• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Pengaruh Mutu Perekat Asam Asetat terhadap Rendemen dan Mutu PerekatIkan dari Tulang Ikan Pari (Trygon spp) sebagai Perekat Kayu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Pengaruh Mutu Perekat Asam Asetat terhadap Rendemen dan Mutu PerekatIkan dari Tulang Ikan Pari (Trygon spp) sebagai Perekat Kayu"

Copied!
194
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

, - / * -

j

4

i

-

r

->'?

RAIldlN PEHGARCBH

AS

AM

ASETAT TEWHADBP

RENDEMEN DAM MUTU

OEBEKWT

lKAN DARl

BULANG

IKAN

Paal

(

r r y g o n

spp

SEBAGB\I

PEWEKA'B;

KAYU

1 9 9 5

FAKULTAS TEKMOLOGI PERTAMIAN

IHSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

(melebihi keteguhan rekat perekat PVAc, yaitu 62.04 kg/cm2) dan rendemen yang

tinggi (yaitu 35.25 persen), serta sifat-sifat umum perekat yang menguntungkan,

(4)

KAJIAN PEKGARUH ASAM ASETAT TERHADAP RENDEMEN DAK

MUTU PEREKAT IKAN DARI TULAYG IKAN PAR1 (Trygon spp)

SEBAGAI PEREKkT KAYU

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat unruk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Jurusan Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

RATNA SARI EMBUN

F 27.0525

1995

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

(5)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

KAJIAN PESGARbX ASAhI ASETAT TERHADAP RE;?;DE>lEK DAN

iMUTU PEREKAT IKAV DARI TULAUG IKAN PAR1 (Trygon spp)

SEBAG.41 PEREKAT KAYL'

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

sarjana Fahvltas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

RATNA SARI EMBUN

F 27.0525

Dilahirkan pada tanggal 8 Maret 1971

di Dompu

tanggal lulus: 5 Januari 1995

Disetujui,

Bogor,

9

Januari 1995
(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT., karena dengan per-

tolongan dan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang

merupakan salah satu tugas akhir dan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Teknologi Pertanian pada Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakuftas TeknoIogi

Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyampaikan penghargaan dan banyak terima kasih kepada semua

pihak yang telah membantu selama penelitian sampai ke penulisan skripsi, antara

lain :

1. Bapak Ir. H. Soesarsono Wijandi, MSc. dan Bapak H. Mohammad Saleh, MSc.,

selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan masukan selama peneli-

tian dan penulisan skripsi ini.

2. Bapak Dr. Suparno selaku Kepala Sub Balai Penelitian Perikanan Laut Slipi,

Jakarta yang telah memberikan ijin penelitian kepada penulis.

3. Bapak dan Ibu serta adik yang senantiasa menyertai penulis dengan doa.

4. Staf peneliti dan laboran Sub Batai Penelitian Perikanan Laut Slipi, Jakarta yang

telah membantu selama penelitian.

5. Teman-teman "Agrielevent" atas kebersamaan dan kekompakannya selama ini.

6 . Teman-teman di "Wisma Elegant" dan semua pihak yang tidak bisa disebutkan

satu per satu.

Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat memberikan tam-

bahan informasi bagi semua fihak yang memerlukan.

Bogor, Januari 1995

(7)

DAFTAR IS1

Halaman

KATA PENGANTAR

...

i

DAFTAR TABEL

...

iv

DAFTAR GAMBAR

...

v

DAFTAR LAMPIRAN

...

vi

I

.

PENDAHULUAN

...

1

...

A

.

LATAR BELAKANG 1 B

.

TUJUAN

...

3

...

I1

.

TINJAUAN PUSTAKA 4

...

A. DESKRIPSI PEREKAT IKAN 4

...

B

.

PEREKAT DAN PEREKATAN 6 C

.

PEREKAT IKAN (FISH GLUE)

...

12

1

.

Sumber Bahan Baku

...

12

2

.

Pemakaian Perekat Ikan Pada Industri

...

12

3

.

Sifat-Sifat Kimiawi Perekat Ikan

...

13

4

.

Sifat-Sifat Fisik Perekat Ikan

...

15

D.KAYU

...

17

1

.

Kayu Sebagai Faktor Yang Menentukan

...

17

2

.

Hubungan Kayu Dengan Air

...

18

...

3

.

Kayu Meranti Merah (Shorea spp) 19 E

.

ASAM ASETAT

...

22

I11

.

METODOLOGI PENELITIAN

...

24
(8)

1

.

Bahan

...

2

.

Alat

...

B

.

METODE

...

1

.

Penelitian Awal

...

...

2

.

Penelitian Lanjutan

3

.

Rancangan Percobaan dan Analisis Data

...

...

C

.

TATA LAKSANA

1

.

Penelitian Awal

...

...

2

.

Penelitian Lanjutan

IV

.

HASIL DAN PEMBAHASAN

...

A

.

PENELITIAN AWAL

...

B

.

PENELITIAN LANJUTAN

...

1

.

Rendemen

...

2

.

Keteguhan Rekat

...

3

.

Persentase Kerusakan

...

4

.

Berat Jenis

...

5

.

Derajat Keasaman (pH)

...

6

.

Viskositas (Kekentalan)

...

7

.

Penilaian Organoleptik

...

V

.

KESIMPULAN DAN SARAN

...

A

.

KESIMPULAN

...

...

B

.

SARAN

DAFTAR PUSTAKA

...

...

LAMPIRAN

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1

.

Hasil tangkapan ikan pari di Indonesia tahun 1984 . 1991

...

2 Tabel 2

.

Kandungan kimia kayu meranti merah

...

20

Tabel 3

.

Kekerasan kayu meranti merah (kglcm')

...

21 Tabel 4

.

Keteguhan geser kayu meranti merah (kglcmq

...

2 1 Tabel 5

.

Hasil analisis proksimat tulang pari

...

33
(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Skema mata rantai terbentuknya ikatan antara dua bahan yang direkat, (4) dan (5) kohesi pada adherend, (2) dan (3) adhesi antara perekat dan adherend, (1) kohesi pada

perekat (Brown, et d., 1952)

...

Gambar 2. Susunan molekul tropokoiagen pada fibml kolagen

(Lehninger, 1988)

...

Gambar 3. Bagan alir proses pembuatan perekat ikan dari tulang ikan pari..

Gambar 4. Histogram pengaruh pemakaian asam asetat terhadap rendemen

...

perekat

Gambar 5. Bentuk dan ukuran contoh uji keteguhan rekat (JIS, 1973)

...

Gambar 6. Hubungan keteguhan rekat dengan lama pengempaan

(Phinney, 195 1)

...

Gambar 7. Histogram pengaruh pemakaian asam asetat pada pembuatan perekat terhadap keteguhan rekat dan kemsakan yang terjadi pada bidang perekatan kayu

...

Gambar 8. Histogram

.

.

pengaruh pemakaian asam asetat terhadap berat jems perekat

...

(11)

DAFfAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1

.

Rata-rata data hasil analisis perekat pada penelitian lanjutan

. .

63

Lampiran 2

.

Analisis keragaman rendemen perekat

...

63

Lampiran 3

.

Uji Tukey pengaruh asam asetat terhadap rsndemen perekat

...

63

Lampiran 4

.

Analisis keragaman pengaruh asam asetat terhadap keteguhan rekat perekat

...

64

Lampiran 5

.

Uji Tukey pengaruh asam asetat terhadap keteguhan rekat perekat

...

64

Lampiran 6

.

Analisis keragaman persentase kemsakan

...

64

Lampiran 7

.

Uji Tukey pengaruh asam asetat terhadap persentase kerusakan

...

65

Lampiran 8

.

Analisis keragaman berat jenis perekat

...

65

Lampiran 9

.

Uji Tukey pengaruh asam asetat terhadap berat jenis perekat.

.

65

Lampiran 10

.

Analisis keragaman viskositas perekat

...

66

Lampiran 11

.

Uji Tukey pengaruh asam asetat terhadap viskositas perekat

...

66

Lampiran 12

.

Rekapitulasi data organoleptik perekat

...

67

Lampiran 13

.

Uji Kruskal Wallis data organoleptik perekat

...

70

Lampiran 14

.

Uji lanjut data organoleptik perekat

...

71

Lampiran 15

.

Analisis kadar air (metode oven, SII No

.

2453

-

90, 1990)

...

72

Lampiran 16

.

Analisis kadar protein (metode semi mikro kjeldahl. SII No

.

2453 . 90. 1990)

...

73

Lampiran 17

.

Analisis kadar abu (AOAC. 1971)

...

74

Lampiran 18

.

Prosedur analisis rendemen dan mutu perekat ikan

...

75
(12)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Perkembangan teknologi merupakan salah satu faktor penyebab peningkat-

an pemanfaatan sumber daya alam yang ada di Indonesia. Subsektor perikanan

sebagai salah satu sumber daya alam yang merupakan sub sektor pertanian dan

sedang digalakkan akhii-akhir ini. Hal ini berkaitan dengan keadaan negara

Indonesia yang berbentuk kepulauan dan kaya akan hasil-hasil perikanan yang

hingga saat ini belum dapat dimanfaatkan secara maksimal.

Menurut Azis et al. (1990), hampir dua per tiga luas wilayah yang meru-

pakan lautan dan ditambah dzngan wilayah Zona Ekonomi Ekslusif menjadikan

Indonesia memiliki potensi .prig besar dalam bidang perikanan. Akan tetapi

walaupun potensi perikanan laut Indonesia besar, yaitu 7.7 juta ton per tahun,

pemanfaatannya belum optimal d m kurang menguntungkan, karena jenis ikannya

yang sangat beragam dan populasinya rata-rata kecil. Di antara berbagai jenis

ikan yang terdapat di perairan Indonesia, ikan pari (Zlygon spp) termasuk salah

satu ikan yang banyak ditangkap.

Ikan pari termasuk golongan ikan-ikan bertulang rawan (Elasmobranchii)

(Belitz d m Grosch, 1987). Nilai ekonomis ikan pari sampai saat ini masih

cukup rendah dan pemanfaatannya belum dilakukan secara optimal. Hasil

tangkapan ikan pari di Indonesia tahun 1984 sampai 1991 dapat dilihat pada

Tabel 1. Bagian tubuh ikan pari yang banyak dimanfaatkan saat ini adalah

daging dan kulitnya, sedangkan tulang dan isi perutnya (jeroan) belum banyak

(13)

hasil samping pengolahan ikan pari tersebut, seperti tulangnya dapat dimanfaat-

kan sebagai bahan baku pembuatan perekat ikan (fish glue).

Tabel 1. Hasil tangkapan ikan pari di Indonesia tahun 1984 - 1991"

I

Tahun Produksi ( t o n )

I

Perekat ikan (fish glue) cair menurut Brody (1965) dapat digunakan

sebagai perekat pada (1) pembuatan alat-alat rumah tangga, (2) pembuatan

kotak, (3) pembuatan bingkai foto, (4) perbaikan alat musik, mainan, dan ba-

rang-barang tembikar, ser@ (5) penjilidan buku dan penempelan label. Menurut

Firth (1969), semua perekaf (glue) atau gelatin berasal dari kolagen yang ke-

banyakan ditemukan dalam kulit dan tulang. Kolagen tersebut tidak larut di

dalam air, tetapi dapat hancur bila direbus dalam air panas dan bahan kimia lain

untuk memproduksi produk larut air. Pemakaian asam asetat dalam proses

perebusan dapat membantu melunakkan tulang pari dan memecahkan struktur

ikatan rantai molekul protein, sehingga lebih memudahkan pelarutan protein ke

dalam air rebusan daripada tanpa memakai asam asetat.

Perekat dan perekatan mampu meningkatkan efisiensi penggunaan sumber

[image:13.514.88.412.142.346.2]
(14)

bisa lebih luas. Kayu yang pada awalnya berkualitas rendah karena ukuran dan

bentuknya tidak sesuai, serta mempunyai keteguhan rekat yang rendah, kuali-

tasnya dapat ditingkatkan melalui teknik perekatan dan pemilihan jenis perekat

yang tepat. Indonesia mengimpor perekat antara lain dari negara Jepang, Hong-

kong, Taiwan, Korea, Singapura, Australia, Jerman, dan Kanada, dengan total

impor perekat pada tahun 1990 sekitar 14 807 ton (Buletin Statistik Perdagangan

Luar Negeri Indonesia, Impor, 1990).

Adanya Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri yang membatasi jumlah

ekspor log (kayu glondong) untuk peningkatan penyediaan bahan baku industri

pengolahan kayu, maka diusahakan produk ekspor bempa barang jadi atau se-

tengah jadi. Kebijaksanaan pemerintah tersebut mempakan salah satu pendorong

berdirinya industri pengolahan kayu yang memproduksi kayu lapis, papan parti-

kel, raket, barang-barang furniture, dan barang-barang lainnya. Pendirian indus-

tri-industri pengolahan kayu tersebut dapat memberikan rangsangan bagi industri

penunjang sebagai penghasil bahan-bahan yang dibutuhkan untuk industri utama.

Industri penunjang tersebut diantaranya adalah industri perekat. Pada penelitian

ini, perekat yang dihasilkan dipergunakan untuk perekatan kayu, dengan maksud

untuk mengimbangi pemakaian perekat kayu sintetis yang sampai sekarang ini

sebagian besar mempakan produk impor.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pemakaian asam

asetat dalam pembuatan perekat ikan terhadap rendemen dan mutu perekat yang

diekstrak dari tulang ikan pari, serta menentukan perekat terbaik dari beberapa

(15)

11. TNJAUAN PUSTAKA

A. DESKRIPSI IKAN PAR1

Ikan pari tersebar hampir di seluruh Indonesia, terutama di Laut Jawa,

Surnatera, dan Kalirnantan (Kriswantoro dan Sunyoto, 1986). Beberapa species

ikan pari yang terdapat di Indonesia adalah ikan pari kelapa (Trygon sephen),

pari burung (Rhinoptera javanica), pari kernbang (Amphotistius kuhlii), pari

kampret (Gymnura micrura), dan pari tot01 (Himantura uamak) (Ditjen Perikan-

an, 1990).

Menurut Saanin (1984), klasifikasi ikan pari adalah : Phyllum : Chordata

Sub phyllum : Vertebrata Kelas : Pisces

Sub kelas : Elasrnobranchii Ordo : Batoidei

Famili : Trygonidae Genus : Tvgon (Dasyatis)

Species ikan pari yang mernpunyai nilai kornersial yang cukup penting adalah

Amphotistius kuhlii, Himantura bleekeri, Himantura uamak, dan Himantura

sephen (Jhingran, 1975).

Menurut Saanin (1984) dan Ditjen Perikanan (1990), ciri-ciri morfologi

dari ikan pari adalah sebagai berikut :

1. Kerangka

Kerangka ikan pari terdiri dari tulang rawan, tidak mempunyai tutup insang,

(16)

2. Bentuk Tubuh

Tubuh ikan pari berbentuk belah ketupat, ceper, picak (gepeng ke bawah dan

tinggi jauh lebih kecil daripada tebal ke samping), bibir depan segi empat,

lebih lebar daripada panjang.

3. Sirip

Sirip ikan pan tebal dan tidak berlipat-lipat. Sirip ekor tidak simetris, seperti

pecut dan kecil diujungnya, biasanya berduri tajam dan beracun. Ekor berli-

patan kulit pada bagian bawahnya, tetapi tidak sampai di ujung pecut.

4. Kulit

Kulit ikan pari tidak bersisik, tetapi licin dan berduri. Pada punggung terda-

pat dun berupa benjolm yang terpusat di dua tempat. Duri ini sebagai

pengganti sirip punggung.

Ikan pari benvarna merah-saw0 rnatang mengkilat bagian atas dan putih

bagian bawah. Selaput kulit pada ekor gelap keunguan, sirip perut benvarna

ungu.

Ikan pari rnerupakan ikan demersal yang hidup di dasar perairan yang

berpasir atau pasir campur lurnpur (Karnallan, 1988). Cara reproduksi ikan pari

adalah dengan rnelahirkan anaknya (ovovivipar). Ikan pari rnemangsa ikan

kecil-kecil di dasar, kerang, krustacea, bulu babi, dan mahluk penghuni d a m

(17)

makannya, bahkan ikan pari terbesar tidak akan pernah menyerang bila tidak

diganggu (Went, 1979).

Daerah penyebaran ikan pari di Indonesia adalah perairan pantai, kadang-

kadang masuk ke perairan pasang surut, terutama di Laut Jawa, Sumatera,

Kalimantan, Sulawesi Selatan, dan Arafuru. Penangkapan ikan pari dilakukan

dengan menggunakan pancing garit, pukat tepi, rawai dasar, cantrang, dan seje-

nisnya (Ditjen Perikanan, 1990).

B. PEREKAT DAN PEREKATAN

Menurut Brown et al. (1952), walaupun perekat telah diketahui sejak jaman Mesir purba (kira-kira lebih dari 3000 tahun yang lalu), tetapi perkem-

bangannya sebagian besar rnasih berdasarkan percobaan empiris. Hal ini dise-

babkan karena gaya fisik dan kimiawi yang terlibat dalam gejala perekatan

adalah prinsip kohesi dari partikel suatu bahan dan adhesi dari partikel dua

bahan yang berbeda.

Perekat dapat diartikan sebagai suatu bahan yang mampu menggabungkan

satu bahan dengan bahan lain melalui ikatan permukaan. Tetapi ada beberapa

bahan bukan perekat yang dapat menahan dua buah benda namun bukan berda-

sarkan ikatan permukaan, seperti tali, paku, pasak, dan baut. Sedangkan pere-

katan merupakan suatu keadaan dimana dua permukaan bergabung menjadi satu

karena adanya kekuatan ikatan antar permukaan (interfacial) yang ditimbulkan

oleh gaya valensi atau tindakan penyambungan atau karena keduanya (Skeist,

1977). Keteguhan rekat yang terjadi ditentukan oleh besarnya gaya tarik-

menarik (adhesi) antara perekat dengan bahan yang direkat (adherend), dan gaya

tarik-menarik (kohesi) antara perekat dengan perekat atau antara bahan yang

(18)

Terbentuknya ikatan antara bahan-bahan yang direkatkan tampak sebagai

lima mata rantai seperti pada Gambar 1. Pada Gambar 1, mata rantai (1)

merupakan lapisan perekat, dimana kekuatan mata rantai diteniukan oleh kekuat-

an kohesi pada perekat yang mengalami pengerasan dan banyak dipengaruhi oleh

komposisi kimianya. Adanya udara pada lapisan perekat ini menyebabkan

penurunan kekuatan kohesi pada perekat. &fa& rantai (2) dan (3) menggam-

barkan ikatan yang terbentuk antara perekat dengan permukaan kayu sebagai

&bat adanya pengikatan mekanis dan spesifik. Kekuatan adhesinya banyak

dipengaruhi oleh kondisi permukaan kayu. Sedangkan mata rantai (4) dan (5)

mempakan kohesi pada kayu dan kehatan ikatannya akan banyak dipengaruhi

oleh karakteristik kayu yang direkatkan, terutama pada bagian permukaan.

(19)

Menurut Marra (1951) dan Brown et al. (1952), setelah perekat dila-

burkan pada permukaan kayu dan kemudian ditempelkan pada kayu lain, maka

perekat itu mengalami beberapa fase atau tahap sebagai berikut :

1. Pengaliran

Perekat mengalir secara merata pada lapisan permukaan dan membentuk

lapisan yang tipis (film).

2. Perpindahan

Perekat harus mampu berpindah dari bahan yang dilaburi perekat ke bahan

yang lainnya.

3. Perembesan

Perekat harus mengalami perembesan ke dalam pori-pori atau rongga-rongga

yang ada pada kayu. Daya perembesan ini sangat dipengaruhi oleh kekental-

an perekat dan tekanan eksternal yang diberikan pada saat pengempaan.

4. Pembasahan

Setelah perekat mengalami perembesan atau penetrasi ke dalam pori-pori

kayu, perekat hams mampu membasahi kedua permukaan bahan yang direkat

supaya memungkinkan terjadinya ikatan, dengan demikian perekatnya harus

berbentuk cair. Kemampuan membasahi tersebut akan tergantung pada

tegangan permukaan yang dimilikinya, dimana zat cair hanya akan memba-

sahi permukaan zat padat yang mempunyai tegangan permukaan yang lebih

(20)

5. Pematangan

Setelah perekat membasahi kedua permukaan bahan yang direkat, perekat

harus mengalami pematangan atau pemadatan dan menjadi substansi yang

keras dan kuat melalui proses kimia d m fisika, sehingga terbentuk suatu

ikatan yang kuat antara kedua bahan yang digabungkan.

Sedangkan Schneberger (1973) mengemukakan bahwa pembentukan

ikatan rekat melalui tahapan sebagai berikut : 1. Pencairan perekat (apabila dalam bentuk padat).

2. Adanya pertemuan yang erat antara permukaan bahan yang direkat dengan

perekat.

3. Terbentuknya perekat yang keras d m h a t .

4. Pengikatan permukaan kedua bahan yang direkat secara efektif.

Berdasarkan asal bahannya, perekat dapat digolongkan ke dalam tiga

golongan besar (Houwink dan Salomon, 1965), yaitu :

1. Perekat Nabati

Perekat nabati adalah perekat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, seperti

perekat kedelai, perekat tapioka, perekat terigu, perekat tanin, dan lain se-

bagainya.

2. Perekat Hewani

Perekat hewani ialah perekat yang berasal dari hewan, seperti perekat kulit

hewan, perekat tulang hewan, perekat darah, perekat ikan, dan perekat

(21)

3. Perekat Sintetis

Perekat sintetis ialah perekat yang terbuat dari bahan-bahan organik, yang

terbagi lagi menjadi :

a. Perekat termoplastik, yaitu perekat yang mengeras dalam keadaan dingin

dan akan melunak bila dipanaskan serta kembali mengeras bila didingin-

kan, contohnya adalah polimer vinil asetat, neoprena, dan alifatik resin.

b. Perekat termoseting, yaitu perekat yang mengeras bila dipanaskan dan

akan tetap mengeras bila didinginkan kembali serta reaksinya tidak dapat

balik, contohnya perekat urea formaldehida, melamin formaldehida,

phenol formaldehida, resorcinol formaldehida, dan lain-lain.

c. Perekat yang terdiri dari dua polimer yang merupakan gabungan dari

perekat termoplastik dan perekat termoseting, contohnya polivinil asetat

dan nitril rubber yang termasuk phenolik resin, perekat phenolik, dan

perekat nilon.

Faktor-faktor yang mempengaruhi keteguhan rekat perekat pada perekatan

kayu sangat dipengmhi oleh jenis kayu, kadar air kayu, jenis dan kualitas

perekat serta teknik perekatan (Tampubolon, 1975). Sedangkan menurut Truax

(1929), faktor yang mempengaruhi keteguhan rekat adalah jenis kayu, terutama

perbedaan kerapatan kayu. Marian (1965), mengemukakan bahwa kekasaran

permukaan membefikan pengaruh yang sangat besar terhadap keteguhan rekat,

dan kekasaran permukaan bahan yang direkat menyebabkan lokalisasi konsentra-

si ketegangan ikatan.

Menurut Shields (1970), kekuatan ikatan rekat akan dikurangi oleh adanya

kotoran yang menempel pada permukaan bahan yang direkat. Permukaan bahan

(22)

tetapi permukaan yang telah dihaluskan dengan amplas atau dengan ketam dan

garis rekat yang tipis akan meningkatkan keteguhan rekat. Oleh karena itu

sebelum direkatkan, perlu dilakukan penghalusan permukaan kayu yang akan

direkat. Perlakuan secara kimiawi dapat meningkatkan sifat perekatan spesifik

dan perlakuan secara mekanik dapat meningkatkan perekatan mekanik. Faktor

lain yang akan mempengaruhi kualitas dan keterandalan perekatan kayu gerga-

jian adalah kadar air. Perekatan kayu optimal akan dapat dihasilkan pada kayu

dengan kadar air kira-kira 8

-

12 persen.

Menurut Ruhendi (1986), kualitas perekatan ditentukan oleh empat faktor

utama, yaitu kualitas bahan yang direkat, kualitas perekat, proses perekatan, dan

kondisi penggunaan produk. Kualitas bahan yang direkat, terutama kualitas

permukaannya sangat ditentukan oleh struktur anatominya sendiri dan penger-

jaannya, sehingga kayu yang mempunyai struktur anatomi yang sama belum

tentu menghasilkan kualitas permukaan yang sama apabila pengerjaannya berbe-

da, demikian pula sebaliknya @larian, 1965).

Selanjutnya Riberolles (1958) dalam Marian et al. (1958), mengemukakan bahwa perbedaan stmktur anatomi akan menghasilkan perbedaan derajat tekstur

permukaan. Hal ini dapat terjadi karena pada waktu pengerjaan, sel atau bagian

sel akan sobek keluar dari struktur kayu, dernikian juga pada proses pengamplas-

an dapat menyebabkan penutupan rongga sel oleh reruntuhan serbuk kayu atau

akibat pemukulan yang dapat menyebabkan perubahan bentuk diding sel yang

(23)

C. PEREKAT IKAN (EISH GLCE)

1. Sumber Bahan Baku

Perekat ikan adalah salah satu jenis bahan perekat yang berasal dari

bagian tubuh hewan yang mengandung protein, seperti ikan. Sumber bahan

baku untuk pembuatan perekat ikan adalah kulit dan tulang kepala ikan.

Kulit yang digunakan sebagai bahan pembuatan perekat ikan pada mulanya

berasal dari ikan yang mengandung minyak kurang dari satu persen (Brody,

1965).

Menurut Firth (1969), sumber bahan baku perekat ikan selain dapat

dibuat dari bagian kulit dan tulang kepala, juga dapat dibuat dari tulang lain.

Tetapi jumlah perekat yang diperoleh dari pengolahan bagian tulang kepala

dan tulang lainnya pada umumnya lebih kecil daripada hasil pengolahan ba-

gian kulit dan tingkat mutunya sukar terkontrol. Perekat ikan dalarn pema-

sarannya memiliki harga yang relatif lebih mahal daripada perekat hewan

(animal glue), terutama apabila perekat ikan ini berbentuk cair. Hal ini dise-

babkan karena perekat yang berbentuk cair lebih mudah penggunaannya

untuk berbagai keperluan.

2. Pemakaian Perekat Ikan Pada Industri

Perekat ikan dapat digunakan sebagai bahan penunjang pada beberapa

industri yang membutuhkan perekat dalarn rnemproduksi produk utamanya,

seperti industri kayu, gelas, kertas, kulit, dan lain-lain. Hal ini berkaitan

dengan adanya kelebihan dari perekat ikan seperti yang diungkapkan oleh

(24)

pada beberapa permukaan, seperti pada permukaan gelas, logam, kayu,

kertas, kulit dan gabus, dan (2) perekat ikan tahan terhadap pelarut (solvent),

dimana pelarut ini dapat digunakan untuk membersihkan tinta. Menurut

Brody (1965), perekat ikan cair dapat digunakan untuk pembuatan perkakas

rumah tangga, pembuatan kotak, perbaikan alat musik, mainan anak-anak,

dan barang-barang ternbikar.

3. ,%fat-sifat Kimiawi Perekat Ikan

Semua perekat (glue) atau gelatin berasal dari kolagen yang kebanyak-

an ditemukan dalam kulit dan tulang. Kolagen tersebut tidak larut di dalam

air, tetapi dapat hancur bila direbus dalam air panas dan bahan kimia lain

untuk memproduksi produk larut air. Penentuan produk akhir yaitu gelatin

atau perekat tergantung pada bagaimana proses produksinya dan tujuan

penggunaan produk tersebut (Firth, 1969).

Kolagen rnerupakan salah satu jenis protein sent yang berperanan

penting dalam penyusunan bentuk tubuh, baik vertebrata maupun avertebrata.

Pada Mamalia, kolagen terdapat di kulit, tendon, tufang rawan, dan jaringan

ikat. Demikian juga pada bangsa burung-burungan dan ikan, sedangkan pada

avertebrata kolagen terdapat pada dinding sel (John, 1977 di dalam Ward dan

Courts, 1977). Fibril kolagen terdiri dari sub unit polipeptida berulang yang

disebut tropokolagen, disusun dari kepala ke ekor dalam untaian paralel

seperti yang disajikan dalam Gambar 2. Kepala molekul tropokolagen berbe-

lok rnenurut panjang serat, menimbulkan jarak ruang 64 nm. Sub unit tropo-

kolagen terdiri dari 3 rantai polipeptida yang berpilin erat menjadi tiga untai

tambang dan saling bergulung, berukuran sama, yaitu sekitar 1OOO residu

(25)

-.

-.

-.

..

+-9

__,---

--

-.

--

__--

.-

---

B a ~ i n d a i %-.

--_

---

mdek.1 ;:opoko!a:en *-_

Gambar 2. Susunan molekul tropokolagen pada fibril kolagen (Lehninger, 1988)

Pada Gambar 2, bagian (a) memperlihatkan tiap molekul tropokolagen

yang memanjang sampai empat garis melintang dengan selang 64 nm.

Kepala molekul tropokolagen tersusun sedemikian rupa sehingga "terdaftar"

dengan selang 64

nm.

Di bawah diagram skema fibril @) terlihat gambaran bagian molekul tropokolagen yang memperyihatkan kerangka tropokolagen

heliks ganda tiga. Pembesaran lebih lanjut pada bagian (c) memperlihatkan

bahwa tiap-tiap rantai dari ketiga peptida tropokolagen merupakan suatu

heliks, sudut dan ruang antaranya ditentukan oleh gugus R yang kaku dari

[image:25.521.102.427.117.392.2]
(26)

Molekul kolagen tersusun dari kira-kira dua puluh asam amino yang

memiliki bentuk agak berbeda tergantung pada sumber bahan bakunya.

Kolagen kulit ikan lebih mudah hancur daripada kolagen kulit hewan, dimana

kedua jenis kolagen ini akan hancur oleh proses pemanasan dan aktivitas

enzim. Berat molekul perekat ikan antara 30 000 - 60 000 (Skeist, 1977).

,

Asam amino glysin, prolin, dan hidroksiprolin merupakan asam

amino utama kolagen. Asam-asam amino aromatik dan sulfur terdapat dalam

jumlah sedikit. Hidroksiprolin merupakan salah satu asarn amino pembatas

dalam berbagai protein, selain pada kolagen terdapat juga pada elastin

(Eastoe dan Leach, 1977 di dalam Ward dan Courts, 1977). Sifat kolagen in

vivo pada umumnya benvarna putih, tidak tembus cahaya, tidak bercabang,

dikelilingi matrik mukopolisakarida dan protein lainnya (Balian dan Bowes,

1977 di dalam Ward dan Courts, 1977).

4. Sifat-Sifat F i i k Perekat Ikan

Menurut Skeist (1977), sifat-sifat khas perekat ikan (fish glue) antara

lain :

Warna : karamel terang

Kekentalan : 4 000

-

7 000 cps. @ 70°C

Bau ikan : sedikit, tergantung karakteristik bahan penghilang bau ikan yang ditambahkan.

Kepadatan : 43

-

50 %

Kisaran suhu : 30"

-

500°F

Kekuatan tarik : 3200 psi (50 persen kerusakan kayu) (ASTM D 905).

(27)

Pada pendinginan sampai 40°F atau lebih rendah lagi, cairan perekat ikan

akan membentuk gel. Proses ini dapat dibalik kembali, yaitu perekat akan

kembali pada bentuk cair tanpa terjadi perubahan sifat perekat oleh adanya

penghangatan suhu ruangan.

Perbedaan utama antara perekat ikan dan perekat hewan adalah kela-

-

--

rutan dari perekat ikan pada suhu kamar berbentuk cair, sedangkan kelarutan

perekat hewan pada suhu kamar berbentuk gel. :Seiain itu perekat ikan

kering dapat larut dalam air, sedangkan perekat hewan kering tidak dapat

larut dalam air, kecuali bila perekat hewan tersebut dipanaskan (Firth,

1969). Menurut Skeist (1977), meskipun perekat ikan sangat larut dalam air,

perekat ini dapat dibuat tidak larut air dengan penambahan ion garam poliva-

len seperti aluminium suIfat, fem sulfat, atau tawas.

Salah satu karakteristik serabut kolagen menurut Belitz dan Grosch

(1987), serta Firth (1969) adalah mengalami penyusutan ketika dipanaskan

(dimasak atau dipanggang). Temperatur penyusutan (Ts) kolagen ikan adalah

45°C. Jika kolagen dipanaskan pada T>TB (misalnya 65" - 70°C), benang

triple heliks yang dims& menjadi lebih panjang. Pemecahan struktur terse-

but menjadi lilitan acak yang larut dalam air dan disebut gelatin. Menurut

King (1969) di dalam Glicksman (1969), ekstraksi kolagen pada suhu 60°C

selama 4 - 8 jam pada pH 4

-

5 menghasilkan gelatin sebanyak 5 - 10 persen.

Pengaruh pemanasan terhadap komponen ikan dapat menyebabkan

perubahan fisik dan kimia. Albumin dan globulin akan terdenaturasi sehing-

ga terjadi perubahan warna dan pemendekan rantai molekul asam amino

penyusun kolagen. Protein kolagen akan mengalami pengerutan yang diikuti

oleh hidrasi dan gelatinisasi kolagen (Zaitsev et al., 1969). Selain pemanas-

(28)

larut dalam air dapat dilakukan dengan penambahan senyawa pemecah ikatan

hidrogen (seperti asam asetat) pada suhu kamar (Steven dan Tristam, 1962).

Perubahan struktural protein (kolagen) tersebut oleh panas dan pH ekstrim

tidak menyebabkan rusaknya ikatan kovalen pada kerangka rantai polipeptida

(Lehninger, 1988). Menurut John dan Courts (1977) di dalam Ward dan

Courts (1977), perubahan kolagen menjadi gelatin terjadi dalam tiga tahap,

yaitu hidrolisis lateral, diikuti hidrolisis ikatan peptida terutama pada glysin,

dan pemsakan struktur heliks kolagen.

D. KAYU

1. Kayu Sebagai Faktor Yang Menentukan

Sifat dari bahan kayu yang direkat selalu mempunyai pengaruh nyata

terhadap sifat perekatan. Umumnya kayu daun lebar lebih sukar direkat

dibandingkan dengan kayu daun jarum (Kollmann et al., 1975). Kayu yang lebih lunak dan banyak porinya lebih mudah direkat daripada kayu keras.

Hal ini disebabkan karena terjadinya perekatan mekanik saja pada kayu lunak

telah cukup menghasilkan perekatan yang baik. Sedangkan pada kayu yang

keras selain perekatan rnekanik, masih diperfukan perekatan spesifik yang

merupakan kelanjutan dari proses kimia. Optimasi tekanan tetap masih

diperlukan untuk memperoleh ikatan perekat yang memuaskan (Brown et al.,

1952).

Menurut Hansen (1947), berbagai jenis kayu yang biasa dipakai untuk

tujuan struktural biasa dibentuk melalui perekat. Pemilihan jenis kayu yang

dipakai mempertimbangkan beberapa faktor, yaitu kelayakan, sifat kekuatan,

dan sifat perekatan. Hasil perekatan yang baik tergantung pada kerapatan

(29)

2. Hubungan Kayu Dengan Air

Air di dalam kayu segar terletak dalam dinding sel dan rongga sel.

Air di dalam rongga sel mungkin berisi bahan-bahan makanan terlarut yang

dihasilkan dari fotosintesa dan juga dalam senyawa-senyawa organik. Bila

kayu dikeringkan, air di dalam rongga sel ini akan dikeluarkan, sedangkan

air dalam dinding sel tetap. Bila pengeringan terus dilanjutkan, air dalam

dinding sel juga akan keluar dari dalam kayu (Haygreen dan Bowyer, 1982).

Air dalam rongga sel sebagai air bebas dan air dalam dinding sel

sebagai air terikat. Kondisi dimana rongga sel kayu kosong dan dinding sel

jenuh air disebut titik jenuh serat. Sebagian besar sifat fisik dan mekanik

kayu dipengaruhi oleh air terikat. Hal ini menyebabkan adanya hubungan

yang erat antara kadar air dan kekuatan kayu di bawah titik jenuh serat. Di

bawah titik jenuh serat, perubahan kadar air kayu akan mengakibatkan

pembahan dimensi. Jika kadar air bertambah, kayu akan mengembang, dan

jika kadar air berkurang kayu akan menyusut. Kadar air kayu dihitung

sebagai persentase dari berat kering kayu (Brown dan Bethel, 1958).

Perubahan kadar air terjadi dengan cepat pada bagian permukaan

kayu, sedangkan pada bagian tengah kayu, pembahan kadar air terjadi secara

lambat. Perbedaan higroskopisitas ini disebabkan oleh variasi komponen

kayu yang terdapat dalam sel-sel kayu. Komponen penyusun kayu yang

mempunyai daya tarik paling kuat terhadap air adalah lignin dan hemiselulosa

(30)

3. Kayu Meranti Merah (Shorea spp)

Kayu uji perekatan yang dipergunakan dalam penelitian addah kayu

meranti merah (Shorea spp). Menurut Martawijaya et al. (1981), kayu

meranti merah pada umumnya mudah dikerjakan (digergaji, bor, dibubut,

dan diamplas dengan baik). Kayu meranti merah terutama dipakai untuk

kayu lapis. Menurut Samingan (1982), kayu meranti termasuk Famili Dip-

terocarpaceae, Ordo Parietales, dan Sub Divisio Angiospermae.

Kayu meranti pada umumnya benvarna coklat pucat, merah jambu,

merah muda, merah kelabu, merah-coklat muda, atau coklat tua. Tekstur

kayu agak kasar sampai kasar dan rnerata, lebih kasar dari meranti putih

dan meranti k u ~ n g . Arah serat urnumnya agak berpadu, kadang-kadang

hampir lurus, bergelombang atau sangat berpadu. Permukaan kayu licin

atau agak licin dan agak mengkilap (Martawijaya et al., 1981).

Kayu meranti merah yang dipergunakan dalam penelitian memiliki

berat jenis 0.5. Menurut Martawijaya et al. (1981), jenis kayu meranti

merah yang memiliki berat jenis rata-rata 0.5 adalah Shorea acuminata,

Shorea johorensis, Shorea leprosula, dan Shorea ovalis. Sehingga kayu

meranti tersebut digolongkan dalam kelas kuat 111

-

IV, kelas awet 111

-

V
(31)

c. Sifat-sifat K i i a

Komponen kimia dalam kayu mempunyai arti yang penting karena

menentukan kegunaan suatu jenis kayu, ketahanan kayu terhadap mahluk

perusak, pengerjaan dan pengolahan kayu (Dumanauw, 1982). Kompo-

nen kimia dari kayu meranti merah dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan kimia kayu meranti meraha

S. leprosula S. ovalis

Kadar

Selulosa ( % ) 50.76 52.9

Lignin ( % ) 30.60 34.4

Pentosan ( % ) 12.74 11.0

Abu ( % ) 0.68

-

Silika ( % ) 0.29

-

Kelarutan dalam

Alkohol-benzena ( % ) 3.23 3.4

Air panas (%) 2.3

-

NaOH 1 %

-

-

"Martawijaya et al. (1981)

Sifat-sifat m e k 2 . ~ ~ dari suatu kayu merupakan kemampuan kayu

tersebut untuk menahan gaya-gaya dari luar benda yang cendemng untuk

mengubah bentuk dan besarnya benda (Dumanauw, 1982). Pengujian

terhadap sifat-sifat mekanis dilakukan pada kayu uji kecil bebas cacat,

karena kayu tersebut secara umum mempunyai sifat mekanis yang sama

terbebas dari pengaruh adanya cacat-cacat, seperti mata kayu,

arah

serat, [image:31.518.122.444.282.471.2]
(32)

Hasil pengujian sifat-sifat mekanis kayu meranti merah dengan

menggunakan kayu uji ukuran kecil bebas cacat disajikan pada Tabel 3

dan Tabel 4, yang mana untuk tujuan praktis nilai-nilai tersebut perlu

dikoreksi lagi dengan beberapa faktor penyesuaian antara lain cacat, lama

pembebanan, kadar air dan dimensi. Nilai keteguhan geser pada Tabel 4

diperoleh dari hasil pengujian dengan menggunakan metoda ASTM D

143-52 dan pengujian kekerasan menggunakan rnetoda Janka, yaitu

dengan cara menekan setengah bola baja pada permukaan kayu bagian

ujung dan sisi kayu uji, sehingga menimbulkan lekukan seluas 1 cm2.

Alat penguji yang digunakan adalah Universal Testing Machine merk

Amsler dengan kapasitas sampai 100 ton dan Baldwin tipe 60 HVP

dengan kapasitas 60 000 lb (Martawijaya et al., 1981).

Tabel 3. Kekerasan kayu meranti merah ( k g l ~ m ~ ) ~

Jenis kayu U j ung Sisi

basah kering basah kering

S. leprosula 136 130 50 6 4

S. ovalis 228 288 140 180

bMartawijaya et al. (1981) b~enggunakan rnetode Janka

Tabel 4. Keteguhan geser kayu meranti merah (kglcm2)'

Jenis kayu Arah radial Arah tangensial

basah kering basah kering

S. leprosula 44.7 22.7 51.0 23.8 S. ovalis 38.4 43.5 50.9 49.6

(33)

E. ASAM ASETAT

Menurut Furia (1968) dan Departemen Kesehatan

RI

(1979), asam asetat

mempunyai rumus empirik C,H,O, dan rumus struktur CH,COOH. Asam

asetat mempunyai beberapa sifat antara lain :

Sifat fisika : asam asetat rnempakan cairan jernih yang tidak berwarna, berbau khas dan tajam.

Berat molekul : 60 Titik didih : 118°C

Titik beku : 16.7"C

Kelarutan : asam asetat dapat larut dalam air, alkohol, gliserin, dan tidak larut pada zat yang mempunyai karbon berbentuk siklik.

Sifat organoleptik: asam asetat dapat digunakan sebagai penambah rasa.

i- &

Asam asetat paling sedikit mempunyai dua pengamh anti mikroorganisme,

yaitu karena pengamhnya terhadap pH dan sifat keracunan yang khas dari asam-

asam yang temrai, yang beragam untuk asam-asam yang berlainan. Pada pH

yang sama, asam asetat lebih bersifat menghambat terhadap mikroorganisme

tertentu daripada asam laktat, dimana asam laktat lebih bersifat menghambat

daripada asam sitrat (BucMe et al., 1985). Menurut Firth (1969), pemakaian asam asetat dalam proses perebusan dapat membantu melunakkan tulang pari dan

memecahkan struktur ikatan rantai molekul protein, sehingga lebih memudahkan

pelarutan protein ke dalam air rebusan daripada tanpa memakai asam asetat.

Konsentrasi larutan asam asetat yang digunakan untuk ekstraksi kolagen pada

pembuatan perekat ikan sekitar 3 - 8 persen (rata-rata digunakan asam asetat

sebanyak 5 persen).

Hidrolisis kolagen dalam suasana asam dilakukan pada pH 4.0 - 4.5.

(34)

mencegah degradasi lanjutan. Jenis asam yang digunakan berpengaruh pada

jumlah gelatin yang dihasilkan dan sifat-sifatnya. Asam yang paling baik digu-

nakan adalah asam asetat pada pH 3.0. Asam-asam anorganik seperti asam

sulfat, asam klorida, dan asam phosphat juga bisa digunakan, tetapi akan me-

naikkan kadar abu gelatin yang dihasilkan (John dan Courts, 1977 di dalam

(35)

111. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

1. Bahan

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah tulang ikan

pari yang diperoleh di PHPT (Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional)

Muara Angke, Jakarta dan Lampung. Bagian dari ikan pari yang diperguna- kan dalam penelitian addah tulang kepala, tulang punggung, dan tulang ekor.

Bahan-bahan lainnya addah kayu uji perekatan, asam asetat 99.8 persen dan

air destilata.

2. Alat

Alat-alat yang diperlukan adalah timbangan analitik, gelas ukur, pipet,

viskosimeter Brookfield, oven, tanur, alat kempa, alat uji tekan blok, refrak-

tometer, piknometer, penangas air, termometer, cawan porseli

dahl, kompor gas, erlenmeyer, alat destilasi uap, dan lain-1

B. METODE

1. Penelitian Awal

Penelitian awal dilakukan untuk menentukan lama proses ekstraksi

(melalui perebusan) tulang pari dengan memakai asam asetat 5 persen yang

dapat menghasilkan perekat dengan keteguhan rekat terbaik (tertinggi).

Pemakaian asam asetat 5 persen didasarkan pada hasil penelitian Firth (1969)

yang menyatakan bahwa konsentrasi larutan asam asetat terbaik yang diguna-

(36)

2. Penelitian Lanjutan

Penelitian lanjutan bertujuan untuk mernpelajari pengaruh pemakaian

asam asetat yang bervariasi (yaitu 3. 5, dan 7 persen) dalam pembuatan

perekat ikan yang diekstrak dari tulang ikan pari melalui perebusan selama 4 -

jam terhadap rendemen dan mum perekat, sehingga dapat diketahui atau

ditentukan konsentrasi asam asetat terbaik yang dapat mengekstrak perekat

dalam jumlah optimal dengan mutu terbaik. Selain itu rendemen dan mUN

perekat yang dibuat dengan memakai asam asetat tersebut dibandingkan

dengan rendemen dan mutu perekat kontrol. Perekat kontrol adalah perekat

yang diekstrak dari tulang ikan pari melalui perebusan selama 4 jam tanpa

menggunakan asam asetat.

Mutu perekat antara lain ditentukan oleh nilai keteguhan rekat, persen-

tase kerusakan kayu, dan sifat-sifat umum perekat. serta penilaian organolep-

tik terhadap warna dan bau perekat. Sifat-sifat umum perekat yang diukur

dalam penelitian adalah berat jenis, pH, dan kekentalan (viskositas) perekat.

Keteguhan rekat merupakan salah satu parameter n ~ u t u yang penting untuk

diketahui pada suatu perekat. Standar nilai keteguhan rekat yang digunakan

sebagai pembanding terhadap nilai keteguhan rekat perekat ikan yang dibuat

dalam penelitian adalah nilai keteguhan rekat dari perekat kayu yang telah

ada di pasar, yaitu perekat polyvinyl acetate (PVAc). Keteguhan rekat

perekat PVAc pada kayu uji adalah 54.50 kg/cm2 dengan kerusakan 91.7

(37)

3. Rancangan Pereobaan dan Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Ran-

cangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor yang terdiri dari empat taraf faktor

dengan tiga kali ulangan. Faktor yang diamati adalah faktor pemakaian asam

asetat dalam pembuatan (ekstraksi) perekat (B) dengan taraf konsentrasi 0

persen sebagai kontrol (BO), 3 persen (Bl), 5 persen (B2), dan 7 persen (B3).

Model maternatika Rancangan Acak Lengkap satu faktor yang digunakan

adalah sebagai berikut :

Keterangan :

j = 0, 1, 2, 3 k = 1, 2, 3

Yj, = respon yang ditimbulkan karena faktor konsentrasi asam asetat pada taraf ke-j

p = pengaruh rata-rata umum

B. = pengamh konsentrasi asam asetat pada taraf ke-j J

E . = pengaruh kesalahan percobaan

Jk

Sebelum dilakukan analisis ragam (anova) terlebih dahulu dilakukan

analisis pra ragarn (uji asumsi), meliputi : keaditifan model, kenormalan sebaran galat, kehomogenan ragam galat dan kebebasan antar galat. Jika dari

hasil analisa ragarn diperoleh F hitung yang berbeda nyata, baik dari penga-

ruh masing-masing faktor maupun interaksinya, maka dilakukan uji lanjut

untuk mengetahui perlakuan mana yang berbeda. Uji lanjut yang digunakan

adalah uji Beda Nyata Jujur (BNJ) atau uji Tukey, yaitu menguji semua

(38)

Pada uji organoleptik digunakan analisis statistik nonparametrik. Uji

yang dipakai adalah uji KrusM Wallis. Statistik uji yang digunakan adalah

sebagai berikut :

Keterangan :

ni = banyaknya pengamatan dalam contoh ke-i n = CT = total pengamatan

R, = jumlah pangkat dalam contoh ke-i

Menurut Gibbons (1975), apabila ada angka yang sama dalam menghi- tung harga H, maka perlu dilakukan koreksi untuk angka-angka yang sama

tersebut. Rumus untuk faktor koreksi tersebut adalah sebagai berikut :

Keterangan :

N = jumlah pengamatan

(39)

C. TATA LAKSANA

1. Penelitian Awal

Penelitian awal dilahvkan dalam beberapa tahap, yaitu dimulai dari

penyiapan bahan, pembuatan perekat dari tulang pari untuk menentukan lama

proses perebusan (hidrolisis) terbaik, dan penentuan keteguhan rekat.

a. Penyiapan Bahan

Penyiapan bahan untuk pembuatan perekat, yaitu tulang pari dilaku-

kan melalui beberapa tahap sebagai berikut :

1) Pencucian Limbah Dari Hasil Pengolahan Ikan Pari.

Limbah ikan pari yang diperlukan adalah bagian-bagian tubuh ikan

pari yang mengandung tulang dari bagian kepala sampai ekor. Bagian

tesebut kemudian dicuci dengan air yang mengalir untuk menghilang-

kan kotoran yang melekat.

2) Penyiangan

Penyiangan dilakukan dengan membuang bagian-bagian daging, kulit

dan sumsum pada tulang.

3) Pencucian tulang pari

4) Pengecilan ukuran tulang pari

Pengecilan ukumn tulang pari dilakukan dengan cara memotong

(40)

bertujuan untuk mempermudah keluarnya atau larutnya protein kola-

gen dalam air rebusan akibat dari terdenaturasinya protein selama

proses perebusan.

b. Proses Pembuatan Perekat

Proses pembuatan perekat dimulai dengan :

1) Proses Ekstraksi Kolagen

Ekstraksi kolagen dari tulang pari diiakukan melalui proses

perebusan pada kisaran suhu 65" - 70°C. Perbandingan antara tulang pari dengan larutan asam asetat (konsentrasi 3, 5, dan 7 persen)

adalah 1 : 1. Proses perebusan ini dilakukan dengan tiga variasi waktu, yaitu selama 1 jam, 4 jam, dan 7 jam.

Proses perebusan ini dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut : a) Pemanasan larutan asam asetat hingga mencapai suhu 70°C

b) Pemasukan tuIang pari

c) Ekstraksi kolagen

Pencampuran tulang pari dengan larutan asam asetat pada suhu

70°C menyebabkan terhidrolisisnya protein tulang sehingga

mempermudah keluarnya protein di dalam jaringan tulang.

Dengan pemanasan (pada suhu 70°C), rantai molekul kolagen

lebih mudah terhidrolisis menjadi molekul-molekul yang relatif

lebih pendek, tetapi masih tetap fibrous, dan hidrolisis selanjutnya

akan menghasilkan molekul yang lebih pendek lagi hingga terben-

(41)

suhu 65" - 70°C dan selama proses tersebut dilakukan pula peng-

adukan tulang pari.

2) Pendinginan

Pendinginan dilakukan setelah proses hidrolisa selesai sesuai dengan

variasi waktu hidrolisa (yaitu 1, 4, dan 7 jam) yang dilakukan.

Pendinginan perekat dilakukan pada suhu kamar.

3) Penyaringan

Penyaringan diiakukan untuk rnernisahkan perekat yang dihasilkan

dari tulang pari dengan menggunakan kain saring. Filtrat hasil pe-

nyaringan kemudian ditimbang untuk mengetahui besarnya penyusutan

berat tulang pari dari berat awalnya setelah proses perebusan.

4) Proses Pemekatan atau Pengentalan Filtrat

Pengentalan filtrat dilakukan dalam penangas air pada suhu 70°C

hingga diperoleh filtrat dengan tingkat kepadatan (total solid) 50 %.

Filtrat dengan total solid 50 persen inilah yang akan digunakan seba- gai perekat pada kayu untuk diuji kekuatan atau keteguhan rekatnya.

(42)

PENYARINGAN

[image:42.514.172.414.88.613.2]

(FISH GLUE)

(43)

2. Penelitian Lanjutan

Penelitian lanjutran merupakan penerapan lebih lanjut hasil penelitian

awal untuk menghasilkan perekat ikan yang terbaik. Adapun bagan alir

proses pembuatan perekatnya sama dengan proses pada penelitian awal, teta-

pi dengan waktu proses hidrolisis terbaik yang diperoleh dari penelitian awal.

Kemudian dilakukan pemakaian lamtan asam asetat yang bervariasi konsen-

trasinya dan membanditgkannya dengan perekat kontrol yang tidak menggu-

nakan asam asetat untuk mengetahui pengaruh penarnbahan asam asetat pada

proses hidrolisis tulang pari, baik terhadap rendemen maupun mutu perekat.

Prosedur analisis rendemen dan mutu perekat ikan dapat dilihat pada Larnpir-

(44)

W . HASIL DAN P E M B A H A S A N

A.

PENELITIAN

AWAL

Pada penelitian awal dilakukan pengujian keteguhan rekat perekat agar

dapat ditentukan lamanya waktu perebusan terbaik dari 3 taraf faktor lama

perebusan tulang pari (1, 4, dan 7 jam) yang akan dianalisis lebih lanjut pada

penelitian lanjutan. ' Hasil analisis proksimat pada tulang ikan pari segar ditun-

jukkan dalam Tabel 5. Analisis proksimat tulang pari ini bertujuan untuk

mengetahui kandungan protein dari tulang pari yang digunakan dalam penelitian.

Hal ini berpengaruh sekali terhadap jumlah rendemen perekat ikan yang diper-

oleh dari hasil ekstraksi protein kolagen pada waktu perebusan tulang pari.

Tabel 5. Hasil analisis proksimat tulang ikan pari

Analisis Nilai ( % basis kering)

Kadar air 66.12

Kadar abu 34.59

Kadar protein 60.68'

Tulang pari yang digunakan adalah tulang pari yang telah terpisah dari

daging, kulit dan sumsum tulang, serta dari tulang pari yang telah rusak atau

bermutu rendah. Tulang pari ini berasal dari limbah hasil pengolahan pengasin-

an daging ikan pari yang masih mengandung daging, kulit, dan "jeroan" ikan

pari. Rendemen tulang pari yang bersih sekitar 50 persen dari berat awal limbah

tersebut.

Keteguhan rekat merupakan salah satu indikator bagi penilaian kualitas

[image:44.514.78.452.363.480.2]
(45)

digunakan sebagai penunjang dalam penilaian. Nilai keteguhan rekat perekat

dan persentase kemsakan kayu dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Rata-rata nilai keteguhan rekat perekat ikan

Perekat hasil Keteguhan rekat kerusakan kayu ekstraksi (kg/cm2 ( % )

1 jam 7.95 9.87

4 jam 17.39 12.00

7 jam

-

-

Pada Tabel 6 terlihat bahwa perekat hasil ekstraksi selama 4 jam memiliki

nilai keteguhan rekat dan persentase kerusakan tertinggi daripada perekat hasil

ekstraksi selama 1 jam, sehingga perekat hasil ekstraksi selama 4 jam cendemng

untuk dipilih sebagai fakt0~ yang akan dianalisa pada penelitian lanjutan. Se-

dangkan pada ekstraksi selama 7 jam tidak menghasilkan perekat, karena air

perebusan sebagian besar telah menguap selama proses ekstraksi tersebut, se-

hingga sulit memisahkan cairan perekat dengan tulang pari melalui penyaringan

untuk mendapatkan cairan perekat yang bersih dari pecahan tulang pari.

Penelitian lanjutan bertujuan untuk mempelajari pengaruh pemakaian

asam asetat yang dibandingkan dengan kontrol (tanpa asam asetat) dalam proses

ekstraksi melalui perebusan selama 4 jam terhadap rendemen perekat dan mutu

perekat. Variasi konsentrasi asam asetat yang digunakan dalam penelitian adalah

3 persen, 5 persen, dan 7 persen. Mutu perekat antara lain ditentukan oleh nilai

keteguhan rekat, persentase kerusakan kayu, dan sifat-sifat umum perekat, serta

[image:45.514.83.463.154.271.2]
(46)

adalah berat jenis, pH, dan viskositas perekat. Sedangkan pengujian organolep-

tik dilakukan untuk menilai warna dan bau perekat.

1. Rendemen

Pada penelitian ini proses ekstraksi kolagen tulang pari dilakukan

dengan pemanasan pada suhu 65" - 70°C. Hal ini didasarkan atas pendapat

Belitz dan Grosch (1987), serta Firth (1969), yang menyatakan bahwa salah

satu karakteristik serabut kolagen adalah mengalami penyusutan ketika

dipanaskan (dimasak atau dipanggang). Temperatur penyusutan

(Ts)

kolagen

ikan adatah 45°C. Jika kolagen dipanaskan pada T

>

Tg, benang triple heliks yang dirusak menjadi lebii panjang. Pemecahan struktur tersebut menjadi

lilitan acak yang larut dalam air dan disebut gelatin. Sehingga untuk mem-

permudah larutnya kolagen, maka digunakan suhu perebusan kira-kira 65" -

70°C. Suhu perebusan ini diusahakan agar tidak melebihi 70°C, karena

diatas suhu tersebut kolagen sulit larut ke dalam air. Hal ini sangat ber-

pengaruh sekali terhadap rendemen yang dihasilkan.

Sifat fisik dari kolagen adalah bila dididihkan dalam air akan meng-

alami transformasi dari bentuk untaian, larut dan tercerna menjadi gelatin

yang merupakan campuran polipeptida yang larut (Lehninger, 1988). Penga-

ruh pemanasan terhadap komponen ikan dapat menyebabkan perubahan fisik

dan kimia. Albumin dan globulin akan terdenaturasi sehingga terjadi per-

ubahan warna dan pemendekan rantai molekul asam amino penyusun kola-

gen. Protein kolagen akan mengalami pengerutan yang diikuti oleh hidrasi

dan gelatinisasi kolagen (Zaitsev et al., 1969). Pemakaian asam asetat ddam

proses perebusan dapat membantu melunakkan tulang pari dan memecahkan

(47)

protein ke dalam air rebusan daripada tanpa memakai asam asetat (Firth,

1969). Pengaruh pemakaian asam asetat dalam pembuatan perekat terhadap

rendemen perekat disajikan pada Gambar 4.

Rendemen perekat (%) basis kering

0 3 5 7

Konsentrasi esem asetat (%)

Gambar 4. Histogram pengamh pemakaian asam asetat terhadap rendemen perekat

Rendemen yang diperoleh dari pemakaian asam asetat yaitu 34.72

-

36.46 persen (basis kering) menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi

asam asetat yang dipergunakan, rendernen yang diperoleh semakin tinggi

pula. Jumlah tersebut berbeda sekali dengan rendemen yang dihasilkan tanpa

rnemakai asam asetat, yaitu 16.01 persen. Hasil analisis keragaman pada

Lampiran 2 menunjukkan bahwa asarn asetat berpengaruh sangat nyata terha-

dap rendemen perekat.

Pada hasil uji lanjut (Lampiran 3) terlihat bahwa rendemen perekat

kontrol berbeda nyata dengan rendemen perekat yang memakai asam asetat.

Hal ini rnenunjukkan bahwa asam asetat rnempunyai pengaruh yang sangat

[image:47.514.133.404.171.358.2]
(48)

asam asetat berfungsi untuk mempermudah pecahnya atau putusnya struktur

rantai molekul protein, sehingga sebagian besar protein (kolagen) akan larut

ke dalam air rebusan.

Asam asetat selain berfungsi untuk meningkatkan rendemen perekat,

juga berfungsi sebagai pengawet yang dapat memperpanjang daya tahan

perekat yang dihasilkan apabila belum ditambahkan bahan pengawet lainnya,

serta mempunyai dua penganih anti rnikroorganisme, yaitu penganihnya

terhadap pH dan sifat keracunan yang khas dari asam-asam terurai, yang

beragam untuk asam-asam yang berlainan. Jadi pada pH yang sama, asam

asetat lebih bersifat menghambat terhadap mikroorganisme tertentu daripada

asam laktat (Buckle et al., 1985).

Perekat ikan yang dibuat termasuk golongan perekat alami yang ber-

asal dari hewan (perekat hewani), yaitu gelatin yang diekstrak dari tulang

ikan pari. MenuNt Sutigno (1988), perekat dari gelatin termasuk perekat

interior yang mengeras karena pendinginan dan memerlukan pengempaan

dingin, sehingga perekat ini termasuk golongan perekat termoplastik, yaitu

jenis perekat yang sangat peka terhadap p e ~ b a h a n temperatur, dan bersifat

reversible, serta cocok sebagai perekat untuk bahan yang tidak mendapat

tekanan terlalu besar.

2. Keteguhan Rekat

Menurut Sutigno (1988), dalam proses perekatan terlibat tiga buah

faktor, yaitu benda yang direkat (kayu), perekat dan kondisi perekatan.

(49)

Beberapa sifat yang hams diperhatikan agar dapat ditentukan kayu yang baik

untuk perekatan yang mempengaruhi keteguhan rekat antara lain :

a. Stmktur anatomi, yaitu sel jari-jari pada kayu hams terbuka agar perekat

dapat menembus ke dalam kayu. Pembukaan sel pada kayu dapat terjadi

karena tekanan (pengempaan).

b. Berat jenis kayu, semakin tinggi berat jenis kayu, semakin tebal dinding

selnya, sehingga memerlukan tekanan yang relatif lebih besar untuk

memecahkannya agar perekat dapat menembus ke dalam kayu.

c. Zat ekstraktif, yaitu zat yang terdapat dalam rongga sel dan yang dapat

dikeluarkan dengan jrnlan ekstraksi. Zat ini dapat mengurangi keteguhan

rekat karena antara lain dapat menghalangi perekat untuk bereaksi dengan

komponen dalam dinding sel dari kayu seperti selulosa. Karena itu pada

pembuatan perekat, pemakaian ekstender @ahan tambahan) h a s diku-

rangi, temtama perekat untuk jenis kayu yang mengandung zat ekstraktif

tinggi.

d. Kadar air diusahakan serendah mungkin, karena kayu yang kering 'lebih

baik untuk direkat daripada kayu yang basah.

e. Keadaan permukaan kayu, yaitu harus rata, halus, dan bersih dari bekas

pelumas agar dihasilkan keteguhan rekat yang baik.

Keadaan kayu yang dipergunakan dalam penelitian telah diusahakan

sama dengan syarat-syarat di atas, antara lain :

a. Memiliki berat jenis yang rendah, yaitu 0.5 gr/cm3 dan kadar air yang

rendah pula, yaitu 8 persen (disesuaikan dengan persyaratan kayu untuk

perekatan pada SII 0276-80).

(50)

Ukuran kayu yang dipakai sebagai kayu uji perekatan disesuaikan dengan

ukuran kayu pada Gambar 5. Kadar air kayu yang terlalu tinggi akan

mengurangi keteguhan rekat sebab air yang ada dalam kayu akan meng-

halangi perekat untuk bereaksi dengan komponen kayu dalam dinding sel.

4--

garis lOY(P.5

--

'

[image:50.521.92.436.206.409.2]

perekaian

Gambar 5. Bentuk dan u h r a n kayu uji keteguhan rekat (JIS, 1973)

Hasil analisis keragaman mengenai pengaruh asam asetat terhadap

keteguhan rekat pada Lampiran 4 menunjukkan bahwa pemakaian asam ase-

tat dengan konsentrasi yang berbeda-beda dan yang &npa mernakai asam

asetat tidak berpengaruh nyata terhadap keteguhan rekat perekat. Tetapi

apabila dibandingkan dengan keteguhan rekat perekat standar (PVAc), nilai

keteguhan rekat perekat ikan dengan penambahan asarn asetat 5 dan 7 persen

lebih tinggi daripada perekat PVAc, yaitu 62.04 kglcmz dan 67.96 kg/cm2.

Hal ini menunjukkan bahwa perekat ikan tersebut dapat digunakan sebagai

perekat kayu, karena memiliki keteguhan rekat yang lebih baik daripada

(51)

Menurut Shields (1970), keteguhan rekat akan menurun oleh adanya

kotoran yang menempel pada permukaan bahan yang direkat. Permukaan

bahan yang kasar tidak selalu akan menghasilkan ikatan rekat yanng berke-

kuatan tinggi, akan tetapi permukaan yang telah dihaluskan dengan amplas

atau dengan ketam dan garis rekat yang tipis akan meningkatkan keteguhan

rekat, karena permukaan kayu tersebut saling bersinggungan secara merata

dan tekanan terbagi merata ke seluruh permukaan kayu.

Pada penghalusan permukaan kayu dengan amplas, diusahakan setelah

pengamplasan, bubuk kayu yang terlepas di atas permukaan kayu tersebut

telah bersih. Hal ini dilakukan untuk mencegah tertutupnya rongga-rongga

sel kayu, sehingga pada waktu pelaburan, perekat mudah merembes ke dalam

sel kayu tersebut agar keteguhan rekatnya makin tinggi. Selain itu menurut

Shields (1970), kadar air kayu yang akan memberikan hasil perekatan opti-

mal berkisar antara 8 - 12 persen.

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keteguhan rekat perekat

dalam teknik perekatan, antara lain :

a. Tekanan Kempa

Menurut Phinney (1951), fungsi tekanan kempa dalam perekatan

adalah untuk pembentukan ikatan rekat, sehingga bahan yang direkat

menjadi terikat satu dengan lainnya. Tekanan kempa yang berlebihan

tidak hanya meningkatkan kecepatan aliran perekat dan penetrasi perekat

yang berlebihan, tetapi juga akan mengakibatkan terjadinya regangan.

Sedangkan tekanan kempa yang kurang memadai akan menghasilkan

keteguhan rekat yang kurang baik. Tekanan kempa yang ideal untuk

(52)

untuk kayu berkerapatan sedang (0.41 - 0.55) sebesar 10

-

14 kg/cm2,

serta untuk kayu berkerapatan rendah (

<

0.41) sebesar 7 - 10 kg/cm2. Menurut Sutigno (1988), bila tekanan kempa terlalu tinggi maka

kayu akan menjadi rusak, sehingga mengakibatkan penurunan keteguhan

rekat. Selain itu &bat tekanan yang terlalu tinggi tersebut menyebabkan

banyak perekat yang keluar dari bidang perekatan, sehingga jumlah pere-

kat pada garis rekat terlalu sedikit. Tekanan yang terlalu rendah kurang

baik karena penembusan perekat ke dalam sel-sel kayu kurang dalam dan

kontak antara permukaan yang direkat kurang rapat.

Pada penelitian ini, tekanan kempa yang diberikan pada kayu uji

perekatan sebesar 10 kg/cm2. Hal ini disesuaikan dengan kerapatan kayu,

yaitu 0.5. Menurut Shields (1970), kebutuhan tekanan kempa dalam

perekatan ditentukan oleh jenis perekat. Tekanan kempa membantu

dalam pengaliran, perpindahan. dan penetrasi perekat ke dalam sel-sel

kayu serta proses pembasahan. Bila tekanan kempa terlalu tinggi akan

menimbulkan tegangan dalam yang akan menurunkan keteguhan rekat

atau garis rekat akan msak. Tekanan kempa dapat digunakan sesuai

dengan tipe perekat dan luas bidang perekatan serta alat kempa yang

dipakai.

b. Suhu Kempa

Perekat yang dibuat dalam penelitian merupakan perekat termoplas-

tik dan termasuk perekat interior yang mengeras karena pendinginan dan

memerlukan pengempaan dingin. Menurut Phinney (1951), pada kempa

dingin, aliran, perpindahan, dan penetrasi resin dapat terjadi jika perekat

(53)

c. Lama Pengempaan (Waktu Kempa)

Waktu kempa rnempengaruhi terbentuknya ikatan rekat, karena

makin lama pengempaan &an membantu penetrasi perekat dengan baik

ke dalam sel-sel kayu (Pizzi, 1983). Pada Gambar 6. Phinney (1951)

menggambarkan hubungan antara lama pengempaan dengan keteguhan

rekat (perekat resin BC

--

-

17613). Lama pengempaan suatu panel meru-

pakan fungsi dari tipe resin perekat, suhu garis rekat, sifat katalis, jumlah

[image:53.524.119.404.317.622.2]

dan sifat ekstender, filler, dan kadar air kayu.

(54)

d. Berat Labur

Pelaburan (pengolesan) perekat terlalu banyak atau melebihi batas

optimal akan menyebabkan pemborosan, juga dapat menurunkan mutu

garis rekat yang dihasilkan. Sedangkan bila berat labur (banyaknya pere-

kat yang dioleskan) terlalu sedikit atau dibawah batas optimal akan

menghasilkan mutu ikaan rekat yang kurang baik. Di samping itu variasi

ketebalan, kehalusan, kerataan, dan porositas dari bahan yang direkat

dapat menyebabkan pehburan menjadi tidak merata (Phinney, 1951).

Berat labur perekat PVAc berkisar antara 0.01 - 0.02 g/cm3 untuk

pelaburan dua p e r m u h , dan untuk pelaburan satu permukaan memakai

PVAc sebanyak 0.02

-

0.03 g/cm2 (Pizzi, 1983). Pelaburan perekat ikan pada kayu uji dilahckan pada satu permukaan, sehingga dibutuhkan kira-

kira 0.02 - 0.03 g/cm3perekat untuk satu permukaan bidang perekatan.

e. Masa Tunggu (Assembjy Time)

Masa tunggu adatah waktu antara pelaburan dengan pengempaan.

Masa tunggu yang terldu pendek kurang baik, karena perekat masih terla-

lu basah. Sebaliknya Mau terlalu lama juga kurang baik, karena perekat

menjadi terlalu kering sehingga sulit atau tidak dapat merekatkan kayu uji

yang akan direkatkan (Sutigno, 1988). Masa tunggu yang digunakan

dalam penelitian adalah selama 24 jam. Hal ini dilakukan agar perekat

yang telah dilaburkan pada permukaan kayu uji untuk merekatkan dua

buah kayu uji tersebut sebagian besar telah mengering, sehingga pada

waktu pengempaan, kayu uji tidak bergeser satu sama lain.

Menurut Phinney (1951), pengamh utama dari penambahan lama

(55)

pemindahan dan penetrasi dari perekat. Masa tunggu yang terlalu singkat

akan mengakibatkan pengaliran perekat secara berlebihan. Masa tunggu

akan bervariasi tergantung jenis perekat yang digunakan. Menurut

Lebang (1973), daya rekat kayu dapat dipengaruhi oleh kadar air kayu.

Kadar air kayu yang terlalu tinggi menyebabkan bahan-bahan padat

mengalir ke dalam kayu secara berlebihan. Hal ini dapat memperpanjang

waktu pengeringan perekat.

Pemakaian perekat PVAc sebagai pembanding (standar) terhadap

perekat ikan didasarkan pada kesamaan sifat perekat PVAc dengan perekat

ikan, yaitu termasuk perekat termoplastik dan bersifat reversible. Menumt

Love (1985), perekat PVAc merupakan perkembangan akhir dari perekat- perekat kayu, dan semakin populer karena tidak memerlukan persiapan

apapun dan karena penanganannya yang sangat mudah. Perekat ini benvarna

putih dan tidak menimbulkan noda-noda, dapat disimpan lama, sangat bersih

dalam penggunaan dan dapat larut air. Menurut Houwink dan Salomon

(1965), perekat PVAc tergolong berkualitas baik apabila mempunyai kadar

polimer kira-kira 50 persen. Perekat PVAc mempakan emulsi tidak beracun,

bersih dan mudah dipakai dengan cepat, serta daya tahannya masih baik

sampai temperatur sekitar 50" - 60°C.

Gambar

Tabel 1. Hasil tangkapan ikan pari di Indonesia tahun 1984 - 1991"
Gambar 2. Susunan molekul tropokolagen pada fibril kolagen (Lehninger, 1988)
Tabel 2. Kandungan kimia kayu meranti meraha
Gambar 3. Bagan alir proses pembuatan perekat dari tulang pari yang te- lah dimodifikasi (Brody, 1965)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tahap implementasi sistem merupakan tahap lanjutan dari tahap perancangan sistem, dimana semua perancangan yang telah dibuat baik berupa perancangan diagram sistem maupun

Meski telah ada Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat namun belum juga ada pengadopsian rumusan

(2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan mencampuradukkan Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b apabila Keputusan

Perubahan Waktu Penyelesaian Pekerjaan Penambahan Volume Item Kegiatan Pengurangan Volume Item Kegiatan Penambahan Item Kegiatan. Pengurangan

PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG TAHUN

PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG TAHUN

%FNPLSBUJT NFSVQBLBO TBUV FOUJUBT ZBOH NFOKBEJ QFOFHBL XBDBOB DJWJM TPDJFZ EJ NBOB EBMBN NFOKBMBOJ LFIJEVQBO XBSHB OFHBSB NFNJMJLJ LFCFCBTBO QFOVI VOUVL NFOKBMBOLBO

Apakah Petugas melakukan aspirasi obat sesuai dosis dengan spuit injeksi?. Apakah Petugas Mengatur