• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Kurir Narkotika dalam Tinjauan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kebumen Perkara Nomor 139/Pid.B/2010/PN.Kbm )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Kurir Narkotika dalam Tinjauan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kebumen Perkara Nomor 139/Pid.B/2010/PN.Kbm )"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP KURIR NARKOTIKA DALAM TINJAUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG

NARKOTIKA

(STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI KEBUMEN PERKARA NOMOR 139/Pid.B/2010/PN.Kbm )

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

MUHAMMAD IKHWAN ADABI NIM : 110200561

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP KURIR NARKOTIKA DALAM TINJAUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG

NARKOTIKA

(STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI KEBUMEN PERKARA NOMOR 139/Pid.B/2010/PN.Kbm )

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

MUHAMMAD IKHWAN ADABI NIM : 110200561

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

DISETUJUI OLEH:

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr.M.Hamdan, S.H., M.H. NIP. 195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Edy Yunara, S.H., M.Hum. Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H., D.F.M.

NIP. 196012221986031003 NIP. 196305111989031001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, Karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya serta diberikannya kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus penulis penuhi guna menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum. Skripsi ini berjudul :“PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP KURIR NARKOTIKA DALAM TINJAUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI KEBUMEN PERKARA NOMOR 139/Pid.B/2010/PN.Kbm )”. Penulis menyadari bahwa di dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, yang dikarenakan keterbatasan pengetahuan, kemampuan, wawasan, serta bahan-bahan literatur yang penulis dapatkan. Oleh karena itu penulis mengharapkan segala bentuk kritik dan saran yang bersifat mambangun, dari para pembaca untuk mencapai kesempurnaan dalam tulisan ini.

Pada kesempatan ini dengan rasa hormat dan bahagia penulis ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dan semua pihak yang telah menjadi bagian penting selama penulis menjalankan perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yaitu: 1. Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

(4)

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafrudin Hasibuan, S.H., M.Hum., DFM, selaku Wakil Dekan II sekaligus Dosen Pembimbing II Penulis Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

4. Bapak Dr. O.K, Saidin S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Liza Erwina, SH, M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak Dr. Edi Yunara, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, arahan dan saran-saran dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Ibu Zaidar, S.H., M.Hum., selaku Dosen Wali Penulis yang telah membimbing penulis selama menjalankan perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

9. Seluruh Bapak/Ibu Dosen dan staf Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membantu penulis selama mengikuti perkuliahan.

(5)

Ader, Fadel Hasibuan, Rendra Hanafi, Eci, Ubid, Bang Adam, Eki, Ira, Syarifah Sawan dan Fahri.

11. Teman-teman Stambuk 2011 (dari Reguler sampai PRM) senang bisa mengenal kalian semua dan semua pihak yang tidak mungkin disebutkan namanya satu persatu lagi.

Terimakasih buat Ayah Anwar Daud Pekan, SE dan Ibu Silaturrahmi, Amd yang terkasih dan tercinta karena telah memberikan semangat, doa, rasa cinta dan kasih sayang pada anaknya karena dengan keikhlasan dan ketulusan serta pengorbanannya, semoga anaknya dapat menjadi apa yang diharapkan oleh orang tua. Buat saudara-saudara kandung Fitrah Nabila Dista, Ahmad Farhan Farabi, Caisar Telaga Rahmatillah terima kasih semangat dan dorongannya semoga nantinya kita bisa bersama-sama memperoleh kesuksessan dan membanggakan kedua orang tua kita.

Semoga Allah SWT memberikan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada semua pihak yang telah membantu penulis secara langsung maupun tidak langsung.

Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca dan mahasiswa-mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Medan, 28 Juni 2015 HormatSaya,

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………..i

DAFTAR ISI ... ….iv

ABSTRAK ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ………...…9

C. Tujuan dan Pemanfaatan Penulisan ... 10

D. Keaslian Penulisan ... 11

E. Tinjauan Kepustakaan ... 11

1. Pengertian Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif ... 11

2. Jenis-Jenis Narkotika dan Penggolongan Narkotika ... 14

3. Pengertian Kurir atau Perantara Narkotika ... 23

4. Pengertian Tindak Pidana dan Sanksi Pidana ... 25

F. Metode Penelitian ... 30

G. Sistematika Penulisan ... 32

BAB II PENGATURAN NARKOTIKA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA .... 35

A. Perkembangan Pengaturan Perundang-undangan Narkotika di Indonesia ... 35

B. Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Narkotika ... 42

C. Penyidikan, Penuntunan, dan Pemeriksaan di Persidangan Dalam Tindak Pidana Narkotika ... 52

(7)

A. Kendala-kendala Umum yang Terjadi Dalam Pemberantasan Narkotika di Indonesia Sejak Lahirnya Undang-Undang Nomor

35 Tahun 2009 Tentang Narkotika………. 64

B. Kendala –kendala Dalam Memberantaskan Kurir Narkotika ... 70

BAB IV PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP KURIR NARKOTIKA BERDASARKAN TINJAUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI KEBUMEN NOMOR 139 /Pid.B/2010/PN.Kbm) ... ………..73

A. Penerapan Sanksi PidanaTerhadap Kurir Narkotika ... 73

B. Kedudukan Kurir Anak di Bawah Umur Terhadap Tindak Pidana Narkotika di Indonesia ... 76

C. Analisis Putusan Pengadilan Negeri Kebumen Nomor 130/Pid.B/2010/PN.Kbm ... …..81

1. Posisi Kasus………81

2. Dakwaaan………...82

3. Fakta Hukum………..86

4. Tuntutan Pidana……….87

5. Pertimbangan Hakim……… 88

6. Putusan Hakim ... 91

7. Analisis Kasus ... 91

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 97

A. Kesimpulan ... 97

B. Saran ... 98

(8)

ABSTRAK

Muhammad Ikhwan Adabi * Edi Yunara**

Syafruddin Hasibuan***

Penerapan sanksi pidana terhadap kurir narkotika merupakan salah satu bahagian dari tindak kejahatan narkotika yang saat ini makin berkembang dan terus meningkat, hal ini merupakan suatu permasalahan serius yang belum bisa di antisipasi oleh pemerintah. Meningkatnya kasus pemakaian narkoba ini tidak terlepas dari para gembong mafia narkoba yang melakukan berbagai cara untuk memuluskan operasi barang berbahaya itu. Cara yang efektif untuk melakukan operasinya yaitu memerintahkan seseorang dengan berupa imbalan untuk mengedarkan narkoba, atau dapat disebut dengan kurir atau perantara narkotika. Kurir atau perantara narkotika ini kebanyakan di paksa, di ancam oleh mafia narkoba untuk diedarkan kepada calon pembeli. Perekrutan kurir oleh mafia narkoba berasal dari kalangan yang ekonominya rendah baik itu laki-laki maupun perempuan, bahkan sekarang anak di bawah umur di manfaatkan untuk di jadikan kurir narkoba. Selain kurir yang di paksa untuk melakukan peredaran narkotika, banyak juga untuk menjadi kurir tidak mesti di paksa, bahkan banyak juga yang sukarela demi memenuhi kebutuhan hidupnya.

Adapun yang menjadi permasalahan dalam hal ini yaitu mengenai pengaturan tindak pidana terhadap kurir narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika di Indonesia, apa saja yang menjadi kendala dalam pemberantasan tindak pidana narkotika, serta bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap kurir Narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini yaitu metode penelitian hukum yuridis empirtis. Penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti peraturan perundang-undangan dan hukum yang dikonsepsikan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku masyarakat terhadap apa yang dianggap pantas, serta melihat dan mengkaji bagaimana aturan hukum yang ada diterapkan kepada masayarakat Dalam tulisan ini yaitu yang berkaitan dengan kurir narkotika.

Peredaran gelap narkotika yang menjadikan kurir sebagai pengedarnya merupakan tindak pidana yang serius. Sanksi pidana terhadap kurir ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Untuk penerapan sanksi pidana terhadap kurir anak sudah diatur lebih lanjut di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. Penerapan sanksi pidana terhadap pekerjaan sebagai kurir narkotika mesti terlebih dahulu melihat latar belakang keinginan melakukan pekerjaan kurir ini agar tercipta suatu keadilan bagi masyarakat.

(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kasus narkotika di Indonesia betul-betul berada pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Dimana penggunaan narkotika dapat merusak perekonomian negara, disamping juga generasi muda. Selain itu, yang sangat memprihatinkan bahwa penanganan kasus narkotika tidak pernah tuntas, dari sejumlah kasus yang diungkap hanya 10% yang sampai ke pengadilan, karena menurut ketua umum Granat bahwa peredaran narkotika di Indonesia, khususnya di kota-kota besar dilakukan secara rapi dan terorganisir. Transaksi bisnis barang haram ini pada umumnya disebarkan di tempat-tempat hiburan seperti diskotik, bar, dan karaoke yang banyak dikunjungi para remaja dan orang-orang muda1.

Pemakaian narkoba akan mengakibatkan kecanduan yang akan susah untuk mengembalikan seperti semula. Seseorang yang kecanduan akan melakukan segala cara untuk menghilangkan kecanduannya. Akibatnya, kecanduan ini akan mengakibatkan muncul perilaku-perilaku negatif lainnya seperti mencuri, membunuh, menjadi pengedar narkotika dan lainnya. Hal ini terjadi karena orang yang kecanduan ini akan melakukan berbagai cara untuk mengilangkan candunya yang sesaat itu. Seperti dua contoh kasus sebagai berikut:

1 Moh. Taufik Makarao, Suhasril, H. Moh. Zakky, Tindak Pidana Narkotika , (Jakarta: Ghalia

(10)

Di Sulawesi Tengah, polisi membekuk dua pengedar narkoba, SB dan JA, serta dua pemakai berinisial UM dan GP dalam seminggu operasi pemberantasan penyakit masyarakat. Mereka di tangkap di tempat berbeda di kota palu. Polisi masih mendalami keterlibatan jaringan bisnis haram tersebut. Kepala Polres Palu Ajun Komisaris Besar Basya Radyananda, di Palu, mengatakan bahwa semua pelaku adalah pemain lama, terutama dua pengedar yang selama ini menjadi target aparat. Dari para tersangka aparat menyita sejumlah barang bukti. SB dicokok bersama dengan 87,69 gram sabu. Dari JA polisi menyita enam paket sabu seberat 12,28 gram. Sementara itu dari para pemakai sabu yang disita tak lebih dari 1 gram.2

Selanjutnya tersangka RE alias Mah, 50, warga Jl. Nikel, Kel. Sukaramai II, Kec. Medan Area, mencari nafkah sebagai penjual daun ganja kering di kawasan Rumah Susun Sukaramai, berakhir sudah. Sebab, pada hari Rabu dinihari, tersangka RE diringkus petugas Reskrim Polsek Medan Area. Dari tersangka Mah, petugas menyita 0,5 kilogram daun ganja kering siap edar dan beberapa lembar plastik kecil sebagai barang bukti. Menurut Mah saat di interogasi petugas, awalnya dia hanya sebagai pemakai ganja yang dicampuri dengan lintingan rokok kretek, namun tersangka semakin kecanduan sehingga membeli beberapa paket ganja untuk dikonsumsi sendiri. Karena sering membeli beberapa paket ganja, akhirnya timbul niat untuk menjadi penjual.3

Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan obat/bahan berbahaya yang pada awalnya diperuntukkan dalam hal medis atau pelayanan kesehatan. Seiring berkembangnya zaman penggunaan narkotika sudah disalahgunakan, yaitu untuk

2

(11)

mencari ketenangan dan bersenang-senang tanpa memperdulikan tentang kesehatannya dan seterusnya akan mengakibatkan kematian bagi para pengguna. Penggunaan narkotika yang dulunya identik digunakan oleh kalangan preman dan orang yang tidak berpendidikan kini sudah merambah keseluruh kalangan, baik itu artis, pejabat publik, mahasiswa, pelajar dan lainnya.

Penyalahguna narkotika merupakan hal yang harus ditangani dengan serius karena berakibat pada perilaku atau akhlak seseorang. Suatu bangsa yang dijalankan oleh orang-orang yang memiliki sifat perilaku atau akhlak yang tidak baik akan mengakibatkan rusaknya generasi masa depan bangsa Indonesia. Angka penyalahgunaan narkotika setiap tahunnya terus meningkat dimana pada 2015 jumlah korban penyalahgunaan narkotika akan mencapai angka 5,8 juta jiwa. Saat ini jumlah pengguna atau korban penyalahgunaan narkotika sudah mencapai 4,2 juta orang dan setiap harinya 40-50 jiwa meninggal akibat penggunaan narkotika4.

Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, maka diperlukan perubahan UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, untuk mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana narkotika agar lebih efektif. Maka diundangkanlah UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika yang mengatur lebih rinci mengenai pemanfaatan narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan serta mengatur tentang rehabilitasi medis dan sosial5.

4

m.merdeka.com/peristiwa/pengguna-narkoba-di-indonesia-pada-2015-capai-58-juta-jiwa.html (di akses tanggal 8 april 2015)

5

H.Siswanto.S,”Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika(UU Nomor 35 Tahun

(12)

Perubahan UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika menjadi UU Nomor 35 Tahun 2009 yang dilakukan pemerintah dalam mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika ini tidak cukup. Masyarakat harus ikut berperan aktif dan diberikan kesempatan yang seluas-luasnya dalam hal pencegahan dan pemberantasan narkotika. Kesempatan yang diberikan seluas-luasnya dalam artian tidak berhak melakukan tindakan lain seperti melakukan penangkapan, penahanan, pengeledahan, razia atau memusnahkan Narkotika dan Prekursor Narkotika karena hal tersebut merupakan kewenangan penyidik Badan Narkotika Nasional(pasal 75 UU 35/2009)6.

Tujuan Undang-Undang Narkotika dan Psikotropika adalah menjamin ketersediaan narkotika dan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan, mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, serta memberantas peredaran gelap narkotika dan psikotropika. Perkembangan pengaturan melalui instrumen hukum terhadap keberadaan narkotika dan psikotropika tersebut merupakan suatu siklus yang tidak dapat terpisahkan dengan dinamika perkembangan sosial masyarakat dalam menyikapi keberadaan narkotika dan psikotropika di Indonesia. Masalah narkotika dan psikotropika telah menjadi masalah dunia.Segala usaha dari masing-masing negara secara internal untuk menanggulangi bahaya narkotika dan psikotropika.7

Bahaya narkoba sudah mencengkram Indonesia, saat ini Indonesia menjadi pasar narkoba terbesar di level Asean.8 Tindakan ketat dari aparat keamanan untuk

6

M.hukumonline. com/ klinik/ detail/ lt4f7481c7df82d/ hak-hak – masyarakat – dalam – pemberantasan – kejahatan - narkotika (di akses tanggal 8 april 2015)

7 H.Siswanto.S, Op.Cit,hal 6

(13)

melakukan pengawasan di bandara. Khususnya terhadap warga negara asing yang menjadi kurir narkotika yang dibawa melaui jalur darat, air dan udara ke Indonesia.

Kepolisian Resor Metropolitan Jakarta Utara kembali mengungkap kasus peredaran narkotika. Tim penyidik menahan jaringan pengedar narkotika asal Negeria dengan barang bukti 12 kilogram sabu. Selain menyita sabu seharaga Rp. 15 miliar itu, petugas juga menahan JLO (36), warga Nigeria yang diduga kuat bagian dari jaringan internasional. Seorang kurir, (DM ), (37), pun ditahan. Kepala Polres Metro Jakut Komisaris besar Susetio Cahyadi, Senin (27/7), menuturkan, sabu tersebut disamarkan dengan dimasukkan ke dalam tas wanita. Sebanyak 82 tas berisi sabu dengan berat 1 ons-1,5 ons. Salah seorang tersangka yaaitu DM yang menjad kurir, adalah yang pertama di tangkap. Dari situ, lalu dikembangkan lagi hingga menangkap JLO di kawasan Ganaria, Jakarta Selatan, 9 Juli lalu. Menurut Susetio, sabu dikirim dari Tiongkok oleh Bandar narkotika Nigeria melalui jalur laut. Setelah masuk pelabuhan Tanjung Priok, sabu disimpan di sebuah gudang penyimpanan di wilayah penjaringan, jakarta Utara. 9

Dari contoh kasus di atas bahwa warga negara asing yang menjadi kurir narkotika tidak dapat bermain sendiri.Warga Negara asing ini akan meminta bantuan untuk mengedarkan narkotika di dalam negeri dengan merekrut warga negara Indonesia dengan membuat jaringan kurir yang nanti akan diedarkan di Indonesia.

Tindakan ketat oleh aparat juga harus dilakukan di dalam wilayah Indonesia. Kurir tidak hanya berdatangan dari luar negeri, di Indonesia kurir sangat merajalela, terbukti dari banyaknya kasus di Indonesia mengenai penangkapan kurir itu sendiri.

(14)

Terdakwa MP, 25, warga Blangkejeren, Aceh, diadili di Pengadilan Negeri (PN) Lubuk Pakam bersidang di Pancurbatu, dengan dakwaan kepemilikan 12 kg daun ganja kering sesuai pasal 112 dan 114 KUHP tentang narkotika. Menurut Ralin saksi B Gajah dari Polsek Delitua, terdakwa mengaku disuruh temannya menunggu serang pria yang akan datang mengambil daun ganja kering yang telah di pesan. Kepada petugas, terdakwa mengatakan, dirinya berangkat dari Blangkejeren bersama seorang temannya menuju kota medan. Mereka disuruh seorang pria yang tak dikenal selaku pemilik ganja tersebut berangkat ke medan. Setibanya di medan. Setibanya di Medan, temannya yang sama berangkat dari Aceh, menyuruh terdakwa menunggu di Hotel V Jl. Jamin Ginting. Tidak berselang lama, datang petugas kepolisian mengaku sebagai pembeli lalu menangkap terdakwa. 10

Pembawa 354 kg ganja di hukum penjara seumur hidup oleh majelis hakim dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Medan, Selasa (4/8). Dalam amar putusannya, majelis hakim yang diketuai Jhony mengatakan, terdakwa Yusri Iskandar ( sopir bus PM-TOH) dan Robinson Tambunan (penarik becak) terbukti mealakukan perbuatan menawarkan atau menjual ganja lebih dari satu kilogram sesuai Pasal 114 Ayat (2) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Maria menuntut terdakwa Robinson Tambunan, 49, warga, Jl. Tanjung Anom, Pancurbatu, Deli Serdang, dan Yusri Iskandar, 32, warga Jl. Keutapang Aree, Delima, Aceh Pidie, hukuman mati.11

10

(15)

Dari contoh kasus di atas, peredaran narkotika sudah meluas bahkan hampir ke pelosok negeri, hal ini tidak terlepas dari peran kurir itu sendiri. Kurir sangat dibutuhkan oleh para gembong narkoba untuk melancarkan bisnis haramnya.

Faktor ekonomi atau kemiskinan merupakan salah satu penyebab sebagian orang untuk melakukan pekerjaan kurir. Kemiskinan sangat berpengaruh terhadap kehidupan yang akhirnya akan melakukan kegiatan sebagai kurir narkoba dalam peredaran narkoba jaringan internasional maupun nasional. Penduduk miskin yang terdesak ekonomi akan menempuh jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara ikut serta dalam peredaran narkotika jaringan internasional maupun nasional. Hal ini dimanfaatkan oleh bandar untuk merekrut menjadi kurir narkoba. Dengan adanya anggaran dan fasilitas yang diberikan bandar, maka orang miskin yang direkrut menjadi kurir narkotika betah dan nyaman untuk melakukan kegiatan haram ini. Sulitnya lapangan pekerjaan, Penduduk miskin tanpa mata pencaharian dan penghasilan yang tetap akan memanfaatkan situasi dan kondisi untuk direkrut menjadi kurir narkotika. Karena desakan ekonomi, banyak orang yang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya menempuh jalan yang dilarang oleh undang-undang yaitu menjadi kurir narkotika. Sehingga resiko yang ditimbulkan akibat pekerjaan yang dilakukannya sangat tinggi.12

Tingkat risiko untuk membentuk dan memfasilitasi gaya hidup dan perilaku sosial di masyarakat perkotaan yang kurang beruntung, Mencatat bahwa faktor-faktor seperti kemiskinan, keluarga, dan pengaruh pendidikan bagaimana telat disosialisasikan untuk berperilaku dalam sebuah jalan atau layak dengan cara yang

12

Khoirun Hutapea, Tesis, ”Pola-Pola Perekrutan Penggunaan dan Kegiatan Kurir Dalam

(16)

benar. Dalam komunitas kota, dimana menjual narkoba dianggap dapat menguntungkan peredaran narkoba dalam masyarakat disamakan dengan kerja, sebagai kurir yang menghasilkan uang banyak dalam melakukan peredaran narkotika jaringan internasional maupun nasional yang menarik untuk pekerjaan konvensional. Kerja keras yang membutuhkan konvensional dibandingkan dengan upah sebagai kurir narkotika sangat relatif jauh sekali. Dengan pendidikan rendah dan kurangya keterampilan untuk mendapatkan pekerjaan baik. Kurir dapat terpengaruh untuk direkrut dalam trafiking narkotika jaringan internasional maupun nasional. Karena dianggap sebagai sumber penghasilan yang layak, kurir mampu menghasilkan banyak uang yang meningkatkan citra kurir dan status sosialnya di masyarakat.13

Kebanyakan pekerjaan sebagai kurir yang di desak oleh faktor ekonomi atau kemiskinan, tidak terlepas juga adanya desakan atau ancaman dari gembong narkoba. Ancaman atau desakan yang dilakukan oleh gembong narkoba mengharuskan kurir menjalankan apa yang diperintahkan olehnya. Dan seharusnya dalam penerapan sanksi juga harus dibedakan antara kurir dan gembong narkoba. Hakim juga dalam penjatuhan pidana tidak seharusnya disamakan, hakim harus melihat faktor apa yang melatarbelakangi si kurir dalam melakukan pekerjaannya. Penjatuhan pidana yang sama terhadap kurir dan gembong narkoba membuat tidak tercapainnya suatu keadilan.

Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk mengangkat

judul “PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP KURIR PENGIRIM

NARKOTIKA DALAM TINJAUAN UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2009

(17)

TENTANG NARKOTIKA (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kebumen No. 139/Pid.B/2010/PN.Kbm)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka permasalahan yang diajukan sebagai pokok kajian penulisan skripsi ini penulis rumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan mengenai tindak pidana narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika di Indonesia?

2. Bagaimana Kendala-kendala dalam pelaksanaan pemberantasan Narkotika di Indonesia ?

3. Bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap kurir narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kebumen No. 139/Pid.B/2010/PN.Kbm)?

C. Tujuan dan Pemanfaatan Tulisan

Adapun yang menjadi tujuan penulisan dari penulisan skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui dan mengkaji dampak yuridis dan efektifitas penyalahgunaan

narkotika dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

2. Untuk memberi pengetahuan kepada masyarakat tehadap pekerjaan kurir narkotika yang memiliki resiko yang sangat tinggi serta untuk mengetahui dan mengkaji sanksi yang tepat untuk kurir narkotika.

(18)

1. Secara Teoritis

Penelitian ini di harapkan dapat di gunakan sebagai bahan untuk referensi bagi pengaturan lainnya yang berkaitan. Selain itu dapat menambahkan informasi untuk penanganan perkara tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh kurir dan bahayanya penyalahgunaan narkotika.

2. Secara praktis

Sebagai bahan pedoman bagi para penegak hukum dalam meningkatkan kemampuan untuk menangani perkara penyalahgunaan narkotika, sehingga dengan demikian dapat meningkatkan profesionalisme aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, khususnya yang berkaitan dengan peredaran narkotika.

D. Keaslian penulisan

Setelah melakukan daftar penelusuran skripsi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan kearsipan di Departemen Hukum Pidana, tidak ditemukan adanya

kesamaan judul atau permasalahan yang diangkat oleh penulis yaitu “PENERAPAN

SANKSI PIDANA TERHADAP KURIR PENGIRIM NARKOTIKA DALAM TINJAUAN UU No. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA (STUDI PUTUSAN Nomor 139/Pid.B/2010/PN.Kbm).” Oleh karena itu, tulisan ini merupakan karya asli yang disusun berdasarkan dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, dan ilmiah.

(19)

judul dan permasalahan skripsi ini yang sebelumnya berada di Departemen Fakultas Hukum Pidana USU maka penulis akan mempertanggung jawabkannya.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif (NAPZA)

Napza adalah singkatan dari narkotika, psikotropika dan zat adiktif. Kata narkotika berasal dari bahasa yunani yaitu narke yang berarti terbius sehingga tidak merasakan apa-apa. Ada juga yang mengatakan narkotika berasal dari kata narcissus, sejenis tumbuhan yang mempunyai bunga yang dapat membuat orang menjadi tidak sadar.14

Narkotika menurut Soedjono Dirdjosiswono adalah sejenis zat yang bila dipergunakan (dimasukan dalam tubuh) akan membawa pengaruh terhadap tubuh pemakai, pengaruh tersebut berupa menenangkan, merangsang, dan menimbulkan khayalan-kahayalan (halusinasi).15

Pengertian yang paling umum mengenai narkotika adalah zat-zat atau obat baik dari alam atau sintetismaupun semi sintetis yang dapat menimbulkan ketidaksadaran atau pembiusan. Efek narkotika disamping membius dan menurunkan kesadaran juga mengakibatkan daya khayal/halusinasi serta menimbulkan daya rangsang/stimulan.16

14 Noveryana Saragih, Skripsi, ”Karakteristik Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat adiktif (NAPZA) di Sibolangi

Kabupaten Deli Serdang Tahun 2004-2007 ”, ( Medan : Kearsip Fakultas Kesehatan Masyarakat USU , 2009) hal 23

15

Soedjono Dirdjosiswono, Hukum Tentang Narkotika di Indonesia, (Bandung: Karya Nusantara, 1990), hal.9

(20)

Menurut Undang-Undang No.35 Tahun 2009, yang dimaksud dengan narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilang rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan.

Definisi lain dari Bio, Bea dan Cukai Amerika Serikat dalam buku “Narcotic

Identification Manual”, sebagaimana dikutip Djoko Prakoso, Bambang Riyadi, dan

Mukhsinb dikatakan, bahwa yang dimaksud dengan narkotika ialah candu, ganja, kokain, zat-zat yang bahan mentahnya diambil dari benda-benda tersebut, yakni morphine, heroin, codein, hasisch, cocain. Dan termasuk juga narkotika sintetis yang menghasilkan zat-zat, obat-obat yang tergolong dalam Hallucinogen dan stimulant.17

WHO menyatakan bahwa yang dimaksud dengan psikotropika adalah obat yang bekerja pada atau mempengaruhi fungsi psikis,kelakuan atau pengalaman. Sebenarnya psikotropika baru diperkenalkan sejak lahirnya suatu cabang ilmu farmakologi yakni psikofarmakologi yang khusus memperlajari psikofarmaka (obat-obat yang berkhasiat terhadap susunan syaraf pusat) atau psikotropik.18

Undang-Undang No.5 tahun 1997 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melaui pengaruh selektif pada`susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.19

Definisi lain dari psikotropika adalah suatu zat atau obat,baik alamiah maupu sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoatif melaui pengaruh selektif pada

17

Moh. Taufik Makarao,Suhasril, H. Moh. Zakky, Op.cit., hal 18 18 Noverryana Saragih, Op.cit., hal 23

(21)

susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku.20

Zat adiktif adalah bahan lain bukan narkotika atau psikotropika yang penggunaannya dapat menimbulkan ketergantungan dan kerugian bagi dirinya sendiri atau masyarakat disekelilingnya seperti alkohol, nikotin, kafein dan sebagainya.21

Definisi lain zat adiktif yaitu obat serta bahan-bahan aktif yang apabila dikonsumsi oleh organisme hidup, maka dapat menyebabkan kerja biologi serta menimbulkan ketergantugan atau adiksi yang sulit dihentikan dan berefek ingin menggunakannya secara terus-menerus. Jika dihentikan dapat memberi efek lelah luar biasa atau rasa sakit luar biasa. Zat yang bukan tergolong narkotika dan psikotropika tetapi menimbulkan ketagihan antara lain kopi, rokok, minuman keras, dan lain-lain.22 2. Jenis-Jenis Narkotika dan Penggolongan Narkotika

a. Jenis-Jenis Narkotika

Sebenarnya dalam dunia media istilah “narkotika” itu dimaksudkan hanya

untuk opium dari tanaman papaver dan turunan-turunanya atau zat-zat sintetis pengganti opium saja. Dalam dunia ilmu pengetahuan dan ilmu hukum menjadi luas cakupannya, termasuk kokain dari tanaman koka dan bahan berasal dari tanaman ganja.23

20

Id.m.wikipedia.org/wiki/psikotropika 21

Noverryana Saragih, Op.cit, hal 24

22

Id.m.wikipedia.org/wiki/zat_adiktif

23 Andi Hamzah, Surachman, Kejahatan Narkotika dan Psikotropika, (Jakarta: Penerbit Sinar

(22)

Berikut adalah uraian dari jenis-jenis narkotika yang penting baik berasal dari tanaman maupun obat semi sintetis atau obat sintetis,antara lain:24

1) Tanaman candu (papaver somniferum)

Sudah dikenal lama menghasilkan narkotika alami. Di sekitar abad keempat sebelum masehi diketahui tanaman ini tumbuh subur di kawasan mediterania. Selanjutnya tanaman candu atau poppy, dibudidayakan orang di Asia (Afganistan, Cina, India, Laos, Libanon, Myanmar, Pakistan, Turki),di Amerika (Meksiko) dan di Eropa (Hongaria).

2) Opium mentah

Getah keluar jika buah candu yang bulat telur itu kena torehan. Getah tersebut jika ditampung dan kemudian dijemur akan menjadi opium mentah. Opium mentah itu merupakan bahan untuk membuat candu, yaitu opium masak yang diisap oleh para pemadat sejak dulu. Opium mentah adalah juga bahan untuk

opium medis maupun opium masak untuk dunia kedokteran. 3) Morfin

Alkaloida utama opium dari rumus kimia C7 H19 No3, merupakan obat ampuh penghilang rasa nyeri. Penjualanya dalam bentuk putih, tablet untuk disuntikan, atau cairan untuk disuntikan. Rasanya pahit, tidak berbau, warnannya semakin lama semakin kurang putih. Sekitar 4-21 persen morfin dapat dihasilkan dari opium.

4) Kodein

(23)

Alkaloida opium yang lain yang diperoleh sekitar 0,7-2,5 persen dari opium mentah. Akan tetapi dewasa ini kodein biasanya dibuat dari morfin. Khasiatnya untuk penghilang rasa nyeri yang ringan-ringan yang dijual dalam bentuk tablet atau dicampur dengan aspirin. Ada juga kodein yang dibuat penghilang rasa nyeri untuk di suntikan.

5) Heroin

Bahan semisintetis yang diperoleh dari morfin dengan jalan mengubah susunan kimia opium. Lebih dari seratus tahun yang lalu heroin dibuat untuk pertama kali. Namun kalangan dokter tidak cepat menyadari, bahwa obat-obatan yang mengandung heroin itu kemungkinan dapat menimbulkan ketergantungan. Heroin murni itu berwarna putih bersih, terutama yang dihasilkan di Asia Tenggara, namun untuk pasaran gelap, heroin murni itu dicampur lagi dengan rupa-rupa zat pewarna dan makanan, misalnya cacao.

6) Tanaman Koka (Erythroxylon coca)

Tanaman ini banyak tumbuh di Penggunungan Andes di Amerika Selatan merupakan sumber Alkaloida kokain. Bahan tersebut hanya diambil daun-daunnya. Sudah sejak zaman prasejarah diketahui bahwa orang-orang India Inca yang menghuni kawasan itu senang mengunyah daun-daun koka. Dengan cara begitu mereka dapat menahan rasa lapar dengan daya tahan tumbuh tetap stabil. 7) Kokain Murni

(24)

nikmat, akhirnya kokain murni disalahgunakan. Maka mulailah perdaganggan gelap kokain yang biasa dijual dalam bentuk tepung kristal keputih-putihan, dikenal sebagai cocain hydrochloride. Bahan ini mudah larut dalam air dan tanah panas. Belakangan, crack lebih disenangi oleh mereka yang ketagihan kokain.

8) Tanaman Ganja (cannabis sativa)

Tanaman ini tumbuh liar di kawasan berhawa sedang dan terutama di kawasan tropika. Dibudidayakan orang, karena serat-serat batangnya kuat, bijinya enak untuk campuran makanan, minyaknya berguna untuk bahan pembuat cat. Disamping itu daunnya mengandung zat peransang, demikian juga damarnya yang banyak terdapat dalam bunga bagian atas. Sudah berabad-abad lamanya tanaman ganja digunakan untuk pengobatan tradisional. Selama 150 tahun Terakhir, malahan tanaman ini terdaftar dalam dunia medis barat karena mengandung bahan yang ampuh untuk mengobati pelbagai penyakit fisik maupun psikis.

9) Marihuana atau Mariyuana

Sebutan ini lebih terkenal di Amerika dan Eropa untuk tanaman ganja dan bahan-bahan yang dihasilkannya yang dapat menimbulkan efek psikis. Produk akhir mariyuana antara lain daun ganja kering yang keadaannya mirip daun tembakau sesudah dikeringkan.

10) Hashis

(25)

sesudah dicetak bentuknya bermacam-macam, ada yang seperti kue, ada yang gepeng, ada yang bundar-bundar dengan THC nya sekitar 3 persen.

11) Minyak Hashis

Dihasilkan dari pemrosesan bahan ganja yang berulang-ulang, sehingga menjadi cairan hitam yang mengandung THC sebanyak 20 persen. Oleh karena itu efeknya lebih kuat, dengan satu atau dua tetes saja sama dengan menghabiskan

satu linting („joint”) rokok ganja.

12) Thebain

Thebain adalah narkotika alami. Walaupun susunan kimianya sama dengan morfin dan kodein yang bersasl dari tanaman candu (papaver somniferu), thebain yang dihasilkan dari papaver bracteatum, tanaman candu jenis lain.Lagi pula zat ini berpengaruh lebih sebagai stimulan, dari pada sebagai depressan. Biasanya thebain menjadi bahan campur untuk obat lain, seperti kodein, hidrokodon, oksikodon, dan nalokson. Di Indonesia pun thebain disamakan dengan narkotika. 13) Oksikodon

(26)

Hydromorfon adalah narkotika semisintetis, yang seperti heroin, berasal dari papaver somniferum, tetapi tidak memalui morfin dulu. Lebih keras delapan kali dari morfin, tetapi pengaruhnya lebih singkat dari pada morfin. Dijual dalam bentuk tablet dan dapat disuntik, juga dijual dalam bentuk cairan untuk disuntikan. Sangat digemari oleh penyalahguna.

15) Metadon

Disintetiskan di Jerman dalam Perang Dunia II sebagai usaha mengatasi kekurangan morfin. Narkotika sintetis ini mempunyai kesamaan dengan morfin dan heroin dalam daya pengaruhnya. Di beberapa negara sampai sekarang digunakan juga untuk penyembuhan yang ketagihan narkotika. Akan tetapi dibeberapa kota metropolitan sering terjadi penyalahguna guna meninggalkan akibat kelebihan dosis metadon.

16) Anti Narkotika (Narcotic Antagonists)

Obat sintetis ini dapat menimbulkan pengaruh narkotika dan dibuat dalam rangka mendapat obat penghilang rasa nyeri yang tidak menimbulkan ketagihan. Dalam perkembangan selanjutnya tak urung dicari dan digunakan oleh para penyalah guna.

17) Klorat Hidrat

(27)

mengandung alkohol sering menimbulkan kasus-kasus keracunan. Kurang digemari, kecuali oleh penyalah guna yang telah berumur.

18) Barbiturates

Barbiturates merupakan obat sintetis depresan yang paling banyak diberikan oleh para dokter. Tergantung dosisnya, pengaruh obat tidur ini ada empat jenis, yaitu obat tidur yang daya kerjanya sangat singkat, singkat, sedang, dan lama. Yang paling singkat, daya kerja pengaruhnya sedangkan menenangkan syaraf. Sedangkan yang paling lama, dapat menyebabkan tidur selama satu jam. Di Indonesia di kenal obat tidur luminal, termasuk jenis yang daya kerjanya lama. 19) Benzodiazepin

Benzodiasepen adalah obat penenang dari jenis depresan sintetis. Di Indonesia yang terkenal adalah valium, daya kerjanya lambat tapi berlangsung lama. Obat-obat penenang kelompok ini berkhasiat menghilangkan kegelisahan, ketegangan, otot-otot kaku; dan juga menenangkan. Pengguna berulang-ulang akan menimbulkan ketagihan dan kemungkinan terjadi kelebihan dosis. Untuk mendapatkan daya pengaruh maksimal, para penyalah guna mengkonsumsinya bersama obat lain, misalnya alkohol.

20) Ampetamin

(28)

Dikalangan kedokteran sekarang digunakan terbatas untuk pengobatan narcolepsy dan untuk mengurangi kegemukan (obesitas).

21)Penmetrazin dan Metilpenidat

Penmetrizin dan metilpendit merupakan obat-obatan stimulan sintetis untuk menghilangkan napsu makan dan penyakit pada anak kecil. Banyak disalahgunakan dan dapat menimbulkan komplikasi, akibat zat-zat yang tidak larut bila disuntikan ke dalam nadi, menimbulkan penyumbatan pembuluh darah dan kerusakan dan terutama pada paru-paru dan retina mata.

22)Anorektika

Di Amerika Serikat dibuat untuk pengganti ampetamin. Obat-bat stimulan sintetis yang masuk dalam kelompok ini disebut anorectic drugs, sebagai penghilang nafsu makan. Walaupun tidak sekuat ampetamin, pengaruhnya mirip ampetamin demikian juga sifat ketagihannya. Merupakan kekecualian adalah fenfluramin ; dapat menenangkan dengan sedikit dosis saja.

23)LSD (lysergic Acid Diethylamide)

(29)

24)PCP (Pensiklidin)

Pensiklidin merupakan obat halusinogen lainya yang karena efek sampingnya sangat berbahaya, tidak lagi digunakan untuk mengobati manusia. PCP murni berbentuk bubuk kristal putih, dan sering dikelirukan dipasaran gelap sebagai LSD atau THC. Pengaruh yang ditimbulkannya bermacam-macam, dari kekeluan, gagap bicara, perasaan mendapat kekuatan besar, hingga ke pendengaran khayali, kegelisahan yang akut, paranoia dan sikap permusuhan. Tidak jarang melakukan kekerasan dan gerakan-gerakan yang di luar pengendalian diri.

25)Meperidin (petidin)

Petidin adalah narkotika sintetis yang pertama kali dibuat orang. Walaupun susunan kimianya berbeda dengan morfin, kasiat dan pengaruhnya sama, yaitu menghilangkan rasa nyeri. Para penyalah guna banyak menggunakan obat ini, tapi lebih senang menyuntikkan. Kelebihan dosis dapat menimbulkan kejang-kejang atau kematian.

b. Penggolongan Narkotika

Dari pembahasan jenis-jenis narkotika di atas maka narkotika dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) golongan. Penggolongan narkotika diatur pada Pasal 6 Ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Narkotika sebagaimana dimaksud digolongkan ke dalam :

(30)

Pada pasal 6 Ayat (1) bagian penjelasan UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika membahas ketentuan yang di maksud penggolongan narkotika, adalah sebagai berikut :

a) Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat di gunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

b) Narkotika Golongan II adalah narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.

c) Narkotika Golongan III adalah narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.

Jenis-jenis narkotika dapat dimasukkan ke dalam 3 (tiga) penggolongan narkotika, yaitu :25

a) Golongan narkotika (Golongan I) ; seperti opium, morphin, heroin, dan lain-lain b) Golongan psikotropika (Golongan II) ; seperti ganja, ectacy, shabu-shabu, hashis,

dan lain-lain

c) Golongan zat adiktif lain (Golongan III) ; sperti beer, wine, whisky, vodka, dan lain-lain

3. Pengertian Kurir

25

Moh. Taufik makarao,Suhasril dan H. Moh. Zakky,”Tindak Pidana Narkotika, (Jakarta :

(31)

Pengertian kurir dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah utusan yang menyampaikan sesuatu yang penting dengan cepat. Dalam tulisan ini kurir yang dimaksud adalah orang yang mengantar atau menjemput narkotika untuk diserahkan kepada seseorang atau suatu tempat.

Dalam artikel BNN amankan kurir narkoba asal Pakistan, antara lain dikatakan bahwa kurir asal Pakistan melakukan transaksi narkotika dengan cara menerima tas berisi narkoba dari seseorang di luar Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng, Tanggerang dan menyerahkan kepada kurir lainnya. Pria asal Pakistan tersebut menjalankan profesi sebagai kurir narkotika bersama dua orang Warga Negara Indonesia (WNI) lainnya. Profesi sebagai kurir tersebut dikatakan juga sebagai perantara peredaran narkoba. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kurir narkotika bisa juga dikatakan sebagai perantara atau calo dalam transaksi narkotika. Misalnya, untuk perantara dalam transaksi narkotika golongan I, terhadap pelakunya dapat diancam sesuai Pasal 114 ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) yang berbunyi : setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).26

26

(32)

Dalam Pasal 114 Ayat (1) unsur “menjadi perantara dalam jual beli”, ini dapat dipersamakan dengan istilah kurir.

Sebagai penghubung antara penjual dan pembeli dan atas tindakannya tersebut mendapatkan jasa/keuntungan. Jika seseorang menghubungkan antara penjual dan pembeli kemudian orang tersebut mendapat barang barupa narkotika sudah dapat digolongkan sebagai perantara dalam jual beli, oleh karena itu jasa atau keuntungan disini dapat berupa uang atau barang atau bahkan fasilitas. Jasa atau keuntungan merupakan faktor yang penting, tanpa jasa ataupun keuntungan yang diperoleh maka tidak dapat disebut sebagai perantara dalam jual beli. Jika seseorang telah mempertemukan penjual dengan pembeli, tetapi tidak mendapatkan jasa atau keuntungan, maka orang tersebut bukanlah bertindak sebagai perantara dalam jual beli, akan tetapi sebagai penghubung dan tindak pidana yang dikenakan setidak-tidaknya dijuntokan dengan Pasal 132 tentang Percobaan atau Pemufakatan Jahat, apakah dalam rangka membeli atau menjual dan sebagainya. Perantara berbeda dengan pengantar.27

4. Pengertian Tindak Pidana dan Sanksi Pidana a. Pengertian Tindak Pidana

Stafbaar feit, adalah istilah Belanda yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan berbagai istilah, karena pemerintah tidak menetapkan terjemahan resmi atas istilah Belanda tersebut. Oleh karena itu, timbullah pandangan yang bervariasi dalam bahasa Indonesia sebagai pandanan dari istilah “stafbaar feit’”,

seperti: “perbuatan pidana”, “peristiwa pidana”, “tindak pidana”, “perbuatan yang

27 AR. Sujono, Bony Daniel,”Komentar dan Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun

(33)

dapat dihukum” dan lain sebagainya. Untuk menghindari perbedaan persepsi atas

padanan dari istilah “strafbaar feit” yang sangat bervariasi dari penggunaan istilah yang berbeda tersebut, kiranya dimasa yang akan datang perlu menggunakan istilah yang baku, paling tidak dalam produk peraturan perundang-undangan.28

Muljanto mengatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang olehsuatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.29

Simons menerangkan bahwa strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana,yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.30

Van Hamel merumuskan strafbaar feit sebagai kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaarding) dan dilakukan dengan kesalahan.31

Jika melihat pengertian-pengertian ini, maka di situ dalam pokoknya ternyata:32

28

I Made Widnyana.” Asas-Asas Hukum Pidana.” (Jakarta: Fikahati Aneska, 2010), hal

32-33 29

Ibid.,hal 34

30

(34)

1. Bahwa feit dalam strafbaar feit berarti handeling kelakuan atau tingkah laku 2. Bahwa pengertian strafbaar feit dihubungakn dengan kesalahan orang yang

mengadakan kelakuan tadi.

Terhadap perbuatan Tindak Pidana dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu kejahatan dan pelanggaran, sesuai menurut buku “Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana”/KUHP. Yaitu yang terdapat pada buku II dan buku III yang memuat perincian

berbagai jenis tindak pidana. Tujuannya adalah guna melindungi kepentingan hukum yang dilanggar, kepentingan hukum pada dasarnya dapat dirinci dalam tiga jenis, yaitu antara lain : (a) kepentingan hukum perorangan, (b) kepentingan hukum masyarakat, (c) kepentingan hukum negara.33

Dalam sistematika KUHP perlu diperjelas tentang perbedaan antara kejahatan

(misdrijiven) pasal 104 s.d. 488 dengan pelanggaran (overtredingen) pasal 498 s.d.

569. “kejahatan menunjuk pada suatu perbuatan, yang menurut nilai-nilai

kemasyarakatan dianggap sebagai perbuatan tercela, meskipun tidak diatur secara tertulis dalam ketentuan undang-undang. Oleh karenannya disebut dengan

Rechtsdelicten. Sedangkan pelanggaran menunjukan pada perbuatan yang oleh

masyarakat bukan sebagai perbuatan tercela. Diangkatnya sebagai perbuatan pidana karena ditentukan oleh undang-undang. Oleh karenannya disebut sebagai

wetsdelicten”. 34

b. Pengertian Sanksi Pidana

Sanksi merupakan hal yang sentral dalam hukum pidana karena sering kali menggambarkan nilai-nilai sosial budaya bangsa. Artinya, pidana mengandung tata

33 Moh. Taufik makarao,Suhasril, H. Moh. Zakky, Op.cit., hal 41

34

(35)

nilai (value) dalam suatu masyarakat mengenai apa yang baik dan tidak baik, apa yang bermoral dan apa yang amoral serta apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang. Meskipun tata nilai itu sendiri ada yang bersifat universal dan abadi, tetapi dari zaman ke zaman ia juga dapat bersifat dinamis.35

Pada`mulanya sanksi pidana menganut single track system, yakni jenis sanksi pidana saja sebagai representasi melekatnya pengaruh aliran klasik dalam hukum pidana. Aliran ini berpaham indeterminisme mengenai kebebasan kehendak manusia yang menekankan kepada perbuatan pelaku kejahatan sehingga dikehendakilah hukum pidana perbuatan (daad-strafrecht). Karenanya, sistem pidana dan pemidanaan aliran klasik ini sangat membatasi kebebasan hakim dalam menetapkan jenis sanksi dengan berbagai bentuknya.36

Pengaruh perkembangan kesadaran hukum masyarakat memunculkan aliran neo-klasik yang menitikberatkankonsepsinya kepada kebebasan kehendak manusia. Pada sekitar tahun 1810 mulai mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan individual terhadap pelaku tindak pidana. Aliran neo-klasik memberikan kekuasaan kepada hakim untuk menetapkan pidana penjara antara batas minimum dan maksimum yang ditentukan dalam undang-undang. Dengan demikian sistem the definite sentence ditinggalkan dan beralih kepada sistem the indefinite sentence.37

Bermuara dari konsepsi-konsepsi kedua aliran hukum tersebut, lahirlah ide individualisasi pidana. Sebagai konsekunsi ide dari individualisasi pidana, maka sistem pemidanaan dalam hukum pidana modern juga berorientasi kepada pelaku dan

35

Sholehuddin, “Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana.” (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal 55

36

(36)

perbuatan (daad-dader straafrecht) sehingga jenis sanksi yang ditetapkan tidak hanya meliputi sanksi pidana, tetapi juga sanksi tindakan yang relatif lebih bermuatan pendidikan dari pada penderitaan.

Disamping keberadaannya telah menjadi kecenderungan internasional, sistem pemidanaan yang bertolak dari ide individualisasi pidana ini merupakan hal yang harus diperhatikan sehubung dengan pendekatan humanistik dalam penggunaan sanksi pidana untuk tujuan perlindungan masyarakat (sosial defence). Hal ini tersurat dalam tujuan umum kebijakan kriminal yaitu perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare).38

Sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan. Fokus sanksi pidana tertuju pada perbuatan salah seseorang lewat pengenaan penderitaan (agar yang bersangkutan menjadi jera). Sanksi pidana lebih menekankan unsur pembalasan. Ia merupakan penderitaan yang sengaja dibebankan kepada seorang pelanggar. Sanksi pidana bertujuan memberi penderitaan istimewa (bijzonder leed) kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya. Dengan demikian sanksi pidana berorientasi pada ide pengenaan sanksi terhadap pelaku suatu perbuatan.39

Ide dasar sanksi pidana yakni filsafat indeterminisme sebagai sumber ide sanksi pidana. Sebagaimana diketahui asumsi dasar filsafat indeterminisme adalah bahwa sejatinya manusia memiliki kehendak bebas, termasuk ketika ia melakukan kejahatan. Karena sebagai konsekuensi pilihan bebasnya, maka setiap pemidanaan harus diarahkan pada pencelaan moral dan pengenaan penderitaan bagi pelaku.40

38

(37)

F. Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan

Penelitian ini mempergunakan pendekatan Yuridis Empiris. Dimana metode pendekatan Yuridis dalam penelitian ini yaitu dengan meneliti bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi Buku-buku serta Norma-norma Hukum yang terdapat pada peraturan Perundang-undangan, Asas-asas Hukum, Kaedah Hukum, dan Sistematika Hukum serta mengkaji ketentuan Perundang-undangan, dan bahan-bahan hukum lainya.41

Pendekatan Empiris yaitu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan empiris tentang hubungan hukum terhadap masyarakat, yang dilakukan dengan cara mendekati masalah yang diteliti dengan sifat hukum yang nyata atau sesuai dengan kehidupan yang nyata dalam masyarakat dan dihubungkan pada analisis terhadap peraturan Perundang-undangan. .42

2. Data dan Sumber Data

Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer, dimana adapun yang dimaksud dengan data primer adalah data yang diperoleh dari sumber yang pertama seperti wawancara kepada pegawai di BNN Sumut , sedangkan data sekunder adalah data yang tidak diperoleh dari seumber yang pertama, melainkan data yang diperoleh dari bahan pustaka. Seperti data yang diperolah dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian laporan, buku

41

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Bayu Media Publishing, 2005), hlm.29.

42 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,

(38)

harian, surat kabar, makalah, dan lain sebagainya.43 Di dalam penulisan data sekunder yang digunakan berupa :

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat atau yang menbuat orang taat pada hukum seperti peraturan perundang-undangan, dan putusan hakim.44 Bahan hukum yang digunakan penulis yaitu UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika, UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder diartikan sebagai bahan hukum yang tidak mengikat tetapi menjelaskan mengenai bahan hukum primer yang merupakan hasil olahan pendapat atau pikiran para pakar atau ahli yang mempelajari suatu bidang tertentu secara khusus yang akan memberikan suatu petunjuk kemana penelitian akan mengarah.45 Bahan hukum sekunder penelitian ini berupa buku-buku, jurnal, skripsi, Tesis, artikel, internet dan studi putusan yang di peroleh dari Pengadilan Negeri Kebumen, Provinsi Jawa Tengah yang berkaitan dengan narkotika dan kurir narkotika.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan

43 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI-Press,1986), hal.51 44https://lawmetha.wordpress.com/2011/05/19/metode-penelitian-hukum-nomatif/

45

(39)

pengertian atas bahan hukum lainnya.46 Bahan hukum yang tersier dari penelitian ini yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.

4. Metode pengumpulan data

Metode pengumpulan data dari penulisan ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan pemahaman yang selanjutnya akan di masukkan dalam penelitian ini berupa teori-teori, doktrin, karya ilmiah, peraturan perundang-undangan dan lainya, yang berkaitan dengan penelitian ini, selain itu metode pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini juga menggunakan penelitian lapangan (field research) untuk mendapatkan pemahaman bagaimana penerapan hukum tersebut dalam lingkungan masayarakat, yang dilakukan dengan melakukan wawancara terhadap Pegawai-pegawai BNN Sumut

5. Analisis Data

Bahan sekunder yang telah diperoleh yang selanjutnya akan dianalisis secara kualitatif sebagai bahan masukan untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini.

F. Sistematika Penulisan

Penulisan di harapkan dapat bermanfaat bagi pembaca yang di buat dengan terperinci dan sistematis agar para pembaca mudah dan dapat memahami maknanya. Keseluruhan sistematika ini merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan satu dengan yang lain, dapat dilihat sebagai berikut :

(40)

BAB I : Pendahuluan

Pendahuluan memuat mengenai gambaran umum penelitian skripsi yang terdiri dari latar belakan, permasalahan, tujuan dan pemanfaatan tulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : Pengaturan mengenai narkotika berdasarkan UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Disini dibahas mengenai perkembangan lahirnya undang-undang tentang narkotika, penggolongan narkotika, upaya pencegahan dan pemberantasan narkotika, dan proses dari penyidikan sampai di sidang Pengadilan

BAB III : Kendala-kendala dalam pemberantasan tindak pidana narkotika di Indonesia

Bab ini membahas tentang kendala-kendala pemberantasan tindak pidana narkotika di Indonesia, dimana selanjutnya terbagi lagi ke dalam beberapa sub bab yaitu sub bab mengenai Kendala-kendala Umum yang Terjadi Dalam Pemberantasan Narkotika di Indonesia Sejak Lahirnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, dan sub bab mengenai Kendala dalam pemeberantasan kurir narkotika.

(41)

Bab ini membahas tentang sanksi bagi kurir narkotika berdasarkan UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika, kedudukan kurir anak dalam tindak pidana narkotika, serta membahas mengenai analisis putusan pengadila negeri Kebumen nomor 139/Pid.B/2010/PNKbm.

BAB V : Kesimpulan dan saran

(42)

BAB II

PENGATURAN NARKOTIKA BEDARSARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

A.Perkembangan Pengaturan Perundang-undangan Narkotika di Indonesia

Sebelum membahas perkembangan pembentukan Undang-Undang Narkotika maka terlebih dahulu akan ditinjau sejarah keberadaan narkotika itu sendiri.

Pada zaman prasejarah di negeri Mesopotamia (sekitar Irak sekarang), dikenal

suatu barang yang namanya “Gill” artinya “bahan yang menggembirakan”. Gill ini

lazimnya digunakan sebagai obat sakit perut, kemampuan gill sangat terkenal pada saat itu, dan Gill menyebar di dunia Barat sampai Asia dan Amerika.47

Di Tiongkok bahan jenis Gill disebut dengan candu yang sudah dikenal sejak tahun 2735 sebelum Masehi. Candu pernah menghancurkan Tiongkok pada tahun 1840-an yaitu dipergunakan sebagai alat subversif oleh Inggris, sehingga menimbulkan suatu perang yang terkenal dalam sejarah, yaitu Perang Candu (The Opium War) pada tahun 1839-1842, yang dimenangkan oleh inggris setelah berhasil merusak mental lawannya melalui candu. Proses pengolahan candu pada zaman dahulu masih sangat sederhana, salah satu prosesnya ialah menghilangkan bau, yakni dengan cara dicampurdengan air sulingan dan disimpan dalam guci 8 (delapan) sampai 12 (dua belas) bulan, setelah kering baru dipergunakan untuk keperluan pengobatan.48

Ada bahan lain yang menyerupai candu masak, yang bernama jadam. Jadam ini bukan tergolong obat bius seperti candu yang termasuk dalam V.M.O., tetapi

47

Moh. Taufik makarao,Suhasril, H. Moh. Zakky, Op.cit., hal 9

48

(43)

merupakan obat keras yang termasuk dalam SWGO (Sterk Werkende Geneesmiddelen Ordonantie 1949), jadam pada mulanya berkembang di dunia arab.49

Pada zaman penjajahan Belanda kebiasaan penyalahgunaan obat bius dan candu, sudah mulai terasa membahayakan masyarakat, pemakaianya terutama masyarakat golongan menengah (khususnya keturunan cina). Oleh sebab itu, pada zaman tersebut pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan V.M.O Staatblad 1927 No. 278 jo No. 536, yaitu peraturan yang mengatur tentang obat bius dan candu.50

Awal tahun 1970 penyalahgunaan narkotika sudah semakin sering terjadi di masyarakat dan jenis-jenis narkotika yang beredar pun semakin banyak pula ragamnya. Kenyataan inilah yang mendorong timbulnya kesadaran akan perlu segera dibentuk suatu undang-undang yang dapat menjangkau setiap bentuk penyalahgunaan narkotika. Setidaknya undang-undang yang baru itu dapat menimbulkan rasa takut bagi anggota masyarakat untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang diklualifikasikan sebagai Tindak Pidana Narkotika.51

Pada tahun 1970-an tersebut, selain penyalahgunaan narkotika, banyak pula jenis kejahatan yang terjadi. Kejahatan-kejahatan tersebut cenderung menggangu stabilitas politik dan keamanan dalam rangka menjamin suksesnya pembangunan nasional, maka pada tanggal 8 september 1971 Presiden lalu mengeluarkan instruksi No. 6 Tahun 1971 kepada Kepala Bakin yang pada prinsipnya memerintahkan Kepala Bakin untuk memberantas masalah-masalah yang menghambat pelaksanaan

49

Ibid., hal 10 50Ibid., hal.10

51

(44)

pembangunan nasional itu. Dengan dikeluarkan Inpres tersebut maka Kepala Bakin merumuskan 6 (enam) masalah pokok yang harus diberantas, yaitu :52

1. Kenakalan remaja

2. Penyalahgunaan narkotika 3. Penyelundupan

4. Uang palsu 5. Subversif

6. Pengawasan orang asing

Mengingat hal-hal di atas, maka dipandang perlu dalam waktu yang relatif singkat untuk mengadakan pembaharuan dan penyempurnaan undang-undang narkotika, dan diharapkan peraturan tersebut efektif di dalam implementasinya dan tepat sasaran di dalam penanggulangan terhadap penyalahgunaan narkotika. Kecuali itu terdapat pula Faktor-faktor yang berperan penting dalam mendorong secepatnya dibentuk Undang-Undang Narkotika Nasional, Faktor faktor tersebut adalah :53 1. Faktor partisipasi sosial

Dengan partisipasi sosial yang cukup tinggi tidak ketinggalan berperan nyata adalah kalangan ilmuan termasuk yang ada pada jajaran ahli medis dan ahli hukum. Dari besarnya perhatian akan usaha penanggulangan narkotika ini terungkap bahwa salah satu kesukaran dalam memberantas para pengedar narkotika yang berusaha mencari mangsa, terutama bersasaran para remaja adalah kesenjangan undang-undang yang berlaku pada saat itu.

52Ibid., hal 11

53

(45)

Undang-undang obat bius (V.M.O) sudah tidak cocok lagi dan tidak mampu mengakomodasi pengaturan penggunaan maupun penindakan terhadap penyalahgunaan narkotika. Kesenjangan undang-undang ini dipandang sebagai faktor yang setidak-tidaknya turut menghambat upaya penanggulangan. Kesadaran akan lemahnya undang-undang obat bius terutama juga yang diargumentir oleh kalangan medis dan ahli hukum. Seperti yang telah dikemukakan mengenai resolusi seminar Kriminologi II Semarang 1972, telah membawa kekuatan yang mendesak kepada pembuat undang-undang untuk secepatnya menerbitkan undang-undang narkotika. 2. Pelaksanaan Pelita I (1969-1974)

Pelita I (1969-1974) merupakan pencanangan era pembangunan yang merupakan perwujudan tekad Orde Baru untuk mengisi kemerdekaan dengan pembangunan bertahap dan berencana. Sebagai konsekuensi mengenai pelaksanaan pembangunan yang berkesinambungan dalam tahap I (satu) akan menentukan tahap-tahap berikutnya, maka pada tahun ke-II (dua) pelita, pemerintah menekankan perlunya untuk memperhatikan masalah-masalah sosial yang bisa menggangu jalannya pembangunan. Masalah–masalah nasional ini dalam penanganan dan penanggulangannya memerlukan pengaturan oleh hukum yang mantap dan syarat dengan citra masyarakat. Khusus terhadap penyalahgunaan Narkotika dipandang cukup mendesak kebutuhan pembaharuan undang-undang obat bius yang praktis di Indonsia. Inilah yang mendorong lahirnya Undang-Undang No. 9 Tahun 1979, yang kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1979 tentang Narkotika.

(46)

Undang-undang pidana yang baik yang sejalan dengan tuntutan perkembangan sosial bisa dipandang sebagai sarana untuk melakukan tindakan prevensi umum. Demikian halnya dengan upaya menghadapi bahaya narkotika. Secara yuridis, khususnya hukum pidana pemerintah didukung oleh kalangan ahli dan praktisi menyadari pentingnya undang-undang narkotika. Persepsi kalangan mengenai relevan dan urgen hadirnya undang-undang narkotika nasional yang baru merupakan dukungan besar atas diterbitkannya undang-undang tentang narkotika.

Dalam pembuatan peyimpanan, pengedaran, dan penggunaan narkotika tampa pengawasan dan pembatasan yang seksama adalah bertentangan dengan peraturan yang berlaku dan merupakan tindakan kejahatan, yang dapat merugikan baik bagi perorangan maupun masyarakat, juga kemungkinan bahaya besar bagi kehidupan bernegara baik bagi bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya serta keamanan maupun ketahanan nasional bangsa indonesia.54

Untuk memberikan kepastian hukum dalam upaya penaggulangan terhadap penyalahgunaan narkotika, maka sebagai dasar hukum dari undang-undang narkotika adalah sebagai berikut.55

a. Undang-Undang Dasar 1945

b. Undang-Undang No. 9 Tahun 1960 tentang pokok-pokok kesehatan. c. Instruksi Presiden No. 9 Tahun 1971

d. Undang-Undang No. 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepolisian

54Ibid., hal 15

55

(47)

e. Undang-Undang No. 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesehatan

f. Undang-Undang No. 7 Tahun 1963 tentang Farmasi

g. Undang-Undang No. 3 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa

h. Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman

i. Undang-undang No. 6 Tahun 1976 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Nasional

j. Undang-undang No. 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961, beserta protokol yang mengubahnya.

k. Undang-undang No. 7 Tahun 1977 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberatasan peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika.

Dengan mengingat dasar-dasar ketentuan undang-undang tersebut di atas, maka pemerintah memutuskan :56

a. Mencabut V.M.O (Verdoovende Middelen Ordonantie) 1972 No. 278 jo. No. 536 sebagaimana telah diubah dan ditambah.

b. Memperbaharui Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lambaran Negara tahun 1976 Nomor 36 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086)

c. Menetapkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22`Tahun 1997 Tanggal 1 September 1997 tentang Narkotika. (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3698).

56

(48)

Perkembangan zaman dan masyarakat yang semakin maju, dibutuhkan regulasi yang sejalan dalam hal pengaturan tentang undang-undang Narkotika, maka pemerintah membuat kebijakan merevisi UU No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika dengan UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Adapun dasar kebijakan pemerintah untuk melakukan revisi UU No.22 Tahun 1997 yaitu faktor materil undang-undang yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan kejahatan narkoba, juga secara tidak langsung adalah faktor aparat penegak hukum yang juga berpotensi melakukan pelanggaran dalam penegakan hukum tindak pidana narkotika. Selain karena faktor perundang-undangan dan aparat penegak hukum , maka faktor kultur hukum (legal culture) masyarakat juga mempunyai peran yang signifikan dan menentukan apakah kinerja penegak hukum akan menjadi efektif atau tidak dalam penaggulangan tindak pidana narkotika. Hal ini karena unsue perundang-undangan (substance), aparat penegak hukum (structure), dan budaya hukum masyarakat (legal culture) merupakan tiga komponen dalam sistem hukum (legal system) yang satu sama lain saling melengkapi dan mempengaruhi efektifitas penegakan hukum dalam masyarakat.57

B. Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Narkotika

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana Narkotika melalui ancaman pidana denda, pidana penjara, pidana seumur hidup, dan pidana mati. Disamping itu, UU No. 22 Tahun 1997 juga mengatur mengenai pemanfaatan Narkotika untuk kepentingan

57

(49)

pengobatan dan kesehatan serta mengatur tentang rehabilitasi medis dan sosial. Namun, dalam kenyataannya tindak pidana Narkotika di dalam masyarakat menunjukkan kecendurungan yang semakin meningkat baik secara kuntitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya.58

Tindak pidana Narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan, melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama, bahkan merupakan suatu sindikat yang terorganisir dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik ditingkat nasional maupun internasional. Bedasarkan hal tersebut guna peningkatan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Narkotika perlu dilakukan pembaharuan terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Hal ini juga untuk mencegah adanya kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kualitatif maupun kuantitatif dengan korban yang meluas, terutama dikalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya.59

Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2002 melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2002 telah merokomendasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Baik dalam UU No. 9 Tahun 1976 dan UU No. 22 Tahun 1997 tentang narkotika tidak mengatur secara tergs

58 Bagian Penjelasan Umum UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika 59

Referensi

Dokumen terkait

Nominal sanksi pidana denda di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang lebih tinggi dari pada nominal sanksi pidana denda yang terdapat

Judul dari penelitian ini adalah Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Kurir Perdagangan Narkotika Di Bawah Umur Ditinjau Dari UU No. 23 Tahun 2002 tentang

Ketentuan dalam undang-undang nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika, mengatur mengenai sanksi pidana bagi bagi para pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peraturan perundang-undangan tentang narkotika yang pernah berlaku di Indonesia dan untuk mengetahui penuntutan terhadap pelaku tindak

Kesimpulan yang di dapat adalah kondisi/kategori seseorang di anggap melakukan pembiaran tindak pidana narkotika ketika seseorang tersebut melihat secara langsung terjadinya

1 ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA TERHADAP KETENTUAN PIDANA DENDA DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA SKRIPSI Oleh: HERY SUANDONO NPM.18810284

Sebagai pengedar dikenakan ketentuan pidana berdasarkan pasal 114 Undang- undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika yang mana pada ayat 1 “Setiap orang yang tanpa hak atau melawan

35 Tahun 2009 tentang Narkotika didalam Pasal 131 menyebutkan bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111,