Sugiono : Evaluasi Status Hara N, P, K Dan C-Organik Yang Terangkut Erosi Akibat Penerapan Berbagai Teknik Mulsa Vertikal Di Lahan Miring Pada Pertanaman Jeruk (Citrus Sinensis) Di Desa Rumah Galuh Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat, 2007.
USU Repository © 2009
EVALUASI STATUS HARA N, P, K DAN C-ORGANIK YANG TERANGKUT EROSI AKIBAT PENERAPAN BERBAGAI TEKNIK
MULSA VERTIKAL DI LAHAN MIRING PADA PERTANAMAN JERUK (Citrus sinensis) DI DESA RUMAH GALUH
KECAMATAN SEI BINGEI KABUPATEN LANGKAT
SKRIPSI
Oleh : SUGIONO
020303037 / ILMU TANAH
DEPARTEMEN ILMU TANAH
FAKULTAS PERTANIAN
NIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
EVALUASI STATUS HARA N, P, K DAN C-ORGANIK YANG TERANGKUT EROSI AKIBAT PENERAPAN BERBAGAI TEKNIK
MULSA VERTIKAL DI LAHAN MIRING PADA PERTANAMAN JERUK (Citrus sinensis) DI DESA RUMAH GALUH
KECAMATAN SEI BINGEI KABUPATEN LANGKAT
SKRIPSI
OLEH
SUGIONO
020303037 / ILMU TANAH
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana di Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
Disetujui oleh :
Komisi pembimbing
(Dr. Ir. Abdul Rauf, MP) (Ir. Hardy Guchi, MP) Ketua Anggota
DEPARTEMEN ILMU TANAH
FAKULTAS PERTANIAN
NIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat
dan hidayah-Nyalah penulis dapat menyelasaikan skripsi ini tepat pada waktunya.
Adapun judul dari skripsi ini adalah “Evaluasi Status hara N, P, K dan
C-Organik Yang Terangkut Erosi Akibat Penerapan Berbagai Teknik Mulsa
Vertikal Di Lahan Miring Pada Pertanaman Jeruk (Citrus sinensis) Di Desa
Rumah Galuh Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat” sebagai salah satu
syarat untuk dapat mendapat gelar Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara, Medan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak
Dr. Ir. Abdul rauf, MP selaku Ketua Komisi Pembimbing dan bapak
Ir. Hardy Guchi, MP selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak
membimbing penulis dalam menyelasaikan skripsi ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam
penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan
saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.
Medan, Oktober 2007
DAFTAR TABEL
hal
1. Perlakuan Teknik Konservasi 12
2. Pengaruh Beberap Teknik Mulsa Vertikal Terhadap P-tersedia Sedimen 19
3. Pengaruh Beberapa Teknik Mulsa Vertikal Terhadap K-Tukar Sedimen 20
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Tanpa Perlakuan... 13
2. Penampang Melintang Teknik Mulsa Vertikal Guludan Searah Kontur ... 14
3. Penampang Melintang Teknik Konservasi Rorak Searah Kontur ... 14
4. Penampang Melintang teknik Konservasi Rorak Piringan... 15
5. Penempang Melintang Teknik Mulsa Vertikal Gulud Piringan ... 16
6. Penampang Melintang Teknik tebar Merata/Konvensinal ... 16
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Kriteria Penilaian Kandungan Hara Dalam Tanah Menururt PPT Bogor .... 27
2. Hasil Analisis N-Total Sedimen (%) ... 28
3. Daftar Sidik Ragam Analisis N-Total Sedimen (%) ... 28
4. Hasil Analisis P-Tersedia Sedimen (ppm) ... 28
5. Daftar Sidik Ragam Analisis P-Tersedia Sedimen (ppm) ... 28
6. Hasil Analisis K-Tukar Sedimen (me/100g) ... 29
7. Daftar Sidik Ragam Analisis K-Tukar Sedimen (me/100g) ... 29
8. Hasil Analisis C-Organik Sedimen (%) ... 29
9. Daftar Sidik Ragam Aanalisis C-Organik (%) ... 29
10.Gulud Searah Kontur ... 30
11.Rorak Searah Kontur ... 30
12.Piringan Rorak ... 30
13.Konvensional ... 31
14.Piringan Benteng... 31
15.Piringan Gulud ... 31
16.Tanpa Perlakuan ... 32
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ... 24 Saran ... 24
DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pengelolaan lahan miring secara intensif untuk usahatani dapat
menimbulkan masalah utama yaitu erosi pada musim hujan dan kekeringan pada
musim kemarau, akibat erosi terjadi pengangkutan bahan organik dan unsur hara,
kerusakan struktur tanah, ketebalan solum efektif. Maka untuk menanggulangi
masalah ini perlu dilakukan tindakan konservasi tanah dan air.
Tanaman penutup tanah yang tumbuh di lahan miring sering kali
diabaikan. Padahal tanaman penutup tanah tersebut dapat dijadikan serasah untuk
dijadikan sebagai mulsa organik. Disamping serasah tersebut mengandung bahan
organik, serasah juga dapat dimanfaatkan sebagai penutup tanah untuk
mengurangi terjadinya erosi.
Banyak teknik konservasi yang diterapkan dalam pengelolaan lahan
miring, diantaranya dengan pembuatan teras, guludan, rorak, penanaman menurut
garis kontur dan bedengan. Beberapa teknik di atas adalah teknik umum yang
digunakan untuk mencegah dan memperkecil erosi yang sering terjadi di lahan
berlereng.
Penerapan teknik konservasi yang diberi campuran mulsa dan pupuk
kandang sangat penting karena teknik ini merupakan gabungan antara teknik
mekanik dan biologi dengan pembuatan rorak yang diberi bahan organik, sisa-sisa
tanaman dan gulma. Ini bertujuan untuk mengurangi aliran permukaan dan
Diharapkan penggunaan teknik konservasi dengan penggunaan campuran
mulsa dan pupuk kandang dapat mengurangi efek erosi. Sehingga kemungkinan
unsur hara seperti N, P, K dan C-Organik tanah dapat dipertahankan dalam tanah.
Berdasarkan hal di atas perlu dilakukan penelitian terhadap unsur hara N,
P, K dan C-Organik yang terangkut erosi dengan perlakuan berbagai teknik
konservasi pada pertanaman jeruk di lahan miring.
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui kadar hara N, P, K dan C-Organik yang terangkut erosi
dengan perlakuan pada berbagai teknik konservasi yang diberi campuran mulsa
dan pupuk kandang di lahan miring pada pertanaman jeruk (Citrus sinensis).
Hipotesa Penelitian
Perlakuan berbagai teknik konservasi yang diberi campuran mulsa dan
pupuk kandang berpengaruh nyata terhadap kadar hara N, P, K dan C-Organik
yang terangkut erosi pada lahan miring.
Kegunaan Penelitian
1. Sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana di
Depertemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara
Medan.
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Lahan di Kawasan Dataran Tinggi
Inceptisol merupakan tanah-tanah yang mempunyai horizon-horizon
terubah, tetapi masih mempertahankan sejumlah bahan dapat lapuk. Inceptisol
dapat berkembang dari bahan induk batuan beku, metamorf. Karena inceotisol
merupakan tanah yang baru berkembang biasanya mempunyai tekstur yang
beragam dari kasar hingga halus, dalam hal ini dapat tergantung pada tingkat
pelapukan bahan induknya (Munir, 1996).
Lahan kering dalam keadaan alami memiliki kondisi antara lain peka
terhadap erosi, terutama bila keadaan tanahnya miring atau tidak tertutup vegetasi,
kebutuhan air untuk tanaman tergantung dari curah hujan. Kasus di daerah Irian
Jaya penduduknya masih menggunakan sistem ladang berpindah pada lahan yang
berlereng curam, yaitu kegiatan-kegiatan usahatani pangan semusim. Akibatnya
terjadi kerusakan tanah karena tidak mengindahkan kaidah-kaidah konservasi
tanah dan air dalam mengelola usahataninya. Sebagai dampaknya terjadi bencana
misalnya banjir, kekeringan, erosi dan lain-lain. Oleh karena itu dalam
pengelolaan sumber daya alam (tanah dan air) penting dilakukan tindakan
konservasi (LIPTAN,1992)
Tanah-tanah di Indonesia tergolong peka terhadap erosi, karena terbentuk
dari bahan-bahan yang relatif mudah lapuk. Erosi yang terjadi akan memperburuk
kondisi tanah tersebut dan menurunkan produktivitasnya. Oleh karena itu
penerapan teknik konservasi memperbaiki dan meningkatkan kualitas tanah yang
Kemiringan lahan merupakan tanah yang tidak hanya ditujukan untuk
mengendalikan erosi, melainkan juga untuk faktor penting di dalam memilih
teknik konservasi air, karena semakin besar kemiringan lahan maka laju aliran
permukaan makin cepat, dan daya kikis dan daya angkut aliran permukaan makin
kuat dan cepat. Oleh karena itu, strategi konservasi air pada lahan berlereng
adalah memperlambat laju aliran permukaan dan memperpendek panjang lereng
untuk memberikan kesempatan lebih lama pada air untuk meresap ke dalam tanah
(Kurnia dkk, 2004).
Kemiringan lereng dinyatakan dalam derajat atau persen. Dua titik
berjarak horizontal 100 meter mempunyai selisih tertinggi 10 meter membentuk
lereng 10 persen. Kecuraman lereng 100 persen sama dengan kecuraman 45
derajat (Arsyad, 1989).
Kadar Unsur Hara Pada Tanah di Lahan Miring
Pada umumnya lapisan tanah pertanian mengandung 0,02-0,4 N,
banyaknya kandungan N tersebut tergantung dari kandugan bahan organik.
Terdapat variasi dalam hal kandungan N tanah antar daerah-daerah yang
berbeda topografinya. Daerah-daerah dengan kemiringan relatif lebih rendah
kandungan unsur hara. Hal ini diakibatkan oleh erosi yang mengikis lapisan
permukaan tanah. Aliran permukaan akan menimbulkan erosi pada permukaan
tanah yang biasanya mempunyai kandungan N tertinggi (Nyakpa dkk, 1988)
Tanah kritis dapat berupa kerusakan fisik, kimia, atau biologi yang
pemukiman dan kehidupan sosial ekonomi dari daerah dari lingkungan
pengaruhnya. Hal ini disebabkan oleh ketidaksesuaian antara penggunaan tanah
dengan kemampuannya (Setiawan, 2003).
Pada umumnya unsur P (fosfor) dan K (kalium) berasal dari pelarutan
mineral-mineral tanah yang terkandung dalam bahan induk tanah. Dan sedikit
penambahan dari bahan organik bila tererosi. Ketersediaan P tanah untuk tanaman
sangat dipengaruhi oleh sifat dan ciri tanahnya sendiri. P menjadi tidak tersedia
dan tidak larut disebabkan fiksasi oleh mineral-mineral liat dan ion-ion Al, Fe, Mg
ataupun Ca yag banyak larut. Bahan organik yang diberikan pada tanah akan
memperbesar ketersediaan fosfat tanah, melalui hasil dekomposisinya yang
menghasilkan asam-asam organik (Nyakpa dkk, 1988).
Bahan organik juga dapat mempengaruhi ketersediaan kalium dimana
bahan organik (humus) mempunyai kapasitas besar dalam mengikat ion, tetapi
tidak mempunyai kapasitas untuk memfiksasi kalium. Ini telah dibuktikan dengan
penambahan asam humik ke suspensi liat, yang ternyata akan meningkatkan
aktivitas dari ion kalium dan kalsium tanah (Nyakpa dkk, 1988).
Kalium sebenarnya sangat diperlukan pada tanah kering, karena pada
tanah ini banyak kation K+ yang hilang dan terangkut oleh tanah melalui
pencucian air hujan maupun erosi. Kalium di dalam tanah terdapat dalam bentuk
anorganik dimana sumber-sumbernya adalah mineral feldspar, mika, dan silikat.
Kalium di dalam tanah merupakan satu-satunya kation monovalen yang esensial
bagi tanaman. Kandungan K di dalam tanah berbeda-beda tergantung dari bahan
induk tanah dan derajat pelapukan. Jika dibandingkan dengan N dan P kandungan
Mulsa dan Pupuk Kandang
Mulsa adalah penutup tanah yang berasal dari pangkasan rumput, sisa
panen atau bahan-bahan lain yang penggunaanya disebarkan di permukaan tanah
sepanjang barisan tanaman atau melingkari batang pohon. Mulsa berguna untuk
(1) mengurangi erosi dan aliran permukaan mulsa tersebut dapat melindugi tanah
dari daya rusak butir-butir hujan; (2) menekan pertumbuhan gulma dan
mengurangi biaya penyiangan; (3) mengatur suhu tanah dengan mengurangi
evaporasi dari permukaan tanah; (4) meningkatkan kelembaban tanah
(Kurnia dkk, 2004).
Humus mempunyai peranan penting di dalam pembentukan tanah remah,
karena humus mempunyai sufat koloid hidrofil yang dapat digumpalkan dan
dijadikan gel kembali. Tanah remah-sedang cenderung tampak agak bergumpalan
(agregasi) dan ada yang dalam keadaan bentuk porous berlubang-lubang
bergeronggong yang memudahkan aliran air menerobos menyerap kedalam
lapisan-lapisan tanah sebelah bawah. Humus mempunyai sifat dapat mengikat air
sampai empat atau enam kali beratnya sendiri dapat mempertinggi daya untuk
menahan air (Kartasapoetra dan Sutedjo, 2000).
Fraksi humus dan non humus dari bahan organik tanah penting untuk
lingkungan tanah tersebut. Bahan-bahan non humus berfungsi sebagai sumber
makanan dan energi untuk mikroorganisme serta kesuburan tanah jangka pendek.
Sedangkan humus berpengaruh pada jangka panjang, seperti pemeliharaan
struktur tanah, menambah pertukaran kation rendah, pH buffer dan kemampuan
Pupuk kandang di dalam tanah mempunyai pengaruh yang baik terhadap
sifat-sifat fisis tanah. Penguraian-penguraian yang terjadi mempertinggi kadar
bunga tanah (humus). Humus sangat berpengaruh baik terhadap sifat fisis tanah,
mempertahankan struktur tanah, menjadikan tanah mudah diolah (ringan
pengelolaannya) dan terisi oksigen yang cukup (Sutedjo, 2002).
Nilai pupuk kandang tidak hanya ditentukan berdasarkan pasokan bahan
organik tetapi besarnya pasokan nitrogen. Nitrogen yang dilepaskan oleh aktivitas
mikroorganisme kemudian dimanfaatkan oleh tanaman. Pupuk kandang
mempunyai pengaruh yang baik terhadap sifat fisik tanah dan kimia tanah.
Penggunaan pupuk kandang untuk mempertahankan kesuburan tanah merupakan
bentuk praktek pertanian organik. Pupuk kandang pada umumnya lebih
bermanfaat sebagai bahan pembenah tanah. Pada umumnya bahan-bahan ini
mengandung N, P, N dalam jumlah yang rendah, tetapi dapat memasok unsur hara
mikro esensial. Sebagai bahan pembenah tanah bahan organik dan pupuk kandang
mempunyai kontribusi dalam mencegah erosi, pergerakan tanah dan retakan
tanah. Di samping itu, mampu meningkatkan kemampuan tanah mengikat air
tanah, memperbaiki struktur dan drainase tanah. Bahan organik juga memacu
pertumbuhan dan perkembangan bakteri dan biota tanah. Nitrogen dan unsur hara
lainnya yang dikandung bahan organik dilepaskan secara perlahan-lahan. Dengan
demikian pemberian yang berkesinambungan membantu dakam membangun
tanah, terutama dalam jangka panjang (Sutanto, 2002).
Walaupun kadar zat hara yang dikandung pupuk kandang tidak sebesar
pupuk buatan, tetapi pupuk kandang mempunyai kegunaan lain, yaitu untuk
menjadi lebih subur, gembur, dan lebih mudah diolah, kegunaan seperti ini tidak
dapat digantikan oleh pupuk buatan. Beberapa jenis pupuk kandang yang dapat
diberikan antara lain pupuk yang berasal dari kotoran kambing, sapi, kerbau atau
ayam (Sutedjo, 2002).
Pemberian pupuk kandang sebagai pupuk organik dipastikan
meningkatkan bahan organik tanah. Menurut Tan (1995), bahan organik yang
dikenal mengandung sejumlah gugus fungsional, seperti gugus karboksilat, gugus
hidroksil, fenilat dan alkoholik, gugus asam amiono, amido, keton dan aldehida.
Diantara sekian banyak gugus tersebut, kemungkinan situs yang paling penting
untuk jerapan air adalah yang terdapat pada gugus karboksilat. Gugus karboksilat
yang terionisasi mempunyai afinitas yang tinggi terhadap air, meskipun
gugus-gugus fungsional yang lainya dapat juga menampakkaan suatu tingkat
kemampuan tertentu.
Teknik Konservasi Mulsa Vertikal (Slot Mulch)
Mulsa vertikal atau disebut juga jebakan mulsa adalah bangunan
menyerupai rorak yang dibuat memotong lereng dengan ukuran yang lebih
panjang bila dibandingkan dengan rorak. Ukuran jebakan mulsa harus disesuaikan
dengan keadaan lahan dengan lebar 0,40 –0,60 meter dan dalam 0,30-0,50 meter,
jarak antar barisan jebakan mulsa ditentukan oleh kemiringan lahan atau berkisar
antara 3-5 meter. Jebakan mulsa ini merupakan tempat dan sekaligus berfungsi
Rorak (silt pit) dibuat untuk menangkap air dan tanah yang tererosi,
sehingga memungkinkan air masuk ke dalam tanah dan mengurangi erosi. Rorak
merupakan lubang yang digali dengan ukuran : dalam 60 cm, lebar 50 cm dan
panjang 4-5 meter. Rorak dibuat sejajar kontur atau memotong lereng. Jarak
kesamping antara satu rorak dengan rorak yang lain berkisar antara 10 sampai 15
meter, sedangkan jarak horizontal berkidar antara 20 meter pada lereng yang
landai dan agak miring sampai 10 meter yang lebih curam (Arsyad, 1989).
Pembenaman bahan organik sisa tanaman dan gulma pada parit-parit
dengan jarak tertentu diantara tanaman (sejajar garis kontur pada lahan berlereng)
dapat dilakukan guna memperbesar volume air yang masuk dalam tanah (kedalam
parit-parit berisis bahan organik tersebut) sehingga dapat memperkecil laju aliran
permukaan dan memperbesar kapasitas infiltrasi tanah yang pada gilirannya dapat
memperkecil erosi tanah. Bahan organik diketahui dapat menjerap air lebih
banyak melebihi bobot bahan organik itu sendiri. Konsep ini kemudian dikenal
dengan penyadapan air atau pemanenan air (water harvesting) menggunakan
teknik mulsa vertikal (Abdul-Rauf, 1999).
Menurut Brata (1995), pemberian atau pembenaman bahan organik ini
dikenal juga dengan sebutan mulsa vertikal yaitu penggunaan sisa tanaman dan
memasukkannya kedalam akar dengan metode “sub soile”. Mulsa vertikal tersebut
dapat meningkatkan infiltrasi tanah sampai beberapa musim tanam.
Menurut Abdul-Rauf (1999), manfaat lain yang diperoleh dari penerapan
teknik mulsa vertikal ini adalah : (1) melakukan teknik konservasi gabungan
antara mekanik dan biologi dengan pembuatan rorak yang diberi bahan organik
relatif mahal dan sulit serta mengandung resiko kerusakan tanah yang berat, bila
pembuatan teras tersebut tanpa dilandasi perencanaan yang baik.
Mulsa sebagai bahah organik, setelah mengalami pelapukan juga sangat
membantu pembentukan dan pemantapan struktur tanah. Keadaan ini sangat
menguntungkan, karena disamping dapat meningkatkan ketahanan tanah terhadap
daya erosi juga sangat membantu pertumbuhan akar tanaman serta aktivitas
fisiologis akar tanaman (Utomo, 1989).
Kelebihan air yang belum terinfiltrasi sering kali masih dibiarkan terbuang
melalui saluran bedengan pada teras gulud atau teras bangku. Kelebihan air
tersebut terkonsentasi pada satu aliran, berpotensi menggerus tanah. Untk
memaksimalkan peresapan air kedalam tanah, dapat dilakukan dengan
menambahkan sisa tanaman, serasah gulma, pangkasan tanaman penguat kedalam
saluran teras, rorak, atau kedalam lubang-lubang peresapan air
(Kurnia dkk, 2004).
Menurut Brata (1995) pada perlakuan mulsa konvensional kehilangan
unsur hara nyata lebih sedikit dibandingkan perlakuan tanpa mula. Pada perlakuan
mulsa konvensional kehilangan unsu hara melalui sedimen lebi sedikit
dibandinkan dengan melalui aliran permukaan, sedangkan pada perlakuan tanpa
mulsa adalah sebaliknya.
BAHAN DAN METODA
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Rumah Galuh Kecamatan Sei Bingei
Kabupaten Langkat dengan kemiringan lereng 22,2% dan ketinggian tempat 560
meter dari permukaan laut pada titik kordinat N 3020’52,8” dan E 98024’25,5”.
Analisis laboratorium dilakukan di laboratorium Kimia Tanah. Penelitian ini
dilaksanakan mulai bulan Agustus sampai November 2006.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah pupuk kandang lembu
dan ayam, mulsa yang ada pada lahan penelitian, bahan-bahan kimia untuk
kebutuhan analisa di laboratorium dan bahan-bahan lain yang mendukung
penelitian.
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah peta lokasi penelitian, GPS
(Global Position System), cangku l, goni, meteran, clinometer, tali lastik, pisau dan
alat lain yang mendukung penelitian.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK)
Non-Faktorial, dengan 7 perlakuan sebagaimana tertera pada table 1.
Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali sehingga diperoleh 21 plot
Table 1. Perlakuan Teknik Konservasi
No Perlakuan Keterangan
1
Rumus metematik Rancangan yang digunakan adalah :
Yij = µ + αI + βj + ∑ij
Dimana :
Yij = hasil pengamatan pada percobaan kelompok ke-j dan perlakuan ke-i
µ = nilai tengah (rataan)
Survey lapangan untuk menentukan lokasi penelitian yang sesuai yaitu lahan
miring.
2. Pembuatan Plot
Dibuat polot perlakuan sebanayak 7 plot perlakuan yanag mana dalam setiap
plot perlakuan ada 3 ulangan perlakuan.
3. Pencampuran Pupuk Kandang
Pencampuran pupuk kandang ayam dan pupuk kandang lembu dicampur
4. Pemasangan Karpet Pembatas Perlakuan
Pemasangan karpet pembatas perlakuan ini bertujuan agar tiap perlakuan tidak
terganggu oleh pengaruh limpasan dan aliran permukaan yang berasal dari luar
perlakuan.
5. Pembersihan Plot Perlakuan
Pembersihan plot perlakuan dilakukan dengan mencangkul gulma, gulma yang
berasal dari tiap-tiap plot perlakuan dimasukkan kedalam goni dan
dikumpulkan sebelum dilakukan pemasangan teknik konservasi dan sebagian
gulma diambil dari luar plot perlakuan.
6. Pembuatan Teknik Konservasi
Tanpa Perlakuan (C)
Permukaan tanah
Kemiringan lereng 22,2%
Gambar 1. Tanpa Perlakuan / keadaan alami lahan di lapangan
Gulud Searah Kontur (G)
Bahan mulsa tanaman ditebar menyerupai gundukan serasah dengan
panjang guludan 15 meter, searah kontur dengan ketebalan serasah ± 30 cm
kemudian dilapisi dengan pupuk kandang sebanyak 100 kg/tanaman yang ditebar
secara merata, kemudian ditutup dengan sub soil ± 4 cm.
Permukaan tanah
2 1
kemiringan lahan 22,2% keterangan :
1. mulsa tanaman yang dibentuk guludan
2. pupuk kandang yag ditebar merata diatas serasah
Gambar 2. Penampang Melintang Teknik Mulsa Vertikal Gulud Searah Kontur
Rorak Searah Kontur (R)
Adapun tahapan dalam pembuatan teknik konservasi yang diberi
campuran mulsa dan pupuk kandang (Rorak Searah Kontur) ini yaitu dengan cara
membuat rorak sepanjang 15 meter, kedalaman 0,5 meter, lebar 0,5 meter dengan
searah kontur, kemudian dimasukkan mulsa kedalam rorak dengan ketebalan ± 30
cm kemudian ditabur langsung dengan pupuk kandang sebanyak 100 kg/tanaman
dan kemudian ditutup dengan sub soil ± 4 cm.
Permukaan tanah
2 0,5 m 1
0,5 m
kemiringan lereng 22,2% keterangan :
1. mulsa tanaman yang dimasukkan dalam rorak
2. pupuk kandang dalam rorak
Gambar 3. Penampang Melintang Teknik Konservasi Rorak Searah Kontur
Piringan Rorak (PR)
Pemasangan teknik konservasi yang diberi campuran mulsa dan pupuk
yang sejajar dengan tajuk tanaman yang dicobakan, dengan kedalaman 0,5 meter
dan lebar 0,5 meter, kemudian dimasukkan mulsa kedalam rorak dengan
ketebalan ± 30 cm kemudian ditabur langsung dengan pupuk kandang sebanyak
100 kg/tanaman dan kemudian ditutup dengan sub soil ± 4 cm.
0,5 m 2 2 permukaan tanah
1 1
0,5 m
kemiringan lahan 22,2% keterangan :
1. mulsa tanaman yang dimasukkan kedalam rorak
2. pupuk kandang
Gambar 4. Penampang Melintang Teknik Konservasi Rorak Piringan
Piringan Gulud (PG)
Pemasangan teknik konservasi yang diberi campuran mulsa dan pupuk
kandang (piringan gulud) dilakukan dengan cara membuat guludan dari bahan
mulsa tanaman berupa lingkaran yang sejajar dengan tajuk tanaman yang
dicobakan. Ketebalan mulsa ± 30 cm kemudian dilapisi dengan pupuk kandang
sebanyak 100 kg/tanaman yang ditebar secara merata dan kemudian ditutup
dengan sub soil ± 4 cm.
2 2
1
1
Keterangan :
1. serasah tanaman yang dibentuk menyerupai gulud piringan
2. pupuk kandang
Gambar 5. Penampang Melintang Teknik Mulsa vertikal Gulud Piringan
Konvensional / Tebar Merata (K)
Pada perlakuan ini pupuk kandang ditebar merata dibawah tajuk tanaman
sebanyak 100 kg/tanaman tanpa ditutup dengan sub soil.
Pupuk kandang (konvensional)
permukaan tanah
kemiringan tanah 22,2%
Gambar 6. Penampang Melintang Perlakuan Tebar Merata / Konvensional
Piringan Benteng (PB)
Pada perlakuan ini pupuk kandang dimasukkan kedalam goni yang bagian
bawahnya telah diberi lubang, kemudian goni yang berisi pupuk kandang
dibenamkan setengahnya melingkari tanaman sesuai dengan tajuk tanaman
Pupuk kandang dakam goni
Permukaan tanah
Mulsa tanaman
Kemiringan lahan 22,2%
Ganbar 7. Penampang Melintang Teknik Konservasi Pupuk Kandang dalam Goni
7. Pembuatan wadah Penampung sedimen
- dibuat parit penampungan dengan kedalaman 30 cm dan lebar 30 cm yang
daerah yang paling rendah (tepatnya dibagian bawah) dari setiap
perlakuan.
- Pada setiap parit penampungan diberi plastik yang berguna menampung
sedimen yang terbawa bersama air hujan
8. Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel sedimen dilakukan sebanyak 3 kali dan diambil setelah
kejadian hari hujan.
Parameter yang diukur
Hara Terangkut Erosi
1. N-total dengan metode Kjeldhal
2. P-Tersedia dengan metode Bray II
3. K-Tukar dengan metode Amonium Asetat (NH4OAC) pH 7
4. C-Organik dengan metode Walkly and Black
Dalam hal ini sample diambil dari sedimen yang terdapat pada masing-masing
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
N-Total Sedimen (%)
Hasil analisis sidik ragam terhadap data N-total sedimen oleh pengaruh
beberapa teknik mulsa vertikal disajikan pada lampiran 2. Dari lampiran 2 dapat
diketahui bahwa beberapa teknik mulsa vertikal tidak berpengaruh nyata terhadap
N-Total sedimen.
Ket : C= tanpa perlakuan; G= Gulud searah kontur; R= Rorak searah kontur; PR= Piringan Rorak; PG= Piringan Guludan; K= Konvensional; PB= Piringan Benteng
Dari gambar dapat diketahui bahwa teknik mulsa vertikal pada perlakuan
piringan benteng (PB) menghasilkan N-Total tertinggi sebesar 0,44% dan yang
terendah terdapat pada tanpa perlakuan (C) yaitu sebesar 0,21%.
P-Tersedia (ppm)
Hasil analisis sidik ragam terhadap data P-tersedia sedimen oleh pengaruh
diketahui bahwa beberapa teknik mulsa vertikal berpengaruh sangat nyata
terhadap P-tersedia sedimen (lampiran 5). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Pengaruh beberapa teknik mulsa vertikal terhadap P-tersedia sedimen
Perlakuan P-tersedia (ppm)
Tanpa perlakuan (C) Gulud searah kontur (G) Rorak searah kontur (R) Piringan Rorak (PR)
Ket : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata taraf 5% menurut Uji Duncan
Dari tabel dapat diketahui bahwa pengaruh beberapa teknik mulsa vertikal
pada perlakuan Guludan searah kontur (G) menghasilkan nilai P-tersedia sedimen
tertinggi sebesar 8,6 ppm dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan piringan
rorak (PR) dan tanpa perlakuan (C). Namun berpengaruh nyata dengan perlakuan
rorak searah kontur (R), piringan guludan (PG), dan piringan benteng (PB).
K-tukar Sedimen
Berdasarkan hasik sidik ragam menunjukkan bahwa penerapan beberapa
teknik mulsa vertikal memberikan pengaruh yang nyata bagi nilai K-tukar
sedimen (lampiran 6). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Pengaruh berbagai teknik mulsa vertikal terhadap K-tukar sedimen (me/100g)
Perlakuan K-tukar (me/100 g)
Tanpa perlakuan (C) Gulud searah kontur (G) Rorak searah kontur (R) Piringan Rorak (PR)
Dari Tabel 3 dapat diketahui bahwa perlakuan piringan benteng (PB)
menghasilkan nilai tertinggi sebesar 4,328 me/100g yang tidak berbeda nyata
dengan perlakuan rorak searah kontur (R), kemudian diikuti oleh piringan rorak
(PR) dan piringan benteng (PB). Dan nilai terendah terdapat pada tanpa perlakuan
(C) yang mana tidak berbeda nyata dengan perlakuan konvensional (K).
C-Organik Sedimen (%)
Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penerapan beberapa
teknik mulsa vertikal tidak berpengaruh nyata terhadap C-organik sedimen
(lampiran 9).
Ket : C= tanpa perlakuan; G= Gulud searah kontur; R= Rorak searah kontur; PR= Piringan Rorak; PG= Piringan Guludan; K= Konvensional; PB= Piringan Benteng
Dari gambar dapat diketahui bahwa teknik mulsa vertikal pada perlakuan
rorak searah kontur (R) menghasilkan nilai C-Organik tertinggi sebesar 2,14%
sedangkan hasil terendah terdapat pada tanpa perlakuan gulud searah kontur (G)
yaitu sebesar 0,54%.
Pembahasan
Pada analisis N-Total sedimen (%) dimana perlakuan beberapa teknik
mulsa vertikal berpengaruh tidak nyata dalam meningkatkan N-Total sedimen.
Namun bila dilihat dari data (lampiran 2) N-Total sedimen yang tertinggi
diperoleh pada perlakuan piringan benteng (PB) sebesar 0,44%. Hal ini
dikarenakan pada perlakuan piringan benteng yang diberi campuran mulsa dan
pupuk kandang dapat mengurangi laju aliran permukaan sehingga unsur hara N
tidak mudah tercuci dan unsur hara yang terserap oleh tanah menjadi lebih besar.
Menurut Sutanto (2002) bahan organik dan pupuk kandang mempunyai kontribusi
dalam mencegah erosi, pergerakan tanah, dan retakan tanah. Disamping itu
mampu meningkatkan kemampuan tanah tanah mengikat air tanah sehingga
mengurangi laju aliran permukaan. Sedangkan pada perlakuan guludan searah
kontur, rorak searah kontur, piringan rorak, piringan guludan dan konvensional
juga dapat meningkatkan ketersediaan N-Total sedimen. Ketersediaan unsur hara
N cukup tersedia pada tanpa perlakuan, termasuk kriteria sedang menurut kriteria
PPT Bogor, namun perbandingannya sangat rendah dengan N-Total pada
perlakuan piringan benteng, hal ini dikarenakan adanya pengolahan tanah yang
sering dilakukan oleh petani sehingga N dapat cepat hilang melalui pencucian dan
penguapan.
Pada analisa P-Tersedia sedimen (ppm) dimana perlakuan teknik
konservasi yang diberi campuran mulsa pupuk kandang berpengaruh sangat nyata
(Tabel 1). Hasil P-Tersedia sedimen tertinggi diperoleh pada perlakuan gulud
searah kontur (lampiran 4) sebesar 8,6 ppm termasuk kriteria rendah menurut PPT
benteng sebesar 6,56 ppm termasuk sangat rendah menurut kriteria PPT Bogor.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Brata (1995) bahwa pada perlakuan mulsa
konvensional kehilangan unsur hara nyata lebih sedikit dibandingkan perlakuan
tanpa mulsa. Pada perlakuan mulsa konvensional kehilangan unsur hara melalui
sedimen lebih sedikit dibandingkan dengan melalui aliran permukaan, sedangkan
pada perlakuan tanpa mulsa adalah sebaliknya. Hal ini berarti bahwa mulsa
konvensional dapat menahan sebagian besar partikel-partikel tanah yang terbawa
oleh aliran permukaan, sedangkan unsur hara terlarut dalam aliaran permukaan
sebagian besar dapat lolos dari mulsa bersamaan aliaran permukaan.
Pada analisa K-Tukar sedimen (me/100g) dimana perlakuan teknik
konservasi yang diberi campuran mulsa vertikal dan pupuk kandang dapat
meningkatkan ketersediaan K-Tukar sedimen (Tabel 2). Hasil K-Tukar tertinggi
diperoleh pada perlakuan piringan benteng (lampiran 6) sebesar 4,328 me/100g
dan terendah pada tanpa perlakuan sebesar 1,003 me/100g. Pada perlakuan gulud
searah kontur, rorak searah kontur, piringan rorak, piringan gulud juga dapat
meningkatkan ketersediaan K-Tukar sedimen, namun hasil yang diperoleh lebih
kecil dari perlakuan piringan benteng. Tetapi lebih meningkat dibandingkan pada
perlakuan konvensional dan tanpa perlakuan. K-Tukar dapat meningkatkan
disebabkan oleh pemberian bahan organik sisa tanaman (serasah) dan pupuk
kandang, dimana ion K+ yang ada didalam tanah dapat diikat dan mudah hilang
oleh erosi walaupun di lahan miring. Perlakuan teknik konservasi dapat menahan
laju aliran permukaan di lahan miring karena pemberian bahan organik dan pupuk
kandang pada tanah. Menurut Nyakpa dkk (1988) bahan organik dapat
besar dalam mengikat ion K+, ion K+ yang ada pada bahan organik akan dilapaskan secara perlahan-lahan.
Pada analisa C-Organik sedimen (%) dimana perlakuan teknik konservasi
yang diberi campuran mulsa vertikal dan pupuk kandang tidak berpengauh nyata
terhadap C-Organik sedimen. Namun bila dilihat dari data (Tabel 3), C-Organik
tertinggi diperoleh pada perlakuan rorak searah kontur sebesar 2,19 % dan
termasuk kategori sedang menurut kriteria PPT Bogor, dan yang terendah pada
perlakuan gulud searah kontur sebesar 0,541 % termasuk rendah menurut PPT
Bogor. Hal ini karena pada perlakuan gulud searah kontur dapat mengurangi laju
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Teknik konsevasi yang diberi campuran mulsa dan pupuk kandang pada
perlakuan piringan benteng meningkatkan N-Total sedimen sebesar
0,23 % dan K-Tukar sedimen sebesar 3,325 me/100g.
2. Teknik konservasi yang diberi mulsa dan pupuk kandang pada perlakuan
gulud searah kontur meningkatkan K-Tukar sedimen sebesar 0,98 ppm.
3. Teknik konservasi yang diberi mulsa dan pupuk kandang pada perlakuan
rorak searah kontur meningkatkan C-Organik sedimen sebesar 0,85 %.
Saran
Teknik konservasi mulsa dan pupuk kandang dengan cara piringan
benteng dapat diterapkan sebagai salah satu alternatif teknologi dalam usaha
petanian dilahan kering berlereng dalam peningkatan ketersediaan unsur hara
untuk waktu yang lama. Namun masih perlu pengkajian lebih jauh tentang teknik
DAFTAR PUSTAKA
Abdul-Rauf., 1999.Pengaruh Mulsa Vertikal Terhadap Sifat Fisik Tanah, Produksi Jagung, Erosi dan Pemanenan Air di Lahan Kering Berlereng Curam. Makalah pada Kongres VII dan Seminar Nasional HITI, Bandung, 27-28 November 1999.
Arsyad, S., 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press, Bogor.
Brata, K.R., 1995. Efektivitas Mulsa Vertikal sebagai Tindakan Konservasi Tanah dan Air pada Pertanian Lahan kering di Latosol Dermaga. Journal Pertanian Indonesia, vol 5. no. 1., Bogor.
Darusman, L.K., 1989. Kimia Fisik Tanah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Antar Universitas. Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor.
Foth, H.D., 1988. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Diterjemahkan, E.D Purbayanti., R.R Lukiwati., R.Trimulatsih, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Hakim, N., A.M Lubis., M.A Pulung., A.G Amrah., A. Munawar., G.B Hong., M.Y Nyakpa., 1989. Dasar Ilmu Tanah. Penerbit Universitas Lampung.
Kartasapoetra, A.G dan M.M Sutedjo., 2000. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Penerbit Rhineka Cipta, Jakarta.
Kurnia, U., A. Rahman., A. Daraih., 2004. Teknologi Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat BPPP Departemen Pertanian, Jakarta.
Moody, J.E., J.H Lillard., T.W Edwinster, 1952. Mulch Tillage : Some Effects on Plant and Soil properties. Proceedings Soil Science Society Amerika. Vol 16 Page 190-194.
Nyakpa, M.Y., A.M Lubis., M.A Diha., A.G Amrah., A. Munawar., G.B Hong., N. Hakim., 1988. Kesuburan Tanah. Penerbit Universitas lampung.
Setiawan, A.I., 2003. Penghijauan Lahan Kritis. Penebar Swadaya, Jakarta.
Sutanto, R., 2002. Penerapan Pertanian Organik Pemasyarakatan dan Pengembangannya. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Sutedjo, M.M., 2002. Pupuk dan Cara Pemupukan. Penerbit Rhineka Cipta, Jakarta.
barat Irian Jaya.
Lampiran 2. Hasl analisis N- Total Sedimen (%)
Perlakuan Ulangan Total Rataan
1 2 3
Lampiran 3. Daftar Sidik Ragam N- Total Sedimen (%)
SK db JK KT Fh F0,05 F0,01
Lampiran 4. Hasil Analisis P-Tersedia Sedimen (ppm)
Perlakuan Ulangan Total Rataan
1 2 3
Lampiran 5. Daftar Sidik Ragam P-Tersedia Sedimen (ppm)
Lampiran 6. K-Tukar Sedimen (me/100g)
Perlakuan Ulangan Total Rataan
1 2 3
Lampiran 7. Daftar Sidik Ragam K-Tukar Sedimen (me/100g)
SK db JK KT Fh F0,05 F0,01
Lampiran 8. Hasil Analisis C-Organik Sedimen (%)
Perlakuan Ulangan Total Rataan
1 2 3
Lampiran 9. Daftar Sidik Ragam C-Organik Sedimen (%)
Lampiran 10. Gulud searah kontur
Lampiran 11. Rorak searah kontur
lampiran 13. Konvensional
Lampiran 14. Piringan Benteng
lampiran 16. Tanpa Perlakuan
BAGAN PENELITIAN
PUNCAK LERENG
1
1
1
1
I
1
1
2
2
2
2
2
2
2
3
3
3
3
3
3
3
Bak penampung