• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanda -tanda dalam upacara perkawinan batak toba (tinjauan semiotika)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tanda -tanda dalam upacara perkawinan batak toba (tinjauan semiotika)"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

TANDA -TANDA DALAM UPACARA PERKAWINAN

BATAK TOBA

(Tinjauan Semiotika)

SKRIPSI

OLEH

NELLI LORISKA L. GAOL

030701010

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya perbuat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.

Medan, September 2007

(3)

TANDA-TANDA DALAM UPACARA PERKAWINAN

BATAK TOBA

(Tinjauan Semiotika)

OLEH:

NELLI LORISKA L. GAOL

ABSTRAK

(4)

PRAKATA

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunian-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Drs. Syaefuddin, M.A., Ph.D. sebagai Dekan Fakultas Sastra USU.

2. Bapak Drs. Parlaungan Ritonga, M.Hum. sebagai Ketua Departemen Sastra Indonesia USU dan sekaligus sebagai pembimbing I, yang telah sabar memberikan bimbingan, dorongan, dan dukungan selama penyelesaian skripsi ini.

3. Ibu Dra. Mascahaya, M.Hum. sebagai sekretaris Departemen Sastra Indonesia

USU.

4. Bapak Prof. Ahmad Samin Siregar, S.S. sebagai dosen wali, yang telah sabar memberikan bimbingan, dorongan, dan dukungan selama penulis kuliah.

5. Bapak dan Ibu Staf Pengajar Departemen Sastra Indonesia USU, yang telah memberikan bimbingan dan pengajaran selama penulis kuliah.

6. Kakak Fitri, yang telah membantu penulis dalam hal administrasi di Departemen Sastra Indonesia USU.

7. Semua narasumber yang telah membantu penulis dalam pengumpulan data. 8. Kedua orang tua penulis yang sangat penulis sayangi, Ayahanda B. Lumban Gaol

(5)

9. Abang Marjon yang telah banyak memberikan dukungan selama penulis kuliah dan buat adik-adikku yaitu Sartika, Jupar, Sulastri, Dorlina, Radiman, Lorince, Riwanto, Erdina, dan Rintar (Si Pudan) yang telah memberikan semangat selama penyelesaian skripsi ini.

10. Teman-teman stambuk 2003, khususnya Barnadis, Mc, dan lain-lain semoga kita

tetap kompak walau di mana pun kita berada.

11. Teman-teman di kost yang menjadi sahabat dekatku Mimin, Yuyun , Mega, dan

Roy ganteng ambillah segi positif dari persahabatan kita karena tiada kata yang dapat melukiskan indahnya persahabatan kita selama ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dari skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun.

Akhirnya, penulis berharap skripsi ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan pembaca, baik di bidang linguistik maupun sastra.

Medan, Agustus 2007 Penulis,

(6)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

PRAKATA ... iii

DAFTAR ISI... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang dan Masalah ... 1

1.1.1 Latar Belakang ... 1

1.1.2 Masalah ... 5

1.1.3 Batasan Masalah ... 6

1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

1.2.1 Tujuan Penelitian ... 6

1.2.2 Manfaat Penelitian ... 6

1.3 Metode dan Teknik Penelitian ... 7

1.3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 7

1.3.2 Metode dan Teknik Pengkajian Data ... 8

1.4 Landasan Teori ... 11

1.4.1 Semiotika ... 14

1.4.2 Tanda ... 14

(7)

1.4.4 Makna ... 15

BAB II TANDA-TANDA DALAM UPACARA PERKAWINAN BATAK TOBA 2.1 Jenis tanda-tanda dalam upacara perkawinan Batak Toba ... 19

2.1.1 Simbol ... 19

2.1.2 Indeks... 23

2.1.3 Ikon ... 25

2.2 Makna tanda-tanda dalam upacara perkawinan Batak Toba ... 28

2.2.1 Makna Ritual dan Sakral ... 29

2.2.2 Makna Sosial ... 30

2.2.3 Makna Komunikasi ... 31

2.2.4 Makna Permohonan dan Harapan ... 33

2.2.5 Makna Keagungan dan Kehormatan ... 35

2.2.6 Makna Etika dan Kesopanan ... 36

BAB III SIMPULAN DAN SARAN ... 38

3.1 Simpulan ... 39

3.2 Saran ... 40

DAFTAR INFORMAN ... 41

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang dan Masalah

1.1.1. Latar Belakang

Indonesia terdiri dari berbagai etnik (suku) yang memiliki budaya yang berbeda-beda. Perbedaan itu tidak lepas dari kondisi letak geografis suatu suku dan aturan yang berlaku dalam daerah itu. Salah satu etnik (suku) tersebut adalah Batak Toba yang berdomisili di Kabupaten Humbang Hasundutan, yang tersebar di beberapa kecamatan, yaitu Dolok Sanggul, Siborongborong, Lintong Ni Huta, Pollung, Si Pitu Huta, Huta Julu, Huta Paung, Parsingguran, Ria-Ria, Si Batu-Batu, Purba, Parlilitan, dan desa-desa kecil lainnya. Soebono ( Ritonga, 1991 : 1 ) menyatakan kita tidak mungkin mengabaikan kebudayaan-kebudayaan setempat, yaitu kebudayaan tiap-tiap suku bangsa atau daerah. Oleh karena itu, tiap-tiap kelompok etnik (suku) mempunyai kebudayaan sendiri.

(9)

berbudaya itu adalah masyarakat Batak Toba. Masyarakat Batak Toba memiliki kebudayaan berupa adat-istiadat yang perlu dilindungi dan dipertahankan. Pada upacara adat-istiadat tersebut, kehadiran tanda-tanda yang berupa benda sangat penting.

Adat-istiadat adalah suatu pelaksanaan upacara yang dilaksanakan untuk keperluan tertentu yang mengandung nilai, aturan dan norma-norma yang harus dipatuhi oleh masyarakat yang menganutnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adat-istiadat adalah (1) aturan (perbuatan) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala; menurut suku Batak Toba laki-lakilah yang berhak sebagai ahli waris; (2) wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan-aturan yang satu dengan yang lainnya berkaitan menjadi satu sistem. Sebagai contoh, masyarakat Batak Toba memiliki adat-istiadat perkawinan sebagai suatu tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang dari generasi ke generasi, yaitu upacara yang dilakukan untuk membuat sebuah ikatan sosial dan ikatan kekeluargaan. Pada upacara perkawinan tersebut banyak digunakan tanda berupa simbol yang mempunyai makna dan fungsi yang sangat penting. Bentuk tanda-tanda tersebut bertujuan untuk menyampaikan informasi, permohonan, dan hasil pemikiran seseorang. Dalam penelitian ini akan dijelaskan jenis dan makna simbolik dari tanda-tanda yang terdapat pada upacara perkawinan Batak Toba.

Terbentuknya adat-istiadat perkawinan Batak Toba ini merupakan kesepakatan dan menjadi suatu ikatan sosisal dalam membentuk rasa kebersamaan dan persaudaraan. Menurut T. M. Sihombing, upacara perkawinan Batak Toba dapat dilakukan melalui berbagai tahap, yaitu:

(10)

2. ”Marhusip” melamar yaitu pihak laki-laki melamar perempuan yang akan menjadi bagian dari keluarga mereka;

3. “Martumpol” tunangan yaitu antara kedua calon mempelai sepakat atau mengikat

janji untuk menempuh jalan sehidup semati;

4. ”Pamasu-masuon” pemberkatan yaitu acara pemberkatan kedua mempelai di gereja

yang dipimpin oleh pendeta dan pada saat itu mereka bukan lagi dua tetapi mereka sudah menjadi satu yang telah dipersatukan oleh Tuhan dan tidak bisa dipisahkan manusia, perkenalan seluruh saudara antara pihak laki-laki dan perempuan;

5. “Mangadati”, pada tahap inilah orang tua perempuan serta semua pihak keluarga

memberikan hadiah pernikahan pada anak dan menantunya yang sekaligus puncak dari upacara perkawinan pada masyarakat Batak Toba, dan yang terakhir ialah pembagian harta atau warisan; dan

6. “Maningkir tangga” yaitu orang tua laki-laki akan memberikan warisan kepada

mempelai yang baru baik berupa harta maupun benda.

Setiap rentetan acara tersebut merupakan upacara yang sakral dan mengandung nilai-nilai yang menjadi pegangan bagi kedua mempelai.

Bagi masyarakat Batak Toba, serangkaian upacara perkawinan tersebut tidak terlepas dari kehidupan sehari-hari. Pada upacara tersebut akan diketahui sistem kekerabatan antara yang satu dengan yang lainya (Dalihan Na Tolu). Misalnya, apa tutur (sistem kekerabatan) yang diucapkan kepada orang yang lebih tua dalam ikatan semarga dan tutur kepada keluarga dari pihak laki-laki maupun perempuan.

(11)

Penelitian terdahulu tentang tanda-tanda sudah pernah dilakukan oleh Parlaungan Ritonga, (1997) dalam bukunya berjudul “ Makna Simbolik dalam Upacara Mangupa Masyarakat Angkola Sipirok di Tapanuli Selatan ”. Penelitian ini membahas tentang proses pelaksanaan upacara mangupa dan makna simbol yang mengandung makna suatu permintaan atau doa yang ditujukan kepada kedua mempelai. Kemudian Petty Angela Hasibuan (2003) meneliti tentang “ Rumah Adat Mandailing dengan Kajian Semiotik ”. Penelitian ini membahas tentang bentuk, fungsi, dan simbolik dari rumah adat Mandailing. Rumah adat Mandailing memiliki bentuk-bentuk yang mempunyai fungsi dan makna yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat Mandailing. Matius Tarigan (2003) meneliti tentang “Ragam Hias Rumah Adat Karo suatu Kajian Semiotik”. Penelitian ini membahas tentang bentuk dan makna dari ragam hias rumah adat Karo. Bentuk ragam hias bermotif geometris, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan sebagian tubuh manusia. Makna ragam hias rumah adat Karo yaitu makna ritual dan sakral, makna simbolik keamanan, makna simbolik komunikasi, makna simbolik sosial, dan makna simbolik etika.

(12)

tanda tersebut serta dapat menumbuhkan sikap kepedulian terhadap tanda yang merupakan ciri khas bagi kebudayaan masyarakat Batak Toba.

Dalam upacara perkawinan Batak Toba banyak dijumpai bentuk benda yang mempunyai arti. Setiap posisi atau letak dari benda tersebut mempunyai makna. Hegel (dalam Pettinasary,1996:2) menegaskan bahwa:

Sebuah tanda seharusnya ditempatkan pada suatu posisi, supaya dapat menghasilkan makna yang kemudian dapat membentuk suatu gambaran mengenai suatu benda yang mempunyai makna tambahan dan demikian halnya dengan pesan yang ingin disampaikan melalui suatu tanda atau simbol.

Tanda-tanda dalam upacara perkawinan Batak Toba tidak terlepas dari makna. Tanda-tanda yang ada dalam upacara perkawinan Batak Toba memiliki fungsi sebagai cerminan kepribadian masyarakat Batak Toba. Masyarakat Batak Toba diharapkan tetap menjaga segala bentuk, aturan, dan kegunaan tanda-tanda sehingga tatanan adat-istiadat Batak Toba tetap berlanjut. Hal itulah yang mendorong peneliti mengadakan penelitian tanda-tanda dalam upacara perkawinan Batak Toba.

1.1.2 Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Apa sajakah jenis tanda-tanda yang terdapat dalam upacara perkawinan Batak Toba ?

2. Apakah makna dari tanda-tanda yang terdapat dalam upacara perkawinan Batak

(13)

1.2 Batasan Masalah

Dalam upacara perkawinan Batak Toba ditemukan tanda-tanda yang merupakan syarat sekaligus tradisi yang sudah diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Tanda tersebut ada yang berupa gerakan dan berupa benda yang memiliki makna. Sesuai dengan permasalahan yang ada, penelitian ini dibatasi pada tanda-tanda berupa benda yang memiliki makna yang ada dalam upacara perkawinan Batak Toba yang ada di Dolok Sanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan.

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. mendeskripsikan tanda-tanda berupa benda yang ada dalam upacara perkawinan Batak Toba, dan

2. menjelaskan makna dari tanda berupa benda-benda yang terdapat dalam upacara

perkawinan Batak Toba.

1.3.2 Manfaat Penelitian

(14)

1. menambah wawasan dan pengetahuan masyarakat, khususnya generasi muda mengenai makna dari tanda-tanda yang ada dalam upacara perkawinan Batak Toba,

2. menjadi acuan dan masukan bagi peneliti lain yang ingin meneliti tanda-tanda yang ada dalam upacara perkawinan, dan

3. upaya mempertahankan makna dari tanda-tanda yang ada pada upacara perkawinan Batak Toba.

1.4Metode dan Teknik Penelitian

1.4.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Data utama dalam penelitian ini adalah data lisan yaitu berupa informasi tentang makna simbolik tanda-tanda dalam upacara perkawinan Batak Toba. Metode yang digunakan adalah metode cakap atau percakapan langsung dengan penutur selaku narasumber (Sudaryanto, 1993:137). Kemudian, metode ini dikembangkan dengan teknik pancing sebagai teknik dasar. Dalam teknik pancing narasumber dipancing berbicara untuk mendapatkan data. Selain itu, teknik cakap semuka juga dilakukan sebagai teknik lanjutan. Dalam teknik cakap semuka peneliti mengarahkan dan mengendalikan pembicaraan sehingga peneliti dapat memperoleh data selengkapnya.

Peranan narasumber sangat menentukan keakuratan data yang diperolrh peneliti. Untuk mendapat hasil yang baik, narasumber tersebut harus benar-benar mengetahui kebudayaannya. Pemilihan narasumber didasarkan pada persyaratan-persyaratan berikut:

(15)

3. Berusia antara 30-70 tahun;

4. Memiliki kebanggan terhadap kebudayaannya;

5. Pengetua adat, yang mengetahui dengan jelas tentang seluk-beluk adat-istiadat; 6. Mempunyai ketertarikan di dalam penelitian mengenai kebudayaan ; dan

7. Sehat jasmani (tidak cacat berbahasa dan memiliki pendengaran yang baik) dan

rohani (tidak gila atau pikun) (Mahsun, 1995).

Selain metode dan teknik di atas, dalam penelitian ini peneliti menggunakan alat bantu berupa kamera atau poto untuk memperoleh data berupa gambar dari tanda-tanda yang berhubungan dengan upacara perkawinan Batak Toba.

1.4.2 Metode dan Teknik Pengkajian Data

(16)

Gambar 1. Ulos Batak

(17)
(18)

Gambar 2. Sipir ni Tondi

Beras ‘boras’ dalam upacara perkawinan Batak Toba dikatakan juga sipir ni tondi. Dikatakan sipir ni tondi karena beras tersebut merupakan tanda yang melambangkan kekuatan dan alat untuk memberkati pengantin agar rohnya ‘tondi’ dalam membangun rumah tangga yang baru tetap kuat. Salah satu prosesnya ialah beras tersebut dibuat di atas kepala mempelai dengan maksud agar jiwa dan roh kedua mempelai tersebut tetap kuat seperti biji beras itu. Boras ‘sipir ni tondi’ termasuk suatu tanda dalam upacara pekawinan Batak Toba.

(19)

Penelitian ini menggunakan teori semiotik. Hal ini didasarkan pada semiotik yang menguraikan suatu bentuk yang mempunyai suatu petanda dan mengandung bahasa atau makna tersendiri. Tanda tersebut merupakan sarana atau alat yang digunakan untuk menyampaikan maksud dan tujuan pemberi tanda kepada orang lain.

1.5.1 Semiotik

Semiotik berasal dari bahasa Yunani yaitu semion yang berarti “tanda”. Dalam perkembangan semiotika modern, muncul dua ahli yang menjadi pelopor, yaitu

Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan Charles Sanders Peirce (1839-1914).

Menurut Ferdinan de Saussure semiotika adalah ilmu tanda. Ferdinand de Saussure mengembangkan dasar-dasar teori linguistik umum dan ia mengatakan bahwa bahasa sebagai sistem tanda, yang masing-masing terdiri atas dua sisi, yaitu signifian (penanda atau sesuatu yang dapat dipersepsi sebagai tanda) dan signifie (petanda atau isi atau makna tanda itu). Ia mengatakan bahwa teori tentang tanda linguistik perlu mendapatkan tempatnya dalam sebuah teori yang lebih umum.

(20)

Lebih jelasnya untuk mempermudah mengkaji sebuah tanda yang ada di dalam masyarakat Pierce (dalam Sobur, 2003:42) membagi tanda atas tiga bagian yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah hubungan antara tanda dan acuanya berupa hubungan kemiripan. Misalnya, sebuah peta geografis dengan sebuah potret. Indeks adalah hubungan tanda dengan acuannya karena adanya hubungan sebab akibat. Misalnya, asap berarti api karena api umumnya penyebab asap. Simbol adalah hubungan antara tanda dan konsepnya bersifat arbitrer dan konvensional. Misalnya, anggukan kepala yang menandakan persetujuan dan tanda kebahasaan.

Dari dua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa Peirce memandang semiotika sebagai tanda pada umumnya dan segala sesuatu bisa menjadi tanda. Saussure juga memandang semiotika sebagai ilmu tanda, tetapi ia mengatakan bahwa bahasa sebagai sistem tanda yang utama.

(21)

memungkinkan kita memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sebagai suatu yang bermakna.

Jadi, sesuai dengan hipotesis bahwa semiotik mengkaji semua proses kebudayaan sebagai proses komunikasi serta merupakan suatu studi yang mempelajari tentang tanda dan lambang yang mempunyai makna sesuai dengan pemahaman si pengirim dan si penerima.

Penelitian ini lebih menitikberatkan kepada semiotik komunikasi. Ferdinand de Saussure berpendapat semiotik komunikasi adalah tanda sebagai bagian dari proses komunikasi. Artinya, dikatakan tanda adalah apabila seorang pengirim menyampaikan sesuatu maksud dengan menggunakan kode atau benda kepada penerima dan penerima mengerti apa yang disampaikan oleh pengirim. Oleh karena itu, setiap tanda memberi makna atau informasi apa saja yang terkandung di dalamnya.

1.5.2 Tanda

Menurut Ferdinand de Saussure, tanda adalah suatu atau sesuatu yang dapat menandai atau mewakili ide, pikiran, perasaan, benda, dan tindakan secara langsung dan alamiah.

(22)

masyarakat setempat cepat memahami dan menafsirkan apa yang disampaikan oleh tanda tersebut. Pada dasarnya tanda bertujuan untuk menyederhanakan buah pikiran atau ide-ide untuk mempermudah komunikasi yang di dalamnya terkandung arti, nilai-nilai atau maksud tertentu. Tanda dapat dibagi kedalam tiga bagian yaitu simbol, indeks, dan ikon.

1.5.3 Bahasa Simbolik

Kata simbol berasal dari bahasa Yunani yaitu symbolos yang berarti tanda yang memberitahukan sesuatu kepada seseorang. Menurut Herusatoto (Tarigan 2003:17), bahwa kebudayaan terdiri atas gagasan-gagasan, simbol-simbol, dan nilai-nilai sebagai hasil karya dan perilaku manusia. Herusatoto menandaskan bahwa manusia itu tidak pernah melihat, menemukan, dan mengenal dunia secara langsung, tetapi melalui berbagai simbol. Simbol merupakan wahana yang mempunyai arti tertentu yang lebih luas dari apa yang tampil atau terlihat secara nyata. Simbol mewujudkan komunikasi hanya dengan pengamat yang mengetahui artinya. Simbol yang wujudnya tidak mirip sama sekali dengan arti yang dimaksudkan harus dipelajari untuk dikenal.

1.5.4 Makna

Ferdinan de Saussure mengatakan bahwa tanda memiliki dua entitas yaitu ‘signifier dan signified’ atau ‘tanda dan makna’ atau ‘penanda dan tanda’. Keduanya saling berkaitan satu sama lain. Kombinasi keduanya dalam semiotika disebut tanda. Istilah tanda dapat pula diidentikkan dengan bentuk yang mempunyai makna.

(23)

Sebagaimana dikemukakan oleh Peirce (dalam Sudjiman, 1992:7) makna tanda sebenarnya adalah mengemukakan sesuatu, yang disebut dengan istilah representamen. Apa yang dikemukakan oleh tanda, apa yang diacunya, apa yang ditunjuknya, Peirce menyebutnya sebagai objek. Geoffery Broadbent (dalam Dolok Lubis, 2000:17) berpendapat bahwa semiotik adalah teori mengenai suatu makna yang dapat ditangkap dari suatu jenis tanda. Arti dan makna dari tanda-tanda itu sudah ada sejak zaman dahulu kala.

Teori semantik juga merupakan salah satu teori yang digunakan dalam penelitian ini. Tidak semiotika tanpa semantik (Sobur, 2004 : 144). Semantik adalah bidang linguistik yang mempelajari tanda dengan yang ditandainya (Chaer, 1995 :2).

Menurut Matius Tarigan (2003), ada tujuh makna simbolik pada rumah adat Karo, yaitu: (1) makna simbolik ritual dan sakral, (2) makna simbolik keamanan, (3) makna simbolik etika, (4) makna simbolik komunikasi, (5) makna simbolik sosial, (6) makna simbolik keagungan, dan (7) makna simbolik konstekstual. Dari ketujuh makna di atas ada beberapa makna yang berhubungan dengan tanda pada upacara perkawinan Batak Toba.

BAB II

(24)

Bagi masyarakat Batak Toba, prinsip tatanan kehidupan tidak terlepas dari upacara perkawinan masyarakat setempat. Upacara perkawinan tersebut menunjukkan suatu kepribadian yang tinggi dalam hubunganya dengan perilaku adat-istiadat maupun perilaku hubungan sosial antar keluarga dan hubungan sesama warga masyarakat.

Perilaku yang diperlihatkan oleh masyarakat Batak Toba dalam kehidupan sehari-hari, tidak terlepas dari sistem kekerabatan antara yang satu dengan yang lainya (Dalihan Na Tolu) yang berlaku di antara hubungan keluarga semarga ataupun marga lainnya. Misalnya, apa tutur (sistem kekerabatan) yang diucapkan kepada orang yang lebih tua dalam ikatan semarga dan tutur kepada keluarga dari pihak laki-laki maupun perempuan. Dengan adanya sistem kekerabatan yang berbeda, maka tanda yang diterima atau diberikan kepada mempelai dan keluarga mempelai berbeda. Setiap tanda tersebut mengandung makna yang berbeda pula. Misalnya, ulos yang diberikan oleh orang tua laki-laki kepada kedua mempelai dan kepada orang tua perempuan mengandung makna yang berbeda. Ulos yang diberikan kepada kedua mempelai merupakan tanda yang digunakan sebagai alat untuk menyampaikan berkat atau doa-doa agar kedua mempelai tersebut tetap utuh dan kuat dalam membina rumah tangga yang baru, sedangkan ulos yang diterima oleh orang tua perempuan mengandung makna agar mereka mulai saat itu menjadi satu keluarga yang siap membantu antara yang satu dengan yang lain.

(25)

tanda-tanda tersebut mengandung makna yang sangat dalam dan dapat diterima oleh setiap kelompok masyarakat.

Adat-istiadat dalam masyarakat Batak Toba tidak terlepas dari kehidupan masyarakat setempat. Adat-istiadat Batak Toba adalah suatu pelaksanaan upacara yang dilaksanakan untuk keperluan tertentu yang mengandung nilai, aturan dan norma-norma yang harus dipatuhi oleh masyarakat yang menganutnya. Sebagai contoh, masyarakat Batak Toba memiliki adat-istiadat perkawinan sebagai suatu tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang dari generasi ke generasi, yaitu upacara yang dilakukan untuk membuat sebuah ikatan sosial dan ikatan kekeluargaan.

Pada upacara perkawinan Batak Toba banyak digunakan tanda-tanda yang mempunyai makna dan fungsi yang sangat penting. Adapun tanda-tanda tersebut ialah ulos Batak, ikan mas ’dekke si mundur-undur’, uang ‘hepeng’, beras ’boras sipir ni tondi’, nasi ‘indahan na las’, air putih ‘aek sitio-tio’, sirih ‘napuran’, pinggan, daun pisang ‘bulung ni pisang’, pisang ‘pisang sitonggi-tonggi’, sarung ‘mandar hela’, dan daging babi ’jambar’. Tanda-tanda tersebut bertujuan untuk menyampaikan informasi, permohonan, dan hasil pemikiran seseorang kepada orang yang akan menerima tanda tersebut. Kehadiran tanda-tanda tersebut sangat mempengaruhi berlangsungnya upacara perkawinan dengan baik sehingga tercipta upacara yang sakral.

2.1 Jenis Tanda-Tanda dalam Upacara Perkawinan Batak Toba

(26)

Bentuk-bentuk tanda yang terdapat dalam upacara perkawinan Batak Toba tersebut akan dijelaskan berdasarkan hubungan signifian (penanda atau sesuatu yang dapat dipersepsi sebagai tanda) dan signifie (petanda atau isi atau makna tanda itu). Berdasarkan hubungan tersebut Peirce (dalam Sobur, 2003:42) membagi adanya tiga bentuk tanda, yaitu:

2.1.1 Simbol

Simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan antara tanda dan petandanya. Simbol merupakan suatu tanda yang dapat melambangkan atau mewakili sesuatu benda lain secara arbitrer dan konvensional (berdasarkan kesepakatan umum), Pierce (dalam Sobur, 2003:42). Misalnya, anggukan kepala yang menandakan persetujuan dan tanda kebahasaan pada masyarakat tertentu tetapi pada masyarakat lain dapat berbeda. Dalam upacara perkawinan Batak Toba terdapat dua belas tanda, antara lain ulos sitorop rambu, dekke simundur-undur, boras sipir ni tondi, hepeng ’tuhor’, indahan na las, aek sitio-tio,

napuran, pinggan na hot, pisang sitonggi-tonggi, jagal ’jambar’, bulung pisang, dan mandar hela.

(27)

1. ulos sitorop rambu

Ulos adalah hasil karya menusia yang merupakan simbol kultural masyarakat Batak Toba. Ulos adalah kain hasil tenunan dengan bermacam pola dan digunakan pada saat perkawinan Batak Toba. Bentuk ulos seperti selendang namun bahan dan coraknya berbeda. Ulos adalah bentuk simbol yang terdiri dari tiga bagian, yaitu:

• bagian tengah yaitu badan ulos yang mempunyai warna dan corak yang berbeda. • bagian ujung yaitu rambu-rambu yang terdapat di pinggir ulos pada sisi lebarnya,

dan

• sirat yaitu hiasan yang berada di antara badan ulos dan rambu.

Sirat dan rambu berada pada kedua sisi lebar badan ulos. Bagian tengah merupakan bagian yang paling inti, dianggap sebagai orang tua dan mempelai, sedangkan bagian ujung merupakan simbol dari cucu / keturunan dari mempelai dan orang tua memepelai.

Jadi, ulos dalam upacara perkawinan Batak Toba adalah sebagai simbol kasih sayang, keturunan, dan penyejuk untuk kedua mempelai dalam membangun keluarga yang baru.

2. dekke mas ’dengke simundur-undur’

Dekke mas merupakan simbol yang menggambarkan pasangan kedua mempelai.

(28)

beriringan dalam menjalani hidup. Pemberian ikan tersebut hitungannya harus ganjil, yaitu 1, 3, 5, dan seterusnya. Orang Batak dahulu kala selalu berpegang teguh pada kesaktian bilangan-bilangan ganjil.

Bilangan 1 merupakan simbol persatuan dan kesatuan dalam segala hal, baik dalam hal kekuatan, kerukunan, dan kesehatan.

Bilangan 3 merupakan simbol kesaktian.

Bilangan 5 merupakan kesempurnaan pancaindera yang berjumlah lima dan jari-jari tangan dan kaki yang berjumlah lima. Demikian juga doa dan harapan dari orang tua mempelai sehingga anak mereka kedepan tetap sempurna secara fisik dan mental.

Bilangan 7 merupakan kesempurnaan. Bilangan 13 merupakan simbol nasib.

Jadi, pemberian dekke mas yang dilakukan oleh orang tua mempelai selalu ganjil sebagaimana makna dari setiap ikan tersebut.

3. napuran

Napuran merupakan tanda yang digunakan dalam upacara perkawinan Batak

Toba. Napuaran tersebut terdiri dari beberapa helai daun sirih yang dibuat di atas

pinggan na hot. Adapun warna dari napuran tersebut adalah hijau yang melambangkan

(29)

mempunyai makna, namun dalam upacara perkawinan Batak Toba napuran tersebut memiliki makna.

2.1.2 Indeks

Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan antara tanda dengan petanda yang bersifat kausal atau berhubungan sebab akibat, atau tanda yang dapat menunjukkan sesuatu benda lain, Pierce (dalam Sobur, 2003:42). Misalnya, asap menunjukkan adanya api karena umumnya penyebab asap adalah api.

Adapun tanda indeks yang dapat ditemukan dalam tanda-tanda adat-istiadat perkawinan Batak Toba adalah sebagai berikut:

1. hepeng /tuhor

Hepeng /tuhor adalah alat tukar yang digunakan oleh masyarakat. Bentuk, ukuran, dan nilai dari hepeng tersebut berbeda-beda. Ada yang terbuat dari kertas dan ada juga yang terbuat dari logam. Dalam upacara perkawinan Batak Toba, pada saat upacara penyerahanya kepada orang tua mempelai perempuan, hepeng /tuhor diletakkan di atas

painggan na hot. Dengan memberikan hepeng /tuhor tergantung dengan persetujuan

kedua belah pihak, anak perempuan tersebut sudah menjadi bagian dari keluarga pihak laki-laki. Hepeng tersebut menunjukkan adanya hubungan sebab akibat yang terjadi antara kedua belah pihak sehingga terlaksananya upacara perkawinan Batak Toba.

(30)

Mandar hela adalah sehelai kain yang digunakan untuk menutupi bagian tubuh. Pada adat-istiadat Batak Toba, pihak laki-laki selalu disarankan supaya menggunakan sarung ’mandar’ sehingga kelihatan lebih sopan. Mandar hela yang diberikan pada mempelai laki-laki adalah mandar pilihan, mutunya bagus dan harganya mahal. Hal itu dilakukan karena masyarakat Batak Toba tidak ingin membuat menantu mereka kecewa pada saat yang berbahagia itu. Mandar tersebut akan selalu digunakan oleh mempelai laki-laki dalam mengikuti adat-istiadat yang berlaku pada masyarakat Batak Toba.

Fungsi pemberian mandar hela dalam upacara perkawinan Batak Toba adalah sebagai salah satu sarana untuk memberitahukan adat-istiadat Batak Toba yang sebenarnya kepada memepelai laki-laki. Sehingga mempelai laki-laki akan menjalankan tugasnya sebagai kepala rumah tangga yang baik.

3. cincin

Cincin merupakan indeks dalam upacara perkawinan Batak Toba. Adapun cincin

dalam upacara perkawinan Batak Toba ialah benda yang berbentuk lingkaran yang terbuat dari emas dengan bentuk dan ukuran yang berbeda. Cincin dibuat di dalam kotak yang indah dan bagus.

(31)

perkawinan Batak Toba, cincin merupakan salah satu syarat untuk berlangsungnya upacara perkawinan.

2.1.3 Ikon

Ikon adalah hubungan antara tanda dan acuannya berupa hubungan kemiripan, tanda yang hubungannya dengan petanda bersifat persamaan bentuk alamiah atau tanda yang menggambarkan persamaan bentuk, Pierce (dalam Sobur, 2003:42). Misalnya, sebuah peta geografis dengan sebuah potret.

Adapun bentuk tanda ikon dalam upacara perkawinan Batak Toba, yaitu:

1. aek sitio-tio

Aek sitio-tio merupakan ikon. Tanda aek sitio-tio adalah suatu cairan yang sangat jernih dan bertujuan untuk menghilangkan rasa haus sehingga tetap semangat dalam melanjutkan aktivitas. Dari warna aek sitio-tio yang bening melambangkan bahwa pernikahan itu suci. Dalam upacara perkawinan Batak Toba, aek sitio-tio diisi ke dalam cangkir mempelai dan undangan sampai penuh. Aek sitio-tio dilambangkan dengan masa depan mempelai. Mengisi cangkir dengan penuh diyakini sebagai berkat yang berkelimpahan. Sehingga mereka akan memperoleh masa depan yang cerah dan rejeki yang bagus dalam kehidupannya.

(32)

Beras ‘boras’ dalam upacara perkawinan Batak Toba dikatakan juga sipir ni tondi. Boras ’sipir ni tondi’ adalah biji-bijian yang sangat kuat ’pir’dan keras. Bentuknya lonjong, ukurannya kecil, dan warnanya ada yang merah dan putih. Dalam kehidupan sehari-hari beras digunakan sebagai makanan pokok oleh masyarakat. Dalam upacara perkawinan masyarakat Batak Toba, boras diletakkan di dalam pinggan. Kemudian boras tersebut ditabur di atas kepala kedua mempelai. Hal ini dilakukan oleh semua anggota keluarga mempelai. Dengan menabur boras tersebut, jiwa ’tondi’ mereka telah diberkati dan mereka menjadi berkat bagi semua orang, sebagaimana fungsi beras tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

3. pisang sitonggi-tonggi

Pisang sitonggi-tonggi adalah suatu makanan yang dilapisi dengan kulit yang tebal, lembut dan rasanya manis. Dalam upacara perkawinan Batak Toba, Pisang

sitonggi-tonggi akan dibagikan kepada semua masyarakat yang hadir pada upacara

tersebut. Seoerti manisnya rasa pisang tersebut, hendaknya begitu pulalah kehidupan mereka dalam membangun rumah tangga yang baru. Mereka tetap terlindungi dari masalah-masalah sebagaimana biji pisang tersebut. Jadi, bentuk ikon pisang sitonggi-tonggi tersebut merupakan lambang adat-istiadat bagi masyarakat Batak Toba.

4. pinggan na hot

Pinggan na hot merupakan ikon yang berbentuk bumi tempat manusia hidup dan

(33)

yang maknanya berupa doa, pengaharapan, dan tanda yang melambangkan persaudaraan, seperti boras sipirni tondi, dekke mas, napuran, hepeng /tuhor, dan tanda-tanda lainya.

Pinggan na hot melambangkan berlangsungnya semua aktivitas mempelai dan

merupakan tempat mempelai mengadu kepada penciptanya.

5. bulung pisang

Bulung pisang adalah helaian daun pisang yang masih muda, halus, dan dingin. Pada kenyataanya makanan harus dialasi dengan alat atau benda tertentu, sehingga terhindar dari berbagai penyakit. Demikian halnya dengan adat-istiadat masyarakat Batak Toba, dalam pemberian tanda (pemberian jambar dan dekke mas) kepada pihak lain digunakan bulung pisang sebagai alasnya. Bulung pisang tersebut adalah alat untuk minta maaf apabila ada kesalahan-kesalahan di antara kedua belah pihak selama upacara pernikahan berlangsung.

6. jambar ’juhut’

Jambar ’juhut’ merupakan ikon. Jambar dikatakan ikon karena pembagian

(34)

Melalui pembagian jambar, hubungan kekeluargaan mereka akan semakin jelas.

Jambar merupakan suatu perlengkapan yang harus ada dalam upacara perkawinan Batak

Toba.

2.2 Makna Tanda dalam Upacara Perkawinan Batak Toba

Budaya merupakan keterampilan suatu kelompok untuk mengenali, menginterpretasikan, dan memproduksi tanda dengan cara yang sama. Budaya dapat diartikan sebagai suatu keseluruhan kebiasaan semiotis yang saling terkait.

Manusia adalah mahluk yang berbudaya dan budaya tersebut mengandung makna yang sangat dalam yang berhubungan erat dengan cara hidup masyarakat setempat. Masyarakat Batak Toba adalah masyarakat yang berbudaya. Salah satu budaya tersebut ialah adat-istiadat yang sudah diwariskan oleh nenek moyang kepada generasi berikutnya. Sebagai contoh ialah upacara perkawinan yang didalamnya terkandung nilai-nilai yang sakral dan suci.

(35)

salah satu syarat berlangsungnya upacara tersebut. Setiap tanda tersebut mengandung makna yang sangat kuat dan sakral. Tanda-tanda itu digunakan oleh setiap individu untuk mengutarakan maksud, harapan, ide, norma-norma, dan pemikiran setiap orang kepada kedua mempelai berdasarkan tempat tinggal mereka. Setiap tanda mengandung makna dan fungsi yang cukup kompleks yang terjalin kuat dengan masyarakat Batak Toba.

Menurut Sudjiman (1992) makna adalah adanya hubungan langsung dengan kenyataan atau referenya (acuanya). Suatu tanda selalu mengandung makna, itulah yang harus dipelajari untuk mengungkap apa yang ingin disampaikan dari suatu tanda. Makna yang terkandung dalam tanda tersebut merupakan harapan dari setiap individu yang menggunakan tanda tersebut. Adapun makna dari tanda yang terdapat dalam upacara perkawinan Batak Toba sebagai berikut.

2.2.1 Makna Ritual dan Sakral

Tanda-tanda adat-istiadat perkawinan Batak Toba merupakan bagian dari ritual religi dalam masyarakat Batak Toba, makna ritualnya suatu acara yang ditujukan kepada kedua mempelai dalam menjalani kehidupan berumah tangga. Hal ini menandakan bahwa suatu ikatan tersebut bukan hanya di depan masyarakat, tetapi di hadapan Tuhan sebagai penciptanya. Makna tanda ritual dan sakral dalam upacara perkawinan Batak Toba dapat dilihat dalam tanda berikut:

1. cincin

(36)

bahwa mereka sudah siap menjalani rumah tangga. Tukar cincin dilakukan supaya kedua mempelai mempunyai ikatan yang suci dan sakral yang tidak bisa dipisahkan oleh siapa pun kecuali kematian.

2. napuran

Napuran merupakan benda yang didalamnya terkandung makna sakral. Napuran

tersebut mempunyai makna bahwa dengan hati yang tulus tanpa ada kebohongan dan kepura-puraan, pihak hula-hula telah memberikan berkat dan janji kepada mempelai dihadapan Tuhan. Pemberian berkat melalui napuran merupakan suatu kepercayaan yang masih diterima oleh masyarakat pada saat upacara perkawinan Batak Toba.

3. aek sitio-tio

Aek s tio-tio merupakan tanda ketulusan hati. Aek sitio-tio dikatakan juga aek

sisada dai sebab pada umumnya air putih rasanya sama. Pada upacara perjamuan dalam

pesta perkawinan, masyarakat Batak Toba mengisi gelas minum pengantin dan tamunya penuh ’gok’ dengan tujuan agar pengantin dan tamu menerima kebahagian dan berkat yang penuh dari Tuhan.

(37)

2.2.2 Makna Sosial

Tanda dalam upacara perkawinan Batak Toba merupakan identitas sosial dalam keluarga serta masyarakat Batak Toba. Dikatakan makna sosial yang berarti adannya hubungan sosial antarmasyarakat. Hubungan itu terjalin dalam bentuk persaudaraan dan kekeluargaan yang erat.

Makna tanda sosial dalam upacara perkawinan Batak Toba terdapat dalam acara pembagian jambar. Pembagian jambar dalam upacara perkawinan Batak Toba dilakukan berdasarkan kedudukan dan hubungan kekeluargaan dengan orang yang berpesta ’suhut’. Pada upacara perkawinan Batak Toba, di antara tamu/ undangan masih ada yang belum saling mengenal. Maka tujuan membagi-bagi ’jambar’ dalam upacara perkawinan Batak Toba adalah untuk memperkenalkan kepada semua undangan yang semula tidak saling mengenal, sehingga nereka dapat menyimpulkan hubungan kekeluargaan antar yang satu dengan yang lain (Dalihan Na Tolu).

Hal ini dapat dilihat dari isi umpama Batak Toba berikut: Sinintak abit laho pasiding somot-somot

Binagi parjambaran laos patudu parsolhoton,

Artinya: pembagian jambar dilakukan dengan tujuan untuk memperkenalkan hubungan kekeluargaan antara suhut dengan undangan. Jadi, dalam upacara perkawinan tersebut akan saling mengenal satu sama lain dan memperluas hubungan kekeluargaan.

(38)

Makna tanda komunikasi dalam upacara perkawinan Batak Toba dapat dilihat dalam tanda-tanda berikut:

1. pinggan na hot

Pinggan na hot merupakan tumpuan atau tempat berkumpulnya segala tanda

yang didalamnya mengandung makna harapan dan doa. Pinggan na hot digunakan sebagai alat komunikasi untuk mengadu kepada Tuhan bahwa hubungan kekeluargaan antar kedua belah pihak tidak akan berubah lagi. Mereka akan menjadi keluarga yang saling tolong-menolong antara satu dengan yang lainya sampai selama-lamanya.

2. indahan na las

Komunikasi yang baik antara kedua belah pihak mempelai dapat mempererat tali persaudaraan. Indahan na las merupakan alat yang digunakan oleh kedua belah pihak untuk melakukan pertemuan sehingga komunikasi mereka tetap baik. Dalam upacara perkawinan Batak Toba, indahan na las juga digunakan sebagai alat untuk mempertemukan semua keluarga maupun undangan sebelum upacara dimulai.

3. bulung pisang

(39)

kekurangan selama upacara pernikahan berlangsung. Hal itu dapat dilihat dari filsafat Batak berikut:

”Lapik dohot bulung”

Artinya: apabila ada kekurangan dan kesalahan dalam tutur kata selama acara berlangsung supaya terlebih dahulu dimaafkan, sehingga tidak menimbulkan dendam atau perkelahian.

Jadi, bulung pisang merupakan tanda yang mempunyai makna komunikasi antara kedua belah pihak.

3.2.4 Makna Permohonan dan Harapan

Makna tanda adat-istiadat perkawinan merupakan suatu bagian dari permohonan dan harapan yang disampaikan melalui tanda-tanda yang ada adat-istiadat yang ditujukan kepada kedua mempelai. Makna tanda ritual tersebut dapat dilihat dalam tanda-tanda berikut:

1. ulos si torop rambu

Ulos si torop rambu dalam upacara perkawinan Batak Toba merupakan tanda

yang mempunyai makna permohonan dan harapan. makna permohonan dan harapan dari ulos si torop rambu tersebut ialah supaya pengantin baru tersebut diberikan keturunan oleh Tuhan dan supaya selalu memperhatikan filsafat-filsafat ’Dalihan Na Tolu’. Hal ini dapat dilihat dari fungsi ulos yang sebenarnya yaitu memberikan kehangatan bagi jiwa dan raga dari orang yang menerima ulos si torop rambu tersebut.

(40)

1. ulos yang diberikan oleh orang tua pengantin perempuan kepada orang tua pengantin laki-laki sebagai ’ulos panggonggom’. Ulos panggonggom mempunyai makna agarmenantunya tetap hidup rukun dan damai dengan orang tua pengantin laki-laki dan lingkungannya berkat pertolongan Tuhan.

2. ulos yang diberikan oleh orang tua pengantin perempuan untuk ’mangulosi’ orang tua pengantin laki-laki yang mempunyai makna penghormatan terhadap orang tua pengantin laki-laki, dan

3. ulos yang diberikan oleh orang tua laki-laki maupun orang tua perempuan kepada mempelai, yang bermakna kasih sayang dan doa restu dari orang tua mereka supaya mereka tetap langgeng sampai selama-lamanya.

2. boras ’sipir ni tondi’

Boras disebut juga sipir ni tondi, dalam upacara perkawinan Batak Toba adalah tanda yang melambangkan kekuatan. Boras ’sipir ni tondi’ ini digunakan sebagi alat untuk memberkati roh ’jiwa’ kedua mempelai agar mereka tetap kuat dalam membangun rumah tangga mereka dan menjadi penolong atau harapan bagi orang-orang di sekitarnya, sebagaimana kuatnya biji beras yang menjadi harapan dan sumber kehidupan bagi orang banyak.

3. pisang sitonggi-tonggi

Pisang sitonggi-tonggi mempunyai makna suatu pengharapan, sebagaimana

(41)

agar kehidupan kedua mempelai tetap manis dan bahagia. Pemberian pisang sitonggi-tonggi dilakukan sebagai tanda bahwa berkat sudah diterima dengan harapan kedepannya kehidupan mereka lebih baik.

4. dengke mas ’dengke simundur-undur’

Dengke simundur-undur mempunyai makna harapan dari orang tua mempelai

perempuan kepada kedua mempelai agar mereka selalu beriringan, sehati, dan sepikir dalam menjalankan roda rumah tangga mereka. Seperti sepasang ikan yang selalu beriringan dalam mencari makanan. Demikian halnya dengan dengke simundur-undur yang diberikan kepada mempelai supaya kedua mempelai tetap seia sekata dalam segala pekerjaan dan usaha menuju kebahagiaan dan kemakmuran, juga dengan saudara-saudaranya sehingga mereka tidak akan tergoyahkan oleh apa pun yang hendak menghalangi langkah mereka.

3.2.5 Makna Keagungan dan Kehormatan

(42)

Terlaksananya upacara perkawinan pada masyarakat Batak Toba karena adanya kesepakatan antara pihak laki-laki dan perempuan mengenai ’tuhor’ dari anak gadis mereka. Adapun makna dari hepeng ’tuhor’ tersebut ialah sebagai tanda bahwa pihak laki-laki telah sah meminang anak gadis dari pihak perempuan di hadapan masyarakat.

Pemberian hepeng ’tuhor’ dilakukan sebagi wujud penghormatan dari pihak laki-laki terhadap pihak perempuan. Dimana pihak laki-laki-laki-laki harus membagi sebagian dari harta mereka kepada pihak perempuan. Dengan adanya hepeng ’tuhor’ mereka akan membuat perkawinan itu lebih berat dan berharga sehingga dapat mencegah adanya perceraian. Dalam upacara perkawinan Batak Toba pembeli harus benar-benar menghormati pihak penjual. Dalam hal ini pihak perempuan harus menghormati pihak laki-laki sebagi ’hula-hulanya’ (orang tua dari isterinya). Jadi, hepeng dalam upacara perkawinan Batak Toba merupakan bentuk tanda kehormatan dari pihak mempelai laki-laki kepada pihak mempelai perempuan.

Dalam upacara perkawinan Batak Toba, ulos juga merupakan tanda kehormatan. Hal ini dapat dilihat dari pemberian ulos oleh orang tua pengantin perempuan kepada orang tua pengantin laki-laki.

3.2.6 Makna Etika dan Kesopanan

(43)

Makna tanda etika atau kesopanan dalam upacara perkawinan Batak Toba dapat dilihat dalam benda yang berupa tanda mandar hela. Tanda mandar hela dalam upacara perkawinan Batak Toba memiliki makna yang berhubungan dengan kehidupan bermasyarakat dan berumah tangga.

(44)

BAB III

SIMPULAN DAN SARAN

3.1 Simpulan

Kebudayaan adalah suatu keterampilan yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat untuk mengenali, menginterpretasikan dan memproduksi tanda-tanda dengan cara yang sama (Zoest, 1993:124). Salah satu masyarakat yang berbudaya itu adalah masyarakat Batak Toba. Masyarakat Batak Toba memiliki kebudayaan berupa adat-istiadat yang perlu dilindungi dan dipertahankan. Pada upacara adat-adat-istiadat tersebut, kehadiran tanda-tanda yang berupa benda sangat penting.

(45)

tanda-tanda tersebut bertujuan untuk menyampaikan informasi, permohonan, dan hasil pemikiran seseorang kepada orang lain.

Dalam upacara perkawinan Batak Toba terdapat dua belas tanda, antara lain ulos sitorop rambu, dekke simundur-undur, boras sipir ni tondi, hepeng ’tuhor’, indahan na

las, aek sitio-tio, napuran, pinggan na hot, pisang sitonggi-tonggi, jagal ’jambar’,

bulung pisang, dan mandar hela. Sesuai dengan permasalahan dalam penelitian tentang tanda-tanda dalam upacara perkawinan Batak Toba dapat disimpulkan bahwa, bentuk tanda dalam upacara perkawinan Batak Toba dijelaskan berdasarkan penanda (signifiant) dan petanda (signifie). Berdasarkan hubungan tersebut, tanda-tanda dalam upacara perkawinan Batak Toba dibagi ke dalam tiga bentuk, yaitu: simbol, indeks, dan ikon. Yang termasuk ke dalam simbol adalah ulos sitorop rambu, dengke mas, dan napuran, yang termasuk indeks adalah hepeng ’tuhor’, mandar hela, dan cincin, dan yang termasuk ikon adalah boras sipir ni tondi, indahan na las, aek sitio-tio, pinggan na hot, pisang sitonggi-tonggi, jagal ’jambar’, dan bulung pisang.

Makna dari tanda-tanda dalam upacara perkawinan Batak Toba mengandung enam makna, yaitu:

(1) makna ritual dan sakral, (2) makna sosial,

(3) makna komunikasi,

(46)

3.2 Saran

(47)

Lampiran

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Aturan Banjar Nahor Umur : 60 Tahun

Pekerjaan : Kepala Desa Pendidikan : SMU

Alamat : Desa Pollung

2 Nama : Junus Lumban Gaol Umur : 65 Tahun

Pekerjaan : Bertani Pendidikan : SMP

Alamat : Desa Lumban Siantar

3 Nama : Jaurupan Lumban Gaol Umur : 68 Tahun

(48)

Pendidikan : SD

Alamat : Desa Huta Baringin

4 Nama : Parnasip Banjar Nahor Umur : 70 Tahun

Pekerjaan : Bertani Pendidikan : SD

Alamat : Desa Pangkirapan

5. Nama : Robinson Lumban Gaol Umur : 55 Tahun

Pekerjaan : Wiraswasta Pendidikan : SMU

Alamat : Desa Pollung

6. Nama : Parsaoran Lumban Gaol Umur : 45 Tahun

Pekerjaan : Wiraswasta Pendidikan : SMU

Alamat : Desa Lumban Siantar

(49)

Umur : 40 Tahun Pekerjaan : Bertani Pendidikan : SMU

Alamat : Desa Sosor Nagugun

DATAR PUSTAKA

Angelia, Petty. 2003. Rumah Adat Mandailing ”Kajian Semiotik”, (Skripsi) Medan : Universitas Sumatera Utara.

Budiman, kris. 2003. Semiotka Visual. Yogyakarta : Buku Baik dan Yayasan Seni Cemeti.

Chaer, Abdul. 1995. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Chistomy, T. 2004. Semiotika Budaya. Depok : Pusat Penelelian Kemasyarakatan dan

Budaya Direktorat Diset dan Pengabdian Masyarakat Indonesia.

Lubis, Muhammad Dolok. 2000. Makna Simbolisme Bangunan serta Ornamen Rumah Daerah Mandailing. Medan : Universitas Sumatera Utara.

(50)

Pettinasarany, Sally. 1996. Dasar-Dasar Semiotika. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Ritonga, Parlaungan. 1997. Makna Simbolik dalam Upacara Adat Mangupa. Masyarakat Angkola – Sipirok di Tapanuli Selatan Medan : Universitas Sumatera Utara. Saussure, De Fersdinand. 1988. Pengantar Linguistik Umum. Yogyakarta. Gajah Mada

University Perss.

Sihombing, T. M. Dongan Tu Ulaon Adat. Medan : Tapian Raya Offset. Sobur, Alex. 2003. Semiotika Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Sudaryanto,. 1993. Metode dan Aneka Analisis Bahasa. Yogyakarta : Duta Wacana University Perss.

Sujidman, Panuti dan Art Van Zoes. 1992. Serba-Serbi Semiotika. Jakarta : Gramedia Pertaka Utama.

Gambar

Gambar 1. Ulos Batak
Gambar 2. Sipir ni Tondi

Referensi

Dokumen terkait

Gangguan yang terjadi pada sistem tenaga listrik akan dirasakan oleh rele. dengan bantuan trafo arus, kemudia rele memberi sinyal perintah trip

Berdasarkan hasil kajian yang penulis lakukan, menjadi tanggung jawab besar guru PAI di sekolah dalam mencanangkan konsep nilai yang ada pada pendidikan multikultural

The types of maxims used by Susilo Bambang Yudhoyono in his

4.3 kerugian kerusakan atau biaya yang disebabkan oleh tidak memadainya atau tidak sesuainya pembungkus atau penyiapan obyek yang diasuransikan (untuk keperluan Klausul 4.3 ini,

Penelitian ini bertujuan untuk mereduksi faktor, usia pubertas, pengetahuan, sikap, harga diri, media informasi, peran orang tua, dan peran teman sebaya, waktu luang, budaya,

2 Struktur Kepemilikan manajerial berpengaruh terhadap pemilihan prinsip konservatisme akuntansi pada laporan keuangan perusahaan yang terdaftar di BEI.. 3 Struktur

Khusus untuk kredit korporasi sektor infrastruktur melonjak pada tiga bulan pertama tahun ini menjadi Rp74 triliun dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu

Hasil pengujian dari tugas akhir ini menunjukan latent semantic indexing menggunakan QR Decomposition dengan transformasi householder terbukti bisa menemukan