PENGARUH FOSFAT ALAM DAN BAHAN ORGANIK
TERHADAP KELARUTAN PUPUK, ClRl KlMlA TANAH,
DAN EFlSlENSl PEMUPUKAN P PADA TYPIC
HAPLUDOX SITIUNG SUMATERA BARAT
Oleh:
J O K O
P U R N O M O
9 9 0 4 8 T N H
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ABSTRAK
JOKO PURNOMO. "Pengaruh Fosfat Alam dan Bahan Organik terhadap Kelarutan Pupuk, Ciri Kimia Tanah, dan Efisiensi Pemupukan P pada Typic Hapludox Sitiung Sumatera Barat" (Di bawah bimbingan KOMARUDDIN IDRlS sebagai ketua, SUWARNO dan ELSJE L. SlSWORO sebagai anggota)
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian fosfat alam (FA) dan bahan organik dari pupuk kandang kotoran sapi (pukan) terhadap kelarutan FA, ciri kimia tanah, dan efisiensi pemupukan P tanaman jagung pada Typic Hapludox dari Sitiung-Sumatera Barat. Penelitian terbagi dalam 3 tahap kegiatan yaitu penelitian kelarutan FA, perubahan ciri kimia tanah, dan efisiensi pemupukan
P.
Takaran FA didasarkan pada penentuan kadar P dalam larutan sebesar 0.2 pg Plml. Untuk mencapai konsentrasi tersebut diperlukan takaran FA sebesar 298 pg Plg setara dengan 4.2 t FAIha pada inkubasi 3 minggu. Selanjutnya takaran FA yang digunakan adalah 0, 1.05, 2.1, 4.2, 6.3, dan 8.4 t FAIha. Takaran pukan yang digunakan adalah 0, 10, dan 20 tiha. Semua percobaan menggunakan rancangan percobaan faktorial dalam acak lengkap. Pada percobaan kelarutan FA, faktor pertamanya adalah pukan dengan tiga takaran, sedangkan faktor kedua adalah urutan pemberian FA pada takaran 6.3 t/ha dan pukan yaitu: FA dan pukan diberikan bersamaan, pukan diberikan 2 minggu sebelum FA, dan pukan diberikan 2 minggu setelah FA. Pada percobaan perubahan ciri kimia tanah dan percobaan efisiensi pemupukan P masing-masing digunakan 2 faktor yaitu FA dan pukan.
ABSTRACT
JOKO PURNOMO. "The Effect of Phosphate Rock and Organic Matter on Fertilizer Dissolution, Soil Chemical Properties, and Efficiency Use of P Fertilizer on Typic Hapludox Sitiung West Sumatra". Thesis, under Advisory Committee of KOMARUDDIN IDRlS as Head, SUWARNO and ELSJE L. SlSWORO as Members.
The objectives of the research were to study effect of rock phosphate (PR) and organic matter from cow dung to PR dissolution, soil chemical properties, and efficiency use of P fertilizer of corn on Typic Hapludox, Sitiung West Sumatra. The research consisted of three part activities, namely PR dissolution, soil chemical properties, and P fertilizer efficiency. The rate of applied PR was based on the P concentration in solution at 0.2 pg P/ml. To obtain this concentration, it was needed PR about 298 pg P/g equivalent to 4.2 t PR/ha at three weeks incubation. The rates of applied PR in these experiments were 0; 1.05; 2.1; 4.2; 6.3; and 8.4 t PR/ha. And the rates of cow dung were 0, 10, and 20 t /ha. All experiments were factorial experiment and arranged using randomized complete design. The first factor of PR dissolution consisted of three levels of cow dung and the second factor was application orders of PR and cow dung
-
had three qualitative levels: PR and cow dung was applied at the same time, cow dung was added two weeks before PR, and cow dung was given two weeks after PR. In this experiment the rate of PR was 6.3 tlha. In the study of soil chemical properties and P fertilizer efficiency, there were two factors tested, namely PR and cow dung.Results of the study indicated that the dissolution of PR at one week after incubation period was very high about 90%. The effect of cow dung addition and PR application order on PR dissolution was not significant. Rock phosphate application significantly increased pH-H20, P-Bray I, P-HCI 25%, and exchangeable Ca. In addition, it significantly decreased of Al-saturation. On the other hand, the addition of cow dung increased C-organic, P-HCI 25%, exchangeable Mg and K, effective of CEC, and decreased Al saturation. The application of PR significantly enhanced Fe- P, AI-P, and Ca-PI but it had not significant effect on RS-P. Furthermore, the application of cow dung had not significant effect to those P fractions.
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul:
Pengaruh fosfat alam dan bahan organik terhadap kelarutan pupuk,
ciri kimia tanah, dan efisiensi pemupukan P pada Typic Hapludox
Sitiung Sumatera Barat.
Adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah
dipublikasikan. Semua sumberdata dan informasi yang digunakan telah
dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
PENGARUH FOSFAT ALAM DAN BAHAN ORGANIK
TERHADAP KELARUTAN PUPUK P, ClRl KlMlA TANAH,
DAN EFlSlENSl PEMUPUKAN
P PADA TYPIC HAPLUDOX
SlTlUNG SUMATERA BARAT
Oleh
JOKO PURNOMO
99048lTNH
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains pada
Program Studi llmu Tanah
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Feneiitian
PENGARUH FOSFAT ALAM DAN BAHAN
ORGANIK TERHADAP KELARUTAN PUPUK
P, ClRl KlMlA TANAH, DAN EFlSlENSl
PEMUPUKAN P PADA TYPIC HAPLUDOX
SlTlUNG SUMATERA BARAT
Narna Mahasiswa
Joko Purnomo
Nomor Pokok
99048lTNH
Program Studi
llmu Tanah
Menyetujui
1. Komisi Pembimbing
Dr Ir ~omdruddin Idris, MS
Ketua \
Dr Ir Suwarno, MSc Anggota
Ketua Program Studi
/ Prof. Dr Ir Sudarsono
Ir Elsie L. Sisworo, MS APU Ang g ota
Manuwoto, MSc
Penulis dilahirkan pada 1 Desember 1961 di Wonogiri, Jawa Tengah,
merupakan putera pertama dari delapan bersaudara dari pasangan Suwamo dan
Parminah. Pendidikan Sarjana Pertanian di bidang studi llmu Tanah di tempuh di
Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang dan lulus pada tahun 1985.
Kesempatan untuk melanjutkan ke pascasarjana (S2) diperoleh tahun 1999 di
Program Pascasarjana IPB Program Studi llmu Tanah. Satu tahun pertama penulis
membiayai studinya sendiri, dan tahun berikutnya mendapat beasiswa dari Proyek
ARM II Badan Litbang Pertanian.
Penulis bekerja sebagai peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanah dan Agroklimat di Bogor sejak tahun 1986. Saat ini penulis menjabat sebagai
Ajun Peneliti Madya bidang Kesuburan Tanah. Sebagai seorang peneliti, penulis
bergabung dalam himpunan profesi yaitu Himpunan llmu Tanah lndonesia (HITI),
dan Himpunan Agronomi lndonesia (Peragi). Sebagian tesis penulis berupa karya
ilmiah berjudul "Pengaruh fosfat alam dan pupuk kandang terhadap efisiensi
pemupukan P pada Oxisoi Sumatera Barat" telah diseminarkan di P3TIR, BATAN
pada bulan September 2001 yang akan dimuat dalam Prosiding Pertemuan llmiah
Penelitian dan Pengembangan lsotop dan Radiasi.
Penulis menikah dengan Endraswatiningrum pada tahun 1986 dan telah
dikaruniai 3 putera yaitu lntan Rachmawati Ramdani, Ananda Puteri Nurindahsari,
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wata'ala atas
segala karunia-Nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tesis ini
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Pada Program
Studi llmu Tanah Program Pascasarjana IPB.
Dua kendala utama untuk pengelolaan Oxisol di Indonesia adalah rendahnya
kadar P dan kadar bahan organik dalam tanah. Pupuk kandang dapat digunakan
sebagai salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas lahan tersebut dengan
memadukan komponen "land-crop-livestock system" berupa paket: ternak,
benihtbibit tanaman unggul, dan pengakayaan P dengan fosfat alam.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan memberikan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Dr. Ir. Komaruddin Idris, MS sebagai
Ketua Komisi Pembimbing; serta Dr. Ir. Suwamo MSc., dan lr. Elsje L. Sisworo, MS
APU sebagai Anggota Komisi Pembimbing, atas segala bimbingan, saran,
dorongan, dan bantuannya dari persiapan proposal penelitian hingga selesainya
tesis ini.
Selanjutnya rasa terima kasih disampaikan kepada para Dosen Program
Studi ilmu Tanah dan Tim Managemen Program Pascasarjana IPB, Dr.
Abdurachman Adimihardja selaku Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanah dan Agroklimat, Proyek ARMP II Badan Litbang Pertanian, Dr. Djoko
Santoso, Ir. I G Putu Wtgena MSi, Ir. Sukristiyonobowo MSc, Ir. Enggis Tuherkih,
dan Ir. Maryam.
Disampaikan terima kasih juga kepada semua Staf Laboratorium Kimia
Laboratorium Bagian Pertanian P3TIRI BATAN, Rekan-rekan Mahasiswa Program
Studi llmu Tanah, dan semua pihak yang telah membantu khususnya Sdr. Dedy
Kusnandar.
Rasa terima kasih secara khusus disampaikan kepada Ayah dan Ibuku,
Suwamo dan Parminah, lstriku tersayang "Endras" dan anak-anakku "lntan, Nanda,
dan Bayu".
Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempuma, namun penulis
mengharapkan mudah-mudahan tulisan ini dapat bermanfaat bagi yang
memerlukannya.
Bogor, Mei 2002
DAFTAR IS1
Halaman
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... xi i PENDAHULUAN ... 1
Latar belakang ... I Tujuan Penelitian ... 3
Hipotesis ... 3
Pendekatan Penelitian ... 3
TINJAUAN PUSTAKA ... Penyebaran dan Ciri Kimia Oxisol ... Penyebaran Oxisol ... Ciri Kimia Oxisol ... Efektivitas Penggunaan FA Secara Langsung ... Kualitas FA ... Ciri Kimia Tanah ... Tanaman ... Pengaruh FA Terhadap Ciri Kimia Tanah ... Pengaruh FA Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman .... Bahan Organik dalam Tanah ... Pengaruh Bahan Organik Terhadap Ketersediaan P dalam Tanah ... Pengaruh Bahan Organik Terhadap Efisiensi Pemupukan P dan Respons Tanaman ... Efisiensi FA dengan Metode lsotop ... BAHAN DAN METODE ... 27
Waktu dan Tempat ... 27
Bahan dan Alat ... 27
Pelaksanaan Percobaan ... 28
Penentuan Takaran FA ... 28
Kelarutan FA ... 30
Perubahan Ciri Kimia Tanah ... 32
Percobaan Rumah Kaca ... 38
Pengolahan Data ... 40
HASlL DAN PEMBAHASAN ... 41
Kelarutan FA ... 41
Kadar Ca-BaCI2TEA ... 41
Kelarutan FA ... 43
Ciri Kimia Tanah ... ... pH Tanah
...
C
organik dan N total...
Kation Dapat Dipertukarkan
...
Fosfor dalam Tanah
...
Fraksi P dalam Tanah ... ...
... Erapan P
... Retensi P
... Aluminium dan Besi dalam Tanah
... Pertumbuhan dan Produksi Tanaman
... Tinggi Tanaman
... Bobot Kering Tanaman
... Kadar dan Serapan Fosfor
... Fraksi Serapan P Tanaman
Efisiensi Pemupukan P ...
KESIMPULAN DAN SARAN ...
DAFTAR PUSTAKA ...
LAMPIRAN ...
DAFTAR TABEL
No.
-
Te ks HalamanPengelompokan FA berdasarkan kelarutannya dalam asam lemah.. ...
Pengaruh Pemberian FA dan Pukan terhadap Delta pH pada 5
MSI.. ...
Pengaruh Pemberian FA dan Pukan terhadap C-organik dan N- total pada 5 MSI ...
Pengaruh Pemberian FA dan Pukan terhadap Nisbah C/N pada
5 MSI ...
Pengaruh Pemberian FA dan Pukan terhadap Kalsium dan Magnesium Dapat Dipertukarkan yang Diekstrak dengan NHr OAc 1 N pH 7 pada 5 MSI ...
Pengaruh Pemberian FA dan Pukan terhadap Kalium dan Natrium Dapat Dipertukarkan yang Diekstrak dengan NH4-OAc 1 N pH 7 pada 5 MSI ...
Pengaruh Pemberian FA dan Pukan terhadap Kadar Aluminium Dapat Dipertukarkan pada 5 MSI ...
Pengaruh Pemberian FA dan Pukan terhadap KB dan Kejenuhan Al pada 5 MSI ...
Pengaruh Pemberian FA dan Pukan terhadap Kejenuhan Kalsium dan Kejenuhan Magnesium pada 5 MSI ...
Pengaruh Pemberian FA dan Pukan terhadap Kadar P- terekstrak Bray I dan P-terekstrak HCI 25% pada 5 MSI ...
Hubungan FA dan Pukan terhadap Kadar P-Bray I dan P-HCI
25 % umur 5 MSI ...
Pengaruh Pemberian FA dan Pukan terhadap Kebutuhan P untuk mencapai ...
Pengaruh Pemberian FA dan Pukan terhadap Retensi P pada
5 MSI. ...
15. Pengaruh Pemberian FA dan Pukan terhadap Fe-d dan Al-d
pada 5 MSI. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .... ... ... ... 72
16. Pengaruh Pemberian FA dan Pukan terhadap Fe-pi dan Al-pi
pada 5 MSI. ... ... ... ... ... ... ... ... .... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... 73
17. Hubungan Takaran FA dan Pukan terhadap Tinggi Tanaman
Jagung pada 14 dan 40 HST
... ....
... ... ... ......
... ... ... ... ... ... ... . 7518. Pengaruh Pemberian FA dan Pukan terhadap Serapan P dan
Persentase Serapan P yang berasal dari FA ... ... ... ... ... .. . .... .. 80
19. Pengaruh Pemberian FA dan Pukan terhadap Serapan P dan
Persentase Serapan P yang berasal dari Tanah.. . . ... . . .. 80
20. Pengaruh Pemberian FA dan Pukan terhadap Serapan P dan
Persentase Serapan P yang berasal dari Pukan ... .... ... ... ... ... 8 1
Lampi ran
1. Deskripsi Profil Oxisol di Lokasi Penelitian
...
...
...
... ... ... ... ... ... ..2. Ciri Fisik dan Kimia Tanah dari Contoh Tanah Komposit Sebelum Percobaan yang Diambil pada Kedalaman 0
-
30 cm3. Ciri Fisik dan Kimia Tanah Typic Hapludox (RM-02) Sitiung Ill, Sumatera Barat ... .. . . .. . ... . .. . . . .. . . . ... . .
.
. . . ... ... . . ... . .4. Kombinasi dan Takaran Pupuk yang Digunakan pada Percobaan Kelarutan FA di Laboratorium ... ... ... ... ... ... ... ... ... .
5. Kombinasi Takaran FA dan Pukan yang Digunakan pada Percobaan Perubahan Ciri Kimia Tanah di Laboratorium ... ... ... .
6. Kombinasi Takaran FA dan Pukan yang Digunakan pada percobaan Respon Tanaman Jagung di Rumah Kaca .... ... ... ... .
7. Kadar Hara dalam Pukan dan FA Ciamis yang Digunakan dalam Percobaan. .. . . .
.
......
.
. . ....
. .
. . . .. . .. . .8. Jenis dan Takaran Pupuk Dasar yang Digunakan untuk Percobaan di Rumah Kaca ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
Rata-rata Kelarutan FA yang Ditetapkan dengan Menggunakan Metode A Ca ...
Rata-rata Kadar Magnesium yang Diekstrak dengan 0.5 M ... BaC12 TEA pada Berbagai Inkubasi
Pengaruh Pemberian FA dan Pukan terhadap pH-H20 dan pH- KC1 (1 :5) pada 5 MSI ...
Pengaruh Pemberian FA dan Pukan terhadap pH-H20 (1:5) pada 3 dan 9 MSI ...
Pengaruh Pemberian FA dan Pukan terhadap KTKe dan K-HCI 25% pada 5 MSI ...
Pengaruh Pemberian FA dan Pukan terhadap Kadar P-larut Air pada 3 dan 5 MSI ...
Pengaruh Pemberian FA dan Pukan terhadap Kadar P-larut Air pada 9 MSI ...
Pengaruh Pemberian FA dan Pukan terhadap Kadar AI-P dan Fe-P pada 5 MSI ...
Pengaruh Pemberian FA dan Pukan terhadap Kadar Ca-P dan RS-P pada 5 MSI. ...
Pengaruh Pemberian FA dan Pukan terhadap Erapan ... Maksimum dan Konstanta Energi Jerapan pada 5 MSI
Pengaruh Pemberian FA dan Pukan terhadap Kebutuhan ..
Pengaruh Pemberian FA dan Pukan terhadap Kadar Fe Larut air pada 3 MSI dan 5 MSI ...
Pengaruh Pemberian FA dan Pukan terhadap Fe larut 9 MSI dan Retensi P pada 5 MSI ...
Pengaruh Pemberian FA dan Pukan terhadap Tinggi Tanaman Jagung ...
Pengaruh Pemberian FA dan Pukan terhadap Bobot Kering dan Kadar P Tanaman Jagung ...
Pengaruh Pemberian FA dan Pukan terhadap Serapan P-total dan Efisiensi Pemupukan P... ...
27. Nilai F hitung dari Analisis Ragam untuk C-organik dan N-total 5
MSI . . .
.
. . .. .
. . ..
. . . .28. Nilai F hitung dari Analisis Ragam untuk Kation dapat
dipertukarkan 5 MSI ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
29. Nilai F hitung dari Analisis Ragam untuk KTKe dan Kejenuhan
Basa 5 MSI ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
...
... ... ... ... ... ... ... ... ... .... ...30. Nilai F hitung dari Analisis Ragam untuk P dan K-HCI 25% . . . .. . .
31. Nilai F hitung dari Analisis Ragam untuk Fraksi P ... ... ... ... ... . ...
32. Nilai F hit,ng dari Analisis Ragam untuk Kapasitas Erap, Energi
Konstanta Jerapan (k) dan Kebutuhan ... ... ... ... ... ... ... ... ..
33. Nilai F hitung dari Analisis Ragam untuk Rentensi P, kadar Fe-
larut air ... ... ... ... ... .... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ..
34. Nilai F hitung dari Analisis Ragam untuk Fraksi Al dan Fe ... ... ...
35. Nilai F dari Analisis Ragam untuk Produksi Tanaman
....
. .36. Nilai F hitung dari Analisis Ragam untuk Fraksi Serapan P dan
Efisiensi Pemupukan P ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ..
111
Ill
DAFTAR GAMBAR
Halaman No.
1. Hubungan FA yang Ditambahkan dengan Kadar P-larut Air pada 2, 3, dan 4 MSI ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .... ... ... ... ... ...
Hubungan antara Lama Inkubasi, Urutan Pemberian FA Takaran 6.3 t/ha dan Pukan, terhadap Kadar Ca-BaC12 TEA.. . ..
Hubungan antara Lama Inkubasi, dan Urutan Pemberian FA Takaran 6.3 t/ha dan Pukan terhadap Kelarutan FA ... ... ... ... ... ..
Hubungan antara Lama lnkubasi dan Urutan Pemberian FA Takaran 6.3 t/ha dan Pukan terhadap Kadar Mg-BaCI2 TEA
.
. . . .Hubungan antara Takaran FA dan Pukan terhadap pH-H20 (1 :5) pada 3, 5, dan 9 MSI. . . .. . .. . . .. . . .. . .
Hubungan antara Takaran FA terhadap Kadar Al, Ca, dan KTKe pada 5 MSI
...
... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .Hubungan antara Takaran Pukan terhadap Kadar Al, Ca, dan KTKe pada 5 MSI ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
...
...Hubungan antara pH-H20 dengan Kejenuhan Al dan KB pada 5 MSI.. . .
Hubungan antara Takaran FA dan Pukan terhadap Kadar P- larut Air pada 3, 5 dan 9 MSI ... ... ... ... . ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
Hubungan antara P-Bray I dengan P-larut Air pada 5 MSI . . . ..
Bentuk P-anorganik dalam tanah Sebelum Percobaan dan pada 5 MSI ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
Hubungan antara Takaran FA dan Pukan terhadap Kadar AI-P dan Fe-P pada 5 MSI
...
... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... . .. .Hubungan antara Takaran FA dan Pukan terhadap Kadar Ca-P dan RS-P pada 5 MSI ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
15. Hubungan antara Takaran FA dan Pukan terhadap Konstanta Energi Jerapan, Erapan Maksimum, dan Kebutuhan P pada 5
MSI ... 68
16. Hubungan antara Pemberian FA dan Pukan terhadap Fe-Larut
Air pada 3, 5 dan 9 MSI. ... 73
17. Hubungan Takaran FA dan Pukan dengan Tinggi Tanaman
pada 14 HST (a) dan 40 HST (b). ... 74
18. Hubungan antara Takaran FA Pukan dengan Bobot Kering
Tanaman (a) dan Hasil Relatif (b) ... 76
19. Hubungan antara Takaran FA dan Pukan dengan Kadar P
Tanaman (a) dan Serapan P-total (b) ... 77
20. Pengaruh Pemberian FA dan Pukan terhadap Proporsi Serapan
P oleh Tanaman ... 79
21. Hubungan antara FA dan Pukan terhadap Efisiensi Pemupukan
PENDAHULUAN Latar Belakang
Indonesia merupakan konsumen pupuk fosfat yang cukup besar. Dalam
kumn waktu 1990
-
1993 penggunaan pupuk fosfat dalam bentuk TSP atau SP 36sekitar 1.25 juta tonttahun. Dari jumlah tersebut yang disalurkan untuk tanaman
pangan sekitar 78
-
85 % (Abdurachman, Adiningsih, dan Nursyamsi, 2001)Penyaluran pupuk TSPISP 36 pada tahun 1998 mengalami penurunan sebesar 0.26
juta atau sekitar 27% dibandingkan penyaluran 5 tahun sebelumnya. Penurunan ini
berkaitan erat dengan dihapuskannya subsidi pupuk tahun 1998, sehingga harga
pupuk semakin mahal. Terjadi kesenjangan penggunaan pupuk untuk tanaman
pangan yaitu antara lahan sawah dan lahan kering. Sekitar 80% dari total pupuk P
tersebut diperuntukkan lahan sawah intensifikasi yang diduga telah jenuh oleh fosfat
(Sri Adiningsih, Kumia, dan Sri Rochayati, 1998). Oleh sebab itu, perlu adanya
realokasi distribusi pupuk P dari lahan sawah yang diduga telah jenuh P ke areal
yang sangat memerlukan P seperti pada Oxisol.
Di lndonesia terdapat sekitar 20.7 juta tanah mineral masam dengan lereng
kurang dari 15 % yang umumnya kahat fosfat (Sri Adiningsih et a/. 1998). Fosfat
alam (FA) merupakan salah satu altematif pupuk sumber fosfat yang dapat
digunakan untuk menanggulangi kekahatan P pada tanah-tanah tersebut. Fosfat
alam dapat digunakan secara langsung tanpa harus diproses dalam pabrik.
lndonesia mempunyai deposit FA sebesar 7
-
8 juta ton dengan kadar P2O5sangat bervariasi antara 1
-
38 % (Moersidi, 1999). Fosfat alam lokal seperti FACiamis mempunyai reaktivitas yang sama dengan TSP (Mulyadi dan Pumomo,
1999), tetapi banyak juga FA yang mempunyai reaktivitas yang rendah. Menurut
dengan pengasaman sebagian. Kanabo dan Gilkes (1988a) mengemukakan bahwa
kelarutan FA makin tinggi dengan semakin kecilnya ukuran butir.
Fosfat alam sebagai pupuk telah banyak diteliti dan dipergunakan secara
langsung ke dalam tanah (Moersidi, 1999). ldris (1995a) dan Sri Adiningsih et al.
(1998) mengemukakan bahwa FA mempunyai efektivitas yang hampir sama,
bahkan mempunyai efek residu yang lebih baik dari TSP atau SP 36, harga setiap
kg P205 lebih murah, menghemat tenaga kerja karena FA dapat diberikan dalam
takaran tinggi sekaligus, sehingga tidak haws diberikan setiap musim tanam. Selain
itu pemberian fosfat alam mempunyai efek pengapuran yaitu sebagai sumber Ca,
sekaligus memperbaiki ciri kimia tanah. ldris (1995b) mengemukakan bahwa
pemberian FA dapat menurunkan Al-dd, dan kejenuhan Al, dan meningkatkan pH
tanah masam.
Moersidi (1993) dan Hue dalam lyamuremye, Dick, dan Baham (1996)
mengemukakan bahwa pemupukan P anorganik lebih efisien bila diberikan
bersama-sama dengan bahan organik. Pemberian bahan organik dapat menurunkan
erapan P maksimum, kebutuhan pupuk PI kelarutan Al, dan Fe. Bahan organik
dalam tanah dapat berfungsi meningkatkan ketersediaan unsur hara, pH tanah,
aktivitas mikroorganisme, dan jumlah A1 yang terkelat oleh senyawa humik pada
Typic Haplohumult (Winarso, 1996 dan lyamuremye et al., 1996), serapan P dan Mg
oleh tanaman (Nursyamsi et al., 1997 dan Kasno et a/., 1997). Moersidi (1999)
melaporkan bahwa pemberian bahan organik pada Ultisol dari Lebak dapat
Tujuan Penelitian
1. Mempelajari pengaruh FA dan pupuk kandang kotoran sapi (pukan) tehadap
perubahan ciri kimia Oxisol dari Sitiung-Sumatera Barat.
2. Mempelajari peranan pukan dalam mempengaruhi kelarutan FA.
3. Mempelajari urutan pemberian FA dan pukan tehadap kelarutan FA.
4. Mempelajari serapan dan efisiensi pemupukan P dengan teknik radioisotop 3 2 ~ .
Hipotesis
1. Pemberian FA dan pukan dapat memperbaiki ciri kimia Oxisol dari Sitiung
Sumatera Barat, di antaranya adalah: meningkatkan pH, P-tersedia, kation dapat
dipertukarkan (Ca, Mg, dan K), serta menurunkan kadar Al-dd dan erapan P.
2. Pemberian pukan dapat meningkatkan kelarutan FA.
3. Pemberian FA yang didahului oleh pemberian pukan menghasilkan kelarutan FA yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian pukan yang didahului FA. 4. Pemberian pukan dapat meningkatkan efisiensi pemupukan P.
Pendekatan Penelitian
Penelitian ini terdiri atas dua tahap kegiatan penelitian yaitu penelitian di
laboratorium dan penelitian di rumah kaca. Penelitian di laboratorium meliputi
penentuan takaran FA, kelarutan FA, dan perubahan ciri kimia tanah sebagai akibat
pemberian FA dan pukan. Percobaan rumah kaca meliputi respons tanaman jagung
TINJAUAN PUSTAKA Penyebaran dan Ciri Kimia Oxisol
Penyebaran Oxisol
Luas total Oxisol di Indonesia diperkirakan 8.085 juta ha yang tersebar di
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, lrian Jaya, dan Jawa masing-masing seluas 4.016,
2.449, 0.789, 0.296, dan 0.135 juta ha (Puslittanak, 1997). Data tersebut
menunjukkan bahwa Oxisol mempunyai penyebaran yang cukup luas. Penggunaan
lahan pada Oxisol antara lain untuk pertanian tanaman pangan, perkebunan, dan
hutan. Penggunaan Oxisol untuk budidaya pertanian menghadapi banyak kendala
antara lain: kapasitas tukar kation (KTK) tanah sangat rendah, miskin hara makro
seperti: N, P, K, Ca, Mg, dan S; fiksasi P tinggi, kadar bahan organik rendah,
pencucian hara yang tinggi, serta peka terhadap erosi.
Ciri Kimia Oxisol
Oxisol adalah tanah mineral yang kaya seskuioksida, telah mengalami
pelapukan lanjut, dan banyak terdapat di daerah tropis (Hidayat, 1996). Menurut
USDA (1998), Oxisol adalah tanah-tanah yang: (1) mempunyai horison oksik yang
batas atasnya berada pada kedalaman 150 cm atau kurang dari permukaan tanah
mineral, dan tidak mempunyai horison kandik yang batas atasnya berada pada
kedalaman tersebut, atau (2) Pada fraksi halus antara pennukaan tanah dan
kedalaman 18 cm (setelah dicampur) kadar liatnya 40% atau lebih (berdasar bobot),
dan horison kandik yang mempunyai mineral mudah lapuk memenuhi syarat horison
oksik dan batas atasnya berada pada kedalaman 100 cm atau kurang dari
Secara umum Oxisol mengandung mineral-mineral yang mudah lapuk sangat
rendah yaitu kurang dari 10% dan mineral sukar melapuk sangat tinggi sehingga
kurang layak untuk mendukung kesuburan tanah secara alami. Kapasitas tukar
kation (KTK) tanah yang ditetapkan dengan NH40Ac I N pH 7 sangat rendah yaitu
kurang dari 16 cmol (+)/kg liat atau KTK efekti adalah sama atau kurang dari 12
cmol (+)/kg liat. Fraksi liat tersusun dari mineral liat tipe 1:l terutama kaolinit dengan
seskuioksida Fe dan Al, tanpa atau dengan sedikit mineral 2:1. Curah hujan yang
tinggi dan terletak di daerah tropik dengan suhu tinggi menyebabkan tingkat
pelapukan tanah sangat intensif. Tingginya curah hujan menyebabkan pencucian
kation sangat intensif, sehingga jumlah kation yang hilang dari daerah perakaran
sangat tinggi. Oleh sebab itu ketersediaan kation seperti Ca, Mg, K, dan Na sangat
rendah. Karena KTK tanah rendah, maka tanah kurang mampu untuk memegang
kation walaupun diberikan dalarn jumlah banyak. Pemupukan tidak efisien karena
kation berpeluang untuk segera tercuci jika tejadi hujan. Dengan tercucinya kation
basa, maka Al dan Fe yang relatif tidak mudah tercuci menjadi dominan, sehingga
kadar A1 dan Fe menjadi tinggi yang diikuti oleh kemasaman tanah yang tinggi juga.
Di lain pihak, beberapa anion seperti fosfat akan dijerap kuat oleh liat khususnya
seskuioksida (Rachim, 1997).
Berdasarkan asal muatan pada permukaan, koloid tanah dapat dibedakan
dua jenis muatan yaitu muatan permanen @emanent charge) dan muatan
tergantung pH atau muatan variabel (variable charge). Muatan perrnanen tejadi
sebagai akibat dari subtitusi kation pada kisi-kisi mineral liat oleh kation lain yang
mempunyai valensi lebih rendah, sedangkan muatan tergantung pH berasal dari
protonisasi atau deprotonisasi gugus hidroksida Al atau Fe, dan bahan organik atau
seperti Oxisol dicirikan oleh proporsi muatan tergantung pH yang dominan. Pada
kondisi alamiah tanah ini dapat mempunyai muatan netto positif atau n e w
tergantung pada pH tanahnya.
Sifat tanah yang spesifik pada tanah dengan muatan tergantung pH adalah
titik muatan no1 (TMN atau pHo) atau zero point of charge (ZPC). Titik muatan no1
adalah suatu kondisi yang menunjukkan jumlah muatan positif sama dengan jumlah
muatan negatif (Uehara dan Gilman, 1981). Rendahnya muatan negatif pada tanah
dengan tingkat pelapukan lanjut ditunjukkan oleh pH0 yang cukup tinggi (Oades et
a/. dalam Anda, 1999). Sebagai contoh, Oxisol Queensland mempunyai pH0 sekitar
6.5 dengan jumlah muatan perrnanen hanya 1-2 cmol(+)/kg, jika pH0 diturunkan,
maka KTK yang berasal dari muatan tergantung pH akan meningkat secara tajam.
Anda (1999) mendapatkan nilai pH0 sekitar 3.5 pada Oxisol Situng-Sumatera Barat
dan Oxisol Sonay-Sulawesi Tenggara. Pada Oxisol Sonay, semakin dalam harison
tanah semakin tinggi nilai pHo, sedangkan pada Oxisol Sitiung ha1 tersebut tidak
terjadi. Lebih tingginya pH0 pada Oxisol Sonay berkaitan erat dengan kandungan
besi bebas yang makin tinggi. Apabila pH tanah ditingkatkan maka muatan negatif
akan meningkat dan muatan positif (jika ada) akan menurun, sebaliknya jika pH
diturunkan hingga di bawah pH0 maka jumlah muatan netto positif akan meningkat.
Pada Oxisol yang mempunyai pH di bawah pH0 akan menyebabkan muatan
nettonya menjadi positii. Pada tanah yang demikian pemberian pupuk KC1 atau
kapur sangat tidak efisien, karena kation akan cepat tercuci yang disebabkan oleh
komponen tanah akan menolak kation tersebut. Sebaliknya, pemberian pupuk dalam
bentuk anion seperti fosfat akan cepat juga dijerap oleh tanah. Usaha meningkatkan
muatan negatif dan mempertahankan pH tanah di atas pH0 adalah dengan cara
Ciri lain yang menonjol dari Oxisol adalah kemampuan mengerap P dan
retensi fosfat yang tinggi. Erapan fosfat pada Oxisol dari Pelaihari, Kalimantan
Selatan sangat tinggi yaitu dapat mencapai 1519
-
2546 pg P/g tanah (Hidayat1996). Sementara Wigena (2001) melaporkan bahwa kemampuan mengerap P
sebesar 1428 ppm P dijumpai pada Oxic Dystrudept Jambi. Anda (1999)
melaporkan bahwa retensi fosfat pada Oxisol Sitiung dan Sonay adalah tinggi
masing-masing sekitar 51
-
57% dan 51-
78 %.Efektivitas Penggunaan FA Secara Langsung
Tanah mineral masam dan bertereng kurang dari 15 % di Indonesia sangat
luas yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai areal pertanian. Kendala
pengelolaan tanah tersebut di antaranya adalah rendahnya kadar P dalam tanah.
Untuk meningkatkan produktivitas tanah tersebut dapat dilakukan dengan
meningkatkan kadarnya dalam tanah, salah satu altematifnya adalah dengan
menggunakan fosfat alam.
Keuntungan penggunaan FA se&ra langsung antara lain adalah: harga
setiap kg P2O5 lebih murah, dapat digunakan secara langsung, efektivitasnya yang
hampir sama dengan TSP atau SP 36, menghemat tenaga kerja (Sri Adiningsih et
a/., 1998; Rajan, Watkinson, dan Sinclair, 1996). Selain itu, FA mempunyai
kandungan unsur hara lain seperti Ca, Mg, Cu, dan Zn yang relatif lebih tinggi
dibandingkan pupuk buatan, sehingga FA dapat berfungsi juga untuk memperbaiki
ciri kimia tanah (Moersidi, 1999).
Menurut Rajan et a/. (1996) walaupun mempunyai keunggulan, FA yang
digunakan secara langsung mempunyai beberapa kelemahan antara lain: (a) tidak
rendah faktor jarak pedu dipertimbangkan karena akan menyebabkan harganya
menjadi lebih mahal dari TSPISP 36, (c) penggunaan FA yang berupa tepung halus
menyulitkan aplikasinya di lapangan, dan (d) bewariasinya kualitas FA menyulitkan
dalam standarisasi mutu, pengadaan, perdagangan dan pemakaian (Sri Adiningsih
et a/., 1998 dan Moersidi, 1999). Standarisasi dan pengawasan mutu sangat
diperlukan untuk menghindari salah pilih atau manipulasi, dan yang lebih penting
adalah petani sebagai konsumen tidak dirugikan.
Bolland dan Gilkes (1990) melaporkan bahwa penggunaan FA pada tanah-
tanah di Australia Barat banyak mengalami kendala terutama dalam ha1 rendahnya
kelarutan dalam tanah. Rendahnya kelarutan FA di Australia Barat disebabkan oleh
tanahnya tidak terlalu kahat P dan pH tanah tidak masam, dan kadar Al dan H'
relatif rendah.
Efektivitas penggunaan FA yang digunakan secara langsung dipengaruhi
oleh beberapa faktor antara lain: (1) kualitas FA, (2) sifat tanah, dan (3) tanaman.
Kualitas FA
Fosfat alam merupakan produk yang berasal dari deposit alam yang
kemudian digilingldihaluskan dengan ukuran tertentu. Penggunaan FA sebagai
pupuk P yang digunakan secara langsung pedu memperhatikan beberapa faktor
utama yang dapat mempengaruhi efektivitasnya, di antaranya yaitu: sifat mineralogi
dan kimia FA, kelarutannya dalam tanah, kandungan PI tanggap tanaman, dan
efisiensi penggunaannya.
Menurut te jadinya, FA dapat digolongkan dalam deposit endapan laut, apatit
batuan beku, fosfat sisa pelapukan, batuan tetfosfatisasi, dan guano (Moersidi,
sebesar 19.705,852, 1.225
juta
ton, dan guano kurang dari satujuta
ton (Carthmrtdalam Moersid, 1999). Cadangan deposit FA di Indonesia sekitar 7
-
8 juta ton. DiJawa dan Madura, sebagian besar FA terdapat di daerah pegunungan karang, batu
gamping atau dolomitik. Eksplorasi tahun 1990 oleh Direktorat Geologi dan Mineral,
Departemen Pertambangan menemukan cadangan baru FA dari endapan laut di
Kalipucang Ciamis, Jawa Barat dengan kadar 20
-
38 % PzOs.
Besamya cadanganFA tersebut adalah sebesar 2
-
4 juta ton. Stratifikasi FA pada lokasi tersebutadalah batu gamping masif, batu gamping bioklastik, berpasir, dan terakhir adalah
batu gamping berkarbon dengan kadar P2O5 secara berurutan adalah 0.39
-
3.22,27.8-39.1, 3.0- 18.3, danO.l- 11.6% (Moersidi, 1999).
Berdasarkan kandungan kationnya, FA digolongkan sebagai aluminium
(besi) fosfat, kalsium-aluminium (besi) fosfat dan kalsium fosfat. Jika penggolongan
FA berdasarkan anion yang mensubstitusi fosfat, FA dikelompokkan dalam karbonat
apatit, fluor apatit, klour apatit, dan hidroksi apatit apabila posisi tetra hedral fosfat
berturut-turut disubstitusi oleh ~ 0, F', ~CI-, dan OH- . ~
-Lehr dan McClean dalam Sri Adiningsih et a/. (1998), McClellan dan
Kauwenberg (1 992), Chien (1 992), dan Moersidi (1 999) mengemukakan bahwa
besamya karbonat yang mensubtitusi fosfat berpengaruh besar terhadap kelarutan
FA apatit Semakin tinggi jumlah karbonat yang mensubtitusi fosfat menyebabkan
reaktivitas FA semakin tinggi. Hal ini bemubungan dengan panjang sumbu a dari
kristal hexagonal mineral apatit, makin banyak subtitusi karbonat makin pendek
sumbu a-nya. Subtitusi karbonat pada batuan apatit bila diurut dari rendah ke tinggi
adalah fluor apatit, batuan metamorf, dan tertinggi adalah batuan sedimen.
Penilaian kualitas FA sebagai pupuk dapat dilakukan secara kimia yang
format
2%,
atau dapat juga ditetapkan dengan asam kuat' seperti HCI untukmengetahui kadar total P205. Menurut Sri Adiningsih et al. (1998), penilaian kualitas
FA sebaiknya berdasarkan pada ekstrak asam lemah, bukan berdasar kandungan
total P2O5, karena kadar P total tidak mencerminkan kadar P yang larut Rajan et al.
(1996) mengemukakan bahwa terdapat korelasi nyata yang positif antara kelarutan
FA dengan P larut dalam asam sitrat 2% dan asam format 2%. Widjaja Adhi,
Moersidi, dan Lukman Hakim (1985; mengemukakan bahwa P-larut asam sitrat 2%
dapat digunakan sebagai indeks efektivitas FA. Berdasarkan kelarutannya dalam
asam lemah, FA dapat dikelompokkan dalam tiga kelas yaitu tinggi, sedang, dan
rendah (Tabel 1).
Tabel 1. Pengelompokan FA berdasarkan Kelarutannya dalam Asam Lemah (Diamond dalam McCleHand dan Van Kauwenvergh, 1992)
Kelas Kelarutan FA (%)
NH4-sitrat (netral) Asam sitrat 2 % Asam format 2%
Tinggi > 5.4 > 9.4 > 13.0
Sedang 3.2
-
4.5 6.7-
8.4 7.0-
10.8Rendah < 2.7 < 6.0 < 5.8
Terdapat banyak metode yang dikembangkan untuk memprediksi kelarutan
dan recovery FA yang digunakan. Salah satunya dikembangkan oleh Chang dan
Jackson (1957) yang kemudian dimodifikasi oleh Syers et al. (1973). Metode ini
dilakukan dengan mengukur FA yang tersisa dalam tanah berdasarkan fraksi P
inorganik dalam tanah. Metode ini sebetulnya dikembangkan untuk mengetahui
karakteristik distribusi bentuk-bentuk P dalam tanah, tetapi dalam perkembangan
berikutnya dapat juga digunakan untuk menghitung kelarutan FA. Kelarutan FA
dihitung berdasarkan selisih antara kadar Ca-P pada tanah yang dipupuk dengan FA
Hughes dan Gilkes (1984) mengembangkan metode untuk memperkirakan
kelarutan FA dari peningkatan Ca dapat ditukar (ACa) dari tanah yang dipupuk
dengan FA dikurangi dengan tanpa FA. Pada metode ACa diasumsikan bahwa Ca
yang dilepas oleh FA terakumulasi dalam tanah sebagai Ca dapat dipertukarkan
(Ca-dd) yang diekstrak dengan pengekstrak tertentu, Ca-P dapat ditransforrnasikan
ke dalam bentuk AI-P ataupun Fe-P. Hughes dan Gilkes (1984) menyarankan
menggunakan pengekstrak BaClz yang disangga pada pH alkalin yaitu pada pH 8.2.
Penggunaan pengekstrak yang tidak disangga pada pH alkalin dapat melarutkan Al-
dd atau H-dd ke dalam tanah saat ekstraksi. Metode ACa adalah metode yang
sederhana dan tidak disarankan digunakan pada percobaan rumah kaca, lapang
atau inkubasi yang terbuka yang dimungkinkan Ca-dd dapat hilang diserap tanaman
ataupun tercuci. Pada kondisi inkubasi tertutup dapat juga terjadi hasil kelarutan FA
yang overestimate pada FA yang mempunyai kandungan CaC03 cukup tinggi
karena kelarutan CaC03 lebih cepat dibandingkan FA, sehingga dapat
meningkatkan jumlah Ca-dd yang diukur (Rajan eta/., 1996).
Kelarutan FA dapat ditentukan juga dengan pengekstrak 0.5 M NaHC03
(Olsen dan Watanabe, 1957). Kelarutan FA ditetapkan berdasar selisih kadar P dari
tanah yang diperlakukan dengan FA dan tanpa FA (ABicp-P). Metode ini kemudian
dimodifikasi dan dikembangkan Hughes dan Gilkes (1994) untuk menilai kelarutan
FA pada tanah di Barat Daya Australia.
Sjarif (1992) dalam penelitiannya menggunakan metode ACa untuk
mengetahui kelarutan FA North Carolina (NC) pada Andisol Indonesia mendapatkan
kelarutan hampir 100 % dicapai pada 100 hari setelah inkubasi. Peningkatan
dengan Bray I maupun Olsen. Prasetyo (1993) dalam penelitiannya pada Oxisol,
Jonggol-Jawa Barat mendapatkan bahwa nilai ABicp-P berkorelasi sangat erat
dengan Al-dd, semakin makin besar Al-dd semakin besar juga ABicpP. Hal ini
terjadi karena kelarutan FA memerlukan cukup suplai H'. Nugroho (1999) dalam
penelitiannya dengan metode ACa mengemukakan bahwa semakin tinggi kadar P
dalam FA dan semakin tinggi pengasaman semakin tinggi kelarutan FA.
Salah satu cara untuk meningkatkan reaktivitas FA dapat dilakukan dengan
pengasaman sebagian (Partially Acidulated Rock Phosphate = PARP) dengan asam
kuat seperti asam sulfat. Kelarutan PARP larut air dan asam sitrat umumnya lebih
tinggi dibandingkan FA tanpa pengasaman. Untuk meningkatkan kelarutan FA dapat
dilakukan juga dengan mencampurkan bubuk belerang ke dalam FA (Sholeh et a/.,
2001). Semakin tinggi taraf pemberian belerang semakin tinggi juga kelarutan FA
yang diestimasi dari meningkatnya kadar P-Bray I dan kadar Ca-dd dalam tanah
pada umur 8 minggu setelah inkubasi.
Fosfat alam yang digunakan secara langsung reaktivitasnya dipengaruhi oleh
ukuran butir. Makin halus ukuran butir FA makin reaktif, karena semakin tinggi
permukaan FA yang bersentuhan dengan permukaan koloid tanah. Kanabo dan
Gilkes (1988a) mengemukakan bahwa dari keempat kelompok ukuran butir FA NC
yaitu 150
-
250; 106-
125; 45-
53 dan < 38 pm menghasilkan kelarutan FAsemakin tinggi dengan semakin kecilnya ukuran butir. Gilkes dan Bolland (1992)
memperkuat hasil penelitian sebelumnya bahwa pemberian FA NC 3.5 pglg yang
diinkubasi selama 35 hari menunjukkan penurunan kelarutan dari 19% pada ukuran
Relative agronomic effectiveness (RAE) dapat dipergunakkan juga untuk
menilai kualitas FA berdasarkan tanggap tanaman. Penentuan RAE dapat dilakukan
di rumah kaca atau di lapang dengan membandingkan pengaruh pemberian FA
dengan pupuk P baku yaitu TSP atau SP 36. Hammond dan Leon dalam McClelland
dan Van Kauwenvergh (1992) mengelompokkan kelarutan FA dalam empat tingkat
yaitu: tinggi, sedang, rendah, dan sangat rendah dengan nilai RAE masing-masing
> 90,90
-
70,70-
30 dan < 30 %.Ciri Kimia Tanah
Khasawneh dan Doll (1 978) serta Gilkes dan Bolland (1 992) mengidentifikasi
beberapa ciri kimia tanah yang dapat mengendalikan kelarutan FA dalam tanah
diantaranya adalah:
1. Konsentrasi H' dalam larutan tanah dan daya sangga H' dalam tanah.
2. Konsentrasi P larut dan daya sangga P dalam tanah.
3. Kosentrasi Ca larut dan daya sangga Ca dalam tanah.
4. Kadar bahan organik dalam tanah.
Chien (1992) melaporkan bahwa peningkatan pH tanah dapat menurunkan
kelarutan FA. Kelarutan FA dapat ditunjukkan oleh reaksi sederhana sebagai berikut
(Rajan et a/. , 1996):
CaiO(P04)6F2 + 12 H20 10 ca2+ + 6H2POi + 2 F + 120H-
Keseimbangan reaksi diatas adalah:
[ ~ a ' ~ ] ' ~ [ H ~ P O ~ ~ ~ [FI~
-
KsP---
-
---
Hidrolisis FA menghasilkan anion seperti
OH-
dan F ke dalam larutan tanah. Semuaanion tersebut dalam tanah masam akan bereaksi dengan H' (Chien, 1977 dan
Chien, 1992). Netralisasi fosfat dan anion lain pada tanah masam deh H' &pat
dikatakan sebagai daya dorong (driving force) kelarutan FA baik karbon apatit
ataupun flour apatit. Berdasarkan reaksi keseimbangan di atas menunjukkan bahwa
semakin besar penyediaan proton menyebabkan kelarutan FA semakin tinggi.
Reaksi tersebut juga dapat menjelaskan mengapa kelarutan FA relatif cepat pada
tanah masam dan relatif lambat pada tanah alkalin. Prasetyo (1993) dalam
penelitiannya pada tanah-tanah rnerah di Jawa Barat rnengemukakan bahwa
kelarutan FA nyata berkorelasi positif dengan Aldd dan H'. Sementara itu, Boland
dan Hedley dalam Rajan et al. (1996) mendapatkan korelasi negatif antara pH-H20
dengan P-tersedia yang diekstrak dengan 0.5 M NaOH.
Berdasar hukum aksi masa, konsentrasi hasil kelarutan (solubility product)
yang meningkat akan menekan kelarutan FA (Rajan et a/., 1996). Jika konsentrasi
anion hasil reaksi lebih besar dari nilai K,,, maka FA menjadi tidak larut. Konsentrasi
fosfat dalam tanah pada kondisi alami adalah sangat rendah yaitu sekitar
lo-'
M danmempunyai fluktuasi yang kecil. Menurut Kirk dan Nye dalam Rajan et al. (1996)
daya sangga P relatif rendah dalam mempengaruhi kelarutan FA.
Kadar ~ a ' ~ dalam tanah lebih beffluktuasi dibandingkan kadar P dalam
tanah. Kadar ~ a ' ~ rata-rata adalah sebesar
loa
M, dengan demikian kadar ~ a ' ~tanah lebih besar peranannya dalam mempengaruhi kelarutan FA dibandingkan
kadar fosfat. Kadar Ca dalam larutan tanah berkorelasi negatif dengan kelarutan FA.
Pupuk P yang larut air seperti TSP maupun SP 36 akan lebih efektif bila
diberikan dalam barisan tanaman, sedangkan FA akan lebih efektif bila disebarkan
dalam Rajan et a/. (1996) mengemukakan bahwa bobot kering tanaman gandum
tertinggi dicapai pada pemberian FA NC yang diaduk merata dengan tanah, diikuti
dengan pemberian FA yang disebar dipermukaan, dan FA yang diberikan dalam
barisan tanaman. Rendahnya kelarutan FA dalam barisan tanaman disebabkan
rendahnya penyediaan H' dan terakumulasinya hasil reaksi dari kelarutan FA,
seperti Ca dan P.
Menurut Rajan et a/. (1996), bahan organik dapat meningkatkan kelarutan FA
sedikitnya oleh dua alasan yaitu: (1) bahan organik mempunyai KTK yang besar
(lebih 200 cmollkg), (2) trasforrnasi kimia dan mikrobilogi menghasilkan asam-asam
organik. Selain itu, bahan organik dapat meningkatkan kelarutan FA melalui
peningkatan daya sangga Ca, menghasilkan proton, dan pengkelatan kation.
Tanaman
Tanaman dapat mempengaruhi kelarutan FA melalui sekresinya diantaranya
adalah mengubah pH pada rizosfer. Perubahan pH pada rizosfer mengakibatkan
ketidakseimbangan anion dan kation. Jika jumlah ekuivalen kation yang diserap
melebihi anion, maka tanaman akan melepas H' ke larutan tanah untuk
mempertahankan muatan listrik pada interface akar-tanah, pada kondisi demikian
pH tanah menurun. Sebaliknya, jika anion yang diserap lebih banyak dari kation,
akan te rjadi eflux OH' dan akan te Qadi HCG-, maka te rjadi peningkatan pH pada
Pengaruh FA terhadap Ciri Kimia Tanah
Pemberian FA ke dalam tanah akan mengakibatkan perubahan-perubahan
reaksi dan keseimbangan baru dalam tanah, walaupun lambat dalam melepas P.
Pemberian FA dapat meningkatkan kadar P dalam tanah, serta kadar hara lain
seperti Ca.
Pemberian FA Christmas pada takaran 38 kg Plha yang diberikan setiap
musim tanam dapat meningkatkan kadar P-terekstrak Colwell, walaupun
peningkatannya lebih rendah dibandingkan pemberian SP 36 yang disertai kapur
(Santoso et a/., 2000). Penggunaan FA Lamongan dan FA Bogor yang diberikan
pada tanah masam Jasinga dan Sitiung IV dapat menurunkan Al-dd, meningkatkan
pH tanah, P-Olsen, Ca-dd, serta menurunkan kapasitas jerapan P, dan konstanta
energi pengikatan P (Idris, 1995a).
Pengaruh FA temadap pH dapat meningkatkan ataupun tidak ada
pengaruhnya, tergantung pada takaran yang diberikan dan reaktivitasnya serta
kadar Ca dan Al dalam tanah. Chien (1992) mengemukakan bahwa pemberian FA
Sechura dengan takaran 400 mg Plg tanah yang diikubasi selama 90 hari pada
Oxisol Columbia dapat meningkatkan pH tanah menjadi 5.0 atau meningkat sebesar
0.37 unit dibandingkan tanpa FA. Fosfat alam Huila dengan kandungan 10%
karbonat bebas meningkatkan pH sebesar 1.4 unit dari pH awalnya yaitu sebesar
4.8.
Hammond dalam Chien (1992) dalam penelitiannya menggunakan empat
macam FA melaporkan bahwa terdapat korelasi sangat nyata antara P-Bray I
dengan kelarutan FA dalam asam sitrat 2%. Peningkatan takaran FA meningkatkan
P-Bray I. Semakin lama waktu inkubasi menyebabkan kadar P-Bray I semakin
meningkat.
Chien, Hammond, dan Leon (1987) mengemukakan bahwa transfonnasi
bentuk-bentuk P dalam tanah setelah 5 tahun dari 6 macam FA dan TSP pada
Oxisols Cdumbia menghasilkan kadar Fe-P, AI-P dan Ca-P lebih besar
dibandingkan Tanpa P. Diantara bentuk-bentuk P tersebut, kadar P yang terikat Fe
lebih besar dibandingkan kadar AI-P maupun Ca-P. Sekitar 80
-
98YO
FA yangdiberikan sudah dapat terdekomposisi, sedangkan TSP sudah semuanya
terdekomposisi dalam lima tahun. Pumomo, Sutisni, dan Santoso, (2001)
melaporkan bahwa pemberian FA Christmas dan SP 36 takaran 38 kg Plha pada
Oxic Dystrudept selama 7 musim tanam menghasilkan kadar Fe-P, AI-P, dan Ca-P
lebih tinggi dibandingkan Tanpa P. Jika SP 36 dikombinasikan dengan bahan
organik dari pupuk kandang kotoran sapi dan pangkasan kacang-kacangan
Stylosanthes guyanensis, kadar Fe-P dan AI-P meningkat, tetapi bila kedua bahan
organik tersebut dikombinasikan dengan FA, maka kadar Fe-P dan AI-P menurun.
Peningkatan Kadar Fe-P dan AI-P oleh SP 36 dan penurunan Fe-P dan AI-P oleh FA
berhubungan dengan sifat kelarutan pupuk tersebut berbeda. Pupuk SP 36 lebih
cepat larut dari FA, sehingga begitu fosfat terlepas akan secepatnya diikat oleh
komponen tanah. Heng, Rachman, dan Ahmad (1992) mengemukakan bahwa
pemberian DSP pada tanah masam di Malaysia menyebabkan fosfat relatif lebih
banyak diikat oleh Al, sedangkan pada pemberian FA Christmas, fosfat dalam tanah
lebih banyak ikat oleh Ca dan Fe. Penggunaan pupuk P yang kelarutannya tinggi
seperti DSP, fosfat akan diserap tanaman atau berubah menjadi bentuk yang tidak
dan AI-P, lebih besar dari Ca-P. Sebaliknya, pemberian pupuk P larut air yang
disertai kapur kadar Fe-P dan AI-P lebih rendah, dibandingkan Ca-P.
Kemampuan tanah mengerap fosfor merupakan suatu ha1 yang penting
dalam kaitannya dengan rekomendasi takaran P y m g diberikan agar diperoleh
respon yang baik. Pemberian bahan amandemen CaCOj dan CaS04 dapat
menurunkan erapan P maksimum dan meningkatkan kadar P dalam keseimbangan
pada Ultisol dan lnceptisol Rwanda (lyamuremye et sl., 1996). Smyth dan Sanchez
(1980) mengemukakan bahwa kebutuhan pupuk P untuk mencapai 0.2 ppm P
dalam keseimbangan dapat menurunkan erapan fosfat sebesar 65%. Erapan
fosfat dapat diturunkan lagi menjadi 85
-
91% bila pemberian pupuk P disertaibahan amandemen seperti CaC03 dan CaSi03 sebanyak 2 x Al-dd. Selanjutnya,
dikemukakan bahwa pemberian P dan bahan amandemen dapat meningkatkan
muatan negatif sebesar 34%. Wtgena (2001) melaporkan bahwa jerapan P
maksimum pada Oxic Dystropept, Jambi sebesar 1428 ppm P dapat diturunkan
menjadi 1000 ppm P dengan pemberian kapur. Gilkes dan Hughes (1994)
menyarankan menggunakan pH-NaF sebagai salah satu indikator erapan P tanah
Barat Daya Australia. Dikemukakan juga bahwa erapan P berkorelasi nyata dengan
Al-ditionat, Al-oxalat, Al dan Fe-pimfosfat, dan kadar liat.
Ion fosfat mempunyai afinitas yang sangat kuat terhadap Fe dan Al. Fosfat
dijerap oleh koloid tanah dengan melepas H20 atau OH- dari ligan (Al atau Fe).
Tanah bertekstur liat yang didominasi oleh oksida atau hidmksida Fe atau Al, alofan,
imogolit; atau humus yang dikomplek Fe atau Al umumnya mempunyai jerapan P
yang tinggi (Wada, Xue-Yuan, dan Moody, 1990). Terdapat dua pendekatan untuk
mengetahui sifat jerapan dari Fe dan Al adalah (1) mengukur erapan P sebelum dan
P dengan jumlah Fe dan Al. Singh dan Gilkes (1991) melaporkan bahwa kadar liat,
Fe, dan Al dithionit; Fe dan Al oxalat, Al-pirofosfat nyata positif mempengaruhi
erapan P maksimum dan konstanta energi jerapan pada tanah-tanah utama di Barat
Daya Australia. Dengan uji regresi Stepwise Al oxalat dan Al ditionat dapat
menerangkan lebih dari 75% erapan P maksimum.
Kadar P dalam keseimbangan atau dalam larutan dapat digunakan untuk
menentukan takaran P. Me~iurui Fox dan Kamprath (1970), Smyth dan Sanchez
(1980), dan lyamuremye et a/. (1996) kebutuhan eksternal P sebesar 0.2 mg P L"
atau setara dengan 0.0064 mmol L" dalam larutan tanah merupakan kadar P
optimum untuk pertumbuhan tanaman. Kebutuhan pupuk P untuk mencapai
dipengaruhi oleh tekstur, kadar bahan organik, pemberian bahan amandemen,
pemupukan P, kadar dan jenis liat. Ganity, Mamaril, dan Soepardi (1990)
mengemukakan bahwa pada fase pertumbuhan tanaman jagung memerlukan kadar
P dalam larutan yang lebih tinggi yaitu sebesar 0.2 mg P L-' sedangkan pada fase
generatif sebesar 0.06 mg P L". Widjaja Adhi, Silva, dan Fox. (1990) mendapatkan
bahwa kebutuhan ekstemal P untuk tanaman jagung pada Typic Paleudult dari
Lampung adalah 0.016 pg Plml tanah. Fox dan Kang serta Pleaslee dan Fox dalam
Widjaja Adhi et a/. (1990) mengemukakan bahwa kebutuhan eksternal P di Nigeria
0,01 pg Plml dan 0,02 ug Plml. Hasil penelitian Kasno et a/. (2001) mendapatkan
bahwa kebutuhan P ekstemal untuk tanaman jagung pada Oxisol dari Sonay,
Pengaruh FA terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman
Penelitian menggunakan FA Maroko dan FA NC dengan takaran 1 tonlha
pada Ultisol di Terbanggi, Lampung selama 5 tahun menunjukkan bahwa pada
musim tanam pertama efektivitas FA lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan
400 kg TSP + 1 ton kapur/ha, namun pada musim-musim tanam selanjutnya FA
memberikan efek residu yang lebih baik (Puslittanak, 1993). Pemberian FA Ciamis
takaran 60 kg Plha pada Plintic Kandiudult, Terbanggi-Lampung menghasilkan biji
jagung yang tidak berbeda nyata dibandingkan TSP, tetapi keduanya nyata lebih
tinggi dibandingkan FA NC dan FA Christmas. Hal ini disebabkan FA Ciamis dan
TSP mempunyai P-larut dalam asam sitrat dan asam mineral lebih besar dari FA NC
dan FA Christmas (Mulyadi dan Pumomo, 1997).
Pemberian FA takaran 150 kg P205/ha dari deposit Lamongan dan
Bojonegoro nyata meningkatkan bobot kering tanaman tebu varietas PS 77-1553
yang ditumbuhkan dalam pot dan hasil dari penggunaan FA ini setara dengan
penggunaan SP 36. Respon positif tanaman tebu pada Ultisol, Subang disebabkan
oleh peningkatan ketersediaan P dan Ca dalam tanah (Idris et al., 1997).
Pemberian FA Bogor dan Lamongan takaran 100 mg/150 g tanah dapat
meningkatkan bobot kering tanaman Agrotis sp. sebesar 2.6
-
2.9 kali lebih besardibandingkan perlakuan Tanpa P dan meningkatkan L value (Idris, 1995a). Nilai
RAE dari kedua FA tersebut adalah sekitar 74
-
98 % dibandingkan TSP.Pemberian FA Ciamis 80 kg P/ha pada tanah Plintic Kandiudult Lampung
dapat meningkatkan hasil jagung menjadi 125% dan nilai RAE menjadi 188% lebih
tinggi dari perlakuan Tanpa FA. Fosfat alam Ciamis dan FA Hubei memberikan efek
residu yang lebih baik pada musim tanam berikutnya dibandingkan SP 36. (Kasno,
Bobot kering tanaman dan hasil biji jagung nyata dipengaruhi oleh pemberian
pupuk P pada Typic Hapludult dari Kampung Baru Pelaihari Kalimantan Selatan
(Subiksa et a/., 1998). Fosfat alam Ciamis takaran 100 kg P20s/ha menghasilkan biji jagung menjadi 3 kali dan nilai RAE menjadi 1.85
-
2.05 kali lebih besardibandingkan Tanpa P. Peningkatan pemberian kapur pertanian dari 1 hingga 4 tlha
yang dikombinasikan dengan SP 36 dapat meningkatkan hasil jagung menjadi 2.2
-
3.4 kali dari Tanpa kaptan dan Tanpa P, tetapi bila kaptan tersebut dikombinasikan
dengan FA Ciamis tidak berpengaruh nyata terhadap hasil biji jagung.
Bahan Organik dalam Tanah
Keberhasilan pengelolaan tanah mineral masam salah satunya ditentukan
oleh keberhasilan mempertahankanlmeningkatkan kadar bahan organik dalam
tanah. Perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi areal tanaman pangan atau
perkebunan dapat menurunkan kadar bahan organik secara drastis. Penurunan
kadar bahan organik ini diikuti oleh penurunan hasil tanaman pangan dari tahun ke
tahun. Pada tanah masam bahan organik berfungsi: meningkatkan kapasitas tanah
dalam memegang air, meningkatkan kapasitas tukar kation, meningkatkan
penyediaan hara tanaman, mempertahankan fosfat dan unsur mikro lebih tersedia,
dan dapat mengkompleks Al dan Fe, sehingga menurunkan kadar dan aktivitasnya
dalam larutan tanah (Von Uexkull, 1982). Penggunaan lahan secara tradisional yaitu
tebang, bakar, dan diusahakan tanaman pangan selama beberapa tahun dapat
menurunkan hasil tanaman. Salah satu penyebab menurunnya hasil tersebut
disebabkan oleh berkurangnya ketersediaan bahan organik dalam tanah (Hairiah et
keberlanjutan produksi tanaman yang bemubungan daiam penyediaan hara, sifat
kimia, fisika, dan biologi tanah.
Pengaruh Bahan Organik terhadap Ketersediaan P dalam Tanah
Tan (1984) menyatakan bahwa senyawa humat dalam tanah dapat berfungsi
sebagai agen regulator, di satu sisi bisa meningkatkan ketersediaan unsur hara.
Fungsi lainya adalah menekan kelarutan Al dan Fe. Penambahan bahan organik
dapat menurunkan Al-dd, meningkatkan pH, dan aktifitas mikroorganisme, serta
meningkatkan jumlah Al yang terkelat senyawa humat (Winarso, 1996 dan
lyamuremye et a/., 1996). Peningkatan pH ini penting dalam mengurangi aktivitas Al-
dd dan Fe-dd, sehingga dapat menurunkan jumlah P yang dierap. Pemberian pupuk
kandang 20
-
40 t/ha pada Ultisol Jambi meningkatkan kadar C-organik sebesar0.99 %C, 0.3 unit pH, dan menurunkan kejenuhan Al sebesar 57% (Pumomo, et a/.,
1 993).
Garrity et a/. (1990) mengemukakan pemberian sekam padi (20 % Si) dan
abu sekam (95 % Si) dapat meningkatkan hasil jerami padi pada Ultisol di Filipina.
Hasil penelitian Moersidi (1993) pada Ultisol Lebak menunjukkan bahwa pemberian
pupuk kandang dan jerami padi yang diuji dengan regresi orthogonal polynomial
dapat meningkatkan kadar P-Bray I sangat nyata pada inkubasi 3 bulan. Peranan
bahan organik dalam menyediakan fosfat makin meningkat dengan makin lama
waktu inkubasi. Peningkatan P-Bray I karena penambahan bahan organik
disebabkan oleh mineralisasi bahan organik dalam tanah. ldris et a/. (1997)
mengemukakan bahwa pemberian blotong sebagai sumber bahan organik dapat
menurunkan kelarutan Fe dan Mn, sebaliknya meningkatkan kadar P tersedia pada
Puwanto dan Sutanto (1997) mengemukakan bahwa gugus fungsional
bahan organik berperan aktif dalam menekan kelarutan AI'~ dan meningkatkan
ketersediaan P dalam tanah. Hasil dekomposisi bahan organik dari legum dapat
menufunkan kadar AI'~ yang lebih besar dibandingkan hasil dekomposisi non legum
yaitu 75% dan 15%. Gugus fungsional bahan organik yang terbentuk menghalangi
proses pengikatan fosfat oleh Al bebas, sehingga ketersediaan P menjadi lebih
besar.
Pengaruh Bahan Organik terhadap Efisiensi Pemupukan P dan Respons Tanaman
Senyawa organik dapat meningkatkan kelarutan pupuk P. Hal tersebut
disebabkan oleh (1) terbentuknya senyawa fosfo humik yang mudah diasimilasi
tanaman (2) pertukaran anion fosfat dengan anion asai senyawa organik, dan (3)
pengkelatan seskuioksida Al dan Fe oleh senyawa organik sehingga menurunkan
kemampuanya dalam memfiksasi fosfat (Ismunadji, Partohardjono, dan Karama,
1991).
Moersidi (1993) mengemukakan bahwa pemberian bahan organik dapat
meningkatkan efisiensi pemupukan TSP pada inkubasi 2 dan 12 minggu setelah
inkubasi (MSI). Peningkatan ini ditunjukkan oleh semakin meningkatnya nisbah P-
Bray I dengan jumlah pupuk P. Peningkatan efisiensi ini disebabkan oleh
kemampuan bahan organik dalam mengurangi pengikatan P oleh Al dan Fe. Dari uji
korelasi Pearson diketahui bahwa pada Haplohumult Lebak, kadar P-Bray I
berkorelasi nyata dengan kadar P-HCI 25%, ACKCl 1 N, AI-NH~OAC, Fe-NH40Ac, Al-
amorf dan pH tanah pada 2 MSI. Bahan organik baru berkorelasi nyata dengan P-
Pemberian bahan organik dari kotoran sapi, jerami, dan Flemingia congesta
dapat meningkatkan C-organik, KTK, dan N a - serta meningkatkan serapan P dan
Mg tanaman (Nursyamsi et a/., 1997 dan Kasno et a/., 1999). Hue dalam
lyamuremye et a/. (1996) mengemukakan bahwa pemupukan P inorganik lebih
efisien bila diberikan bersamaan dengan bahan organik seperti pupuk hijau dan
pupuk kandang.
Menurut Fox dan Kamprath (1970) pemberian bahan organik dapat
mengurangi kebutuhan pupuk P untuk mencapai kadar P dalam larutan sebesar 0.2
pg Plml ( Pas). Hal ini disebabkan aluminium dikompleks oleh molekul organik atau
Al mengendap bersama OH- yang dilepas dan pertukaran ligan. ldris et a/. (1997)
dalam penelitiannya mendapatkan bahwa pemberian FA dan TSP pada perlakuan
blotong memberikan respon tanaman lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan
tanpa blotong. Kenaikan respon tanaman tebu pada perlakuan blotong disebabkan
oleh: (1) peranan bahan organik (blotong) dalam kontribusinya dalam perbaikan
nutrisi P dan Ca bagi tanaman yang tercermin dari hasil serapannya; dan (2) blotong
dapat mengkelat unsur-unsur beracun dalam tanah seperti At, Fe, dan Mn. Dengan menurunnya kelarutan unsur beracun tersebut, maka akar tanaman tidak saja
terhindar dari keracunan, tetapi juga diperbaikinya kondisi beberapa ciri kimia tanah,
terutama ketersediaan P.
Efisiensi FA dengan Metode Isotop.
Efisiensi penggunaan pupuk adalah ukuran kuantitatif serapan hara aktual
yang berasal dari pupuk oleh tanaman dalam hubungannya dengan hara yang
ditambahkan dalam tanah (Zapata, 1986). Salah satu metode yang digunakan
menggunakan isotop. Asumsi dasar metode isotop adalah bahwa perilaltu isotop
dan karier identik dalam sistem tanah dan tanaman.
Penelitian dengan metode ini dapat dilakukan dengan menambah pupuk
berlabel ke dalam tanah, dan selanjutnya ditetapkan hara yang diserap tanaman.
Namun demikian, tidak semua pupuk dapat dilabel dengan unsur radio aktif.
Terhadap pupuk alamiah seperti bentuk FA, pelabelan tidak dilakukan karena akan
merubah sifat alamiah FA itu sendiri, sehingga digunakan pendekatan lain yaitu
dengan menggunakan teknik pengenceran isotop. Teknik ini dilakukan dengan
pelabelan tanah dengan larutan radio isotop dan menggunakan tanaman untuk
mengukur tingkat ketersediaannya. Pada metode pengenceran larutan K H ~ ~ ~ P O ,
yang memiliki kadar P rendah tetapi mempunyai radio aktivitas yang tinggi. Hal ini
dimaksudkan agar penambahan P dari K H ~ tidak mengubah konsentrasi P ~ ~ P ~ ~
dalam tanah dan radio aktivitas 3 2 ~ dalam tanaman diperoleh cukup besar.
Pada tanah yang tidak diberi pupuk P, hampir 100% hara P yang diambil
oleh tanaman berasal dari tanah. Dengan pemberian pupuk P, maka tanaman akan
menyerap P yang berasal dari tanah dan dari pupuk (Zapata dan Axmann. 1994)
Dengan menggunakan teknik radio isotop proporsi serapan dari masing-masing
komponen tersebut dapat diketahui. Dengan menggunakan teknik yang sama dapat
diketahui juga bahwa meningkatnya takaran TSP mengakibatkan menurunnya
efisiensi pemupukan P yang menggunakan TSP pada kelapa sawit (Martoyo et a/.,
1999) maupun tanaman pangan (Rasjid, Sisworo, dan Sisworo, 1998). Rasjid et a/.
(1998) dengan menggunakan =P mendapatkan bahwa serapan P yang berasal dari
FA Lamongan pada pola tanam padi-kedelai-kacang hijau adalah sebesar 26
-
87%. Efisiensi pemupukan P dari FA tersebut sangat rendah yaitu 0.44
-
1.48; 0.26-Pelacakan hara P pada musim tanam (MT) padi ke empat didapatkan bahwa hara P
yang diserap oteh padi tinggal 3
-
11 % dibandingkan jumlah hara P dari TSP padaMT-1 (Idawati et a/., 1998). Hasil ini menunjukkan bahwa tanah tersebut perlu pupuk
P lagi untuk meningkatkan hasil padi.
Rasjid, Sisworo, dan Sisworo, (1997) mendapatkan efisiensi pemupukan P
pada tanaman jagung yang ditanam pada percobaan lapang dengan menggunakan
FA Lamongan dan FP, Bojonegorc masing-masing sebesar 3.39 dan 3.31 %,
sedangkan SP 36 sebesar 6.76%. Lebih besamya efisiensi pemupukan P dari SP 36
diikuti juga oleh bobot kering tanaman dan serapan P yang lebih tinggi dibandingkan
FA yang digunakan. Peningkatan cacahan per menit (cprn)/g contoh pada tanarnan
yang tidak dipupuk P lebih tinggi dari tanaman yang dipupuk P. Hal ini berkaitan
dengan tanaman yang tidak dipupuk P hanya akan menjerap P dari tanah yang
sudah dilabel 3 2 ~ . Tanaman pada tanah yang dipupuk P akan menjerap P yang
berasal dari tanah dan dari pupuk, sehingga cpm pada tanaman akan menjadi lebih
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan dalam dua tahap yaitu: (1) percobaan di laboratorium
untuk mempelajari perubahan ciri kimia tanah, dan (2) percobaan di rumah kaca
untuk mempelajari respons tanaman jagung serta efisiensi pemupukan P.
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan April hingga Nopember 2001. Penelitian
Laboratorium dan Rumah Kaca dilaksanakan di Laboratorium Kimia Tanah dan
Rumah Kaca Laladon, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat,
Bogor. Penimbangan bobot kering dan analisis tanaman jagung dilaksanakan di
Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan lsotop dan Radiasi, Badan
Tenaga Atom Nasional, Jakarta.
Bahan dan Alat
Tanah untuk percobaan diambil dari Sitiung IIIC, Sumatera Barat. Tanah
diklasifikasikan sebagai Typic Hapludox (USDA 1998). Deskripsi profil dan analisis
sifat fisik dan kimia tanah dari contoh tanah profil disajikan pada Tabel Lampiran 1
dan 3. Contoh tanah bulk untuk penelitian diambil secara komposit pada kedalaman
0
-
30 cm dan hasil analisis sebelum percobaan disajikan Tabel Lampiran 2.Sebagai pupuk P digunakan FA Ciamis yang dikemas dalam karung 50 kg
dan sebagai sumber bahan organik digunakan kompos kotoran sapi (pukan). Kadar
ham yang terkandung dalam FA dan pukan disajikan pada Tabel Lampiran 7. Pupuk
dasar yang digunakan adalah Urea, Mo-heksamolibdat, CuS04, ZnS04, NH4N03,
Tanaman indikator yang digunakan adalah jagung hibrida C3. Untuk
mengetahui efisiensi pemupukan P digunakan radio isotop =P dalam bentuk
senyawa KH~*PO~. Bahan lain yang digunakan adalah ember plastik, kantong
plastik beberapa ukum, kertas saring, kertas karton, spidol, rafia, jirigen, terpal,
botol plastik, botol film, botol kocok.
Alat yang digunakan adalah pH-meter model 520A, Spectrophotometer
model UV-120-01 dan model U-2000, Atomic absorption Spectrophotometer (AAS)
model AA-00 dan model Z8230-UV, flame photometer, oven, sentrifuse, pipet
volume, pipet ukur, mikro pipet, tabung reaksi, tabung sentrifuse, mesin pengocok,
dan timbangan analitik.
Pelaksanaan Percobaan
Penentuan Takaran FA
Kadar P dalam keseimbangan dapat digunakan untuk menentukan takaran P
yang diberikan. Fox dan Kamprath (1970); Smyth dan Sanchez (1980),
mengemukakan bahwa kadar P dalam larutan sebesar 0.2 pg Plml atau setara
dengan 0.0064 mmol I-' merupakan kadar P optimum dalam keseimbangan agar
tanaman dapat tumbuh optimum.
Takaran FA untuk mencapai Po.* ditentukan dengan cara menginkubasi tanah
1010s saringan 2 mm sebanyak 400 g bobot kering mutlak (BKM). Tanah diinkubasi
selama 4 minggu pada 100% kapasitas lapang. Takaran FA yang diberikan adalah
0, 25, 50, 75, 100, 200, 300, 400, 500, 750, 1000, 1250, dan 1500 pg Plg tanah.
Analisis P larut air dilakukan setiap minggu yang dimulai pada 2 minggu setela