• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertumbuhan Bibit Avicennia marina pada Berbagai Intensitas Naungan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pertumbuhan Bibit Avicennia marina pada Berbagai Intensitas Naungan"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

PERTUMBUHAN BIBIT Avicennia marina

PADA BERBAGAI INTENSITAS NAUNGAN

SKRIPSI

Oleh :

SANGAPTA RAS KELIAT 081202039/ BUDIDAYA HUTAN

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

PERTUMBUHAN BIBIT Avicennia marina

PADA BERBAGAI INTENSITAS NAUNGAN

SKRIPSI

Oleh :

SANGAPTA RAS KELIAT 081202039/ BUDIDAYA HUTAN

Skripsi sebagai satu diantara beberapa syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Pertumbuhan Bibit Avicennia marina pada Berbagai Intensitas Naungan

Nama : Sangapta Ras Keliat

NIM : 081202039

Program Studi : Kehutanan

Disetujui Oleh

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yunasfi, M. Si Dr. Budi Utomo, SP. MP

Ketua Anggota

Mengetahui,

Siti Latifah, S. Hut, M. Si, Ph.D Ketua Program Studi Kehutanan

(4)

ABSTRACT

SANGAPTA RAS KELIAT: Seedling growth of Avicennia marina In Various Shades Intensity by YUNASFI and BUDI UTOMO.

Avicenia marina Represent the plant species in forest mangrove which can grow at all of location level alongside coastal area. One of the efforts to rehabilitate the forest mangrove is doing seedbed A. marina.

The design of this study using Random complete Design (RCD) with 4 treatments, ie, without shade, shade intensity of 25%, 50% shade intensity,and 75% intensity of shade. Each treatment was repeated as many as 10 to obtain 40 seeds of A. marina.

This study aims to determine the growth of seedlings A. marina good on a variety of shade intensity.

The results showed growth of seed A. marina give not real effection seedling to life percentation but give the real effection to height, seedling diameter, seedling leaf, total leaf area, and total biomass. High largest seed in the seed A. marina with 50% of shading that is equal to 16,27 cm. The diameter of the largest seed in the seed A. marina with 50% of shading is 0,49 cm. We have the largest seedling total leaf area in seedlings A. marina with 50% of shading that is equal to 94,97 cm2. Total biomass of the largest seed found in seed A. marina with 50% of shading that is equal to 0,54 grams.

(5)

ABSTRAK

SANGAPTA RAS KELIAT: Pertumbuhan bibit Avicennia marina pada berbagai intensitas naungan, dibimbing oleh YUNASFI dan BUDI UTOMO.

Avicenia marina Merupakan spesies tumbuhan di hutan mangrove yang dapat tumbuh pada semua tingkatan lokasi di sepanjang pesisir. Satu diantara beberapa usaha yang dilakukan untuk merehabilitasi mangrove adalah pembibitan

A. marina. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan bibit A. marina yang baik pada berbagai intensitas naungan.

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) non faktorial dengan 4 perlakuan, yaitu intensitas naungan (0%, 25%, 50% dan 75) yang diulang sebanyak 10 sehingga diperoleh 40 unit percobaan. Hasil penelitian menunjukkan intensitas naungan tidak berpengaruh terhadap persentase hidup bibit A. marina namun berpengaruh terhadap tinggi, diameter, jumlah helai daun, luas daun total, dan biomassa total. Persentase hidup bibit A. marina dengan intensitas naungan yang berbeda adalah sama yaitu 100%. Tinggi bibit A. marina tertinggi terdapat pada intensitas naungan 50% yaitu rata-rata 16,27 cm. Diameter bibit A. marina tertinggi terdapat pada intensitas naungan 50% yaitu rata-rata 0,49 cm. Jumlah helai daun bibit A. marina terbanyak terdapat pada intensitas naungan 50% sebanyak rata-rata 6 helai. Luas daun total bibit A. marina terluas terdapat pada intensitas naungan 50% yaitu rata-rata 94,97cm2. Biomassa total bibit A. marina terbesarterdapat pada intensitas naungan 50% yaitu rata-rata 0,54 gram.

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pancur Batu pada tanggal 15 mei 1990 dari Ayah

Kasim Keliat dan Ibu Nelce Br Tarigan. Penulis merupakan putra ketiga dari

empat bersaudara.

Tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Pancur Batu, selanjutnya

pada tahun yang sama penulis masuk ke Fakultas Pertanian USU melalui jalur

UMB. Penulis memilih jurusan Budidaya Hutan, Program Studi Kehutanan.

Selain mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten praktikum hidrologi

hutan pada tahun 2011 dan pada tahun 2012, penulis juga aktif dalam mengikuti

organisasi Ikatan Mahasiswa Karo Pertanian (IMKA) Mbuah Page FP USU dan

Ikatan Mahasiswa Karo Kehutanan (IMKAHUT) USU. Selain itu, penulis juga

pernah mengikuti berbagai lomba yaitu tahun 2010 juara 1 catur dalam acara

Porseni FP USU, tahun 2011 juara 3 catur dalam acara Dies Natalis FP USU,

tahun 2012 juara 2 catur dalam acara Porseni FP USU dan tahun 2012 penulis

juga menjadi juara 2 Lomba Berbalas Pantun dalam acara Dies Natalis USU yang

Ke- 60.

Penulis melaksanakan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (PEH) di Lau

Kawar dan Taman Wisata Alam (TWA) Deleng Lancuk, Kabupaten Tanah Karo,

Sumatera Utara pada tanggal 13 Juni - 23 Juni 2010. Penulis melaksanakan

Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Taman Nasional Bali Barat dari tanggal 2

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

yang berjudul “Pertumbuhan Bibit Avicennia marina pada Berbagai Intensitas Naungan”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua

orang tua penulis yaitu Kasim Keliat dan Nelce Br Tarigan serta abang Eliakim

Keliat, Natalianta Keliat dan adik Edi Putra Pranoto Keliat atas doa dan

dukungannya. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada

Dr. Ir. Yunasfi, M.Si dan Dr. Budi Utomo, SP. MP selaku ketua dan anggota

komisi pembimbing yang telah memberi arahan dan masukan berharga kepada

penulis mulai dari menetapkan judul, pelaksanaan penelitian, sampai pada ujian

akhir. Penulis juga mengucapkan terima kasih untuk Pak Udin di Belawan yang

telah memberikan tempat penelitian untuk penulis dan membantu dalam

penyediaan benih A. marina.

Di samping itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua staf

pengajar dan pegawai di Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian USU serta

teman-teman mahasiswa yang tak dapat disebutkan satu per satu terutama

mahasiswa jurusan Budidaya Hutan 2008 yang telah membantu penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pengembangan

(8)

DAFTAR ISI

Hipotesis Penelitian ... 4

Kegunaan Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Fisik Hutan Mangrove ... 5

Api-api putih (Avicennia marina) ... 12

Pembibitan Mangrove ... 14

Pengaruh naungan ... 26

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat ... 30

Bahan dan Alat ... 30

Metode Penelitian ... 30

Prosedur Penelitian Penyiapan media tanam ... 31

Pemilihan biji untuk dijadikan benih Avicennia marina ... 31

Penanaman di polibag ... 31

Parameter yang Diamati Persentase hidup bibit A. marina (%) ... 32

Tinggi bibit A. marina (cm) ... 32

(9)

Jumlah daun bibit A. marina (helai) ... 32

Luas daun total bibit A. marina (cm2 Biomassa total bibit A. marina (g) ... 33

) ... 33

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Tinggi rata-rata bibit A. marina ... 38

Diameter rata-rata bibit A. marina ... 38

Jumlah daun rata-rata bibit A. marina ... 39

Luas daun total bibit A. marina ... 39

Biomassa total rata-rata bibit A. marina ... 40

Pembahasan Tinggi rata-rata bibit A. marina ... 41

Diameter rata-rata bibit A. marina ... 43

Jumlah daun rata-rata bibit A. marina ... 44

Luas daun total bibit A. marina ... 46

Biomassa total rata-rata bibit A. marina ... 48

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 50

Saran ... 50

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

(10)

1. Pertumbuhan setiap parameter pengamatan dari bibit A. marina (cm) ... 34 2. Persentase peningkatan pertumbuhan bibit A. marina (cm) dari

(11)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1

. Buah dan susunan daun api-api ... 12 2. Gambar diagram batang dari setiap parameter yang diamati pada

pengamatan 1-13MST (Minggu setelah tanam) ... 35

3. Gambar persentase peningkatan setiap parameter yang diamati pada

pengamatan 1-13MST (Minggu setelah tanam) ... 37

4. Bentuk bibit A. marina dalam berbagai intensitas naungan (a.intensitas naungan 0%, b. Intensitas naungan 25%,

c. Intensitas naungan 50%, d. Intensitas naungan 75% dan

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No.

Halaman 1. Data persentase hidup bibit A. marina (%) dengan intensitas

naungan pada pengamatan 1 sampai 13 MingguSetelah

Tanam (MST) ... 55

2. Data pertumbuhan tinggi rata-rata bibit A. marina (cm) dengan intensitas naungan pada pengamatan 1 sampai

13 Minggu Setelah Tanam (MST) ... 56

3. Data pertumbuhan diameter rata-rata bibit A. marina (cm) dengan intensitas naungan pada pengamatan 1 sampai

13 Minggu Setelah Tanam (MST) ... 57

4. Data jumlah daun rata-rata bibit A. marina (helai) dengan intensitas naungan pada pengamatan 1 sampai

13 Minggu Setelah Tanam (MST) ... 58

5. Data luas daun total bibit A. marina (cm2

intensitas naungan pada pengamatan1 sampai 13 ) dengan

Minggu Setelah Tanam (MST) ... 59

6. Data biomassa total bibit A. marina (g) dengan intensitas naungan pada pengamatan 1 sampai 13

Minggu Setelah Tanam (MST) ... 60

7. Data persentase peningkatan pertumbuhan bibit A. marina (g) dari setiap parameter pengamatandengan

intensitas naungan pada pengamatan 1 sampai 13

(13)

ABSTRACT

SANGAPTA RAS KELIAT: Seedling growth of Avicennia marina In Various Shades Intensity by YUNASFI and BUDI UTOMO.

Avicenia marina Represent the plant species in forest mangrove which can grow at all of location level alongside coastal area. One of the efforts to rehabilitate the forest mangrove is doing seedbed A. marina.

The design of this study using Random complete Design (RCD) with 4 treatments, ie, without shade, shade intensity of 25%, 50% shade intensity,and 75% intensity of shade. Each treatment was repeated as many as 10 to obtain 40 seeds of A. marina.

This study aims to determine the growth of seedlings A. marina good on a variety of shade intensity.

The results showed growth of seed A. marina give not real effection seedling to life percentation but give the real effection to height, seedling diameter, seedling leaf, total leaf area, and total biomass. High largest seed in the seed A. marina with 50% of shading that is equal to 16,27 cm. The diameter of the largest seed in the seed A. marina with 50% of shading is 0,49 cm. We have the largest seedling total leaf area in seedlings A. marina with 50% of shading that is equal to 94,97 cm2. Total biomass of the largest seed found in seed A. marina with 50% of shading that is equal to 0,54 grams.

(14)

ABSTRAK

SANGAPTA RAS KELIAT: Pertumbuhan bibit Avicennia marina pada berbagai intensitas naungan, dibimbing oleh YUNASFI dan BUDI UTOMO.

Avicenia marina Merupakan spesies tumbuhan di hutan mangrove yang dapat tumbuh pada semua tingkatan lokasi di sepanjang pesisir. Satu diantara beberapa usaha yang dilakukan untuk merehabilitasi mangrove adalah pembibitan

A. marina. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan bibit A. marina yang baik pada berbagai intensitas naungan.

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) non faktorial dengan 4 perlakuan, yaitu intensitas naungan (0%, 25%, 50% dan 75) yang diulang sebanyak 10 sehingga diperoleh 40 unit percobaan. Hasil penelitian menunjukkan intensitas naungan tidak berpengaruh terhadap persentase hidup bibit A. marina namun berpengaruh terhadap tinggi, diameter, jumlah helai daun, luas daun total, dan biomassa total. Persentase hidup bibit A. marina dengan intensitas naungan yang berbeda adalah sama yaitu 100%. Tinggi bibit A. marina tertinggi terdapat pada intensitas naungan 50% yaitu rata-rata 16,27 cm. Diameter bibit A. marina tertinggi terdapat pada intensitas naungan 50% yaitu rata-rata 0,49 cm. Jumlah helai daun bibit A. marina terbanyak terdapat pada intensitas naungan 50% sebanyak rata-rata 6 helai. Luas daun total bibit A. marina terluas terdapat pada intensitas naungan 50% yaitu rata-rata 94,97cm2. Biomassa total bibit A. marina terbesarterdapat pada intensitas naungan 50% yaitu rata-rata 0,54 gram.

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah

pasang surut, terutama di pantai yang terlindung, laguna dan muara sungai yang

tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang

komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas garam. Secara umum

kawasan hutan mangrove tidak dipengaruhi oleh iklim, tetapi oleh pasang surut air

laut. Menurut Harty (1997) dalam Hamzah dan Setiawan (2010), ekosistem mangrove memiliki tingkat produktivitas paling tinggi dibanding dengan

ekosistem pesisir lainnya. Mangrove juga merupakan tempat mencari makan,

memijah dan berkembang biak bagi udang, ikan, kerang dan kepiting. Ekosistem

mangrove juga bermanfaat bagi manusia baik secara langsung dan tidak langsung

terhadap sosial-ekonomi penduduk sekitar. Selain itu, ekosistem mangrove juga

berfungsi sebagai perangkap sedimen dan mencegah erosi serta penstabil bentuk

daratan di daerah estuari.

Saat ini luas hutan mangrove Indonesia tinggal 3.5 juta ha. Kondisi

mangrove yang masih baik hanya ada di Irian Jaya saja. Sedangkan di Sumatera,

Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku dan Nusa Tenggara

menunjukkan sebagian besar mangrove telah mengalami kerusakan, baik karena

konversi menjadi tambak, tambak garam, pemukiman, pertanian, industri maupun

penebangan secara berlebihan. Mengingat besarnya kerugian akibat rusaknya

mangrove, maka penting dikembangkan kegiatan penanaman mangrove, terutama

diluar kawasan hutan. Agar penanaman ini berjalan dengan baik dan berhasil,

(16)

kegiatan sampai pada pemeliharaan tanaman. Keterlibatan masyarakat ini penting

karena merekalah yang sehari-hari berada dan berinteraksi dengan tanaman dan

lokasi penanaman (Khazali, 1999).

Avicennia marina merupakan spesies tanaman mangrove yang sangat tahan terhadap salinitas tinggi, maka lokasi penanaman yang sesuai untuk jenis ini

adalah di lokasi yang berhadapan langsung dengan laut dan memiliki substrat

pasir berlumpur tebal. Jenis ini sangat potensial untuk dijadkan sebagai sabuk

hijau sehingga sering digunakan untuk kegiatan rehabilitasi hutan mangrove.

Benih A. marina yang cocok untuk dibibitkan sebaiknya buah yang telah matang. Buah yang telah matang dapat dikenali dengan warna agak kekuning-kuningan

dan kulit buahnya sedikit merekah. Selain itu, buah yang telah matang (dengan

berat minimal 1,5 gr) sangat mudah dilepas dari kelopaknya

(Wibisono dkk., 2006).

Banyak spesies mangrove memerlukan naungan pada awal

pertumbuhannya, walaupun dengan bertambahnya umur naungan dapat dikurangi

secara bertahap. Beberapa spesies yang berbeda mungkin tidak memerlukan

naungan dan yang lain mungkin memerlukan naungan mulai awal

pertumbuhannya. Pengaturan naungan sangat penting untuk menghasilkan

semai-semai yang berkualitas. Naungan berhubungan erat dengan temperatur dan

evaporasi. Oleh karena adanya naungan, evaporasi dari semai dapat dikurangi.

Beberapa spesies dapat hidup dengan mudah dalam intensitas cahaya yang tinggi

tetapi beberapa spesies tidak. Kisaran intensitas cahaya optimal untuk

pertumbuhan mangrove adalah 3000 – 3800 kkal/m2/hari

(17)

Intensitas naungan pada setiap jenis tanaman mangrove berbeda-beda. Hal

ini karena Beberapa spesies dapat hidup dengan mudah dalam intensitas cahaya

yang tinggi tetapi beberapa spesies tidak. Avicenia marina merupakan spesies tumbuhan di hutan mangrove yang dapat tumbuh pada semua tingkatan lokasi di

sepanjang pesisir. Spesies A. marina sangat toleran terhadap kandungan garam yang tinggi dalam tanah. Bibit A. marina baik di bedeng darat maupun di pasang surut, harus dinaungi dengan intensitas 50%. Pada saat yang sama, proses

aklimatisasi dilakukan dengan cara membuka naungan secara bertahap hingga

bibit tahan terhadap kondisi terbuka. (Wibisono dkk., 2006).

Penggunaan naungan berfungsi untuk melindungi bibit dari sengatan

matahari secara langsung. Dengan demikian, bibit akan dapat tumbuh dengan

baik. Namun bila bibit akan ditanam, naungan ini harus dikurangi atau

dihilangkan. Spesifikasi bibit Avicennia marina yang cocok dan siap untuk ditanam adalah bibit yang sudah memiliki tinggi 30 cm dan dengan jumlah daun

atau helai sebanyak 6 helai daun. Lama pembibitan untuk spesies ini biasanya

memerlukan waktu selama 3-4 bulan. Bibit Avicennia spp. Dapat tumbuh baik pada tanah yang lembek dan berlumpur (Anwar, 2004).

Berdasarkan uraian-uraian tersebut, maka penulis memandang perlu

dilakukannya penelitian mengenai pengaruh intensitas naungan terhadap

(18)

Tujuan Penelitian

Menentukan intensitas naungan terbaik untuk pertumbuhan bibit

Avicennia marina.

Hipotesis Penelitian

Intensitas naungan 50% berpengaruh paling baik untuk pertumbuhan bibit

Avicennia marina.

Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah sebagai informasi untuk pembibitan dalam

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan Mangrove

Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis ”Mangue” dan bahasa Inggris ”grove”(Macnae, 1968). Dalam Bahasa Inggris kata mangrove digunakan baik untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan

pasang surut maupun untuk individu-individu jenis tumbuhan yang menyusun

komunitas tersebut. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen dan hutan payau (bahasa Indonesia). Selain itu, hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya

yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Penggunaan istilah

hutan bakau untuk hutan mangrove sebenarnya kurang tepat dan rancu, karena

bakau hanyalah nama lokal dari marga Rhizophora, sementara hutan mangrove disusun dan ditumbuhi oleh banyak marga dan jenis tumbuhan lainnya. Oleh

karena itu, penyebutan hutan mangrove dengan hutan bakau sebaiknya dihindari

(Kusmana dkk., 2003 dalam Irwanto, 2008).

Mangrove merupakan tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di daerah

pasang-surut antara garis pasang tertinggi dengan garis pasang-surut terendah di wilayah tropika

dan subtropika. Tumbuh-tumbuhan tersebut berasosiasi dengan organisme lain

(fungi, mikroba, alga, fauna dan tumbuhan lainnya) membentuk komunitas

mangrove. Selanjutnya komunitas mangrove tersebut berinteraksi dengan faktor

abiotik (iklim, udara, tanah, air) membentuk ekosistem mangrove

(20)

Istilah mangrove tidak selalu diperuntukkan bagi kelompok spesies dengan

klasifikasi taksonomi tertentu saja, tetapi dideskripsikan mencakup semua

tanaman tropis yang bersifat halophytic atau toleran terhadap garam. Tanaman ini mampu tumbuh di tanah basah lunak, habitat air laut dan terkena fluktuasi pasang

surut. Tanaman tersebut mempunyai cara reproduksi dengan mengembangkan

buah vivipar yang bertunas (seed germination) semasa masih berada pada pohon induknya. Daerah hutan mangrove dunia yang diperkirakan seluas 15.429.000 ha,

25 % nya meliputi garis pantai kepulauan Karibia dan sampai 75 % meliputi

daerah pantai lainnya seperti di kawasan Amerika Selatan dan Asia. Di Indonesia

sendiri luas hutan mangrove diperkirakan meliputi areal sekitar 4,25 juta ha atau

sekitar 27 % luas mangrove di dunia. Sayangnya kondisi hutan mangrove yang

ada saat ini setengahnya telah mengalami kerusakan

(The Nature Conservacy, 2003).

Mangrove merupakan salah satu ekosistem langka saat ini, Hal ini karena

luas hutan mangrove dunia hanya 2% dari permukaan bumi. Indonesia merupakan

kawasan ekosistem mangrove terluas di dunia. Ekosistem mangrove memiliki

peranan ekologi, sosial-ekonomi, dan sosia-budaya yang sangat penting; misalnya

menjaga stabilitas pantai dari abrasi, sumber ikan, udang dan keanekaragaman

hayati lainnya, sumber kayu bakar dan kayu bangunan, serta memiliki fungsi

konservasi, pendidikan, ekoturisme dan identitas budaya. Tingkat kerusakan

ekosistem mangrove dunia, termasuk Indonesia sangat cepat akibat pembukaan

tambak, penebangan hutan mangrove, pencemaran lingkungan, reklamasi dan

sedimentasi, pertambangan, sebab-sebab alam seperti badai atau tsunami, dan

(21)

sosial-ekonomi dan ekologi ekosistem mangrove. Restorasi dapat menaikkan nilai

sumber daya hayati mangrove, memberi mata pencaharian penduduk, mencegah

kerusakan pantai, menjaga biodiversitas, produksi perikanan, dan lain-lain

Setyawan, 2002 dalam Setyawan dan Winarno, 2006).

Dari sekian banyak jenis mangrove di Indonesia, jenis mangrove yang

banyak ditemukan antara lain adalah jenis api-api (Avicennia sp.), bakau (Rhizophora sp.), tancang (Bruguiera sp.), dan bogem atau pedada (Sonneratia sp.) merupakan tumbuhan mangrove utama yang banyak dijumpai. Jenis-jenis

mangrove tersebut adalah kelompok mangrove yang menangkap, menahan

endapan dan menstabilkan tanah habitatnya. Jenis api-api (Avicennia sp.) atau di dunia dikenal sebagai black mangrove merupakan jenis terbaik dalam proses menstabilkan tanah habitatnya karena penyebaran benihnya mudah, toleransi

terhadap temperartur tinggi, cepat menumbuhkan akar pernafasan (akar pasak)

dan sistem perakaran di bawahnya mampu menahan endapan dengan baik serta

dapat mengurangi dampak kerusakan terhadap arus, gelombang besar dan angin

(Irwanto, 2008).

Tumbuhan mangrove biasanya hidup dalam sebuah wilayah kolonisasi

yang terlindung dimana terdapat endapan pasir yang diakibatkan oleh proses yang

terjadi di sepanjang pantai. Sesudah tertanam dengan baik, tumbuhan mangrove

dapat meningkatkan proses sedimentasi dengan cara menambah jumlah endapan

lumpur. Tetapi, tumbuhan mangrove tidak dapat memicu terjadinya endapan

lumpur dan tidak dapat tumbuh sebagai koloni atau bertahan dalam wilayah tepi

pantai yang memiliki energi tinggi. Berbagai bencana yang menjadi penyebab

(22)

menyebabkan erosi dalam skala besar dan telah terbukti dari berbagai kejadian

bahwa tumbuhan mangrove dapat mengurangi dampak yang mungkin

ditimbulkan. Jika terjadinya erosi diselingi dengan periode yang cukup lama

dimana endapan dapat terbentuk, maka kemungkinan besar tumbuhan mangrove

akan dapat bertahan. Tetapi, jika penyebab erosi ini sering terjadi, maka wilayah

pesisir pantai akan mudah hanyut dan tumbuhan mangrove dengan sendirinya

akan musnah (Hanley et al., 2005)

Secara umum hutan mangrove didefinisikan sebagai hutan yang terdapat di

sepanjang pantai atau muara yang terpengaruh oleh pasang surut air laut,

tergenang air laut, tetapi tidak terpengaruhi oleh iklim. Hutan mangrove terdapat

pada tanah berlumpur, berpasir, atau tanah berpasir. Mangrove merupakan

vegetasi khas di zona pantai, floranya berhabitus semak dan berhabitus pohon

besar dan tingginya antara 50-60 dan hanya mempunyai satu stratum tajuk

(Istomo, 1992 dalam Nugroho, 2006)). Menurut Nirarita et al. (1996) dalam Nursal et al. (2005), hutan mangrove merupakan tipe vegetasi yang khas terdapat

di daerah pantai tropis. Vegetasi mangrove umumnya tumbuh subur di daerah

pantai yang landai di dekat muara sungai dan pantai yang terlindung dari kekuatan

gelombang. Karakteristik habitat yang menonjol di daerah hutan mangrove

diantaranya adalah jenis tanah berlumpur, berlempung atau berpasir, lahan

tergenang air laut secara periodik, menerima pasokan air tawar yang cukup dari

darat seperti dari sungai, mata air dan air tanah, airnya payau dengan salinitas

2-22 ppt atau asin dengan salinitas sekitar 38 ppt.

Hutan mangrove memiliki banyak manfaat. Secara fisik, hutan mangrove

(23)

hutan mangrove berfungsi sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah pemijahan (spawning ground), dan tempat mencari makan (feeding ground) bagi

beranekaragam biota perairan seperti ikan, udang, dan kepiting

(Nursal et al., 2005). Hal serupa juga dijelaskan oleh Waryono (2002), bahwa hutan mangrove sangat menunjang perekonomian masyarakat pantai, karena

merupakan sumber mata pencaharian masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan.

Secara ekologis hutan mangrove di samping sebagai habitat biota laut, juga

merupakan tempat pemijahan bagi ikan yang hidup di laut bebas. Keragaman jenis

mangrove dan keunikannya juga memiliki potensi sebagai wahana hutan wisata

dan atau penyangga perlindungan wilayah pesisir dan pantai, dari berbagai

ancaman sedimentasi, abrasi, pencegahan intrusi air laut, serta sebagai sumber

pakan habitat biota laut. Selain fungsi fisik dan fungsi ekologi yang telah

dikemukakan diatas, hutan mangrove juga memiliki fungsi ekonomi. Menurut

Iswahyudi (2008), fungsi ekonomis hutan mangrove yaitu hasil hutan kayu, hasil

hutan bukan kayu sperti madu, obat-obatan, minuman, makanan dan tanin, dan

memberikan lahan untuk kegiatan produksi pangan dan tujuan lain seperti lahan

untuk pemukiman, pertambangan, industri, infrastruktur, transportasi dan rekreasi.

Hutan paya bakau biasanya ditemui di sepanjang pesisir pantai beriklim

tropika dan subtropika di seluruh dunia yaitu pada kedudukan latitud 25°U dan

25°S (Boundry Ecosystem, 2008). Antara ciri yang utama bagi tumbuhan ini ialah

kebolehan untuk hidup di kawasan yang belum ditumbuhi oleh tumbuhan

lain(perintis). Ia mampu hidup di kawasan yang dibanjiri air masing-masing 2 kali

(24)

Rhizophora apiculata (bakau minyak) dan Avicennia marina (api-api). Hutan paya bakau bukan saja melindungi daripada kikisan tanah tetapi mengumpulkan

semua tanah yang terkikis dari laut. Apabila ombak menolak tanah atau lumpur

dari laut ke daratan maka hutan paya bakau dengan sistem akarnya yang unik

dapat mengumpul tanah tersebut. Ini merupakan fenomena yang unik, karena

kecenderungan laut untuk menenggelami daratan. Hutan paya bakau merupakan

tempat yang sesuai bagi pembiakan beberapa spesies seperti ikan, ketam, udang

dan kerang. Hutan ini merupakan tempat kehidupan berkenaan menetas dan

membesar bagi spesies- spesies tersebut sebelum kembali ke laut. Jika hutan ini

tidak ada, maka dapat memberikan efek negatif bukan saja dampak secara tidak

langsung tetapi juga dapat memberi dampak langsung atas ekonomi sebuah negara

akibat kehilangan pendapatan daripada industri perikanan

(Mokhtar et al., 2009).

Hutan mangrove berbeda dengan hutan pantai yang jarang atau tidak

pernah tergenang oleh pasang surutnya air. Komposisi jenis disetiap hutan

mangrove berbeda, tergantung pada kandungan lumpur tanah, karakteristik pasang

surut, jarak dari laut, salinitas, dan frekuensi penggenangan oleh air laut, serta

gangguan dari manusia. Di Indonesia tidak kurang dari 73 jenis pohon penyusun

struktur hutan mangrove. Yang banyak dikenal antara lain adalah Rhizhopora mucronata (bakau laki), R. Apiculata (bakau bini), Bruguiera gymnorrhiza (tancang), Sonneratia alba (preparat), Avicennia marina (api-api), Ceriops tagal (tengar), dan Xilocarpus mollucensis (nyirih) (Anwar, 2004).

(25)

udara dengan fluktuasi musiman tidak lebih dari 5ºC dan suhu udara rata-rata

dibulan terdingin lebih dari 20ºC, (2) arus laut yang tidak terlalu deras, (3)

tempat-tempat yang terlindung dari angin kencang dan gempuran ombak yang kuat,

misalnya estuaria, teluk laguna, delta, (4) topografi pantai yang datar atau landai,

(5) keberadaan air laut, (6) fluktuasi pasang-surut yang cukup besar yang

berasosiasi dengan pantai yang bertopografi landai, dan (7) keberadaan lumpur

dan tanah organik. Sedangkan menurut Irwanto (2008), Faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi pertumbuhan mangrove adalah : (1) gerakan gelombang yang

minimal, agar jenis tumbuhan mangrove dapat menancapkan akarnya, (2) salinitas

payau (pertemuan air laut dan tawar), (3) endapan Lumpur (4) zona intertidal

(pasang surut) yang lebar. Irwanto (2008) menambahkan selain faktor di atas

terdapat faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan mangrove yaitu

(1) tanah : sebagian besar jenis-jenis mangrove tumbuh dengan baik pada tanah

berlumpur, terutama di daerah endapan lumpur terakumulasi. Di Indonesia

substrat berlumpur ini sangat baik untuk tegakan Rhizophora mucronata dan Avicennia marina. Jenis tanah yang mendominasi kawasan mangrove biasanya adalah fraksi lempeng berdebu, akibat rapatnya bentuk perakaran-perakaran yang

ada. Nilai pH tidak banyak berbeda, yaitu antara 4,6-6,5 dibawah tegakan jenis

Rhizophora spp. (2) cahaya, salah satu faktor yang penting dalam proses fotosintesis dalam melakukan pertumbuhan tumbuhan hijau. Cahaya

mempengaruhi respirasi, transpirasi, fisiologi dan juga sruktur fisik tumbuhan.

Intensitas cahaya, di dalam kualitas dan juga lama penyinaran juga merupakan

satu faktor penting untuk tumbuhan (3) suhu, faktor yang berperan dalam proses

(26)

dalam Iswahyudi (2008), Avicennia marina tumbuh baik pada suhu 18– 20ºC, sedangkan pada Rh. stylosa, Ceriops spp., Excoecaria agallocha dan Lumnitzera racemosa pertumbuhan daun segar tertinggi dicapai pada suhu 26 - 28ºC. Suhu optimum untuk pertumbuhan Bruguiera spp. adalah 27ºC, Xylocarpus spp. berkisar antara 21-26ºC dan X. granatum pada suhu 28ºC.

Api – Api Putih (Avicennia marina) Klasifikasi:

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Lamiales

Family : Acanthaceae

Genus : Avicennia gambar 1: Buah dan susunan daun api-api

Spesies : Avicennia marina

Nama setempat dari Avicennia marina adalah Api-api putih, api-api abang,

sia-sia putih, sie-sie, pejapi, nyapi, hajusia, pai.A. marina merupakan belukar atau pohon yang tumbuh tegak atau menyebar, ketinggian pohon mencapai 30 meter.

Memiliki sistem perakaran horizontal yang rumit dan berbentuk pensil (atau

berbentuk asparagus), akanya merupakan akar nafas yang memiliki sejumlah

lentisel. Bagian kulit luar kayu memiliki permukaan yang halus dengan

burik-burik hijau-abu dan terkelupas dalam bagian-bagian kecil, sedangkan kulit dalam

putih sampai krem. Ranting muda dan tangkai daun berwarna kuning dan tidak

(27)

seperti almond, terkadang memiliki ujung berbentuk seperti piala pendek dengan

panjang 1.5-2.5 cm. Umumnya tumbuh di daerah pertemuan sungai atau teluk

landai dengan lumpur yang dalam. (Noor et al., 1999).

Api-api menyukai

di sepanjang tepianA. marina,

memperlihatkan toleransi yang tinggi terhadap kisaran

di rawa air tawar hingga di substrat yang berkadar garam sangat tinggi.

Kebanyakan jenisnya merupakan jenis pionir dan oportunistik, serta mudah

tumbuh kembali. Pohon-pohon api-api yang tumbang atau rusak dapat segera

tumbuh atau bersemi kembali, sehingga mempercepat pemulihan tegakan yang

rusak. Akar napas api-api yang padat, rapat dan banyak sangat efektif untuk

menangkap dan menahan lumpur serta pelbagai sampah yang terhanyut di

perairan. Jalinan perakaran ini juga menjadi tempat mencari makanan bagi aneka

jet al., 1999)..

Akar napas (pneumatofore) yang ada pada pohon api-api (Avicennia marina) merupakan akar percabangan yang tumbuh dengan jarak teratur secara vertikal dari akar horizontal yang terbenam di dalam tanah. Reproduksinya

bersifat kryptovivipary, yaitu biji tumbuh keluar dari kulit biji saat masih menggantung pada tanaman induk, tetapi tidak tumbuh keluar menembus buah

sebelum biji jatuh ke tanah. Buah berbentuk seperti mangga, ujung buah tumpul

dan panjang 1 cm, daun berbentuk ellips dengan ujung tumpul dan panjang daun

sekitar 7 cm, lebar daun 3-4 cm, permukaan atas daun berwarna hijau mengkilat

(28)

Avicennia marina memiliki banyak manfaat. Menurut Bandaranayake (2002), Spesies ini dapat berkhasiat dalam mengobati aphrodiasiac, diuretic, anti

malaria, dan sitotoksik, bagian buahnya mengobati hepatitis, dan kulit batang

untuk mengobati leprosy. Menurut Hanley (2005), spesies A. marina adalah spesies yang berharga karena dapat menjadi payung atau pemberi naungan bagi

berbagai spesies seperti Rhizhopora dan Bruguiera. Panjaitan (2009) menjelaskan

bahwa Avicennia marina merupakan tanaman mangrove tumbuhan tingkat tinggi di kawasan pantai yang dapat berfungsi untuk menyerap bahan-bahan organik dan

non-organik sehingga dapat dijadikan bioindikator logam berat terutama dalam

mengakumulasi logam berat tembaga (Cu) dan timbal (Pb). Jenis ini sangat

potensial untuk dijadikan sebagai sabuk hijau.

Pembibitan Tanaman Mangrove

Kegiatan rehabilitasi yang di lakukan di pantai maupun di hutan mangrove

masih sering berakhir dengan kegagalan. Beberapa faktor penyebab yang umum

dijumpai antara lain: rendahnya kualitas bibit, tidak sesuainya lokasi penanaman,

kesalahan memilih jenis tanaman, serta pelaksana dilapangan yang kurang

berpengalaman. Hal-hal tersebut terjadi dikarenakan kurangnya pengetahuan dan

pemahaman mengenai kegiatan rehabilitasi pantai maupan hutan mangrove.

Disamping itu, minimnya pengalaman, terutama bagi para perencana dan

pelaksana kegiatan di lapangan, juga diyakini berdampak terhadap rendahnya

keberhasilan kegiatan rehabilitasi.

Bibit yang berkualitas merupakan salah satu faktor utama yang mampu

menunjang keberhasilan suatu kegiatan rehabilitasi. Apabila bibit yang digunakan

(29)

akan tinggi. Sebaliknya, penggunaan bibit berkualitas rendah hanya akan

menyebabkan kegagalan kegiatan rehabilitasi. Cara membibitkan tanaman

mangrove (misalnya bakau, api-api, pedada, tengal, dll) sangat berbeda dengan

tanaman pantai lainnya (misalnya waru, ketapang, nyamplung, cemara, dll).

Persemaian mangrove membutuhkan lokasi basah yang terpengaruh pasang surut.

Karenanya, persemaian mangrove dapat juga disebut sebagai persemaian pasang

surut. Sedangkan untuk jenis tanaman pantai, lokasi yang sesuai adalah lokasi

kering, tidak mengalami genangan. Oleh karena itu, persemaian ini juga dikenal

sebagai persemaian darat (Wibisono dkk., 2008).

Informasi teknik pembibitan mangrove memusat pada beberapa spesies

mangrove mayor. Dari sekitar 60 spesies pohon dan semak mangrove mayor dan

minor, serta sekitar 20 spesies tumbuhan asosiasi, hanya 12 spesies yang biasa

digunakan untuk restorasi, yaitu Rhizophora, Avicennia, Sonneratia, Bruguiera, Heritiera, Lumnitzera, Ceriops, Excoecaria, Xylocarpus, Nypa, Cassurina, dan Hibiscus. Penentuan spesies yang dipilih tergantung pada tekstur tanah, kadar garam, dan lama penggenangan, serta iklim mikro lainnya (Setyawan dkk., 2003).

Persemaian bibit mangrove (khususnya Rhizophora spp., Ceriops spp. dan Bruguiera spp.) biasanya terletak di lokasi yang terkena pasang surut. Dalam kondisi demikian maka penyiraman tidak perlu dilakukan. Walaupun tidak

disiram, namun pemberian naungan tetap harus dilakukan, terutama dalam waktu

2 bulan pertama. Setelah itu, intensitas naungan sebaiknya dikurangi.

Pengurangan intensitas naungan ini harus dilakukan secara perlahan-lahan hingga

bibit memiliki ketahanan untuk hidup di lokasi terbuka, sebagaimana kondisi

(30)

Dalam penanaman mangrove, kegiatan pembibitan dapat dilakukan dan

dapat tidak dilakukan. Apabila keberadaan pohon atau buah mangrove disekitar

lokasi penanaman banyak, kegiatan pembibitan dapat tidak dilakukan. Apabila

keberadaan pohon atau buah disekitar lokasi penanaman sedikit atau tidak ada,

kegiatan pembibitan sebaiknya dilaksanakan. Adanya kebun pembibitan akan

menguntungkan terutama bila penanaman dilaksanakan pada saat tidak musim

puncak berbuah atau pada saat dilakukan penyulaman tanaman. Selain itu,

penanaman melalui buah yang dibibitkan akan menghasilkan persentase tumbuh

yang tinggi. Bibit atau benih yang akan ditanam harus sudah tersedia satu hari

sebelum diadakan penanaman. Buah bakau dan tumu bisa disemaikan terlebih

dahulu sebelum ditanam dan bisa ditanam tanpa persemaian. Buah api-api dan

prepat sebelum ditanam sebaiknya disemaikan terlebih dahulu. Penanaman secara

langsung, terutama di pinggir laut, sulit dilaksanakan karena buah atau bijinya

terlalu kecil sehingga mudah dibawa arus. Penanaman dengan sistem puteran dari

permudaan alam, untuk kedua jenis ini dapat dilakukan dan berhasil dengan baik

(Khazali, 1999).

Bedeng sapih adalah bedeng bersekat, berukuran tertentu, yang

difungsikan untuk menampung polibag yang berisi semai atau propagul. Semai

atau propagul ini bisa berasal dari semai yang disapih dari bedeng tabur atau

semai dari biji atau stek yang langsung ditanam dalam polibag. Di bedeng sapih

inilah semai dipelihara dari kecil hingga siap tanam. Idealnya, bedeng sapih

dilengkapi dengan naungan dengan intensitas tertentu. Di pasaran, naungan ini

sudah umum dijumpai dengan nama perdagangan paranet atau sarlon. Namun

(31)

rumbia atau daun kelapa (Kusmana dkk., 2008). Lama pemberian naungan dan

lama naungan dibuka di persemaian sebelum ditanam untuk jenis R. mucronata 3– 4 bulan dan 1 bulan naungan dibuka; R. apiculata 3–4 bulan dan 1 bulan; B. gymnorrhiza 2–3 bulan dan 1 bulan; C. tagal 3–4 bulan dan 3–4 bulan; S. alba 2 bulan dan 3-4 bulan naungan dibuka; S. caseolaris 2 bulan dan 3-4 bulan; A.

marina 2 bulan dan 1–2 bulan; X. granatum 2 bulan dan 1–2 bulan (Taniguchi, 1999 dalam Kusmana dkk., 2008).

Bedeng sapih dibuat dengan ukuran bervariasi sesuai dengan kebutuhan,

tetapi umumnya berukuran 1 x 5 m atau 1 x 10 m memanjang searah utara selatan.

Dengan bedeng berukuran 1 x 10 m dapat memuat pot berupa kantong pelastik

atau polybag (15 x 20 cm) sebanyak lebih kurang 2.550 buah untuk pot kantong

pelastik berukuran 12 x 15 cm. Bedeng sapih diberi batas berupa belahan bambu,

agar pot kantong pelastik tidak terguling apabila ditata dan ditempatkan

dibedeng. Bedeng sapih diberi naungan dengan menggunakan daun nipah atau

lainnya pada ketinggian 1 m. Tingkat naungan yang disarankan adalah sebesar

kurang lebih 50 % (Anwar, 1997 dalam Anwar, 2004).

Pembatas (sekat) bedeng dapat menggunakan bambu atau tiang yang

panjangnya disesuaikan dengan ukuran bedeng. Bedeng menghadap ke arah timur

(membujur ke arah selatan-utara) dengan maksud agar seluruh bibit di dalam

bedeng mendapatkan sinar matahari pagi yang merata dan optimal. Jarak antar

bedengan adalah setengah hingga satu meter untuk jalan inspeksi dan

memudahkan penyiraman. Khusus bagi semai yang baru disapih, naungan yang

diberikan harus lebih berat karena sangat rentan terhadap sengatan sinar matahari.

(32)

naungan tambahan berupa atap rumbia, tepat diatas semai yang baru disapih.

Setelah beberapa minggu, naungan rumbia ini diambil hingga tinggal paranetnya

(Kusmana dkk., 2008).

Untuk jenis-jenis mangrove yang propagulnya besar seperti

Rhizophoraceae (bakau, tanjang, dan tengal), dan nyirih (Xilocarpus spp.), benih dapat langsung disemaikan sekaligus disapih pada pot kantong plastik yang telah

berisi media tanam. Buah disemaikan sedalam 5 cm dalam pot. Untuk buah

api-api (Avicennia spp.), kulit buah dibelah dua terlebih dahulu sebelum disemaikan. Apabila semai sudah berumur lebih kurang satu bulan atau ditandai dengan tinggi

semai sekitar 10 cm atau telah keluarnya daun sebanyak 6 buah, semai dapat

disapihkan kedalam kantong plastik yang telah ditempatkan dibedeng sapih.

Spesifikasi bibit Avicennia marina yang cocok dan siap untuk ditanam adalah bibit yang sudah memiliki tinggi 30 cm dan dengan jumlah daun atau helai

sebanyak 6 helai daun. Lama pembibitan untuk spesies ini biasanya memerlukan

waktu selama 3-4 bulan. Bibit Avicennia spp. Dapat tumbuh baik pada tanah yang lembek dan berlumpur (Anwar, 2004).

Didalam kegiatan pembibitan ada beberapa hal yang harus diperhatikan

yaitu: (A) Pemilihan lokasi persemaian. Pemilihan lokasi persemaian harus

diusahakan pada tanah yang lapang dan datar. Hindari daerah yang mudah

dijangkau oleh ketam atau kepiting atau mudah dijangkau kambing. Lokasi

persemaian diusahakan sedekat mungkin dengan lokasi penanaman dan sebaiknya

terendam air pasang lebih kurang 20 kali per bulan agar tidak dilakukan kegiatan

penyiraman bibit. (B) pembangunan tempat dan bedeng persemaian. Dari luas

(33)

keperluan bedeng pembibitan, sisanya 30 % digunakan untuk jalan inspeksi,

saluran air, gubuk kerja dan bangunan ringan lainnya. Ukuran tempat persemaian

tergantung kepada kebutuhan jumlah buah yang akan dibibitkan. Bahan tempat

persemaian dapat menggunakan bambu. Atap atau naungan dapat menggunakan

daun nipah atau alang-alang dengan ketinggian antara 1-2 meter. Bedeng

persemaian dapat dibuat dengan mencangkul tanah dengan kedalaman 5 - 10 cm

atau tanah yang datar diberi batas berupa bambu agar kantong plastik atau botol

air mineral bekas tidak jatuh. Antar bedeng sebaiknya ada jalan inspeksi untuk

memudahkan peme-riksaan tanaman. (C) Pembuatan bibit. Dalam pembibitan,

terlebih dahulu harus dipersiapkan media tanam yaitu tanah lumpur dari sekitar

persemaian. Jenis api-api dan prepat benih harus disemaikan terlebih dahulu.

Buah api-api, benih dapat ditebarkan langsung di bak persemaian atau kulit buah

dibelah dua terlebih dahulu sebelum disemaikan di bak persemaian. Api-api

(Avicennia spp.) cocok ditanam di daerah yangdidominasi pasir tapi mengandung lumpur dan terkena pasang surut rata-rata 20 hari/bulan. Jenis api-api merupakan

jenis tanaman mangrove yang sangat kuat untuk menahan ombak karena sifat

akarnya yangmuncul dari bawah keatas seperti pasak sehingga cocok ditanam di

bagian terdepan garis pantai (Khazali, 1999).

Menurut Kusmana et al. (2005) dalam Iswahyudi (2008), Sruktur, fungsi, komposisi, distribusi spesies, dan pola pertumbuhan mangrove sangat tergantung

pada faktor-faktor lingkungan. Beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh

(34)

a.Fisiografi Pantai

Merupakan faktor penting yang mempengaruhi karakteristik struktur

mangrove, khususnya komposisi spesies, distribusi spesies dan ukuran serta luas

hutan mangrove. Semakin datar pantai dan semakin besar pasang surut, maka

semakin lebar hutan mangrove yang akan tumbuh.

b. Ikilm

Iklim merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi ekosistem

mangrove, terutama terhadap perkembangan tumbuhan dan perubahan

faktor-faktor fisik, seperti tanah dan air. Iklim berpengaruh terhadap pertumbuhan

mangrove melalui cahaya, curah hujan, suhu, dan angin. Umumnya hutan

mangrove di Indonesia terdapat pada iklim dengan curah hujan tahunan dan

bulanan yang tinggi, hal ini dapat mencegah akumulasi garam-garam tanah,

sehingga hutan mangrove tumbuh subur dan berkembang dengan baik.

b.1. Cahaya.

Umumnya tanaman mangrove membutuhkan intensitas cahaya matahari

tinggi dan penuh, sehingga zona pantai tropis merupakan habitat ideal bagi

mangrove. Kisaran intensitas cahaya optimal untuk pertumbuhan mangrove

adalah 3000 – 3800 kkal/m²/hari. Intensitas cahaya yang berlebihan akan

menyebabkan laju transpirasi tinggi sedangkan intensitas cahaya yang rendah

akan mengganggu jalannya fotosintesis sehingga menghambat pertumbuhan

tanaman. Oleh karena itu intensitas cahaya optimal sangat diperlukan agar

pertumbuhan tanaman dapat maksimal dan dapat menghasilkan bibit berkualitas

(35)

sehingga dapat melindungi semai dari cahaya atau sinar matahari dan suhu yang

berlebihan.

Menurut Takashima, et al. (1999), tanaman mangrove membutuhkan intensitas cahaya matahari tinggi, akan tetapi pada tingkat semai tanaman

mangrove memerlukan naungan. Mayer dan Anderson (1952) dalam Simarangkir (2000) menyatakan bahwa tanaman yang tumbuh dengan intensitas cahaya 0%

akan mengakibatkan pengaruh yang berlawanan, yaitu suhu rendah, kelembaban

tinggi, evaporasi dan transportasi yang rendah. Tanaman cukup mengambil air,

tetapi proses fotosintensis tidak dapat berlangsung tanpa cahaya matahari.

Sedangkan Soekotjo (1976) berpendapat bahwa pengaruh cahaya terhadap

pembesaran sel dan diferensiasi sel berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi,

ukuran daun serta batang.

Dibandingkan dengan lama penyinaran dan jenis cahaya, intensitas cahaya

merupakan faktor yang paling berperan terhadap kecepatan berjalannya

fotosintesis. Laju fotosintesis meningkat dengan meningkatnya kelembaban udara

sekitar tanaman. Intensitas cahaya tinggi membawa perubahan-perubahan penting

pada morfologi pohon yaitu pembentukan sistem akar dan peningkatan rasio akar

dan batang, sedangkan daun akan menjadi lebih tebal karena intensitas cahaya

tinggi merangsang pertumbuhan palisade. Intensitas cahaya tinggi juga dapat

menurunkan pertumbuhan tinggi. Pertumbuhan tinggi lebih cepat pada tempat

ternaung daripada tempat terbuka (Ulumiyah, et al., 2008). b.2.

Jumlah, lama dan distribusi curah hujan merupakan faktor penting yang

(36)

hujan mempengaruhi faktor lingkungan seperti suhu air dan udara, salinitas, air

permukaan tanah dan air tanah yang berpengaruh pada daya tahan spesies

mangrove. Umumnya hutan mangrove di Indonesia terdapat pada iklim dengan

curah hujan tahunan dan bulanan yang tinggi, dalam hal ini mangrove tumbuh

subur di daerah dengan curah hujan rata-rata 1500 - 3000 mm/tahun. Hal ini dapat

mencegah akumulasi garam-garam tanah, sehingga hutan mangrove tumbuh subur

dan berkembang dengan baik.

b.3. Suhu udara

Suhu merupakan faktor penting didalam proses fisiologis tumbuhan

mangrove, seperti fotosintesis dan respirasi. Pertumbuhan mangrove yang baik

memerlukan suhu rata-rata minimal lebih besar dari 20ºC dan perbedaan suhu

musiman tidak melebihi 5ºC, kecuali di Afrika Timur dimana perbedaan suhu

musiman mencapai 10ºC. Suhu yang terlalu panas dapat merusak jaringan daun,

evapotranspirasi meningkat dan tanah cepat mengering. Hutchings dan Saenger

(1987) dalam Istomo (1992) menyatakan bahwa Avicennia marina yang ada di Australia memproduksi daun baru pada suhu 18 - 20 °C dan bila lebih tinggi

suhunya, maka laju produksi daun baru akan lebih rendah. Sedangkan untuk

Rhizophora stylosa, Ceriops spp., Excoacaria aggalocha dan Lumnitzera spp., laju tertinggi produksi daun baru pada suhu 26 – 28 °C, untuk Bruguiera spp., pada suhu 27 °C, Xylocarpus spp., pada suhu 21 – 26 °C, dengan pengecualian Xylocarpus granantum (28 °C).

b.4. Angin

Angin berpengaruh terhadap ekosistem mangrove melalui gelombang dan

(37)

serta meningkatkan evapontranspirasi. Angin yang kuat dapat menghalangi

pertumbuhan dan menyebabkan karakteristik fisiologis abnormal, namun

demikian diperlukan untuk proses polinasi dan penyebaran benih tanaman.

c. Pasang Surut

Pasang surut merupakan gerakan naik turunya permukaan laut sebagai

akibat dari gaya tarik benda angkasa terutama bulan dan matahari terhadap massa

air bumi. Salinitas air menjadi sangat tinggi saat pasang naik, dan menurun selama

pasang surut. Perubahan salinitas air oleh pasang merupakan salah satu faktor

pembatas distribusi spesies secara horizontal di mangrove, khususnya yang

dipengaruhi oleh pasang campuran. Pasang surut menentukan zonasi komunitas

flora dan fauna mangrove. Lama pasang surut berpengaruh besar terhadap

perubahan salinitas pada areal mangrove. Perubahan tingkat salinitas pada saat

pasang merupakan salah satu faktor yang membatasi distribusi spesies mangrove,

terutama distribusi horizontal. Pada areal yang selalu tergenang hanya Rh. Mucronata yang tumbuh baik, sedang Bruguiera spp. Dan Xylocarpus spp. Jarang mendominasi daerah yang sering tergenang.

d. Gelombang dan Arus

Gelombang pantai merupak gelombang yang dipengaruhi oleh angin.

Merupakan penyebab penting abrasi dan suspensi sedimen. Pada pantai berpasir

dan berlumpur, gelombang dapat membawa partikel pasir dan sedimen laut.

Partikel besar atau kasar akan mengendap, terakumulasi membentuk pantai

(38)

e. Salinitas

Salinitas air dan salinitas tanah rembesan merupakan faktor penting dalam

pertumbuhan, daya tumbuh dan zonasi spesies mangrove. Tumbuhan mangrove

tumbuh subur di daerah estuaria dengan salinitas 10 – 30 ppt. Beberapa spesies

dapat tumbuh di daerah dengan salinitas sangat tinggi. Di Australia dilaporkan A. marina dan E. agallocha dapat tumbuh di daerah dengan salinitas maksimum 63 ppt., Ceriops spp. 72 ppt., Sonneratia spp. 44 ppt., Rh. apiculata 65 ppt dan Rh. stylosa 74 ppt.

f. oksigen terlarut

Tanah pada hutan mangrove berlumpur dan jenuh dengan air, sehingga

kandungan oksigennya rendah atau bahkan dapat dikatakan tidak mengandung

oksigen. Oksigen terlarut sangat penting bagi eksistensi flora dan fauna mangrove

(terutama dalam proses fotosintesis dan respirasi) dan percepatan dekomposisi

serasah sehingga konsentrasi oksigen terlarut berperan mengontrol distribusi dan

pertumbuhan mangrove. Konsentrasi oksigen terlarut bervariasi menurut waktu,

musim, kesuburan tanah dan organisme akuatik. Konsentrasi oksigen terlarut

harian tertinggi dicapai pada siang hari dan terendah pada malam hari.

g.Tanah.

Jenis tanah pada hutan mangrove umumnya alluvial biru sampai coklat

keabu-abuan. Tanah ini berupa tanah lumpur kaku dengan persentase liat yang

tinggi, bervariasi dari tanah liat biru yang kompak dengan sedikit atau tanpa bahan

organik, sampai tanah dengan lumpur coklat hitam yang mudah lepas karena

(39)

Hutan mangrove di Indonesia berkembang dengan baik di daerah-daerah

pantai berlumpur, di muara sungai-sungai berlumpur, terpengaruh pasang–surut,

dan umumnya pada garis pantai yang landai, terlindung dari hempasan ombak

yang besar. Mangrove juga dapat tumbuh di tanah lempung yang pejal, kompak

(firm clay soil, seperti Bruguiera spp.) gambut (peat, seperti Kandelia), berpasir (sandy soil, seperti Rhizophora stylosa), dan bahkan tanah berkoral yang kaya akan detritus, walaupun tidak terlampau baik perkembangannya (seperti Pemphis aciluda).

h. Nutrien

Nutrien mangrove dibagi atas nutrien inorganik dan detritus organik.

Nutrien inorganik penting adalah N dan P (jumlahnya sering terbatas), serta K,

Mg, dan Na (selalu cukup). Sumber nutrien inorganik adalah hujan, aliran

permukaan, sedimen, air laut dan bahan organik yang terdegradasi. Detritus

organik adalah nutrien organik yang berasal dari bahan-bahan biogenik melalui

beberapa tahap degradasi mikrobial. Detritus organik berasal dari authochthonous (fitoplankton, diatom, bakteri, algae, sisa organisme dan kotoran organisme) dan

allochthonous (partikular dari air limpasan sungai, partikel tanah dari pantai dan laut.

i. Proteksi

Mangrove berkembang baik pada daerah pesisir yang terlindung dari

gelombang yang kuat yang dapat menghempaskan anakan mangrove. Daerah

yang dimaksud dapat berupa laguna, teluk, estuaria, delta, dan lain-lain. Beberapa

(40)

berperan dalam pertumbuhan mangrove adalah tipe tanah, salinitas, drainase dan

arus yang semuanya diakibatkan oleh tinggi rata-rata muka laut.

Pengaruh Naungan

Banyak spesies memerlukan naungan pada awal pertumbuhannya,

walaupun dengan bertambahnya umur naungan dapat dikurangi secara bertahap.

Beberapa spesies yang berbeda mungkin tidak memerlukan naungan dan yang lain

mungkin memerlukan naungan mulai awal pertumbuhannya. Pengaturan naungan

sangat penting untuk menghasilkan semai-semai yang berkualitas. Naungan

berhubungan erat dengan temperatur dan evaporasi. Oleh karena adanya naungan,

evaporasi dari semai dapat dikurangi. Beberapa spesies lain menunjukkan perilaku

yang berbeda. Beberapa spesies dapat hidup dengan mudah dalam intensitas

cahaya yang tinggi tetapi beberapa spesies tidak

(Suhardi dkk., 1995 dalam Irwanto, 2006).

Pada umumnya cahaya yang diperlukan oleh setiap jenis tanaman

berbeda-beda. efek penggunaan naungan dapat mengurangi cahaya yang diterima tanaman,

menurunkan suhu udara dan mempertahankan kelembaban tanah. Semai yang

mendapat intensitas naungan yang tinggi memiliki kelembaban tanah yang tinggi

sehingga tanah banyak mengandung air yang mampu mengoptimalkan proses

fotosintesis. Peranan naungan disamping mengurangi kecepatan angin dan laju

transpirasi, juga mengurangi laju evaporasi air dari permukaan tanah karena daya

evaporasi udara yang menimbulkan kompetisi dalam pengambilan air dan nutrisi.

(41)

tanaman semakin kecil, maka suhu udara rendah, kelembaban udara semakin

tinggi (Magfoer danKoesrihartati, 1998).

Intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi

tinggi sedangkan intensitas cahaya yang rendah akan mengganggu jalannya

fotosintesis sehingga menghambat pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu

intensitas cahaya optimal sangat diperlukan agar pertumbuhan tanaman dapat

maksimal dan dapat menghasilkan bibit berkualitas baik. Pengaturan intensitas

cahaya dapat dilakukan dengan pemberian naungan atau shading sehingga dapat

melindungi semai dari cahaya atau sinar matahari dan suhu yang berlebihan. Pada

jenis intoleran, naungan yang terlalu rapat akan menyebabkan etiolasi sedangkan

naungan yang kurang rapat akan mengurangi perlindungan bibit dari sinar

matahari langsung, curah hujan yang tinggi, angin, dan fluktuasi suhu yang

ekstrim (Schmidt, 2002 dalam Sudomo, 2009).

Intensitas naungan pada setiap jenis tanaman mangrove berbeda-beda.

Hal ini karena Beberapa spesies dapat hidup dengan mudah dalam intensitas

cahaya yang tinggi tetapi beberapa spesies tidak. Menurut Wibisono dkk. (2008),

benih Avicennia marina paling baik berada pada intensitas naungan 50%. Berdasarkan hasil penelitian Yanti (2007), propagul R. mucronata yang akan digunakan sebagai penanaman dan rehabilitasi hutan mangrove paling baik berada

pada intensitas naungan 75%. Hal ini karena pada intensitas naungan yang tinggi

menyebabka bibit kekurangan cahaya sehingga bibit mengalokasikan

pertumbuhan hanya pada tinggi, diameter, jumlah daun, luas daun total dan

biomassa total. Bibit mengalokasikan pada beberapa parameter tertentu karena

(42)

tinggi. Pada intensitas naungan 75% propagul R. mucronata memperoleh cahaya yang optimal dalam merangsang pertumbuhannya.

Aplikasi naungan dimaksudkan untuk memodifikasi lingkungan mikro

tanaman, karena akan mengubah kuantitas dan kualitas faktor lingkungan yang

ada antara lain radiasi matahari, suhu, dan kelembaban. Adaptasi tanaman

terhadap naungan akan mempengaruhi morfologi, anatomi, dan fisiologi tanaman.

Tanaman beradaptasi terhadap naungan melalui dua cara yaitu: peningkatan luas

daun untuk meminimalkan penggunaan metabolit dan pengurangan jumlah cahaya

yang ditransmisikan dan direfleksikan (Mohr dan Schopfer, 1995).

Menurut Simarangkir (2000), pertumbuhan diameter tanaman

berhubungan erat dengan laju fotosintesis akan sebanding dengan jumlah

intensitas cahaya matahari yang diterima dan respirasi. Akan tetapi pada titik

jenuh cahaya, tanaman tidak mampu menambah hasil fotosintesis walaupun

jumlah cahaya bertambah. Selain itu produk fotosintesis sebanding dengan total

luas daun aktif yang dapat melakukan fotosintesis. Daniel, et al. (1992) mengemukakan bahwa terhambatnya pertumbuhan diameter tanaman karena

produk fotosintesisnya serta spektrum cahaya matahari yang kurang merangsang

aktivitas hormon dalam proses pembentukan sel meristematik kearah diameter

batang, terutama pada intensitas cahaya yang rendah.

Jumlah daun tanaman lebih banyak di tempat ternaung daripada di tempat

terbuka. Jenis yang diteliti memberikan respons terhadap perbedaan intensitas

cahaya. Daun mempunyai permukaan yang lebih besar di dalam naungan daripada

tempat terbuka. Tanaman yang ditanam di tempat terbuka mempunyai daun yang

(43)

tanaman, daun yang terluar yang mendapat cahaya matahari penuh tumbuh lebih

lebih kecil daripada daun yang sebelah dalam yang terlindung. Bila tumbuhan

berada lama dalam cahaya yang lemah, ia akan mengalami etiolasi, yakni

batangnya menjadi sangat panjang tanpa jaringan serabut penyokong yang cukup,

daunnya keputih-putihan tanpa klorofil yang cukup. Namun apabila penyinaran

yang berlebihan akan menimbulkan tumbuhan yang kerdil dengan perkembangan

yang abnormal yang akhirnya berakhir dengan kematian. Marjenah (2001)

mengemukakan bahwa naungan memberikan efek yang nyata terhadap luas daun.

Daun mempunyai permukaan yang lebih besar di dalam naungan daripada jika

(44)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Setiap parameter pengamatan baik tinggi, diameter, jumlah daun, luas

daun total dan biomassa total bibit mengalami perbedaan pada setiap intensitas

naungan yang berbeda. Hasil uji DMRT pada taraf 5% menunjukkan bahwa

intensitas naungan memberikan pengaruh nyata pada setiap parameter

pengamatan. Hal ini dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini.

Parameter pengamatan Intensitas naungan Satuan

0% 25% 50% 75%

Tinggi rata- rata bibit 8,52a 12,36b 16,27c 12,55b (cm)

Diameter Rata-rata bibit 0,39a 0,41a 0,49b 0,42a (cm)

Jumlah daun Rata-rata bibit

3a 5b 6b 5b (helai)

Luas Daun Total rata-rata bibit

31,76a 66,39b 94,97c 86,78bc (cm2

Biomassa total rata-rata bibit

)

1,16 2,17 5,38 2,98 (g)

(45)

0

Hasil yang terlihat pada tabel diatas dapat dijadikan diagram batang yang ada pada gambar 2 dibawah ini.

(46)

Berdasarkan tabel dan diagram batang di atas dapat diketahui bahwa setiap

parameter yang diamati memiliki nilai yang berbeda pada setiap intensitas

naungan yang berbeda. Data setiap parameter pengamatan baik tinggi rata-rata,

diameter rata-rata bibit, jumlah daun, luas daun total rata-rata bibit, dan biomassa

total bibit A. marina dengan intensitas naungan pada pengamatan 1 sampai 13 MST. Dari tabel dan diagram batang tersebut dapat dilihat pertumbuhan tinggi

rata-rata bibit A. marina tertinggi adalah pada bibit A. marina dengan intensitas naungan 50% yaitu 16,27 cm dan terendah pada bibit A. marina dengan intensitas naungan 0% yaitu 8,52 cm. Pertumbuhan diameter rata-rata bibit A. marina yang tertinggi terdapat pada bibit A. marina dengan intensitas naungan 50% yaitu 0,49 cm dan terendah pada bibit A. marina dengan intensitas naungan 0% yaitu 0,39 cm. Jumlah daun terbanyak terdapat pada intensitas naungan 50% yaitu rata-rata

sebanyak 6 helai sedangkan jumlah daun yang paling sedikit terdapat pada

intensitas naungan 0% yaitu rata-rata sebanyak 3 helai. Luas daun total bibit A. marina yang terluas adalah pada bibit A. marina dengan intensitas naungan 50% yaitu 94,97 cm2 dan terendah pada bibit A. marina dengan intensitas naungan 0% yaitu 31,76 cm2

Perbedaan perlakuan intensitas naungan A. marina memberikan pengaruh nyata terhadap setiap parameter yang diamati baik tinggi rata-rata bibit, diameter

(47)

adalah peningkatan persentase pertumbuhan bibit A. marina dari setiap parameter yang diamati pada setiap intensitas naungan yang berbeda yang disajikan pada

tabel 2.

Tabel 2. Persentase peningkatan pertumbuhan bibit A. marina dari setiap parameter yang diamati pada setiap intensitas naungan yang berbeda.

Parameter pengamatan Intensitas naungan Satuan

0% 25% 50% 75%

Gambar 3. Diagram batang peningkatan persentase pertumbuhan bibit A. marina dari setiap parameter yang diamati pada pengamatan 1-13 MST (Minggu setelah tanam).

(48)

Tinggi rata-rata bibit A. marina (cm)

Pertambahan tinggi bibit A. marina mengalami perbedaan pada setiap perlakuan intensitas naungan. Pertumbuhan tinggi rata-rata bibit A. marina tertinggi adalah pada bibit A. marina dengan intensitas naungan 50% yaitu 16,27. Hal ini disertai dengan persentase peningkatan tinggi dari bibit A. marina yang paling tinggi juga terdapat pada intensitas naunga 50% yaitu 90,96%.

Pertumbuhan tinggi rata-rata bibit A. marina terendah terdapat pada bibit A. marina dengan intensitas naungan 0% yaitu 8,52 cm. Data tinggi rata-rata bibit A. marina dengan intensitas naungan pada pengamatan 1 sampai 13 MST. Hasil analisis sidik ragam, tinggi rata-rata bibit A. marina dapat dilihat pada lampiran 2, sedangkan persentase peningkatan tinggi bibit A. marina dapat dilihat pada lampiran 7.

Diameter rata-rata bibit A. marina (cm)

Pertambahan diameter bibit A. marina mengalami perbedaan pada setiap perlakuan naungan. Pertumbuhan diameter rata-rata bibit A. marina tertinggi adalah pada bibit A. marina dengan intensitas naungan 50% yaitu 0,49 cm. Hal ini disertai dengan persentase peningkatan diameter dari bibit A. marina yang paling tinggi juga terdapat pada intensitas naunga 50% yaitu 25,64%. Pertumbuhan

diameter rata-rata bibit A. marina terendah terdapat pada bibit A. marina dengan intensitas naungan 0% yaitu 0,39 cm. Data diameter rata-rata bibit A. marina dengan intensitas naungan pada pengamatan 1 sampai 13 MST. Hasil analisis

(49)

Jumlah daun rata-rata A. marina(helai)

Perbedaan perlakuan intensitas naungan A. marina memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah daun rata-rata bibit A. marina. Jumlah daun rata-rata bibit A. marina berbeda pada setiap intensitas naungan. Jumlah daun terbanyak terdapat pada intensitas naungan 50% yaitu memiliki rata-rata jumlah daun sebanyak 6

helai daun. Hal ini disertai dengan persentase peningkatan rata-rata jumlah daun

dari bibit A. marina yang paling banyak juga terdapat pada intensitas naunga 50% yaitu 100%. Jumlah daun bibit A. marina yang paling sedikit terdapat pada bibit A. marina dengan intensitas naungan 0% yaitu sebanyak 3 helai daun. Data jumlah daun rata-rata bibit A. marina dengan intensitas naungan pada pengamatan 1 sampai 13 MST. Hasil analisis sidik ragam, jumlah daun rata-rata bibit A. marina dapat dilihat pada lampiran 4, sedangkan persentase peningkatan diameter bibit A. marina dapat dilihat pada lampiran 7. Perbedaan perlakuan intensitas naungan A. marina memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah daun rata-rata bibit A. marina.

Luas daun total rata-rata bibit A. marina (cm2

Perbedaan perlakuan intensitas naungan A. marina memberikan pengaruh nyata terhadap luas daun total rata-rata bibit A. marina. Luas daun total rata-rata bibit A. marina terluas terdapat pada bibit A. marina dengan intensitas naungan 50% yaitu 94,97 cm

)

2

.Hal ini disertai dengan persentase peningkatan luas daun

(50)

total bibit A. marina dengan intensitas naungan pada pengamatan 1 sampai 13 MST. Hasil analisis sidik ragam luas daun total bibit A. marina dapat dilihat pada Lampiran 5, sedangkan persentase peningkatan luas daun total bibit A. marina dapat dilihat pada lampiran 7.

Biomassa total rata-rata bibit A. marina (g)

Perbedaan perlakuan intensitas naungan A. marina memberikan pengaruh nyata terhadap biomassa total rata-rata bibit A. marina. Biomassa total rata-rata bibit A. marina yang terbesar adalah pada bibit A. marina dengan intensitas naungan 50% yaitu 0,54 gram. Hal ini disertai dengan persentase peningkatan

biomassa total rata-rata bibit A. marina yang paling besar juga terdapat pada intensitas naunga 50% yaitu 363,79%. Biomassa total rata-rata bibit A. marina yang terendah terdapat pada bibit A. marina dengan intensitas naungan 0% yaitu 0,38 gram. Data biomassa total bibit A. marina dengan intensitas naungan pada pengamatan 1 sampai 13 MST. Hasil perhitungan biomassa total bibit A. marina dapat dilihat pada Lampiran 6 sedangkan persentase biomassa total rata-rata bibit

A. marina dapat dilihat pada lampiran 7.

(a) (b) (c) (d)

(51)

Pembahasan

Tinggi rata-rata bibit A. marina

Persentase hidup bibit A. marina pada intensitas naungan 0%, 25%, 50% dan 75% memiliki nilai yang sama yaitu 100%. Pemberian perlakuan tidak

berpengaruh nyata terhadap persentase hidup bibit. Hal ini sesuai dengan

pernyatan Hanley et al. (2005) yang menyatakan bahwa A.marina dapat tumbuh pada semua tingkatan lokasi di sepanjang pesisir. Menurut Anwar (2004) bibit

Avicennia spp. dapat tumbuh baik pada tanah yang lembek dan berlumpur. Pertumbuhan bibit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor genetik. Setiap

biji memiliki genetik yang berbeda walaupun berasal dari satu pohon induk yang

sama. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mohr dan Schopfer (1995) yang

menyatakan bahwa kemampuan tanaman untuk beradaptasi terhadap lingkungan

ditentukan oleh sifat genetik tanaman. Secara genetik, tanaman yang toleran

terhadap naungan mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap

perubahan lingkungan.

Intensitas naungan 50% adalah intensitas naungan yang terbaik yang

memberikan persentase peningkatan tertinggi dari setiap parameter pertumbuhan

bibit A. marina yang diamati. Menurut Schmidt (2002) dalam Sudomo (2009), Intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi

sedangkan intensitas cahaya yang rendah akan mengganggu jalannya fotosintesis

sehingga menghambat pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu intensitas cahaya

optimal sangat diperlukan agar pertumbuhan tanaman dapat maksimal dan dapat

Gambar

Gambar 2. Diagram batang setiap
Tabel 2. Persentase peningkatan pertumbuhan bibit A. marina dari setiap

Referensi

Dokumen terkait

Pengurus Barang Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga

Berdasarkan hasil penelitian tindakan di atas dapat disimpulkan Supervisi akademik melalui pembimbingan individu yang dilakukan oleh Kepala sekolah terhadap guru kelas

Rhizopus dari sampel oncom hitam asal beberapa pasar tradisional di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur yang berhasil diisolasi dan dimurnikan sebanyak 13

Dengan menggunakan metode analisis regresi berganda, dapat disimpulkan bahwa motivasi, persepsi, pengetahuan dan keyakinan berpengaruh secara signifikan terhadap

 Yield 10-years US Treasury note pada hari Kamis, 30 Agustus 2018 ditutup turun ke level 2,86% akibat inves- tor yang cenderung mencari safe haven akibat krisis di

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi saya dengan judul : “ STATUS DAN KEDUDUKAN ANAK HASIL PERKAWINAN CAMPURAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO.12 TAHUN 2006

semakin sering, kemuadian peserta didik juga mengalami keenganan untuk membuka buku, dan yang menjadi perhatian guru PPKn adalah peserta didik melihat apa yang

Keragaman bobot kering, bentuk umbi, warna dan bentuk daun dari aksesi ubi jalar berwarna da- ging ungu yang dievaluasi tidak berkorelasi nyata.. Warna predominan daging umbi ubi