• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diplomasi Olahraga dalam Sport Mega-Event Sebagai Media Membangun Nasionalisme Baru Pada Piala Dunia 2006 Jerman

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Diplomasi Olahraga dalam Sport Mega-Event Sebagai Media Membangun Nasionalisme Baru Pada Piala Dunia 2006 Jerman"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

Diplomasi Olahraga dalam Sport Mega-Event

Sebagai Media Membangun Nasionalisme Baru

Pada Piala Dunia 2006 Jerman

Disusun dan diajukan untuk memenuhi salah satu syarat

memperoleh gelar Sarjana Ilmu Politik (S.IP) Strata-1

Jurusan Hubungan Internasional

Oleh:

Hardian Saputra

(201010360311078)

JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

(2)

LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI

Nama : Hardian Saputra

NIM : 201010360311078

Jurusan : Hubungan Internasional

Judul Skripsi : Diplomasi Olahraga dalam Sport Mega-Event Sebagai Media Membangun Nasionalisme Baru Pada Piala Dunia 2006 Jerman

Disetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Helmia Asyathri, S.IP M. Syaprin Zahidi, MA

Mengetahui,

Dekan FISIP Ketua Jurusan

Universitas Muhammadiyah Malang Hubungan Internasional

(3)

iii

LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Hardian Saputra

NIM : 201010360311078

Jurusan : Hubungan Internasional

Judul Skripsi : Diplomasi Olahraga dalam Sport Mega-Event Sebagai Media Membangun Nasionalisme Baru Pada Piala Dunia 2006 Jerman

Telah dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Ujian Skripsi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Jurusan Hubungan Internasional

Dan dinyatakan LULUS

Pada hari : Selasa, 28 Oktober 2014

Tempat : Ruang Dosen FISIP Lantai 6 GKB 1

Mengesahkan,

Dekan FISIP-UMM

Dr. Asep Nurjaman, M.Si

Dewan Penguji:

1. Peggy Puspa, S.Sos, M.Si ( )

2. Ruli Inayah Romadhoan, S.Sos, M.Si ( )

3. Helmia Asyathri, S.IP ( )

(4)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Dengan menyebut asma Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang,

dan segala puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Pemberi petunjuk.

Shalawat dan salam kami sampaikan kepada junjungan kita, manusia teladan kita,

Rasul Muhammad SAW, beserta para sahabat, dan para pengikut beliau sampai

akhir zaman.

Alhamdulillahi Rabbil’aalamiin, tiada kata yang dapat penyusun

sampaikan kecuali rasa syukur yang sebesar-besarnya kepada Allah SWT, atas

pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Diplomasi Olahraga dalam Sport Mega-Event Sebagai Media Membangun

Nasionalisme Baru Pada Piala Dunia 2006 Jerman”, sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Politik pada Program Studi Hubungan

Internasional, Universitas Muhammadiyah Malang.

Pada kesempatan kali ini penulis sampaikan rasa terima kasih kepada

berbagai pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan, dukungan maupun

motivasi sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan lancar. Dengan penuh

kerendahan hati penyusun sampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada yang terhormat :

1. Bapak Dr. Asep Nurjaman, M.Si sebagai dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang.

2. Bapak Gonda Yumitro, MA sebagai ketua Jurusan Hubungan Internasional

(5)

v

3. Ibu Helmia Asyathri, S.IP dan bapak M. Syaprin Zahidi, MA sebagai

dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk

membimbing saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Seluruh dosen Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Malang yang telah membekali

penulis untuk melakukan penelitian.

5. Kedua orang tua saya, H. Dharma Setiawan dan almarhumah ibu saya Hj.

Nurul Huda, serta kedua kakak saya Eka Listiana dan Dewi Astuti yang

telah sabar mendidik, membimbing, memberi motivasi dan dukungan

materiil maupun non materiil selama ini yang tidak pernah tergantikan dan

dilupakan oleh penulis.

6. Maya Anggita, terimakasih atas perhatian, nasehat, dukungan, kesabaran,

dan kasih sayangnya selama ini.

7. Sahabat-sahabat kuliah saya Lalu Wimbarda Puspa Negara, M. Asmayuda,

Adellya Juliaga, Ita Kosasih, Zahratul Istiqlal, M. Talabul Amal, Lisma

Yanti, Dini Septiana, Abdul Manaf, dll, terima kasih telah sama-sama

saling mendukung sepanjang masa perkuliahan ini.

8. Sahabat - sahabat kos Kalimaya 10 Rajindra Wichaksa, Willi Bangun

Iswara, M. Setiawan, M. Erwin Hanggara, Fariz Nuary, Chandra Kirana,

dll, terima kasih untuk waktu-waktu berharga dan kebersamaannya.

9. Sahabat – sahabat seperantauan dari Banjarmasin M. Iqbal, M. Zainul

(6)

Musthafa, M. Farayunanda, Sirajuddin Kahfi, dll, terima kasih telah

memberikan suasana “rumah” di tanah perantauan ini.

10.Serta para pihak yang tidak dapat saya sebutkan disini satu-persatu yang

telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahawa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan

sehingga penyusun sangat mengharapkan kritik serta saran yang dapat

menyempurnakan skripsi ini. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat dan

menambah pengetahuan bagi siapapun yang membacanya.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Malang, 14 November 2014

(7)

vii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

ABSTRAKSI ... ix

ABSTRACT ... x

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

1.4 Penelitian Terdahulu ... 8

1.5 Kerangka Teori dan Konsep ... 14

1.3.1 Identitas Nasional... 14

1.3.2 Nasionalisme ... 16

1.3.3 Domestic Public Diplomacy ... 19

1.3.4 Sport Diplomacy ... 21

1.6 Metodologi Penelitian... 23

1.6.1 Metode/Tipe Penelitian ... 23

1.6.2 Teknik Analisa Data ... 23

1.6.3 Teknik Pengumpulan Data ... 24

1.6.4 Ruang Lingkup Penelitian ... 24

1.7 Argumentasi Dasar ... 25

1.8 Sistematika Penulisan ... 26

BAB II. NASIONALISME JERMAN 2.1Perkembangan Ethno-Centric Nationalism Jerman ... 28

(8)

2.1.2 Jerman Era Otto von Bismarck hingga Perang Dunia I

(1871-1914) ... 31

2.1.3 Pecahnya Perang Dunia I (1914-1918) ... 34

2.1.4 Berdirinya Republik Weimar Pasca Perang Dunia I ... 38

2.1.5 Lahirnya Nazi ... 40

2.1.6 Pecahnya Perang Dunia II (1939-1945) ... 42

2.2Era Perang Dingin (Vacuum Nationalism) ... 45

2.2.1 Pemisahan Wilayah Jerman ... 46

2.2.2 Perkembangan Jerman Barat dan Jerman Timur ... 47

2.3Identifikasi Civic Nationalism di Era Reunifikasi Jerman ... 49

BAB III. NASIONALISME JERMAN 3.1Sejarah Sepakbola Jerman ... 54

3.2 Nasionalisme Jerman Pra-Piala Dunia ... 56

3.3 Pengaruh Pelaksaan Piala Dunia 2006 Terhadap Nasionalisme Jerman ... 60

3.3.1 Piala Dunia 2006 - Summer Fairy Tale (Dongeng Musim Panas) ... 62

3.3.2 Peran Pemerintah Dalam Pelaksanaan Piala Dunia 2006 ... 64

3.3.2.1 Peningkatan Infrastruktur Trasportasi Sesuai Demand Piala Dunia ... 65

3.3.2.2 The National Security Strategy ... 66

3.3.2.3 Pengeluaran Izin Visa ... 69

3.3.2.4 Pengurusan Izin Kerja ... 70

3.3.2.5 Regulasi Jam Kerja ... 71

3.3.2.6 Prosedur Pajak dan Arus Perdagangan ... 71

3.3.2.7 Protokol / Lagu Kebangsaan dan Bendera ... 72

3.4 Performa Tim Nasional Jerman sebagai Unplanned Trigger ... 74

3.4.1 Perubahan Wajah dan Otak Tim Nasional Jerman ... 75

(9)

ix

BAB IV. PENUTUP

4.1Kesimpulan ... 79

3.2 Diskusi ... 81

(10)

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Jan Melissen, 2011, Beyond The New Public Diplomacy, The Hague: Netherlands Institute of International Relations ‘Clingendael’.

Rianto Adi, 2005, Metode Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta: Granit.

E-book:

Benedict Anderson, 1983, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, London: Verso.

Gavin Brent Sullivan, 2014, Understanding Collective Pride and Group Identity: New Directions in Emotion Theory, Research and Practice. Routledge.

Jeffrey Anderson, Volker Berghahn, Frederick Fullerton, dan Dietrich

Rueschemeyer, 2006, Weimar Germany and the Rise of Hitler, Watson Institute for International Studies, Brown University.

Keith Dinnie, 2008, Nation Branding: Concepts, Issues, Practice, United Kingdom: Elsevier

Laurel M. Burkel, 2006, Cups, Cowbells, Medals, And Flags: Sport And National Identity In Germany, 1936–2006, Naval Postgraduate School, California.

Lynn Abrams, 2006, Bismarck and the German Empire (1871–1918), New York: Routledge.

Jurnal & Artikel:

2002, The History of The World Cup, Goldman Sachs.

2007, The Modern Olympic Games, The Olympic Museum 2nd Edition.

Alfio Cerami, 2004, Germany After The Unification: The Exclusive Society?, Discussion Paper No.: 2004-001SC, Faculty of Economics, Law, and Social Sciences, University of Erfurt.

(11)

xi

Cocomma Bassey, 2012, Understanding Nation Branding: A “New Nationalism” in Germany, Brandeis University.

Contemporary publications from the Berlin Olympiad of 1936, Sport & Society: The Summer Olympics And Paralympics Through The Lens Of Social Science.

Gyorgy Szondi, 2008, Public Diplomacy and Nation Branding: Conceptual Similarities and Differences, The Hague: Netherlands Institute of International Relations ‘Clingendael’.

Jonathan Grix & Donna Lee, 2013, Soft Power, Sports Mega-Events and Emerging States: The Lure of the Politics of Attraction, Global Society, Routledge.

John W. Creswell, 1994, Research Design: Qualitative and Quantitative Approach, California: Sage Publications.

Julie R. Berlin, 2003, The Continuing Suppression of Nationalism in the Federal Republic of Germany, Department of Political Science, Washington: Washington State University.

Karl Kastelberg, 2005, German Nationalism and Identity During the Age of Unification, History 452: Senior Research Seminar.

Richard Allen, 2010, Nationalism and Contemporary German Politics: Inclusion versus Exclusion,

Richard Johnston dkk., 2010, National Identity and Support for the Welfare State, Working Paper 2010:11, The Stockholm University: Linnaeus Center for Integration Studies (SULCIS).

Stefan Auer, 1997, Two Types of Nationalism in Europe?, Russian and Euro-Asian Bulletin: Vol.7 No.12 December 1997, Melbourne: the Contemporary Europe Research Centre.

Stefanie Rickert, Tineken Dentler, dan Clarissa Bernkopf, 2011, The Necessity and Reasons for A Social Marketing Campaign Using the Example of “Du bist Deutschland“-“You are Germany“, International Congress on Teaching Cases Related to Public and Nonprofit Marketing, Spanyol: Universidad de Las Palmas de Gran Canaria.

(12)

Internet:

http://www.photographersdirect.com/buyers/stockphoto.asp?imageid=809738

diakses pada 30 Agustus 2014, 9:12 WIB.

http://www.photographersdirect.com/buyers/stockphoto.asp?imageid=809790

diakses pada 30 Agustus 2014, 9:28 WIB.

http://remember.org/then-and-now/index.html.

http://www.worldfootball.net/teams/deutschland-team/wm-2006-in-deutschland/2/

diakses pada 2 September 2014, 12:54 WIB. 2004, Klinsmann Targets Glory,

http://news.bbc.co.uk/sport2/hi/football/internationals/3927207.stm

diakses pada 2 September 2014, 12:41 WIB.

2006, Die WM 2006 in Deutschland als Impulsgeber (The 2006 World Cup in Germany as A Driving Force),

http://www.dfb-fussballmuseum.de/fussballmuseum/entstehungsgeschichte diakses pada 30 Agustus 2014, 9:17 WIB

2006, Deutschland: Ein Sommermärchen Germany 2006,

http://www.kinocritics.com/film_review.php?f=371

2006, Germany Is Born: The Miracle of Bern,

http://www.spiegel.de/international/germany-is-born-the-miracle-of-bern-a-420110.html diakses pada 31 Agustus 2014, 15:40 WIB.

2009, Nazy Party, http://www.history.com/topics/world-war-ii/nazi-party diakses pada 21 Mei 2014, 19:19 WIB

2013, Gerhard Schröder,

http://www.britannica.com/EBchecked/topic/528281/Gerhard-Schroder,

diakses pada 8 Mei 2014, 2:43 WIB

Arry Anggadha, 2014, Piala Dunia 1950: Pertama Usai Perang Dunia II,

http://bola.liputan6.com/read/2046834/piala-dunia-1950-pertama-usai-perang-dunia-ii diakses pada 31 Agustus 2014, 15:34 WIB.

Barry Sanders, 2011, Sport as Public Diplomacy,

(13)

xiii German Chancellors Chronologically,

http://www.behindthename.com/namesakes/list/german-chancellors/chrono diakses pada 17 Mei 2014, 15:10 WIB.

German Confederation,

http://www.britannica.com/EBchecked/topic/230682/German-Confederation diakses pada 15 Mei 2014, 12:07 WIB.

Helmut Kohl, http://www.answers.com/topic/helmut-kohl, diakses 7 Mei 2014, 16:27 WIB

Jonathan Lines, 2012, “The team is the star” – Remembering Germany’s Euro 96 triumph, http://bundesligafanatic.com/the-team-is-the-star-remembering-germanys-euro-96-triumph/ diakses pada 28 Agustus 2014, 19:05 WIB.

José Carlos Thomaz, Jr., dan Brian Weigandt, 2011, German Patriotism: A Fresh Start, http://knowledge.wharton.upenn.edu/article/german-patriotism-a-fresh-start/ diakses pada 25 Agustus 2014, 13:57 WIB.

Luke Harding, 2004, We are the Fools of Europe Say Germans as Völler Quits,

http://www.theguardian.com/football/2004/jun/25/euro2004.sport10

diakses pada 2 September 2014, 12:14 WIB.

Mario Sorgolla, 2014, FIFA World Cup: The Germans Called it Summer Fairy Tale, http://futurechallenges.org/local/fifa-world-cup-the-germans-called-it-summer-fairy-tale/ diaskes pada 1 September 2014, 12:43 WIB.

Michael Duffy, 2009, Kaiser Wilhelm II,

http://www.firstworldwar.com/bio/wilhelmii.htm diakses pada 18 Mei 2014, 7:15 WIB.

Otto von Bismarck (1815-1898),

http://www.bbc.co.uk/history/historic_figures/bismarck_otto_von.shtml

diakses pada 15 Mei 2014, 16:06 WIB.

Robert R. Farrell dan Samuel C. Baxter, 2010, Germany’s Renewed Nationalism,

http://realtruth.org/articles/101203-001-europe.html diakses pada 28 Agustus 2014, 14:45 WIB.

Robert Wilde, World War One: The Major Alliances,

(14)

Sofalounger, 2009, Why Was There A Revolution In France?

http://www.studymode.com/essays/Why-Was-There-a-Revolution-In-230159.html diakses pada 15 Mei 2014, 14:46 WIB.

Stephen Tonge, 2013, Bismarck’s Domestic Polices 1871 -1890,

http://www.historyhome.co.uk/europe/bisdom.htm diakses pada 17 Mei 2014, 11:43 WIB.

Steve Chapman, 2012, A Healthy German Nationalism,

http://www.realclearpolitics.com/articles/2012/07/05/a_healthy_german_ nationalism_114689.html diakses pada 28 Agustus 2014, 18:53 WIB.

Stone Unturner, 2012, Hitler Speeches with accurate English subtitles (Youtube Video Clip), diakses dari

http://www.youtube.com/watch?v=AnpTWKKWQ1o (12/6/2014, 14:27 WIB).

Third Reich: An Overview,

http://www.ushmm.org/wlc/en/article.php?ModuleId=10005141 diakses

pada 21 Mei 2014, 11:18 WIB.

Top 10 Most Popular Sports in The World, http://www.sporteology.com/top-10-popular-sports-world/ diakses pada 7 Mei 2014

Uli Hesse, 2014, 2006: When Germany Learned to Love Its National Team – and Each Other, http://www.fourfourtwo.com/features/2006-when-germany-learned-love-its-national-team-and-each-other diakses pada 2 September 2014, 12:38 WIB.

Wilhelm II, http://www.gwpda.org/bio/w/willyii.html diakses pada diakses pada 18 Mei 2014, 7:19 WIB.

World War II,

http://lib.oup.com.au/secondary/history/Big_Ideas_History/10/02_SAL_

BAH10_SB_72346_SPREADS_RGB.pdf Diakses pada 22 Mei 2014,

(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Olahraga dan dunia sosial merupakan dua hal yang tidak terpisahkan.

Pada dasarnya olahraga adalah salah satu bentuk ritual interaksi sosial, baik dalam

skala lokal maupun global. Eksistensi olahraga dalam dunia internasional bisa

diikuti sejak olimpiade modern pertama tahun 1896 di kota Athena, Yunani, yang

diikuti oleh 245 partisipan dari 14 negara.1 Saat ini, diakui bahwa olahraga

terpopuler di dunia adalah sepakbola,2 salah satu tandanya adalah

penyelenggaraan event empat tahunan, yakni Piala Dunia, yang dimulai sejak

tahun 1930 di Uruguay. Piala Dunia mampu menyedot atensi besar dari

masyarakat dunia, dan sampai sekarang tetap diselenggarakan.3

Dewasa ini, entitas negara mulai sadar akan potensi dari kesuksesan

tim-tim maupun atlit-atlit mereka yang berlaga di berbagai kompetisi, untuk

menunjukkan supremasi atas posisi mereka di atas yang lainnya.4 Dengan bantuan

dari media massa, baik jurnalis professional maupun citizen journalists –yang

secara konstan mempublikasikan fakta-fakta maupun opini mereka mengenai

sepakbola atau olahraga lainnya- ide-ide mengenai budaya dan identitas yang

1

2007, The M odern Olympic Games, The Olym pic M useum 2nd Edit ion, hal. 3.

2

Top 10 M ost Popular Sport s in The World, ht t p:/ / ww w .sport eology.com / t op-10-popular-sport s-w orld/ diakses pada 7 M ei 2014

3

2002, The Hist ory of The World Cup, Goldm an Sachs, hal. 2

4

William J.M organ, 2000, Sport as t he moral discourse of nations, dalam T. Tannsjö dan C.

Tam burrini, 2000, Values in Sport : Elitism, Nat ionalism, Gender Equalit y and the Scientific

(16)

melekat pada para atlit dan tim-tim itupun ikut menyebar, termasuk ekspresi

nasionalisme dan karakteristik negara masing-masing.

Lebih lanjut, dalam melihat olahraga, mulai muncul adanya kesadaran

politik dari banyak negara, khususnya pada ranah sport mega-event (SME).

Negara-negara dengan berbagai warna politik menyadari bahwa olahraga bisa

dijadikan alat untuk meningkatkan dan menguatkan image nasionalisme,

kredibilitas, kualitas, daya saing ekonomi, dan juga meningkatkan eksistensi

mereka di lingkup domestik dan internasional.5 Hal ini terbukti dari banyaknya

negara-negara yang mengikuti bidding process untuk menjadi tuan rumah FIFA

World Cup atau IOC Olympic Games. Salah satu contoh adalah Inggris yang telah

berhasil menjadi tuan rumah Olimpiade 2012, dan kemudian kembali berjuang

hingga menghabiskan dana sekitar £17 juta untuk menjadi tuan rumah piala dunia

20186 –walaupun akhirnya Inggris tetap kalah oleh Rusia.

Jerman pernah memanfaatkan sport mega-event (SME) saat menjadi tuan

rumah Olimpiade 1936.7 Hitler dengan Nazinya berusaha mempengaruhi opini

publik dunia dengan berbagai macam simbolisasi yang dikemas dalam olimpiade

tersebut. Olimpiade digunakan untuk mendemonstrasikan kekuatan mereka dan

5

Jonat han Grix & Donna Lee, 2013, Soft Power, Sport s M ega-Event s and Emerging Stat es: The

Lure of the Politics of At t ract ion, Global Society, Routledge, hal. 2.

6

House of Com m ons Cult ure M edia and Sport Com mit t ee, “ 2018 World Cup Bid” , dikutip dari

Jonat han Grix & Donna Lee, ibid.

7

(17)

3

mengambil keuntungan dari kesempatan diplomatik yang datang bersamaan

dengan peran mereka sebagai tuan rumah.8

Menarik ketika Jerman untuk kedua kalinya kembali menjadi tuan rumah

sebuah sport mega-event (SME), yakni FIFA World Cup 2006.9 Terdapat

perbedaan jauh antara Jerman sebagai tuan rumah Olimpiade 1936 dan sebagai

tuan rumah Piala Dunia 2006. Secara historis, Jerman telah melalui masa suram.

Kekalahan pada Perang Dunia II membuat Jerman menjadi “harta rampasan” bagi

para pemenang perang, yang kemudian membaginya menjadinya Jerman Timur

yang sosialis (German Democratic Republic-GDR) dan Jerman Barat yang liberal

(Federal Republic of Germany-FRG).10 Hingga pada 3 Oktober 1990, Jerman

akhirnya kembali bersatu, ditandai dengan robohnya tembok Berlin sebagai

simbol keruntuhan Uni Soviet. Jerman Timur yang kolaps pun bergabung dengan

Jerman Barat dan membentuk satu negara, yakni Republik Federal Jerman.11

Sepanjang melalui periode yang berat pasca Perang Dunia II tersebut,

secara sadar masyarakat Jerman terpaksa harus menekan rasa nasionalisme dan

kebanggaan terhadap bangsa sendiri. Hal ini dikarenakan status Jerman sebagai

penjahat Perang Dunia dan pelaku Holocaust. Cara berpikir ini tetap tertanam

bahkan setelah setengah abad sejak perang tersebut berakhir. Hal ini diperparah

dengan proses penyatuan Jerman Barat dan Jerman Timur yang tidak mudah,

8

Cot t rell, M . P., & Travis Nelson, 2011, Not Just the Games? Pow er, Prot est and Polit ics at the

Olympics, dikut ip dalam Grace Hochst at t er, 2013, The Olympics and Soft Power Diplomacy: Brit ish

9

Piala Dunia 1974 m em ang diadakan di Jerm an Barat . Nam un, pada saat it u Jerm an m asih t erbelah dua, dan bukan sebagai sebuah negara ut uh.

10

Cocom m a Bassey, 2012, Underst anding Nat ion Branding: A “ New Nat ionalism” in Germany,

Brandeis Universit y, hal. 27

11

(18)

karena kompleksnya permasalahan khususnya dari bidang ekonomi dan sosial.

Integrasi penuh dengan Eropa yang diharuskan pihak Sekutu, dengan alasan untuk

meredam kemungkinan kebangkitan Jerman pasca Perang Dunia II juga sangat

berpengaruh. Selain itu, keterbukaan Jerman terhadap imigran –khususnya

imigran dari Turki- selama masa Perang Dingin turut menambah rumitnya fase

konsolidasi Republik Federal ini pasca reunifikasi.

Fenomena ini bertahan bahkan bertahun-tahun setelah reunifikasi 1990

terjadi. Salah satu tandanya adalah masih hangatnya konsep die Deutsche Frage

(the German Question-Pertanyaan Jerman) untuk diangkat dalam pembahasan

politik Jerman.12 die Deutsche Frage berisi berbagai macam pertanyaan yang

menjadi umum dalam masyarakat, yang berhulu pada kebingungan dan dilema

pada identitas nasional serta nasionalisme Jerman. Bisa dikatakan, masyarakat

Jerman masih mengalami sindrom Mauer im Kopf (Wall in the Head-Tembok di

Kepala).13

Meskipun demikian, bukan berarti Jerman sama sekali tidak memiliki

modalitas apapun yang bisa dijadikan dasar identitas dan kebanggaan nasional.

Efisiensi dan efektifitas pengelolaan ekonomi dan industri dapat dikatakan

menjadi satu-satunya hal yang bisa dibanggakan warga Jerman.14 Peranan Jerman

dalam Uni Eropa juga bisa dijadikan sumber kebanggaan.15 Namun, masyarakat

12

Alfio Ceram i, 2004, Germany Aft er The Unificat ion: The Exclusive Societ y?, Discussion Paper

No.: 2004-001SC, Facult y of Econom ics, Law , and Social Sciences, Universit y of Erfurt. Hal: 2.

13

Julie R. Berlin, 2003, The Cont inuing Suppression of Nat ionalism in the Federal Republic of

Germany, Depart ment of Polit ical Science, Washingt on: St ate Universit y of Washingt on. Hal: 15.

14

Op.Cit. Hal: 3.

15

(19)

5

Jerman, khususnya generasi muda, masih memiliki keinginan untuk membangun

kembali kebanggaan nasional yang mampu melampaui batasan politik dan

ekonomi.16 Diharapkan ada pembentukan dan definisi ulang, sehingga mampu

membedakan nasionalisme modern Jerman dengan nasionalisme warisan Nazi

pada masa lalu.17

Berbagai upaya telah dilakukan, baik dari pemerintah, masyarakat, atau

bahkan sinergi dari keduanya. Seluruh pemimpin Jerman pasca reunifikasi

memberikan pengaruh yang besar terhadap proses tersebut. Dimulai dari Kanselir

Helmut Kohl yang sangat berjasa atas pendekatannya pada Jerman Timur dan

peran vitalnya pada reunifikasi Jerman.18 Kemudian Kanselir Gerhard Schröder

yang menelurkan hukum kewarganegaraan yang lebih liberal dan inklusif.19

Hingga Kanselir Angela Merkel yang menemukan euforia nasionalisme Jerman

secara massal terjadi untuk pertama kalinya, pada saat perhelatan Piala Dunia

2006 di Jerman.

Kolaborasi pemerintah dan berbagai elemen masyarakat muncul dalam

berbagai upaya membangun nasionalisme baru Jerman. Berbagai survey dan

kampanye pun dilakukan, seperti survey dari jaringan televisi Jerman, ZDF,

dengan Public Relation Agency Wolff Olins yang ditujukan untuk mengetahui

16

Ibid. Hal: 21

17

Ibid.

18

Helmut Kohl, ht t p:/ / w w w.answ ers.com / t opic/ helm ut-kohl, diakses 7 M ei 2014, 16:27 WIB

19

(20)

persepsi dunia internasional secara umum mengenai Jerman.20 Dilanjutkan dengan

survey lanjutan yang dikenal dengan ‘Perspektive Deutschland’ (German

Perspective)21, kampanye ‘Du bist Deutschland’ (You are Jerman)22, hingga

kampanye ‘Deutschland Land der Ideen’ (Germany - Land of ideas)23.

Jika sifat-sifat dasar dari olahraga, khususnya karakteristik istimewa dari

sepakbola, dihubungkan dengan berbagai upaya pembentukan nasionalisme baru,

tentu titik temu akan didapatkan. Event olahraga berskala internasional selalu

menjadi trigger yang kuat untuk membangkitkan nasionalisme negara. Sejak

reunifikasi 1990, diadakan beberapa sport-mega event dimana Jerman ikut

berpatisipasi, baik sebagai peserta atau sebagai tuan rumah. Momen menjadi tuan

rumah Piala Dunia 2006 pun merupakan kesempatan emas bagi Jerman dalam

rangka membangun nasionalisme baru tersebut. Maka, dengan latar belakang ini,

penulis mengangkat judul “Diplomasi Sport Mega-Event Dalam Rangka

Membangun Nasionalisme Baru Pada Piala Dunia 2006 Jerman”.

1.2 Rumusan Masalah

Dari penjabaran latar belakang diatas, rumusan masalah yang akan penulis

angkat adalah “Bagaimana pengaruh penyelengaraan Piala Dunia 2006

terhadap upaya Jerman membangun nasionalisme baru?”

20

Jaffe, E.D. & Nebenzahl, I.D., 2001, Nat ional Image & Compet itive Advantage: The Theory and

Pract ice of Count ry-of-Origin Effect, dikut ip dalam Keit h Dinnie, 2008, Nat ion Branding: Concept s, Issues, Pract ice, United Kingdom : Elsevier, hal. 24.

21

Wolff Olins, 2005, Branding Germany, dikutip dalam Keith Dinnie, Ibid. Hal: 156.

22

Ibid

23

(21)

7 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui bagaimana usaha Jerman untuk memaksimalkan

diplomasi publik melalui kesempatan menjadi tuan rumah sport

mega-event (SME) pada perhelatan Piala Dunia 2006.

2. Mengetahui pengaruh posisi Jerman sebagai tuan rumah sport

mega-event (SME) terhadap pembangunan nasionalismenya.

1.3.2 Manfaat Penelitian

a. Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan mampu memberi sumbangsih terhadap studi

mengenai upaya negara untuk memaksimalkan soft power yang

dimiliki untuk berbagai kepentingan nasionalnya –termasuk

didalamnya membentuk/memperkuat nasionalisme- dengan berbagai

cara, dimana dalam penelitian ini dikhususkan pada pemaksimalan

kesempatan menjadi tuan rumah sport mega-event (SME).

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini dharapkan dapat dijadikan suatu rujukan bagi peneliti

selanjutnya untuk meneliti tentang pelaksanaan diplomasi publik untuk

membangun citra negara pada umumnya, serta nasionalisme Jerman

(22)

1.4 Penelitian Terdahulu

Sebagai fondasi dari penelitian ini, penulis telah melakukan eksplorasi

berbagai macam tulisan-tulisan ilmiah yang terkait dengan topik utama, yakni

pemanfaatan menjadi tuan rumah sports mega-events sebagai wahana untuk

menunjukkan soft power negara guna membangun nasionalisme baru. Terdapat

tiga tulisan yang penulis tautkan dalam penelitian ini. Pertama adalah tesis dari

Julie R. Berlin yang berjudul The Continuing Suppression of Nationalism in the

Federal Republic of Germany.24 Tesis ini berusaha mengangkat isu nasionalisme

di Jerman, yang pada masa-masa awal reunifikasi hingga awal 2000an menjadi isu

yang sangat sensitif di Jerman. Poin inti yang ingin dikemukakan oleh Julie adalah

mengapa, dan bagaimana, proses supresi nasionalisme masyarakat Jerman terjadi.

Demi mendapat gambaran yang utuh tentang bentuk nasionalisme Jerman, tesis ini

menelisik jauh hingga unifikasi pertama Jerman dibawah Otto van Bismark pada

akhir 1800an. Julie kemudian merunutkan kronologis kejadian-kejadian yang ada,

hingga pada akhirnya memunculkan motivasi Jerman melalui Hitler dan Nazinya

sebagai pelaku utama Perang Dunia I dan II.

Pasca Perang Dunia II, didasari ketakutan akan kebangkitan Jerman dan

munculnya harapan untuk membalaskan dendam atas kekalahan mereka dalam

perang, masyarakat Eropa dan dunia pada umumnya merasa bahwa pendudukan

“semi-kolonialisme” dan pembelahan Jerman oleh Amerika dan Uni Soviet sudah

menjadi keputusan yang tepat. Namun di sisi yang lain, imbas jangka panjang dari

24

Julie R. Berlin, 2003, The Continuing Suppression of Nat ionalism in the Federal Republic of

(23)

9

bentuk “hukuman” ini adalah tertanamnya mindset anti-nasionalisme warga

Jerman atas negaranya sendiri. Nasionalisme telah menjadi konotasi yang negatif

bagi masyarakat Jerman. Hal ini diperparah dengan pembelahan masyarakat yang

disertai doktrinasi ideologi –baik liberal di Jerman Barat maupun sosialis-komunis

di Jerman Timur. Dari sinilah sumber utama dan garis start awal terbendungnya

nasionalisme dan kebanggaan bangsa dari masyarakat Jerman terhadap negaranya.

Pasca reunifikasi 1990, tugas menyatukan dua masyarakat Jerman yang

“sudah berbeda” dan pencarian identitas nasional yang baru dimulai. Walaupun

masalah yang ada sedikit lebih kompleks, tapi pada dasarnya penderitaan utama

warga Jerman dalam konteks ini adalah lekatnya sindrom Mauer im Kopf (Wall in

The Head-Tembok di dalam Kepala). Memang secara fisik Jerman sudah tidak

terpisah, akan tetapi masyarakat masih terpecah antara rasa persatuan dan

keterasingan. Dalam konteks nasionalisme, kebanggaan masyarakat Jerman hanya

mampu muncul dalam aspek stabilitas ekonomi dan peran Jerman dalam Uni

Eropa.

Tesis ini menemukan bahwa disamping usaha yang keras untuk

membuktikan pada Eropa dan dunia bahwa perilaku Jerman di masa lampau tidak

akan terulang lagi, ada keinginan lain, khususnya dari generasi muda Jerman,

untuk membangun kebangaan nasional mereka melampaui aspek ekonomi dan

politik. Mereka berharap membangun nasionalisme yang didasarkan pada

pemerintahan berasas demokrasi, reunifikasi yang damai, dan usaha integrasi

dengan Eropa yang berkelanjutan. Definisi inilah yang akan membedakan

(24)

Tulisan kedua adalah disertasi dari Richard Allen yang berjudul

Nationalism and Contemporary German Politics: Inclusion versus Exclusion.25

Tulisan ini menjelaskan secara gamblang dan mendalam adanya pergeseran bentuk

nasionalisme yang memang dengan sengaja diusahakan pemerintah Jerman pasca

reunifikasi tahun 1990. Pergeseran tersebut adalah dari nasionalisme etno-sentris

(yang diterapkan Jerman ketika terakhir kali bersatu pada era Nazi) menjadi

civic-cultural nationalism. Dalam konteks tulisan ini, keterkaitan perubahan

nasionalisme dengan penerimaan atau penolakan individu/kelompok non-Jerman

secara etnis dan kultural menjadi sorotan utama.

Disertasi ini diawali dengan penjabaran konsepsi nasionalisme, yang secara

umum mengalami dikotomi menjadi ethno-centric nationalism dan civic

nationalism. Kemudian dilanjutkan dengan menerangkan posisi nasionalisme

etno-sentris pada Jerman kontemporer, dimana dijelaskan bahwa keaktifan

nasionalisme yang berbasis etnisitas ini di Jerman pasca reunifikasi dimotori oleh

gerakan ultra nasionalis yang disebut theNew Right. Gerakan ini sempat mendapat

dukungan masyarakat, namun berangsur-angsur kehilangan relevansinya

dikarenakan usaha pemerintah yang secara kontinu membangun nasionalisme

berbasis kewarganegaraan dan kultural sebagai pengikat warga Jerman. Setelah

itu, Allen juga menyoroti aplikasi civic-cultural nationalism yang menjadi

kebijakan pemerintah Jerman ini terhadap kelompok etnis minoritas terbesar di

Jerman, yakin warga keturunan Turki. Hasilnya, masyarakat Turki masih merasa

dikucilkan dan melihat adanya eksklusifitas pada warga asli Jerman. Akan tetapi,

25

(25)

11

hal itu bukan dikarenakan adanya kebijakan yang bernuansa xenophobic dari

pemerintah, akan tetapi hanya dikarenakan benturan kebudayaan yang sangat

berbeda antara keduanya. Sehingga, warga Turki generasi pertama dan kedua yang

masih sangat konservatif kurang bisa berasimilasi dengan kebudayaan Jerman

yang terbuka. Namun, diperkirakan dalam tulisan ini bahwa dalam jangka waktu

yang panjang, akan terjadi asimilasi yang baik antar seluruh kelompok etnis

minoritas yang ada di Jerman dengan budaya bangsa Jerman.

Tulisan terakhir adalah penelitian dari Anthony King yang berjudul

Nationalism and Sport.26 Penelitian ini berfokus pada peranan olahraga –dalam

konteks ini, sepakbola, khususnya pada perhelatan Piala Eropa 2004 di Portugal-

dalam membantu proses pembentukan kembali identitas nasional Britania Raya.

Anthony berusaha untuk menjelaskan bagaimana nasionalisme dan kebanggaan

terhadap negara bisa terbentuk, dan juga bertransformasi, dimana ia menempatkan

olahraga sebagai salah satu medium yang tepat untuk proses tersebut. Anthony

menggunakan konsep imagined communities milik Benedict Anderson, yang

menjelaskan bahwa anggota masyarakat suatu negara perlu mengenali ikatan yang

spesial dan eksklusif yang dimiliki satu sama lain. Dalam rangka mengenali ikatan

tersebut, diperlukan adanya ‘ritual’ interaksi antar sesama masyarakat negara –

seperti membaca koran yang sama di pagi hari atau menonton siaran televisi yang

sama- yang akan memunculkan kesepahaman dan terbentuknya kepentingan

bersama, yang akan menyatukan sesama warga negara. Anthony mencoba untuk

26

Ant hony King, 2006, Nat ionalism and Sport, dalam Delant y, G. Dan Kum ar, K. (eds.) 'The SAGE

(26)

mengelaborasikan poin dalam konsep tersebut dengan olahraga, dan

menerapkannya pada kasus identitas nasional Inggris pada periode awal milenium.

Hasil dari penelitian Anthony menunjukkan bahwa nasionalisme Britania

Raya memang telah mengalami pengerucutan. Perubahan ini lebih dikarenakan

pengaruh kuat dari tekanan globalisasi ekonomi. Globalisasi menimbulkan

pembangunan yang tidak merata dalam masyarakat, berimbas pada peningkatan

kesenjangan kekayaan ekonomi dan kepentingan antar daerah. Hal ini memicu

adanya keinginan untuk memperjuangkan independensi daerah demi kesejahteraan

rakyat, sehingga memunculkan the English, the Scotland, dan the Wales.

Transformasi ini bisa dilacak jejak keberadaannya melalui berbagai interaksi

sosial, dan olahraga terbukti menjadi salah satu bentuk interaksi sosial yang paling

efektif. Hal ini dikarenakan di dalam olahraga, individu-individu membuat dan

mempertahankan simbol-simbol kelompok sosial dimana masing-masing dari

mereka adalah bagian dari kelompok tersebut. Konsekuensinya, garis-garis

pembeda antar kelompok dalam masyarakat nasional semakin jelas terlihat. Inilah

yang terjadi dengan Britania Raya, dimana dalam dunia sepakbola bukan Union

Jack (bendera Britania Raya) yang berkibar, tetapi St. Andrew’s Cross (bendera

Skotlandia), St. Patrick’s Cross (bendera Irlandia), dan St. George’s Cross

(bendera Inggris) lah yang berkibar. Selain mendemosntrasikan pentingnya bangsa

sebagai dasar solidaritas dan mobilisasi sosial, dunia olahraga –pada umumnya-

dan sepakbola Eropa –pada khususnya- telah menunjukkan adanya perubahan

(27)

13

Tabel 1.1 Posisi Penelitian

No Judul dan Nama Peneliti Jenis Penelitian

(28)

1.5 Kerangka Teori dan Konsep

1.5.1 Identitas Nasional

Pandangan terkemuka dalam konsep ini bisa diambil dari pendapat David

Miller, yang menyatakan bahwa identitas nasional sangat fundamental dalam

mempertahankan keberadaan welfare state (negara kesejahteraan –negara yang

menjamin kesejahteraan masyarakatnya) yang sehat dan independen.27 Menurut

Miller, identitas nasional memainkan dua peranan penting; pertama, menciptakan

perasaan simpati antar sesama warga negara, yang mampu memunculkan motivasi

awal untuk saling membantu satu sama lain; dan yang kedua, menciptakan rasa

saling percaya sebagai prasyarat bagi siapapun untuk melakukan tindakan

berdasar pada rasa simpatinya.28

Miller kemudian juga mengatakan, bahwa untuk menjamin adanya

kerjasama secara voluntir antar sesama warga negara,

Each person must be confident that the others will generally

comply–and this involves mutual trust… ties of community are an

important source of such trust between individuals who are not

personally known to each other.

Bisa dipahami dari pernyataan tersebut bahwa sebagai seorang manusia,

setiap warga negara memerlukan suasana yang kondusif baginya untuk melakukan

perbuatan-perbuatan baik yang bersifat voluntir kepada sesama warga negara yang

27

Richard Johnst on dkk., 2010, Nat ional Ident it y and Support for the Welfare Stat e, Working

Paper 2010:11, The St ockholm Universit y: Linnaeus Cent er for Int egrat ion St udies (SULCIS). Hal: 5

28

(29)

15

lain, dan suasana tersebut bisa tercipta dengan hadirnya rasa saling percaya satu

sama lain dengan adanya kesamaan identitas. Lebih lanjut, menurutnya, identitas

nasional adalah landasan yang essensial untuk membangun rasa percaya ini di

dalam masyarakat negara modern, ia mengatakan “in states lacking a common

national identity… trust may exist within the groups, but not across them.”29

Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa identitas nasional adalah tali utama yang

bisa digunakan untuk mengencangkan integrasi sosial pada masyarakat di dalam

sebuah negara.

Kondisi Jerman yang secara terang-terangan memunculkan diskursus the

German Question –yang mempertanyakan identitas bangsa yang dimiliki/tidak

dimiliki oleh Jerman- dengan jelas menggambarkan bahwa negara ini mengalami

masalah dengan identitas bangsanya. Walaupun secara kasat mata negara ini

terlihat sangat stabil, khususnya dalam aspek ekonomi dan politik, itu semua

hanya mampu memunculkan integrasi sistem, tidak sampai pada level integrasi

moral. Hal ini disadari oleh pemerintah Jerman sebagai suatu hal yang berpotensi

menimbulkan permasalahan sosial di kemudian hari. Sehingga, muncul kesadaran

dari pemerintah Jerman untuk mengusahakan memunculkan identitas Jerman

dengan bentuk nasionalisme yang baru.

29

(30)

1.5.2 Nasionalisme

Nasionalisme merupakan salah satu konsep yang masih dalam perdebatan.

Salah satu pendapat yang paling populer, namun tetap menuai kritik, adalah dari

Ernest Gellner. Menurut Gellner, nasionalisme muncul sebagai respon atas

tumbuhnya dunia industri di dunia barat, dimana para pelaku industri

menginginkan adanya jaminan kestabilan, alur birokrasi yang jelas, serta distribusi

kekuasaan yang tertata.30 Selama munculnya peradaban manusia, terdapat banyak

bentuk nasionalisme yang diaplikasikan di berbagai belahan dunia. Namun, jika

digeneralisasi, terdapat dua bentuk nasionalisme yang paling dominan, yakni

nasionalisme etnosentris dan nasionalisme berbasis kewarganegaraan.

Nasionalisme etnosentris adalah nasionalisme yang bersifat ekslusif, dikarenakan

indikator penentu nasionalisme seorang individu adalah melalui kesamaan

kelahiran, darah, dan etnisitas.31 Sedangkan nasionalisme kewarganegaraan atau

civic-nasionalism didasari oleh pemikiran liberal dan demokratis, dimana untuk

menentukan kewarganegaraan dan nasionalisme, seorang individu harus dengan

sadar dan sukarela mengasosiasikan dirinya dengan values (nilai-nilai) yang

terbangun dalam negara tersebut, baik itu dalam ranah politik, ideologi, hukum,

kewajiban dan hak, keadaan sosial, budaya, dll.32

Walaupun masih terdapat perdebatan mengenai batasan-batasan dalam

konseptualisasi nasionalisme, secara umum terdapat sebuah poin yang diterima

30

St efan Auer, 1997, Tw o Types of Nat ionalism in Europe?, Russian and Euro-Asian Bulletin: Vol.7

No.12 Decem ber 1997, M elbourne: t he Cont em porary Europe Research Centre. Hal: 1-2.

31

Ibid. Hal: 3.

32

(31)

17

sebagai salah satu elemen terpenting, yakni kebanggaan nasional (national pride).

Kebanggaan inilah yang kemudian diderivasikan ke berbagai bentuk ekspresi dan

perilaku, dari para elit negara hingga masyarakat bawah, yang dikenal sebagai

patriotisme.

Jika membicarakan nasionalisme dan Jerman, tentu perhatian besar akan

tertuju pada Nazi dan etnosentris-chauvinis-fasis-nasionalisme yang diaplikasikan

pada Jerman. Akan tetapi, perlu dipahami bahwa masih ada faktor-faktor lain

yang berpengaruh dalam perkembangan Jerman dalam konteks kebangsaan dan

nasionalisme. Jerman pernah silih-berganti merasakan kedua bentuk nasionalisme

yang sudah dijelaskan di atas. Semenjak awal berdirinya di tahun 1871, identitas

bangsa yang dibangun sebagai fondasi nasionalisme rakyat adalah nasionalisme

berbasis etnisitas. Dipengaruhi oleh berbagai faktor, nasionalisme ini justru

mencapai level ekstremnya ketika rezim Hitler dan Nazi menguasai Jerman dan

Perang Dunia II berlangsung.

Kemudian, salah satu fenomena yang menjadikan Jerman sebagai contoh

kasus negara yang unik dalam konteks nasionalisme, adalah masyarakat Jerman

pernah merasakan tidak memiliki kebanggaan atas negaranya sendiri, atau bisa

dikatakan Jerman mengalami fase vacuum-nationalism. Hal ini terjadi pasca

Perang Dunia II berakhir. Padahal, seperti sudah dijelaskan sebelumnya,

kebanggaan merupakan modalitas utama nasionalisme suatau negara. Keadaan ini

tetap berlangsung sampai dengan reunifikasi 1990 terjadi, hingga kesadaran untuk

membangun sebuah identitas bangsa yang baru sebagai fondasi nasionalisme

(32)

Dalam rangka membantu peneliti dalam menganalisa proses pembangunan

civic nationalism di Jerman, sedikit bagian dari teori imagined communities karya

Benedict Anderson akan digunakan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Anderson,

negara adalah “...an imagined political community – and imagined as both

inherently limited and sovereign.”33 Maka, imajinasi menjadi vital dikarenakan

setiap anggota warga negara, bahkan negara sekecil apapun, tidak akan pernah

mampu mengetahui dan mengenal seluruh teman anggota warga negara yang lain,

namun mereka akan tetap hidup dengan mengasosiasikan diri dalam sebuah image

persatuan bangsa.34

Proses asosiasi ini terdapat dalam ritual interaksi yang terjadi setiap hari

tanpa disadari, yakni melalui berbagai sumber informasi yang sama yang diserap

oleh sebagian besar anggota masyarakat dalam waktu yang sama dan berisikan

berita yang sama.35 Contoh dari sumber informasi ini adalah koran, berita TV,

buku, atau media-media online. Ritual-ritual interaksi adalah basis dari imagined

communities.36 Meskipun terlihat sepele, pertemuan ‘semu’ yang dilakukan setiap

hari ini memiliki peranan yang sangat penting dalam proses pembuatan dan

pemeliharaan masyarakat suatu bangsa. Eksistensi suatu bangsa akan tetap terjaga

sepanjang jaringan-jaringan dan ritual interaksi ini terjaga. Anggota masyarakat

harus secara berkelanjutan –meskipun tidak dalam durasi yang lama- mengingat

hubungan spesial yang dimiliki satu sama lain.

33

Benedict Anderson, 1983, Imagined Communities: Reflections on t he Origin and Spread of

Nat ionalism, London: Verso. Hal: 6.

34

Ibid.

35

Ant hony King, 2006, Nat ionalism and Sport, dalam Delant y, G. Dan Kum ar, K. (eds.) 'The SAGE

Handbook of Nations and Nationalism ', Sage. Hal: 5.

36

(33)

19

Dalam konteks penelitian ini, bentuk ritual yang akan menjadi titik fokus

adalah perhelatan event-event olahraga yang terjadi di Jerman atau

mengikutsertakan perwakilan resmi dari Jerman. Dalam event olahraga berskala

besar, akan selalu diiringi dengan ekspos media massa yang besar pula. Hal ini

akan memicu terjadinya ritual interaksi secara sangat masif dan efektif. Sehingga,

event-event olahraga ini mampu menjadi penghantar pesan nasionalisme yang

baik, dan berkontribusi atas pembuatan serta penguatan nasionalisme bangsa.

1.5.3 Domestic Public Diplomacy

Penulis akan menentukan terlebih dahulu posisi penelitian ini dalam ranah

diplomasi. Dalam penelitian ini, sudut pandang diplomasi yang diambil adalah

dari diplomasi publik baru. Melampaui konsep dasar dari diplomasi tradisional,

diplomasi publik baru, atau the new public diplomacy telah menjadi sebuah

standar penerapan diplomasi, dan prakteknya sudah melebihi bentuk propaganda –

yang masih sering dikaitkan dengan diplomasi publik.37

Untuk memahami pergeseran dari ‘lama’ ke ‘baru’, pemahaman dasar akan

diplomasi publik sendiri mutlak diperlukan. Menurut Paul Sharp, diplomasi publik

adalah proses dimana terdapat usaha untuk membangun hubungan-hubungan

langsung dengan masyarakat di dalam sebuah negara, dengan tujuan untuk

37

Kelom pok t radisionalis melihat diplom asi publik sebagai bent uk m odern dari ‘w hit e

propaganda’, yakni propaganda yang m engakui sum bernya, dan m enem pat kan tidak hanya

publik luar negeri t api juga mem asukan konstit uen dalam negeri. Jan M elissen, 2011, Beyond The

(34)

meningkatkan pencapaian kepentingan-kepentingan dan memperluas jangkauan

nilai-nilai yang direpresentasikan.38 Setelah memahami definisi tersebut, karakter

‘lama’ dan ‘baru’ dari diplomasi publik sangat terlihat pada objek dan metodenya.

Diplomasi publik pada awalnya murni menempatkan masyarakat luar negeri

sebagai objek aktivitas mereka, dan menempatkan garis batas yang jelas untuk

tidak sedikitpun menyentuh masyarakat dalam negeri.39 Selain itu, diplomasi

publik konvensional selalu menggunakan metode interaksi one way (G-to-P).40

Dua hal inilah yang saat ini sudah tidak mampu mengakomodir perubahan

lingkungan diplomasi yang sangat drastis terbawa arus globalisasi. Menyadari

kekurangan ini, diplomasi publik baru menawarkan alternatif yang berlawanan

dengan dua karakter tersebut, yakni dengan menerapkan komunikasi dua arah,

serta merangkul masyarakat domestik. Ranah domestik menjadi penting untuk

dirangkul, dikarenakan interkoneksi yang sudah terbangun antara masyarakat

dalam negeri dengan masyarakat luar negeri, dimana media telekomunikasi dan

informasi online yang sangat berkembang, mobilisasi masyarakat dunia, diaspora,

dan para ekspatriat berperan sangat besar.41 Dengan adanya interkoneksi tersebut,

para diplomat dan aparatur resmi negara di luar negeri tidak lagi menjadi

satu-satunya wajah dominan yang merepresentasikan negaranya.

Kemudian, disadari bahwa menyiapkan keseragaman dan kesamaan visi

dengan pihak-pihak non-negara menjadi sebuah keharusan, baik dalam pembuatan

38

Ibid.

39

Ibid. Hal: 11-12.

40

Ibid. Hal: 12.

41

(35)

21

kebijakan luar negeri, arah politik luar negeri, perumusan kepentingan nasional,

hingga yang paling mendasar, yakni membangun sebuah identitas bangsa yang

utuh dan kuat.42 Konsep ini kemudian disepakati oleh para akademisi sebagai

domestic public diplomacy.

Dalam konteks Jerman kontemporer, menerapkan konsep ini sangat

relevan. Diplomasi publik Jerman berusaha untuk menjelaskan dan mendiskusikan

kebijakan-kebijakan luar negeri dan dalam negerinya, dalam rangka untuk

memperkuat posisi negara di dua dimensi tersebut.43 Terlebih dengan adanya latar

belakang krisis identitas nasional yang dialami oleh masyarakat Jerman, maka

pemerintah perlu bertindak aktif untuk merumuskan dan kemudian

mensosialisasikan identitas bangsa tersebut kepada warganya sendiri.

1.5.4 Sport Diplomacy

Setelah memahami sudut pandang tersebut, penulis akan menjabarkan

penggunaan diplomasi olahraga dalam penelitian ini. Diplomasi olahraga bisa

digolongkan ke dalam diplomasi publik. Barry Sanders dalam Sport as Public

Diplomacy melihatbahwa olahraga adalah media kuat dan besar untuk penyebaran

informasi, reputasi, dan hubungan internasional, yang mana merupakan inti dari

diplomasi publik. Besaran dari audiens global dan tingkat ketertarikan mereka

pada olahraga melebihi subjek lainnya, termasuk masalah politik. Sifat olahraga

42

Ibid.

43

Gyorgy Szondi, 2008, Public Diplomacy and Nat ion Branding: Conceptual Similarit ies and

(36)

yang selalu mencari keunggulan dalam kompetisi mampu membawa value-nya

sendiri. Olahraga juga menjadi kendaraan untuk menyebarkan pesan. Suatu

strategi diplomasi publik yang terencana dapat mengapitalkan kesempatan yang

diberikan oleh olahraga.44

Murray melihat bahwa diplomasi olahraga sendiri melibatkan aktivitas

representatif dan diplomatis yang dilakukan oleh aktor-aktor olahraga (misalnya

pemain, pengurus organisasi atau asosiasi oelahraga, atau penyelenggara acara

olahraga, hingga penonton dan penikmat olahraga sendiri) sebagai perwakilan atau

sesuai dengan pembuat kebijakan. Praktik ini difasilitasi oleh diplomasi tradisional

dan menggunakan orang-orang dalam olahraga dan acara olahraga untuk

membentuk dan menginformasikan suatu citra yang dapat diterima baik oleh

masyarakat dan dunia internasional, untuk membentuk persepsi yang kondusif

dalam mendukung kepentingan nasional dari pemerintah terkait.45

Jerman melakukan diplomasi olahraga, dengan metode yang sama, namun

menurunkan target akhir hanya pada level domestik masyarakatnya. Dengan

tujuan untuk menyosialisasikan identitas bangsa yang sudah berusaha dibangun

seefektif mungkin, olahraga, dan dalam konteks penelitian ini adalah Piala Dunia

2006, menjadi alat diplomasi publik domestik yang paling potensial untuk

dimanfaatkan.

44

Barry Sanders, 2011, Sport as Public Diplomacy,

ht t p:/ / uscpublicdiplom acy.org/ index.php/ pdin_m onit or/ article/ int ernat ional_sport _as_public_di plom acy/ pada 5 Februari 2014, 8:06 WIB.

45

St uart M urray, 2011, Sport s Diplomacy: A Hybrid of Tw o Halves, dikut ip dalam Raisa

M ut hm aina, 2012, Penyelenggaraan Piala Dunia FIFA 2010 Sebagai Diplom asi Dalam

(37)

23 1.6 Metodologi Penelitian

1.6.1 Metode/Tipe Penelitian

Penulisan ini akan menggunakan pendekatan deskriptif, dimana penulis

menjadi instrumen utama untuk pengumpulan data dan pengolahan atau analisis

data, serta sangat memfokuskan perhatian pada proses dan arti dari suatu peristiwa

yang diteliti.46 Dengan menggunakan metode kualitatif, maka penulisan dapat

dilakukan melalui tiga tahapan utama, yaitu pengumpulan data, pengolahan data,

dan penulisan laporan penelitian.47

1.6.2 Teknik Analisa Data

Metode analisa data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tiga

tahapan, yaitu: (1) Pemeriksaan, dilakukan untuk memeriksa apakah data-data

yang diperlukan sudah lengkap dan benar; (2) Pengolahan, dilakukan dengan

memilah-milah data yang akan digunakan sesuai dengan kategorinya

masing-masing; (3) Analisa dan Interpretasi, data-data yang telah dipilah dalam

pengolahan data kemudian dianalisa dan diinterpretasikan oleh peneliti.

Untuk memperoleh hasil akhir yang diinginkan maka data-data yang

terkumpul, dianalisa secara deskriptif kualitatif, yaitu menguraikan dan

menggambarkan segala informasi mengenai Piala Dunia 2006 yang berperan

46

John W. Cresw ell, 1994, Research Design: Qualit at ive and Quant itat ive Approach, California:

Sage Publications. Hal: 145.

47

(38)

sebagai media dalam diplomasi publik Jerman dan memperbaiki nasionalisme

serta citra Jerman di mata dunia internasional.

1.6.3 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode studi pustaka,

yaitu mencari data mengenai penelitian ini melalui berbagai media cetak yakni

buku, jurnal, catatan, website, dan lain sebagainya, yang telah diolah oleh orang

lain atau lembaga yang berupa data sekunder.48

1.6.4 Ruang Lingkup Penelitian

Dalam sebuah penelitian, harus ditentukan ruang lingkupnya, agar

pembahasan masalah bisa berkembang ke arah yang tepat sesuai sasaran. Ruang

lingkup itu sendiri terdiri dari batasan materi dan batasan waktu. Batasan materi

menunjukkan ruang sebuah peristiwa yakni cakupan kawasan dan gejala atau

daerah studi, sedangkan batasan waktu adalah rentang waktu (durasi) terjadinya

suatu peristiwa atau objek yang dianalisa.

Dalam penelitian ini, batasan materinya adalah ulasan mengenai

bagaimana upaya-upaya Jerman memaksimalkan Piala Dunia 2006 sebagai

momentum membangun nasionalisme barunya. Sedangkan untuk batasan

waktunya, penulis akan memberikan batasan waktu pada tahun 2006, tepatnya

sebelum, saat berlangsung, dan sesudah penyelenggaraan Piala Dunia 2006. Ini

dilakukan dengan dasar bahwa pada tahun 2006 Jerman melakukan peningkatan

upaya-upaya diplomasi publik sebagai tuan rumah Piala Dunia 2006. Selain itu,

48

(39)

25

penulis juga mengupas masalah-masalah yang bersifat tinjauan historis untuk

membantu dan melengkapi rangkaian analisa dinamika nasionalisme serta

pembentukan nasionalisme baru Jerman.

1.7 Argumentasi Dasar

Rasa nasionalisme masyarakat Jerman mengalami fase negatif semenjak

berakhirnya Perang Dunia II hingga pasca reunifikasi tahun 1990. Hal ini

disebabkan faktor internal (persepsi Jerman sebagai penjahat Perang Dunia dan

pelaku kejahatan kemanusiaan Holocaust) serta faktor eksternal (pemisahan

Jerman oleh Blok Barat dan Blok Timur). Hilangnya identitas bangsa dan rasa

kebangsaan ini berpengaruh pada rendahnya integritas masyarakat, yang walaupun

stabil secara ekonomi dan politik namun menyimpan resiko konflik horizontal.

Pemerintah Federal Jerman pasca reunifikasi menyadari akan adanya fenomena ini

dan menempatkan persoalan nasionalisma Jerman sebagai kepentingan nasional.

Pemerintah Jerman berusaha membangun nasionalisme baru, yang

berbentuk civic nationalism, sebagai upaya memenuhi kepentingan tersebut.

Bentuk nasionalisme baru ini kemudian berusaha untuk dikembangkan dan

dipublikasikan kepada seluruh publik Jerman. Salah satu caranya adalah melalui

sport mega-event, dimana terdapat perwakilan Jerman yang berpatisipasi, baik

sebagai peserta ataupun sebagai tuan rumah. Piala Dunia 2006 pun menjadi

momentum yang dimaksimalkan oleh Pemerintah Federal Jerman untuk

(40)

1.8 Sistematika Penulisan

BAB I merupakan bab pendahuluan, yang berisi latar belakang disertai

rumusah masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan literatur berupa

penelitian terdahulu dan kerangka konseptual, serta metode penelitian.

BAB II akan menjabarkan karakteristik nasionalisme dan identitas

nasional yang dimiliki Jerman, serta proses pembentukan nasionalisme baru yang

dialaminya. Dengan menonjolkan beberapa momen penting dari sisi historis

Jerman, bab ini akan menjelaskan faktor-faktor penting proses pembentukan

tersebut nasionalisme tersebut.

BAB III akan berisi penjelasan projek-projek pembentukan nasionalisme

baru Jerman menggunakan diplomasi olahraga pada perhelatan Piala Dunia 2006.

BAB IV merupakan bab kesimpulan dari penulisan yang telah dipaparkan

Gambar

Tabel 1.1 Posisi Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Universitas Kristen Maranatha.. dilakukan oleh suami mereka. Sebaliknya, keinginan untuk bercerai karena tidak tahan terhadap KDRT yang dialaminya juga terhalang oleh nilai-nilai

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa informan, informan menikah pada usia muda karena mereka sudah tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya kalaupun

[r]

E-Governance is the application of Information and C ommunication Technology (ICT) for delivering govern ment services, exchange of information communicatio n transactions,

c) Ekonomi yang terus bertumbuh, tidak memperhatikan pertambahan penduduk, sedangkan proses pembangunan ekonomi memperhatikan pertambahan penduduk suatu Negara. d) Proses

Functional diversity, or diversity that leads to more effective function or innovation (Bunderson and Sutcliffe, 2002), is often the form of diversity intended in common workplace

Kesenjangan ekonomi atau ketimpangan dalam distribusi pendapatan antara kelompok masyarakat berpendapatan tinggi dan kelompok masyarakat berpendapatan rendah serta tingkat

Dilihat dari keterlibatan kerja dalam kategori yang tinggi, yaitu partisipasi aktif, Pekerjaan sebagai yang utama dan pekerjaan sebagai sesuatu yang