• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian

2.2 Penginderaan Jauh

2.4.1 Suhu permukaan laut (SPL)

.4 Kondisi Oseanografi yang Mempengaruhi Penyebaran Ikan Layang Keberadaan sumber daya ikan sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan sehingga kelimpahannya sangat berfluktuasi di suatu perairan. Gunarso (1985) menyatakan bahwa perubahan kondisi lingkungan akan mempengaruhi pola kehidupan ikan, baik yang menyangkut periode migrasi musiman, pertumbuhan, maupun keberadaannya.

2.4.1 Suhu permukaan laut (SPL)

Suhu merupakan salah satu parameter penting yang dapat mempengaruhi penyebaran sumber daya hayati laut (ikan). Setiap jenis spesies ikan mempunyai suhu optimum dan mempunyai keterbatasan toleransi terhadap perubahan suhu

yang ada (Laevestu dan Hela 1970). Selanjutnya, dikatakan bahwa perubahan suhu perairan yang sangat kecil (±0,02oC) dapat menyebabkan perubahan densitas populasi ikan di suatu perairan. Lavestu dan Hayes (1981) juga mengatakan bahwa ikan-ikan pelagis tertentu akan bergerak menghindari suhu yang lebih tinggi atau mencari daerah yang kondisi suhunya lebih rendah.

Sverdrup et al. (1961) menyatakan bahwa pengaruh suhu secara langsung terhadap kehidupan di laut berakibat dalam hal laju fotosintesis tumbuh-tumbuhan dan proses fisiologis hewan, khususnya aktivitas metabolisme dan siklus reproduksi. Menurut Laevastu (1993), pengaruh suhu terhadap ikan dapat mempengaruhi proses metabolisme, seperti pertumbuhan dan pengambilan makanan, aktivitas tubuh, seperti kecepatan renang, serta dalam rangsangan syaraf.

Suhu air laut di lapisan permukaan sangat dipengaruhi oleh jumlah cahaya yang diterima dari sinar matahari. Menurut Laevastu dan Hela (1970) perubahan SPL, selain disebabkan oleh jumlah cahaya yang diterima dari matahari, juga dipengaruhi oleh keadaan alam dan lingkungan sekitar di daerah perairan tersebut. Pengaruh arus, keadaan awan, penaikan massa air dan pencairan es di kutub juga mempengaruhi suhu di permukaan laut.

Suhu perairan sangat mempengaruhi pertumbuhan ikan (aktivitas, mobilitas), gerakan (ruaya, penyebaran), kelimpahan (penggerombolan, maturasi, fekunditas), dan pemijahan (masa inkubasi, penetasan telur serta kelulusan hidup larva ikan (Gastellu dan Mardio 1983). Suhu perairan sangat berpengaruh secara langsung terhadap kehidupan sumberdaya hayati laut. Pengaruh tersebut meliputi laju fotosintesis tumbuh-tumbuhan dan proses fisiologis hewan, khususnya metabolisme dan siklus reproduksi (Amri 2002). Menurut Nontji (1993), data suhu perairan dapat dimanfaatkan bukan saja untuk mempelajari gejala-gejala fisika di dalam wilayah perairan tersebut, melainkan dapat juga digunakan untuk mempelajari kehidupan hewan dan tumbuhan yang menempatinya.

Suhu dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk menduga keberadaan organisme di suatu perairan, khususnya ikan. Tinggi rendahnya SPL pada suatu perairan, terutama, dipengaruhi oleh radiasi matahari. Perubahan intensitas cahaya

akan mengakibatkan terjadinya perubahan suhu air laut, baik secara horizontal, mingguan, bulanan maupun tahunan (Laevestu dan Hela 1970).

Harsanugraha dan Parwati (1996) menyatakan ada dua cara untuk menentukan SPL, yaitu pertama metode perkiraan (estimasi) dengan memanfaatkan wahana satelit penginderaan jauh dan kedua metode pengukuran langsung (konvensional) dengan menggunakan alat-alat pengukur temperatur di permukaan laut. Data SPL yang diperoleh dengan metode konvensional disebut data in-situ, sedangkan yang diperoleh dengan metode metode perkiraan (estimasi) disebut pendekatan SPL eks-situ. Dari pola distribusi SPL dengan menggunakan satelit tersebut dapat dilihat fenomena-fenomena yang terjadi di perairan tersebut, seperti upwelling, front, dan pola arus permukaan. Perairan yang mempunyai fenomena-fenomena tersebut umumnya merupakan perairan yang subur. Perairan yang subur biasanya merupakan daerah penangkapan ikan karena ikan cenderung bermigrasi ke perairan yang subur.

Laevastu dan Hela (1970) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi SPL adalah kondisi meteorologi, arus permukaan, ombak, upwelling, divergensi, konvergensi, dan perubahan bentuk es di daerah kutub. Faktor-faktor meteorologi yang mempunyai peranan dalam hal ini adalah curah hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas matahari. Dengan demikian, SPL biasanya mengikuti pola musiman. Lavestu dan Hela (1970) juga mengatakan bahwa untuk meramalkan berhasil atau tidaknya suatu penangkapan ikan harus memperhatikan (1) suhu optimum dari semua jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan, (2) pengamatan hidrografi dan meteorologi untuk memberikan keterangan mengenai isothermal permukaan, dan (3) perubahan keadaan hidrografi harus dapat diramalkan.

Menurut Gunarso (1985) fluktuasi suhu dan perubahan geografis merupakan faktor penting dalam upaya merangsang dan menentukan pengkonsentrasian gerombolan ikan. Oleh karena itu, suhu memegang peranan dalam penentuan daerah penangkapan ikan.

Suhu perairan berpengaruh secara langsung terhadap kehidupan laut. Pengaruh tersebut meliputi laju fotosintesis tumbuh-tumbuhan dan proses fisiologi hewan, khususnya metabolisme dan siklus reproduksi. Ikan mempunyai kisaran

suhu optimum untuk hidupnya. Pengetahuan tentang suhu optimum ini bermanfaat dalam peramalan keberadaan kelompok ikan sehingga dapat dengan mudah dilakukan penangkapan (Amri 2002).

2

.4.2 Klorofil-a

Klorofil-a adalah salah satu parameter yang sangat menentukan produktivitas primer di laut. Distribusi spasial dan tinggi rendahnya konsentrasi klorofil-a sangat berhubungan dengan kondisi oseanografi suatu perairan. Terdapat beberapa parameter fisika-kimia yang dapat mengontrol dan mempengaruhi sebaran klorofil-a. Parameter itu adalah intensitas cahaya, salinitas, suhu dan nutrien (terutama nitrat, fosfat dan silikat). Penyebab bervariasinya produktivitas primer di beberapa tempat di laut akibat adanya perbedaan parameter fisika-kimia tersebut secara langsung ataupun tidak langsung (Sverdrup et al. 1961).

Klorofil-a erat kaitannya dengan tingkat produktivitas primer yang ditunjukkan dengan besarnya biomassa fitoplankton yang menjadi rantai pertama makanan ikan pelagis kecil. Produktivitas primer lingkungan perairan pantai umumnya lebih tinggi dari produktivitas primer perairan laut terbuka. Hal ini terjadi karena tingginya suplai nutrien pada perairan pantai yang berasal dari daratan melalui limpasan air sungai. Namun demikian, terdapat beberapa tempat di perairan laut terbuka yang masih ditemukan konsentrasi klorofil-a yang cukup tinggi meskipun jauh dari daratan. Kondisi tersebut diakibatkan oleh adanya proses sirkulasi massa air yang memungkinkan naik dan terangkutnya sejumlah nutrien dari tempat lain, seperti yang terjadi pada daerah upwelling (Amri 2002). Fitoplankton sebagai tumbuhan yang mengandung pigmen klorofil yang mampu melaksanakan reaksi fotosintesis, yaitu air dan karbon dioksida dengan adanya sinar matahari dan garam hara yang dapat menghasilkan senyawa, seperti karbohidrat. Dengan kemampuan membentuk zat organik dari zat anorganik, fitoplankton disebut sebagai produsen primer (Nontji 1993). Oleh karena itu, kandungan klorofil-a dalam perairan merupakan salah satu indikator tinggi atau rendahnya kelimpahan fitoplankton atau tingkat kesuburan suatu perairan (Yamaji

1966). Sebaran dan tinggi rendahnya konsentrasi klorofil-a sangat terkait dengan kondisi oseanografis suatu perairan.

Menurut Nybakken (1992), plankton memiliki peranan penting dalam ekosistem laut karena plankton menjadi bahan makanan bagi berbagai jenis hewan laut lainnya. Pada ekosistem laut, tipe jejaring makanan yang umum terjadi membentuk limas pakan (food pyramid). Hal ini diakibatkan oleh semakin bergerak ketingkat lebih tinggi, perpindahan senyawa organik yang terjadi berlangsung tidak efisien. Nontji (2005) memperkirakan bahwa tingkat efisiensi perpindahan senyawa organik dari satu tingkat ke tingkat diatasnya hanya sekitar 10% saja dan 90% lainnya hilang sebagai energi panas (Gambar 6). Pada tipe rantai makanan lautan, produsen pertama dimulai dari tumbuhan hijau atau fitoplankton, yang selanjutnya akan dimakan oleh konsumen pertama sampai kepada konsumen tertinggi (Gambar 7).

Atas : Limas pakan (food pyramid). PP = Produsen primer berupa fitoplankton. H = Herbivora berupa zooplankton. K1 = Karnivora pertama berupa ikan-ikan kecil. H2 = Karnivora kedua berupa ikan-ikan yang lebih besar. K3 = Karnivora ketiga berupa ikan besar.

Sumber: Nontji 2005

Gambar 6 Piramida makanan pada ekosistem laut.

Fitoplankton Zooplankton Karnivora I Karnivora II Karnivora III Sumber: Nybakken 1992

Gambar 7 Rantai makanan di lautan. K3

K2 K1

H PP

Laju produktivitas primer di lingkungan laut ditentukan oleh berbagai faktor fisika. Faktor fisika utama yang mengontrol produksi fitoplankton di perairan eutropik adalah pencampuran vertikal, penetrasi cahaya di kolom air, dan laju tenggelam fitoplankton (Gabric dan Parslow 1989). Selanjutnya, laju produktivitas primer di laut juga dipengaruhi oleh sistem angin muson. Hal ini berhubungan dengan daerah asal massa air diperoleh. Dari pengamatan sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia diperoleh bahwa konsentrasi klorofil-a yang tertinggi dijumpai pada muson tenggara. Pada saat tersebut terjadi upwelling di beberapa perairan, terutama di perairan Indonesia Timur, sedangkan klorofil-a terendah dijumpai pada muson barat laut. Pada saat itu di perairan Indonesia tidak terjadi upwelling dalam skala yang besar sehingga nilai konsentrasi nutrien di perairan lebih kecil (Amri 2002).

Asikin (1971) mengatakan bahwa migrasi ikan layang secara langsung dipengaruhi oleh migrasi missal fitoplankton yang kemudian diikuti oleh zooplankton. Biasanya pada daerah yang kaya fitoplankton dan zooplankton, keberadaan ikan sangat melimpah.

Suwargana et al. (2002) menjelaskan bahwa kajian mengenai hubungan antara sebaran klorofil-a dan ikan pelagis dengan beberapa parameter oseanografi (fisika, kimia dan biologi) sangat penting untuk diketahui guna mengidentifikasi parameter fisika-kimia yang memiliki peranan besar terhadap sebaran klorofil-a pada musim tertentu. Selain itu, kajian ini juga penting untuk mengetahui karakteristik massa air di daerah itu. Informasi itu dapat dimanfaatkan dalam upaya pengembangan pengelolaan sumber daya perairan, khususnya, bagi industri penangkapan dan juga dapat digunakan untuk memudahkan dalam menentukan daerah penangkapan pada musim tertentu.