• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kecemasan Menghadapi Kematian pada Lansia Ditinjau dari Tipe Kepribadian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kecemasan Menghadapi Kematian pada Lansia Ditinjau dari Tipe Kepribadian"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan

Ujian Sarjana Psikologi

Oleh :

ASDA PARDOSI

081301038

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat kecemasan menghadapi kematian pada lansia ditinjau dari tipe kepribadian ekstrovert dan introvert. Kecemasan menghadapi kematian adalah suatu ketakutan yang dialami individu saat akan menghadapi kematian yang ditandai dengan adanya gangguan psikologis yang dicirikan dengan ketegangan motorik (gelisah, gemetar dan ketidakmampuan untuk rileks, hiperaktivitas (pusing, jantung berdebar-debar atau berkeringat), perasaan campuran berisikan ketakutan, kekhawatiran dan keprihatinan mengenai masa-masa mendatang tanpa sebab khusus untuk ketakutan tersebut. Tipe kepribadaian ekstrovert adalah satu kecenderungan untuk mengarahkan kepribadian lebih banyak ke luar daripada ke dalam diri sendiri. Tipe kepribadian introvert adalah salah satu kecenderungan kepribadian untuk menarik diri dari kontak sosial dan minatnya lebih mengarah ke dalam pikiran-pikiran dan pengalamannya sendiri.

Metode dalam penelitian ini adalah adalah penelitian kuantitatif komparatif. Subjek penelitian berjumlah 72 orang lansia dengan usia diatas 60 tahun.Teknik pengambilan sampel adalah accidental sampling. Alat ukur yang digunakan adalah skala kecemasan menghadapi kematian berdasarkan aspek-aspek kecemasan yang dikemukakan oleh Blackburn & Davidson (dalam Zainuddin, 2002) dan skala kepribadian ekstrovert dan introvert berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Eysenck (dalam Hall dkk, 1985). Analisa data yang digunakan adalah analisis Independent Sample Test untuk apakah ada perbedaan kecemasan menghadapi kematian kedua kelompok tersebut.

Hasil analisa data diperoleh hasil kecemasan menghadapi kematian antara tipe kepribadian ekstrovert dan introvert dengan nilai p = 0.372 dengan p >0.05, artinya tidak ada perbedaan kecemasan menghadapi kematian ditinjau dari tipe kepribadian. Tidak adanya perbedaan tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti tingkat pendidikan, religiusitas, dukungan keluarga, dan lingkungan.

(3)

ABSTRACK

This research aims to look at anxiety facing death in the elderly in terms of extroverted and introverted personality type. Dealing with death anxiety is a fear that is experienced when the individual will face death characterized by the presence of psychological disorder characterized by motor tension (trembling and agitation, inability to relax, hyperactivity (dizziness, heart palpitations or sweating), mixed feelings, worries and fears with concerns about the future without a cause for fear. Extrovert pesonality type is a tendency to drive more personlity to the outside than it is inside yourself. Introvert personality type is one o a personality tendency to withdraw from social contact and interest in more lead into thoughts and his own experience.

The method in this research is quantitative research is comparative. Subject research amounted to 72 elderly with age above 60 years.Sampling technique is the accidental sampling. Measuring instrument used was dealing with death anxiety scale based on aspects of the anxiety expressed by the Blackburn & Davidson (in Zainuddin, 2002) and the personality scale based on the theory advanced by Eysenck (Hall et al, 1985). Data analysis is the analysis of the Independent Sample Test.

Analysis of the data obtained from the anxiety of dealing with death between extrovert and introvert personality type ith a value of p = 0.372 with p > 0.05, which means that there is no difference in the anxiaty of dealing with death in terms of personality types. Absence of difference it can be affected by various factors like education level, religiousness, support families, and the environment.

(4)

berkat, karunia dan kekuatan yang Dia berikan dalam penyelesaian skripsi ini

yang berjudul “Kecemasan Menghadapi Kematian Pada Lansia Ditinjau Dari Tipe

Kepribadian” untuk memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana

Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Syukur kepada Tuhan

Yesus untuk penyertaanNya kepada peneliti dalam menyelesaikan tahap demi

tahap penyelesaian skripsi ini.

Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh keluarga,

khususnya kepada bapak (Hendrik Pardosi) dan mama (Emma Manurung)

termasuk keluarga besar peneliti yang senantiasa berdoa, memberikan dukungan

dan semangat kepada peneliti selama kuliah sampai menyelesaikan skripsi ini.

Peneliti menyadari bahwa tanpa bantuan pihak lain maka peneliti tidak mampu

menyelesaikan penelitian ini. Oleh karena itu, peneliti ingin menyampaikan terima

kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian

penelitian ini. Ucapan terima kasih peneliti tujukan kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Elvi Andriani Jusuf, M.Psi., Psikolog selaku dosen pembimbing yang

telah membimbing penulis selama proses mengerjakan tugas ini. Terima

(5)

sebagai orangtua bagi peneliti walaupun sudah pindah dari Fakultas

Psikologi.. Terima kasih atas bimbingan, arahan dan bantuan selama

peneliti mengikuti perkuliahan di Fakultas Psikologi USU.

4. Ibu Debby Daulay, M.Psi., Psikolog., selaku dosen penguji. Terima kasih

karena telah bersedia meluangkan waktu untuk menguji dan memberikan

masukan dan saran yang sangat berarti bagi penulis demi penyempurnaan

skripsi ini. Semoga Allah senantiasa melimpahkan kasih sayang dan

nikmat Nya yang tak berbalas kepada ibu.

5. Ibu Etty Rahmawati, M.Si., selaku dosen penguji. Terima kasih karena

telah bersedia meluangkan waktu untuk menguji dan memberikan

masukan dan saran yang sangat berarti bagi penulis demi penyempurnaan

skripsi ini. Semoga Allah senantiasa melimpahkan kasih sayang dan

nikmat Nya yang tak berbalas kepada ibu.

6. Kakek dan Nenek di Medan yang menjadi sampel dalam penelitian ini.

Terima kasih atas kesediannya meluangkan waktu untuk mengisi skala

peneliti.

7. Seluruh dosen di departemen Psikologi Perkembangan dan seluruh staf

pengajar serta pegawai Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

(6)

9. Gadis kompor (Rentika cute & Mii Egz) yang selalu ada saat butuh

hiburan. Terima kasih buat waktu yang berharga kalian luangkan bagi ku

setiap saat aku butuh.

10.Teman-teman seperjuangan stambuk 2008 yang sama-sama berjuang

dalam penyelesaian studi di kampus tercinta ini. Terimakasih untuk setiap

masukan, cerita, dan perjuangan kita.

Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,

karena itu peneliti terbuka untuk menerima semua saran dan kritik demi

tercapainya penulisan yang lebih baik lagi. Akhir kata, semoga Tuhan Yesus

berkenan membalas segala kebaikan saudara-saudara semua. Semoga penelitian

ini membawa manfaat bagi saudara-saudara semua.

Medan, April 2014

Peneliti

(7)

DAFTAR LAMPIRAN ... viii 1. Pengertian Kecemasan Menghadapi Kematian ... 24

2. Jenis-Jenis Kecemasan Akan Kematian ... 27

3. Cara Pandang terhadap Kematian ... 28

4. Aspek-Aspek Kecemasan ... 29

5. Faktor-Faktor Yang Memunculkan Kecemasan ... 30

6. Teori Predisposisi Kecemasan ... 32

7. Tingkat Kecemasan ... 34

D. Dinamika Kecemasan Menghadapi Kematian Ditinjau Dari Tipe Kepribadian ... 36

E. Hipotesis... ... 39

BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 40

B. Definisi Operasional 1. Kecemasan Menghadapi Kematian. ... 40

2. Tipe Kepribadian. ... 41

C. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel 1. Populasi ... 43

2. Metode Pengambilan Sampel ... 43

D. Metode Pengumpulan Data ... 44

(8)

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 55

4. Penggolongan Subjek Penelitian Berdasarkan Tipe Kepribadian ... 60

5. Penggolangan Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat Kecemasan Menghadapi Kematian. ... 62

(9)

Tabel 2. Blue print Skala Kepribadian Sebelum Uji Coba... ... 49

Tabel 3. Skala Kecemasan Menghadapi Kematian ... 53

Tabel 4. Skala Kepribadian ... 54

Tabel 5. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 58

Tabel 6. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin... 59

Tabel 7. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Status Pekerjaan……….60

Tabel 8. Statistik Reliabilitas ... 61

Tabel 9. Statistik Deskritif ... 61

Tabel 10. Kategori Tipe kepribadian ... 62

Tabel 11. Kategori Data Dimensi Kepribadian Ekstrovert dan introvert ... 62

Tabel 12. Statistik Reliabilitas ... 63

Tabel 13. Statistik Deskriptif. ... 63

Tabel 14. Hasil Uji Normalitas ... 64

Tabel 15. Hasil Uji Homogenitas ... 65

Tabel 16. Independen Sampel Test... 66

Tabel 17. Hasil Analisa Perbedaan Suasana Hati antara Dimensi Kepribadian Ekstrovert dan Introvert ... 67

Tabel 18. Uji Normalitas ... 67

Tabel 19. Tes Statistik ... 67

Tabel 20. Hasil Analisa Perbedaan Pikiran antara Dimensi Kepribadian Ekstrovert dan Introvert ... 67

Tabel 21. Uji Normalitas ... 68

Tabel 22. Tes Statistik ... 68

Tabel 23. Hasil Analisa Perbedaan Motivasi antara Dimensi Kepribadian Ekstrovert dan Introvert ... 68

Tabel 24. Uji Normalitas ... 68

Tabel 25. Tes Statistik ... 69

Tabel 26. Hasil Analisa Perbedaan Perilaku Gelisah antara Dimensi Kepribadian Ekstrovert dan Introvert ... 69

Tabel 27. Uji Normalitas ... 69

Tabel 28. Tes Statistik ... 69

Tabel 29. Hasil Analisa Perbedaan Reaksi-Reaksi Biologis antara Dimensi Kepribadian Ekstrovert dan Introvert ... 70

Tabel 30. Uji Normalitas ... 70

Tabel 31. Tes Statistik ... 70

Tabel 32. Hasil Analisa Perbedaan Kecemasan Menghadapi Kematian Ditinjau dari Jenis Kelamin ... 71

Tabel 33. Uji Normalitas ... 71

(10)
(11)

B. Skala Kecemasan Menghadapi Kematian Saat Uji Coba. ... 94

Lampiran 2 A. Data Mentah Skala Tipe kepribadian Saat Uji Coba. ... 98

B. Data Mentah Skala Kecemasan Menghadapi Kematian Saat Uji Coba ... 101

Lampiran 3 A. Reliabilitas Skala Tipe Kepribadian Saat Uji Coba. ... 104

B. Reliabilitas Skala Kecemasan Menghadapi Kematian Saat Uji Coba. ... 106

Lampiran 4 A. Skala Dukungan Tipe Kepribadian Saat Penelitian. ... 109

B. Skala Kecemasan Menghadapi Kematian Saat Penelitian. ... 116

Lampiran 5 A. Data Mentah Penelitian Tipe Kepribadian. ... 120

B. Data Mentah Penelitian Kecemasan Menghadapi Kematian. ... 123

Lampiran 6 A. Hasil Uji Asumsi... 126

(12)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat kecemasan menghadapi kematian pada lansia ditinjau dari tipe kepribadian ekstrovert dan introvert. Kecemasan menghadapi kematian adalah suatu ketakutan yang dialami individu saat akan menghadapi kematian yang ditandai dengan adanya gangguan psikologis yang dicirikan dengan ketegangan motorik (gelisah, gemetar dan ketidakmampuan untuk rileks, hiperaktivitas (pusing, jantung berdebar-debar atau berkeringat), perasaan campuran berisikan ketakutan, kekhawatiran dan keprihatinan mengenai masa-masa mendatang tanpa sebab khusus untuk ketakutan tersebut. Tipe kepribadaian ekstrovert adalah satu kecenderungan untuk mengarahkan kepribadian lebih banyak ke luar daripada ke dalam diri sendiri. Tipe kepribadian introvert adalah salah satu kecenderungan kepribadian untuk menarik diri dari kontak sosial dan minatnya lebih mengarah ke dalam pikiran-pikiran dan pengalamannya sendiri.

Metode dalam penelitian ini adalah adalah penelitian kuantitatif komparatif. Subjek penelitian berjumlah 72 orang lansia dengan usia diatas 60 tahun.Teknik pengambilan sampel adalah accidental sampling. Alat ukur yang digunakan adalah skala kecemasan menghadapi kematian berdasarkan aspek-aspek kecemasan yang dikemukakan oleh Blackburn & Davidson (dalam Zainuddin, 2002) dan skala kepribadian ekstrovert dan introvert berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Eysenck (dalam Hall dkk, 1985). Analisa data yang digunakan adalah analisis Independent Sample Test untuk apakah ada perbedaan kecemasan menghadapi kematian kedua kelompok tersebut.

Hasil analisa data diperoleh hasil kecemasan menghadapi kematian antara tipe kepribadian ekstrovert dan introvert dengan nilai p = 0.372 dengan p >0.05, artinya tidak ada perbedaan kecemasan menghadapi kematian ditinjau dari tipe kepribadian. Tidak adanya perbedaan tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti tingkat pendidikan, religiusitas, dukungan keluarga, dan lingkungan.

(13)

ABSTRACK

This research aims to look at anxiety facing death in the elderly in terms of extroverted and introverted personality type. Dealing with death anxiety is a fear that is experienced when the individual will face death characterized by the presence of psychological disorder characterized by motor tension (trembling and agitation, inability to relax, hyperactivity (dizziness, heart palpitations or sweating), mixed feelings, worries and fears with concerns about the future without a cause for fear. Extrovert pesonality type is a tendency to drive more personlity to the outside than it is inside yourself. Introvert personality type is one o a personality tendency to withdraw from social contact and interest in more lead into thoughts and his own experience.

The method in this research is quantitative research is comparative. Subject research amounted to 72 elderly with age above 60 years.Sampling technique is the accidental sampling. Measuring instrument used was dealing with death anxiety scale based on aspects of the anxiety expressed by the Blackburn & Davidson (in Zainuddin, 2002) and the personality scale based on the theory advanced by Eysenck (Hall et al, 1985). Data analysis is the analysis of the Independent Sample Test.

Analysis of the data obtained from the anxiety of dealing with death between extrovert and introvert personality type ith a value of p = 0.372 with p > 0.05, which means that there is no difference in the anxiaty of dealing with death in terms of personality types. Absence of difference it can be affected by various factors like education level, religiousness, support families, and the environment.

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penduduk Indonesia selama kurun 40 tahun sejak tahun 1970 mengalami

perubahan struktur (Komisi Nasional Lanjut Usia, 2010). Proporsi penduduk usia

dibawah 15 tahun mengalami perubahan menjadi mengecil walaupun jumlahnya

masih tetap bertambah. Seiring dengan membaiknya kondisi kesehatan, struktur

umur penduduk Indonesia juga mengalami peningkatan sebagai dampak

meningkatnya angka harapan hidup. Hal ini mempengaruhi jumlah dan persentase

penduduk lanjut usia yang terus meningkat jumlahnya. Data Badan Pusat

Statistika menunjukkan meningkatnya jumlah lansia setiap tahunnya. Pada tahun

1980 presentasi jumlah lanjut usia 5,45%, tahun 1990 sebanyak 6,29%, tahun

2000 sebanyak 7,18%, tahun 2010 sebanyak 9,77%, dan diperkirakan pada tahun

2020 presentasi populasi lanjut usia sebanyak 11,34%. Berdasarkan data di atas

dapat disimpulkan bahwa harapan hidup manusia dari tahun ke tahun semakin

meningkat.

Berdasarkan kelompok umur, persentase penduduk lansia relatif kecil

dibandingkan dengan penduduk usia dibawah 15 tahun (29,06 %), penduduk usia

15-35 tahun (34,53%), maupun penduduk dewasa usia 36-59 tahun (28,04%).

Meskipun persentasenya relatif kecil dibandingkan kelompok umur lainnya,

namun secara umum jumlah penduduk lansia mengalami peningkatan setiap

(15)

penduduk lansia pada tahun 2005, 2007 dan 2009. Pada tahun 2009, jumlah

penduduk lansia Indonesia mencapai 19,32 juta orang atau 8,37% dari total

seluruh penduduk Indonesia. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, terjadi

peningkatan jumlah penduduk lansia dimana pada tahun 2005 jumlah penduduk

lansia sebesar 16,80 juta orang. Angka ini naik menjadi 18,96 juta orang pada

tahun 2007, dan menjadi 19,32 juta orang pada tahun 2009. Kepedulian akan

kesejahteraan lansia tertuang dalam UU No 13/Tahun 1998 tentang Kesejahteraan

Lansia. UU tersebut mengamanatkan pemerintah berkewajiban memberikan

pelayanan dan perlindungan sosial bagi lansia agar mereka dapat mewujudkan dan

menikmati taraf hidup yang wajar (Komisi Nasional Lanjut Usia, 2009).

Sejalan dengan bertambahnya umur maka setiap manusia itu pun akan

menjadi tua yang berarti akan mengalami berbagai macam perubahan, baik

perubahan fisik maupun psikologis tertentu (Yudrik Jahja, 2001).

Perubahan-perubahan sudah menjadi kodrat setiap manusia yang disebut dengan istilah

“menua”. Menua merupakan bagian dari proses kehidupan yang tidak dapat

dihindari oleh setiap manusia. Namun demikian, kualitas hidup lansia harus

diupayakan tetap terjaga sehingga dapat tetap sehat, aktif, dan mandiri. Perubahan

yang terjadi akan memberikan berbagai efek terhadap lansia dalam menentukan

hidup selanjutnya apakah mereka akan melakukan penyesuaian diri dengan baik

atau buruk.

Lanjut usia sebagai tahap akhir siklus perkembangan manusia sering

mengalami kecemasan. Padahal, masa lanjut usia adalah masa dimana semua

(16)

masa pensiun bersama anak dan cucu tercinta dengan penuh kasih sayang.

Namun, pada kenyataanya tidak semua lanjut usia mendapatkan kesempatan yang

sama untuk mengecap kondisi hidup idaman ini. Berbagai persoalan hidup yang

mendera lanjut usia sepanjang hayatnya, seperti: kemiskinan, kegagalan yang

beruntun, stress yang berkepanjangan, ataupun konflik dengan keluarga atau anak,

kehilangan pasangan hidup atau kondisi lain seperti tidak memiliki keturunan

yang bisa merawatnya dan lain sebagainya (Hurlock, 1996).

Perjalanan manusia dalam menjalani proses hidup yang cukup panjang,

telah menyadarkan diri setiap manusia akan datangnya kematian sebagai tahap

terakhir kehidupannya di dunia ini. Namun demikian, adanya kesadaran tentang

kepastian datangnya kematian ini memiliki respon yang berbeda-beda pada setiap

orang atau kelompok orang (Hurlock, 1996). Bagi seseorang atau sekelompok

orang, pertambahan usia cenderung membawa besarnya kesadaran akan

datangnya kematian dan kesadaran ini menyebabkan sebagian orang menganggap

kematian dapat diterimanya seperti seorang sahabat. Bagi seseorang atau

sekelompok orang lainnya, kematian merupakan sesuatu yang sangat menakutkan

atau mengerikan, walaupun dalam kenyataannya dari beberapa kasus terjadi juga

individu-individu yang takut pada kehidupan dan melakukan bunuh diri (Lalenoh,

1991).

Cara memandang kematian pada setiap tingkat usia mana pun

berbeda-beda; sikap orang-orang merefleksikan kepribadian dan pengalaman mereka,

sekaligus seberapa kuat mereka yakin bahwa mereka akan meninggal. Perubahan

(17)

event normative atau nonnormatif (Papalia, 1997). Diusia 5 dan 7 tahun sebagian

besar anak memahami bahwa kematian merupakan sesuatu yang tidak dapat

dihindari. Pada usia ini, anak-anak menyadari dua konsep penting tentang

kematian: pertama, bahwa kematian bersifat universal dan tidak dapat dihindari;

dan kedua, orang yang sudah meninggal tidak berfungsi. Sebelum usia tersebut,

anak-anak yakin beberapa kelompok orang tidak meninggal, bahwa seseorang

yang pintar atau beruntung dapat menghindari kematian dan mereka dapat hidup

kekal abadi. Mereka percaya bahwa seorang yang meninggal dunia masih bisa

berpikir dan merasa. Menurut Piaget (dalam Speece & Brent, 1984), terjadinya

perubahan arti setiap konsep tentang kematian berhubungan dengan pemikiran

anak-anak yang beralih dari pemikiran praoperasional menuju pemikiran

operasional konkret.

Pada usia paruh baya, sebagian besar orang-orang menjadi lebih sadar

sebelumnya bahwa mereka akan meninggal dunia. Tubuh mereka mengirim sinyal

bahwa mereka tidak lagi semuda, secerdas, dan segairah dulu. Mereka akan lebih

memikirkan beberapa tahun yang tersisa bagi mereka dan bagaimana

memanfaatkan tahun-tahun tersebut semaksimal mungkin (Neugarten dam

Papalia, 1997).

Pada lanjut usia, berbagai perasaan bercampur aduk mengenai

kemungkinan proses menjelang kematian. Kemunduran fisik dan berbagai

masalah lain yang serat dengan berbagai kemunduran pada usia tua, membuat

mereka kehilangan kenikmatan mereka dalam kehidupan dan keinginan mereka

(18)

lansia yang terlihat adanya kemunduran tersebut sangat berpengaruh terhadap

kondisi kesehatan dan terhadap kondisi psikologis.

Pada umumnya, lansia tergolong masa yang yang telah memasuki pensiun.

Masa pensiun berarti lansia akan mengalami berbagai perubahan dalam

kehidupannya sehari-hari. Perubahan-perubahan yang dirasakan membuat lansia

harus menyesuaikan diri kembali dengan keadaan kehidupannya yang baru. Pada

lansia yang menjalani masa pensiun dikatakan memiliki penyesuaian diri paling

baik adalah lanjut usia yang sehat, memiliki pendapatan yang layak, aktif,

berpendidikan baik, memiliki relasi sosial yang luas termasuk diantaranya teman –

teman dan keluarga, dan biasanya merasa puas dengan kehidupannya sebelum

pensiun (Palmore, dkk, 1985). Orang-orang dewasa lanjut dengan penghasilan

tidak layak dan kesehatan yang buruk, dan harus menyesuaikan diri dengan stres

lainnya yang terjadi seiring dengan pensiun, seperti kematian pasangannya,

memiliki lebih banyak kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan fase pensiun

(Stull & Hatch, 1984).

Permasalahan penyesuaian diri pada lansia bisa memunculkan rasa takut

yang apabila tidak dapat diatasi akan mengalami yang namanya kecemasan.

Kecemasan merupakan suatu respon dari pengalaman yang tidak menyenangkan

dan diikuti perasaan gelisah, khawatir, dan takut (Lazarus, 1969). Kecemasan

merupakan aspek subjektif dari emosi seseorang karena melibatkan faktor

perasaan yang tidak menyenangkan yang sifatnya subjektif dan timbul karena

menghadapi tegangan, ancaman kegagalan, perasaan tidak aman dan konflik dan

(19)

mengalami kecemasan. Cluster (dalam Douglas, 1990) mengungkapkan bahwa

kecemasan merupakan reaksi individu yang tertekan dalam menghadapi kesulitan

sebelum kesulitan itu terjadi. Seperti yang diungkapkan dalam kamus psikologi

oleh Chaplin (1989) bahwa kecemasan adalah perasaan campuran yang memuat

ketakutan dan kekhawatiran akan masa-masa mendatang tanpa sebab khusus

untuk ketakutan tersebut. Carlson (1992) menjelaskan kecemasan sebagai rasa

takut dan antisipasi terhadap nasib buruk dimasa yang akan datang, kecemasan ini

memiliki bayangan bahwa ada bahaya yang mengancam dalam suatu aktivitas dan

obyek, yang jika seseorang melihat gejala itu maka ia akan merasa cemas.

Kecemasan merupakan respon emosional yang tidak menentu terhadap suatu

obyek yang tidak jelas.

Kecemasan akan kematian dapat berkaitan dengan datangnya kematian itu

sendiri, dan dapat pula berkaitan dengan caranya kematian serta rasa sakit atau

siksaan yang mungkin menyertai datangnya kematian. Menurut Hurlock (1990),

kecemasan yang dialami lansia tersebut merupakan kecemasan dari pikiran yang

tidak menyenangkan, ditandai dengan adanya rasa khawatir, tidak tenang, dan

tidak enak yang tidak dapat dihindari.

Banyak ahli yang memberikan pandangan tentang hal-hal yang

mempengaruhi kecemasan. Atkinson (dalam Lestary, 2010) bahwa faktor yang

mempengaruhi kecemasan ada dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

Pendapat Lewin (dalam Irwanto, 1994), kecemasan disebabkan adanya konflik

(20)

oleh adanya jarak yang lebar antara keinginan yang besar terhadap sesuatu yang

ingin diraih dengan kenyataan yang ada.

Stuart & Sundeen (1998), mengidentifikasi kecemasan yang dialami

seseorang dalam empat tingkatan dan menggambarkan efek dari tiap tingkatan.

Kecemasan ringan merupakan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan masih

tergolong normal. Pada tingkat ini, individu akan menjadi waspada dan

berhati-hati. Individu akan terdorong untuk belajar yang akan menghasilkan pertumbuhan

dan kreativitas. Kecemasan ringan diperlukan orang agar dapat mengatasi suatu

kejadian. Kecemasan sedang memungkinkan seorang unutuk memusatkan pada

hal yang penting dan mengesampingkan hal lain sehingga seseorang mengalami

perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah. Orang

dengan kecemasan sedang biasanya menunjukkan kedaan seperti sedikit lebih

sulit untuk konsentrasi, dapat gagal untuk menggali seseatu yang terjadi pada

situasi, akan mengalami beberapa kesulitan beradaptasi dan menganalisa,

peningkatan frekuensi pernafasan dari jantung, dan gemetar. Kecemasan berat,

individu cenderung memikirkan pada hal-hal yang kecil saja dan mengabaikan

hal-hal yang lain. Individu tidak mampu berpikiran berat lagi dan membutuhkan

banyak pengarahan. Tingkat panik, persepsi terganggu individu, sangat kacau,

hilang kontrol, tidak dapat berpikir secara sistematis dan tidak dapat melakukan

apa-apa walaupun telah diberi pengarahan. Tingkat ini tidak sejalan dengan

kehidupan, dan jika berlangsung terus dalam waktu yang lama, dapat terjadi

(21)

Menurut Freud (dalam Siswati, 2000) terjadinya kecemasan pada individu

dapat dijelaskan melalui teori psikomotorik, teori kognitif, teori belajar, dan teori

kepribadian. Teori psikomotorik menjelaskan bahwa kecemasan adalah hasil

konflik yang tidak disadari antara impuls id (terutama impuls agresif dan seksual)

yang melawan ego dan superego. Banyaknya impuls id memberikan ancaman

pada individu karena berlawanan dengan nilai-nilai moral dalam masyarakat.

Pandangan teori kognitif menyatakan bahwa kecemasan dapat terjadi karena

adanya penyimpangan cara berpikir (distorsi kognitif) pada seseorang. Individu

mengalami gangguan dalam menafsirkan situasi-situasi yang dihadapinya,

sehingga kecemasan ini lebih berpengaruh terhadaap proses berpikir individu.

Kecemasan menurut teori belajar terjadi bukan berpusat pada konflik internal

tetapi cara-cara ketika kecemasan dihubungkan dengan situasi-situasi tertentu

melalui proses belajar. Teori belajar menganggap bahwa kecemasan berkembang

melalui belajar berasosiasi. Sehingga stimulus yang awalnya netral menjadi

sesuatu yang mencemaskan karena kecenderungan terkondisi yang didasarkan

pada hubungan dengan stimulus yang tidak menyenangkan. Teori kepribadian

menjelaskan bahwa kecemasan merupakan dimensi dasar kepribadian dan

kecemasan dapat dilihat sebagai campuran antara intraversi dan neurotisme.

Adapun stressor yang menimbulkan kecemasan ini adalah ancaman terhadap

integritas fisik (ketidakmampuan fisiologis yang akan datang atau menurunnya

kapasitas untuk melaksanakan aktifitas sehari-hari) dan ancaman terhadap system

diri seseorang dapat membahayakan identitas, harga diri dan fungsi sosial

(22)

Pada lansia yang sehat, kepribadian yang mereka miliki akan tetap

berfungsi secara baik, kecuali jika lansia tersebut mengalami suatu gangguan jiwa.

Tipe kepribadian adalah suatu klasifikasi mengenai individu dalam satu atau dua

ataupun lebih kategori, atas dasar dekatnya pola sifatnya yang cocok dengan

kategori yang ditetapkan (Chaplin, 2001). Tipe kepribadian diakui merupakan

sesuatu yang penting dalam mempelajari manusia dengan segala tingkah lakunya,

karena dengan mendalami dan memahami manusia berdasarkan tipe

kepribadiannya, maka akan diperoleh keterangan yang jelas, langsung, dan lugas

mengenai karakteristik kepribadian orang tersebut dan pada gilirannya dapat

meramalkan tingkah laku (Feldmen dalam Handayani, 2006).

Umumnya, sifat kepribadian mengacu kepada pola konsistensi dalam cara

individu berperilaku, merasa, dan berpikir. Menurut Eysenck (1990), kepribadian

dapat dicirikan berdasarkan konsistensi dari individu dalam bertindak, merasa,

atau berpikir dengan cara tertentu (misalnya, kecenderungan seseorang untuk

berperilaku dengan cara yang ramah dan bersahabat, atau perasaan gugup dan

khawatir, atau cakap dan teliti) (dalam Pervin, 2010). Secara singkat bahwa

kecenderungan untuk bertindak dengan satu cara merupakan fondasi utama

kepribadian.

Seperti yang dijelaskan di atas, berarti kecemasan menghadapi kematian

yang dirasakan para lanjut usia salah satu bagian dari kepribadian yang mereka

miliki. Kepribadian itu sendiri adalah sesuatu yang memberi tata tertib dan

keharmonisan terhadap segala macam tingkah laku berbeda-beda yang dilakukan

(23)

beranekaragam namun khas yang dilakukan oleh tiap individu (Hall & Lindzey,

1993). Dengan kata lain kepribadian adalah semua corak kebiasaan yang

dilakukan oleh manusia yang terhimpun dalam dirinya dan digunakan untuk

bereaksi serta menyesuaikan diri terhadap segala rangsangan baik dari luar

maupun dari dalam. Corak kebiasaan ini merupakan kesatuan fungsional yang

khas pada seseorang. Sifat kepribadian seseorang saat muda diartikan sebagai

cerminan dari kepribadian lansia, dengan memahami kepribadian lansia tentu

akan memudahkan kaum muda atau masyarakat umum dan anggota keluarga dari

lansia dalam memperlakukan lansia. Namun, pada kenyataannya tidak semua

kepribadian lansia berfungsi secara baik. Bisa dilihat secara nyata, bagaimana

lansia dalam menghadapi kematian. Berbagai hal yang lansia rasakan seperti

khawatir, bingung, dan takut. Menurut Kuntjoro (2002), perkembangan

kepribadian itu bersifat dinamis artinya selama individu masih tetap belajar dan

bertambah pengetahuan, pengalaman serta keterampilannya, ia akan semakin

matang dan mantap.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurul Rosidah (2010) yang menguji

hubungan antara tipe kepribadian dengan kecemasan wanita dalam menghadapi

menopause di desa Podorejo Sumbergempol Tulungagung didapatkan bahwa

hubungan kecemasan dan tipe kepribadian ekstrovert dan introvert memiliki

hubungan. Wanita dengan tipe kepribadian ekstrovert akan mengalami kecemasan

ringan, sedangkan wanita dengan tipe kepribadian introvert akan mengalami

kecemasan sedang atau berat. Tipe kepribadian memiliki hubungan yang kuat

(24)

tidak ada yang akan memberikan reaksi yang sama mesipun tampaknya

seolah-olah mereka akan bereaksi dengan cara yang sama.

Hasil penelitian Susanne Pedersen, dkk tahun 2004 (jurnal yang berjudul

Type D Personality Is Associated With Increased Anxiety and Depressive

Symptoms in Patients With an Implantable Cardioverter Defibrillator and Their

Partners) menyatakan bahwa tipe kepribadian merupakan merupakan salah satu

variable bebas yang mempengaruhi terjadinya kecemasan pada pasien jika

dibandingkan dengan jenis kelamin dan usia. Jenis kelamin dan usia juga

memberikan kontribusi akhirnya pasien bisa mengalami kecemasan dan deprasi

yang berbeda-beda dalam menghadapi suatu keadaan.

Ada juga Setyodi, Chusnul Chaluq Ar, dan Kristen Teguhwahyuni (2010)

meneliti tentang hubungan tipe kepribadian dengan kejadian depresi pada lansia di

UPT panti sosial lanjut usia Pasuruan. Kesimpulan hasil penelitian yang dilakukan

menyatakan bahwa tipe kepribadian (konstruktif, mandiri, tergantung,

bermusuhan, dan kritik diri) memiliki hubungan dengan kejadian depresi yang

dialami setiap lansia.

Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui perbedaan kecemasan

menghadapi kematian pada lanjut usia ditinjau dari tipe kepribadian. Adapun tipe

kepribadian yang dimaksud dalam penelitian ini mengacu pada tipe kepribadian

ekstrovert dan introvert yang dikemukakan oleh Carl Gustav Jung. Ekstrovert

adalah kecenderungan yang mengarahkan kepribadian lebih banyak keluar

daripada ke dalam diri sendiri. Seorang ekstrover memiliki sifat social, lebih

(25)

motif-motif yang dikoordinasi oleh kejadian-kejadian eksternal. Introvert adalah

suatu orientasi kedalam diri sendiri. Secara singkat seorang introvert adalah orang

yang cenderung menarik diri dari kontak social. Minat dan perhatiannya lebih

terfokus pada pikiran dan pengalamannya sendiri. Seorang introvert cenderung

merasa mampu dalam upaya mencukupi dirinya sendiri, sebaliknya orang

ekstrover membutuhkan orang lain.

Diatas telah dikemukakan bahwa kematian telah menjadi bagian hidup

setiap manusia yang tidak bisa dihindari, namun kadangkala menimbulkan

kecemasan. Oleh karena itu, peneliti tertarik ingin meneliti tentang perbedaan

tingkat kecemasan menghadapi kematian pada lansia ditinjau dari tipe kepribadian

(ekstrovert dan introvert).

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah diperlukan untuk memudahkan apa yang menjadi fokus

penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti merumuskan masalah penelitian dalam

bentuk pertanyaan penelitian yaitu apakah ada perbedaan kecemasan menghadapi

kematian pada lansia ditinjau dari tipe kepribadian ekstrovert dan introvert.

C. Tujan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat kecemasan

menghadapi kematian pada lansia ditinjau dari tipe kepribadian ekstrovert dan

(26)

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam

pengembangan ilmu psikologi, khususnya bidang Psikologi Perkembangan

terutama masa akhir kehidupan (lansia) khususnya tentang kecemasan

menghadapi kematian. Selain itu juga diharapkan dapat bermanfaat sebagai

masukan bagi peneliti-peneliti lain yang akan meneliti tentang kecemasan

menghadapi kematian.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terhadap

setiap orang mengenai perbedaan kecemasan menghadapi kematian pada lansia

dengan tipe kepribadian ekstrovert dan introvert. untuk dapat memperlakukan

lansia yang semakin dekat dengan akhir hidupnya dengan baik.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah penelitian, rumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Disini

digambarkan tentang berbagai tinjauan literature dan hasil penelitian

(27)

dijabarkan mengenai faktor kepribadian yang merupakan salah satu factor

yang mempengaruhi kecemasan.

Bab II Landasan Teori

Bab ini menguraokan landasan teori yang mendasari masalah yang

menjadi objek penelitian. Memuat landasan teori tentang lansia,

kepribadian ekstrovert dan introvert, dan kecemasan. Bab ini juga

mengemukakan hipotesis sebagai jawaban sementara terhadap masalah

penelitian yang menjelaskan perbedaan tingkan kecemasan antara tipe

keptibadian ekstrovert dan introvert.

Bab III Metodologi Penelitian

Bab ini menguraikan identifikasi variable, definisi operasional variable,

metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, uji reabilitas dan

validitas alat ukur serta rencana pengolahan data.

Bab IV Analisa dan Interpretasi Data

Bab ini akan menjelaskan mengenai gambaran umum subjek penelitian,

hasil uji asumsi, hasil utama penelitian, dan hasil tambahan penelitian.

Bab V Kesimpulan, Diskusi, dan Saran

Bab ini akan menjelaskan mengenai kesimpulan penelitian, diskusi tentang

(28)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Lansia

1. Pengertian Lansia

Proses menua (aging) adalah proses alami yang dihadapi setiap manusia.

Dalam proses ini, tahap yang paling krusial adalah tahap lansia (lanjut usia).

Dalam tahap ini, pada diri manusia secara alami terjadi penurunan atau perubahan

kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain.

Keadaan itu cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum

(fisik) maupun kesehatan jiwa secara khusus pada individu lansia.

Lansia merupakan istilah tahapan paling akhir dari proses penuaan.

Menurut Hurlock (1999), lansia merupakan periode terakhir atau periode penutup

dalam rentang hidup seseorang. Usia lanjut ditandai dengan perubahan fisik dan

psikologis tertentu. Efek-efek tersebut menentukan lansia dalam melakukan

penyesuaian diri secara baik atau buruk, akan tetapi ciri-ciri usia lanjut cenderung

menuju dan membawa penyesuaian diri yang buruk dari pada yang baik dan

kepada kesengsaraan dari pada kebahagiaan, itulah sebabnya mengapa usia lanjut

lebih rentan dari pada usia madya (Hurlock,1999).

Menurut Erikson (dalam Schaie dan Willis, 2000) bahwa lansia

merupakan suatu tahap kehidupan dimana seseorang harus mencapai integritas,

sedangkan kegagalan dalam mencapai integritas akan menyebabkan kondisi

(29)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa lansia merupakan tahap akhir

rentang hidup yang ditandai dengan berbagai penurunan (seperti kondisi fisik,

psikologis, dan sosial) dan akan mencapai integritas atau keputusasaan.

2. Penggolongan Lansia

Menurut Hurlock (1999), masa lansia dimulai dari umur enam puluh tahun

(60 tahun) sampai meninggal dunia yang ditandai dengan adanya berbagai

perubahan yang bersifat fisik dan psikologis serta semakin menunjukkan

penurunan dalam setiap perubahan.

Penggolongan lansia menurut Depkes (dalam Azis, 1994) dikelompokkan

menjadi tiga kelompok yakitu:

a. Kelompok lansia dini (55 – 65 tahun), merupakan kelompok yang baru

memasuki lansia.

b. Kelompok lansia (65 tahun ke atas).

c. Kelompok lansia resiko tinggi, yaitu yang berusia lebih dari 70 tahun.

Pada penelitian ini, usia lansia yang dipakai mengacu pada pendapat

Hurlock (1999) yaitu usia diatas 60 tahun. Pada usia 60 tahun keatas biasanya

semua lansia sudah memasuki masa pensiun sehingga ciri-ciri individu yang akan

dijadikan sampel hampir sama.

3. Ciri-Ciri Lansia

Menurut Hurlock (1980) terdapat beberapa ciri orang lanjut usia yaitu:

(30)

Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan faktor

psikologis. Kemunduran dapat berdampak pada psikologis lansia. Motivasi

memiliki peran yang penting dalam kemunduran pada lansia. Kemunduran

pada lansia semakin cepat apabila memiliki motivasi yang rendah,

sebaliknya jika memiliki motivasi yang kuat maka kemunduran itu akan

lama terjadi.

b. Orang lanjut usia memiliki status kelompok minoritas

Lansia memiliki status kelompok minoritas karena sebagai akibat dari sikap

sosial yang tidak menyenangkan terhadap orang lanjut usia dan diperkuat

oleh pendapat-pendapat klise yang jelek terhadap lansia. Pendapat-pendapat

klise itu seperti : lansia lebih senang mempertahankan pendapatnya daripada

mendengarkan pendapat orang lain.

c. Menua membutuhkan perubahan peran

Perubahan peran tersebut dilakukan karena lansia mulai mengalami

kemunduran dalam segala hal. Perubahan peran pada lansia sebaiknya

dilakukan atas dasar keinginan sendiri bukan atas dasar tekanan dari

lingkungan.

d. Penyesuaian yang buruk pada lansia

Perlakuan yang buruk terhadap orang lanjut usia membuat lansia cenderung

mengembangkan konsep diri yang buruk. Lansia lebih memperlihatkan

bentuk perilaku yang buruk. Karena perlakuan yang buruk itu membuat

(31)

4. Perubahan-Perubahan Yang Terjadi Pada Lansia

a. Perubahan fisik – biologi

Perubahan fisik pada lansia lebih banyak ditekankan pada penurunan atau

berkurangnya fungsi alat indera dan sistem saraf mereka seperti penurunan jumlah

sel dan cairan intra sel, sistem kardiovaskuler, sistem pernafasan, sistem

gastrointestinal, sistem endokrin dan sistem musculoskeletal.

Perubahan-perubahan fisik yang nyata dapat dilihat membuat lansia merasa minder atau

kurang percaya diri jika harus berinteraksi dengan lingkungannya (Santrock,

2002).

b. Perubahan psikis

Perubahan psikis pada lansia adalah besarnya individual differences pada

lansia. Lansia memiliki kepribadian yang berbeda dengan sebelumnya.

Penyesuaian diri lansia juga sulit karena ketidakinginan lansia untuk berinteraksi

dengan lingkungan ataupun pemberian batasan untuk dapat beinteraksi (Hurlock,

1980). Keadaan ini cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara

umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada lansia.

c. Perubahan sosial

Umumnya lansia banyak yang melepaskan partisipasi sosial mereka,

walaupun pelepasan itu dilakukan secara terpaksa. Aktivitas sosial yang banyak

pada lansia juga mempengaruhi baik buruknya kondisi fisik dan sosial lansia.

(Santrock, 2002).

(32)

Umumnya ketergantungan lansia pada anak dalam hal keuangan. Lansia

sudah tidak memiliki kemampuan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.

Anak-anaknya pun tidak semua dapat menerima permintaan atau tanggung jawab

yang harus mereka penuhi. Perubahan-perubahan tersebut pada umumnya

mengarah pada kemunduruan kesehatan fisik dan psikis yang akhirnya akan

berpengaruh juga pada aktivitas ekonomi dan sosial mereka. Secara umum akan

berpengaruh pada aktivitas kehidupan sehari-hari.

5. Lansia Dan Akhir Kehidupannya

Usia lanjut merupakan usia yang mendekati akhir siklus kehidupan

manusia. Usia tahap ini dimulai dari 60 tahun sampai akhir kehidupan. Masa usia

lanjut atau menjadi tua dialami oleh semua orang tanpa terkecuali. Pada masa ini,

seseorang akan mengalami kemunduran fisik, mental, dan sosial. Kemunduran ini

sejalan dengan waktu, sedikit demi sedikit, sehingga tidak dapat lagi melakukan

tugasnya sehari-hari.

Pada masa perkembangan lansia, tubuh mulai melemah dan fisik

mengalami penurunan secara alamiah. Perubahan-perubahan fisik tersebut

membuat lansia merasa minder atau kurang percaya diri jika harus berinteraksi

dengan lingkungannya. Selain itu, kemunduran kemampuan mental merupakan

bagian dari proses penuaan organism secara umum. Kemunduran intelektualiatas

juga cenderung mempengaruhi keterbatasan memori tertentu. Pada perkembangan

emosional, munculnya rasa tersisih, tidak dibutuhkan lagi, tidak siap menerima

(33)

adalah sebagian kecil kejadian atau perasaan yang tidak enak yang harus dihadapi

lanjut usia. Orang berusia lanjut kurang memiliki kemampuan mengekspresikan

kehangatan dan perasaan secara spontan terhadap orang lain. Semakin orang

berusia lanjut menutup diri, semakin pasif pula perilaku emosional mereka.

Kondisi ini membuat lansia memiliki status kelompok minoritas (Hurlock, 1996).

Secara umum, lansia dalam menjalani kehidupannya di masa ini dapat

disikapi dengan dua sikap. Pertama, ia menerima masa tuanya dengan wajar

melalui kesadaran yang mendalam. Kedua, ia cenderung menolak datangnya masa

tua. Sikap kedua ini menggambarkan ia tidak mau menerima realitas yang ada.

Dan, sebagian besar, lansia kurang siap menghadapi dan menyikapi masa tua

tersebut, sehingga mereka kurang dapat menyesuaikan diri dan memecahkan

masalah yang dihadapi. Dibutuhkan kerjasama yang baik antara lansia, keluarga,

family caregivers, professional yang menangani agar mereka dapat melewati masa

usia lanjutnya dengan bahagia.

B. Kepribadian

1. Pengertian Kepribadian

Kepribadian adalah kesatuan organisasi yang dinamis sifatnya dari sistem

psikofisis individu yang menentukan kemampuan penyesuaian diri yang unik

sifatnya terhadap lingkungannya (Allport dalam Kartono, 1980). Jadi, setiap

individu itu mempunyai kepribadian yang khas yang tidak identik dengan orang

lain dan tidak dapat diganti atau disubstitusikan oleh orang lain. Jadi ada ciri-ciri

(34)

dirinya dengan orang lain.. Kepribadian dipengaruhi oleh masa lalu dan saat ini

(Pervin, 1996). Kepribadian mencakup struktur dan proses yang mencerminkan

sifat-sifat bawaan dan pengalaman.

Dalam penelitian ini, kepribadian merupakan struktur dan proses yang

mencerminkan sifat-sifat yang tampak (perilaku) maupun yang tidak tampak

(psikologis.)

2. Penggolongan Tipe Kepribadian

Setiap orang itu untuk, tidak ada dua orang atau lebih yang persis sama.

Selain berbeda dengan orang lain, manusia juga memiliki kesamaan dengan yang

lainnya. Penggolongan kepribadian dapat dilakukan berdasarkan kesamaan

karakteristik sifat tertentu yang paling menonjol. Hal ini disebut pengelompokan

kepribadian manusia (Sumarwan, 2003).

Salah satu tokoh yang melakukan pengelompokan terhadap kepribadian

adalah Carl Gustaf Jung. Menurut Jung (dalam Suryabrata, 2000), arah aktivitas

psikis dapat ke luar atau ke dalam, dan demikian pula arah orientasi manusia

dapat ke luar ataupun ke dalam. Apabila orientasi terhadap segala sesuatu

ditentukan faktor-faktor objektif, faktor-faktor luar, maka orang demikian

dikatakan mempunyai orientasi ekstrovert. Sebaliknya ada orang mempunyai tipe

dan orientasi introvert, yaitu dalam menghadapi segala sesuatu faktor-faktor yang

berpengaruh adalah bersifat subjektif, yaitu faktor-faktor yang berasal dari dalam

(35)

Sikap introvert mengarahkan individu ke dunia dalam, dunia subjektif, dan

sikap ekstrovert mengarahkan individu ke dunia luar yaitu dunia objektif. Jung

juga menjelaskan bahwa individu ekstrovert dan introvert memiliki perbedaan

sikap mereka terhadap dunia, baik dalam hal rasional dan tidak rasional (dalam

Zulkarnain & Ginting, 2003).

Eysenck (dalam Hall & lindzey, 1993) mengatakan lebih lanjut bahwa tipe

kepribadian ekstrovert dan introvert merupakan dua kutub dalam satu skala.

Kebanyakan individu berada ditengah-tengah skala tersebut. Bisa saja individu

lebih dekat ke kutub introvert tetapi juga memiliki ciri ekstrovert atau juga

sebaliknya, individu lebih cenderung ke kutub ekstrovert tetapi juga memiliki ciri

introvert. Setiap individu tidak ada yang murni memiliki tipe kepribadian

ekstrovert atau juga murni memiliki introvert. Meskipun demikian, individu dapat

dikelompokkan ke dalam salah satu dari bentuk kepribadian tersebut.

2.1. Tipe Kepribadian Ekstrovert

Tipe kepribadian ekstrovert adalah satu kecenderungan untuk

mengarahkan kepribadian lebih banyak ke luar daripada ke dalam diri sendiri.

Seorang ekstrovert mempunyai ciri bersifat sosial, lebih banyak berbuat daripada

berkontemplasi (merenung, berpikir), dan seseorang dengan motif-motif yang

dikondisikan oleh kejadian-kejadian eksternal (Chaplin, 2001).

Jung (dalam Schultz & Schultz, 1994) mengatakan bahwa ciri-ciri orang

dengan tipe kepribadian ekstrovert adalah memiliki sikap periang/sering

(36)

1985) mengemukakan ciri utama kepribadian ekstrovert adalah sebagai berikut:

sifat yang keras hati, menuruti dorongan hati ketika bertindak, cenderung santai,

perasaan gembira yang dialami dapat meningkatkan perfoma, lebih suka

pekerjaan yang berhubungan dengan orang banyak, toleran terhadap rasa sakit,

suka hal-hal yang baru (perubahan), dan suka mengambil kesempatan.

Selanjutnya Jung (dalam Zulkarnain & Ginting, 2003) mengatakan bahwa

ciri-ciri ekstrovert adalah tanggap terhadap lingkungan, pandai bergaul, memiliki

mood yang berubah-ubah, impulsif dalam bertindak, suka kegiatan, suka

perubahan, dan dapat beradaptasi dengan mudah. Eysenck mengatakan bahwa tipe

ekstrovert bercirikan suka bergaul, memiliki banyak teman, membutuhkan orang

lain untuk diajak bicara, suka mengambil kesempatan, selalu ingin tahu, senang

lelucon dan umumnya suka perubahan. Selain itu, cenderung agresif dan gampang

kehilangan kesabaran (dalam Zulkarnain & Ginting, 2003).

2.2. Tipe Kepribadian Introvert

Tipe kepribadian introvert adalah salah satu kecenderungan kepribadian

untuk menarik diri dari kontak sosial dan minatnya lebih mengarah ke dalam

pikiran-pikiran dan pengalamannya sendiri (Chaplin, 2001).

Jung (dalam Schultz & Schultz, 1994) mengatakan ciri-ciri orang tipe

kepribadian introvert adalah memiliki sifat pemalu, tidak banyak bicara, dan

cenderung berpusat pada diri mereka sendiri. Eysenck (dalam Hall dkk, 1985)

mengatakan bahwa individu yang berkepribadian introvert memiliki ciri-ciri

(37)

ekstrovert, dimana ciri utama kepribadian introvert adalah sifat hatinya lembut,

berpikir dulu sebelum bertindak, cenderung serius, perasaan gembira yang dialami

dapat mengganggu performa, menyukai pekerjaan bersifat menyendiri, sensitif

terhadap rasa sakit, suka hal-hal yang teratur (tetap), dan cenderung penyegan

(malu-malu).

Selanjutnya Jung (dalam Zulkarnain & Ginting, 2003) mengatakan bahwa

ciri introvert adalah suka melamun, menghindari kontak sosial, tenang, tidak

terlalu emosional, berpikir dahulu sebelum bertindak, suka termenung, tidak

menyukai perubahan, dan tidak mudah beradaptasi. Eysenck mengatakan bahwa

tipe introvert bercirikan pendiam, penyegan, introspektif, lebih menyukai buku

daripada orang banyak, memikirkan kehidupan sehari-hari secara serius,

menyukai keteraturan, menyimpan perasaan, jarang berperilaku agresif dan tidak

gampang marah, dapat dipercaya, cenderung pesimis dan menaruh penilaian yang

tinggi pada etika, lebih sensitif terhadap penderitaan, gampang letih, dan lebih

cepat bosan (Zulkarnaian & Ginting, 2003).

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan definisi tipe kepribadian

ekstrovert dan introvert yang diajukan oleh Eysenck yaitu tipe kepribadian

ekstrovert dan tipe kepribadian introvert merupakan dua kutub dalam satu skala.

C. Kecemasan

1. Pengertian Kecemasan Menghadapi Kematian

Kecemasan adalah gangguan psikologis yang dicirikan dengan ketegangan

(38)

(pusing, jantung berdebar-debar atau berkeringat) dan pikiran dan harapan yang

mencemasakan (Santrock, 2002).

Atkinson dkk (1991) mengatakan bahwa kecemasan merupakan keadaan

emosi seseorang yang tidak menyenangkan dengan gejala seperti kekhawatiran,

keprihatinan, dan rasa takut yang kadang-kadang dialami dengan tingkat yang

berbeda-beda. Hal ini pun didukung oleh pendapat Mahmud (1990) yang

mengatakan bahwa kecemasan adalah keadaan takut yan terus-menerus tetapi

berbeda dengan ketakutan biasa yang merupakan respon terhadap rangsangan

menakutkan yang terjadi, sebab ketakutan yang dialami merupakan respon

terhadap kesukaran yang belum terjadi.

Secarta biologis, kematian didefinisikan sebagai berhentinya semua fungsi

vital tubuh meliputi detak jantung, aktifitas otak, seta pernafasan (Singh et. al.,

2005). Kematian dinyatakan terjadi ketika nafas dan denyut jantung individu telah

berhenti selama beberapa waktu yang signifikan atau ketika seluruh aktifitas

syaraf otak berhenti bekerja (Papalia et. al., 2002).

Chusairi (1997) menyatakan kematian merupakan pengalaman yang tidak

bisa dihindari terjadi setiap saat, maka dari itulah hal ini dapat menimbulkan

kecemasan dalam diri individu. Belsky (Henderson, 2002) menggambarkan

kecemasan terhadap kematian sebagai pemikiran, ketakutan, dan emosi tentang

peristiwa terakhir dari hidup yang dialami individu dibawah kondisi-kondisi hidup

yang normal. Dengan kata lain, seseorang akan mengalami kecemasan yang

(39)

Rattan (Anggreiny, 2009) berpendapat kecemasan terhadap kematian

adalah kecemasan yang muncul disaat orang memikirkan akan mengahadapi

kematian, memiliki pengalaman atau situasi dimana dirinya dalam keadaan

hampir mati, membaca atau mendapat pengetahuan tentang kematian yang

kemudian menimbulkan ketakutan.

Tomer (Fry, 2003) mendefinisikan kecemasan menghadapi kematian

sebagai ketakutan akan mati dan proses menjelang kematian yang dialami oleh

individu dalam kehidupan sehari-hari, hal ini disebabkan sebagai antisipasi dasar

kematian. Menurut Templer kecemasan menghadapi kematian (death anxiety)

adalah suatu kondisi emosional yang tidak menyenangkan yang dialami seseorang

(secara subyektif) manakala memikirkan kematian (Schaie dan Willis, 1991).

Menurut Blackburn dan Davidson (1994), kecemasan menghadapi

kematian merupakan gejala fisik maupun psikologis yang tidak menyenangkan

sebagai reaksi terhadap adanya perasaan takut yang subjektif, kabur, dan tidak

jelas terhadap datangnya kematian itu, yang ditandai dengan munculnya

perubahan suasanahati, motivasi, dan gejala biologis seperti jantung

berdebar-debar, maupun tampak pada perilaku berupa gugup, gelisah, dan kewasadaan yang

berlebihan. Pada peneitian ini, teori kecemasan menghadapi kematian mengacu

(40)

2. Jenis-Jenis Kecemasan Akan Kematian

Menurut Forner dan Neimeyer (dalam Gire & Eyetesmitan, 1999),

kematian itu tidak dapat digambarkan dalam kehidupan individu tetapi telah

dikonsepsikan yaitu :

1. Kecemasan kematian pada dirinya

Berkaitan dengan takut akan peristiwa dari pengalaman kematian dan

meliputi hal-hal seperti apa yang akan terjadi pada individu yang telah

mati terlebih dahulu. Bagi beberapa individu, bisa menjadi takut karena

penghukuman untuk orang yang telah mati yaitu akan pergi ke surga atau

ke neraka, ketakutan dari pembakaran mayat, penguburan bumi, dan apa

yang akan terjadi kepada individu-individu yang ditinggalkan.

2. Kecemasan akan kematian pada yang lain

Pengalaman individu dari kematian yang terjadi pada individu lain yang

penting bagi dirinya, terutama anggita keluarga dan teman dekatnya.

3. Kecemasan sekarat pada dirinya

Ketakutan menjelang kematian diri sendiri yang dirasakan individu akan

berbeda dengan kecemasan akan kematian orang lain. Beberapa individu

tidak takut akan kematian diriny sendiri, tetapi individu sangat khawatir

akan bagaimana individu akan mati. Hal yang menarik yang sering

dilakukan individu untuk menghilangkan kecemasan akan kematian adalah

dengan memboroskan uang untuk bepergian, meningkatkan penampilan

(41)

dan yang menyakitkan adalah semua individu lakukan menjelang kematian

walaupun harus membuang waktu dan uang.

4. Kecemasan akan sekarat pada yang lain

Serupa dengan takut akan sekarat dari diri sendiri, yang menjadi

perbedaannya adalah bahwa individu tersebut mungkin punya ketertarikan

tentang proses menjelang kematian dari individu yang lain yang penting

didalam hidupnya.

3. Cara Pandang Terhadap Kematian

Pada tiap-tiap fase ini berkembang perspektif tentang kematian yang

berbeda-beda menurut tingkat perkembangan yang dialami (Santrock, 2002).

a. Masa kanak-kanak

Masa ini dimulai sejak bayi dan mayoritas peneliti percaya bahwa bayi

tidak memiliki konsep dasar tentang kematian. Bayi lebih

mengembangkan keterikatan dengan pengasuh dan mereka dapat

mengalami perasaan kehilangan atau pemisahan serta kecemasan dalam

proses ini. Pada usia 3-5 tahun, anak sedikit atau tidak sedikitpun memiliki

pandangan terhadap kematian. Dalam suatu penelitian pada anak usia 3-5

tahun mengenai persepsi kematian, didapati bahwa anak menolak

kematian. Anak usia 6-9 tahun percaya akan kematian namun hanya

minoritas anak. Anak usia 9 tahun ke atas mengenali kematian dan

universalitasnya ( Nagy, 1948 dlm Santrock 2002).

(42)

Pandangan remaja mengenai kematian tidak terlalu jelas. Remaja

mengembangkan konsep yang abstrak tentang kematian. Remaja

menggambarkan kematian sebagai kegelapan, cahaya, transisi, atau

ketiadaan sama sekali selain pandangan yang filosofis dan religius.

c. Masa Dewasa

Pada usia dewasa awal individu belum menunjukkan pemahaman khusus

mengenai kematian dan meningkat pada usia dewasa tengah ditandai

dengan berkembangnya pemikiran tentang akhir hidup. Individu-individu

pada usia dewasa akhir labih banyak memikirkan tentang kematian dan

membicarakannya dibanding individu usia dewasa awal dan tengah.

Mereka juga mengalami pengalaman tentang kematian yaitu kematian

teman atau saudara. Di fase usia akhir ini pemikiran dan pemahaman

mengenai kematian mengalami peningkatan.

4. Aspek- Aspek Kecemasan

Aspek-aspek kecemasan menurut Blackburn & Davidson (dalam

Zainuddin, 2002) adalah:

1. Suasana hati, yaitu keadaan yang menunjukkan ketidaktenangan psikis

seperti mudah marah dan perasaan tegang.

2. Pikiran, yaitu keadaan pikiran yang tidak menentu seperti khawatir, sukar

konsentrasi, pikiran kosong, membesar-besarkan ancaman, memandang

(43)

3. Motivasi, yaitu dorongan untuk mencapai sesuatu seperti menghindari

situasi, ketergantungan yang tinggi, ingin melarikan diri, dan lari dari

kenyataan.

4. Perilaku gelisah, yaitu keadaan diri yang tidak terkendali seperti gugup,

kewaspadaan yang berlebihan, dan sangat sensitif.

5. Reaksi-reaksi biologis yang tidak terkendali seperti berkeringat,

gemetaran, pusing, berdebar-debar, mual, dan mulut kering.

5. Faktor-Faktor Yang Memunculkan Kecemasan

Banyak ahli memberikan pandangan tentang hal-hal yang mempengaruhi

kecemasan. Iskandar (dalam Lestary, 2010) menggambarkan bahwa faktor yang

mempengaruhi kecemasan terbagi menjadi dua yaitu internal yang berangkat dari

pandangan psikoanalisis yang berpendapat bahwa sumber dari kecemasan itu

bersifat internal dan tidak disadari. Sementara menurut Atkinson (dalam Lestary,

2010), menyebutkan bahwa kecemasan lebih ditimbulkan oleh faktor eksternal

dari pada faktor internal. Dalam kajian ini menurut Stuart dan Sundeen (1998)

menyatakan penyebab kecemasan dibagi menjadi :

a. Faktor predisposisi, yaitu faktor-faktor pendorong timbulnya kecemasan yang

dibagi menjadi:

1. Dalam pandangan psikoanalitik kecemasan adalah konflik emosional

yang terjadi antara dua elemen kepribadian id dan superego. Id

mewakili dorongan insting dan impuls primitive seseorang, sedangkan

(44)

norma-norma budaya, ego atau aku berfungsi menengahi tuntutan dari

dua elemen tersebut.

2. Menurut pandangan interpersonal kecemasan timbul dari perasaan

takut terhadap tidak adanya penerimaan dan penolakan interpersonal.

Kecemasan juga berhubungan dengan perkembangan trauma, seperti

perpisahan dan kehilangan yang menimbulkan kelemahan spesifik.

3. Menurut pandangan perilaku kecemasan merupakan produk frustasi

yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk

mencapai tujuan yang diinginkan.

4. Kajian keluarga menunjukkan bahwa gangguan kecemasan merupakan

hal yang biasa ditemui dalam suatu keluarga.

5. Kajian biologis menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor

khusus untuk benzodiazepines. Reseptor ini mungkin membantu

mengatur kecemasan.

b. Faktor Presipitasi

Faktor Presipitasi merupakan faktor pencetus timbulnya kecemasan yang

dikelompokkan menjadi 2 kategori yaitu :

1. Ancaman terhadap integritas fisik meliputi ketidakmampuan fisiologis

yang akan datang/menurunnya kapasitas untuk melaksanakan aktifitas

sehari – hari.

2. Ancaman terhadap sistem diri seseorang dapat membahayakan

identitas, harga diri dan fungsi sosial yang terintegritas dalam diri

(45)

6. Teori Predisposisi Kecemasan

Menurut Freud (dalam Siswati (2000) terjadinya kecemasan pada individu

dapat diterangkan melalui teori-teori :

a. Teori psikomotorik

Menurut teori ini. Freud, menyatakan kecemasan terbagi dalam 4 kategori

yaitu : superego anxiety, castration anxiety, separation anxiety dan id or

impulse anxiety. Selanjutnya oleh Freud dikatakan pula kecemasan adalah

hasil konflik yang tidak disadari antara impuls id (terutama impuls agresif dan

seksual) yang melawan ego atau superego. Banyak impuls id memberikan

ancaman pada individu karena berlawanan dengan nilai-nilai yang dianut oleh

individu atau nilai-nilai moral dalam masyarakat.

b. Teori kognitif

Pandangan teori kognitif menyatakan bahwa kecemasan dapat terjadi

karena adanya penyimpanan cara berfikir (distorsi kognitif) pada seseorang.

Individu akan mengalami gangguan atau penyimpanan dalam menafsirkan

situasi-situasi yang dihadapinya, sehingga kecemasan ini lebih dipengaruhi

oleh proses berfikir individu bukan oleh situasinya

c. Teori belajar

Kecemasan menurut pandangan teori belajar terjadi bukan terpusat pada

konflik interval tetapi cara-cara ketika kecemasan dihubungkan dengan

situasi-situasi tertentu melalui proses belajar. Para pengikut pandangan

tradisional ini dari teori belajar menganggap bahwa kecemasan berkembang

(46)

menjadi sesuatu yang mencemaskan karena cenderung terkondisi yang

didasarkan pada hubungan dengan stimulus yang tidak menyenangkan atau

aversive stimulus.

d. Teori kepribadian

Kecemasan merupakan dimensi dasar kepribadian dan kecemasan dapat

dilihat sebagai campuran antara intraversi dan neurotisme. Adapun stressor

pencetus kecemasan dikelompokkan menjadi 2 kategori yaitu :

1. Ancaman terhadap integritas fisik meliputi ketidakmampuan fisiologis

yang akan datang atau menurunnya kapasitas untuk melaksanakan

aktifitas sehari-hari.

2. Ancaman terhadap system diri seseorang dapat membahayakan

identitas, harga diri dan fungsi social yang terintegritas dalam diri

seseorang.

Hasil penelitian Susanne Pedersen, dkk tahun 2004 (jurnal yang berjudul

Type D Personality Is Associated With Increased Anxiety and Depressive

Symptoms in Patients With an Implantable Cardioverter Defibrillator and Their

Partners) juga mendukung teori kepribadian ini. Dimana hasil penelitian mereka

menyatakan bahwa tipe kepribadian merupakan merupakan salah satu variable

bebas yang mempengaruhi terjadinya kecemasan pada pasien jika dibandingkan

dengan jenis kelamin dan usia. Jenis kelamin dan usia juga memberikan

kontribusi akhirnya pasien bisa mengalami kecemasan dan deprasi yang

(47)

Ada juga Setyodi, Chusnul Chaluq Ar, dan Kristen Teguhwahyuni (2010)

meneliti tentang hubungan tipe kepribadian dengan kejadian depresi pada lansia di

UPT panti sosial lanjut usia Pasuruan. Kesimpulan hasil penelitian yang dilakukan

menyatakan bahwa tipe kepribadian (konstruktif, mandiri, tergantung,

bermusuhan, dan kritik diri) memiliki hubungan dengan kejadian depresi yang

dialami setiap lansia.

7. Tingkat Kecemasan

Stuart & Sundeen (1998), mengidentifikasi kecemasan dalam empat

tingkatan dan menggambarkan efek dari tiap tingkatan.

1. Kecemasan ringan

Berhubungan dengan ketegangan dalm kehidupan sehari-hari dan masih

tergolong normal. Pada tingkat ini, individu akan menjadi waspada dan

berhati-hati. Individu akan terdorong untuk belajar yang akan

menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas. Kecemasan ringan diperlukan

orang agar dapat mengatasi suatu kejadian. Seseorang dengan kecemasan

ringan dapat dijumpai berdasarkan hal-hal sebagai berikut:

a. Persepsi dan perhatian meningkat, waspada

b. Mampu mengatasi situasi yang bermasalah

c. Ingin tahu, mengulang pertanyaan

d. Kecenderungan untuk tidur

(48)

Kecemasan sedang memungkinkan seorang unutuk memusatkan pada hal

yang penting dan mengesampingkan hal lain sehingga seseorang

mengalami perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang

lebih terarah. Orang dengan kecemasan sedang biasanya menunjukkan

kedaan seperti:

a. Sedikit lebih sulit untuk konsentrasi, belajar menuntut upaya lebih

b. Memandang pengalaman ini dengan masa lalu

c. Dapat gagal untuk menggali seseatu yang terjadi pada situasi, akan

mengalami beberapa kesulitan beradaptasi dan menganalisa

d. Perubahan suara atau ketinggian suara

e. Peningkatan frekuensi pernafasan dari jantung

f. Gemetar

3. Kecemasan berat

Kecemasan berat sangat mengurangi lahan persepsi. Individu cenderung

memikirkan pada hal-hal yang kecil saja dan mengabaikan hal-hal yang

lain. Individu tidak mampu berpikiran berat lagi dan membutuhkan banyak

pengarahan. Hal-hal dibawah ini sering dijumpai pada seseorang dengan

kecemasan berat, yaitu :

a. Persepsi sangat berkurang, tidak dapat berkonsentrasi lebih bahkan

ketika diinstruksikan untuk melakukannya

b. Belajar sangat terganggu, sangat mudah mengalihkan perhatian, tidak

Gambar

Tabel 1.
Tabel 2. Blue-print Skala Kepribadian Sebelum Uji Coba
Tabel 4. Skala Kepribadian
Tabel 5. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari Tugas Akhir ini adalah untuk merancang perangkat lunak yang dapat mengenali pola tulisan tangan sambung dengan menggunakan JST Hopfield kemudian menerjemahkannya ke

Depok: Universitas Indonesia, Program Studi Magister Ilmu Fisika, Fakultas Ilmu dan Pengetahuan Alam.. Medan: Universitas Sumatera Utara, Program

Pemberian kompres hangat di daerah dahi, tidak begitu efektif dibandingkan pemberian kompres hangat di daerah axilla, Karena pada daerah dahi tidak terdapat pembuluh

Tesis berjudul Analisis Gabungan dan Seleksi Tak Langsung Beberapa Genotipe Kedelai Pada Entisol dan Inceptisol telah diuji dan disahkan oleh Program

Herry Prasetyo yang merupakan pemain Arema membantu penulis menyerahkan angket kepamain Arema lainnya dan memberikan informasi akan jadwal bertemu

Pandangan nasionalisme mengenai cinta terhadap tanah air memiliki perspektif bahwa negara itu adalah jiwa dan kehormatan yang harus selalu dijaga bagi penduduk

[r]

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Ferida (2012) dimana diperoleh hasil bahwa tidak terdapat hubungan nyata antara status gizi dengan