• Tidak ada hasil yang ditemukan

Shade Tolerance of 20 Genotypes of Tomato (Lycopersicon esculentum Mill)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Shade Tolerance of 20 Genotypes of Tomato (Lycopersicon esculentum Mill)"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

TOLERANSI 20 GENOTIPE TOMAT (

Lycopersicon esculentum

Mill.)

TERHADAP NAUNGAN

RAISA BAHARUDDIN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Toleransi 20 Genotipe Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) terhadap Naungan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2014

Raisa Baharuddin

(4)

RINGKASAN

RAISA BAHARUDDIN. Toleransi 20 Genotipe Tomat (Lycopersicon esculentum

Mill.) terhadap Naungan. Dibimbing oleh M ACHMAD CHOZIN dan MUHAMAD SYUKUR.

Tomat merupakan salah satu komoditas sayuran utama yang dibudidayakan di Indonesia. Luas panen yang semakin menurun berakibat pada penurunan produksi tomat, sehingga diperlukan suatu upaya untuk meningkatkan produksi tomat. Upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan memanfaatkan lahan di bawah tegakan pohon, agroforestri, ataupun sistem tumpang sari menjadi upaya meningkatkan produksi tomat. Intensitas cahaya rendah merupakan faktor pembatas dalam budidaya tumpang sari. Sampai saat ini belum banyak dilaporkan varietas unggul tomat toleran terhadap naungan. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi produksi, morfosiologi, dan kualitas buah dari 20 genotipe tomat pada berbagai tingkat naungan.

Penelitian ini dilaksanakan bulan Januari-April 2013 di Kebun Percobaan Cikabayan, IPB, Darmaga, Bogor. Penelitian disusun dalam rancangan petak tersarang (nested design) dengan tiga ulangan. Faktor naungan terdiri atas empat taraf naungan naungan 0%, 25%, 50%, dan 75%. Faktor genotipe tomat terdiri atas 20 genotipe yaitu: Intan (T1), GIK (T3), SSH 3 (T6), Karina (T13), Roma (T21), Rempai (T23), Apel (T30), SSH 9 (T33), SSH 20 (T34), M4HH (T43), Bogor (T53), Medan 4 (T57), Kediri 1 (T60), Papua 2 (T64), Montero (T80), Fatma (T82), Ratna (T83), Delana (T84), Palupi (T85), dan Mawar (T86).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa produksi buah per tanaman pada sebagian besar genotipe meningkat pada naungan 25%, sementara di bawah naungan 50% menunjukkan keragaman antar genotipe yang tinggi. Berdasarkan produksi relatif pada naungan 50%, dari 20 genotipe yang diuji, dapat dikelompokkan menjadi tiga (3) kelompok yaitu, genotipe peka (Intan, Rempai dan Delana), toleran (GIK, Roma, SSH 9, SSH 10, Bogor, Kediri 1, Montero, Ratna, dan Mawar), dan senang naungan (SSH 3, Karina, Apel, M4HH, Medan 4, Papua 2, Fatma, dan Palupi). Produksi per tanaman tomat dipengaruhi oleh komponen hasil tanaman terutama jumlah buah per tanaman.

Pemberian naungan 50% berpengaruh nyata terhadap beberapa karakter morfologi yaitu tinggi tanaman dan luas daun. Naungan 50% nyata meningkatkan tinggi tanaman hingga 68% dan luas daun hingga 45%. Sedangkan pada karakter fisiologi pemberian naungan berpengaruh nyata terhadap tebal daun, klorofil a dan b, dan nisbah klorofil a/b. Naungan 50% nyata menurunkan ketebalan daun tomat hingga 25%. Klorofil a dan b meningkat dengan pemberian naungan, sedangkan nisbah klorofil a/b menurun. Pemberian naungan juga mempengaruhi kualitas buah tomat. Naungan 50% nyata meningkatkan diameter buah tomat sebesar 7% pada genotipe senang naungan. Naungan 50% tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kekerasan, namun nyata menurunkan nilai padatan total terlarut namun menaikkan total asam tertitrasi buah tomat pada pada genotipe senang naungan.

(5)

SUMMARY

RAISA BAHARUDDIN. Shade Tolerance of 20 Genotypes of Tomato (Lycopersicon esculentum Mill.). Supervised by M ACHMAD CHOZIN and MUHAMAD SYUKUR.

Tomato is one of the major vegetable that has been cultivated in Indonesia. Decrease of harvest area of tomato affect decreasing in production, so it requires an effort to improve tomato production. The efforts to improve tomato production were use the land under trees, agroforestry, or intercropping system. Low light intensityis a limiting factor in the cultivation of intercropping.

Aim of this study was to evaluate the production, morphosiology, and fruit quality of 20 tomato genotypes under shade. This studywas conducted at Cikabayan (experimental station-University Farm of IPB) from January to April 2013. The research was arranged by nested design with 3 replicates. The main plot was shade consisted of four levels, i.e., 0, 25, 50, and 75%, while sub plot was 20 genotypes of tomato i.e. Intan (T1), GIK (T3), SSH 3 (T6), Karina (T13), Roma (T21), Rempai (T23), Apel (T30), SSH 9 (T33), SSH 20 (T34), M4HH (T43), Bogor (T53), Medan 4 (T57), Kediri 1 (T60), Papua 2 (T64), Montero (T80), Fatma (T82), Ratna (T83), Delana (T84), Palupi (T85), dan Mawar (T86).

Results of this study showed that most of the tested genotypes increased the production per plant under 25% shade, while under 50% shade showed a high diversity among genotypes. Based on relative yield under 50% shade, genotypes can be grouped into three, there are : sensitive (Intan, Rempai and Delana), tolerant (GIK, Roma, SSH 9, SSH 10, Bogor, Kediri 1, Montero, Ratna, and Mawar), dan shade-like (SSH 3, Karina, Apel, M4HH, Medan 4, Papua 2, Fatma, and Palupi). Production per plants affected by the yield component, mainly number of fruit per plant.

50% shade significantly affected some morphologicsl characters ie plant height, and leaf area. 50% shade increase significantly up to 68% on plant height and 45% on leaf area. More over on physiological character, 50% shade significantly affect leaf thickness, chlorophyll a and b, and the ratio of chlorophyll a/b. 50 % shade significantly reduced tomato leaf thickness up to 25 %. Chlorophyll a and b increased by level of shade, while the ratio of chlorophyll a/b decreases. Shade also affects the quality of tomato fruits. Tomato diameter increase significantly by 7 % on shade-like genotype in 50 % shade. 50% shade not significant on firmness, otherwise decrease significantly on total solid soluble but increasing total titration acid on shade-like genotype.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)
(8)
(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Agronomi dan Hortikultura

TOLERANSI 20 GENOTIPE TOMAT (

Lycopersicon esculentum

Mill.)

TERHADAP NAUNGAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(10)
(11)

Judul Tesis : Toleransi 20 Genotipe Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) terhadap Naungan

Nama : Raisa Baharuddin NIM : A252110091

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir M Achmad Chozin, MAgr Ketua

Prof Dr Muhamad Syukur, SP, MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Agronomi dan Hortikultura

Dr Ir Maya Melati, MS, MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)
(13)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini berjudul “Toleransi 20 Genotipe Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) terhadap Naungan”.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir MA Chozin, MAgr dan Prof Dr Muhamad Syukur, SP, MSi selaku komisi pembimbing atas saran, waktu dan kesempatan yang telah diberikan dalam membimbing dan mengarahkan penulis selama penelitian dan penyusunan tesis ini. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada Prof Dr Ir Didy Sopandie, MAgr selaku dosen penguji luar komisi serta Dr Ir Maya Melati, MS, MSc selaku Ketua Program Studi Agronomi dan Hortikultura dan pimpinan sidang ujian atas saran dan koreksiannya untuk perbaikan tesis ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak, mama, kakak dan adik atas segala doa dan kasih sayangnya. rekan W7L6 dan Mukhlis W atas bantuan, doa dan dukungannya. Rekan-rekan pascasarjana program studi Agronomi dan Hortikultura tahun 2011 atas kekeluargaan, kebersamaan, dan ilmunya. Selain itu, ucapan terima kasih disampaikan juga kepada staf kebun Cikabayan IPB dan laboran (Pak Joko, Pak Yudi, Bu Ismi, dan Pak Agus) atas kerjasamanya selama penelitian.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2014

(14)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI v

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Hipotesis 2

2 TINJAUAN PUSTAKA 3

Morfologi dan Lingkungan Tumbuh Tanaman Tomat 3

Peranan Cahaya Matahari untuk Tanaman 3

Respon Tanaman terhadap Intensitas Cahaya Rendah 5

3 METODE 8

Waktu dan Tempat Penelitian 8

Bahan 8

Alat 8

Prosedur Penelitian 9

Pelaksanaan Penelitian 9

Pengamatan 10

Analisis Data 12

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 12

Evaluasi Produksi Tanaman Tomat pada berbagai Tingkat Naungan 15 Karakteristik Morfologi Tanaman Tomat Toleran Naungan 19 Karakteristik Fisiologi Tanaman Tomat Toleran Naungan 22 Karakteristik Kualitas Buah Tomat Toleran Naungan 23

5 PEMBAHASAN UMUM 24

6 SIMPULAN 27

UCAPAN TERIMA KASIH 28

DAFTAR PUSTAKA 28

LAMPIRAN 34

(15)

DAFTAR TABEL

1 Genotipe tomat bahan penelitian 8

2 Anova pengaruh naungan dan genotipe terhadap peubah yang diamati 14 3 Rata-rata iklim mikro pada empat taraf naungan 14 4 Respon naungan dan 20 genotipe terhadap produksi per tanaman (g) 16 5 Komponen hasil tanaman tomat pada naungan 0 dan 50% 18 6 Perubahan komponen hasil tanaman antar kelompok genotipe 19 7 Perubahan karakter morfologi dan fisologi tanaman antar kelompok

genotipe 21

8 Nilai kekerasan buah, padatan total terlarut dan total asam tertitrasi buah

tomat pada naungan 0 dan 50% 23

DAFTAR GAMBAR

1 Spektrum cahaya yang dapat diserap oleh pigmen tanaman, biasa disebut

photosynthetically active radiation (PAR) 4 2 Adaptasi tanaman naungan yang berperan penting dalam avoidance

terhadap defisit cahaya. 7

3 Bangunan paranet taraf (a) 0%, (b) 25%, (c) 50%, (d) 75% 10 4 Respon naungan terhadap rata-rata produksi buah per tanaman 15

DAFTAR LAMPIRAN

1 Denah percobaan di lapangan 35

2 Prosedur pengukuran ketebalan daun 36

3. Prosedur pengukuran kerapatan stomata 36

(16)
(17)
(18)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sayuran merupakan komoditas yang cukup penting dalam mendukung ketahanan pangan nasional. Komoditas ini berperan sebagai sumber karbohidrat, protein nabati, vitamin, dan mineral yang bernilai ekonomi tinggi sehingga keberadaan tanaman sayuran sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi masyarakat. Tomat adalah salah satu komoditas sayuran utama yang dibudidayakan oleh petani di Indonesia. Tomat memiliki kandungan gizi yang tinggi. Rata-rata kandungan gizi dalam 100 g tomat segar yaitu: air 94 g, protein 1.0 g, lemak 0.2 g, karbohidrat 3.6 g, Ca 10 mg, Fe 0.6 mg, Mg 10 mg, P 16 mg, vitamin A 1700 IU, vitamin B1 0.1 mg, vitamin B2 0.02 mg, niasin 0.6 mg, dan vitamin C 21 mg (Siemonsma dan Piluek 1994).

Produktivitas tomat Indonesia tahun 2012 mengalami penurunan dibandingkan tahun 2011 yaitu dari 954 046 ton menjadi 887 556 ton (BPS 2012). Penurunan produksi ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu penurunan luas panen dan penurunan produktivitas tanaman. Berdasarkan data statistik BPS (2012) terjadi penurunan produksi disebabkan oleh penurunan luas panen tanaman tomat sebesar 2.20%.

Upaya peningkatan produksi dapat dilakukan dengan intensifikasi dan ekstensifikasi. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan pengembangan tanaman sayuran melalui sistem pertanaman ganda seperti tumpang sari, penanaman sela bersisipan, penanaman beruntun, tanama sela setahun dan agroforestri. Sistem ini dapat meningkatkan produktivitas lahan, mengurangi cekaman biotik dan mengurasi resiko kegagalan panen. Pengembangan pertanian harus memperhatikan empat prinsip yaitu prinsip keseimbangan ekologi, prinsip pencapaian optimum, prinsip kehati-hatian, dan prisip kesejajaran dan kearifan lokal (Chozin 2006). Prinsip ini menjadi dasar dalam strategi pengembangan pertanian di wilayah tropika.

Pada umumnya petani di daerah pulau Jawa menanam tanaman sayuran pada areal dengan pencahayaan yang penuh, dan hanya sedikit petani yang mengenal dan mempunyai pengalaman dalam menanam sayuran dengan pola tumpang sari atau agroforestri. Agroforestri dalam arti luas merupakan suatu sistem usaha tani atau penggunaan lahan yang mengintegrasikan secara spatial dan temporal tanaman pohon dan tanaman semusim pada sebidang lahan. Hal ini merupakan salah satu peluang untuk meningkatkan produksi sayuran.Lahan perkebunan seperti perkebunan kelapa sawit dan perkebunan karet dapat dimanfaatkan sebagai lahan penanaman tomat.

Elfarinsa et al. (2000) menyatakan pemanfaatan lahan tidur di bawah tegakan tanaman perkebunan selama ini belum dioptimalkan sehingga dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi sistem produksi pertanian. Menurut Pranoto (2012), sistem agroforestri pada zona hulu daerah aliran sungai sangat prospektif untuk dikembangkan sebagai “vegetable agroforestry” yang

(19)

2

merah, tomat, kacang panjang, jagung, dan kubis (Manurunget al. 2008; Bahrun 2012).

Kendala yang dihadapi pada pola pertanaman pada areal di bawah tegakan pepohonan adalah penurunan intensitas cahaya yang diterima oleh tanaman. Chozin et al. (2000) menyatakan bahwa nilai intensitas cahaya dibawah tegakan karet umur 3 tahun setara dengan intensitas cahaya 50%. Kekurangan cahaya pada tanaman tomat yang ditanam di bawah tegakan pohon ataupun sebagai tanaman sela, menyebabkan terganggunya proses metabolisme yang berimplikasi pada turunnya laju fotosintesis dan rendahnya sintesis karbohidrat yang dihasilkan. Akibatnya laju pertumbuhan dan produktivitas tomat di bawah naungan menjadi rendah. Menurut Manurung et al. (2008), pada sistem tanaman dudukuhan dengan cekaman cahaya rendah pada 32 – 174 *1000 lux menurunkan produksi tomat per tanaman sebesar 26.6% dibandingkan dengan cahaya penuh.

Penggunaan varietas yang mampu tumbuh dan berkembang serta berproduksi dengan baik pada cekaman naungan sangat penting untuk dapat memanfaatkan lahan di bawah tegakan tanaman perkebunan (Sopandie et al.

2003). Namun, sampai saat ini masih sangat sedikit hasil penelitian mengenai potensi pengembangan tomat terhadap naungan sehingga varietas unggul tomat yang toleran terhadap naungan belum dilakukan. Penentuan varietas unggul tomat toleran naungan dapat dilihat dari produksinya sehingga perlu dilakukan evaluasi hasil tomat terhadap berbagai tingkat naungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi toleransi 20 genotipe tanaman tomat terhadap berbagai tingkat naungan.

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengevaluasi produksi genotipe-genotipe tanaman tomat pada berbagai tingkat naungan

2. Mengetahui karakteristik morfologi, fisiologi, dan kualitas yang berhubungan dengan toleransi terhadap naungan

3. Memperoleh informasi tentang kelompok toleransi 20 genotipe tanaman tomat.

Hipotesis Penelitian ini disusun dengan hipotesis bahwa:

1. Toleransi berbagai genotipe tomat terhadap naunganakan bervariasi dari peka hingga toleran.

(20)

3

2

TINJAUAN PUSTAKA

Morfologi dan Lingkungan Tumbuh Tanaman Tomat

Tanaman tomat merupakan tanaman semusim tergolong dalam famili Solanaceae, berbentuk perdu dengan tinggi dapat mencapai dua meter. Batangnya dapat tegak atau menjalar, padat, dan berambut. Duduk daunnya teratur secara spiral dengan filotaksis 2/5. Ada dua golongan tomat, yaitu tipe determinant dan indeterminant. Bunga tomat hermafrodit, tumbuh secara berlawanan atau pada ketiak daun, berwarna kuning dan bersifat self compatible pada daerah yang lebih dingin (Ashari 2006).

Tomat memiliki akar tunggang yang menembus tanah dan akar serabut yang tumbuh menyebar ke arah samping. Kemampuan akar menembus lapisan tanah berkisar 30-70 cm. Batang tanaman tomat berbentuk persegi empat hingga bulat, berbatang lunak tetapi cukup kuat, berbulu atau berambut halus dan diantara bulu-bulu itu terdapat rambut kelenjar yang mampu mengeluarkan bau khas. Batang tanaman tomat berwarna hijau, pada ruas-ruas batang mengalami penebalan, dan pada ruas bagian bawah tumbuh akar-akar pendek. Selain itu batang tanaman tomat dapat bercabang dan apabila tidak dilakukan pemangkasan akan bercabang banyak yang menyebar secara merata (Cahyono 2008).

Daun tomat berbentuk oval, bagian tepinya bergerigi dan membentuk celah-celah menyirip. Daun berwarna hijau dan merupakan daun majemuk ganjil berukuran 5-10 cm. Daun bersusun selang seling mengelilingi batang tanaman. Umumnya, daun tomat tumbuh di dekat ujung dahan atau cabang, memiliki warna hijau dan berbulu. Buah tomat berbentuk bulat datar, halus atau beralur, dengan diameter sekitar 2 cm – 15 cm. Buah tomat bewarna hijau saat muda, mengkilap, merah, dan oranye saat buah masak (Siemonsma dan Piluek 1994).

Tanaman tomat dapat tumbuh di dataran rendah (kurang dari 200 mdpl), dataran medium (200-700 mdpl) dan dataran tinggi (lebih dari 700 mdpl). Tanah yang gembur dan kaya unsur hara sangat disukai tomat untuk pertumbuhan optimal. Tanaman tomat menyukai tanah yang tergolong asam, dengan pH 5.5 – 6.5. Suhu yang tinggi dan hujan mnyebabkan penurunan kualitas tomat dan buahnya. Suhu siang 25-300C dengan suhu malam 160C dan 200C adalah optimum untuk pertumbuhan dan pembungaan. Pembentukan buah terbaik antara suhu 18oC dan 24oC (Rubatzky dan Yamaguchi 1999).

Cahaya merupakan faktor yang sangat penting dalam pertumbuhan tanaman tomat. Penyerapan unsur hara oleh tomat akan dicapai apabila pencahyaan berlangsung selama 12-14 jam per hari, sedangkan intensitas cahaya yang dikehendaki adalah 0.25 mj.m-2 per jam (Hidayat 1997).

Peranan Cahaya Matahari untuk Tanaman

(21)

4

pergerakan tanaman, dan perkecambahan (Salisbury dan Ross 1995; Taiz dan Zeiger 2002).

Dalam hubungannya dengan tanaman, cahaya matahari digolongkan menjadi tiga, yakni intensitas, kualitas dan fotoperiodisitas (Sugito 1999). Dari ketiganya, aspek intensitas yang banyak berperan dalam konversi energi matahari dibandingkan dengan dua aspek cahaya matahari lainnya. Cahaya matahari sampai pada permukaan daun tanaman dapat secara langsung atau tidak, dapat berupa gelombang pendek dan gelombang panjang yang diterima melalui penerusan atmosfir, pemantulan awan dan pemantulan dari permukaan tanah (Jones 1996).

Fotosintesis adalah kegiatan utama yang dilakukan tanaman dalam memanfaatkan energi cahaya matahari. Terdapat tiga parameter utama dalam menentukan ukuran cahaya yaitu kualitas spektrum, jumlah atau kuantitas dan arah cahaya (Taiz dan Zeiger 2002). Tanaman dapat tumbuh pada spektrum cahaya dengan panjang gelombang 400-700 nm (photosynthetically active radiation/PAR). Energi cahaya dikonversi ke molekul berenergi tinggi (ATP) dan NADPH, terjadi di dalam pigmen atau kompleks protein yang menempel pada membran tilakoid yang terletak pada kloroplas. Pigmen klorofil yang berperan pada tanaman berdaun hijau adalah klorofil a dan b. Klorofil a mengabsorbsi cahaya pada panjang gelombang 410, 430 dan 660 nm, sedangkan klorofil b pada 430, 455 dan 460 nm (Taiz dan Zeiger 2002). Klorofil a dan b berperan dalam mengabsorbsi cahaya merah (600-700 nm) dan cahaya biru (400-500 nm) (Gambar 1).

Gambar 1 Spektrum cahaya yang dapat diserap oleh pigmen tanaman, biasa disebut photosynthetically active radiation (PAR) (Salisbury dan Ross 1992)

(22)

5 Fotosintesis terjadi pada kloroplas yang berada pada daun yang berperan dalam menangkap energi cahaya dan mengubahnya menjadi energi kimia. Selain pada daun, fotosintesis juga terjadi pada batang bunga dan buah dengan lintasan fisiologi dan kimia yang berbeda dengan daun (Abdul dan Rasul 2005). Fotosintesis berlangsung dalam kondisi ada cahaya dan cahaya memiliki fungsi mengangkut elektron dari H2O untuk mereduksi NADPH+ menjadi NADPH dan

menyediakan energi untuk membentuk ATP dan Pi (Salisbury dan Ross 1995). Buah tomat dapat menghasilkan hasil fotosintesis kotor lebih dari 15% melalui aktivitas PEPCase pada bagian pericarp dan jaringan locular (Abdul dan Rasul 2005).

Respon Tanaman terhadap Intensitas Cahaya Rendah

Cahaya merupakan faktor penting bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman, karena selain berperan utama pada proses fotosintesis, cahaya juga sebagai pengendali, pemicu, dan modulator respon morfogenesis terutama pada tahap awal pertumbuhan tanaman (Mc Nellis dan Deng 1995).

Intensitas cahaya berperan besar dalam hubungannya dengan tanaman. Intensitas cahaya adalah banyaknya energi yang diterima oleh suatu tanaman per satuan luas dan per satuan waktu. Adanya satuan waktu berarti dalam pengukuran ini termasuk pula lama penyinaran atau lama matahari bersinar dalam satu hari (Sugito 1999). Di Indonesia yang beriklim tropis, intensitas cahaya matahari dipengaruhi oleh musim, letak geografis dan ketinggian tempat. Pada musim hujan, dimana terdapat banyak awan, penerimaan intensitas cahaya matahari hanya berkisar 47%, namun pada musim kemarau di mana pembentukan awan relatif berkurang intensitas cahaya matahari bisa mencapai 70% (Lawlor 1993).

Intensitas cahaya rendah akan mempengaruhi penurunan pertumbuhan dan produksi tanaman serta terganggunya berbagai proses metabolisme tanaman. Pada budidaya tanaman tomat dengan sistem dudukuhan dengan cekaman cahaya rendah pada 32 – 174 *1000 lux menurunkan produksi tomat per tanaman sebesar 26.6% dibandingkan dengan cahaya penuh (Manurung et al. 2008).

Intensitas cahaya rendah juga mempengaruhi kualitas hasil suatu tanaman. Gent (2007) melaporkan bahwa pada tanaman tomat, dengan meningkatnya tingkat naungan akan menurunkan jumlah buah yang pecah, blossom end root, dan ketidakmerataan kematangan buah serta meningkatkan hasil yang dapat dijual kepasaran. Pada budidaya tanaman kopi, naungan meningkatkan ukuran dari biji kopi dan rasa kopi (Bote dan Struik 2011).

Tanaman di alam tidak tumbuh pada habitat yang terus menerus ternaungi (deep shade) maupun habitat yang terus menerus terbuka (sun bright). Habitat tumbuh sering dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan. Adaptasi tumbuhan terhadap kondisi lingkungan menunjukkan respon yang berbeda-beda dan dipengaruhi oleh faktor genetik. Secara genetik tanaman yang toleran terhadap naungan mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap perubahan lingkungan (Mohr dan Scoopfer 1995).

(23)

6

kelompok tumbuhan C3 dan tumbuhan matahari dari C4. Adaptasi kedua kelompok tanaman ini terhadap naungan menunjukkan sifat morfologi dan fotosintesis mirip dengan tumbuhan naungan dan pertumbuhan menjadi lambat (Salisbury dan Ross 1995).

Menurut Abdul dan Rasul (2005), naungan merupakan suatu bentuk pengurangan cahaya yang diterima oleh tanaman. Secara umum naungan dapat bersifat temporal dan permanen.Perubahan cahaya dapat mempengaruhi anatomi, morfologi dan fisiologi tanaman. Lapisan atas perangkat fotosintesis, sel palisade dapat berubah sesuai dengan kondisi cahaya, yang menyebabkan tanaman menjadi efisien dalam menyimpan energi cahaya untuk perkembangannya (Taiz dan Zeiger 2002). Tanaman yang berada pada kondisi ternaungi biasanya menunjukkan pengurangan lapisan palisade dan sel-sel mesofil yang menyebabkan daun yang terbentuk lebih luas dan tipis (Mohr dan Schoopfer 1995; Khumaida 2002). Penipisan daun ini disebabkan oleh berkurangnya jumlah dan ukuran sel palisade, dimana sel-selnya mengecil sehingga hanya berbeda sedikit ukurannya dengan sel bunga karang dan bentuknya tidak beraturan. Hal ini menyebabkan banyaknya rongga udara dan air yang terbentuk, sehingga pancaran cahaya yang diterima lebih baik dan jumlah cahaya yang mencapai sel lebih tinggi (Taiz dan Zeiger 2002).

Kemampuan tanaman dalam beradaptasi terhadap cekaman intensitas cahaya rendah tergantung pada kemampuan tanaman tersebut untuk melakukan proses fotosintesis secara normal dalam kondisi intensitas cahaya rendah tersebut. Kemampuan tersebut dapat melalui dua cara, yaitu melalui: (a) peningkatan luas daun sebagai cara meningkatkan luas bidang tangkapan, dan (b) mengurangi jumlah cahaya yang ditransmisikan dan yang direfleksikan (Hale dan Orchut 1987). Sebelumnya, Levitt (1980) menyatakan bahwa penyesuaian tanaman dalam terhadap intensitas cahaya rendah dicapai melalui mekanisme penghindaran (avoidance) dan mekanisme toleransi. Mekanisme penghindaraan berkaitan dengan perubahan anatomi dan morfologi daun agar dapat lebih efesien dalam melakukan fotosintesis (Gambar 2). Mekanisme toleransi berkaitan dengan penurunan titik kompensasi cahaya dan respirasi yang efesien.

Mekanisme penghindaran intensitas cahaya rendah telah terbukti dari beberapa hasil penelitian seperti: Meningkatnya luas daun kedelai pada beberapa tingkat naungan dibandingkan kontrol (Handayani 2003; Lestari 2005; Tyas 2006; Kisman 2007; Muhuria 2007). Peningkatan luas daun diketahui juga terjadi pada daun Pisum sativum L. (Akhter et al. 2009). Disamping itu cahaya terbukti mempengaruhi orientasi kloroplas tanaman. Pada intensitas cahaya rendah kloroplas akan mengumpul pada dua bagian, yaitu pada kedua sisi dinding sel terdekat dan terjauh dari cahaya (Salisbury dan Ross 1995). Hal ini menyebabkan warna daun lebih hijau karena posisi kloroplas yang terkonsentrasi pada permukaan daun (Myers et al. 1997).

Pada kondisi intensitas cahaya rendah, tanaman akan meningkatkan kandungan klorofil dan mengurangi rasio klorofil a terhadap b, dengan meningkatkan jumlah klorofil b (Taiz dan Zeiger 2002). Hal ini disebabkan oleh perubahan ukuran dan bentuk antena. Tanaman pada intensitas cahaya rendah memiliki PS II yang mengandung lebih banyak antena Light Harvesting Complex

(24)

7 rendah berkaitan erat dengan meningkatnya protein klorofil a/b pada LHC II. Hal ini ditunjukkan juga oleh genotipe toleran padi gogo yang memiliki klorofil a dan b yang lebih tinggi serta nisbah a/b lebih rendah dibanding peka (Soverda 2002; Sopandie et al. 2003). Hal yang sama juga dijumpai pada kedelai dan talas toleran (Djukri 2003; Sopandie et al. 2003).

Gambar 2 Adaptasi tanaman naungan yang berperan penting dalam avoidance

terhadap defisit cahaya (Levit 1980).

(25)

8

3

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai bulan April 2013di kebun percobaan Cikabayan IPB, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor. Analisis fisiologi tanaman akan dilakukan di laboratorium Molecular Marker and Spectrophotometry UV-VIS, Mikroteknik, dan Pascapanen Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB.

Bahan

Bahan genetik yang digunakan terdiri atas 20 genotipe tomat koleksi bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB (Tabel 1). Bahan lain yang digunakan adalah NPK 15-15-15 600 kg/ha, kascing, arang sekam, NPK Mutiara 16-16-16, pupuk daun, furadan, fungisida dan insektisida. Bahan kimia yang digunakan antara lain bahan kimia untuk analisis klorofil dan analisis total asam tertitrasi (NaOH 1% dan larutan phenolphthalein). Tabel 1 Genotipe tomat bahan penelitian

No. Genotipe Kode No. Genotipe Kode

1. Intan T1 11. Bogor T53

2. GIK T3 12. Medan 4 T57

3. SSH 3 T6 13. Kediri 1 T60

4. Karina T13 14. Papua 2 T64

5. Roma T21 15. Montero T80

6. Rempai T23 16. Fatma T82

7. Apel T30 17. Ratna T83

8. SSH 9 T33 18. Delana T84

9. SSH 10 T34 19. Palupi T85

10. M4HH T43 20. Mawar T86

Alat

(26)

9 Prosedur Penelitian

Percobaan disusun secara faktorial dalam Rancangan Petak Tersarang (nested design) dengan tiga ulangan dan 5 tanaman untuk setiap ulangan. Tata letak percobaan ditunjukkan pada Lampiran 1. Faktor naungan terdiri atas empat taraf naungan naungan 0%, 25%, 50%, dan 75%. Faktor genotipe tomat terdiri atas 20genotipe.

Model matematika percobaan ini mengikuti model Gomez dan Gomez (1995) sebagai berikut:

Yijk = µ + Ni + U(N)ji +Gk + (GN)jk+ εijk

dengan :

Yijk = Nilai pengamatan pada naungan ke-i, genotipe ke-j dan blok ke-k

µ = rataan umum

Ni = pengaruh naungan ke-i (i=1, 2, 3, dan 4)

U(N)ji = pengaruh ulangan ke-j dalam naungan ke-i (j=1,2, dan 3)

Gk = pengaruh genotipe ke-k (k=1-20)

(BG)jk = pengaruh interkasi antara naungan ke-i dengan genotipe ke-k

εijk = galat akibat pengaruh naungan ke-i, ulangan ke-j dan genotipe ke-k

Pelaksanaan Penelitian 1. Penyemaian Tomat

Benih tomat disemaikan terlebih dahulu di tray semai ukuran 105 lubang. Media persemaian yang digunakan berupa media kascing dan arang sekam, (1:1/v:v). Penyiraman dilakukan sehari dua kali, yaitu pagi dan sore hari. Pemberian pupuk daun dilakukan setiap empat hari sekali dengan konsentrasi 1 g l-1. Bibit dipindahkan ke lapangan pada umur bibit empat minggu.

2. Penanaman Tomat

Paranet yang digunakan sesuai dengan perlakuan (Gambar 3). Naungan dibuat dengan memasang paranet hitam pada semua sisi rangka naungan dengan tinggi naungan 1.8 meter. Pembuatan naungan dilakukan dua minggu sebelum penanaman. Rangka terbuat dari bambu dengan arah pemasangan dari timur ke barat untuk mendapatkan sinar matahari yang maksimum.

Bibit tomat yang berumur empat minggu dipindah dari persemaian ke polibag berukuran 35 cm x 35 cm (6 kg). Bibit yang ditanam dipilih yang seragam pertumbuhannya, tidak terserang hama dan penyakit dan warna daun hijau segar.

Media tanam yang digunakan adalah tanah dan pupuk kandang (1:1/v:v). Bibit ditanam di polibag dengan satu bibit per polibag. Polibag ditempatkan dengan jarak 50 cm x 70 cm . Setelah pemindahan dilakukan pemberian furadan dan pupuk dasar. Pupuk dasar yang digunakan yaitu pupuk majemuk NPK 15-15-15 dengan dosis 600 kg ha-1 (Nurtika 2007) sehingga kebutuhan pupuk per polibag yaitu 1.8 g. Aplikasi pupuk dasar dilakukan dengan cara ditugal sekitar 10 cm dari tanaman.

3. Pemeliharan

(27)

10

sebanyak 250 ml polibag-1. Pengajiran dilakukan pada satu minggu setelah tanam. Pengajiran dilakukan agar tanaman tidak mudah rebah. Penyiangan gulma dilakukan secara manual dengan mencabut gulma yang tumbuh. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan secara manual dan kimiawi.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 3 Bangunan paranet taraf (a) 0%, (b) 25%, (c) 50%, (d) 75% 4. Pemanenan

Pemanenan tomat dilakukan pada tanaman yang telah berumur 8-11 MST. Pemanenan dilakukan dengan cara memetik buah pada tahap light red. Tahap

light red merupakan tahap dimana permukaan buah >60% merah. Pengamatan

Pada percobaan ini pengamatan yang dilakukan meliputi komponen pertumbuhan tanaman, komponen produksi tanaman, komponen fisiologis tanaman dan komponen kualitas hasil buah.

A. Komponen pertumbuhan tanaman:

1) Tinggi tanaman (cm). Pengukuran tinggi tanaman dilakukan setiap minggu sejak 2-8 MST (minggu setelah tanam) dengan cara mengukur tinggi tanaman dari permukaan tanah hingga titik tumbuh tanaman.

2) Jumlah daun. Penghitungan jumlah daun dilakukan setiap minggu dari 2 – 8 MST dengan cara menghitung semua daun majemuk.

(28)

11 4) Umur berbunga (hari setelah tanam). Pengamatan waktu berbunga dilakukan setelah 75% dari populasi tanaman tomat berbunga, diamati pada bunga ketiga dari tandan kedua.

5) Diameter batang. Pengamatan dilakukan pada tanaman berumur 8 MST. 6) Iklim mikro (suhu udara, kelembaban udara, dan intensitas cahaya).

Pengukuran ini dilakukan dua minggu sekali pada pukul 08.00, 13.00, dan 16.00. Pengukuran intensitas cahaya menggunakan lux meter dengan satuan lux.

B. Komponen produksi tanaman

1) Jumlah buahper tanaman. Perhitungan jumlah buah yang diperoleh dari panen pertama hingga panen terakhir dari tiap tanaman

2) Bobot buah per tanaman (g). Pengukuran bobot buah per tanaman diperoleh dari jumlah bobot total buah pada tiap tanaman.

3) Diameter buah (cm). Pengukuran diameter diukur bagian tengah buah yang paling lebar dengan menggunakan jangka sorong.

4) Bobot per buah (g). Pengukuran bobot per buah diperoleh dari bobot buah per tanaman dibagi dengan jumlah buah per tanaman.

C. Komponen fisiologis tanaman

1) Ketebalan daun. Pengukuran ketebalan daun dilakukan pada 7 MST dengan mengamati daun ketiga dari pucuk, prosedur kerja disajikan pada Lampiran 2.

2) Kerapatan stomata. Pengukuran kerapatan stomata dilakukan pada 7 MST dilakukan dengan metode Sumargono (1994), prosedur kerja disajikan pada Lampiran 3.

3) Kandungan klorofil a, dan b (mg.g-1 daun segar). Pengukuran kadar klorofil dilakukan pada 8 MST menggunakan spektofotometer dengan metode Sims dan Gamon (2002), prosedur kerja disajikan pada Lampiran 4.

D. Komponen kualitas buah tomat

1) Kekerasan buah. Pengukuran kekerasan buah menggunakan penetrometer. Alat diatur pada beban 50 gram, dengan jarak tusukan jarum ke dalam kulit dan daging buah 0.05 cm hingga 0.3 cm selama 5 detik. Pengukuran dilakukan pada tiga tempat yang berbeda yaitu bagian pangkal, tengah, dan ujung buah tomat.

2) Total padatan terlarut. Kandungan padatan terlarut total diukur dengan menggunakan hand refraktometer. Buah tomat dihancurkan dengan blender, kemudian cairan buah yang telah disaring diteteskan pada prisma refraktometer. Indeks refraksi sebagai total padatan terlarut ditentukan dengan melihat angka yang tertera pada skala refraktometer dalam satuan oBrix.

(29)

12

phenolphtalein sebanyak dua tetes. Setelah itu filtrat dititrasi dengan larutan NaOH 0.1 N sampai terjadi perubahan warna menjadi merah muda. Kandungan TAT dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Keterangan:

fp : faktor pengencer (100/25) BE : bobot ekivalen asam sitrat (64)

Analisis Data

Tingkat toleransi ditentukan berdasarkan produksi relatif buah tomat pada tingkat naungan yang menghasilkan keragaman yang tertinggi (Djukri dan Purwoko 2003). Pengelompokan tingkat toleransi tanaman ditetapkan berdasarkan persentase produksi relatif tanaman (Elfarisna 2000). Berdasarkan hal tersebut genotipe tomat dikelompokkan dengan kriteria sebagai berikut: (1) genotipe peka bila produksi relatif <80%); (2) genotipe toleran (bila produksi relatif 80-100%); (3) genotipe senang naungan (bila produksi relatif >100%). Analisis antar perlakuan diuji menggunakan Beda Nyata Jujur (BNJ) dan kontras ortogonal taraf α0.05 menggunakan SAS 9.0.

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data BMG (2013), menunjukkan curah hujan rata-rata pada bulan Februari-April 2013 berturut-turut adalah 17.66, 15.91, dan 9.82 mm , sedangkan suhu rata-rata harian berkisar antara 23-32.4 oC, intensitas cahaya matahari yang diterima pada saat penelitian berlangsung berkisar antara 294-314 Cal.cm-2. Kelembaban nisbi pada lingkungan penelitian berkisar antara 83.68-85.37%.

Pelaksanaan penelitian dilakukan dalam bangunan paranet dengan taraf 25%, 50%, dan 75%, di kebun Cikabayan IPB. Bibit dipindah tanam atau transplanting saat bibit berumur 4 MST. Rata-rata persentase bibit yang tumbuh di persemaian yaitu 93%. Genotipe T60 dan T843 memiliki persentase hidup kurang dari 80%, yaitu 61% dan 73%. Penanaman dilakukan dengan menggunakan polibag. Rata-rata persentase hidup tanaman tomat di lapang pada 3 MST mencapai 92%. Pada awal penanaman, persentase kematian tertinggi terjadi pada genotipe T1 (18.33%) dan T84 (11.9%).

Serangan hama yang ditemukan dalam penelitian ini adalah belalang hijau (Nympahea sp.), jangkrik, dan ulat buah tomat (Helicoperva armigera). Pengendalian hama dilakuka secara fisik dan kimia. Pengendalian kimia dilakukan dengan cara pemberian Decis 2.5 EC (Deltamethrin) seminggu sekali.

Penyakit yang menyerang adalah virus kuning/tomato yellow leaf curl virus

(30)

13 (daun melengkung ke atas), penebalan tulang dan anak tulang daun, penguningan lamina daun, dan tanaman menjadi kerdil (Aidawati 2006).

Gejala yang terlihat seperti klorosis pada anak tulang daun dari daun muda menyebar kesuluruh bagian tanaman, hingga tampak tanaman menguning (Gambar 4). Infeksi lanjut dari gemini virus dapat menyebabkan daun-daun mengecil, tanaman menjadi kerdil, sehingga menghambat pertumbuhan yang akan mengakibatkan menurunnya hasil dan kematian tanaman. Penyakit ini banyak menyerang pada perlakuan naungan 0% dan 25% yaitu sekitar 28%. Genotipe tomat yang paling banyak terserang yaitu genotipe T84 dan T43, terserang sekitar 80% dan 53% pada perlakuan tanpa naungan. Pengendalian dilakukan dengan mencabut atau membuang tanaman untuk mengurangi dan menghilangkan sumber virus.

Gambar 4 Penyakit virus kuning yang menyerang tanaman tomat

Selain pengendalian hama dan penyakit, dilakukan pemeliharaan lainnya seperti, pengendalian gulma dan pemangkasan tunas air. Pengendalian gulma dilakukan secara manual dengan mencabut gulma yang tumbuh dalam polibag maupun sekitar lahan percobaan. Pemangkasan tunas air dilakukan secara manual dan menyisakan dua batang utama.

(31)

14

Tabel 2 Anova pengaruh naungan dan genotipe terhadap peubah yang diamatia

Peubah Naungan Genotipe Interaksi

KT F-hit KT F-hit KT F-hit taraf 5%; ** = nyata pada taraf 1%; dan tn = tidak berpengaruh nyata.

Hasil pengamatan iklim mikro di bawah naungan paranet, yang meliputi rata-rata intensitas cahaya, suhu udara, dan kelembaban relatif disajikan pada Tabel3. Perbedaan tingkat naungan mempengaruhi intensitas cahaya, suhu udara, dan kelembaban udara sehingga intensitas cahaya yang diterima oleh tanaman berbeda dan mempengaruhi ketersediaan cahaya yang akan diubah menjadi energi kimia. Semakin besar tingkat naungan maka suhu udara makin rendah dan kelembaban semakin tinggi.

Tabel 3 Rata-rata iklim mikro pada empat taraf naungan

(32)

15 Evaluasi Produksi Tanaman Tomat pada berbagai Tingkat Naungan

Produksi. Pola hubungan antara naungan dan rata-rata produksi buah per tanaman membentuk kurva kuadratik dengan persamaan Y= -1731x2 + 920.8x + 314 (R2 = 0.979) (Gambar 5). Hal ini menunjukkan bahwa produksi meningkat seiring dengan peningkatan naungan dan mencapai titik maksimal pada naungan 25%, selanjutnya peningkatan naungan menurunkan produksi buah per tanaman tomat.

Gambar 5 Respon rata-rata produksi buah per tanaman terhadap naungan Berdasarkan hasil rekapitulasi sidik ragam (Tabel 2) naungan, genotipe, dan interaksi antar keduanya berpengaruh sangat nyata terhadap produksi per tanaman tomat. Naungan 25% menyebabkan peningkatan produksi tomat pada sebagian besar genotipe yang diuji. Rata-rata produksi pada empat tingkat naungan disajikan pada Tabel 4. Pemberian naungan 0%-50% menghasilkan produksi yang lebih tinggi dibanding naungan 75%. Hal ini dikarenakan intensitas cahaya matahari yang diterima tanaman lebih tinggi sehingga akan mempengaruhi ketersediaan energi cahaya yang diubah menjadi energi kimia (Pantilu et al. 2012). Energi kimia tersebut adalah proses fotosintesis yang menghasilkan karbohidrat untuk digunakan tanaman dalam proses pertumbuhan dan produksinya. Berdasarkan data hasil pengamatan di lapangan, rata-rata intensitas cahaya yang diterima pada masing-masing naungan sebesar 1417*1000 lux pada naungan 0%, 1064*1000 lux pada naungan 25%, 646*1000 lux pada naungan 50%, dan 428*1000 lux pada naungan 75%. Manurung et al. (2008) menyatakan bahwa pertumbuhan tomat optimal pada areal terbuka sebesar 482-540*1000 lux.

(33)

16

menyatakan bahwa naungan 50% dipilih untuk menyaring klon talas toleran naungan.

Berdasarkan produksi relatif maka dihasilkan pengelompokan genotipe seperti ditunjukkan pada Tabel 4. Pemberian naungan 50% dapat meningkatkan produksi per tanaman pada genotipe senang naungan hingga 33%. Genotipe peka, dan toleran menunjukkan penurunan produksi relatif masing-masing 37% dan 10% pada naungan 50%. Peningkatan produksi relatif tertinggi pada taraf naungan 50% ditunjukkan oleh genotipe T43 yaitu 80%, sedangkan genotipe T84 mengalami penurunan produksi relatif tertinggi yaitu 43%.

Tabel 4 Produksi buah tomat per tanaman 20 genotipe pada berbagai tingkat

(34)

17 Peningkatan produksi pada genotipe senang naungan diduga karena pemberian naungan 50% menurunkan suhu sampai pada titik yang mungkin dapat mengurangi tingkat respirasi. Pemberian naungan 50% mengakibatkan suhu yang didapat tanaman lebih rendah (27 oC) dibandingkan dengan perlakuan tanpa naungan (29 oC). Menurunnya tingkat respirasi akan menurunkan proses pembakaran kabohidrat, sehingga akan lebih banyak terakumulasi pada buah. Hasil tersebut sependapat dengan Khattak et al. (2007), yang menyatakan bahwa produksi tomat meningkat dengan meningkatnya tingkat naungan.

Selain faktor lingkungan, faktor genotipe berpengaruh terhadap respon tanaman. Genotipe toleran memiliki kemampuan aktivitas fotosintesis yang relatif tinggi pada kondisi ternaungi sehingga dapat menghasilkan fotosintat yang memadai untuk pertumbuhan dan produksi tanaman. Sopandie et al. (2003), Sasmita et al. (2006), dan Soverda (2011) melaporkan bahwa genotipe padi gogo dan kedelai toleran pada naungan 50% menghasilkan produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe peka.

Jumlah buah per tanaman. Jumlah buah sangat nyata dipengaruhi oleh naungan, genotipe, dan interaksinya (Tabel 2). Hubungan jumlah buah dengan produksi per tanaman berkolerasi positif namun tidak nyata. Jumlah buah per tanaman mengalami penurunan pada kelompok genotipe peka dan toleran masing-masing 46% dan 24% pada naungan 50% (Tabel 5). Namun pada genotipe senang naungan, jumlah buah per tanaman mengalami peningkatan sebesar 5% pada naungan 50%. Genotipe senang naungan mampu menghasilkan jumlah buah per tanaman yang lebih tinggi dibanding dengan genotipe lainnya. Hal ini diduga karena kemampuan genotipe tersebut untuk membentuk jumlah buah yang lebih banyak dan mampu mengefisienkan cahaya yang diterima. Hal tersebut juga sesuai dengan penelitian Soverda (2004) yang menyatakan bahwa jumlah malai padi pada genotipe toleran lebih tinggi dibanding pada genotipe peka.

Genotipe T23 nyata lebih banyak menghasilkan buah tomat dibanding genotipe T84 pada naungan 50%. Namun pada kelompok genotipe lainnya (toleran dan senang naungan), jumlah buah tomat tidak berbeda nyata pada naungan 0% maupun 50%.

Diameter buah. Naungan, genotipe, dan interaksinya berpengaruh sangat nyata terhadap diameter buah tomat (Tabel 2). Diameter buah tomat pada genotipe peka dan senang naungan mengalami peningkatan yaitu masing-masing sebesar 1% dan 7%, sedangkan genotipe toleran mengalami penurunan sebesar 4% (Tabel 5). Ukuran (diameter) tomat yang lebih besar diduga karena pemberian naungan mengakibatkan pasokan kabohidrat menjadi berkurang, sehingga tanaman menyesuaikan perubahan dalam pasokan kabohidrat dengan mengubah jumlah buah yang terbentuk.

Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa pada genotipe peka, genotipe T1 nyata memiliki diameter buah yang lebih besar dibanding genotipe lainnya. Genotipe toleran memiliki diameter buah yang cukup bervariasi yaitu sekitar 21-49 mm. Genotipe T21 nyata menghasilkan diameter terbesar pada naungan 0% dan 50%. Kelompok genotipe senang naungan memiliki diameter buah tomat berkisar 28-41 mm. Genotipe T64 dan T82 nyata memberikan nilai diameter buah terbesar pada naungan 0% dan 50%.

(35)

18

dipengaruhi oleh interaksi naungan dan genotipe (Tabel 2). Berdasarkan rata-rata bobot buah tiap kelompok genotipe, genotipe toleran dan senang naungan mengalami peningkatan, masing-masing sebesar 13%, dan 21% (Tabel 5).

Tabel 5 Komponen hasil kelompok genotipe tomat pada naungan 0 dan 50%

Genotipe

Jumlah buah per

tanamanx Diameter buah (mm)x Bobot per buah (g)x

0% 50% 0% 50% 0% 50%

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing komponen hasil dan kelompok tingkat toleransi tidak berbeda nyata menurut BNJ pada α= 5%. Angka di dalam kurung menunjukkan persentase relatif terhadap kontrol.

(36)

19 menghasilkan bobot buah terbesar yaitu 29.76 g (0%) dan 28.45 g (50%). Naungan 0% pada genotipe senang naungan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, namun pada naungan 50% terlihat bahwa genotipe T6, T82, dan T85 nyata menghasilkan bobot buah yang lebih besar.

Berdasarkan hasil uji kontras terhadap komponen hasil (Tabel 6), dapat diketahui bahwa naungan 50% secara nyata mengurangi jumlah buah per tanaman pada kelompok genotipe peka dan toleran. Pemberian naungan 50% nyata menurunkan diameter buah pada genotipe toleran. Meskipun demikian, pemberian naungan 50% juga tidak mempengaruhi bobot per buah pada semua kelompok genotipe.

Tabel 6 Perubahan komponen hasil tanaman antar kelompok genotipe Genotipe sama tidak berbeda nyata menurut uji kontras (α= 5%).

Berdasarkan Tabel 4, dapat diketahui bahwa penurunan produksi pada genotipe peka dan toleran dengan pemberian naungan 50% disebabkan oleh penurunan jumlah buah per tanaman dan ukuran (diameter) buah (Tabel 6). Hal ini diperkuat oleh pernyataan Muhsanati et al.(2009) dan Sandra et al. (2003) yang menyatakan produksi dipengaruhi oleh jumlah buah dan ukuran buah.

Karakteristik Morfologi Tanaman Tomat Toleran Naungan

Tinggi Tanaman. Naungan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap tinggi tanaman, demikian juga dengan genotipe dan interaksinya (Tabel 2). Hasil uji kontras menunjukkan bahwa tanaman yang ditumbuhkan di bawah naungan 50% nyata lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman kontrol untuk semua genotipe. Hal ini ditunjukkan pada Tabel 7 dan Gambar 6. Genotipe toleran menunjukkan rata-rata tinggi tanaman tertinggi pada taraf naungan 50% yaitu 127.67 cm. Hasil tersebut sama dengan penelitian Wahyuningrum (2008) pada cabai dan Supijatno (2012) pada padi gogo, yang menyatakan terjadi peningkatan tinggi tanaman pada cekaman naungan.

(37)

20

Jumlah daun. Naungan dan genotipe berpengaruh sangat nyata, sedangkan interaksi naungan dan genotipe berpengaruh nyata terhadap jumlah daun (Tabel 2). Daun merupakan organ tempat fotosintesis berlangsung. Hasil uji kontras menunjukkan bahwa pemberian naungan 50% berpengaruh nyata terhadap jumlah daun pada genotipe peka dan toleran, sedangkan pada genotipe senang naungan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (Tabel 7). Genotipe peka menunjukkan bahwa dengan pemberian naungan 50% nyata menaikkan jumlah daun tomat. Hal sebaliknya terjadi pada genotipe toleran yang menunjukkan penurunan jumlah daun pada naungan 50%. Anggareni (2010) menyatakan bahwa, naungan 55% menurunkan jumlah daun trifoliat kedelai sebesar 42%. Menurut Sundari et al.

(2005), naungan berkolerasi negatif dengan jumlah daun, sehingga peningkatan taraf naungan akan menurunkan jumlah daun.

Peka Toleran

Senang naungan

Gambar 6 Perbedaan tinggi tanaman antar genotipe

(38)

21 sependapat dengan hasil Wahyuningrum (2008) yang menyatakan bahwa naungan 50% meningkatkan tinggi tanaman dan diameter batang cabai.

Umur berbunga. Naungan, genotipe, dan interaksi keduanya menunjukkan pengaruh yang sangat nyata terhadap umur berbunga tomat (Tabel 2) Munculnya bunga merupakan suatu indikator bahwa tanaman telah memasuki fase generatif. Tabel 6 menunjukkan bahwa pemberian naungan 50% tidak menunjukkan perbedaan umur berbunga yang nyata pada genotipe peka dan senang naungan. Namun pada genotipe toleran, pemberian naungan nyata memperlambat umur berbunga tomat. Menurut Edmond et al. (1964), waktu berbunga suatu tanaman dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, suhu harian, dan genotipe tanaman. Tabel 7 Perubahan karakter morfologi dan fisologi tanaman antar kelompok

genotipex

No Peubah Peka Naungan

x

Toleran Naungan x Senang Naunganx

0% 50% 0% 50% 0% 50%

167.30a 173.25a 164.00b 196.32a 160.93b 187.34a 8 Klorofil a (mg.g-1) 1.38b 1.69a 1.56b 1.99a 1.53b 1.83a 9 Klorofil b (mg.g-1) 0.54b 0.67a 0.60b 0.79a 0.59b 0.72a 10 Nisbah klorofil a/b 2.55a 2.53b 2.61a 2.53b 2.60a 2.54b

x

Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris dan pada kelompok genotipeyang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji kontras (α=0.05).

Luas Daun. Luas daun tomat sangat nyata dipengaruhi oleh naungan, genotipe dan interaksi keduanya (Tabel 2). Berdasarkan hasil uji kontras (Tabel 7), luas daun tomat nyata meningkat dengan meningkatnya taraf naungan pada semua kelompok genotipe. Gardner et al. (1991) menyatakan bahwa berkurangnya persentase penyinaran yang diterima tanaman menyebabkan luas daun meningkat. Peningkatan luas tertinggi terjadi pada genotipe senang naungan (80%) dan yang terendah yaitu genotipe peka (55%).

(39)

22

struktur sel-sel palisade kecil dan ukurannya tidak jauh berbeda dengan sel-sel bunga karang, sehingga daun lebih tipis (Taiz dan Zeiger 2002).

Karakteristik Fisiologi Tanaman Tomat Toleran Naungan

Tebal daun. Tebal daun dipengaruhi sangat nyata oleh naungan dan interaksi naungan dan genotipe, tetapi tidak nyata dipengaruhi oleh genotipe (Tabel 2).Pemberian naungan 50% nyata menurunkan ketebalan daun tomat pada semua kelompok genotipe. Ketebalan daun tomat pada genotipe peka mengalami penurunan yang lebih tinggi (30%) dibandingkan dengan genotipe toleran (18%), dan senang naungan (24%) (Tabel 7). Menipisnya daun akibat naungan telah banyak dilaporkan pada penelitian Sopandie et al. (2006), Muhuria et al. (2006), Anggraeni (2010) pada tanaman kedelai.

Ketebalan daun yang menipis tersebut berkaitan dengan panjang dan susunan lapisan palisade. Tanaman yang tidak ternaungi memiliki sel-sel palisade lebih panjang dan tersusun atas dua atau tiga lapisan, sedangkan pada kondisi ternaungi, palisade lebih pendek dan umumnya terdiri atas satu lapis (Salisbury dan Ross 1992, Taiz dan Zeiger 2002). Daun yang ternaungi umumnya hanya terdiri atas satu lapisan akibatnya kloroplas akan lebih terkonsentrasi ke permukaan adaksial daun sehingga penangkapan cahaya akan lebih efisien. Selain itu, sintesis palisade yang pendek dan hanya satu lapis akan mengefisienkan penggunaan fotosintat.

Kerapatan stomata. Naungan dan genotipe berpengaruh sangat nyata terhadap kerapan stomata, sedangkan interaksi naungan dan genotipe berpengaruh nyata (Tabel 2). Hasil uji kontras menunjukkan bahwa kerapatan stomata pada kelompok genotipe peka tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan pemberian naungan 50%. Namun pada genotipe toleran dan senang naungan, nyata meningkatkan kerapatan stomata (Tabel 7). Hal ini menunjukkan bahwa genotipe tersebut dapat berfotosintesis secara normal pada kondisi naungan 50%.

Menurut Wilmer (1983), pembentukan stomata ditentukan oleh faktor genetik dan faktor lingkungan seperti intensitas cahaya. Secara genetik, tiap-tiap genotipe memiliki jumlah stomata yang berbeda-beda, dengan meningkatnya luas daun maka jumlah stomata per satuan luas akan berkurang. Hasil penelitian Morais et al. (2004) dan Anggraeni (2010) berbeda dengan hasil penelitian, yaitu bahwa kerapatan stomata menurun dengan meningkatnya taraf naungan.

Kandungan klorofil a dan b. Naungan, genotipe dan interaksi naungan dan genotipe berpengaruh sangat nyata terhadap kandungan klorofil a dan b (Tabel 2). Naungan nyata meningkatkan kandungan klorofil a dan b pada semua kelompok genotipe (Tabel 7). Genotipe toleran meningkatkan kandungan klorofil a dan b tertinggi, masing-masing 21% dan 24%. Hal ini sesuai dengan penelitian Muhuria

et al. (2006) dan Soverda (2011) bahwa terjadi peningkatan klorofil a dan b yang lebih tinggi pada genotipe kedelai toleran. Kandungan klorofil yang lebih besar pada tanaman toleran akan memungkinkan lebih banyak energi cahaya yang dapat diolah menjadi energi kimia dalam bentuk elektron tereksitasi. Peningkatan kadar klorofil a dan b merupakan bukti kemampuan tanaman tomat untuk tumbuh di bawah naungan.

(40)

23 responnya ditentukan oleh kondisi cahaya yang diterima. Klorofil b berfungsi sebagai antena yang mengumpulkan cahaya untuk kemudian ditransfer ke pusat reaksi. Pusat reaksi tersusun dari klorofil a. Energi cahaya akan diubah menjadi energi kimia di pusat reaksi yang kemudian dapat digunakan untuk proses reduksi dalam fotosintesis (Taiz dan Zeiger 2002).

Nisbah klorofil a/b. Naungan, genotipe dan interaksi antar keduanya menunjukkan perubahan yang nyata pada nisbah klorofil a/b (Tabel 2). Genotipe peka, toleran, dan senang naungan nyata menurunkan nisbah klorofil a/b pada naungan 50% (Tabel 7). Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan klorofil b lebih tinggi dari peningkatan klorofil a pada genotipe tomat yang diuji. Nisbah klorofil a/b pada genotipe toleran, mengalami penurunan yang lebih tinggi (3%) dibandingkan dengan genotipe senang naungan (2%) dan genotipe peka (1%). Hal ini sejalan dengan penelitian Kisman (2007), Muhuria (2007), Anggraeni (2010) bahwa pada kondisi ternaungi genotipe toleran memiliki kandungan klorofil b lebih tinggi dan rasio klorofil a/b yang lebih rendah dibanding genotipe peka. Menurut Khumaida (2002), menurunnya nisbah klorofil a/b pada tanaman yang dinaungi disebabkan oleh peningkatan klorofil b, yang berkaitan dengan peningkatan protein klorofil a/b sehingga akan meningkatkan efisiensi fungsi antena fotosintetik pada light harvesting complex II (LHC II).

Karakteristik Kualitas Buah Tomat Toleran Naungan

Kekerasan buah. Hasil analisisi ragam menunjukkan bahwa naungan, genotipe dan interaksinya memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kekerasan buah (Tabel 2). Pemberian naungan juga mempengaruhi kualitas buah tomat (Wada et al. 2006, Gent 2007). Hasil analisis menunjukkan bahwa genotipe toleran dan senang naungan tidak berbeda nyata menurunkan nilai kekerasan buah pada naungan 50% (Tabel 8). Namun berbeda dengan genotipe peka yang nyata menurunkan nilai kekerasan buah dengan meningkatnya naungan. Nilai kekerasan buah pada genotipe peka dengan kondisi tanpa naungan sebesar 0.38 mm.g-1.s-1 dan dengan pemberian naungan 50% sebesar 0.31 mm.g-1.s-1 (Tabel 8).

Tabel 8 Nilai kekerasan buah, padatan total terlarut dan total asam tertitrasi buah tomat pada naungan 0 dan 50%

Genotipe

(41)

24

buah menunjukkan buah tersebut semakin lunak. Hal ini dikarenakan jumlah buah per tanaman pada genotipe peka lebih rendah dibandingkan genotipe lainnya. Genotipe peka dengan pemberian naungan 50% menurunkan jumlah buah hingga 51%. Menurut Setyorini et al. (2009) terjadi korelasi negatif antara kekerasan buah dengan jumlah buah per tanaman. Semakin sedikit jumlah buah per tanaman akan semakin tebal daging buah tomat dan semakin keras buah tomat yang dihasilkan.

Padatan Total Terlarut (PTT). Kandungan PTT dipengaruhi sangat nyata oleh naungan, genotipe, dan intraksinya (Tabel 2). Pemberian naungan 50% pada genotipe peka, toleran, dan senang naungan nyata menurunkan nilai kandungan padatan total terlarut (Tabel 8). PTT adalah indeks yang menunjukkan proporsi refraktometrik (Brixo) dari padatan terlarut dalam suatu larutan. Ini adalah jumlah dari gula (sukrosa dan heksosa, 65%), asam (sitrat dan malat, 13%) dan komponen kecil lainnya (fenol, asam amino, pektin larut, asam askorbat dan mineral) dalam daging buah tomat (Balibrea et al. 2006, Kader 2008).

Penurunan nilai padatan total terlarut buah tomat dengan pemberian naungan, sesuai dengan penelitian Dussi et al. (2005) dan Ilić et al. (2012) yang menunjukkan naungan menurunkan nilai padatan total terlarut pada buah apel dan tomat. Penurunan nilai padatan total terlarut pada kondisi ternaungi disebabkan oleh menurunnya kandungan gula pada tomat (Ilićet al. 2012). Dengan demikian, naungan menjadi faktor penghambat tanaman dalam mensintesis sukrosa (aktivitas fotosintesis) sehingga menurunkan akumulasi glukosa dan fruktosa dalam buah-buahan, dan mengubah padatan total terlarut buah (Caliman et al.

2010).

Total Asam Tertitrasi (TAT). TAT dipengaruhi sangat nyata oleh naungan, genotipe, dan interaksi naungan dan genotipe (Tabel 8). Genotipe toleran menurunkan total asam tertitrasi buah, sedangkan genotipe peka dan senang naungan meningkatkan nilai total asam tertitrasi pada naungan 50% (Tabel 8). Nilai total asam tertitrasi dipengaruhi oleh asam organik buah. Kandungan asam organik yang diproduksi dalam buah berasal dari karbohidrat yang tersimpan. Caliman et al. (2010) menambahkan bahwa asam organik buah dapat dipengaruhi juga oleh faktor lingkungan. Kondisi yang ternaungi dapat menurunkan laju fotosintesis tanaman sehingga akumulasi karbohidrat pada buah rendah. Perbedaan nilai total asam tertitrasi pada penelitian ini, diduga lebih dipengaruhi oleh kandungan asam organik pada buah tersebut dibandingkan faktor lingkungan (naungan).

5 PEMBAHASAN UMUM

Kondisi ternaungi merupakan merupakan salah satu kondisi cekaman lingkungan. Tanaman akan melakukan upaya adaptasi pada kondisi tersebut. Tanaman akan melakukan perubahan karakter morfologi, fisiologi dan produksi tanaman sebagai bentuk mekanisme adaptasi terhadap cekaman naungan.

(42)

25 cahaya menurun sehingga proses fotosintesis terhambat yang mengakibatkan produksi menurun.

Produksi relatif adalah persentase terhadap kontrol. Produksi relatif merupakan salah satu dasar penentuan tingkat toleransi tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi relatif tomat pada naungan 25% memiliki nilai diatas 100% pada sebagian besar genotipe yang diuji. Namun, pada naungan 50% mulai terlihat terjadinya penurunan produksi relatif. Oleh karena itu, naungan 50% dipilih untuk menyaring genotipe tomat toleran naungan. Hal ini sesuai dengan penelitian Djukri dan Purwoko (2003) yang menggunakan naungan 50% sebagai dasar penentuan tingkat toleransi pada tanaman talas.

Tingkat toleransi tanaman tomat dikelompokkan menjadi tiga kelompok genotipe, yaitu genotipe peka, toleran, dan senang naungan. Kelompok genotipe moderat tidak digunakan pada penelitian ini karena hanya terdapat satu genotipe yaitu T1, sehingga digabungkan dengan kelompok genotipe peka. Genotipe peka terdiri atas tiga genotipe yaitu T1, T23, dan T84. Genotipe toleran terdiri atas sembilan genotipe yaitu T3, T21, T33, T34, T53, T60, T80, T83, dan T86. Genotipe senang naungan terdiri atas delapan genotipe yaitu T6, T13, T30, T43, T57, T64, T82, dan T85.

Pemberian naungan 50% pada kelompok genotipe peka dan toleran menurunkan produksi per tanaman tomat. Namun pada naungan 50%, produksi tomat per tanaman pada genotipe toleran lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe peka. Genotipe toleran memiliki kemampuan aktivitas fotosintesis yang relatif tinggi pada kondisi ternaungi sehingga dapat menghasilkan fotosintat yang memadai untuk pertumbuhan dan produksi tanaman dibamdingkan genotipe peka. Kemampuan genotipe toleran menghasilkan produksi per tanaman yang lebih tinggi diduga karena kemampuannya dalam mempertahankan jumlah buah per tanaman tetap tinggi. Hal tersebut ditunjukkan pada Tabel 5 yaitu genotipe peka menurunkan jumlah buah lebih besar yaitu 46% dibandingkan dengan genotipe toleran yaitu 24% pada naungan 50%. Jumlah buah per tanaman berkorelasi positif terhadap produksi per tanaman, sehingga semakin tinggi jumlah buah maka produksi semakin meningkat.

Genotipe senang naungan meningkatkan produksi per tanaman hingga 33% pada naungan 50%. Hal ini diduga dipengaruhi oleh faktor genotipe. Genotipe senang naungan menghasilkan produksi relatif diatas 100% pada naungan 50%, hal ini diduga karena genotipe tersebut peka terhadap cahaya tinggi sehingga produksi per tanaman pada kondisi naungan 0% lebih rendah. Hal ini dapat terlihat pada Tabel 4 yang menunjukkan bahwa rata-rata produksi per tanaman pada genotipe toleran dan peka lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe senang naungan pada kondisi naungan 0%. Selain itu peningkatan produksi pada genotipe senang naungan diduga dipengaruhi oleh peningkatan komponen hasil tanaman pada naungan 50%. Dugaan ini didasarkan pada kenyataan bahwa naungan 50% meningkatkan jumlah buah, diameter buah, dan bobot per buah masing-masing sebesar 5%, 7%, dan 21% (Tabel 5).

(43)

26

yang lebih tinggi dan umumnya tidak didukung oleh batang yang kuat dibandingkan pada kondisi tanpa naungan. Namun pada genotipe senang naungan terlihat bahwa dengan meningkatnya tinggi tanaman maka diameter batang juga meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa genotipe senang naungan tumbuh lebih baik pada kondisi ternaungi. Peningkatan tinggi tanaman pada kondisi ternaungi disebabkan terjadinya proses pemanjangan sel. Auksin yang tertimbun di sisi batang dengan penangkapan cahaya yang rendah, mengakibatkan pemanjangan yang lebih cepat sehingga terjadi etiolasi dalam naungan (Salisbury dan Ross 1995).

Luas daun yang meningkat merupakan upaya tanaman dalam mengefesiensikan penangkapan cahaya untuk melaksanakan proses fotosintesis secara normal pada kondisi intensitas cahaya rendah. Daun yang ternaungi menjadi lebih tipis dan daun permukaan menjadi lebar. Hal ini dikarenakan daun yang ternaungi memiliki struktur sel-sel palisade lebih pendek (terdiri atas satu lapis) dan ukurannya tidak jauh berbeda dengan sel-sel bunga karang, sehingga daun lebih tipis (Salisbury dan Ross 1992, Taiz dan Zeiger 2002). Daun yang ternaungi umumnya hanya terdiri atas satu lapisan akibatnya kloroplas akan lebih terkonsentrasi ke permukaan adaksial daun sehingga penangkapan cahaya akan lebih efisien. Selain itu, sintesis palisade yang pendek dan hanya satu lapis akan mengefisienkan penggunaan fotosintat. Tabel 7 menunjukkan bahwa pada naungan 50%, genotipe senang naungan dan toleran, meningkatkan luas daun dan menurunkan ketebalan daun lebih tinggi dibandingkan genotipe peka.

Klorofil sebagai pigmen pemanen cahaya berperan penting dalam proses fotosintesis pada kondisi ternaungi. Klorofil b berfungsi sebagai antena yang mengumpulkan cahaya untuk kemudian ditransfer ke pusat reaksi. Klorofil a berfungsi sebagai pusat reaksi dan mengubah energi cahaya menjadi kimia (Taiz dan Zeiger 2002). Tabel 7 menunjukkan bahwa naungan 50% menyebabkan kadar klorofil a dan klorofil b meningkat dan nisbah klorofil a/b menurun pada semua kelompok genotipe. Penurunan nisbah klorofil a/b merupakan salah satu karakteristik adaptasi tanaman terhadap naungan (Hidema et al. 1992). Penurunan nisbah klorofil a/b disebabkan oleh peningkatan klorofil b yang lebih tinggi daripada peningkatan klorofil a. Lebih tingginya peningkatan klorofil b diduga karena pembentukannya tidak dipengaruhi cahaya, dan sebaliknya pada klorofil a. Selain itu hal ini berkaitan dengan peningkatan protein klorofil a/b sehingga akan meningkatkan efisiensi fungsi antena fotosintetik pada light harvesting complex II (LHC II) pada kondisi ternaungi.

Tabel 7 juga menunjukkan bahwa genotipe toleran pada naungan 50% mengalami peningkatan klorofil a tertinggi dibandingkan dengan genotipe peka dan senang naungan. Hal ini yang menyebabkan lebih tingginya nisbah klorofil a/b pada genotipe toleran. Hal ini menunjukkan bahwa klorofil a sebagai pigmen utama pemanenan cahaya sangat menentukan kemapuan adaptasi genotipe toleran terhadap naungan.

(44)

27 daun, menurunkan ketabalan daun, meningkatkan kadar klorofil, dan menurunkan nisbah klorofil a/b, serta mempertahankan jumlah buah, bobot per buah sehingga menghasilkan produksi yang tinggi.

Selain mempengaruhi morfologi, fisiologi, dan produksi tanaman tomat, naungan juga mempengaruhi kualitas hasil tomat (Wada et al. 2006, Gent 2007). Kualitas hasil tomat dapat terlihat dari kekerasan buah, padatan total terlarut, dan total asam tertitrasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kondisi ternaungi yang terjadi adalah buah akan semakin lunak dan kandungan padatan total terlarut akan menurun.

Tabel 8 menunjukkan bahwa genotipe toleran mengasilkan buah yang lebih lunak dibandingkan dengan genotipe peka pada naungan 50%. Hal ini disebakan oleh jumlah buah yang dihasilkan genotipe peka lebih sedikit sehingga hasil fotosintat yang dihasilkan dari proses fotosintesis akan ditranslokasi secara maksimal pada buah tersebut. Hal tersebut yang menjadikan daging buah pada genotipe peka semakin tebal dan keras.

Padatan total terlarut buah adalah pengukuran terhadap kandungan gula tereduksi dalam daging buah. Naungan 50% menurunkan kandungan PTT buah pada semua genotipe. Hal ini dikarenakan naungan menghambat proses fotosintesis sehingga menurunkan akumulasi glukosa dan fruktosa dalam buah-buahan, dan mengubah padatan total terlarut buah.

Nilai total asam tetitrasi buah dipengaruhi oleh asam organik buah. Menurut beberapa penelitian, belum diketahui pasti apakah naungan mempengaruhi nilai TAT secara langsung. Hal ini juga terlihat pada Tabel 8 yang menunjukkan hasil yang berbeda antar genotipe. Asam organik buah dapat dipengaruhi oleh buah itu sendiri maupun kondisi lingkungan. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa nilai asam tetitrasi lebih dipengaruhi oleh genotipe.

6 SIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diperoleh pada penelitian ini adalah :

1. Sebagian besar genotipe yang diuji menunjukkan peningkatan produksi per tanaman pada naungan 25%, sedangkan pada naungan 50% menunjukkan keragaman antar genotipe yang tinggi.

2. Berdasarkan produksi relatif, pada tingkat naungan 50%, dari 20 genotipe yang diuji, dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu, genotipe peka (Intan, Rempai dan Delana), toleran (GIK, Roma, SSH 9, SSH 10, Bogor, Kediri 1, Montero, Ratna, Mawar), dan senang naungan (SSH 3, Karina, Apel, M4HH, Medan 4, Papua 2, Fatma, Palupi).

3. Produksi per tanaman tomat dipengaruhi oleh komponen hasil tanaman terutama jumlah buah per tanaman.

4. Perlakuan naungan 50% memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, luas daun, tebal daun, klorofil a dan b, dan nisbah klorofil a/b pada semua kelompok genotipe.

Gambar

Gambar 1 Spektrum cahaya yang dapat diserap oleh pigmen tanaman, biasa
Gambar 2 Adaptasi tanaman naungan yang berperan penting dalam avoidance
Tabel 1  Genotipe tomat bahan penelitian
Gambar 3  Bangunan paranet taraf (a) 0%, (b) 25%, (c) 50%, (d) 75%
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini menunjukkan bahwa DER tidak berpengaruh terhadap harga saham dikarenakan nilai signifikansi sebesar 0,829 &gt; 0,05, maka pada uji hipotesis pertama dapat

Kalau dicermati, selama ini memang ada dua arah kurikulum bahasa Jawa, yaitu (1) kurikulum yang hanya mengajak siswa membaca judul dan sejarah sastra, sehingga

Selain itu, Afiani (2010) menyatakan bahwa kultur campuran untuk starter sangat diperlukan agar terjadi interaksi selama proses fermentasi, akibatnya menghasilkan

Para pihak berhak mengakhiri perjanjian ini sebelum waktunya apabila di dalam pelaksanaan perjanjian salah satu atau kedua belah pihak tidak mampu memenuhi

Berdasarkan hasil pencapaian kegiatan yang dilihat dari peningkatan pengetahuan dan perubahan perilaku pekerja, maka terlihat bahwa hanya tingkat pengetahuan yang mencapai hasil

Komplikasi yang paling sering muncul pada kasus-kasus uveitis anterior adalah glaucoma yang dapat terjadi akibat peningkatan tekanan intra okuler yang disebabkan oleh adanya sinekia

masyarakat dengan pihak lain, adalah konflik pengelolaan Sumber daya

Seluruh kedudukan dan fungsi Pancasila itu bukanlah berdiri secara sendiri-sendiri namun bilamana dikelompokan maka akan kembali pada dua kedudukan dan fungsi Pancasila