DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Marlina, Hukum Penitensier, Rafika Aditama, Bandung, 2011
_______, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana, USU Press, Medan, 2010
Team Teaching Kriminologi FH USU, Monograf Kriminologi, Medan, 2014 Agus, Yoachim., Keadilan Restoratif, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2015 Dkk., Elisabeth., Diversi dan Keadilan Restoratif : Kesiapan Aparat Penegak
Hukum dan Masyarakat, Pusaka Indonesia, Medan, 2014
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Rajawali Pers,Jakarta, 2002 Ekaputra, Mohammad., Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi 2, USU Press, Medan,
2013
Lamintang, P.A.F., C. Djisman Samosir, Delik-delik Khusus, Tarsito, Bandung, 1981
Soesilo, R., Pokok-pokok Hukum Pidana, Politea, Bogor, 1996
Soekanto, Soerjono., Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Depok, 1994.
Wahid, Eriyantouw., Keadilan Restoratif dan Peradilan Konvensional dalam Hukum Pidana, Universitas Trisakti, Jakarta, 2009
Alif, Afthonul., Pemaafan, Rekonsiliasi, dan Restorative Justice, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2015.
Lamintang, P.A.F., Delik-delik Khusus Kejahatan-kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, Sinar Baru, Bandung, 1989.
Soesilo, R., Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar- komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Politeia, Bogor, 1996.
Anwar, Moch., Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989.
Tongat, Hukum Pidana Materiil, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, 2006.
Projodikoro, Wirjono, Tindak-Tindak Pidana tertentu di Indonesia, Eresco, Bandung, 1986.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1981 tentang Hukum Pidana (KUHP)
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan
Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012
tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana
Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2009 tentang
C. Jurnal
Kuat Puji Prayitno, Restoratif Justice untuk Peradilan di Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum, Volume 12 Nomor 3, September 2012.
Yutirsa Yunus, Analisis Konsep Retoratif Justice melalui Sistem Diversi dalam
Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Jurnal Rechtsvinding, Volume 2 nomor 2, Agustus 2013.
Sefriani, “Urgensi Rekonseptualisasi dan Legislasi Keadilan Restoratif di Indonesia”, Jurnal Rechts Vinding, Volume 2 nomor 2, Agustus 2013.
Apong Herlina, “Restorative Justice”, Jurnal Kriminologi Indonesia, Volume 3 Nomor III September 2004.
D. Website
www.repository.usu.ac.id
http:/pm-bangil.go.id/data/?p=207
LawEducation,http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/metode-penelitian-hukum,
BAB III
PENGEMBANGAN KONSEP DIVERSI DAN RESTORATIF JUSTICE BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN YANG DILAKUKAN
OLEH ORANG DEWASA
A. Konsepsi Diversi dan Restoratif Justice pada Sistem Peradilan Umum
1. Prinsip-Prinsip Dasar Konsep Diversi dan Keadilan Restoratif
Ketentuan mengenai Diversi pada Sistem Peradilan di Indonesia
diatur dalam UU No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, di
dalam pasal 6 undang-undang ini disebutkan yang menjadi tujuan dari Diversi
itu sendiri adalah mencapai perdamaian antara korban dengan anak,
menyelesaikan perkara anak diluar proses peradilan, menghindarkan anak dari
perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan
menanamkan tanggung jawab kepada anak.75
Menurut United Nations Standard Minimum Rules For the
Administration of Juvenile Justice (The Beiing Rules), diversi memiliki
prinsip-prinsip sebagai berikut:76
a. Diversi dilakukan setelah melihat pertimbangan yang layak, yaitu
penegak hukum (polisi, jaksa, hakim dan lembaga lainnya) diberi
kewenangan untk menangani pelanggar-pelanggar hukum berusia
muda tanpa menggunakan pengadilan formal;
b. Kewenangan untuk menentukan diversi diberikan kepada aparat
penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim serta lembaga lain yang
menangani kasus anak-anak ini, menurut kebijakan mereka, sesuai
75
Lihat Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang SPPA
76
dengan kriteria yang ditentukan untuk tujuan itu di dalam sistem
hukum masing-masing dan juga sesuai dengan prinsip-prinsip yang
terkandung di dalam The Beijing Rules;
c. Pelaksanaan Diversi harus dengan persetujuan anak, atau orang tua
atau walinya, namun demikian keputusan untuk pelaksanaan diversi
setelah ada kajian oleh pejabat yang berwenang atas permohonan
diversi tersebut;
d. Pelaksanaan diversi memerlukamn kerja sama dan peran masyarakat,
sehubungan dengan adanya program diversi, seperti: pengawasan,
bimbingan sementara, pemulihan, dan ganti rugi kepada korban.
Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak
(AKH)77 dan orangtua/walinya, korban beserta orangtua/walinya, petugas
pembimbing kemasyarakatan (BAPAS), pekerja sosial profesional, dan
apabila diperlukan dalam musyawarah tersebut dilibatkan tenaga
kesejahteraan sosial dan/atau masyarakat.78
Beberapa hal didalam UU SPPA yang wajib diperhatikan oleh Aparat
Penegak Hukum (Polisi, Jaksa, dan Hakim) dalam melakukan Diversi
terhadap kasus-kasus yang melibatkan AKH adalah hal-hal berikut:
a. Adanya persetujuan/kesepakatan perdamaian antara anak pelaku dan orangtua/wali anak dengan anak korban dan orangtua/wali korban dengan atau tanpa ganti kerugian (Pasal 6 huruf a dan Pasal 11 huruf a)
77
Menurut Ketentuan Umum UU SPPA, AKH adalah Anak yang berkonflik dengan Hukum yang berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana
78
b. Kategori tindak pidana yang dilakukan anak diancam pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun (Pasal 7 ayat 2a dan Pasal 9 ayat 1a)
c. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana (Pasal 7 ayat 2 b) d. Umur anak, semakin muda umur anak maka semakin tinggi
prioritas melakukan diversi (Pasal 9 ayat 1 huruf b dan Penjelasannya)
e. Hasil penelitian kemasyarakatan dari BAPAS (Pasal 9 ayat 1 huruf c)
f. Dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat (Pasal 9 ayat 1 huruf d)
g. Penuntut umum wajib mengupayakan diversi dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima berkas perkara dari Penyidik, dan dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari (Pasal 42 ayat 1 dan 2)
h. Apabila proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan atau kesepakatan diversi tidak dilaksanakan maka proses peradilan pidana anak dilanjutkan (Pasal 13 huruf a dan b)79
Konsep ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan restoratif
justice (keadilan restorative) sebagai alternatif untuk menangani anak-anak
yang berkonflik hukum. Didalam UU SPPA sudah sangat jelas pula diatur
mengenai kewajiban untuk mengutamakan pendekatan keadilan restoratif
tersebut, namun prosesnya belum diatur secara rinci.
Dewasa ini, di beberapa Negara maju, keadilan restoratif (restorative justice) bukan sekedar wacana para akademisi dan praktisi hukum pidana dan kriminologi. Di Amerika Utara, Australia, dan sebagian Eropa, keadilan
restoratif sudah diterapkan pada semua tahap proses peradilan pidana yang
konvensional, yaitu tahap penyidikan dan penuntutan, tahap adjudikasi dan
tahap eksekusi pemenjaraan.80
79
Elisabeth, dkk., Op.Cit., hal.39
80
Karakteristik dari peradilan restorative adalah Just Peace Principle
atau keadilan yang dilandasi perdamaian antara pelaku, korban, dan
masyarakat. Prinsip ini berlandaskan pemikiran bahwa keadilan dan
perdamaian pada dasarnya tidak dapat dipisahkan. Perdamaian tanpa keadilan
adalah penindasan, keadilan tanpa perdamaian adalah bentuk baru
penganiayaan atau tekanan. Dikatakan sebagai Just Peace Principles atau
Just Peace Ethics karena pendekatan dalam Restoratif Justice menerapkan prinsip dasar pemulihan kerusakan kepada mereka yang menderita kerugian
akibat kejahatan; diberikannya kesempatan pad apelaku untuk terlibat dalam
pemulihan keadaan tersebut, diberikannnya peran pada pengadilan dan
masyarakat untuk menjaga ketertiban umum dan melestarikan perdamaian
yang adil. Tujuan yang ingin dicapai melalui proses kooperatif yang
melibatkan semua pihak (stakeholders).81
Restoratif justice bukanlah teori baru bagi masyarakat internasional
termasuk Indonesia. Konsep ini bahkan diyakini sudah menjadi dominant
teory dalam sistem peradilan pidana seluruh dunia. Para pakar hukum pidana
meyakini bahwa konsep restorative justice sudah ada sejak manusia pertama
kali membentuk komunitas. Konsep ini dimanfaatkan sebagai salah satu
bentuk utama dari keadilan di mayoritas sistem kebudayaan di dunia.82
Prinsip dasar keadilan restoratif yang dikemukakan oleh Yoachim
dalam bukunya “Keadilan Restoratif”, menyampaikan ada tiga prinsip, yaitu:
81Sefriani, “Urgensi Rekonseptualisasi dan Legislasi Keadilan Restoratif di Indonesia”,
Jurnal Rechts Vinding, Volume 2 nomor 2, Agustus 2013, hal.279
82
a. Keadilan Restoratif mengutamakan pemulihan atau restorasi bagi
semua pihak yang terkena dampak dari tindak kejahatan, yaitu korban,
pelaku, dan masyarakat. Korban adalah pihak pertama yang paling
dirugikan oleh karena kejahatan. Ia menderita secara fisik dan mental.
Pelaku kejahatan menderita kerugian juga, dengan melakukan
kejahatan seorang pelaku kejahatan mengalami kemerosotan mental. Ia
kehilangan daya kontrol diri dan kemampuannya untuk mengikuti hati
nuraninya. Ia menyerah pada godaan-godaan buruk dan kehilangan
kemampuan diri untuk memilih yang baik dan yang benar. Tatanan
kehidupan juga kehilangan kedamaian, diganti oleh ketakutan,
kecemasan, saling curiga, dan perasaan tertekan. Hubungan sosial
antar warga menjadi rusak oleh karena saling menyalahkan satu sama
lain. Kondisi yang rusak seperti itulah yang ingin dipulihkan melalui
keadilan restoratif justice.
b. Berkaitan dengan cita-cita pemulihan (restorasi) diatas, keadilan
restoratif fokus pada kebutuhan ketiga pihak, yaitu korban, pelaku
kejahatan, dan masyarakat, yang tidak dipenuhi oleh proses peradilan.
Proses peradilan pidana yang selama ini berjalan sering mengabaikna
korban kejahatan, karena korban kejahatan diambil alih oleh Negara,
maka Negara akan menghukum sedangkan korban kejahatan tidak
mendapatkan hak apa-apa, sehingga dalam hal ini korban diabaikan
dan oleh karena itu keadilan restoratif hadir untuk fokus pada
c. Keadilan restoratif memperhatikan kewajiban dan tanggungjawab yang
muncul oleh karena tindak kejahatan. Pelaku kejahatan wajib
memulihkan kerusakan yang diderita korban dan masyarakat.
Kewajiban terhadap korban dilakukan pertama-tama dengan mengakui
bahwa ia bersalah. Pengakuan ini penting, karena ini merupakan bukti
pengakuan atas penderitaan yang dialami korban. Pengakuan dan
permohonan maaf tersebut merupakan proses yang penting didalam
penyembuhan luka-luka batin dan penderitaan mental korban. Pelaku
kejahatan juga berkewajiban memberikan kompensasi untuk
membayar biaya penyembuhan luka-luka fisik dan mengganti
kehilangan materi korban.83
Berdasarkan prinsip-prinsip di atas Howard Zehr menegaskan keadilan
restoratif dalam enam hal, yaitu:
a. Keadilan restoratif bukanlah pertama-tama berarti memaafkan dan
rekonsiliasi. Ada banyak pihak, termasuk korban dan para pembela
korban curiga bahwa keadilan restoratif adalah bentuk pemaksaan pada
korban untuk memaafkan dan berdamai dengan pelaku tindak pidana
kejahatan.
b. Keadilan restoratif bukan sekedar mediasi. Keadilan ini
mengutamakan adanya perjumpaan, namun bukan pertama-tama untuk
membuat mediasi. Istilah ‘mediasi’ tidak tepat digunbakan untuk
83
menyebut keadilan restorative. Pendekatan restoratif tetap bisa terjadi
apabila pertemuan antar korban dan pelaku tidak terjadi.
c. Keadilan restoratif bukanlah dimaksudkan untuk memberikan efek jera
agar pelaku tidak mengulangi perbuatannya lagi, melainkan yang
dipentingkan oleh pendekatan restoratif adalah kebutuhan tiga pihak
yang berurusan dengan tindak pidana tersebut yaitu korban, pelaku,
dan masyarakat.
d. Keadilan restoratif bukan program siap pakai dengan cetak-biru yang
telah terjadi. Program-program restorative terus mencari bentuk, sesuai
dengan kondisi masyarakat serta budaya yang ada.
e. Keadilan restorative tidak hanya dapat diterapkan pada kasus-kasus
kecil atau kasus-kasus baru, melainkan pada kasus apa saja yang
menerapkan prinsip-prinsip dasar diatas.
f. Keadilan restoratif bukan dimaksudkan untuk menggantikan sistem
hukum. Keadilan restoratif bukanlah untuk menggantikan pemenjaraan
dan retribusi. Keadilan restoratif menekankan pemulihan kerusakan
dan keretakan yang diakibatkan adanya tindak kejahatan. Kejahatan itu
memuat dimensi kemasyarakatan, lokal, dan personal. Pendekatan
retributif dan legal hanya memandang dari dimensi publik dan
kemasyarakatan, dan kurang melihat dimensi lokal dan personal
restoratif membuatnya seimbang dengan memperhatikan dimensi lokal
dan personal.84
Penjelasan terhadap definisi restoratif justice yang dikemukakan oleh
Toni Marshal dalam tulisannya “Restorative Justice an Overview”, dikembangkan oleh Susan Sharpe dalam bukunya “Restorative Justice a
Vision For Hearing and Change” mengungkapkan 5 prinsip kunci dari
restoratif justice yaitu:
a. Restoratif Justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus;
b. Restoratif Justice berusaha menyembuhkan kerusakan atau kerugian
yang ada akibat terjadinya tindak kejahatan;
c. Restoratif Justice memberikan pertanggungjawaban langsung dari
pelaku secara utuh;
d. Restoratif Justice mencarikan penyatuan kembali kepada warga
masyarakat yang terpecah atau terpisah karena tindak criminal;
e. Restoratif Justice memberikan ketahanan kepada masyarakat agar
dapat mencegah terjadinya tindakan kriminal berikutnya85
Berbagai prinsip keadilan Restoratif yang telah di kemukakan oleh
beberapa ahli dan pemerhati hukum tersebut pada intinya berprinsip yang
sama. Sebuah keadilan yang saat ini dibutuhkan masyarakat di dunia adalah
keadilan yang mendamaikan dan memperbaiki/memulihkan keadaan yang
tidak seimbang dalam masyarakat, yang diakibatkan oleh adanya kejahatan
yang mampu mengubah pola pikir retributif.
84Ibid
., hal.38-40
85
2. Program Diversi dan Restoratif Justice pada Sistem Peradilan Pidana di Dunia
Diversi telah diterapkan setidaknya pada sepuluh Negara di Dunia, di
mana penerapannya untuk permasalahan anak konflik hukum (AKH). Diversi
telah dianggap sebagai bentuk alternatif penyelesaian yang baik untuk
mengubah perilaku menyimpang anak, dengan adanya keterlibatan keluarga,
komunitas dan polisi, sehingga membuat anak memahami dampak atas
tindakan yang dilakukannya.
Program Diversi di Canada salah satu contohnya, merupakan hasil
amandemen Criminal Code Canada untuk alternatif hukuman anak dan remaja yang tertuang dalam Bill C-41 1996. Di provinsi Bohol-Philiphina,
diversi diatur dalam Child and Youth Relations Unit (CYRU) Bohol. Adapun diversi di Bohol dapat dilihat melalui beberapa bentuk, yaitu:
a. Teguran formal maupun informal/lisan b. Ganti rugi atau konsekwensi kerusakan
c. Penyitaan benda yang digunakan untuk melakukan pelanggaran d. Denda
e. Permintaan maaf secara lisan atau tulisan f. Pemberian nasehat dan pengawasan
g. Pemberian nasehat kepada keluarga dan anak
h. Menyerahkan kepada komunitas berbasis program yang ada i. Menyerahkan kepada institusi sosial86
Program Diversi ini lebih lanjut dapat dijelaskan dengan memberikan
beberapa contoh program Diversi sebagai berikut:87
86
Elisabeth, dkk., Op.Cit., hal.40
87
a. Non-Intervensi
Non intervensi merupakan upaya terbaik, oleh karena itu Diversi tanpa
melalui proses formal merupakan upaya yang optimal, terutama bagi
tindak pidana yang tidak serius dimana keluarga, sekolah atau lembaga
pengawasan sosial informal lainnya telah beraksi atau akan bereaksi
dengan cara yang layak dan membangun
b. Peringatan Informal
Peringatan Informal melibatkan polisi untuk mengatakan kepada si
anak bahwa apa yang diperbuatnya adalah salah dan
memperingatkannya untuk tidak melakukannya lagi. Tidak ada berita
acara untuk ini.
c. Peringatan Formal
Polisi harus mengantar si anak pulang dan memberinya peringatan
dihadapan orang tua/walinya. Polisi dapat mencatat peringatan ini
dalam catatan Diversi yang disimpan di kantor polisi.
d. Permohonan maaf
Pelaku harus meminta maaf kepada korban. Hal ini dapat dilakukan
melalui banyak cara. Contohnya, si anak menulis surat permohonan
maaf atau diminta untuk datang ke korban dan meminta maaf.
e. Mengganti kesalahan dengan kebenaran atau restitusi
Anak diminta mengganti kesalahannya dengan kebaikan. Contohnya
apabila seorang anak menendang keranjang sampah, si anak diminta
diminta untuk membayar kembali kerugian yang diderita oleh korban
dengan memperhitungkan kemampuan si anak untuk membayar
kembali.
f. Pelayanan masyarakat
Anak dapat diminta melakukan pelayanan masyarakat atau memenuhi
tugas selama beberapa jam. Pelayanan masyarakat yang berjalan
dengan baik dan dikaitkan dengan tindak pidana mempunyai fungsi
pengembangan dan pendidikan. Contohnya, seorang anak yang
mengotori tembok atau tempat umum, kemudian diminta
membersihkan apa yang telah diperbuatnya atau mengecet tembok
kembali. Anak dapat pula diminta untuk membuat untuk membuat
poster tentang lingkungan yang bersih dan menempelkannya di
tempat-tempat umum.
g. Pelibatan dalam program keterampilan hidup
Program Diversi yang lain adalah melibatkan anak pada program
keterampilan hidup yang dijalankan oleh oleh pelayanan sosial atau
LSM. Program keterampilan hidup dapat dilakukan bagi anak yang
melakukan tindak pidana atau untuk seluruh anak di masyarakat secara
umum.
h. Rencana individual antara Polisi, Anak, dan keluarga
Melibatkan Anak, keluarga dan Polisi untuk bersama-sama membahas
hal-hal yang harus dilakukan. Mengganti kesalahan dengan kebenaran
memperkuat hubungan keluarga dan sistem bantuan di sekeliling Anak
dan keluarga; mencegah terjadinya tindak pidana lagi.
i. Rencana yang diputuskan oleh pertemuan tradisional
Kasus-kasus Anak dapat juga dilimpahkan ke pertemuan masyarakat
tradisional.
j. Rencana yang didasarkan pada hasil pertemuan kelompok keluarga.
Pertemuan kelompok keluarga adalah pertemuan semua pihak yang
dirugikan oleh tindak pidana untuk bersama-sama memutuskan hal-hal
yang harus dilakukan untuk memperbaiki kesalahan dan mencegah
terjadinya lagi.
Penanganan non formal pada anak ini sangat berhubungan dengan
konsep pendekatan keadilan restoratif. Sebuah konsep penanganan perkara
anak yang mengakomodasi nilai-nilai yang terdapat pada Konvensi hak anak
yang diratifikasi oleh Indonesia melalui UU SPPA yang telah mengadopsi
nilai-nilai kebaikan yang berkembang di dalam masyarakat dunia.
Menurut PBB, “program keadilan restoratif” adalah program apapun
yang menggunakan proses restoratif dengan sasaran untuk mencapai hasil
yang diinginkan. Tujuannya adalah memulihkan kedamaian dan hubungan
yang rusak melalui celaan terhadap perilaku jahat dan menguatkan nilai-nilai
yang hidup dalam komunitas. Para korban diperhatikan kebutuhannya dan
para pelaku didorong untuk bertanggungjawab, maka harus dipahami makna
proses restoratif dan makna hasil restoratif.88
88
Proses restoratif adalah proses apapun di mana korban kejahatan dan
pelaku kejahatan, dan bilamana perlu, anggota-anggota komunitasnya yang
terkena dampak kejahatan, secara aktif berpartisipasi bersama, guna
memutuskan masalah-masalah yang timbul akibat kejahatan tersebut, dan
biasanya dengan dibantu oleh seorang fasilitator, sedangkan hasil restoratif
adalah kesepakatan yang dicapai dari suatu proses restoratif termasuk
misalnya, pemilihan program seperti program pemulihan; program pemberian
ganti rugi; dan program kerja sosial. Terhadap kejahatan berat programnya
dapat diganti dengan program-program lain.89
Menurut Centre of Justice & Reconciliation di Washington DC, Amerika Serikat, berikut adalah beberapa praktik atau program keadilan
restoratif:
a. Pertemuan Mediasi Korban-Pelaku (Victim Offender Mediation) atau Rekonsiliasi Korban-Pelaku
Korban kejahatan diberi kesempatan tatap muka dengan pelaku
kejahatan dalam suasana yang aman dan dipersiapkan. Kejahatan yang
telah terjadi pun dibicarakan di mana pelaku didorong agar memikirkan
dampak kejahatan yang diperbuatnya dan mau bertanggungjawab dengan
melakukan pemulihan. Praktik mediasi ini dikembangkan dari Kanada,
sesuai dengan namanya maka pertemuan dibantu seorang mediator.90
Istilah lainnya untuk menyebut praktik ini adalah Victim-Offender Reconciliation Programs (VORP). Pada akhir 1970-an
89
Ibid., hal.18
90
pertemuan antara korban dan pelaku kejahatan lebih memilih mediasi
antara korban dan pelaku dari pada rekonsiliasi, pada model ini lebih
banyak orang dapat dilibatkan, apalagi jika menyangkut perkara serius.
Model ini telah diperkenalkan di Inggris, Skandinavia, dan Negara-negara
Eropa Barat.91
Umbreit dan Coates menyatakan bahwa tujuan penyelesaian
dengan VOM adalah to “humanize” the justice system. Pendekatan
dikatakan lebih humanis karena berusaha mengeliminir beberapa masalah.
Pertama, tidak lagi mengasingkan hubungan dengan korban pasca proses
peradilan ke tempat sekunder sehingga konsekuensi kejahatan yang
dialaminya tidak diperhatikan. Di sisi lain, masuknya para pihak dalam
menyelesaikan masalah adalah significant part dan menjadi ciri khas model restoratif. Kedua, secara efektif bertanggung jawab kepada korban
atas pemulihan kerugian materil dan moral dan menyediakan berbagai
kesempatan untuk dialog, negosiasi, dan resolusi masalah. Ketiga,
memberi rasa hormat kepada martabat manusia (the respect for human
dignity), karena peradilan restorative tidak terpisah dari model
perlindungan hak asasi manusia bahkan mereka berdua mencari kebaikan
bersama (they both seek a common good).92
91
Yoachim Agus, Op.Cit., hal. 30
92
b. Proses Pertemuan Keluarga atau Pertemuan Kelompok Komunitas
(PKK) atau Family Group Conference (FGC)
Korban, pelaku, dan keluarga, serta handai taulan dan para
pendukung utama dari kedua pihak bertemu dan memutuskan cara
penanganan periode sesudah terjadi kejahatan. Para pendukung pelaku
kejahatan dimungkinkan berhubungan langsung dengan para pendukung
utama dari kedua pihak. PKK diadaptasi dari praktik-praktik tradisi Maori
di New Zealand, kemudian di Australia dimodifikasi menjadi Acara Temu
Korban dengan prakarsa kepolisian, karena itu dikenal sebagai Pertemuan
Polisi.93
Program ini pertama kali diterapkan di Selandia Baru. Model
musyawarah disesuaikan dengan kondisi sesaat, namun yang mesti terjadi
adalah rapat atau pembicaraan dari keluarga pelaku. Rapat ini kemudian
menghasilkan keputusan yang akan dibawa pada rapat dengan keluarga
korban. Dibandingkan dengan Mediasi Pelaku-Korban (VOM), praktik
restorative justice ini lebih banyak melibatkan anggota keluarga.94
Dalam proses yang panjang itu fasilitator musyawarah kelompok
keluarga (FGC) harus terus menerus melakukan pendampingan pada
keluarga korban dan pelaku. Kalau kondisi sudah sungguh-sungguh siap,
musyawarah dapat dilakukan. Seluruh proses musyawarah harus mengarah
pada pemulihan hubungan antara para pihak korban dan pelaku. Pihak
pelaku harus mengakui, menyesali, dan bertanggung jawab atas
93
Eriyantouw Wahid, Op.Cit., hal.19
94
tindakannnya, serta puncaknya adalah kesediaan minta maaf, sedangkan
pihak korban mau memaafkan. Musyawarah juga membicarakan ganti rugi
atau konpensasi yang harus ditanggung oleh pihak pelaku, pastinya tidak
lah mudah menetukan besarnya konpensasi itu, karena berapapun besarnya
ganti rugi atau konpensasi tidak akan seimbang dengan penderitaan
korban. Besarnya ganti rugi atau konpensasi lebih merupakan symbol dari
penyesalan dan tanggung jawab pelaku.95
c. Proses Restoratif Acara Lingkar Perdamaian atau Acara Lingkar
Penjatuhan Sanksi
Program ini dipersiapkan guna mencari solusi dan konsensus
mengenai sanksi yang dapat diterima pihak-pihak berkepentingan.
Konsensus diupayakan bersama oleh komunitas, para korban dan pelaku,
para pendukung kedua pihak, hakim, jaksa, penasehat hukum, aparat
pengadilan, dan aparat kepolisian. Proses ini bertujuan melangsungkan
proses penyembuhan pihak-pihak yang terkena dampak perkara, acara
semacam itu memberi kesempatan kepada pelaku untuk melakukan
perbaikan serta membuka ruang bagi para korban, para pelaku, keluarga,
dan komunitas saling mencurahkan isi hati dengan menciptakan rasa
berkomunitas dan pelbagai nilainya. Praktik restorative ini diadaptasi dari
tradisi penduduk pribumi Amerika Utara.96
Menurut Olga Botcharova (1998) dalam gagasannya tentang
lingkaran kekerasan (cycle of violence), ada beberapa tahap yang harus
95
Ibid., hal.78
96
dilewati untuk sampai pada kesediaan untuk memaafkan dan rekonsiliasi.
Tahap-tahap tersebut adalah: (1) mengungkapkan kesedihan; (2) menerima
kehilangan/kerugian dan berani menghadapi ketakutan; (3) memikirkan
kondisi pelaku, mengapa mereka melakukan itu; (4) bergerak mengatasi
toleransi; (5) memilih untuk memaafkan; (6) menegosiasikan penyelesaian
masalah; (7) menetapkan keadilan restorative; (8) bergerak menuju
rekonsiliasi. Namun, bila tahap-tahap tersebut tidak diproses dan dilalui
dengn baik, yang terjadi adalah tindakan pembalasan yang dibenarkan (act
of justified aggression), meski demikian Botcharova yakin bahwa di
kedalaman jiwa manusia terdapat kebaikan dasar (basic goodness) yang
dapat mencegah manusia dari keinginan untuk membalas dengan tindakan
kekerasan.97
Bentuk-bentuk program di atas terus-menerus mengalami modifikasi,
bahkan bentuk-bentuk tersebut kadang-kadang saling bercampur, namun perlu
dicatat bahwa keadilan restoratif tidak selalu mengharuskan terjadinya
pertemuan langsung antara korban dan pelaku tindak kejahatan.
Kadang-kadang korban tidak mempunyai kebutuhan untuk bertemu langsung dengan
pelaku, begitu pula pelaku terkadang tidak butuh bertemu dengan korban.98
Sejauh ini, sudah terlihat bahwa keadilan restoratif merupakan
fenomena yang mendunia. Di Eropa, sistem dan budaya kawasan yang
berbeda memberi pengaruh pada pendekatan restoratif. Di Irlandia Utara
97
Yoachim Agus, Op.Cit., hal.77
98
misalnya diterapkan pada alternative penyelesaian tindak kekerasan dan di
Eropa Timur untuk reformasi peradilan.99
Keadilan Restoratif di Afrika nampak dari revitalisasi praktik-praktik
pribumi asli dan peningkatan sanksi kerja sosial. Di Timur Tengah,
eksperimen keadilan restoratif berawal dari proses penyelesaian konflik
tradisional. Di kawasan lain Asia, terkait peradilan anak dimana pelakunya
dikeluarkan dari Peradilan.100
Konsep keadilan restorative memang telah mendapatkan inspirasinya
dari pelbagai praktik keadilan kaum aborigin (indigenous people) di pelbagai tempat, seperti selandia baru, Amerika Utara, Kanada, Australia, dan
sebagainya. Praktik-praktik kaum aborigin tersebut dihapus ketika terjadi
penjajahan dan pengaruh Negara-negara Eropa, namun kemudian
praktik-praktik tersebut digali kembali, dihidupkan, dan dikembangkan menjadi
keadilan restorative.101
Beberapa Negara yang sudah mulai mengembangkan konsep keadilan
restoratif, yaitu:
a. New Zealand
Negara pertama di dunia yang menerapkan proses restoratif dalam
pengadilan umum, mewajibkan pelaku remaja dan pelaku dewasa
menghadiri family group conference (FGC), sedangkan hakim
diwajibkan mempertimbangkan kesepakatan yang dicapai dalam FGC,
sehingga dimungkinkan menjatuhkan sanksi yang lebih ringan. Pada
99
Eriyantouw Wahid, Op.Cit., hal. 25
100
Ibid.
101
akhirnya, proses restorative pun mencakup kejahatan-kejahatan
berat.102
b. Mexico
Pasca amandemen pasal 20 UUD Meksiko di tahun 2001, hak-hak para
korban dikui dan kebijakan pemidanaan ditinjau ulang. Penjara akan
diisi oleh narapidana yang menjalani hukuman berat-berat saja, Karena
itu diupayakan alternatif dari pemenjaraan dengan memperkenalkan
mediasi korban. Sistem penuntutan legalita diubah menjadi sistem
opportunitas, mengikuti Amerika Serikat dan Kanada.103
c. Belgia
Lembaga mediasi yang diperkenalkan di Belgia sejak 1993 merupakan
embrio dari proses restoratif. Karena berhasil, mediasi yang diawasi
kejaksaan dan pengadilan (mediation penal), dimasukkan kedalam KUHAP (Criminal Procedure Code) dalam tahun 2005, di mana tindak pidana dari yang teringan sampai yang terberat dapat diserahkan
pada mediasi. Permohonan mediasi perkara pidana dapat diajukan ke
pengadilan pada saat sebelum, selama, dan sesudah pemeriksaan di
persidangan, bahkan dapat diajukan setelah menjalani penjara atau
alternatifnya.104
d. Spanyol
Mediasi yang tadinya terbatas pada ganti rugi sederhana, diperluas
cakupannya, di mana korban pun memainkan peran penting. Di
102
Eriyantouw Wahid, Op.Cit., hal.26
103
Ibid.,
104
samping itu, undang-undang kini mengatur pelaku yang belum dewasa
bertemu dengan korbannya melalui mediasi, untuk menyampaikan rasa
penyesalan dan untuk menyampaikan rasa penyesalan dan untuk
mendapat kepastian besar ganti kerugian korban.105
e. Selandia Baru
Penduduk Maori di Selandia Baru, berpandangan bahwa konflik
tidaklah dimiliki oleh orang perorangan, tetapi melibatkan keluarga
besar pelaku dan korban. Keluarga yang dimaksud disini bukanlah
dalam arti horizontal yaitu mereka yang berasal dari generasi yang
sama, tetapi dalam arti vertikal yaitu mereka yang berasal dari generasi
yang berbeda. Maka hak atas keadilan milik korban juga diturunkan
secara turun temurun dari satu generasi kegenerasi berikutnya, begitu
pula hak atas keadilan dituntut dari pelaku kejahatan satu generasi ke
generasi selanjutnya. Penyelesaian konflik diadakan dalam bentuk
musyawarah yang diadakan di rumah pertemuan (wharaeuni).106
f. Italia
Sudah sekian lama diperdebatkan di Italia mengenai ketidakefektifan
sanksi pidana, terutama tidak tercapainya tujuan pemenjaraan, baik
untuk mencegah maupun untuk merehabilitasi. Salah satu solusinya
adalah penerapan proses restorative ke dalam proses peradilan pidana
105
Ibid.
106
melalui legislasi. Bentuknya berupa mediasi hukum pidana dan
mediasi pidana anak.107
g. Republik Ceko
Demi keadilan restorative, di Republik Ceko, PMS (Probation
Mediation Service) diberi wewenang melakukan mediasi antara pelaku
dan korban, karena itu PMS dilibatkan dalam proses pidana, baik
sebelum maupun selama persidangan di pengadilan. Petugas pengawas
menyusun laporan pra-penjatuhan sanksi untuk dipelajari jaksa dan
hakim yang meliputi segi-segi kehidupan pelaku di waktu terakhir
sebagai dasar kerja sama di waktu yang akan datang.108
h. Arizona, Amerika Serikat
Bangsa Navajo pada tahun 1982 membuat peradilan sendiri demi
menciptakan perdamaian dengan mengubah sistem peradilan warisan
Barat yang diterapkan sejak tahun 1892. Sistem peradilan bangsa
Navajo ini memandang bahwa peradilan bukanlah untuk menghukum
orang, tetapi untuk mendidik orang agar dapat hidup lebih baik.
Peradilan adalah proses penyembuhan yang memulihkan relasi antara
manusia atau menciptakna lingkungan yang sehat.109
i. Sri Lanka
Keadilan Restoratif di Sri Lanka diterapkan melalui UU Dewan
Mediasi 1988 terhadap perkara-perkara ringan, misalnya penghinaan
ringan, ucapan-ucapan berupa penodaan ringan terhadap agama,
107
Eriyantouw Wahid., Op.Cit., hal.28
108
Ibid.
109
penganiayaan ringan, penipuan ringan, dan beberapa tindak pidana
dalam KUHPidana (Penal code), harus didamaikan dahulu oleh Dewan Mediasi.110
j. Thailand
Penerapan keadilan Restoratif di Negara Gajah putih ini, berawal dari
perintah undang-undang, yaitu perkara anak-anak dengan ancaman
pidana penjara dibawah 5 tahun harus diserahkan kepada pertemuan
keluarga atau FGCG (Family Community Group Conferencing).
Dalam praktik restorative semacam itu, dilibatkan korbannya,
keluarganya, polisi penyidiknya, dan jaksa. Setelah mencapai
kesepakatan, Direktur kepemudaan Departemen kehakiman
mengusulkan kepada jaksa untuk tidak menuntutnya. Menurut data,
dari 1500 perkara dewasa, 86 % diantaranya mencapai kesepakatan.111
Thailand mengadaptasi model FGC New Zealand, untuk orang dewasa
yang disangkakan melakukan tindak pidana melakukan tindak pidana
tertentu akan diserahkan kepada PS Departemen Kehakiman. Keadilan
restorative dikenal di Thailand sebagai “keadilan demi kesejahteraan
mayarakat” atau “justice for social harmony”. Konsep tersebut
mendapat sambutan berbagai kalangan termasuk penguasa
dimasing-masing komponen sistem peradilan. Dorongannya adalah kekecewaan
terhadap sistem pemidanaan yang bersifat retributive, sedangkan nasib
korban kurang diperhatikan. Dorongan lainnya karena semua penjara
110
Eriyantouw Wahid., Op.Cit., hal.29
111
melebihi kapasitas akibat pemenjaraan terlalu mudah dan sering
diterapkan.112
B. Pengembangan Konsep Diversi dan Restoratif Justice bagi Pelaku Tindak Pidana Pencurian yang dilakukan oleh Orang Dewasa
Sistem peradilan pidana di Indonesia saat ini membutuhkan pembaharuan.
Perubahan orientasi sistem peradilan pidana dari yang selama ini berfokus pada
perbuatan yang dilarang dan pelaku tindak pidana (crime and offender oriented), beralih pada orientasi perbuatan, tersangka, dan korban (crime, offender, and victim oriented) bukan merupakan suatu keniscayaan. Terkait dengan hal ini, praktik pemaafan dalam penyelesaian perkara-perkara pidana pada dasarnya telah
terdapat di dalam berbagai khasanah budaya berbagai masyarakat tradisional.
Penggunaan permaafan yang merupakan inti dari peradilan restoratif, kendatipun
telah lebih banyak berlangsung dalam mekanisme diluar pengadilan Negara,
namun sedikit banyak memberi pengaruh pada proses peradilan pidana tertentu.113
Muladi mengungkapkan, dalam keadilan restoratif korban diperhitungkan
martabatnya. Pelaku harus bertanggungjawab dan diintegrasikan kembali ke
dalam komunitasnya. Pelaku dan korban berkedudukan seimbang dan saling
membutuhkan karena itu harus dirukunkan. Ketua Mahkamah Agung RI dalam
bulan Mei 2008, setahun lalu, menegaskan, dilihat dari keadilan restoratif, posisi
perkara harus diubah, bukan lagi demi kepentingan ketertiban, melainkan demi
kepentingan korban beserta pemulihan segi materil dan psikisnya. Intinya,
112Ibid.,
hal.30
113
bagaimana menghindarkan pelaku dari pemenjaraan, tapi tetap bertanggung
jawab.114
Konsep keadilan restoratif seperti ini begitu diharapkan dapat diterapkan
pada sistem peradilan pidana konvensional, namun, perjalanan sistem peradilan
pidana konvensional yang berorientasi pada tujuan retributif bukan lah perkara
mudah untuk mengubahnya kearah restoratif. Berkaca pada Negara-negara lain di
Dunia yang mulai mengembangkan konsep keadilan seperti ini, maka bisa jadi
sistem peradilan pidana Indonesia juga suatu saat akan mengubah perspektif
pemidanaannya, mengingat adanya perkembangan kebutuhan masyarakat akan
hukum beserta keadilannya yang semakin meningkat.
Berbicara mengenai sistem peradilan pidana konvensional di Indonesia
yang sudah cukup lama menganut perspektif retributif, maka perlu diadakan suatu
pengkajian secara bertahap terhadap perkara tertentu yang dapat memulai
penerapan keadilan restoratif pada sistem peradilan pidana tersebut. Pembahasan
mengenai penanganan tindak pidana pencurian pada polresta Medan dan
pemahaman tentang konsep diversi dan restoratif justice sebelumnya, dapat
dijadikan bahan pengembangan konsep diversi dan restoratif justice di Indonesia.
1. Pandangan Kepolisian Resor Kota Medan terhadap Pengembangan Konsep Diversi dan Restoratif Justice
Penerapan konsep Diversi dan Restoratif Justice ini sendiri telah
dilaksanakan pada Polresta Medan sejak di undang-undangkannya peraturan
mengenai sistem peradilan khusus yang mengakomodir perlindungan terhadap
pelaku anak yaitu undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem
114
Peradilan Pidana Anak (SPPA). Penanganan perkara tertentu sesuai dengan
syarat-syarat yang terdapat dalam undang-undang tersebut mewajibkan aparat
penegak hukum termasuk kepolisian resor kota Medan untuk membawa AKH
(anak yang berkonflik dengan hukum) keranah non penal-policy atau melalui mekanisme diversi.
Penanganan terhadap perkara AKH yang merupakan kategori Tindak
Pidana dengan ancaman dibawah 7 tahun dan bukan merupakan residivis,
semuanya melalui proses Diversi. Setiap anak yang melakukan tindak pidana
pencurian berusia dibawah 12 tahun wajib dikembalikan kepada orangtua atau
wali, namun apabila berusia diatasnya maka pelaku anak tersebut akan tetap
ditahan kepolisian. Orangtua yang bisa menjamin si anak, tidak perlu
dilakukan penahanan namun tetap wajib mengikuti proses diversi.115
Sisi positif dari pelaksanaan diversi dan restoratif justice selama ini
adalah penanganan tindak pidana tidak langsung membawa anak keranah
penghukuman secara pidana, yang dimaksud dalam hal ini pemenjaraan,
sehingga banyak anak yang memiliki kesempatan menyelesaikan perkaranya
tanpa harus melalui proses penahanan di Lembaga Pemasyarakatan Anak
sehingga melalui proses yang menyita banyak waktu sampai pada penjatuhan
hukumannya dari pengadilan, melainkan justru mendapat pelajaran bagaimana
mempertanggungjawabkan perbuatannya secara langsung kepada korban.116
Penanganan tindak pidana pencurian melalui proses diversi dan
restoratif justice sampai saat ini tidak pernah dilakukan bagi pelaku orang
115
Hasil wawancara dengan IPDA Ridwan Kasubnit Idik 7 bidang Ranmor Reskrim Polresta Medan pada tanggal 5 Februari 2016 pukul 14.30 WIB
116
dewasa pada Polresta Medan, dikarenakan asas legalitas yang dijunjung tinggi
oleh sistem hukum di Indonesia, oleh karena itu, kepolisian dalam
menjalankan tugas-tugasnya wajib memperhatikan peraturan yang dibuat oleh
Negara Indonesia. Para pakar atau ahli hukum di Indonesia memang sudah
banyak yang menyampaikan wacana ataupun pendapat begitu baiknya jika
konsep pemidanaan seperti pada Peradilan Anak di terapkan, namun selama
belum ada peraturan baku maka hal itu tidak dapat dilaksanakan.117
Pengembangan Konsep Diversi dan Restoratif Justice seperti ini sangat
mungkin dilaksanakan di masa depan terkhusus bagi pelaku tindak pidana
pencurian yang dilakukan oleh orang dewasa, melihat bahwa keadilan
retributive sudah kurang relevan bagi sistem pemidanaan zaman sekarang.
Konsep keadilan restorative ini pun tidak serta merta dapat diterapkan begitu
saja, namun ada beberapa hal yang harus dipersiapkan dengan baik,
diantaranya adalah:
a. Kriteria/syarat tindak pidana yang dapat melalui proses diversi
Menurut H. Manurung, apabila suatu waktu konsep diversi dan
restoratif justice ini akan dikembangkan pada tindak pidana pencurian dan
dibuat peraturan tertulisnya, sebaiknya dilaksanakan dengan adanya suatu
kriteria bagi pelaku tindak pidana, diantaranya adalah:118
117
Hasil wawancara dengan IPDA H. Manurung Kepala URBIN OPS. SAT Reskrim Polresta Medan pada tanggal 5 Februari 2016 pukul 13.30 WIB
118
1) Tindak pidana yang dilakukan yaitu pencurian yang tergolong ringan
dan sedang119, dimana dalam hal pengungkapannya juga tidak
memakan banyak waktu, dan diversi pun dapat dengan segera
dilakukan.
2) Pelaku yang menyerahkan diri, apabila memang konsep ini diterapkan
karena dinilai bahwa ada itikad baik pelaku yang harus dinilai sebagai
bentuk penginsafan dan langkah awal untuk bertanggung jawab,
sehingga pemaafan dengan mekanisme restorative justice dapat
menjadi pilihan.
3) Alasan utama pencurian dilakukan karena faktor perekonomian yang
dapat dibuktikan dengan adanya surat keterangan tidak mampu. Hal ini
dikarenakan yang menjadi alasan pencurian adalah hal yang sangat
menyentuh dan menjadi tanggung jawab moral bersama. Berbeda jika
alasan yang didapati adalah kebutuhan akan barang/hasil pencurian
ingin digunakan bagi hal-hal yang kurang berguna seperti yang selama
ini sering terjadi, hasil pencurian digunakan untuk membeli obat-obat
terlarang, bermain judi, dan lain-lain.
b. Mekanisme pelaksanaan diversi
Mekanisme yang dapat diterapkan pun dapat mengikuti konsep diversi
pada sistem peradilan anak, yang mana telah diatur dalam undang-undang
sistem peradilan pidana anak, namun khusus untuk mekanisme bagi orang
119
dewasa, orangtua/wali yang dimaksud pada SPPA dapat diganti menjadi
anggota keluarga dari pelaku dan korban apabila sudah memiliki keluarga inti.
Proses Diversi dapat dilakukan melalui musyawarah untuk mencapai
kesepakatan dengan melibatkan pelaku dan keluarganya, korban dan/atau
keluarganya, masyarakat dari tempat tinggal kedua pihak, dan Kepolisian.120
Para pihak yang hadir dalam mekanisme tersebut, yaitu:
1) Korban dan keluarganya
2) Pelaku dan keluarganya
3) Masyarakat dari komunitas masing-masing
4) Kepolisian
Adapun hasil kesepakatan yang diharapkan dari penerapan konsep ini,
yaitu:121
1) Perdamaian/Pemaafan
Bentuk kesepakatan ini adalah yang sangat sederhana namun juga jarang
bisa terjadi di dalam masyarakat
2) Ganti Rugi
Pada tindak pidana pencurian, ganti rugi dipandang sebagai solusi yang
paling tepat dan cukup mampu memulihkan kerugian yang dialami
korban
3) Kerja Sosial
Masyarakat yang juga menjadi korban kejahatan secara tidak langsung
dapat melihat dan menilai pula keseriusan dari pemulihan yang ingin
120
Ibid.
121
dilakukan pelaku. Sebuah badan yang khusus mengawasi pekerjaan
pelaku juga wajib dibentuk.
Mekanisme seperti yang diungkapkan oleh H. Manurung tersebut
hampir sama dengan program/proses penerapan konsep keadilan restoratif
yang disampaikan oleh Centre of Justice & Reconciliation di Washington DC, Amerika Serikat, diantaranya berupa:
a. Program Mediasi yang dihadiri oleh pelaku kejahatan dan korban yang
ditengahi oleh seorang mediator
b. Acara Lingkar Perdamaian yang diikuti oleh komunitas korban dan
pelaku, serta aparat penegak hukum (hakim, jaksa, polisi)
c. Pertemuan Keluarga yang hadir lebih banyak dari kelompok
masyarakat yang dapat dibantu pula oleh kepolisian. Proses ini lebih
menekankan pada pemaafan karena ganti rugi pun dianggap tidak
begitu mengobati.
Konsep Diversi dan Restoratif Justice seperti ini juga sangat mungkin
memberi kemudahan tidak hanya perihal mempersingkat proses penanganan di
pihak kepolisian atau aparat penegak hukum lainnya, melainkan juga
berdampak baik bagi Lembaga Pemasyarakatan karena jumlah tahanan
kemungkinan tidak akan bertambah dengan pesat seperti yang saat ini terjadi
dimana LP menjadi ‘sarat’ tahanan.
Konsep yang tidak perlu menempuh jalur pada peradilan pidana secara
konvensional ini juga beberapa kali ingin dicoba oleh masyarakat yang
korban sempat meminta untuk tidak dilanjutkan perkaranya diproses pada
kepolisian, sebagian mengungkapkan karena terlalu sibuk untuk dipanggil ke
kantor polisi sebagai saksi, tidak suka waktunya dipakai untuk memenuhi
kebutuhan proses peradilan pidana, dan bahkan karena mereka (antara pelaku
dan korban) sudah berdamai diluar kepolisian.122
2. Tantangan yang dihadapi dalam Pengembangan Konsep diversi dan Restorative Justice
Trend pemidanaan dewasa ini, terutama di Negara-negara maju yang demokratis, mengupayakan semakin berkurangnya nestapa pidana (less harm
punishment). Negara-negara maju, kecuali Amerika Serikat, sudah
menghapuskan atau melakukan “pembekuan” (moratorium) pidana mati.
Langkah berikutnya adalah menghapus atau mempersingkat pidana
pemenjaraan. Berbagai alternatif pidana dan pelbagai tindakan (measures)
diciptakan, seperti misalnya putusan terbukti bersalah akan tetapi tanpa sanksi
(declaration of non-punishment), penjatuhan pidana bersyarat dengan pelbagai
variasinya, penangguhan penuntutan dengan atau tanpa bersyarat, penghentian
penuntutan perkara-perkara yang kurang berarti (trivial cases), denda bersyarat
(suspended fine), denda harian (day fine) dan variasinya, serta perintah kerja
sosial/CSO (community service order).123
Kepolisian juga sering menerima keluhan dari pelaku tindak pidana nya
sendiri, bahwa sebenarnya mereka (pelaku, korban, dan keluarga korban)
sudah berdamai karena si pelaku siap untuk mengganti kerugiannya, namun
122
Hasil wawancara dengan IPDA Ridwan Kasubnit Idik 7 bidang Ranmor Reskrim Polresta Medan pada tanggal 5 Februari 2016 pukul 14.30 WIB
123
pelaku heran mengapa perkaranya masih harus tetap di proses oleh kepolisian.
Kepolisian pun menyampaikan bahwa selama pelaku adalah orang dewasa,
upaya perdamaian yang mereka lakukan sebelumnya hanya akan menjadi
pertimbangan bagi hakim untuk memutuskan hukumannya menjadi lebih
ringan.124
Menurut Ridwan, ada beberapa tantangan yang mungkin akan dihadapi
untuk mengembangkan konsep diversi dan Restoratif justice ini bagi pelaku
yang merupakan orang dewasa, diantaranya:125
a. Hilangnya efek jera bagi para pelaku tindak pidana. Pengembangan
konsep ini sangat mungkin terjadi, apabila memang DPR dan/atau
Presiden membentuk suatu norma baru bagi penerapannya pada tindak
pidana pencurian atau pun perkara lain yang dilakukan oleh orang
dewasa, namun, ada kekhawatiran bahwa ketika konsep tersebut nanti
diterapkan maka tujuan pemidanaan untuk memberikan efek jera akan
sangat sulit didapatkan.
b. Asumsi bahwa akan besar kemungkinan pengulangan tindak pidana
yang terjadi atau bahkan pelaku pidana akan bertambah karena
keringanan yang didapat melalui prosedur restorative seperti ini.
c. Proses diversi dan restoratif justice yang dilakukan tidak serta-merta
menjadi satu-satunya cara penanganan tindak pidana, dalam hal ini
sebaiknya dijadikan alternatif yang apabila tidak dapat menghasilkan
124
Hasil wawancara dengan IPDA H. Manurung Kepala URBIN OPS. SAT Reskrim Polresta Medan pada tanggal 5 Februari 2016 pukul 13.30 WIB
125
kesepakatan diversi, maka kepolisian akan tetap memroses secara
konvensional sampai pada tahap ke persidangan.126
d. Individu-individu dalam masyarakat modern ternyata semakin
menunjukkan kecenderungan untuk saling mengisolasi, dan sering kali
individu tidak membayangkan bahwa mereka terikat dalam
hubungan-hubungan atau merasa menjadi bagian dari komunitas atau masyarakat
tertentu. Dalam konteks demikian kita harus realistis bahwa dukungan
yang terarah dari pemerintah atau lembaga-lembaga mapan akan
sangat menentukan berhasil tidaknya praktik restorative justice bagi
masyarakat modern, karena akan naïf apabila kita mengharapkan
mereka sanggup menyelenggarakannya dengan sukarela dan
mandiri.127
e. Masyarakat masih condong mengarah pada tujuan pidana retributif.
Teori pembalasan yang sudah biasa diterapkan dalam masyarakat
rasanya tidak dapat disingkirkan dengan cepat dari konsep penerapan
hukum pidana di Indonesia.
Menurut masyarakat, pengembangan konsep diversi dan restorative
justice untuk tindak pidana pencurian baik adanya namun hanya bagi
tindak pidana pencurian kategori biasa dan juga ringan. Konsep ini
untuk pencurian berat dan juga pencurian dengan kekerasan sulit
diterapkan karena jika pertanggungjawaban yang diberikan oleh
pelaku tidak hanya ganti rugi, hal ini dirasa tidak adil. Sebuah tindakan
126Ibid.
127
yang disertai kekerasan dinilai masyarakat sebagai tindakan yang
sangat berbahaya, apapun faktor yang menyebabkan dia harus
mencuri, rasanya jika diikuti dengan kekerasan, perbuatan ini sangat
in-tolerir. Terlebih lagi pencurian saat kondisi nya dalam keadaan
tertentu yang tergolong pada pencurian berat.128 Pendapat masyarakat
tersebut mengindikasikan adanya keinginan restoratif yang tidak
sepenuhnya bisa diterapkan bagi tindak pidana pencurian.
Masa depan ditentukan oleh kegiatan masa kini. Usaha penerapan konsep
diversi dan restorative justice sebaiknya dirintis berawal dari hal yang lebih kecil
dahulu. Misalnya mengalihkan perkara-perkara ringan (trivial case) keluar dari proses pidana konvensional masuk ke jalur restoratiF, opsi lain difokuskan dulu
pada satu atau beberapa tahap peradilan pidana. Proses dan praktik demikian
diharapkan dapat secara bertahap bergandengan tangan dengan sistem peradilan
pidana seluruhnya.129
128
Hasil wawancara dengan Sudarman, korban pencurian di daerah Medan Tembung pada tanggal 29 Februari 2016 pukul 18.40 WIB
129
BAB IV
PENUTUP
C. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan pada pembahasan dalam
skripsi ini, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Penanganan Tindak Pidana Pencurian yang dilakukan orang dewasa pada
Polresta Medan dilakukan melalui jalur konvensional. Tindak pidana
pencurian yang memiliki kategori mulai dari pencurian biasa, ringan, berat,
dan pencurian dengan kekerasan, tidak dapat diselesaikan dengan
menggunakan konsep diversi dan restoratif justice karena landasan hukum
penerapan nya di Indonesia belum ada, kecuali pada Sistem Peradilan Pidana
Anak. Jalur konvensional atau jalur pada umumnya yang dimaksud disini
adalah melalui Sistem Peradilan Pidana Umum (General Criminal Justice System) yang diatur sesuai Hukum Acara Pidana di Indonesia, yang mana tahap awal perkara akan ditangani oleh pihak kepolisian yang dalam hal ini
kemudian akan menuntun perkara untuk diselesaikan dan diputus sanksinya
oleh Pengadilan melalui proses penyelidikan dan penyidikan, sebelum
akhirnya dilanjutkan ketahap penuntutan oleh Lembaga Kejaksaan.
2. Pengembangan konsep diversi dan restoratif justice pada tindak pidana
pencurian bagi orang dewasa tidak diterapkan pada Polresta Medan.
Penerapannya dapat dilakukan dengan alasan-alasan kebaikan dari konsep
diversi dan restorative justice tersebut, termasuk pula ada keinginan dari
dengan ganti rugi yang ditawarkan oleh pelaku kejahatan, namun hal itu tidak
dilakukan pihak kepolisian karena tidak adanya dasar hukum yang
memayungi pelaksananaannya. Sekalipun begitu, pihak kepolisian polresta
medan tetap optimis apabila memang suatu saat ada rekonseptualisasi dan
legislasi tentang penerapan konsep diversi dan restoratif justice bagi tindak
pidana tertentu terkhusus tindak pidana pencurian sebagai tindak pidana yang
penyebabnya paling sering adalah faktor kemiskinan.
D. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang dikemukakan diatas, maka saran yang dapat
diberikan adalah sebagai berikut:
1. Perlu diadakan pengkajian terhadap tindak pidana tertentu dalam hal ini
terkhusus tindak pidana pencurian baik itu oleh Badan Legislatif maupun
Eksekutif di Indonesia, bilamana diterapkan konsep diversi melalui
pendekatan restoratif justice dengan mengacu pada perkembangan
kebutuhan masyarakat dan kebudayaan yang hidup di Indonesia, maka
dapat ditransfer pada peradilan pidana umum dengan dilakukannya
pembaharuan peraturan hukum acara pidana di Indonesia.
2. Perlu pemahaman bagi seluruh elemen masyarakat terhadap konsep
keadilan restoratif yang tepat sesuai dengan hasil pengkajian tersebut, agar
tidak dipandang sebagai upaya yang salah dan sia-sia karena memudahkan
penyelesaian perkara pidana. Cara yang diterapkan dapat pula dipelajari
dari Negara-negara di Dunia yang telah berhasil membuat peraturan
3. Perlu peningkatan peran aparat penegak hukum untuk melihat
faktor-faktor penyebab kejahatan pencurian agar dapat menjadi bahan
pertimbangan mendukung program pengembangan konsep diversi dan
BAB II
PENANGANAN TINDAK PIDANA PENCURIAN YANG DILAKUKAN OLEH ORANG DEWASA PADA POLRESTA MEDAN
A. Jenis-Jenis Tindak Pidana Pencurian pada Polresta Medan
1. Jenis-Jenis Pencurian menurut KUHP di Indonesia
Secara umum jenis-jenis tindak pidana pencurian diatur pada Kitab
undang-undang hukum pidana di dalam bab XXII tentang Pencurian yang
dimulai dari pasal 362-372. Setiap pasalnya mengatur jenis pencurian yang
berbeda-beda berdasarkan berat ringannya tindak pidana tersebut dilihat dari
unsur objektif dan subjektif serta sanksi yang dikenakan terhadap pelakunya.
Pencurian Pasal 362 KUHP merumuskan:
“Barangsiapa mengambil sesuatu barang yang sama sekali atau
sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum karena pencurian dengan pidana penjara, selama-lamanya lima tahun atau denda paling banyak Rp.900,-,”
Unsur-unsur pencurian dalam Pasal 362 KUHP, yaitu:
a. Unsur-unsur obyektif, terdiri dari:
1) Mengambil
Menurut Van Bemmelen dan van Hattum, unsur mengambil
merupakan unsur terpenting atau unsur yang pertama dalam tindak
pencurian.33 Unsur mengambil ini mengalami berbagai penafsiran,
mengambil yang diartikan setiap perbuatan untuk membawa sesuatu benda
di bawah kekuasaannya yang nyata dan multak. Perbuatan mengambil
33
berarti perbuatan yang mengakibatkan barang dibawah kekuasaan yang
melakukan atau yang mengakibatkan barang diluar kekuasan pemiliknya.34
Dalam pencurian, mengambil yang dimaksud adalah mengambil
untuk menguasai benda tersebut secara melawan hukum, maksudnya
adalah waktu pencuri mengambil barang, barang tersebut belum ada dalam
kekuasaannya, apabila waktu memiliki barang itu sudah ada ditangannya,
maka perbuatan tersebut bukan termasuk pencurian tetapi penggelapan,
pencurian dikatakan selesai apabila barang tersebut sudah pindah tempat.
2) Suatu barang atau benda
Pengertian “barang” dalam Pasal 362 KUHP juga mengalami perkembangan makna. Pengertian “barang” dalam Pasal 362 KUHP ini
pada awalnya menunjuk pada pengertian barang atau benda bergerak dan
berwujud, termasuk binatang.35
Dalam perkembangannya pengertian “barang” atau “benda” tidak
hanya terbatas pada benda atau barang berwujud dan bergerak, tetapi
termasuk dalam pengertian barang atau benda adalah “barang atau benda tidak terwujud dan tidak bergerak”.36
Benda yang dikategorikan sebagai
benda tidak terwujud dan tidak bergerak tersebut antara lain halaman
dengan segala sesuatu yang dibangun diatasnya, pohon-pohon dan
tanaman yang tertanam dengan akarnya di dalam tanah, buah-buahan yang
belum dipetik, dan sebagainya.
34Ibid.
, hal.12
35
R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar- komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, (Bogor:Politeia, 1996), hal.250
36
Barang yang tidak ada pemiliknya, tidak dapat menjadi obyek
pencurian, yaitu barang dalam keadaan res nullus (barang yang pemiliknya telah melepaskan haknya) dan res derelictae.37
3) Barang itu harus “seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain” Unsur ini mengandung suatu pengertian, bahwa benda yang
diambil itu haruslah barang atau bendan yang ada pemiliknya, barang atau
benda yang tidak ada pemiliknya tidak dapat menjadi obyek pencurian.
Terhadap unsur “yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain” ini dapat
diilustrasikan dalam contoh sebagai berikut:38 “Dua orang A dan B secara bersama-sama (patungan) membeli sepeda. Sepeda tersebut kemudian
disimpan di rumah A. ketika A sedang keluar rumah sepeda tersebut di
curi oleh B dan kemudian dijualnya. Dalam hal ini perbuatan B tersebut
tetap merupakan tindak pidana pencurian, sekalipun sebagian dari sepeda
tersebut adalah miliknya sendiri”.
b. Unsur –unsur subyektif, terdiri dari: 1) Dengan maksud
Istilah ini terwujud dalam kehendak, atau tujuan pelaku untuk
memilki barang secara melawan hukum. Sebagaimana telah dikemukakan,
bahwa unsur kesengajaan dalam rumusan tindak pidana dirumuskan
dengan berbagai istilah, termasuk didalamnya adalah istilah“dengan maksud”. Dengan demikian, unsur “dengan maksud” dalam Pasal 362
37
H.A.K. Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1989), hal. 19
38
Tongat, Hukum Pidana Materiil, (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2006), hal 41
KUHP menunjuk adanya unsur kesengajaan dalam tindak pidana
pencurian.
2) Yang ditujukan untuk memiliki
Unsur “memiliki” untuk dirinya sendiri dalam rumusan Pasal 362
KUHP merupakan terjemahan dari kata zich toeeigenen. Istilah zich toeeigenen sebenarnya mempunyai makna yang lebih luas dari sekedar
“memiliki”. Oleh beberapa sarjana, istilah tersebut diterjemahkan distilah “menguasai”. Berkaitan dengan istilah zich toeeigenen ini, Prodjodikoro
berpendapat, bahwa istilah tersebut harus diterjemahkan sebagai berbuat
sesuatu terhadap suatu barang/benda seolah-olah pemilik barang itu, dan
dengan perbuatan tertentu si pelaku melangar hukum. Bentuk dari
perbuatan dari zich toeeigenen tersebut dapat bermacam-macam seperti menjual, menyerahkan, meminjamkan, memakai sendiri, menggadaikan
dan sering bahkan bersifat negatif, yaitu tidak berbuat apa- apa dengan
barang itu, tetapi juga tidak mempersilahkan orang lain berbuat sesuatu
dengan barang itu tanpa persetujuannya.39
3) Secara melawan hukum
Secara melawan hukum yakni perbuatan memiliki yang
dikehendaki tanpa hak atau kekuasaan sendiri dari si pelaku. Pelaku harus
sadar bahwa barang yang diambilnya adalah milik orang lain.40
39
Wirjono Projodikoro, Tindak-Tindak Pidana tertentu di Indonesia, (Bandung : Eresco, 1986), hal.78
40
Tongat, op. cit., hal 19‐23
Adapun jenis-jenis tindak pidana pencurian yang dimaksud, yaitu:
a. Pencurian biasa
Pencurian yang dimaksud disini adalah pencurian yang memenuhi
elemen-elemen seperti yang dimaksud pada penjelasan pasal 362 KUHP
sebagai berikut:
1) Perbuatan ‘mengambil’
2) Yang diambil harus ‘sesuatu barang’
3) Barang itu harus ‘seluruhnya atau sebagian merupakan kepunyaan orang lain’
4) Pengambilan itu harus dilakukan dengan maksud untuk
‘memiliki’ barang itu dengan ‘melawan hukum’ (melawan
hak)41
Sanksi yang diberikan kepada pelaku adalah penjara
selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900,- (jumlah
denda ini telah berubah sesuai dengan Perma no. 2 tahun 2012 tentang
penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam
KUHP)42.
b. Pencurian dengan pemberatan
Pencurian yang dimaksud dengan pemberatan adalah pencurian
biasa (pasal 362) disertai dengan salah satu keadaan seperti disebutkan
pada pasal 363 ayat (1), yaitu:
41
Lihat penjelasan pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana R.Soesilo
42
1) Jika barang yang dicuri adalah hewan yang diterangkan dalam
pasal 101. Pencurian hewan dianggap berat karena hewan tersebut
milik petani yang terpenting.
2) Jika pencurian dilakukan pada waktu ada kejadian macam-macam
malapetaka seperti gempa bumi, banjir, dsb. Pencurian ini
dikategorikan sebagai pencurian berat karena pada kondisi tersebut
orang-orang tidak bisa terfokus pada barang-barangnya lagi
dikarenakan mereka sedang mendapat celaka.
3) Jika pencurian dilakukan pada waktu malam, dalam rumah atau
pekarangan yang tertutup (‘waktu malam’ lihat pasal 98 KUHP).
4) Jika pencurian itu dilakukan oleh dua orang atau lebih. Pelaku
haruslah semuanya sebagai pembuat atau yang turut melakukan
(lihat pasal 55 KUHP).
5) Jika dalam pencurian itu, pencuri masuk ketempat kejahatan atau
mencapai barang yang dicurinya dengan jalan membongkar,
memecah, dsb.43
Sanksi yang diberikan kepada pelaku adalah penjara
selama-lamanya tujuh tahun, apabila pencurian yang dilakukan dengan kondisi
seperti disebutkan pada huruf c disertai dengan salah satu dari kondisi
pada huruf d dan e, dihukum selama-lamanya sembilan tahun (lihat pasal
363 ayat (2) KUHP).
43
c. Pencurian Ringan44
Pencurian ini adalah Pencurian biasa (pasal 362) seperti
disebutkan dalam pasal 364 KUHP dengan kondisi sebagai berikut:
1) Pencurian biasa (pasal 362), asal harga barang yang dicuri tidak
lebih dari Rp 250,-
2) Pencurian dilakukan oleh dua orang atau lebih (pasal 363 sub 4),
asal harga barang tidak lebih dari Rp 250,-
3) Pencurian dengan masuk ketempat barang yang diambilnya dengan
jalan membongkar, memecah, dsb. (pasal 363 sub 5), jika harga
tidak lebih dari Rp 250,- dan tidak dilakukan dalam rumah atau
pekarangan tertutup yang ada rumahnya.
Sanksi yang diberikan kepada pelaku adalah penjara
selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900,- (jumlah
denda ini telah berubah sesuai dengan Perma no. 2 tahun 2012 tentang
penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP)
d. Pencurian dengan kekerasan
1) Pencurian dengan kekerasan pasal 365 ayat (1)
Pencurian ini didahului, disertai, diikuti dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan terhadap orang, dengan maksud akan menyiapkan
atau memudahkan pencurian itu atau jika tertangkap tangan supaya ada
kesempatan bagi dirinya sendiri atau bagi kawannya yang turut
44
Berdasarkan Pasal 1 Perma no. 2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP, kata-kata "dua ratus lima puluh rupiah" dalam pasal 364 KUHP dibaca menjadi Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).
melakukan untuk melarikan diri supaya barang yang dicuri tetap ada
ditangannya.
Berdasarkan penjelasan pasal 365 yang mengatur tentang
pencurian dengan kekerasan ini (pengertian kekerasan lihat pasal 89),
yang dimaksud dengan ‘kekerasan’ dapat pula berupa mengikat orang yang punya rumah, menutup di dalam kamar, dsb. Sanksi yang
diberikan adalah hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.
2) Pencurian dengan kekerasan pasal 365 ayat (2)
Pencurian yang dimaksud disini apabila perbuatan yang
dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada waktu malam hari di dalam
sebuah rumah atau pekarangan yang tertutup, yang ada rumahnya atau
dijalan umum atau didalam kereta api atau trem yang sedang berjalan.
Berdasarkan penjelasan pasal 365, sanksi yang diberikan
diperberat menjadi hukuman penjara 12 tahun apabila disertai dengan
salah satu kondisi yang diatur dalam pasal 363 ayat (1) atau
menjadikan ada orang mendapat luka berat.
3) Pencurian dengan kekerasan pasal 365 ayat (3)
Pencurian ini berakibat matinya orang, ancaman hukumannya
diperberat dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.
4) Pencurian dengan kekerasan pasal 365 ayat (4)
Pencur