• Tidak ada hasil yang ditemukan

EKSISTENSI DAMANG KEPALA ADAT DALAM PENYELESAIAN KONFLIK AGRARIA (Studi Tentang Penyelesaian Sengketa Tanah Adat di Kota Palangkaraya)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "EKSISTENSI DAMANG KEPALA ADAT DALAM PENYELESAIAN KONFLIK AGRARIA (Studi Tentang Penyelesaian Sengketa Tanah Adat di Kota Palangkaraya)"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar. Manusia hidup serta melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat manusia selalu berhubungan dengan tanah dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia baik secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan tanah. Kepemilikan tanah diawali dengan menduduki suatu wilayah yang oleh masyarakat adat disebut sebagai tanah komunal (milik bersama). Khususnya diwilayah pedesaan, tanah ini diakui oleh hukum adat tak tertulis baik berdasarkan hubungan keturunan maupun wilayah1. Seiring dengan perubahan pola sosial ekonomi dalam setiap masyarakat tanah milik bersama masyarakat adat ini secara bertahap dikuasai oleh anggota masyarakat melalui penggarapan yang bergiliran. Sistem pemilikan individual kemudian mulai dikenal didalam sistem pemilikan komunal. Situasi ini terus berlangsung didalam wilayah kerajaan dan kesultanan sejak abad ke lima dan berkembang seiring kedatangan kolonial Belanda pada abad ke tujuh belas yang membawa konsep hukum pertanahan mereka.2Tanah mempunyai peranan yang besar dalam dinamika pembangunan, maka didalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3disebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Selama masa penjajahan Belanda, pemilikan tanah secara perorangan menyebabkan dualisme hukum 1

Mujadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. Hak-Hak atas Tanah. PrenadaMedia:Jakarta,2004. 2

Blog Julius Ari Sanjaya contoh makalah sengketa tanah_files/blank.html tentang sengketa tanah di akses pada pukul 18.00 WIB 26 november 2013.

(2)

pertanahan, yaitu tanah-tanah dibawah hukum Adat dan tanah-tanah yang tunduk kepada hukum Belanda. Menurut hukum pertanahan kolonial, tanah bersama milik adat dan tanah milik adat perorangan adalah tanah dibawah penguasaan Negara.Hak individual atas tanah, seperti hak milik atas tanah, diakui terbatas kepadayang tunduk kepada hukum barat. Hak milik ini umumnya diberikan atastanah-tanah diperkotaan dan tanah perkebunan di pedesaan. Dikenal pula beberapa tanah instansi pemerintah yang diperoleh melalui penguasaan.3

Sengketa terkait penguasaan sumberdaya agraria pada umumnya telah terjadi sejak puluhan tahun lalu dan terjadi di hampir di seluruh pelosok wilayah Indonesia. Sengketa tersebut adalah sengketa yang menyangkut persoalan tenurial(sistem dari pemangkuan yang diakui oleh pemerintah secara nasional, maupun oleh sistem lokal) yang bermuara pada terciptanya kondisi yang tidak ideal yang disebut sebagai masalah ketidakpastian tenurial dan ketimpangan struktur penguasaan sumberdaya agraria. Muara dari seluruh sengketa ini adalah munculnya kerawanan sosial kehidupan berbagai kelompok masyarakat sehari-hari, dan turunnya tingkat banyak warga yang terlibat dalam sengketa dimaksud. Mencuatnya kasus-kasus sengketa tanah di berbagai tempat, khususnya di Indonesia beberapa waktu terakhir seakan kembali menegaskan kenyataan bahwa selama 63 tahun Indonesia merdeka, negara masih belum bisa memberikan jaminan hak atas tanah kepada rakyatnya.Persoalan sengketa tanah mengenai hak milik tak pernah reda. Masalah tanah bagi manusia tidak ada habis-habisnya karena mempunyai arti yang amat penting dalam penghidupan dan hidup manusia sebab tanah bukan saja sebagai tempat berdiam juga tempat bertani, lalu lintas,

3

Gautama, Sudargo, Pembaharuan Hukum Indonesia,Alumni:Bandung,1973.

(3)

perjanjian dan padaakhirnya tempat manusia berkubur. Sebagaimana diketahui sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria berlaku bersamaan dua perangkat hukum tanah di Indonesia (dualisme). Satu bersumber pada hukum adat disebut hukum tanah adat dan yang lain bersumber pada hukum barat disebut hukum tanah Barat.4

Dengan berlakunya hukum agraria yang bersifat nasional (UU No. 5 Tahun 1960) maka terhadap tanah-tanah dengan hak barat(tanah hak barat ialah tanah bekasmilik orang asing, dalam hal ini Belanda) maupun tanah-tanah dengan hak adat harus dicarikan padanannya di dalam UUPA. Untuk dapat masuk kedalam sistem dari UUPA diselesaikan dengan melalui lembaga konversi. Setelah adanya UUPA masih saja ada masalah yang lingkupnya pada hak atas tanah, seharusnya ada suatu peraturan yang menjelaskan lebih jelas dan mengikat mengenai hak atas tanah.Undang-undang pertanahan tersebut diharapkan secepatnya dibuat dandiundangkan agar dapat memberikan kepastian hukum dan jaminanperlindungan hukum kepemilikan dan penguasaan hak atas tanah.5 Hal ini di karenakan yang menjadi tujuan pokok UUPA adalah salah satunya meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan,kesederhanaan dalam hukum pertanahan dan juga memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya tanpa terkecuali. Akan tetapi dalam pelaksanaan di lapangan, sengketa yang berkaitan dengan agraria maupun tanah tidak bisa hilang begitu saja, karena berbagai kepentingan di dalamnya berusaha untuk bisa memiliki atau menggunakan suatu lahan/tanah sebagai cara untuk bisa meraih keuntungan

4

Harsono, Budi, Hukum Agraria Indonesia, Jembatan : Jakarta,1981 5

Parlindungan, AP, Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria, Alumni:Bandung,1980

(4)

walaupun harus berurusan dengan pihak yang juga tidak mau di rugikan dengan penggunanaan lahan tersebut.

Penyelesaian sengketa tanah di Indonesia sendiri melibatkan pemerintah yaitu Badan Pertanahan Nasional. Badan Pertanahan Nasional (disingkat BPN) adalah lembaga pemerintah nonkementerian di Indonesia yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral.6 BPN dahulu dikenal dengan sebutan Kantor Agraria. BPN diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 dan Peraturan Presiden Nomor 85 Tahun 2012.Dalam melaksanakan tugas Badan Pertanahan Nasional menyelenggarakan fungsi :perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan;perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan;koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan;pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahan;penyelenggaraan dan pelaksanaan survei, pengukuran dan pemetaan di bidang pertanahan;pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum;pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah;pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria dan penataan wilayah-wilayah khusus;penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik negara/daerah bekerjasama dengan Departemen Keuangan;pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah;kerjasama dengan lembaga-lembaga lain;penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan;pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan;pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di bidang pertanahan;pengkajian dan pengembangan hukum

6

BPN.gov.id tentang jumlah sengketa tanah di Indonesia di akses pada pukul 21.30 WIB tanggal 17 desember 2013.

(5)

pertanahan;penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan;pendidikan, latihan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang pertanahan;pengelolaan data dan informasi di bidang pertanahan;pembinaan fungsional lembaga-lembaga yang berkaitan dengan bidang pertanahan;pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;fungsi lain di bidang pertanahan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku

Di Indonesia sendiri kasus mengenai sengketa tanah semakin tahun semakin bertambah. Pada tahun 2013 kasus mengenai sengketa tanah semakin hari semakin banyak terjadi, tercatat di data Badan Pertanahan Nasional kasus mengenai sengketa tanah adat sampai pada tahun 2013 sudah terjadi 4.000 jumlah kasus dan 1.600 kasus atau 40% sudah diselesaikan, hal ini adalah sisa kasus dari tahun 2012 yakni sebanyak 8.000 kasus7. Kasus yang tercatat tersebut merupakan jumlah keseluruhan kasus sengketa tanah yang pernah terjadi antara masyarakat dengan masyarkat,masyarakat dengan pemerintah maupun antara masyarakat dengan pihak swasta. Banyaknya kasus sengket tanah yang terjadi di Indonesia, maka Badan Pertanahan Nasional membentuk 11 tim yang beranggotakan pakar dan pihak yang berkompeten untuk melakukan pengumpulan data-data mengenai daerah yang berpotensi bersengketa. Setelah mendapatkan informasi yang valid, maka tim di atas akan menindak lanjuti hal tersebut, supaya dapat dikembalikan kepada pihak yang benar.

7

http://www.pikiran-rakyat.com/node/213183 tentang sengketa tanah di Indonesia di akses pada pukul 20.30 WIB tanggal 5 november 2013.

(6)

Khusus di Provinsi Kalimantan Tengah kasus mengenai sengketa tanah terdata di Polda Kalimantan Tengah ada 7 kasus yang terjadi baik bidangperkebunan maupun kehutanan. Rinciannya masih banyak kasus perkebunan, yaitu satu kasus perambahan hutan, dan enam lainnya sengketa tanah perkebunan.8Khusus ke Kota Palangkaraya kasus sengketa tanah yang terjadi pada tahun 2013 ada 29 kasus yang rinciannya 18 kasus terjadi antara masyarakat dengan masyarakat itu sendiri, kemudian 4 kasus terjadi antara masyarakat dengan pihak pemerintah dan 7 kasus sisanya antara masyarakat dengan swasta. Penyelesaian sengketa tanah di Kota Palangkaraya melibatkan seorang Damang atau kepala adat sebagai perwakilan Dewan Adat Dayak Kota Palangka Raya dalam menyelesaikan sengketa tanah sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.

Tabel 1 : Sengketa Tanah Yang diSelesaikan Badan Pertanahan Nasional Kota Palangkaraya

Tahun Sengketa antara masyarakat kasus tentang sengketa kebun di akses pada pukul 12.00 WIB tanggal 29 november 2013.

(7)

2013 18 kasus 4 kasus 7 kasus 29 kasus Sumber : Data Register Badan Pertanahan Nasional Kota Palangkaraya Tahun 2009-2013

Dari penjelasan diatas, merupakan sengketa tanah yang diselesaikan oleh Badan Pertanahan Nasional Kota Palangkaraya. Sengketa tanah yang sering terjadi lebih banyak melibatkan masyarakat dengan masyarakat terutama pada tahun 2011 dengan jumlah kasus 45 kasus. Sedangkan pada tahun 2010 adalah jumlah sengketa paling sedikit dengan jumlah 4 kasus saja.

Tabel 2 : Sengketa Tanah Yang diSelesaikan Damang Kepala Adat

Tahun Sengketa antara masyarakat

Sumber : Damang Kepala Adat Sebangau tentang Pencatatan Sengketa Tanah Tahun 2009-2013

(8)

kepemilikan. Akan tetapi karena Yohanes punya surat-surat resmi akhirnya mendapat pengakuan dari camat dan lurah.Sehingga Yohanes pun bisa membayar tunggakan PBB di Bank Kalteng untuk mengamankan lahan miliknya di lokasi tersebut agar tidak diklaim oleh pihak lain, karena bukti atau resi pembayaran PBB bisa dijadikan sebagai alat untuk memperkuat kepemilikan lahannya tersebut selain bukti surat kepemilikan lahan yang telah disahkan oleh lurah dan camat terutama Surat keterangan tanah (SKT).9

Melalui hukum adat, suku dayak membentuk lembaga kedamangan sebagai lembega penegak hukum adat sesuai dalam Peraturan Gubernur Pasal 4 Nomor 13 tahun 2009 di jelaskan mengenai beberapa fungsi dari fungsi fungsionaris kedamangan tersebut yaitu membantu Pemerintah dalam bidang pertanahan; mengurus dan mengatur tanah adat dan hak-hak adat di atas tanah; mengurus dan mengatur ketentuan dalam hukum adat, terhadap hal-hal yang berkaitan dengan tanah adat dan hak-hak adat di atas tanah di wilayahnya, guna kepentingan keperdataan adat, termasuk dalam hal adanya persengketaan atau perkara adat; dan menjaga, memelihara dan menuntun masyarakat adat Dayak untuk memanfaatkan tanah adat dan hak-hak adat di atas tanah semaksimal mungkin untuk kesejahteraan bersama. Selain itu juga di jelaskan bahwa Wewenang Fungsionaris Kedamangan adalah :mengatur dan menetapkan kepemilikan, penguasaan, pemanfaatan dan pembagian tanah adat dan hak-hak adat di atas tanah di wilayahnya. memberikan rekomendasi tertulis dalam hal adanya pengalihan atau pelepasan tanah adat dan hak-hak adat di atas tanah

9

http://kalteng.tribunnews.com/2012/07/05/mandau-telawang-siap-tengahi-konflik-lahantentang

konflik lahan diakses pada pukul 09.00 WIB tanggal 4 januari 2014.

(9)

kepada pihak lain. Dalam hal pengalihan atau pelepasan sebagaimana dimaksudpada Peraturan Gubernur Pasal 4 Nomor 13 Tahun 2009 pada pasal 5 ayat hurufc berupa Hak Guna Usaha atau Hak Pakai, maka bagi pemegang Hak Guna Usaha atau Hak Pakai jika sampai jangka waktunya, maka hak atas tanah adat tersebut kembali kepada pemegang hak adat sebelumnya dan penggunaan selanjutnya harus berdasarkan persetujuan baru. Memberikan sanksi berupa tidak diakuinya kepemilikan secara adat, apabila ternyata tanah adat atau hak-hak adat di atas tanah tersebut tidak diinventarisasi bahkan ditelantarkan berturut-turut selama 6 (enam)tahun terhitung sejak mulai berlakunya Peraturan Gubernur. Ini mendorong masyarakat Adat Dayak setelah melakukan inventarisasi agar dilanjutkan dengan mendaftarkan sebagai hak atas tanah yang sesuai menurut ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria.

(10)

batas-batas yang jelas, baik milik perorangan maupun milik bersama yang keberadaannya diakui oleh Damang Kepala Adat.10

Berkaitan dengan permasalahan tanah adat,banyak kasus yang kemudian di selesaikan oleh Damang Kepala Adat karena dalam penyelesaian perkara mempunyai model yang sangat penting dan strategis karena memberikan manfaat yang sangat besar tidak saja bagi para pihak yang berperkara, melainkan juga sangat bermanfaat bagi masyarakat luas.Dalam hal ini kasus sengket tanah adat yang terjadi di Kota Palangkaraya pada tahun 2009 terjadi 10 kasus, pada tahun 2010 terjadi 15 kasus, pada tahun 2011 terjadi 8 kasus, pada tahun 2012 terjadi 10 kasus dan pada tahun 2013 terjadi 7 kasus. Diantara 50 kasus yang terjadi tersebut 45 kasusnya terjadi antara masyarakat dengan masyarakat sendiri dan sisanya 5 kasus terjadi antara masyarakat dengan pihak swasta. Berbagai faktor yang menyebabkan sengketa tanah terjadi yaitu juga adanya Surat Kepemilikkan Tanah ( SKT ) yang tumpang tindih dan juga kesadaran masyarakat adat sendiri yang mendaftarkan kepemilikan tanahnya sehingga ketika ada pihak lain yang mengklaim bahwa tanah itu miliknya, masyarakat baru protes dan mengadukan hal itu. Selain itu juga masih banyak masyarakat yang belum bisa mengerti antara hak diatas tanh dan hak atas tanah sehingga ketika mereka menghasilkan sesuatu dari sebidang tanah,maka mereka mengklaim bahwa tanah itu milik mereka. Hal ini yang kemudian menjadikan sering terjadinya sengketa tanah adat sesama masyarakat itu sendiri maupun antara masyarakat dengan pihak swasta yang ingin mengelola tanah adat tersebut.

10.Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah nomor 13 tahun 2009 tentang tanah adat dan hak-hak atas tanah adat.

(11)

Prosedur penyelesaian perkara secara perdamaian adat sangat sederhana, cepat, epektif, adil dan dengan biaya murah akan memberikan keuntungan ekonomis bagi para pihak yang berperkara. Penyelasaian perkara melalui Damang Kepala Adat, hasilnya lebih mengedepankan perdamaian diantara para pihak yang berperkara, dan memungkinkan tetap terpeliharanya hubungan-hubungan baik antara para pihak dalam jangka panjang sehingga dapat membawa ketentraman tidak saja bagi para pihak berselisih tetapi juga bagi keharmonisan hubungan dalam masyarakat secara lebih luas. Hal inilah yang kemudian masyarakat memilih menyelesaiakan sengketa tanah kepada seorang Damang, karena disisi lain bagi masyarakat adanya lembaga ini berkaitan dengan nilai-nilai tradisional yang tumbuh dan berkembang di kalangan masyakarat suku dayak.

(12)

sesamanya. Sedangkan artinya yang paling mendasar dari lembaga kedemangan ini adalah sebagai wadah interaksi sosial masyarakat dayak yang terpola dalam suatu pola hubungan yang khas dari kehidupan masyarakat adat. Secara khusus warga kedemangan diikat oleh tradisi adat yang membuat masyarakat Dayak sangat sensitif terhadap hukum adatnya. Norma adat dijadikan pedoman untuk mengatur kehidupan sosial masyarakat, siapapun yang melanggar ketentuan hukum adat harus menghadapi peradilan adat yang disebut perakara. Putusan diambil oleh para ketua adat yang berwibawa dengan mengacu hukum adat yang berlaku masih dipraktekan sampai sekarang.

B. RUMUSAN MASALAH

Perumusan masalah merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian, karena dengan perumusan masalah seorang peneliti telah mengidentifikasi persoalan yang diteliti sehingga sasaran yang hendak dicapai menjadi jelas. Berdasarkan hal tersebut, maka masalah yang hendak diteliti dan dibahas dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah peran Damang Kepala Adat dalam penyelasaian sengketa tanah adat di Kota Palangkaraya ?

2. Kendala-kendala apa saja yang di hadapi Damang Kepala Adat dalam penyelesaian sengketa tanah adat ?

C. TUJUAN PENELITIAN

(13)

1. Untuk mengetahui bagaimana peran Damang Kepala Adat dalam penyelesaian sengketa tanah adat di Kota Palangkaraya.

2. Untuk mengetahui kendala apa saja yang di hadapi Damang Kepala Adat dalam penyelesaian sengketa tanah adat.

D. MANFAAT PENELITIAN

Untuk mendekati kerangka hal yang sempurna, maka sangat perlu memberikan manfaat kepada khalayak umum,sedangkan manfaat penelitian yaitu sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

Secara teorotik yaitu adalah untuk mengetahui seberapa besar eksistensi seorang damang kepala adat dalam menyelesaikan sengketa tanaha adat yang ada di Kota Palangka Raya. Selain itu juga untuk mempelajari lebih lanjut bagaimana perbandingan penyelesaian sengketa tanah adat yang di selesaikan oleh Badan Pertanahan Nasional dan Damang Kepala Adat. Serta memberikan kontribusi pada Mata Kuliah Politik Pertanahan terkait konflik agraria.

2. Manfaat Praktis

(14)

damang kepala adat di Kota Palangkaraya yang dalam hal ini adalah Masyarakat dan Pemerintah.

E. KAJIAN PUSTAKA

Kajian teori atau pengkajian teori dalam suatu penelitian merupakan tahap yang sangat penting. Dengan adanya teori-teori yang digunakan dan memiliki keterkaitan dengan masalah yang sedang diteliti, akan memperjelas hal-hal yang telah ditentukan jawabannya melalui penelitian-penelitian lain yang telah dilakukan sebelumnya. Hasil dari kajian teori tersebut bisa dijadikan masukkan dan landasan dalam menjelaskan dan merinci masalah-masalah yang akan di teliti.11

1. Teori Konflik Ralf Dahrendorf

Keberadaan teori konflik muncul setelah fungsionalisme. Namun, teorikonflik sebenarnya sama saja dengan suatu sikap kritis terhadap Marxisme ortodox. Seperti Ralf Dahrendorf, yang membicarakan tentang konflik antara kelompok-kelompok terkoordinasi (imperatively coordinated association), dan bukan analisis perjuangan kelas, lalu tentang elit dominan, daripada pengaturan kelas, dan manajemen pekerja, daripada modal dan buruh.

Dahrendorf menolak utopia teori fungsionalisme yang lebih menekankan konsensus dalam sistem sosial secara berlebihan. Wajah masyarakat menurutnya tidak selalu dalam kondisi terintegrasi, harmonis, dan saling memenuhi, tetapi ada wajah lain yang memperlihatkan konflik dan perubahan. Baginya, pelembagaan

11

Riduan, Metode dan Teknik Menyusun Proposal Penelitian, Bandung:2009

(15)

melibatkan dunia kelompok-kelompok terkoordinasi (imperatively coordinated

association), dimana, istilah-istilah dari kriteria tidak khusus, mewakili

peran-peran organisasi yang dapat dibedakan. Organisasi ini dikarakteri oleh hubungan kekuasaan (power), dengan beberapa kelompok peranan mempunyai kekuasaan memaksakan dari yang lainnya.12

Saat kekuasaan merupakan tekanan (coersive) satu sama lain, kekuasaan dalam hubungan kelompok-kelompok terkoordinasi ini memeliharanya menjadi legitimate dan oleh sebab itu dapat dilihat sebagai hubungan (authority), dimana, beberapa posisi mempunyai hak normatif untuk menentukan atau memperlakukan yang lang lain.

Teori Konflik Ralf Dahrendorf tidak bermaksud untuk mengganti teori konsensus. Dasar Teori Konflik Dahrendorf adalah penolakan dan penerimaan sebagian serta perumusan kembali teori Karl Marx yang menyatakan bahwa kaum borjuis adalah pemilik dan pengelola sistem kapitalis, sedangkan para pekerja tergantung pada sistem tersebut. Pendapat yang demikian mengalami perubahan karena pada abad ke-20 telah terjadi pemisahan antara pemilikan dan pengendalian sarana-sarana produksi. Kecuali itu,pada akhir abad ke-19 telah menunjukkan adanya suatu pertanda bahwa para pekerja tidak lagi sebagai kelompok yang dianggap sama dan bersifat tunggal karena pada masa itu telah lahir para pekerja dengan status yang jelas dan berbeda-beda, dalam arti ada kelompok kerja tingkat atas dan ada pula kelompok kerja tingkat bawah. Hal yang demikian merupakan sesuatu yang berada di luar pemikiran Karl Marx.

12

Dahrendorf, Ralf."Class and Class Conflict in Industrial Society." Stanford CA: Stanford University. 1959.

(16)

Selain itu, Karl Marx sama sekali tidak membayangkan bahwa dalam perkembangan selanjutnya akan lahir serikat buruh dengan segenap mobilitas sosialnya, yang mampu meniadakan revolusi buruh. Perlu diketahui bahwa dalam suatu perusahaan ada pimpinan dan ada para pekerja yang pada suatu saat dapat saja terjadi konflik. Akan tetapi dengan adanya pengurus dari organisasi tenaga kerja tersebut untuk mengadakan perundingan dengan pimpinan perusahaan maka konflik dapat dihindari. Pendekatan Ralf Dahrendorf berlandaskan pada anggapan yang menyatakan bahwa semua sistem sosial itu dikoordinasi secara imperatif. Dalam hal ini, koordinasi yang mengharuskan adanya otoritas merupakan sesuatu yang sangat esensial sebagai suatu yang mendasari semua organisasi sosial. Berkenaan dengan hal tersebut maka dalam suatu sistem sosial mengharuskan adanya otoritas, dan relasi-relasi kekuasaan yang menyangkut pihak atasan dan bawahan akan menyebabkan timbulnya kelas. Dengan demikian maka tampaklah bahwa ada pembagian yang jelas antara pihak yang berkuasa dengan pihak yang dikuasai. Keduanya itu mempunyai kepentingan yang berbeda dan bahkan mungkin bertentangan. Selanjutnya, perlu diketahui bahwa bertolak dari pengertian bahwa menurut Ralf Dahrendorf kepentingan kelas objektif dibagi atas adanya kepentingan manifest dan kepentingan latent maka dalam setiap sistem sosial yang harus dikoordinasi itu terkandung kepentingan latent yang sama, yang disebut kelompok semu yaitu mencakup kelompok yang menguasai dan kelompok yang dikuasai.

2. Resolusi Konflik Johan Galtung

(17)

muncul penghancuran, tapi konflik juga bisa dipahami sebagai sekumpulan permasalahan yang menghasilkan penciptaan penyelesaian baru, sedangkan kekerasan adalah situasi ketidaknyamanan yang dialami aktor dimana ketidaknyamanan adalah apa yang “seharusnya” tidak sama dengan apa yang “ada” bisa juga berupa suatu sikap yang ditujukan untuk menekan pihak lawan, baik secara fisik, verbal, ataupun psikologi. Dalam teori tentang segitiga kekerasan Galtung, kekerasan terbagi menjadi tiga yaitu kekerasan langsung, kultural dan struktural. Dimana kekerasan langsung seringkali didasarkan atas penggunaan kekuasaan sumber (resource power), yang dibedakan menjadi kekuasaan yang bersifat menghancurkan, kemudian kekuasaan ideologis dan kekuasaan renumeratif. Baik kekuasaan sumber dan kekuasan struktural saling berkaitan, saling memperkuat. Galtung mengungkapkan kekerasan struktural dan personal dapat menghalangi untuk memenuhi kebutuhan dasar. Kebutuhan-kebutuhan dasar ini adalah kelestarian atau keberlangsungan hidup, kesejahteraan, kebebasan, dan identitas. Jika empat kebutuhan dasar ini mengalami tekanan atau kekerasan dari kekuasaan personal dan struktural, maka konflik kekerasan akan muncul ke permukaan sosial.

(18)

Konflik antar individu, terjadi akibat keterbatasan sumberdaya, perbedaan pandangan atas nilai, atau tujuan yang tidak sejalan, bisa juga karena keterlibatan dalam kerjasama (bila ada benturan kepentingan), maupun saat konsensus tidak tercapai (tidak ada pihak yang mau mengalah). Sedangkan konflik dalam lingkup yang lebih luas, seperti kelompok dan lainnya hampir sama dengan konflik antar individu sebagaimana disebutkan di atas, tetapi sifatnya lebih kompleks dan lebih banyak individu yang terlibat dalam konflik

Menurut Galtung ada tiga proses yang harus dilewati sebelum perdamaian dapat dibangun.Ketigaprosesadalah peacekeeping, peacemaking,

dan peacebuilding. Peacekeeping adalah proses menghentikan atau mengurangi

aksi kekerasan melalui intervensi militer yang menjalankan peran sebagai penjaga perdamaian yang netral. Peacemaking adalah proses yang tujuannya mempertemukan atau merekonsiliasi sikap politik dan strategis dari pihak-pihak yang bertikai melalui mediasi, negosiasi, arbitrasi terutama pada level elit atau pimpinan. Peacebuilding adalah proses implementasi perubahan atau rekonstruksi sosial, politik dan ekonomi demi terciptanya perdamaian yang langgeng. Melalui proses peacebuilding diharapkan diharapkan negative peace (atau the absence of

violence) berubah menjadi positive peace dimana masyarakat merasakan adanya

keadilan sosial, kesejahteraan ekonomi, dan keterwakilan politik yang efektif.13

3. Konsepsi Konflik Agraria

13

Galtung, Johan (ed.) Peace, War, and Defence – Essays in Peace Research:Copenhagen,1975

(19)

Konflik agraria adalah pertentangan klaim hak atas tanah atau kekayaan alam yang berasal dari alas yang berbeda. Masing-masing pihak meyakini mempunyai kekuatan hukum untuk mempertahakan sumber daya tersebut. Pada tingkat mikro, konflik agraria wujudnya pada klaim yang bertumbukan atas lokasi yang sama, dari alas yang berbeda dan dari institusi yang berbeda. Di satu pihak, masyarakat memiliki klaim berdasarkan aturan atau hukum adat setempat yang mereka sepakati bersama. Di sisi lain, pihak pemegang konsesi memilik klaim atas lahan yang sama berdasarkan penetapan hak yang diberikan oleh pemerintah beralaskan sejumlah peraturan dan perundangan dari hukum formal yang berlaku.

MenurutChristodolou , konflik adalah bentuk pertentangan atau pertarungan yang sudah nyata, yang didasari oleh pertentangan klaim, yang bermula pada tidak adanya pegangan bersama mengenai tiga hal : a) Siapa yang berhak menguasai tanah dan kekayaan alam; b) siapa yang berhak memanfaatkan tanah dan kekayaan alam, c) siapa yang berhak mengambil keputusan atas penguasaan dan pemanfaatan atas tanah dan kekayaan alam.

(20)

pemulihan dari pemegang kekuasaan terutama pemerintah sangat diperlukan agar hak itu dapat ditegakkan. Itulah sebabnya dikatakan bahwa masalah agraria pada hakikatnya adalah masalah kekuasaan, masalah politik, yang berkaitan dengan kuasa ekonomi dan sosial . Proses pengelihan akses dan kontrol tanah dari satu pihak ke pihak lain, dipenuhi oleh berbagai metode yang digunakan oleh institusi politik, seperti penggunaan instrument birokrasi dan peraturan pemerintah

(government regulation), maupun manipulasi dan kekerasan secara langsung.

Semasa rezim Orde Baru, kita menyaksikan banyak sekali kasus konflik agraria. Konflik itu telah menjadi sisi lain dari pengadaan tanah dan pengelolaan kekayaan skala besar untuk proyek pembangunan pemerintah maupun proyek- proyek dari perusahan bermodal raksasa. 14

F. DEFINISI OPERASIONAL

Definisi operasional merupakan salah satu langkah penting dalam penelitian karena berperan sebagai alat untuk mengukur variable. Dalam penelitian, variable penelitian adalah eksistensi damang kepala adat dalam penyelesaian konflik agraria. Hal ini untuk mengetahui seberapa besar peran damang kepala adat dalam menyelesaikan konflik agraria di Kota Palangkaraya. Indikator dalam penelitian adalah sebagai berikut :

1. Peranan Damang Kepala Adat Dalam Menyelesaikan Konflik Agraria,meliputi :

14

Wiradi, Gunawan, Seluk-Beluk Masalah Agraria, Reforma Agraria, dan Penelitian Agraria, Sajogyo Institute:Bogor,2009

(21)

a). Penerapan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008, Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 13 Tahun 2009, dan Peraturan Kota Palangkaraya Nomor 15 Tahun 2009 terkait dengan keberadaan damang kepala adat di Kota Palangkaraya dan tanah adat.

b). Mengetahui peran damang kepala adat dalam penyelesaian konflik agraria di Kota Palangkaraya.

2. Proses penyelesaian konflik :

a). Mekanisme atau proses penyelesaian konflik agraria yang dilakukan damang kepala adat dalam melalui proses mediasi dan negosiasi.

b).Mekanisme atau proses penyelesaian konflik agraria yang dilakukan damang kepala adat dalam melalui proses peradilan adat

3. Mengetahui kendala yang dihadapi damang kepala adat dalam penyelesaian konflik agraria di Kota Palangkaraya.

G. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian

(22)

masalah yang di teliti berdasarkan fakta-fakta yang ada, sehingga tujuan dari metode deskriptif adalah menggambarkan suatu penyelesaian sengketa tanah adat. Maka dari itu metode yang dilakukan adalah metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif, yang bisa dipahami sebagai serangkaian prosedur yang digunakan dalam upaya pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan obyek penelitian.

2. Sumber Data

Dalam penelitian ini penulis memperoleh sumber data yang digunakan adalah

a. Data Primer

Data primer merupakan data yang didapatkan dari narasumber yang dianggap tahu terhadap persoalan yang terjadi. Data primer digunakan sebagai informasi penunjang penelitian supaya bisa memperkuat data informasi penulis dalam menyusun basis penelitian. Tujuan dalam data sekunder ini yaitu para informan atau para sumber yang berkaitan langsung dengan permasalahan penulisan yaitu Damang Kepala Adat. b. Data Sekunder

(23)

3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian di maksudkan agar peneliti mampu mengungkapkan fakta supaya mendapatkan data dan informasi yang dibutuhkan oleh peneliti. Adapun lokasi penelitian yang dipilih adalah di Kecamatan Sebangau, Kota Palangkaraya.

4. Teknik Pengumpulan Data

Pada prinsipnya pengumpulan data empirik diawali dengan memahami setting. Dalam hal ini peneliti masuk sebagai bagian dari subyek penelitian. Sehubungan hal tersebut, maka digunakan teknik pengumpulan data berupa pengamatan,wawancara dan dokumentasi

a. Wawancara

Metode wawancara yaitu metode pengumpulan data dengan melalui perbincangan langsung. Perbincangan langsung dilakukan oleh peneliti dan yang menjadi narasumber dalam wawancara yaitu Damang Kepala Adat. Jadi hal ini dilakukan untuk mendapatkan informasi yang diingikan peneliti. Teknik ini dilakukan secara terstruktur dan berpartisipasi langsung dengan tujuan peneliti mendapatkan data-data yang diinginkan sesuai dengan kebutuhan peneliti. Dalam wawancara juga akan membahas Eksistensi Damang Kepala Adat Dalam Penyelesaian Konflik Agraria serta proses penyelesaiannya.

b. Metode Observasi

(24)

Badan Pertanahan Nasional serta Damang Kepala Adat. Selain itu juga pengamatan langsung peneliti pada saat proses konflik di Peradilan Adat.

c. Metode Dokumentasi

Metode dokumentasi yaitu pengumpulan data dengan cara melalui tulisan-tulisan mengenai hukum adat, peradilan, buku-buku tentang pedoman peradilan adat serta peraturan-peraturan mengenai hak-hak di atas tanah adat, tentang fungsi dan peran damang.

5. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data merupakan bagian yang sangat penting dalam metode ilmiah karena dengan analisis data dapat diberi arti tentang makna yang berguna dalam memecahkan permasalahan penelitian. Untuk analisis data peneliti menggunakan teknik analisis data kualitatif, analisis kualitatif terdiri dari :

a. Pengumpulan Data

Dalam hal ini peneliti mencari dan mengumpulkan semua data yang ada di lapangan sesuai dengan judul penelitian, untuk kemudian dijadikan sebagai tambahan dalam penulisan.

b. Reduksi Data

(25)

c. Display Data

Merupakan tahap seleksi data atas data atau catatan-catatan lapangan seperti proses penyelesaian sengketa tanah,proses pengadilan adat,serta kendala dalam penyelesaian sehingga data yang didapat sesuai dengan pokok yang dituju dalam penelitian.

d. Verifikasi Data

Setelah data disajikan, maka diambil beberapa alternatif yang sesuai dengan judul penelitian untuk dijadikan bahan penyampaian informasi dan pengambilan keputusan guna kemudian diambil sebuah kesimpulan. 6. Pemeriksaan Keabsahan Data

(26)

EKSISTENSI DAMANG KEPALA ADAT DALAM PENYELESAIAN KONFLIK AGRARIA

(Studi Tentang Penyelesaian Sengketa Tanah Adat di Kota Palangkaraya)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas IlmuSosial dan IlmuPolitik Universitas Muhammadiyah Malang

Sebagai Persyaratan Untuk Mendapat Gelar Sarjana (S - 1)

Oleh :

MADYA PUTRA YAUMIL AHAD NIM : 201010050311011

JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

(27)

LEMBAR PENGESAHAN

Telah DipertahankanDihadapan SidangDewanPengujiSkripsi

JurusanIlmu Pemerintahan FakultasIlmuSosial Dan IlmuPolitik UniversitasMuhammadiyah Malang

Pada :

Hari : Rabu

Tanggal : 13 Agustus 2014

Jam : 09.00 WIB

Tempat : Kantor JurusanIlmuPemerintahan

DewanPenguji

(28)

LEMBAR PERSETUJUAN

Nama : Madya Putra Yaumil Ahad NIM : 201010050311011

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Judul :Eksistensi Damang Kepala Adat Dalam

Penyelesaian Konflik Agraria ( Studi Tentang Penyelesaian Sengketa Tanah Adat di Kota Palangkaraya )

Disetujui Untuk DiujiDihadapan Sidang Dewan Penguji Skripsi

Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

(29)

BERITA ACARA BIMBINGAN SKRIPSI Nama : Madya Putra Yaumil Ahad

Nim : 201010050311011 Jurusan : Ilmu Pemerintahan

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Studi : Strata I (S1)

Judul Skripsi :Eksistensi Damang Kepala Adat Dalam Penyelesaian Konflik Agraria ( Studi Tentang Penyelesaian Sengketa Tanah Adat Di Kota Palangkaraya

Pembimbing : 1. Yana S. Hijri, S.IP, M.IP 2. Drs. Achmadur Rifai, M.Si Konsultasi Skripsi :

(30)

SURAT PERNYATAAN

Nama : Madya Putra Yaumil Ahad

Tempat, Tanggal Lahir : Palangkaraya, 06 Desember 1992

NIM : 201010050311011

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Jurusan : Ilmu Pemerintahan

Menyatakan bahwa Karya Ilmiah/ Skripsi saya yang berjudul :” EKSISTENSI DAMANG KEPALA DALAM PENYELESAIAN KONFLIK AGRARIA (Studi Tentang Penyelesaian Sengketa Tanah Adat di Kota Palangkaraya)” Adalah bukan karya tulis orang lain, baik sebagian maupun keseluruhan, kecuali dalam bentuk kutipan yang telah saya sebutkan sumbernya.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan apabila pernyataan ini tidak benar, saya bersedian mendapatkan sanksi akademik sebagaimana berlaku

Malang, 16 Agustus 2014 Yang Menyatakan

(31)

MOTTO

HIDUP ADALAH PETUALANGAN

PETUALANGAN MENCARI SEGALA

HAL TENTANG APA YANG MENJADI

TUJUAN HIDUP

YOUR LIFE, YOUR CHOICE AND

YOUR ACTION

(32)

PERSEMBAHAN

 ALLAH SWT YANG TELAH MEMBERIKAN RIDHO DAN SERTA HIDAYAH-NYA SERTA UMUR

DAN KESEHATAN SEHINGGA SKRIPSI INI BISA TERSELESAIKAN.

 AYAHANDA SAHDIN HASAN DAN IBUNDA MARIYEM YANG SELAMA INI SUDAH

MENDOAKAN DAN SELALU MEMBERIKAN SUPPORT, SERTA SAUDARA-SAUDARA KU

AWAL,AHIRIL DAN NAVIL. TIDAK LUPA UNTUK KELURGA BESAR,TERIMA KASIH ATAS DOA

DAN SUPPORT KALIAN SEMUA SELAMA MASA KULIAH.

 BUAT PERSONIL THE GENGS AYU SARI,AHMAD AGUS AMRIN, ANGGONO MURTI T.A, DEWI

TRI,ERNA WITULAR,MUZAKKY HAKKAM, FADHIA PURWANTIKA DAN TITI HANDAYANTI.

 BUAT RIRIN BONCEL SAHABAT DARI BANGKU SMA SAMPAI KULIAH, IDA SUNNY YANG

UDAH ANTARIN CARI ALAMAT PENELITIAN SERTA MAS BAGUS YANG SELALU SIAP DI

MINTAIN BANTUAN.

 BUAT PASUKAN DRSC ANGGI UGENK, DWI, BAYOE NGANGA, BRIAN JANOVAN, HENDY

WINSET, DHANI ANOUNK, ADEN SUBAKTI WIJAYA, ARIS KOPLO, OBET.

 SERTA SEMUA TEMAN-TEMAN ANGKATAN 2010 ILMU PEMERINTAHAN. TETAP SEMANGAT

BAGI KALIAN SEMUA.

 DAN SEMUA PIHAK YANG TIDAK BISA DISEBUTKAN SATU PERSATU. TERIMA KASIH ATAS

(33)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang senantiasa melimpahkan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul “Eksistensi Damang Kepala Adat Dalam Penyelesaian Konflik Agraria ( Studi Tentang Penyelesaian Sengketa Tanah Adat Di Kota Palangkaraya” ini dengan tepat waktu. Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Pemerintahan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang.

Penulis sadar, bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, baik bantuan yang berupa moril maupun spritiuil yang penulis dapat. Penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya dan rasa hormat atas segala bimbingan, pengarahan, serta dorongan yang telah diberikan kepada penulis, dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Muhadjir Effendy, M.AP., selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Malang.

2. Bapak Dr. Asep Nurjaman, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik Universitas Muhammadiyah Malang.

3. Ibu Hevi Kurnia Hardini, S.Ip, MA.GOV , selaku Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammdiyah Malang

4. Bapak Yana S. Hijri, S.IP, M.IP selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Drs. Achamadur Rifai, selaku Dosen Pembimbing II yang memberikan kesabaran dan ketelatenan dalam membimbing, memotivasi dan mengarahkan peneliti selama penyusunan skripsi ini hingga selesai.

(34)

6. Badan Pertanahan Nasional Kota Palangkaraya dan Damang Kepala Adat Kecamatan Sebangau Bapak Basel yang telah bersedia membantu dan memberikan data sehingga penelitian ini bisa terselesaikan.

7. Ayahanda Sahdin Hasan dan Ibunda Mariyem serta saudara-saudaraku Awal, Ahiril dan Navil serta seluruh keluarga besar yang telah banyak membantu penulis baik secara materi maupun non materi dalam peneyelesaian skripsi ini.

8. Teman-teman angkatan 2010 jurusan Ilmu Pemerintahan, serta semuanya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak memberikan motivasi, membagi kebahagiaan,

Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi penulisan selanjutnya.

Malang, 13Agusutus 2014

(35)

ABSTRAK

Madya Putra Yaumil Ahad, 2014, 201010050311011, Universitas Muhammadiyah Malang, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Pemerintahan, Eksistensi Damang Kepala Adat Dalam Penyelesaian Konflik Agraria, Pembimbing I : Yana S Hijri, S.IP, M.IP ; Pembimbing II : Drs.Achmadur Rifai, Msi.

Kata Kunci : Eksistensi Damang Kepala Adat

Permasalahan sengketa tanah semakin tahun semakin meningkat terjadi. Hal ini karena tanah merupakan suatu kebutuhan hidup manusia yang sangat penting. Semakin banykanya kebutuhan manusia akan agraria, memunculkan berbagai konflik terkait kepemilikannya tersebut. Konflik agraria menuntut pemerintah untuk bisa menyelesaikannya, agar hak kepemilikkan suatu tanah tidak tumpang tindih seperti pada saat ini. Dalam penelitian ini, lembaga kedamangan sebagai suatu lembaga adat di suku dayak mempunyai tugas dan fungsi untuk mempertahankan hak-hak adat serta salah satunya adalah menyelesaikan sebuah konflik yang berkaitan dengan agraria.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif dengan subyek penelitian yakni damang kepala adat kecamatan sebangau. Dalam mengumpulkan data penelitian, penulis melakukan observasi untuk mengetahui eksistensi damang kepala adat. Lokasi yang menjadi penelitian adalah lembaga kedamangan kecamatan sebangau, karena di wilayah kedamangan kecamatan sebangau memilikki jumlah luas tanah adat yang paling banyak di Kota Palangkaraya. Hal inilah yang menjadikan peneliti, menjadikan damang kepala adat sebagai sumber dalam penelitian ini.

Eksitensi damang kepala adat dalam menyelesaikan sengketa tanah sampai pada saat ini tetap berjalan. Hal ini karena lembaga kedamangan juga sebagai opsi para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan perkara mereka di damang kepala adat. Penyelesaian sengketa tanah melalui damang kepala adat, merupakan suatu bentuk percaya dengan kreadibilitas lembaga kedamangan dalam menyelesaikan sebuah konflik. Upaya yang dilakukan damang kepala adat dalam menyelesaikan sengketa, lebih mengutamakan proses mediasi dan negosiasi agar penyelesaian sengketa tersebut bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Hal ini dilakukan damang kepala adat, karena dalam landasan hukum suku dayak memiliki asas adil dan kerukunan, sehingga hal untuk mencegah terjadinya konflik pada tahap konflik fisik. Akan tetapi, dalam proses penyelesaian tersebut, tidak jarang damang kepala adat menyelesaikan sebuah konflik pada tahap peradilan adat, karena dalam tahap mediasi dam negosiasi ada salah satu pihak yang berperkara tidak menerima hasil keputusan.

(36)
(37)

ABSTRACT

Madya Putra Yaumil Ahad, 2014, 201010050311011, University of Muhammadiyah Malang, Faculty of Social and Political Science, Governmental Science, Supervisor 1: Yana S Hijri, S.IP, M.IP ; Supervisor II : Drs. Achmadur Rifai, Msi.

Keyword: The existence of damang customary head

The problem of land disputes occur increasingly every years. This is because of land one of important aspect of human life. The increasing number of human need for agrarian, led to various conflicts related to the ownership of land itself. The agrarian conflict requires the government to solve the problems, so the ownership of the land does not overlap. This research, kedamangan institution as one of institutes inDayakhave a function to maintain the rights of tradition and solve the conflict related to the agrarian.

The method used in this research was descriptive qualitative method, the subject in this research wascustomary head of damangin Sebangau districts. In collecting the data, the writer observed to find out the existence of damang customary head. The The research location is kedamangan institution Sebangau districts, because it has extensive number of the most customary land in Palangkaraya.

The existence of Damang customary head in resolving land disputes is currently used. This is because kedamangan institutions as the reconciliation side to solve land problems. This reconciliation showed that kedamang institute was incredible when handle the problems. Damangc ustomary head preferred to solve the problems with mediation and negotiation process. Dayak tribe has the principles of fair and harmony, so to prevent conflict at the stage of physical conflict. However, the reconciliation process did not always work,usually damang customary head resolved a conflict at this stage of customary justice, since the mediation stage of the negotiations litigants did not accept.

Through this research, it will be known how much the existence of damang customary head in order to solve problems. Based on customary law, damangcustomary head can do their duties properly. However, the customary head damang still finds some obstacles in technical or non-technical.

Supervisor I Supervisor II

(38)

DAFTAR ISI

COVER ... i

LEMBAR PENGESAHAN. ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN ... iii

BERITA ACARA BIMBINGAN. ... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN. ... v

HALAMAN MOTTO. ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR. ... viii

ABSTRAK. ... x

DAFTAR ISI.. ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang.. ... 1

B. Rumusan Masalah. ... 12

C. Tujuan Penelitian. ... ... 12

D. Manfaat Penelitian. ... ... 13

E. Kajian Pustaka. ... ... 13

F. Definisi Operasional... ... 20

G. Metode Penelitian... ... 21

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konflik Agraria ... ... 26

1. Pengertian Konflik ... ... 26

(39)

3. Teori Resolusi Konflik Johan Galtung ... ... 34

4. Konflik Agraria ... ... 39

B. Dasar Hukum Damang Kepala Adat ... ... 42

BAB III DESKRIPTIF WILAYAH A. Gambaran Umum Kota Palangkaraya ... ... 47

1. Kondisi Geografis ... ... 47

2. Kondisi Demografis ... ... 49

3. Kondisi Sosial Ekonomi ... ... 52

4. Potensi Kota Palangkaraya... ... ...54

B. Gambaran Umum Damang Kepala Adat ... ... 58

1. Sejarah Singkat Damang Kepala Adat ... ... 58

2. Struktur Organisasi Damang Kepala Adat ... ... 64

BAB IV PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA A. Eksistensi Damang Kepala Adat Berdasarkan Legal Formal ... ... 69

B. Eksistensi Damang Kepala Adat Dalam Penyelesaian Konflik Agraria ... 75

C. Mekanisme Penyelesaian Konflik Melalui Peradilan Adat ... ... 85

D. Kendala Yang Dihadapi Damang Kepala Adat Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah ... ... 91

E. Jenis Dan Denda Sengketa Tanah ... ... 93

F. Relasi Lembaga Kedamangan Dengan Pemerintah ... ... 101

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... ... 106

(40)

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Sengketa Tanah Yang Diselesaikan Badan Pertanahan Nasional Kota

Palangkaraya ... ... 6

Tabel 2 : Sengketa Tanah Yang Diselesaiakan Oleh Damang Kepala Adat ... ... 7

Tabel 3 : Presentase Lapangan Pekerjaan ... ... 52

DAFTAR GAMBAR Gambar 1 : Peta Kota Palangkaraya ... 47

Gambar 2 : Grafik Jumlah Penduduk Kota Palangkaraya ... ... 49

Gambar 3 : Grafik Umur Penduduk Kota Palangkaraya ... ... 50

Gambar 4 : Diagram Presentase Pekerjaan Penduduk Kota Palangkaraya ... ... 51

Gambar 5 : Potensi Pertambangan di Kota Palangkaraya ... ... 55

Gambar 6 : Kebun Karet Dan Kebun Sawit di Kota Palangkaraya ... ... 57

Gambar 7 : Hasil Pertanian di Kota Palangkaraya ... ... 58

Gambar 8 : Kantor Kedamangan Kecamatan Sebangau Gambar 9 : Damang Kepala Adat Kecamatan Sebangau DAFTAR BAGAN Bagan 1 : Bagan Penyelesaian Sengketa Tanah ... ... 81

(41)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Abdurrahman, H, Lembaga Kedemangan di Kalimantan Tengah,2002.

BadanPertanahanNasional, PenertibandanPendayagunaan Tanah Terlantar,

MakalahKonsultasiPublik, PenyempurnaanPeraturanPemerintah No.36

tahun 1998, Jakarta, 2004.

Biro Pemerintahan Desa Setwilda Tingkat I Kalimantan Tengah, Lembaga Kedemangan dan Hukum Adat Dayak Ngaju di Provinsi Kalimantan

Tengah,1969.

Buku Pedoman Penyelenggaraan dan Penegakkan Hukum Adat Dalam Wilayah

Kedamangan Di Palangkaraya:Palangkaraya,2011.

BukuPedoman Penyelenggaran dan Penegakan Hukum Adat Dalam Wilayah

Kedamangan: Palangkaraya,2013.

Christodoulou, The Unpromised Land, Zed Books:London,1990.

Coser, Lewis A.The Function of Social Conflict. Free Press:New York,1956. Dahrendorf, Ralf."Class and Class Conflict in Industrial Society." Stanford CA:

Stanford University. 1959.

Dahrendorf, Ralf.”The modern social conflict: an essay on the politics of liberty”. University of California Press, 1990.

Dahrendorf,RalfS, StrukturalismeKonflik II Suatu Usul Bagi Penjelasan Struktur

Sosial, dalam Poloma, M Margaret. Sosiologi Kontemporer, Cetakan kedua,

Alih Bahasa Tim Yasogama, Rajawali:Jakarta,1987.

Danandjaja, James, Kebudayaan Kalimantan Tengah,dalam Koentjaraningrat,PT Pembangunan:Jakarta,1975.

Dyer,JdanShehr, Organizational conflict of interest, Conflict Manajemen.1989. Galtung, Johan ,“Three approaches to peace: peacekeeping, peacemaking, and

peacebuilding”. Dalam Johan Galtung (ed.)Peace, War, and Defence –

Essays in Peace Research:Copenhagen,1975

Galtung, Johan, Peace by Peaceful Means, Peace and Conflictm, Development

and Civilization, Suge Publications:London,1996.

(42)

Harsono, Budi, Hukum Agraria Indonesia, Jembatan:Jakarta,1981

Hermawan, Yulius P.“TransformasidalamStudiHubunganInternasional: Aktor, IsudanMetodologi”, GrahaIlmu:Yogyakarta, 2007.

James Danandjaja, Kebudayaan Kalimantan Tengah, PT Pembangunan:Jakarta,1979.

Karl J. Pelzer,Planters against Peasants, The Agrarian Struggle in East Sumatra,

The Huge:Martinus Nijhoff,1982.

Lambut, M.P, Prinsip-prinsipBelomBahadat (HidupBeradat) Tata Kehidupan Pribumi Boerneo Sepanjang Zaman, Makalah disampaikan dalam

pertemuan umum dengan Kepala-kepalaAdat di Tanjung, Kalimantan

Selatan,2001.

Mahadi, Kedudukan Tanah Adat Dewasa Ini, BPHN: Jakarta, 1977. Miall, Hugh, Contemporary Conflict Resolution. Politic Press:UK,1999.

Mujadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. Hak-Hak atas

Tanah,PrenadaMedia:Jakarta,2004.

Parlindungan, AP, Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria, Alumni:Bandung,1980.

Pemerintah Kota Palangkaraya, Kota

PalangkarayaDalamAngka:Palangkaraya,2013.

Riduan, Metode dan Teknik Menyusun Proposal Penelitian, Bandung:2009.

Selayang Pandang Kota Palangkaraya Tahun 2013.

Stoner, Freeman, dan Gilbert. Manajemen, Jilid II, Alih Bahasa Alexander Sindoro, Prenhallindo:Jakarta1966.

Tabat, Herdiwang, Buku Hukum Adat Dayak Ngaju Kalimantan Tengah: Palangkaraya,2008.

Tauchid, Muhammad, Masalah Agraria sebagai Masalah Penghimpunan dan

Kemakmuran Rakyat, Tjakrawala:Jakarta,1953.

Tim Monografi, Monografi Hukum Adat Kalimantan, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta: 1989.

T.T Suan dkk. , Budaya Dayak Permasalahan dan Alternatifnya, Bayumedia:Malang,2011.

(43)

Wiradi, Gunawan,ReformaAgrariadan Pembangunan Pedesaan, Pusat Antar Universitas, Universitas Gadjah Mada:Yogyakarta,1990.

Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik, Salemba Humanika:Jakarta,2010.

Peraturan-Peraturan

Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah.

Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 13 Tahun 2009 tentang Tanah Adat dan Hak-hak atas Tanah Adat di Provinsi Kalimantan Tengah.

Peraturan Daerah Kota Palangkaraya Nomor 15 Tahun 2009 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kota Palangkaraya.

Internet

Blog Julius Ari Sanjaya contoh makalah sengketa tanah_files/blank.html tentang sengketa tanah di akses pada pukul 18.00 WIB 26 november 2013.

BPN.gov.id tentang jumlah sengketa tanah di Indonesia di akses pada pukul 21.30 WIB tanggal 17 desember 2013.

http://www.pikiran-rakyat.com/node/213183 tentang sengketa tanah di Indonesia di akses pada pukul 20.30 WIB tanggal 5 november 2013.

http://www.borneonews.co.id/kalteng/palangkaraya/1055-aduan-sengketa-perkebunan-capai-125-kasus tentang sengketa kebun di akses pada pukul 12.00 WIB tanggal 29 november 2013.

http://kalteng.tribunnews.com/2012/07/05/mandau-telawang-siap-tengahi-konflik-lahantentang konflik lahan diakses pada pukul 09.00 WIB tanggal 4 januari 2014.

http://m.bisnis.com/quick-news/read/20120628/78/83500/tanah-adat-dayak-butuh-pengakuan-legalitas-dari-pemerintah tentang tanah adat diakses pada pukul 20.15 WIB 25 juli 2014.

Gambar

Tabel 1 : Sengketa Tanah Yang diSelesaikan Badan Pertanahan Nasional Kota
Tabel 2 :  Sengketa Tanah Yang diSelesaikan Damang Kepala Adat

Referensi

Dokumen terkait

Untuk memilih panjang gelombang maksimal, dilakukan dengan membuat kurva hubungan antara absorbansi dengan panjang gelombang dari suatu larutan baku pada konsentrasi tertentu.

Teori belajar humanistik bertujuan bahwa belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika telah memhami lingkungan dan

Mikrotik merupakan perangkat router sekaligus sistem operasi yang dapat digunakan untuk melakukan berbagai fungsi routing serta mengatur lalu lintas data internet serta melakukan

Penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang relevan untuk memahami fenomena sosial (tindakan manusia) 13 dimana data hasil penelitian tidak diolah melalui

Beberapa atau semua kelompok menyajikan hasil penyelidikannya dengan cara menarik kepada seluruh kelas, dengan tujuan agar siswa lain saling terlibat satu sama lain

Maka implikasi konseptual penelitian ini bahwa kekuasaan kehakiman di negara Indonesia relevan secara kontekstual-akomodatif dalam menerapkan konsep yang digagas oleh Imam

Indonesia 3.1 Menggali informasi dari teks laporan buku tentang makanan dan rantai makanan, kesehatan manusia, keseimbangan ekosistem, serta alam dan pengaruh kegiatan

– Wawancara dengan pedoman umum, ada pedoman tapi hanya mencantumkan isu-isu penting yang harus digali. Seringkali tanpa adanya