• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Metode Kultur Embryonic Stem Cells dari Embrio Hasil Fertilisasi dan Produksinya dari Embrio Partenogenetik Mencit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan Metode Kultur Embryonic Stem Cells dari Embrio Hasil Fertilisasi dan Produksinya dari Embrio Partenogenetik Mencit"

Copied!
143
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN METODE KULTUR

EMBRYONIC

STEM CELLS

DARI EMBRIO HASIL FERTILISASI

DAN PRODUKSINYA DARI EMBRIO

PARTENOGENETIK MENCIT

THOMAS MATA HINE

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi ‘Pengembangan Metode

Kultur Embryonic Stem Cells dari Embrio Hasil Fertilisasi dan Produksinya dari Embrio Partenogenetik Mencit’ adalah karya saya dengan arahan dari komisi

pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi

manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan

maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2009

Thomas Mata Hine

(3)

THOMAS MATA HINE. Development Cultured Methods of Fertilized Embryo Derived-Stem Cells and their Production from Mouse Parthenogenetic Embryos. Under Direction of ARIEF BOEDIONO, IMAN SUPRIATNA, and DONDIN SAJUTHI.

The ability of embryonic stem cells (ESC) to contribute become all cell type of the body draw enthusiasm a lot of researcher to investigate and exploit ESC for various importance. One of the benefits of ESC is for treatment of various degenerative diseases resulted from cell damage or aging at certain tissues or organs of the body. In addition, ESC also applicable for pre-clinical trials new drugs before used for medical treatment for animal and human being. The efficiency of ESC deriving is influenced by some factors that are: stadia of the embryos, culture system, type of feeder layer, and passage method. In this research, we test the growth potential of ESC yielded by embryo at cleavage, morula, and blastocyst stage; culture of ESC from inner cell mass (ICM) of blastocyst isolated by enzymatic or immunosurgery methods at cumulus feeder layer (CFL) or cumulus conditioned medium in combination with leukemia inhibitory factor (LIF), passage of ESC with mechanical or enzymatic method, and furthermore induce of ESC to be differentiated. In addition, we produced parthenogenetic ESC in effort to minimize the ethical and immunogenicity problems resulted from fertilized embryos. Result of the research indicated that embryos at the morula stage can produce ESC, with attachment rate and number of primary ESC colony were lower than blastocyst, but doubling time and outgrowth were higher than the blastocyst, while embryos at the cleavage stage were unable to produce ESC. In the second experiment, isolation of ICM of blastocyst by enzymatic method were able to produce ESC wich was similar with immunosurgery, and was higher than produced by intact blastocyst. At the third experiment, effectiveness of CFL comparable with MEF feeder layer, and the LIF at concentration 10 ng/ml at CFL or 20 ng/ml at CCM were able to improve efficiency of ESC deriving, and the mechanical method for ESC colony passage showed the better results than enzymatic method. In addition, ESC colony culture in CFL or CCM was able to differentiate become cardiomyocyte-like cells and neuron-like cells. In the latest experiment, mouse parthenogenetic embryos could produced ESC with growth potential was lower than derive from fertilized embryos.

(4)

THOMAS MATA HINE. Pengembangan Metode Kultur Embryonic Stem Cells

dari Embrio Hasil Fertilisasi dan Produksinya dari Embrio Partenogenetik Mencit. Dimbimbing oleh ARIEF BOEDIONO, IMAN SUPRIATNA, dan DONDIN SAJUTHI.

Embryonic stem cells (ESC) adalah sel-sel yang dihasilkan dari kultur sel embrio pra-implantasi, yang memiliki kemampuan untuk berkembang menjadi semua tipe sel yang menyusun jaringan tubuh suatu organisme seperti sel syaraf, sel pankreas, sel ginjal, sel hati, sel darah, sel tulang, dan sebagainya. Dengan kemampuan seperti ini, ESC dapat digunakan untuk terapi berbagai penyakit degeneratif atau penyakit lainnya yang diakibatkan oleh adanya kerusakan atau penuaan sel pada suatu jaringan atau organ tubuh tertentu. Selain itu, ESC juga dapat digunakan untuk pengujian obat baru sebelum digunakan untuk pengobatan pada hewan dan manusia.

Ada beberapa masalah yang timbul dalam produksi ESC: 1) umumnya ESC diproduksi dari inner cell mass (ICM) blastosis yang memiliki potensi diferensiasi yang lebih terbatas dibandingkan dengan embrio pada stadium

cleavage dan morula. 2) ESC selama ini diproduksi dari kultur blastosis utuh atau kultur ICM hasil isolasi dengan metode immunosurgery. Kultur blastosis utuh menghasilkan tingkat pertumbuhan koloni ESC yang rendah sedangkan metode immunosurgery memiliki harga bahan yang mahal, 3) mouse embryonic fibroblast (MEF) feeder layer yang umumnya digunakan untuk kultur ESC sangat sensitif terhadap kontaminasi dengan bakteri atau jamur, dan metode produksinya relatif rumit, 4) ESC yang diproduksi dari embrio hasil fertilisasi memiliki tingkat imunogenitas yang tinggi dan berdampak pada tingginya resiko penolakan oleh jaringan pasien pada saat terapi, dan menimbulkan masalah etika karena diproduksi dari embrio yang berpotensi untuk menghasilkan individu baru. Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut maka dalam penelitian ini, ESC diproduksi dari embrio yang berada pada stadium cleavage dan morula, isolasi ICM dengan metode enzimatik, kultur ESC pada feeder layer kumulus (CFL) atau conditioned medium

cumulus (CCM), dan produksi ESC dari embrio partenogenetik.

Tujuan penelitian ini adalah: 1) mengukur kemampuan tumbuh ESC yang dihasilkan oleh embrio pada stadium cleavage, morula dan blastosis, 2) mengembangkan metode isolasi ICM blastosis yang lebih murah dan sederhana untuk produksi ESC, 3) menemukan feeder layer dan conditioned medium alternatif untuk kultur ESC, 4) mengetahui profil pertumbuhan ESC partenogenetik.

Kegiatan penelitian diawali dengan produksi sel kumulus dari mencit DDY betina, pembuatan CFL, CCM, identifikasi protein pada CCM dengan

(5)

induksi diferensiasi ESC dengan melakukan perpanjangan masa kultur dalam ESC medium yang tidak disuplementasi dengan LIF.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa embrio stadium morula dapat menghasilkan ESC, dengan attachment rate dan tingkat pembentukan koloni primer yang lebih rendah, tetapi doubling time dan outgrowth yang lebih tinggi daripada blastosis; sedangkan embrio stadium cleavage tidak mampu menghasilkan ESC. Pada tahap kedua, isolasi ICM blastosis dengan metode enzimatik mampu menghasilkan \produksi ESC yang setara dengan

immunosurgery, dan lebih tinggi dari yang dihasilkan kultur blastosis utuh. Tahap ketiga, efektivitas sel kumulus sebagai feeder layer pada kultur ESC mencit sebanding dengan mouse embryonic fibroblast (MEF) feeder layer, dan peningkatan konsentrasi LIF hingga 10 ng/ml pada CFL atau 20 ng/ml pada CCM mampu meningkatkan keberhasilan kultur ESC. Passage terhadap koloni ESC yang terbentuk paling baik dilakukan dengan metode mekanis. Selain itu, ESC hasil kultur pada CFL atau CCM berdiferensiasi menjadi

cardiomyocyte-like cells dan neuron-like cells. Tahap keempat, embrio partenogenetik mencit dapat menghasilkan ESC dengan kemampuan tumbuh yang lebih rendah dari yang dihasilkan embrio hasil fertilisasi.

Kata Kunci: metode kultur, fertilisasi, partenogenetik, embrio mencit,

(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

DAN PRODUKSINYA DARI EMBRIO

PARTENOGENETIK MENCIT

THOMAS MATA HINE

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Biologi Reproduksi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup

: 1. Dr. drh. Ita Djuwita, M.Phil

2. drh. Bambang P. Priosoeryanto, MS, Ph.D

Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka

: 1. dr. Triono Soendoro, Ph.D

(9)

Embrio Partenogenetik Mencit

Nama : Thomas Mata Hine

NIM : B061040021

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. drh. Arief Boediono, Ph.D

Ketua

Prof. Dr. drh. Iman Supriatna

Anggota

Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST, Ph.D

Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Biologi Reproduksi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. drh. Iman Supriatna Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

(10)

Limpahan syukur penulis panjatkan ke Hadirat Allah Yang Maha

Pengasih dan Penyayang, yang di dalam Kristus Yesus, Tuhan dan Juruselamat

umat manusia telah menyatakan kasihNya melalui penyertaan dan

pemeliharaanNya selama penulis menyelesaikan studi Doktoral di Institut

Pertanian Bogor. Tema penelitian ini adalah embryonic stem cells, yang dilaksanakan dalam kurun waktu lebih kurang 4 tahun, sejak Agustus 2005

hingga Juli 2009.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Prof.

`drh. Arief Boediono, Ph.D selaku ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. drh. Iman

Supriatna dan Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST, Ph.D, selaku anggota komisi

pembimbing yang dengan penuh ketulusan memberi arahan dan masukan

selama pelaksanaan penelitian hingga penulisan disertasi. Penulis juga

menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. drh. Mozes R. Toelihere, M.Sc

(Alm.) yang walaupun proses pembimbingan tidak berlanjut namun segala

arahan yang pernah disampaikan sangat berarti bagi penulis didalam berkarya di

masa mendatang. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. drh. Ita

Djuwita, M.Phil dan drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS, Ph.D selaku

penguji luar komisi pada Ujian Tertutup, dr. Triono Soendoro, Ph.D dan Dr. drh.

M. Agus Setiadi, selaku penguji luar komisi pada Ujian Terbuka, atas segala

masukan yang sangat bermanfaat untuk menyempurnakan tulisan ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Rektor, Dekan sekolah

Pascasarjana, Dekan Fakultas Kedokteran Hewan, Ketua Departemen KRP,

Ketua Program Studi, staf pengajar dan staf administrasi Biologi Reproduksi,

serta seluruh staf Pascasarjana IPB yang telah menerima penulis untuk

melanjutkan studi di IPB serta membantu kelancaran proses penyelesaian studi

penulis. Ucapan yang sama juga disampaikan kepada Rektor dan Dekan

Fakultas Perternakan Universitas Nusa Cendana yang telah memberikan ijin

studi, dan Pemda Propinsi NTT, Dirjen Dikti, dan PT Kalbe Farma, Tbk. atas

dukungan finansial dalam rangka penyelesaian studi penulis.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Drh. Ita Djuwita, M. Phil,

sebagai Kepala Laboratorium Embriologi dan Kepala Laboratorium PSSP yang

telah memberi ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian dan menggunakan

(11)

Arifiantini, atas dukungan dan bantuan dalam bentuk informasi ilmiah yang

diterima penulis selama studi di Bogor. Kepada rekan-rekan senior, Dr. Ir.

Wilmientje Marlene Nalley, MS, Dr. Ir. Henny Belli, MS, dan Dr. Ir. Maritje

Hilakore, M.Si, atas segala dukungan dan bantuannya.

Kepada rekan-rekan saya, Bayu Rosadi, S.Pt, M.Si, Enny T. Setiatin,

Raden Harry Murti S.Si, Riris Lindiawati Puspitasari, S.Si, M.Si, Dini Budiharko,

S.Si, Dwi Agustina, S.Si, Nuril Farizah, S.Pi, M.Si, Sigit prastowo, S.Pt, M.Si, Ir.

Satya Gunawan, MP, Dra. Ekayanti, M.Si, Tatan Kastaman, S.Si, MP, Dr. drh. I

Wayan Batan, MS, dan Irma Andriani, S.Pi, M.Si, serta semua rekan-rekan

mahasiswa Biologi reproduksi atas hubungan baik dan kerjasamanya selama

studi.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua rekan-rekan asal

NTT, Ir. Yohanes U.L. Sobang, M.Si, Ir. Maria Kondi, MP, Ir. Dodi Dharma

Kusuma dan Ibu, Ir. Kirenius Uly, MP, atas dukungan yang diberikan selama ini.

Kepada Wili Praira S.Si, Mas Wahyu dan Ibu Yani atas segala kebaikan dan

bantuannya selama penulis melakukan penelitian di Lab Embriologi dan

Laboratorium PSSP.

Akhirnya, karya ini dipersembahkan kepada isteri saya Erni Julita, dan

anak-anak saya Eirens Josua, Angel, Kerin Jeanita, dan Kezia Evangeline, yang

dengan penuh pengertian mendukung penulis melalui doa dan pengorbanan

yang begitu besar. Terima kasih juga disampaikan kepada kedua orangtua saya

(almarhum) yang telah membesarkan dan mendidik saya hingga berhasil,

kepada kedua mertua, kakak, adik, dan saudara-saudara atas dukungan moril

yang diberikan.

Bogor, Agustus 2009

(12)

Penulis dilahirkan di salah satu pulau kecil yang berada di bagian

terselatan Indonesia, Pulau Sawu, pada tanggal 5 Mei tahun 1966, dari kedua

orang tua Mira Kale dan Tamar Diana Lobo. Pendidikan Dasar dan Menengah

Pertama ditempuh di Pulau sawu, dan selanjutnya meneruskan pendidikan

Tingkat Menengah Atas di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Pendidikan sarjana

diselesaikan pada tahun 1991, pada Fakultas Peternakan, Universitas Nusa

Cendana dan pada tahun 1992, penulis diterima sebagai staf pengajar pada

Fakultas yang sama. Tahun 1994 penulis melanjutkan pendidikan magister di

Program Studi Biologi Reproduksi Program Pascasarjana Institut Pertanian

Bogor, dan selesai pada awal tahun 1997. Pendidikan doktoral penulis jalani

sejak tahun 2004 hingga saat ini.

Beberapa karya yang dipublikasikan melalui jurnal atau seminar ilmiah

selama pendidikan di Bogor adalah:

1. Matahine T, Supriatna I, Sajuthi D, Boediono A.2008. Produksi embryonic stem cells dari inner cell mass blastosis yang diisolasi dengan metode enzimatik dan immunosurgery. Jurnal Veteriner 9:13-19

2. Matahine T, Boediono A, Supriatna I, Sajuthi D. 2008. Metode isolasi inner cells mass pada produksi embryonic stem cells. Seminar Nasional Persatuan Ahli Anatomi Indonesia (PAAI). Jakarta, 20-21 Juni 2008. pp 90 (abstr).

3. Matahine T, Supriatna I, Sajuthi D, Boediono A.2007. Produksi embryonic stem cells dari blastosis mencit pada stadium yang berbeda. Seminar Nasional XIII PERSADA, 9 Agustus 2007, Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Bogor.

4. Matahine T, Boediono A. 2006. Peluang dan tantangan penggunaan stem cells untuk terapi regeneratif. Jurnal Medis Veteriner Indonesia 10(1):31-38. 5. Matahine T. 2005. Kemajuan kriopreservasi dan pendekatan seluler pada

embrio hewan domestik. Jurnal IMPASJA 1 :70-86.

(13)

xii

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

DAFTAR SINGKATAN ... xvii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Kerangka Pemikiran ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

Manfaat Penelitian ... 4

Hipotesis ... 4

Daftar Pustaka ... 4

TINJAUAN PUSTAKA ... 8

Perkembangan Embrionik Praimplantasi pada Mencit ... 8

Embrio Partenogenetik ... 9

Embryonic Stem Cells ... 12

Isolasi Inner Cell Mass ... 16

Feeder Layer ... 17

Sel Kumulus ... 18

Daftar Pustaka ... 19

KEMAMPUAN TUMBUH STEM CELLS MENCIT YANG DIPRODUKSI DARI EMBRIO STADIUM CLEAVAGE, MORULA, DAN BLASTOSIS... 26 Abstrak ... 26

Abstract ... 26

Pendahuluan ... 27

Metode Penelitian ... 27

Hasil dan Pembahasan 29 Kesimpulan ... 36

(14)

xiii

PRODUKSI EMBRYONIC STEM CELLS DARI INNER CELL MASS

BLASTOSIS YANG DIISOLASI DENGAN METODE ENZIMATIK ... 40

Abstrak ... 40

Abstract ... 40

Pendahuluan ... 41

Metode Penelitian ... 42

Hasil dan Pembahasan 43 Kesimpulan ... 48

Daftar Pusataka ... 48

EFEKTIVITAS FEEDER LAYER DAN CONDITIONED MEDIUM KUMULUS DALAM MENUNJANG PROLIFERASI DAN PLURIPOTENSI EMBRYONIC STEM CELLS ...... 51

Abstrak ... 51

Abstract ... 51

Pendahuluan ... 52

Metode Penelitian ... 53

Hasil dan Pembahasan 58 Kesimpulan ... 76

Daftar Pusataka ... 77

PRODUKSI EMBRYONIC STEM CELLS DARI EMBRIO PARTENOGENETIK ... 83

Abstrak ... 83

Abstract ... 83

Pendahuluan ... 84

Metode Penelitian ... 85

Hasil dan Pembahasan 86 Kesimpulan ... 98

Daftar Pusataka ... 98

PEMBAHASAN UMUM ... 103

KESIMPULAN DAN SARAN UMUM ... 110

DAFTAR PUSTAKA ... 111

(15)

xiv

Halaman

1. Profil perkembangan embryonic stem cells yang dihasilkan dari

embrio pada stadium berbeda ... 29

2. Profil perkembangan embryonic stem cell pasca isolasi ICM dengan

metode berbeda... 46

3. Proliferasi dan Pluripotensi ESC yang dikultur pada CFL dan MEF ... 60

4. Proliferasi dan pluripotensi ESC yang dikultur pada CFL dan CCM

dengan konsentrasi LIF berbeda... 65

5. Pengaruh metode passage terhadap proliferasi dan pluripotensi ESC.. 72 6. Induksi diferensiasi spontan pada ESC yang dikultur pada CFL dan

CCM ... 75

7. Tingkat aktivasi, diploidisasi, dan potensi perkembangan embrio

partenogenetik pasca aktivasi dengan strontium chloride dan etanol .. 88

8. Tingkat perkembangan embrio partenogenetik yang dikultur pada

KSOM dan CZB ... 92

(16)

xv

Halaman

1. . Embrio stadium cleavage, morula, blastosis dan blastosis ekspan... 30

2. Perkembangan ESC yang dihasilkan oleh morula dan blastosis ... 32

3. Blastosis pada berbagai stadium yang dikoleksi pada hari keempat kebuntingan ... 44 4. Proses isolasi ICM dengan metode immunosurgery dan enzimatik .... 45

5. Proses isolasi ICM untuk kultur pada CFL dan CCM... 58

6. CFL dan MEF feeder layer yang digunakan untuk kultur ESC ... 59

7. Perkembangan ESC dalam kultur ... 59

8. Koloni embryonic stem cells yang positif terhadap pewarnaan alkaline phosphatase ... 61 9. SDS-PAGE pada conditoned medium kumulus... 67

10. Pasase ESC dengan metode mekanis ... 70

11. ESC line yang terbentuk setelah pasasekelima ... 71

12. Embryoid body ... 74

13. Cardiomyocyte-like cells yang berasal dari ESC dan sel jantung dewasa ... 74 14. Neuron-like cell yang dihasilkan dari ESC ... 74

15. Perkembangan oosit sebelum dan setelah aktivasi partenogenesis ... 87

16. Perkembangan embrio partenogenetik dalam kultur in vitro ... 93 17. Pewarnaan Hoechst-Propidium Iodide pada embrio partenogenetik

sebelum dan setelah immunosurgery ...

94

18. Inner cell mass yang dihasilkan dari blastosis hasil fertilisasi dan partenogenetik ...

95

19. Koloni ESC partenogenetik dan ESC dari embrio fertilisasi sebelum dan setelah pewarnaan alkaline phosphatase ...

(17)

xvi

Halaman

1. . Medium Kultur Embryonic Stem Cells ... 114

2. Medium Kultur Feeder Layer ... 116

3. Medium Immunosurgery ... 117

4. Medium Inaktivasi Feeder Layer ... 118

5. Alkaline Phosphatase Staining ... 119

6. Chatot, Ziomex, Bavister Medium ... 121

7. Pembuatan Medium Kultur, Aktivasi, dan Diploidisasi Embrio Partenogenetik ... 122 8. Potassium Simplex Optimization Medium ... 123

(18)

xvii

6-DMAP : 6-dimethylaminopurine

ActRIB, ALK4 : reseptor activin tipe I

ActRII : reseptor activin tipe II

ALK : activin receptor-like kinase

ALP : alkaline phosphatase

ANOVA : analysis of variance

APC : adeomatosis polyposis coli

AR : tingkat perlekatan

BMP : bone morphogenic protein

CCM : conditioned medium kumulus

CFL : feeder layer kumulus

CKI : casein kinase I

CM conditioned medium

CSF cytostatic factor

CZB : chatot, Ziomex, and Bavister

DG diacylglycerol

DMEM : dulbecco’s modified eagle’s medium

Dsh : dishevelled

DT : doubling time

Ebs : embryoid bodies

EDTA : ethylene diamine tetraacetic acid

EGF epidermal growth factor

ERK : extracellular signal-regulated kinase

ESC : embryonic stem cells

FBS : fetal bovine serum

FGF fibroblast growth factor

GDF : growth differentiation factor

GR : tingkat pertumbuhan koloni

GSK3 glycogen synthase kinase-3

hCG : human chorionic gonadotropin

ICM : inner cell mass

IGF insulin-like growth factor

(19)

xviii

LEF : lymphoid enhancer factor

LIF leukemia inhibitoryfactor

MEF : mouse embryonic fibroblast

MHC : major histocompatibility complex

mPBS modified phosphate buffered saline

MPF M-phase promoting factor

NEAA : nonessential amino acid

Oct-4 : octamer-binding transcription factor-4

PC : tingkat pembentukan koloni primer

PDK-1 : phosphor-inositide-dependent kinase-1

PI3K : phospho-inositide 3-kinase

PIP2 : phosphatidylinositol 3,4,-bisphosphate

PIP3 : phosphatidylinositol 3,4,5-triphosphate

PKC protein kinase C

PLC phospholipase C

PMSG : pregnant mare’s serum gonadotropin

RAL : rancangan acak lengkap

REF : rat embryonic fibroblast

SDS-PAGE : sodium dedocyl sulfate-polyacrylamide gel

electrophoresis

SMAD : Sma and MAD (mothers agains decapentaplegic)

related protein

SSEA-1 : stage specific embryonic antigen 1

STAT : signal transducer dan activator of transcription

TCF : T cell factor

TGF- : transforming growth factor

(20)

Latar Belakang

Embryonic stem cells (ESC) adalah sel-sel yang dihasilkan dari kultur sel embrio pra-implantasi, yang memiliki kemampuan untuk berkembang menjadi

semua tipe sel yang menyusun jaringan tubuh suatu organisme (Lin 2008).

Beberapa penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa ESC dapat

diarahkan menjadi sel syaraf (Ban et al. 2007, Gossrau et al. 2007, Elkabetz et al. 2008, Erceg et al. 2009), sel pankreas (Roche et al. 2005), sel jantung (Guo

et al. 2006, Hong et al. 2007), sel ginjal (Kim & Dressler 2005), sel hati (Agarwal

et al. 2008, Snykers et al. 2009), sel darah (Rajesh et al. 2007, Ma et al. 2008), sel tulang (Karp et al. 2006, Duplomb et al. 2007) dan sebagainya.

Beberapa tahun terakhir banyak penelitian telah difokuskan pada

penggunaan ESC untuk terapi penyakit degeneratif (Dang et al. 2004). Kepentingan medis dan ilmiah dari ESC didasarkan pada keinginan untuk

menemukan sumber sel baru sebagai upaya memperbaharui jaringan atau organ

yang rusak (Doss et al. 2004). Beberapa penyakit yang telah terbukti dapat disembuhkan dengan terapi ESC pada mencit dan hewan laboratorium lainnya

diantaranya adalah penyakit Parkinson (Nishimura et al. 2003, Rodriguez-Gomez

et al. 2007, Yang et al. 2008), lever (Sukhikh & Shtil 2003, Brezillon et al. 2008), diabetes (Soria et al. 2000, Sameer et al. 2006), spinal cord injury (McDonald et al. 1999), jantung (Behfar et al. 2007), dan Alzheimer (Doss et al. 2004, Feng et al. 2009). Selain itu, ESC juga dapat digunakan untuk uji berbagai obat baru sebelum digunakan untuk menyembuhkan penyakit pada hewan dan manusia

(Yu & Thomson 2006).

Kerangka Pemikiran

Sejumlah faktor diperkirakan berpengaruh terhadap keberhasilan kultur

ESC. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah stadium perkembangan embrio

yang digunakan untuk menghasilkan ESC, sistem kultur, jenis feeder layer (Park

et al. 2004), dan metode perbanyakan ESC. Umumnya ESC diproduksi dari inner cell mass (ICM) blastosis (Rossant 2001, Cowan et al. 2004, Stojkovic et al.

(21)

stadium pra-blastosis dengan tingkat keberhasilan yang bervariasi (Delhaise et al. 1996, Tesar 2005). Bagaimanapun informasi tentang kemampuan tumbuh ESC yang dihasilkan embrio pra-blastosis khususnya yang berada pada stadium

cleavage dan morula masih sangat terbatas.

Faktor kedua adalah sistem kultur ESC yang digunakan. Hasil

eksperimen sebelumnya menunjukkan bahwa kultur blastosis utuh menghasilkan

ESC dengan tingkat pertumbuhan koloni dan doubling time yang lebih buruk daripada yang dihasilkan embrio stadium morula. Keberadaan sel trofoblas

dalam kultur ESC diduga sebagai penyebab utama hal tersebut (Li et al. 2003). Dalam rangka mengatasi masalah tersebut, beberapa peneliti sebelumnya

melakukan isolasi atau pemisahan ICM dari sel-sel trofoblas dengan metode

immunosurgery (Cowan et al. 2004). Walaupun demikian, antiserum dan

complement yang digunakan pada metode tersebut memiliki harga yang mahal dan proses isolasi lebih lama. Selain itu, penggunaan antiserum dalam proses

isolasi immunosurgery tidak selalu efektif untuk melisiskan trofoblas. Dalam penelitian ini, digunakan tripsin untuk isolasi ICM. Metode ini baru dilaporkan

penggunaannya untuk isolasi ICM babi (Li et al. 2003) dan belum pernah dilaporkan pada spesies lainnya termasuk pada mencit. Metode ini selain

memiliki harga bahan yang relatif murah, proses isolasi juga berlangsung dalam

jangka waktu yang relatif pendek.

Faktor ketiga adalah jenis sel yang digunakan sebagai feeder layer pada kultur ESC. Feeder layer yang umum digunakan adalah mouse embryonic fibroblast (MEF) (Thomson et al. 1998, Reubinoff et al. 2000). Penggunaan MEF untuk kultur ESC memiliki kelemahan yaitu metode produksinya relatif rumit dan

sangat sensitif terhadap kontaminasi dengan bakteri atau jamur terutama selama

proses awal pembuatan feeder layer. Selain itu, penggunaan MEF pada kultur ESC manusia menimbulkan masalah etika karena terjadinya pencampuran sel

hewan dengan manusia. Dalam penelitian ini, telah digunakan sel kumulus

sebagai feeder layer untuk kultur ESC mencit. Sel kumulus adalah sel yang menyertai oosit pada saat ovulasi dan berperan dalam menunjang

perkembangan dan pematangan oosit (Eppig et al. 2005). Feeder layer kumulus (cumulus feeder layer, CFL) telah terbukti dapat menunjang perkembangan embrio praimplantasi (Malekshah & Moghaddam 2005). Selain itu, sel kumulus

(22)

dayaguna sel kumulus maka dalam penelitian ini juga dilakukan produksi

conditioned medium kumulus (cumulus conditioned medium, CCM), yakni cairan (supernatan) yang dikoleksi dari kultur CFL setelah inkubasi selama periode

waktu tertentu. Kelebihan penggunaan CCM adalah tidak terjadi percampuran

antara ESC dengan feeder layer sehingga tingkat kemurnian ESC dapat dipertahankan.

Masalah lain yang timbul dalam produksi dan pemanfaatan ESC adalah

masalah etika, dan penolakan oleh jaringan pasien pada saat transplantasi.

Embryonic stem cells yang umumnya dihasilkan dari embrio hasil fertilisasi oosit dengan sperma, memiliki tingkat imunogenitas yang tinggi dan berdampak pada

tingginya resiko penolakan oleh jaringan atau organ pasien pada saat terapi.

Selain itu, penggunaan embrio hasil fertilisasi sebagai sumber ESC menimbulkan

masalah etika (khususnya pada manusia) karena dihasilkan dari embrio yang

berpotensi menjadi individu baru (de Wert & Mummery 2003).

Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, maka dalam penelitian ini,

ESC diproduksi dari embrio partenogenetik, yang merupakan hasil aktivasi oosit

dengan bahan kimia tertentu (Boediono et al. 1995, Ito et al. 2003), dan tidak melibatkan sperma dalam proses aktivasi. Dampak dari proses aktivasi tersebut

adalah embrio yang dihasilkan hanya memiliki kemampuan tumbuh hingga awal

atau pertengahan kebuntingan dan pada mamalia belum pernah terjadi kelahiran

secara alamiah. Dengan demikian, penggunaan embrio partenogenetik sebagai

sumber ESC akan meminimalisir atau menghilangkan masalah etika yang

ditimbulkan oleh embrio hasil fertilisasi. Selain itu, ESC yang dihasilkan oleh

embrio partenogenetik hanya mengandung satu set major histocompatibility complex (MHC) sehingga memiliki tingkat imunogenitas yang rendah (Lin et al.

2003). Penelitian tentang ESC partenogenetik masih relatif sedikit dan hasilnya

(23)

Tujuan Penelitian

1. Mengukur kemampuan tumbuh ESC yang dihasilkan oleh embrio pada

stadium cleavage, morula dan blastosis.

2. Mengembangkan metode isolasi ICM blastosis yang lebih murah dan

sederhana untuk produksi ESC.

3. Menemukan feeder layer dan conditioned medium alternatif untuk kultur ESC 4. Mengetahui profil pertumbuhan ESC partenogenetik

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan

metode kultur ESC yang lebih efisien dan sebagai alternatif produksi ESC dari

embrio partenogenetik.

Hipotesis

1. Kemampuan tumbuh ESC yang dihasilkan embrio stadium cleavage dan morula lebih baik dari blastosis.

2. Metode isolasi enzimatik dapat dijadikan sebagai metode untuk pemisahan

ICM untuk produksi ESC.

3. Sel kumulus dapat digunakan sebagai feeder layer dan penghasil

conditioned medium untuk kultur ESC.

4. Profil pertumbuhan ESC yang dihasilkan embrio partenogenetik tidak

berbeda dengan yang dihasilkan embrio hasil fertilisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Agarwal S, Holton KL, Lanza R. 2008. Efficient differentiation of functional hepatocytes from human embryonic stem cells. Stem Cells 26:1117-1127. Ban J et al. 2007. Embryonic stem cell-derived neurons form functional networks

in vitro. Stem Cells 25:738 –749.

Behfar A et al. 2007. Cardiopoietic programming of embryonic stem cells for tumor-free heart repair. J Exp Med 204:405-420.

Brezillon N, Kremsdorf D, Weiss MC. 2008. Cell therapy for the diseased liver: from stem cell biology to novel models for hepatotropic human pathogens.

(24)

Boediono A, Saha S, Sumantri C, Suzuki T.1995. Development in vitro and in vivo of aggregated parthenogenetic bovine embryos. Reprod Fertil Dev

7:1073-1079.

Cowan A et al. 2004. Derivation of embryonic stem-cell lines from human blastocysts. N Engl J Med 350:1353-1356.

Dang SM, Gerecht-Nir S, Chen J, Itskovitz-Eldor J, Zandstra PW. 2004. Controlled, scalable embryonic stem cell differentiation culture. Stem Cells 22:275-282

Delhaise F, Bralion V, Schuurbiers N, Dessy F. 1996. Establishment of an embryonic stem cell line from 8-cell stage mouse embryos. Eur J Morph

34:237 (Abstr)

de Wert G, Mummery C. 2003. Human embryonic stem cells: research, ethics and policy. Hum Reprod 18:672-682.

Doss MX, Koehler CI, Gissel C, Hescheler J, Sachinidis A. 2004. Embryonic stem cells: a promising tool for cell replacement therapy. J Cell Mol Med 8: 465-473.

Duplomb L, Dagouassat M, Jourdon P, Heymann D. 2007. Concise review: embryonic stem cells: a new tool to study osteoblast and osteoclast differentiation. Stem Cells 25:544-552.

Elkabetz Y et al. 2008. Human ES cell-derived neural rosettes reveal a functionally distinct early neural stem cell stage. Genes & Development

22:152–165.

Eppig JJ, Pendola FL, Wigglesworth K, Pendola JK. 2005. Mouse oocytes regulate metabolic cooperativity between granulosa cells and oocytes: amino acid transport. Biol Reprod 73:351-357.

Erceg S, Ronaghi M, Stojkovi´c M. 2009. Human embryonic stem cell differentiation toward regional specific neural precursors. Stem Cells 27:78–87.

Feng Z, Zhao G, Yu L. 2009. Neural stem cells and Alzheimer’s disease: challenges and hope. American Journal of Alzheimer’s Disease & Other Dementias 24:52-57.

Gossrau G, Thiele J, Konang R, Schmandt T, Br¨Ustle U. 2007. Bone morphogenetic protein-mediated modulation of lineage diversification during neural differentiation of embryonic stem cells. Stem Cells 25:939-949.

Guo X-M et al. 2006. Creation of engineered cardiac tissue in vitro from mouse embryonic stem cells. Circulation 113:2229-2237.

(25)

Ito J, Shimada M, Terada T. 2003. Effect of protein kinase C activator on mitogen-activated protein kinase and p34cdc2 kinase activity during parthenogenetic activation of porcine oocyte by calcium ionophore. Biol Reprod 69:1675-1682.

Karp JM et al. 2006. Cultivation of human embryonic stem cells without the embryoid body step enhances osteogenesis in vitro. Stem Cells 24:835-843.

Kim D, Dressler GR. 2005. Nephrogenic factors promote differentiation of mouse embryonic stem cells into renal epithelia. J Am Soc Nephrol 16: 3527-3534.

Lee ST et al. 2007. Establishment of autologous embryonic stem cells derived from preantral follicle culture and oocyte parthenogenesis. Fertil Steril

88:1193 (Abstr).

Li M et al. 2003. Isolation and culture of embryonic stem cells from porcine blastocysts. Mol Reprod Dev 65:429-434.

Lin H. 2008. Cell biology of stem cells: an enigma of asymmetry and self-renewal.

The Journal of Cell Biology 180:257-260

Lin H et al. 2003. Multilineage potential of homozygous stem cells derived from metaphase II oocytes. Stem Cells 21:152-161.

Ma F et al. 2008. Generation of functional erythrocytes from human embryonic stem cell-derived definitive hematopoiesis. Proc Natl Acad Sci USA

105:13087-13092.

Malekshah AK, Moghaddam AE. 2005. Follicular fluid and cumulus cells synergistically improve mouse early embryo development in vitro. J Reprod Dev 51:195-199.

McDonald JW et al. 1999. Transplanted embryonic stem cells survive, differentiate and promote recovery in injured rat spinal cord. Nature Med 5:1410-1412.

Memili E et al. 2007. Bovine germinal vesicle oocyte and cumulus cell proteomics. Reproduction 133:1107-1120.

Nishimura F et al. 2003. Potential use of embryonic stem cells for the treatment of mouse parkinsonian models: improved behavior by transplantation of in vitro differentiated dopaminergic neurons from embryonic stem cells.

Stem Cells 21:171-180.

Park S-P et al. 2004. Establishment of human embryonic stem cell lines from frozen-thawed blastocysts using STO cell feeder layers. Hum Reprod 19: 676-684.

(26)

Reubinoff BE et al. 2000. Embryonic stem cell lines from human blastocysts: somatic differentiation in vitro. Nat Biotech 18:399-404.

Roche E, Sepulcre P, Reig JA, Santana A, Soria B. 2005. Ectodermal commitment of insulin-producing cells derived from mouse embryonic stem cells. The FASEB Journal 19:1341-1343.

Rodriguez-Gomez et al. 2007. Persistent dopamine functions of neurons derived from embryonic Stem cells in a rodent model of parkinson disease. Stem Cells 25:918-928.

Rossant J. 2001. Stem cells from the mammalian blastocyst. Stem Cells 19:477-482.

Sameer M, Balasubramanyam M, Mohan V. 2006. Stem cells and diabetes.

Current Science 91:1158-1165.

Snykers S, Kock JD, Rogiers V, Vanhaecke T. 2009. In vitro differentiation of embryonic and adult stem cells into hepatocytes: state of the art. Stem Cells 27:577–605

Soria B et al. 2000. Insulin-secreting cells derived from embryonic stem cells normalize glycemia in streptozotocin-induced diabetic mice. Diabetes

49:157-162.

Stojkovic M et al. 2004. Derivation of human embryonic stem cells from day-8 blastocysts recovered after three-step in vitro culture. Stem Cells 22:790– 797.

Sukhikh GT, Shtil AA. 2003. Stem cell transplantation for treatment of liver deseases: from biological foundation to clinical experience. International J molecular Medicine 11:395-400.

Tesar PJ. 2005. Derivation of germ-line-competent embryonic stem cell lines from preblastocyst mouse embryos. Proc Natl Acad Sci USA 102:8239-8244.

Thomson JA et al. 1998. Embryonic stem cell line from human blastocysts.

Science 282:1145-1147.

Tielens S et al. 2006. Generation of embryonic stem cell lines from mouse blastocysts developed in vivo and in vitro: relation to Oct-4 expression.

Reproduction 132: 59–66.

Yang D, Zhang Z-J, Oldenburg M, Ayala M, Zhang S-C. 2008. Human embryonic stem cell-derived dopaminergic neurons reverse functional deficit in parkinsonian rats. Stem Cells 26:55–63.

(27)

Perkembangan Embrionik Praimplantasi pada Mencit

Sebelum terjadi pembuahan, oosit akan membelah secara meiosis dan

mengalami pematangan dalam folikel ovarium hingga ia mencapai stadium

metafase II. Pada saat tersebut, folikel akan melepas oosit kedalam saluran telur.

Oosit matang merupakan sel haploid yang mengandung setengah jumlah

kromosom, yang dikelilingi oleh matriks ektraseluler dan glikoprotein yang

disebut zona pelusida. Jika terjadi perkawinan, oosit yang terdapat dalam saluran

telur akan dibuahi oleh sperma, dimana terjadi fusi antara pronukleus sperma

dengan pronukleus oosit, dan mengembalikan jumlah kromosom yang khas

untuk setiap spesies.

Pada kondisi alamiah, proses pembuahan terjadi di dalam ampula saluran

telur. Setelah mengalami beberapa proses pembelahan, genome zigot menjadi aktif dan mengontrol perkembangan embrionik selanjutnya (Jones & Thomson

2000). Selama proses pembelahan awal, sel-sel anak (blastomer) tidak

mengalami pertambahan ukuran. Seiring dengan kemajuan pembelahan sel

(cleavage), jumlah sitoplasma dari setiap sel anak berkurang setengahnya, dan total volume embrio tetap tidak berubah (Pelton et al. 1998).

Pada stadium delapan sel, embrio mencit mulai mengalami kompaksi,

dimana terdapat gap junction antar sel. Struktur membran yang spesial ini terdiri atas suatu susunan enam molekul protein yang disebut connexins, yang membentuk pori yang memungkinkan pertukaran ion dan molekul-molekul kecil

antar sel (Johnson et al. 1986). Proses pembelahan terus berlanjut dan menghasilkan morula. Selanjutnya diantara sel-sel morula akan terbentuk rongga

yang berisi cairan yang disebut blastosul, dan embrio pada stadium ini disebut

blastosis (Beddington & Robertson 1999). Blastosis tersusun oleh dua tipe sel

yaitu trofoblas yang terdapat pada bagian luar dan ICM pada bagian dalam.

Pada perkembangan selanjutnya, ICM akan berkembang menjadi semua tipe sel

yang menyusun jaringan tubuh embrio, dan juga jaringan nontrofoblas yang

menunjang perkembangan embrio (jaringan ekstraembrionik, termasuk kantung

kuning telur, allantois dan amnion), sedangkan trofoblas akan berkembang

menjadi plasenta (Jones & Thomson 2000, Johnson & McConnell 2004). Oleh

karena itu, trofoblas sangat penting untuk implantasi dan menunjang daya hidup

dan pertumbuhan embrio di dalam uterus. Gangguan perkembangan plasenta

(28)

Kejadian molekuler yang mendasari perbedaan galur sel belum diketahui

secara pasti. Namun, beberapa studi menunjukkan bahwa POU-domain transcription factor Oct4 (Pou5f1), esensial untuk perkembangan ICM. Pada mencit, Oct4 diekspresikan selama oogenesis dan perkembangan praimplantasi, dan pada perkembangan selanjutnya hanya terbatas diekspresikan oleh ICM,

epiblas, dan sel-sel germinal (Palmieri et al. 1994). Pada blastosis manusia, baik ICM maupun trofoblas mengekspresikan Oct4, tetapi dengan konsentrasi 31 kali

lebih tinggi pada ICM (Hansis et al. 2000). Embrio yang kekurangan Oct4 tidak dapat menghasilkan ICM, dan hanya dapat menghasilkan sel trofoblas (Nichols

et al. 1998), dengan demikian, Oct4 sangat diperlukan untuk perkembangan ICM. Ada beberapa transcription factor seperti Mash2 (Rossant et al. 1998), dan

Cdx2 (Beck et. al. 1995), yang pola ekspresinya bertentangan dengan Oct4; dimana mereka diekspresikan sepanjang perkembangan awal, tetapi pada

embrio stadium blastosis hanya diekspresikan oleh trofoblas. Cdx2 dan Eomes

diperlukan untuk perkembangan awal trophoblas, dan Mash2 dilibatkan dalam perkembangan plasenta selanjutnya (Guillemot et al. 1994).

Embrio Partenogenetik

Partenogenesis merupakan suatu fenomena biologis dimana

perkembangan embrionik diinisiasi tanpa melewati proses pembuahan oleh

sperma. Pola reproduksi ini umum terjadi pada beberapa ikan, burung dan reptil.

Mamalia tidak dapat bereproduksi secara partenogenesis yang disebabkan oleh

adanya kegagalan kebuntingan. Embrio partenogenetik mengalami

perkembangan tidak normal dan perkembangan terhenti setelah terjadi

organogenesis hari ke-10 pada mencit (Kono et al. 2004), hari ke-25 pada domba (Loi et al. 1998), dan hari ke-67 pada sapi (Boediono et al. 1995). Kegagalan kebuntingan tersebut ada kaitannya dengan genomic imprinting, dimana semua materi genetik berasal dari betina dan tidak ada kontribusi jantan.

Hal ini berakibat pada tidak berkembangnya trofoblas dan jaringan

ekstraembrionik-endoderm. Walaupun mamalia tidak dapat bereproduksi secara

partenogenesis, namun oositnya dapat diinduksi untuk menghasilkan embrio

partenogenetik menggunakan berbagai rangsangan fisik dan kimia.

Pada saat ovulasi, oosit mamalia tertahan pada stadium metafase dari

pembelahan meiosis II. Penahanan meiosis ini dipertahankan oleh aktivitas

(29)

melanjutkan meiosis dan perkembangan melewati meiosis ke metafase II. Pada

saat keluar dari M-phase, terjadi degradasi cyclin yang menyebabkan inaktivasi MPF. Pada oosit mencit, penahanan meiosis dapat dipertahankan selama

beberapa jam selama ada sintesis dan degradasi yang seimbang dari cyclin B, dan keseimbangan tersebut diregulasi oleh CSF yang merupakan produk dari

protoontogene c-mos, cdk2, dan MAP kinase (Zernicka-Goetz et al. 1995). Selama penahanan meiosis, status inti tidak berubah, tetapi sitoplasma

mengalami perubahan viabilitas, kemampuan fertilisasi dan kemampuan untuk

aktivasi partenogenesis seiring dengan pertambahan umur oosit (Kikuchi et al.

1995).

Aktivasi oosit oleh sperma atau secara partenogenesis akan

menyebabkan peningkatan kalsium intraseluler. Pola pelepasan kalsium pada

oosit hasil aktivasi partenogenesis berlangsung dalam waktu yang relatif pendek

dibandingkan dengan hasil aktivasi spermatozoa yang berlangsung tiga hingga

empat jam (sejak fertilisasi hingga pembentukan pronukleus) (Jones et al. 1995, Zernicka-Goetz et al. 1995).

Peningkatan kalsium intraseluler disebabkan oleh adanya aktivasi

produksi diacylglycerol (DG) dan inositol 3-phosphate (IP3) yang diinduksi G-protein melalui phospholipase C (PLC). Peningkatan kalsium intraseluler kemudian merangsang peningkatan aktivitas protein kinase C (PKC) pada oosit mencit, yang selanjutnya menginduksi eksositosis butiran korteks (Ito et al.

2003). Selain itu, peningkatan ion kalsium menyebabkan aktivasi calmodulin-dependent protein kinase II yang berfungsi menstimulasi destruksi cyclin B, dan inaktivasi p34cdc2 kinase. Dengan terjadinya degradasi cyclin B dan p34cdc2 kinase maka MPF akan mengalami destruksi sehingga oosit melanjutkan kembali siklus

sel-nya (Ito et al. 2003). Karakteristik oosit yang teraktivasi adalah adanya eksositosis butiran korteks, pengeluaran polar body II, pembentukan pronukleus dan pembelahan mitosis pertama (Gordo et al. 2002).

Oosit mamalia dapat mengalami partenogenesis in vitro dengan keberhasilan yang bervariasi. Oosit yang mengalami aktivasi akan menunjukkan

respon biokimiawi mirip dengan respon yang terjadi pada oosit yang mengalami

proses fertilisasi. Respon oosit yang diaktivasi ditunjukkan dengan terjadinya

peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler yang dianggap sebagai sinyal untuk

terjadinya pembelahan meiosis. Namun demikian, embrio partenogenetik yang

dihasilkan tidak mengalami perkembangan normal dan perkembangan terhenti

(30)

Aktivasi partenogenetik dipengaruhi oleh umur oosit, dimana oosit yang

relatif lebih tua lebih sensitif terhadap perlakuan aktivasi in vitro (Otaegui et al.

1999, Meo et al. 2004). Hal ini ada kaitannya dengan penurunan secara gradual level MPF pada oosit tua (Tian et al. 2002). MPF menginduksi M-phase pada sel-sel eukaryotik, termasuk oosit. Aktivitas MPF yang tinggi dapat dideteksi pada

oosit mamalia metafase I dan II, dan semakin menurun dengan bertambahnya

umur oosit (Kikuchi et al. 2000). Studi pada tikus Wistar menunjukkan bahwa untuk aktivasi partenogenetik lebih efektif pada oosit tua (Krivokharchenko et al.

2003, Mizutani et al. 2004 ).

Aktivasi partenogenesis dapat dilakukan dengan memaparkan oosit

terhadap calcium ionophore A23187 (Kline & Kline 1992), strontium chloride

(Meo et al. 2004), etanol (Pinyopummin et al. 1993, Moos et al. 1995, Loi et al.

1998), ionomycin (Loi et al. 1998), atau stimulasi elektrik (Mizutani et al. 2004).

Strontium chloride merupakan bahan kimia yang sangat populer untuk aktivasi partenogenetik oosit mencit. Pemaparan oosit mencit kedalam medium yang

disuplementasi dengan 1.6 mM strontium chloride selama 2-10 menit menginduksi kejadian partenogenesis yang tinggi. Ketika oosit diinkubasi dalam

strontium selama 20-60 menit, terjadi penurunan tingkat aktivasi dan peningkatan

jumlah oosit yang berdegenerasi(O'Neill et al. 1991).

Bahan aktivasi partenogenesisi harus dikombinasikan dengan

cycloheximide (protein synthesis inhibitor), 6-dimethylaminopurine [6-DMAP,

protein phosphorylation inhibitor (Mizutani et al. 2004)], atau cytochalasin. Walaupun terjadi peningkatan pembentukan pronukleus, penghambatan sintesis

atau fosforilasi protein dapat memberikan efek yang merugikan bagi

perkembangan embrio yang disebabkan oleh adanya penghambatan sintesis

DNA pada oosit sapi (Ito et al. 2003).

Cytochalasin merupakan produk yang dihasilkan oleh jamur dengan berbagai metabolit seperti cytochalasin A, B, C, dan D, yang berfungsi untuk mencegah polimerisasi aktin dan menyebabkan perubahan yang dramatis pada

sitoskeleton, khususnya filamen aktin (Kim et al. 1997). Pemberian cytochalasin

selama pembelahan sel tidak akan mengganggu pergerakan kromosom

(kariokinesis), tetapi menghambat pemisahan sel-sel anak (sitokinesis).

(31)

Embryonic Stem Cells

Embryonic stem cells adalah sel-sel pluripoten yang mampu berdiferensiasi menjadi berbagai tipe sel tubuh. Embryonic stem cells umumnya dihasilkan dari ICM blastosis, yang dalam kultur in vitro tetap mempertahankan

self renewal (proliferasi untuk menghasilkan sejumlah sel anak yang sama persis dengan sel asalnya) dan dapat berdiferensiasi menjadi berbagai tipe sel tubuh.

Sifat pluripotensi tersebut telah menarik perhatian para peneliti untuk

menggunakan ESC dalam terapi sel pada jaringan atau organ yang mengalami

kerusakan (Darr & Benvenisty 2006, Biswas & Hutchins 2007).

Pluripotensi ESC diregulasi oleh kombinasi faktor eksogen dan endogen.

Yang termasuk faktor eksogen diantaranya adalah leukemia inhibitory factor

(LIF), transforming growth factor (TGF), fibroblast growth factor (FGF), dan Wnt (Wingsless-type MMTV integration site family members). Pluripotensi dan self renewal ESC mencit dapat dipertahankan ketika dikultur pada MEF yang mensekresikan suatu faktor penghambat diferensiasi, LIF. Leukemia inhibitory factor mempengaruhi tingkat proliferasi sel dengan mengaktivasi jalur sinyal yang dapat mengatur ekspresi gen pada sel pluripoten atau sel-sel yang telah

berdiferensiasi. Pengeluaran LIF dari medium kultur memicu hilangnya marker

pluripoten dan munculnya marker diferensiasi dalam 24 jam (Prockop 2006).

Leukemia inhibitory factor termasuk anggota interleukin-6 (IL6) family, yang setelah terikat pada reseptornya (LIFR), kompleks tersebut mengalami

heterodimerisasi dengan gp130 dan mengaktivasi janus associated tyrosine kinase (JAK), yang selanjutnya mengaktivasi jalur sinyal signal transducer and activator of transcription-3 (STAT3) untuk menginduksi transkripsi berbagai gen yang bertanggung jawab dalam self renewal (Niwa et al. 1998, Burdon et al.

1999). Signal transducer and activator of transcription-3 meregulasi pluripotensi dan self renewal ESC melalui empat mekanisme : 1) mempertahankan ekspresi beberapa gen spesifik yang dilibatkan dalam pluripotensi ESC, 2) meregulasi

siklus sel ESC, 3) menghambat transduksi sinyal yang menyebabkan diferensiasi

ESC seperti ERK (extracellular signal-regulated kinase), 4) mempertahankan level transkripsi Myc yang stabil, sebagai salah satu faktor utama yang dapat mempertahankan self-renewal ESC mencit. Tidak seperti pada ESC mencit, LIF tidak efektif untuk mempertahankan pluripotensi dan self renewal ESC manusia.

(32)

SMAD1/5 (Sma and MAD (mothers agains decapentaplegic) related protein-1/5), yang mentranduksi bone morphogenic protein (BMP) dan growth differentiation factor (GDF) melalui reseptor activin receptor-like kinase-1 (ALK1), ALK2, ALK3, dan ALK6. Transforming growth factor- /activin/nodal diregulasi melalui SMAD 2/3 yang selanjutnya mengaktivasi ALK4, ALK5, dan ALK7. Setelah mengalami

fosforilasi dan mengadakan kompleks dengan SMAD4, SMAD berpindah ke

dalam inti dan bergabung dengan faktor transkripsi yang lain untuk meregulasi

ekspresi gen yang bertanggung jawab dalam mempertahankan pluripotensi

(Besser 2004, James et al. 2005, Xiao et al. 2006).

Fibroblast growth factor 2 (FGF2) merupakan faktor lain yang menunjang

self renewal pada ESC. Fibroblast growth factor 2 eksogen mampu mempertahankan ESC manusia dalam ketidak-hadiran serum atau feeder layer. Pengikatan FGF ke reseptornya menyebabkan autofosforilasi reseptor dan

aktivasi berbagai jalur sinyal intraseluler seperti Ras/ERK (extracellular signal-regulated kinase), PLC- (phospholipase C- )/calcium, dan phospho-inositide 3-kinase (PI3K). Phospho-inositide 3-kinase mengkatalisis konversi phosphatidyl-inositol 3,4,-bisphosphate (PIP2) menjadi phosphatidylinositol 3,4,5-triphosphate (PIP3). Pengikatan PIP3 pada PH domain menyebabkan Akt berpindah ke membran plasma, yang selanjutnya difosforilasi dan diaktivasi oleh phosphor

-inositide-dependent kinase-1 (PDK-1). Akt yang teraktivasi merangsang proliferasi dan pluripotensi ESC. Selain itu Aktivasi PI3k/Akt diperlukan untuk

meningkatkan ekspresi protein matriks ekstraseluler (Xiao et al. 2006, Conley et al. 2007, Wang et al. 2005, Xu et al. 2005).

Wnt juga berperan penting dalam mempertahankan pluripotensi ESC.

Jalur sinyal Wnt melibatkan pengikatan Wnt pada frizzled receptor. Pengikatan Wnt pada reseptornya menyebabkan aktivasi Dishevelled (Dsh) dan mencegah degradasi -Catenin. Wnt juga dapat menyebabkan degradasi proteosomal yang

tersusun dari glycogen synthase kinase-3 (GSK3 ), adeomatosis polyposis coli

(APC) dan casein kinase I (CKI). Pada kondisi fisiologis, -catenin difosforilasi dan selanjutnya didegradasi oleh GSK3 . Oleh karena itu, degradasi GSK3

akan menyebabkan akumulasi -catenin dalam sitoplasma, dan selanjutnya

berpindah ke dalam inti sel (Barker et al. 2000, Bienz & Clever 2003, Reya & Clevers 2005). Di dalam inti, -catenin mengaktivasi T cell factor (TCF)/

lymphoid enhancer factor (LEF) protein yang selanjutnya menginduksi ekspresi berbagai gen yang berperan dalam mempertahankan pluripotensi ESC seperti

(33)

Selain faktor eksogen, terdapat beberapa faktor endogen yang

mempengaruhi pluripotensi ESC, diantaranya adalah Oct4 (octamer binding protein-4) dan Nanog. Octamer binding protein-4 memainkan peranan penting dalam perkembangan embrio, dan sekaligus sebagai marker pluripotensi.

Octamer binding protein-4 diekspresikan oleh oosit, ICM dan epiblas embrio pra-gastrulasi, dan juga pada primordial germ cells (Palmieri 1994). Dalam lingkungan in vitro, Oct4 hanya diekspresikan oleh sel-sel yang belum berdiferensiasi (Niwa 2001). Embryonic stem cells yang kekurangan Oct4 akan berdiferensiasi menjadi sel trofoblas, sedangkan ESC yang kelebihan Oct4 akan berdiferensiasi menjadi sel endoderm. Walaupun demikian, tanpa faktor

eksogen, Oct4 tidak dapat mempertahankan pluripotensi ESC (Hay et al. 2004). Studi pada mencit dan manusia menunjukkan bahwa Oct4 adalah komponen

faktor transkripsi yang mempertahankan pluripotensi pada ESC (Loh et al. 2006).

Octamer binding protein-4 dapat terikat secara langsung pada promoternya atau melakukan heterodimer dengan beberapa faktor seperti ELA, Sox2, dan Rox1,

untuk meregulasi ekspresi gen fgf-4, Utf-1, Opn, Zfp42/Rex1, dan Etn052.

Faktor endogen lainnya yang mempengaruhi pluripotensi adalah Nanog.

Selama perkembangan embrio, Nanog diekspresikan pada ICM, epiblas, dan

ectoderm. Dalam lingkungan in vitro, Nanog diekspresikan pada ESC, primordial germ cell dan embryo carcinoma cell. Nanog tidak ditemukan pada hematopoietic stem cells, fibroblas, jaringan dewasa, dan ESC yang telah berdiferensiasi (Hyslop et al. 2005). Sel yang tidak mengandung Nanog mengekspresikan level yang tinggi beberapa faktor transkripsi seperti GATA6, GATA4, dan Cdx2, yang merupakan indikasi diferensiasi trofoblas (Bhattacharya et al. 2004, Hyslop et al.

2005). Hal ini menunjukkan bahwa Nanog mempertahankan pluripotensi ESC dengan menekan ekspresi faktor-faktor transkripsi tersebut.

Embryonic stem cell umumnya dihasilkan dari ICM blastosis. Sel-sel ICM bersifat pluripoten dan mampu berkembang menjadi semua tipe sel yang

menyusun ketiga lapisan jaringan embrionik (ektoderm, mesoderm, endoderm)

(Czyz et al. 2003). Sel-sel ini dapat diisolasi dari blastosis dan mempertahankan mereka dalam status tidak berdiferensiasi selama kultur in vitro (NIH 2004).

Embryonic stem cell mencit dapat dipertahankan dalam kultur in vitro ketika dikultur dalam medium yang mengandung faktor-faktor penghambat diferensiasi

(34)

setelah transfer ke blastosis. Ketika dikeluarkan dari feeder layer dan dikultur dalam suspensi, ESC membentuk embryonic bodies, yang dapat berkembang menjadi berbagai tipe sel yang menyusun ketiga lapisan jaringan embrionik

(Reubinoff et al. 2000) termasuk sel-sel germinal (Marques-Mari et al. 2009). Status diferensiasi ESC dapat dibuktikan dengan adanya kehilangan produk gen

yang khas yang dihasilkan oleh ESC seperti c-myc (Cartwright et al. 2005),

nanog (Chambers et al. 2003, Darr et al. 2006), eed (Ura et al. 2008), jmjd1a (Ko

et al. 2006) dan GABP , atau terbentuknya karakteristik yang khas untuk berbagai tipe sel.

Embryonic stem cell dapat mempertahankan komplemen kromosom yang stabil dan normal (NIH 2004), mempertahankan morfologi dan ekspresi gen yang

konsisten dengan sel-sel embrionik asalnya (Rathjen et al. 1998, Fair et al.

2005), membentuk teratocarcinoma setelah transplantasi in vivo, dan mampu berkontribusi menjadi semua jaringan tubuh termasuk germline pada hewan kimera (Prelle et al. 2002). Selain itu, ESC memiliki rasio yang tinggi antara inti terhadap sitoplasma, tumbuh dalam koloni multilayer yang kompak, menunjukkan aktivitas alkaline phosphatase, membentuk embryoid bodies ketika ditumbuhkan dalam kultur suspensi atau hanging drop (Alex et al. 2005).

Embryonic stem cells dapat berdiferensiasi menjadi sel-sel yang memproduksi insulin yang berguna dalam perlakuan diabetes. Embryonic stem cells yang ditransplantasikan ke mencit yang menderita diabetes dapat memulihkan regulasi insulin secara parsial (Lumelsky et al. 2001). Studi yang lain telah mendemonstrasikan bahwa ESC mencit dapat ditransplantasikan ke mencit

yang menderita penyakit Parkinson dan secara parsial menghilangkan gejala

tersebut. Embryonic stem cells mencit juga dapat ditransplantasikan ke hewan yang menderita spinal-cord injury dan secara parsial memulihkan fungsi syaraf (McDonald et al. 1999).

Selain diproduksi oleh embrio hasil fertilisasi, ESC juga dapat dihasilkan

oleh embrio partenogenetik. Penelitian tentang ESC partenogenetik masih relatif

sedikit dan hasilnya masih sangat rendah dan tidak konsisten antara penelitian.

Lee et al. (2007) berhasil memproduksi ESC dari embrio partenogenetik. Dari 193 oosit yang teraktivasi, hanya 35 yang berhasil berkembang hingga stadium

blastosis, dan satu diantaranya berhasil membentuk cell line. Lin et al. (2003), gagal menghasilkan cell line dari embrio partenogenetik manusia. Dari 14 oosit yang mendapat perlakuan calcium ionophore and 6-DMAP, 4 diantaranya

(35)

berkembang membentuk cell line. Pada 5 oosit yang diaktivasi dengan calcium ionophore and puromycin, hanya 1 oosit yang mencapai stadium morula,

sementara dari 6 oosit yang diaktivasi dengan sham ICSI dan calcium ionophore,

satu diantaranya berkembang hingga blastosis ekspan, dan setelah dilakukan

assisted hatching dan kultur, ESC yang dihasilkan mampu berproliferasi lebih dari dua pasase. Revazona et al. (2007) berhasil memproduksi ESC partenogenetik manusia yang dikultur pada medium VitroHES yang

disuplementasi dengan 4 ng/ml hrbFGF, 5 ng/mL hrLIF, dan 10% serum darah

talipusat.

Isolasi Inner Cell Mass

Tahap pertama sebelum dilakukan isolasi ICM adalahpenghilangan zona

pelusida yang membungkus blastosis sehingga sel-sel yang terdapat di

dalamnya dapat dengan leluasa berproliferasi dan berkontak langsung dengan

substrat yang digunakan. Penghilangan zona pelusida dapat dilakukan dengan

memaparkan embrio pada larutan pronase 0.25% selama 3 hingga 5 menit (Paz

et al. 2003). Penghilangan zona pelusida juga dapat dilakukan dengan cara mengkultur blastosis selama satu atau dua hari hingga blastosis tersebut secara

spontan keluar dari zona pelusida.

Isolasi dimaksudkan untuk memisahkan ICM dari trofoblas. Inner cell mass merupakan sel-sel yang belum berdiferensiasi dan memiliki potensi untuk membentuk semua jenis sel tubuh, sedangkan sel-sel trofoblas sudah

berdiferensiasi dan hanya berpotensi untuk membentuk selaput ekstraembrionik.

Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kultur blastosis utuh (ICM

bersama trofoblas) menghasilkan produksi ESC yang rendah. Beberapa metode

isolasi ICM yang telah dikenal adalah immunosurgery (Chen & Melton 2007), dan pembedahan mikro (Li et al. 2003, Park et al. 2004).

Pada studi yang dilakukan oleh Li et al. (2003), telah dibuat suatu metode yang lebih sederhana untuk isolasi ICM blastosis babi, yakni dengan

menempatkan embrio dalam larutan tripsin/ethylene diamine tetraacetic acid

(EDTA). Kunci yang paling penting dalam metode ini adalah perlakuan waktu.

Manipulator harus mengobservasi embrio-embrio dibawah mikroskop selama

perlakuan. Pada saat trofoblas mulai terpisah, perlakuan sebaiknya dihentikan

(36)

Feeder Layer

Feeder layer adalah kultur sel yang membentuk suatu lapisan monolayer

pada dasar cawan kultur yang berfungsi sebagai penghasil growth factor yang berperan dalam proliferasi sel lain. Sifat pluripotensi ESC mencit dapat

dipertahankan ketika dikultur dalam medium yang mengandung feeder layer, dimana ESC menunjukkan kapasitas proliferasi in vitro yang tidak terbatas (Smith 2001), serta mempertahankan kemampuan untuk berkontribusi menjadi

semua tipe sel setelah transfer ke blastosis. Feeder layer untuk kultur ESC umumnya dibuat dari MEF, dan berfungsi mensekresikan berbagai faktor yang

berperan dalam menstimulasi pertumbuhan ESC dan menghambat

diferensiasinya (Kitiyanant et al 2000, CLS 2002, Yang & Pettite 2004). Feeder layer sebaiknya berada dalam bentuk tidak aktif sehingga tidak dapat berpoliferasi, tetapi tetap berpotensi untuk menghasilkan growth factor yang menunjang proliferasi ESC (CLS 2002). Menurut Zhang et al. (2003) tingkat proliferasi MEF sangat ditentukan oleh umur fetus. Salah satu senyawa yang

terdapat dalam MEF adalah LIF yang berperan dalam menghambat proses

diferensiasi ESC (Kitiyanant et al. 2000). Leukemia inhibitory factor juga dikenal dengan nama differentiation inhibiting factor, merupakan sitokin polipeptida yang menghambat diferensiasi spontan dari ESC. Kadar LIF yang ditambahkan ke

dalam medium kultur ESC berkisar antara 500 hingga 1000 unit/ml (Hogan et al.

1994). Jumlah LIF yang terdapat dalam medium kultur yang dikondisikan dengan

feeder layer mencit adalah 500 unit/ml (Kitiyanant et al. 2000). Selain itu, feeder layer juga mengandung beberapa protein yang berperan dalam proses pertumbuhan sel (Lim & Bodnar 2002, Zhang et al. 2003).

Kelemahan penggunaan MEF sebagai feeder layer adalah mudah terkontaminasi dengan bakteri dan jamur terutama pada proses awal pembuatan,

proses pembuatan relatif lebih rumit dan panjang yang diawali dari persiapan

betina bunting, panen fetus, pencacahan bagian karkas menjadi

potongan-potongan kecil, tripsinasi untuk menghasilkan sel tunggal, sentrifugasi, dan

kultur. Selain itu MEF tidak dapat digunakan pada pasase pertama karena masih

bercampur dengan berbagai jenis sel yang lain, dan dengan demikian diperlukan

minimal dua pasaage untuk perbanyakan MEF yang akan digunakan untuk kultur ESC. Pada kultur ESC manusia, pengunaan MEF terbentur dengan masalah

(37)

Sel Kumulus

Sel kumulus adalah subset dari sel-sel granulosa, yang mengelilingi oosit

mamalia yang sedang berkembang dalam folikel de Graaf yang matang. Pada

saat pembentukan antrum folikel, populasi sel granulosa menjadi lebih

heterogen. Satu populasi sel yang dikenal sebagai mural granulosa

dihubungkan dengan dinding folikel, populasi lainnya dikenal sebagai sel

kumulus dihubungkan dengan oosit. Ketika perkembangan folikel berlanjut, sel

granulosa dan sel kumulus berkembang dengan karakteristik yang berbeda.

Misalnya, sesaat sebelum ovulasi, gonadotropin menstimulasi sel kumulus untuk

memproduksi dan mensekresikan hyaluronic acid yang berfungsi melekatkan sel kumulus pada matrik yang menyerupai mucus; sedangkan sel granulosa tidak

mengalami ekspansi tetapi berkembang menjadi sel luteal (Latham et al. 1999). Sel kumulus menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan

dan perkembangan oosit sebelum ovulasi dan pembuahan oleh sperma (Hess et al. 1999). Beberapa studi menunjukkan bahwa massa kumulus melindungi oosit sebelum dan setelah pembuahan. Misalnya, Sato et al. (1987) menunjukkan bahwa komponen yang diproduksi oleh sel kumulus (seperti glycosaminoglycan)

dapat memperlambat proses degenerasi oosit selama kultur in vitro. Selain itu, kriopreservasi oosit bersama dengan kumulus memiliki angka fertilisasi yang

lebih tinggi daripada oosit yang dibekukan tanpa sel kumulus (Hess et al. 1999). Sel kumulus juga dapat melindungi oosit terhadap pengaruh negatif heat shock

yang dapat menurunkan sintesis protein oosit ( Edwards et al. 1996).

Malekshah dan Moghaddam (2005) melakukan evaluasi untuk

mengetahui pengaruh monolayer kumulus dan cairan folikel manusia terhadap

perkembangan embrio mencit in vitro. Jumlah embrio satu sel yang dapat berkembang ke stadium blastosis adalah 33.7% ketika dikultur pada kombinasi

sel kumulus dan cairan folikel. Jumlah tersebut jauh lebih tinggi dibandingan

dengan yang dikultur pada medium Ham’s F-10 yaitu 1.9%.

Dalam penelitian ini, sel kumulus digunakan sebagai feeder layer atau penghasil conditioned medium untuk kultur ESC. Sel kumulus mengekspresikan berbagai faktor seperti transforming growth factor- (TGF- ; Mulheron et al.

1992), activin A (Lau et al. 1999), Wnt2 dan -catenin (Wang et al. 2009),

(38)

(Levenstein et al. 2006, Ogawa et al. 2007, James et al. 2005, Miyabayashi et al.

2007). Sel kumulus telah terbukti dapat menunjang perkembangan embrio in vitro, namun belum ada laporan tentang penggunaannya sebagai feeder layer

untuk kultur ESC. Selain dapat menghasilkan feeder layer, sel kumulus juga dapat memproduksi conditioned medium (CM) yang dapat menunjang pertumbuhan ESC. Penggunaan CM dimaksudkan untuk menghindari terjadinya

percampuran antara ESC dengan feeder layer, dan dengan demikian kemurnian ESC dapat dipertahankan.

DAFTAR PUSTAKA

Alex JL, Sarathi DP, Goel S, Kumar S. 2005. Isolation and characterization of a mouse embryonic stem cell line that contributes efficiently to the germ line. Current Science 88: 1167-1169.

Barker N, Clevers H. 2000. Catenins, Wnt signaling and cancer. Bioassays

22:961-965 (Abstr).

Beck F, Erler T, Russell A, James R. 1995. Expression of Cdx-2 in the mouse embryo and placenta: possible role in patterning of the extra-embryonic membranes. Dev Dyn 204:219–227.

Beddington RS, Robertson EJ. 1999. Axis development and early asymetry in mammals. Cell 96:195-209.

Besser D. 2004. Expression of nodal, lefty-a, and lefty-B in undifferentiated human embryonic stem cells requires activation of Smad2/3. J Biol Chem

279:45076-45084.

Bhattacharya B et al. 2004. Gene expression in human embryonic stem cell lines: Unique molecular signature. Blood 103:2956-2964.

Bienz M, Clevers H. 2003. Armadillo/beta-catenin signals in the nucleus-proof beyond a reasonable doubt? Nat Cell Biol 5: 179-182 (Abstr).

Biswas A, Hutchins R. 2007. Embryonic stem cells. Stem Cells Dev 16:213-222. Boediono A,

Gambar

Tabel 1 Profil perkembangan embryonic stem cells yang dihasilkan dari embrio pada stadium berbeda
Gambar 1  Embrio stadium cleavage (A), morula (B), blastosis (C), dan blastosis ekspan (D)
Gambar 2. Perkembangan ESC yang dihasilkan morula (A-C), dan Blastosis (D-F).  A: morula tanpa zona pelusida, B: morula yang telah melekat pada dasar cawan kultur, C: koloni primer ESC yang dihasilkan morula, D: blastosis tanpa zona pelusida, E: blastosis
Gambar 3 Blastosis pada berbagai stadium yang dikoleksi pada hari keempat kebuntingan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berperan dalam meningkatkan pendapatan petani karet di Desa Bhakti Negara diantaranya faktor luas lahan, modal, tenaga

Tabel di atas menunjukkan bahwa kadar alkohol terendah didapatkan pada perlakuan waktu inkubasi 18 hari yaitu 3,99%, hal ini disebabkan alkohol yang ada digunakan

Tujuan yang diharapkan terda- pat beberapa kendala sehingga belum dapat terwujud sepenuhnya, adapun kendala yang sering terjadi adalah pendataan dan pencatatan yang

Ataupun lebih dari 7 Message Kreatif akan lebih BAIK. Gunakan Message Spam kalau wanita yang ingin anda kirimkan tidak mengisi profile yang lengkap, bila anda sangat bersemangat dan

 pun memiliki tujuan tertentu yang ingin tertentu yang ingin dicapai dalam masalah kesehatan dicapai dalam masalah kesehatan di di Indonesia selain tujaun adapula sasaran

Berdirinya Unit Rehabilitasi Sosial “Pucang Gading” Semarang ini adalah prakarsa Gubernur Propinsi Jawa Tengah Bapak Suwardi untuk membangun panti lanjut usia

Penelitian tentang potensi alelopati pada gulma tusuk konde, babandotan, kirinyuh dan sembung rambat pada tanaman sawi belum banyak dilakukan, oleh karena itu perlu

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk merancang sistem yang mengolah data keuangan dan menghasilkan informasi bagi pengguna, khususnya investor dan