• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Penyuntikan Somatotropin terhadap Kadar Glukosa Darah dan Cairan Amnion pada Tikus Betina Bunting

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Penyuntikan Somatotropin terhadap Kadar Glukosa Darah dan Cairan Amnion pada Tikus Betina Bunting"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PENYUNTIKAN SOMATOTROPIN TERHADAP

KADAR GLUKOSA DARAH DAN CAIRAN AMNION PADA

TIKUS BETINA BUNTING (Rattus norvegicus)

AGUS MULYADI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

RINGKASAN

AGUS MULYADI. Pengaruh Penyuntikan Somatotropin terhadap Kadar

Glukosa Darah dan Cairan Amnion pada Tikus Betina Bunting (Rattus

norvegicus). Dibawah bimbingan Dr. Nastiti Kusumorini dan Drs. Pudji Achmadi.

Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh pemberian bST terhadap

kadar glukosa darah induk dan cairan amnion selama kebuntingan yang

dihubungkan dengan tampilan anak. Sampel tikus (Rattus norvegicus) yang

digunakan sebanyak 36 ekor dan dibagi dalam 3 kelompok percobaan yaitu

kelompok yang disuntik dengan bST (kelompok H), kelompok yang disuntik

minyak jagung (kelompok M) dan kelompk kontrol (K) yang tidak diberi

perlakuan apapun. Tikus (Rattus norvegicus) disuntik pada hari ke-4 sampai hari

ke-12 kebuntingan. Perlakuan dilakukan dalam 4 kali pengulangan. Setelah umur

kebuntingan mencapai 13, 17, dan 21 hari, kadar glukosa darah, cairan amnion

dan bobot fetus diamati dan dibandingkan pada masing-masing umur kebuntingan

tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bovine somatotropin (bST) tidak

mempengaruhi kadar glukosa darah maupun glukosa cairan amnion dan tidak

(3)

ABSTRACT

The aims of this research was to study influence of bST for blood and

amnion glucose rate during gestation period which related to foetus performance.

There are 36 rats (Rattus norvegicus) that devided into 3 treatment group that

are the groups treated by injected bST (group H), treated by corn oil (group M),

and the groups which has no any treatment (group K). The rats (Rattus

norvegicus) was injected with bST and corn oil on 4 until 12 days of gestation.

The experiment used 4 repetitions. When pregnant age reached days 13, 17 and

21, blood glucose rate, amnion glucose rate, and foetus wight mains perceived

and compared at each the pregnant age. The results showes that bST did not

influence blood and amnion glucose rate and did not induce any changes in

(4)

PENGARUH PENYUNTIKAN SOMATOTROPIN TERHADAP

KADAR GLUKOSA DARAH DAN CAIRAN AMNION PADA

TIKUS BETINA BUNTING (Rattus norvegicus)

AGUS MULYADI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul : Pengaruh Penyuntikan Somatotropin terhadap Kadar Glukosa

Darah dan Cairan Amnion pada Tikus Betina Bunting.

Nama penulis : Agus Mulyadi

NRP : B04103004

Menyetujui :

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Nastiti Kusumorini Drs. Pudji Achmadi NIP. 131 669 942 NIP. 131 956 684

Mengetahui :

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Institut Pertanian Bogor

Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS. NIP. 131 129 090

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Dompu, Nusa Tenggara Barat pada tanggal 13

Agustus 1984 sebagai anak kedua dari tiga orang bersaudara pasangan Bapak M.

Yakub Rais dan Ibu Maatu M. Yakub.

Pendidikan sekolah dasar penulis diselesaikan di SD Inpres Kandai I

Dompu pada tahun 1997. Selanjutnya penulis meneruskan pendidikan di SLTP 1

Dompu dan lulus pada tahun 2000. Pendidikan sekolah menengah atas penulis

diselesaikan di SMU 1 Dompu dan lulus pada tahun 2003.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2003 melalui

jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan

Bersama (TPB), kemudian pada tahun 2004 penulis mulai menduduki bangku

perkuliahan di Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) IPB.

Selama menjadi mahasiswa FKH IPB penulis aktif di Badan Eksekutif

Mahasiswa (BEM) FKH-IPB sebagai pengurus pada tahun 2005-2006. Penulis

juga aktif di Himpunan Minat Profesi (Himpro) Ruminansia dan Himpro

Ornithologi dan Unggas 2005-2006. Disamping itu penulis juga terdaftar sebagai

pengurus Forum Ilmiah Mahasiswa (FIM) dan Dewan Keluarga Mushola (DKM)

AN-NAHL.

(7)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat ALLAH SWT, atas berkat

rahmat dan hidayah-Nya, penulisan skripsi dengan judul “Pengaruh Penyuntikan

Somatotropin terhadap Kadar Glukosa Darah dan Cairan Amnion pada Tikus

Betina Bunting”. Tugas akhir ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh

gelar kesarjanaan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Shalawat dan Salam senantiasa tercurahkan kepada suri tauladan kita Nabi

Muhammad SAW baserta keluarga, sahabat, dan umatnya.

Terima kasih penulis ucapkan sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Nastiti Kusumorini selaku dosen pembimbing skripsi yang telah

banyak memberikan banyak ilmu, kesempatan, motivasi, inspirasi,

pengarahan, koreksi, saran, serta pengorbanan dalam penelitian dan

penyusunan skripsi.

2. Drs. Pudji Achmadi selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak

memberikan banyak ilmu, kesempatan, pengarahan, koreksi, saran, dan

pengorbanan dalam penelitian dan penyusunan skripsi.

3. Dr. drh. Aryani Sismin Satyaningtijas, MSc. Selaku dosen pembimbing

yang telah banyak memberikan banyak pengarahan, saran, dan

pengorbanan dalam penelitian.

4. Dr. drh. Syahrun Hamdani Nasution, selaku dosen penilai skripsi.

5. drh. Dudung Abdullah, selaku pembimbing akademik.

6. Program Hibah Kompetitif (PHK) A-3 FKH IPB yang telah membiayai

dan mendukung terlaksananya penelitian.

7. Mama, Dae, dan Dae lamu-koe tercinta, kakakku Adhim, adikku Ayu

Mutmainnah serta keluarga besar yang telah memberikan dukungan moril

dan materil.

8. Seluruh staf Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi Fakultas Kedokteran

Hewan Institut Pertanian Bogor, terutama Pak Edi, Ibu Sri, Ibu Ida yang

telah banyak mencurahkan perhatian, waktu, dan tenaga selama penelitian.

9. Teman-teman sepenelitian, Widia, Ulil, Metha, Athien, dan Intan,

(8)

10.Teman-teman Wisma Hattori (Adhim, Daeng, Berri, Lando, Dedi,

Gunawan, dan Jemix).

11. Teman-teman terbaikku (Bheta, Bhonex, Zaldi, Daeng, Agung, Adam,

Ilham, Adji, dan Berri).

12.Gymnolaemata 40, terimakasih atas kebersamaan dan kekompakannya.

13.Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, tetapi

penulis berharap tulisan ini dapat memberikan warna baru dalam khasanah bidang

veteriner terutama penggunaan hormon. Di luar kekurangan yang ada, penulis

juga berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang

membutuhkannya. Untuk itu penulis sangat berharap kritik dan saran yang

bersifat membangun demi kesempurnaan tulisan ini.

(9)

DAFTAR ISI

Manfaat Penelitian... 3

TINJAUAN PUSTAKA Hewan Coba... 4

Klasifikasi... 4

Biologi Reproduksi Tikus... 4

Fisiologi Kebuntingan... 5

Hormon reproduksi... 6

Fungsi estrogen pada masa kebuntingan... 6

Fungsi progesteron pada masa kebuntingan... 7

Plasenta... 7

Nutrisi embrio... 10

Nutrisi fetus... 12

Pertumbuhan embrio dan fetus... 13

Sirkulasi fetus... 16

Cairan amnion dan allantois... 16

Somatotropin Struktur dan biosintesis somatotropin... 18

Reseptor dan kerja somatotropin... 20

Efek somatotropin terhadap kadar glukosa... 22

Bovine Somatotropin (bST)... 24

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian... 26

Bahan dan Alat... 26

Metode Penelitian... 26

Persiapan tikus percobaan... 26

Perlakuan... 27

Pengambilan darah... 27

Pengambilan cairan amnion... 27

Pengambilan dan penimbangan fetus... 27

Pengukuran kadar glukosa... 28

Analisis statistik……….. 28

Parameter yang diamati……….. 28

Diagram penelitian... 29

HASIL DAN PEMBAHASAN... 30

(10)

SARAN... . 34

DAFTAR PUSTAKA... 35

LAMPIRAN... 40

(11)

PENGARUH PENYUNTIKAN SOMATOTROPIN TERHADAP

KADAR GLUKOSA DARAH DAN CAIRAN AMNION PADA

TIKUS BETINA BUNTING (Rattus norvegicus)

AGUS MULYADI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

RINGKASAN

AGUS MULYADI. Pengaruh Penyuntikan Somatotropin terhadap Kadar

Glukosa Darah dan Cairan Amnion pada Tikus Betina Bunting (Rattus

norvegicus). Dibawah bimbingan Dr. Nastiti Kusumorini dan Drs. Pudji Achmadi.

Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh pemberian bST terhadap

kadar glukosa darah induk dan cairan amnion selama kebuntingan yang

dihubungkan dengan tampilan anak. Sampel tikus (Rattus norvegicus) yang

digunakan sebanyak 36 ekor dan dibagi dalam 3 kelompok percobaan yaitu

kelompok yang disuntik dengan bST (kelompok H), kelompok yang disuntik

minyak jagung (kelompok M) dan kelompk kontrol (K) yang tidak diberi

perlakuan apapun. Tikus (Rattus norvegicus) disuntik pada hari ke-4 sampai hari

ke-12 kebuntingan. Perlakuan dilakukan dalam 4 kali pengulangan. Setelah umur

kebuntingan mencapai 13, 17, dan 21 hari, kadar glukosa darah, cairan amnion

dan bobot fetus diamati dan dibandingkan pada masing-masing umur kebuntingan

tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bovine somatotropin (bST) tidak

mempengaruhi kadar glukosa darah maupun glukosa cairan amnion dan tidak

(13)

ABSTRACT

The aims of this research was to study influence of bST for blood and

amnion glucose rate during gestation period which related to foetus performance.

There are 36 rats (Rattus norvegicus) that devided into 3 treatment group that

are the groups treated by injected bST (group H), treated by corn oil (group M),

and the groups which has no any treatment (group K). The rats (Rattus

norvegicus) was injected with bST and corn oil on 4 until 12 days of gestation.

The experiment used 4 repetitions. When pregnant age reached days 13, 17 and

21, blood glucose rate, amnion glucose rate, and foetus wight mains perceived

and compared at each the pregnant age. The results showes that bST did not

influence blood and amnion glucose rate and did not induce any changes in

(14)

PENGARUH PENYUNTIKAN SOMATOTROPIN TERHADAP

KADAR GLUKOSA DARAH DAN CAIRAN AMNION PADA

TIKUS BETINA BUNTING (Rattus norvegicus)

AGUS MULYADI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(15)

Judul : Pengaruh Penyuntikan Somatotropin terhadap Kadar Glukosa

Darah dan Cairan Amnion pada Tikus Betina Bunting.

Nama penulis : Agus Mulyadi

NRP : B04103004

Menyetujui :

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Nastiti Kusumorini Drs. Pudji Achmadi NIP. 131 669 942 NIP. 131 956 684

Mengetahui :

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Institut Pertanian Bogor

Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS. NIP. 131 129 090

(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Dompu, Nusa Tenggara Barat pada tanggal 13

Agustus 1984 sebagai anak kedua dari tiga orang bersaudara pasangan Bapak M.

Yakub Rais dan Ibu Maatu M. Yakub.

Pendidikan sekolah dasar penulis diselesaikan di SD Inpres Kandai I

Dompu pada tahun 1997. Selanjutnya penulis meneruskan pendidikan di SLTP 1

Dompu dan lulus pada tahun 2000. Pendidikan sekolah menengah atas penulis

diselesaikan di SMU 1 Dompu dan lulus pada tahun 2003.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2003 melalui

jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan

Bersama (TPB), kemudian pada tahun 2004 penulis mulai menduduki bangku

perkuliahan di Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) IPB.

Selama menjadi mahasiswa FKH IPB penulis aktif di Badan Eksekutif

Mahasiswa (BEM) FKH-IPB sebagai pengurus pada tahun 2005-2006. Penulis

juga aktif di Himpunan Minat Profesi (Himpro) Ruminansia dan Himpro

Ornithologi dan Unggas 2005-2006. Disamping itu penulis juga terdaftar sebagai

pengurus Forum Ilmiah Mahasiswa (FIM) dan Dewan Keluarga Mushola (DKM)

AN-NAHL.

(17)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat ALLAH SWT, atas berkat

rahmat dan hidayah-Nya, penulisan skripsi dengan judul “Pengaruh Penyuntikan

Somatotropin terhadap Kadar Glukosa Darah dan Cairan Amnion pada Tikus

Betina Bunting”. Tugas akhir ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh

gelar kesarjanaan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Shalawat dan Salam senantiasa tercurahkan kepada suri tauladan kita Nabi

Muhammad SAW baserta keluarga, sahabat, dan umatnya.

Terima kasih penulis ucapkan sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Nastiti Kusumorini selaku dosen pembimbing skripsi yang telah

banyak memberikan banyak ilmu, kesempatan, motivasi, inspirasi,

pengarahan, koreksi, saran, serta pengorbanan dalam penelitian dan

penyusunan skripsi.

2. Drs. Pudji Achmadi selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak

memberikan banyak ilmu, kesempatan, pengarahan, koreksi, saran, dan

pengorbanan dalam penelitian dan penyusunan skripsi.

3. Dr. drh. Aryani Sismin Satyaningtijas, MSc. Selaku dosen pembimbing

yang telah banyak memberikan banyak pengarahan, saran, dan

pengorbanan dalam penelitian.

4. Dr. drh. Syahrun Hamdani Nasution, selaku dosen penilai skripsi.

5. drh. Dudung Abdullah, selaku pembimbing akademik.

6. Program Hibah Kompetitif (PHK) A-3 FKH IPB yang telah membiayai

dan mendukung terlaksananya penelitian.

7. Mama, Dae, dan Dae lamu-koe tercinta, kakakku Adhim, adikku Ayu

Mutmainnah serta keluarga besar yang telah memberikan dukungan moril

dan materil.

8. Seluruh staf Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi Fakultas Kedokteran

Hewan Institut Pertanian Bogor, terutama Pak Edi, Ibu Sri, Ibu Ida yang

telah banyak mencurahkan perhatian, waktu, dan tenaga selama penelitian.

9. Teman-teman sepenelitian, Widia, Ulil, Metha, Athien, dan Intan,

(18)

10.Teman-teman Wisma Hattori (Adhim, Daeng, Berri, Lando, Dedi,

Gunawan, dan Jemix).

11. Teman-teman terbaikku (Bheta, Bhonex, Zaldi, Daeng, Agung, Adam,

Ilham, Adji, dan Berri).

12.Gymnolaemata 40, terimakasih atas kebersamaan dan kekompakannya.

13.Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, tetapi

penulis berharap tulisan ini dapat memberikan warna baru dalam khasanah bidang

veteriner terutama penggunaan hormon. Di luar kekurangan yang ada, penulis

juga berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang

membutuhkannya. Untuk itu penulis sangat berharap kritik dan saran yang

bersifat membangun demi kesempurnaan tulisan ini.

(19)

DAFTAR ISI

Manfaat Penelitian... 3

TINJAUAN PUSTAKA Hewan Coba... 4

Klasifikasi... 4

Biologi Reproduksi Tikus... 4

Fisiologi Kebuntingan... 5

Hormon reproduksi... 6

Fungsi estrogen pada masa kebuntingan... 6

Fungsi progesteron pada masa kebuntingan... 7

Plasenta... 7

Nutrisi embrio... 10

Nutrisi fetus... 12

Pertumbuhan embrio dan fetus... 13

Sirkulasi fetus... 16

Cairan amnion dan allantois... 16

Somatotropin Struktur dan biosintesis somatotropin... 18

Reseptor dan kerja somatotropin... 20

Efek somatotropin terhadap kadar glukosa... 22

Bovine Somatotropin (bST)... 24

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian... 26

Bahan dan Alat... 26

Metode Penelitian... 26

Persiapan tikus percobaan... 26

Perlakuan... 27

Pengambilan darah... 27

Pengambilan cairan amnion... 27

Pengambilan dan penimbangan fetus... 27

Pengukuran kadar glukosa... 28

Analisis statistik……….. 28

Parameter yang diamati……….. 28

Diagram penelitian... 29

HASIL DAN PEMBAHASAN... 30

(20)

SARAN... . 34

DAFTAR PUSTAKA... 35

LAMPIRAN... 40

(21)

Halaman

Tabel 1. Biologi reproduksi tikus putih... 5 Tabel 2. Sumber energi embrio tikus... 11 Tabel 3. Perkembangan dan pertumbuhan tikus pada masa embrional... 14 Tabel 4. Diferensiasi dan organogenesis tikus... 15 Tabel 5. Rataan kadar glukosa darah dan bobot fetus pada hari ke-13 30 Tabel 6. Rataan kadar glukosa darah, glukosa amnion, dan bobot

fetus pada hari ke-17... 31 Tabel 7. Rataan kadar glukosa darah, glukosa amnion, dan bobot

fetus pada hari ke-21... 31

(22)

Halaman

Gambar 1. Kontrol sekresi somatotropin... 19

(23)

Latar Belakang

Sektor peternakan merupakan sektor yang strategis, mengingat dalam

rangka mewujudkan ketahanan pangan dan mencerdaskan bangsa, sektor

peternakan berperan penting melalui penyediaan protein hewani, seperti daging,

susu, dan telur untuk makanan sehari-hari. Apabila bangsa Indonesia memenuhi

asupan kecukupan nilai gizi tinggi, maka akan memiliki sumberdaya manusia

sehat, cerdas, dan kuat.

Kenyataan yang terjadi saat ini, penyediaan protein hewani untuk

memenuhi kebutuhan masyarakat belum sepenuhnya terpenuhi karena

pertambahan penduduk yang lebih cepat dari peningkatan produksi pangan

terutama protein hewani. Meningkatnya kebutuhan konsumsi daging akibat

peningkatan taraf hidup, kenaikan tingkat pendidikan dan pengetahuan

menyebabkan perubahan pola konsumsi masyarakat ke arah yang lebih baik, tanpa

diimbangi oleh peningkatan populasi ternak.

Sebagai gambaran, kebutuhan konsumsi daging di Indonesia baru

terpenuhi 56% dari daging ayam, 23% terpenuhi dari daging sapi. Khusus untuk

memenuhi kebutuhan daging sapi, Indonesia masih mengimpor 50 ribu ton daging

dan 400 ribu ekor sapi setiap tahunnya dari negara lain dan yang diuntungkan

adalah peternak negara lain (Yudhoyono, 2006). Menurut Riady (2006) telah

terjadi peningkatan permintaan daging sapi, sejalan dengan peningkatan

pertumbuhan penduduk sebesar 1.45% yang tidak diiringi kelahiran ternak sapi

yang besarnya 20% per tahun, sehingga terdapat kekurangan pasokan dalam

negeri sebesar 28-29%. Selain itu populasi ternak khususnya ternak sapi menurun

rata-rata 0.98%, yaitu dari 11137 ribu ekor menjadi 10680 ekor, dalam kurun

waktu lima tahun (2001-2005).

Keberhasilan peningkatan populasi ternak sangat tergantung dari sistem

reproduksi ternak tersebut. Suatu usaha yang dapat meningkatkan kuantitas

hewan ternak dapat dilakukan melalui suatu penelitian dasar di bidang

fisiologi-reproduksi, terutama usaha pengembangan ternak politokus (ternak yang dapat

menghasilkan anak lebih dari satu dalam satu kali kebuntingan) sehingga usaha

(24)

Permasalahannya tidak hanya berhenti disini, jumlah anak yang banyak jelas

membutuhkan suplai nutrisi yang cukup dari induk. Nutrisi merupakan faktor

yang penting. Tanpa nutrisi yang baik dan dalam jumlah yang memadai, maka

pertumbuhan anak tidak akan optimal.

Selama kebuntingan, anak hewan harus mendapat nutrisi sebagai

penunjang pertumbuhan selanjutnya. Jika selama kebuntingan kurang mendapat

asupan nutrisi yang cukup, akan menjadi bakalan yang merugikan peternak,

sekalipun merupakan keturunan dari bibit unggul. Tingkat ketersediaan nutrisi

yang rendah dari induk dapat dikaitkan dengan kinerja tubuh yang tidak optimal

selama masa fetus. Apabila tubuh induk tidak mampu bekerja sebagaimana

mestinya maka anak yang banyak tidak akan bertahan hidup sehingga anak yang

lahir nanti jumlahnya sedikit.

Untuk mengatasi kecukupan nutrisi selama kebuntingan agar anak-anak

yang dilahirkan optimal, maka diperlukan suatu suplemen dari luar tubuh untuk

mengoptimalkan metabolisme induk sehingga kecukupan nutrisi untuk anak

terpenuhi. Salah satu suplemen yang mungkin bisa memperbaiki nutrisi induk

adalah hormon somatotropin. Kerja hormon somatotropin ini adalah

mempengaruhi metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein dengan cara

memobilisasi pemecahan asam lemak dan menstimulus glukoneogenesis (Tortora

dan Anagnostakos, 1990). Adanya proses glukoneogenesis akan meningkatkan

glukosa yang beredar di dalam darah induk. Keadaan tersebut akan memperbaiki

asupan glukosa dari induk ke anak sehingga tampilan anak yang dilahirkan

menjadi lebih baik.

Melihat kondisi pertumbuhan ternak yang belum optimal, selanjutnya

mengamati pentingnya peranan somatotropin pada periode kebuntingan, dan

tersedianya hasil bioteknologi somatotropin, serta didukung oleh studi-studi

penelitian yang telah dilakukan pada berbagai objek dan metode penyuntikan

somatotropin selama ini, penelitian tentang pengaruh penyuntikan somatotropin

terhadap kadar glukosa darah dan cairan amnion menarik untuk dilakukan. Dari

berbagai hasil penelitian yang telah dipelajari, belum banyak data mengenai

pengaruh penggunaan somatotropin terhadap kadar glukosa darah dan cairan

(25)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh pemberian somatotropin

terhadap kadar glukosa darah induk dan cairan amnion selama kebuntingan yang

dihubungkan dengan tampilan anak.

Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini tentu akan diperoleh tambahan informasi

mengenai aspek-aspek penggunaan soamtotropin pada hewan bunting serta

efeknya terhadap ketersediaan glukosa dalam darah dan cairan amnion yang

dihubungkan dengan tampilan anak.

(26)

Hewan Coba

Hewan model yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih yang

termasuk hewan bersifat politokus. Tikus putih sudah sejak lama digunakan

sebagai hewan laboratorium untuk kepentingan medis maupun penelitian karena

relatif lebih murah dan mudah dalam pemeliharaannya. Untuk penelitian dalam

bidang reproduksi, tikus adalah hewan yang tepat untuk digunakan karena

memiliki siklus reproduksi yang pendek, mudah berkembang biak dengan jumlah

keturunan yang cukup banyak (Harkness dan Wagner, 1983) dan daya adaptasi

yang sangat tinggi pada berbagai macam kondisi iklim dan lingkungan (Poole,

1989).

Klasifikasi

Klasifikasi tikus putih menurut Robinson (1979) :

Class : Mamalia

Reproduksi adalah proses perkembangbiakan suatu makhluk hidup yang

dimulai sejak bertemunya sel telur betina dengan sel sperma dari jantan, menjadi

makhluk hidup baru yang disebut zigot, yang disusul dengan kebuntingan dan

diakhiri dengan kelahiran anak (Hernawati, 2001). Tikus termasuk hewan yang

memperlihatkan gejala birahi lebih dari dua kali dalam setahun, dengan selang

birahi yang relatif pendek yaitu 4-5 hari. Data biologi reproduksi tikus disajikan

pada tabel 1.

Tabel 1. Data Biologi Reproduksi Tikus Putih

(27)

Lama bunting

Kawin sesudah beranak

Umur disapih

Umur dikawinkan / pubertas

Siklus kelamin

8-11 jam sesudah kawin

7-10 jam

2 kornua, bermuara sebelum serviks

3 betina 1 jantan

Sumber : (Smith dan Mangkoewidjaja, 1988)

Fisiologi Kebuntingan

Kebuntingan merupakan keadaan dimana fetus sedang berkembang di

dalam uterus seekor hewan betina (Frandson, 1992). Suatu interval waktu yang

disebut periode kebuntingan (gestasi), terentang dari saat proses fertilisasi

(pembuahan ovum) sampai lahirnya anak. Hal ini mencakup fertilisasi atau

persatuan antara ovum dan sperma, nidasi atau implantasi, perkembangan

membran fetus dan berlanjut ke pertumbuhan fetus (Mannan, 2002).

Periode kebuntingan sangat bervariasi dari satu spesies ke spesies lainnya,

begitu pula variasi antar individu dalam satu spesies tertentu. Saat terjadinya

fertilisasi, sperma harus berada di dalam saluran alat kelamin betina untuk jangka

waktu tertentu agar dapat membuahi ovum secara selektif. Ternak politokus

memiliki jarak-jarak yang jelas antara blastosis (embrio yang sedang berkembang)

(28)

refraktori di dalam endometrium yang menghambat terjadinya implantasi lain di

daerah yang sangat berdekatan (Mannan, 2002).

Pertumbuhan makhluk baru dari hasil pembuahan ovum oleh spermatozoa

setelah proses perkawinan berlalu mempunyai tiga periode, yaitu : periode ovum,

periode embrio, dan periode fetus. Roberts (1971) mengatakan bahwa periode

ovum dimulai pada saat terjadinya proses fertilisasi sampai saat terjadinya proses

implantasi, periode embrio dihitung mulai terjadinya proses implantasi sampai

saat terjadinya pembentukan alat-alat tubuh bagian dalam dan periode fetus

dihitung mulai dari setelah pembentukan alat-alat tubuh bagian dalam,

terbentuknya anggota gerak (extremitas) sampai fetus lahir.

Hormon reproduksi

Terjadinya kebuntingan pada hewan diawali dengan pembuahan sperma

terhadap sel telur dan diakhiri dengan kelahiran. Untuk menjaga kebuntingan,

tubuh melakukan persiapan-persiapan yaitu pembentukan plasenta, pertumbuhan

uterus, serta memproduksi hormon-hormon yang berperan dalam kebuntingan.

Diantara hormon yang berperan dalam kebuntingan adalah estrogen dan

progesteron. Pada saat hewan bunting estrogen dan progesteron diproduksi oleh

ovarium, plasenta (Guyton, 1994), dan korpus luteum (Garverick et al., 1992).

Fungsi estrogen pada masa kebuntingan

Pada hewan politokus seperti tikus estrogen akan menyebabkan

pertumbahan vaskularisasi pembuluh darah dan pertumbuhan endometrium yang

mengakibatkan adanya reaksi desidual di tempat terjadinya implantasi. Estrogen

menyebabkan peningkatan aliran darah secara tidak langsung, yaitu melalui

peningkatan prostaglandin yang dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah

pada miometrium maupun pada endometrium (Scharmm et al., 1984). Estrogen

mempengaruhi uterus untuk mempertahankan lingkungan yang cocok untuk

pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus dengan meningkatkan

proliferasi sel-sel uterus.

Konsentrasi estrogen pada tikus bunting tidak berubah mulai hari ke-2

(29)

sampai akhir kebuntingan yaitu hari ke-22 (Taya dan Greenwald, 1981),

sementara itu Tuju (1996) melaporkan bahwa konsentrasi estrogen tidak berubah

dari hari ke-4 sampai dengan hari ke-12 kebuntingan dan selanjutnya akan

berangsur meningkat sampai akhir kebuntingan. Pada akhir kebuntingan estrogen

diperlukan dalam jumlah banyak untuk perkembangan kelenjar susu, pengendoran

ligament-ligament pelvis, memprakarsai tonus uterus, relaksasi serviks dan

mensensitifkan uterus terhadap oksitosin (Mannan, 2002).

Fungsi progesteron pada masa kebuntingan

Progesteron merupakan hormon steroid yang terdiri dari 21 atom karbon.

Konsentrasi progesteron meningkat setelah terjadinya ovulasi dan semakin

meningkat terutama setelah periode plasentasi (Manalu dan Sumaryadi, 1995).

Pada hewan bunting, progesteron meniadakan terjadinya ovulasi (Partodihardjo,

1992). Progesteron merangsang deferensiasi sel-sel endometrium dan

menyiapkan implantasi, bersamaan dengan ini terjadi penurunan proliferasi dan

penurunan reseptor estrogen (down regulation) (Okulicz dan Balsamo, 1993).

Selanjutnya progesteron berfungsi mencegah kontraksi uterus sehingga tidak

terjadi abortus (Putnam et al., 1975).

Tuju (1996) melaporkan konsentrasi progesteron pada tikus bunting tidak

mengalami perubahan dari umur kebuntingan ke-4 sampai dengan umur

kebuntingan ke-12 sedangkan Rodway dan Rothchild (1980) menyatakan bahwa

dalam serum tikus bunting konsentrasi progesteron mulai meningkat pada umur

kebuntingan ke-12. Peningkatan konsentrasi progesteron selama kebuntingan

dalam serum induk, terbukti meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan

kelenjar susu selama kebuntingan (Tuju dan Manalu, 1995).

Plasenta

Plasenta merupakan suatu tenunan yang tumbuh dari embrio dan

induknya, dan terjalin saat proses pertumbuhan embrio yang memerlukan

kebutuhan penyaluran zat makanan dari induk ke anak dan sebaliknya, sisa

makanan anak dikeluarkan ke induk (Mannan, 2002). Menurut Guyton (1995)

(30)

darah fetus dan difusi hasil-hasil ekskresi dari fetus kembali masuk ke induk. Pada

awal kebuntingan, permeabilitas plasenta relatif kecil, karena tebal membran vili

belum berkurang ke ketebalan minimum. Akan tetapi ketika plasenta bertambah

tua, permeabilitasnya meningkat secara progresif sampai akhir kebuntingan.

Jaringan luar tropoblas mengalami perubahan morfologi menjadi amnion,

allantois, khorion, dan kantong kuning telur (Yolk sac). Mc. Donald (1980)

melaporkan bahwa dengan meningkatnya ukuran embrio, proses difusi zat

makanan menjadi tidak cukup untuk mempertahankan hidup dan meneruskan

pertumbuhannya. Membran ekstra embrional berkembang sebagai sarana untuk

mencukupi kebutuhan meningkatnya nutrisi yang lebih banyak. Proses ini disebut

plasentasi. Amnion adalah lapisan yang menyelubungi fetus pada bagian dalam.

Allantois adalah lapisan yang terdapat di antara amnion dan khorion. Khorion

adalah lapisan yang menyelubungi fetus di bagian luar. Menurut Frandson (1992)

plasenta terdiri dari susunan membran sedemikian rupa yang berisikan selaput

khorion, allantois, amnion, dan kuning-kuning telur vestigal.

Lapisan sel allantois pada bagian dalam menjadi satu atau berhimpitan

dengan sel – sel membran khorion. Arteri dan vena yang datang dari plasenta ke

tubuh embrio terdapat pada lapisan membran allantois dan khorion. Ruang yang

terbentuk karena pembentukan gelembung amnion berisi cairan yang

konsentrasinya amat kental dan disebut cairan amnion. Cairan amnion berfungsi

untuk mengatur tekanan dalam pertumbuhan embrio dan mengurangi goncangan

dari luar serta tempat menampung zat buangan embrio melalui urethra.

Sedangkan ruang yang terbentuk karena gelembung allantois berisi cairan

allantois. Kantong allantois mempunyai fungsi sebagai tempat pembuangan urin

melalui urachus. Urachus adalah suatu saluran urin yang menghubungkan

kantong urin dan kantong allantois melalui tali pusar (Mannan, 2002).

Kantong kuning telur (yolk sac) tumbuh pada awal pertumbuhan embrio,

dan terhenti saat setelah amnion dan allantois terbentuk sempurna. Lapis luar

tropoblas tumbuh menjalar menyelimuti seluruh permukaan endometrium.

Penjalaran tropoblas masing-masing hewan bervariasi sesuai dengan bentuk dan

(31)

berhubungan dengan epitel karankula segera melarutkan sel-sel epitel vili

tropoblas (Mannan, 2002).

Difusi oksigen melalui membran plasenta hampir mirip dengan difusi

oksigen melalui membran paru. Oksigen yang terlarut di dalam darah yang

terdapat dalam sinus-sinus plasenta yang lebar mudah melalui membran vili

masuk ke dalam darah fetus karena selisih tekanan oksigen dari darah induk

dengan darah fetus. Pada pO2 yang rendah, hemoglobin fetal dapat membawa 20

sampai 30 persen oksigen lebih banyak dari pada yang dapat dibawa oleh

hemoglobin induk. Selain itu konsentrasi hemoglobin fetus sekitar 50 persen

lebih besar daripada konsentrasi hemoglobin induk. Hal ini merupakan faktor

yang lebih penting dalam memperbesar jumlah oksigen yang ditranspor ke

jaringan fetus (Guyton, 1995).

Melalui membran plasenta, karbon dioksida secara terus menerus dibentuk

dalam jaringan-jaringan fetus dengan cara yang sama seperti pembentukan karbon

dioksida dalam jaringan-jaringan induk. Satu-satunya cara untuk

mengekskresikan CO2 adalah melalui plasenta. pCO2 yang terkumpul dalam

darah fetus sedikit lebih besar dibandingkan pCO2 darah induk. Selisih tekanan

yang rendah ini memungkinkan difusi CO2 yang cukup dari darah fetus ke dalam

darah induk, karena kelarutan CO2 yang ekstrem dalam air membran plasenta

sehingga memungkinkan CO2 berdifusi melalui membran itu dengan cepat, sekitar

20 kali kecepatan membran O2 (Guyton, 1995).

Zat-zat metabolik lain yang dibutuhkan oleh fetus berdifusi ke dalam

darah fetus dengan cara yang sama seperti oksigen. Zat makanan seperti glukosa

memiliki tingkat konsentrasi dalam darah fetus sekitar 20 sampai 30 persen lebih

rendah dibandingkan dengan kadar glukosa darah induk, karena glukosa

dimetabolisme dengan cepat oleh fetus. Hal ini selanjutnya menyebabkan difusi

glukosa lebih banyak dari darah induk ke darah fetus. Transport glukosa dari

induk ke fetus tidak diperlukan energi, transport ini disebut transport fasilitatif.

Transport fasilitatif memerlukan keberadaan zat pembawa (carrier) untuk

mengangkut zat-zat melalui plasenta (Stefani, 2007). Zat-zat seperti ion kalium,

natrium, dan klorida juga berdifusi dari darah induk ke dalam darah fetus

(32)

Sel-sel yang melapisi permukaan luar vili memungkinkan absorbsi secara

aktif zat-zat gizi tertentu dari darah induk selama kebuntingan. Misalnya,

kandungan asam amino, kalsium, dan fosfat inorganik memiliki konsentrasi lebih

besar di darah fetus dibandingkan dengan darah induk. Efek ini menunjukan

bahwa membran plasenta mempunyai kemampuan mengabsorbsi secara aktif

(Guyton, 1995).

Ekskresi melalui membran plasenta memiliki kemiripan dengan difusi

karbon dioksida dari darah fetus ke darah induk, hasil-hasil ekskresi lain yang

dibentuk dalam fetus berdifusi ke dalam darah induk dan kemudian diekskresikan

lagi bersama dengan produk sekresi dari induk. Produk-produk sampah dapat

berupa urea, asam urat, dan kreatinin. Kadar urea dalam darah fetus hanya

sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan kadar urea dalam darah induk karena

urea berdifusi dengan sangat mudah melalui membran plasenta (Guyton, 1995).

Nutrisi embrio

Pembuahan sperma terhadap sel telur menghasilkan zigot. Dalam

perkembangannya zigot membutuhkan nutrisi sebagai sumber energi agar mampu

melakukan serangkaian pembelahan. Pada awal pembelahan, embrio bisa

memakai piruvat, tetapi tidak bisa memakai laktat (Takahashi et al., 1992).

Glukosa dibutuhkan oleh embrio setelah tahap 4-8 sel dan kebutuhan glukosa

tergantung stadium serta bervariasi pada spesies hewan (Tabel 2) (Austin and

Short, 1985 ; Gardner et al., 1993). Rendahnya pemakaian glukosa pada awal

perkembangan dimaksudkan untuk mengatasi hambatan perkembangan sehingga

tidak akan mengganggu proses glikolisis (Gardner et al., 1993). Pada embrio sapi

kebutuhan glukosa rendah dan tetap rendah selama stadium pembelahan,

kemudian pemakaian glukosa meningkat memasuki tahap 8 sel. Hal ini

berhubungan dengan waktu aktivitas dari genom embrio (Matsuyama et al.,

1993). Pola yang sama terjadi pada embrio domba serta spesies lain (Thompson

et al., 1992 ; Kim et al., 1993b).

(33)

Tingkat Pembelahan

Substrat Oosit 1-sel 2-sel 8-sel

Piruvat + + + +

Oxaloacetat + + + +

Fosfoenolpirufat - - + +

Laktat - - + +

Glukosa - - - +

Sumber : (Austin and Short, 1985)

Menurut Flood dan Wielbold (1988) pemakaian glukosa meningkat mulai

morula kompak. Hal ini berhubungan dengan pembentukan tropoblas pada saat

diferensiasi yaitu dibutuhkan energi tinggi sehingga metabolisme glukosa

meningkat (Hewitson et al., 1996). Selain itu meningkatnya metabolisme glukosa

pada tahap morula kompak disebabkan karena pada tahap ini kebutuhan energi

dan bahan-bahan lain hasil metabolisme glukosa lebih banyak dipergunakan untuk

proses kompaksi (Leese et al., 1993). Hal yang berbeda terjadi pada embrio

domba, glukosa bukan merupakan sumber energi utama pada saat diferensiasi sel

karena energi yang dihasilkan untuk metabolisme sel bisa berasal dari asam amino

(Thompson et al., 1992).

Glukosa berperan penting pada pertumbuhan blastosis dan proses hatcing

yang ditunjukan dengan peningkatan pemakaian glukosa dan metabolisme (Brison

dan Leese, 1994 ; Matsuyama et al., 1993). Adanya glukosa akan memperbaiki

tingkat perkembangan normal embrio dan merangsang proses blastulasi

berikutnya. Menurut Brison et al., (1994) peran glukosa pada tahap blastosis

sangat penting, karena glukosa sebagai energi substrat diperlukan untuk

pembentukan blastosul dan proses hacting. Peningkatan pemakaian glukosa

menyebabkan perubahan sistem metabolisme dari metabolisme dasar piruvat ke

metabolisme dasar glukosa. Selain itu perubahan metabolisme ini juga diketahui

akibat adanya kontrol instrinsik dan kontrol ekstrinsik. Kontrol instrinsik embrio

berhubungan dengan aktivitas enzim mediator intraselluler dan sistem transport

membran plasma. Sedangkan kontrol ekstrinsik berhubungan dengan diferensiasi

dan persiapan implantasi (Leese, 1995). Selain dibutuhkan sebagai sumber

energi, glukosa dapat menghambat proses perkembangan embrio terutama pada

(34)

yang menekan proses fosforilisasi oksidasi dan respirasi di mitokondria, akibatnya

akan menghambat petumbuhan embrionik (Seshagrirl et al., 1991).

Nutrisi fetus

Sebagian energi dibutuhkan untuk pertumbuhan dan metabolisme berasal

dari glukosa, seperempat bagian berasal dari laktat yang dibentuk dari glukosa di

dalam plasenta, dan seperempat sisanya berasal dari asam amino. Fetus tidak

mensintesis glukosa dari lemak atau protein (glukoneogenesis). Proses

glukoneogenesis akan terjadi dengan segera setelah kelahiran ketika pO2 naik

(Austin and Short, 1985). Sebagai tambahan untuk energi, fetus harus

mempunyai persediaan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membangun organ

tetapi tidak dapat disintesis. Bahan-bahan tersebut misalnya, asam amino

esensial, asam lemak esensial, vitamin, mineral, dan trace elemen. Banyak dari

zat-zat ini ditransfer secara selektif dari induk ke anak melalui mekanisme

pengangkutan aktif yang melindungi kebutuhan fetus (Austin and Short, 1985).

Nutrisi terutama glukosa disirkulasikan menuju fetus melalui aliran darah

induk. Dalam jumlah yang sedikit glukosa berasal dari makanan yang dikonsumsi

oleh induk, berasal dari glikogen hati, berasal dari depot lemak dan berasal dari

pemecahan protein. Jumlah glukosa yang tersedia untuk fetus tergantung dari

besarnya konsentrasi glukosa yang dibawa melalui aliran darah induk.

Konsentrasi glukosa ini dipertahankan dengan menyertakan banyak organ

endokrin. Selanjutnya tingkat glukosa induk ditentukan oleh absorbsi glukosa di

usus dan kerja hormon kortikosteroid, katekolamin, glukagon dan somatotropin

dengan meningkatkan proses glukoneogenesis. Selain itu peningkatan konsentrasi

glukosa di atas level normal dicegah oleh insulin dengan meningkatkan

penyimpanan glukosa di otot dalam bentuk glikogen atau lemak. Hormon

kebuntingan tertentu lebih lanjut mengontrol glukosa induk dalam meningkatkan

ketersediaan glukosa untuk fetus (Austin and Short, 1985).

Sebagian besar periode kebuntingan disertai dengan peningkatan bobot

badan karena terjadi peningkatan penyimpanan lemak di subkutan. Ini merupakan

efek dari hormon progesteron. Kemudian ketika kebutuhan metabolik dari fetus

(35)

digunakan untuk memelihara suplai glukosa ke fetus. Pada primata terdapat

hormon tambahan yang disekresikan dalam jumlah yang besar ke dalam sirkulasi

induk untuk membantu proses kebuntingan yang dikenal dengan nama plasenta

laktogen. Plasenta laktogen memiliki aktivitas biologis yang rendah, tetapi

bersama somatotropin ia mampu meningkatkan kadar glukosa darah. Kadar

glukosa yang mencapai plasenta ditentukan oleh konsentrasi dan volume darah

yang melewati plasenta. Jika konsentrasi glukosa atau volume darah yang

melewati plasenta kecil maka akan memperlambat pertumbuhan fetus (Austin and

Short, 1985).

Pertumbuhan embrio dan fetus

Fertilisasi adalah peristiwa bertemunya spermatozoa dan ovum di bagian

bawah ampula tuba Fallopii. Sebelum terjadi fertilisasi, spermatozoa mengalami

tahap seleksi dan komposisi dengan spermatozoa yang lain. Dari jutaan

spematozoa yang diejakulasikan, tidak lebih dari 1000 spermatozoa yang

mencapai ampula tuba Fallopii. Beberapa spermatozoa mencapai tempat

fertilisasi dalam waktu yang lebih singkat, kira-kia 15 menit setelah perkawinan.

Spermatozoa yang berhasil melalui vagina dan uterus dengan baik akan

mengalami reaksi akrosom pada membran plasmanya kemudian menembus massa

kumulus, zona pellusida, dan membran vitelin ovum (Toelihere, 1985). Proses

selanjutnya adalah fase cleavage, yaitu pembelahan sel tanpa pertumbuhan,

selanjutnya terjadi transport konseptus ke uterus, dan dilanjutkan dengan proses

implantasi. Pada tikus, implantasi terjadi pada hari ke-6 kebuntingan (Whimstatt,

1975).

Pembelahan zigot dari 1 sel menjadi 2 sel, 2 sel menjadi 4 sel, 8 sel,

hingga 16 sel berlangsung tanpa terjadi perubahan pada zigot. Selama fase

cleavage sampai munculnya blastoecele, sel-sel embrional disebut blastomer.

Pada tingkatan 16 sampai 32 sel, sel-sel berkumpul menjadi satu kelompok

membentuk blastomer yang kemudian disebut morula. Kemudian morula

berubah menjadi blastula (Tabel 3). Proses pembentukan blastula disebut

(36)

suatu rongga berisi cairan yang disbut blastocoele, sedangkan pada morula tidak

terdapat blastoecoele (Sukra et al., 1989).

Pada hewan politokus, blastosis tersebar di kedua tanduk rahim. Sebaran

blastosis bisa sedemikian rupa sehingga masing-masing tanduk rahim berisi

embrio sama banyak. Letak implantasi ditentukan oleh hubungan antara blastosis

terhadap rahim, bukan oleh faktor gaya berat. Blastosis yang masuk ke dalam

rahim tidak selalu langsung mengadakan implantasi. Dengan demikian blastosis

mengalami hidup bebas sebelum implantasi. Jangka hidup bebas pada tikus 2 hari

(Partodihardjo dan Manggung, 1978).

Tabel 3. Data perkembangan dan Pertumbuhan Tikus pada Masa Embrional

Fase sel Waktu kejadian setelah pembuahan (jam)

1 sel 0-29

2 sel 23-52

3-4 sel 42-59

5-8 sel 49-60

Morulla 68-77

Blastosis 74-82

Sumber : Whitten dan Dagg (1961)

Setelah mencapai tahap blastosis, proses selanjutnya adalah implantasi.

Implantasi merupakan proses bersarangnya blastosis di dalam selaput lendir rahim

sehingga terjadi hubungan erat antara selaput ekstra embrional dan selaput lendir

rahim. Ketika zigot berkembang dan menuju rahim, korona radiata dan zona

pelusida musnah, dengan demikian blastosis lebih leluasa berhubungan dengan

rahim. Sinkronisasi antara blastosis dan kesiapan endometrium merupakan faktor

penting kesempurnaan implantasi (Hafez, 1967). Proses selanjutnya adalah

(37)

Tabel 4. Data Diferensiasi dan Organogenesis Tikus

Hari

Kebuntingan

Ciri - ciri

6 Implantasi elastosis dengan tropoblas dan inner cell mass

delaminasi endoderm.

7 Vili khorionik sederhana dan tidak bercabang ;

pembentukan cakram benih embrional ; diferensiasi

bagian-bagian embrional dan extra embrional.

8 Diferensiasi tropoblas secara cepat ; terlihat garis, legokan

dan kancing primitif ; awal pembentukan mesoderm ;

pemanjangan sepalo kaudal embrio ; pembentukan sumbu

longitudinal embrio.

9 Pembentukan somit ossipital ; tampak dataran neural dari

ektodermal dan awal pembentukan lipatan neural.

10 – 10.5 Penutupan parsial saluran neural, otak, primer terbentuk

somit servikalis dan torasik bagian atas muncul dua arkus

visceralis jelas ; pembentukan jantung, mata, dan telinga

primordial ; diferensiasi endoderm menjadi saluran

pencernaan bagian depan, tengah, belakang. Bakal hati

terdapat di bawah jantung.

11 – 11.5 Pembentukan somit torakis bagian bawah dan lumbal,

empat arkus visceralis, pucuk ekor dan pucuk kaki depan ;

tubulus mesonefrik mulai berkembang ; pembentukan

fleksura sepalika dan kaudal embrio berbentuk C ;

lambung, saluran empedu, dan kantong empedu jelas.

12 – 12.5 Pembentukan otak sekunder, somit sakral, kaudal atas,

mandibular, maxilar, dan frontonasal ; diferensiasi kaki

depan dan kaki belakang ; pembentukan telinga bagian

dalam.

13 -13.5 Kaudal bersomit ; proses pembentukan kaki depan dan kaki

belakang, wajah, dan celah utama.

(38)

jelas ; pembentulan pinna ; prekartilago di mandibula, mata

berpindah ke anterior.

15 – 15.5 Kaudal bersomit ; celah di bagian wajah tertutup, diafragma

jelas, mata berada di anterior wajah.

16 Kaudal bersomit terakhir; bagian kepala terangkat dari dada

; ossifikasi dari skeleton mulai terbentuk.

Sumber : (Hafez, 1970)

Sirkulasi fetus

Aliran darah fetus melalui dua arteri umbilikalis akhirnya ke

kapiler-kapiler vili, dan kemudian kembali melalui vena umbilikalis ke fetus. Sebaliknya,

aliran darah induk dari arteri uterina masuk ke dalam sinus-sinus darah besar di

sekitar vili dan kemudian kembali masuk ke dalam vena uterina induk. Paru-paru

tidak berfungsi terutama selama kehidupan fetal, sehingga jantung fetus tidak

memompa banyak darah melalui paru. Sebaliknya, jantung fetus harus memompa

darah dalam jumlah besar melalui plasenta. Sebagian besar darah yang masuk ke

atrium kanan dari vena kava inferior langsung berjalan lurus melalui permukaan

posterior atrium kanan dan kemudian melalui foramen ovale langsung masuk ke

dalam atrium kiri. Jadi, darah yang dioksigenasi baik dari plasenta masuk ke sisi

kiri jantung bukan ke sisi kanan jantung dan dipompa oleh ventrikel kiri terutama

ke dalam pembuluh darah kepala dan anggota gerak bawah. Darah yang masuk

atrium kanan dari vena kava superior langsung berjalan turun melalui katub

trikuspidalis masuk ke dalam ventrikel kanan. Darah ini terutama darah

deoksigenasi dari daerah kepala fetus, dan dipompa oleh ventrikel kanan masuk

ke dalam arteri pulmonalis, kemudian melalui duktus arteriosus masuk ke dalam

aorta descenden dan melalui arteri umbilikalis masuk ke plasenta, tempat darah

deoksigenasi mengalami oksigenasi (Guyton, 1995).

Cairan amnion dan allantois

Selaput ekstra embrional atau selaput fetal berkembang dan berfungsi pada

(39)

beberapa saat sesudahnya. Selaput tersebut terdiri dari kantong kuning telur,

kantong amnion, allantois, dan khorion (Partodihardjo dan Manggung, 1978).

Perubahan volume uterus pada saat permulaan terjadinya kebuntingan,

sebagian besar disebabkan oleh pertambahan cairan amnion dan allantois. Pada

waktu pertengahan dari masa kebuntingan, pertambahan volume menjadi hampir

sama dengan pertambahan volume fetus. Cairan amnion pada periode

perkembangan fetus bersifat jernih, tidak berwarna dan mukoid. Pada sapi

volumenya dapat mencapai 2000-8000 ml dan rata-rata berkisar 5000-6000 ml.

Cairan amnion mengandung pepsin, protein, fruktosa, lemak, dan garam serta

bersifat bakterisidal dan adhesia. Sumber cairan amnion pada permulaan sampai

pertengahan kebuntingan adalah epitel amnion dan urin fetus. Pada kebuntingan

lebih lanjut sumber cairan amnion adalah air liur dan sekresi nasopharinks fetus

(Mannan, 2002).

Menurut Partodihardjo dan Manggung (1978) cairan amnion berfungsi

untuk : (1) mencegah embrio menjadi kering, embrio berkembang di dalam

lingkungan cairan (kolam renang pribadi embrio), (2) mencegah perlekatan

embrio dengan selaput ekstra embrional lainnya. Otot pada dinding amnion

berkontraksi sehingga secara tidak langsung menggoyang-goyang embrio, (3)

meniadakan goncangan. Pada sapi allantois timbul pada minggu kedua dan ketiga

kebuntingan sebagai suatu kantong luar usus belakang. Terdiri dari endoderm

yang ditutupi oleh suatu selaput vaskuler mesoderm splanchono-pleurik. Lapisan

luar allantois kaya pembuluh darah yang berhubungan dengan aorta fetus, melalui

arteri umbilikalis.

Kantong allantois menyimpan sisa-sisa bahan dari ginjal fetus yang

memasukinya dari vesika urinaria melalui korda umbilikalis dengan perantaraan

urethra. Cairan ini jernih seperti air dan berwarna kabur mengandung albumin,

fruktosa dan urea. Pada sapi menjelang akhir kebuntingan volume cairan allantois

berkisar antara 4000-15500 ml dan rata-rata 9500 ml, selanjutnya volume cairan

amnion dan allantois mempunyai volume sesuai dengan umur kebuntingan

(Mannan, 2002).

Chorioallantois, terbentuk karena fusi lapisan luar allantois vaskuler

(40)

menghubungkan fetus dengan endometrium uterus induk secara intim, diciptakan

untuk mengangkut pertukaran metabolik zat-zat makanan, gas, dan bahan sisa

antara sirkulasi fetal dan maternal. Chorioallantois adalah plasenta fetal.

Walaupun cairan, dan gas dapat menembus korion ke sirkulasi maternal dan fetal

benda-benda padat dan kebanyakan bakteri secara normal tidak dapat melewati

korion kecuali penyakit pada korion memudahkan penetrasinya. Beberapa

bakteri, virus, dan larva parasit tertentu dapat melewati plasenta yang utuh

(Mannan, 2002).

Somatotropin

Struktur dan biosintesis somatotropin

Somatotropin (growth hormon) adalah hormon polipeptida yang berantai

tunggal dan disekresikan oleh sel-sel somatotrof hipifise anterior (Coschigano et

al., 2003). Diketahui paling tidak ada tiga macam bentuk somatotropin yang

dikenal selama ini. Bentuk yang pertama mempunyai 191 asam amino dengan

bobot molekul 22 kDa dan bentuk ini yang paling banyak ditemukan dalam

kelenjar hipofise. Bentuk ini mengandung dua macam jembatan sulfida dalam

molekul somatotropin, molekul yang satu menghubungkan asam amino (asam

amino 53 dan 165 pada manusia) yang membentuk suatu lengkung besar dan yang

lain terletak di dekat terminal atau ujung karboksil dari peptida (asam amino 182

dan 189) membentuk suatu lengkungan yang kecil. Bentuk hormon yang kedua

mempunyai urutan asam amino yang sama seperti yang pertama, kecuali

hilangnya 15 asam amino (nomor 32-460 dari terminus asam molekul tersebut).

Bentuk ini mempunyai bobot molekul 20 kDa dan menempati sekitar 10-15% dari

hormon yang ada di hipofise. Bentuk yang ketiga dibentuk dari dimerisasi 2

bentuk peptida 22 kDa yang dihubungkan dengan ikatan disulfida antar rantai dan

mempunyai bobot molekul 45 kDa dan menempati 1% dari jumlah hormon

hipofise. Perbedaan struktur somatotropin ini menyebabkan perbedaan dalam

fungsi biologis. Somatotropin dengan berat molekul 20 kDa mempunyai ikatan

yang kurang efektif dibandingkan dengan bentuk 22 kDa terhadap reseptor hati,

(41)

Produksi dari somatotropin dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk di

dalamnya stress, olah raga, nutrisi, tidur, hipoglisemia, estradiol, arginin dan

somatotropin itu sendiri. Kontrol utama sekresi somatotropin adalah dua hormon

hipothalamus, yaitu growth hormone-releasing hormone (somatokrinin) dan

somatostatin. Selain itu hormon lambung (Ghrelin) juga ikut berperan dalam

pengaturan sekresi somatotropin (Gambar 1).

Gambar 1. Kontrol Sekresi Somatotropin

Sumber : (Cummings dan Merriam, 2003)

Growth hormone-releasing hormone (GHRH) berfungsi menstimulasi

sekresi dari somatotropin, sedangkan somatostatin menghambat pelepasan

somatotropin dari hipofise. Ghrelin merupakan hormon peptida yang disekresikan

dari lambung. Ghrelin mengikat reseptor somatotroph dan menstimulasi

pengeluaran somatotropin (Hartman, 2000). Sekresi somatotropin juga

dipengaruhi oleh umpan balik negatif yang menyertakan 1. Konsentrasi

IGF-1 yang tinggi dalam darah akan mengurangi produksi somatotropin dengan

merangsang produksi somatostatin. Somatotropin juga bersifat negatif feed back

terhadap GHRH dengan menghambat kerja dari sel-sel somatotroph dan sekresi

(42)

Reseptor dan kerja somatotropin

Reseptor somatotropin berada di permukaan sel. Pada prinsipnya, ikatan

antara somatotropin dengan reseptornya mengakibatkan aktivasi enzim seperti

fosforilasi yang dilakukan oleh enzim kinase dengan cara memindahkan atau

menambahkan gugus fosfat. Hal ini mengakibatkan reaksi intra sel sehingga

berpengaruh pada metabolisme dan fungsi sel (Granner, 2003).

Somatotropin beredar dalam aliran darah diikat oleh suatu growth hormon

binding protein (GHBP). Fungsi GHBP ini masih belum jelas tetapi ada yang

berpendapat bahwa GHBP ini meningkatkan waktu paruh somatotropin,

memodifikasi distribusinya, mengurangi efek biologis dari pulsatil sekresi

somatotropin dengan mengurangi somatotropin bebas selama pulsa sekretori.

Somatotropin bekerja di permukaan membran sel karena merupakan

molekul peptida dengan reseptornya yang disebut growth hormon reseptor

(GHR). Ada dua macam reseptor somatotropin yang berafinitas tinggi dan

rendah, namun yang berafinitas tinggi sangat penting karena dikaitkan dengan

pertumbuhan. Reseptor somatotropin berupa glikoprotein berantai tunggal yang

mempunyai 620 asam amino dengan domain ekstra seluler yang luas (246 residu)

asam amino, domain transmembran tunggal (24 residu) dan domain sitoplasmik

yang panjang (350 residu). Bagian ekstra seluler terdiri atas hormne binding side,

yaitu suatu daerah yang penting untuk dimerisasi reseptor (Sodhi dan Rajput,

2001).

Selain somatotropin, ada istilah somatomedin yang ditujukan untuk

mencerminkan kamampuan suatu unsur memperantarai pengaruh somatotropin.

Somatomedin terdiri atas beberapa subtipe, salah satunya adalah somatomedin C.

Istilah ini berganti dan didalilkan menjadi IGF-1 (insulin-like growth factor-1)

dan IGF-II (insulin-like growth factor-1I). Kedua unsur tersebut dimasukan ke

dalam golongan seperti insulin karena kemampuannya untuk merangsang

pengambilan glukosa ke dalam otot dan lemak. Di dalam serum sebagian besar

IGF adalah kompleks molekul berbobot 150 kDa yang mencakup IGFBP-3

(insulin-like growth factor binding protein-3) dan ALS (acid labile subunit)

(Yakar et al., 2002). Somatomedin C dan IGF-1 adalah dua penamaan untuk

(43)

somatomedin menjadi IGF menyusul purifikasi dua polipeptida yang sama untuk

somatomedin A dan C dengan non-suppressible insulin-like activity (NLISA) dan

aktivitasnya yang mempromosikan pertumbuhan dari serum manusia (Kamil et

al., 2001).

Aktivitas biologis IGF bergantung pada reseptor IGF yang spesifik yang

ada pada sel target. Reseptor tipe I merupakan suatu glikoprotein dengan bobot

molekul antara 300-350 kDa. Reseptor ini terdiri atas dua subunit ekstraselluler

dengan bobot molekul 130 kDa dan dua subunit B transmembran dengan bobot

molekul 95 kDa. Reseptor IGF ini baik dalam struktur atau fungsinya sejenis

dengan reseptor insulin. Kapasitas dan avinitas reseptor IGF-I berubah selama

perkembangan. Reseptor ini sudah tampak pada fetus dan tetap tinggi selama

pasca melahirkan dan kemudian menurun ketika menuju ke tingkat dewasa.

Reseptor tipe II berupa polipeptida berantai tunggal dengan bobot molekul 250

kDa, juga disebut reseptor manosa-6-fosfat. Tipe ini secara struktural tidak

berkaitan dengan reseptor IGF-I atau insulin (Hartman, 2000).

IGF-I berperan dalam pengaturan metabolisme, pertumbuhan, dan

diferensiasi sel mamalia. Sintesis dan konsentrasi IGF-I di dalam plasma sangat

dipengaruhi oleh somatotropin. IGF-I dalam darah sekitar 55 % diproduksi oleh

hati, sehingga hati dianggap sebagai tempat utama produksi IGF-I. Penyuntikan

somatotropin akan meningkatkan konsentrasi IGF-I di dalam darah (Vesteergaard

et al., 2003). Peningkatan level reseptor somatotropin berkaitan dengan

peningkatan konsentrasi IGF-I dalam plasma (Shen at al., 2002).

Somatotropin memiliki dua efek dasar, yang pertama adalah berkaitan

dengan proses produksi, dimana ia memiliki peranan sebagai penengah IGF-1

tetapi tidak bekerja sendiri, dan yang kedua adalah berperan pada ketersediaan

nutrisi dimana sebagai penengahnya adalah somatotropin itu sendiri. Sifat dan

kepentingan dari efeknya tergantung dari keadaan fisiologi dari hewan. Sebagai

contoh : penyuntikan somatotropin pada hewan yang sedang tumbuh dapat

meningkatkan jumlah protein otot sedangkan pada hewan yang sedang laktasi

menyebabkan kehilangan protein tubuh. Efek perlakuan somatotropin juga

berpengaruh pada status nutrisi dari hewan. Sebagai contoh : jika disuntikan pada

(44)

lipogenesis pada jaringan lemak (tidak meningkatkan lipolisis), tetapi jika

keseimbangan energinya negatif maka akan meningkatkan lipolisis (Boyd dan

Bauman, 1988).

Somatotropin memiliki fungsi yang penting terhadap metabolisme protein,

lipid, dan karbohidrat. Pada umumnya somatotropin menstimulasi anabolisme

protein di banyak jaringan. Efek ini mencerminkan bahwa terjadi peningkatan

pengikatan asam amino, peningkatan sintesis protein, pengurangan oksidasi

protein. Somatotropin meningkatkan pemanfaatan lemak dengan menstimulasi

penguraian trigliserida dan oksidasi dalam jaringan adiposa (Cummings dan

Merriam, 2003).

Pengaruh somatotropin terhadap kadar glukosa

Glukosa merupakan bentuk karbohidrat (monosakarida) yang terdapat

dalam makanan yang diserap dalam jumlah besar ke darah dan diubah menjadi

simpanan, yaitu glikogen di dalam hati dan otot rangka sebagai sumber energi

yang utama bagi jaringan tubuh hewan. Pada kondisi kelebihan glukosa, akan

dirombak menjadi glikogen, disimpan di otot rangka dan di hati. Pada kondisi

kekurangan glukosa, glikogen yang berada di hati akan dirombak menjadi glukosa

kembali.

Penguraian karbohidrat dalam proses pencernaan dimulai dari mulut

dengan enzim amilase yang menghidrolisis polisakarida menghasilkan

monosakarida dan disakarida (Tortora dan Anagnostakos, 1990). Bila proses

pencernaan dan penyerapan karbohidrat meningkat maka kadar glukosa dalam

darah akan meningkat, begitu juga dengan sintesis glikogen dari glukosa oleh hati.

Sebaliknya bila kadar glukosa turun, glikogen diuraikan menjadi glukosa untuk

dikatabolisme menjadi energi (Wirahadikusumah, 1985).

Makanan yang mengandung karbohidrat tinggi akan meningkatkan kadar

glukosa darah secara cepat. Menurut Champe dan Harvey (1994) bahwa salah

satu indikator klinis dari kurangnya asupan makanan sebagai sumber energi

adalah rendahnya kadar glukosa darah, dimana pada kondisi cukup asupan

(45)

digunakan untuk metabolisme. Guna menjaga keseimbangan metabolisme, maka

kadar glukosa normal harus dipertahankan (Williams, 1995).

Menurut Ganong (1995), faktor yang menentukan kadar glukosa darah

adalah keseimbangan antara jumlah glukosa yang masuk dan glukosa yang

meninggalkan aliran darah, ditentukan oleh masuknya diet, kecepatan masuk

dalam sel otot, jaringan lemak dan organ lain serta aktivitas sintesis glikogen dari

glukosa oleh hati. Masuknya glukosa ke dalam darah akan meningkatkan kadar

glukosa darah dan insulin disekresikan dari pankreas serta menurunnya sekresi

glukagon (Linder, 1992). Selanjutnya Guyton (1995) mengatakan somatotropin

yang diberikan pada hewan pertama kali akan meningkatkan ambilan glukosa oleh

sel dan konsentrasi glukosa darah sedikit menurun. Akan tetapi, bila sel menjadi

jenuh oleh glikogen dan penggunaan glukosa untuk energi berkurang, ambilan

glukosa menjadi sangat berkurang. Tanpa ambilan sel yang normal, konsentrasi

glukosa darah meningkat, kadang-kadang mencapai 50 % sampai 100 % di atas

normal.

Menurut Tortora dan Anagnostakos (1990) somatotropin mempengaruhi

metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein dengan cara memobilisasi

pemecahan asam lemak dan menstimulus glukoneogenesis. Penyuntikan

somatotropin umumnya melawan efek insulin sehingga terjadi peningkatan

produksi glukosa di hati melalui proses glukoneogenesis. Akibatnya pemberian

somatotropin dalam waktu yang panjang akan mengakibatkan penyakit diabetes

militus serta efeknya di hati akan meningkatkan jumlah glikogen (Ganong, 2002).

Selanjutnya Turner (1961) mengatakan bahwa pemberian somatotropin dalam

jangka waktu yang lama menyebabkan diabetes militus yang permanen dan terjadi

kerusakan dari sel ß pankreas yang mensekresikan insulin. Belum pernah

dilaporkan apakah pemberian insulin, secara langsung akan menstimulasi sel ß

pankreas untuk memproduksi insulin (efek pankretrophik) atau bekerja secara

tidak langsung pada sel ß pankreas dengan meningkatkan konsentrasi glukosa

darah melalui beberapa mekanisme ekstrapankreatik. Kelebihan glukosa darah

akan memaksa kerja yang berlebihan dari sel ß pankreas, menyebabkan

(46)

atropi. Kejadian ini dilihat pada tikus yang mendapatkan asupan karbohidrat yang

terlalu banyak kemudian disuntik dengan somatotropin.

Bovine somatotropin (bST)

Bovine somatotropin merupakan hormon polipeptida yang dihasilkan oleh

hipofise anterior pada hewan sapi. Hormon ini berukuran besar karena disusun

dari 191 asam amino. Pada tahun 1930 sampai awal tahun 1980, pengetahuan

tentang struktur kimia, aktivitas dan fungsi bST mengalami kemajuan. Walaupun

demikian sangat susah untuk mendapatkan bST murni dari hewan sapi (Crooker,

2007).

Pada tahun 1921, Evans dan Long menyuntikan larutan yang diekstrak

dari hipofise anterior sapi pada tikus normal dan pertumbuhan dari hewan tersebut

mengalami percepatan. Percobaan berikutnya dilakukan oleh Smit pada tahun

1927, dia memberikan hasil ekstrak hipofise anterior yang sama pada tikus yang

hpofisektomi. Tahun 1944, Li dan Evans melaporkan bahwa berat molekul

protein dari ekstrak bovine hipofise sebesar 44.250 dalam larutan dengan pH

6.64-7.00 dan titik isoelektrik dengan pH 6.85 memiliki kemampuan untuk mendorong

pertumbuhan pada tikus yang mengalami hipofisektomi. Pada tahun 1947,

pertama kali dilakukan pemurnian terhadap bovine somatotropin dan disuntikan

pada seorang gadis yang menderita kekerdilan dengan dosis 5 mg/KgBB tetapi

tidak memiliki efek pada keseimbangan nitrogen. Ini memberikan gambaran

bahwa hormon ini bersifat spesies spesifik, bovine somatotropin (bST) memiliki

struktur kimia yang berbeda dengan human somatotropin (hST) sehingga bST

tidak dapat dijadikan sebagai pemacu tumbuh pada manusia (Li, 1988).

Perkembangan teknologi rekombinan DNA memungkinkan produksi

bovine somatotropin (bST) dalam skala besar. Pada tahun 1980an, teknik biologis

baru yang dikenal dengan ”rekayasa genetik” telah dikembangkan. Teknik ini

memungkinkan isolasi gen somatotropin yang bertanggung jawab atas

pemrograman sel-sel somatotrof pituitari untuk menghasilkan somatotropin, dan

penyisipannya ke dalam gen bakteri. Bakteri yang membawa gen somatotropin

kemudian akan menghasilkan somatotropin yang biasanya hanya dihasilkan oleh

(47)

dalam bejana fermentasi dan dimurnikan dengan biaya yang relatif murah

(48)

MATERI DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dimulai pada bulan Mei sampai dengan bulan Desember

2006 di Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi Departemen Anatomi, Fisiologi,

dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Penelitian ini menggunakan tikus betina bunting (Rattus norvegicus) galur

Spraque-Dawley paritas kedua berumur ± 16 minggu. Bahan-bahan lain yang

digunakan adalah bST (bovine Somatotropin), corn oil (minyak jagung), eter, dan

NaCl fisiologis 0.9%.

Alat yang digunakan antara lain timbangan, timbangan analitik, syringe 1

ml, alat bedah, kalkulator, tabung reaksi, rak, sentrifuge, pipet, refrigerator,

spektrofotometer, dan alat-alat bantu lainnya yang digunakan sesuai kebutuhan.

Metode Penelitian

Persiapan tikus percobaan

Sebanyak 36 ekor tikus betina (Rattus norvegicus) dikawinkan dengan

tikus jantan. Untuk melihat terjadinya perkawinan dilakukan pemeriksaan ulas

vagina. Fertilisasi terjadi jika ditemukan spermatozoa di preparat ulas vagina.

Hari pertama kebuntingan dihitung sejak ditemukan spermatozoa di preparat ulas

vagina. Selanjutnya tikus-tikus tersebut dibagi dalam 3 kelompok percobaan

yaitu kelompok yang disuntik dengan bST (kelompok H), kelompok yang disuntik

minyak jagung (kelompok M), dan kelompok kontrol (K) yang tidak diberi

perlakuan. Selanjutnya tikus-tikus tersebut ditempatkan dalam kandang secara

individu. Tikus-tikus percobaan dipelihara dalam kandang tikus yang terbuat dari

bahan plastik dan disusun dalam rak-rak yang terbuat dari plat besi, setiap satu

kandang memiliki tempat pakan dan air minum. Pakan (pelet) dan minum

(49)

Perlakuan

Penyuntikan dilakukan pada hari ke-4 sampai hari ke-12 kebuntingan

dengan dosis bST 0 mg/KgBB/hari (kelompok M) dan bST 9 mg/KgBB/hari

(kelompok H) dan disuntik secara intramuskular (Azain et al., 1993) pada bagian

kaki belakang kiri dan kanan otot semitendinosus secara bergantian. Hari ke-13,

17 dan 21 kebuntingan, tikus dieutanasia dan dibedah untuk pengambilan darah,

cairam amnion, dan fetus.

Pengambilan darah

Darah diambil dari jantung dengan menggunakan syringe, kemudian

dimasukan ke dalam tabung reaksi. Untuk mendapatkan serum, darah dibiarkan

selama 2 jam pada suhu kamar, kemudian disentrifuge dengan kecepatan 2500

rpm selama 15 menit. Cairan bening yang berupa serum dikoleksi dan disimpan

dalam tabung eppendorf, dibekukan pada suhu -20oC untuk digunakan kemudian

dalam penentuan kadar glukosa darah.

Pengambilan cairan amnion

Setelah pengambilan darah melalui jantung, tikus dibedah dan diambil cairan

amnionnya dengan menggunakan syringe (alat suntik). Cairan ini dimasukan ke

dalam tabung eppendorf kemudian dibekukan pada suhu -20oC untuk digunakan

kemudian dalam penentuan kadar glukosa cairan amnion. Khusus untuk cairan

amnion pada umur kebuntingan 13 hari tidak diambil karena volumenya masih

terlalu sedikit.

Pengambilan dan penimbangan fetus

Setelah cairan amnion dipastikan optimal diambil, fetus diangkat dari

uterus dengan menggunakan gunting dan scalpel. Penimbangan bobot fetus

dilakukan pada umur 13, 17, dan 21 hari kebuntingan. Bobot fetus ditimbang

(50)

Pengukuran kadar glukosa darah dan cairan amnion

Analisis kadar glukosa dilakukan dengan menggunakan metode GOD-PAP,

sesuai petunjuk kerja KIT nomor katalog 112192 (Barham dan Trinder, 1972)

yang diukur dengan spektrofotometer. Sebanyak 10 μl serum darah atau cairan

amnion dimasukan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 1 ml (1000 μl)

reagen (pereaksi warna) dan dihomogenkan dengan menggunakan Vortex.

Campuran ini dibiarkan selama 10 menit dalam suhu kamar (20-25ºC), kemudian

absorbansinya dibaca dengan menggunakan spektrofotometer. Untuk pengukuran

ini, disiapkan juga larutan standar. Pembacaan absorbansi sampel dan standar

dilakukan pada panjang gelombang 500.5 nm.

Kadar glukosa darah diperoleh dengan membandingkan nilai absorbansi

sampel dengan absorbansi standar kemudian dikalikan 100 mg/dl :

As

Kg = x 100 mg/dl

Ast

Keterangan :

Kg : kadar glukosa darah/cairan amnion (mg/dl)

As : absorbansi sampel

Ast : absorbansi standar

Analisis statistik

Data yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan metode statistik

ANOVA (analisa sidik ragam) dengan pola Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan

dilanjutkan dengan uji perbandingan DUNCAN.

Parameter yang diamati

Kadar glukosa darah dan glukosa cairan amnion induk serta bobot fetus

Gambar

Tabel 3.  Data perkembangan dan Pertumbuhan Tikus pada Masa
Tabel 4.  Data Diferensiasi dan Organogenesis Tikus
Gambar 1. Kontrol Sekresi Somatotropin
Tabel 5.  Rataan Kadar Glukosa Darah dan Bobot Fetus pada  Hari ke-13.  ParameterPerlakuan
+2

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian pengembangan pendekatan dalam model pembelajaran apresiasi seni berbasis sikap estetik (pengalaman afektif) pada seni tradisi tari topeng Malang ini

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kedisiplinan melalui pemberian reward pada anak kelompok A di TK Bakti IV, nilai ketuntasan pada prasiklus 55 yang tuntas 4 anak

Kesiapsiagaan Masyarakat Dalam Menghadapi Bencana Banjir di Kelurahan Sumber Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta dikatakan belum siap, berdasarkan persentase jawaban

Manajemen Berbasis Sekolah ( School-Based Management ) merupakan sistem pengelolaan persekolahan yang memberikan kewenangan dan kekuasaan ( authority and responsibility )

Pekerj aan : Pembangunan Jalan Pert anian Desa Sit io II. Lokasi : Kecamat an Lint

Seorang atau lebih Pemegang Obligasi yang mewakili paling sedikit lebih dari 20% (dua puluh persen) dari jumlah Pokok Obligasi yang masih terutang (termasuk di

Adapun perangkat teori yang relevan untuk dijadikan landasan dalam penelitian ini adalah teori-teori tentang ikhtiar-ikhtiar yang yang dilakukan oleh Perbankan Syariah, yang

Gambar 4.20 adalah pengaruh dari kenaikan frekuensi dan pengaruh jumlah piezoeletric, trendline yang dihasilkan cukup meningkat, pada jumlah piezoelectric sebanyak 10