini, setidaknya

setelah reformasi politik yang dilakukan bangsa Indonesia. Hampir sama dengan

gerakan-gerakan dakwah lainnya yang menekankan kembali kepada ajaran Islam

yang murni (Jamhari dan Jahromi,2004;257).

Gerakan dakwah salafiyyah sangat menolak praktek keagamaan yang

muncul di tengah-tengah masyarakat yang dianggap sebagai budaya dan bagian

dari ajaran agama Islam termasuk juga dalam hal ini mengenai tata cara dan

adab-adab pernikahan yang merupakan salah satu bentuk upacara atau ritus dalam

agama Islam. Proses tata cara pernikahan sekarang ini dilakukan oleh masyarakat

Indonesia yang berdasarkan hukum adat istiadat suku bangsa dan agama tidak

boleh dicampur adukkan karena menurut mereka banyak ritual dari adat istiadat

dan acara-acara di dalamnya dari suatu suku bangsa bertentangan dengan

nilai-nilai ajaran Islam.

Meneliti kehidupan pengikut gerakan dakwah salafiyyah sangat menarik

untuk dikaji terutama dari aspek Antropologi, karena pola perilaku yang

mendasari sikap hidup pengikutnya tercermin dari nilai-nilai ajaran agama Islam

yang mereka pahami, Dalam hal ini salah satunya adalah tentang tata cara proses

pernikahan menurut mereka yang sesuai dengan Qur’an dan sunnah berdasarkan

(15)

I.2. Rumusan Masalah

Dari uraian dan latar belakang di atas, bahwa adanya asumsi bahwa jamaah

salafiyyah memiliki pola perilaku yang khas dalam pemahaman mereka terhadap

ajaran Islam termasuk di dalamnya adalah mengenai proses dan tata cara serta

adab dalam pernikahan yang menurut pemahaman mereka sesuai Qur’an dan

sunnah. Penelitian penulis akan melihat dan mengamati proses pernikahan, tata

cara serta adabnya pada pengikut gerakan dakwah salafiyyah. Proses yang

dimaksud adalah tata cara dan adab sebelum acara pernikahan serta tata cara dan

adab setelah pernikahan yaitu dalam hidup berumah tangga. Sedangkan yang

dimaksud tata cara pernikahan disini adalah acara-acara atau kegiatan-kegiatan

ketika berlangsungnya upacara pernikahan tersebut.

I.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk memberikan suatu deskripsi secara

kronologis mengenai proses pernikahan, adab serta tata caranya pada pengikut

jamaah salafiyyah dengan pengamatan khusus pada acara pernikahan tersebut.

I.4. Manfaat Penelitian

Secara praktis, manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah

dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi semua pihak juga dapat menjadi

sumbangan bagi pelaksanaan kebijaksanaan kebudayaan untuk pembentuk dan

(16)

meningkatkan pengetahuan dalam antropologi mengenai ekspresi budaya dalam

hal ini perkembangan peradaban Islam dan meningkatkan kesatuan bangsa.

Sedangkan manfaat akademisnya, penelitian adalah sebagai bahan untuk

menyusun sebuah karya ilmiah dalam rangka menyelesaikan program studi strata

satu pada jurusan Antropologi di FISIP – USU. Hasil penelitian ini diharapkan

dapat menambah kepustakaan Antropologi khususnya mengenai upacara

peralihan yang dalam hal ini upacara pernikahan.

I.5. Ruang Lingkup Dan Lokasi Penelitian

Penelitian yang akan dilaksanakan berusaha untuk mendeskripsikan ritual

proses pernikahan pada pengikut jamaah salafiyyah. Proses pernikahan ini

mencakup kegiatan-kegiatan dalam usaha mematangkan, melaksanakan, dan

memantapkan suatu pernikahan. Kegiatan-kegiatan yang mematangkan suatu

pernikahan adalah adab sebelum upacara pernikahan yang disebut khitbah,

kegiatan-kegiatan untuk melaksanakan pernikahan adalah adab dan tata cara saat

pernikahan dalam hal ini disebut walimah, sedangkan kegiatan-kegiatan setelah

pernikahan adalah adab-adab dalam berumah tangga.

1. Adab dan tata cara sebelum pernikahan meliputi :

 Tujuan pernikahan

 Pembatasan pernikahan, adab meminang, proses penentuan jodoh,

pernikahan yang dianjurkan dan pernikahan yang dilarang.

 Syarat-syarat pernikahan.

(17)

 Persiapan sebelum upacara pernikahan

 Peresmian pernikahan

3. Adab setelah pernikahan (tata cara berumah tangga) meliputi :

 Adab menetap setelah menikah

 Adab-adab dalam berumah tangga

Untuk kepentingan penelitian ini, penulis memilih lokasi penelitian di

sekitar wilayah kota Medan. Alasan penelitian lokasi yang cenderung dianggap

terlalu meluas adalah mengingat bahwa pengikut gerakan dakwah salafiyyah ini

menyebar dan membaur dengan masyarakat pada umumnya, sehingga tidak ada

wilayah yang secara khusus terkonsentrasi oleh pengikut gerakan dakwah

salafiyyah ini. Penulis akan mendatangi acara pernikahan pengikut dakwah

salafiyyah ini untuk melakukan pengamatan dan penelitian selama masih di

sekitar wilayah kota Medan.

I.6. Tinjauan Pustaka

Agama dan segala bentuk kegiatan yang ada di dalamnya telah lama menjadi

pusat pengkajian dari ilmu-ilmu sosial yang ada, termasuk di dalamnya

antropologi yang menaruh perhatian besar pada aktivitas keagamaan dan pola

perilaku dari suatu kepercayaan manusia. Nilai-nilai ajaran agama dan masyarakat

saling mempengaruhi. Nilai-nilai ajaran agama dapat mempengaruhi aktivitas dari

perilaku individu di dalam masyarakat, demikian pula perkembangan pemikiran

masyarakat dan pola perilaku Individu dalam masyarakat juga dapat

(18)

Meskipun demikian, penelitian terhadap agama terus dikembangkan,

terutama menekankan kepada kelembagaan agama, fungsi agama, hubungan antar

umat beragama, nash-nash sumber ajaran agama (Ali,1981;334). Sehingga

penelitian terhadap suatu ajaran atau perilaku penganut suatu aliran terhadap

suatu ajaran keagamaan akan semakin jelas dan terarah.

Aktivitas keagamaan dapat terlihat dalam berbagai pola. Aktivitas tersebut

dapat merupakan aktivitas individu maupun secara bersama-sama. Antropologi

juga mengkaji pola-pola keagamaan yang terbentuk dari kepercayaan sebagai

sistem religi. Menurut Koentjaraningrat dalam (Emile Durkheim,1980;80-81) ada

lima unsur pokok yang penting untuk di kedepankan yaitu :

1. Emosi Keagamaan, yang menyebabkan bahwa manusia mempunyai

sikap serba religi, merupakan suatu getaran yang menggerakkan jiwa

manusia.

2. Sistem Keyakinan, yaitu sistem keyakinan di dalam suatu religi yang

berwujud pikiran dan gagasan manusia yang menyangkut keyakinan

dan konsepsi manusia tentang sifat-sifat Tuhan, wujud dari alam ghaib,

terjadinya alam dan dunia, zaman akhirat, wujud dan ciri-ciri kekuatan

sakti, dan lain-lain.

3. Sistem Ritus dan Upacara, yaitu upacara dalam suatu religi yang

berwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan

(19)

4. Peralatan, Ritus dan Upacara, yaitu yang biasa dipergunakan sebagai

sarana dalam melaksanakan aktifitas dan tindakan manusia dalam

pelaksanaan kebaktiannya terhadap Tuhan.

5. Umat beragama, yaitu kesatuan sosial yang menganut sistem

keyakinan dan melaksanakan sistem ritus upacara.

Sistem dan ritus upacara saat mengkaji aktivitas kehidupan manusia yang

memiliki keyakinan atau sistem religi sebagai bentuk pelaksanaan kebaktian

manusia kepada Sang Pencipta yang dalam hal ini contohnya adalah proses

upacara pernikahan menurut ajaran suatu religi atau keagamaan yang termasuk

suatu upacara peralihan dalam kehidupan manusia. Dalam hal ini, pelaksanaan

ritus dan upacara didasarkan atas adanya sistem keyakinan yang dimiliki untuk

melaksanakan suatu ritus atau upacara tertentu.

Upacara merupakan wujud dari adat istiadat yang berhubungan segala aspek

kehidupan manusia, sedang pelaksanaannya selalu dibayangkan sebagai upacara

yang hikmat dan bersifat keramat, karena pendukungnya mengikuti dengan

hikmat dan merasa sebagai sesuatu yang bersifat magis dan disertai dengan

berbagai perasaan serta perlengkapan yang bersifat simbolis. Peragaan dan

penggunaannya secara simbolis tersebut dapat ditangkap maknanya melalui

interpretasi, orang-orang yang ada di dalamnya maupun para penganut

(Syamsuddin,1985;1).

Selain dari kegiatan tersebut, upacara juga mempunyai empat komponen

penting yaitu : tempat, saat upacara, tata cara upacara, dan orang-orang yang

(20)

Menurut Van Gennep upacara peralihan atau “rites de passage” terdiri dari :

1. Upacara perpisahan dari status semula (rites de sparation)

2. Upacara perjalanan ke status yang baru (rites de marge)

3. Upacara penerimaan dalam status yang baru (rites de aggregation),

Ketiga tahap ini selalu disertai dengan ritus, tahap pertama disertai dengan ritus

perpisahan, tahap kedua disertai dengan ritus peralihan, dan tahap ketiga disertai

dengan ritus penerimaan dalam status yang baru (Van Baal,1988;26).

Pranata pernikahan pada setiap masyarakat di dunia mempunyai

larangan-larangan terhadap pemilihan atau penentuan jodoh bagi anggota-anggotanya

(incest taboo), dan ada juga masyarakat yang memiliki marriages preference atau

perkawinan yang diinginkan oleh sebahagian besar warga masyarakat dan

dianggap sebagai perkawinan ideal (Keesing,1981;261-263)

Dalam adat perkawinan ada syarat-syarat kawin yang dapat diklasifikasikan

ke dalam tiga bentuk yaitu mas kawin (bride price), pencurahan tenaga kerja

(bride service), dan pertukaran gadis (bride exchange)

(Koentjaraningrat,1980;99).

Dari suatu pernikahan, setiap masyarakat dan dalam kebudayaannya

masalah tempat tinggal setelah pernikahan merupakan masalah yang perlu

dibahas. Dalam ilmu antropologi adat menetap setelah menikah yaitu :

 Pengantin baru bebas menetap di sekitar pusat kediaman kaum kerabat

suami atau istri yang disebut utrolokal.

 Pengantin baru menetap di sekitar pusat kediaman kaum kerabat suami

(21)

Pengantin baru menetap di sekitar pusat kediaman kaum kerabat istri

yang disebut uxorilokal.

 Pengantin baru tinggal bergantian, suatu masa tertentu tinggal di sekitar

kerabat suami dan suatu masa lain tinggal di kediaman kerabat istri yang

disebut bilokal.

 Pengantin baru tinggal sendiri di tempat kediaman mereka yang baru

yang disebut neolokal.

 Pengantin baru tinggal menetap di sekitar tempat kediaman saudara

laki-laki ibu dari suami yang disebut avulokal.

 Pengantin baru tinggal terpisah, suami tinggal di sekitar pusat kediaman

kaum kerabatnya sendiri, dan istri tinggal di sekitar pusat kediaman

kaum kerabatnya sendiri pula, yang disebut natolokal

(Haviland,1988;94).

Dalam penelitian ini, masyarakat dipandang sebagai kesatuan hidup manusia

yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat atau kebiasaan tertentu yang

bersifat kontiniu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama

(Koentjaraningra,1980;160).

Menurut Undang-undang Nomor.1 tahun 1974 Pasal 1, perkawinan atau

pernikahan adalah ikatan lahir dan batin seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami istri untuk tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Proses upacara pernikahan adalah rangkaian upacara peralihan (rites de

(22)

tentang tingkat hidup/ lingkungan sosial yang baru seorang individu

(Koentjaraningrat,1993;5-6).

Jamaah salafiyyah merupakan gabungan dua kata yang berasal dari bahasa

Arab. Kata Jamaah diambil dari bahasa Arab yaitu Al-Jama’i yang artinya banyak

dan berkumpul, secara bahasa jamaah berarti banyaknya orang-orang yang

berkumpul, atau bisa disebut sebagai pengikut. Dalam istilah agama kata jamaah

sering digunakan sebagai orang-orang yang mengikuti paham saatu ajaran agama.

Emile Durkheim dalam (Phitchard;1984:73) menyebutkan bahwa agama selalu

merupakan peristiwa kelompok, kolektif. Tak ada agama tanpa rumah ibadah.

Agama merupakan suatu kesatuan sistem kepercayaan dengan pelaksanaan, dalam

hubungannya dengan benda-benda suci , yaitu benda-benda yang disisihkan dari

yang lain dan terlarang, kepercayaan dan pelaksanaan yang bersatu ke dalam

suatu kelompok moral yang dinamakan jamaah, yaitu semua mereka yang

mengikutinya. Oleh karena itu jamaah dapat diartikan orang yang mengikuti suatu

ajaran keagamaan. Sedangkan salafiyyah berasal dari kata as-salaf yang berarti

terdahulu atau yang pertama. Dalam istilah ini as-salaf merupakan tiga generasi

pertama dari umat Islam, yaitu para sahabat nabi, kemudian tabi’in (mereka yang

mengikuti sahabat), kemudian tabi’ut tabi’in (mereka yang mengikuti para

pengikut sahabat). Salafiyyah adalah sebuah gerakan dakwah yang sama artinya

dengan gerakan dakwah yang mengikuti generasi as-salaf. Salafi adalah sebutan

untuk orang yang menyatakan diri sebagai muslim yang berupaya mengikuti

ajaran Al-Qur’an dan Hadits, sesuai dengan pemahaman ulama as-salaf. Sehingga

(23)

Islam sebagaimana yang dianjurkan atau dipraktekkan oleh Nabi Muhammad dan

para sahabatnya (Afdhal dkk,2005;154).

Mengkaji fenomena jamaah salafiyyah ini adalah pemahaman nilai-nilai

tentang ajaran agama Islam menurut mereka yang kemudian dikembangkan dan

diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga terbentuklah pola perilaku para

pengikut jamaah ini dalam masyarakat yang membentuk ciri khas tersendiri secara

fisik maupun cara pikir mereka. Ciri khas tersebut dapat dilihat dalam bentuk cara

berpakaian, cara bergaul atau berhubungan dengan masyarakat dan berperilaku

sesuai dengan apa yang ada di dalam pemikiran mereka dalam bentuk pemahaman

terhadap ajaran agama.

Nilai-nilai ajaran agama yang mereka pahami akan membentuk pola

perilaku mereka, sehingga pola perilaku tersebut nantinya semakin lama akan

membentuk suatu budaya. Ciri khas atau watak mereka dalam memahami ajaran

Islam yang membentuk pola perilaku dapat disebut sebagai kepribadian. Selo

Soemardjan dan Soelaiman Soemardi mendefenisikan kebudayaan merupakan

sarana rasa, cipta, dan karsa manusia. Kebudayaan. Kebudayaan yang membentuk

ciri khas tersebut terdapat dalam substansi nafsani manusia yang memiliki tiga

daya yaitu:

1. Qalbu, sebagai aspek supra kesadaran manusia yang memiliki daya

emosi (rasa)

2. Akal, sebagai aspek kesadaran manusia yang memiliki daya

(24)

3. Nafsu, sebagai aspek pra atau bawah kesadaran manusia yang

memiliki daya konasi (karsa).

Sehingga akhirnya ketiga konponen nafsani tadi akan berintegrasi untuk

mewujudkan suatu tingkah laku atau pola perilaku (Hartati dkk,2004;163).

Akar-akar gerakan dakwah salafiyyah dapat dilacak pada gerakan dakwah

wahabi, yaitu penisbatan kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (1703 –

1787) yang memiliki ide untuk mengembalikan umat Islam kepada ajaran agama

Islam yang murni. Gerakan Muhammad bin Abdul Wahhab dalam penyampaian

dakwahnya dilakukan dengan cara tegas, lugas, keras, dan tidak tidak mengenal

kompromi sama sekali, terlebih lagi kalau sudah menyangkut dalam masalah

tauhid dan bidang akidah lainnya (Pasha,2000;20). Gerakan wahabi ini merupakan

suatu gerakan pemurnian Islam yang dibangun atas inspirasi Ibnu Taimiyah (661

H), seorang imam besar dari Damaskus yang menganut madzhab Hanbali yang

terkenal karena ia mengkafirkan orang mongol yang telah masuk Islam. Ibnu

Taimiyah menentang keras segala bentuk pemikiran filsafat yang masuk ke dalam

ajaran Islam. Wahhabisme terus-menerus mengumandangkan keunikan tuhan dan

terus menerus menolak prinsip perantara (para wali) yang ada dalam ajaran sufi

dan orang awam. Wahhabi juga menolak perubahan yang terjadi atas ajaran Islam.

Atas pengaruh dua tokoh diataslah gerakan dakwah salafiyyah terbentuk pada

abad ke XIX (Roy,2005;24).

Gerakan dakwah salafiyyah termasuk gerakan dakwah yang terpengaruh

oleh gerakan yang dibangkitkan oleh Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul

(25)

pembaharuan di dalam Islam setelah penguasaan Ibnu Su’ud yang telah merebut

dan menguasai negeri Hijaz (Mekah dan Madinah) untuk membentuk negara Arab

Saudi pada tahun 1924. Ide untuk mendirikan negara yang di bentuknya sebagai

negara berhukum Islam berdasarkan manhaj salaf yang berlandaskan atas

penolakan perpecahan yang terjadi di dalam Islam dalam permasalahan

pemahaman ilmu fiqih yang terkenal dengan sebutan fiqih madzhab yang empat

(Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) dilakukan Ibnu Su’ud atas inspirasi Syaikh

Muhammad bin Abdul Wahhab yang di kenal sebagai gerakan Wahhabi. Dengan

demikian Ibnu Su’ud menjadi raja pertama yang memproklamirkan negara Arab

Saudi menjadi negara yang berhukum Islam tidak tegak berdasarkan ikut kepada

salah satu madzhab besar dan menyebutkan bahwa negara tersebut adalah negara

salafiyyah (Noer,1982;85-95).

Gerakan dakwah salafiyyah ini muncul di Indonesia terutama di kota-kota

besar di pulau Jawa seperti Jogjakarta dan Bandung. Oleh karena cara-cara

mereka memahami ajaran Islam sama dengan gerakan wahhabi, yang karenanya

mereka berhadapan dengan masalah praktek Islam yang bertolak belakang. Islam

yang ada adalah Islam yang terpengaruh oleh budaya lokal. Islam yang ada di

Indonesia adalah Islam yang sudah dikembangkan karena dalam setiap proses

pengenalan Islam selalu terjadi apa yang disebut parokhialisasi dan generalisasi.

Parokhialisasi adalah penyesuaian Islam kedalam budaya lokal, sedangkan

geralisasi adalah menarik budaya lokal ke dalam kerangka Islam yang umum atau

mungkin yang dasar yang bisa berlaku di mana-mana. Pengikut dakwah

(26)

praktek Islam yang tidak dilakukan oleh Nabi dan sahabatnya (Afdhal dkk; 2005 :

160).

Tidak hanya di pulau Jawa, dakwah salafiyyah bahkan sudah tersebar ke

seluruh wilayah Indonesia termasuk di Sumatera Utara, terutama di kota Medan.

Di kota Medan jamaah salafiyyah ini telah membuat suatu organisasi dakwah

yang berbentuk yayasan bernama Yayasan Minhajus Sunnah sebagai wadah

pengkoordinir kegiatan-kegiatan dakwah mereka. Pendirian yayasan ini tentu saja

sangat dipengaruhi oleh penerimaan yang responsif dari masyarakat yang ada di

kota Medan dan sekitarnya.

I.7. Metode Penelitian I.7.1. Informan

Sebagian data dalam penelitian ini diperoleh melalui informan dan untuk

melengkapi data yang ada diperlukan juga data dari studi kepustakaan.

Kebanyakan Informan adalah laki-laki dari pengikut jamaah salafiyyah karena

sulitnya berinteraksi dengan perempuan pengikut jamaah salafiyyah dalam

masalah hubungan lawan jenis. Informan pokok dalam penelitian ini adalah

pengikut jamaah salafiyyah yang telah menikah atau baru melangsungkan

pernikahan. Informan kunci dalam mencari data adalah mereka yang menjadi tuan

guru atau ustadz yang paham segala hal tentang tata cara dan hukum-hukum serta

adab-adab pernikahan. Sedangkan informan biasa adalah mereka-mereka yang

mengetahui tentang eksistensi jamaah ini namun bukan pengikut dari jamaah ini.

(27)

I.7.2.Teknik Pengumpulan Data

Langkah pertama yang dilakukan dalam memperoleh data adalah melakukan

studi literatur atau studi kepustakaan. Penelusuran kepustakaan ini dimaksudkan

untuk terlebih dahulu mengetahui beberapa konsep dasar yang berkenaan dengan

jamaah salafiyyah terutama mengenai masalah pernikahan dan hukum-hukumnya.

Pengetahuan inilah yang akan dipergunakan dalam melakukan penelitian ke

lapangan.

Validitas hasil penelitian ini sangat tergantung pada data yang diperoleh di

lapangan. Teknik kedua yang dilakukan dalam pengumpulan data adalah

observasi dan wawancara. Observasi dilakukan untuk melihat bagaimana bentuk

acara-acara atau kegiatan-kegiatan saat berlangsungnya proses upacara

pernikahan. Observasi dilaksanakan dengan melihat langsung bentuk prosesi

pernikahan pegikut jamaah salafiyyah ini di sekitar wilayah kota Medan, sehingga

peneliti akan mengetahui secara mendalam nilai-nilai yang terkandung bentuk

kegiatan atau simbol-simbol yang digunakan. Hal ini memberikan manfaat agar

tidak terjadi kesalahan penafsiran terhadap ajaran dan pemahaman jamaah

salafiyyah terutama mengenai makna dalam proses pernikahan.

Wawancara dilakukan dengan mengunjungi pengikut jamaah salafiyyah yang

telah menikah atau baru melangsungkan pernikahan dan orang-orang yang

dianggap berilmu dengan mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya.

(28)

Setelah seluruh data yang penting dikumpulkan, selanjutnya dilakukan

pengolahan dan penganalisan data. Analisis terhadap data penelitian bersifat

kualitatif. Penelitian ini bersifat deskriptif yang artinya hanya menggambarkan

pola perilaku dari objek yang diteliti. Kemudian data tersebut disusun dalam

satuan-satuan yang dapat dikategorisasikan sesuai dengan urutan penyajian hasil

penelitian kelak secara sistematis.

Data yang diperoleh dari lapangan akan diteliti untuk melihat kelengkapan

hasil wawancara. Data yang diperoleh dari tuan guru atau ustadz merupakan kunci

untuk menjawab masalah penelitian yang dilakukan terutama mrngenai hukum,

(29)

BAB II

GAMBARAN UMUM MENGENAI JAMAAH SALAFIYYAH

II.1. Sejarah Munculnya Gerakan Dakwah Salafiyyah

Gerakan dakwah salafiyyah merupakan gerakan dakwah yang lahir dari

kebangkitan Islam di Timur Tengah. Kebanyakan orang-orang dan penulis serta

peneliti aliran-aliran dalam Islam menyebutkan gerakan dakwah mereka sebagai

“jamaah-jamaah salafiyyin” atau “kaum salafiyyun” karena pada hakekatmya

kaum salafiyyun tidak pernah menjadi satu kelompok yang bersifat mutlak saja.

Sebutan ini digunakan oleh berbagai kelompok yang berbeda dari satu masa ke

masa. Tidak pernah ada institusi formal yang menjadi tempat bernaung dari kaum

salafiyyun ini. Sebanya salafiyyah adalah aliran umum yang tidak terbentuk dalam

perkumpulan-perkumpulan kecuali di beberapa Negara dalam beberapa waktu

saja. Misalnya jamaah Anshar Al--Sunnah Al-Muhammadiyyah di Mesir dan

(30)

Gerakan dakwah ini mengajarkan ketaatan yang total kepada manhaj Nabi

Muhammad dan as-salaf as-shalih. As-Salaf merupakan kata umum yang

menunjukkan pelopor Islam yang shalih dan semua orang Islam yang mengikuti

jalan mereka dalam keyakinan, moral, dan tingkah laku. As-Shalih menunjuk

kepada tiga generasi terbaik umat muslim. Mereka itu adalah sahabat nabi, tabi’i,

tabi’ut tabi’i. Mereka itu yang telah dijanjikan Nabi : “Sebaik-baik umat adalah

generasiku, kemudian setelahnya, kemudian setelahnya”. (HR. Bukhari dan

Muslim).

Kumpulan-kumpulan ini mendefenisikan kelompoknya sebagai Islam itu

sendiri. Salafi merupakan Islam yang murni dan bebas dari penambahan,

pengurangan, dan perubahan. Salafiyyah adalah Qur’an dan Sunnah. Dakwah

Salafiyyah bukanlah partai politik atau madzhab yang baru. Dakwah salafiyyah

merupakan Islam dalam totalitasnya, yang menuntun manusia apapun budayanya,

ras, atau warna kulitnya. Dakwah salafiyyah merupakan manhaj yang lengkap

dan sempurna dalam memahami Islam dan melaksanakan tindakan sesuai dengan

ajaran-ajaran sumbernya (Rahmat,2005;61).

Istilah salaf digunakan juga untuk menyebutkan para ulama Ahlussunnah

Waljamaah sesudah generasi ketiga yang telah diberkahi yang mengikuti jalan

mereka dalam keyakinan maupun perilaku. Menurut pendukung dakwah

salafiyyah, di antara ulama-ulama tersebut adalah : Abu Hanifah atau imam

madzhab hanafi (150), Al-Awza’I (157), Al-Ta’un (161), Al-Lais bin Sa’ad (175),

Malik bin Anas atau imam madzhab maliki (179), Abdullah bin Al-Mubarak

(31)

Ishaq (238), Ahmad bin Hanbal atau imam madzhab hambali (241), Al-Bukhari

(256), Muslim (261), abu Dawud (275), Ibnu Taimiyyah (728), Az-Zahabi (748),

Ibnu Al-Qayyim (751), Ibnu Katsir (774), Munammad bin abdul Wahhab (1206)

dan sejumlah murid dan pengikutnya di zaman kita sekarang ini : ‘Abdul ‘Aziz

bin Baz yaitu ketua perkumpulan ulama-ulama Saudi Arabia seorang ahli fiqih.

Kemudia Muhammad Nashiruddin Al-Albani seorang imam ahli hadits abad ini

yang berasal dari Negara Yordania dan ulama-ulama lainnya.

Orang yang paling giat menyebarkan, membela, melahirkan

pemikiran-pemikiran, serta menerangkan ajaran-ajaran salafiyyah ini dalam bidang akidah,

fiqih, maupun etiket adalah Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyyah beserta

pengikut-pengikutnya. Di antara murid-murid dan pengikutnya yang menonjol adalah Imam

Abu Abdullah bin Al-Qoyyim. Kedua syaikh inilah yang telah meninggalkan

literatur yang banyak dan kaya demi kepentingan aliran salafiyyah, yang muncul

pada zaman mereka sebagai performa pembaharuan dan reformasi Islam.

Di zaman modern saat ini, aliran salafiyyah kembali muncul lewat tangan

pembaharu Islam di Jazirah Arab yaitu oleh Syaikh Muhammad bin Abdul

Wahhab, yang gerakannya memiliki karakter khusus memerangi segala bentuk

syirik dan khurafat, menyerukan kemurnian tauhid, serta melindungi tauhid dari

segala noda. Ia ingin membebaskan umat setelah mereka terkungkung dalam

dalam bid’ah di zaman kemunduran dan tidak mengikuti dan mencontoh jalan

salaf. Selain itu, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab juga memerangi

(32)

Sehingga inilah yang menjadi akar dan asal-muasal gerakan dakwah atau aliran

salafiyyah.

Kemunculan aliran salafiyyah ini di tangan Muhammad bin Abdu Wahhab

mewarisi kecendrungan orang-orang sebelumnya dalam memahami teks-teks

syariat secara harfiah, mengenyampingkan kajian akan beragam tujuan, makna,

serta sebab-musabab yang melatarbelakangi hukum-hukum tersebut. Sehingga

banyak di kalangan orang-orang yang berlawanan dengan aliran salafiyyah

menyebut dakwah mereka sebagai dakwah kaum Wahhabiyyah, karena menunjuk

Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai pembangkitnya.

Oleh karena itu, gerakan dakwah salafiyyah dan gerakan wahhabiyyah

adalah sama saja. Wahhabisme didirikan oleh seorang muballigh abad 18 oleh

Muhammad bin Abdul Wahhab di semenanjung Arab. Abdul Wahhab berusaha

membersihkan Islam dari kerusakan yang dipercayainya telah merasuk ke dalam

agama Islam. Dia menerapkan literalisme yang sangat ketat yang menjadikan teks

menjadi satu-satunya sumber otoritas yang sah dan menampilkan permusuhan

ekstrem kepada filsafat, mistisisme, dan semua perbedaan sekte di dalam Islam.

Menurut doktrin Wahhabi, sangat penting kembali pada proses kemurnian,

kesederhanaan, dan kelurusan Islam yang dapat seluruhnya diperoleh kembali

dengan menerapkan perintah Nabi secara harfiah dan dengan ketaatan yang penuh

terhadap praktik-praktik ritual yang benar. Wahhabisme juga menolak semua

upaya untuk menafsirkan hukum Allah secara historis dan kontekstual dengan

(33)

menganggap sebagian besar sejarah umat Islam merupakan perusakan terhadap

Islam yang benar.

Doktrin wahhabi muncul kembali pada awal abad ke 20 oleh Abdul Aziz

Ibnu Saud yang mendirikan kerajaan Saudi Arabia dengan menguasai negeri Hijaz

(Mekah-Madinah) pada 1924. Ia menyebutkan Negeri itu sebagai negeri

salafiyyah oleh karena Ia juga menganut paham wahhabi. Meskipun disertai

dengan tatanan Negara Saudi Arabia, wahhabisme masih merupakan doktrin yang

bersifat terbatas pengaruhnya hingga pada pertengahan tahun 1970-an ketika

harga minyak melonjak tajam, secara dramatis membuat pengaruh wahhabi makin

berkembang dan tersebar di dunia Islam.

Wahhabi tidak tidak menyebarkan dirinya sebagai salah satu aliran di

dalam Islam atau salah satu orientasi tertentu di dalam Islam, tetapi menyatakan

diri sebagai “jalan lurus” Islam. Dengan menyatakan memiliki ketaatan secara

harfiah dalam memahami teks agama Islam, dia dapat membuat klaim

keautentikan yang dapat dipercaya pada saat identitas Islam sedang diperebutkan.

Selain itu para penganjur wahhabisme menolak untuk disebut atau dikategorikan

sebagai pengikut tokoh tertentu bahkan termasuk Abdul Wahhab sendiri. Para

penganjurnya menegaskan diri bahwa mereka hanya sekedar mematuhi ketentuan

as-salaf as-shalih (para pendahulu pembimbing yaitu Nabi dan para sahabatnya)

dan dengan demikian, kaum wahhabi dapat memanfaatkan simbol dan kategori

(34)

Pada awal 1970-an Wahhabisme telah berhasil mengubah dunia Islam

menjadi Islam yang berteologi literalis, puritan, dan konservatif. Harga minyak

yang menaik tajam pada 1975, menjadikan Arab Saudi pengajur utama

Wahhabisme, dapat menyebarkan doktri Wahhabisme dengan wajah salafisme

yang dimaksudkan untuk kembali kepada dasar-dasar agama yang autentik dan

belum dirusak oleh berbagai tambahan praktik sejarah.

Bagi para aktifis dakwah ini, kata salafi merujuk kepada seseorang yang

benar-benar mengikatkan dirinya pada kaum salaf. Pengikatan diri ini tidak

secara semena-mena kepada seseorang atau kelompok umat tertentu. Pengikatan

diri ini dilakukan kepada sesuatu yang tidak akan pernah salah yaitu Nabi

Muhammad, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka. Dengan

kata lain salafiyyah bukanlah kepengikutan buta terhadap para imam atau syaikh

tertentu. Mereka taat kepada Qur’an dan sunnah sebagaimana yang dipahami dan

dipraktekkan bersama oleh para as-salaf as-shalih. Salafi yang benar adalah

menjunjumg tinggi tauhid, mengesakan Allah dalam segala amal ibadah yaitu

dalam berdoa, memohon pertolongan, meminta dibebaskan dari kesengsaraan dan

kesulitan, dalam berkorban, dalam berjanji, dalam ketakutan dan pengharapan,

dalam berkeyakinan dan sebagainya. Salafi yang benar secara aktif berusaha

menghindari syirik dan segala tingkatannya. Seorang salafi tahu bahwa

kemenangan tidaklah mungkin tanpa tauhid yang benar, dan bahwa syirik tidak

bisa dipertemukan dengan hal-hal seperti itu. Salafi yang benar mengacu dan taat

(35)

Kaum salafi bercita-cita menghidupkan kembali sunnah Nabi Muhammad

dalam ibadahnya dan kebiasaan hidupnya. Beberapa karakter seorang salafi antara

lain :

1. Menganjurkan yang baik dan melarang yang mungkar. Seorang salafi

selalu mengingatkan masyarakat tentang syirik, bid’ah, jalan yang

sesat, penyimpangan dan kelompok-kelompok yang senang dengan

kekerasan.

2. Terus-menerus mengharapkan ampunan Allah, melakukan pertobatan

yang sungguh-sungguh, mengingat Allah secara terus-menerus,

menyibukkan diri untuk melakukan perbuatan baik dalam rangka

membersihkan jiwanya.

3. Beribadah kepada Allah disertai rasa takut, harap dan cinta.

4. Seorang salafi bukanlah khawarij yang suka mengkafirkan banyak

kaum muslimin karena ia berbuat dosa besar. Seorang salafi bukanlah

syi’ah yang suka menghujat para sahabat Nabi, dan mengatakan bahwa

Qur’an telah diubah, menolak keaslian sunnah dan memuja keluarga

Nabi. Seorang salafi bukanlah Qadariyyah yaitu kelompok yang

menolak taqdir Allah. Seorang salafi bukanlah Murji’ah yang

mengklaim bahwa iman adalah kata-kata bukan perbuatan. Seorang

salafi bukanlah Mu’tazilah yang menolak sifat-sifat Allah. Seorang

salafi bukanlah seorang Sufi yang memuja kuburan-kuburan dan

(36)

yang menuntut seluruh umat harus menyandarkan diri kepada salah

satu madzhab, imam atau syaikh tertentu, meskipun ketika madzhab itu

bertentangan dengan nash yang jelas dari Qur’an dan sunnah yang

asli.

Dengan kata lain, bagi mereka, Salaf yang benar adalah Ahlussunnah

Wal-Jama’ah. Bagi manhaj salaf adalah taifah al-mansurah (kelompok pemenang)

dan firqah an-najiah (kelompok yang selamat). Bagi mereka dakwah salafiyyah

merupakan satu-satunya Islam yang benar. Seorang muslim tidak ada pilihan lain

selain menjadi kaum salafi. Untuk itu dia mentaati kelompok yang telah dijamin

berhasil, menang dan selamat dari api neraka. Merujuk kepada Ibnu Taimiyyah

mereka menyatakan bahwa siapapun yang berbeda dan berseberangan dengan

Nabi Muhammad sesudah jalan yang benar dan diperlihatkan secara jelas kepada

mereka, berarti telah mengikuti selain jalan para as-salaf as-shalih. Dan siapa pun

yang mengikuti yang lain selain jalan as-salaf as-shalih maka ia telah melawan

dan berseberangan dengan Nabi Muhammad. Jika seseorang berfikir bahwa ia

telah berbuat salah ketika mengikuti jalan as-salaf as-shalih maka ia sama saja

dengan orang yang berfikir telah berbuat salah ketika mengikuti Nabi Muhammad

(Rahmat,2005;63).

Dakwah salafi dibangun atas beberapa prinsip tauhid dan tazkiyah. Tauhid

berarti menerima dan percaya dengan keesaan Allah dan keunikan pesan-Nya.

Artinya untuk beribadah hanya semata-mata kepada Allah dan untuk mengabdi

kepada-Nya menurut tata aturan-aturan-Nya. Tauhid juga menuntut ketaatan

(37)

Muhammad dan cinta yang benar kepada Nabi menurut mereka telah melemah

dan menghilang di kalangan umat. Ini disebabkan beberapa hal yaitu :

1. Umat Islam telah meninggalkan sunnah Nabinya dan tidak

mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari, meremehkannya,

sehingga munculnya sikap sombong terhadap sunnah Nabi.

2. Menyebarnya sejumlah hadits lemah dan palsu di kalangan umat

Islam sehingga mereka beribadah dan berdalil dengannya.

3. Munculnya berbagai bid’ah di kalangan umat muslim.

4. Taqlid buta terhadap salah satu madzhab tertentu.

5. Munculnya fatwa Islam tanpa pengetahuan atau dalil.

6. Berakhirnya penerapan syari’at atau hukum Islam di seluruh

negeri-negeri Islam dan diganti oleh ideologi dan hukum orang-orang kafir.

Sedangkan tazkiyah berarti memurnikan diri sendiri dengan tunduk dan

patuh kepada perintah-perintah Allah. Dalam bentuk yang sempurna tazkiyah

akan menjadikan seseorang mengabdi hanya kepada Allah dengan penyerahan

yang total.

Beberapa tujuan dari dakwah salafi antara lain :

1. Kembali kepada Qur’an dan sunnah Rasulullah yang otentik dan

mengembalikan pemahaman atas keduanya sesuai pemahaman dan

(38)

2. Mengingatkan kaum muslimin untuk membersihkan kehidupan

mereka dari segala bentuk syirik, bid’ah, khurafat, dan filsafat atau

pemikiran lain yang tidak dikenal dalam ajaran-ajaran Islam yang

esensial dan murni.

3. Membersihkan sunnah dari hadits yang lemah dan palsu.

4. Mendidik kaum muslimin untuk tunduk kepada ajaran agama Islam

yang benar, bertindak sesuai dengan ajaran-ajarannya dan membekali

dirinya dengan moral dan etika.

5. Bekerja keras untuk menghidupkan kembali pemikiran Islam dalam

bingkai prinsip-prinsip Islam dan melawan ketaatan yang buta

kepada madzhab dan fanatisme kepada golongan. Masalah ini

menyebabkan pemisahan kaum muslimin dari sumber-sumber Islam

yang asli dan murni dan menjauhkan mereka dari persaudaraan sejati

sesama muslim.

6. Menghadirkan solusi Islam yang realistik bagi masalah kontemporer

dan bekerja keras untuk mewujudkan jalan hidup yang benar dan

membangun masyarakat Islam yang diatur oleh hukum Allah.

Dalam mewujudkan tujuannya dakwah salafi menempatkan tekanan yang

kuat pada sektor pendidikan. Bukan saja pada pada proses pendidikan akademis,

tetapi melalui proses pembinaan juga yang membuat proses pendidikan itu

sempurna yang berarti menumbuhkan pribadi muslim yang paham agamanya dan

(39)

II.2. Masuknya Dakwah Salafiyyah Di Indonesia

Persinggungan awal para aktivis gerakan dakwah salafi di Indonesia

dengan pemikiran salafisme terjadi pada tahun 1980-an bersamaan dengan

dibukanya Lembaga Pengajaran Bahasa Arab (LPBA) di Jakarta. Lembaga ini

kemudian belakangan berganti nama menjadi Lembaga Ilmu Islam dan Sastra

Arab (LIPIA). Lembaga ini memberikan sarana bagi mereka untuk mengenal dan

mendalami pemikiran-pemikiran para ulama-ulama salafi. LIPIA merupakan

cabang dari Universitas Muhammad Ibnu Saud di Riyadh negara Saudi Arabia.

Pada awal tahun 1980 Imam Muhammad bin Saud University di Riyadh yang

telah memiliki cabang di Djibouti dan Mauritania memutuskan untuk membuka

cabang ketiga di Indonesia.

Pembukaan cabang ketiga di Indonesia ini terkait dengan gerakan

penyebaran ajaran Wahhabi yang berwajah salafi ke seluruh dunia Islam yang

dilakukan pemerintah Arab Saudi pasca melonjaknya harga minyak dunia pada

pertengahan tahun 1970-an. Sejak masa booming minyak itu, terdapat beberapa

lembaga Islam di dunia termasuk di Indonesia yang mendapat bantuan dana

maupun bentuk lain dari pemerintah Arab Saudi. Di Indonesia bantuan ini

sebagian besar diterima oleh lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi yang

bersifat puritan, seperti ; Persis, Al-Irsyad, maupun organisasi puritan yang

bersifat modernis, seperti ; Muhammadiyah dan DDI (Dewan Dakwah Islamiyah).

Selain menyediakan beasiswa studi di Arab Saudi bagi mahasiswa

(40)

bahasa Arab pada pertengahan tahun 1980-an. Pada awalnya lembaga yang

memberikan beasiswa penuh kepada mahasiswa Indonesia bernama LPBA

(Lembaga Pengajaran Bahasa Arab). Setelah membuka fakultas syariah dan

program diploma, lembaga ini mengubah namanya menjadi LIPIA.

Upaya membuka cabang di Indonesis ini di Awali dengan datangnya Syaikh

Abdul Aziz Abdullah AL-Ammar, seorang murid tokoh paling penting salafi di

seluruh dunia yaitu ketua perkumpulan uama-ulama Arab Saudi Syaikh Abdul

Aziz bin Baz ke Jakarta. Oleh Syaikh bin Baz, ia disuruh bertemu dengan

Muhammad Natsir sesampainya di Jakarta. Muhammad Natsir menyambut baik

rencana pendirian lembaga ini dan bersedia menjadi mediator dengan pemerintah

Indonesia. Maka sejak awal berdirinya lembaga ini sebagian besar mahasiswanya

berasal dari lembaga-lembaga pendidikan yang memiliki sifat puritan yaitu,

Persis, Muhammadiyah, dan Al-Irsyad.

Lembaga pendidikan ini mengikuti kurikulum lembaga induknya yaitu

Universitas Imam Muhammmad bin Saud di Riyadh, dan pada setiap fakultasnya

terdapat ulama-ulama salafi yang dikirim langsung dari Arab Saudi. Selain itu

lembaga ini juga memberikan beasiswa penuh mencakup buku-buku, dan

kebutuhan hidup yang standar 100 hingga 300 real, atau setara hingga 82 dollar.

Terdapat juga sejumlah mahasiswa yang berprestasi untuk melanjutkan program

studinya hingga ke jenjang Master dan Doktor di Riyadh, Arab Saudi. Di antara

lulusan pertama lembaga ini yang kemudian menjadi tokoh terkenal gerakan

(41)

Qodir Yazid Jawas, Farid Okbah, Ainul Harits, Abu Bakar M. Altway, Ja’far

Umar Thalib, dan Yusuf Usman Baisa.

Selain dari LIPIA, beberapa tokoh gerakan salafi juga menimba ilmu dari

Arab Saudi, Yaman, Afghanistan dan Pakistan. Yusuf Usman Baisa misalnya,

selepas dari LIPIA ia melanjutkan studinya di Universitas Muhammad Ibnu Saud

di Riyadh. Kemudian setelah itu ia mendirikan pesantren Al-Irsyad di Salatiga.

Tokoh lain kaum salafi adalah Abu Nida dengan nama aslinya Chamzah Shofwan.

Ia merupakan tokoh terkenal dari kalangan salafi di Jawa. Pada mulanya ia belajar

di madrasah NU di Gresik, lalu melanjutkan studinya di Akademi Pendidikan

Muhammadiyah di daerah Gresik juga. Kemudian pada tahun 1975 ia mengikuti

program dari organisasi DDII untuk perekrutan menjadi muballigh dan berhasil

mendapatkan beasiswa untuk belajar di Universitas Muhammad Ibnu Saud di

Riyadh hingga ia terkenal sekembalinya dari sana sebagai muballigh penyebar

dakwah salafiyyah.

Gerakan dakwah salafi tidak memiliki metode dakwah yang khusus, karena

tujuan dakwah salafi sebenarnya tidak berbeda dengan dakwah Islam, yakni

mengajak umat Islam untuk kembali ke ajaran Islam secara keseluruhan dengan

Qur’an dan sunnah sesuai dengan pengamalan dan pemahaman generasi as-salaf.

Dengan demikian menurut mereka metode gerakan dakwah mereka adalah dengan

metode dakwah Islam itu sendiri. Untuk mewujudkan masyarakat yang

dicita-citakan mereka menggunakan seluruh metode pendidikan dakwah.

(42)

salafi adalah dakwah Islam, tidak lebih dan tidak kurang. Dakwah salafi

mempraktekkan ajaran Qur’an dan sunnah sesuai dengan praktek dan pengamalan

Nabi dan para sahabatnya dalam menerapkan ajaran Islam. Mereka menolak dan

melawan segala bentuk fanatisme dan penggolongan (hizbiyyah), baik dalam

bentuk partai, kelompok-kelompok, madzhab, ras, bangsa, dan sebagainya.

Mereka hanya setia dan berpegang teguh dengan apa yang diperintahkan Allah

dan Rasul-Nya. Oleh karena itu mereka mengatakan bahwa pemimpin salafi

adalah Nabi Muhammad. Maka dari itu, dakwah ini mengajarkan ketaatan yang

total kepada manhaj Nabi Muhammad dan as-salaf as-shalih. As-Salaf merupakan

kata umum untuk menunjuk para pelopor di dalam Islam yang saleh dan semua

orang yang mengikuti jalan mereka dalam keyakinan, moral, dan tingkah laku.

Sebagaimana gerakan dakwah salafi di seluruh dunia, gerakan dakwah salafi

di Indonesia menempatkan tekanan yang kuat di sektor pendidikan. Bukan saja

pada pendidikan yang bersifat akademis, tetapi juga proses yang menyeluruh yang

berarti menumbuhkan pribadi muslim yang paham agamanya dan menjalankan

agamanya itu dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian, gerakan dakwah salafi

terfokus pada Islamisasi masyarakat dan tidak akan menyentuh wilayah politik

(non politis). Oleh karena itu, dalam menjalankan dakwahnya kelompok gerakan

dakwah salafi tidak boleh membentuk organisasi massa, karena nantinya akan

bertentangan dengan prinsip dakwah mereka yang non hizbiyyah.

Seiring dengan pengaruh watak gerakan dakwah dan metode pemahaman

Islam yang berasal dari Timur Tengah yang cenderung puritan, fundamentalis,

(43)

menerima dakwah ini dengan serta merta, apalagi ditambah politik di Indonesia

yang cenderung bernuansa sekuler. Tetapi lain halnya terhadap gerakan-gerakan

dakwah Islam yang sudah lama ada di Indonesia atau organisasi-organisasi Islam

yang keras dalam sifatnya yang puritan dan cenderung fundamentalis juga seperti

gerakan dakwah salafiyyah ini, tentu saja membuat menarik simpati mereka.

Mereka di antaranya adalah Persis, Muhammadiyyah dan DDII yang kemudian

menjadi pendukung dakwah salafiyyah ini. Bahkan banyak tokoh dan kader-kader

mereka berganti haluan dan menjadi pengikut gerakan dakwah ini.

Dalam praktek keagamaan, gerakan dakwah salafiyyah yang menekankan

ketaatan yang penuh dan setia terhadap ajaran agama yang dipraktekkan oleh Nabi

dan generasi sahabat. Mereka berupaya keras untuk mencontohkan cara hidup

Nabi atau apa yang lazim disebut sebagai sunnah, dari hal yang bersifat mutlak

dan wajib hingga hal-hal yang bersifat sekecil-kecilnya atau tidak mengapa jika

ditinggalkan. Anjuran untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan terhadap

Allah dan Rasul-Nya berbanding lurus dengan anjuran untuk meninggalkan segala

bentuk dari apa yang mereka anggap sebagai bid’ah, khurafat, dan takhayyul.

Purifikasi dalam agama inilah yang menjadi bagian yang sangat penting bagi inti

penyebaran dakwah mereka.

Dalam kehidupan sosial atau kemasyarakatan, gerakan dakwah salafiyyah

ini menampilkan cara yang berbeda dan khas. Dalam rangka mempraktekkan cara

hidup Nabi dan para sahabatnya, mereka menonjolkan ciri tersendiri yaitu antara

(44)

memakai jubah dan penutup kepala seperti kerudung wanita dengan mengenakan

ikat kepala khas Arab, menjadi ciri-ciri yang umum bagi kaum laki-laki.

Sedangkan kaum wanitanya mengenakan pakaian dengan jilbab yang menjulur ke

seluruh tubuh mereka hingga yang tersisa wajah dan telapak tangan, bahkan

banyak juga yang memakai cadar seperti lazimnya di Negeri Arab Saudi.

Biasanya juga pakaian wanita dari kaum salafi ini cenderung berwarna gelap

seperti hitam, biru gelap, coklat dan warna-warna gelap lainnya. Demikian juga

dalam hal hubungan laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sehari-hari,

interaksi yang cenderung leluasa dan bebas antar lawan jenis menjadi hal yang

sangat dibenci. Mereka menerapkan aturan dan pola perilaku hidup yang sangat

ketat agar laki-laki dan perempuan tidak terjerumus kedalam ikhtilat.

Sikap sosial yang juga menonjol dari jamaah salafiyyah ini adalah

kecendrungan yang bersifat eksklusif terhadap kelompok Islam atau jamaah Islam

yang lainnya, apalagi dengan kalangan non-muslim. Doktrin keagamaan yang

kuat ditanamkan oleh mereka kepada pengikutnya berakibat munculnya

keyakinan dan kebenaran yang bersifat tunggal, yakni kebenaran Islam dari

kelompok mereka sendiri. Kelompok Islam lainnya yang tidak sepaham atau

bersebrangan persepsi dan pemahaman dari mereka dianggap oleh mereka sebagai

kelompok yang telah menyimpang dan tersesat sehingga harus didakwahi agar

kembali ke jalan yang benar.

Gerakan dakwah salafi menjadikan tiga target sebagai tempat utama sasaran

dakwahnya yaitu; pesantren, mesjid-mesjid, dan kampus-kampus. Pesantren

(45)

mampu menanamkan keimanan dan membekali siswa dengan ilmu Islam

dibandingkan dengan sekolah. Mesjid menurut mereka juga dinilai sebagai tempat

strategis untuk mendidik dan mengendalikan orang-orang di dalamnya atau orang

yang diangkat menjadi imam untuk menentukan keberlangsungan dan

pemeliharaan manhaj dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan di mesjid.

Sedangkan universitas diharapkan akan menjadi sumber lahan dakwah perekrutan

dari sasaran dakwah mereka karena mahasiswa dianggap adalah orang yang

mampu berfikir kritis dan dapat menerima hal-hal yang bersifat kebenaran.

Seiring dengan berkembangnya terus-menerus dakwah salafiyyah di tanah

air terjadi pertikaian yang berawal dari perbedaan pendapat di kalangan

tokoh-tokoh gerakan dakwah salafiyyah. Perbedaan pendapat yang akhirnya

menimbulkan perpecahan dan sikap acuh tak acuh tersebut akhirnya menyebar di

kalangan para pengikut gerakan dakwah salafiyyah di Indonesia secara

keseluruhan yang bermula dari para tokoh salafi di pulau Jawa. Dua kubu besar

atau kelompok salafi yang terpecah itu adalah gerakan salafi yang dibina oleh

Ja’far Umar Thalib yang lebih cenderung mengacu kepada gerakan dakwah salafi

yang berasal dari Yaman. Sedangkan kelompok salafi yang mengacu pada

gerakan dakwah salafi negara Arab Saudi dan Kuwait adalah Yazid Jawas, Yusuf

Usman Baisa, Farid Okbah, Abdul Hakim Abdat, dan Abu Nida.

Perbedaan pendapat yang menimbulkan perpecahan di kalangan pengikut

dakwah salafiyyah ini bermula dari kecurigaan dan tuduhan yang ditujukan atas

(46)

dakwah salafiyyah di Indonesia dari yayasan At-Turats Al-Islami Kuwait kepada

yayasan yang dikelola oleh Abu Nida di Jogjakarta. Ja’far menilai bahwa yayasan

At-Turats yang ada di Kuwait itu di dalamnya sudah dikuasai oleh tokoh-tokoh

atau kalangan Ikhwanul Muslimin dan Sururiyyun. Kemudian Ja’far mencurigai

tokoh-tokoh penyebar dakwah salafi dan menuduh mereka telah berganti manhaj

dan aqidah dari kelompok Ikhwanul Muslimin dan Sururiyyun. Selain itu Ja’far

juga memvonis tokoh salafi tersebut sebagai sururi hanya karena

tokoh-tokoh salafi tersebut pernah berdialog dan bermajelis atau beramah-tamah dengan

tokoh-tokoh yang dinilai Ja’far berpaham sururi untuk mendakwahi mereka.

Perpecahan di kalangan salafi ini menjalar ke seluruh wilayah Indonesia yang

telah masuk dakwah salafi di sana. Di setiap daerah kita akan menemukan dua

kubu besar salafi.

Dalam perkembangan berikutnya, Ja’far yang merupakan lulusan LIPIA

kemudian melanjutkan studinya di Pakistan, tepatnya pada Maududi Institute di

Lahore. Setelah kembalinya dari Pakistan, Ja’far mendirikan dan memimpin

kelompok mujahid untuk berperang ke Ambon yang bernama Lasykar Jihad

Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang kemudian dinilai kelompok Abu Nida sebagai

pembentukan kelompok yang bersifat perkumpulan massa yang dianggap

menyimpang dari prinsip dakwah salafiyyah. Namun pada perkembangannya

Lasykar Jihad tidak pernah sampai berjihad atau ikut berperang di Ambon yang

ketika masa itu mengalami kekacauan karena adanya fatwa dari sejumlah ulama

besar di Arab Saudi yang menilai tidak patutnya membuat kelompok untuk

(47)

dengan alasan pemerintah Indonesia yang dianggap ulama Arab Saudi merupakan

negeri muslim memiliki hak dan kewajiban untuk menenangkan dan mengurusi

kekacauan yang ada di negaranya. Dengan keluarnya fatwa ini dari ulama-ulama

Arab Saudi, Ja’far kemudian membubarkan Lasykar Jihad.

Perpecahan di kalangan pengikut dakwah salafiyyah ini telah di ketahui oleh

semua ulama salafi di Timur Tengah. Lewat pengadaan dauroh yang rutin di

lakukan para ulama salafi berkunjung ke Indonesia untuk membina pengikut

dakwah salafi ini setiap tahunnya, niat mendamaikan perselisihan di antar dua

kelompok besar salafi ini dilakukan. Namun kelompok Ja’far selalu menolak

untuk berdamai dengan alasan yang tidak diketahui pasti. Seiring berjalannya

waktu, pada akhirnya Ja’far membuat gempar seluruh tokoh-tokoh salafi di

Indonesia dan ulama-ulama salafi di Timur Tengah dengan mengikuti majelis

zikir yang dipimpin oleh Arifin Ilham yaitu seorang ustadz muda pemimpin

majelis zikir Adz-Dzikra. Terlibatnya Ja’far dalam acara zikir bersama yang

dipimpin oleh Arifin Ilham dinilai oleh tokoh-tokoh salafi sebagai perbuatan

bid’ah yang Ja’far telah mengetahui hukumnya dan sudah menyimpang dari

prinsip dakwah salafiyyah sehingga mereka memvonisnya sebagai pelaku bid’ah

atau ahli bid’ah di karenakan Ja’far merupakan salah seorang ustadz salafi di

Indonesia yang seharusnya tidak mencontohkan perbuatan yang demikian.

Ditambah dengan prnyataan Ja’far yang secara langsung ia telah keluar dari jalur

dakwah yang ditempuh oleh prinsip dakwah salafiyyah dengan mengatakan

bahwa ia telah keliru selama ini telah keras dalam berdakwah dengan mudah

Referensi

Dokumen terkait

Pengamatan karakter kualitatif (seperti warna kulit buah, warna jus, dan rasa) dan karakter kuantitatif (seperti bobot buah, tinggi buah, diameter buah, ketebalan

Agar pembahasan permasalahan yang akan dilakukan dalam penelitian ini tidak menyimpang dari permasalahan yang akan dibahas, maka penulis akan membatasi permasalahan,

 NAMA PESERT PESERTA A : RIZKI BAY : RIZKI BAYU CAHY U CAHYA ADI, S.Pd DI, S.Pd  NIP.  NIP : 19920801 2015 : 19920801 201502 1 001 02 1 001  NO.. Trusted by over 1

Keuntungan dan kerugian dari selisih kurs yang timbul dari transaksi dalam mata uang asing dan penjabaran aktiva dan kewajiban moneter dalam mata uang asing, diakui pada laporan

Menyatakan bahwa “Skripsi” yang saya buat untuk memenuhi persyaratan kelulusan pada Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Islam Negeri UIN Maulana Malik Ibrahim Malang,

jaminan ini penting karena bagi orang dalam keadaan sakit jiwa dalam hal penikmatan hak-hak hukum dan konstitusional harus terlebih dahulu disembuhkan, karena pada

pada penelitian ini dibuat alat kendali perangkat elektronik menggunakan nodemcu sebagai penerima data yang dikirim dari website.. Tahapan uji coba sistem

Pondok pesantren dewasa ini adalah gabungan antara sistem pondok dan pesantren yang memberikan pendidikan dan pengajaran agama Islam dengan sistem bandongan,