• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KRIMINOLOGIS TERHADAP KEJAHATAN PENCUCIAN UANG DALAM SISTEM PERBANKAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS KRIMINOLOGIS TERHADAP KEJAHATAN PENCUCIAN UANG DALAM SISTEM PERBANKAN"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

ABSTRAK

ANALISIS KRIMINOLOGIS TERHADAP KEJAHATAN PENCUCIAN UANG DALAM SISTEM PERBANKAN

Oleh

IRWAN KISFRY

Negara Indonesia menganut sistem devisa bebas yang berarti bahwa setiap orang dapat memiliki, memindahkan, menyimpan uang sepanjang uang itu halal dan tidak terkait kejahatan pencucian uang, tentunya di sini dapat menimbulkan bebagai faktor kriminologis pemicu kejahatan pencucian uang dalam sistem perbankan. Tindak pidana pencucian uang (money laundering) telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Para pelaku kejahatan memiliki berbagai modus yang dilakukan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan hasil tindak pidana. Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah faktor kriminologis penyebab kejahatan pencucian uang dalam sistem perbankan dan bagaimanakah upaya pemberantasan kejahatan pencucian uang dalam sistem perbankan.

Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan dengan melakukan wawancara terhadap Petugas PPATK, Petugas Bank Indonesia, Petugas Bank BUMN, Petugas Bank Swasta Nasional dan Dosen bagian pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan. Data yang diperoleh kemudian diolah yang kemudian dianalisis secara analisis kualitatif guna mendapatkan suatu kesimpulan.

(3)

lemahnya penerapan prinsip dan mentalitas dari karyawan atau pegawai Bank, ketidakefektifan Skala usaha Bank, Ketidaksiapan dalam penerapan prinsip mengenal nasabah dari Bank dan birokrasi politik yang turut campur di dalamnya menjadi Pengaruh kriminologis para pelaku kejahatan pencucian uang. Upaya pemberantasan kejahatan pencucian uang dalam sistem perbankan yakni perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian meliputi: mengidentifikasi nasabah dan transaksi keuangan mencurigakan, melaksanakan kewajiban pelaporan kepada pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan, memberikan informasi dan segala keterangan kepada PPATK dalam rangka audit, memberikan keterangan rahasia bank kepada penyidik, penuntut umum, dan hakim.

Adapun saran yang diberikan penulis yaitu permasalahan yang muncul dari penyedia jasa keuangan bank dalam hal ini faktor internal penyedia jasa keuangan bank, tentunya akan mempengaruhi dan menjadikan faktor kriminologis penyebab kejahatan pencucian uang dalam sistem perbankan maka perlu untuk lebih meningkatkan pemahaman dan kinerja di kalangan pengurus dan pegawai bank dalam upaya meminimalisir faktor kriminologis dan memberantas kejahatan pencucian uang dalam sistem perbankan.

(4)
(5)
(6)

DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup ... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 8

E. Sistematika Penulisan ... 15

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Mengenai Kejahatan Pencucian Uang ... 17

B. Tinjauan Umum Mengenai Perbankan ... 24

C. Penanggulangan Kejahatan Pencucian Uang ... 33

D. Kewajiban Penyedia Jasa Keuangan ... 35

E. Pelaporan Transaksi Keuangan ... 36

F. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).. ... 42

III.METODE PENELITAN A. Pendekatan Masalah ... 44

B. Sumber dan Jenis Data ... 45

C. Penentuan Populasi dan Sampel ... 45

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 48

(7)

B. Faktor Kriminologis Penyebab Kejahatan Pencucian Uang dalam Sistem Perbankan ... 52 C. Upaya Pemberantasan Kejahatan Pencucian Uang dalam Sistem Perbankan ... 59 V. PENUTUP

A. Simpulan ... 86 B. Saran ... 87

(8)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kegiatan pencucian uang secara universal telah digolongkan sebagai suatu kejahatan, bahkan karena modus operandinya yang umum bersifat lintas batas

(cross boarder), maka pencucian uang telah di anggap sebagai kejahatan internasional (international crime). Istilah dalam Bahasa Indonesia pencucian uang ini sering juga diterjemahkan dengan istilah pemutih uang. Uang yang diputihkan tersebut adalah hasil dari kejahatan misalnya uang hasil dari jual beli narkotika atau hasil korupsi, sehingga diharapkan setelah pemutihan atau pencucian tersebut, uang tadi tidak terdeteksi lagi sebagai uang hasil kejahatan dan telah menjadi uang seperti uang-uang lainnya1.

Respon masyarakat terhadap kejahatan pencucian uang menyoroti pada sektor jasa penyedia keuangan dalam hal ini salah satunya adalah sektor perbankan. Penyedia jasa keuangan bank mempunyai kedudukan strategis dalam mencapai stabililitas sistem keuangan Negara, di samping itu juga perbankan bisa saja dijadikan salah satu entry point (pintu masuk) bagi pelaku kejahatan dan penjarah bank berbaju bankir, dalam melakukan aksinya kejahatannya. Oleh sebab itu, pemerintah secara terus-menerus meningkatkan usaha-usaha pencegahan dan pemberantasan

1

(9)

kejahatan di bidang perbankan seperti kejahatan pencucian uang (money laundering). Sehububngan dengan hal di atas menurut Doddy Wuryanto menjelaskan bahwa:

“...dalam konteks regulasipun dimulai adanya pembaharuan, karena pada masa sebelumnya regulasi atau peraturan peraturan yang ada masih lemah dalam upaya pemberantasan kejahatan pencucian uang (money laundering). Sebagai kebijakan Pemerintahan S.B.Y. mengeluarkan Undang-undang Nomor 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang menggantikan undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang pidana pencucian uang yang di harapkan mampu memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana pencucian uang (money laundering) yang sangat merugikan keuangan Negara atau perekonomian negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya2”.

Kejahatan pencucian uang (money laundering) berdasarkan ketentuan Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dijelaskan sebagai jenis kejahatan atau segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur kejahatan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, bahkan dalam bagian pertimbangan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang menjelaskan bahwa kejahatan pencucian uang memerlukan landasan hukum yang kuat untuk menjamin kepastian hukum, efektivitas penegakan hukum, serta penelusuran dan pengembalian harta kekayaan hasil kejahatan.

Para pelaku kejahatan memiliki berbagai modus yang dilakukan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan hasil kejahatan, salah satunya adalah dengan memasukkan hasil kejahatan tersebut ke dalam

2

(10)

sistem keuangan (financial system), terutama ke dalam sistem perbankan. Dengan demikian asal usul harta kekayaan tersebut tidak dapat dilacak oleh penegak hukum. Modus inilah yang disebut dengan pencucian uang atau money laundering3.

Ketentuan dalam hukum pidana nasional, kejahatan pencucian uang termasuk dalam bentuk-bentuk penyertaan (deelneming/compility) setelah terjadi kejahatan. Selain itu pula beberapa delik yang mengalami perubahan akibat perkembangan yang tumbuh di masyarakat, juga terdapat delik yang di rasa sangat menghambat jalannya pembangunan dan hingga kini sulit menanggulanginya yaitu sebagai contoh pencucian uang, yang dimaksud perkembangan di sini adalah masalah-masalah yang menyangkut perubahan dalam frekuensi, kualitas bentuk delik dan mengenai penerapan hukumnya. Ketentuan penjelasan umum dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang menentukan bahwa:

“Pencucian Uang adalah perbuatan melakukan atau menerima

penempatan, penyetoran, penarikan, pemindahbukuan, pentransferan, pembayaran/membayarkan, membelanjakan, hibah, sumbangan, penitipan, dan/atau penukaran atas sejumlah uang atau tindakan dan/atau kegiatan lain yang berhubungan dengan uang atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah”.

Berdasarkan ketentuan di atas, menjelaskan bahwa kegiatan pencucian uang ini merupakan suatu kejahatan atau aktivitas kriminal dan kegiatan ini memungkinkan para pelaku kejahatan dapat menyembunyikan asal-usul sebenarnya dari suatu dana atau uang hasil kejahatan yang dilakukan. Dana hasil

3

(11)

kejahatan tersebut bergerak melampaui batas yurisdiksi negara dengan memanfaatkan rahasia bank salah satunya, yang umumnya di junjung tinggi oleh perbankan, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 40 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Melalui kejahatan pencucian uang inilah para pelaku akhirnya menikmati dan menggunakan hasil kejahatannya secara bebas seolah-olah tampak sebagai hasil kegiatan yang sah/legal.

Indonesia dalam hal tindak pidana ekonomi ini selalu berada pada peringkat atas. Bila ditelaah Pasal 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, salah satu dari 24 item harta kekayaan yang di peroleh dari kejahatan itu adalah korupsi plus kejahatan lainnya yang di ancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih. Selain itu Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang mudah bagi para launder

melakukan pencucian uang. Bahkan media massa sempat menyebut bahwa Indonesia sarang pencucian uang4.

Contoh kasus-kasus yang terkait dalam kejahatan pencucian uang yang telah diputus yaitu perkara atas nama terdakwa Visca Lovitasari (adik Melinda Dee) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mana pihak Pengadilan Tinggi DKI memperkuat hasil putusan yang diberikan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pada tanggal 12 Agustus 2012. Dalam putusan disebutkan bahwa Visca tetap dinyatakan bersalah melakukan pencucian uang dan divonis 2 tahun 10 bulan penjara dan denda Rp 200 juta subsider 2 bulan. Dalam Kasus ini, Majelis Hakim menilai Visca yang merupakan adik kandung Malinda Dee ini,

4

(12)

diduga mengetahui dana yang masuk ke rekening BCA miliknya bukan berasal dari Melinda. Melainkan berasal dari Rohli bin Pateni, N. Susetyo Sutadji dan Suryatu T. Budiman yang merupakan nasabah Citibank. Terdakwa dinyatakan bersalah oleh Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta selatan, dengan melanggar Pasal 6 Ayat (1) huruf a, b, d, f dan Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang5.

Selain kasus di atas juga terdapat kasus lain yakni terdakwa Toto Kuncoro sebagai tersangka kasus pencucian uang dari penjualan aset Bank Century ke Yayasan Fatmawati. Perkara tersebut disidangkan pada bulan 15 Agustus 2012, terdakwa Toto Kuncoro merupakan salah satu direktur PT Graha Nusa Utama (GNU) yang merupakan perusahaan yang membawahi Yayasan Fatmawati dijerat Pasal 6 Ayat (1) huruf a b c, UU korupsi dan Pasal 3 Ayat (1) UU Pencucian Uang setelah pengurus Yayasan Fatmawati melaporkan penerimaan dana Rp 25 miliar dari Robert Tantular ke Mabes Polri. Yayasan Fatmawati tidak ingin setoran dana dari mantan pemilik Century itu dianggap sebagai money laundering6.

Berdasarkan contoh kasus-kasus di atas menjadi pertanyaan besar, mengapa bisa terjadi, tentu bisa dilihat bahwa pelaku bisa melakukan kejahatan pencucian uang melalui sistem keuangan. Salah satu lembaga yang menggunakan sistem keuangan adalah penyedia jasa keuangan bank yang rentan dengan masuknya uang hasil dari suatu kejahatan tersebut, dengan tahapan awal atau dikenal dengan placement ini suatu kejahatan pencucian uang bisa saja terjadi. Tahapan placement ini adalah

5

Index berita. http//:www.hukumonline.com, akses3 Agustus 2012, 20:15 WIB

6

(13)

upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu kegiatan kejahatan ke dalam sistem keuangan dalam bank.

Negara Indonesia menganut sistem devisa bebas yang berarti bahwa setiap orang boleh saja memiliki, memindahkan, menyimpan uang sepanjang uang itu halal dan tidak terkait kejahatan pencucian uang. Tentunya di sini upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan pencucian uang tidak terlepas pada sistem perbankan dan itu pun tidak luput dari keikutsertaan orang-orang didalamnya itu sendiri.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis hendak

melakukan penelitian yang hasilnya akan dijadikan skripsi dengan judul “Analisis Kriminologis terhadap Kejahatan Pencucian Uang dalam Sistem Perbankan”.

B. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:

a. Apakah faktor kriminologis penyebab kejahatan pencucian uang dalam sistem perbankan?

(14)

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian skripsi ini terbatas pada kajian bidang kriminologi dan hukum pidana khususnya hanya terbatas pada faktor kriminologis penyebab kejahatan pencucian uang dalam sistem perbankan serta upaya penanggulangan kejahatan pencucian uang dalam sistem perbankan. Ruang lingkup penelitian skripsi ini adalah pada wilayah hukum Perbankan yakni meliputi Bank BUMN dan Bank Swasta Nasional di Bandar Lampung.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui faktor kriminologis penyebab kejahatan pencucian uang dalam sistem perbankan.

b. Untuk mengetahui upaya pemberantasan kejahatan pencucian uang dalam sistem perbankan.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis:

a. Kegunaan Teoritis

(15)

dengan beberapa permasalahan tentang analisis kriminologis terhadap kejahatan pencucian uang dalam sistem perbankan.

b. Kegunaan Praktis

Hasil penulisan skripsi ini diharapkan dapat berguna bagi masyarakat dan bagi aparatur penegak hukum dalam memperluas serta memperdalam ilmu hukum khususnya ilmu hukum pidana dan juga dapat bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya dan bagi aparatur penegak hukum pada khususnya untuk menambah wawasan dalam berfikir dan dapat dijadikan sebagai masukan dalam rangka pembaharuan hukum pidana.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti 7.

Adapun teori-teori yang berkaitan dalam penelitian ini adalah mencakup teori sebab-sebab kejahatan (crime causation), teori kejahatan dalam ilmu kriminologis (kriminology of delinquency), serta teori pencegahan (preventive) dan penanggulangan kejahatan (represive).

Sebab-sebab timbulnya kejahatan oleh seseorang (crime causation) yang mendorong seseorang melakukan kejahatan atau latar belakang dilakukannya

7

(16)

perbuatan itu, dengan perkataan lain perlu diketahui motivasinya. Menurut Tolib Setiady menjelaskan bahwa motivasi adalah dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu perbuatan dengan tujuan tertentu. Motivasi sering juga diartikan sebagai usaha-usaha yang menyebabkan seseorang atau kelompok tertentu tergerak untuk melakukan suatu perbuatan karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau membuat kepuasan dengan perbuatannya8.

Menurut Lilik Mulyadi, menyatakan bahwa bentuk faktor kriminologis penyebab kejahatan pencucian uang dalam sistem perbankan banyak yang dipicu dari lemahnya sistem perbankan baik itu dari Bank Indonesia maupun pada Penyedia Jasa Keuangan Bank sehingga para pelaku kejahatan terdorong untuk melakukan pencucian uang9.

Secara teoritis, menurut Lilik Mulyadi dalam teorinya menjelaskan bahwa faktor kriminologis penyebab kejahatan pencucian uang dalam sistem perbankan banyak yang dipicu dari hal-hal sebagai berikut:

1) Lemahnya sistem perbankan

2) Faktor Internal dari Penyedia Jasa Keuangan Bank itu sendiri

3) Mentalitas dari karyawan atau pegawai Bank yang masih kurang tegas 4) Ketidakefektifan Skala usaha Bank

5) Ketidaksiapan dalam penerapan prinsip mengenal nasabah dari Bank10

8

Tolib Setiady. Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia. Alfabeta. Bandung. 2010. hlm. 182

9

Lilik Mulyadi. Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia: Normatif, Teoritis, Praktik dan Masalahnya. Alumni. Bandung. 2007. hlm. 34

10

(17)

Sistem perbankan mempunyai kedudukan yang sebenarnya merupakan wadah yang berisi hak dan kewajiban tertentu. Sedangkan hak dan kewajiban adalah merupakan peran (role), dengan demikian seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu disebut sebagai pemegang peran (role occupant), suatu hak adalah kewenangan yang dialah menanggung beban atau tugas yang harus di emban.

Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief menjelaskan bahwa:

“...bahwa hak merupakan role atau peran yang bersifat fakultatif. Kewajiban adalah role atau peranan yang sifatnya imperatif, karena tidak boleh tidak harus dilaksanakan”11.

Usaha pemberantasan kejahatan pencucian uang atau penyimpangan lainya pencegahan dapat berarti usaha perubahan yang positif. Sehubungan dengan pemikiran itu, maka dalam rangka mengubah perilaku kriminal, harus mengubah lingkungan (abstrak dan kongkrit) dengan mengurangi hal yang mendukung perbuatan kriminal (tidak merehabilitasi si pelaku kriminal). Usaha pencegahan kriminalitas tergantung dua aspek perbaikan lingkungan diatas yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi sehubungan dengan perilaku akan dikembangkan suatu titik dimana perilaku menyimpang itu yang utama di awasi12.

Sehubungan dengan pemberantasan kejahatan pencucian uang yang terjadi di Indonesia, dalam upaya pencegahan dapat dikaji dalam dua teori pencegahan pencegahan kejahatan yakni :

11

Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. 2010. hlm. 32

12

(18)

1) Prevensi/pencegahan umum (Generale Preventie)

Prevensi umum menekankan bahwa tujuan pencegahan kejahatan adalah untuk mempertahankan ketertiban masyarakat dari gangguan penjahat. Pengaruh pidana ditujukan terhadap masyarakat pada umumnya dengan maksud untuk menakut-nakuti. Artinya pencegahan kejahatan yang ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan kejahatan 13.

Menurut Johan Andreas terdapat tiga bentuk pengaruh dalam pengertian prevensi umum, yaitu :

1. Pengaruh pencegahan;

2. Pengaruh untuk memperkuat larangan-larangan moral;

3. Pengaruh untuk mendorong suatu kebiasaan perbuatan patuh terhadap hukum14

2) Prevensi/pencegahan khusus (speciale preventie)

Prevensi khusus dimaksudkan pengaruh pidana ditujukan terhadap pelaku kejahatan, yang menekankan tujuan pencegahan adalah agar pelaku kejahatan tidak mengulangi perbuatanya lagi. Fungsinya untuk mendidik dan memperbaiki pelaku kejahatan untuk menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna, sesuai dengan harkat dan martbatnya. Teori pencegahan khusus ini dikenal pula dengan sebutan reformation atau rehabilitationtheory15.

13

Ninik Widiyanti dan Yulius Waskita Op cit. hlm. 156

14

Ninik Widiyanti dan Yulius Waskita Op cit. hlm. 158

15

(19)

Upaya pemberantasan kejahatan pencucian uang dalam sistem perbankan di Indonesia dilaksanakan secara menyeluruh yakni dimulai dari penyedia jasa keuangan bank dalam melaksanakan perananya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Penyedia jasa keuangan perbankan dalam mencegah tindak pidana pencucian uang meliputi:

a) Identifikasi nasabah dengan teliti dan setiap transaksi keuangan mencurigakan b) Laporan berkala kepada PPATK

c) Audit perbankan

d) Koordinasi kepada penyidik, penuntut umum, dan hakim16.

Langkah penting yang di ambil untuk mencegah dan memberantas kejahatan pencucian uang, yakni di mulai dari sejak dini yaitu dari pintu masuk adanya kegiatan sistem keuangan yakni lembaga perbankan. Untuk itu diperlukan usaha yang optimal dalam mencegah kejahatan pencucian uang.

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang mengambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang merupakan kumpulan dalam arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin tahu akan diteliti17.

Adapun konseptual yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

16

Ninik Widiyanti dan Yulius Waskita Op cit. hlm. 165

17

(20)

a. Analisis

Menurut penjelasan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan18.

b. Kriminologis

Kriminiologis merupakan ilmu yang mempelajari tentang tindakan kejahatan, yaitu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, untuk dinyatakan sebagai kejahatan, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat19.

c. Kejahatan

Strafbaar feit Crime (perbuatan kejahatan) sebagaimana yang diungkapkan oleh Moeljatno adalah suatu perbuatan kejahatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut20.

d. Pencucian Uang

Pencucian Uang adalah perbuatan melakukan atau menerima penempatan, penyetoran, penarikan, pemindahbukuan, pentransferan, pembayaran /

18

Tim Penyusun Kamus. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai pustaka. Jakarta. 1997. hlm. 32

19

Anthon F Susanto. Teori Hukum. Reflika Aditama. Bandung. 2010. hlm. 149

20

(21)

membayarkan, membelanjakan, hibah, sumbangan, penitipan, dan/atau penukaran atas sejumlah uang atau tindakan dan/atau kegiatan lain yang berhubungan dengan uang atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil kejahatan dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah21.

e. Sistem Perbankan

Sistem Perbankan adalah suatu jaringan sistem di bidang keuangan/financial atau jasa lainya yang terkait dengan keuangan termasuk kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usaha tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelolahan reksa dana, kustodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagangan valuta asing, dana pensiun, perusahaan asuransi dan kantor pos22.

f. Bank

Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak23.

21

Ketentuan penjelasan umum Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang

22

Ketentuan penjelasan umum Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

23

(22)

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini bertujuan agar lebih memudahkan dalam memahami penulisan skripsi ini secara keseluruhan. Sistematika penulisannya sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang penulisan. Dari uraian latar belakang ditarik suatu pokok permasalahan dan ruang lingkupnya, tujuan dan kegunaan dari penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta menguraikan tentang sistematika penulisan. Dalam uraian bab ini dijelaskan tentang kejahatan pencucian uang dalam sistem perbankan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

(23)

III. METODE PENELITIAN

Bab ini memuat pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan dan pengolahan data serta tahap terakhir yaitu analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan pembahasan tentang berbagai hal yang terkait langsung dengan pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu untuk mengetahui faktor kriminologis penyebab kejahatan pencucian uang dalam sistem perbankan dan upaya penanggulangan kejahatan pencucian uang dalam sistem perbankan.

V. PENUTUP

(24)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Mengenai Kejahatan Pencucian Uang

1. Sejarah Perkembangan Kejahatan Pencucian Uang di Indonesia

Secara teoritis etimologis, pada saat Convention Against Illicit Tranfic in Economic (Vienna Convention, PBB) pada tahun 1988, negara Indonesia sebetulnya terlambat dalam menyusun undang-undang anti pencucian uang, sebab konvensi ini pada saat itu mengundangkan antara lain mewajibkan negara yang sudah menandatangani untuk segera meratifikasi dan membuat Undang-Undang Anti Pencucian Uang di negara-negaranya. Di lain pihak pada pertemuan tingkat tinggi G-7 tahun 1989 di Paris, Financial Action Task Force (yang selanjutnya disebut FATF) terbentuk, FATF di bentuk untuk memandu dan mendorong penyusunan kebijakan nasional dan internasional untuk membasmi pencucian

uang dan pendanaan teroris. FATF adalah sebuah badan multidisiplin yang

mengadakan pertemuan beberapa kali setiap tahunnnya yang melibatkan ahli

masalah hukum, keuangan dan penegakan hukum. Selain mengawasi status dan

(25)

pencucian uang, teknik pendanaan teroris dan cara untuk melawannya, serta

mendorong penyusunan instrumen-instrumen global yang sesuai1.

Wilayah Asia Pasifik terdapat the Asia Pacific Group on Money Laundering

(yang selanjutnya disebut APG) yaitu badan kerjasama internasional dalam pengembangan anti money laundering regime yang didirikan pada tahun 1997.

Indonesia meratifikasi konvensi tersebut tahun 1997, jadi secara moral semestinya sudah menyiapkan undang-undang pencucian uang sejak saat itu. Awal pemikiran agar Indonesia memiliki undang-undang tentang pencucian uang sudah muncul dari sejak zaman orde baru mulai berkuasa. Namun pada waktu itu terdapat pendapat yang kuat dari kalangan pemerintah, terutama dari para menteri ekonomi, seperti Widjojo Nitisasro dan kawan-kawan, yang menentang keras diberlakunya undang-undang peraturan anti pencucian uang, dengan alasanya bahwa Indonesia masih sangat membutuhkan dana dari luar negeri untuk pembangunan, dikhawatirkan apabila anti pencucian uang ini diberlakukan maka penanaman modal asing akan terhambat masuk ke Indonesia 2.

Indonesia menjadi anggota APG pada tahun 1997 dan Indonesia baru menyusun undang-undang setelah tahun 2001 sehingga negara Indonesia dimasukkan ke dalam daftar negara tak kooperatif dalam membasmi kejahatan pencucian uang yang atau non-cooperative countries and territories (yang selanjutnya disebut NCCTs) karena Indonesia di tuding sebagai muaranya money laundering oleh satuan tugas internasional yang bertugas melawan kegiatan pencucian uang atau FATF. Dan akhirnya Indonesia berhasil mengundangkan Undang-Undang Nomor

1

Evi Hartanti. Tindak Pidana Pencucian Uang. Sinar Grafika. Jakarta. 2005. hlm. 21

2

(26)

15 Tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang dengan dibentuknya Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (yang selanjutnya disebut PPATK) sebagai lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan kesewenangannya untuk mencegah dan memberantas kejahatan pencucian uang. Akan tetapi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 ini dinilai oleh masyarakat internasional, khususnya FATF belum memenuhi standar internasional sebagaimana yang di maksud dalam The Forty Recommendations dari FATF. Sehingga Indonesia masih di anggap sebagai negara tak kooperatif dalam membasmi kejahatan pencucian uang. Indonesia pada saat itu seharusnya sudah dikenakan sanksi counter-measures (tindakan balasan) oleh FATF. Namun, berkat lobi dari Departemen Luar Negeri serta bantuan bimbingan dari negara tetangga, seperti Jepang dan Australia, dalam pertemuan paripurna FATF, 18-20 Juni di Berlin Jerman, sanksi tersebut tidak dikenakan kepada negara Indonesia, hal ini juga ditandain dengan dikirimnya surat tanggal 3 juli 2002 oleh presiden FATF, Joehen Sanio kepada pemerintah Indonesia. Isi surat tersebut meminta agar pemerintah Indonesia mengamandemenkan 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang dinilai masih banyak kelemahan artinya Indonesia masih diberi kesempatan untuk menunjukkan perbaikan yang signifikan3.

Menanggapi desakan untuk mengamandemenkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tersebut, akhirnya pemerintah membentuk tim yang ditugasi untuk menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang tersebut sehingga terbentuklah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

3

(27)

2. Pengertian Pencucian Uang

Kegiatan pencucian uang secara universal telah digolongkan sebagai suatu kejahatan. Bahkan, karena modus operandinya yang umum bersifat lintas batas

(cross boarder), maka pencucian uang telah di anggap sebagai kejahatan internasional (international crime). Kejahatan pencucian uang di atur secara internasional. Seperti terlihat dalam Pasal 3 Ayat (1) United Nations Convention

(Konvensi PBB) yang menyebutkan bahwa Pencucian Uang adalah setiap tindakan yang dilakukan dengan sengaja dalam hal-hal sebagai berikut :

a. Konversi atau pengalihan barang, yang diketahui bahwa barang tersebut berasal dari kegiatan kriminal atau ikut berpartisipasi terhadap kegiatan tersebut, dengan tujuan untuk menyembunyikan sifat melawan hukum dari barang tersebut, ataupun membantu seseorang yang terlibat sebagai perantara dalam kegiatan tersebut untuk menghilangkan konsekuensi hukum dari kegiatan tersebut.

b. Menyembunyikan keadaan yang sebenarnya, sumbernya, lokasi, pengalihan, pergerakan, hak-hak yang berkenaan dengan kepemilikan atau barang-barang, dimana yang bersangkutan mengetahui bahwa barang tersebut berasal dari kegiatan kriminal, atau ikut berpartisipasi dalam kegiatan tersebut.

c. Perolehan, penguasaan atau pemanfaatan dari barang-barang, dimana pada waktu menerimanya, yang bersangkutan mengetahui bahwa barang tersebut berasal dari tindakan kriminal atau ikut berpartisipasi dalam kegiatan tersebut

d. Segala tindakan partisipasi dalam kegiatan untuk melaksanakan percobaan untuk melaksanakan, membantu, bersekongkol, memfasilitasi, memberikan nasihat terhadap tindakan-tindakan tersebut diatas.

(28)

hasil dari jual beli narkotika atau hasil korupsi, sehingga diharapkan setelah pemutihan atau pencucian tersebut, uang tadi tidak terdeteksi lagi sebagai uang hasil kejahatan dan telah menjadi uang seperti uang-uang bersih lainnya4.

Pencucian uang merupakan kejahatan, sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang menyebutkan bahwa yang merupakan tindak pidana terdapat dalam bab II yang terdiri dari 5 lima Pasal yaitu Pasal 3 sampai Pasal 7.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang menyebutkan bahwa yang tergolong ke dalam kejahatan pencucian uang adalah setiap tindakan atas harta kekayaan hasil kejahatan yang disebutkan khusus dalam undang-undang tersebut, yakni berupa tindakan sebagai berikut:

1) Menempatkan kekayaan hasil tindak pidana 2) Mentransfer kekayaan hasil tindak pidana

3) Membelanjakan atau menyumbangkan kekayaan hasil tindak pidana 4) Menghibahkan atau menyumbangkan kekayaan hasil tindak pidana 5) Menitipkan kekayaan hasil tindak pidana

6) Membawa keluar negeri kekayaan hasil tindak pidana

7) Menukarkan atau perbuatan lainya atas kekayaan hasil tindak pidana 8) Menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran,

penghibahan, sumbangan, penitipan, dan penukaran atas kekayaan hasil tindak pidana

9) Melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidan pencucian uang.

4

(29)

3. Tahap-Tahap dari Aktivitas Kejahatan Pencucian Uang

Berdasarkan keputusan kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan No.2/1/Kep.PPATK/2003 tentang Pedoman Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang bagi Penyedia Jasa Keuangan tahap-tahap dari aktivitas pencucian uang adalah :

a. Sekalipun terdapat berbagai macam modus operandi pencucian uang, namun pada dasarnya proses pencucian uang dapat dikelompokkan kedalam tiga tahap kegiatan, yaitu:

1). Placement adalah upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu kegiatan kejahatan ke dalam sistem keuangan. Bentuk kegiatan ini antara lain:

a) Menempatkan dana pada bank. Kadang-kadang kegiatan ini diikuti dengan pengajuan kredit/pembiayaan.

b) Menyetorkan uang pada penyedia jasa keuangan sebagai pembayaran kredit untuk mengaburkan audit trail.

c) Menyelundupkan uang tunai dari suatu negara ke negara lain.

d) Membiayai suatu usaha yang seolah-olah sah atau terkait dengan usaha yang sah berupa kredit/pembiayaan, sehingga mengubah kas menjadi kredit/pembiayaan.

e) Membeli barang-barang berharga yang bernilai tinggi untuk keperluan pribadi, membelikan hadiah yang nilainya mahal sebagai penghargaan/hadiah kepada pihak lain yang pembayarannya dilakukan melalui penyedia jasa keuangan.

(30)

menghilangkan jejak sumber dana tersebut. Bentuk kegiatan ini antara lain:

a) Transfer dana dari satu bank ke bank lain dan atau antar wilayah/negara.

b) Penggunaan simpanan tunai sebagai agunan untuk mendukung transaksi yang sah.

c) Memindahkan uang tunai lintas batas negara melalui jaringan kegiatan usaha yang sah maupun shell company.

3). Integration adalah upaya menggunakan harta kekayaan yang telah tampak sah, baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai bentuk kekayaan material maupun keuangan, dipergunakan untuk membiayai kegiatan bisnis yang sah, ataupun untuk membiayai kembali kegiatan kejahatan. Dalam melakukan pencucian uang, pelaku tidak terlalu mempertimbangkan hasil yang akan diperoleh, dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan, karena tujuan utamanya adalah untuk menyamarkan atau menghilangkan asal-usul uang sehingga hasil akhirnya dapat dinikmati atau digunakan secara aman.

Ketiga kegiatan tersebut di atas dapat terjadi secara terpisah atau simultan, namun umumnya dilakukan secara tumpang tindih.

(31)

kejahatan (Keputusan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Nomor 2/1/KEP.PPATK/2003 tentang Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang).

Menurut Yunus Husein, pemanfaatan bank dalam kejahatan pencucian uang dapat berupa :

1) Menyimpan uang hasil tindak pidana dengan nama palsu

2) Menyimpan uang hasil tindak pidana dalam bentuk deposito/tabungan/ rekening/giro

3) Menukar pecahan uang hasil kejahatan dengan pecahan lainya yang lebih besar atau kecil

4) Bank yang bersangkutan dapat diminta untuk memberikan kredit kepada nasabahnya pemilik simpanan dengan jaminan uang yang disimpan pada bank yang bersangkutan

5) Menggunakan fasilitas transfer atau EFT (Electronic Fund Transfer)

6) Melakukan transaksi ekspor impor fiktif dengan mengunakan sarana Letter of credit dengan memalsukan dokumen-dokumen yang dilakukan bekerja sama dengan oknum pejabat terkait

7) Pendirian/pemanfaatan bank gelap5.

B. Tinjauan Umum Mengenai Perbankan

1. Bank dan Perbankan

Menelaah sejarah dari terminologi bank, menurut Supriyadi Widodo Eddyono dan Zainal Abidin menyatakan dapat temukan bahwa kata bank berasal dari bahasa Italy banca, yang berarti bence, yaitu suatu bangku tempat duduk. Sebab, pada zaman pertengahan, pihak bankir Italy yang memberikan pinjaman-pinjaman

5

(32)

melakukan usahanya tersebut dengan duduk di bangku-bangku di halaman pasar. Black’s Law Dictionary, bank dirumuskan sebagai berikut 6:

“A bank is an institution, usually incorporated, whose business it is to

receive money on deposit, cash checks or drafts, discount commercial paper, make loans, and issue promissory notes payable to bearer, known as bank notes. American commercial banks fall into two main categories; state chartered banks and federally chartered national banks”.

Sebuah bank adalah lembaga, biasanya dimasukkan, yang bisnis itu adalah untuk menerima uang di deposito, cek tunai atau draft, kertas diskon komersial, memberikan pinjaman, dan catatan masalah bayar hutang kepada pembawa, yang dikenal sebagai kertas. Bank-bank komersial Amerika terbagi dalam dua kategori utama; bank carteran

negara dan bank nasional federal charter”.

Rumusan mengenai pengertian bank yang lain, dapat juga ditemui dalam kamus istilah hukum yang menjelaskan bahwa bank adalah suatu lembaga atau orang pribadi yang menjalankan perusahaan dalam menerima dan memberikan uang dari dan kepada pihak ketiga. Berhubung dengan adanya cek yang hanya dapat diberikan kepada bankir sebagai tertarik, maka bank dalam arti luas adalah orang atau lembaga yang dalam pekerjaannya secara teratur menyediakan uang untuk pihak ketiga7.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Bab I, Pasal 1 Ayat (2) menentukan bahwa:

“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk

simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”

6

Doddy Wuryanto et.al. Panduan Rakyat Memberantas Korupsi dan Pencucian Uang, Komite Anti Korupsi. Bandar Lampung. 2010. hlm. 37

7

(33)

Berdasarkan definisi di atas, menurut JJ. Amstrong Sembiring mengelompokkan fungsi bank menjadi tiga yaitu :

1. Bank sebagai lembaga yang menghimpun dana-dana masyarakat atau penerima kredit. Dalam pengertian ini bank menerima dana-dana berupa simpanan dalam bentuk tabungan, deposito berjangka, dan rekening giro. Dengan ini dapat dikatakan bahwa bank melaksanakan operasi perkreditan secara pasif dengan menghimpun dana dari pihak ketiga.

2. Bank sebagai lembaga yang menyalurkan dana dari masyarakat dalam bentuk kredit atau sebagai lembaga pemberi kredit. Dengan ini dapat dikatakan bahwa bank melaksanakan operasi perkreditan secara aktif. 3. Bank sebagai lembaga yang melancarkan transaksi perdagangan dan

pembayaran uang8.

Sebagaimana diketahui, perbankan sebagai lembaga kepercayaan masyarakat memegang peranan penting dalam sistem perekonomian suatu negara, sehingga sering dikatakan bahwa bank merupakan jantung sistem keuangan. Perbankan menerima simpanan dari jutaan orang, pemerintah, dan atau badan usaha milik negara, maupun dari badan-badan usaha swasta. Selanjutnya, perbankan menyediakan dana melalui pemberian pinjaman dan melakukan kegiatan investasi kepada peminjam atau penerima dana baik dari badan usaha milik pemerintah, badan usaha swasta, maupun individual9.

Ketentuan Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dalam Pasal 1 Ayat (2) menyatakan bahwa perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Undang-undang Perbankan tersebut menganut asas perbankan sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 yaitu perbankan Indonesia

8

Doddy Wuryanto et.al. Op cit. hlm. 45

9

(34)

dalam melakukan usahanya berazaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Kemudian dalam penjelasan resmi atas Pasal 2 tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan demokrasi ekonomi, adalah demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Perbankan yang didasarkan kepada demokrasi ekonomi, mempunyai arti bahwa masyarakat harus memegang peranan aktif dalam kegiatan perbankan, sedangkan pemerintah bertindak memberikan pengarahan dan bimbingan terhadap pertumbuhan dunia perbankan sekaligus menciptakan iklim yang sehat bagi perkembangannya 10.

2. Bank Indonesia

Bank Indonesia yang dalam kapasitasnya sebagai bank sentral, mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain dan untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia di dukung oleh tiga pilar yang merupakan tiga bidang tugasnya. Ketiga bidang tugas ini adalah menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi perbankan di Indonesia. Ketiganya perlu di integrasi agar tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah dapat dicapai secara efektif dan efisien, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

10

(35)

3. Pengaturan dan Pengawasan Bank

Bank Indonesia menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu bank, melaksanakan pengawasan bank serta mengenakan sanksi terhadap bank11.

a. Tujuan Pengaturan dan Pengawasan Bank

Pengaturan dan pengawasan bank diserahkan untuk mengoptimalisasikan funsi perbankan Indonesia sebagai :

1) Lembaga kepercayaan masyarakat bank dalam kaitanya sebagai lembaga penghimpun dana penyalur dana;

2) Pelaksana kebijakan moneter;

3) Lembaga yang ikut berperan dalam membantu pertumbuhan ekonomi serta pemerataan12;

Sehubungan dengan hal tersebut, agar terciptanya perbankan sehat, sistem perbankan secara menyeluruh maupun individual, dan mampu memelihara kepentingan masyarakat dengan baik berkembang dan bermanfaat bagi perekonomian nasional, untuk mencapai tujuan tersebut pendekatan yang dilakukan dengan menerapkan yaitu

a) Kebijakan memberikan keleluasaan berusaha (deregusi)

b) Kebijakan prinsip kehati-hatian (prudential banking)

11

Achmad Ali. Hukum Perbankan Di Indonesia (Penyebab dan Solusinya).Ghalia Indonesia. Jakarta. 2006. hlm. 11

12

(36)

Pengawasan bank yang mendorong bank untuk melaksanakan secara konsisten ketentuan intern yang dibuat sendiri (self regulator banking) dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya dengan tetap mengacu kepada prinsip kehati-hatian13.

b. Kewenangan Pengaturan dan Pengawasan Bank

Pengaturan dan pengawasan bank oleh Bank Indonesia meliputi wewenang sebagai berikut :

1) Kewenangan memberi izin (right to incence)

2) Kewenangan untuk mengatur (right to regulate)

3) Kewenangan untuk mengawasi (right to control)

4) Kewenangan untuk mengenakan sanksi (right to impose sanction).

c. Sistem Pengawasan

Menjalankan tugas pengawasan bank, saat ini Bank Indonesia melaksanakan sistem pengawasannya dengan menggunakan 2 pendekatan yakni 14:

1. Pengawasan berdasarkan kepatuhan (Compliance Based Supervision)

Pendekatan pengawasan berdasarkan kepatuhan pada dasarnya menekan pemantauan kepatuhan bank untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang terkait dengan operasi dan pengelolaan bank. Pendekatan ini mengacu pada kondisi bank dimasa lalu dengan tujuan untuk memastikan bahwa bank telah beroperasi dan dikelola secara baik dan benar menurut prinsip-prinsip kehati-hatian.

13

Supriyadi Widodo Eddyono dan Zainal Abidin. Beberapa Model Lembaga Pemberantasan Pencucian Uang. Makalah Focus Group Discussion IIII Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta. 2004. hlm. 52

14

(37)

2. Pengawasan berdasarkan resiko (Risk Based Supervision/RBS)

Pengawasan berdasarkan berdasarkan resiko merupakan pendekatan pengawasan yang berorientasi ke depan (forward looking). Dengan menggunakan pendekatan tersebut pengawasan/pemeriksaan suatu bank difokuskan pada resiko-resiko yang melekat (inherent risk) pada aktivitas fungsional bank serta sistem pengendalian risik (risk control system). Melalui pendekatan ini akan lebih memungkinkan otoritas pengawasan bank untuk proaktif dalam melakukan pencegahan terhadap permasalahan yang potensial timbul di bank.

4. Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer)

Sektor perbankan, inisiatif untuk memerangi pencucian uang secara aktif dan lebih serius di mulai sejak Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah

(38)

Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer) yaitu prinsip yang wajib dilaksanakan bank untuk mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah, melaporkan transaksi yang dikatagorikan mencurigakan15.

Sebagaimana Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer) yang diterapkan itu bertujuan untuk kepatuhan terhadap undang-undang dan ketentuan lainya mengenai penanganan tindak pidana pencucian uang dan juga menghindari dari berbagai resiko perbankan.

5. Kode Etik Bankir Indonesia

Kode Etik adalah suatu Norma atau nilai yang hidup disepakati didalam suatu masyarakat, yang mengandung makna mengenai apa yang boleh dilakukan dan apa yang boleh tidak dilakukan dan apa yang tidak pantas dilakukan. Biasanya terkait dengan moral/moralitas dan tingkah laku16.

Menurut Achmad Ali menjelaskan bahwa Penegakan kode etik dalam arti sempit adalah memulihkan dan kewajiban yang dilanggar, sehingga timbul kesimbangan seperti semula. Bentuk pemulihan itu berupa penindakan terhadap kode etik. Penindakan tersebut meliputi tingkatan berikut :

a. Teguran himbauan supaya menghentikan pelanggaran, dan jangan melakukan pelanggaran lagi.

b. Mengucilkan pelanggar dari kelompok profesi sebagi orang tidak disenangi sampai dia menyadari kembali perbuatannya.

15

Ninik Widiyanti dan Yulius Waskita Op cit. hlm. 133

16

(39)

c. Memberlakukan tindakan hukum undang-undang dengan sanksi-nya yang keras17.

Kode etik bankir Indonesia mengatur 2 etika yaitu: 1. Etika Perbankan

Yaitu Suatu kesepakatan dikalangan bankir tentang suatu norma sopan santun didalm menjalnkan usahanya yaitu berupa prinsip-prinsip moral dan nilai-nilai mengenai hal-hal yang dianggap baik dan hal-hal yang dianggap tidak baik untuk dilakukan. Termsuk mengenai tanggung jawab didalam melaksanakan yang baik dan mencegah yang tidak baik

2. Etika Bankir

Yaitu etika yang harus dihormati dan dijunjung ditinggi oleh mereka yang berfrofesi dibisnis perbakan, khususnya mereka didalam tugas dan tanggung jawabnya tergolong sebagai yang mengelola bisnis perbankan tersebut18.

Kode etik bankir yang dirumuskan oleh Ikatan Bankir Indonesia, ada 9 norma yang harus dipedomani oleh para bankir, yaitu :

1) Seorang bankir patuh dan taat pada ketentuan perundang-undangan dan peraturan yang berlaku.

2) Seorang bankir melakukan pencatatan yang benar mengenai segala transaksi yang bertalian dengan kegiatan bank

3) Seorang bankir menghindari diri dari persaingan yang tidak sehat

4) Seorang bankir tidak menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi 5) Seorang bankir menghindari diri dari keterlibatan pengambilan keputusan

dalam hal terdapat pertentangan kepentingan

6) Seorang bankir menjaga kerahasiaan nasabah dan banknya

7) Seorang bankir memperhitungkan dampak yang merugikan dari kebijakan yang ditetapkan bankanya terhadap keadaan ekonomi, sosial dan lingkungan

17

Achmad Ali. Op cit. hlm. 34

18

(40)

8) Seorang bankir tidak menerima hadiah atau imbalan yang memperkaya diri pribadi maupun keluarganya.

9) Seorang bankir tidak melakukan perbuatan tercela yang dapat merugikan citra profesinya19.

C. Penanggulangan Kejahatan Pencucian Uang

Kejahatan pencucian uang dalam studi masalah kriminologi dapat dikategorikan ke dalam perilaku menyimpang (melanggar norma). Dalam perspektif perilaku menyimpang masalah kriminologi terjadi karena terdapat penyimpangan perilaku dari berbagai aturan-aturan tertulis ataupun dari nilai dan norma sosial yang berlaku. Perilaku menyimpang dapat dianggap sebagai sumber masalah karena dapat membahayakan tegaknya sistem sosial. Penggunaan konsep perilaku menyimpang secara tersirat mengandung makna bahwa ada jalur baku yang harus ditempuh. Perilaku yang tidak melalui jalur tersebut berarti telah menyimpang.

Berkaitan dengan hal tersebut, dalam kajian kriminologi kejahatan penodaan suatu agama sebagai masalah sosial yang bersumber dari sistem sosial terutama dalam pandangan disorganisasi sosial sebagai sumber masalah. Menurut Erzen Hasbullah bahwa seorang dapat menjadi buruk/jelek oleh karena hidup dalam lingkungan yang buruk. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada umumnya pada seseorang yang mengalami gejala disorganisasi dalam lingkungan masyarakat, norma dan nilai sosial menjadi kehilangan kekuatan mengikat. Dengan demikian kontrol sosial menjadi lemah, sehingga memungkinkan terjadinya berbagai bentuk penyimpangan perilaku yang salah satunya yaitu tindak kejahatan.

19

(41)

Hukum pidana mengenal beberapa rumusan pengertian kejahatan atau istilah kejahatan sebagai pengganti istilah Strafbaar Feit Crime. Sedangkan dalam perundang-undangan negara kita istilah tersebut disebutkan sebagai peristiwa pidana, perbuatan pidana atau delik. Kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa disebut dengan istilah crime policy dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas. Menurut Barda Nawawi Arief upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan:

a. Penerapan hukum pidana (criminal law application) b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment)

c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and punishment/mass media)20

Menurut Roeslan Saleh menjelasakan bahwa batas-batas kemampuan hukum pidana sebagai sarana kebijakan kriminologi dalam penanggulangan kejahatan meliputi:

1. Sebab-sebab kejahatan yang demikian kompleks berada di luar jangkauan hukum pidana.

2. Hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (sub-system) dari sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks (sebagai masalah sosio-psikologis, sosio-politik, sosio-ekonomi, sosio-kultural).

3. Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan

kurieren am symptom, oleh karena itu hukum pidana hanya merupakan sarana simptomatik dan bukan sarana kausatif.

4. Sanksi hukum pidana merupakan remedium yang mengandung sifat kontradiktif/paradoksal dan mengandung unsur-unsur serta efek sampingan yang negatif.

5. Sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/personal, tidak bersifat struktural/fungsional.

6. Keterbatasan jenis sanksi pidana dan sistem perumusan sanksi pidana yang bersifat kaku dan imperatif.

20

(42)

7. Bekerjanya/berfungsinya hukum pidana memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi dan lebih menuntut biaya tinggi21.

Secara kriminologis, kejahatan merupakan produk negatif dari masyarakat, sehingga apabila kesadaran hukum telah tumbuh dimasyarakat, kemudian ditambah dengan adanya upaya strategis melalui perpaduan antara sarana penal

dan non penal, maka dengan sendiri tingkat kriminalitas akan turun, upaya perlindungan masyarakat (sosial defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (sosial welfare) akan terwujud.

D. Kewajiban Penyedia Jasa Keuangan

Ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dengan Keputusan Kepala PPATK No.2/1/KEP/PPATK/2003 yang menyebutkan kewajiban penyedia jasa keuangan sebagai berikut :

1. Melaksanakan prosedur identitas nasabah, atau biasa disebut Prinsip Mengenal Nasabah (know your customer principle), yang merupakan prinsip mengenal nasabah sesuai dengan ketentuan yang diterapkan oleh lembaga pengawas masing-masing penyedia jasa keuangan.

2. Menyimpan data dan dokumen mengenai identitas nasabah sampai dengan 5 tahun sejak berakhirnya hubungan usaha dengan penyedia jasa keuangan. Dalam hal ini yang dimaksud dengan identitas antara lain adalah nama, alamat, jenis kelamin, umur dan pekerjaan. Dokumen ini di luar dokumen keuangan yang telah diatur dalam Undang-Undang 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan.

3. Menyampaikan laporan kepada PPATK untuk hal sebagai berikut a. Transaksi keuangan mencurigakan

b. Transaksi keuangan yang dilakukan tunai dalam jumlah kumulatif sebesar Rp 500.000.000,-(lima ratus juta), baik dilakukuan dalam satu kali transaksi dalam satu hari kerja.

21

(43)

4. Bagi penyedia jasa keuangan berbentuk bank, kewajiban pelaporan tersebut diatas dikecualikan dari ketentuan rahasia bank, sehingga bank dan pengawas pelapor tidak melanggar ketentuan rahasia bank.

E. Pelaporan Transaksi Keuangan

Sebagaimana ketentuan dasar kewajiban pelaporan penyedia jasa keuangan tertera Pasal 23 Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menentukan bahwa:

“Penyedia jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a wajib menyampaikan laporan kepada PPATK yang meliputi:

a. Transaksi Keuangan Mencurigakan;

b. Transaksi Keuangan Tunai dalam jumlah paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau dengan mata uang asing yang nilainya setara, yang dilakukan baik dalam satu kali Transaksi maupun beberapa kali Transaksi dalam 1 (satu) hari kerja; dan/atau

c. Transaksi Keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri”.

Ada beberapa jenis laporan yang disampaikan oleh penyedia jasa keungan yaitu:

1. Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (Suspicion Transaction Report)

a. Pengertian Transaksi Keuangan Mencurigakan dan Unsur-Unsurnya

Ketentuan Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menjelaskan bahwa transaksi keuangan mencurigakan adalah:

a. Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola Transaksi dari Pengguna Jasa yang bersangkutan;

(44)

c. Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; d. Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak

Pelapor karena melibatkan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.

Berdasarkan penjelasan ketentuan Pasal 1 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 di atas terdapat unsur-unsur yaitu:

a. Transaksi yang menyimpan dari: 1. Profil

2. Karakteristik

3. Kebiasaan pola Transaksi

b. Transaksi yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan yang wajib dilakukan oleh penyedia jasa keuangan

c. Transaksi keuangan yang dananya diduga berasal dari hasil kejahatan

d. Transaksi keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak Pelapor karena dananya diduga berasal dari hasil kejahatan

Suatu transaksi keuangan apabila telah memenuhi satu atau lebih dari unsur-unsur di atas maka penyedia jasa keuangan wajib menetapkannya sebagai transaksi keuangan mencurigakan dan melaporkannya kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

(45)

a. Tidak memiliki tujuan ekonomis dan bisnis yang jelas.

b. Menggunakan uang tunai dalam jumlah yang relatif besar dan/atau dilakukan secara berulang-ulang di luar kewajaran.

c. Di luar kebiasaan dan kewajaran aktivitas transaksi nasabah.

Berkaitan dengan hal itu, apabila diperlukan penyedia jasa keuangan dapat melakukan klarifikasi atau meminta dokumen pendukung transaksi yang dilakukan oleh nasabah, dalam menetapkan transaksi keuangan mencurigakan. Dalam pelaporan transaksi keuangan mencurigakan, yang menjadi objek kecurigaan lebih dominan pada transaksi itu sendiri, bukan orang atau nasabah yang melakukan transaksi. Penyampaian laporan Transaksi Keuangan mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dilakukan sesegera mungkin paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah penyedia jasa keuangan mengetahui adanya unsur transaksi keuangan mencurigakan.

b. Indikator Transaksi Keuangan Mencurigakan

Mengidentifikasi suatu transaksi keuangan memenuhi satu atau lebih dari unsur-unsur tersebut di atas, penyedia jasa keuangan dapat menggunakan indikator-indikator transaksi keuangan mencurigakan antara lain:

1). Transaksi a. Tunai

(46)

b) Transaksi yang dilakukan dalam jumlah relatif kecil namun dengan frekuensi yang tinggi (structuring).

c) Transaksi dilakukan dengan menggunakan beberapa rekening atas nama individu yang berbeda-beda untuk kepentingan satu orang tertentu (smurfing).

d) Pertukaran atau pembelian mata uang asing dalam jumlah relatif besar. e) Pembelian travellers checks secara tunai dalam jumlah relatif besar. f) Pembelian secara tunai beberapa produk asuransi dalam jangka waktu

berdekatan atau bersamaan dengan pembayaran premi sekaligus dalam jumlah besar yang kemudian diikuti pencairan polis sebelum jatuh tempo.

g) Pembelian efek dengan menggunakan uang tunai, transfer atau cek atas nama orang lain.

b. Transaksi yang tidak rasional secara ekonomis

a) Transaksi-transaksi yang tidak sesuai dengan tujuan pembukaan rekening

b) Transaksi yang tidak ada hubungannya dengan usaha nasabah c) Jumlah dan frekuensi transaksi diluar kebiasaan yang normal

c. Transfer dana

a) Transfer dana untuk dan dari offshore financial centre yang berisiko tinggi (high risk) tanpa alasan usaha yang jelas.

b) Penerimaan transfer dana dalam beberapa tahap dan setelah mencapai akumulasi jumlah tertentu yang cukup besar kemudian ditransfer ke luar secara sekaligus.

c) Penerimaan dan pengiriman dana dalam jumlah yang sama atau hampir sama serta dilakukan dalam jangka waktu yang relatif singkat

(pass-by)

d) Pembayaran dana dalam kegiatan ekspor impor tanpa dokumen yang lengkap.

e) Transfer dana dari atau ke negara yang tergolong berisiko tinggi (high risk)

f) Transfer dana dari atau ke pihak yang tergolong berisiko tinggi (high risk)

g) Penerimaan/pembayaran dana dengan menggunakan lebih dari 1 (satu) rekening baik atas nama yang sama atau atas nama yang berbeda. h) Transfer dana dengan menggunakan rekening atas nama pegawai

(47)

2). Perilaku Nasabah

a) Perilaku nasabah yang tidak wajar pada saat melakukan transaksi (gugup, tergesa-gesa, rasa kurang percaya diri, dan lain-lain)

b) Nasabah atau calon nasabah memberikan informasi yang tidak benar mengenai hal-hal yang berkaitan dengan identitas, sumber penghasilan atau usahanya.

c) Nasabah atau calon nasabah menggunakan dokumen identitas yang diragukan kebenarannya atau diduga palsu seperti tanda tangan yang berbeda atau foto yang tidak sama.

d) Nasabah atau calon nasabah enggan atau menolak untuk memberikan informasi atau dokumen yang diminta oleh petugas penyedia jasa keuangan tanpa alasan yang jelas.

e) Nasabah atau kuasanya mencoba mempengaruhi petugas penyedia jasa keuangan untuk tidak melaporkan sebagai transaksi keuangan mencurigakan dengan berbagai cara.

f) Nasabah membuka rekening hanya untuk jangka pendek saja.

g) Nasabah tidak bersedia memberikan informasi yang benar atau segera memutuskan hubungan usaha atau menutup rekening pada saat petugas penyedia jasa keuangan meminta informasi atas transaksi yang dilakukannya.

(48)

2. Laporan Transaksi Keuangan yang Dilakukan secara Tunai (Cash Transaction Report)

a. Pengertian Transaksi Keuangan yang Dilakukan secara Tunai

Ketentuan Pasal 1 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang menyebutkan transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai adalah transaksi penarikan, penyetoran, atau penitipan yang dilakukan dengan menggunakan uang kertas dan/atau uang logam atau instrumen lain yang dilakukan melalui penyedia jasa keuangan. Penyampaian laporan transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai sesuai dengan Pasal 13 ayat (3) yaitu paling lambat 14 hari kerja terhitung sejak tanggal transaksi dilakukan.

3. Laporan Pembawaan Tunai

Ketentuan Pasal 16 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang menyebutkan untuk setiap orang yang membawa uang tunai berupa rupiah sejumlah Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) atau lebih, atau mata uang asing yang nilainya setara dengan itu ke dalam atau keluar Indonesia Negara Republik Indonesia, harus melaporkan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

(49)

kerja dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai wajib memberitahu kepada PPATK paling lambat 5 hari kerja setelah mengetahui adanya pelanggaran terhadap ketentuan pembawaan tersebut.

4. Laporan Tanpa Perlu Adanya Unsur Kecurigaan

Laporan ini perlu dilaporkan kepada PPATK tanpa perlu adanya unsur kecurigaan dan ini pun terdapat threshold ketentuan Pasal 13 Ayat (1) huruf b dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

F. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) adalah sebuah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan kewenangan dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang yang sesuai dengan ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan PPATK bertanggungjawab langsung kepada Presiden (Pasal 37 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang).

(50)

Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Adapun tentang tugas dan wewenang dari PPATK di atur dalam Pasal 39 sampai Pasal 46 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

(51)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya1.

Pendekatan yang digunakan dalam pembahasan penulisan penelitian ini adalah pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan secara yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara melihat dan menelaah analisis kriminologis terhadap kejahatan pencucian uang dalam sistem perbankan. Selain itu juga pendekatan ini dilakukan melalui penelitian kepustakaan dengan cara mempelajari terhadap hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas hukum, konsepsi, pandangan, peraturan-peraturan hukum serta hukum yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini.

Pendekatan yuridis empiris adalah suatu pendekatan melalui penelitian lapangan yang dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataan baik berupa penilaian, perilaku, pendapat, sikap yang berkaitan dengan analisis kriminologis terhadap kejahatan pencucian uang dalam sistem perbankan.

1

(52)

B. Sumber dan Jenis Data

Jenis data dapat di lihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka.

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber pada dua jenis, yaitu: 1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari observasi di lapangan. Dalam rangka penelitian lapangan terutama yang menyangkut pokok bahasan skripsi ini. Dalam hal ini data diperoleh dengan melakukan wawancara terhadap beberapa petugas perbankan, dan juga Dosen yang terkait dengan analisis kriminologis terhadap kejahatan pencucian uang dalam sistem perbankan.

2. Data Sekunder

Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan cara membaca, mengutip dan menelaah peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen, kamus, artikel dan literatur hukum lainnya yang berkenaan dengan permasalahan yang akan dibahas, yang terdiri dari :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Dalam hal ini bahan hukum primer terdiri dari : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

2. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

Referensi

Dokumen terkait

Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa rerata absorbsi antara kelompok ASI, PASI dan campuran ASI-PASI yang paling cepat adalah kelompok ASI dengan rerata residu sebesar 0,4991 ml,

Berdasarkan hasil penelitian diameter zona ham- bat yang terbentuk terhadap bakteri P.acnes dapat di- kategorikan untuk fraksi etil asetat pada konsentrasi 125,

Salah satu bentuk kecanduan yang ditimbulkan oleh penggunaan internet adalah internet game online /internet game atau biasa dikenal juga dengan online game , yaitu

Peserta dalam kerja praktek ini adalah mahasiswa Jurusan Teknik Material dan Metalurgi , Fakultas Teknologi Industri (FTI), Institut Teknologi

Output yang dimaksud adalah berupa tampilan yang dihasilkan oleh proses sistem pendukung keputusan penerimaan calon siswa baru yaitu berupa laporan data siswa kelas

(Amar, 2000).Berdasarkan uji lanjut DMRT, bahwa perlakuan penambahan ekstrak sari mengkudu dengan perlakuan pemeraman dan tanpa pemeraman mempengaruhi hasil analisa

Landasan Teori dan Program Projek Akhir Arsitektur ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat menempuh kelulusan program Sarjana Arsitektur (1) pada Fakultas

software Aplikasi khusus apotek dengan rencana biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 1.000.000,00 dan indikator keberhasilan yang diharapkan adalah berkurangnya waktu yang diperlukan