• Tidak ada hasil yang ditemukan

Infestasi cacing pada domba ekor tipis dari rumah pemotongan domba rakyat di Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Infestasi cacing pada domba ekor tipis dari rumah pemotongan domba rakyat di Bogor"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

INFESTASI CACING PADA DOMBA EKOR TIPIS DARI RUMAH

PEMOTONGAN DOMBA RAKYAT DI BOGOR

SARAH NILA

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

SARAH NILA. Infestasi Cacing pada Domba Ekor Tipis dari Rumah Pemotongan Domba Rakyat di Bogor. Dibimbing oleh ACHMAD FARAJALLAH dan TARUNI SRI PRAWASTI.

Domba di pulau Jawa dibedakan menjadi Domba Ekor Gemuk dan Domba Ekor Tipis. Domba yang dipelihara oleh masyarakat Bogor dan sekitarnya, termasuk jenis domba ekor tipis. Salah satu kendala dalam pemeliharaan domba ialah adanya parasit, salah satunya ialah cacing pada saluran pencernaan. Tujuan dari penelitian ini adalah menghitung dan mengidentifikasi telur cacing dari feses domba ekor tipis yang dipotong di rumah pemotongan domba rakyat di Bogor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 18 sampel dari total 35 sampel yang diperiksa, terinfestasi telur cacing. Berdasarkan jenis kelaminnya, domba betina yang terinfestasi telur cacing sebesar 50% dan domba jantan sebesar 100%. Identifikasi telur cacing menghasilkan 3,45% famili Schistosomatidae, 6,90% famili Anoplocephalidae, 3,45% famili Ascarididae, 41,38% famili Trichostrongylidae, 37,93% famili Capillariidae dan 6,90% famili Trichuriidae. Tingkat infestasi telur cacing yang didapatkan dari penelitian ini sebesar 892 buah/g feses sehingga termasuk ke dalam kategori tingkat infestasi sedang. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa curah hujan tidak mempengaruhi pola dan jumlah telur cacing.

Kata kunci: Domba ekor tipis, cacing parasit, deteksi melalui feses.

ABSTRACT

SARAH NILA. The Worms Infestation of The Thin Tail Sheep from The Sheep’s Abattoir House in Bogor. Supervised by ACHMAD FARAJALLAH and TARUNI SRI PRAWASTI.

There are two kinds of sheep in Java, the thin tail sheep (which is the common livestock in Bogor) and the fat tail sheep. Both type of sheep could be infected by worm parasites in digestive tract, which reduce the health of the sheep. Therefore, the objections of this research were counting and identifying the worm eggs from faecal samples of thin tail sheep which slaughtered in the sheep’s abattoir house in Bogor. From the total 35 samples collection, I found 18 samples were infected by the worm parasites. The worm parasites were found in all sample of males, meanwhile they were also found in half of faecal sample of females. The egg worms that found in this research belonged to six families, they were Schistosomatidae (3,45%), Anoplocephalidae (6,90%), Ascarididae (3,45%), Trichostrongylidae (41,38%), Capillaridae (37,93%) and Trichuriidae (6,90%). The average of worm eggs infestation from all samples were 892 egg/g faeces, which included to the average category of infection degree. This research also showed that the rain had no influence to the eggs number.

(3)

INFESTASI CACING PADA DOMBA EKOR TIPIS DARI RUMAH

PEMOTONGAN DOMBA RAKYAT DI BOGOR

SARAH NILA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Biologi

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(4)

Judul Skripsi : Infestasi Cacing pada Domba Ekor Tipis dari Rumah Pemotongan

Domba Rakyat di Bogor

Nama

: Sarah Nila

NIM :

G34062969

Program Studi : Biologi

Menyetujui

Dr. Ir. Achmad Farajallah, M. Si

Dra. Taruni Sri Prawasti

Pembimbing I

Pembimbing II

Mengetahui

Dr. Ir. Ence Darmo Jaya Supena, M.Si

Ketua Departemen Biologi

(5)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Infestasi Cacing pada Domba Ekor Tipis dari Rumah Pemotongan Domba Rakyat di Bogor. Karya ilmiah ini dilaksanakan di Laboratorium Biosistematika dan Ekologi Hewan, Departemen Biologi, FMIPA IPB dari bulan April sampai dengan November 2010.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Achmad Farajallah, M. Si dan Ibu Dra. Taruni Sri Prawasti, masing-masing sebagai pembimbing I dan II yang telah banyak memberikan bimbingan dan saran selama penelitian hingga penyusunan karya ilmiah. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Nina Ratna Djuita, M.Si selaku dosen penguji wakil komisi pendidikan yang telah bersedia menguji dan memberikan masukan saat ujian dan penulisan karya ilmiah. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada orang tua serta keluarga atas segala doa dan dukungan, kepada Ibu Tini dan Ibu Ani atas bantuan dalam pengerjaan di laboratorium, kepada Ibu Tetri, Ibu Rini, dan Mbak Kanthi atas bantuan, dukungan, dan sarannya, serta Ega, Oya, Firza, kerzjakru, pf-ers, teman-teman biologi, dan semua pihak yang telah yang telah membantu dan memberikan semangat.

Penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang membaca dan membutuhkannya.

Bogor, Juni 2011

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 30 April 1988 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, dari Ibu yang bernama Nurlaila Abdullah Mashabi dan ayah bernama B. Ahmad. Penulis lulus SD Islam Dian Didaktika pada tahun 2000, lulus SLTP Islam Dian Didaktika tahun 2003, lulus Lazuardi Global Islamic School pada tahun 2006, dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur USMI. Setahun kemudian penulis mendapat mayor Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 1

BAHAN DAN METODE Pengambilan Sampel ... 1

Preparasi Sampel ... 1

Uji Keberadaan Telur ... 1

Analisis Data ... 2

Identifikasi Telur ... 2

HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Infestasi Telur Cacing ... 2

Identifikasi Telur Cacing ... 3

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ... 5

Saran ... 5

DAFTAR PUSTAKA ... 5

(8)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Infestasi telur cacing pada domba berdasarkan jenis kelamin dan jenis infestasi ... 2

2 Rata-rata jumlah telur/g feses pada setiap famili/ml ... 4

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Hubungan antara rata-rata telur/g feses dengan curah hujan pada bulan Juli sampai dengan September 2010 ... 3

2 Rata-rata curah hujan di daerah Empang, Bogor pada bulan Juli, Agustus, dan September 2010 (BMKG 2010) ... 3

3 Telur cacing dari famili Schistosomatidae ... 3

4 Telur cacing dari famili Anoplocephalidae ... 3

5 Telur cacing dari famili Ascarididae ... 4

6 Telur cacing dari famili Capillaridae ... 4

7 Telur cacing dari famili Trichuridae ... 4

(9)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Domba di pulau Jawa dibedakan menjadi domba ekor gemuk dan domba ekor tipis. Domba ekor gemuk biasa diternakan di daerah Jawa Timur (Herman 1988). Domba ekor tipis dibedakan dalam dua galur berdasarkan lokasi geografinya, yaitu galur Bogor dan galur Garut. Domba ekor tipis memiliki ekor dengan sedikit jaringan lemak di bagian pangkal, memiliki tanduk berukuran sedang, domba jantannya memiliki tanduk melengkung. Umumnya domba betina dewasa tidak memiliki tanduk, namun ada beberapa yang memiliki penonjolan tanduk ataupun bertanduk kecil. Posisi telinga, baik pada domba jantan maupun betina, biasanya agak menggantung dengan ukuran sedang. Domba ekor tipis memiliki rambut yang bercampur sedikit wool dengan warna bulu yang bervariasi mulai putih, putih-cokelat, atau putih-hitam (Mason 1978).

Parasit menjadi kendala dalam pemeliharaan domba. Penyakit yang disebabkan parasit merupakan salah satu penyakit infeksi yang biasa menyerang domba. Infeksi parasit biasanya menyebabkan kerugian berupa penurunan kondisi badan dan daya produktivitas yang sangat besar, namun tidak mengakibatkan kematian (Kusumamihardja 1982).

Salah satu contoh parasit yang menyerang domba adalah cacing yang hidup dalam saluran pencernaan. Jenis-jenis cacing yang biasa ditemukan pada saluran

pencernaan domba antara lain Trichuris ovis,

Capillaria sp., Strongyloides pappilosus,

Moniezia expansa, Dicrocoelium lanceatum,

Fasciola sp., Paramphistomum cervi,

Toxocara vitolorum, Bunostomum, Chabertia ovina, Trichostrongylus, Cooperia sp.,

Haemonchus contortus, Oesophagostomum,

Ostertagia, dan Nematodirus (Thienpont et al.

1985).

Telur-telur cacing parasit biasanya keluar bersama feses inang dan berkembang di lingkungan lembab. Domba, kambing, dan sapi akan terinfeksi cacing tersebut apabila makan rumput atau minum air yang mengandung larva cacing (metaserkaria) (Soulsby 1982). Kerusakan patologis pada inang yang terjadi akibat infeksi cacing bergantung pada patogenitas cacing, derajat infeksi, habitat parasit, dan kondisi kekebalan inang serta campur tangan manusia (Malek 1980).

Tinggi rendahnya infeksi cacing di saluran pencernaan dapat dilihat melalui feses. Jumlah telur cacing dalam setiap gram feses sebanding dengan jumlah cacing dewasa dalam saluran pencernaan satu individu domba atau ternak lainnya (Handoko & Henderson 1981). Pemeriksaan secara kualitatif jumlah telur dalam feses bertujuan untuk mendeteksi telur cacing, sedangkan secara kuantitatif untuk menghitung jumlah telur cacing dalam satu gram feses. Metode yang dapat digunakan antara lain metode langsung, metode pengapungan, dan metode sedimentasi (Malek 1980). Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode langsung, karena lebih sederhana, memberi hasil yang baik, dan tidak memerlukan biaya tinggi.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menghitung dan mengindentifikasi telur cacing dari feses domba ekor tipis yang dipotong di rumah pemotongan domba rakyat di Bogor.

BAHAN DAN METODE

Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel feses dilakukan di lokasi pemotongan domba/kambing rakyat, Empang, Bogor pada bulan Juli sampai dengan September 2010. Sampel diambil secara acak dari 35 ekor domba pada bulan Juli sampai dengan September 2010.

Preparasi Sampel

Feses sebanyak 5 gram digerus dan disuspensikan dalam air sambil diaduk, kemudian disaring menggunakan saringan berukuran 370 µm. Hasil saringan diencerkan dengan air 200 ml dan diendapkan. Supernatan dibuang dan endapan yang diperoleh disuspensikan dengan air sampai 200 ml, lalu diaduk dan diendapkan kembali. Hal ini dilakukan beberapa kali sehingga diperoleh endapan jernih.

Uji Keberadaan Telur

(10)

2

Analisis Data

Persentase telur cacing pada setiap famili dapat diketahui dari :

Rata-rata jumlah telur/famili Total sampel feses

Banyaknya telur cacing per gram feses dari telur yang diperoleh dari berbagai famili, dihitung menggunakan rumus :

Jumlah telur/g feses (buah/g) =

Setelah itu data juga diuji secara statistik dengan menggunakan Anova.

Identifikasi Telur

Telur yang diperoleh diidentifikasi berdasarkan Soulsby (1982).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkat Infestasi Telur Cacing

Sebanyak 18 dari total 35 sampel feses yang diperoleh dari pengamatan, terinfestasi telur cacing. Infestasi telur cacing dibedakan berdasarkan jenis kelamin dan jenis infestasi. Berdasarkan jenis kelaminnya, domba betina yang terinfestasi ialah sebesar 50% dan domba jantan sebesar 100%. Berdasarkan jenis infestasi, domba betina yang terinfestasi

oleh satu jenis telur (single infestation)

sebesar 76,19%, sedangkan yang terinfestasi

oleh lebih dari satu jenis telur (double

infestation) sebesar 23,81%. Pada domba

jantan, single infestation sebesar 50%

sedangkan double infestation sebesar 50%

(Tabel 1). Larva cacing yang masuk ke dalam tubuh bersamaan dengan masuknya makanan dan menyerang organ tubuh domba akan menimbulkan infeksi (Kusumamihardja 1982). Banyaknya cacing dewasa di dalam tubuh ternak disebut dengan tingkat infestasi (Tarazona 1987). Tingkat infestasi telur cacing pada domba dapat disebabkan oleh kondisi peternakan, jumlah ternak dalam satu kandang, makanan yang diberikan, dan daya tahan tubuh ternak (kekebalan) terhadap penyakit (Boky & Suhardono 2006).

Tabel 1 Infestasi telur cacing pada domba berdasarkan jenis kelamin dan jenis infestasi

Domba Jumlah (ekor) Terinfestasi (%) Single infestation (%) Double infestation (%)

Betina 33 50 76,19 23,81

Jantan 2 100 50 50

Secara keseluruhan, tingkat infestasi rata-rata yang didapatkan dari hasil pengamatan sebesar 892 buah/g feses. Total telur terendah adalah 472 buah/g feses dan terbanyak adalah 7 500 buah/g feses. Tingkat infestasi cacing pada domba dapat digolongkan menjadi 3 yaitu, (1) tingkat infestasi ringan dimana jumlah telur/g feses antara 50-500 buah/g, (2) tingkat infestasi sedang, yaitu jumlah telur/g feses berkisar antara 500-2 000 buah/g, dan (3) tingkat infestasi berat jika jumlah telur/g feses >2 000 buah/g (Tarazona 1987). Tingkat infestasi yang didapatkan dari hasil penelitian ini termasuk ke dalam tingkat infestasi sedang. Apabila dibedakan berdasarkan jenis kelamin, tingkat infestasi rata-rata pada domba betina sebesar 900 buah/g, sedangkan pada domba jantan sebesar 750 buah/g feses. Menurut Barger (1993), jumlah telur cacing dalam satu gram feses tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan jumlah telur/g feses pada domba betina lebih besar dibandingkan domba jantan. Kemungkinan hal itu disebabkan jumlah sampel domba jantan lebih sedikit yaitu dua ekor.

Menurut Levine & Anderson (1973) dan Rossanigo & Gruner (1995), curah hujan merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi translokasi dan keberadaan larva cacing dari feses ke rumput tempat domba makan. Pada musim hujan, populasi larva akan meningkat dibandingkan dengan musim kemarau (Kusumamihardja 1982; Brotowidjoyo 1987). Namun berdasarkan hasil penelitian ini, curah hujan pada bulan Juli sampai dengan September tidak mempengaruhi jumlah telur/g feses (anova, p>0,05) (Gambar 1; Gambar 2). Hal ini sesuai dengan Beriajaya & Copeman (1997) yang menyatakan bahwa di daerah curah hujan tinggi seperti Bogor dan sekitarnya, tidak terdapat perubahan musiman dalam pola jumlah telur cacing.

∑ larutan yang

ditambahkan

∑ telur yang di dapat

x

∑ larutan yang di

periksa

(11)

3

Gambar 1 Hubungan antara rata-rata jumlah telur/g feses dengan curah hujan pada bulan Juli sampai dengan September 2010

Gambar 2 Rata-rata curah hujan daerah Empang, Bogor pada bulan Juli, Agustus, dan September 2010 (BMKG 2010)

Identifikasi Telur Cacing

Telur cacing dari 18 sampel feses termasuk ke dalam 6 famili, yaitu famili Schistosomatidae, Poche 1907, famili Anoplocephalidae, Blanchard 1981, famili Ascarididae, Baird 1853, famili Trichostrongylidae, Leiper 1912, famili Capillariidae, Neveu-Lemaire 1936, dan famili Trichuridae, Raillet 1915. Persentase telur cacing tertinggi ialah famili Trichostrongylidae (41,38%), kemudian famili Capillariidae (37,93%), sedangkan persentase terendah ialah famili Schistosomatidae dan Ascarididae yang masing-masing sebesar 3,45% (Tabel 2). Deskripsi dari setiap famili disajikan di bawah ini.

Famili : Schistosomatidae

Tubuh cacing memanjang berukuran 5-22 mm dan uniseksual. Cacing betina lebih panjang dan ramping dibandingkan dengan cacing jantan. Baik pada cacing betina maupun jantan, terdapat skoleks dengan penghisap yang menonjol dan biasanya tidak memiliki kait (Soulsby 1982). Telur cacing berukuran 90 x 50 µm, berbentuk oval, memiliki operkulum, dan cangkang yang tipis (Gambar 3).

Gambar 3 Telur cacing dari famili Schistosomatidae

Famili : Anoplochepaliidae

Tubuh cacing berukuran 600 x 1,6 cm dan memiliki skoleks tanpa kait (Soulsby 1982). Telur cacing berukuran 60 x 50 µm, berbentuk piramida segitiga, berwarna abu-abu, dan memiliki cangkang tebal (Gambar 4).

Gambar 4 Telur cacing dari famili Anoplochepaliidae

Famili : Ascarididae

Tubuh cacing jantan dewasa berukuran rata-rata 15x0,5 mm. Cacing ini memiliki batil isap anterior yang terletak di ujung, asetabulum (tonjolan pendek) yang berada di ujung tubuh, tetapi, tidak terdapat faring dan memiliki tegumen yang terlihat halus. Cacing betina dewasa berukuran 20x0,3 mm, lebih panjang dan sempit daripada jantan. Ovarium terletak di pertengahan tubuh bagian posterior. Lubang genital terbuka tepat di belakang batil isap ventral (Soulsby 1982). Telur cacing berukuran 30 x 20 µm dan memiliki kait lateral yang biasanya sulit dilihat. Telur dilapisi cangkang yang tebal (Gambar 5).

operkulum

10 µm

(12)

4

Gambar 5 Telur cacing dari famili Ascarididae

Famili : Capillariidae

Tubuh cacing bagian anterior kecil dan ramping seperti benang, sedangkan bagian posterior lebih lebar dan pendek. Mulut tidak dikelilingi oleh bibir, memiliki kapsula bukalis berukuran kecil atau tidak sempurna, terdapat esofagus tanpa pentolan, dan anus biasanya terletak di ujung terminal. Cacing betina umumnya bersifat oviparosa. Daur hidup umumnya tanpa melalui perantara, beberapa spesies memerlukan perantara (Soulsby 1982). Telur cacing berukuran 70 x 48 µm, berbentuk oval, dan memiliki cangkang tebal (Gambar 6).

Gambar 6 Telur cacing dari famili Capillariidae

Famili : Trichuriidae

Tubuh cacing bagian belakang memiliki penghisap yang lebih banyak. Tubuh bagian depan panjang dan ramping. Bagian belakang tubuh jantan terdapat satu spikula yang dikelilingi oleh selubung dengan bulu halus. Tubuh jantan berukuran 50-80 mm dan betina berukuran 35-70 mm (Soulsby 1982). Telur cacing berukuran 70 x 32 µm, berbentuk oval dengan 2 tonjolan di masing-masing kutub yang berwarna transparan, berwarna cokelat muda atau tua, dan memiliki cangkang tebal (Gambar 7).

Gambar 7 Telur cacing dari famili Trichuriidae

Famili : Trichostrongylidae

Cacing dewasa sebagian besar berukuran kecil, 10-20 mm pada cacing jantan dan 18-30 mm pada cacing betina, memiliki mulut yang kecil, dan berwarna cokelat kemerahan. Cacing betina memiliki ujung anterior yang sederhana tanpa kapsula bukalis yang mencolok dan bagian posterior mengecil ke arah ujung yang tumpul tanpa struktur tambahan. Cacing jantan memiliki bursa kopulatoris posterior dan sepasang spikulum kopulatoris yang tebal, pendek, tidak teratur, dan berwarna cokelat (Soulsby 1982). Telur cacing berukuran 69-85 x 40-50 µm, berbentuk simetris, dan memiliki cangkang tipis serta berkitin (Gambar 8).

Gambar 8 Telur cacing dari famili Trichostrongylidae

Tabel 2 Rata-rata jumlah telur/g feses pada setiap famili/ml

Famili Rata-rata (buah)

Persentase (%)

Anoplocephalidae 20 6,9

Schistosomatidae 10 3,45

Ascarididae 10 3,45

Capillariidae 110 37,93

Trichuriidae 20 6,9

Trichostongylidae 120 41,38

Jumlah 290 100

10 µm

10 µm 10 µm

10 µm

10 µm

(13)

5

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Persentase domba yang terinfestasi telur cacing sebesar 50% pada domba betina dan 100% pada domba jantan. Berdasarkan hasil identifikasi, ditemukan telur cacing yang termasuk ke dalam 6 famili. Tingkat infestasi telur cacing pada domba tidak dipengaruhi oleh musim hujan atau pun kemarau.

DAFTAR PUSTAKA

[BMKG]. 2010. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Bogor. Curah Hujan Daerah Empang Bogor 2010. Bogor.

Barger IA. 1993. Influence of Sex and Reproductive Status on Susceptibility of Ruminants to Nematode

Parasitism. J Parasitol 23 : 463-469.

Beriajaya, Copeman DB. 1997. An Estimate of Seasonality and Intensity of Infection with Gastrointestinal Nematodes in Sheep and Goats in

West Java. JITV 2 : 270-276.

Boky JT, Suhardono. 2006. Pengaruh Infeksi

Fasciola gigantica (Cacing Hati) Iradiasi terhadap Gambaran Darah

Kambing (Capra hircus Linn.). JITV

: 11.

Brotowidjoyo MD. 1987. Parasit dan

Parasitisme edisi 1. Jakarta : Media Sarana Press.

Handoko NS, Henderson AK. 1981. Helminthiasis dan Pengaruhnya pada Gambaran Domba Ekor Gemuk di

Kabupaten DT II Bogor. Bul LPPH

12 (21) : 19-26.

Herman R. 1988. Kualitas Karkas Domba

Lokal Hasil Penggemukan. Prosiding

Pertemuan Ilmiah Ruminansia. Bogor : Puslitbang Peternakan. hlm 228-233.

Kusumamihardja S. 1982. Parasit dan

Parasitologi pada Hewan Ternak dan Piaraan di Indonesia. Bogor : Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.

Saran

Penulis menyarankan kepada peternak untuk lebih memperhatikan manajemen pemeliharaan ternak agar kondisi peternakan lebih baik lagi. Selain itu, atlas parasit yang penulis buat dapat digunakan sebagai acuan identifikasi secara teknis.

Levine ND, Anderson FL. 1973. Development

and Survival of Trichostrongylus

colubiformis on Pasture. J Parasitol

59 : 147-165.

Malek E. 1980. Snail-Transmitter Disease

vol.2. Florida : CRC Press Inc.

Mason IL. 1978. Sheep in Java. JWAP 27 :

17-22.

Rossanigo CE, Gruner L. 1985 Moisture and Temperature Requirements in Faeces for The Development of Free-Living Stages of Gastrointestinal Nematodes

of Sheep, Cattle and Deer. J

Helminthol 69 : 357-362.

Soulsby EJL. 1982. Helmiths, Artropods, and

Protozoa of Domesticated Animals (Mönnig). Ed ke-7. New York and London : Academic Press.

Tarazona JM. 1987. A Method for Parasite Egg Count of Faeces of Sheep.

Veterinary Bull : 57.

Thienpont D, Rochette F, Vanparijs OFJ.

1985. Diagnosing Helminthasis by

Coprological Examination. Belgium : Janssen Research Foundation.

Whitlock HV. 1948. Some Modifications of The McMaster Helminth Egg Counting Technique and Apparatus.

(14)
(15)

 

Lampiran 1 Kunci Identifikasi Telur Cacing

1. a. Telur cacing berbentuk oval... 2

b. Telur cacing berbentuk segitiga... Anoplocephalidae

2. a. Memiliki tonjolan transparan di dua kutub, telur berukuran 70 x 32 µm... Trichuriidae

b. Tidak memiliki tonjolan di dua kutub... 3

3. a. Memiliki cangkang tebal... 4

b. Memiliki cangkang tipis... 5

4. a. Memiliki kait lateral, telur berukuran 30 x 20 µm... Ascarididae

b. Tidak memiliki kait lateral, telur berukuran 70 x 48 µm... Capillariidae

5. a. Memiliki operkulum, telur berukuran 90 x 50 µm... Schictosomatidae

(16)

ABSTRAK

SARAH NILA. Infestasi Cacing pada Domba Ekor Tipis dari Rumah Pemotongan Domba Rakyat di Bogor. Dibimbing oleh ACHMAD FARAJALLAH dan TARUNI SRI PRAWASTI.

Domba di pulau Jawa dibedakan menjadi Domba Ekor Gemuk dan Domba Ekor Tipis. Domba yang dipelihara oleh masyarakat Bogor dan sekitarnya, termasuk jenis domba ekor tipis. Salah satu kendala dalam pemeliharaan domba ialah adanya parasit, salah satunya ialah cacing pada saluran pencernaan. Tujuan dari penelitian ini adalah menghitung dan mengidentifikasi telur cacing dari feses domba ekor tipis yang dipotong di rumah pemotongan domba rakyat di Bogor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 18 sampel dari total 35 sampel yang diperiksa, terinfestasi telur cacing. Berdasarkan jenis kelaminnya, domba betina yang terinfestasi telur cacing sebesar 50% dan domba jantan sebesar 100%. Identifikasi telur cacing menghasilkan 3,45% famili Schistosomatidae, 6,90% famili Anoplocephalidae, 3,45% famili Ascarididae, 41,38% famili Trichostrongylidae, 37,93% famili Capillariidae dan 6,90% famili Trichuriidae. Tingkat infestasi telur cacing yang didapatkan dari penelitian ini sebesar 892 buah/g feses sehingga termasuk ke dalam kategori tingkat infestasi sedang. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa curah hujan tidak mempengaruhi pola dan jumlah telur cacing.

Kata kunci: Domba ekor tipis, cacing parasit, deteksi melalui feses.

ABSTRACT

SARAH NILA. The Worms Infestation of The Thin Tail Sheep from The Sheep’s Abattoir House in Bogor. Supervised by ACHMAD FARAJALLAH and TARUNI SRI PRAWASTI.

There are two kinds of sheep in Java, the thin tail sheep (which is the common livestock in Bogor) and the fat tail sheep. Both type of sheep could be infected by worm parasites in digestive tract, which reduce the health of the sheep. Therefore, the objections of this research were counting and identifying the worm eggs from faecal samples of thin tail sheep which slaughtered in the sheep’s abattoir house in Bogor. From the total 35 samples collection, I found 18 samples were infected by the worm parasites. The worm parasites were found in all sample of males, meanwhile they were also found in half of faecal sample of females. The egg worms that found in this research belonged to six families, they were Schistosomatidae (3,45%), Anoplocephalidae (6,90%), Ascarididae (3,45%), Trichostrongylidae (41,38%), Capillaridae (37,93%) and Trichuriidae (6,90%). The average of worm eggs infestation from all samples were 892 egg/g faeces, which included to the average category of infection degree. This research also showed that the rain had no influence to the eggs number.

(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Domba di pulau Jawa dibedakan menjadi domba ekor gemuk dan domba ekor tipis. Domba ekor gemuk biasa diternakan di daerah Jawa Timur (Herman 1988). Domba ekor tipis dibedakan dalam dua galur berdasarkan lokasi geografinya, yaitu galur Bogor dan galur Garut. Domba ekor tipis memiliki ekor dengan sedikit jaringan lemak di bagian pangkal, memiliki tanduk berukuran sedang, domba jantannya memiliki tanduk melengkung. Umumnya domba betina dewasa tidak memiliki tanduk, namun ada beberapa yang memiliki penonjolan tanduk ataupun bertanduk kecil. Posisi telinga, baik pada domba jantan maupun betina, biasanya agak menggantung dengan ukuran sedang. Domba ekor tipis memiliki rambut yang bercampur sedikit wool dengan warna bulu yang bervariasi mulai putih, putih-cokelat, atau putih-hitam (Mason 1978).

Parasit menjadi kendala dalam pemeliharaan domba. Penyakit yang disebabkan parasit merupakan salah satu penyakit infeksi yang biasa menyerang domba. Infeksi parasit biasanya menyebabkan kerugian berupa penurunan kondisi badan dan daya produktivitas yang sangat besar, namun tidak mengakibatkan kematian (Kusumamihardja 1982).

Salah satu contoh parasit yang menyerang domba adalah cacing yang hidup dalam saluran pencernaan. Jenis-jenis cacing yang biasa ditemukan pada saluran

pencernaan domba antara lain Trichuris ovis,

Capillaria sp., Strongyloides pappilosus,

Moniezia expansa, Dicrocoelium lanceatum,

Fasciola sp., Paramphistomum cervi,

Toxocara vitolorum, Bunostomum, Chabertia ovina, Trichostrongylus, Cooperia sp.,

Haemonchus contortus, Oesophagostomum,

Ostertagia, dan Nematodirus (Thienpont et al.

1985).

Telur-telur cacing parasit biasanya keluar bersama feses inang dan berkembang di lingkungan lembab. Domba, kambing, dan sapi akan terinfeksi cacing tersebut apabila makan rumput atau minum air yang mengandung larva cacing (metaserkaria) (Soulsby 1982). Kerusakan patologis pada inang yang terjadi akibat infeksi cacing bergantung pada patogenitas cacing, derajat infeksi, habitat parasit, dan kondisi kekebalan inang serta campur tangan manusia (Malek 1980).

Tinggi rendahnya infeksi cacing di saluran pencernaan dapat dilihat melalui feses. Jumlah telur cacing dalam setiap gram feses sebanding dengan jumlah cacing dewasa dalam saluran pencernaan satu individu domba atau ternak lainnya (Handoko & Henderson 1981). Pemeriksaan secara kualitatif jumlah telur dalam feses bertujuan untuk mendeteksi telur cacing, sedangkan secara kuantitatif untuk menghitung jumlah telur cacing dalam satu gram feses. Metode yang dapat digunakan antara lain metode langsung, metode pengapungan, dan metode sedimentasi (Malek 1980). Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode langsung, karena lebih sederhana, memberi hasil yang baik, dan tidak memerlukan biaya tinggi.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menghitung dan mengindentifikasi telur cacing dari feses domba ekor tipis yang dipotong di rumah pemotongan domba rakyat di Bogor.

BAHAN DAN METODE

Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel feses dilakukan di lokasi pemotongan domba/kambing rakyat, Empang, Bogor pada bulan Juli sampai dengan September 2010. Sampel diambil secara acak dari 35 ekor domba pada bulan Juli sampai dengan September 2010.

Preparasi Sampel

Feses sebanyak 5 gram digerus dan disuspensikan dalam air sambil diaduk, kemudian disaring menggunakan saringan berukuran 370 µm. Hasil saringan diencerkan dengan air 200 ml dan diendapkan. Supernatan dibuang dan endapan yang diperoleh disuspensikan dengan air sampai 200 ml, lalu diaduk dan diendapkan kembali. Hal ini dilakukan beberapa kali sehingga diperoleh endapan jernih.

Uji Keberadaan Telur

(18)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Domba di pulau Jawa dibedakan menjadi domba ekor gemuk dan domba ekor tipis. Domba ekor gemuk biasa diternakan di daerah Jawa Timur (Herman 1988). Domba ekor tipis dibedakan dalam dua galur berdasarkan lokasi geografinya, yaitu galur Bogor dan galur Garut. Domba ekor tipis memiliki ekor dengan sedikit jaringan lemak di bagian pangkal, memiliki tanduk berukuran sedang, domba jantannya memiliki tanduk melengkung. Umumnya domba betina dewasa tidak memiliki tanduk, namun ada beberapa yang memiliki penonjolan tanduk ataupun bertanduk kecil. Posisi telinga, baik pada domba jantan maupun betina, biasanya agak menggantung dengan ukuran sedang. Domba ekor tipis memiliki rambut yang bercampur sedikit wool dengan warna bulu yang bervariasi mulai putih, putih-cokelat, atau putih-hitam (Mason 1978).

Parasit menjadi kendala dalam pemeliharaan domba. Penyakit yang disebabkan parasit merupakan salah satu penyakit infeksi yang biasa menyerang domba. Infeksi parasit biasanya menyebabkan kerugian berupa penurunan kondisi badan dan daya produktivitas yang sangat besar, namun tidak mengakibatkan kematian (Kusumamihardja 1982).

Salah satu contoh parasit yang menyerang domba adalah cacing yang hidup dalam saluran pencernaan. Jenis-jenis cacing yang biasa ditemukan pada saluran

pencernaan domba antara lain Trichuris ovis,

Capillaria sp., Strongyloides pappilosus,

Moniezia expansa, Dicrocoelium lanceatum,

Fasciola sp., Paramphistomum cervi,

Toxocara vitolorum, Bunostomum, Chabertia ovina, Trichostrongylus, Cooperia sp.,

Haemonchus contortus, Oesophagostomum,

Ostertagia, dan Nematodirus (Thienpont et al.

1985).

Telur-telur cacing parasit biasanya keluar bersama feses inang dan berkembang di lingkungan lembab. Domba, kambing, dan sapi akan terinfeksi cacing tersebut apabila makan rumput atau minum air yang mengandung larva cacing (metaserkaria) (Soulsby 1982). Kerusakan patologis pada inang yang terjadi akibat infeksi cacing bergantung pada patogenitas cacing, derajat infeksi, habitat parasit, dan kondisi kekebalan inang serta campur tangan manusia (Malek 1980).

Tinggi rendahnya infeksi cacing di saluran pencernaan dapat dilihat melalui feses. Jumlah telur cacing dalam setiap gram feses sebanding dengan jumlah cacing dewasa dalam saluran pencernaan satu individu domba atau ternak lainnya (Handoko & Henderson 1981). Pemeriksaan secara kualitatif jumlah telur dalam feses bertujuan untuk mendeteksi telur cacing, sedangkan secara kuantitatif untuk menghitung jumlah telur cacing dalam satu gram feses. Metode yang dapat digunakan antara lain metode langsung, metode pengapungan, dan metode sedimentasi (Malek 1980). Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode langsung, karena lebih sederhana, memberi hasil yang baik, dan tidak memerlukan biaya tinggi.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menghitung dan mengindentifikasi telur cacing dari feses domba ekor tipis yang dipotong di rumah pemotongan domba rakyat di Bogor.

BAHAN DAN METODE

Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel feses dilakukan di lokasi pemotongan domba/kambing rakyat, Empang, Bogor pada bulan Juli sampai dengan September 2010. Sampel diambil secara acak dari 35 ekor domba pada bulan Juli sampai dengan September 2010.

Preparasi Sampel

Feses sebanyak 5 gram digerus dan disuspensikan dalam air sambil diaduk, kemudian disaring menggunakan saringan berukuran 370 µm. Hasil saringan diencerkan dengan air 200 ml dan diendapkan. Supernatan dibuang dan endapan yang diperoleh disuspensikan dengan air sampai 200 ml, lalu diaduk dan diendapkan kembali. Hal ini dilakukan beberapa kali sehingga diperoleh endapan jernih.

Uji Keberadaan Telur

(19)

2

Analisis Data

Persentase telur cacing pada setiap famili dapat diketahui dari :

Rata-rata jumlah telur/famili Total sampel feses

Banyaknya telur cacing per gram feses dari telur yang diperoleh dari berbagai famili, dihitung menggunakan rumus :

Jumlah telur/g feses (buah/g) =

Setelah itu data juga diuji secara statistik dengan menggunakan Anova.

Identifikasi Telur

Telur yang diperoleh diidentifikasi berdasarkan Soulsby (1982).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkat Infestasi Telur Cacing

Sebanyak 18 dari total 35 sampel feses yang diperoleh dari pengamatan, terinfestasi telur cacing. Infestasi telur cacing dibedakan berdasarkan jenis kelamin dan jenis infestasi. Berdasarkan jenis kelaminnya, domba betina yang terinfestasi ialah sebesar 50% dan domba jantan sebesar 100%. Berdasarkan jenis infestasi, domba betina yang terinfestasi

oleh satu jenis telur (single infestation)

sebesar 76,19%, sedangkan yang terinfestasi

oleh lebih dari satu jenis telur (double

infestation) sebesar 23,81%. Pada domba

jantan, single infestation sebesar 50%

sedangkan double infestation sebesar 50%

(Tabel 1). Larva cacing yang masuk ke dalam tubuh bersamaan dengan masuknya makanan dan menyerang organ tubuh domba akan menimbulkan infeksi (Kusumamihardja 1982). Banyaknya cacing dewasa di dalam tubuh ternak disebut dengan tingkat infestasi (Tarazona 1987). Tingkat infestasi telur cacing pada domba dapat disebabkan oleh kondisi peternakan, jumlah ternak dalam satu kandang, makanan yang diberikan, dan daya tahan tubuh ternak (kekebalan) terhadap penyakit (Boky & Suhardono 2006).

Tabel 1 Infestasi telur cacing pada domba berdasarkan jenis kelamin dan jenis infestasi

Domba Jumlah (ekor) Terinfestasi (%) Single infestation (%) Double infestation (%)

Betina 33 50 76,19 23,81

Jantan 2 100 50 50

Secara keseluruhan, tingkat infestasi rata-rata yang didapatkan dari hasil pengamatan sebesar 892 buah/g feses. Total telur terendah adalah 472 buah/g feses dan terbanyak adalah 7 500 buah/g feses. Tingkat infestasi cacing pada domba dapat digolongkan menjadi 3 yaitu, (1) tingkat infestasi ringan dimana jumlah telur/g feses antara 50-500 buah/g, (2) tingkat infestasi sedang, yaitu jumlah telur/g feses berkisar antara 500-2 000 buah/g, dan (3) tingkat infestasi berat jika jumlah telur/g feses >2 000 buah/g (Tarazona 1987). Tingkat infestasi yang didapatkan dari hasil penelitian ini termasuk ke dalam tingkat infestasi sedang. Apabila dibedakan berdasarkan jenis kelamin, tingkat infestasi rata-rata pada domba betina sebesar 900 buah/g, sedangkan pada domba jantan sebesar 750 buah/g feses. Menurut Barger (1993), jumlah telur cacing dalam satu gram feses tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan jumlah telur/g feses pada domba betina lebih besar dibandingkan domba jantan. Kemungkinan hal itu disebabkan jumlah sampel domba jantan lebih sedikit yaitu dua ekor.

Menurut Levine & Anderson (1973) dan Rossanigo & Gruner (1995), curah hujan merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi translokasi dan keberadaan larva cacing dari feses ke rumput tempat domba makan. Pada musim hujan, populasi larva akan meningkat dibandingkan dengan musim kemarau (Kusumamihardja 1982; Brotowidjoyo 1987). Namun berdasarkan hasil penelitian ini, curah hujan pada bulan Juli sampai dengan September tidak mempengaruhi jumlah telur/g feses (anova, p>0,05) (Gambar 1; Gambar 2). Hal ini sesuai dengan Beriajaya & Copeman (1997) yang menyatakan bahwa di daerah curah hujan tinggi seperti Bogor dan sekitarnya, tidak terdapat perubahan musiman dalam pola jumlah telur cacing.

∑ larutan yang

ditambahkan

∑ telur yang di dapat

x

∑ larutan yang di

periksa

(20)

2

Analisis Data

Persentase telur cacing pada setiap famili dapat diketahui dari :

Rata-rata jumlah telur/famili Total sampel feses

Banyaknya telur cacing per gram feses dari telur yang diperoleh dari berbagai famili, dihitung menggunakan rumus :

Jumlah telur/g feses (buah/g) =

Setelah itu data juga diuji secara statistik dengan menggunakan Anova.

Identifikasi Telur

Telur yang diperoleh diidentifikasi berdasarkan Soulsby (1982).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkat Infestasi Telur Cacing

Sebanyak 18 dari total 35 sampel feses yang diperoleh dari pengamatan, terinfestasi telur cacing. Infestasi telur cacing dibedakan berdasarkan jenis kelamin dan jenis infestasi. Berdasarkan jenis kelaminnya, domba betina yang terinfestasi ialah sebesar 50% dan domba jantan sebesar 100%. Berdasarkan jenis infestasi, domba betina yang terinfestasi

oleh satu jenis telur (single infestation)

sebesar 76,19%, sedangkan yang terinfestasi

oleh lebih dari satu jenis telur (double

infestation) sebesar 23,81%. Pada domba

jantan, single infestation sebesar 50%

sedangkan double infestation sebesar 50%

(Tabel 1). Larva cacing yang masuk ke dalam tubuh bersamaan dengan masuknya makanan dan menyerang organ tubuh domba akan menimbulkan infeksi (Kusumamihardja 1982). Banyaknya cacing dewasa di dalam tubuh ternak disebut dengan tingkat infestasi (Tarazona 1987). Tingkat infestasi telur cacing pada domba dapat disebabkan oleh kondisi peternakan, jumlah ternak dalam satu kandang, makanan yang diberikan, dan daya tahan tubuh ternak (kekebalan) terhadap penyakit (Boky & Suhardono 2006).

Tabel 1 Infestasi telur cacing pada domba berdasarkan jenis kelamin dan jenis infestasi

Domba Jumlah (ekor) Terinfestasi (%) Single infestation (%) Double infestation (%)

Betina 33 50 76,19 23,81

Jantan 2 100 50 50

Secara keseluruhan, tingkat infestasi rata-rata yang didapatkan dari hasil pengamatan sebesar 892 buah/g feses. Total telur terendah adalah 472 buah/g feses dan terbanyak adalah 7 500 buah/g feses. Tingkat infestasi cacing pada domba dapat digolongkan menjadi 3 yaitu, (1) tingkat infestasi ringan dimana jumlah telur/g feses antara 50-500 buah/g, (2) tingkat infestasi sedang, yaitu jumlah telur/g feses berkisar antara 500-2 000 buah/g, dan (3) tingkat infestasi berat jika jumlah telur/g feses >2 000 buah/g (Tarazona 1987). Tingkat infestasi yang didapatkan dari hasil penelitian ini termasuk ke dalam tingkat infestasi sedang. Apabila dibedakan berdasarkan jenis kelamin, tingkat infestasi rata-rata pada domba betina sebesar 900 buah/g, sedangkan pada domba jantan sebesar 750 buah/g feses. Menurut Barger (1993), jumlah telur cacing dalam satu gram feses tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan jumlah telur/g feses pada domba betina lebih besar dibandingkan domba jantan. Kemungkinan hal itu disebabkan jumlah sampel domba jantan lebih sedikit yaitu dua ekor.

Menurut Levine & Anderson (1973) dan Rossanigo & Gruner (1995), curah hujan merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi translokasi dan keberadaan larva cacing dari feses ke rumput tempat domba makan. Pada musim hujan, populasi larva akan meningkat dibandingkan dengan musim kemarau (Kusumamihardja 1982; Brotowidjoyo 1987). Namun berdasarkan hasil penelitian ini, curah hujan pada bulan Juli sampai dengan September tidak mempengaruhi jumlah telur/g feses (anova, p>0,05) (Gambar 1; Gambar 2). Hal ini sesuai dengan Beriajaya & Copeman (1997) yang menyatakan bahwa di daerah curah hujan tinggi seperti Bogor dan sekitarnya, tidak terdapat perubahan musiman dalam pola jumlah telur cacing.

∑ larutan yang

ditambahkan

∑ telur yang di dapat

x

∑ larutan yang di

periksa

(21)

3

Gambar 1 Hubungan antara rata-rata jumlah telur/g feses dengan curah hujan pada bulan Juli sampai dengan September 2010

Gambar 2 Rata-rata curah hujan daerah Empang, Bogor pada bulan Juli, Agustus, dan September 2010 (BMKG 2010)

Identifikasi Telur Cacing

Telur cacing dari 18 sampel feses termasuk ke dalam 6 famili, yaitu famili Schistosomatidae, Poche 1907, famili Anoplocephalidae, Blanchard 1981, famili Ascarididae, Baird 1853, famili Trichostrongylidae, Leiper 1912, famili Capillariidae, Neveu-Lemaire 1936, dan famili Trichuridae, Raillet 1915. Persentase telur cacing tertinggi ialah famili Trichostrongylidae (41,38%), kemudian famili Capillariidae (37,93%), sedangkan persentase terendah ialah famili Schistosomatidae dan Ascarididae yang masing-masing sebesar 3,45% (Tabel 2). Deskripsi dari setiap famili disajikan di bawah ini.

Famili : Schistosomatidae

Tubuh cacing memanjang berukuran 5-22 mm dan uniseksual. Cacing betina lebih panjang dan ramping dibandingkan dengan cacing jantan. Baik pada cacing betina maupun jantan, terdapat skoleks dengan penghisap yang menonjol dan biasanya tidak memiliki kait (Soulsby 1982). Telur cacing berukuran 90 x 50 µm, berbentuk oval, memiliki operkulum, dan cangkang yang tipis (Gambar 3).

Gambar 3 Telur cacing dari famili Schistosomatidae

Famili : Anoplochepaliidae

Tubuh cacing berukuran 600 x 1,6 cm dan memiliki skoleks tanpa kait (Soulsby 1982). Telur cacing berukuran 60 x 50 µm, berbentuk piramida segitiga, berwarna abu-abu, dan memiliki cangkang tebal (Gambar 4).

Gambar 4 Telur cacing dari famili Anoplochepaliidae

Famili : Ascarididae

Tubuh cacing jantan dewasa berukuran rata-rata 15x0,5 mm. Cacing ini memiliki batil isap anterior yang terletak di ujung, asetabulum (tonjolan pendek) yang berada di ujung tubuh, tetapi, tidak terdapat faring dan memiliki tegumen yang terlihat halus. Cacing betina dewasa berukuran 20x0,3 mm, lebih panjang dan sempit daripada jantan. Ovarium terletak di pertengahan tubuh bagian posterior. Lubang genital terbuka tepat di belakang batil isap ventral (Soulsby 1982). Telur cacing berukuran 30 x 20 µm dan memiliki kait lateral yang biasanya sulit dilihat. Telur dilapisi cangkang yang tebal (Gambar 5).

operkulum

10 µm

(22)

4

Gambar 5 Telur cacing dari famili Ascarididae

Famili : Capillariidae

Tubuh cacing bagian anterior kecil dan ramping seperti benang, sedangkan bagian posterior lebih lebar dan pendek. Mulut tidak dikelilingi oleh bibir, memiliki kapsula bukalis berukuran kecil atau tidak sempurna, terdapat esofagus tanpa pentolan, dan anus biasanya terletak di ujung terminal. Cacing betina umumnya bersifat oviparosa. Daur hidup umumnya tanpa melalui perantara, beberapa spesies memerlukan perantara (Soulsby 1982). Telur cacing berukuran 70 x 48 µm, berbentuk oval, dan memiliki cangkang tebal (Gambar 6).

Gambar 6 Telur cacing dari famili Capillariidae

Famili : Trichuriidae

Tubuh cacing bagian belakang memiliki penghisap yang lebih banyak. Tubuh bagian depan panjang dan ramping. Bagian belakang tubuh jantan terdapat satu spikula yang dikelilingi oleh selubung dengan bulu halus. Tubuh jantan berukuran 50-80 mm dan betina berukuran 35-70 mm (Soulsby 1982). Telur cacing berukuran 70 x 32 µm, berbentuk oval dengan 2 tonjolan di masing-masing kutub yang berwarna transparan, berwarna cokelat muda atau tua, dan memiliki cangkang tebal (Gambar 7).

Gambar 7 Telur cacing dari famili Trichuriidae

Famili : Trichostrongylidae

Cacing dewasa sebagian besar berukuran kecil, 10-20 mm pada cacing jantan dan 18-30 mm pada cacing betina, memiliki mulut yang kecil, dan berwarna cokelat kemerahan. Cacing betina memiliki ujung anterior yang sederhana tanpa kapsula bukalis yang mencolok dan bagian posterior mengecil ke arah ujung yang tumpul tanpa struktur tambahan. Cacing jantan memiliki bursa kopulatoris posterior dan sepasang spikulum kopulatoris yang tebal, pendek, tidak teratur, dan berwarna cokelat (Soulsby 1982). Telur cacing berukuran 69-85 x 40-50 µm, berbentuk simetris, dan memiliki cangkang tipis serta berkitin (Gambar 8).

Gambar 8 Telur cacing dari famili Trichostrongylidae

Tabel 2 Rata-rata jumlah telur/g feses pada setiap famili/ml

Famili Rata-rata (buah)

Persentase (%)

Anoplocephalidae 20 6,9

Schistosomatidae 10 3,45

Ascarididae 10 3,45

Capillariidae 110 37,93

Trichuriidae 20 6,9

Trichostongylidae 120 41,38

Jumlah 290 100

10 µm

10 µm 10 µm

10 µm

10 µm

(23)

5

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Persentase domba yang terinfestasi telur cacing sebesar 50% pada domba betina dan 100% pada domba jantan. Berdasarkan hasil identifikasi, ditemukan telur cacing yang termasuk ke dalam 6 famili. Tingkat infestasi telur cacing pada domba tidak dipengaruhi oleh musim hujan atau pun kemarau.

DAFTAR PUSTAKA

[BMKG]. 2010. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Bogor. Curah Hujan Daerah Empang Bogor 2010. Bogor.

Barger IA. 1993. Influence of Sex and Reproductive Status on Susceptibility of Ruminants to Nematode

Parasitism. J Parasitol 23 : 463-469.

Beriajaya, Copeman DB. 1997. An Estimate of Seasonality and Intensity of Infection with Gastrointestinal Nematodes in Sheep and Goats in

West Java. JITV 2 : 270-276.

Boky JT, Suhardono. 2006. Pengaruh Infeksi

Fasciola gigantica (Cacing Hati) Iradiasi terhadap Gambaran Darah

Kambing (Capra hircus Linn.). JITV

: 11.

Brotowidjoyo MD. 1987. Parasit dan

Parasitisme edisi 1. Jakarta : Media Sarana Press.

Handoko NS, Henderson AK. 1981. Helminthiasis dan Pengaruhnya pada Gambaran Domba Ekor Gemuk di

Kabupaten DT II Bogor. Bul LPPH

12 (21) : 19-26.

Herman R. 1988. Kualitas Karkas Domba

Lokal Hasil Penggemukan. Prosiding

Pertemuan Ilmiah Ruminansia. Bogor : Puslitbang Peternakan. hlm 228-233.

Kusumamihardja S. 1982. Parasit dan

Parasitologi pada Hewan Ternak dan Piaraan di Indonesia. Bogor : Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.

Saran

Penulis menyarankan kepada peternak untuk lebih memperhatikan manajemen pemeliharaan ternak agar kondisi peternakan lebih baik lagi. Selain itu, atlas parasit yang penulis buat dapat digunakan sebagai acuan identifikasi secara teknis.

Levine ND, Anderson FL. 1973. Development

and Survival of Trichostrongylus

colubiformis on Pasture. J Parasitol

59 : 147-165.

Malek E. 1980. Snail-Transmitter Disease

vol.2. Florida : CRC Press Inc.

Mason IL. 1978. Sheep in Java. JWAP 27 :

17-22.

Rossanigo CE, Gruner L. 1985 Moisture and Temperature Requirements in Faeces for The Development of Free-Living Stages of Gastrointestinal Nematodes

of Sheep, Cattle and Deer. J

Helminthol 69 : 357-362.

Soulsby EJL. 1982. Helmiths, Artropods, and

Protozoa of Domesticated Animals (Mönnig). Ed ke-7. New York and London : Academic Press.

Tarazona JM. 1987. A Method for Parasite Egg Count of Faeces of Sheep.

Veterinary Bull : 57.

Thienpont D, Rochette F, Vanparijs OFJ.

1985. Diagnosing Helminthasis by

Coprological Examination. Belgium : Janssen Research Foundation.

Whitlock HV. 1948. Some Modifications of The McMaster Helminth Egg Counting Technique and Apparatus.

(24)

INFESTASI CACING PADA DOMBA EKOR TIPIS DARI RUMAH

PEMOTONGAN DOMBA RAKYAT DI BOGOR

SARAH NILA

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(25)
(26)

 

Lampiran 1 Kunci Identifikasi Telur Cacing

1. a. Telur cacing berbentuk oval... 2

b. Telur cacing berbentuk segitiga... Anoplocephalidae

2. a. Memiliki tonjolan transparan di dua kutub, telur berukuran 70 x 32 µm... Trichuriidae

b. Tidak memiliki tonjolan di dua kutub... 3

3. a. Memiliki cangkang tebal... 4

b. Memiliki cangkang tipis... 5

4. a. Memiliki kait lateral, telur berukuran 30 x 20 µm... Ascarididae

b. Tidak memiliki kait lateral, telur berukuran 70 x 48 µm... Capillariidae

5. a. Memiliki operkulum, telur berukuran 90 x 50 µm... Schictosomatidae

Gambar

Tabel 1 Infestasi telur cacing pada domba berdasarkan jenis kelamin dan jenis infestasi
Gambar  1  Hubungan antara rata-rata jumlah  telur/g feses dengan curah hujan pada bulan Juli sampai dengan September 2010
Tabel 2 Rata-rata jumlah telur/g feses pada setiap famili/ml
Tabel 1 Infestasi telur cacing pada domba berdasarkan jenis kelamin dan jenis infestasi
+4

Referensi

Dokumen terkait

Variabel yang paling dominan anatara Jenis Kelamin, Pendidikan Orang Tua dan Pendapatan orang Tua Terhadap Literasi keuangan adalah variabel Pengujian variabel

Suatu ketentuan lain yang tidak disebutkan pada ketentuan KUHD yang telah menghapuskan peraturan tentang perseroan terbatas, adalah mengenai kemungkinan komisaris dapat

Tampilan Halaman Data Nama Rumah Makan Padang Gambar IV.8 adalah tampilan dari halaman data nama Rumah Makan Padang, proses penambahan data dapat dilakukan pada form

Gambar 6 menggambarkan rasio BOD/COD yang terjadi pada 40 hari running.Rasio ini didapatkan dengan membagi antara konsentrasi BOD hasil dan COD hasil selama pengukuran

Aliran Seragam adalah aliran yang terjadi apabila kedalaman aliran sama pada setiap penampang saluran, suatu aliran seragan dapat bersifat tunak atau tidak tunak,

Setelah melakukan tahap uji coba pada website ini, maka dapat diambil kesimpulan bahwa website ini dapat membantu pengguna memperoleh informasi mengenai hewan punah dan terancam

Fungsi khusus lain yang dimiliki admin dalam sistem presensi ini adalah kemampuan untuk melihat, menambahkan, mengedit, atau menghapus data pegawai dari database. Pengubahan ini

Hal ini menunjukkan bahwa sudah jelas hasil yang diperoleh pada tes akhir dan tes awal, karena sampel telah diberi perlakuan maka semakin baik hasil yang diperoleh