• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian

2.2 Penginderaan Jauh

2.2.3 Pemanfaatan satelit Aqua MODIS dalam penentuan DPI

Data satelit MODIS mampu memberikan informasi tentang fenomena di permukaan laut, seperti konsentrasi klorofil-a dalam permukaan air laut. Algoritma penentuan klorofil-a dilaksanakan sesuai dengan rasio radiansi atau reflektansi yang diukur dalam spektral kanal biru dan hijau data MODIS yang diperoleh dari beberapa radiansi untuk reflektansi, di antaranya, dengan panjang gelombang/spektral band (kanal 8 hingga 14, pada panjang gelombang 412 hingga 618 µm) (Suwargana et al. 2002).

Sensor pada satelit menerima pantulan radiasi sinar matahari dari permukaan dan kolom perairan. Pada sistem penginderaan jauh warna air laut terjadi transper radiasi dalam sistem sinar matahari-perairan-sensor satelit. Radiasi sinar matahari pada saat menuju perairan dipengaruhi oleh atmosfer, yang sebelum sinar matahari mencapai perairan akan diserap atau dihamburkan oleh awan, melekul udara, dan aerosol. Kemudian, sinar matahari yang masuk ke dalam kolom perairan akan diserap atau dipantulkan oleh partikel-partikel yang ada pada perairan seperti fitoplankton, sedimen tersuspensi (suspended sediment), dan substansi kuning (yellow substances). Pada perairan yang dangkal, pantulan

dari dasar perairan juga berpengaruh pada pantulan permukaan perairan (Hendiarti 2005).

Suwargana et al (2002) menjelaskan bahwa SPL dan konsentrasi klorofil-a perairan merupakan salah satu indikator dalam menentukan daerah penangkapan ikan. Lebih lanjut, Hasyim dan Salma dalam Hariyadi (2009) menjelaskan bahwa pengamatan kondisi lingkungan perikanan merupakan pengamatan kondisi oseanografi. Pengamatan yang dilakukan umumnya membutuhkan berbagai informasi, seperti suhu perairan, arah dan kecepatan arus, serta beberapa parameter lainnya (salinitas, kandungan oksigen terlarut, tingkat transparansi). Informasi lain yang sangat dibutuhkan adalah produktivitas perairan dan ketersediaan makanan.

Penelitian mengenai klorofil-a dan SPL telah banyak dilakukan oleh berbagai peneliti dengan menggunakan data satelit. Menurut Prasasti et al. (2003), untuk menentukan nilai konsentrasi klorofil-a dari satelit MODIS harus diekstraksi dari rasio kanal 9 dengan kanal 12. Kanal 9 (443 nm) bekerja pada daerah sinar biru, sedangkan kanal 12 (551 nm) bekerja pada sinar hijau. Penyerapan energi oleh klorofil-a pada kanal 9 cukup tinggi yang mengakibatkan pantulan pada kanal ini rendah. Oleh karena itu, jika rasio antara reflektansi panjang gelombang 443 nm dengan 551 nm rendah, konsentrasi klorofilnya tinggi. Namun, SPL dari suatu perairan yang luas dapat digunakan untuk mengetahui pola distribusi SPL, kondisi arus di suatu perairan, dan interaksinya dengan perairan lain serta fenomena upwelling dan front di perairan tersebut yang merupakan indikator daerah potensi penangkapan ikan. Daerah yang mempunyai fenomena-fenomena tersebut umumnya merupakan perairan yang subur. Dengan diketahuinya daerah perairan yang subur tersebut, daerah penangkapan ikan dapat diketahui. Penentuan SPL dari pengukuran satelit dilakukan dengan radiasi inframerah pada panjang gelombang 3 μm – 14 μm. Pengukuran spektrum inframerah yang dipancarkan oleh permukaan laut sampai kedalaman 0,1 mm (Hasyim dan Salma 1999 dalam Hariyadi 2009).

Suwargana et al. (2002) menjelaskan kelebihan dari pemanfaatan teknologi penginderaan jarak jauh adalah tingginya frekuensi pengatan (empat lintasan sehari) dan biaya operasional yang jauh lebih murah jika dibandingkan

dengan cara lainnya. Observasi melalui satelit ini juga sangat berguna dalam pengamatan fenomena oseanografi, terutama berkaitan dengan fenomena penaikan massa air dan thermal front yang merupakan indikator dari daerah potensi ikan yang tinggi. Oleh karenanya, diharapkan dengan tersedianya informasi ini dapat meningkatkan efektivitas dan efisien proses penangkapan ikan di laut. Berdasarkan kemampuan seperti ini, penginderaan jarak jauh dapat memberikan gambaran sederhana tentang terjadinya suatu dinamika perubahan suatu objek, juga dapat memberikan informasi yang akurat tentang kondisi lingkungan perairan (daerah penangkapan ikan), dan sebagainya.

Menurut Aboet (1985), keberhasilan dari teknologi penginderaan jauh dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama adalah kecanggihan dan ketelitian sensor, dalam hal ini dipengaruhi oleh rancangan sensor yang tepat dan kalibrasi instrumen yang benar. Kedua adalah kemampuan pengguna dalam menginterpretasikan citra, karena hasil observasi alat bukanlah pengukuran secara langsung akan tetapi merupakan hasil perekaman satelit sesuai dengan karakter reflektansi objek yang berbeda-beda. Hal ini berarti seorang pengguna data satelit harus mengetahui dasar-dasar penginderaan jauh dan proses interpretasi citra untuk mendeteksi suatu fenomena alam pada suatu wilayah.

2

.3 Aspek Biologi dan Tingkah Laku Ikan Layang ( Decapterus spp.) Klasifikasi ikan layang menurut Saanin (1968) adalah sebagai berikut: Kelas : Pisces

Sub kelas : Teleostei Ordo : Percomorphi Sub Ordo : Percoidea Divisi : Carangi Family : Carangidae Genus : Decapterus Spesies : D. russelli D. macrosoma D. curroides D. maruadsi

Spesies ikan layang yang ada di Indonesia adalah Decapterus russelli dan Decapterus macrosoma (Gambar 4 dan 5). Decapterus russelli mempunyai nama umum ikan layang atau round scad, sedangkan Decapterus macrosoma mempunyai nama umum ikan layang deles atau layang scad (Nurhakim et al. 1987). Di Aceh ikan layang sering disebut dengan nama ikan reugak. Dalam statistik perikanan, keduanya dikelompokkan dalam satu kategori, yaitu ikan layang (Decapterus spp.) (Widodo 1988).

Sumber: www.fishbase.org

Gambar 4 Ikan layang biasa (Decapterus russelli).

Sumber: www.fishbase.org

Gambar 5 Ikan layang deles (Decapterus macrosoma).

Ikan layang secara umum memiliki ciri-ciri yang membedakan kelompoknya dari ikan-ikan pelagis kecil lainnya. Menurut Asikin (1971), Saanin (1984), dan Nurhakim et al. (1987), ciri-ciri umum ikan layang adalah:

(1) Bentuk badan bulat memanjang berbentuk cerutu ataupun agak gepeng; (2) Memiliki sisik yang sangat halus;

(3) Mempunyai dua buah finlet (sirip tambahan) yang terletak pada belakang sirip punggung dan sirip dubur;

(5) Panjang tubuh ikan dewasa berkisar antara 20-25 cm, tetapi dapat juga mencapai 30 cm.

Menurut Asikin (1971), Saanin (1984), dan Lussinap et al. (1970) ikan layang memiliki sifat-sifat sebagai berikut:

(1) Sangat menyukai kadar salinitas yang tetap (stenohaline organism) dan menyukai perairan yang jernih;

(2) Tergolong kedalam jenis pemakan plankton dan memiliki kebiasaan makan pada waktu matahari terbit dan saat matahari terbenam;

(3) Merupakan perenang cepat dan aktif, namun pada daerah yang sempit atau di sekitar benda-benda terapung seperti rumpon, aktivitas akan berkurang saat membentuk gerombolan;

(4) Adakalanya sifat bergerombol bergabung dengan jenis lain seperti bawal (Stromateus spp.), kembung (Rastrelliger spp.), selar (Caranx spp.) dan tembang (Sardinella spp.);

(5) Pada siang hari gerombolan bergerak ke lapisan air yang lebih dalam dan pada malam hari kembali ke lapisan atas perairan;

(6) Hidup membentuk gerombolan besar (schooling), pada jarak sekitar 20-30 mil dari perairan lepas pantai yang berkadar garam tinggi dan berkedalaman kurang dari 100 m.

Definisi gerombolan ikan adalah sekelompok ikan yang biasanya sejenis dan mempunyai ukuran relatif sama yang aktif bergerak bersama dan memiliki bentuk gerombolan tertentu. Bentuk gerombolan ini akan sering berubah terutama apabila terdapat rangsangan atau stimuli dari luar (Lintin et al. 1994). Alasan yang menyebabkan ikan membentuk gerombolan adalah karena adanya konsentrasi makanan, menghindari predator, dan mencari habitat atau lingkungan yang sesuai (Merta 2003).

Penelitian yang membahas tentang gerombolan ikan baik yang berkaitan dengan bentuk, ukuran, pergerakan atau pola dari gerombolan tersebut sudah banyak dilakukan dewasa ini. Pengamatan terhadap gerombolan ikan dapat dilakukan melalui beberapa cara antara lain: (1) mengamati secara langsung di dalam laut dengan melakukan penyelaman dan pemotretan, (2) mengamati melalui foto udara dengan menggunakan pesawat dan (3) pengamatan dengan

metode akustik, baik melalui sonar maupun echosounder (Widodo dan Burhanuddin 2003).

Jenis ikan yang sering melakukan ruaya atau bermigrasi dalam bentuk gerombolan di dalam siklus hidupnya sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan (Lavestu dan Hayes 1982). Besarnya ukuran gerombolan ternyata berpengaruh terhadap densitas, biomassa dan kecepatan renang ikan . Gerombolan ikan yang volumenya besar umumnya memiliki biomassa yang lebih tinggi (Vasconcellos 2003). Semakin besar ukuran gerombolan ikan maka semakin lambat pergerakan gerombolan ikan tersebut (Hendiarti et al. 2005).

Laevastu dan Hayes (1970) meyatakan ikan layang biasanya memijah pada perairan yang mempunyai suhu minimum yaitu sebesar 17oC. Suhu distribusi ikan layang berkisar antara 12-25oC, sedangkan suhu optimum ikan layang yang menjadi tujuan penangkapan adalah sekitar 20-30 oC. Asikin (1971) mengatakan ikan layang umumnya memiliki dua kali masa pemijahan per tahunnya dengan puncak pemijahan pada bulan Maret-April (musim peralihan Barat-Timur) dan Agustus-September (musim Timur menuju ke musim peralihan Timur-Barat).

Penyebaran ikan layang secara vertikal dapat dipengaruhi oleh persediaan makanan. Putlitbangkan (1994) diacu dalam Simbolon (2011) mengemukakan bahwa makanan ikan layang terdiri dari copepoda, crustacean, dan organisme lain. Sedangkan Nontji (1993) mengatakan bahwa makanan utama ikan layang adalah zooplankton, meskipun terkadang memakan ikan kecil seperti teri.