• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluation of Fishing Ground Indian Scad (Decapterus spp.) Based on Indicator Composition Catch, Sea Surface Temperature and Chlorophyl-a

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluation of Fishing Ground Indian Scad (Decapterus spp.) Based on Indicator Composition Catch, Sea Surface Temperature and Chlorophyl-a"

Copied!
134
0
0

Teks penuh

(1)

EDALUASI DAERAH PENANGKAPAN IKAN LAYANG

(Decapterus spp.) BERDASARKAN INDIKATOR KOMPOSISI

HASIL TANGKAPAN, SUHU PERMUKAAN LAUT DAN

KLOROFIL-A

SURI PURNAMA FEBRI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis: Evaluasi Daerah Penangkapan Ikan Layang (Decapterus spp) Berdasarkan Indikator Komposisi Hasil Tangkapan, Suhu Permukaan Laut dan Klorofil-a adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini.

Bogor, Agustus 2012

Suri Purnama Febri

(3)

ABSTRACT

SURI PURNAMA FEBRI. 2012. Evaluation of Fishing Ground Indian Scad (Decapterus spp.) Based on Indicator Composition Catch, Sea Surface Temperature and Chlorophyl-a. Supervised by BUDHI H. ISKANDAR and

DOMU SIMBOLON

Determination of accurate fishing ground gives influence on efficiency of fishing operation and productivity. However, fishermen in the northern part of Aceh have difficulties in deciding the position and resulting to the minimum yields. The objective of the research were: (1) to determine the distribution of sea surface temperature (SST), and a-chlorophyll in the north water of Aceh, (2) to determine the composition catch number and size of indian scad (Decapterus spp.) in north water of Aceh, (3) analyzing the relationship between SST and chlorophyll on the catch number and size of indian scad in north water of Aceh, and (4) predicting potential fishing ground in the north water of Aceh. Data were obtained from field data (in-situ) and satellite image data (ex-situ). It was performed by three steps, (1) field surveying in the study location, (2) collecting field data, and (3) downloading SST image and a-chlorophyll from MODIS satellite. Results showed the relationship between SST and chlorophyll is not significant towards catch number and size length of indian scad. Furthermore, SST and chlorophyll are varied in each seasonal period at the range from 27.53oC to 28.83oC and from 0.20 mg/m3 to 0.22 mg/m3. Sizes of fish captured using purse seine are not complying with the current standard and are included under category of restricted to be captured. The most potential fishing ground of indian scad in north water of Aceh during January-March 2012 located Pulo Beras waters.

(4)

RINGKASAN

SURI PURNAMA FEBRI. Evaluasi Daerah Penangkapan Ikan Layang (Decapterus spp) Berdasarkan Indikator Komposisi Hasil Tangkapan, Suhu Permukaan Laut dan Klorofil-a. Dibimbing oleh BUDHI HASCARYO ISKANDAR dan DOMU SIMBOLON.

Aceh merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki potensi besar di bidang perikanan tangkap. Berdasarkan data statistik perikanan tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Aceh tahun 2010, produksi perikanan di Aceh sebanyak 418.901,07 ton. Kemudian, jenis ikan pelagis kecil, khususnya ikan layang (Decapterus spp.), di Perairan Utara Aceh menunjukkan angka yang meningkat dari tahun ke tahun mulai tahun 2007 sampai 2010. Tahun 2007 sebanyak 1.304,5 ton, , tahun 2008 sebanyak 1.589,8 ton, sebanyak 2009 sebanyak 1.850,3 ton dan tahun 2010 sebanyak 1.788 ton (DKP 2007-2010).

Salah satu cara untuk lebih meningkatkan produksi hasil tangkapan ikan layang di Perairan Utara Aceh adalah dengan ketepatan dalam menentukan suatu daerah penangkapan ikan bagi operasi penangkapan. Akan tetapi, hal tersebutlah yang menjadi permasalahan bagi para nelayan sehingga menyebabkan hasil tangkapan ikan tidak optimal. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, salah satu cara yang dapat dipakai adalah bantuan teknologi penginderaan jauh. Teknologi penginderaan jauh ini dapat membantu untuk menentukan dan mengukur parameter permukaan laut, seperti mengukur konsentrasi klorofil-a dan SPL sehingga dapat membantu dalam mendeteksi daerah penangkapan ikan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan penyebaran dan variasi SPL dan klorofil-a di Perairan Utara Aceh; menentukan komposisi jumlah dan ukuran hasil tangkapan ikan layang (Decapterus spp.) di Perairan Utara Aceh; menganalisis hubungan antara SPL dan klorofil-a terhadap komposisi jumlah dan ukuran (size) hasil tangkapan ikan layang di Perairan Utara Aceh; dan memprediksi daerah penangkapan ikan layang di Perairan Utara Aceh dengan membuat peta daerah penangkapan ikan potensial. Penelitian bermanfat sebagai informasi awal bagi nelayan tentang daerah penangkapan ikan layang (Decapterus spp.) yang potensial di Perairan Utara Aceh, dan informasi tentang penyebaran dan keberadaan ikan layang (Decapterus spp.) di Perairan Utara Aceh.

(5)

Hasil pengamatan terhadap citra SPL diperoleh dari Januari 2011-Maret 2012 di Perairan Utara Aceh. Secara umum SPL yang terendah terjadi pada musim peralihan timur-barat dan tertinggi terjadi pada musim timur. Hasil pengamatan terhadap citra klorofil-a ditemukan bahwa secara umum konsentrasi klorofil-a tertinggi terjadi pada musim peralihan barat-timur dan juga pada musim timur. Terlihat dari hasil pengamatan bahwa konsentrasi klorofil-a banyak ditemukan pada pesisir pantai. Umumnya sebaran konsentrasi klorofil-a tinggi di perairan pantai sebagai akibat dari tingginya suplai nutrient yang berasal dari daratan melalui limpasan air sungai, dan sebaliknya cenderung rendah di daerah lepas pantai.

Selanjutnya, Gambaran tentang variabilitas CPUE pada suatu lokasi penangkapan yang menggunakan alat tangkap dengan ukuran yang relatif sama ternyata mempunyai hasil tangkapan yang sangat bervariasi pada setiap unit penangkapan yang beroperasi. Keadaan ini menunjukkan bahwa ikan tidak pernah tersebar merata pada suatu perairan dalam kurun waktu yang sama sehingga peluang tertangkapnya akan berbeda pada skala ruang dan waktu.

Hasil tangkapan ikan layang terbanyak ditemukan pada Pulo Beras, Sabang, Pulo Nasi, Lhok Nga. Sedangkan Laot Aceh dan Peukan Bada hasil tangkapan ikan layang lebih sedikit. Hal ini mengidentifikasikan bahwa penyebaran ikan layang bervariasi secara temporal dan spasial di perairan Utara Aceh. Namun, penyebaran ini tidak dipengaruhi oleh SPL dan kandungan klorofil-a. Dari persamaan regresi menunjukkan bahwa SPL dan klorofil-a mempunyai hubungan yang negatif terhadap hasil tangkapan ikan layang, dengan artian bahwa SPL dan klorofil-a tidak memiliki hubungan yang erat terhadap hasil tangkapan dan ukuran panjang ikan layang.

Dalam hal pendugaan daerah penangkapan, ada empat hal yang perlu diperhatikan, yaitu melihat hasil tangkapan ikan, ukuran panjang ikan layang, SPL dan klorofil-a pada masing-masing daerah penangkapan ikan. Berdasarkan keempat hal tersebut terlihat bahwa DPI layang di perairan Utara Aceh terdapat di enam lokasi. Diantara keenam DPI Pulo Beras merupakan termasuk kedalam kategori sedang potensial, sedangkan DPI yang lainnya termasuk pada kategori kurang potensial. Dari hasil yang diperoleh selama melakukan penelitian, diharapkan bahwa peneliti-peneliti lain dapat melakukan penelitian lain yang masih berhubungan dengan ikan layang. Penelitian tersebut berupa penelitian tentang waktu dan musim yang tepat untuk menangkap ikan layang dengan ukuran yang layak tangkap di perairan Utara Aceh. Kemudian, diperlukan juga penelitian tentang kondisi parameter oseanografi lainnya seperti salinitas, arus dan parameter oseanografi lainnya yang memberikan pengaruh terhadap penyebaran dan kehidupan ikan layang, serta diperlukan penelitian tentang teknis-teknis produksi yang terjadi seperti keterampilan ABK dan dll.

(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber :

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

(7)

EDALUASI DAERAH PENANGKAPAN IKAN LAYANG

(Decapterus spp.) BERDASARKAN INDIKATOR KOMPOSISI

HASIL TANGKAPAN, SUHU PERMUKAAN LAUT DAN

KLOROFIL-A

SURI PURNAMA FEBRI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Perikanan Tangkap

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Nama Mahasiswa : Suri Purnama Febri

NIM : C451100021

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Budhi H. Iskandar, M.Si Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Teknologi Perikanan Tangkap

Prof. Dr. Ir. Mulyono S Baskoro, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

(10)

P

RAKATA

Penelitian ini berjudul Evaluasi Daerah Penangkapan Ikan Layang (Decapterus spp) Berdasarkan Indikator Komposisi Hasil Tangkapan, Suhu Permukaan Laut dan Klorofil-a. Penelitian ini dilaksanakan di perairan Utara Aceh selama tiga bulan (Januari-Maret 2012), dengan tujuan menentukan penyebaran dan variasi SPL dan klorofil-a, menentukan komposisi hasil tangkapan dan ukuran panjang, menganalisis hubungan SPL dan klorofil-a terhadap hasil tangkapan dan ukuran panjang dan memprediksi daerah penangkapan ikan layang di perairan Utara Aceh dengan membuat peta daerah penangkapan potensial.

Secara keseluruhan perairan Utara Aceh terletak di antara Sabang, Pulo Nasi, dan Pulo Beras. Sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia, sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka dan Kepulauan Andaman dan Nicobar yang berada di sebelah Utara. Arah pergerakan angin di perairan Utara Aceh dipengaruhi oleh 2 siklus angin muson, yaitu muson Timur pada bulan Juni– Agustus dan muson Barat bulan Desember–Februari.

Perairan Utara Aceh merupakan perairan yang mempunyai sumberdaya ikan yang berlimpah, khusunya ikan layang yang merupakan ikan yang paling dominan tertangkap. Atas dasar inilah untuk lebih meningkatkan produksi yang dihasilkan dibutuhkan suatu upaya untuk dapat tercapai seperti menggunakan teknologi penginderaan jauh seperti satelit Aqua Modis yang dapat membantu dalam mendeteksi posisi ikan dengan melihat fenomena oseanografi yang terjadi di perairan Utara Aceh yang nantinya dapat meningkatkan hasil tangkapan nelayan di sekitar daerah penelitian sehingga dapat meningkatkan pendapatan nelayan karena efisiensi waktu dan biaya operasional dalam melaut.

Akhirnya penulis menyadari tulisan ini masih banyak kekurangan yang akan ditemui pembaca, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kirtikan yang sifatnya konstruktif demi penyempurnaan tesis ini di masa mendatang.

Bogor, Agustus 2012

(11)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayah, karunia dan

juga pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan

judul: Evaluasi Daerah Penangkapan Ikan Layang (Decapterus spp)

Berdasarkan Indikator Komposisi Hasil Tangkapan, Suhu Permukaan Laut dan Klorofil-a dengan baik.

Pada penulisan tesis ini telah melibatkan berbagai pihak, karenanya penulis pada kesempatan ini ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ayahanda Syarifuddin.Y dan Ibunda Sumarni (Alm) yang telah memberikan

segala cinta, kasih sayang, materi, pengorbanan dan doa yang tak terhingga, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi hingga jenjang S2. Serta abang-abang tercinta (Dr. Syarizal Fonna, ST, M.Sc., Syardiansah ST, MM., Dr. Syahrir Ridha ST, M.Sc dan Syahriandi, S.Pd, M.Pd) yang telah memberikan motivasi dan cinta yang besar bagi penulis.

2. Bapak Dr. Ir. Budhi H. Iskandar, M.Si, selaku Ketua Komisi Pembimbing dan

Bapak Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran dalam memberikan bimbingan dan arahan sehingga penulis bisa menyelesaikan tesis ini.

3. Bapak Prof Dr. Ir Mulyono S Baskoro, M.Sc, selaku Ketua Program Studi dan

Ibu Dr. Tri Wiji Nurani, M.Si, sebagai penguji luar komisi, serta kepada seluruh dosen dan staf di program studi Teknologi Perikanan Tangkap yang telah banyak berperan dalam menambah wawasan keilmuan.

4. Nurul Najmi, Fikri Firmansyah, Arif Fadilah, Putri Muharrami, Maria Ulfa,

terimakasih atas bantuan selama pengambilan data di lapangan.

5. Teman-teman TPT dan SPT 2010 (bang edi, bang tasrif, bang udin, bang dani,

bang iwan, bang didin, bang ucha, bang bewok, Ike dan Tila) terimakasih kalian adalah inspirasi terbesar dalam hidup ini.

6. Anak-anak wisma AA dan friend AA forever (kak farah, yuni, neli, ratna, tia,

ayu, bang muhar, bang fadli, alex, yudha, putra, hafiz, agung) terimakasih atas kebahagiaan yang diberikan kepada penulis meski dalam waktu yang singkat.

Semoga segala perhatian, dukungan, doa dan kebahagian yang telah diberikan akan dicatat oleh Allah SWT sebagai amal ibadah dan mendapatkan balasan pahala yang berlimpah. Amin.

Bogor, Agustus 2012

(12)

Penulis dilahirkan di Kota Langsa, Provinsi Aceh pada tanggal 12 Februari 1987 dari pasangan Syarifuddin.Y dan Sumarni (Alm). Penulis adalah anak ke-5 dari lima bersaudara.

Pendidikan dimulai di SD Negeri Alue Kumba (1993-1999) dilanjutkan pada MTs Negeri Ulumul Qur`an Alue Pinang

(13)

xii

2.2.3 Pemanfaatan satelit modis dalam penentuan DPI ... 12

2.3 Aspek Biologi dan Tingkah Laku Ikan Layang (Decapterus spp.) ... 14

3.4.3 Pengukuran panjang hasil tangkapan ikan layang ... 33

3.4.4 Hubungan SPL dan klorofil-a terhadap hasil tangkapan ikan layang ... 34

(14)

xiii 4. HASIL PENELITIAN

4.1 Suhu Permukaan Laut ... 41

4.2 Kandungan Klorofil-a ... 45

4.3 Penyebaran Daerah Penangkapan Ikan Layang ... 50

4.4 Hasil Tangkapan Ikan Layang ... 52

4.4.1 Jumlah produksi ikan layang ... 52

4.4.2 CPUE ikan layang ... 54

4.4.3 Ukuran panjang ikan layang ... 55

4.5 Hubungan SPL dan Klorofil-a terhadap Hasil Tangkapan Ikan Layang ... 56

4.5.1 Pengaruh SPL dan klorofil-a terhadap produksi ikan layang ... 56

4.5.2 Pengaruh SPL dan klorofil-a terhadap ukuran panjang ikan layang 4.6 Pendugaan Daerah Penangkapan Ikan Layang Potensial ... 60

5. PEMBAHASAN 5.1 Sebaran dan Variasi SPL di Perairan Utara Aceh ... 65

5.2 Sebaran dan Variasi Klorofil-a di Perairan Utara Aceh ... 67

5.3 Variabilitas CPUE Ikan Layang ... 70

5.4 Hubungan SPL dan Klorofil-a Terhadap Hasil Tangkapan dan Ukuran Panjang Ikan Layang ... 71

5.5 Pendugaan Daerah Penangkapan Ikan Layang Potensial ... 77

6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 79

6.2 Saran ... 79

DAFTAR PUSTAKA ... 81

(15)

xiv

Halaman

1 Spektrum gelombang dalam penginderaan jauh ... 8

2 Karakteristik sensor satelit Modis ... 11

3 Spesifikasi teknis dari satelit Modis ... 12

4 Klasifkasi suhu permukaan laut ... 18

5 Jenis dan sumber data perikanan yang akan dikumpulkan selama penelitian ... 30

6 Koefisien kanal 31 dan 32 untuk aqua Modis ... 31

7 Penentuan DPI layang potensial berdasarkan hasil tangkapan ... 35

8 Penentuan DPI layang potensial berdasarkan ukuran panjang ikan ... 36

9 Sebaran klorofil-a di perairan Utara Aceh ... 38

10 Penentuan nilai bobot daerah penangkapan ikan layang potensial ... 39

11 Sebaran SPL di perairan Utara Aceh ... 41

12 Sebaran klorofil-a di perairan Utara Aceh ... 45

13 Penentuan DPI layang potensial berdasarkan hasil tangkapan ... 60

14 Penentuan DPI layang potensial berdasarkan ukuran panjang ikan ... 61

15 Penentuan DPI layang potensial berdasarkan suhu permukaan laut ... 61

16 Penentuan DPI layang potensial berdasarkan klorofil-a ... 62

(16)

xv

12Produksi ikan layang di perairan Utara Aceh bulan Januari 2011- Maret 2012 ... 52

13Produksi ikan layang di perairan Utara Aceh berdasarkan periode musim tahun 2011-2012 ... 52

14Produksi ikan layang di perairan Utara Aceh berdasarkan daerah penangkapan bulan Januari-Maret 2012 ... 53

15 CPUE ikan layang di perairan Utara Aceh bulan Januari 2011-Maret 2012 ... 54

16 CPUE ikan layang di perairan Utara Aceh berdasarkan periode musim bulan Januari 2011-Maret 2012 ... 54

17 CPUE ikan layang di perairan Utara Aceh berdasarkan daerah penangkapan bulan Januari-Maret 2012 ... 55

18Ukuran panjang ikan layang di perairan Utara Aceh berdasarkan daerah penangkapan bulan Januari-Maret 2012 ... 56

19Hubungan SPL dengan produksi ikan layang berdasarkan periode musim tahun 2011-2012 ... 57

20Hubungan klorofil-a dengan produksi ikan layang berdasarkan periode musim tahun 2011-2012 ... 57

21Hubungan SPL dengan hasil tangkapan ikan layang berdasarkan daerah penangkapan bulan Januari-Maret 2012 ... 58

(17)

xvi

23Hubungan SPL dengan ukuran panjang ikan layang berdasarkan daerah

penangkapan bulan Januari-Maret 2012 ... 59

24Hubungan klorofil-a dengan ukuran panjang ikan layang berdasarkan

daerah penangkapan bulan Januari-Maret 2012 ... 59

25Peta daerah penangkapan ikan layang potensial ... 64

(18)

xvii

Halaman

1 Kuesioner wawancara ... 87

2 Citra SPL musim Barat tahun 2011-2012 ... 90

3 Citra SPL musim peralihan Barat-Timur tahun 2011-2012 ... 92

4 Citra SPL musim Timur tahun 2011 ... 94

5 Citra SPL musim peralihan Timur-Barat tahun 2011 ... 95

6 Citra klorofil-a musim Barat tahun 2011-2012 ... 96

7 Citra klorofil-a musim peralihan Barat-Timur tahun 2011-2012 ... 98

8 Citra klorofil-a musim Timur tahun 2011 ... 100

9 Citra klorofil-a musim peralihan Timur-Barat tahun 2011 ... 101

10 Rata-rata SPL dan klorofil-a serta standar deviasi bulan Januari 2011 sampai Maret 2012 ... 102

11 Hasil regresi linier sederhana SPL terhadap hasil tangkapan ikan layang .. 103

12 Hasil regresi linier sederhana SPL terhadap ukuran panjang ikan layang . 105 13 Hasil regresi linier sederhana klorofil-a terhadap hasil tangkapan ikan layang ... 107

(19)

Catch : Hasil tangkapan ikan yang tertangkap oleh suatu alat penangkap ikan.

CPUE : Jumlah hasil tangkapan yang diambil per unit alat tangkap.

Cropping : Pemotongan citra sesuai dengan batas-batas yang diinginkan / ditentukan.

Decapterus spp. : Nama spesies ikan layang. DPI : Daerah Penangkapan Ikan.

Fishing ground : Lokasi yang diduga sebagai tempat berkumpul ikan. Fitoplankton : Organisme tumbuhan yang berukuran relative kecil,

mengandung klorofil dan terbawa arus di perairan. Geografis : Lokasi berdasarkan koordinat posisi.

Ikan pelagis : Jenis ikan yang hidup, berenang dan mencari makan di lapisan permukaan laut.

Isohaline : Ikan yang sensitif terhadap perubahan suhu. Indian scad : Nama umum ikan layang (common name).

Koreksi geometrik : Koreksi citra satelit untuk menghilangkan kesalahan akibat rotasi dan kelengkungan bumi.

Koreksi radiometrik : Koreksi citra satelit untuk menghilangkan kesalahan akibat pengaruh partikel di atmosfir.

Klorofil-a : Zat hijau yang dikandung oleh fitoplankton.

Migrasi : Perpindahan kelompok ikan dari satu lokasi ke lokasi perairan lainnya, karena faktor lingkungan atau proses pertumbuhan ikan.

MODIS : Moderate Resolution Imaging Spectro Radiometer. Musim barat : Musim yang didominasi oleh angin dari arah barat,

biasanya terjadi pada bulan Desember-Februari.

Musim peralihan I : Musim yang merupakan transisi dari musim barat ke musim timur, dengan arah dan kecepatan angin yang berubah-ubah, terjadi pada bulan Maret-Mei.

(20)

Nelayan : Orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya atau tanaman air.

Nelayan pemilik : Pemilik perahu/kapal motor dan biasanya ikut serta dalam kegiatan penangkapan ikan.

Oligotropik : Perairan dengan kandungan konsentrasi klorofil < 0.3 mg/m3.

One day fishing : Kegiatan penangkapan ikan yang lamanya satu hari atau satu malam per trip operasi penangkapan ikan.

Overfishing : Kegiatan Penangkapan ikan yang produksinya melebihi potensi lestari sumberdaya ikan dan/atau upaya penangkapan ikan yang dikerahkan melebihi tingkat upaya untuk menghasilkan MSY.

Purse seine : Jaring ikan yang dikenal dengan nama pukat cincin. Pawang : Nama panggilan bagi juru mudi/tokoh kunci dalam

kegiatan penangkapan ikan di Aceh. PPP : Pelabuhan Perikanan Pantai.

Perikanan Tangkap : Kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkan.

Penginderaan jauh : Ilmu dan seni untuk mendapatkan data atau fenomena suatu obejek dengan bantuan alat tanpa mengadakan kontak langsung dengan objek.

Produktivitas : Suatu alat untuk melihat efisiensi teknik dan suatu proses produksi yang merupakan perbandingan antara hasil yang dicapai dengan keseluruhan input sumberdaya yang dipergunakan.

Pelagis kecil : Jenis ikan yang hidup, berenang dan mencari makan mulai dari lapisan permukaan laut samapi kedalaman 100 meter.

(21)

Salinitas : Kandungan garam di perairan laut dengan satuan ‰. Sumberdaya ikan : Potensi semua jenis ikan.

Time series : Deret waktu dengan periode yang berbeda, mingguan / bulanan / musiman.

Thermal front : Pertemuan antara massa air yang lebih panas dengan yang lebih dingin.

Termoklin : Lapisan perairan dimana terjadi perubahan suhu terbesar dengan bertambahnya kedalaman.

Temporal : Berbasis waktu (mingguan, bulanan, musiman).

Upwelling : Proses naiknya massa air dari lapisan dalam ke lapisan permukaan.

(22)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Aceh merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang memiliki potensi besar di bidang perikanan tangkap. Berdasarkan data statistik perikanan tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Aceh tahun 2010, produksi perikanan di Aceh sebanyak 418.901,07 ton. Salah satu sumber daya ikan laut yang terpenting dan termasuk ke dalam jenis ikan pelagis kecil adalah ikan layang (Decapterus spp.). Produksi ikan layang di Perairan Utara Aceh menunjukkan angka yang meningkat dari tahun ke tahun mulai tahun 2007 sampai 2010. Produksi ikan layang di Perairan Utara Aceh pada tahun 2007 sebanyak 1.304,5 ton, tahun 2008 sebanyak 1.589,8 ton, tahun 2009 sebanyak 1.850,3 ton dan tahun 2010 sebanyak 1.788 ton (DKP 2007-2010). Melihat angka produksi tersebut, perairan Utara Aceh merupakan perairan yang cukup produktif untuk menghasilkan ikan layang.

Daging ikan layang, pada umumnya, memiliki komposisi kimia yang terdiri atas energi 335 kkal, air 74,4%, protein 22,2%, lemak 1,7%, karbohidrat 0,33%, kalsium 0,05 mg, besi 0,02 mg, fosfor 0,115 mg, vitamin B 0,00005 mg, dan vitamin A 0,05 mg (Direktorat Gizi, Depkes RI 1979 dalam Chairita 2008). Atas dasar kandungan komposisi kimia yang dimiliki oleh ikan layang serta harga jual yang relatif terjangkau, maka masyarakat Aceh umumnya senang mengkonsumsi ikan layang.

Salah satu cara untuk lebih meningkatkan produksi hasil tangkapan ikan layang di perairan Utara Aceh adalah dengan ketepatan dalam menentukan suatu daerah penangkapan ikan bagi operasi penangkapan. Namun, keterbatasan nelayan dalam menduga daerah penangkapan tidak hanya menyebabkan inefisiensi dalam penggunaan bahan bakar, tetapi juga menyebabkan terkonsentrasinya kapal-kapal penangkap ikan di lokasi tertentu dan pada waktu tertentu. Sebagai akibatnya, pada daerah tersebut terjadi penangkapan secara berlebihan, yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas nelayan tersebut.

(23)

teknologi penginderaan jauh. Hal ini disebabkan teknologi penginderaan jauh mempunyai beberapa kelebihan, antara lain, menghasilkan data observasi sinoptik (meliputi wilayah luas dalam waktu yang hampir bersamaan) dan kemampuan menghasilkan data deret waktu. Dengan diluncurkannya satelit baru, yakni satelit Aqua MODIS yang membawa sensor multispectral MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer), dimungkinkan untuk menentukan dan mengukur parameter permukaan laut, seperti mengukur konsentrasi klorofil-a dan SPL. Berdasarkan data MODIS, dapat ditentukan parameter oseanografi sehingga dapat membantu dalam mendeteksi daerah penangkapan ikan. Polovina et al. (2001) mengatakan bahwa salah satu cara untuk mengetahui daerah potensial penangkapan ikan adalah melalui studi daerah penangkapan ikan dalam hubungannya dengan fenomena oseanografi. Dengan menggabungkan beberapa informasi seperti konsentasi klorofil-a, dan SPL, diharapkan zona penangkapan ikan layang di perairan Utara Aceh dapat ditentukan dengan akurasi yang lebih baik.

1.2 Perumusan Masalah

Pada umumnya keberadaan daerah penangkapan ikan di perairan Indonesia bersifat dinamis, selalu berubah, dan berpindah mengikuti siklus biologis yang secara alamiah ikan akan memilih habitat yang sesuai dengan kondisi lingkungannya. Habitat tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi atau parameter oseanografi perairan, seperti konsentrasi klorofil-a, SPL, cuaca, dan sebagainya yang berpengaruh pada dinamika atau pergerakan ikan baik secara horizontal maupun vertikal.

(24)

diteruskan, akan mengurangi pendapatan nelayan. Oleh karena itu, nelayan memerlukan cara yang lebih efisien dalam mencari daerah penangkapan.

Informasi tentang kandungan klorofil-a dan SPL dari data satelit MODIS di suatu perairan, diharapkan dapat menjadi salah satu solusi untuk memprediksi daerah penangkapan ikan yang potensial dan waktu penangkapan, melalui serangkaian analisis sebaran klorofil-a dan SPL secara spasial dan temporal, serta mencari hubungan klorofil-a dan SPL terhadap hasil tangkapan. Dengan demikian, proses penangkapan ikan layang di Perairan Utara Aceh dapat dilakukan lebih efisien, yang pada akhirnya dapat meningkatkan produktivitas nelayan.

Permasalahan lain yang terjadi saat ini adalah pemikiran nelayan, pada umumnya masih beranggapan bahwa untuk menentukan suatu daerah penangkapan ikan yang potensial hanya didasarkan pada indikator jumlah hasil tangkapan yang diperoleh sebelumnya tanpa memperhatikan ukuran panjang (size) ikan yang tertangkap. Padahal, untuk menentukan ikan tersebut layak tangkap atau tidak layak tangkap secara biologis, ukuran panjang (size) ikan yang tertangkap menjadi pertimbangan penting dalam menentukan suatu daerah penangkapan ikan yang potensial.

1.3 Hipotesis

Pada penelitian ini terdapat hipotesis yang menjadi dasar untuk dapat menjawab beberapa permasalahan dalam penentuan daerah penangkapan ikan layang di Perairan Utara Aceh. Adapun hipotesis tersebut adalah sebaran SPL dan klorofil-a mempunyai hubungan yang erat terhadap keberadaan ikan layang (Decapterus spp.) dan dapat dijadikan acuan untuk memprediksi daerah penangkapan ikan layang (Decapterus spp.) di Perairan Utara Aceh. Komposisi jumlah dan ukuran (size) hasil tangkapan yang menjadi indikator daerah penangkapan potensial bervariasi berdasarkan skala ruang (spasial) dan waktu (temporal).

1.4 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

(25)

2) Menentukan komposisi hasil tangkapan dan ukuran panjang ikan layang di perairan Utara Aceh;

3) Menganalisis hubungan SPL dan klorofil-a terhadap hasil tangkapan dan ukuran panjang ikan layang di perairan Utara Aceh;

4) Memprediksi daerah penangkapan ikan layang di perairan Utara Aceh dengan membuat peta daerah penangkapan potensial ikan layang.

1.5 Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai:

1) Sebagai bahan informasi untuk menunjang kemajuan serta perkembangan ilmu dalam bidang perikanan dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh, guna mendukung usaha peningkatan produksi perikanan laut di Provinsi Aceh; 2) Sebagai masukan dalam penelitian lanjutan, khususnya untuk menduga faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap keberadaan dan penyebaran ikan layang di perairan Utara Aceh;

3) Informasi awal bagi nelayan tentang daerah penangkapan ikan layang potensial di perairan Utara Aceh.

1.6 Kerangka Pemikiran

Sumber daya ikan layang (Decapterus spp.) di Perairan Utara Aceh memiliki nilai yang penting dalam suatu operasi penangkapan yang dilakukan oleh nelayan Aceh bagi meningkatkan pendapatan dan demi mendapatkan taraf hidup yang lebih baik. Namun, di dalam melakukan operasi penangkapan ikan layang, nelayan Aceh dihadapkan dengan berbagai kendala dalam penentuan daerah penangkapan ikan. Kendalan tersebut berupa daerah penangkapan ikan tidak pasti, waktu operasi lebih lama, hasil tangkapan tidak pasti, dan resiko operasi penangkapan tinggi. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan biaya operasional, hasil tangkapan sedikit, dan produktivitas hasil tangkapan juga sedikit.

(26)

yang diperoleh melalui kegiatan penangkapan ikan, penyebaran SPL untuk melihat kejadian-kejadian yang terjadi di suatu perairan, dan kandungan klorofil-a untuk melihat produktivitas perairan.

Komposisi hasil tangkapan diperoleh dari data time series perikanan dan pengamatan operasi penangkapan, sedangkan SPL dan klorofil-a dapat dilihat dengan menggunakan bantuan teknologi penginderaan jauh dengan melihat variasi yang terjadi pada SPL dan klorofil-a. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari indikator-indikator tersebut, diharapkan dapat membantu dalam penentuan daerah penangkapan ikan layang yang potensial di perairan Utara Aceh. Adapun kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian. Sumber daya ikan layang

Prediksi daerah penangkapan ikan layang potensial

Data perikanan Wawancara nelayan

Komposisi hasil tangkapan

Jumlah tangkapan (kg) Ukuran panjang (cm/ekor) Menentukan DPI layang

DPI tidak pasti Waktu operasi

lama Hasil tangkapan tidak pasti Resiko OPI tinggi

CPUE

ikan layang Ikan layak atau tidak layak tangkap Habitat dan keberadaan

ikan layang

Peta daerah penangkapan ikan layang

(27)
(28)

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian

Berdasarkan letak geografis perairan Utara Aceh merupakan bagian dari Kota Banda yang berada pada provinsi Pemerintah Aceh. Perairan Kota Banda Aceh dipengaruhi oleh persimpangan dan gerakan arus dari Samudera Hindia yang berada di sebelah Barat, Selat Malaka yang berada di sebelah Utara dan Kepulauan Andaman dan Nicobar yang berada di sebelah Utara. Provinsi Pemerintah Aceh sendiri terletak antara 2o-6o Lintang Utara dan 95o-98o Lintang

Selatan dengan ketinggian rata - rata 125 meter di atas permukaan laut (DKP Aceh 2010).

Kota Banda Aceh memiliki Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) yang terletak di jalan Sisingamangaraja Ujung, Komplek TPI No. 16 Desa Lampulo. PPP Lampulo terletak di pinggir Kota Banda Aceh, tepatnya berdiri membentang sekitar 258 meter memanjang di sisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Aceh pada koordinat 5°34’45” Lintang Utara dan 95°19’30” Bujur Timur (UPTD PPP Lampulo 2010).

Secara keseluruhan perairan Utara Aceh terletak di antara Sabang, Pulo Nasi, dan Pulo Beras. Sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia dan sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka. Arah pergerakan angin di perairan Utara Aceh dipengaruhi oleh 2 siklus angin muson, yaitu muson Timur pada bulan Juni–Agustus dan muson Barat bulan Desember–Februari. Pada perairan Utara Aceh terjadi 2 siklus pancaroba, yaitu pancaroba awal tahun pada bulan April-Mei dan pancaroba akhir tahun bulan Oktober–Desember. Suhu permukaan laut (SPL) di perairan Utara Aceh berkisar antara 28,00oC-30,00oC. Sebaran suhu hampir

merata di seluruh perairan Aceh, hanya pada daerah-daerah yang memiliki muara sungai yang besar sebaran suhunya bervariasi (BRR NAD-Nias, 2007).

2.2 Penginderaan Jauh

2.2.1 Sistem penginderaan jauh

(29)

diperoleh melalui alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer 1990). Kemudian, Susanto (1992) menambahkan bahwa informasi dari penginderaan jauh berbentuk radiasi gelombang elektromagnetik yang dihasilkan oleh matahari, lalu dipantulkan oleh permukaan bumi. Spektrum gelombang elektromagnetik yang digunakan dalam penginderaan jauh disajikan pada Tabel 1.

Menurut Susanto (1992) ada empat komponen penting dalam sistem penginderaan jauh, yaitu (1) sumber tenaga elektromagnetik, (2) atmosfer, (3) interaksi antara tenaga dan objek, dan (4) sensor. Secara skematik sistem penginderaan jauh dapat dilihat pada Gambar 2.

Sumber: Susanto 1992

Gambar 2 Sistem penginderaan jauh.

Tabel 1 Spektrum gelombang dalam penginderaan jauh

No Gelombang Elektromagnetik Panjang Gelombang 1 Photografhic ultraviolet 0,3 – 0,4 µm

2 Visible 0,4 – 0,7 µm

(30)

Menurut Butler et al. (1988) sensor adalah alat untuk mendeteksi radiasi elektromagnetik yang dipantulkan oleh objek, lalu mengubahnya menjadi nilai nyata yang dapat direkam dan diproses. Susanto (1992), membedakan sensor berdasarkan proses perekamannya, yaitu sensor fotografik dan sensor elektronik. Proses perekaman sensor fotografik adalah secara kimiawi, yaitu radiasi elektromagnetik yang diterima sensor direkam secara langsung pada lapangan emulsi film yang bila diproses, akan menghasilkan foto dan hasilnya biasanya disebut foto udara. Proses perekaman sensor elektromagnetik menggunakan sinyal elektrik yang direkam dengan pita magnetic atau detector lainnya. Hasil akhir dari sensor ini disebut citra.

2

.2.2 Satelit Aqua MODIS

Aqua yang dalam bahasa latin berarti air, adalah suatu satelit ilmu pengetahuan tentang bumi dan MODIS adalah salah satu instrument utama yang dibawa Earth Observing Sistem (EOS) Terra Satellite, yang merupakan rangkaian dari program antariksa Amerika Serikat. Program ini dilaksanakan oleh National Aeronautics and Space Administration (NASA). Program ini adalah rangkaian program jangka panjang dengan tujuan untuk mengamati, meneliti dan menganalisis lahan, lautan, atmosfir bumi, dan interaksi di antara faktor-faktor ini. MODIS pertama kali diluncurkan pada tanggal 18 Desember 1999 dibawa oleh satelit Terra yang spesifikasinya lebih ke daratan. 15 Lalu, pada tanggal 4 mei 2002 diluncurkan MODIS yang dibawa oleh satelit Aqua dan spesifikasinya lebih ke lautan. Satelit Terra melintasi bumi dari utara ke selatan pada pukul 10.30 pagi (melintas garis ekuator), sedangkan satelit Aqua melintasi bumi dari arah selatan ke arah utara dan melintasi ekuator pada pukul 01.30 siang. Instrumen Modis memiliki lebar sapuan sebesar 2330 km dan dapat meliput seluruh permukaan bumi dalam waktu satu sampai dua hari (Maccherone 2005).

(31)

variabel seperti aerosol, tumbuhan yang menutupi daratan, fitoplankton, bahan organik terlarut di lautan, serta suhu udara, daratan dan air.

Satelit MODIS membawa sensor multispektral yang terdiri dari 36 kanal/band spektral. Kanal 1-19 dan 26 berada pada kisaran gelombang visible dan inframerah dekat dan kanal-kanal selebihnya berada pada kisaran gelombang termal dengan panjang gelombang tengah dari 0,412 µm sampai dengan 14,423 µm (Lillesand dan Kiefer 1990). Adapun satelit Aqua Modis dapat dilihat pada Gambar 3.

Sumber: Box JE 2006

Gambar 3 Satelit Aqua MODIS.

(32)

Tabel 2 Karakteristik sensor satelit MODIS

Kegun

(33)

Tabel 3 Spesifikasi teknis dari satelit MODIS

Spesifik

asi Keterangan

Ketinggian 705km

Lama Rekaman 20,3rpm, sepanjang jalur

Lebar Sapuan 2330km dengan 10km (sepanjang jalur pada nadir

Teleskop 17,78cm (diameternya) Ukuran 1,0m x 1,6m x 1,0m

Berat 228,7kg

Daya 162,5watt

Data 10,6Mbps (peak per hari); 6,1Mbps (per orbit)

Kuantitas 12 bits

Resolusi Spasial 250m (kanal 1-2) 500m (kanal 3-7) 1000m (kanal 8-36)

Waktu 6 tahun

Sumber: Maccherone 2005

2.2.3 Pemanfaatan satelit Aqua MODIS dalam penentuan DPI

Data satelit MODIS mampu memberikan informasi tentang fenomena di permukaan laut, seperti konsentrasi klorofil-a dalam permukaan air laut. Algoritma penentuan klorofil-a dilaksanakan sesuai dengan rasio radiansi atau reflektansi yang diukur dalam spektral kanal biru dan hijau data MODIS yang diperoleh dari beberapa radiansi untuk reflektansi, di antaranya, dengan panjang gelombang/spektral band (kanal 8 hingga 14, pada panjang gelombang 412 hingga 618 µm) (Suwargana et al. 2002).

(34)

dari dasar perairan juga berpengaruh pada pantulan permukaan perairan (Hendiarti 2005).

Suwargana et al (2002) menjelaskan bahwa SPL dan konsentrasi klorofil-a perairan merupakan salah satu indikator dalam menentukan daerah penangkapan ikan. Lebih lanjut, Hasyim dan Salma dalam Hariyadi (2009) menjelaskan bahwa pengamatan kondisi lingkungan perikanan merupakan pengamatan kondisi oseanografi. Pengamatan yang dilakukan umumnya membutuhkan berbagai informasi, seperti suhu perairan, arah dan kecepatan arus, serta beberapa parameter lainnya (salinitas, kandungan oksigen terlarut, tingkat transparansi). Informasi lain yang sangat dibutuhkan adalah produktivitas perairan dan ketersediaan makanan.

Penelitian mengenai klorofil-a dan SPL telah banyak dilakukan oleh berbagai peneliti dengan menggunakan data satelit. Menurut Prasasti et al. (2003), untuk menentukan nilai konsentrasi klorofil-a dari satelit MODIS harus diekstraksi dari rasio kanal 9 dengan kanal 12. Kanal 9 (443 nm) bekerja pada daerah sinar biru, sedangkan kanal 12 (551 nm) bekerja pada sinar hijau. Penyerapan energi oleh klorofil-a pada kanal 9 cukup tinggi yang mengakibatkan pantulan pada kanal ini rendah. Oleh karena itu, jika rasio antara reflektansi panjang gelombang 443 nm dengan 551 nm rendah, konsentrasi klorofilnya tinggi. Namun, SPL dari suatu perairan yang luas dapat digunakan untuk mengetahui pola distribusi SPL, kondisi arus di suatu perairan, dan interaksinya dengan perairan lain serta fenomena upwelling dan front di perairan tersebut yang merupakan indikator daerah potensi penangkapan ikan. Daerah yang mempunyai fenomena-fenomena tersebut umumnya merupakan perairan yang subur. Dengan diketahuinya daerah perairan yang subur tersebut, daerah penangkapan ikan dapat diketahui. Penentuan SPL dari pengukuran satelit dilakukan dengan radiasi inframerah pada panjang gelombang 3 μm – 14 μm. Pengukuran spektrum inframerah yang dipancarkan oleh permukaan laut sampai kedalaman 0,1 mm (Hasyim dan Salma 1999 dalam Hariyadi 2009).

(35)

dengan cara lainnya. Observasi melalui satelit ini juga sangat berguna dalam pengamatan fenomena oseanografi, terutama berkaitan dengan fenomena penaikan massa air dan thermal front yang merupakan indikator dari daerah potensi ikan yang tinggi. Oleh karenanya, diharapkan dengan tersedianya informasi ini dapat meningkatkan efektivitas dan efisien proses penangkapan ikan di laut. Berdasarkan kemampuan seperti ini, penginderaan jarak jauh dapat memberikan gambaran sederhana tentang terjadinya suatu dinamika perubahan suatu objek, juga dapat memberikan informasi yang akurat tentang kondisi lingkungan perairan (daerah penangkapan ikan), dan sebagainya.

Menurut Aboet (1985), keberhasilan dari teknologi penginderaan jauh dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama adalah kecanggihan dan ketelitian sensor, dalam hal ini dipengaruhi oleh rancangan sensor yang tepat dan kalibrasi instrumen yang benar. Kedua adalah kemampuan pengguna dalam menginterpretasikan citra, karena hasil observasi alat bukanlah pengukuran secara langsung akan tetapi merupakan hasil perekaman satelit sesuai dengan karakter reflektansi objek yang berbeda-beda. Hal ini berarti seorang pengguna data satelit harus mengetahui dasar-dasar penginderaan jauh dan proses interpretasi citra untuk mendeteksi suatu fenomena alam pada suatu wilayah.

2

.3 Aspek Biologi dan Tingkah Laku Ikan Layang ( Decapterus spp.) Klasifikasi ikan layang menurut Saanin (1968) adalah sebagai berikut: Kelas : Pisces

Sub kelas : Teleostei Ordo : Percomorphi Sub Ordo : Percoidea Divisi : Carangi

(36)

Spesies ikan layang yang ada di Indonesia adalah Decapterus russelli dan Decapterus macrosoma (Gambar 4 dan 5). Decapterus russelli mempunyai nama umum ikan layang atau round scad, sedangkan Decapterus macrosoma mempunyai nama umum ikan layang deles atau layang scad (Nurhakim et al. 1987). Di Aceh ikan layang sering disebut dengan nama ikan reugak. Dalam statistik perikanan, keduanya dikelompokkan dalam satu kategori, yaitu ikan layang (Decapterus spp.) (Widodo 1988).

Sumber: www.fishbase.org

Gambar 4 Ikan layang biasa (Decapterus russelli).

Sumber: www.fishbase.org

Gambar 5 Ikan layang deles (Decapterus macrosoma).

Ikan layang secara umum memiliki ciri-ciri yang membedakan kelompoknya dari ikan-ikan pelagis kecil lainnya. Menurut Asikin (1971), Saanin (1984), dan Nurhakim et al. (1987), ciri-ciri umum ikan layang adalah:

(1) Bentuk badan bulat memanjang berbentuk cerutu ataupun agak gepeng; (2) Memiliki sisik yang sangat halus;

(3) Mempunyai dua buah finlet (sirip tambahan) yang terletak pada belakang sirip punggung dan sirip dubur;

(37)

(5) Panjang tubuh ikan dewasa berkisar antara 20-25 cm, tetapi dapat juga mencapai 30 cm.

Menurut Asikin (1971), Saanin (1984), dan Lussinap et al. (1970) ikan layang memiliki sifat-sifat sebagai berikut:

(1) Sangat menyukai kadar salinitas yang tetap (stenohaline organism) dan menyukai perairan yang jernih;

(2) Tergolong kedalam jenis pemakan plankton dan memiliki kebiasaan makan pada waktu matahari terbit dan saat matahari terbenam;

(3) Merupakan perenang cepat dan aktif, namun pada daerah yang sempit atau di sekitar benda-benda terapung seperti rumpon, aktivitas akan berkurang saat membentuk gerombolan;

(4) Adakalanya sifat bergerombol bergabung dengan jenis lain seperti bawal (Stromateus spp.), kembung (Rastrelliger spp.), selar (Caranx spp.) dan tembang (Sardinella spp.);

(5) Pada siang hari gerombolan bergerak ke lapisan air yang lebih dalam dan pada malam hari kembali ke lapisan atas perairan;

(6) Hidup membentuk gerombolan besar (schooling), pada jarak sekitar 20-30 mil dari perairan lepas pantai yang berkadar garam tinggi dan berkedalaman kurang dari 100 m.

Definisi gerombolan ikan adalah sekelompok ikan yang biasanya sejenis dan mempunyai ukuran relatif sama yang aktif bergerak bersama dan memiliki bentuk gerombolan tertentu. Bentuk gerombolan ini akan sering berubah terutama apabila terdapat rangsangan atau stimuli dari luar (Lintin et al. 1994). Alasan yang menyebabkan ikan membentuk gerombolan adalah karena adanya konsentrasi makanan, menghindari predator, dan mencari habitat atau lingkungan yang sesuai (Merta 2003).

(38)

metode akustik, baik melalui sonar maupun echosounder (Widodo dan Burhanuddin 2003).

Jenis ikan yang sering melakukan ruaya atau bermigrasi dalam bentuk gerombolan di dalam siklus hidupnya sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan (Lavestu dan Hayes 1982). Besarnya ukuran gerombolan ternyata berpengaruh terhadap densitas, biomassa dan kecepatan renang ikan . Gerombolan ikan yang volumenya besar umumnya memiliki biomassa yang lebih tinggi (Vasconcellos 2003). Semakin besar ukuran gerombolan ikan maka semakin lambat pergerakan gerombolan ikan tersebut (Hendiarti et al. 2005).

Laevastu dan Hayes (1970) meyatakan ikan layang biasanya memijah pada perairan yang mempunyai suhu minimum yaitu sebesar 17oC. Suhu distribusi ikan

layang berkisar antara 12-25oC, sedangkan suhu optimum ikan layang yang

menjadi tujuan penangkapan adalah sekitar 20-30 oC. Asikin (1971) mengatakan

ikan layang umumnya memiliki dua kali masa pemijahan per tahunnya dengan puncak pemijahan pada bulan Maret-April (musim peralihan Barat-Timur) dan Agustus-September (musim Timur menuju ke musim peralihan Timur-Barat).

Penyebaran ikan layang secara vertikal dapat dipengaruhi oleh persediaan makanan. Putlitbangkan (1994) diacu dalam Simbolon (2011) mengemukakan bahwa makanan ikan layang terdiri dari copepoda, crustacean, dan organisme lain. Sedangkan Nontji (1993) mengatakan bahwa makanan utama ikan layang adalah zooplankton, meskipun terkadang memakan ikan kecil seperti teri.

2

.4 Kondisi Oseanografi yang Mempengaruhi Penyebaran Ikan Layang Keberadaan sumber daya ikan sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan sehingga kelimpahannya sangat berfluktuasi di suatu perairan. Gunarso (1985) menyatakan bahwa perubahan kondisi lingkungan akan mempengaruhi pola kehidupan ikan, baik yang menyangkut periode migrasi musiman, pertumbuhan, maupun keberadaannya.

2.4.1 Suhu permukaan laut (SPL)

(39)

yang ada (Laevestu dan Hela 1970). Selanjutnya, dikatakan bahwa perubahan suhu perairan yang sangat kecil (±0,02oC) dapat menyebabkan perubahan densitas

populasi ikan di suatu perairan. Lavestu dan Hayes (1981) juga mengatakan bahwa ikan-ikan pelagis tertentu akan bergerak menghindari suhu yang lebih tinggi atau mencari daerah yang kondisi suhunya lebih rendah.

Sverdrup et al. (1961) menyatakan bahwa pengaruh suhu secara langsung terhadap kehidupan di laut berakibat dalam hal laju fotosintesis tumbuh-tumbuhan dan proses fisiologis hewan, khususnya aktivitas metabolisme dan siklus reproduksi. Menurut Laevastu (1993), pengaruh suhu terhadap ikan dapat mempengaruhi proses metabolisme, seperti pertumbuhan dan pengambilan makanan, aktivitas tubuh, seperti kecepatan renang, serta dalam rangsangan syaraf.

Suhu air laut di lapisan permukaan sangat dipengaruhi oleh jumlah cahaya yang diterima dari sinar matahari. Menurut Laevastu dan Hela (1970) perubahan SPL, selain disebabkan oleh jumlah cahaya yang diterima dari matahari, juga dipengaruhi oleh keadaan alam dan lingkungan sekitar di daerah perairan tersebut. Pengaruh arus, keadaan awan, penaikan massa air dan pencairan es di kutub juga mempengaruhi suhu di permukaan laut.

Suhu perairan sangat mempengaruhi pertumbuhan ikan (aktivitas, mobilitas), gerakan (ruaya, penyebaran), kelimpahan (penggerombolan, maturasi, fekunditas), dan pemijahan (masa inkubasi, penetasan telur serta kelulusan hidup larva ikan (Gastellu dan Mardio 1983). Suhu perairan sangat berpengaruh secara langsung terhadap kehidupan sumberdaya hayati laut. Pengaruh tersebut meliputi laju fotosintesis tumbuh-tumbuhan dan proses fisiologis hewan, khususnya metabolisme dan siklus reproduksi (Amri 2002). Menurut Nontji (1993), data suhu perairan dapat dimanfaatkan bukan saja untuk mempelajari gejala-gejala fisika di dalam wilayah perairan tersebut, melainkan dapat juga digunakan untuk mempelajari kehidupan hewan dan tumbuhan yang menempatinya.

(40)

akan mengakibatkan terjadinya perubahan suhu air laut, baik secara horizontal, mingguan, bulanan maupun tahunan (Laevestu dan Hela 1970).

Harsanugraha dan Parwati (1996) menyatakan ada dua cara untuk menentukan SPL, yaitu pertama metode perkiraan (estimasi) dengan memanfaatkan wahana satelit penginderaan jauh dan kedua metode pengukuran langsung (konvensional) dengan menggunakan alat-alat pengukur temperatur di permukaan laut. Data SPL yang diperoleh dengan metode konvensional disebut data in-situ, sedangkan yang diperoleh dengan metode metode perkiraan (estimasi) disebut pendekatan SPL eks-situ. Dari pola distribusi SPL dengan menggunakan satelit tersebut dapat dilihat fenomena-fenomena yang terjadi di perairan tersebut, seperti upwelling, front, dan pola arus permukaan. Perairan yang mempunyai fenomena-fenomena tersebut umumnya merupakan perairan yang subur. Perairan yang subur biasanya merupakan daerah penangkapan ikan karena ikan cenderung bermigrasi ke perairan yang subur.

Laevastu dan Hela (1970) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi SPL adalah kondisi meteorologi, arus permukaan, ombak, upwelling, divergensi, konvergensi, dan perubahan bentuk es di daerah kutub. Faktor-faktor meteorologi yang mempunyai peranan dalam hal ini adalah curah hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas matahari. Dengan demikian, SPL biasanya mengikuti pola musiman. Lavestu dan Hela (1970) juga mengatakan bahwa untuk meramalkan berhasil atau tidaknya suatu penangkapan ikan harus memperhatikan (1) suhu optimum dari semua jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan, (2) pengamatan hidrografi dan meteorologi untuk memberikan keterangan mengenai isothermal permukaan, dan (3) perubahan keadaan hidrografi harus dapat diramalkan.

Menurut Gunarso (1985) fluktuasi suhu dan perubahan geografis merupakan faktor penting dalam upaya merangsang dan menentukan pengkonsentrasian gerombolan ikan. Oleh karena itu, suhu memegang peranan dalam penentuan daerah penangkapan ikan.

(41)

suhu optimum untuk hidupnya. Pengetahuan tentang suhu optimum ini bermanfaat dalam peramalan keberadaan kelompok ikan sehingga dapat dengan mudah dilakukan penangkapan (Amri 2002).

2

.4.2 Klorofil-a

Klorofil-a adalah salah satu parameter yang sangat menentukan produktivitas primer di laut. Distribusi spasial dan tinggi rendahnya konsentrasi klorofil-a sangat berhubungan dengan kondisi oseanografi suatu perairan. Terdapat beberapa parameter fisika-kimia yang dapat mengontrol dan mempengaruhi sebaran klorofil-a. Parameter itu adalah intensitas cahaya, salinitas, suhu dan nutrien (terutama nitrat, fosfat dan silikat). Penyebab bervariasinya produktivitas primer di beberapa tempat di laut akibat adanya perbedaan parameter fisika-kimia tersebut secara langsung ataupun tidak langsung (Sverdrup et al. 1961).

(42)

1966). Sebaran dan tinggi rendahnya konsentrasi klorofil-a sangat terkait dengan kondisi oseanografis suatu perairan.

Menurut Nybakken (1992), plankton memiliki peranan penting dalam ekosistem laut karena plankton menjadi bahan makanan bagi berbagai jenis hewan laut lainnya. Pada ekosistem laut, tipe jejaring makanan yang umum terjadi membentuk limas pakan (food pyramid). Hal ini diakibatkan oleh semakin bergerak ketingkat lebih tinggi, perpindahan senyawa organik yang terjadi berlangsung tidak efisien. Nontji (2005) memperkirakan bahwa tingkat efisiensi perpindahan senyawa organik dari satu tingkat ke tingkat diatasnya hanya sekitar 10% saja dan 90% lainnya hilang sebagai energi panas (Gambar 6). Pada tipe rantai makanan lautan, produsen pertama dimulai dari tumbuhan hijau atau fitoplankton, yang selanjutnya akan dimakan oleh konsumen pertama sampai kepada konsumen tertinggi (Gambar 7).

Atas : Limas pakan (food pyramid). PP = Produsen primer berupa fitoplankton. H = Herbivora berupa zooplankton. K1 = Karnivora pertama berupa ikan-ikan kecil. H2 = Karnivora kedua berupa ikan-ikan yang lebih besar. K3 = Karnivora ketiga berupa ikan besar.

Sumber: Nontji 2005

Gambar 6 Piramida makanan pada ekosistem laut.

Fitoplankton Zooplankton Karnivora I Karnivora II Karnivora III Sumber: Nybakken 1992

Gambar 7 Rantai makanan di lautan. K3

K2 K1

(43)

Laju produktivitas primer di lingkungan laut ditentukan oleh berbagai faktor fisika. Faktor fisika utama yang mengontrol produksi fitoplankton di perairan eutropik adalah pencampuran vertikal, penetrasi cahaya di kolom air, dan laju tenggelam fitoplankton (Gabric dan Parslow 1989). Selanjutnya, laju produktivitas primer di laut juga dipengaruhi oleh sistem angin muson. Hal ini berhubungan dengan daerah asal massa air diperoleh. Dari pengamatan sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia diperoleh bahwa konsentrasi klorofil-a yang tertinggi dijumpai pada muson tenggara. Pada saat tersebut terjadi upwelling di beberapa perairan, terutama di perairan Indonesia Timur, sedangkan klorofil-a terendah dijumpai pada muson barat laut. Pada saat itu di perairan Indonesia tidak terjadi upwelling dalam skala yang besar sehingga nilai konsentrasi nutrien di perairan lebih kecil (Amri 2002).

Asikin (1971) mengatakan bahwa migrasi ikan layang secara langsung dipengaruhi oleh migrasi missal fitoplankton yang kemudian diikuti oleh zooplankton. Biasanya pada daerah yang kaya fitoplankton dan zooplankton, keberadaan ikan sangat melimpah.

Suwargana et al. (2002) menjelaskan bahwa kajian mengenai hubungan antara sebaran klorofil-a dan ikan pelagis dengan beberapa parameter oseanografi (fisika, kimia dan biologi) sangat penting untuk diketahui guna mengidentifikasi parameter fisika-kimia yang memiliki peranan besar terhadap sebaran klorofil-a pada musim tertentu. Selain itu, kajian ini juga penting untuk mengetahui karakteristik massa air di daerah itu. Informasi itu dapat dimanfaatkan dalam upaya pengembangan pengelolaan sumber daya perairan, khususnya, bagi industri penangkapan dan juga dapat digunakan untuk memudahkan dalam menentukan daerah penangkapan pada musim tertentu.

2.5 Alat Tangkap Purse Seine

(44)

(Ayodhyoa 1981). Layang bersifat suka hidup bergerombol. Cara hidup yang demikian ini dimanfaatkan oleh nelayan untuk melakukan penangkapan dengan menggunakan alat tangkap purse seine. Dalam penelitian ini yang akan dibahas adalah alat tangkap purse seine.

Menurut Ayodhyoa (1981) prinsip penangkapan ikan dengan purse seine adalah dengan melingkari suatu gerombolan ikan dengan jaring, lalu jaring bagian bawah dikerutkan sehingga ikan-ikan terkumpul pada bagian kantong. Dengan kata lain, diperkecilnya ruang gerak ikan sehingga akhirnya ikan tertangkap. Jadi, mata jaring hanyalah sebagai penghadang ikan dan bukan sebagai penjerat.

Pukat cincin (purse seine) di Aceh memiliki panjang antara 600-1350 m, dan lebarnya rata-rata 60-85 m. Badan purse seine terdiri dari lima bagian, setiap bagian memiliki ukuran mata (mesh size) yang berbeda. Panjang dari setiap bagian purse seine adalah 50 m (Gambar 8).

Srampad (selvage) yang dipasang pada bagian atas, samping kiri/kanan dan bawah dari badan purse seine yang bertujuan untuk memperkuat purse seine pada waktu dioperasikan (terutama pada saat hauling). Selvage ini terbuat dari bahan polyethylene ukuran mata 2 inci, di bagian atas 10 mata, samping kiri/kanan 20 mata dan bawah 15 mata. Bentuk tali kang (tali ring) adalah kaki tunggal yang berfungsi untuk mengantungkan cincin pada tali ris bawah. Tali ris ini terbuat dari bahan polyethylene dengan diameter 15 mm dan panjangnya 100 cm. Tali kolor (purse line) digunakan untuk mengerutkan purse seine bagian bawah pada waktu hauling setelah purse seine selesai dilingkarkan. Dengan terkumpulnya ring, maka purse seine bagian bawah akan terkumpul menjadi satu dan purse seine berbentuk seperti mangkuk. Panjang tali kolor ini 1,5 kali lebih panjang daripada purse seine, umumnya tali tersebut terbuat dari bahan polyethylene dan kuralon berwarna putih dengan diameter 35 mm (Gambar 8).

(45)

besi kuningan dengan diameter cincin 11,5 cm dan beratnya 450 gram/cincin, jarak antar cincin sangat bervariasi yaitu 10,11,13 dan 15 meter (Gambar 8).

Gambar 8 Konstruksi alat tangkap purse seine Aceh.

2

.6 Hubungan Sumber Daya Ikan Layang dengan Faktor Oseanografi

Pada dasarnya pola dan siklus kehidupan ikan tidak bisa dipisahkan dari berbagai kondisi lingkungan dan fluktuasinya. Interaksi antara berbagai faktor lingkungan tersebut dan ikan senantiasa mengalami perubahan. Faktor yang mempengaruhi hal tersebut meliputi faktor fisik, kimia, dan biologi lingkungan (Gunarso 1985).

Pada banyak habitat, spesies berinteraksi dengan lingkungan di beberapa area. Keberadaan mereka tergantung pada kondisi lingkungan. Faktor yang mempengaruhi kondisi tersebut, antara lain, batas suhu pada struktur panas dan kesuburan perairan. Kondisi suhu merupakan faktor terbaik untuk memilih lokasi dibandingkan kondisi oseanografi lainnya. Selanjutnya, pada banyak spesies dideterminasi melalui struktur panas pada lapisan kedalaman untuk menentukan taktik dan metode penangkapan (Laevastu dan Hayes 1982).

(46)

terbentuk pada wilayah-wilayah perairan yang kondisi lingkungannya sesuai dengan sumber daya ikan, termasuk ketersediaan makanan. Selain itu, juga ditunjang dengan kondisi lingkungan perairan yang mendukung habitat yang sesuai dengan spesies ikan tersebut.

2

.7 Hasil Penelitian Terkait

Penelitian yang telah dilakukan mengenai daerah penangkapan ikan dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh dalam menentukan parameter oseanografi (SPL dan klorofil-a) menjadi bahan masukan untuk penelitian yang sedang dilakukan. Andrius (2007) meneliti mengenai model spasial informasi daerah penangkapan ikan layang (Decapterus spp.) di antara perairan Selat Makasar dan Laut Jawa. Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa distribusi ikan layang pada bulan Juli terdapat di antara Pulau Lumu-Lumu dan Lari-Larian hingga ke Utara Pulau Bawean. Pola migrasinya dimulai dari Pulau Lumu-Lumu dan Lari-Larian hingga ke Utara Perairan Pulau Bawean dengan informasi oseanografinya 27-30oC untuk SPL, 0,01-1,5 mg/L untuk klorofil-a, 1-2

knot untuk kecepatan arus dan 33-34 ‰ untuk salinitas. Pada bulan Agustus ditunjukkan bahwa distribusi ikan layang terdapat pada Timur Pulau Sambergalang hingga mendekati Perairan Lepas Pantai Selatan Kalimantan. Pola migrasinya dimulai dari Pulau Bawean hingga ke Utara Pulau Madura dengan informasi oseanografinya 27-28oC untuk SPL, 0,5-2 mg/L untuk klorofil-a, 1,5-2 knot untuk kecepatan arus dan 33,75-34,5 ‰ untuk salinitas.

Muklis (2008) juga melakukan penelitian tentang pemetaan daerah penangkapan ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) dan Tongkol (Euthynnus affinis) di Perairan Utara Nanggroe Aceh Darussalam berdasarkan parameter SPL dan klorofil-a dengan menggunakan satelit Aqua MODIS. Hasil penelitiannya memperlihatkan adanya hubungan yang erat antara SPL dan klorofil-a terhadap hasil tangkapan per upaya penangkapan (CPUE) ikan Cakalang dan Tongkol.

(47)

penangkapan ikan hasil pengolahan data satelit terhadap daerah penangkapan ikan yang dipilih nelayan memperlihatkan kecocokan daerah hingga ±40%. Akan tetapi, musim penangkapan ikan kembung adalah pada musim peralihan I. Pada penelitian ini juga diperlihatkan adanya hubungan yang mempengaruhi hasil tangkapan ikan kembung terhadap kondisi oseanografi.

Amri (2002) melakukan penelitian mengenai hubungan kondisi oseanografi (SPL, klorofil-a dan arus) dengan hasil tangkapan ikan pelagis kecil di perairan Selat Sunda. Hasil penelitain tersebut memperlihatkan hubungan yang erat antara kondisi oseanografi dan hasil tangkapan ikan pelagis kecil. Dengan kondisi SPL optimum dan kanungan klorofil-a tinggi berarti kesuburan perairan tinggi, hasil tangkapan ikan pelagis kecil juga tinggi. Pada hasil penelitian ini juga diperoleh perbedaan SPL antara hasil pengukuran satelit dan hasil pengukuran in-situ pada beberapa tempat, dan juga ada kesamaan di tempat yang lain.

Silvia (2009) melakukan penelitian mengenai analisis daerah DPI Cakalang (Katsuwonus pelamis) berdasarkan suhu permukaan laut dan sebaran klorofil-a di perairan Mentawai, Sumatera Barat. Hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa suhu permukaan laut dan klorofil-a tidak ada pengaruhnya terhadap hasil tangkapan cakalang, akan tetapi suhu permukaan laut dan klorofil-a berpengaruh terhadap ukuran panjang ikan cakalang.

(48)

3

M ETODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Utara Aceh. Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu: 1) survei lapangan tempat lokasi penelitian pada bulan Desember 2011, 2) pengumpulan data lapangan pada bulan Januari-Maret 2012, 3) download citra SPL dan klorofil-a dari satelit MODIS, serta melakukan pengolahan dan analisis citra satelit MODIS pada bulan April-Mei 2012. Adapun peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Peta lokasi penelitian.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

(49)

(2) Perangkat lunak (software) yaitu ENVI 4.7 untuk ekstraksi citra SPL dan klorofil-a, Surfer 8.0 untuk pengolahan citra SPL dan klorofil-a, ArcGis 9.3 untuk pengolahan dan analisis secara spasial, SPSS 15.0 untuk pengolahan regresi linier.

(3) Microsoft Excel 2007, digunakan untuk tabulasi data hasil tangkapan ikan layang, waktu dan lokasi penangkapan;

(4) Kuisioner wawancara dan peta Perairan Utara Aceh dengan skala 1:300.000 digunakan sebagai pedoman pengumpulan data daerah penangkapan ikan di lapangan;

(5) Penggaris untuk pengukuran panjang ikan layang; (6) Kamera digital untuk dokumentasi penelitian;

(7) Termometer untuk pengukur suhu permukaan laut di lapangan. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

(1) Data hasil tangkapan bulanan ikan layang tahun 2011 dari Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Lampulo dalam bentuk data time series;

(2) Data hasil tangkapan yang diperoleh dari kegiatan penangkapan di lapangan bulan Januari – Maret 2012;

(3) Data SPL dan klorofil-a bulanan hasil pengukuran satelit MODIS level 3 dari bulan Januari 2011 – Maret 2012.

3

.3 Metode Pengumpulan Data

(50)

Nelayan yang dijadikan responden dipilih secara sengaja (purposive sampling) dengan pertimbangan nelayan melakukan penangkapan ikan layang di perairan Utara Aceh, nelayan mampu berkomunikasi dengan baik dan memiliki pengalaman yang cukup untuk memberikan informasi yang dibutuhkan, seperti pawang (juru mudi/tokoh kunci) dan nelayan bersedia untuk di wawancara. Penentuan sampel kapal atau armada penangkapan dalam penelitian ini yaitu menggunakan armada penangkapan purse seine yang berjumlah 7 armada dari jumlah total armada purse seine yang terdapat di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Lampulo yaitu 52 armada. Pemilihan armada purse seine dikarenakan purse seine merupakan armada yang paling dominan di PPP Lampulo yaitu sekitar 90% dan selebihnya terdapat pancing ulur dan rawai yang masing-masing 5%. Pertimbangan yang digunakan dalam penentuan sampel kapal adalah (1) sampel kapal purse seine beroperasi di perairan Utara Aceh, (2) sampel kapal purse seine layak beroperasi, (3) tujuan penangkapan sampel kapal tersebut adalah ikan layang dan (4) sampel kapal purse seine tersebut telah mendapatkan persetujuan/izin dari pemilik kapal.

Pada PPP Lampulo armada purse seine terbagi kedalam 3 kategori berdasarkan waktu keberangkatan penangkapan yaitu pagi, malam dan apung (1 minggu). Jumlah armada purse seine dari 3 kategori tersebut adalah 11 armada untuk yang berangkat pagi, 19 armada untuk yang berangkat malam dan selebihnya yaitu 22 armada untuk apung/berangkat 1 minggu. Pada penelitian ini armada purse seine yang menjadi sampel dalam pengumpulan data yaitu termasuk kepada kategori armada purse seine yang melakukan penangkapan pada malam hari.

(51)

Tabel 5 Jenis dan sumber data perikanan yang dikumpulkan selama penelitian

Jenis

Data Data yang dibutuhkan Sumber Data in-situ Jumlah Hasil Tangkapan ikan layang

per trip per hari penangkapan (Januari - Maret 2012)

Nelayan Lampulo

Lokasi Daerah penangkapan ikan layang per trip per hari penangkapan (Januari-Maret 2012)

Nelayan Lampulo

Ukuran panjang ikan layang per trip per

hari penangkapan (Januari-Maret 2012) Nelayan Lampulo Jumlah Hasil Tangkapan ikan layang

bulanan (Januari - Desember 2011). Kantor PPP Lampulo eks-situ Data SPL dan klorofil rata-rata bulanan

(Januari 2011 – Maret 2012) Satelit Aqua MODIS Download Citra

3.4 Analisis Data

3.4.1 Citra SPL dan klorofil-a

Data citra yang digunakan untuk diolah adalah citra yang bebas awan dan merupakan data bulanan, yakni bulan Januari 2011 - Maret 2012 dan dikelompokkan berdasarkan musim, yaitu musim Barat, musim peralihan Barat-Timur, musim Barat-Timur, dan musim peralihan Timur-Barat. Data sebaran SPL dan klorofil-a secara horizontal dihitung menggunakan data citra yang telah terkoreksi, baik secara atmosferik maupun geometrik dengan resolusi 4 km x 4 km, kemudian diinterpretasikan berdasarkan karakteristik variasi menurut kenampakannya. Langkah-langkah pengolahan citra SPL dan klorofil-a meliputi pemilihan citra, pengolahan citra, pemotongan dan penajaman citra, dan perhitungan penyebaran dan pemusatan data.

(1) Pemilihan citra

(52)

(2) Pengolahan citra

Citra satelit MODIS diolah dengan menggunakan perangkat lunak ENVI 4.7. Citra level 3 ini merupakan file yang sudah terkoreksi radiometrik maupun geometrik dan sudah terolah dalam format HDF (Hierachical Data Format) menjadi konsentrasi SPL dan klorofil-a.

Perhitungan SPL dengan menggunakan algoritma yang dipakai untuk menghasilkan nilai distribusi SPL dapat dilihat dibawah ini, sedangkan nilai konstanta koefisien (C1,C2,C3,C4) dapat dilihat pada Tabel 6 (Minnet et al,

2001).

SST = + ( ) + [ ( − )] + [ ( ( ) − 1) ( − )]

Keterangan : SST = Suhu Permukaan Perairan (0K)

T31 dan T32 = Suhu kecerahan air pada kanal 31 dan 32

θ = Sudut zenith satelit (θ = 0.001) C1,C2,C3,C4 = Nilai koefisien

Tabel 6 Koefisien kanal 31 dan 32 untuk Aqua MODIS

Koefisien(T 32 – T31) > 0.7 (T32 – T31) < 0.7

C1 1.1107100 1.1960990 C2 0.9586865 0.9888366 C3 0.1741229 0.1300626 C4 1.8767520 1.6271250

Algoritma yang dipakai dalam pengolahan citra satelit MODIS untuk menghasilkan konsentrasi klorofil-a adalah algoritma OC3M. Persamaan algoritma OC3M (O' Reilly et al. 2000) adalah :

= 10

, , , , ,

dimana ∶ =

Keterangan : Ca = Konsetrasi klorofil-a (mg/m3) R = Rasio reflektansi

Rrs = Remote sensing reflektansi

Gambar

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian.
Gambar 2 Sistem penginderaan jauh.
Tabel 2 Karakteristik sensor satelit MODIS
Gambar 4 Ikan layang biasa (Decapterus russelli).
+7

Referensi

Dokumen terkait