• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertumbuhan Bibit Rhizophora apiculata Pada Berbagai Intensitas Naungan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pertumbuhan Bibit Rhizophora apiculata Pada Berbagai Intensitas Naungan"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

PERTUMBUHAN BIBIT Rhizophora apiculata

PADA BERBAGAI INTENSITAS NAUNGAN

SKRIPSI

Oleh:

ERIKSONTUA SIMARMATA 071202014/BUDIDAYA HUTAN

(2)

PERTUMBUHAN BIBIT Rhizophora apiculata

PADA BERBAGAI INTENSITAS NAUNGAN

SKRIPSI

Oleh:

ERIKSONTUA SIMARMATA 071202014/BUDIDAYA HUTAN

Skripsi sebagai satu diantara beberapa syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Pertumbuhan Bibit Rhizophora apiculata Pada Berbagai Intensitas Naungan

Nama : Eriksontua Simarmata

NIM : 071202014

Prodi : Kehutanan

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yunasfi, M.Si Dr. Budi Utomo, SP. MP Ketua Anggota

Mengetahui

(4)

ABSTRACT

ERIKSONTUA SIMARMATA. Seedling growth of Rhizophora apiculata In

Various Shades Intensity by YUNASFI and BUDI UTOMO.

R. apiculata is one of the tree that has strong roots and be able to withstand waves of the ocean currents. However, with the utilization of mangrove forests by communities around the forests into agricultural land, farms, settlements, so the presence of R. apiculata increasingly depleted. One effort made to rehabilitate degraded mangrove forests is to do the nursery seedlings R. apiculata with the provision of various intensities that will shade seedlings obtained the best growth. This study aims to determine the growth of seedlings R.apiculata good on a variety of shade intensity. The research was conducted in mangrove nursery sites located in the Village Sicanang, District Medan-Belawan, North Sumatra and in the Laboratory of Soil Biology, Program Study of Agroekoteknologi, Faculty of Agriculture, University of Sumatera Utara. The experiment was conducted from the month of May until June 2011. The design of this study using Random Block Design (RBD) with 5 treatments, ie, without shade, shade intensity of 25%, 50% shade intensity, the intensity of the shade 75% and 100% intensity of shade. Each treatment was repeated as many as 10 to obtain 50 seeds of R. apiculata.

The results showed the growth of seedlings of R. apiculata at various level of shelter provides a real effect on seedling height, total leaf area, leaf area to branch - II, root biomass, canopy biomass, canopy per-root ratio and percent survival but did not significantly affect stem diameter and number of leaves. The intensity of the best shade on the growth of R. Apiculata is a shade of 25% and 50%.

(5)

ABSTRAK

ERIKSONTUA SIMARMATA. Pertumbuhan Bibit R. apiculata Pada Berbagai Intensitas Naungan dibimbing oleh YUNASFI dan BUDI UTOMO.

R. apiculata merupakan salah satu pohon yang memiliki perakaran yang

kuat serta mampu menahan gelombang arus laut. Akan tetapi dengan adanya pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat sekitar hutan menjadi lahan pertanian, tambak, pemukiman, sehingga keberadaan R. apiculata semakin habis. Salah satu usaha yang dilakukan untuk merehabilitasi hutan mangrove yang terdegradasi adalah melakukan persemaian bibit R. apiculata dengan pemberian berbagai intensitas naungan yang nantinya diperoleh bibit yang paling baik pertumbuhannya. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan bibit R.apiculata yang baik pada berbagai intensitas naungan. Penelitian ini dilakukan di lokasi pembibitan mangrove yang bertempat di Desa Sicanang, Kecamatan Medan-Belawan, Sumatera Utara dan di Laboratorium Biologi Tanah, Program studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Penelitian dilaksanakan dari bulan mei sampai bulan juni 2011. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan, yaitu tanpa naungan, intensitas naungan 25%, intensitas naungan 50%, intensitas naungan 75% dan intensitas naungan 100%. Setiap perlakuan diulang sebanyak 10 sehingga diperoleh 50 bibit R. apiculata.

Hasil penelitian menunjukkan pertumbuhan bibit R. apiculata pada berbagai intensitas naungan memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi bibit, luas daun total, luas daun cabang ke – II, biomassa akar, biomassa tajuk, rasio tajuk per akar dan persen hidup tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap diameter batang dan jumlah daun. Intensitas naungan yang paling baik terhadap pertumbuhan R. Apiculata adalah intensitas naungan 25% dan intensitas naungan 50%.

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tiga Baru pada tanggal 05 September 1989 dari pasangan Bapak Jaganda Simarmata dan Ibu Raslin Sitohang. Penulis merupakan anak pertama dari 4 bersaudara.

Penulis memulai pendidikan di SD Negeri 030329 Tiga Baru dan lulus tahun 2001 kemudian melanjutkan pendidikan di SLTP Swasta Santo Paulus Sidikalang dan lulus tahun 2004. Penulis melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 2 Sidikalang dan lulus Tahun 2007 dan pada tahun yang sama penulis diterima di Program Studi Budidaya Hutan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB)

Selain mengikuti perkuliahan penulis aktif sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Silva (HIMAS), asisten Praktikum Hidrologi Hutan pada tahun 2010 anggota Himpunan Mahasiswa Pegagan Hilir (IMAPEL).

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus karena dengan kasih-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan tepat pada waktunya.

Judul skripsi ini adalah “Pertumbuhan bibit Rhizophora apiculata Pada Berbagai Intensitas Naungan”. Penulis banyak mengucapkan terima kasih kepada komisi pembimbing penulis Bapak Dr. Ir. Yunasfi, M.Si selaku ketua dan Dr. Budi Utomo, SP, MP selaku anggota. Serta kepada orang tua penulis yang telah memberi dukungan penulis baik moril maupun materil dan kepada semua teman-teman yang telah membantu dalam pembuatan proposal penelitian ini.

Akhirnya penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya bidang kehutanan.

(8)

DAFTAR ISI

Teknik Silvikultur Bakau (Rhizophora sp.) ... 10

Kebutuhan Cahaya Untuk Tanaman... ... 14

BAHAN DAN METODE ... 18

Parameter Penelitian ... 20

(9)

Bobot kering tajuk (g/m2)... 29

Rasio bobot kering tajuk per akar ... 30

Persentase hidup ... 31

Pembahasan ... 31

KESIMPULAN DAN SARAN ... 40

Kesimpulan ... 40

Saran ... 40 DAFTAR PUSTAKA

(10)

DAFTAR TABEL

No Teks Halaman

1. Pertumbuhan tinggi bibit R. apiculata rata-rata pada berbagai intensitas naungan ... 23 2. Pertumbuhan diameter batang bibit R. apiculata rata-rata

pada berbagai intenstitas naungan ... 25 3. Pertambahan jumlah daun bibit R. apiculata rata-rata

pada berbagai intensitas naungan ... 26 4. Luas permukaan daun bibit R. apiculata rata-rata

pada berbagai intensitas naungan ... 28 5. Bobot kering akar bibit R. apiculata rata-rata pada berbagai

intensitas naungan ... 29

6. Bobot kering tajuk bibit R. apiculata rata-rata pada berbagai intensitas naungan ... 30

7. Rasio bobot kering tajuk per akar bibit R. apiculata rata-rata pada berbagai intensitas naungan ... 30 8. Persentase hidup bibit R. apiculata terhadap berbagai

intensitas naungan ... 31 9. Matrik pengaruh pemberian berbagai taraf intensitas naungan

(11)

DAFTAR GAMBAR

No Teks Halaman

1. Kerangka pemikiran ... 6 2. Grafik pertambahan tinggi bibit R. apiculata dengan beberapa

intensitas naungan umur 3 MST sampai 13 MST ... 24 3. Grafik pertambahan diameter batang bibit R. apiculata dengan beberapa intensitas naungan umur 3 MST sampai 13 MST ... 25 4. Grafik pertambahan jumlah daun bibit R. apiculata

dengan beberapa intensitas naungan umur 3 MST dan 13 MST ... 27 5. Kondisi bibit R. apiculata yang mati pada pemberian

intensitas naungan 75% setelah pengamatan 13 MST ... 39 6. Kondisi bibit R. apiculata yang mati pada pemberian

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No Teks Halaman

1. Analisis Rancangan Percobaan Tinggi (cm) Bibit

R. apiculata Pada Berbagai Intensitas Naungan ... 45

2. Analisis Rancangan Percobaan Diameter (cm) batang Bibit

R. apiculata Pada Berbagai Intensitas Naungan ... 46

3. Analisis Rancangan Percobaan Jumlah Daun bibit

R. apiculata Pada Berbagai Intensitas Naungan ... 47

4. Analisis Rancangan Percobaan Luas Permukaan Daun Bibit

R. apiculata Pada Berbagai Intensitas Naungan ... 48

5. Analisis Rancangan Percobaan Bobot Kering Akar Bibit

R. apiculata Pada Berbagai Intensitas Naungan ... 49

6. Analisis Rancangan Percobaan Bobot Kering Tajuk Bibit

R. apiculata Pada Berbagai Intensitas Naungan ... 50

7. Analisis Rancangan Percobaan Rasio Bobot Kering Tajuk per Akar Bibit R. apiculata Pada Berbagai Intensitas Naungan... 51 8. Persentase hidup bibit R. apiculata Pada Berbagai

(13)

ABSTRACT

ERIKSONTUA SIMARMATA. Seedling growth of Rhizophora apiculata In

Various Shades Intensity by YUNASFI and BUDI UTOMO.

R. apiculata is one of the tree that has strong roots and be able to withstand waves of the ocean currents. However, with the utilization of mangrove forests by communities around the forests into agricultural land, farms, settlements, so the presence of R. apiculata increasingly depleted. One effort made to rehabilitate degraded mangrove forests is to do the nursery seedlings R. apiculata with the provision of various intensities that will shade seedlings obtained the best growth. This study aims to determine the growth of seedlings R.apiculata good on a variety of shade intensity. The research was conducted in mangrove nursery sites located in the Village Sicanang, District Medan-Belawan, North Sumatra and in the Laboratory of Soil Biology, Program Study of Agroekoteknologi, Faculty of Agriculture, University of Sumatera Utara. The experiment was conducted from the month of May until June 2011. The design of this study using Random Block Design (RBD) with 5 treatments, ie, without shade, shade intensity of 25%, 50% shade intensity, the intensity of the shade 75% and 100% intensity of shade. Each treatment was repeated as many as 10 to obtain 50 seeds of R. apiculata.

The results showed the growth of seedlings of R. apiculata at various level of shelter provides a real effect on seedling height, total leaf area, leaf area to branch - II, root biomass, canopy biomass, canopy per-root ratio and percent survival but did not significantly affect stem diameter and number of leaves. The intensity of the best shade on the growth of R. Apiculata is a shade of 25% and 50%.

(14)

ABSTRAK

ERIKSONTUA SIMARMATA. Pertumbuhan Bibit R. apiculata Pada Berbagai Intensitas Naungan dibimbing oleh YUNASFI dan BUDI UTOMO.

R. apiculata merupakan salah satu pohon yang memiliki perakaran yang

kuat serta mampu menahan gelombang arus laut. Akan tetapi dengan adanya pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat sekitar hutan menjadi lahan pertanian, tambak, pemukiman, sehingga keberadaan R. apiculata semakin habis. Salah satu usaha yang dilakukan untuk merehabilitasi hutan mangrove yang terdegradasi adalah melakukan persemaian bibit R. apiculata dengan pemberian berbagai intensitas naungan yang nantinya diperoleh bibit yang paling baik pertumbuhannya. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan bibit R.apiculata yang baik pada berbagai intensitas naungan. Penelitian ini dilakukan di lokasi pembibitan mangrove yang bertempat di Desa Sicanang, Kecamatan Medan-Belawan, Sumatera Utara dan di Laboratorium Biologi Tanah, Program studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Penelitian dilaksanakan dari bulan mei sampai bulan juni 2011. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan, yaitu tanpa naungan, intensitas naungan 25%, intensitas naungan 50%, intensitas naungan 75% dan intensitas naungan 100%. Setiap perlakuan diulang sebanyak 10 sehingga diperoleh 50 bibit R. apiculata.

Hasil penelitian menunjukkan pertumbuhan bibit R. apiculata pada berbagai intensitas naungan memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi bibit, luas daun total, luas daun cabang ke – II, biomassa akar, biomassa tajuk, rasio tajuk per akar dan persen hidup tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap diameter batang dan jumlah daun. Intensitas naungan yang paling baik terhadap pertumbuhan R. Apiculata adalah intensitas naungan 25% dan intensitas naungan 50%.

(15)

PENDAHULUAN

Latar belakang

Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan bahari yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup kaya. Indonesia mempunyai garis pantai sepanjang 81.000 kilometer dan 13.677 pulau. Wilayah pesisir dibanding dengan ekosistem lainnya memiliki peran yang lebih dominan dalam pembangunan wilayah pesisir, dan dapat mendukung berbagai ekosistem yang saling berkaitan dalam satu sistem ekologis yang kompleks. Ekosistem wilayah pesisr meliputi pantai, muara sungai (estuaria), padang lamun, terumbu karang, hutan mangrove, hutan pantai, dan perairan rawa pantai (Dahuri et al, 2001).

Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis, namun labil. Dikatakan kompleks karena ekosistemnya di samping dipenuhi oleh vegetasi mangrove, juga merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Bersifat dinamis karena hutan mangrove dapat tumbuh dan berkembang terus serta mengalam suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh alaminya. Dikatakan labil karena mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali seperti sediakala (Kusmana, dkk. 1994 dalam Gunawan dan Anwar, 2007).

(16)

baik. Fungsi ini menjadi tidak efisien apabila terjadi kerusakan dan ketidak seimbangan pada ekosistem hutan mangrove.

Seiring dengan meningkatnya laju pertumbuhan penduduk dan kebutuhan ekonomi, saat ini telah terjadi penurunan fungsi ekologis mangrove berupa konversi menjadi area pertanian yang tidak berbasis pelestarian. Secara ekologis hutan mangrove telah dikenal mempunyai banyak fungsi dalam kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Fungsi ekologi sebagai penghasil sejumlah detritus dan perangkap sendimen. Hutan mangrove merupakan habitat berbagai jenis satwa baik sebagai habitat pokok maupun sebagai habitat sementara. Fungsi ekonomis dapat bermanfaat sebagai sumber penghasil kayu bangunan, bahan baku pulp dan kertas, kayu bakar, bahan arang, alat penangkap ikan dan sumber bahan lain seperti tanin dan pewarna. Mangrove juga mempunyai peran penting sebagai pelindung pantai dari hempasan gelombang air laut. Disamping itu sebagai peredam gelombang dan angin badai, penahan lumpur, perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran permukaan (Bengen, 1999).

(17)

Mengingat pentingnya keberadaan hutan mangrove untuk kesejahteraan masyarakat pesisir, maka perlu dilakukan upaya pelestarian, salah satu upaya yang telah dilakukan adalah dilaksanakannya rehabilitasi mangrove. Akan tetapi, kegiatan rehabilitasi mangrove masih sering berakhir dengan kegagalan. Beberapa faktor penyebab yang umum dijumpai antara lain adalah rendahnya kualitas bibit, tidak sesuainya lokasi penanaman, kesalahan teknologi benih, serta pelaksanaan yang kurang berpengalaman. Hal-hal tersebut terjadi karena kurangnya pengalaman dan pengetahuan mengenai rehabilitasi hutan mangrove. Disamping itu, minimnya pengalaman, terutama bagi para perencana dan pelaksana kegiatan di lapangan, juga diyakini berdampak terhadap rendahnya keberhasilan rehabilitasi mangrove. Pada persemaian mangrove tingkat kematian atau kelayakan tanaman mangrove khususnya pada tanaman bakau umumnya memiliki peran penting, ini dikarenakan ketidaktahuan masyarakat tentang benih yang bagus dan siap disemaikan.

Bibit yang berkualitas merupakan salah satu faktor utama yang mampu

menunjang keberhasilan suatu kegiatan rehabilitasi. Apabila bibit yang digunakan

berkualitas tinggi dan siap tanam, maka peluang keberhasilan tumbuh di lapangan

juga akan tinggi. Benih yang bagus sebaiknya dipanen dari pohon yang cukup

(18)

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kerusakan hutan mangrove di Indonesia semakin tinggi sedangkan keberhasilan kegiatan rehabilitasi masih sangat rendah. Untuk mendukung upaya-upaya penyelenggaraan rehabilitasi mangrove yang tepat dan benar, mulai dari cara

mempersiapkan bibit, pemilihan lokasi, teknik persemaian dan cara pemeliharaan,

maka penelitian ini dilakukan untuk memberi informasi tentang pertumbuhan propagul yang baik pada berbagai intensitas cahaya penyinaran yang berguna bagi kegiatan rehabilitasi sehingga kegiatan rehabilitas dapat berhasil dengan baik. Propagul yang akan diteliti adalah jenis tanaman Rhizophora apiculata.

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui pertumbuhan bibit Rhizophora apiculata yang baik pada berbagai intensitas naungan.

Hipotesis Penelitian

1. Ada pengaruh pemberian intensitas naungan terhadap pertumbuhan bibit

Rhizophora apiculata pada berbagai intensitas naungan.

2. Pemberian intensitas naungan 50% menghasilkan pertumbuhan yang lebih baik

terhadap pertumbuhan bibit Rhizophora apiculata.

Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah untuk mendapatkan intensitas

naungan yang lebih baik untuk pertumbuhan propagul Bakau minyak Rhizophora

apiculata sehingga dapat menjadi sumber informasi bagi pihak-pihak yang ingin

mengadakan kegiatan rehabilitasi agar kegiatan rehabilitasi dapat berhasil dengan

(19)

Kerangka pemikiran

Keberadaan hutan mangrove di Indonesia semakin lama semakin

berkurang akibat adanya gangguan-gangguan yang terjadi terhadap ekosistem

Hutan mangrove tersebut. Gangguan tersebut dapat berupa kerusakan yang

ditimbullkan akibat aktivitas manusia di sekitar hutan mangrove. Keberadaan

masyarakat lokal di pesisir pantai sangat berpengaruh terhadap keberaadaan hutan

mangrove. Pengalih fungsian kawasan ekosistem hutan mangrove menjadi lahan

tambak, pertanian, industri kayu dan lain-lain merupakan salah satu faktor yang

menyebabkan kerusakan ekosistem hutan mangrove. Untuk menanggulangi dan

memperbaiki ekosistem tersebut diperlukan adannya campur tangan manusia

berupa kegiatan rehabilitasi ekosistem hutan mangrove sehingga kestabilan

ekosistem dapat dipertahankan dalam rangka pelestarian sumber daya alam yang

berkelanjutan. Ketersediaan bibit yang berkualitas baik merupakan salah satu

faktor yang menentukan dalam rehabilitasi ekosistem hutan mangrove. Bibit yang

berkualitas akan menghasilkan tegakan yang berkualitas sehingga diperoleh suatu

ekosistem yang stabil dengan fungsi ekologis/biologis, fisik dan ekonomis dari

hutan mangrove dapat dipertahankan. Kerangka pemikiran secara skematis

(20)

(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Defenisi Hutan Mangrove

Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove (Macnae, 1968). Dalam bahasa Inggris kata mangrove digunakan, baik untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang-surut maupun untuk individu-individu jenis tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut. Dalam bahasa Portugis kata mangrove digunakan untuk menyatakan individu jenis tumbuhan, dan kata mangal untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut.

Menurut Macnae (1968) kata mangrove digunakan untuk menyebut jenis pohon atau semak yang tumbuh di antara batas air tertinggi saat pasang dan batas air terendah sampai di atas rata-rata permukaan laut saat surut. Sebenarnya kata mangrove digunakan untuk menyebut kelompok tumbuh-tumbuhan dari beberapa spesies yang mempunyai perakaran pneumatopores, dan tumbuh di antara garis pasang surut.

(22)

Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Languncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda,

dan Conocarpus (Bengen, 2002).

Hutan mangrove juga merupakan daerah pertemuan antara ekosistem darat dan ekosistem laut, ke arah darat meliputi bagian tanah baik yang kering maupun yang terendam air laut, dan masih dipengaruhi oleh sifat-sifat fisik laut seperti pasang surut, ombak dan gelombang serta perembesan air laut, sedangkan ke arah laut mencakup bagian perairan laut yang dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar dari sungai maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat (Djamali, 2004).

Hutan mangrove dan perairan di sekitarnya merupakan suatu ekosistem yang spesifik. Hal ini disebabkan oleh proses kehidupan organisme yang saling berkaitan baik yang terdapat di darat maupun di laut. Selain itu hutan mangrove sangat berpengaruh terhadap lingkungan sekitarnya, karena hutan mangrove berperan sebagai penghasil bahan organik yang berguna untuk menunjang kelestarian organisme (Djamali, 1994).

Adapun fungsi hutan mangrove menurut Arief (2003); Naamin dan Hardjamulia (1991) dapat dibedakan ke dalam tiga kelompok, yaitu fungsi fisik, fungsi biologi dan fungsi ekonomi sebagai berikut:

1. Fungsi fisik

a. Menjaga garis pantai agar tetap stabil

b. Melindungi pantai dan tebing sungai dari proses erosi atau abrasi, serta menahan atau menyerap tiupan angin kencang dari laut ke darat

(23)

d. Sebagai kawasan penyangga proses intrusi atau rembesan air laut ke darat, atau sebagai filter air asin menjadi tawar

e. Mencegah terjadinya erosi pantai, serta sebagai perangkap zat pencemar dan limbah

2. Fungsi biologi

a. Sebagai penghasil bahan pelapukan yang merupakan sumber makanan penting bagi invertebrata kecil pemakan bahan pelapukan (detritus), yang kemudian berperan sebagai sumber makanan bagi hewan yang lebih besar b. Sebagai kawasan pemijah bagi udang, ikan, kepiting, dan kerang yang

setelah dewasa akan kembali ke lepas pantai

c. Sebagai kawasan untuk berlindung, bersarang, serta berkembang biak bagi burung dan satwa lain

d. Sebagai sumber plasma nutfah dan sumber genetik 3. Fungsi ekonomi

a. Penghasil kayu

b. Penghasil bahan baku industri

c. Penghasil bibit ikan, udang, kerang, kepiting dan telur burung. Bakau Minyak (Rhizophora apiculata BI.)

Bakau Minyak (Rhizophora apiculata BI.) mempunyai taksonomi tumbuhan yaitu Kingdom : Plantae; Divisi : Magnoliophyta; Sub divisi : Angiospermae; Kelas : Magniliopsida; Ordo : Malpighiales; Famili : Rhiaophoraceae;

Genus : Rhizophora; Spesies : Rhizophora apiculata BI. Nama dagang : Bakau

(24)

Rhizophora apiculata BI. dikenal dengan berbagai nama seperti bakau

minyak, bakau tandok, bakau akik, bakau puteh, bakau kacang, bakau leutik, donggo akit, jankar, abat, parai, mangi-mangi, slengkreng, tinjang, wako.

Pohon dengan ketinggian mencapai 30 m dengan diameter batang mencapai 50 cm. Memiliki perakaran yang khas hingga mencapai ketinggian 5 meter dan kadang-kadang memiliki akar udara yang keluar dari cabang. Kulit kayu berwarna abu-abu tua dan berubah-ubah.

Tumbuh pada tanah berlumpur, halus, dalam dan tergenang pada saat pasang normal. Tidak menyukai substrat yang lebih keras yang bercampur dengan pasir. Tingkat dominasi dapat mencapai 90% dari vegetasi yang tumbuh di suatu lokasi. Menyukai perairan pasang surut yang memiliki pengaruh masukan air tawar yang kuat secara permanen. Percabangan akarnya dapat tumbuh secara abnormal karena gangguan kumbang yang menyerang ujung akar. Kepiting darat juga menghambat pertumbuhan mereka karena mengganggu kulit akar anakan. Tumbuh lambat, tetapi pembungaan terdapat sepanjang tahun.

Kayu dimamfaatkan untuk bahan bangunan, kayu bakar dan arang, kulit kayu berisi hingga 30% tanin (persen berat kering). Cabang akar dapat digunakan sebagai jangkar dengan diberati batu. Di jawa acapkali ditanam di pinggiran tambak untuk melindungi pematang. Sering digunakan sebagai tanaman penghijauan (Noor, dkk. 2006).

Teknik Silvikultur Bakau (Rhizophora sp.)

(25)

keberadaan pohon/buah disekitar lokasi penanaman sedikit atau tidak ada, kegiatan pembibitan sebaiknya dilaksanakan.

Adanya kebun pembibitan akan menguntungkan terutama bila penanaman dilaksanakan pada saat tidak musim puncak berbuah atau pada saat dilakukan penyulaman tanaman. Selain itu, penanaman melalui buah yang dibibitkan akan menghasilkan persentase tumbuh yang tinggi. Bibit/benih yang akan ditanam harus sudah tersedia satu hari sebelum diadakan penanaman.

Buah bakau dan tumu bisa disemaikan terlebih dahulu sebelum ditanam dan bisa ditanam tanpa persemaian. Buah api-api dan prepat sebelum ditanam sebaiknya disemaikan duhulu. Penanaman secara langsung, terutama dipinggir laut, sulit dilaksanakan karena buah/bijinya terlalu kecil sehingga mudah dibawa arus. Penanaman dengan sistem puteran dari permudaan alam, untuk kedua jenis ini dapat dilakukan dan berhasil baik.

1. Pemilihan lokasi persemaian

Lokasi persemaian diusahakan pada tanah lapang dan datar. Selain itu, hindari lokasi persemaian di daerah ketam/kepiting atau mudah dijangkau kambing. Lokasi persemaian diusahakan sedekat mungkin dengan lokasi penanaman dan sebaiknya terendam air pasang lebih kurang 20 kali/buah agar tidak dilakukan kegiatan penyiraman bibit.

2. Pembangunan tempat dan bedeng persemaian

(26)

Ukuran tempat persemaian tergantung kepada kebutuhan jumlah buah yang dibibitkan. Bahan tempat persemaian dapat menggunakan bambu. Atap/naungan dapat menggunakan daun nipah atau alang-alang dengan ketinggian antara 1-2 meter. Apabila disekitar lokasi persemaian terdapat banyak kambing, maka bangunan persemaian harus dirancang agar kambing tidak dapat masuk.

Bedeng persemaian dibuat dengan ukuran bervariasi sesuai kebutuhan, tetapi umumnya berukuran 5 x 1 m. Dengan bedeng berukuran 5 x 1 meter dapat memuat kurang lebih 1200 kantong plastik (polybag) ukuran 15 x 20 cm, dimana masing-masing kantong memuat satu benih. Selain katong plastik (polybag), ukuran penghematan dapat digunakan botol air mineral bekas. Dalam ukuran bedeng yang sama dapat memuat 1280 botol air mineral bekas ukuran 500 ml, dimana masing-masing botol memuat satu benih.

Bedengan persemaian dapat dibuat dengan mencangkul tanah dengan kedalaman 5-10 cm atau tanah yang datar diberi batas berupa bambu agar kantong plastik atau botol air mineral bekas tidak jatuh. Antar bedeng sebaiknya ada jalan inspeksi untuk memudahkan pemeriksaan tanaman (Khazali, 1999).

3. Pengadaan bibit

Berdasarkan pengalaman di lapangan, penyiapan bibit bakau sebaiknya

menggunakan benih yang berasal dari buah yang telah masak. Secara umum,

teknik pembibitan semua jenis bakau (Rhizophora spp.) relatif sama.

Perbedaannya hanya terletak pada tingkat kematangan buah masing masing jenis

(27)

a. Pengadaan benih

Benih sebaiknya dipilih yang sudah matang dan diambil dari pohon induk

yang telah berumur 10 tahun atau lebih. Pemanenan buah dapat dilakukan dengan

cara memanjat atau menggunakan tongkat galah berpengait. Selain itu, buah juga

bisa diperoleh dengan mengambil buah yang telah jatuh dengan sendirinya di

bawah pohon induk. Buah yang dipilih sebaiknya sehat, tidak terserang oleh hama

dan penyakit, serta belum berdaun.

Untuk mendapatkan benih yang bersih maka sebaiknya dilakukan

pencucian. Mengingat bagian yang akan ditanam hanyalah hipokotilnya saja, buah

harus dilepaskan dari hipokotil/propagul.

b. Penyimpanan benih

Benih yang terkumpul diikat dengan tali (per ikat : 70-100 buah),

diletakkan pada ember yang berisi air payau dan diletakkan di tempat yang teduh

dengan posisi horisontal. Lama penyimpanan sebaiknya kurang dari 10 hari untuk

R. Mucronata dan 5 hari untuk R. Apiculata. Penyimpanan dimaksudkan untuk

menghilangkan aroma segar dan membuat benih berkerut. Dengan kondisi

demikian maka kepiting/ketam tidak mau memakannya.

c. Penyemaian benih

Media yang digunakan dalam penyemaian berasal dari tanah berlumpur

yang diambilkan dari sekitar pohon induk. Benih disemaikan masing masing satu

buah dalam satu polibag. Teknik pananamannya sama dengan R. mucronata,

(28)

d. Pemeliharaan bibit

Apabila air pasang mencapai persemaian maka penyiraman tidak perlu

dilakukan karena bibit akan tergenangi secara alami. Namun jika air pasang tidak

mencapai persemaian maka penyiraman sebaiknya dilakukan dengan

menggunakan air payau dari sumber terdekat pada pagi dan sore hari.

Sebaiknya akar tidak sampai keluar dari polibag dan menembus ke dalam

tanah. Apabila hal ini terjadi maka akar bibit akan terputus/ rusak pada saat bibit

dibongkar. Hal ini akan mempengaruhi pertumbuhan bibit di lapangan. Untuk

mengantisipasi hal ini biasanya dipasang plastik di dasar bedengan.

e. Kriteria bibit siap tanam

Bibit yang telah siap tanam harus memenuhi kriteria tertentu yaitu tinggi

minimal bibit 30 cm dengan jumlah daun 4 helai. Untuk memperoleh bibit bakau

yang siap tanam, diperlukan waktu 4-5 bulan (Wibisono, dkk. 2006).

Kebutuhan cahaya untuk pertumbuhan tanaman

Cahaya merupakan faktor penting terhadap berlangsungnya fotosintesis, sementara fotosintesis merupakan proses yang menjadi kunci dapat

berlangsungnya proses metabolisme yang lain di dalam tanaman (Kramer dan Kozlowsky, 1979).

(29)

diserap dipengaruhi oleh struktur dan umur daun sementara 20% diteruskan dan dipantulkan sebagai cahaya hijau, dari jumlah itu 95% hilang dalam bentuk panas dan hanya kurang dari 5% saja yang dimanfaatkan tanaman untuk fotosintesis.

Setiap tanaman mempunyai toleransi yang berlainan terhadap cahaya matahari. Ada tanaman yang tumbuh baik ditempat terbuka sebaliknya ada beberapa tanaman yang dapat tumbuh dengan baik pada tempat teduh/bernaungan. Ada pula tanaman yang memerlukan intensitas cahaya yang berbeda sepanjang periode hidupnya. Pada waktu masih muda memerlukan cahaya dengan intensitas rendah dan menjelang sapihan mulai memerlukan cahaya dengan intensitas tinggi (Soekotjo,1976 dalam Faridah, 1995).

Banyak spesies memerlukan naungan pada awal pertumbuhannya, walaupun dengan bertambahnya umur naungan dapat dikurangi secara bertahap. Beberapa spesies yang berbeda mungkin tidak memerlukan naungan dan yang lain mungkin memerlukan naungan mulai awal pertumbuhannya. Pengaturan naungan sangat penting untuk menghasilkan semai-semai yang berkualitas. Naungan berhubungan erat dengan temperatur dan evaporasi. Oleh karena adanya naungan, evaporasi dari semai dapat dikurangi. Beberapa spesies lain menunjukkan perilaku yang berbeda. Beberapa spesies dapat hidup dengan mudah dalam intensitas cahaya yang tinggi tetapi beberapa spesies tidak (Suhardi et al, 1995).

(30)

naungan, adalah tanaman yang memerlukan intensitas cahaya sedang, dan (3) Tanaman cahaya penuh, adalah tanaman yang memerlukan intensitas cahaya tinggi (Harjadi, 1989 dalam Ekawati, 2009).

Intensitas cahaya optimal selama periode tumbuh penting untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pada tanaman tertentu jika menerima cahaya yang berlebihan maka akan berpengaruh terhadap pembentukan buah atau umbi. Sebaliknya berkurangnya radiasi sebagai akibat keawanan atau ternaungi akan mengurangi laju pembentukan buah dan umbi dan menyebabkan pertumbuhan vegetatif berlebihan (Bahrudin, 2004 dalam Yusuf, 2009). Intensitas cahaya berpengaruh secara nyata tehadap laju sintesis karbohidrat pada pertumbuhan tanaman. Laju fotosintesis akan meningkat dengan meningkatnya intensita cahaya sampai pada batas tertentu. Batas dimana peningkatan intensitas tidak lagi meningkatkan laju fotosintesis disebut titik jenih cahaya. Intensitas cahaya juga akan berpengaruh terhadapa suhu udara, tanah, dan tanaman dimana perubahan suhu kemudian akan mempengaruhi tanamananya. Radiasi pada tengah hari berkisar 1.50 gcal/cm3/menit (serata 10.000 footcandle atau 108.000 lux). Titik kompensasi cahaya untuk kebanyakan tanaman adalah pada intensitas cahaya sekitar 100 footcandle atau 1080 lux (Lakitan, 1994 dalam Yusuf, 2009).

(31)
(32)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2011 – Juni 2011 di lokasi pembibitan di Desa Sicanang, Kecamatan Medan Belawan. Kegiatan pengovenan bibit (daun, batang, cabang, dan akar) dilaksanakan di Laboratorium Biologi Tanah, Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Bahan dan Alat

Adapun bahan yang digunakan adalah propagul Bakau minyak

Rhizophora apiculata yang matang secara fisiologis, tanah berlumpur, polibag

ukuran 10 x 30 cm, amplop coklat, plastik kaca, label.

Adapun alat yang digunakan adalah jangka sorong, bambu atau kayu, kamera, paranet 0%, 25%, 50%, 75% dan 100%, timbangan, oven, serta alat-alat lain yang mendukung penelitian.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) terdiri atas 5 perlakuan dengan 10 blok sehingga didapat 50 unit percobaan.

Perlakuan yang digunakan adalah :

(33)

Model linear yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

Yij =

µ

+

τ

i + βi + ฀ij

i = 1,2,…,t t = Jumlah perlakuan

j = 1,2,…,r r = banyaknya ulangan dari perlakuan ke – I, untuk percobaan

yang mempunyai ulangan yang sama, r1 = r Dimana :

Yij = pengamatan pada perlakuan ke-I dan kelompok ke-j

µ

= rata-rata umum

τ

i = pengaruh aditif dari pemberian naungan ke – i

βi = Pengaruh aditif dari blok ke – j

฀ij = Pengaruh acak dari pemberian naungan ke – i dan blok ke – j

Apabila Analisis sidik ragam (ANOVA) berpengaruh nyata maka dilanjutkan dengan uji lanjutan berdasarkan uji jarak DMRT (Duncan’s Multiple

Range Test) (Gomez and Gomez, 1995).

Prosedur Penelitian

Pelaksanaan penelitian terdiri atas beberapa tahap : 1. Penyiapan Media Tanam

(34)

diaduk 20 kg tanah tersebut. Karung yang digunakan adalah karung yang bersih. Dari 20 kg tersebut diambil untuk 100 polibag berukuran 10 x 30 cm.

2. Pemilihan Propagul

Propagul yang digunakan adalah propagul Bakau Minyak (Rhizophora apiculata) yang matang secara fisiologis. Dipilih kotiledon berwarna

hijau muda atau kuning dan dipilih propagul yang bebas dari penyakit (Kitamura, dkk., 1997 dalam Setyawan, dkk. 2003).

3. Penanaman di Polibag

Polibag disiapkan dan kemudian dimasukkan tanah berlumpur ke polibag. Dibuat lubang sedalam 5 cm dan dimasukkan propagul yang telah direndam di air payau dan disimpan ditempat teduh selama 5-10 hari. Polibag yang digunakan berukuran 10 x 30 cm kemudian polibag diberi tanda sesuai dengan perlakuan yang diberikan dan diletakkan sapih yang telah disiapkan.

Parameter Penelitian

Pengamatan dilakukan 2 minggu setelah penanaman dengan parameter yang diamati adalah :

1. Tinggi Bibit (cm)

Pengukuran tinggi bibit diukur dengan penggaris. Pengukuran tinggi diukur mulai dari pangkal tunas yang telah diberi tanda sampai titik tumbuh. Pengambilan data tiap 2 minggu sekali.

2. Diameter Bibit (cm)

(35)

tanda. Pengambilan data dilakukan 2 minggu sekali bersamaan dengan pengambilan data tinggi bibit.

3. Jumlah Daun (Helai)

Perhitungan jumlah daun dilaksanakan 2 minggu sekali bersamaan dengan pengukuran diameter dan tinggi bibit.

4. Luas Permukaan Daun (cm2)

Pengukuran luas permukaan daun dilakukan pada akhir penelitian. Luas permukaan daun diukur dengan menghitung luas total dari seluruh jumlah daun yang ada disemua bibit Pengukuran luas permukaan daun menggunakan program

AutoCad.

5. Bobot Kering Akar dan Bobot Kering Tajuk (g/m2)

Pengamatan berat kering akar dan bobot kering tajuk dilakukan setelah selesai kegiatan pengamatan parameter lain berakhir, dengan cara pemisahan bagian atas (cabang, batang, daun) dengan bagian bawah (akar). Kemudian disatukan, ditimbang beratnya dan dimasukkan kedalam kantong koran yang telah diberli lubang dan label sesuai perlakuan. Kemudian diovenkan pada suhu 75oC selama 24 jam, kemudian ditimbang.

6. Rasio bobot kering tajuk per akar

Perhitungan rasio bobot kering tajuk akar dilakukan setelah kegiatan pengamatan parameter lain berakhir. Perhitungannya dapat dilakukan dengan rumus :

Rasio bobot kering tajuk/akar =

(36)

Persentase hidup dihitung dengan membandingkan antar jumlah bibit yang hidup dan jumlah bibit yang ditanam pada awal penelitian. Pengambilan data dilakukan pada akhir penelitian.

Persentase Hidup = x100%

ditanam yang

bibit Jumlah

(37)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

1. Tinggi bibit (cm)

Salah satu parameter yang dapat digunakan dalam mengamati pertumbuhan bibit Rhizophora apiculata adalah tinggi. Pertumbuhan tinggi bibit

R. apiculata rata-rata pada berbagai intensitas naungan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pertumbuhan tinggi bibit R. apiculata rata-rata pada berbagai intensitas naungan

Naungan Tinggi rata-rata (cm)

Tanpa naungan 16,31a

Intensitas naungan 25% 24,00bc

Intensitas naungan 50% 23,19a

Intensitas naungan 75% 27,10c

Intensitas naungan 100% 26,23bc

Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti notasi dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada Intensitas 5%

Berdasarkan Tabel 1 di atas dapat dinyatakan bahwa pemberian berbagai

intensitas naungan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi bibit

R. apiculata pada umur bibit 13 minggu setelah tanam. Bibit tertinggi diperoleh

(38)

Gambar 2. Grafik pertambahan tinggi bibit R. apiculata dengan beberapa intensitas naungan umur 3 MST sampai 13 MST.

Grafik pertambahan tinggi bibit pada Gambar 2 menunjukkan bahwa untuk setiap pengamatan pertambahan tinggi bibit menunjukkan kecenderungan yang berbeda. Pemberian naungan 75% pada awal penelitian mulai dari pengamatan 3 MST sampai dengan 7 MST pertambahan tinggi lebih pendek dibandingakan dengan pemberian naungan 50% dan naungan 25% . Akan tetapi setelah 9 MST pertambahan tinggi bibit semakin meningkat dan lebih tinggi dibandingan dengan Intensitas naungan yang lain.

2. Diameter bibit (cm)

Parameter kedua yang digunakan dalam mengamati pertumbuhan bibit

R. apiculata adalah diameter. Pertambahan diameter batang rata-rata pada

(39)

Tabel 2. Pertumbuhan diameter batang bibit R. apiculata rata-rata pada berbagai intensitas naungan

Naungan Diameter rata-rata (cm)

Tanpa naungan 0,49

Intensitas naungan 25% 0,52

Intensitas naungan 50% 0,53

Intensitas naungan 75% 0,50

Intensitas naungan 100% 0,51

Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti notasi dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada Intensitas 5%

Berdasarkan Tabel 2 di atas dapat dinyatakan bahwa pemberian naungan tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan diameter batang bibit R. apiculata. Pertambahan diameter batang terbesar bibit R. apiculata terdapat pada intensitas naungan 50%, yaitu 0,53 cm dan terendah terdapat pada tanpa naungan, yaitu 0,49 cm kemudian diikuti oleh pemberian intensitas naungan 25%, intensitas naungan 100% dan intensitas naungan 75%.

(40)

Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa pengamatan pertambahan diameter batang bibit R. apiculata menunjukkan kecenderungan yang berbeda. Bibit dengan intensitas naungan 50% pada pengamatan 9 MST lebih rendah dibandingkan dengan intensitas naungan yang lain. Akan tetapi setelah pengamatan 11 MST pertambahan diameter batang lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian intensitas naungan yang lain.

3. Jumlah Daun (Helai)

Parameter ketiga yang diamati dalam penelitian ini adalah jumlah daun bibit. Jumlah daun rata-rata pada berbagai intensitas naungan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Pertambahan jumlah daun bibit R. apiculata rata-rata pada berbagai intensitas naungan

Naungan Jumlah daun rata-rata (helai)

Tanpa naungan 4

Intensitas naungan 25% 6

Intensitas naungan 50% 6

Intensitas naungan 75% 6

Intensitas naungan 100% 6

Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti notasi dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada Intensitas 5%

(41)

Gambar 4. Grafik pertambahan jumlah daun bibit R. apiculata dengan beberapa intensitas naungan umur 3 MST sampai 13 MST.

(42)

25% rata-rata mencapai 6 helai perbibit tetapi pada perlakuan tanpa naungan tetap sama yaitu 4 helai per bibit.

4. Luas permukaan daun (cm2)

Parameter keempat yang diamati dalama penelitian ini adalah luas

permukaan daun Perhitungan luas permukaan daun total rata-rata bibit

R. apiculata disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Luas permukaan daun bibit R. apiculata rata-rata pada berbagai intensitas naungan

Naungan Luas permukaan daun total rata-rata (cm2)

Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti notasi dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada Intensitas 5%

Dari Tabel 4 di atas dapat dilihat bahwa pemberian naungan berpengaruh nyata terhadap luas permukaan daun bibit R. apiculata. Akan tetapi diantara intensitas naungan yang diberikan tidak terdapat perbedaan dalam mempengaruhi luas permukaan daun bibit. Rata-rata luas permukaan daun bibit terbesar terdapat pada intensitas naungan 25%, yaitu 119,82 cm2 dan terendah terdapat pada pemberian tanpa naungan, yaitu 69,92 cm2 dan diikuti dengan pemberian intensitas naungan 75%, yaitu 118,02 cm2, intensitas naungan 50%, yaitu 111,49 cm2 dan intensitas naungan 100%, yaitu 94,05 cm2.

5. Bobot kering akar (g/m2)

(43)

Tabel 5. Bobot kering akar bibit R. apiculata rata-rata pada berbagai intensitas

Intensitas naungan 25% 0,40b

Intensitas naungan 50% 0,21a

Intensitas naungan 75% 0,17a

Intensitas naungan 100% 0,14a

Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti notasi dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada Intensitas 5%

Dari Tabel 5 di atas menunjukkan bahwa perlakuan pemberian naungan berpengaruh nyata terhadap bobot kering akar bibit R. apiculata dan diantara perlakuan menunjukkan pengaruh yang berbeda terhadap bobot kering akar bibit.

Bobot kering akar terbesar diperoleh pada pemberian tanpa naungan, yaitu 0,52 g/m2 dan terendah didapat pada pemberian intensitas naungan 100%, yaitu

0,14 g/m2. Pemberian tanpa naungan tidak berbeda nyata dengan pemberian intensitas naungan 25% tetapi berbeda nyata dengan pemberian intensitas naungan 50%, intensitas naungan 75% dan intensitas naungan 100%.

6. Bobot kering tajuk (g/m2)

Parameter keenam yang diamati pada penelitian ini adalah bobot kering tajuk (biomassa tajuk). Perhitungan bobot kering tajuk R. apiculata rata-rata ditunjukkan pada Tabel 6.

Tabel 6. Bobot kering tajuk bibit R. apiculata rata-rata pada berbagai intensitas naungan

Naungan Bobot kering tajuk rata-rata

(g/m2)

Tanpa naungan 1,87a

Intensitas naungan 25% 3,35bc

Intensitas naungan 50% 2,64ab

(44)

Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti notasi dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada Intensitas 5%

Berdasarkan Tabel 6 menunjukkan bahwa pemberian intensitas naungan berpengaruh nyata terhadap bobot kering tajuk R. apiculata dan terdapat perbedaan diantara semua perlakuan terhadap besarnya bobot kering tajuk. Intensitas naungan 75% menghasilkan bobot kering tajuk terbesar, yaitu 3,68 g/m2 yang mempunyai pengaruh yang sama dengan intensitas naungan 25%, yaitu 3,35 gr/m2 sedangkan yang terendah didapat pada pemberian tanpa naungan, yaitu 1,87 g/m2 yang pengaruhnya sama dengan naungan 100%, yaitu 2,58 g/m2. Hal ini memenunjukkan setiap pemberian naungan memiliki pengaruh yang sama terhadap bobot kering tajuk yang dihasilkan oleh bibit.

7. Rasio bobot kering tajuk per akar bibit

Parameter ketujuh yang diteliti dalam penelitian ini adalah rasio bobot kering tajuk akar bibit R. apiculata. Rasio bobot kering tajuk akar R. apiculata rata-rata ditunjukkan pada Tabel 7.

Tabel 7. Rasio bobot kering tajuk akar bibit R. apiculata rata-rata pada berbagai intensitas naungan

Naungan

Rasio bobot kering tajuk akar rata-rata

Tanpa naungan 3,89a

Intensitas naungan 25% 12,81ab

Intensitas naungan 50% 22,47bc

Intensitas naungan 75% 30,28c

Intensitas naungan 100% 22,18bc

Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti notasi dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada Intensitas 5%

(45)

menunjukkan pemberian intensitas naungan 75% memiliki rasio biomassa tajuk akar terbesar, yaitu 30,28 sedangkan yang terendah dihasilkan oleh perlakuan tanpa naungan, yaitu 3,89.

8. Persentase hidup (%)

Parameter yang terakhir dimasukkan kedalam penelitian ini adalah persentase hidup bibit R. apiculata. Persentase hidup bibit ini dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Persentase hidup bibit R. apiculata terhadap berbagai intensitas naungan

Naungan Persentase hidup (%)

Tanpa naungan 100

Intensitas naungan 25% 100

Intensitas naungan 50% 100

Intensitas naungan 75% 90

Intensitas naungan 100% 90

Berdasarkan pada Tabel 8 di atas persentase bibit R. apiculata yang mampu bertahan hidup di bawah tekanan naungan hanya terdapat pada perlakuan tanpa naungan, intensitas naungan 25% dan intensitas naungan 50% dan terendah terdapat pada kondisi intensitas naungan yang cukup berat yaitu pada intensitas naungan 75% dan intensitas naungan 100%.

Pembahasan

(46)

yang dikemukakan oleh Daniel et al., (1992) bahwa cahaya langsung berpengaruh pada pertumbuhan pohon melalui intensitas, kualitas dan lama penyinaran. Hasil penelitian menunjukkan intensitas naungan yang memberikan pertumbuhan baik pada tinggi bibit berkisar 40%.

Pertumbuhan tinggi bibit R. apiculata dipengaruhi oleh besarnya intensitas naungan. Hal ini dapat dilihat pada intensitas naungan 75 % dengan kondisi cahaya matahari hampir seluruhnya menutupi bibit mengakibatkan pertumbuhan tinggi batang dan ruas semakin cepat. Pertumbuhan tinggi bibit yang besar pada intensitas naungan 75% disebabkan karena cahaya dengan bantuan hormon pertumbuhannya dapat menstimulasi pertumbuhan tinggi batang bibitnya sehingga bibit dapat mendapatkan cahaya yang sesuai dengan kondisi pertumbuhannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Heddy (1996) yang menyatakan bahwa respons tumbuhan terhadap intensitas cahaya yang berbeda-beda dilakukan melalui hormon auxin, dan efeknya timbul karena berkurangnya efektivitas auxin pada keadaan cahaya penuh.

(47)

karena pada awal pertumbuhan bibit diameter batang yang terbentuk setelah munculnya plumula adalah batang semu, artinya batang awal merupakan daun yang menyelimuti batang yang kemudian setelah beberapa lama kemudian berdiferensiasi menjadi daun dan apabila masa pengambilan data diameter diperpanjang beberapa minggu lagi maka kemungkinan akan diperoleh pengaruh yang signifikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Priyono (2010) yang menyatakan daun pertama akan keluar setelah 1 bulan, daun ketiga akan keluar setelah 3 bulan.

(48)

Sebenarnya jumlah daun secara umum tidak dipengaruhi oleh intensitas naungan. Hal ini dapat dilihat hampir pada semua pengamatan. Jumlah daun tidak berbeda nyata sampai pada pengamatan terakhir (13 MST), dimana perlakuan dengan pemberian intensitas naungan 0%, intenstias naungan 25%, intensitas naungan 50%, intensitas naunga 75% dan intensitas naungan 100% tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Jumlah daun suatu bibit dipengaruhi oleh lingkungan dan genetik bibit tersebut hal ini sesuai dengan penelitian Gardner, dkk, (2003)

dalam Yusuf (2009) dan kelihatanya pengaruh genetik lebih dominan daripada

pengaruh lingkungan (penaungan) pada parameter pengamatan ini.

(49)

dengan pernyataan Purwoko dan Djukri (2003) bahwa peningkatan luas daun pada dasarnya merupakan kemampuan bibit dalam mengatasi cekaman naungan. Peningkatan luas daun merupakan upaya bibit dalam mengefisiensikan penangkapan energi cahaya untuk fotosintesis secara normal pada kondisi intensitas cahaya rendah.

Menurut Sutarmi, (1983) dalam Widiastuti, dkk., (2004) menyatakan bahwa dengan intensitas cahaya yang rendah, bibit menghasilkan daun lebih besar, lebih tipis dengan lapisan epidermis tipis, jaringan palisade sedikit, ruang antar sel lebih lebar dan jumlah stomata lebih banyak. Sebaliknya pada bibit yang menerima intensitas cahaya tinggi menghasilkan daun yang lebih kecil, lebih tebal, lebih kompak dengan jumlah stomata lebih sedikit, lapisan kutikula dan dinding sel lebih tebal dengan ruang antar sel lebih kecil dan tekstur daun keras.

(50)

sumber-agar bibit dapat mempertahankan turgor didalam sel bibit. Semakin besar intensitas cahaya maka proses respirasi akan semakin cepat. Agar keseimbangan ini terjadi maka bibit harus memperbesar akar dalam mengangkut air dan mengalirkanya ke seluruh sel bibit. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wilkins (1969) yang menyatakan bahwa rambut-rambut akar biasanya terdapat di daerah yang menyerap dan akar mungkin secara efektif meningkatkan luas permukaan untuk penyerapan air.

Pengaruh intensitas naungan terhadap bobot kering akar menurut Devkota dan Jha (2010) dapat juga diakibatkan oleh tingginya proses translokasi fotosintat yang berasal dari daun ke sistem perakaran. Hal in dapat dilihat dari luas permukaan daun di daerah kondisi tanpa naungan lebih kecil dibandingkan pada bibit yang berada pada kondisi ternaungi sehingga bobot kering akar lebih tinggi didaerah tanpa naungan.

(51)

yang mengakibatkan respirasi bibit meningkat, sehingga hasil fotosintesis bersih (biomassa) yang tersimpan di jaringan bibit sedikit, menyebabkan bobot kering tajuk pada bibit dengan perlakuan intensitas cahaya 75% lebih tinggi dibandingkan intensitas cahaya 100%.

Rasio bobot kering tajuk akar bibit yang didapat dari hasil penelitian (Tabel 7) menunjukkan ada pengaruh terhadap pemberian pada berbagai intensitas naungan. Rasio bobot kering tajuk akar bibit tertinggi diperoleh pada intensitas naungan 75%, yaitu 30,29 dan yang terendah terdapat pada intensitas naungan 0%, yaitu 3,89%. Rasio bobot kering tajuk akar ini merupakan petunjuk tentang pengaruh lingkungan terhadap pertumbuhan bibit seperti rendahnya ketersediaan air dan nitrogen, rendahnya oksigen tanah dan rendahnya temperatur tanah (Fitter and Hay, 1998).

(52)
(53)

Berdasarkan Tabel 9 diatas menunjukkan bahwa dari semua parameter pengamatan jumlah perlakuan yang menempati rata-rata terbesar terdapat pada pemberian intensitas naungan 75% dan yang terendah terdapat pada pemberian intensitas naungan 100% namun berdasarkan petunjuk diatas dapat disimpulkan bahwa kemampuan bibit R. apiculata sebenarnya hanya dapat hidup pada kondisi intensitas naungan 25 % dan 50%. Walaupun pada perlakuan pemberian intensitas naungan 75% memiliki jumlah rata-rata terbesar tetapi persentase hidup bibit lebih kecil bila dibandingkan pada kondisi tanpa naungan, intensitas naungan 25% dan intensitas naungan 100%. Foto kondisi bibit yang mati setelah pengamatan ke 13 MST dapat dilihat pada Gambar 5 dan 6.

Gambar 5. Kondisi bibit R. apiculata yang mati pada pemberian intensitas naungan 75% setelah pengamatan 13 MST

(54)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Ada pengaruh pemberian naungan terhadap pertumbuhan bibit Rhizophora

apiculata.

2. Pemberian naungan paranet yang paling baik terhadap pertumbuhan

Rhizophora apiculata adalah pemberian naungan paranet 25% dan 50%.

Saran

(55)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, A. 2003. Hutan Mangrove. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Baharuddin. 2004. Penggunaaan Taraf Naungan dan Jenis Mulsa Untuk Meningkatkan Hasil Bawang Merah (Allium ascalonicum L.). Jurnal

Agroland Vol II, Penerbit Universitas Tadulako, Palu dalam Pengaruh

Naungan Dan Tekstur Tanah Terhadap Pertumbuhan Dan Produksi Bawang Sabrang (Eleutherine americana MERR.). Yusuf, H. 2009.

USU Repository © 2009.

Bengen, D. 1999. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosiistem Mangrove. PKSPL. IPB. Bogor.

Bengen. 2002. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Sipnosis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Dahuri R., Rais Y., Putra S.,G., Sitepu, M.J., 2001. Pengelolaan Sumber daya

Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

Daniel T. W, J. A. Helms and F. S. Baker, 1992. Prinsip – Prinsip Silvikultur (Terjemahan). Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Devkota, A., P. K, Jha. 2010. Effects of Different Light level on the Growth Traits and Yield of Cantella Asiatica. Meddle-East Journal of Scientific

Research 5(4) : 226-230

Ditjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan [Ditjen RLL]. 1999. Inventarisasi dan Identifikasi Hutan Bakau (Mangrove) yang Rusak di Indonesia. Laporan Akhir. PT Insan Mandiri Konsultan. Jakarta.

Djamali, A. 1994. Komunitas Ikan di Perairan Sekitar Mangrove (Studi Kasus di Muara Sungai Berau, Kalimantan Timur, Cilacap, Jawa Tengah dan Teluk Bintuni, Irian Jaya). Hlm. 160 - 167.

Djamali, R. A., 2004. Persepsi Masyarakat Desa Pantai Terhadap Kelestarian Hutan Mangrove (Studi Kasus di Kabupaten Probolinggo). Makalah Pribadi Filsafah Sains (PPS 702), Sekolah Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Dwidjoseputro, D. 1978. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. PT Gramedia : Jakarta

(56)

Ekawati. R. 2009. Skripsi : Pengaruh Naungan Tegakan Pohon terhadap Pertumbuhan dan Produktivitas Beberapa Tanaman Sayuran Indigenous. Fakultas Pertanian Bogor. Bogor

Faridah E, 1996. Pengaruh Intensitas Cahaya, Mikoriza dan Serbuk Arang pada Pertumbuhan Alam Drybalanops sp. Buletin Penelitian Nomor 29. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Gardner, F. P; R. B. Pearce, and R.L Mitchell. 1991. Physiology of Crop Plants. Diterjemahkan oleh H. Susilo. Ui-Press : Jakarta.

Gomez, K.A dan A. A. Gomez. 1995. Prosedur Statistika Untuk Penelitian

Pertanian. Diterjemahkan oleh E. Syamsuddin dan J.S Baharsyah. UI – Press : Jakarta.

Gunawan. H., Anwar. C., 2007. Peranan Ekologis dan Sosial Ekonomis Hutan Mangrove dalam Mendukung Pembangunan Wilayah Pesisir. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian. Bogor.

Guslim. 2007. Agroklimatologi. USU Press. Medan

Harjadi, S.S. 1989. Dasar-dasar Hortikultura. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 506 hal dalam Skripsi : Pengaruh Naungan Tegakan Pohon terhadap Pertumbuhan dan Produktivitas Beberapa Tanaman Sayuran Indigenous. Ekawati. R. 2009. Haryani, S. 2008. Respon Pertumbuhan Jumlah dan Luas Daun Nilam

(Pogostemon cublin Benth) pada Tingkat Naungan yang Berbeda. Buletin

Anatomi dan Fisiologi, XVI (2). 20 -26. ISSN 0854-5637.

Heddy, S. 1996. Hormon Tumbuhan. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta

Khazali, M. 1999. Panduan Teknis : Penanaman Mangrove bersama Masyarakat. Wetlands International – Indonesia Programme, Bogor.

Kitamura, S., C. Anwar, A. Chaniago, dan S. Baba. 1997. Handbook of Mangrove in Indonesia : Bali and Lombok, Denpasar dalam Ekosistem Mangrove di Jawa : Restorasi, Setyawan, A. D., Kusumo, W., dan Purin, C. P. 2003.

Biodiversitas. 5:105-118

Kramer P. J. and T. T. Kozlowsky, 1979. Physiology of Woody Plants. Academic Press, Inc. Florida.

(57)

Pesisir. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian. Gunawan. H., Anwar. C., 2007.

Lakitan, B. 1994. Dasar-Dasar Klimatologi. Penerbit PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta dalam Pengaruh Naungan Dan Tekstur Tanah Terhadap Pertumbuhan Dan Produksi Bawang Sabrang (Eleutherine americana MERR.). Yusuf, H. 2009. USU Repository © 2009.

. 1995. .Hortikultura: Teori, Budidaya dan Pasca Panen. Penerbit PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta dalam Pengaruh Naungan dan Tekstur Tanah Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Bawang Sabrang (Eleutherine

americana MERR.)., Yusuf, H. 2009. USU Repository © 2009.

Macnae, W. 1986. A General Account of the Fauna of the Mangrove Swamps of and Forests In The Indo-West Pacific Region dalam Inventarisasi Hutan Mangrove Sebagai Bagian Dari Upaya Pengelolaan Wilayah Pesisir Kabupaten Deli Serdang. Ningsih, S. S. 2008. Tesis : USU e-Repository. Medan.

Martodiwirjo, S. 1994. Kebijaksanaan Pengelolaan dan Rehabilitasi Hutan Mangrove dalam Pelita VI. Bahan Diskusi Panel Pengelolaan Hutan Mangrove, Mangrove Center, Denpasar, 26-28 Oktober 1994 (tidak diterbitkan).

Naamin, N., dan A. Hardjamulia. 1991. Potensi Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Indonesia. Prosiding Puslitbang. Jakarta.

Ningsih, S. S. 2008. Inventarisasi Hutan Mangrove Sebagai Bagian Dari Upaya

Pengelolaan Wilayah Pesisir Kabupaten Deli Serdang. Tesis :

USU e-Repository. Medan.

Priyono, A. 2010. Panduan Praktis Teknik Rehabilitasi Mangrove Di Kawasan Pesisir Indonesia. Kesemat : Semarang.

Purwoko, B. S., dan Djukri. 2003. Pengaruh Naungan Paranet Terhadap Sifat Toleransi Tanaman Talas (Colocasia esculenta (L.) Schott). Ilmu

Pertanian, Vol. 10 No.2 : 17-25.

Rusila Noor, Y., M. Khazali, dan I N.N. Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PHKA/WI-IP, Bogor.

Santoso, N. 2000. Pola Pengawasan Ekosistem Mangrove. Makalah Disampaikan pada Lokakarya Nasional. Pengembangan Sistem Pengawasan Ekosistem Laut Tahun 2000. Jakarta.

(58)

Suhardi, 1995. Effect Of Shading, Mycorrhizza Inoculated And Organic Matter On The Growth Of Hopea Gregaria Seedling Buletin Penelitian Nomor 28. Fakultas Kehutanan Universitas Gajah mada Yogyakarta.

Sutarmi, S. 1983. Botani Umum Jilid II. Angkasa. Bandung. 180 hal dalam Pengaruh Intensitas Cahaya dan Kadar Daminosida Terhadap Iklim Mikro dan Pertumbuhan Tanaman Krisan dalam Pot. Widiastuti, L. 2004. Jurnal

Ilmu Pertanian Vol. 11 No. 2, 2004 : 35-42.

Wardiana, E and M. Herman. 2011. Effects of Light Intensity and Seedling Media on the Growth Reutealis trisperma (Blanco) Airy Shaw Seedling. Agrivita

Volume 33 No. 1 hal 33-34.

Wibisono, I.T, Priyanto, E.B, dan Suryadiputra, I.N. 2006. Panduan Praktis Rahabilitasi Pantai : Sebuah Pengalaman Merehabilitasi Kawasan Pesisir. Wetlands International – Indonesia Programme. Bogor.

Widiastuti, L., Tohari dan E. Sulistyaningsih. 2004. Pengaruh Intensitas Cahaya dan Kadar Daminosida Terhadap Iklim Mikro dan Pertumbuhan Tanaman Krisan dalam Pot. Jurnal Ilmu Pertanian Vol. 11 No. 2, 2004 : 35-42. Wilkins, M. B. 1969. Fisiologi Tanaman. Edisi pertama. (Diterjemahkan oleh

Sutedjo dan Kartasapoetra). PT Bina Aksara. Jakarta

Yusuf, H. 2009. Pengaruh Naungan Dan Tekstur Tanah Terhadap Pertumbuhan Dan Produksi Bawang Sabrang (Eleutherine americana MERR.), USU

(59)

Lampiran 1. Analisis Rancangan Percobaan Tinggi (cm) Bibit R. Apiculata pada Berbagai Intenstias Naungan

Tabel 11. Pertambahan tinggi bibit R. apiculata pada berbagai intensitas naungan

Kelompok Intensitas Naungan Total Rata-rata

Tabel 12. Hasil analisis sidik ragam pertambahan tinggi bibit R. apiculata pada berbagai intensitas naungan

(60)

Lampiran 2. Analisis Rancangan Percobaan Diameter Batang (cm) Bibit R. apiculata Pada Berbagai Intensitas Naungan

Tabel 13. Pertambahan diameter bibit batang R. apiculata pada berbagai intensitas naungan

Kelompok Intensitas Naungan Total Rata-rata

Tabel 14. Hasil analisis sidik ragam pertambahan diameter bibit batang R. apiculata pada berbagai intensitas naungan

Sumber

keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat

Kuadrat

(61)

Lampiran 3. Analisis Rancangan Percobaan Jumlah Daun Bibit R. apiculata Pada Berbagai Intensitas Naungan

Tabel 15. Jumlah helai daun bibit R. apiculata pada berbagai intensitas naungan

Kelompok Intensitas Naungan Total Rata-rata 0% 25% 50% 75% 100%

Tabel 16. Hasil analisis sidik ragam jumlah bibit R. apiculata pada berbagai intensitas naungan

Sumber

keragaman Derajat bebas

Jumlah

(62)

Lampiran 4. Analisis Rancangan Percobaan Luas Permukaan Daun Bibit R. apiculata Pada Berbagai Intensitas Naungan

Tabel 17. Luas permukaan daun bibit R. apiculata pada berbagai intensitas naungan

Kelompok Intensitas Naungan Rata-rata

0% 25% 50% 75% 100% Total Total 699,227 1198,210 1114,925 1180,173 940,492

5133,026

Rata-rata 69,923 119,821 111,492 118,017 94,049

Tabel 18. Hasil analisis sidik ragam luas permukaan daun bibit R. apiculata pada berbagai intensitas naungan

(63)

Lampiran 5. Analisis Rancangan Percobaan Bobot Kering Akar Bibit R. apiculata Pada Berbagai Intensitas Naungan

Tabel 21. Biomassa akar bibit R. apiculata pada berbagai Intensitas Naungan

Kelompok Intensitas Naungan Total Rata-rata 0% 25% 50% 75% 100%

Tabel 22. Hasil analisis sidik ragam bobot kering akar bibit R. apiculata pada berbagai intensitas naungan

(64)

Lampiran 6. Analisis Rancangan Percobaan Bobot Kering Tajuk Bibit R. apiculata Pada Berbagai Intensitas Naungan

Tabel 23. Bobot kering tajuk bibit R. apiculata pada berbagai intensitas naungan

Kelompok Intensitas Naungan

Rata-rata

Tabel 24. Hasil analisis sidik ragam bobot kering tajuk bibit R. apiculata pada berbagai intensitas naungan

Sumber

(65)

Lampiran 7. Analisis Rancangan Percobaan Rasio Bobot Kering Tajuk per Akar Bibit R. apiculata Pada Berbagai Intensitas Naungan

Tabel 25. Rasio bobot kering tajuk akar bibit R. apiculata pada berbagai Intensitas Naungan

Kelompok Intensitas Naungan Total Rata-rata 0% 25% 50% 75% 100%

Tabel 26 Hasil analisis sidik ragam bobot kering tajuk akar bibit R. apiculata pada berbagai intensitas naungan

(66)

Lampiran 8. Persentase hidup bibit R. apiculata Pada Berbagai Intensitas Naungan

Paranet 0% = 100% 10

10

x = 100%

Paranet 25% = 100% 10

10

x = 100%

Paranet 50% = 100% 10

10

x = 100%

Paranet 75% = 100% 10

9

x = 90%

Paranet 100% = 100% 10

9

(67)

Lampiran 9. Foto Lokasi dan Kondisi Penelitian

Gambar 7. Kondisi tanpa intensitas naungan

(68)

Gambar 9. Kondisi dengan intensitas naungan 50%

(69)

Gambar

Tabel 1.  Pertumbuhan tinggi bibit  R. apiculata rata-rata pada berbagai intensitas                  naungan
Gambar 2. Grafik pertambahan tinggi bibit  R. apiculata dengan beberapa  intensitas  naungan umur 3 MST sampai 13 MST
Tabel 2.  Pertumbuhan diameter batang bibit R. apiculata rata-rata pada berbagai                 intensitas  naungan
Gambar 4.  Grafik pertambahan jumlah daun  bibit R. apiculataintensitas naungan umur 3 MST sampai 13 MST
+7

Referensi

Dokumen terkait

apiculata setelah 22 MST menunjukkan tidak ada pengaruh pada berbagai konsentrasi salinitas terhadap luas daun yang dihasilkan semai R. Luas daun disetiap perlakuan

Interaksi antara kombinasi pupuk anorganik- organik dan intensitas naungan nyata terhadap jumlah daun (6 BSP), diameter batang (6-7 BSP), panjang akar, ketebalan daun,

Korelasi antara luas permukaan daun dengan bobot kering total tanaman juga cukup kuat, sementara luas daun dengan rasio bobot kering tajuk dan akar

Intensitas naungan berpengaruh sangat nyata terhadap diameter batang bibit kopi Arabika sejak bibit kopi Arabika berumur 2-7 BSP (Tabel 4).. Pengaruh intensitas

Intensitas naungan hingga 75% menyebabkan peningkatan tinggi tanaman dan spesifik luas daun, tetapi mengurangi jumlah dan luas daun, laju penyerapan cahaya (PAR), laju

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata menurut uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5 %.. Data luas daun total bibit

SANGAPTA RAS KELIAT: Pertumbuhan bibit Avicennia marina pada berbagai intensitas naungan, dibimbing oleh YUNASFI dan BUDI UTOMO.. Avicenia marina Merupakan spesies tumbuhan

Variabel pertumbuhan yang dipengaruhi oleh perlakuan intensitas naungan antara lain pertumbuhan tinggi, diameter batang, jumlah daun, berat basah, serta nisbah pucuk akar