• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBAHASAN

5.1 Sebaran dan Variasi SPL di Perairan Utara Aceh

SPL di daerah tropik biasanya mengikuti pola musiman karena banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor meteorologi, seperti curah hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas radiasi matahari (King 1963 dan Nontji 1993).

Hasil pengamatan terhadap citra SPL di peroleh selama bulan Januari 2011 sampai Maret 2012 di perairan Utara Aceh, bahwa secara umum SPL yang terendah terjadi pada bulan September dan Oktober (musim peralihan Timur-Barat) dan tertinggi terjadi pada bulan Agustus (musim Timur). Rendahnya SPL pada bulan September dan Oktober diduga karena pada bulan ini merupakan terjadinya musim peralihan Timur-Barat (September-November) sehingga masih berpengaruh terhadap musim Muson Timur (Juni-Agustus), dan pada musim peralihan Timur-Barat ini tingkat curah hujan yang dihasilkan semakin tinggi dan tutupan awan bertambah sehingga mengakibatkan suhu lebih dingin serta angin yang dihasilkan relatif kencang. Menurut Sverdrup et al. (1961), Riley dan Skirrow (1975) angin yang bertiup di atas permukaan laut mempengaruhi interaksi antara udara dengan permukaan laut dan selanjutnya mempengaruhi suhu di lapisan permukaan. Sedangkan tinggi SPL pada bulan Agustus dipengaruhi oleh perbedaan intensitas penyinaran matahari yang turut berperan langsung terhadap perbedaan SPL. Menurut Weil dalam Hutagalung (1988), bahwa suhu air laut terutama di lapisan permukaan sangat tergantung pada jumlah bahang yang diterima dari sinar matahari.

Sebaran SPL pada musim Barat (Januari-Februari) menunjukkan SPL hangat terlihat dominan pada sisi barat Aceh Besar dan sisi Selatan Pulo Nasi serta Pulo Beras. Hal ini disebabkan karena terjadinya penutupan awan yang terjadi selama musim Barat sehingga SPL cenderung lebih dingin. Adanya penutupan awan yang tinggi pada musim Barat berkaitan dengan hembusan angin musim Barat yang banyak membawa uap air yang menyebabkan awan menjadi tebal dan menutupi atmosfir (Wyrtki 1961).

Sebaran SPL pada musim peralihan Barat-Timur (Maret-Mei) terjadi SPL yang tinggi pada bulan April, yang diduga ini terjadi karena pada bulan ini merupakan musim peralihan Barat-Timur dimana intensitas penyinaran pada permukaan perairan berlangsung kuat yang merupakan pertanda akan memasuki musim Timur.

Pada musim Timur (Juni-Agustus) secara dominan sebaran SPL yang terjadi di perairan Utara Aceh yaitu pada SPL yang tinggi selama musim ini. Hal ini diduga karena matahari mulai bergeser kebelahan bumi utara khusunya benua asia dimana temperatur menjadi tinggi dan tekanan udara menjadi rendah. Pada musim Timur ini massa air hangat dan massa air dingin tidak terlihat lagi dan berganti dengan massa air yang hangat yang terjadi hampir di seluruh perairan Utara Aceh, dimana hal ini diduga karena terjadinya penangangkatan massa air lapisan dalam yang bersuhu rendah sampai dengan ke permukaan. Kondisi di atas didukung pendapat Boely et al (1990) dalam Muklis (2008), yang menyatakan bahwa temperatur terendah ditemui antara bulan Juni sampai September. SPL yang tinggi terjadi pada seluruh sisi sebelah timur Sabang yang meluas sampai pesisir Banda Aceh dan Aceh Besar. Wyrtki (1961) juga menyatakan bahwa pada musim Timur menunjukkan bahwa secara umum sebaran suhu di permukaan perairan cenderung homogen. Hal ini menunjukkan adanya proses pencampuran massa air secara horizontal adalah karena pada musim Timur (Juni-Agustus) arus di permukaan mengalir sangat kuat.

Nontji (1993) menyatakan bahwa suhu perairan Indonesia pada lapisan homogen adalah sekitar 28oC sampai kedalaman kira-kira 50-70 m. Selanjutnya Wirtky (1961) menyatakan bahwa suhu pada lapisan permukaan di perairan tropis adalah hangat akan tetapi dengan variasi tahunan yang umumnya rendah. Variasi suhu tahunan rata-rata pada perairan tropis kurang dari 2oC. Suhu yang sedikit lebih tinggi sekitar 3-4oC terjadi di Laut Banda, Laut Arafura, Laut Timor dan juga di Barat Sumatera.

Suhu perairan yang diukur secara in-situ di lapangan untuk bulan Januari 2012 sebesar 28,32oC, bulan Februari 2012 sebesar 28,18oC dan pada Maret 2012 sebesar 28,26oC. Bila dibandingkan dengan SPL hasil pengukuran citra satelit untuk bulan Januari sebesar 28,15oC, untuk bulan Februari 2012 sebesar 28,51oC

dan bulan Maret sebesar 28,88oC. Dari hasil pengukuran tersebut terlihat bahwa perbandingan antara hasil pengukuran di lapangan (in-situ) dengan pengukuran citra (eks-situ) memiliki nilai yang relatif sama, dimana rentang nilai perbedaan SPL yang dihasil oleh hasil pengukuran lapangan (in-situ) dan hasil pengukuran citra satelit adalah lebih kecil dari 1oC. Hal ini didasarkan pada pendapat yang mengatakan bahwa perbedaan pengukuran SPL antara citra satelit dengan pengukuran in-situ adalah lebih kecil dari 1oC, perbedaan ini umumnya disebabkan pengaruh atmosfir seperti uap air dan awan, dimana pengaruh awan tersebut dapat menurunkan suhu pengukuran SPL sampai 1,5oC dibanding suhu pengukuran in-situ (Gaol, 2003). Berdasarkan hasil pengukuran SPL antara pengukuran lapangan dan pengukuran citra satelit yang menghasilkan nilai yang relatif sama, sehingga dapat dikatakan bahwa pengukuran SPL dengan menggunakan citra satelit adalah memiliki nilai yang akurat dan dapat digunakan untuk membantu dalam menentukan SPL pada suatu perairan tanpa perlu melakukan pengukuran langsung di lapangan yang dapat memakan waktu yang lama.

Berdasarkan Tabel 11 dapat dilihat nilai varians diperoleh untuk suhu permukaan laut yaitu berkisar antara 0,10-0,52 atau bernilai kecil, dimana varians digunakan untuk melihat pola variasi yang ada pada suhu permukaan laut. Nilai varians yang diperoleh menandakan bahwa variabilitas data suhu permukaan laut memiliki nilai yang kecil, yang artinya semakin kecil nilai varians maka semakin sedikit variasi data sehingga dapat dikatakan data yang dihasilkan adalah akurat/bagus sedangkan sebaliknya jika semakin besar nilainya, semakin banyak variasi datanya yang mengakibatkan data menjadi tidak akurat.

Citra SPL rata-rata musiman yaitu musim barat, musim peralihan barat-timur, musim barat-timur, musim peralihan timur-barat pada perairan Utara Aceh termasuk kedalam SPL pada kategori hangat. Pengelompokkan kategori SPL ini merujuk dari www.rsgisforum.net untuk perairan Indonesia yang mana SPL dingin berada di bawah 27,00oC, SPL hangat berkisar antara 27,00-31,00oC dan SPL panas berada di atas 31,00oC .

5

.2 S ebaran dan Variasi Klorofil-a di Perairan Utara Aceh

Hasil pengamatan terhadap citra klorofil-a ditemukan bahwa secara umum konsentrasi klorofil-a tertinggi terjadi pada bulan Maret dan terendah terjadi pada bulan Oktober. Rendahnya klorofil-a pada bulan Oktober diduga karena adanya pengaruh musim peralihan Timur-Barat (September-November) menuju musim Barat (Desember-Februari). Menurut Wyrtki (1961) dan Ilahude (1975) bahwa arus pada musim peralihan Timur-Barat tidak menentu, arus Muson Timur yang mengalir ke Barat mulai melemah dan arus Muson Barat yang mengalir ke Timur mulai bergerak. Sedangkan pada bulan Maret (musim peralihan Barat-Timur) tingginya konsentrasi klorofil-a pada perairan diduga karena hasil produktivitas primer dari terumbu karang yang terdapat diperairan. Nybakken (1992) menyatakan bahwa pada ekosistem terumbu karang terjadi suatu simbiosis yang sangat berarti bagi terciptanya produktifitas primer yang potensial. Terlihat dari hasil pengamatan bahwa pada bulan Maret 2012 konsentrasi klorofil-a ditemukan pada pesisir pantai Banda Aceh. Hal ini sependapat dengan Parson et al. (1984) yang menyatakan bahwa konsentrasi klorofil-a lebih tinggi ke arah pantai bila dibandingkan dengan konsentrasi klorofil-a kearah lepas pantai. Umumnya sebaran konsentrasi klorofil-a tinggi di perairan pantai sebagai akibat dari tingginya suplai nutrien yang berasal dari daratan melalui limpasan air sungai, dan sebaliknya cenderung rendah di daerah lepas pantai. Meskipun demikian pada beberapa tempat masih ditemukan konsentrasi klorofil-a yang cukup tinggi, meskipun jauh dari daratan. Keadaan tersebut disebabkan oleh adanya proses sirkulasi massa air yang memungkinkan terangkutnya sejumlah nurien dari tempat lain, seperti yang terjadi pada daerah upwelling.

Sebaran klorofil-a pada musim Barat (Desember-Februari) terlihat rendah dan terlihat lebih tinggi berada pada pesisir Banda Aceh hingga ke pesisir Pulo Nasi, dan konsentrasi klorofil-a terendah berada pada daerah lepas pantai perairan Utara Aceh. Hal ini disebabkan karena pada musim tersebut kecepatan angin sangat kuat dan curah hujan yang tinggi. Tingginya curah hujan yang berarti intensitas penyinaran rendah dan permukaan laut yang lebih bergelombang mengurangi penetrasi panas ke adalam air laut. Akibatnya adalah suhu permukan mencapai minimum (Gordon 2005). Diperairan teluk Omura Jepang menunjukkan

bahwa curah hujan mempunyai korelasi yang positif terhadap konsentrasi klorofil, karena curah hujan akan membawa zat-zat hara dari daratan melalui sungai menuju teluk Omura yang akhirnya zat-zat hara tersebut akan dimanfaatkan fitoplankton untuk pertumbuhannya (Wouthuyzen 1991).

Tingginya klorofil-a pada bulan Maret dibanding bulan-bulan yang lain diduga disebabkan oleh faktor musim dimana pada bulan ini sudah memasuki muson Barat-Timur. Mulai menguatnya tiupan angin pada saat tersebut memungkinkan terjadinya turbulensi dari bawah lapisan permukaan dimana konsentrasi klorofil-a lebih tinggi karena proses sinking (penenggelaman) sampai ke lapisan termoklin. Parson et al. (1984) menyatakan bahwa distribusi vertikal klorofil-a di laut pada umumnya berbeda menurut waktu, dimana suatu saat ditemukan maksimum di dekat permukaan, namun di lain waktu mungkin lebih terkosentrasi di bagian bawah eufotik.

Sebaran konsentrasi klorofil-a pada musim Timur (Juni-Agustus) terlihat konsentrasi klorofil-a tertinggi diperoleh pada bulan Juni dan Juli, dan konsentrasi klorofil-a terendah berada pada bulan Mei. Hal ini terjadi karena pada bulan Juni dan Juli masih berpengaruh terhadap dampak musim peralihan Barat-Timur, sedangkan pada bulan Mei merupakan akhir dimana akan memasuki musim Timur dimana pada musim ini intensitas penyinaran dari matahari relatif rendah.

Berdasarkan Tabel 12 dapat dilihat nilai varians diperoleh untuk klorofil-a yaitu berkisar antara 0,002-0,058 atau bernilai kecil, dimana varians digunakan untuk melihat pola variasi yang ada pada klorofil-a. Nilai varians yang diperoleh menandakan bahwa variabilitas data suhu permukaan laut memiliki nilai yang kecil, yang artinya semakin kecil nilai varians maka semakin sedikit variasi data sehingga dapat dikatakan data yang dihasilkan adalah akurat/bagus sedangkan sebaliknya jika semakin besar nilainya, semakin banyak variasi datanya yang mengakibatkan data menjadi tidak akurat.

Citra konsentrasi klorofil-a rata-rata musiman yaitu musim barat, musim peralihan barat-timur, musim timur, dan musim peralihan timur-barat di perairan Utara Aceh termasuk kedalam konsentrasi klorofil-a pada kategori rendah. Pengelompokkan kategori klorofil-a ini sesuai dengan kutipan dari Nontji (1987),

yaitu konsentrasi klorofil-a <0,3 mg/m3 termasuk kategori rendah, 0,31-1 mg/m3

termasuk kategori sedang, dan >1 mg/m3 termasuk kategori tinggi (Tabel 12). Gabrik dan Parslow (1989) mengemukakan bahwa laju produktifitas primer di lingkungan ditentukan oleh faktor fisik. Faktor fisik utama yang mengontrol produksi fitoplankton di perairan eutropik adalah percampuran vertikal, penetrasi cahaya di dalam kolom air dan laju tenggelam sel fitoplankton. Percampuran vertikal massa air sangat berperan dalam menyuburkan kolom perairan yaitu dengan mengangkat nutrien dari lapisan dalam ke lapisan permukaan. Dengan meningkatnya nutrien pada lapisan permukaan dan dibantu dengan penetrasi cahaya matahari yang cukup di dalam kolom perairan dapat meningkatkan laju produktifitas primer melalui aktifitas fotosintesis fitoplankton.

Selanjutnya Parson et al. (1984) mengemukakan bahwa, tidak mudah untuk menjelaskan kondisi yang berlaku umum tentang penyebaran fitoplankton secara horizontal di laut. Disebabkan oleh perbedaan kondisi ekologi pada bagian-bagian laut yang berbeda, seperti di daerah pantai dan estuari, pesisir dan laut lepas. Ada kecenderungan penyebaran fitoplankton bersifat lebih mengelompok di daerah neritik dibanding dengan daerah oseanik (lepas pantai). Hal ini juga dinyatakan Lorenzen (1971) dan Venrick (1972) dalam Levinton (1982) yakni umumnya fitoplankton di laut terbuka kurang melimpah dan distribusinya lebih merata dibandingkan dengan fitoplankton dekat pantai.

Mann dan lazier (1991) menyatakan bahwa secara umum produktivitas primer fitoplankton dipengaruhi oleh berbagai aspek fisika di laut. Pengaruh tersebut dapat terjadi pada beberapa skala luasan mulai dari sirkulasi dasar laut dalam wilayah yang luas, daerah upwelling hingga skala kecil pada daerah turbulen yang berpengaruh pada sel individu fitoplankton. Distribusi biogeografis plankton sangat ditentukan oleh faktor lingkungan, seperti cahaya, temperatur, salinitas, nutrien dan faktor-faktor lainnya. Faktor tersebut sangat menentukan keberadaan dan kesuksesan spesies plankton di suatu lingkungan (Parsons et al. 1984; Valiela 1984).

5

.3 Variabilitas CPUE Ikan Layang

Gambaran tentang variabilitas CPUE yang terbentuk dengan adanya kelompok penangkapan menunjukkan bahwa walaupun proses penangkapan ikan pada suatu lokasi penangkapan menggunakan alat tangkap dengan ukuran yang relatif sama ternyata mempunyai hasil tangkapan yang sangat bervariasi pada setiap unit penangkapan yang beroperasi, baik jenis maupun jumlah hasil tangkapan. Keadaan ini menunjukkan bahwa ikan tidak pernah tersebar merata pada suatu perairan dalam kurun waktu yang sama, sehingga peluang tertangkapnya akan berbeda pada skala ruang dan waktu.

Variabilitas hasil tangkapan yang tercermin dari adanya pengelompokkan unit penangkapan berdasarkan CPUE memberikan gambaran bahwa dalam proses penangkapan ikan sangat di pengaruhi oleh berbagai faktor antara lain: manusia menyangkut pengetahuan lokasi penangkapan ikan yang ideal, kemampuan unit penangkapan dalam proses operasi penangkapan, kondisi lingkungan perairan yang menjadi lokasi penangkapan, dan tingkah laku ikan yang menjadi target penangkapan, baik secara fisik maupun biologis (Laevastu dan hayes 1982).

Rata-rata CPUE ikan layang bulanan periode Januari 2011-Maret 2012 di perairan Utara Aceh sangat bervariasi (Gambar 15). CPUE ikan layang yang bervariasi ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya perbedaan upaya penangkapan yang dilakukan, keadaan cuaca yang berbeda setiap bulannya, ada tidaknya sumber makanan, serta faktor-faktor lainnya yang telah di dijelaskan diatas.

Rata-rata CPUE ikan layang tertinggi berdasarkan periode musim terjadi pada musim peralihan Timur-Barat (September-November) sebesar 474 kg/trip dan terendah pada musim Timur (Juni-Agustus) sebesar 279 kg/trip (Gambar 16). Tingginya CPUE ikan layang pada musim peralihan Timur-Barat diduga karena pada musim ini merupakan masa ikan layang beruaya untuk menemukan tempat atau kondisi lingkungan yang tepat untuk melakukan pemijahan. Ikan layang melakukan pemijahan pada bulan Agustus dan September yaitu pada masa musim Timur dan hendak memasuki musim peralihan Timur-Barat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Amri (2002) menyatakan bahwa ikan layang umumnya memiliki dua kali masa pemijahan per tahun dengan puncak pemijahan pada bulan Maret/April

(musim peralihan Barat-Timur) dan Agustus/September (musim Timur menuju ke musim peralihan Timur-Barat). Penyebab lainnya kemungkinan disebabkan oleh besarnya schooling ikan layang yang terjadi pada musim barat sehingga berpengaruh terhadap CPUE ikan layang. besar kecilnya schooling diduga berkaitan dengan keadaan lingkungan, yaitu keadaan perairan dan ketersediaan makanan.

Berdasarkan Gambar 16 terlihat bahwa nilai CPUE ikan layang berdasarkan periode musim berfluktuatif setiap musimnya. Nilai CPUE tertinggi berada pada musim peralihan Timur-Barat dan diikuti oleh musim peralihan Barat-Timur, sedangkan nilai CPUE terendah berada pada musim Timur dan diikuti oleh musim Barat. Berdasarkan hasil yang diperoleh diharapkan nelayan untuk dapat melakukan operasi penangkapan ikan layang yaitu pada musim peralihan Timur Barat dan musim peralihan Barat-Timur, sedangkan pada musim Timur dan musim Barat bila nelayan tetap melakukan operasi penangkapan hal ini akan berpengaruh terhadap hasil tangkapan yang diperoleh dan pada akhirnya akan mengalami kerugian karenan biaya operasional lebih besar daripada pendapatan .

Berdasarkan Gambar 17 terlihat bahwa nilai CPUE ikan layang pada masing-masing daerah penangkapan ikan berfluktuatif setiap bulannya. Pada bulan Januari nilai CPUE tertinggi terdapat pada Pulo Beras dan diikuti oleh Lhok Nga dan Pulo Nasi, sedangkan nilai CPUE terendah berada pada Laot Aceh dan diikuti oleh Sabang dan Peukan Bada. Nilai CPUE tertinggi pada bulan Februari berada pada Sabang dan diikuti oleh Pulo Beras dan Pulo Nasi, sedangkan nilai CPUE terendah berada pada Lhok Nga dan diikuti oleh Peukan Bada dan Laut Aceh. Pada bulan Maret nilai CPUE tertinggi berada pada Pulo Beras dan diikuti oleh Sabang dan Pulo Nasi, sedangkan nilai CPUE terendah berada pada Peukan Bada dan diikuti oleh Lhok Nga dan Laot Aceh. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa daerah penangkapan Pulo Beras dan Sabang termasuk kedalam kategori yang patut direkomendasikan kepada nelayan untuk perencanaan operasi penangkapan ikan layang selanjutnya dimasa yang akan datang bila dibandingkan dengan daerah-daerah penangkapan lainnya. Akan tetapi selama penelitian (Januari-Maret) diperoleh hasil tangkapan ikan layang dengan ukuran yang tidak

layak tangkap pada kedua daerah tersebut. Jika hal ini terus dibiarkan berlangsung akan berpengaruh terhadap tingkat keramahan lingkungan yang dilihat dari segi perbandingan panjang total (TL) dan length of maturity (Lm). Atas dasar inilah diharapkan adanya penelitian yang lebih lama untuk mengetahui waktu dan musim yang tepat untuk melakukan operasi penangkapan ikan layang dengan komposisi ukuran panjang ikan yang layak tangkap pada perairan Utara Aceh.

5

.4 Hubungan SPL dan Klorofil-a terhadap Hasil Tangkapan dan Ukuran Panjang Ikan Layang

Hasil tangkapan ikan layang terbanyak ditemukan pada Pulo Beras, Sabang, Pulo Nasi, Lhok Nga. Sedangkan Laot Aceh dan Peukan Bada hasil tangkapan ikan layang lebih sedikit. Hal ini mengidentifikasikan bahwa penyebaran ikan layang bervariasi secara temporal dan spasial di perairan Utara Aceh. Namun penyebaran ini tidak dipengaruhi oleh SPL dan klorofil-a. Hal ini mungkin disebabkan adanya faktor-faktor lain yang mempengaruhi hasil tangkapan ikan layang di perairan Utara Aceh. Begitu juga terlihat pada hubungan SPL dan klorofil-a juga tidak berpengaruh signifikan terhadap ukuran panjang ikan layang (Gambar 23 dan 24). Untuk itu perlu dilakukan pengamatan terhadap parameter-parameter yang lain seperti arus dan salinitas.

Arus adalah faktor penting yang menyebabkan perubahan lokal pada lingkungan laut. Ikan diduga mempunyai respons secara langsung pada perubahan tersebut, baik disebabkan oleh arus maupun orientasi ikan terhadap arus. Laevastu dan Hayes (1981) menyatakan bahwa, arus berpengaruh terhadap penyebaran ikan yaitu arus mengalihkan telur-telur dan anak-anak ikan pelagis dari spawning ground (daerah pemijahan) ke nursery ground (daerah pembesaran) dan ke feeding ground (tempat mencari makan), migrasi ikan-ikan dewasa dapat disebabkan oleh arus sebagai alat orientasi ikan dan sebagai bentuk rute alami, tingkah laku diurnal ikan dapat disebabkan oleh arus khususnya arus pasut, dan arus secara langsung dapat mempengaruhi distribusi ikan-ikan dan secara tidak langsung mempengaruhi pengelompokkan makanan atau faktor lain yang membatasinya (suhu). Asikin (1971) juga mengatakan bahwa pola arus berperan secara tidak langsung dalam migrasi ikan layang, karena sebenarnya arus

membawa massa air laut dengan kadar salinitas tertentu yang sesuai dengan ikan layang.

Ikan layang melakukan ruaya (migrasi) mengikuti kadar garam bersalinitas tinggi (Burhanuddin et al. 1984). Menurut pendapat Djamali (1995) ikan layang sangat menyukai salinitas antara 32-34 ‰. Asikin (1971) menyatakan bahwa pada musim Timur ikan layang bergerak mengikuti massa air bersalinitas tinggi antara 32-33,75‰. Selanjutnya, Lussinap et al. (1970) megatakan bahwa salinitas optimum bagi ikan layang berkisar antara 32-32,5 ‰.

Berdasarkan Gambar 19 dan 21 menunjukkan bahwa fluktuasi SPL tidak begitu signifikan dalam menentukan banyak atau tidaknya hasil tangkapan. Hal ini dapat dinyatakan bahwa pada dasarnya SPL dengan kelimpahan dan distribusi ikan tidak dapat dimutlakkan sebagai suatu hubungan linear, akan tetapi setiap ikan mempunyai batas toleransi atau kondisi optimum terhadap lingkungan yang ditempatinya. Laevastu dan Hayes (1981) mengatakan bahwa, perubahan suhu perairan menjadi di bawah suhu normal/suhu optimum menyebabkan penurunan aktifitas gerakan dan aktifitas makan serta menghambat berlangsungnya pemijahan. Dalam hal ini suhu perairan sangat berperan penting dalam fekunditas dan pemijahan, masa inkubasi dan penetasan telur, pertumbuhan ikan, aktifitas pergerakan, ruaya, penyebaran dan kelimpahan serta penggerombolan. Fluktuasi hasil tangkapan ikan pada suatu daerah penangkapan ditentukan oleh kondisi oseanografi optimum pada perairan baik SPL, klorofil-a maupun parameter lainnya. Oleh karena itu, setiap organisme perairan akan bergerak mengikuti sebaran kondisi yang sesuai, disamping faktor mencari makanan. Kondisi optimum suatu perairan juga dapat meningkatkan preferensi untuk jenis ataupun schooling ikan yang selanjutnya akan mendorong peningkatan intensitas armada penangkapan karena dianggap merupakan daerah penangkapan ikan potensial.

Menurut pendapat Baskoro et al. (2004), suhu dapat mempengaruhi penyebaran ikan dikarenakan yaitu sebagai pengatur proses metabolisme (dapat mempengaruhi permintaan kebutuhan makanan dan tingkat penerimaan serta tingkat pertumbuhan), sebagai pengatur aktifitas gerakan tubuh (kecepatan renang) dan sebagai stimulus syaraf. Namun dalam penelitian ini suhu perairan tidak berpengaruh terhadap hasil tangkapan. Kondisi ini kemungkinan disebabkan

karena variasi suhu yang terjadi masih dapat ditolerir oleh ikan yang ada di perairan Utara Aceh, sehingga ikan-ikan tersebut tidak perlu bermigrasi akibat perubahan suhu yang terjadi.

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya mengenai hubungan ukuran panjang ikan terhadap SPL diperoleh bahwa ikan pada ukuran tertentu menyukai suhu pada kisaran tertentu pula. Hasil penelitian Silvia (2009) terlihat bahwa SPL berpengaruh terhadap ukuran ikan cakalang, dimana ikan cakalang yang berukuran kecil lebih menyukai suhu yang hangat dan ikan cakalang yang berukuran besar lebih menyukai suhu yang lebih panas. Akan tetapi pada penelitian ini tidak dijumpai kisaran berapa yang disukai oleh ikan layang dengan ukuran tertentu. Hal ini dikarenakan pada penelitian ini ukuran panjang ikan