• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN KONFLIK PERAN GANDA DENGAN STRES KERJA PADA PERAWAT WANITA DI RUMAH SAKIT STROKE NASIONAL BUKITTINGGI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN KONFLIK PERAN GANDA DENGAN STRES KERJA PADA PERAWAT WANITA DI RUMAH SAKIT STROKE NASIONAL BUKITTINGGI"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN KONFLIK PERAN

GANDA DENGAN STRES KERJA

PADA PERAWAT WANITA DI

RUMAH SAKIT STROKE NASIONAL

BUKITTINGGI

INTAN FARADHILLA GUSTIA

Universitas Bina Nusantara, Jakarta

ABSTRACT

The research is conducted to see the relationship between the dual role conflict with job stress in female nurses who worked at the National Hospital Stroke Bukittinggi. The number of complaints are felt by patients to the services that provided by nurses showed that any work stress caused by the dual role conflict experienced by the nurse. The method of the research is quantitative research and correlational study. The sampling technique is purposive sampling. The sample are the female nurses who work in hospitals stroke Bukittinggi as many as 73 respondents. The results obtained is significantly correlation coefficient of 0.402 with significant value is 0.00 (p <0.05) so that we can conclude that there is a positive relationship between the dual role conflict with job stress especially female nurses working in hospitals national stroke Bukittinggi. From the above correlation can be seen that the higher dual role conflict can increase the levels of work stress. According to the result of research, recomanded to Hospital in order to minimize the level of stress and dual role conflict of nurse to provide the better service excellence to patients.

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat hubungan antara konflik peran ganda dengan stres kerja pada perawat wanita yang berkerja di Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi. Banyaknya keluhan yang dilayangkan oleh pasien terhadap pelayanan yang diberikan oleh para perawat diduga sebagai bukti nyata dari stres kerja yang disebabkan oleh konflik peran ganda yang dialami oleh perawat tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan teknik korelasional. Teknik sampling yang digunakan yaitu purposive sampling. Sample yang digunakan dalam penelitian ini adalah para perawat wanita yang bekerja di Rumah Sakit Stroke Nasional kota Bukittinggi yaitu sebanyak 73 responden. Hasil penelitian yang diperoleh secara signifikan koefisien korelasi sebesar 0,402 dengan niali signifikansi yang diperolah adalah 0,000 (p<0,05) sehingga bila ditarik kesimpulan bahwa terdapat hubungan positif antara konflik peran ganda dengan stres kerja khususnya pada perawat wanita yang bekerja di Rumah Sakit Stroke Nasional kota Bukittinggi yang menjadi sampel pada penelitian ini. Dari korelasi diatas dapat terlihat bahwa semakin tinggi tingkat konflik peran ganda seseorang maka akan semakin tinggi tingkat stres kerjanya. Dengan temuan di atas hendaknya instansi yang terkait meminimalisir tingkat konflik peran ganda dan stres kerja karyawan tersebut agar dapat memberikan pelayanan yang lebih prima terhadap pasien.

(2)

1. Pendahuluan

Stroke merupakan penyakit paling berbahaya yang mengancam nyawa seseorang. Dengan demikian seharusnya banyak terdapat rumah sakit yang khusus dalam menangani pasien yang terserang penyakit berbahaya tersebut.

Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di pulau Sumatra yang sangat terkenal akan makanan yang mengandung kolesterol tinggi yang sangat cepat memicu timbulnya penyakit stroke. Maka didirikanlah Rumah Sakit yang khusus melayani pasien stroke di Sumatera Barat, tepatnya di kota Bukittinggi. Rumah sakit tersebut juga dijadikan sebagai pusat rujukan bagi pasien yang terindikasi stroke.

Dalam pengembangan rumah sakit tersebut pastinya dibutuhkan tenaga yang ahli dalam melayani pasiennya. Perawat merupakan tenaga medis yang paling sering berinteraksi dengan para pasien. Di Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi sendiri para perawat telah diberikan pelatihan mengenai bagaimana melayani dan memberikan penyuluhan kepada para pasien yang terserang stroke. Dengan harapan agar mereka dapat menangani pasien stroke dengan baik dan semestinya.

Namun data dilapangan menunjukkan bahwa pasien seringkali mengeluhkan sikap dari perawat di rumah sakit tersebut. Hal ini mencerminkan buruknya kinerja dari perawat tersebut. Kinerja menurut peneltian yang dilakukan Yerkes dan Dodson (1908) menunjukkan hubungan yang terbalik dengan stres kerja yaitu, semakin rendah kinerja maka tingkat stres kerja semakin tinggi. Dengan berdasarkan pernyataan di atas peneliti menduga bahwa kinerja perawat yang buruk disebabkan oleh stres kerja yang dialaminya. Berdasarkan wawancara yang dilakukan pun tergambar beberapa gejala stres kerja yang dialami oleh perawat tersebut. Dari wawancara tersebut juga tergambar apa yang menyebabkan stres kerja tersebut bisa terjadi. Faktor dominan yang terlihat adalah karena sulitnya perawat dalam pembagian perannya.

Perawat cenderung mengeluhkan kesulitannya memenuhi peran gandanya yaitu perannya sebagai ibu di rumah dan perannya sebagai perawat yang bekerja di rumah sakit. Dengan diadakannya penelitian ini akan membuktikan apakah benar terdapat hubungan antara konflik peran ganda yang dialami oleh perawat dengan stres kerja. Penelitian ini penting agar indikasi bisa diatasi dengan baik oleh individu maupun instansi tempat bekerja, mengingat tugas dari perawat berkaitan langsung dengan nyawa pasien yang ditanganinya.

(3)

2. Tinjauan Pustaka

2.1 Konflik Peran Ganda

Irwanto (1991) mengemukakan bahwa yang maksud dari konflik adalah beberapa kebutuhan yang muncul secara bersamaan. Baron & Byrne (2009) peran adalah suatu set perilaku yang diharapkan dilakukan oleh individu yang memiliki posisi spesifik dalam suatu kelompok. Kartini (1994) peran ganda adalah peranan perempuan dalam dua bentuk, yaitu perempuan yang berperan di bidang domestik dan perempuan karier, yang dimaksud dengan tugas domestik adalah perempuan yang hanya bekerja di rumah saja sebagai istri yang setia. Sedangkan yang dimaksud dengan perempuan karier adalah apabila ia bekerja di luar, maupun bekerja secara profesional karena ilmu yang didapat atau karena keterampilannya.

Adapun peran dalam bidang domestik yang dijalankan oleh perawat wanita adalah sebagai ibu rumah tangga. Frieze (dalam Rachminiwati, 1988) tugas seorang ibu rumah tangga adalah memperhatikan kondisi fisik, emosi, dan menampung segala keluh kesah suami, sebagai ibu yang bukan hanya mengandung dan melahirkan anak, namun juga memberikan perhatian fisik dan emosional pada anak. Selanjutnya, peran sebagai perempuan karier adalah seorang perawat. Nursalam (2009) tugas umum seorang perawat adalah (1) Memberikan pelayanan keperawatan secara langsung berdasarkan proses keperawatan dengan sentuhan kasih sayang. (2) Melaksanakan program medis dengan penuh tanggung jawab. (3) Memerhatikan keseimbangan kebutuhan fisik, mental, moral, dan spiritual dari klien. (4) Mempersiapkan klien secara fisik dan mental untuk menghadapi tindakan medis keperawatan dan pengobatan sesuai diagnosis. (5) Melatih klien untuk menolong dirinya sendiri sesuai dengan kemampuannya. (6) Memberikan pertolongan segera pada klien gawat atau sakaratul maut. (7) Membantu kepala ruangan dalam pemeriksaan ruangan secara administrative. (8) Mengatur dan menyiapkan alat – alat yang ada di ruangan menurut fungsinya supaya siap pakai. (9) Menciptakan dan memelihara kebersihan, keamanan, kenyamanan dan keindahan ruangan. (10) Melaksanakan tugas dinas pagi, sore, malam, atau hari libur secara bergantian sesuai dengan jadwal tugas. (11) Memberi penyuluhan kesehatan sehubungan dengan penyakitnya (PKMRS). (12) Melaporkan segala sesuatu mengenai keadaan klien baik secara lisan maupun tertulis. (13) Membuat laporan harian klien. Apabila kedua peran

(4)

tersebut tidak dapat dipenuhi dalam waktu yang bersamaan saat itulah akan timbul konflik, baik yang berasal dari keluarga maupun yang berasal dari pekerjaan.

Kahn dkk (dalam Greenhaus & Beutell, 1985) konflik peran ganda adalah bentuk dari konflik antar peran yang mana tekanan peran dari pekerjaan dan keluarga bertentangan. Greenhaus & Beutell (1985) mendefinisikan konflik peran ganda sebagai sebuah bentuk dari konflik antar peran dimana tekanan dari peran dalam pekerjaan dan keluarga saling bertentangan, yaitu menjalankan peran dalam pekerjaan menjadi lebih sulit karena juga menjalankan peran dalam keluarga, begitu juga sebaliknya, menjalankan peran dalam keluarga menjadi lebih sulit karena juga menjalankan peran dalam pekerjaan.

Greenhaus & Beutell (1985) konflik peran ganda memiliki sifat yang bidirectional dan

multidimensi. Adapun bidirectional yang dimaksud terdiri dari:

a. Work-family conflict yaitu konflik yang muncul karena tanggungjawab pekerjaan yang

mengganggu tanggungjawab terhadap keluarga.

b. Family-work conflict yaitu konflik yang muncul karena tanggungjawab terhadap

keluarga mengganggu tanggung jawab terhadap pekerjaan.

Greenhaus & Beutell (1985) multidimensi dari konflik peran ganda dapat muncul dari masing-masing direction dimana antara keduanya baik itu work family conflict maupun

family work conflict memiliki masing-masing 3 dimensi yaitu:

a. Time Based Conflict

Yang dimaksud dengan time based conflict adalah konflik yang terjadi karena waktu yang digunakan untuk memenuhi satu peran tidak dapat digunakan untuk memenuhi peran lainnya, artinya pada saat yang bersamaan seorang yang mengalami konflik peran ganda tidak akan bisa melakukan dua atau lebih peran sekaligus. Tuntutan waktu ini dapat terjadi tergantung dari alokasi waktu kerja dan kegiatan keluarga yang dipilih berdasarkan preferensi dan nilai yang dimiliki individu.

Peran ganda mungkin dapat menyulitkan dan seolah berlomba mendapatkan waktu seseorang. Waktu yang dihabiskan dalam satu peran secara umum tak bisa di curahkan kepada aktivitas dalam peran lainnya. Time based conflict memiliki 2 bentuk; (a) tuntutan waktu dari peran yang satu membuat individu secara fisik tidak dapat memenuhi ekspektasi dari peran yang lain; (b) adanya tuntutan waktu, dapat menyebabkan individu terokupasi dengan peran yang satu, pada saat seharusnya individu mencoba memenuhi tuntutan peran yang lain (Bartolome & Evans, dalam Greenhaus & Beutell, 1985).

Dalam dimensi ini sumber konflik terbagi menjadi dua: - Sumber konflik yang berasal dari pekerjaan.

(5)

Konflik pekerjaan – keluarga berhubungan positif dengan jumlah jam kerja dalam setiap minggunya (Burke dkk, Keith & Schaf, Plect dkk, dalam Greenhaus & Beutell, 1985) dan jumlah jam perjalanan pulang – pergi rumah ke tempat kerja dalam setiap minggunya (Bohen & Viveros-Long, dalam Greenhaus & Beutell, 1985). Konflik pekerjaan – keluarga juga memiliki hubungan yang positif dengan jumlah dan frekuensi lembur serta adanya ketidak teraturan dalam pengaturan jam kerja (Pleck dkk, dalam Greenhaus & Beutell, 1985). Jadwal kerja yang tidak fleksibel juga akan menimbulkan konflik pekerjaan – keluarga (Pleck dkk, dalam Greenhaus & Beutell, 1985). Khususnya pada ibu bekerja yang memiliki tanggung jawab mengurus anak.

- Sumber konflik yang berasal dari keluarga.

Karakteristik peran keluarga yang mengharuskan seseorang menghabiskan sebagian besar dari waktunya dalam aktivitas keluarga dapat menghasilkan konflik pekerjaan – keluarga. Sependapat dengan itu, Herman & Gyllstrom (dalam Greenhaus & Beutell, 1985) menemukan bahwa orang – orang yang menikah lebih banyak mengalami konflik pekerjaan – keluarga dibandingkan dengan mereka yang tidak menikah. Selanjutnya, dapat diperkirakan bahwa mereka yang memiliki anak akan mengalami konflik pekerjaan – keluarga yag lebih besar ketimbang mereka yang belum memiliki anak. Tanggung jawab yang besar dalam perkembangan anak mungkin akan menjadi konstributor yang besar bagi konflik pekerjaan – keluarga (Bohen & Viveros-Long, dalam Greenhaus & Beutell, 1985).

Sejumlah studi menunjukan bahwa orang tua dari anak yang masih kecil (usia prasekolah) merasakan konflik yang lebih besar daripada orang tua yang memiliki anak relatif sudah lebih besar (Greenhaus & Beutell, Greenhaus & Kopelman, Pleck dkk, dalam Greenhaus & Beutell, 1985). Keluarga yang besar yang diasumsikan memiliki lebih banyak tuntutan daripada keluarga kecil, memiliki hubungan yang positif dengan tingginya tingkat konflik pekerjaan – keluarga (Cartwright, Keith & Schefer, dalam Greenhaus & Beutell, 1985).

Kesimpulannya, jadwal kerja, orientasi kerja, pernikahan, anak – anak, dan pola pekerjaan pasangan seluruhnya mungkin menghasilkan tekanan untuk berpartisipasi secara luas dalam peran pekerjaan atau peran keluarga. Konflik dialami ketika tekanan – tekanan waktu ini tidak kompetibel dengan tuntutan domain peran lain.

b. Strain Based Conflict

Yang dimaksud dengan strain based conflict yaitu ketegangan yang dihasilkan oleh salah satu peran membuat seseorang sulit untuk memenuhi tuntutan peran yang lain. Ketegangan yang ditimbulkan akan mempengaruhi kualitas hidup secara

(6)

keseluruhan. Ketegangan peran ini termasuk stres, tekanan darah meningkat, kecemasan, cepat marah, dan sakit kepala.

Strain based conflict muncul saat ketegangan yang diakibatkan dari

menjalankan peran yang satu, mempengaruhi performa individu di perannya yang lain. Peran – peran tersebut menjadi bertentangan karena ketegangan akibat peran yang satu membuat individu lebih sulit memenuhi tuntutan perannya yang lain.

Dalam dimensi ini sumber konflik terbagi menjadi dua: - Sumber konflik yang berasal dari pekerjaan.

Peran dalam pekerjaan yang tidak jelas (ambigu) dan atau konflik dalam peran di pekerjaan memiliki hubungan yang positif dengan konlik pekerjaan – keluarga (Jones & Butler, Kopelman dkk, dalam Greenhaus & Beutell, 1985). Kurangnya dukungan dari atasan juga menyebabkan tingginya konflik peran pekerjaan (Jones & Butler, dalam Greenhaus & Beutell, 1985). Stresor yang berasal dari pekerjaan seperti budaya kerja yang berubah – ubah, stres dalam komunikasi dan konsentrasi yang dibutuhkan dalam menajalankan pekerjaan, menurut Bruke dkk (dalam Greenhaus & Beutell, 1985) memiliki hubungan yang positif dengan konflik pekerjaan – keluarga. Selain itu, penggunaan sebagian besar waktu untuk melakukan salah satu peran juga dapat mengakibatkan ketegangan. Seperti, jam kerja yang panjang dan tidak fleksibel, serta adanya kerja lembur dapat menyebabkan time based conflict begitu juga strain based conflict. Walaupun keduanya merupakan konsep yang berbeda, namun ada beberapa sumber konflik yang dapat digolongkan kepada kedua dimensi konflik tersebut.

- Sumber konflik yang berasal dari keluarga.

Bagi mereka yang mempunyai pasangan yang mendukung dapat mengurangi tingkat konflik pekerjaan – keluarga (Holahan & Gilbert, dalam Greenhaus & Beutell, 1985). Menurut Beutell & Greenhaus (dalam Greenhaus & Beutell, 1985) perempuan yang memiliki orientasi karier yang berbeda dengan suaminya, merasakan tingkatan konflik antar peran yang lebih tinggi. Besar kemungkinan perbedaan pasangan dalam keyakinan – keyakinan fundamental dapat melemahkan sistem dukungan mutual dan dapat menghasilkan stres.

Kesimpulannya, ketegangan, konflik, atau kurangnya dukungan dari keluarga dapat menyebabkan konflik pekerjaan – keluarga. Sedangkan pada domain pekerjaan, karakteristik peran keluarga yang menghasilkan komitmen waktu ekstensi juga dapat secara langsung atau tidak langsung memberikan ketegangan.

(7)

Yang dimaksud dengan behaviour based conflict adalah konflik yang muncul ketika suatu tingkah laku efektif untuk satu peran namun tidak efektif digunakan untuk peran yang lain. Ketidak efektifan tingkah laku ini dapat disebabkan oleh kurangnya kesadaran individu akan akibat dari tingkah lakunya kepada orang lain.

Atau perilaku – perilaku yang diharapkan muncul pada saat menjalankan peran yang satu kadang bertentangan dengan ekspektasi dari peran yang lain. Misalnya seorang ibu yang diharapkan menekankan perilaku yang tegas, stabil secara emosional dan objektif (Schein, dalam Greenhaus & Beutell, 1985), diharapkan oleh anggota keluarganya untuk berperilaku hangat, penuh kasih sayang, emosional dan peka saat berinteraksi dengan mereka.

Dalam dimensi ini sumber konflik terbagi menjadi dua: - Sumber konflik yang berasal dari pekerjaan.

Sumber konflik yang berasal dari pekerjaan adalah work ambiguity dan work

involvement. Yang dimaksud dengan work involvement adalah sebuah konsep yang

menjelaskan tentang respon psikologis individu tentang perannya dalam pekerjaan serta tingkatan dimana individu secara psikologis mengidentifikasikan dirinya dengan pekerjaannya, dan pentingnya pekerjaan tersebut terhadap gambaran dan konsep dirinya (Lodahl & Kehner, 1965, Yogev & Brett, 1985, dalam Duxburry & Higgins, 1991)

- Sumber konflik yang berasal dari keluarga.

Sumber konflik dari keluarga misalnya adalah peran yang membingungkan di dalam keluarga (ambigu), konflik intra keluarga, dukungan sosial dan family role involvement (Carlson, Kecmar, & Williams, 2000, dalam Greenhaus & Beutell, 1985). Family role

involvement adalah sebuah konsep yang menjelaskan tentang tingkatan dimana individu

secara psikologis mengidentfikasikan dirinya dengan peran – peran dalam keluarga, pentingnya keluarga terhadap konsep diri dan gambaran dirinya serta komitmen individu terhadap peran – peran dalam keluarga (Yogev & Brett, 1985 dalam Duxburry & Higgins, 1991).

2.2 Stres Kerja

Lazarus dan Launier (1978) stres adalah situasi yang terjadi akibat tuntutan lingkungan melebihi kemampuan yang dimiliki oleh individu yang bersangkutan dan dampaknya dapat mempengaruhi lingkungan sekitarnya. Rice (1992) Stres atau ketegangan timbul sebagai suatu hasil ketidak seimbangan antara persepsi orang tersebut mengenai tuntutan yang dihadapinya dan persepsinya mengenai kemampuannya untuk menanggulangi tuntutan tersebut.

(8)

Behr & Newman (dalam Rice, 1999) stres kerja adalah kondisi dimana pekerjaan naik turun sehingga para pekerja melakukan aktifitas yang sama. Interaksi dan kondisi kerja tersebut akan mempengaruhi perubahan fungsi fisik dan psikologis dari seorang pekerja.

Cooper (dalam Rice, 1999) mengemukakan bahwa stres kerja adalah ketidakmampuan untuk memahami atau menghadapi tekanan, dimana tingkat stres setiap individu berbeda-beda dan bereaksi sesuai perubahan lingkungan atau keadaan.

Rice (1992), seseorang dapat mengalami stres kerja jika :

a. Urusan stres yang dialami seseorang melibatkan juga pihak organisasi atau perusahaan tempat individu bekerja. Namun penyebabnya tidak hanya di dalam perusahaan, karena masalah rumah tangga yang terbawa ke dalam pekerjaan dan masalah pekerjaan yang terbawa ke dalam urusan rumah tangga dapat juga menjadi penyebab stres kerja.

b. Mengakibatkan dampak negatif bagi individu dan juga perusahaan. Oleh karena itu diperlukan kerjasama antara kedua belah pihak untuk menyelesaikan persoalan stres tersebut.

Beehr dan Newman (dalam Rice, 1999) telah memeriksa sejumlah penelitian tentang stres kerja dan dirangkumkan ke dalam 3 tipe dari hal negatif individu terhadap stres kerja yaitu gejala fisik, gejala psikologis, dan gejala perilaku.

a. Gejala fisik dari stres kerja

Yang termasuk dalam gejala-gejala fisik yaitu : 1) Meningkatnya detak jantung dan tekanan darah 2) Meningkatnya sekresi adrenalin dan non-adrenalin 3) Timbulnya gangguan perut

4) Kelelahan fisik 5) Kematian

6) Timbulnya penyakit kardiovaskuler 7) Ketegangan otot 8) Keringat berlebihan 9) Gangguan kulit 10) Sakit kepala 11) Kanker 12) Gangguan tidur

Salah satu masalah yang membuat hubungan antara pekerjaan, stres, kesehatan adalah beberapa wanita yang bekerja membawa masalah kesehatan fisiknya ke dalam pekerjaan. Hal ini bisa berhubungan dengan perilaku yang berisiko tinggi pada

(9)

lingkungan sosial. Kondisi tempat kerja bisa memperberat masalah kesehatan, walaupun hal ini membuat lebih nyata tetapi pekerjaanlah yang berindikasi besar pada masalah kesehatan.

b. Gejala psikologis dari stres kerja

Yang termasuk dalam gejala-gejala psikologis yaitu :

1) Ketegangan, kecemasan, kebingungan, dan mudah tersinggung 2) Perasaan frustasi, marah, dan kesal

3) Emosi yang menjadi sensitif dan hiperaktif 4) Perasaan tertekan

5) Kemampuan berkomunikasi efektif menjadi kurang 6) Menarik diri dan depresi

7) Perasaan terisolir dan terasing

8) Kebosanan dan ketidakpuasan dalam bekerja 9) Kelelahan mental dan menurunnya fungsi intelektual 10) Menurunnya harga diri

Kemungkinan besar prediksi efek stres kerja adalah ketidakpuasan pekerjaan. Ketika hal ini muncul, seseorang merasa kurang termotivasi untuk bekerja, tidak bekerja dengan baik, atau tidak melanjutkan pekerjaan. Gejala- gejala ini muncul pada tahapan yang berbeda di dalam perjalanan dari pekerjaan tersebut, dan bervariasi antara satu orang dengan yang lainnya.

c. Gejala perilaku dari stres kerja

Yang termasuk dalam gejala-gejala perilaku yaitu : 1) Bermalas-malasan dan menghindari pekerjaan 2) Kinerja dan produktivitas menurun

3) Meningkatnya penggunaan alkohol dan obat-obat terlarang 4) Melakukan sabotase pada pekerjaan

5) Makan berlebihan sebagai pelarian yang bisa mengakibatkan obesitas

6) Mengurangi makan sebagai perilaku menarik diri dan berkombinasi dengan depresi. 7) Kehilangan selera makan dan menurunnya berat badan secara tiba-tiba

8) Meningkatnya perilaku yang berisiko tinggi 9) Agresif, brutal, dan mencuri

10) Hubungan yang tidak harmonis dengan keluarga dan teman 11) Kecenderungan melakukan bunuh diri.

(10)

Uraian di atas menunjukkan bahwa gejala stres kerja merupakan gejala yang kompleks, yang meliputi kondisi fisik, psikologis, maupun perilaku. Namun demikian gejala tersebut tidak muncul bersamaan waktunya pada seseorang, kemunculannya bersifat kumulatif, yang sebenarnya telah terjadi dalam waktu yang cukup lama, hanya saja tidak terdeteksi jika tidak menunjukkan perilaku tertentu.

Cooper (dalam Rice, 1999) mengidentifikasikan sumber-sumber stres kerja sebagai berikut :

a. Kondisi pekerjaan Kondisi pekerjaan meliputi :

1) Lingkungan kerja. Kondisi kerja yang buruk berpotensi menjadi penyebab karyawan mudah jatuh sakit, mudah stres, sulit berkonsentrasi, dan menurunnya produktivitas kerja.

2) Overload, dapat dibedakan secara kuantitatif dan kualititatif. Dikatakan

overload secara kuantitatif jika banyaknya pekerjaan yang ditargetkan melebihi kapasitas

karyawan tersebut. Akibatnya karyawan tersebut mudah lelah dan berada dalam “tegangan tinggi”. Overload secara kualitatif bila pekerjaan tersebut sangat kompleks dan sulit, sehingga menyita kemampuan teknis dan kognitif karyawan.

3) Deprivational stress, yaitu kondisi pekerjaan yang tidak lagi menantang, atau tidak lagi menarik bagi karyawan. Biasanya keluhan yang muncul adalah kebosanan, ketidakpuasan, atau pekerjaan tersebut kurang mengandung unsur sosial (kurangnya komunikasi sosial).

4) Pekerjaan beresiko tinggi. Jenis pekerjaan yang beresiko tinggi, atau berbahaya bagi keselamatan, misalnya pekerjaan di pertambangan minyak lepas pantai, tentara, dan pemadam kebakaran, berpotensi menimbulkan stres kerja karena mereka setiap saat dihadapkan pada kemungkinan terjadinya kecelakaan.

b. Stres karena peran

Sebagian besar karyawan yang bekerja di perusahaan yang sangat besar, khususnya para wanita yang bekerja dikabarkan sebagai pihak yang mengalami stres lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Masalahnya, wanita bekerja ini menghadapi konflik peran sebagai wanita karir sekaligus ibu rumah tangga. Terutama dalam alam kebudayaan Indonesia, wanita sangat dituntut perannya sebagai ibu rumah tangga yang baik dan benar sehingga banyak wanita karir yang merasa bersalah ketika harus bekerja. Perasaan bersalah ditambah dengan tuntutan dari dua sisi, yaitu pekerjaan dan ekonomi rumah tangga, sangat berpotensi menyebabkan wanita bekerja mengalami stres.

(11)

Hubungan interpersonal di tempat kerja merupakan hal yang sangat penting di tempat kerja. Dukungan dari sesam pekerja, manajemen, keluarga, dan teman-teman diyakini dapat menghambat timbulnya stres. Dengan demikian perlu ada kepedulian pihak manajemen pada karyawannya agar selalu tercipta hubungan yang harmonis.

d. Pengembangan karir

Karyawan biasanya mempunyai berbagai harapan dalam kehidupan karir kerjanya, yang ditujukan pada pencapaian prestasi dan pemenuhan kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri. Apabila perusahaan tidak dapat memenuhi kebutuhan karyawan untuk berkarir, misalnya sistem promosi yang tidak jelas, kesempatan untuk meningkatkan penghasilan tidak ada, karyawan akan merasa kehilangan harapan, tumbuh perasaan ketidakpastian yang dapat menimbulkan perilaku stres.

e. Struktur Organisasi

Struktur organisasi berpotensi menimbulkan stres apabila diberlakukan secara kaku, pihak manajemen kurang mempedulikan inisiatif karyawan, tidak melibatkan karyawan dalam proses pengambilan keputusan, dan tidak adanya dukungan bagi kreativitas karyawan.

f. Tampilan rumah-pekerjaan

Ketika pekerjaan berjalan dengan lancar, tekanan yang ada di rumah cenderung bisa dihilangkan. Bagi kebanyakan orang, rumah sebagai tempat untuk bersantai, mengumpulkan dan membangun kembali kekuatan yang hilang. Tetapi, ketika keheningan terganggu, bisa karena pekerjaan atau konflik di rumah, efek dari stres cenderung meningkat.

2.3 Perawat

Taylor C Lilis C Lemone (dalam Sukma Nolo Widyawati, 2012) perawat adalah seseorang yang berperan dalam merawat atau memelihara, membantu dengan melindungi seseorang karena sakit, luka dan proses penuaan.

ICN (International Council of Nursing), perawat adalah seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan keperawatan yang memenuhi syarat serta berwenang di negeri bersangkutan untuk memberikan pelayanan keperawatan yang bertanggung jawab untuk meningkatkan kesehatan pencegahan penyakit dan pelayanan penderita sakit (dalam Sukma Nolo Widyawati, 2012).

Konsorsium ilmu kesehatan tahun 1989 (dalam Sukma Nolo Widyawati, 2012) terdapat beberapa elemen peran perawat profesional, meliputi:

(12)

1. Sebagai pemberi asuhan keperawatan

Peran ini dapat dilakukan perawat dengan memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan melalui pemberian pelayanan keperawatan. Pemberian asuhan keperwatan ini dilakukan dari yang sederhana sampai dengan yang kompleks.

2. Sebagai Advokat klien

Peran ini dilakukan perawat dalam membantu klien dan keluarga dalam menginterpretasikan berbagai informasi dari pemberi pelayanan khususnya dalam pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan. Perawat juga berperan dalam mempertahankan dan melingungi hak – hak pasien.

3. Sebagai Edukator (Pendidik)

Peran ini dilakukan dengan membantu klien dalam meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan yang diberikan sehingga terjadi perubahan perilaku dari klien setelah dilakukan pendidikan kesehatan.

4. Sebagai Koordinator

Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencakan serta mengorganisasi pelayanan kesehatan dari tim kesehatan sehingga pemberi pelayanan kesehatan dapat terserah serta sesuai dengan kebutuhan klien.

5. Sebagai Kolaborator

Peran ini dilakukan karena perawat bekerja melalui tim kesehatan yang terdiri dari dokter, fisioterapi, ahli gizi, dan lain – lain dengan berupaya mengidektifikasi pelayanan keperawatan yang diperlukan.

6. Sebagai Konsultan

Perawat berperan sebagai tempat konsultasi dengan mengadakan perencanaan, kerja sama, perubahan yang sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian pelayanan keperawatan.

7. Sebagai Pemabaharu

Perawat mengadakan perencanaan, kerjasama, perubahan yang sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian pelayanan keperawatan.

3. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terdapat beberapa point penting yang dapat dijadikan kesimpulan, yaitu:

1. Dari data yang didapatkan mengenai konflik peran ganda dari responden terlihat bahwa sebanyak 39 orang (53,4%) responden mendominasi hasil dengan tingkat

(13)

konflik peran ganda yang tergolong tinggi. Nilai minimum dari data yang didapatkan mengenai konflik peran ganda adalah 43,00 dan nilai maksimumnya adalah 69,00 dengan rata-rata 55,52 dan nilai tengah 56,00.

2. Selanjutnya, dari data yang didapatkan mengenai stres kerja dari responden terlihat bahwa sebanyak 39 orang (53,4%) responden mendominasi hasil dengan tingkat stres kerja tinggi. Nilai minimum dari data yang didapatkan mengenai stres kerja adalah 41,00 dan nilai maksimumnya 68,00 dengan rata-rata 52,95 dan nilai tengah 54,00.

3. Dari hasil uji korelasi antara konflik peran ganda dengan stres kerja pada perawat wanita dewasa muda yang ada di Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi menunjukkan bahwa kedua variable tersebut memiliki hubungan yang sedang, dengan koefisien korelasi sebesar 0,402 dengan signifikansi 0,000, yang berarti uji hipotesis membuktikan bahwa Ha di terima dan Ho di tolak.

4. Selanjutnya uji regresi linier sederhana dari konflik peran ganda dengan stres kerja di dapatkan hasil bahwa nilai R Square 0,161 yang mengandung arti bahwa tingkat stres kerja perawat dewasa muda di Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi dapat dijelaskan sebesar 16,1 % dari konflik peran ganda. Persamaan garis diperoleh bahwa tingkat stres kerja = 29,83 + 0,416* konflik peran ganda. Dengan artian bahwa ketika konflik peran ganda tidak ada maka stres kerja perawat dewasa muda di Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi sebanyak 29,83 dan meningkat sebesar 0,416 kali setelah dipengaruhi oleh konflik peran ganda.

5. Ada beberapa analisis tambahan yang dilakukan untuk memperkaya hasil temuan dari hasil analisis tambahan tersebut peneliti bahwa kriteria dari responden ada yang mempengaruhi tingkat konflik peran ganda maupun stres kerja dari para perawat tersebut

Menurut Kahn dkk (dalam Greenhaus & Beutell,1985) menjelaskan konflik antar peran terjadi ketika pelaksanaan salah satu peran menyulitkan pelaksaan peran yang lain. Tekanan untuk menyeimbangkan dua peran tersebut dapat menyebabkan timbulnya stres. Konflik pekerjaan-keluarga merupakan salah satu bentuk konflik antar peran dimana tekanan dari pekerjaan mengganggu pelaksanaan peran keluarga. Hal ini sejalan dengan penelitian karena terlihat semakin besar konflik peran ganda yang dialami seseorang maka semakin besar pula stres kerjanya.

Seseorang yang mengalami konflik peran ganda dapat diukur dengan menggunakan dimensi dari konflik peran ganda menurut Greenhaus & Beutell (1985) yaitu

(14)

muncul dari sudut pandang keluarga dan pekerjaan. Dan seseorang yang mengalami stres kerja dapat diukur melalui gejala yang timbul sesuai dengan yang dikemukakan oleh Beehr & Newman (dalam Rice, 1999) yaitu gejala fisik, gejala psikologis dan perilaku.

Dari penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwan konflik peran ganda dan stres kerja memiliki suatu hubungan yang sedang, dan konflik peran ganda adalah salah satu varibael yang mempengaruhi meningkatnya tingkat stres kerja seorang perawat wanita dewasa muda yang bekerja di Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi.

(15)

REFERENSI

Austin, M.W. (2004). Occupational stress and coping mechanisms as perceived by the

Directors of Adult Literacy Educational Programs in Texas. Dissertation, Texas

A&M University.

Baron & Byrne, D. (2009). Social Psychology (12th ed.). Boston, MA: Pearson/Allyn and Bacon.

Behr, T.A, Johnson, L.B. Nieva. R & J. J .JR. (1995) Occuptional Stress: Coping of

Police and Their Spouses. Journal of Organizational Behavior.Vol.16. No.1. page 3-28.

Brooker, Chris. (2005). Ensiklopedia Keperawatan. Jakarta: Perpustakaan Nasional.

Duxbury, L. E., & Higgins, C. A. (1991). Gender differences in work family conflict.

Journal of Applied Psychology, 76, 60-74.

Duxbury, L., & Higgins, C. (2003). Work life conflict in Canada in the new millennium: A status report. Public Health Agency of Canada. dalam http://www.phac-aspc.gc.ca/publicat/work-travail/report2/index-eng.php

Frone, M R; Russell, M; Cooper, M L. (1992). Antecedents and Outcomes of

Work-Family Conflict: Testing a Model of The Work-Work-Family Interface. Journal of

Applied Psychology, Vol.77, No.1, p:65-78.

Greenhaus, J.H. & Beutell, N.J. (1985). Sources of conflict between work and family roles. Academy of Management Review, 10 (1), 76-88. 75

Gutek, B.A, Stromberg, A. H & Larwood, L.(1988). Women and Work. Volume 3. California: Sage Publications, Inc.

Handoko, T. Hani. (2000). Manajemen Personalia dan Sumberdaya Manusia Edisi

(16)

Hastono, Sutanto P. (2006). Basic Data Analysis for Health Research Training. Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.

Hennessy, K. D. (2005). Work-family conflict self-efficacy: A scale validation study. dalam https://drum.umd.edu/dspace/bitstream/ 1903/ 2526/1/umi-umd- 2410.pdf.

Hurlock, B, Elizabeth.(1994). Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang

Rentang Hidup (Edisi Kelima). Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama.

Irwanto, (1991). Psikologi Umum. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Kartono & Gulo. (2000). Kamus Psikologi. Bandung : Penerbit Pionir Jaya.

Kartono, K. (1994). Psikologi Sosial untuk Management, Perusahaan dan Industri. Jakarta : PT. Rajawali Grafindo Persada.

Kusnanto. (2003) . Pengantar profesi dan praktik keperawatan profesional. EGC: Jakarta.

Lazarus, R S and Launier, R. (1978). Stress-related transactions between person and

environment. New York: Plenum.

Murtiningsih Afina, SS. (2009). Analisis Pengaruh Konflik Pekerjaan – Keluarga

Terhadap Stres Kerja dengan Dukungan Sosial Sebagai Variabel Moderasi.

Thesis (Tidak diterbitkan). Semarang: Universitas Diponegoro

Nyoman Triaryati. (2003). Pengaruh Adaptasi Kebijakan Mengenai Work Family Issue Terhadap Absen Dan Turnover. Jurnal Manajemen &

Kewirausahaan Vol. 5, No. 1, Maret 2003: 85 – 96

Papalia, Olds, dan Gross, Papalia O.F.(2004). Human development. New York: the McGraw Hill Companies.

Poelmans, Steve. (2001). Work Family Conflict as a Mediator of The Work Stress –

Mental Health Relationship. Research Paper. No.43. Spain: University of Navarra.

(17)

Priyatno, D. (2008). Mandiri Belajar SPSS (Statistical Product and Service Solution) : Untuk Analisa Data & Uji Statistik. Yogyakarta : MediaKom.

Priyatno, D. (2010). Paham Analisa Statistik Data dengan SPSS. Yogyakarta: Mediakom.

Purwanto. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif Untuk Psikologi dan

Pendidikan.Jogjakarta: Pustaka pelajar Offset.

Rachminiwati. (1988). Efek peran jenis kelamin wanita bekerja pada konflik peran:

Studi deskriptif terhadap wanita bekerja yang berperan ganda. Skripsi (tidak

diterbitkan). Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Rice, P. L. (1992). Stress and health (2nd Edition). Pacific Grove, CA: Brooks/Cole.

Rice, P.L. (1999). Stress and Health. (3rd Edition). Brooks/Cole Publishing Company, USA.

Rini, J. F. dkk. (2002). Wanita bekerja. dalam http://www.psikologi.com/keluarga.

Rini, J.F. (2006). Stres Kerja. Jakarta: Team e-psikologi.com.

Salami. OA, Ojokuku. RM, Ilesanmi OA. (2010). Impact of Job Stress on Manager’s

Performance. European Journal of Scientific Research. Vol.45, No2 .page

249-260.

Santrock, W. John. (2002). Life-Span Development : Perkembangan Masa Hidup. Jilid

1. Jakarta : Erlangga.

Sekaran, U. (2003). Research Methods for Business : A Skill Building Approach 2nd

Edition, John Wiley and Son. New York.

Simon, T. L. (2002) The exploration of the working mother’s plight through

psychoanalytic, feminist and intersubjective approach. San Francisco Bay

(18)

dalam Http://www.proquest.umi.com.

Singarimbun & Sofian Effendi. (1989). Metode Penelitian Survei, Jakarta: LP3ES. 7.

Skitmore, Martin & Sariati. Ahmad. (2003). Work Family Conflict: Survey of

Singaporean Workers. Singapore Management Review. Vol.25. No.1.

Stonner, Charles R. (1990). Work-home role conflict infemale owners of small bussiness: an eploratory study. Journal of small bussiness management, 28 (1), page 30-38.

Sugiyono. (1994). Metode Penelitian Administrasi (Edisi Ketiga). Bandung: CV Alfabeta.

Vroom, VH. (1964). Work and Motivation. Wiley Press. New York.

Widyawati, Sukma N. (2012). Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta, Prestasi Pustaka.

Yerkes, R., and Dodson, J. (1908). The Relation of Stimulus to Rapidity of Habit Formation. Journal of Comparative Neurology and Psychology, Vol.18. page 459-482.

Referensi

Dokumen terkait

Terkait dengan keabsahan dan keaslian s€mua dokumen yang telah dikirimkan ke panitia pengadaan Barang/Jasa untuk Kegiatan Pembangunan Gedung 4 Ruang Kelas Baru (RKB) Pada

Berdasarkan uraian diatas penelitian ini bermaksud untuk melihat pengaruh faktor ekonomi terhadap perkembangan pasar saham ditinjau dari nilai transaksi perdagangan dan indeks

Meskipun tidak semua aspek mendapat nilai yang sempurna namun secara keseluruhan nilai rata-rata yang diperoleh dari ketiga penelaah terhadap semua aspek untuk

[r]

Berdasarkan analisa multiple regression diketahui bahwa idealized influence, intellectual stimulation, dan laissez-faire berpengaruh signifikian pada cognitive dan relational

Pencatatan Ciptaan tidak dapat dilakukan terhadap seni lukis yang berupa logo atau tanda pembeda yang digunakan sebagai merek dalam perdagangan barang/jasa atau

Sistem authority control yang akan dikembangkan terdiri atas Entity Relation- ship Diagram (ERD) pengatalog dan ERD operator. Operator mempunyai tiga ERD, yaitu

d) Cara penyampaian yang inovatif, kreatif, dan menarik akan sangat mempengaruhi hasil dari pelaksanaan pelatihan, walaupun dengan materi yang sama, jika pelatih dapat