EFIKASI SUPLEMENTASI BESI-MULTIVITAMIN
TERHADAP PERBAIKAN STATUS BESI REMAJA WANITA
DODIK BRIAWAN
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Efikasi Suplementasi
Besi-Multivitamin terhadap Perbaikan Status Besi Remaja Wanita adalah karya sendiri
dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2008
Status Besi Remaja Wanita. Dibimbing oleh HARDINSYAH, MUHILAL, BUDI SETIAWAN, dan SRI ANNA MARLIYATI.
Anemia merupakan masalah gizi mikro yang banyak terjadi pada setiap tahapan siklus kehidupan manusia, termasuk remaja wanita. Meskipun defisiensi asupan zat besi dianggap sebagai penyebab utama anemia, tetapi defisiensi vitamin juga turut berperan didalam perbaikan status besi. Tujuan studi ini adalah untuk mengkaji efikasi suplementasi besi-multivitamin terhadap perbaikan status besi pada kelompok remaja wanita.
Desain yang digunakan adalah studi eksperimental (randomized control trial), dengan sampel sebanyak 224 remaja berusia 17-20 tahun mahasiswi tingkat satu di Institut Pertanian Bogor (TPB-IPB) yang tinggal di Asrama tahun 2005/2006. Sampel dialokasikan secara acak kedalam tiga kelompok perlakuan, yaitu kelompok kontrol, kelompok B-F (besi 60 mg, folat 250 ug), kelompok B-MV (besi 60 mg, folat 800 ug, vitamin A 4200 ug, vitamin C 500 mg, vitamin B12 16,8 ug). Suplemen dikemas dalam bentuk kapsul dengan ukuran dan warna yang sama, sehingga sampel tidak mengetahui jenis perlakuan yang diberikan. Kapsul diberikan seminggu sekali selama 25 minggu. Selama suplementasi, sampel diberi makanan tambahan berupa snack dan minuman senilai kurang lebih 250-400 kkal/hari. Indikator status besi yang digunakan adalah hemoglobin (Hb), serum transferin reseptor (STfR), dan serum feritin (SF). Peubah yang potensial sebagai pengganggu diukur pada awal dan selama pelaksanaan suplementasi, meliputi karakteristik sosial-ekonomi, menstruasi, konsumsi pangan, ukuran anthropometri, jumlah kapsul, dan konsumsi makanan tambahan. Uji t-test digunakan untuk menganalisis perbedaan biomarker sebelum dan setelah suplementasi. Uji chi-square digunakan untuk mengetahui perbedaan distribusi peubah non-parametrik ketiga perlakuan. Uji efikasi status besi (∆Hb, ∆STfR, ∆SF) menggunakan Ancova dengan kovariat peubah pengganggu tersebut di atas dan status besi awal (baseline).
Jumlah sampel yang mengalami drop-out sebanyak 21 orang (9,4%), dengan alasan sering tidak pulang ke asrama 10 orang, sampel darah menjadi rusak/beku 4 orang, tidak mau melanjutkan minum kapsul 4 orang, tidak datang saat pengambilan sampel darah 3 orang. Rata-rata umur sampel adalah 18,5±0,6 tahun. Rata-rata lama menstruasi 6,4±1,5 hari, dan siklus menstruasi teratur selama 28,1±3,7 hari. Rata-rata pengeluaran bulanan selama tinggal di Asrama adalah Rp 476.985±177.651. Alokasi untuk membeli makanan sebesar Rp 212.660 (44,6%), minuman Rp 32.464 (6,8%) dan jajanan Rp 26.819 (5,7%). Rata-rata kepatuhan konsumsi kapsul cukup tinggi, yaitu sebanyak 22 dari 25 butir (89,7%) yang diberikan selama suplementasi.
menjadi 98,3%, protein 73,5% menjadi 87,1%; dan penurunan vitamin A 108,7% menjadi 108,4%, vitamin C 78,9% menjadi 62,7%, dan zat besi 52,7% menjadi 45,5%. Selama suplementasi, rata-rata asupan zat gizi dari PMT sebesar 342 kkal energi; 5,7 g protein; 83 RE vitamin A; 0,2 mg vitamin B12; 11 mg vitamin C; dan 2,9 mg zat besi.
Dengan uji Anova, peubah karakteristik sampel, seperti umur, sosial-ekonomi, menstruasi; asupan gizi makro dan mikro; indeks massa tubuh (IMT); asupan energi dan zat gizi; konsumsi makanan tambahan (PMT); dan kepatuhan minum kapsul diantara ketiga kelompok perlakuan tidak berbeda nyata (p>0,05).
Sebelum suplementasi, prevalensi mahasiswi menderita deplesi simpanan besi 41,7%, defisit besi eritropoiesis (IDE) 40,1%, anemia 25,1%, dan anemia gizi besi (IDA) 16,4%. Indikator biomarker awal, yaitu hemoglobin (Hb) dan serum ferritin (SF) pada ketiga kelompok tidak berbeda nyata (p>0,05), rata-rata 126,2±13,1 g/l dan 18,3± 15,9 ug/l. Namun untuk serum transferin reseptor (STfR) lebih baik pada kelompok kontrol dibandingkan dengan B-F dan B-MV, yaitu berturut-turut 5,8 mg/l; 7,9 mg/l; 11,8 mg/l, dan ketiganya berbeda nyata (p<0,05).
Setelah suplementasi tidak terdapat perbedaan nyata (p>0,05) kenaikan Hb diantara ketiga kelompok, yaitu 10,6 g/l (kontrol), 9,3 g/l F), dan 10,4 g/l (B-MV). Kapsul B-MV berhasil memperbaiki status besi transpor, yang ditunjukkan oleh penurunan STfR dibandingkan dengan kelompok B-F dan kontrol. Perubahan STfR (adjusted) berturut-turut sebesar -4,2 mg/l, -1,3 mg/l, +0,9 mg/l, dan diantara ketiga kelompok perbedaannya nyata (p<0,05). Demikian pula kapsul B-MV berhasil meningkatkan SF secara signifikan (p<0,05) dibandingkan kontrol. Perubahan SF (adjusted) pada kelompok B-MV (+13,4 ug/l) lebih tinggi dibandingkan kelompok B-F (+5,1 ug/l) dan kontrol (-1,7 ug/l). Demikian pula indikator besi tubuh (body iron) pada kelompok B-MV terjadi peningkatan paling tinggi yaitu 2,5 mg/kg (dari 1,0 mg/kg menjadi 3,5 mg/kg), dibandingkan kapsul B-F sebesar 1,5 mg/kg (dari 1,9 menjadi 3,4 mg/kg), dan kelompok kontrol justru menurun dari 2,7 menjadi 2,3 mg/kg. Uji Anova menunjukkan besi tubuh pada B-MV secara signifikan (p<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan B-F dan kontrol.
Kesimpulannya, penambahan multi-vitamin pada suplemen besi dengan dosis tertentu yang diminum seminggu sekali, jika dibandingkan kontrol secara signifikan dapat memperbaiki status besi yang ditunjukkan oleh perbaikan indikator STfR dan SF.
DODIK BRIAWAN. The Efficacy of Iron-multivitamin Supplementation on Improving Iron Status of Adolescent Females. Supervised by HARDINSYAH, MUHILAL, BUDI SETIAWAN, SRI ANNA MARLIYATI.
The study was aimed to analyze the efficacy of supplementation iron-multivitamin for improving the iron status of adolescent females through the randomized control trial. Subjects were 224 of the first grade university students (IPB) who were randomly allocated to three study groups. The first group received only placebo (control group); the second group received 60 mg iron, 250 ug folate (B-F group); the third group received 60 mg iron, 800 ug folate, 4200 ug retinyl acetate, 500 mg vitamin C, and 16.8 ug vitamin B12 (B-MV group). All supplements were distributed and consumed weekly during 25 weeks. The mean changes in Hb, STfR and SF among the groups were tested with Ancova and adjusted with BMI; capsule compliance; food/snack compliance; adequacy of energy, protein, vitamin A, vitamin C, iron; and baseline value of Hb, STfR, SF. The results showed the demographics and nutritional characteristics of samples were not significantly different. At the baseline, the mean of haemoglobin (Hb=126.2±13.1 g/l) and serum ferritin (SF=18.3±15.9 ug/l) were not significantly different among the three groups (p<0.05). However, the serum transferrin receptor (STfR) was lower in the control (5.8 ± 3.2 mg/l) than B-F (7.9 ±4.4 mg/l) and B-MV (11.8±5.5 mg/l). After 25 week of supplementation, the mean change of hemoglobin was not different among the three groups (10.1 g/l; p>0.05). The B-MV group significantly lower decreased in STfR (-4.2 mg/l) and higher increased in SF (+13.4 ug/l) compared to B-F and control group (p<0.05). Meanwhile, only the STfR in B-F group (-1.3 ug/l) was significantly lower than control group (p<0.05). This implied the important of the multi-vitamin to complement the iron supplementation.
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2008
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Oleh
DODIK BRIAWAN
GMK A561040051
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Departemen Gizi Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nama : Dodik Briawan
NIM : A561040051
Program Studi : Gizi Masyarakat & Sumberdaya Keluarga (GMK)
Disetujui:
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS Dr. Ir. Budi Setiawan, MS
Ketua Anggota
Prof. Dr. Muhilal, APU Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MS
Anggota Anggota
Diketahui:
Ketua Program Studi GMK, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS Prof. Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
permasalahan gizi yang banyak terjadi di masyarakat yaitu defisiensi zat besi. Pada tahun 1995, Dr. Pattanee Winichagon (INMU, Thailand) dan Dr. Geoffrey C. Marks (University of Queensland, Australia) telah memperkenalkan dan membimbing penulis untuk melakukan studi gizi besi pada anak remaja wanita SMP di Nakhon Phatom (Thailand) untuk penulisan tesis. Sehingga penulisan disertasi ini merupakan kelanjutan fokus penulis untuk mempelajari upaya perbaikan status besi, khususnya pada kelompok remaja. Hasil studi ini menunjukkan penambahan vitamin A, C, dan B12 selain kapsul standar besi-folat tidak hanya memperbaiki indikator hemoglobin, tetapi juga serum transferin reseptor, dan serum feritin.
Puji syukur alhamdulillah dipanjatkan ke haribaan Allah Subhanalahu Wata’ala yang telah meridhoi jerih payah dan usaha yang telah saya lakukan sehingga dapat menyelesaikan studi dan penulisan disertasi ini. Proses penelitian yang panjang sudah dilalui sejak persiapan sekitar bulan Juli 2005, dan kemudian pada setiap tahapan kegiatan telah banyak pihak yang membantu kelancarannya. Untuk itu pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada berbagai pihak yang telah berperan didalam proses ini.
Kepada Tim Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS (ketua) yang telah banyak memberikan masukan didalam merancang desain, analisis data, dan pembahasan. Semangat dan kejelian beliau sangat membantu penulis untuk tetap “berenergi” dan berupaya maksimalkan memperbaiki mutu penulisan. Prof. Dr. Muhilal, APU (anggota) telah banyak memberikan masukan untuk formulasi suplemen, masukan didalam penulisan dan rekomendasi beliau untuk memperoleh bantuan dari PT Kimia Farma. Dr. Ir. Budi Setiawan, MS (anggota) dan juga ketua tim kegiatan “Feeding Program” telah memberikan kepercayaan dan keleluasaan pada penulis untuk merancang riset ini, termasuk penggunaan dana yang cukup besar untuk analisis biomarker. Masukan yang kritis dan supervisi yang intensif selama di lapang telah membuat penulis untuk berhati-hati didalam proses pengumpulan data. Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MS (anggota) telah banyak memberikan masukan dan perhatian didalam penulisan, dan dengan sangat jeli dan kritis didalam mencermati outline dan redaksi penulisan.
berlangsung. Demikan pula kepada teman sejawat di Dept. Gizi Masyarakat: Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS; Dr. Ir. Dadang Sukandar, MSc, Dr.Ir. Siti Madanijah, MS, dr. Mira Dewi terima kasih atas sumbangan ide dan pemikiran melalui berbagai kesempatan dan diskusi informal.
Kepala Laboratorium Biokimia SEAMEO-UI dan staf (Mbak Asih dan Umi) telah memberi kemudahan didalam proses analisa biomarker. Tim Asisten Peneliti yang dengan tekun dan penuh tanggung-jawab telah membantu setiap tahapan kegiatan (Yuni Pradila, SP; Ratnasari, SP; Adi Praja, SP; Primadhani, SP; M Aries, SP; Meta Puspasari, SP; Marhammah, SP; Nurchasanah, SP; Agustin, Siswati, Yati, Ade, dan Lia yang telah dengan tekun membantu manajemen pengelolaan data. Terima kasih juga disampaikan kepada Ir. Titi Riani, MS yang menjadi penggerak utama saat pengumpulan data dan intervensi. Demikian pula dorongan dan kasih sayang dari keluarga (isteri Irawati, SP dan keponakan Moh. Nabil Ramadhan) telah membawa proses studi dan penulisan disertasi ini menjadi lebih berarti. Terima kasih pula atas dukungan dan do’a dari keluarga besar Bpk/Ibu Moestiko, Ir. Etik Purnawati, Tri Hermantoro, Ssos. MM di Jawa Timur; Keluarga Soetarno, BA di Jawa Tengah; keluarga Ir. Retnaningsih, MS; dan Ir. Purwoko di Bogor.
Akhirnya kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, saya menyampaikan terima kasih atas bantuannya. Sekecil apapun kontribusi Bapak/Ibu/saudara sekalian sangat berarti bagi saya, dan mudah-mudahan mendapatkan balasan sebagai amal ibadah dari Allah SWT. Dan apabila terdapat kesalahan dan khilafan selama ini, mohon dibukakan pintu maaf.
Pepatah mengatakan tidak ada gading yang tak retak, maka keseluruhan isi disertasi ini siap dikritisi dan diberikan masukan untuk perbaikan. Beberapa hasil studi masih perlu untuk dipublikasikan, agar dapat bermanfaat bagi masyarakat dan semua pihak yang memerlukannya.
Bogor, Januari 2008
Ibu Wartini yang dilahirkan di Kabupaten Trenggalek (Jawa Timur), 1 Juli 1966. Penulis melewati masa pendidikannya mulai dari SD sampai SMA di kota yang sama. Tahun 1984 melalui PMDK (sekarang USMI), penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor (IPB), kemudian memilih dan diterima di Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMSK). Selama kuliah S1 memperoleh beasiswa ikatan dinas dari World Bank melalui Proyek CHN-III.
Setelah lulus sarjana tahun 1989, mulai masa pengabdiannya sebagai tenaga asisten dosen di Laboratorium Gizi Masyarakat, Jurusan GMSK, IPB. Kemudian tahun 1995-1996 menyelesikan studi master degree di bidang community nutrition
di University of Queensland Australia dengan beasiswa dari pemerintah Australia (AUSAID). Selain mengajar dan meneliti, penulis pernah menjadi Sekretaris I Bidang Sarana Pendidikan dan Sumberdaya Manusia (1998-2000), dan Sekretaris I Bidang Akademik (2000-2004) di Jurusan GMSK, Faperta, IPB. Selain itu penulis juga pernah menjadi Sekretaris Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi (PSKPG) dari tahun 2001-2004. Pada tahun 2004, dengan beasiswa dari Program DUE-like (Dikti), akhirnya penulis memutuskan untuk melanjutkan pendalamannya di bidang ilmu gizi masyarakat di Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ...xv
DAFTAR LAMPIRAN ...xvii
PENDAHULUAN ...1
Latar Belakang ...1
Tujuan ...4
Hipotesis...4
Kegunaan ...4
TINJAUAN PUSTAKA ...5
Masalah dan Konsekuensi Anemia Gizi Besi ...5
Remaja dan Kebutuhan Zat Besi...9
Penyebab Rendahnya Status Gizi Besi ...13
Metabolisme Zat Besi ...16
Hemoglobin dan Sel Darah Merah...21
Penilaian Status Gizi Besi ...23
Peran Vitamin dalam Perbaikan Status Gizi Besi ...25
Program Perbaikan Status Gizi Besi ...34
KERANGKA PEMIKIRAN DAN DEFINISI OPERASIONAL ...40
Kerangka Pemikiran...40
Definisi Operasional ...43
METODE ...45
Desain dan Waktu Penelitian ...45
Formula Kapsul Suplemen...46
Cara Penentuan Sampel ...48
Pelaksanaan Suplementasi ...50
Jenis dan Cara Pengumpulan Data...52
Pengolahan dan Analisis Data...55
HASIL . ...58
Karakteristik Sampel...58
Latar Belakang Sosial Ekonomi Keluarga ...58
Keadaan Menstruasi ...60
Konsumsi pangan dan zat gizi...66
Kebiasaan Makan ...66
Konsumsi Pangan...69
Asupan dan Tingkat Kecukupan Energi ...74
Asupan dan Tingkat Kecukupan Protein...78
Asupan dan Tingkat Kecukupan Vitamin A ...80
Asupan dan Tingkat Kecukupan Vitamin C ...83
Asupan dan Tingkat Kecukupan Zat Besi...85
Konsumsi dan Asupan Energi dan Zat Gizi Makanan Tambahan (PMT) .87 Suplai dan Kepatuhan Konsumsi Makanan Tambahan (PMT)...87
Konsumsi Makanan Tambahan (PMT)...90
Suplementasi Kapsul...91
Kepatuhan Minum kapsul ...91
Manfaat dan Keluhan Setelah Minum Kapsul ...92
Status Zat Besi ...94
Kadar Hemoglobin (Hb) ...96
Kadar Serum Transferin Reseptor (STfR) ...100
Kadar Serum Feritin (SF)...103
PEMBAHASAN ...108
Pelaksanaan Suplementasi ...108
Karakteristik Sampel ...111
Konsumsi Pangan serta Asupan Energi dan Zat Gizi ...114
Konsumsi Makanan Tambahan (PMT) ...118
Kadar Hb, STfR, dan SF sebelum Suplementasi ...120
Pengaruh Suplementasi terhadap Hb, STfR, dan SF...122
Generalisasi Penelitian ...130
Implikasi ...131
KESIMPULAN DAN SARAN...135
DAFTAR PUSTAKA ...137
LAMPIRAN...145
1. Indikator terjadinya defiensi gizi besi pada wanita dewasa ...25
2. Rancangan kelompok perlakuan dan jenis suplemen...45
3. Jenis peubah dan cara pengumpulan data ...52
4. Karakteristik sosial ekonomi keluarga sampel
menurut kelompok perlakuan...59
5. Karakteristik sampel menurut keadaan menstruasi
dan kelompok perlakuan ...60
6. Karakteristik sampel menurut jenis pengeluaran dan kelompok perlakuan..63
7. Rata-rata berat, tinggi badan dan indeks massa tubuh sampel menurut
kelompok sebelum dan sesudah suplementasi ...64
8. Sebaran sampel menurut frekuensi makan lengkap dan kelompok
perlakuan sebelum dan sesudah suplementasi ...67
9. Sebaran sampel yang mengkonsumsi jenis makanan kurang
dari 5-7 kali/minggu sebelum dan sesudah suplementasi ...68
10. Rata-rata konsumsi menurut jenis pangan dan persentase sampel yang
mengkonsumsinya sebelum dan sesudah suplementasi ...70
11. Rata-rata persentase kontribusi asupan zat besi dari kelompok
pangan sebelum dan sesudah suplementasi...73
12. Rata-rata asupan energi dan tingkat kecukupannya menurut
kelompok sebelum dan sesudah suplementasi ...76
13. Perubahan biomarker menurut kategori tingkat kecukupan
energi (70% AKG) dan kelompok perlakuan ...78
14. Rata-rata asupan protein dan tingkat kecukupannya menurut
kelompok sebelum dan sesudah suplementasi ...79
15. Rata-rata asupan vitamin A dan tingkat kecukupannya
menurut kelompok sebelum dan sesudah suplementasi...81
16. Rata-rata asupan vitamin C dan kecukupannya menurut
kelompok perlakuan sebelum dan sesudah suplementasi ...84
17. Rata-rata asupan zat besi dan tingkat kecukupannya menurut
kelompok perlakuan sebelum dan sesudah suplementasi ...86
18. Rata-rata suplai zat gizi per hari dari makanan tambahan ...87
20. Rata-rata asupan zat gizi dari makanan tambahan
selama suplementasi menurut kelompok perlakuan...90
21. Sebaran sampel menurut tingkat kepatuhan
minum kapsul dan kelompok perlakuan ...92
22. Sebaran sampel menurut manfaat minum kapsul
dan kelompok perlakuan ...93
23. Sebaran sampel menurut keluhan sesudah minum kapsul
dan kelompok perlakuan ...94
24. Interpretasi kategori serum feritin dan serum
transferin reseptor untuk defisiensi zat besi ...96
25. Rata-rata kadar hemoglobin (Hb) menurut kelompok perlakuan
sebelum dan sesudah suplementasi ...97
26. Rata-rata selisih Hb, STfR dan SF menurut status anemia sebelum
suplementasi ...98
27. Rata-rata kadar serum transferin reseptor (STfR) menurut
kelompok perlakuan sebelum dan sesudah suplementasi ...101
28. Rata-rata selisih Hb, STfR dan SF menurut status IDE
sebelum suplementasi...102
29. Rata-rata kadar serum feritin (SF) menurut kelompok perlakuan
sebelum dan sesudah suplementasi ...104
30. Rata-rata selisih Hb, STfR dan SF menurut status deplesi
simpanan besi sebelum suplementasi...106
31. Rata-rata zat besi di dalam tubuh sebelum dan sesudah suplementasi
menurut kelompok perlakuan...107
1. Distribusi zat besi pada tubuh orang dewasa (Bothwell et al.
1979 diacu dalam Beard 2000) ...17
2. Proses penyerapan zat besi pada usus (Beard et al. 1996)...19 3. Peranan vitamin pada metabolisme zat besi dan eritropoiesis
(Hughes-Jone dan Wickramasinghe 1966 diacu dalam MIP 2000)...26
4. Kerangka operasional penelitian ...42
5. Persentase sampel yang mengalami keluhan menjelang dan saat
menstruasi ...62
6. Rata-rata asupan energi menurut hari kuliah dan libur
sebelum suplementasi...75
7. Persentase sampel menurut kategori tingkat kecukupan
energi sebelum dan sesudah suplementasi ...77
8. Rata-rata asupan protein menurut hari kuliah dan libur
sebelum suplementasi...79
9. Persentase sampel menurut kategori tingkat kecukupan protein
sebelum dan sesudah suplementasi ...80
10. Rata-rata asupan vitamin A menurut hari kuliah dan libur
sebelum suplementasi...81
11. Persentase sampel menurut kategori tingkat kecukupan vitamin A
sebelum dan sesudah suplementasi ...82
12. Rata-rata asupan vitamin C menurut hari kuliah dan
libur sebelum suplementasi ...83
13. Persentase sampel yang mengalami defisit vitamin C
sebelum dan sesudah suplementasi ...84
14. Sebaran asupan zat besi menurut hari kuliah dan libur
sebelum suplementasi...85
15. Persentase sampel menurut kategori tingkat kecukupan zat besi
sebelum dan sesudah suplementasi ...86
16. Persentase sampel menurut tingkat pengambilan makanan tambahan ...88
17. Persentase sampel menurut tingkat kepatuhan
konsumsi makan tambahan ...89
suplementasi...100
20. Distribusi kategori status serum transferin reseptor (STfR)
sebelum dan sesudah suplementasi ...103
21. Distribusi kategori status serum feritin (SF) sebelum dan sesudah
suplementasi...106
22. Tahapan terjadinya defisiensi besi dan perbaikan status besi
setelah suplementasi...123
1. Ethical clearance penelitian...146
2. Daftar kandungan energi dan zat gizi produk makanan tambahan ...147
3. Pernyataan kesediaan partisipasi penelitian (informed concent)...148
4. Kuesioner penelitian ...151
5. Tahapan analisis hemoglobin (Hb), serum feritin (SF) dan transferin reseptor (STfR) ...162
6. Rata-rata alokasi belanja bulanan menurut kelompok perlakuan ...166
7. Uji Anova kepatuhan minum kapsul besi ...167
8. Uji Anova dan post-hoc hemoglobin ...169
9. Uji Ancova dan estimasi selisih hemoglobin (Hb) ...172
10. Uji Anova dan post-hoc serum transferin reseptor (STfR) ...174
11. Uji Ancova dan estimasi serum transferin reseptor (STfR) akhir...177
12. Uji Anova dan post-hoc serum feritin (SF)...179
13. Uji Ancova dan estimasi selisih serum feritin (SF) ...182
Selama ini anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang secara
global banyak ditemukan di berbagai negara maju maupun sedang berkembang.
Penderita anemia diperkirakan hampir dua milyar atau 30% dari populasi dunia.
Kelompok rawan penderita anemia mulai dari usia anak pra-sekolah, anak
sekolah, remaja sampai dewasa; dan tidak hanya berasal dari kelompok
masyarakat dengan sosial ekonomi rendah. Salah satu program yang di
rekomendasikan WHO sejak awal tahun 1970-an adalah suplementasi besi-folat,
dan telah dilakukan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Namun demikian
perkembangan penurunan prevalensi anemia masih dinilai sangat lambat, yang
ditunjukkan oleh rendahnya penurunan angka prevalensi, dan bahkan di beberapa
negara malah terjadi peningkatan (WHO 2004).
Di dalam siklus hidup manusia, remaja wanita (10-19 tahun) merupakan
salah satu kelompok yang rawan menderita anemia. Prevalensi anemia di
Indonesia masih cukup tinggi, yang ditunjukkan oleh laporan Depkes (2005) yaitu
pada remaja wanita 26,50%, wanita usia subur (WUS) 26,9%, ibu hamil 40,1%
dan anak balita 47,0%. Sebanyak 10-25% remaja wanita yang tinggal di pedesaan
Indonesia sudah pernah menikah atau mengalami kehamilan (Depkes 2003). Pada
ibu hamil, anemia dapat menyebabkan kematian ibu, bayi, atau berat bayi lahir
rendah. Oleh karena itu, sasaran program perbaikan gizi pada kelompok remaja
wanita dianggap strategis didalam upaya memutus simpul siklus masalah gizi
(inter generation malnutrition problem) agar tidak meluas ke generasi selanjutnya (WHO 2004). Selain itu dampak anemia gizi besi pada remaja adalah menurunkan
produktivitas kerja dan juga akan menurunkan kemampuan akademis di sekolahan
(Beard 2001; INACG 2004).
Pada awalnya, program suplementasi zat besi direkomendasikan WHO
untuk diberikan kepada ibu hamil. Pada tahun 1968, suplementasi berupa zat besi
elemental 60 mg diberikan setiap hari kepada ibu hamil trimester kedua dan
ketiga. Kemudian tahun 1970 direkomendasikan penambahan asam folat kedalam
suplemen zat besi. Didalam perkembangannya, terdapat beberapa perubahan
diantaranya tentang jumlah dosis, jenis zat gizi, lama intervensi, dan sasarannya.
Saat ini target program suplementasi diperluas tidak hanya kepada ibu hamil,
tetapi juga anak balita, anak sekolah, dan wanita usia subur (Ekstrom 2001).
Studi efikasi dan efektifnes suplementasi berbagai zat gizi mikro (multi-micro nutrients) sampai sekarang terus dilakukan dan masih terbuka untuk dikembangkan guna mendukung keberhasilan program perbaikan status gizi besi
di masa mendatang.
Penyebab anemia tidak hanya karena defisiensi zat besi, tetapi juga terkait
dengan rendahnya zat gizi mikro lainnya seperti asam folat, vitamin A, vitamin C,
vitamin B12 dan riboflavin (Beard 2000; Allen dan Casterin-Sabell 2001; Allen
2002; Andrew 1999). Vitamin mikro tersebut relatif banyak dijumpai di dalam
berbagai sumber bahan pangan, baik pangan hewani maupun nabati (kecuali
vitamin B12). Meskipun vitamin tersebut banyak terdapat di dalam bahan
pangan, namun juga mudah mengalami kerusakan di dalam proses pengolahan,
selain tingkat bioavailibilitasnya yang rendah pada pangan asal nabati (Lotfi et al. 1996).
Sampai saat ini belum banyak studi tentang prevalensi defisit berbagai zat
gizi mikro (vitamin) tersebut di Indonesia, apalagi secara spesifik pada kelompok
remaja. Dari beberapa studi yang ada, misalnya prevalensi defisit vitamin A pada
remaja di Tangerang dan Jakarta sebesar 7-20% (Dillon 2005); di Surabaya,
Bangkalan, dan Sampang prevalensi sebesar 5-7% (Soekarjo et al. 2004). Diperkirakan sebanyak 50% balita di Indonesia masih mempunyai serum vitamin
A < 20 mcg/dl (Depkes 2005). Prevalensi defisit riboflavin remaja wanita sebesar
59-96% (Dillon 2005). Dari pendekatan asupan zat gizi di tingkat nasional,
dijumpai prevalensi rumahtangga yang defisit zat gizi (<50%AKG) cukup besar,
yaitu untuk zat besi 37,9%, vitamin C 53,8%, dan vitamin A 35,3% (Depkes
2005).
Di negara lain, kajian profil biomarker yang relatif lengkap untuk zat gizi
mikro tersebut diantaranya studi Ahmed et al. (2005) di Bangladesh pada remaja wanita 14-18 tahun, dan ditemukan prevalensi defisit asam folat 29%, riboflavin
89%, vitamin A 41%, vitamin B12 4,5%, dan vitamin C 6%. Survey di lima
cukup merata antar negara yaitu 40-50%, sedangkan prevalensi defisit asam folat
beragam yaitu antara 5-89% (Allen 2004).
Berdasarkan data tersebut di atas, untuk perbaikan status besi melalui
suplementasi zat besi kemungkinan diperlukan tambahan zat gizi lainnya
(multivitamin). Secara terpisah beberapa peneliti telah melakukan penambahan
zat gizi lain kedalam suplementasi zat besi, misalnya vitamin A (Suharno et al. 1993; Ahmad et al. 2001; Soekarjo et al. 2004; Tanumihardjo et al. 2004), vitamin C (Jayatissa dan Piyasena 1999), vitamin A dan vitamin C
(Angeles-Agdeppa et al. 1997) atau vitamin A dan riboflavin (Dillon 2005). Hasilnya menunjukkan dengan penambahan zat besi dengan zat gizi lainnya (vitamin),
diantaranya akan dapat memperbaiki status besi. Namun masih perlu dilakukan
studi lanjutan, dengan melihat efikasi gabungan besi-multivitamin (B-MV)
tersebut terhadap perbaikan status besi.
Selain masalah gizi mikro, kelompok remaja juga sering mengalami
kekurangan energi dan protein. Angka prevalensi gizi kurang (stunted) yang sangat tinggi di Asia diantaranya akibat kekurangan zat gizi makro yang kronis
(World Bank 2003; UNS-SCN 2004). Di Indonesia prevalensi gizi kurang (kurus)
pada remaja sebesar 17,4 % (Permaesih dan Herman 2005). Studi pendahuluan
yang dilakukan terhadap mahasiswi IPB, rata-rata mengalami defisit energi
sebesar 250-500 kkal (Fitri 2005). Oleh karena itu, IPB pada tahun ajaran
2005/2006 melakukan kegiatan perbaikan pangan dan gizi kepada mahasiswa
tingkat satu, dengan memberikan makanan tambahan berupa snack/minuman dan pendidikan gizi.
Suplementasi besi-multivitamin akan lebih efektif apabila kebutuhan
terhadap zat gizi makro sudah terpenuhi. Energi dan protein diperlukan pada
proses metabolisme zat besi di dalam tubuh mulai dari absorpsi, transportasi, dan
mobilisasi simpanannya (Beard et al. 1996; Wessling-Resnick 2000). Zat besi di dalam tubuh hampir 80% berikatan dengan protein, diantaranya adalah
haemoglobin, transferrin, transferrin receptor dan ferritin yang merupakan senyawa kompleks protein dengan zat besi. Senyawa tersebut juga dapat
digunakan sebagai indikator yang sensitif untuk penilaian status besi di dalam
Studi ini dilakukan untuk mengkaji efikasi kapsul besi-multi vitamin
(B-MV) terhadap perbaikan status besi pada kelompok remaja. Efikasi kapsul B-MV
tersebut diuji dengan membandingkannya dengan kapsul program pemerintah
besi-folat (B-F) dan kapsul plasebo. Suplementasi besi-multivitamin diberikan
kepada remaja wanita yang kebutuhan zat gizi makronya (energi-protein) sudah
relatif terpenuhi. Pertanyaan penelitian ini adalah: 1) apakah pemberian kapsul
besi-multivitamin akan meningkatkan hemoglobin?, 2) apakah pemberian kapsul
besi-multivitamin akan menurunkan serum transferin reseptor?, dan 3) apakah
pemberian kapsul besi-multivitamin akan meningkatkan serum feritin?
Tujuan
Tujuan umum penelitian adalah untuk mengkaji efikasi pemberian
suplemen besi-multi vitamin terhadap perbaikan status besi pada remaja wanita.
Secara khusus tujuan penelitian adalah:
1. Mengkaji efikasi suplementasi besi-multivitamin terhadap perbaikan
hemoglobin (Hb) pada remaja wanita.
2. Mengkaji efikasi suplementasi besi-multivitamin terhadap perbaikan
serum transferin reseptor (STfR) pada remaja wanita.
3. Mengkaji efikasi suplementasi besi-multivitamin terhadap perbaikan
serum feritin (SF) pada remaja wanita.
Hipotesis
1. Suplementasi besi-multivitamin (B-MV) meningkatkan kadar hemoglobin
lebih baik dibandingkan besi-folat (B-F) dan kontrol.
2. Suplementasi besi-multivitamin (B-MV) menurunkan kadar serum
transferin reseptor lebih baik dibandingkan besi-folat (B-F) dan kontrol.
3. Suplementasi besi-multivitamin (B-MV) meningkatkan kadar serum feritin
lebih baik dibandingkan besi-folat (B-F) dan kontrol.
Kegunaan
Hasil studi ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai masukan perbaikan
program suplementasi besi, khususnya untuk kelompok remaja dan wanita usia
subur (WUS) yang tidak hamil. Pengembangan formulasi suplemen
besi-multivitamin ini juga diharapkan dapat memperkaya kajian ilmiah yang mengarah
Anemia merupakan masalah gizi yang banyak terdapat di seluruh dunia,
yang terjadi tidak hanya di negara-negara sedang berkembang tetapi juga di
negara maju. Penderita anemia diperkirakan dua milyar, dengan prevalensi
terbanyak di wilayah Asia dan Afrika (UN-SCN 2004). Bahkan WHO
menyebutkan bahwa anemia merupakan 10 masalah kesehatan terbesar di abad
modern ini. Kelompok yang berisiko tinggi untuk penderita anemia adalah wanita
usia subur (WUS), ibu hamil, anak usia sekolah dan remaja. Meskipun demikian
kelompok pria juga tidak terlepas dari risiko menderita anemia (INACG, 2001).
Kurang lebih 50% kasus anemia di dunia kebanyakan diakibatkan oleh defisiensi
zat besi (INACG 2003; WHO 2004).
Kejadian anemia menyebar hampir merata di berbagai wilayah di dunia.
Berdasarkan wilayah regional, WHO melaporkan prevalensi anemia pada ibu
hamil yang tertinggi adalah di Asia Tenggara (75%), kemudian Mediteran Timur
(55%), Afrika (50%), serta wilayah Pasifik Barat, Amerika Latin, dan Karibia
(40%). Kasus anemia pada anak-anak (6-59 bulan), prevalensi tertinggi di Asia
Tenggara (65%), Mediterian Timur dan Afrika (45%), Pasifik Timur, Amerika
Latin dan Karibia (20%). Negara atau wilayah dengan prevalensi >10% pada satu
atau lebih kelompok rawan, dipertimbangkan sebagai wilayah yang mempunyai
masalah kesehatan masyarakat (MOST 2004).
Meskipun anemia sudah dikenal sebagai masalah gizi masyarakat selama
bertahun-tahun, namun kemajuan didalam penurunan prevalensinya masih dinilai
sangat rendah (WHO 2004). Bahkan di beberapa negara ditemukan terjadi
peningkatan prevalensi anemia pada wanita dewasa (Allen & Casterline-Sabel
2001). Berdasarkan klasifikasi masalah kesehatan masyarakat, prevalensi anemia
termasuk berat jika prevalensi ≥ 40%, sedang 20-39%, ringan 5-19,9%, dan normal < 5% (MOST 2004). Prevalensi anemia di Indonesia termasuk berada
pada kategori sedang, namun untuk beberapa kelompok umur termasuk kategori
berat. Prevalensi anemia di Indonesia masih cukup tinggi, dan perkembangannya
dari tahun 1995 sampai 2001 tidak menunjukkan penurunan yang nyata (Depkes
penderita yaitu, pada anak balita (47%) dan ibu hamil (40,1%) termasuk kategori
berat, sedangkan pada wanita usia subur kategori sedang (26,9%) (Depkes 2005).
Pada remaja wanita, data prevalensi anemia di dunia diperkirakan 46%
(Beard 2003). Di Indonesia dari laporan Depkes (2005) data prevalensi anemia
pada remaja wanita (15-19 tahun) sebesar 26,5%, dan pada wanita usia subur
26,9%. Hasil analisis Permaesih dan Herman (2005) prevalensi anemia remaja
(10-19 tahun) sebesar 25,5% dengan perincian laki-laki 21% dan 30% pada
perempuan. Prevalensi tersebut lebih besar di perdesaan (27%) dibandingkan
dengan perkotaan (22,6%).
Hasil studi di berbagai wilayah di Indonesia menunjukkan prevalensi
anemia pada remaja wanita cukup beragam. Prevalensi anemia di SMU Jakarta
Timur 17,2 % (Angeles-Agdeppa et al. 1997), di SMP dan SMU Jawa Tengah 57,4% dan Jawa Timur 80,2% (Depkes 2003), di SMU Tangerang 54% dan SMU
Jakarta Timur 45% (Dillon 2005), di Sekolah Madrasah Madura 48,1% (Sari et al.
2004), di SMP Jawa Timur 26% (Soekarjo et al. 2004), di SD Tangerang 26,7% (Kurniawan & Muslimatun 2005), dan mahasiswi IPB 23,4% (Setiawan et al.
2006).
Jumlah zat besi di dalam tubuh hanya sedikit (3-5 g) namun mempunyai
peranan yang sangat besar. Peran penting zat besi di dalam tubuh adalah untuk
membentuk hemoglobin dan membantu berbagai proses metabolisme tubuh.
Metabolisme tersebut diantaranya merubah pro-vitamin A menjadi vitamin A
aktif, transpor oksigen, pembentukan DNA/RNA, sintesa karnitin untuk
transportasi asam lemak, sintesa kolagen, dan sintesa neurotransmiter (Beard et al.1996; Agus 2005).
Anemia merupakan masalah gizi yang banyak dijumpai di berbagai negara,
dan mempunyai konsekuensi negatif terhadap kesejahteraan, kesehatan, sosial dan
ekonomi masyarakat. Termasuk diantaranya adalah gangguan perkembangan
kognitif, kemampuan kerja, meningkatkan resiko kematian saat persalinan dan
perinatal. Ramakrishnan (2001) menyebutkan gangguan fungsional anemia gizi
besi berbeda-beda berdasarkan tahapan siklus kehidupan manusia, yaitu mulai
saat kehamilan, bayi dan anak prasekolah, anak usia sekolah, dan usia dewasa.
dan termoregulasi (Beard 2001), sedangkan Benoist (INACG 2004) menyebutkan
konsekuensi utama anemia adalah gangguan kognitif dan pertumbuhan fisik pada
anak-anak, dan menurunnya produktivitas kerja pada orang dewasa. WHO (2004)
menambahkan bahwa anemia menjadi penyebab risiko kematian yang tinggi saat
kehamilan dan bayi.
Secara komprehensif AISAP (Australia Iron Status Advisory Panel) (2005) menyebutkan zat besi mempunyai peranan penting pada berbagai proses biokimia
di dalam tubuh. Oleh karena itu defisit zat besi dapat menyebabkan spektrum
gangguan biokimia yang luas, termasuk konsekuensi non-hematologi seperti
gangguan sistem imunitas, kapasitas kerja, dan fungsi neurologi. Konsekuensi
klinis dari anemia gizi besi (IDA) adalah: 1) Gangguan mental dan motorik pada
bayi. Review dari lima studi pada anak di empat wilayah dengan budaya yang
berbeda menunjukkan anemia menyebabkan rendahya skor mental dan motorik.
Rendahnya skor tersebut terjadi pada penderita anemia yang lebih dari tiga bulan
dibandingkan kurang dari tiga bulan, dan mempunyai konsentrasi hemoglobin
kurang dari 10,5 g/dL (anemia ringan). Studi tersebut juga menunjukkan bahwa
perbaikan status besi tidak memperbaiki skor mental dan motorik, dan
kemungkinan dapat bersifat permanen untuk usia selanjutnya. 2) Menurunnya
kemampuan akademik anak sekolah dan remaja. Meskipun beberapa studi
menunjukkan adanya hubungan tersebut, namun AIAP menilai belum banyak
studi yang dilakukan dengan metode dan desain yang baik. Oleh karena itu belum
jelas seberapa besar signifikansi gangguan intelektual penderita anemia pada anak
usia sekolah dan remaja.
Pada penderita defisit besi eritropoiesis (iron deficiency erythropoiesis =IDE) akan mengalami konsekuensi: 1) Gangguan kemampuan fisik. Banyak studi yang menunjukkan menurunnya kemampuan fisik akibat defisit besi yang
menyebabkan peningkatan konsentrasi laktat dalam darah. Penurunan fisik ini
bahkan sudah terjadi sejak tingkat defisit besi ringan (Hb normal), namun akan
pulih kembali setelah penderita diberikan kapsul suplementasi besi.
Mekanismenya adalah penurunan Hb akan menurunkan transpor oksigen, dan
kemampuan otot untuk menangkap oksigen menurun yang menyebabkan
terutama untuk kategori olah raga yang menuntut kemampuan endurance. 2) Gangguan fungsi neurologi. Studi dampak kognitif pada orang dewasa belum
banyak dilakukan, dan hasilnya juga masih beragam. Tingkat kelelahan kronis
(chronic fatique) dapat pulih kembali pada penderita defisit besi yang diberikan kapsul besi. Peningkatan serum feritin akan berhubungan dengan aktivasi syaraf
hemisphere terutama yang mempengaruhi kemampuan untuk memfokuskan
perhatian (AISAP 2005)
Gejala yang mengiringi defisit zat besi tergantung dari seberapa cepat proses
terjadinya anemia. Pada kasus kronis, yaitu kehilangan darah secara perlahan di
dalam tubuh, seseorang relatif dapat menyesuaikan diri pada konsentrasi Hb
rendah, sehingga tidak muncul gejala klinis. Pemeriksaan fisik, anemia
menyebabkan perubahan kulit, kuku, dan epitel lainnya. Atrofi kulit terjadi pada
sepertiga pasien penderita anemia, dan perubahan kuku (bentuk seperti sendok
dan mudah patah). Pasien juga menunjukkan angular stomatitis dan glositis (luka
pada ujung bibir). Meskipun jarang terjadi, kadang-kadang terdapat ganguan pada
jaringan tenggorokan dan kerongkongan. Perubahan ini karena gangguan enzim
yang mengandung besi yang diperlukan pada epitel dan saluran pencernaan
(Frewin et al. 1997). Sehingga untuk mengidentifikasi penderita anemia dapat dilakukan melalui pemeriksaan fisik. Gejala yang dapat dijumpai adalah cepat
lelah, pucat pada kulit, bibir, gusi, mata, kulit kuku, dan telapak tangan, jantung
berdenyut kencang, nafas tersengal, nyeri dada, pusing dan mata berkunang, cepat
marah, tangan dan kaki dingin atau mati rasa (UNICEF/UNU/WHO 2001).
Kejadian anemia tidak terlepas dengan masalah kesehatan lainnya, bahkan
dampaknya dinilai sebagai masalah yang sangat serius terhadap kesehatan
masyarakat. Masalah kesehatan masyarakat yang berkaitan kejadian anemia
adalah (MOST 2004): 1) Kurang lebih 20% kematian ibu hamil dan bayi baru
lahir diakibatkan oleh anemia. Kebanyakan studi menunjukkan kejadian tersebut
akibat anemia tingkat rendah dan sedang dari pada anemia berat. Risiko kematian
ibu dan bayi (perinatal) akan berkurang sebesar 25% dan 28% untuk setiap
kenaikan 1 g hemoglobin diantara 5-12 g/dl, 2) Anemia pada wanita hamil
mengakibatkan berat bayi lahir rendah dan rawan untuk meninggal saat perinatal,
produktivitas kerja pada orang dewasa (physical activity), 4) Pada anak-anak sekolah menyebabkan keterbatasan perkembangan kognitif (school achievement) sehingga prestasi sekolah menurun. Studi Haltermen et al. (2001) pada 5398 anak usia 6-16 tahun di USA menunjukkan bahwa nilai matematika lebih rendah pada
mereka yang defisit besi (anemi dan non-anemia) dibandingkan yang normal.
Anak-anak yang defisit besi (anemia dan non-aemia) mempunyai resiko 2,3-2,4
kali dibandingkan anak normal, untuk memperoleh nilai matematika dibawah
rata-rata.
Remaja dan Kebutuhan Zat Besi
Remaja atau adolescence adalah berasal dari bahasa Latin (adolescer) yang artinya tumbuh. Pada periode ini terjadi proses kehidupan menuju kematangan
fisik dan perkembangan emosional antara anak-anak dan sebelum dewasa.
Kategori periode usia remaja dari berbagai referensi berbeda-beda, yaitu antara
10-19 tahun atau 10-21 tahun (Krummel & Kris-Etherton 1996; Depkes 2001;
World Bank 2003). Beberapa permasalahan yang terkait dengan gizi akan terjadi
pada periode transisi kehidupan remaja ini.
Selama masa remaja akan mengalami pertumbuhan fisik yang sangat pesat.
Dibandingkan periode lainnya setelah kelahiran, masa remaja mengalami
pertumbuhan terpesat kedua setelah pada tahun pertama didalam kehidupan.
Lebih dari 20% total pertumbuhan tinggi badan dan sampai 50% massa tulang
tubuh sudah dicapai pada periode ini. Oleh karena itu kebutuhan zat gizi
meningkat melebihi kebutuhan pada masa anak-anak (Krummel & Kris-Etherton
1996).
Pada remaja wanita, puncak pertumbuhan (peak growth velocity) terjadi sekitar 12-18 bulan sebelum mengalami menstruasi pertama, atau sekitar umur
10-14 tahun. Pertumbuhan tinggi badan terus berlangsung sampai 7 tahun setelah
terjadi menstruasi. Maksimal tinggi badan wanita diperoleh paling awal pada usia
16 tahun, atau paling akhir 23 tahun (terjadi pada populasi yang kekurangan gizi).
Beberapa tahun setelah selesai pertumbuhan tinggi badan (2-3 tahun), tulang
pinggul masih tumbuh, sedangkan puncak masa tulang akan tercapai sampai usia
25 tahun. Proses optimalisasi pertumbuhan ini penting untuk mengurangi resiko
Proses biologis pada masa pubertas ditandai oleh cepatnya pertumbuhan
tinggi, berat badan, perubahan komposisi jaringan, dan terdapatnya perubahan
karakter seksual primer dan sekunder. Kebutuhan zat gizi paralel dengan laju
pertumbuhan, dan kebutuhan tertinggi zat gizi akan terjadi pada puncak
pertumbuhan tersebut. Karena terdapat variasi antar individu didalam kematangan
dan pertumbuhan, maka kebutuhan zat gizi berkorelasi dengan perkembangan
fisiologis daripada usia kronologis (waktu kalender). Misalnya seorang anak
perempuan usia 12 tahun yang sudah puber, kebutuhan zat gizinya akan berbeda
dibandingkan teman seusianya yang belum puber. Selama ini pengukuran tahapan
perkembangan pubertas remaja dengan menggunakan sexual maturation rate
(SMR) berdasarkan karakteristik seksual sekunder (Tanner 1962 diacu dalam
Krummel & Kris-Etherton 1996).
Perempuan yang berstatus gizi baik akan lebih cepat mengalami
pertumbuhan badan, dan akan lebih cepat mengalami menstruasi. Perempuan
yang berstatus gizi buruk pertumbuhannya akan pelan dan lama, serta
menstruasinya lebih lambat. Misalnya di India, puncak pertumbuhan berat dan
tinggi badan terlambat 18 bulan pada anak-anak yang mempunyai riwayat status
gizi kurang (stunting). Kondisi awal akibat stunting semasa anak, akan menentukan hasil akhir pencapaian tinggi badan setelah dewasa. Keterlambatan
menstruasi diantaranya dapat disebabkan oleh simpanan zat besi yang kurang di
dalam tubuh pada anak yang mengalami kurang gizi (ADB/SCN 2001).
Zat besi mempunyai peranan penting di dalam tubuh, yaitu komponen
hemoglobin, transpor elektron di dalam sel, dan komponen beberapa enzim
penting. Sebagian besar zat besi di dalam tubuh terdapat pada hemoglobin darah,
yaitu sebagai pengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh. Mioglobin
adalah bentuk simpanan protein yang mengandung zat besi terdapat pada jaringan
otot. Beberapa enzim yang mengandung zat besi (sitokrom) berperan pada
metabolisme oksidatif, yaitu sebagai pembawa elektron untuk tranfer energi di
dalam sel. Fungsi enzim yang mengandung besi lainnya, misalnya sitokrom P450,
untuk sintesa hormon steroid sehingga apabila terjadi defisiensi besi akan
Penghitungan keseimbangan zat besi dengan menghitung selisih antara zat
besi yang tertahan (retention) dengan kebutuhan zat besi (requirement) sudah dikenal sejak 50 tahun yang lalu (Beard et al. 1996 ). Zat besi yang tertahan adalah berasal dari asupan zat besi dan bioavailabilitasnya di dalam konsumsi
pangan. Kelebihan zat besi dibandingkan kebutuhan tubuh akan disimpan dalam
bentuk molekul feritin. Ketika terjadi keseimbangan negatif, simpanan feritin ini
dapat digunakan untuk mensuplai kebutuhan zat besi di dalam sel. Tubuh
mempunyai mekanisme yang unik untuk mempertahankan keseimbangan zat besi
tersebut. Pertama, menggunakan kembali zat besi dari proses katabolisme sel
darah merah, yaitu setelah 120 hari sel-sel yang mati dan terdegradasi oleh
makrofak pada reticular endeotelium. Kedua, zat besi dalam bentuk simpanan (feritin) akan dapat mensuplai jika terjadi defisiensi zat besi. Ketiga, mekanisme
yang melibatkan absorbsi zat besi di dalam usus, yaitu penyerapan akan
meningkat saat simpanan besi turun, dan penyerapan akan menurun ketika
simpanannya meningkat (FAO/WHO 2001).
Kebutuhan zat besi untuk remaja wanita ditentukan oleh kehilangan basal
zat besi di dalam dan di luar tubuh, kehilangan saat menstruasi, dan untuk
pertumbuhan. Kebutuhan zat besi tersebut menurut Hallberg (2001) dan
FAO/WHO (2001) diuraikan sebagai berikut:
Kehilangan zat besi basal. Kehilangan basal zat besi terdiri dari peluruhan sel-sel di permukaan eksternal dan internal tubuh. Zat besi tidak mengalami
ekskresi secara aktif, namun kehilangan zat besi di dalam sel dapat terjadi melalui
permukaan saluran intestin, urine dan pernafasan. Sebagai gambaran pada orang
dewasa, komponen kehilangan zat besi di dalam tubuh adalah dari sel darah merah
(turnover) rata-rata 0,38 mg Fe/hari, dari empedu 0,22-0,28 mg Fe/hari, peluruhan di saluran pencernaan ~0,24 mg Fe/hari dan urine ~ 0,5-1,0 mg Fe/hari (Bothwell
et al. 1979 diacu dalam Beard 2000 ). Median kehilangan zat besi pada remaja (15-17 tahun) sebesar 0,79 mg/hari. Pada wanita tidak menstruasi dengan berat
badan 55 kg, mengalami kehilangan zat besi 0,8 mg/hari dengan variasi antar
individu sebesar 15%. Kehilangan zat besi melalui keringat merupakan hal yang
perlu dipertimbangkan, terutama untuk di daerah tropis dan lembab. Namun studi
Kehilangan zat besi menstruasi. Tambahan kebutuhan besi untuk remaja wanita diantaranya diperlukan untuk menggantikan kehilangan zat besi selama
menstruasi. Pada usia remaja, kehilangan darah menstruasi tidak berbeda dengan
usia reproduktif lainnya. Berbagai studi antar negara menunjukkan kehilangan
zat besi pada darah menstruasi jumlahnya relatif sama. Rata-rata kehilangan darah
selama menstruasi 84 ml, sehingga setiap hari membutuhkan tambahan zat besi
0,56 mg. Pada individu yang sama tidak terdapat perbedaan kehilangan darah
menstruasi antar waktu (bulan), namun perbedaan tersebut dapat terjadi antar
individu (distribusi skewed). Rata-rata kehilangan zat besi pada siklus menstruasi 28 hari sebesar 0,56 mg/hari.
Kebutuhan zat besi untuk pertumbuhan. Kebutuhan zat besi pada bayi 4-6 bulan dapat diabaikan, karena cadangan yang masih mencukupi. Tetapi setelah
usia tersebut, ketika cadangan mulai berkurang, kebutuhan zat besi cukup tinggi,
terutama untuk kehidupan 18 bulan berikutnya. Pada remaja kebutuhan zat besi
yang tinggi terjadi terutama saat periode growth spurt. Rata-rata kebutuhan untuk pertumbuhan pada remaja 0,55 mg/hari. Namun karena terdapat variasi laju
pertumbuhan antar individu, maka kebutuhan zat besi dapat melebihi angka
rata-rata tersebut.
Pertumbuhan yang pesat selama remaja memerlukan banyak zat besi. Untuk
remaja pria, masa pubertas terkait oleh meningkatnya massa tubuh dan
konsentrasi hemoglobin. Kebutuhan untuk pria 20% lebih banyak dibandingkan
dengan rata-rata kebutuhan untuk wanita menstruasi. Pada remaja wanita,
pertumbuhan masih berlanjut setelah mulai menstruasi. Pada usia 14 tahun,
kebutuhan besi remaja wanita 30% lebih banyak dibandingkan dengan ibunya.
Sebagai perbandingan kandungan zat besi di dalam tubuh seorang pria dewasa 3-5
g, sebanyak dua pertiganya terdapat sebagai molekul hemoglobin, yaitu sebagai
wahana transportasi oksigen di dalam darah. Kebutuhan zat besi pada tingkat
fisiologis pada pria dewasa 1 mg/hari, sedangkan remaja dan wanita usia subur
2-3 mg per/hari (Frewin, et al. 1997).
Fairweather-Tait (1966) diacu dalam Beard (2000) mengestimasi kebutuhan
zat besi berdasarkan survey di UK dan Eropa, yaitu untuk remaja pria antara
menstruasi 1,22 – 1,46 mg/hari, dan setelah menstruasi antara 1,39 – 2,54 mg/hari.
Pada remaja wanita dengan rata-rata asupan besi 10-14 mg/hari, nampaknya
dengan asupan tersebut sudah dapat memenuhi kebutuhan zat besi agar tidak
terjadi deplesi, meskipun belum cukup untuk meningkatkan simpanan besi di
dalam tubuh (Beard 2000).
Kebutuhan zat besi fisiologis pada remaja wanita diperkirakan sekitar 1,9
mg/hari, berdasarkan rata-rata kebutuhan untuk tumbuh (0,5 mg), basal (0,75 mg),
dan kehilangan darah menstruasi (0,6 mg). Apabila AKG besi 15 mg/hari, dengan
asumsi penyerapan zat besi 10-15%, akan menghasilkan asupan zat besi 1,5-2,2
mg/hari. Jumlah ini cukup untuk mempertahan keseimbangan zat besi di dalam
tubuh, termasuk untuk penyimpanan sebesar 300 mg (Krummel & Kris-Etherton
1996).
FAO/WHO (2001) menyebutkan zat besi yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan remaja 0,55 mg/hari. Asumsi kehilangan zat besi basal 0,65 mg
dan menstruasi 0,48 mg, sehingga kebutuhan sekitar 1,68 mg per hari. Kebutuhan
tersebut didasarkan pada tingkat fisiologis, sehingga kalau biovailibilitas sebesar
5-10%, maka setiap hari diperlukan 17 – 34 mg. Untuk Indonesia, rekomendasi
kebutuhan zat besi untuk remaja wanita 10-12 tahun sebesar 20 mg dan umur
13-19 tahun sebesar 26 mg. Angka kecukupan zat besi tersebut didasarkan pada
tingkat bioavailibilitas sedang atau sekitar 10% (Kartono dan Soekarti 2004).
Penyebab Rendahnya Status Gizi Besi
Terdapat beberapa jenis anemia diakibatkan baik oleh defisiensi zat gizi,
infeksi maupun genetik. Anemia aplastik (aplastic anemia) terjadi karena penurunan kemampuan produksi sel darah merah oleh sumsum tulang. Kasus
anemia hemolitik (hemolytic anemia) karena sel darah merah yang lebih cepat mengalami kerusakan. Anemia bulan sabit (sickle cell anemia) terjadi karena kelainan sel darah merah akibat dari kerusakan genetik. Anemia karena penyakit
kronis (anemia of chronic disease), misalnya karena cacing parasit yang memanfaatkan zat gizi dan menyebabkan perdarahan pada pembuluh darah, serta
menurunkan absorpsi zat gizi. Infeksi pada penderita malaria dapat menyebabkan
anemia dengan cara merusak sel darah merah (hemolisis) dan menekan produksi
Kejadian terhadap keempat jenis anemia tersebut di dalam populasi
umumnya berjumlah sangat sedikit. Yang paling sering terjadi adalah anemia
yang disebabkan oleh kurangya asupan zat besi dan zat gizi lainnya, serta
rendahnya tingkat penyerapan zat besi (MOST 2004). Selain defisiensi zat besi,
anemia juga terjadi karena defisiensi vitamin A, vitamin C, asam folat, B12, atau
secara umum karena kekurangan zat gizi (Beard 2000). Kajian diberbagai negara
oleh Beaton dan McCabe (INACG 2001) menunjukkan estimasi proporsi anemia
yang disebabkan oleh defisit zat besi berkisar antara 21-85%. Namun secara
umum diasumsikan 50% kejadian anemia disebabkan oleh defisiensi zat besi
(INACG 2003; WHO 2004).
Menurut CDC (1998) dan FAO/WHO (2001) defisiensi zat besi secara
umum dapat terjadi karena meningkatnya kebutuhan zat besi di dalam tubuh dan
hambatan di dalam penyerapan (bioavailabilitas). Peningkatan kebutuhan zat
besi dapat disebabkan karena kehilangan darah yang berlebihan, pesatnya
pertumbuhan, atau sedang mengalami kehamilan. Hambatan penyerapan zat besi
dapat terjadi karena rendahnya konsumsi pangan sumber heme atau adanya
gangguan (inhibitors) di dalam proses penyerapan tubuh. Penghambat penyerapan tersebut termasuk serat, polifenol, fitat dan kalsium susu.
Anemia dapat terjadi karena defisiensi zat besi (iron deficiency anemia). Sumsum tulang memerlukan zat besi untuk memproduksi hemoglobin darah.
Sebetulnya darah mengandung zat besi yang dapat didaur ulang kembali
(turnover). Namun kehilangan darah yang cukup banyak, seperti saat menstruasi, kecelakaan, donor darah berlebihan dapat menghilangkan zat besi dari dalam
tubuh. Wanita yang mengalami menstruasi setiap bulan termasuk berisiko
menderita anemia. Kehilangan darah secara pelan-pelan di dalam tubuh, seperti
ulcer, colon polyp dan colon cancer, juga dapat menyebabkan anemia. Asupan diet yang rendah zat besi, atau rendahnya penyerapan besi di dalam usus karena
gangguan usus atau operasi usus juga dapat menyebabkan anemia (CDC 1998).
Kebanyakan remaja yang mempunyai status gizi besi rendah disebabkan
oleh kebiasaan kualitas konsumsi pangannya rendah. Termasuk pada kelompok
risiko ini adalah vegetarian, konsumsi pangan hewani yang rendah, atau terbiasa
kehilangan zat besinya cukup tinggi, yaitu periode yang panjang dan banyak
kehilangan darah saat menstruasi, sering melakukan donor darah, dan olah raga
yang sangat intensif (Krummel & Kris-Etherton 1996). Remaja wanita sering
menderita anemia dikarenakan lebih banyak mengkonsumsi makanan nabati
dibandingkan hewani, lebih sering melakukan diit karena ingin langsing, dan
mengalami haid setiap bulan (Depkes 2001).
Pada komposisi diet normal di negara maju dapat menyediakan sekitar 15
mg besi per hari, yang 5-10% dapat diserap di usus. Kondisi asam di usus akan
meningkatkan penyerapan besi menjadi bentuk ferrous, misalnya dengan keberadaan asam hidroklorat dan asam askorbat. Tubuh juga akan meningkatkan
kapasitas penyerapan disaat kebutuhannya meningkat, seperti pada ibu hamil,
menyusui, pertumbuhan pesat, dan defisit zat besi (Frewin et al. 1997).
Masalah utama pemanfaatan zat besi oleh tubuh adalah rendahnya
penyerapan di dalam usus. Penyerapan zat besi dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu
absorbsi besi heme dan non-heme yang menunjukkan keberadaan dua jenis zat
besi yang berbeda di dalam pangan. Sumber heme pada pangan manusia adalah
daging, ikan, dan unggas, sedangkan sumber non-heme adalah sereal,
kacang-kacangan, sayur dan buah (FAO/WHO 2001).
Besi heme penyerapannya ditentukan oleh status besi yang
mengkonsumsinya. Rata-rata penyerapan besi pangan heme sekitar 25%.
Penyerapan besi dapat mencapai 40% saat terjadi defisit besi, tetapi hanya 10%
ketika jenuh simpanan zat besi (repletion). Heme terkonversi menjadi non-heme apabila makanan diolah dengan suhu tinggi dan waktu yang lama. Adanya
kalsium pada keju dan susu pada konsumsi makanan akan menghambat
penyerapan zat besi (FAO/WHO 2001).
Zat besi non-heme pangan di dalam penyerapannya juga ditentukan oleh
status besi seseorang dan jumlah zat besi yang terdapat pada keseluruhan diet.
Senyawa besi fortifikan hanya dapat diserap sebagian oleh usus. Penyerapan
senyawa besi di dalam usus baik yang berasal secara alami maupun buatan akan
Penyerapan besi juga ditentukan oleh keseimbangan faktor yang dapat
meningkatkan dan menghambat penyerapan zat besi. Keberadaan vitamin C,
daging (merah dan putih), pangan fermentasi (sayuran, kedelai) dapat
meningkatkan penyerapan zat besi di dalam usus. Faktor yang menghambat
adalah fitat, inositol, fosfat, dan polifenol. Senyawa penghambat tersebut terdapat
pada produk sereal, kacang-kacangan, kopi, teh, sayuran, bumbu-bumbuan,
termasuk susu kedelai (FAO/WHO 2001). Rendahnya kualitas konsumsi pangan,
terutama dinegara sedang berkembang menyebabkan tingkat penyerapan zat besi
yang rendah. Oleh karena itu di dalam penetapan kebutuhan zat besi digunakan
empat tingkat penyerapan yang berbeda, yaitu 5%, 10%, 12%, dan 15%
tergantung dari kualitas pangan yang dikonsumsinya.
Penyerapan zat besi pada kegiatan suplementasi akan meningkat apabila
dilakukan dalam keadaan perut yang kosong. Studi Cook dan Reddy (diacu
dalam Galloway & McGuire 1996) peningkatan penyerapan suplemen waktu
perut kosong dapat mencapai 2-4 kali dibandingkan setelah makan. Penyerapan
pada suplementasi besi harian relatif sama dengan mingguan yang diminum
setelah makan, yaitu berturut-turut 2,3% dan 2,6%.
Metabolisme Zat Besi
Pada wanita dewasa dengan berat badan 55 kg mempunyai total besi di
dalam tubuh sebanyak 2300 mg, dan pada pria dewasa kurang lebih 3800 mg.
Komponen zat besi di dalam tubuh berada dalam bentuk senyawa fungsional
seperti hemoglobin, mioglobin, enzim, transferin; dan sebagian kecil dalam
bentuk simpanan berupa feritin dan hemosiderin (INACG 1985, Lynch 2007).
Proporsi zat besi tersebut di dalam tubuh dalam bentuk hemoglobin (74%),
mioglobin (9,6%) dan feritin (8,7%).
Redistribusi zat besi di dalam tubuh orang laki-laki dewasa dengan berat
badan 70 kg, dalam keadaan normal disajikan pada Gambar 1 (Bothwell et al. 1979 diacu dalam Beard 2000). Setiap hari kurang lebih sebanyak 35 mg zat besi
yang kembali (turnover) ke plasma. Seseorang yang mengkonsumsi makanan yang mengandung sekitar 10-14 mg zat besi, hanya 0,5-2,0 mg yang dapat
diabsorbsi oleh usus halus, sedangkan sisanya tidak dapat diserap oleh tubuh.
Kekurangan zat besi terutama akan disuplai dari simpanannya di dalam bentuk
feritin.
Mioglobin, Heme & Nonheme Protein mengandung
Besi
Eritropoiesis 20 mg
Diserap 0.5 – 2 mg
Tidak diserap 8 -13.5 mg
Gambar 1. Distribusi zat besi pada tubuh orang dewasa (Bothwell et al. 1979 diacu dalam Beard 2000)
Dalam keadaan seimbang terdapat 1-2 mg zat besi keluar dan masuk
kedalam tubuh setiap hari. Zat besi yang diperoleh dari makanan diserap oleh
enterosit pada usus halus. Kemudian zat besi terikat dengan transferin akan
beredar di dalam plasma darah. Kebanyakan besi di dalam tubuh (2/3-nya) berada
dalam bentuk hemoglobin, yaitu pada erythroid precursor dan sel darah merah yang sudah matang. Sekitar 10-15% berada pada otot (myoglobin) dan jaringan lain (enzim dan sitokrom). Zat besi disimpan di parenchymal cells pada hati dan
reticuloendothelial macrophages. Makrofag ini yang menyediakan besi yang siap digunakan dengan mendegradasi eritrosit dan mengisi kembali zat besi dari
transferin untuk ditransfer kedalam sel (Bothwell et al. 1979 di dalam Andrew 1999).
Penyerapan Zat Besi
Proses penyerapan zat besi bisa dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu ambilan
adalah penghambat dan pendukung penyerapan besi (intraluminal); luasan permukaan mukosa dan motilitas intestinal; proses eritropoiesis dan hipoksia akan
meningkatkan penyerapan zat besi. Proses penyerapan besi tidak terjadi di mulut,
esofagus maupun lambung, tetapi di usus halus duodenum dan jejenum bagian
atas. Proses alur lengkap absorbsi zat besi pada usus disajikan pada Gambar 2.
Proses penyerapan zat besi di dalam tubuh dibedakan antara proses besi
heme dan non-heme (Beard et al. 1996). Proses penyerapan besi non-heme: senyawa pereduksi seperti asam askorbat mereduksi besi feri non-heme menjadi
fero (1). Senyawa kelator akan melarutkan besi non-heme, kemudian ditransfer ke
protein pengikat dalam lumen (2). Protein pengikat besi berikatan dengan
transporter khusus ke permukaan luminal enterosit (3). Besi non-heme dibawa ke
dalam enterosit (4). Besi ini ditransfer ke pengkelat (transferrin-like protein) (5). Protein ini ditransfer ke feritin mukosa sel (6) atau ke permukaan basolateral
enterosit (8). Besi yang diserap dan tidak diambil feritin dikirim ke permukaan
basolateral enterosit (9), dan dioksidasi untuk dapat berikatan dengan transferin
(10).
Proses penyerapan besi heme: heme berikat dengan reseptornya (1h),
kemudian melebur ke dalam enterosit (2h). Setelah masuk ke sel, heme pecah
menjadi karbon monoksida dan bilirubin IXa oleh enzim heme oksigenase (3h).
Besi ini masuk ke pool besi intraseluler enterosit (4h) (5) dan selanjutnya proses transpor seperti pada besi non-heme (6-10).
Pada tingkat fisiologis ambilan (uptake) zat besi melalui beberapa seri yang diperantarai oleh reseptor dan protein pengikat. Pada tingkat yang lebih tinggi,
besi diserap secara pasif melalui jalur paraseluler. Di dalam lumen usus, besi
berada dalam bentuk heme atau non-heme. Besi heme diambil langsung oleh
enterosit, dan setelah aksi enzimatik proses selanjutnya seperti yang terjadi pada
besi non-heme. Pada besi non-heme ditransfer ke protein pengikat di dalam
lumen. Terdapat transpor spesifik untuk protein pengikat besi non-heme pada
permukaan luminal enterosit. Besi non-heme ditransportasi ke dalam enterosit,
yang nantinya akan berikatan dengan protein pengikat besi. Besi ini ditransfer ke
feritin atau bagian basolateral enterosit. Transfer besi ini dikontrol oleh simpanan
jika sel mengalami peluruhan, atau berikatan dengan transferin dalam proses
sirkulasi (Beard et al. 1996).
Transpor Paraseluler
Protein seperti Transferin
Ferritin Mukosa
Apotransferin Lisosom
Seruloplasmin
Bilirubin
- CO
Ferotransferin
Heme Oksigenase
Permukaan Basolateral Lumen
Enterosit
Gambar 2. Proses penyerapan zat besi pada usus (Beard et al. 1996)
Pada transpor intraenterosit akan melibatkan protein yang menyerupai
transferin (Tf-like protein). Salah satu protein tersebut adalah mobilferin, yang bersifat mampu mengikat mineral lainnya sehingga interaksi antar mineral dapat
mempengaruhi penyerapan. Pada proses ini status zat besi tubuh, yang dikontrol
oleh feritin akan berpengaruh terhadap zat besi yang dapat ditahan oleh enterosit.
Pada transpor ekstraenterosit, zat besi yang diserap akan dikirim dan diikat oleh
transferin pada bagian basolateroal permukaan enterosit. Seruloplasmin
diperlukan untuk proses pengikatan ini.
Penyerapan kapsul supelementasi besi yang diuji dengan isotop (55Fe)
dilakukan oleh Olivares et al. (1999) pada wanita 30-50 tahun (tidak hamil). Penyerapan besi 60 mg/hari (fero sulfat) yang diberikan harian selama 4 hari
rata-rata 6,4%, sedangkan pada besi 120 mg/minggu selama dua minggu sebesar 7,4%.
Studi Svanberg (diacu dalam Galloway & McGuire 1996) penyerapan besi dosis
1, 2, dan 3. Pada wanita tidak hamil penyerapan suplementasi besi harian sebesar
2,3% dan mingguan sebesar 2,6% jika diminum setelah makan.
Transportasi Zat Besi
Pada transpor intraenterosit, besi yang telah diabsorbsi melalui enterosit
melibatkan protein seperti transferin (Tf-like protein), misalnya mobilferin.
Senyawa ini merupakan metal ion-binding, sehingga juga dapat mengangkut mineral lain seperti kalsium, tembaga dan seng. Hal ini yang menjelaskan
terjadinya kompetisi di dalam penyerapan antar mineral.
Pada saat status besi sudah mencukupi, maka jumlah besi yang tertahan
pada enterosit akan meningkat. Sehingga zat besi tidak akan ditranspor ke
plasma, tetapi akan disimpan pada mukosa sel feritin, yang kemudian akan luruh
bersamaan dengan matinya enterosit.
Pada transpor ekstraenterosit, molekul yang sangat berperan di dalam
transpor besi adalah transferin (Tf). Besi yang sudah diserap akan terikat dengan
transferin pada permukaan basolateral enterosit akan dikirim ke jaringan periferi,
dan kemudian juga didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh, dan melindungi besi
dari filtrasi pada glomeruler. Senyawa lain yang terlibat di dalam distribusi besi
ke jaringan adalah seruloplasmin, heme-hemopexin (HPX), ferritin, lactoferrin
dan molekul dengan berat rendah yang belum diidentifikasi (Beard et al. 1996). Transferin adalah senyawa gabungan protein yang termasuk didalamnya
ovotransferrin, lactoferrin, melanotransferrin, dan hemiferrin. Transferin terutama diproduksi di hati, meskipun jaringan lain seperti otak, ginjal, testes dan
otot (bayi) juga memproduksi dalam jumlah sedikit. Gen yang memproduksi
tranferrin (Tf gene) diregulasi oleh hormon pertumbuhan seperti insulin, faktor pertumbuhan epidermis, faktor pertumbuhan platelet, dan asam retinoat.
Penyimpanan Zat Besi
Konsentrasi besi di dalam tubuh manusia berkisar 30-40 mg/kg berat
badan. Tetapi konsentrasi tersebut berbeda, tergantung dari usia, jenis kelamin,
jaringan dan organ (Beard et al. 1996). Sekitar 85-90% dari besi yang tidak tersimpan ditemukan berada dalam bentuk eritroid. Konsentrasi besi di dalam
simpanan sebanyak 0-15 mg/kg berat badan. Di dalam tubuh distribusi besi
sisanya berada di jaringan otot dan sistem retikuloendotelial. Pada kondisi normal,
95% simpanan zat besi di dalam hati dalam bentuk feritin dan 5% berupa
hemosiderin.
Setelah diserap di dalam usus, besi didistribusikan melalui mukosa sel ke
pembuluh darah, yang dibawa oleh protein transferin untuk membentuk sel darah
merah di sumsum belakang. Simpanan besi di dalam tubuh dalam bentuk feritin,
senyawa yang labil dan mudah diakses sebagai sumber zat besi, sedangkan
hemosiderin di dalam macrophages dalam bentuk yang tidak larut. Secara teoritis atom besi yang dapat disimpan dalam feritin sampai dengan 4500, namun jumlah
1200-1400 adalah yang paling efisien untuk penyimpanan dan pelepasan zat besi.
Zat besi akan lebih mudah dilepas dari feritin dengan mereduksi besi inti
pada formasi feritin. Pada studi in vivo, asam askorbat dan flavin mononukleotida merupakan reduktan indogenus. Pada studi in vitro, digunakan asam askorbat untuk mobilisasi besi dari feritin, meskipun sebagian ahli menyebutkan asam
askorbat yang berlebih dapat menyebabkan peningkatan mobilisasi besi dan dapat
mengakibatkan oksidasi (kerusakan) jaringan. Kecepatan pelepasan besi dari
feritin ditentukan beberapa faktor. Misalnya, atom besi yang baru masuk ke
formasi feritin akan lebih mudah dilepas dari pada besi yang terlebih dahulu.
Ikatan heme pada feritin lebih mudah untuk dimobilisasi. Seruloplasmin selain
berperan di dalam tranpor ekstraenterosit, juga diperlukan untuk oksidasi feritin
dan selanjutnya untuk pengikatan ke transferin. Pada tikus, defisit copper
menyebabkan zat besi terakumulasi pada hati dalam bentuk feritin.
Hemoglobin dan Sel Darah Merah
Darah mempunyai beberapa fungsi yang sangat penting di dalam tubuh,
termasuk untuk transpor oksigen ke seluruh tubuh. Darah terdiri dari dua
komponen utama, yaitu plasma dan elemen (sel-sel). Plasma sebagian besar terdiri
dari air, dan selebihnya berupa protein dan larutan zat gizi lainnya. Tiga
komponen penyusun elemen (sel darah) sebagian besar adalah sel darah merah,
dan selebihnya sel darah putih dan trombosit (platelet). Ketiga macam sel ini berasal dari sel yang sama diproduksi di sumsum tulang, yang kemudian
berdiferensiasi menjadi bentuk yang berbeda-beda. Setelah sel tersebut matang