• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Konsep Diversi dan Restoratif Justice Pada Tindak Pidana Pencurian yang dilakukan oleh Orang Dewasa (Studi Pada: Polresta Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan Konsep Diversi dan Restoratif Justice Pada Tindak Pidana Pencurian yang dilakukan oleh Orang Dewasa (Studi Pada: Polresta Medan)"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Marlina, Hukum Penitensier, Rafika Aditama, Bandung, 2011

_______, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana, USU Press, Medan, 2010

Team Teaching Kriminologi FH USU, Monograf Kriminologi, Medan, 2014 Agus, Yoachim., Keadilan Restoratif, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2015 Dkk., Elisabeth., Diversi dan Keadilan Restoratif : Kesiapan Aparat Penegak

Hukum dan Masyarakat, Pusaka Indonesia, Medan, 2014

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Rajawali Pers,Jakarta, 2002 Ekaputra, Mohammad., Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi 2, USU Press, Medan,

2013

Lamintang, P.A.F., C. Djisman Samosir, Delik-delik Khusus, Tarsito, Bandung, 1981

Soesilo, R., Pokok-pokok Hukum Pidana, Politea, Bogor, 1996

Soekanto, Soerjono., Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Depok, 1994.

Wahid, Eriyantouw., Keadilan Restoratif dan Peradilan Konvensional dalam Hukum Pidana, Universitas Trisakti, Jakarta, 2009

(2)

Alif, Afthonul., Pemaafan, Rekonsiliasi, dan Restorative Justice, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2015.

Lamintang, P.A.F., Delik-delik Khusus Kejahatan-kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, Sinar Baru, Bandung, 1989.

Soesilo, R., Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar- komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Politeia, Bogor, 1996.

Anwar, Moch., Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989.

Tongat, Hukum Pidana Materiil, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, 2006.

Projodikoro, Wirjono, Tindak-Tindak Pidana tertentu di Indonesia, Eresco, Bandung, 1986.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1981 tentang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan

Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012

tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana

Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2009 tentang

(3)

C. Jurnal

Kuat Puji Prayitno, Restoratif Justice untuk Peradilan di Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum, Volume 12 Nomor 3, September 2012.

Yutirsa Yunus, Analisis Konsep Retoratif Justice melalui Sistem Diversi dalam

Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Jurnal Rechtsvinding, Volume 2 nomor 2, Agustus 2013.

Sefriani, “Urgensi Rekonseptualisasi dan Legislasi Keadilan Restoratif di Indonesia”, Jurnal Rechts Vinding, Volume 2 nomor 2, Agustus 2013.

Apong Herlina, “Restorative Justice”, Jurnal Kriminologi Indonesia, Volume 3 Nomor III September 2004.

D. Website

www.repository.usu.ac.id

http:/pm-bangil.go.id/data/?p=207

LawEducation,http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/metode-penelitian-hukum,

(4)

BAB III

PENGEMBANGAN KONSEP DIVERSI DAN RESTORATIF JUSTICE BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN YANG DILAKUKAN

OLEH ORANG DEWASA

A. Konsepsi Diversi dan Restoratif Justice pada Sistem Peradilan Umum

1. Prinsip-Prinsip Dasar Konsep Diversi dan Keadilan Restoratif

Ketentuan mengenai Diversi pada Sistem Peradilan di Indonesia

diatur dalam UU No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, di

dalam pasal 6 undang-undang ini disebutkan yang menjadi tujuan dari Diversi

itu sendiri adalah mencapai perdamaian antara korban dengan anak,

menyelesaikan perkara anak diluar proses peradilan, menghindarkan anak dari

perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan

menanamkan tanggung jawab kepada anak.75

Menurut United Nations Standard Minimum Rules For the

Administration of Juvenile Justice (The Beiing Rules), diversi memiliki

prinsip-prinsip sebagai berikut:76

a. Diversi dilakukan setelah melihat pertimbangan yang layak, yaitu

penegak hukum (polisi, jaksa, hakim dan lembaga lainnya) diberi

kewenangan untk menangani pelanggar-pelanggar hukum berusia

muda tanpa menggunakan pengadilan formal;

b. Kewenangan untuk menentukan diversi diberikan kepada aparat

penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim serta lembaga lain yang

menangani kasus anak-anak ini, menurut kebijakan mereka, sesuai

75

Lihat Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang SPPA

76

(5)

dengan kriteria yang ditentukan untuk tujuan itu di dalam sistem

hukum masing-masing dan juga sesuai dengan prinsip-prinsip yang

terkandung di dalam The Beijing Rules;

c. Pelaksanaan Diversi harus dengan persetujuan anak, atau orang tua

atau walinya, namun demikian keputusan untuk pelaksanaan diversi

setelah ada kajian oleh pejabat yang berwenang atas permohonan

diversi tersebut;

d. Pelaksanaan diversi memerlukamn kerja sama dan peran masyarakat,

sehubungan dengan adanya program diversi, seperti: pengawasan,

bimbingan sementara, pemulihan, dan ganti rugi kepada korban.

Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak

(AKH)77 dan orangtua/walinya, korban beserta orangtua/walinya, petugas

pembimbing kemasyarakatan (BAPAS), pekerja sosial profesional, dan

apabila diperlukan dalam musyawarah tersebut dilibatkan tenaga

kesejahteraan sosial dan/atau masyarakat.78

Beberapa hal didalam UU SPPA yang wajib diperhatikan oleh Aparat

Penegak Hukum (Polisi, Jaksa, dan Hakim) dalam melakukan Diversi

terhadap kasus-kasus yang melibatkan AKH adalah hal-hal berikut:

a. Adanya persetujuan/kesepakatan perdamaian antara anak pelaku dan orangtua/wali anak dengan anak korban dan orangtua/wali korban dengan atau tanpa ganti kerugian (Pasal 6 huruf a dan Pasal 11 huruf a)

77

Menurut Ketentuan Umum UU SPPA, AKH adalah Anak yang berkonflik dengan Hukum yang berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana

78

(6)

b. Kategori tindak pidana yang dilakukan anak diancam pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun (Pasal 7 ayat 2a dan Pasal 9 ayat 1a)

c. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana (Pasal 7 ayat 2 b) d. Umur anak, semakin muda umur anak maka semakin tinggi

prioritas melakukan diversi (Pasal 9 ayat 1 huruf b dan Penjelasannya)

e. Hasil penelitian kemasyarakatan dari BAPAS (Pasal 9 ayat 1 huruf c)

f. Dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat (Pasal 9 ayat 1 huruf d)

g. Penuntut umum wajib mengupayakan diversi dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima berkas perkara dari Penyidik, dan dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari (Pasal 42 ayat 1 dan 2)

h. Apabila proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan atau kesepakatan diversi tidak dilaksanakan maka proses peradilan pidana anak dilanjutkan (Pasal 13 huruf a dan b)79

Konsep ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan restoratif

justice (keadilan restorative) sebagai alternatif untuk menangani anak-anak

yang berkonflik hukum. Didalam UU SPPA sudah sangat jelas pula diatur

mengenai kewajiban untuk mengutamakan pendekatan keadilan restoratif

tersebut, namun prosesnya belum diatur secara rinci.

Dewasa ini, di beberapa Negara maju, keadilan restoratif (restorative justice) bukan sekedar wacana para akademisi dan praktisi hukum pidana dan kriminologi. Di Amerika Utara, Australia, dan sebagian Eropa, keadilan

restoratif sudah diterapkan pada semua tahap proses peradilan pidana yang

konvensional, yaitu tahap penyidikan dan penuntutan, tahap adjudikasi dan

tahap eksekusi pemenjaraan.80

79

Elisabeth, dkk., Op.Cit., hal.39

80

(7)

Karakteristik dari peradilan restorative adalah Just Peace Principle

atau keadilan yang dilandasi perdamaian antara pelaku, korban, dan

masyarakat. Prinsip ini berlandaskan pemikiran bahwa keadilan dan

perdamaian pada dasarnya tidak dapat dipisahkan. Perdamaian tanpa keadilan

adalah penindasan, keadilan tanpa perdamaian adalah bentuk baru

penganiayaan atau tekanan. Dikatakan sebagai Just Peace Principles atau

Just Peace Ethics karena pendekatan dalam Restoratif Justice menerapkan prinsip dasar pemulihan kerusakan kepada mereka yang menderita kerugian

akibat kejahatan; diberikannya kesempatan pad apelaku untuk terlibat dalam

pemulihan keadaan tersebut, diberikannnya peran pada pengadilan dan

masyarakat untuk menjaga ketertiban umum dan melestarikan perdamaian

yang adil. Tujuan yang ingin dicapai melalui proses kooperatif yang

melibatkan semua pihak (stakeholders).81

Restoratif justice bukanlah teori baru bagi masyarakat internasional

termasuk Indonesia. Konsep ini bahkan diyakini sudah menjadi dominant

teory dalam sistem peradilan pidana seluruh dunia. Para pakar hukum pidana

meyakini bahwa konsep restorative justice sudah ada sejak manusia pertama

kali membentuk komunitas. Konsep ini dimanfaatkan sebagai salah satu

bentuk utama dari keadilan di mayoritas sistem kebudayaan di dunia.82

Prinsip dasar keadilan restoratif yang dikemukakan oleh Yoachim

dalam bukunya “Keadilan Restoratif”, menyampaikan ada tiga prinsip, yaitu:

81Sefriani, “Urgensi Rekonseptualisasi dan Legislasi Keadilan Restoratif di Indonesia”,

Jurnal Rechts Vinding, Volume 2 nomor 2, Agustus 2013, hal.279

82

(8)

a. Keadilan Restoratif mengutamakan pemulihan atau restorasi bagi

semua pihak yang terkena dampak dari tindak kejahatan, yaitu korban,

pelaku, dan masyarakat. Korban adalah pihak pertama yang paling

dirugikan oleh karena kejahatan. Ia menderita secara fisik dan mental.

Pelaku kejahatan menderita kerugian juga, dengan melakukan

kejahatan seorang pelaku kejahatan mengalami kemerosotan mental. Ia

kehilangan daya kontrol diri dan kemampuannya untuk mengikuti hati

nuraninya. Ia menyerah pada godaan-godaan buruk dan kehilangan

kemampuan diri untuk memilih yang baik dan yang benar. Tatanan

kehidupan juga kehilangan kedamaian, diganti oleh ketakutan,

kecemasan, saling curiga, dan perasaan tertekan. Hubungan sosial

antar warga menjadi rusak oleh karena saling menyalahkan satu sama

lain. Kondisi yang rusak seperti itulah yang ingin dipulihkan melalui

keadilan restoratif justice.

b. Berkaitan dengan cita-cita pemulihan (restorasi) diatas, keadilan

restoratif fokus pada kebutuhan ketiga pihak, yaitu korban, pelaku

kejahatan, dan masyarakat, yang tidak dipenuhi oleh proses peradilan.

Proses peradilan pidana yang selama ini berjalan sering mengabaikna

korban kejahatan, karena korban kejahatan diambil alih oleh Negara,

maka Negara akan menghukum sedangkan korban kejahatan tidak

mendapatkan hak apa-apa, sehingga dalam hal ini korban diabaikan

dan oleh karena itu keadilan restoratif hadir untuk fokus pada

(9)

c. Keadilan restoratif memperhatikan kewajiban dan tanggungjawab yang

muncul oleh karena tindak kejahatan. Pelaku kejahatan wajib

memulihkan kerusakan yang diderita korban dan masyarakat.

Kewajiban terhadap korban dilakukan pertama-tama dengan mengakui

bahwa ia bersalah. Pengakuan ini penting, karena ini merupakan bukti

pengakuan atas penderitaan yang dialami korban. Pengakuan dan

permohonan maaf tersebut merupakan proses yang penting didalam

penyembuhan luka-luka batin dan penderitaan mental korban. Pelaku

kejahatan juga berkewajiban memberikan kompensasi untuk

membayar biaya penyembuhan luka-luka fisik dan mengganti

kehilangan materi korban.83

Berdasarkan prinsip-prinsip di atas Howard Zehr menegaskan keadilan

restoratif dalam enam hal, yaitu:

a. Keadilan restoratif bukanlah pertama-tama berarti memaafkan dan

rekonsiliasi. Ada banyak pihak, termasuk korban dan para pembela

korban curiga bahwa keadilan restoratif adalah bentuk pemaksaan pada

korban untuk memaafkan dan berdamai dengan pelaku tindak pidana

kejahatan.

b. Keadilan restoratif bukan sekedar mediasi. Keadilan ini

mengutamakan adanya perjumpaan, namun bukan pertama-tama untuk

membuat mediasi. Istilah ‘mediasi’ tidak tepat digunbakan untuk

83

(10)

menyebut keadilan restorative. Pendekatan restoratif tetap bisa terjadi

apabila pertemuan antar korban dan pelaku tidak terjadi.

c. Keadilan restoratif bukanlah dimaksudkan untuk memberikan efek jera

agar pelaku tidak mengulangi perbuatannya lagi, melainkan yang

dipentingkan oleh pendekatan restoratif adalah kebutuhan tiga pihak

yang berurusan dengan tindak pidana tersebut yaitu korban, pelaku,

dan masyarakat.

d. Keadilan restoratif bukan program siap pakai dengan cetak-biru yang

telah terjadi. Program-program restorative terus mencari bentuk, sesuai

dengan kondisi masyarakat serta budaya yang ada.

e. Keadilan restorative tidak hanya dapat diterapkan pada kasus-kasus

kecil atau kasus-kasus baru, melainkan pada kasus apa saja yang

menerapkan prinsip-prinsip dasar diatas.

f. Keadilan restoratif bukan dimaksudkan untuk menggantikan sistem

hukum. Keadilan restoratif bukanlah untuk menggantikan pemenjaraan

dan retribusi. Keadilan restoratif menekankan pemulihan kerusakan

dan keretakan yang diakibatkan adanya tindak kejahatan. Kejahatan itu

memuat dimensi kemasyarakatan, lokal, dan personal. Pendekatan

retributif dan legal hanya memandang dari dimensi publik dan

kemasyarakatan, dan kurang melihat dimensi lokal dan personal

(11)

restoratif membuatnya seimbang dengan memperhatikan dimensi lokal

dan personal.84

Penjelasan terhadap definisi restoratif justice yang dikemukakan oleh

Toni Marshal dalam tulisannya “Restorative Justice an Overview”, dikembangkan oleh Susan Sharpe dalam bukunya “Restorative Justice a

Vision For Hearing and Change” mengungkapkan 5 prinsip kunci dari

restoratif justice yaitu:

a. Restoratif Justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus;

b. Restoratif Justice berusaha menyembuhkan kerusakan atau kerugian

yang ada akibat terjadinya tindak kejahatan;

c. Restoratif Justice memberikan pertanggungjawaban langsung dari

pelaku secara utuh;

d. Restoratif Justice mencarikan penyatuan kembali kepada warga

masyarakat yang terpecah atau terpisah karena tindak criminal;

e. Restoratif Justice memberikan ketahanan kepada masyarakat agar

dapat mencegah terjadinya tindakan kriminal berikutnya85

Berbagai prinsip keadilan Restoratif yang telah di kemukakan oleh

beberapa ahli dan pemerhati hukum tersebut pada intinya berprinsip yang

sama. Sebuah keadilan yang saat ini dibutuhkan masyarakat di dunia adalah

keadilan yang mendamaikan dan memperbaiki/memulihkan keadaan yang

tidak seimbang dalam masyarakat, yang diakibatkan oleh adanya kejahatan

yang mampu mengubah pola pikir retributif.

84Ibid

., hal.38-40

85

(12)

2. Program Diversi dan Restoratif Justice pada Sistem Peradilan Pidana di Dunia

Diversi telah diterapkan setidaknya pada sepuluh Negara di Dunia, di

mana penerapannya untuk permasalahan anak konflik hukum (AKH). Diversi

telah dianggap sebagai bentuk alternatif penyelesaian yang baik untuk

mengubah perilaku menyimpang anak, dengan adanya keterlibatan keluarga,

komunitas dan polisi, sehingga membuat anak memahami dampak atas

tindakan yang dilakukannya.

Program Diversi di Canada salah satu contohnya, merupakan hasil

amandemen Criminal Code Canada untuk alternatif hukuman anak dan remaja yang tertuang dalam Bill C-41 1996. Di provinsi Bohol-Philiphina,

diversi diatur dalam Child and Youth Relations Unit (CYRU) Bohol. Adapun diversi di Bohol dapat dilihat melalui beberapa bentuk, yaitu:

a. Teguran formal maupun informal/lisan b. Ganti rugi atau konsekwensi kerusakan

c. Penyitaan benda yang digunakan untuk melakukan pelanggaran d. Denda

e. Permintaan maaf secara lisan atau tulisan f. Pemberian nasehat dan pengawasan

g. Pemberian nasehat kepada keluarga dan anak

h. Menyerahkan kepada komunitas berbasis program yang ada i. Menyerahkan kepada institusi sosial86

Program Diversi ini lebih lanjut dapat dijelaskan dengan memberikan

beberapa contoh program Diversi sebagai berikut:87

86

Elisabeth, dkk., Op.Cit., hal.40

87

(13)

a. Non-Intervensi

Non intervensi merupakan upaya terbaik, oleh karena itu Diversi tanpa

melalui proses formal merupakan upaya yang optimal, terutama bagi

tindak pidana yang tidak serius dimana keluarga, sekolah atau lembaga

pengawasan sosial informal lainnya telah beraksi atau akan bereaksi

dengan cara yang layak dan membangun

b. Peringatan Informal

Peringatan Informal melibatkan polisi untuk mengatakan kepada si

anak bahwa apa yang diperbuatnya adalah salah dan

memperingatkannya untuk tidak melakukannya lagi. Tidak ada berita

acara untuk ini.

c. Peringatan Formal

Polisi harus mengantar si anak pulang dan memberinya peringatan

dihadapan orang tua/walinya. Polisi dapat mencatat peringatan ini

dalam catatan Diversi yang disimpan di kantor polisi.

d. Permohonan maaf

Pelaku harus meminta maaf kepada korban. Hal ini dapat dilakukan

melalui banyak cara. Contohnya, si anak menulis surat permohonan

maaf atau diminta untuk datang ke korban dan meminta maaf.

e. Mengganti kesalahan dengan kebenaran atau restitusi

Anak diminta mengganti kesalahannya dengan kebaikan. Contohnya

apabila seorang anak menendang keranjang sampah, si anak diminta

(14)

diminta untuk membayar kembali kerugian yang diderita oleh korban

dengan memperhitungkan kemampuan si anak untuk membayar

kembali.

f. Pelayanan masyarakat

Anak dapat diminta melakukan pelayanan masyarakat atau memenuhi

tugas selama beberapa jam. Pelayanan masyarakat yang berjalan

dengan baik dan dikaitkan dengan tindak pidana mempunyai fungsi

pengembangan dan pendidikan. Contohnya, seorang anak yang

mengotori tembok atau tempat umum, kemudian diminta

membersihkan apa yang telah diperbuatnya atau mengecet tembok

kembali. Anak dapat pula diminta untuk membuat untuk membuat

poster tentang lingkungan yang bersih dan menempelkannya di

tempat-tempat umum.

g. Pelibatan dalam program keterampilan hidup

Program Diversi yang lain adalah melibatkan anak pada program

keterampilan hidup yang dijalankan oleh oleh pelayanan sosial atau

LSM. Program keterampilan hidup dapat dilakukan bagi anak yang

melakukan tindak pidana atau untuk seluruh anak di masyarakat secara

umum.

h. Rencana individual antara Polisi, Anak, dan keluarga

Melibatkan Anak, keluarga dan Polisi untuk bersama-sama membahas

hal-hal yang harus dilakukan. Mengganti kesalahan dengan kebenaran

(15)

memperkuat hubungan keluarga dan sistem bantuan di sekeliling Anak

dan keluarga; mencegah terjadinya tindak pidana lagi.

i. Rencana yang diputuskan oleh pertemuan tradisional

Kasus-kasus Anak dapat juga dilimpahkan ke pertemuan masyarakat

tradisional.

j. Rencana yang didasarkan pada hasil pertemuan kelompok keluarga.

Pertemuan kelompok keluarga adalah pertemuan semua pihak yang

dirugikan oleh tindak pidana untuk bersama-sama memutuskan hal-hal

yang harus dilakukan untuk memperbaiki kesalahan dan mencegah

terjadinya lagi.

Penanganan non formal pada anak ini sangat berhubungan dengan

konsep pendekatan keadilan restoratif. Sebuah konsep penanganan perkara

anak yang mengakomodasi nilai-nilai yang terdapat pada Konvensi hak anak

yang diratifikasi oleh Indonesia melalui UU SPPA yang telah mengadopsi

nilai-nilai kebaikan yang berkembang di dalam masyarakat dunia.

Menurut PBB, “program keadilan restoratif” adalah program apapun

yang menggunakan proses restoratif dengan sasaran untuk mencapai hasil

yang diinginkan. Tujuannya adalah memulihkan kedamaian dan hubungan

yang rusak melalui celaan terhadap perilaku jahat dan menguatkan nilai-nilai

yang hidup dalam komunitas. Para korban diperhatikan kebutuhannya dan

para pelaku didorong untuk bertanggungjawab, maka harus dipahami makna

proses restoratif dan makna hasil restoratif.88

88

(16)

Proses restoratif adalah proses apapun di mana korban kejahatan dan

pelaku kejahatan, dan bilamana perlu, anggota-anggota komunitasnya yang

terkena dampak kejahatan, secara aktif berpartisipasi bersama, guna

memutuskan masalah-masalah yang timbul akibat kejahatan tersebut, dan

biasanya dengan dibantu oleh seorang fasilitator, sedangkan hasil restoratif

adalah kesepakatan yang dicapai dari suatu proses restoratif termasuk

misalnya, pemilihan program seperti program pemulihan; program pemberian

ganti rugi; dan program kerja sosial. Terhadap kejahatan berat programnya

dapat diganti dengan program-program lain.89

Menurut Centre of Justice & Reconciliation di Washington DC, Amerika Serikat, berikut adalah beberapa praktik atau program keadilan

restoratif:

a. Pertemuan Mediasi Korban-Pelaku (Victim Offender Mediation) atau Rekonsiliasi Korban-Pelaku

Korban kejahatan diberi kesempatan tatap muka dengan pelaku

kejahatan dalam suasana yang aman dan dipersiapkan. Kejahatan yang

telah terjadi pun dibicarakan di mana pelaku didorong agar memikirkan

dampak kejahatan yang diperbuatnya dan mau bertanggungjawab dengan

melakukan pemulihan. Praktik mediasi ini dikembangkan dari Kanada,

sesuai dengan namanya maka pertemuan dibantu seorang mediator.90

Istilah lainnya untuk menyebut praktik ini adalah Victim-Offender Reconciliation Programs (VORP). Pada akhir 1970-an

89

Ibid., hal.18

90

(17)

pertemuan antara korban dan pelaku kejahatan lebih memilih mediasi

antara korban dan pelaku dari pada rekonsiliasi, pada model ini lebih

banyak orang dapat dilibatkan, apalagi jika menyangkut perkara serius.

Model ini telah diperkenalkan di Inggris, Skandinavia, dan Negara-negara

Eropa Barat.91

Umbreit dan Coates menyatakan bahwa tujuan penyelesaian

dengan VOM adalah to “humanize” the justice system. Pendekatan

dikatakan lebih humanis karena berusaha mengeliminir beberapa masalah.

Pertama, tidak lagi mengasingkan hubungan dengan korban pasca proses

peradilan ke tempat sekunder sehingga konsekuensi kejahatan yang

dialaminya tidak diperhatikan. Di sisi lain, masuknya para pihak dalam

menyelesaikan masalah adalah significant part dan menjadi ciri khas model restoratif. Kedua, secara efektif bertanggung jawab kepada korban

atas pemulihan kerugian materil dan moral dan menyediakan berbagai

kesempatan untuk dialog, negosiasi, dan resolusi masalah. Ketiga,

memberi rasa hormat kepada martabat manusia (the respect for human

dignity), karena peradilan restorative tidak terpisah dari model

perlindungan hak asasi manusia bahkan mereka berdua mencari kebaikan

bersama (they both seek a common good).92

91

Yoachim Agus, Op.Cit., hal. 30

92

(18)

b. Proses Pertemuan Keluarga atau Pertemuan Kelompok Komunitas

(PKK) atau Family Group Conference (FGC)

Korban, pelaku, dan keluarga, serta handai taulan dan para

pendukung utama dari kedua pihak bertemu dan memutuskan cara

penanganan periode sesudah terjadi kejahatan. Para pendukung pelaku

kejahatan dimungkinkan berhubungan langsung dengan para pendukung

utama dari kedua pihak. PKK diadaptasi dari praktik-praktik tradisi Maori

di New Zealand, kemudian di Australia dimodifikasi menjadi Acara Temu

Korban dengan prakarsa kepolisian, karena itu dikenal sebagai Pertemuan

Polisi.93

Program ini pertama kali diterapkan di Selandia Baru. Model

musyawarah disesuaikan dengan kondisi sesaat, namun yang mesti terjadi

adalah rapat atau pembicaraan dari keluarga pelaku. Rapat ini kemudian

menghasilkan keputusan yang akan dibawa pada rapat dengan keluarga

korban. Dibandingkan dengan Mediasi Pelaku-Korban (VOM), praktik

restorative justice ini lebih banyak melibatkan anggota keluarga.94

Dalam proses yang panjang itu fasilitator musyawarah kelompok

keluarga (FGC) harus terus menerus melakukan pendampingan pada

keluarga korban dan pelaku. Kalau kondisi sudah sungguh-sungguh siap,

musyawarah dapat dilakukan. Seluruh proses musyawarah harus mengarah

pada pemulihan hubungan antara para pihak korban dan pelaku. Pihak

pelaku harus mengakui, menyesali, dan bertanggung jawab atas

93

Eriyantouw Wahid, Op.Cit., hal.19

94

(19)

tindakannnya, serta puncaknya adalah kesediaan minta maaf, sedangkan

pihak korban mau memaafkan. Musyawarah juga membicarakan ganti rugi

atau konpensasi yang harus ditanggung oleh pihak pelaku, pastinya tidak

lah mudah menetukan besarnya konpensasi itu, karena berapapun besarnya

ganti rugi atau konpensasi tidak akan seimbang dengan penderitaan

korban. Besarnya ganti rugi atau konpensasi lebih merupakan symbol dari

penyesalan dan tanggung jawab pelaku.95

c. Proses Restoratif Acara Lingkar Perdamaian atau Acara Lingkar

Penjatuhan Sanksi

Program ini dipersiapkan guna mencari solusi dan konsensus

mengenai sanksi yang dapat diterima pihak-pihak berkepentingan.

Konsensus diupayakan bersama oleh komunitas, para korban dan pelaku,

para pendukung kedua pihak, hakim, jaksa, penasehat hukum, aparat

pengadilan, dan aparat kepolisian. Proses ini bertujuan melangsungkan

proses penyembuhan pihak-pihak yang terkena dampak perkara, acara

semacam itu memberi kesempatan kepada pelaku untuk melakukan

perbaikan serta membuka ruang bagi para korban, para pelaku, keluarga,

dan komunitas saling mencurahkan isi hati dengan menciptakan rasa

berkomunitas dan pelbagai nilainya. Praktik restorative ini diadaptasi dari

tradisi penduduk pribumi Amerika Utara.96

Menurut Olga Botcharova (1998) dalam gagasannya tentang

lingkaran kekerasan (cycle of violence), ada beberapa tahap yang harus

95

Ibid., hal.78

96

(20)

dilewati untuk sampai pada kesediaan untuk memaafkan dan rekonsiliasi.

Tahap-tahap tersebut adalah: (1) mengungkapkan kesedihan; (2) menerima

kehilangan/kerugian dan berani menghadapi ketakutan; (3) memikirkan

kondisi pelaku, mengapa mereka melakukan itu; (4) bergerak mengatasi

toleransi; (5) memilih untuk memaafkan; (6) menegosiasikan penyelesaian

masalah; (7) menetapkan keadilan restorative; (8) bergerak menuju

rekonsiliasi. Namun, bila tahap-tahap tersebut tidak diproses dan dilalui

dengn baik, yang terjadi adalah tindakan pembalasan yang dibenarkan (act

of justified aggression), meski demikian Botcharova yakin bahwa di

kedalaman jiwa manusia terdapat kebaikan dasar (basic goodness) yang

dapat mencegah manusia dari keinginan untuk membalas dengan tindakan

kekerasan.97

Bentuk-bentuk program di atas terus-menerus mengalami modifikasi,

bahkan bentuk-bentuk tersebut kadang-kadang saling bercampur, namun perlu

dicatat bahwa keadilan restoratif tidak selalu mengharuskan terjadinya

pertemuan langsung antara korban dan pelaku tindak kejahatan.

Kadang-kadang korban tidak mempunyai kebutuhan untuk bertemu langsung dengan

pelaku, begitu pula pelaku terkadang tidak butuh bertemu dengan korban.98

Sejauh ini, sudah terlihat bahwa keadilan restoratif merupakan

fenomena yang mendunia. Di Eropa, sistem dan budaya kawasan yang

berbeda memberi pengaruh pada pendekatan restoratif. Di Irlandia Utara

97

Yoachim Agus, Op.Cit., hal.77

98

(21)

misalnya diterapkan pada alternative penyelesaian tindak kekerasan dan di

Eropa Timur untuk reformasi peradilan.99

Keadilan Restoratif di Afrika nampak dari revitalisasi praktik-praktik

pribumi asli dan peningkatan sanksi kerja sosial. Di Timur Tengah,

eksperimen keadilan restoratif berawal dari proses penyelesaian konflik

tradisional. Di kawasan lain Asia, terkait peradilan anak dimana pelakunya

dikeluarkan dari Peradilan.100

Konsep keadilan restorative memang telah mendapatkan inspirasinya

dari pelbagai praktik keadilan kaum aborigin (indigenous people) di pelbagai tempat, seperti selandia baru, Amerika Utara, Kanada, Australia, dan

sebagainya. Praktik-praktik kaum aborigin tersebut dihapus ketika terjadi

penjajahan dan pengaruh Negara-negara Eropa, namun kemudian

praktik-praktik tersebut digali kembali, dihidupkan, dan dikembangkan menjadi

keadilan restorative.101

Beberapa Negara yang sudah mulai mengembangkan konsep keadilan

restoratif, yaitu:

a. New Zealand

Negara pertama di dunia yang menerapkan proses restoratif dalam

pengadilan umum, mewajibkan pelaku remaja dan pelaku dewasa

menghadiri family group conference (FGC), sedangkan hakim

diwajibkan mempertimbangkan kesepakatan yang dicapai dalam FGC,

sehingga dimungkinkan menjatuhkan sanksi yang lebih ringan. Pada

99

Eriyantouw Wahid, Op.Cit., hal. 25

100

Ibid.

101

(22)

akhirnya, proses restorative pun mencakup kejahatan-kejahatan

berat.102

b. Mexico

Pasca amandemen pasal 20 UUD Meksiko di tahun 2001, hak-hak para

korban dikui dan kebijakan pemidanaan ditinjau ulang. Penjara akan

diisi oleh narapidana yang menjalani hukuman berat-berat saja, Karena

itu diupayakan alternatif dari pemenjaraan dengan memperkenalkan

mediasi korban. Sistem penuntutan legalita diubah menjadi sistem

opportunitas, mengikuti Amerika Serikat dan Kanada.103

c. Belgia

Lembaga mediasi yang diperkenalkan di Belgia sejak 1993 merupakan

embrio dari proses restoratif. Karena berhasil, mediasi yang diawasi

kejaksaan dan pengadilan (mediation penal), dimasukkan kedalam KUHAP (Criminal Procedure Code) dalam tahun 2005, di mana tindak pidana dari yang teringan sampai yang terberat dapat diserahkan

pada mediasi. Permohonan mediasi perkara pidana dapat diajukan ke

pengadilan pada saat sebelum, selama, dan sesudah pemeriksaan di

persidangan, bahkan dapat diajukan setelah menjalani penjara atau

alternatifnya.104

d. Spanyol

Mediasi yang tadinya terbatas pada ganti rugi sederhana, diperluas

cakupannya, di mana korban pun memainkan peran penting. Di

102

Eriyantouw Wahid, Op.Cit., hal.26

103

Ibid.,

104

(23)

samping itu, undang-undang kini mengatur pelaku yang belum dewasa

bertemu dengan korbannya melalui mediasi, untuk menyampaikan rasa

penyesalan dan untuk menyampaikan rasa penyesalan dan untuk

mendapat kepastian besar ganti kerugian korban.105

e. Selandia Baru

Penduduk Maori di Selandia Baru, berpandangan bahwa konflik

tidaklah dimiliki oleh orang perorangan, tetapi melibatkan keluarga

besar pelaku dan korban. Keluarga yang dimaksud disini bukanlah

dalam arti horizontal yaitu mereka yang berasal dari generasi yang

sama, tetapi dalam arti vertikal yaitu mereka yang berasal dari generasi

yang berbeda. Maka hak atas keadilan milik korban juga diturunkan

secara turun temurun dari satu generasi kegenerasi berikutnya, begitu

pula hak atas keadilan dituntut dari pelaku kejahatan satu generasi ke

generasi selanjutnya. Penyelesaian konflik diadakan dalam bentuk

musyawarah yang diadakan di rumah pertemuan (wharaeuni).106

f. Italia

Sudah sekian lama diperdebatkan di Italia mengenai ketidakefektifan

sanksi pidana, terutama tidak tercapainya tujuan pemenjaraan, baik

untuk mencegah maupun untuk merehabilitasi. Salah satu solusinya

adalah penerapan proses restorative ke dalam proses peradilan pidana

105

Ibid.

106

(24)

melalui legislasi. Bentuknya berupa mediasi hukum pidana dan

mediasi pidana anak.107

g. Republik Ceko

Demi keadilan restorative, di Republik Ceko, PMS (Probation

Mediation Service) diberi wewenang melakukan mediasi antara pelaku

dan korban, karena itu PMS dilibatkan dalam proses pidana, baik

sebelum maupun selama persidangan di pengadilan. Petugas pengawas

menyusun laporan pra-penjatuhan sanksi untuk dipelajari jaksa dan

hakim yang meliputi segi-segi kehidupan pelaku di waktu terakhir

sebagai dasar kerja sama di waktu yang akan datang.108

h. Arizona, Amerika Serikat

Bangsa Navajo pada tahun 1982 membuat peradilan sendiri demi

menciptakan perdamaian dengan mengubah sistem peradilan warisan

Barat yang diterapkan sejak tahun 1892. Sistem peradilan bangsa

Navajo ini memandang bahwa peradilan bukanlah untuk menghukum

orang, tetapi untuk mendidik orang agar dapat hidup lebih baik.

Peradilan adalah proses penyembuhan yang memulihkan relasi antara

manusia atau menciptakna lingkungan yang sehat.109

i. Sri Lanka

Keadilan Restoratif di Sri Lanka diterapkan melalui UU Dewan

Mediasi 1988 terhadap perkara-perkara ringan, misalnya penghinaan

ringan, ucapan-ucapan berupa penodaan ringan terhadap agama,

107

Eriyantouw Wahid., Op.Cit., hal.28

108

Ibid.

109

(25)

penganiayaan ringan, penipuan ringan, dan beberapa tindak pidana

dalam KUHPidana (Penal code), harus didamaikan dahulu oleh Dewan Mediasi.110

j. Thailand

Penerapan keadilan Restoratif di Negara Gajah putih ini, berawal dari

perintah undang-undang, yaitu perkara anak-anak dengan ancaman

pidana penjara dibawah 5 tahun harus diserahkan kepada pertemuan

keluarga atau FGCG (Family Community Group Conferencing).

Dalam praktik restorative semacam itu, dilibatkan korbannya,

keluarganya, polisi penyidiknya, dan jaksa. Setelah mencapai

kesepakatan, Direktur kepemudaan Departemen kehakiman

mengusulkan kepada jaksa untuk tidak menuntutnya. Menurut data,

dari 1500 perkara dewasa, 86 % diantaranya mencapai kesepakatan.111

Thailand mengadaptasi model FGC New Zealand, untuk orang dewasa

yang disangkakan melakukan tindak pidana melakukan tindak pidana

tertentu akan diserahkan kepada PS Departemen Kehakiman. Keadilan

restorative dikenal di Thailand sebagai “keadilan demi kesejahteraan

mayarakat” atau “justice for social harmony”. Konsep tersebut

mendapat sambutan berbagai kalangan termasuk penguasa

dimasing-masing komponen sistem peradilan. Dorongannya adalah kekecewaan

terhadap sistem pemidanaan yang bersifat retributive, sedangkan nasib

korban kurang diperhatikan. Dorongan lainnya karena semua penjara

110

Eriyantouw Wahid., Op.Cit., hal.29

111

(26)

melebihi kapasitas akibat pemenjaraan terlalu mudah dan sering

diterapkan.112

B. Pengembangan Konsep Diversi dan Restoratif Justice bagi Pelaku Tindak Pidana Pencurian yang dilakukan oleh Orang Dewasa

Sistem peradilan pidana di Indonesia saat ini membutuhkan pembaharuan.

Perubahan orientasi sistem peradilan pidana dari yang selama ini berfokus pada

perbuatan yang dilarang dan pelaku tindak pidana (crime and offender oriented), beralih pada orientasi perbuatan, tersangka, dan korban (crime, offender, and victim oriented) bukan merupakan suatu keniscayaan. Terkait dengan hal ini, praktik pemaafan dalam penyelesaian perkara-perkara pidana pada dasarnya telah

terdapat di dalam berbagai khasanah budaya berbagai masyarakat tradisional.

Penggunaan permaafan yang merupakan inti dari peradilan restoratif, kendatipun

telah lebih banyak berlangsung dalam mekanisme diluar pengadilan Negara,

namun sedikit banyak memberi pengaruh pada proses peradilan pidana tertentu.113

Muladi mengungkapkan, dalam keadilan restoratif korban diperhitungkan

martabatnya. Pelaku harus bertanggungjawab dan diintegrasikan kembali ke

dalam komunitasnya. Pelaku dan korban berkedudukan seimbang dan saling

membutuhkan karena itu harus dirukunkan. Ketua Mahkamah Agung RI dalam

bulan Mei 2008, setahun lalu, menegaskan, dilihat dari keadilan restoratif, posisi

perkara harus diubah, bukan lagi demi kepentingan ketertiban, melainkan demi

kepentingan korban beserta pemulihan segi materil dan psikisnya. Intinya,

112Ibid.,

hal.30

113

(27)

bagaimana menghindarkan pelaku dari pemenjaraan, tapi tetap bertanggung

jawab.114

Konsep keadilan restoratif seperti ini begitu diharapkan dapat diterapkan

pada sistem peradilan pidana konvensional, namun, perjalanan sistem peradilan

pidana konvensional yang berorientasi pada tujuan retributif bukan lah perkara

mudah untuk mengubahnya kearah restoratif. Berkaca pada Negara-negara lain di

Dunia yang mulai mengembangkan konsep keadilan seperti ini, maka bisa jadi

sistem peradilan pidana Indonesia juga suatu saat akan mengubah perspektif

pemidanaannya, mengingat adanya perkembangan kebutuhan masyarakat akan

hukum beserta keadilannya yang semakin meningkat.

Berbicara mengenai sistem peradilan pidana konvensional di Indonesia

yang sudah cukup lama menganut perspektif retributif, maka perlu diadakan suatu

pengkajian secara bertahap terhadap perkara tertentu yang dapat memulai

penerapan keadilan restoratif pada sistem peradilan pidana tersebut. Pembahasan

mengenai penanganan tindak pidana pencurian pada polresta Medan dan

pemahaman tentang konsep diversi dan restoratif justice sebelumnya, dapat

dijadikan bahan pengembangan konsep diversi dan restoratif justice di Indonesia.

1. Pandangan Kepolisian Resor Kota Medan terhadap Pengembangan Konsep Diversi dan Restoratif Justice

Penerapan konsep Diversi dan Restoratif Justice ini sendiri telah

dilaksanakan pada Polresta Medan sejak di undang-undangkannya peraturan

mengenai sistem peradilan khusus yang mengakomodir perlindungan terhadap

pelaku anak yaitu undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem

114

(28)

Peradilan Pidana Anak (SPPA). Penanganan perkara tertentu sesuai dengan

syarat-syarat yang terdapat dalam undang-undang tersebut mewajibkan aparat

penegak hukum termasuk kepolisian resor kota Medan untuk membawa AKH

(anak yang berkonflik dengan hukum) keranah non penal-policy atau melalui mekanisme diversi.

Penanganan terhadap perkara AKH yang merupakan kategori Tindak

Pidana dengan ancaman dibawah 7 tahun dan bukan merupakan residivis,

semuanya melalui proses Diversi. Setiap anak yang melakukan tindak pidana

pencurian berusia dibawah 12 tahun wajib dikembalikan kepada orangtua atau

wali, namun apabila berusia diatasnya maka pelaku anak tersebut akan tetap

ditahan kepolisian. Orangtua yang bisa menjamin si anak, tidak perlu

dilakukan penahanan namun tetap wajib mengikuti proses diversi.115

Sisi positif dari pelaksanaan diversi dan restoratif justice selama ini

adalah penanganan tindak pidana tidak langsung membawa anak keranah

penghukuman secara pidana, yang dimaksud dalam hal ini pemenjaraan,

sehingga banyak anak yang memiliki kesempatan menyelesaikan perkaranya

tanpa harus melalui proses penahanan di Lembaga Pemasyarakatan Anak

sehingga melalui proses yang menyita banyak waktu sampai pada penjatuhan

hukumannya dari pengadilan, melainkan justru mendapat pelajaran bagaimana

mempertanggungjawabkan perbuatannya secara langsung kepada korban.116

Penanganan tindak pidana pencurian melalui proses diversi dan

restoratif justice sampai saat ini tidak pernah dilakukan bagi pelaku orang

115

Hasil wawancara dengan IPDA Ridwan Kasubnit Idik 7 bidang Ranmor Reskrim Polresta Medan pada tanggal 5 Februari 2016 pukul 14.30 WIB

116

(29)

dewasa pada Polresta Medan, dikarenakan asas legalitas yang dijunjung tinggi

oleh sistem hukum di Indonesia, oleh karena itu, kepolisian dalam

menjalankan tugas-tugasnya wajib memperhatikan peraturan yang dibuat oleh

Negara Indonesia. Para pakar atau ahli hukum di Indonesia memang sudah

banyak yang menyampaikan wacana ataupun pendapat begitu baiknya jika

konsep pemidanaan seperti pada Peradilan Anak di terapkan, namun selama

belum ada peraturan baku maka hal itu tidak dapat dilaksanakan.117

Pengembangan Konsep Diversi dan Restoratif Justice seperti ini sangat

mungkin dilaksanakan di masa depan terkhusus bagi pelaku tindak pidana

pencurian yang dilakukan oleh orang dewasa, melihat bahwa keadilan

retributive sudah kurang relevan bagi sistem pemidanaan zaman sekarang.

Konsep keadilan restorative ini pun tidak serta merta dapat diterapkan begitu

saja, namun ada beberapa hal yang harus dipersiapkan dengan baik,

diantaranya adalah:

a. Kriteria/syarat tindak pidana yang dapat melalui proses diversi

Menurut H. Manurung, apabila suatu waktu konsep diversi dan

restoratif justice ini akan dikembangkan pada tindak pidana pencurian dan

dibuat peraturan tertulisnya, sebaiknya dilaksanakan dengan adanya suatu

kriteria bagi pelaku tindak pidana, diantaranya adalah:118

117

Hasil wawancara dengan IPDA H. Manurung Kepala URBIN OPS. SAT Reskrim Polresta Medan pada tanggal 5 Februari 2016 pukul 13.30 WIB

118

(30)

1) Tindak pidana yang dilakukan yaitu pencurian yang tergolong ringan

dan sedang119, dimana dalam hal pengungkapannya juga tidak

memakan banyak waktu, dan diversi pun dapat dengan segera

dilakukan.

2) Pelaku yang menyerahkan diri, apabila memang konsep ini diterapkan

karena dinilai bahwa ada itikad baik pelaku yang harus dinilai sebagai

bentuk penginsafan dan langkah awal untuk bertanggung jawab,

sehingga pemaafan dengan mekanisme restorative justice dapat

menjadi pilihan.

3) Alasan utama pencurian dilakukan karena faktor perekonomian yang

dapat dibuktikan dengan adanya surat keterangan tidak mampu. Hal ini

dikarenakan yang menjadi alasan pencurian adalah hal yang sangat

menyentuh dan menjadi tanggung jawab moral bersama. Berbeda jika

alasan yang didapati adalah kebutuhan akan barang/hasil pencurian

ingin digunakan bagi hal-hal yang kurang berguna seperti yang selama

ini sering terjadi, hasil pencurian digunakan untuk membeli obat-obat

terlarang, bermain judi, dan lain-lain.

b. Mekanisme pelaksanaan diversi

Mekanisme yang dapat diterapkan pun dapat mengikuti konsep diversi

pada sistem peradilan anak, yang mana telah diatur dalam undang-undang

sistem peradilan pidana anak, namun khusus untuk mekanisme bagi orang

119

(31)

dewasa, orangtua/wali yang dimaksud pada SPPA dapat diganti menjadi

anggota keluarga dari pelaku dan korban apabila sudah memiliki keluarga inti.

Proses Diversi dapat dilakukan melalui musyawarah untuk mencapai

kesepakatan dengan melibatkan pelaku dan keluarganya, korban dan/atau

keluarganya, masyarakat dari tempat tinggal kedua pihak, dan Kepolisian.120

Para pihak yang hadir dalam mekanisme tersebut, yaitu:

1) Korban dan keluarganya

2) Pelaku dan keluarganya

3) Masyarakat dari komunitas masing-masing

4) Kepolisian

Adapun hasil kesepakatan yang diharapkan dari penerapan konsep ini,

yaitu:121

1) Perdamaian/Pemaafan

Bentuk kesepakatan ini adalah yang sangat sederhana namun juga jarang

bisa terjadi di dalam masyarakat

2) Ganti Rugi

Pada tindak pidana pencurian, ganti rugi dipandang sebagai solusi yang

paling tepat dan cukup mampu memulihkan kerugian yang dialami

korban

3) Kerja Sosial

Masyarakat yang juga menjadi korban kejahatan secara tidak langsung

dapat melihat dan menilai pula keseriusan dari pemulihan yang ingin

120

Ibid.

121

(32)

dilakukan pelaku. Sebuah badan yang khusus mengawasi pekerjaan

pelaku juga wajib dibentuk.

Mekanisme seperti yang diungkapkan oleh H. Manurung tersebut

hampir sama dengan program/proses penerapan konsep keadilan restoratif

yang disampaikan oleh Centre of Justice & Reconciliation di Washington DC, Amerika Serikat, diantaranya berupa:

a. Program Mediasi yang dihadiri oleh pelaku kejahatan dan korban yang

ditengahi oleh seorang mediator

b. Acara Lingkar Perdamaian yang diikuti oleh komunitas korban dan

pelaku, serta aparat penegak hukum (hakim, jaksa, polisi)

c. Pertemuan Keluarga yang hadir lebih banyak dari kelompok

masyarakat yang dapat dibantu pula oleh kepolisian. Proses ini lebih

menekankan pada pemaafan karena ganti rugi pun dianggap tidak

begitu mengobati.

Konsep Diversi dan Restoratif Justice seperti ini juga sangat mungkin

memberi kemudahan tidak hanya perihal mempersingkat proses penanganan di

pihak kepolisian atau aparat penegak hukum lainnya, melainkan juga

berdampak baik bagi Lembaga Pemasyarakatan karena jumlah tahanan

kemungkinan tidak akan bertambah dengan pesat seperti yang saat ini terjadi

dimana LP menjadi ‘sarat’ tahanan.

Konsep yang tidak perlu menempuh jalur pada peradilan pidana secara

konvensional ini juga beberapa kali ingin dicoba oleh masyarakat yang

(33)

korban sempat meminta untuk tidak dilanjutkan perkaranya diproses pada

kepolisian, sebagian mengungkapkan karena terlalu sibuk untuk dipanggil ke

kantor polisi sebagai saksi, tidak suka waktunya dipakai untuk memenuhi

kebutuhan proses peradilan pidana, dan bahkan karena mereka (antara pelaku

dan korban) sudah berdamai diluar kepolisian.122

2. Tantangan yang dihadapi dalam Pengembangan Konsep diversi dan Restorative Justice

Trend pemidanaan dewasa ini, terutama di Negara-negara maju yang demokratis, mengupayakan semakin berkurangnya nestapa pidana (less harm

punishment). Negara-negara maju, kecuali Amerika Serikat, sudah

menghapuskan atau melakukan “pembekuan” (moratorium) pidana mati.

Langkah berikutnya adalah menghapus atau mempersingkat pidana

pemenjaraan. Berbagai alternatif pidana dan pelbagai tindakan (measures)

diciptakan, seperti misalnya putusan terbukti bersalah akan tetapi tanpa sanksi

(declaration of non-punishment), penjatuhan pidana bersyarat dengan pelbagai

variasinya, penangguhan penuntutan dengan atau tanpa bersyarat, penghentian

penuntutan perkara-perkara yang kurang berarti (trivial cases), denda bersyarat

(suspended fine), denda harian (day fine) dan variasinya, serta perintah kerja

sosial/CSO (community service order).123

Kepolisian juga sering menerima keluhan dari pelaku tindak pidana nya

sendiri, bahwa sebenarnya mereka (pelaku, korban, dan keluarga korban)

sudah berdamai karena si pelaku siap untuk mengganti kerugiannya, namun

122

Hasil wawancara dengan IPDA Ridwan Kasubnit Idik 7 bidang Ranmor Reskrim Polresta Medan pada tanggal 5 Februari 2016 pukul 14.30 WIB

123

(34)

pelaku heran mengapa perkaranya masih harus tetap di proses oleh kepolisian.

Kepolisian pun menyampaikan bahwa selama pelaku adalah orang dewasa,

upaya perdamaian yang mereka lakukan sebelumnya hanya akan menjadi

pertimbangan bagi hakim untuk memutuskan hukumannya menjadi lebih

ringan.124

Menurut Ridwan, ada beberapa tantangan yang mungkin akan dihadapi

untuk mengembangkan konsep diversi dan Restoratif justice ini bagi pelaku

yang merupakan orang dewasa, diantaranya:125

a. Hilangnya efek jera bagi para pelaku tindak pidana. Pengembangan

konsep ini sangat mungkin terjadi, apabila memang DPR dan/atau

Presiden membentuk suatu norma baru bagi penerapannya pada tindak

pidana pencurian atau pun perkara lain yang dilakukan oleh orang

dewasa, namun, ada kekhawatiran bahwa ketika konsep tersebut nanti

diterapkan maka tujuan pemidanaan untuk memberikan efek jera akan

sangat sulit didapatkan.

b. Asumsi bahwa akan besar kemungkinan pengulangan tindak pidana

yang terjadi atau bahkan pelaku pidana akan bertambah karena

keringanan yang didapat melalui prosedur restorative seperti ini.

c. Proses diversi dan restoratif justice yang dilakukan tidak serta-merta

menjadi satu-satunya cara penanganan tindak pidana, dalam hal ini

sebaiknya dijadikan alternatif yang apabila tidak dapat menghasilkan

124

Hasil wawancara dengan IPDA H. Manurung Kepala URBIN OPS. SAT Reskrim Polresta Medan pada tanggal 5 Februari 2016 pukul 13.30 WIB

125

(35)

kesepakatan diversi, maka kepolisian akan tetap memroses secara

konvensional sampai pada tahap ke persidangan.126

d. Individu-individu dalam masyarakat modern ternyata semakin

menunjukkan kecenderungan untuk saling mengisolasi, dan sering kali

individu tidak membayangkan bahwa mereka terikat dalam

hubungan-hubungan atau merasa menjadi bagian dari komunitas atau masyarakat

tertentu. Dalam konteks demikian kita harus realistis bahwa dukungan

yang terarah dari pemerintah atau lembaga-lembaga mapan akan

sangat menentukan berhasil tidaknya praktik restorative justice bagi

masyarakat modern, karena akan naïf apabila kita mengharapkan

mereka sanggup menyelenggarakannya dengan sukarela dan

mandiri.127

e. Masyarakat masih condong mengarah pada tujuan pidana retributif.

Teori pembalasan yang sudah biasa diterapkan dalam masyarakat

rasanya tidak dapat disingkirkan dengan cepat dari konsep penerapan

hukum pidana di Indonesia.

Menurut masyarakat, pengembangan konsep diversi dan restorative

justice untuk tindak pidana pencurian baik adanya namun hanya bagi

tindak pidana pencurian kategori biasa dan juga ringan. Konsep ini

untuk pencurian berat dan juga pencurian dengan kekerasan sulit

diterapkan karena jika pertanggungjawaban yang diberikan oleh

pelaku tidak hanya ganti rugi, hal ini dirasa tidak adil. Sebuah tindakan

126Ibid.

127

(36)

yang disertai kekerasan dinilai masyarakat sebagai tindakan yang

sangat berbahaya, apapun faktor yang menyebabkan dia harus

mencuri, rasanya jika diikuti dengan kekerasan, perbuatan ini sangat

in-tolerir. Terlebih lagi pencurian saat kondisi nya dalam keadaan

tertentu yang tergolong pada pencurian berat.128 Pendapat masyarakat

tersebut mengindikasikan adanya keinginan restoratif yang tidak

sepenuhnya bisa diterapkan bagi tindak pidana pencurian.

Masa depan ditentukan oleh kegiatan masa kini. Usaha penerapan konsep

diversi dan restorative justice sebaiknya dirintis berawal dari hal yang lebih kecil

dahulu. Misalnya mengalihkan perkara-perkara ringan (trivial case) keluar dari proses pidana konvensional masuk ke jalur restoratiF, opsi lain difokuskan dulu

pada satu atau beberapa tahap peradilan pidana. Proses dan praktik demikian

diharapkan dapat secara bertahap bergandengan tangan dengan sistem peradilan

pidana seluruhnya.129

128

Hasil wawancara dengan Sudarman, korban pencurian di daerah Medan Tembung pada tanggal 29 Februari 2016 pukul 18.40 WIB

129

(37)

BAB IV

PENUTUP

C. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah disampaikan pada pembahasan dalam

skripsi ini, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Penanganan Tindak Pidana Pencurian yang dilakukan orang dewasa pada

Polresta Medan dilakukan melalui jalur konvensional. Tindak pidana

pencurian yang memiliki kategori mulai dari pencurian biasa, ringan, berat,

dan pencurian dengan kekerasan, tidak dapat diselesaikan dengan

menggunakan konsep diversi dan restoratif justice karena landasan hukum

penerapan nya di Indonesia belum ada, kecuali pada Sistem Peradilan Pidana

Anak. Jalur konvensional atau jalur pada umumnya yang dimaksud disini

adalah melalui Sistem Peradilan Pidana Umum (General Criminal Justice System) yang diatur sesuai Hukum Acara Pidana di Indonesia, yang mana tahap awal perkara akan ditangani oleh pihak kepolisian yang dalam hal ini

kemudian akan menuntun perkara untuk diselesaikan dan diputus sanksinya

oleh Pengadilan melalui proses penyelidikan dan penyidikan, sebelum

akhirnya dilanjutkan ketahap penuntutan oleh Lembaga Kejaksaan.

2. Pengembangan konsep diversi dan restoratif justice pada tindak pidana

pencurian bagi orang dewasa tidak diterapkan pada Polresta Medan.

Penerapannya dapat dilakukan dengan alasan-alasan kebaikan dari konsep

diversi dan restorative justice tersebut, termasuk pula ada keinginan dari

(38)

dengan ganti rugi yang ditawarkan oleh pelaku kejahatan, namun hal itu tidak

dilakukan pihak kepolisian karena tidak adanya dasar hukum yang

memayungi pelaksananaannya. Sekalipun begitu, pihak kepolisian polresta

medan tetap optimis apabila memang suatu saat ada rekonseptualisasi dan

legislasi tentang penerapan konsep diversi dan restoratif justice bagi tindak

pidana tertentu terkhusus tindak pidana pencurian sebagai tindak pidana yang

penyebabnya paling sering adalah faktor kemiskinan.

D. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang dikemukakan diatas, maka saran yang dapat

diberikan adalah sebagai berikut:

1. Perlu diadakan pengkajian terhadap tindak pidana tertentu dalam hal ini

terkhusus tindak pidana pencurian baik itu oleh Badan Legislatif maupun

Eksekutif di Indonesia, bilamana diterapkan konsep diversi melalui

pendekatan restoratif justice dengan mengacu pada perkembangan

kebutuhan masyarakat dan kebudayaan yang hidup di Indonesia, maka

dapat ditransfer pada peradilan pidana umum dengan dilakukannya

pembaharuan peraturan hukum acara pidana di Indonesia.

2. Perlu pemahaman bagi seluruh elemen masyarakat terhadap konsep

keadilan restoratif yang tepat sesuai dengan hasil pengkajian tersebut, agar

tidak dipandang sebagai upaya yang salah dan sia-sia karena memudahkan

penyelesaian perkara pidana. Cara yang diterapkan dapat pula dipelajari

dari Negara-negara di Dunia yang telah berhasil membuat peraturan

(39)

3. Perlu peningkatan peran aparat penegak hukum untuk melihat

faktor-faktor penyebab kejahatan pencurian agar dapat menjadi bahan

pertimbangan mendukung program pengembangan konsep diversi dan

(40)

BAB II

PENANGANAN TINDAK PIDANA PENCURIAN YANG DILAKUKAN OLEH ORANG DEWASA PADA POLRESTA MEDAN

A. Jenis-Jenis Tindak Pidana Pencurian pada Polresta Medan

1. Jenis-Jenis Pencurian menurut KUHP di Indonesia

Secara umum jenis-jenis tindak pidana pencurian diatur pada Kitab

undang-undang hukum pidana di dalam bab XXII tentang Pencurian yang

dimulai dari pasal 362-372. Setiap pasalnya mengatur jenis pencurian yang

berbeda-beda berdasarkan berat ringannya tindak pidana tersebut dilihat dari

unsur objektif dan subjektif serta sanksi yang dikenakan terhadap pelakunya.

Pencurian Pasal 362 KUHP merumuskan:

“Barangsiapa mengambil sesuatu barang yang sama sekali atau

sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum karena pencurian dengan pidana penjara, selama-lamanya lima tahun atau denda paling banyak Rp.900,-,”

Unsur-unsur pencurian dalam Pasal 362 KUHP, yaitu:

a. Unsur-unsur obyektif, terdiri dari:

1) Mengambil

Menurut Van Bemmelen dan van Hattum, unsur mengambil

merupakan unsur terpenting atau unsur yang pertama dalam tindak

pencurian.33 Unsur mengambil ini mengalami berbagai penafsiran,

mengambil yang diartikan setiap perbuatan untuk membawa sesuatu benda

di bawah kekuasaannya yang nyata dan multak. Perbuatan mengambil

33

(41)

berarti perbuatan yang mengakibatkan barang dibawah kekuasaan yang

melakukan atau yang mengakibatkan barang diluar kekuasan pemiliknya.34

Dalam pencurian, mengambil yang dimaksud adalah mengambil

untuk menguasai benda tersebut secara melawan hukum, maksudnya

adalah waktu pencuri mengambil barang, barang tersebut belum ada dalam

kekuasaannya, apabila waktu memiliki barang itu sudah ada ditangannya,

maka perbuatan tersebut bukan termasuk pencurian tetapi penggelapan,

pencurian dikatakan selesai apabila barang tersebut sudah pindah tempat.

2) Suatu barang atau benda

Pengertian “barang” dalam Pasal 362 KUHP juga mengalami perkembangan makna. Pengertian “barang” dalam Pasal 362 KUHP ini

pada awalnya menunjuk pada pengertian barang atau benda bergerak dan

berwujud, termasuk binatang.35

Dalam perkembangannya pengertian “barang” atau “benda” tidak

hanya terbatas pada benda atau barang berwujud dan bergerak, tetapi

termasuk dalam pengertian barang atau benda adalah “barang atau benda tidak terwujud dan tidak bergerak”.36

Benda yang dikategorikan sebagai

benda tidak terwujud dan tidak bergerak tersebut antara lain halaman

dengan segala sesuatu yang dibangun diatasnya, pohon-pohon dan

tanaman yang tertanam dengan akarnya di dalam tanah, buah-buahan yang

belum dipetik, dan sebagainya.

34Ibid.

, hal.12

35

R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar- komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, (Bogor:Politeia, 1996), hal.250

36

(42)

Barang yang tidak ada pemiliknya, tidak dapat menjadi obyek

pencurian, yaitu barang dalam keadaan res nullus (barang yang pemiliknya telah melepaskan haknya) dan res derelictae.37

3) Barang itu harus “seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain” Unsur ini mengandung suatu pengertian, bahwa benda yang

diambil itu haruslah barang atau bendan yang ada pemiliknya, barang atau

benda yang tidak ada pemiliknya tidak dapat menjadi obyek pencurian.

Terhadap unsur “yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain” ini dapat

diilustrasikan dalam contoh sebagai berikut:38 “Dua orang A dan B secara bersama-sama (patungan) membeli sepeda. Sepeda tersebut kemudian

disimpan di rumah A. ketika A sedang keluar rumah sepeda tersebut di

curi oleh B dan kemudian dijualnya. Dalam hal ini perbuatan B tersebut

tetap merupakan tindak pidana pencurian, sekalipun sebagian dari sepeda

tersebut adalah miliknya sendiri”.

b. Unsur –unsur subyektif, terdiri dari: 1) Dengan maksud

Istilah ini terwujud dalam kehendak, atau tujuan pelaku untuk

memilki barang secara melawan hukum. Sebagaimana telah dikemukakan,

bahwa unsur kesengajaan dalam rumusan tindak pidana dirumuskan

dengan berbagai istilah, termasuk didalamnya adalah istilah“dengan maksud”. Dengan demikian, unsur “dengan maksud” dalam Pasal 362

37

H.A.K. Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1989), hal. 19

38

Tongat, Hukum Pidana Materiil, (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2006), hal 41

(43)

KUHP menunjuk adanya unsur kesengajaan dalam tindak pidana

pencurian.

2) Yang ditujukan untuk memiliki

Unsur “memiliki” untuk dirinya sendiri dalam rumusan Pasal 362

KUHP merupakan terjemahan dari kata zich toeeigenen. Istilah zich toeeigenen sebenarnya mempunyai makna yang lebih luas dari sekedar

“memiliki”. Oleh beberapa sarjana, istilah tersebut diterjemahkan distilah “menguasai”. Berkaitan dengan istilah zich toeeigenen ini, Prodjodikoro

berpendapat, bahwa istilah tersebut harus diterjemahkan sebagai berbuat

sesuatu terhadap suatu barang/benda seolah-olah pemilik barang itu, dan

dengan perbuatan tertentu si pelaku melangar hukum. Bentuk dari

perbuatan dari zich toeeigenen tersebut dapat bermacam-macam seperti menjual, menyerahkan, meminjamkan, memakai sendiri, menggadaikan

dan sering bahkan bersifat negatif, yaitu tidak berbuat apa- apa dengan

barang itu, tetapi juga tidak mempersilahkan orang lain berbuat sesuatu

dengan barang itu tanpa persetujuannya.39

3) Secara melawan hukum

Secara melawan hukum yakni perbuatan memiliki yang

dikehendaki tanpa hak atau kekuasaan sendiri dari si pelaku. Pelaku harus

sadar bahwa barang yang diambilnya adalah milik orang lain.40

39

Wirjono Projodikoro, Tindak-Tindak Pidana tertentu di Indonesia, (Bandung : Eresco, 1986), hal.78

40

Tongat, op. cit., hal 19‐23

(44)

Adapun jenis-jenis tindak pidana pencurian yang dimaksud, yaitu:

a. Pencurian biasa

Pencurian yang dimaksud disini adalah pencurian yang memenuhi

elemen-elemen seperti yang dimaksud pada penjelasan pasal 362 KUHP

sebagai berikut:

1) Perbuatan ‘mengambil’

2) Yang diambil harus ‘sesuatu barang’

3) Barang itu harus ‘seluruhnya atau sebagian merupakan kepunyaan orang lain’

4) Pengambilan itu harus dilakukan dengan maksud untuk

‘memiliki’ barang itu dengan ‘melawan hukum’ (melawan

hak)41

Sanksi yang diberikan kepada pelaku adalah penjara

selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900,- (jumlah

denda ini telah berubah sesuai dengan Perma no. 2 tahun 2012 tentang

penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam

KUHP)42.

b. Pencurian dengan pemberatan

Pencurian yang dimaksud dengan pemberatan adalah pencurian

biasa (pasal 362) disertai dengan salah satu keadaan seperti disebutkan

pada pasal 363 ayat (1), yaitu:

41

Lihat penjelasan pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana R.Soesilo

42

(45)

1) Jika barang yang dicuri adalah hewan yang diterangkan dalam

pasal 101. Pencurian hewan dianggap berat karena hewan tersebut

milik petani yang terpenting.

2) Jika pencurian dilakukan pada waktu ada kejadian macam-macam

malapetaka seperti gempa bumi, banjir, dsb. Pencurian ini

dikategorikan sebagai pencurian berat karena pada kondisi tersebut

orang-orang tidak bisa terfokus pada barang-barangnya lagi

dikarenakan mereka sedang mendapat celaka.

3) Jika pencurian dilakukan pada waktu malam, dalam rumah atau

pekarangan yang tertutup (‘waktu malam’ lihat pasal 98 KUHP).

4) Jika pencurian itu dilakukan oleh dua orang atau lebih. Pelaku

haruslah semuanya sebagai pembuat atau yang turut melakukan

(lihat pasal 55 KUHP).

5) Jika dalam pencurian itu, pencuri masuk ketempat kejahatan atau

mencapai barang yang dicurinya dengan jalan membongkar,

memecah, dsb.43

Sanksi yang diberikan kepada pelaku adalah penjara

selama-lamanya tujuh tahun, apabila pencurian yang dilakukan dengan kondisi

seperti disebutkan pada huruf c disertai dengan salah satu dari kondisi

pada huruf d dan e, dihukum selama-lamanya sembilan tahun (lihat pasal

363 ayat (2) KUHP).

43

(46)

c. Pencurian Ringan44

Pencurian ini adalah Pencurian biasa (pasal 362) seperti

disebutkan dalam pasal 364 KUHP dengan kondisi sebagai berikut:

1) Pencurian biasa (pasal 362), asal harga barang yang dicuri tidak

lebih dari Rp 250,-

2) Pencurian dilakukan oleh dua orang atau lebih (pasal 363 sub 4),

asal harga barang tidak lebih dari Rp 250,-

3) Pencurian dengan masuk ketempat barang yang diambilnya dengan

jalan membongkar, memecah, dsb. (pasal 363 sub 5), jika harga

tidak lebih dari Rp 250,- dan tidak dilakukan dalam rumah atau

pekarangan tertutup yang ada rumahnya.

Sanksi yang diberikan kepada pelaku adalah penjara

selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900,- (jumlah

denda ini telah berubah sesuai dengan Perma no. 2 tahun 2012 tentang

penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP)

d. Pencurian dengan kekerasan

1) Pencurian dengan kekerasan pasal 365 ayat (1)

Pencurian ini didahului, disertai, diikuti dengan kekerasan atau

ancaman kekerasan terhadap orang, dengan maksud akan menyiapkan

atau memudahkan pencurian itu atau jika tertangkap tangan supaya ada

kesempatan bagi dirinya sendiri atau bagi kawannya yang turut

44

Berdasarkan Pasal 1 Perma no. 2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP, kata-kata "dua ratus lima puluh rupiah" dalam pasal 364 KUHP dibaca menjadi Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).

(47)

melakukan untuk melarikan diri supaya barang yang dicuri tetap ada

ditangannya.

Berdasarkan penjelasan pasal 365 yang mengatur tentang

pencurian dengan kekerasan ini (pengertian kekerasan lihat pasal 89),

yang dimaksud dengan ‘kekerasan’ dapat pula berupa mengikat orang yang punya rumah, menutup di dalam kamar, dsb. Sanksi yang

diberikan adalah hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.

2) Pencurian dengan kekerasan pasal 365 ayat (2)

Pencurian yang dimaksud disini apabila perbuatan yang

dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada waktu malam hari di dalam

sebuah rumah atau pekarangan yang tertutup, yang ada rumahnya atau

dijalan umum atau didalam kereta api atau trem yang sedang berjalan.

Berdasarkan penjelasan pasal 365, sanksi yang diberikan

diperberat menjadi hukuman penjara 12 tahun apabila disertai dengan

salah satu kondisi yang diatur dalam pasal 363 ayat (1) atau

menjadikan ada orang mendapat luka berat.

3) Pencurian dengan kekerasan pasal 365 ayat (3)

Pencurian ini berakibat matinya orang, ancaman hukumannya

diperberat dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.

4) Pencurian dengan kekerasan pasal 365 ayat (4)

Pencur

Gambar

Tabel 1. Pencurian dengan Kekerasan
Tabel 2. Pencurian dengan Pemberatan
Tabel 3. Pencurian Kendaraan Bermotor
Tabel 5. Persentasi kejahatan yang diselesaikan pada tindak pidana

Referensi

Dokumen terkait

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada perbedaan tingkat kecemasan komunikasi terhadap lawan jenis antara remaja putra dan remaja putri

Informasi dan data bergerak melalui kabel-kabel atau tanpa kabel sehingga memungkinkan pengguna jaringan komputer dapat saling bertukar dokumen dan data, mencetak pada printer yang

Penelitian ini dilatar belakangi oleh adanya salah satu kegiatan pemerintah yang berusaha untuk menjamin akses penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan melalui

Make sure that you keep a certain portion above the ground level to prevent surface water from flowing inside. waste water from a factory, waste water from workers’ village,

Selain itu, terdapat penemuan bahwa untuk menyukseskan kinerja perusahaan dapat dicapai melalui daya saing yang berasal dari strategi dife- rensiasi, yang terkait

Gambar 6 Kapas Sebagai Media Budi Daya Semut Jepang. Universitas

Selain geometri Euclid yang pembahasannya seperti disebutkan di atas, dalam matematika ada pula yang dikenal dengan geometri Riemann. Geometri Riemaan hadir

spesifikasi teknis, Pokja ULP dapat melakukan klarifikasi dengan menilai rincian/uraian Analisa Teknis Satuan Pekerjaan untuk pekerjaan utama meliputi komponen