• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan konsumen dan pencegahan monopoli bisnis sms (kasus kartelisasi bisnis sms)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perlindungan konsumen dan pencegahan monopoli bisnis sms (kasus kartelisasi bisnis sms)"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh :

RIDWAN ARDY PRASTYA

NIM : 1111048000059

KONSENTRASI HUKUM BISNIS PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

i

PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PENCEGAHAN MONOPOLI BISNIS SMS

(KASUS KARTELISASI BISNIS SMS)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu

Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

RIDWAN ARDY PRASTYA

1111048000059

Pembimbing

Prof. Dr. H. Atho Mudzar, MPSD

KONSENTRASI HUKUM BISNIS

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

(3)
(4)

iii

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertandatangan dengan ini menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang di ajukan untuk memenuhi salah satu syarat

memperoleh gelar strata 1 (S1) di Unversitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Semua sumber yang saya gunakan saya dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku di Unversitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Jika kemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil

jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Unversitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 23 Februari 2014

(5)

iv

Hidayatullah Jakarta, 1436H/2015M, x + 86 halaman+halaman lampiran. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui tentang Hukum Perlindungan Konsumen dan Hukum Anti Monopoli dalam

kasus kartelisasi bisnis sms (short message services). Latar belakang penelitian ini adalah

berkaitan dengan hak-hak konsumen yang dirugikan dalam kasus kartelisasi bisnis sms yang dilakukan oleh 6 operator seluler di Indonesia pada tahun 2004 sampai 2008 yang diberitakan

merugikan konsumen mencapai 2 Triliun Rupiah. Penelitian ini bersifat library research,

mengkaji berbagai dokumen yang terkait dengan penelitian. Metode analisis yang digunakan adalah yuridis normative dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan historis. Ada tiga bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, yakni bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan non-hukum. Hasil penelitian menunjukan bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 dan Undang-Undang-Undang-Undang Anti Monopoli Nomor 5 Tahun 1999 bisa diterapkan secara maksimal dalam penyelesaian kasus kartelisasi

bisnis sms (short message service) tahun 2004-2008. Pasal-pasal dalam Undang-Undang

Perlindungan Konsumen dan Anti Monopoli bisa diterapkan secara ketat. Disarankan agar KPPU dan BPSK lebih bersinergi dalam memberantas perilaku usaha yang hanya memikirkan keuntungan semata tanpa memperdulikan nasib para konsumen. Bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Anti Monopoli bisa diterapkan secara maksimal

dalam kasus kartelisasi bisnis sms (short message service) yang dilakukan sejak tahun

2004-2008.

Kata Kunci : Hukum Perlindungan Konsumen, Hukum Anti Monopoli,

Kartelisasi SMS

Pembimbing : Prof. Dr. H. Atho Mudzar, MPSD

(6)

v

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam yang hanya dengan hidayah dan nikmat

dari-Nyalah skripsi Penulis “Perlindungan Konsumen dan Pencegahan Monopoli Bisnis SMS (Kasus Kartelisasi Bisnis SMS)” dapat terselesaikan dengan baik. Penelitian ini merupakan salah satu

syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat dan salam semoga tetap selalu tercurahkan

pada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir

zaman.

Tidak mudah bagi penulis untuk membuat karya seperti ini dikarenakan berbagai

keterbatasan yang dimiliki, namun hal ini penulis jadikan sebagai motivasi rangkaian

pengalaman hidup yang berharga. Selesainya penelitian ini tidak terlepas dari elaborasi keilmuan

yang Penulis dapatkan dari kontribusi banyak pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini ingin

penulis sampaikan setulus hati ucapan terimakasih kepada :

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Djawahir Hejazziey, SH, MH, MA, Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Arif

Furqon SH, MH, Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang sudah memberikan arahan berupa saran dan masukan terhadap kelancaran proses

(7)

vi

4. Kedua Orang Tua yang sangat dicintai dan disayangi Penulis, Bapak Riyadi dan Ibu Any

Suharti yang merupakan kedua orangtua yang selalu mendoakan, mencintai, memberi

dukungan baik moril maupun materiil kepada Penulis serta menjadi motivasi Penulis

sekaligus menjadi inspirasi dalam kehidupan penulis.

5. Kedua Adik yang sangat dicintai, disayangi dan dikasihi Penulis, Raka iknan Alqursani

dan Nayya Safana Salsabila karena telah menjadi insprirasi Penulis untuk bisa

dibanggakan dan Keluarga Besar Penulis yang selalu mendoakan agar karya ini cepat

terselaikan.

6. Kepada Hellen Anita Pratiwi yang bisa menjadi sahabat, teman, adik karena telah

mendoakan dan memberi semangat kepada Penulis sehingga karya ini bisa cepat

terselesaikan dan alasan Penulis ingin cepat-cepat lulus.

7. Kawan-kawan seperjuangan SkripSWEET, Ade Putra Indrawan, Gary Ichsan Putro, Dwi

Puji Apriyantok, Nanda Narendra Putra, Ahmad Bustomy, Azhar Nur Fajar Alam, Rizky

Arisandi, M. Rizki Firdaus, Rezha Haryo Mahendra Putra, Marwan Alkatiri, Fadhilah

Haidar. Dan juga para sahabat SMA Vina Refriana Nur Wulan Sari dan Zen Fadli yang

semuanya telah memberi dukungan kepada Penulis agar karya ini cepat terselesaikan.

8. Kawan-kawan seangkatan Ilmu Hukum 2011 yang selalu kompak dalam mengerjakan

dan menyelesaikan Skripsi dan juga kepada AMPUH (Angkatan Muda Peduli Hukum),

BLC (Bussines Law Community), HMPS Ilmu Hukum angkatan 2013 yang membantu

(8)

vii

9. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yang tidak

dapat penulis sebutkan namanya satu-persatu, semoga Allah SWT memberikan berkah

dan karunia-Nya serta membalas kebaikan mereka (Amiin).

Akhir kata, penulis berharap kepada semua pihak untuk memberikan masukan yang

bermanfaat untuk perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat menjadi referensi untuk

adik-adik kelas dan bermanfaat untuk setiap pembaca.

Wassalamualaikum Wr.Wb

Jakarta, 23 Februari 2015

(9)

viii

LEMBAR PERNYATAAN ……….. iii

ABSTRAK ………... iv

KATA PENGANTAR ……… v

DAFTAR ISI ……… viii

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……… 1

B. Batasan Dan Rumusan Masalah ………. 7

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ………. 8

D. Kajian Terdahulu ………... 9

E. Kerangka Konseptual ……… 10

F. Metode Penelitian ………. 12

G. Sistematika Penulisan ………... 15

BAB II TEORI PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PENCEGAHAN MONOPOLI A. Teori Perlndungan Konsumen Dan Pencegahan Monopoli Dalam Pendapat Para Ahli ……….………… 17

B. Sistem Perlindungan Konsumen Dan Anti Monopoli Dalam Hukum International ………...……….. 23

C. Teori Perlindungan Konsumen Dan Antimonopoli Dalam Islam ….. 28

(10)

ix

A. Hukum Perlindungan Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

……… 36

B. Hukum Anti Monopoli Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

……… 44

C. Deskripsi Kasus Kartel Sms Terkait Dengan Perlindungan Konsumen

………... 48

D. Deskripsi Kasus Kartel Sms Terkait Dengan Anti Monopoli Dan Penyelesaian

Sengketa Yang Telah Dilakukan

……… 53

BAB IV PENERAPAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN NOMOR 8 TAHUN 1999 DAN UNDANG-UNDANG ANTI MONOPOLI NOMOR 5 TAHUN 1999 DALAM KASUS KARTEL SMS

A. Analisis Pasal Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen No 8 Tahun 1999

Terkait Masalah Kartel SMS (Short Message Service) …… 62

B. Analisis Kasus Kartel SMS (Short Message Service) Terkait Undang-Undang

Perlindungan Konsumen ………. 66

C. Analisis Pasal Dalam Undang-Undang Anti Monopoli No 5 Tahun 1999 Terkait

Masalah Kartel SMS ………..……….. 72

D. Analisis Kasus Kartel Sms Terkait Undang-Undang Anti Monopoli

………. 75

BAB V PENUTUP

(11)
(12)

1 BAB 1

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Tingginya permintaan masyarakat terhadap kebutuhan telekomunikasi

khususnya yang murah menyebabkan pelaku usaha berlomba-lomba untuk

memperoleh keuntungan dengan memanfaatkan animo masyarakat

menggunakan layanan short message services (sms). Dalam masyarakat

biasanya ada anggapan bahwa bisnis tidak mempunyai hubungan dengan

etika dan moralitas. Berdasarkan pandangan yang keliru ini para pelaku

usaha akan menghalalkan berbagai cara untuk memperoleh keuntungan

sebanyak-banyaknya.1

Salah satu bentuk perilaku bisnis yang hanya mementingkan

keuntungan semata tanpa memperdulikan hak-hak masyarakat sebagai

konsumen adalah masalah penetapan harga (price fixing) short message

services (sms) yang dilakukan oleh 6 operator telepon seluler di Indonesia. Diberitakan bahwa para pelakunya antara lain PT. Excelcomindo

Pratama,Tbk, PT. Telekomunikasi Selular, Tbk, PT. Telekomunikasi

Indonesia, Tbk, PT. Bakrie Telecom, Tbk, PT. Mobile-8 Telecom, Tbk, PT.

Smart Telecom, Tbk yang telah merugikan masyarakat sebagai konsumen

dengan total jumlah kerugian mencapai Rp. 2.827.700.000.000 (Putusan

Perkara Nomor: 26/KPPU-L/2007).

1

(13)

Ke enam operator ini berdasarkan Putusan KPPU Nomor

26/KPPU-L/2007 dikenakan sanksi berupa denda sejumlah Rp 52 milyar kepada

Negara karena terbukti melakukan kegiatan kartel dalam bentuk perjanjian

penetapan harga yang telah merugikan konsumen. Kartel merupakan

kegiatan persaingan usaha yang tidak sehat karena kartel adalah bentuk

kerja sama dari produsen-produsen produk tertentu yang bertujuan untuk

mengawasi produksi, penjualan dan harga untuk melakukan monopoli

terhadap komoditas atau industri tertentu.2 Melalui kegiatan kartel ini para

anggota kartel dapat menetapkan harga atau syarat-syarat perdagangan

lainnya untuk mengekang suatu persaingan usaha sehingga hal ini dapat

menguntungkan para anggota kartel yang bersangkutan. Berdasarkan

dengan praktek kartel ini di pasar telekomunikasi Indonesia maka sudah

sangat jelas para konsumen yang telah dirugikan. Lalu bentuk kegiatan

kartel ini pun juga tidak dibenarkan berdasarkan “pasal 11 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Anti Monopoli yang berbunyi pelaku usaha

dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang

bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan

pemasaran suatu barang dan jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya

praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.”

Dampak dari adanya kartel short message services (sms) adalah

kerugian konsumen secara materiil dan immaterial. Dalam ketentuan umum

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 pasal 1 butir 2 dijelaskan bahwa

2

(14)

3

yang dimaksud dengan “konsumen adalah setiap orang pemakai barang

atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri,

keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk

diperdagangkan”.

Menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, konsumen adalah

pihak yang paling dirugikan jika dunia bisnis dikuasai kartel, meskipun

sulit dibuktikan secara hukum tetapi kartel diyakini sudah terjadi dalam

beberapa sector di Indonesia. Di satu sisi kartel memang sulit dibuktikan

namun disisi lain konsumen juga berada dalam posisi lemah dengan

hubungan bisnis para pelaku usaha yang hanya mementingkan profit

semata.3

Dalam hal terjadi pengalihan barang dari satu pihak ke pihak lain,

maka secara garis besar pihak-pihak yang terlibat dapat dikelompokan

dalam dua kelompok :

Pertama, kelompok penyedia barang atau penyelenggara jasa yang

pada umumnya pihak ini berlaku sebagai: 4

1. Penyedia dana untuk keperluan para penyedia barang atau jasa

(15)

Kedua, kelompok penerima barang atau jasa yang pada umumnya

pihak ini berlaku sebagai :

1. Pemakai atau pengguna (konsumen) barang atau jasa dengan

tujuan memproduksi (membuat) barang atau jasa lain atau

mendapatkan barang atau jasa itu untuk dijual kembali (tujuan

komersial)

2. Pemakai atau pengguna (konsumen) barang atau jasa untuk

memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah

tangganya (untuk tujuan komersial)

Dalam kasus kartelisasi bisnis sms (short message services) di

Indonesia juga sudah sangat jelas bahwa hak-hak konsumen dilanggar sesuai

dengan pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999

Tentang Perlindungan Konsumen yang intinya bahwa konsumen berhak

mendapatkan perlakuan yang jujur dan tidak ada diksriminasi.5 Apabila

diperhatikan kondisi konsumen di Indonesia dewasa ini, maka terlihat bahwa

posisi konsumen masih sangat lemah dibandingkan dengan posisi produsen,

sehingga perlu adanya pemberdayaan konsumen agar posisinya tidak selalu

pada pihak yang dirugikan. Pemberdayaan konsumen dapat dilakukan

melalui penerapan hukum perlindungan konsumen yang memadai. Hukum

perlindungan konsumen ini menjadi relevan pada tiga tahap transaksi

konsumen, yaitu ada prapembelian, disaat pembelian, dan purna pembelian.

5

(16)

5

Pemberdayaan konsumen ini harus diakui bukan pekerjaan yang mudah,

namun harus tetap diusahakan agar kondisinya tidak semakin buruk bahkan

tetap diusahakan agar berimbang dengan posisi produsen yang selama ini

jauh lebih unggul daripada konsumen. Mengingat kedua belah pihak saling

membutuhkan maka sebenarnya konsumen memiliki potensi untuk

menempati posisi yang seimbang dengan produsen karena kemajuan usaha

produsen bergantung dengan konsumen pula.6

Dalam setiap terbitnya suatu undang-undang yang dibuat, pembentuk

undang-undang biasanya dikenal sejumlah asas atau prinsip7 sebagai dasar

terbitnya undang-undang tersebut. Asas hukum merupakan fondasi suatu

undang-undang dan peraturan-peraturan pelaksanaannya. Bila asas

dikesampingkan maka runtuhlah undang-undang itu dan segenap peraturan

pelasaknaannya. Menurut Sajipto Rahardjo yang dikutip oleh Teuku

Muhammad Radhie, asas hukum bukan peraturan hukum namun tidak adanya

hukum yang bisa dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada

didalamnya. Sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1999 Tentang Perlindungan Konsumen, perlindungan konsumen di Indonesia

bukanlah sebagai suatu system. Dari segi kerangka landasan hukum,

sebenarnya tanpa Undang-Undang Perlindungan Konsumen norma-norma

perlindungan konsumen sudah ada hanya saja tersebar dalam berbagai

6

Ibid, h. 41

7

(17)

instrumen hukum-hukum pokok, tetapi tidak pada hukum-hukum sektoral.8

Perlindungan konsumen sebelum adanya Undang-Undang Perlindungan

Konsumen tersebar di berbagai cabang hukum seperti hukum perdata, hukum

dagang, hukum pidana dan hukum yang tercampur aduk ke cabang hukum

lainnya, sehingga jika ada masalah-masalah yang terkait dengan perlindungan

konsumen perlu dilakukan penafsiran yang hanya memiliki sampiran dari

suatu peraturan. Sehingga sebelum berlakunya Undang-Undang Perlindungan

Konsumen, perlindungan konsumen di Indonesia tidak dapat dipandang

sebagai suatu system perlindungan konsumen.

Pokok-pokok pengaturan perlindungan konsumen menurut Purba yang

dikutip oleh Yusuf Shofie adalah sebagai berikut.9 :

1. Kesederajatan antara konsumen dan pengusaha

2. Konsumen mempunyai hak

3. Pengusaha mempunyai kewajiban

4. Pengaturan mengenai perlindungan konsumen menyumbang pada

pembangunan nasional

5. Pengaturan tidak merupakan syarat

6. Perlindungan konsumen dalam iklim hubungan bisnis yang sehat

7. Keterbukaan dalam promosi produk

8. Pemerintah berperan aktif

9. Peran serta masyarakat

10.Implementasi asas kesadaran hukum

11.Perlindungan konsumen memerlukan penerobosan konsep-konsep hukum

tradisional

12.Konsep perlindungan konsumen memerlukan pembinaan sikap

8

Teuku Muhammad Radhie, Pembangunan Hukum Nasional dalam Perspektif Kebijakan, (Yogyakarta, Fakultas Hukum UII, 1997), h. 210-211

9

(18)

7

B.

Rumusan dan Batasan Masalah

1.

Perumusan Masalah

Dari latar belakang masalah diatas, permasalahan pokok yang akan

diteliti ialah tentang bagaimana penerapan system perlindungan konsumen

dan pencegahan monopoli sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Anti Monopoli telah diterapkan

dalam kasus kartel sms dan bagaimana penyelesaian sengketa yang telah

dilakukan. Rumusan tersebut dapat dirinci menjadi dua pertanyaan pokok

sebagai berikut :

1. Bagaimana penerapan system perlindungan konsumen sebagaimana

tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah diterapkan

dalam kasus kartel sms dan bagaimana penyelesaian yang telah

dilakukan?

2. Bagaimana penerapan system pencegahan monopoli sebagaimana

tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 telah diterapkan

dalam kasus kartel sms dan bagaimana penyelesaian yang telah

dilakukan?

2.

Batasan Masalah

Penelitian ini memfokuskan pada kasus perlindungan konsumen

(19)

tahun 2004 sampai 2008 yang melakukan kegiatan usaha tidak sehat yaitu

melakukan kegiatan kartel sms (short message services) dan juga

memfokuskan tentang pencegahan monopoli dalam kasus kartelisasi bisnis

sms (short message services). Penelitian ini menitikberatkan tentang

perlindungan konsumen terhadap kegiatan kartelisasi sms (short message

services) dan mengenai pencegahan monopoli bisnis sms (short message services).

C.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui bagaimana penerapan system perlindungan

konsumen sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 telah diterapkan dalam kasus kartel sms dan bagaimana

penyelesaian yang telah dilakukan.

b. Untuk mengetahui bagaimana penerapan system pencegahan

monopoli sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999 telah diterapkan dalam kasus kartel sms dan bagaimana

penyelesaian yang telah dilakukan.

2. Manfaat Penelitian

Secara garis besar manfaat penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua,

yaitu:

(20)

9

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah

pengetahuan tentang bagaimana penerapan dari Perlindungan

Konsumen, bahwa sebagai konsumen saat ini sudah dilindungi

dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 dan pelaku usaha

dalam menjalankan kegiatan usaha nya agar tidak melakukan

kegiatan usaha tidak sehat karena telah ada Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1999 yang mengatur tentang kegiatan usaha para pelaku

usaha.

b. Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi masukan

bagi para pelaku usaha khususnya di Indonesia agar tidak lagi

terjadi kegiatan usaha yang dilarang karena bisa menyebabkan

kerugian bagi pihak-pihak lain terutama konsumen.

D.

Review (Kajian) Terdahulu

Ada dua penelitian skripsi terkait masalah ini. Pertama, penelitian

Annisa Dita Muliasari, mahasiswi Universitas Indonesia, yang membahas

kasus ini pada tahun 2009 dengan judul “Analisis Yuridis Perlindungan

Konsumen Terkait Masalah Kartel short message services (sms)”. Annisa

Dita Muliasari berkesimpulan bahwa konsumen dalam kasus kartelisasi

sms dirugikan akibat kegiatan usaha tidak sehat yang dilakukan oleh

beberapa operator seluler. Kedua, penelitian skripsi Risma Qumilaila,

(21)

Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Kimia Berbahaya Pada Makanan

(Studi Komparasi Hukum Islam dan Undang-Undang Perlindungan

Konsumen)”.

Risma Qumilaila berkesimpulan bahwa Undang-Undang

Perlindungan Konsumen harus diterapkan dalam kasus yang merugikan

konsumen dan perlindungan konsumen dalam studi komparasi hukum

Islam. Penelitian ini berbeda dengan penelitian Annisa Dita Muliasari

karena ini hanya membahas perlindungan hukum dari Undang-Undang

Perlindungan Konsumen terkait masalah kartel sms, sedangkan penulis

akan membahas pula penerapan dari Undang-Undang Perlindungan

Konsumen dan penarapan Undang-Undang Anti Monopoli dan perspektif

hukum Islam dalam kasus kartelisasi bisnis sms, sehingga dapat dipahami

pula posisi hukum pihak-pihak yang terkait dalam kasus kartelisasi bisnis

sms dan akibat hukum dari kasus kartelisasi bisnis sms. Adapun perspektif

Islam dalam penelitian ini hanya untuk menunjukan konteks, bukan

sebagai obyek utama kajian sebagaimana dilakukan oleh Risma Qumilaila

yang melakukan komparasi hukum Islam dengan Undang-Undang

Perlindungan Konsumen.

E.

Kerangka Konseptual

Untuk menghindari perbedaan pemahaman mengenai istilah-istilah

yang digunakan dalam penelitian ini, diberikan batasan konseptual untuk

(22)

11

1. Konsumen, konsumen ialah setiap orang pemakai barang atau jasa

yang tersedia dalam masyarakat bagi kepentingan sendiri, keluarga

dan orang lain yang tidak untuk diperdagangkan kembali.10

2. Produsen, produsen ialah pelaku usaha yang menawarkan barang

atau jasa hasil buatannya sendiri kepada konsumen untuk

diperdagangkan dan meraih penghasilan untuk dirinya sendiri.

3. Perlindungan Konsumen, perlindungan konsumen ialah segala upaya

yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi

perlindungan konsumen.11

4. Kartel, kartel ialah kegiatan usaha yang dilarang karena merupakan

suatu kerja sama dari produsen produk tertentu yang bertujuan untuk

mengawasi produksi, penjualan dan harga, dan untuk melakukan

monopoli terhadap komoditas atau industry tertentu.12

5. Asas no privity non liability, ialah pihak ketiga (konsumen) yang

tidak bisa menggugat kepada pihak pertama (produsen) karena tidak

mempunyai hubungan kontrak walaupun telah dirugikan.13

10

Ahmadi Miru, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta, RajaGrafindoPersada, 2004), h. 5

11

Ibid, h. 1

12

Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1999), h. 63

13

(23)

6. Investor, ialah penyedia dana untuk keperluan para penyedia barang

atau jasa.14

7. Penetapan harga, ialah pelaku-pelaku usaha yang melakukan

kegiatan usaha bekerja sama guna melakukan penetapan harga di

pasaran untuk meraih keuntungan.15

F.

Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitiaan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dan

bersifat penelitian kepustakaan dengan cara meneliti bahan pustaka

dan bahan sekunder yang mencakup penelitian asas-asas hukum

khususnya yang terkait dengan hukum perlindungan konsumen,

peraturan perundang-undangan, buku-buku bacaan terkait dengan

judul penelitian, makalah-makalah, dan dokument-dokument lainnya.

2. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan pendekatan perundang-undangan

yaitu :

a.Undang-Undang Dasar 1945

b.Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat dan semua peraturan

pelaksanaannya

14

Ibid, h. 33

15

(24)

13

c.Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen dan semua peraturan pelaksanaannya

3. Data dan Sumber Data

Berdasarkan sumbernya maka penulisan ini disusun berdasarkan :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum utama dalam penelitian

hukum normatif, yang berupa peraturan Perundang-Undangan.

Bahan hukum primer itu ialah Undang-undang Nomor 8 tahun

1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Anti Monopoli.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang tidak mempunyai

kekuatan mengikat tetapi membahas atau menjelaskan topik

terkait dengan penelitian berupa, buku-buku terkait, artikel dalam

majalah/media elektronik, laporan penelitian/ jurnal hukum,

makalah yang disajikan dalam pertemuan kuliah dan catatan

kuliah.16

c. Bahan Non Hukum

16

(25)

Bahan non hukum dalam penelitian ini yaitu wawancara yang

dilakukan kepada narasumber yang kompeten di bidang hukum

perlindungan konsumen.

4. Metode Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang

diteliti, dikaitkan dengan jenis penelitian hukum yang bersifat yuridis

normatif, maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam

penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan (library research)

yakni upaya untuk memperoleh data atau upaya mencari dari

penelusuran literatur kepustakaan, peraturan perundang-undangan,

artikel, dan jurnal hukum yang relevan dengan penelitian agar dapat

dipakai untuk menjawab suatu pertanyaan atau untuk memecahkan

suatu masalah.17

5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif. Analisis

kualitatif adalah data yang diedit dan dipilih menurut kategori

masing-masing dan kemudian dihubungkan satu sama lain atau

ditafsirkan dalam usaha mencari jawaban atas masalah penelitian.

6. Metode Penulisan

17

(26)

15

Dalam penyusunan penelitian ini penulis menggunakan metode

penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku

Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syari‟ah dan Hukum, UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2012.

G.

Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian ini di bagi menjadi enam bab, dimana pada

setiap bab akan di bahas secara rinci sebagai bagian dari keseluruhan

penelitian ini. Sistematika uraian skripsi ini adalah sebagai berikut :

Bab I, Pendahuluan. Bab ini berisi pengantar untuk memahami garis

besar dari seluruh pembahasan. Dalam bab ini diuraikan mengenai latar

belakang penulisan, pokok permasalahan, metode penelitian serta

sistematika dalam penulisan penelitian ini.

Bab II, Teori Perlindungan Konsumen Dan Pencegahan Monopoli. Bab

ini berisi tinjauan umum mengenai teori terkait tetang hukum

perlindungan konsumen dan pencegahan monopoli di Indonesia dan

teori perspektif Islam terkait dalam perlindungan konsumen dan anti

monopoli.

Bab III, Hukum Perlindungan Konsumen Dan Anti Monopoli Di

Indonesia. Bab ini berisi tinjauan umum tentang hukum perlindungan

(27)

Bab IV, Penerapan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8

Tahun 1999 Dan Undang-Undang Anti Monopoli Nomor 5 Tahun

1999 Dalam Kasus Kartel SMS. Bab ini berisi deskripsi dan analisa

mengenai penerapan undang-undang perlindungan konsumen dan anti

monopoli dalam kasus kartel sms dan pasal yang terkait.

(28)

17 BAB II

TEORI PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PENCEGAHAN MONOPOLI

A. Teori Perlndungan Konsumen dan Pencegahan Monopoli Dalam Pendapat Para Ahli

Hukum perlindungan konsumen adalah hukum yang mengatur tentang

perlindungan konsumen dalam bertransaksi bisnis dengan produsen agar tidak

dirugikan sebagai pihak yang lemah. Nasution berpendapat bahwa hukum

perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen, yang

memuat asas-asas yang bersifat mengatur dan mengandung sifat yang

melindungi konsumen. Hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan

asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan

penggunaan produk (barang atau jasa) antara penyedia dan penggunanya, dalam

kehidupan bermasyarakat.1 John F. Kennedy mengatakan yang dikutip oleh

Yusuf Shofie, “Consumers, by definition, includes us all” (konsumen adalah

kita semua).2 Hondius (pakar masalah konsumen di Belanda), ingin

membedakan antara konsumen dengan konsumen pemakai terakhir. Dengan

menyimpulkan bahwa para ahli hukum sepakat mengartikan konsumen sebagai

1

Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media, 2000), h. 37.

2

(29)

pemakai produksi terakhir dari benda dan jasa (uiteindelijke gebruiker van goerderen en diensten).3

Berkaitan dengan teori perlindungan konsumen adalah gagasan tentang

keadilan (justice and fairness). Di dalam realitas hukum, sekurang-kurangnya

beberapa norma, berurusan dengan jatah minimum dari setiap warga

masyarakat, harus „adil‟ dan harus dilaksanakan „secara adil‟. Tujuan hukum itu

adalah untuk mewujudkan keadilan, banyak definisi atau ungkapan beraneka

ragam mengenai makna tentang keadilan. Ada yang mengaitkan keadilan

dengan peraturan politik negara, ada juga yang memandang keadilan dalam

wujud kemauan yang sifatnya terus-menerus dan untuk memberikan apa yang

menjadi hak bagi setiap orang.4 Sajipto Rahardjo (1985:54), menuliskan seperti

yang dikutip oleh Jimly Asshidiqqie bahwa sekalipun hukum itu langsung

dihadapkan kepada pertanyaan-pertanyaan yang praktis, yaitu tentang

bagaimana sumber-sumber daya itu hendak dibagi-bagikan dalam masyarakat,

tetapi tidak bisa terlepas dari pemikiran-pemikiran yang lebih abstrak yang

menjadi landasannya, yaitu pertanyaan tata aturan yang adil adalah tata aturan

yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan tersebut. Namun tidak dapat

dihindarkan adanya fakta bahwa keinginan seseorang atas kebahagiaan dapat

bertentangan dengan keinginan orang lain. Sehingga keadilan adalah

3

Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: PT. Grasindo, 2000), h. 2.

4

(30)

19

pemenuhan keinginan individu dalam suatu tingkat tertentu. Keadilan yang

paling besar adalah pemenuhan keinginan sebanyak-banyaknya orang. Kriteria

keadilan seperti halnya kriteria kebenaran, tidak tergantung pada frekuensi

dibuatnya pembenaran tersebut. Karena manusia terbagi menjadi banyak

bangsa, kelas, agama, profesi, dan sebagainya yang berbeda-beda, sehingga

terdapat banyak ide keadilan yang berbeda-beda pula. Terlalu banyak untuk

menyebut salah satunya sebagai keadilan.5 Keadilan adalah sesuatu diluar rasio

karena itu bagaimanapun pentingnya bagi tindakan manusia, tetap bukan subyek

pengetahuan. Bagi pengetahuan rasional yang ada dalam masyarakat yang ada

hanyalah kepentingan dan konflik kepentingan.

Secara umum, tanggung jawab produk merupakan aspek yang sangat

penting dari hukum perlindungan konsumen. Dalam banyak system hukum,

pemerintahan semakin teribat dalam berbagai upaya perlindungan konsumen.

Kecenderungan ini sebagaian dapat tercermin dalam globalisasi perekonomian

dunia, karena semakin banyak transaksi konsumen yang dilakukan dengan

badan usaha yang tidak dikenal secara pribadi oleh konsumen, dan banyak dari

badan usaha ini mempunyai kekuatan tawar-menawar yang sangat besar dan

luas jauh melebihi yang dimiliki oleh konsumen. 6

5

Jimly Asshiddiqie, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta, Konstitusi Press), h. 17-20.

6

(31)

Berdasarkan “pasal 1 angka 1 Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 pengertian perlindungan konsumen adalah segala upaya

yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada

konsumen”. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya

kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan

sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan

perlindungan konsumen.7 Meskipun demikian bukan berarti juga kepentingan

pelaku usaha tidak ikut menjadi perhatian, karena untuk menghindari pula

praktek kegiatan usaha tidak sehat yang sering dilakukan oleh para pelaku

usaha, juga sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang

Anti Monopoli. Dalam pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999,

“konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia

dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun

makhluk hidup lain, dan tidak untuk diperdagangkan”. Di dalam perpustakaan

ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir

adalah penggunaan atau pemanfaatan akhir dari suatu produk, sedangkan

konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai

bagian dari proses produksi suatu produksi lainnya. Oleh karena itu, pengertian

7

(32)

21

yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 adalah konsumen

akhir.8

Adapun teori mengenai pencegahan monopoli sesungguhnya banyak

istilah yang digunakan untuk bidang hukum ini selain istilah hukum persaingan

usaha, yaitu hukum anti monopoli. Secara umum dapat dikatakan bahwa hukum

persaingan usaha adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkaitan

dengan persaingan usaha.9

Menurut pasal 1 angka 6 Undang-Undang Antimonopoli Nomor 5 Tahun 1999 persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.

Dalam system perekonomian nasional berdasarkan asas demokrasi

ekonomi, praktek monopoli dan persaingan usaha harus diatur sedemikian rupa

agar tidak menjadi sarana praktek monopoli. Lalu mekanisme hukum untuk

mengaturnya ialah para pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya

hendaklah bersaing secara sehat dengan berpedoman kepada undang-undang

yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.10

8

Elsi Kartika, Hukum Dalam Ekonomi, (Jakarta, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005), h. 120

9

Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, (Jakarta, Kencana Pernada Media Group, 2008), h. 1

10

(33)

Tujuan dari dibentuknya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Anti

Monopoli ini seperti yang tertera dalam “pasal 3 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999 ialah untuk menjaga kepentingan umum dan meningkatkan

efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan

kesejahteraan rakyat”. Adapun yang patut untuk diperhatikan dalam persaingan

usaha ini adalah unsur penting yang wajib diperhatikan bagi penentuan

kebijakan yang ideal dalam pengaturan persaingan di Indonesia adalah

kepentingan publik dan efisiensi ekonomis.11

Terkait masalah anti monopoli ini adalah persoalan kartel. Kartel ialah

pelaku usaha yang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lainnya dengan

bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan

pemasaran suatu barang dan jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik

monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Terjadinya partek kartel

dilatarbelakangi oleh persaingan yang cukup sengit dipasar. Untuk menghindari

persaingan fatal ini, anggota kartel setuju menentukan harga bersama, mengatur

produksi bahkan menentukan secara bersama-sama potongan harga, promosi

dan syarat-syarat penjualan. Kartel juga bisa melindungi perusahaan yang tidak

efisien, yang bisa hancur bila tidak masuk kartel. Dengan kata lain kartel dapat

menjadi pelindung bagi pelaku usaha yang lemah. Kartel merupakan suatu

hambatan persaingan yang paling merugikan konsumen, karena kartel dapat

11

(34)

23

mengubah struktur pasar menjadi bersifat monopolistic. Kaitannya dalam

kegiatan kartel yang dilarang ini maka akan dikenakan sanksi oleh KPPU.12

B. Sistem Perlindungan Konsumen dan Anti Monopoli Dalam Hukum International

Sebagaimana kita ketahui bahwa tantangan bangsa Indonesia dalam

pembangunan jangka panjang adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat

untuk mewujudkan masyarakat maju, adil, makmur dan mandiri. Untuk

mencapai tujuan tersebut kita dihadapkan pada kemajuan ekonomi perdagangan

yang semakin terbuka diantara bangsa-bangsa dan untuk itu dibutuhkan daya

saing yang kuat. Dalam adanya perdagangan yang semakin terbuka dibutuhkan

penyeimbang didalamnya agar bisa berjalan dengan beriringan tanpa

mengambil hak atau melanggar hak satu sama lain. Perlindungan Konsumen

merupakan masalah kepentingan manusia, oleh karenanya menjadi harapan bagi

semua bangsa didunia untuk dapat mewujudkannya. Mewujudkan perlindungan

konsumen adalah mewujudkan hubungan berbagai dimensi ruang satu sama lain

mempunyai keterkaitan dan saling ketergantungan antara konsumen, pengusaha

dan pemerintah.13

Dikalangan kriminolog studi kritis mengenai pelaku-pelaku usaha atau

peranan korporasi sudah dimulai setidaknya sejak tahun 1939 melalui pidato

12

Ibid, h. 57-65.

13

(35)

bersejarah Edwin H. Sutherland di depan the American Sociological Association. Beliau mengemukakan konsep white colar crime (WCC) yang didefenisikan sebagai “a crime commmited by a person of spectability and high

social status in the course of his occupation”. Penelitian Sutherland yang

menggunakan catatan-catatan jawatan-jawatan pengaturan (regulatory

agencies), pengadilan-pengadilan dan komisi-komisi menemukan bahwa 70 korporasi industry dan perdagangan yang ditelitinya masing-masing setidaknya

melakukan satu pelanggaran hukum dan membuat kebijakan-kebijakan yang

melanggar hukum seperti, periklanan yang menyesatkan (false advertising),

penyalahgunaan paten (patent abuse), pelanggaran persaingan dagang

(wartime trade violations), penetapan harga (price fixing), penipuan (fraud),

dan penjualan barang-barang cacat (sale of faulty goods). Pada satu sisi

peranan korporasi atau pelaku usaha memang menggerakan roda

perekonomian di suatu negara, bahkan melintasi batas-batas negara sedangkan

pada sisi lainnya juga menimbulkan distorsi-distorsi dan ketidak adilan bagi

masyarakat.

Seiring karakter pengawasan yang unik dari sesuatu yang baru,

pengembangan institusi sangat membutuhkan berbagai pengalaman (best

practices) dari berbagai lembaga persaingan usaha sejenis di dunia

Internasional, misalnya Jepang dengan Jepan fair Commision, Amerika dengan

(36)

25

selain Indonesia yang memiliki Hukum Persaingan Usaha yaitu Singapura

(Competition Commision of Singapura) Thailand (Departement of Internal Trade Ministry of Commerce) dan Vietnam (Vietnam Competition Administration).14 Salah satu resolusi yang pernah dicetuskan oleh perserikatan bangsa-bangsa adalah tentang perlindungan konsumen terakhir, masalah ini

dimuat dalam resolusi No.39/248 Tahun 1985. Di dalam Guidelines for

consumer pontection (bagian tiga prinsip-prinsip umum) dinyatakan hal-hal apa

saja yang dimaksud dengan kepentingan konsumen (legitimate needs) itu :

1. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan

keamanannya

2. Promosi dan perlindungan dari kepentingan sosial ekonomi konsumen

3. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan

mereka kemampuan melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan

kebutuhan pribadi.15

Kepentingan-kepentingan konsumen telah lama menjadi perhatian, yang

secara tegas telah dikemukakan pada tahun 1962 oleh Presiden Amerika Serikat

John F. Kennedy yang menyampaikan pesan di depan Kongres tentang

14

Deswin Nur & Tim Direktorat Kebijakan Persaingan, KPPU dan Pengembangan Kebijakan Persaingan di Asia, (KOMPETISI, Media Berkala Komisi Pengawas Persaingan Usaha, 2008), h. 16.

15

(37)

pentingnya kedudukan konsumen di dalam masyarakat.16 Peristiwa berikutnya

yang merupakan perhatian atas kepentingan konsumen, secara tegas telah

ditetapkan dalam putusan Sidang Umum PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa)

pada sidang ke-106 tanggal 9 April 1985. Resolusi PBB (Perserikatan

Bangsa-Bangsa) tentang Perlindungan Konsumen (Resolusi 39/248) telah menegaskan

enam kepentingan konsumen, yaitu sebagai berikut.17

1. Perlindungan Konsumen dari bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya.

2. Promosi dan perlindungan pada kepentingan ekonomi konsumen.

3. Tersedianya informasi yang mencukupi sehingga memungkinkan

dilakukannya pilihan sesuai kehendak.

4. Pendidikan konsumen.

5. Tersedianya cara-cara ganti rugi yang efektif.

6. Kebebasan membentuk organisasi konsumen dan diberinya kesempatan

kepada mereka untuk menyatakan pendapat sejak saat proses pengambilan

keputusan yang berkaitan dengan kepentingan konsumen.

Pada masa kini, kecenderungan untuk memperluas ruang lingkup

Hukum Perlindungan Konsumen telah dilakukan oleh The Economic Law

16

Mariam Darus Badrulzaman, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahan (Bandung, Alumni, 1981) h. 47

17

(38)

27

Procurement System Project (ELIPS), yang mengemukakan sembilan materi

rumusan hukum perlindungan konsumen, yakni :18

1. Ketidaksetaraan dalam kekuatan tawar-menawar

2. Kebebasan berkontrak versus keadilan dalam berkontrak

3. Persyaratan untuk memberikan informasi kepada konsumen, yang meliputi

hukum pengumuman yang umum dan hukum tentang keuangan

4. Peraturan tentang perilaku atau tindakan penjual, yang meliputi petunjuk

arahan yang salah dan kelicikan dalam perdagangan

5. Peraturan tentang mutu produk, yang meliputi garansi dan keamanan produk

6. Akses terhadap kredit (pelaporan, kredit, nondiskriminasi)

7. Batas-batas hak mengakhiri masa jaminan

8. Peraturan tentang harga

9. Pembetulan

Hak-hak konsumen juga merupakan bagian dari Deklarasi Hak-hak Asasi

Manusia yang dicanangkan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) pada tanggal 10

Desember 1948, yang pengaturannya dan pasal nya masing-masing diatur dalam

18

(39)

Organisasi Konsumen Sedunia.19 Oleh karena itu hak-hak konsumen merupakan

hal yang sangat esensial bagi konsumen, sehingga dapat dijadikan atau

merupakan prinsip perlindungan hukum bagi konsumen di Indonesia.

Gerakan perlindungan konsumen internasional juga telah memiliki wadah

yang cukup berwibawa, yang disebut Internasional Organization of Consumers

Unions (IOCU). Setiap tanggal 15 Maret organisasi ini menjadikan sebagai hari

Hak Konsumen sedunia.20

C. Teori Perlindungan Konsumen Dan Antimonopoli Dalam Islam

Dalam hukum positif seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999, konsumen diberikan hak untuk memilih barang atau jasa yang

mereka inginkan dan berhak mendapat informasi yang jelas dan benar mengenai

barang atau jasa tersebut agar tidak kecewa. Dalam permasalahan tersebut

hukum Islam memberikan khiyar bagi pembeli, menurut Wahbah Az-Zuaili

defenisi khiyar adalah seorang pelaku akad memiliki hak pilih antara

melanjutkan akad atau tidak melanjutkannya dengan memfasakhnya atau pelaku

akad memilih salah satu dari dua barang dagangan. Dengan adanya hak khiyar

tersebut dimaksudkan agar suatu ketika terjadi masalah dengan akad atau obyek

19

C. Tantri, Gerakan Organisasi Konsumen, Seri Panduan Konsumen, (Jakarta, yayasan Lembaga Konsumen Indonesia-The Asia Foundation), h. 19-21

20

(40)

29

maka persoalan dapat diselesaikan dengan mengacu pada hak-hak khiyar yang

sudah ada dan menjamin agar akad yang diadakan benar-benar terjadi atas

kerelaan penuh pihak-pihak yang bersangkutan. Adapun pengertian khiyar

menurut Sulaiman Rasyid ialah boleh memilih antara dua, meneruskan akad

jual beli atau mengurungkan (menarik kembali, tidak jadi jual beli). Diadakan

khiyar dalam Islam agar kedua orang yang berjual beli dapat memikirkan

kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan terjadi penyesalan di

kemudian hari karena merasa tertipu.21

Manusia adalah makhluk tuhan yang mempunyai dua sifat individu dan

sosial. Secara individu mempunyai kebutuhan berupa sandang, pangan dan

lain-lain. Secara sosial manusia memerlukan bantuan orang lain untuk mencukupi

segala kebutuhannya salah satu bentuk dari hubungan sosial itu adalah jual

beli.22 Dalam Islam, jual beli merupakan suatu hal yang diperbolehkan sesuai

dengan firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 275 :

ِۚ ۡ طۡ َّ طَّ ت َ ق ك َإ ق ْ بِ كۡأ َ

Artinya : “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)

21

Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Bandung, Sinar Baru Algesindo, 2014), h. 286.

22

(41)

penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka

kekal di dalamnya.”

Menurut Wahbah Az-Zuhaili, defenisi jual beli adalah proses tukar

menukar barang dengan barang. Kata bay’ yang artinya jual beli termasuk kata

bermakna ganda yang berseberangan, seperti hal nya kata syiraa’. Secara

terminologi, jual beli menurut ulama Hanafiyah adalah tukar-menukar maal

(barang atau harta) dengan maal yang dilakukan dengan cara tertentu atau

tukar-menukar barang yang bernilai dengan semacamnya dengan cara yang sah dan

khusus, yakni ijab-qabul atau mu‟aathaa (tanpa ijab qabul). Dengan demikian,

jual beli satu dirham dengan satu dirham tidak termasuk jual beli, karena tidak

sah. Begitu pula jual beli seperti bangkai, debu, dan darah tidak sah, karena

termasuk jual beli barang yang tidak disenangi.23

Menurut Sulaiman Rasyid jual beli adalah menukar suatu barang dengan

barang lain dengan cara tertentu (akad). Mengenai jual beli yang tidak diizinkan

oleh agama, ada beberapa point yang patut diperhatikan yaitu, menyakiti si

23

(42)

31

penjual, pembeli atau orang lain, menyempitkan gerakan pasaran, dan merusak

ketentraman umum.24

Dalam jual beli dalam Islam memiliki beberapa etika, diantaranya sebagai

berikut:

1. Tidak boleh berlebihan dalam mengambil keuntungan, penipuan

dalam jual beli yang berlebihan di dunia dilarang dalam semua agama

karena hal itu termasuk penipuan yang diharamkan dalam semua

agama. Ulama Malikiah menentukan batas penipuan yang berlebihan

itu adalah pertiga keatas, karena jumlah itulah batas maksimal yang

dibolehkan dalam wasiat dan selainnya. Dengan demikian keuntungan

yang baik dan berkah adalah keuntungan sepertiga keatas.

2. Berinteraksi yang jujur, dengan menggambarkan barang dagangan

dengan sebetulnya tanpa ada unsur kebohongan ketika menjelaskan

macam, jenis, sumber, dan biayanya.

3. Bersikap toleran dalam berinteraksi, penjual bersikap mudah dalam

menentukan harga dengan cara menguranginya, begitu pula pembeli

tidak terlalu keras dalam menentukan syarat-syarat penjual dan

memberikan harga lebih.25

24

Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Bandung, Sinar Baru Algesindo, 2014) h. 278-286. 25

(43)

Dalam jual beli terdapat dua subyek yaitu penjual yang kedudukannya

sebagai pelaku usaha dan pembeli sebagai konsumen. Penjual sebagai pelaku

usaha berusaha menghasilkan berbagai jenis produk diantaranya adalah

makanan agar dapat dikonsumsi oleh konsumen. Dalam proses produksinya,

sering kali para pelaku usaha atau produsen tidak jujur dan melakukan

kecurangan atau penipuan kepada konsumen. Diantara

kecurangan-kecurangan dan penipuan tersebut adalah direnggutnya hak-hak konsumen

dalam kasus kartel sms yang merugikan konsumen mencapai triliunan rupiah

yang dilakukan oleh para operator-operator seluler. Berkaitan dengan hukum

perlindungan konsumen dan anti monopoli dalam perspektif Islam mengenai

kasus kartelisasi bisnis sms (short message sercives) para operator seluler telah

melanggar para konsumen tentang etika jual beli. Point pertama, tidak boleh

berlebihan mengambil keuntungan, hal ini telah dilanggar oleh para operator

seluler dalam melakukan kegiatan penetapan harga (price fixing) tarif sms

dengan mengambil keuntungan berlebih dalam kartelisasi sehingga merugikan

konsumen. Point kedua berinteraksi yang jujur, konsumen mempunyai hak

mendapatkan informasi yang jujur dari produsen atau pelaku usaha dalam

menjalankan kegiatan usaha nya namun dalam kasus kartelisasi bisnis sms, para

pelaku usaha yang tergabung dalam kegiatan kartel tidak menggambarkan atau

menjelaskan secara jujur mengenai biaya tarif sms sehingga menimbulkan

(44)

33

Ketidakberdayaan konsumen dalam menghadapi pelaku usaha ini jelas

sangat merugikan kepentingan masyarakat konsumen. Pada umumnya para

pelaku usaha berlindung dibalik standard contract atau perjanjian baku yang

telah ditandatangani oleh kedua belah pihak, yaitu pelaku usaha dan

konsumen.26 Dalam Islam tidak ada larangan jual beli, akan tetapi Islam

melarang setiap tindakan curang, penipuan para pelaku usaha terhadap

konsumen. Larangan ini disebutkan dalam surah Hud ayat 85 :

ّۡت طۡ قۡ ب ۡ ۡ ۡ ْ فۡ أ ۡ ق ۡف ضۡ أۡ ف ْۡ ثۡعت ۡ ءٓ ۡشأ َ ْ

Artinya : Dan Syu´aib berkata: "Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.”

Selain telah dilarang dalam al-Quran larangan atas tindakan curang atau

penipuan oleh pelaku usaha sebagai penjual atau dari pihak yang berlaku curang

terhadap konsumen, misalnya menyembunyikan cacat, hal ini juga dilarang

dalam hadis nabi SAW.27 Berdasarkan dalil dari al-Quran dan hadis tersebut

menunjukan bahwa dalam Islam pun ada perlindungan konsumen, walaupun

tidak secara defisit.

26

Gunawan Widjaja, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta, Gramedia, 2001), h. 1-3.

27

(45)

Mustaq Ahmad menekankan bahwa dalam pespektif Islam, landasan yang

mendorong perilaku seseorang pelaku bisnis hendaknya jangan didasarkan

karena adanya rasa takut pada sebuah pemerintahan, tidak juga karena hasrat

untuk menumpuk dan menimbun kekayaan. Perilaku bisnis mereka hendaknya

dipondasikan atas rasa takut pada Allah SWT dalam usaha mencari dan

menggapai ridho-Nya. Sehingga bisnis hendaknya melampaui sesuatu yang

bersifat legal. Seseorang bukan hanya semata mengharapkan rasa keadilan,

bahkan lebih jauh dari itu ia menginginkan yang melampaui hal tersebut dalam

rangka memenuhi kebajikan dan keluruhan budi. Sebagaimana juga tuntutan

bagi seorang muslim yang bertakwa, dia bukan hanya menghindari semua hal

yang dilarang, bahkan lebih dari itu ia hendaknya menghindari “wilayah

kelabu” (syubhaf), apabila dia melakukan tindakan itu ia merasa tidak

mendapatkan ketenangan bathin. Singkatnya perilaku seseorang hendaknya

diwarnai oleh sebuah kesopanan tindakan dan niat yang jujur sesuai dengan

kadar dirinya sebagai makhluk Allah yang mulia.28

Dalam melakukan perjanjian yang sah dalam jual beli sudah diatur dalam

Islam. Dalam kajian Fiqh Muamalat masalah akad menempati posisi sentral

karena merupakan cara paling penting yang digunakan untuk memperoleh

maksud dan tujuan, terutama yang berkenaan dengan harta atau manfaat sesuatu

secara sah. Tidak jarang karena kesalahan dalam memilih akad atau kurang

(46)

35

terpenuhinya syarat dan rukun akad, transaksi yang dilakukan seseorang bisa

dinilai tidak sah (batal). Secara terminologi, akad memiliki arti umum (al-ma‟na

al-am) dan khusus (al-ma‟na al-khas). Adapun arti umum dari akad adalah

segala sesuatu yang dikehendaki seseorang untuk dikerjakan, baik yang muncul

dari kehendaknya sendiri, seperti kehendak untuk wakaf, membebaskan hutang,

thalak, dan sumpah, maupun yang membutuhkan pada kehendak dua pihak

dalam melakukannya seperti jual beli, sewa menyewa, dan gadai atau jaminan.

Adapun arti khusus akad adalah pertalian atau keterikatan antara ijab dan qabul

sesuai dengan kehendak syari‟ah (Allah dan Rasulnya) yang menimbulkan

akibat hukum pada obyek akad.29 Oleh karena itu, pengetahuan mengenai akad

penting dalam menjalankan praktek jual beli antara produsen dan konsumen.

29

(47)

36 BAB III

HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN ANTI MONOPOLI DI INDONESIA

A. Hukum Perlindungan Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

Semula dalam tata hukum Indonesia, istilah Hukum Perlindungan

Konsumen belum begitu dikenal. Keadaan agak berubah setelah hadirnya

Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 pada tanggal 20

April 1999. Konsumen yang dimaksudkan dalam bagian ini adalah setiap

pengguna barang atau jasa untuk kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah

tangga, dan tidak untuk memproduksi barang atau jasa lain atau

memperdagangkannya kembali.1 Dalam pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor

8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa konsumen

adalah setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,

baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup

lain dan tidak untuk diperdagangkan. Melemahnya etika bisnis di kalangan

profesional mengindikasikan perlunya penerapan kaidah hukum dalam

kasus-kasus yang membawa kerugian sebagian atau kerugian yang meluas di kalangan

para korban (konsumen). Peran regulasi sendiri semacam kode etik belum

1

(48)

37

mampu membina para anggota profesinya agar berperilaku yang pantas di

dalam menjalankan profesi atau pekerjaannya. Meskipun demikian, dalam

pembaruan hukum perlindungan konsumen, pihak produsen yang merupakan

pihak yang diuntungkan oleh ketiadaan atau tidak memadainya aturan hukum

perlindungan konsumen perlu pula mendapat perlindungan-perlindungan

tertentu agar tetap terjadi keseimbangan dalam perlindungan hukum.

Tujuan penyelenggaraan, pengembangan, dan pengaturan

perlindungan konsumen yang direncanakan adalah untuk meningkatkan

martabat dan kesadaran konsumen atau secara tidak langsung mendorong

pelaku usaha didalam menyelenggarakan kegiatan usahanya agar dilakukan

dengan penuh rasa tanggung jawab. Pengaturan perlindungan konsumen

dilakukan dengan :

1. Menciptakan system perlindungan konsumen yang mengandung unsur

keterbukaan akses dan informasi, serta menjamin kepastian hukum.

2. Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan seluruh

pelaku usaha.

3. Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa.

4. Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktek usaha yang

menipu dan menyesatkan.

5. Memadukan penyelenggaraan, pengembangan, dan pengaturan perlindungan

(49)

Menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen “Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang

menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada

konsumen” meskipun undang-undang ini disebut sebagai Undang-Undang

Perlindungan Konsumen namun bukan berarti kepentingan pelaku usaha tidak

ikut menjadi perhatian, teristimewa karena keberadaan perekonomian nasional

banyak ditentukan oleh para pelaku usaha. Kesewenang-wenangan akan

mengakibatkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, agar segala upaya

memberikan jaminan akan kepastian hukum, ukurannya secara kualitatif

ditentukan dalam Undang Perlindungan Konsumen dan

Undang-Undang lainnya yang juga dimaksudkan dan masih berlaku untuk memberikan

perlindungan konsumen, baik dalam hukum privat (perdata) maupun bidang

hukum public (hukum pidana dan hukum administrasi negara).

Asas dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999

menurut pasal 2 berbunyi “Perlindungan Konsumen berasaskan manfaat,

keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian

hukum”. Penjelasan dari bunyi pasal ini, perlindungan konsumen

diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 asas yang relevan dalam

pembangunan nasional, yaitu :

1. Asas manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya

dalam memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen

(50)

39

2. Asas kadilan, dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan

secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku

usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara

adil.

3. Asas keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara

kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk

memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam

penggunaan pemakaian, dan pemanfaatan barang dan jasa yang dikonsumsi

atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen

menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan

perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Tujuan dari dibentuknya Undang-Undang Perlindungan Konsumen

berdasarkan pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 1999 berbunyi. “perlindungan

konsumen bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan kemampuan konsumen

untuk melindungi diri, mengangkat harkat konsumen dengan menghindarkan

dari ekses negative pemakaian barang atau jasa, meningkatkan pemberdayaan

konsumen, menciptakan system perlindungan konsumen yang mengandung

unsur kepastian hukum, menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai

(51)

berusaha dan meningkatkan kualitas barang atau jasa yang menjamin

kelangsungan usaha produksi barang atau jasa”. Pasal 3 Undang-Undang

Perlindungan Konsumen ini merupakan isi pembangunan nasional, karena

tujuan perlindungan konsumen yang ada itu merupakan sasaran akhir yang

harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan

konsumen.

Berkaitan dengan perbuatan yang dilarang untuk pelaku usaha, seperti

diketahui bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen menetapkan tujuan

perlindungan konsumen, maka untuk maksud tersebut berbagai hal yang

membawa akibat negative dari pemakaian barang atau jasa harus dihindarkan

dari aktifitas perdagangan pelaku usaha. Sebagai upaya untuk menghindarkan

akibat negative pemakaian barang atau jasa tersebut, undang-undang

menentukan berbagai larangan, termasuk kegiatan kartel. Tentu untuk mengatur

hal ini dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tercantum dalam pasal

8 ayat (1), (2), (3), (4), yang dimana pelaku usaha dalam melakukan kegiatan

usaha nya dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat dan juga harus

memberikan informasi yang lengkap dan benar terkait barang yang

diperdagangkan. Pada intinya substansi pasal ini tertuju pada dua hal, yaitu

larangan memproduksi barang atau jasa dan larangan memperdagangkan barang

atau jasa yang dimaksud. Larangan-larangan yang dimaksudkan hakikatnya

(52)

41

merupakan produk yang layak edar, antara lain asal-usul, kualitas sesuai dengan

informasi pengusaha baik melalui label, dan lain sebagainya.2

Dalam hal pembinaan dan pengawasan konsumen dalam melakukan

transaksi usaha dengan produsen peran Pemerintah juga ikut andil dalam

pembinaan dan penyelenggaraan perlindungan konsumen berdasarkan ketentuan

dalam pasal 29 Undang-Undang Perlindungan Konsumen ayat (1) yang

berbunyi, “Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan

perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan

pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha”.

Keterlibatan pemerintah dalam pasal ini didasarkan pada kepentingan yang

diamanatkan oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa kehadiran

negara untuk mensejahtrerakan rakyatnya. Berdasarkan penjelasan pasal

tersebut maka adanya tanggung jawab Pemerintah atas pembinaan

penyelenggaraan perlindungan konsumen tidak lain dimaksudkan untuk

memberdayakan konsumen memperoleh haknya. Tugas pembinaan

penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjadi tanggung jawab

pemerintah dan dilaksanakan oleh Menteri terkait sebagaimana ditentukan

dalam pasal 29 tersebut, selanjutnya telah dijabarkan dalam Peraturan

2

(53)

Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 yang intinya menciptakan iklim usaha yang

sehat antara pelaku usaha dan konsumen.

Dalam kaitannya dengan badan apakah yang menaungi konsumen dalam

hal melindungi konsumen adalah adanya Badan Perlindungan Konsumen

Nasional. Dibentuknya badan ini untuk melindungi konsumen termaktub dalam

pasal yang ada dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, berdasarkan

pasal 31 yang berbunyi, “Dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan

konsumen dibentuk badan Perlindungan Konsumen Nasional”. Berangkat dari

ketentuan pasal ini, dapat diketahui bahwa Badan Perlindungan Konsumen

Nasional diadakan untuk mengembangkan upaya perlindungan konsumen di

Indonesia. Badan Perlindungan Konsumen Nasional dibentuk sebagai upaya

untuk mengembangkan perlindungan konsumen yang sudah diatur dalam pasal

lain. Pengaturan tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional

memperlihatkan bentuk kesungguhan pembuat undang-undang memberikan

perlindungan kepada konsumen yang selama ini lebih banyak hanya dijadikan

sebagai objek produksi barang atau jasa oleh pelaku usaha yang tidak jarang

melakukan kegiatan usaha terlarang seperti kartel. Dan untuk menjalankan tugas

dan fungsinya Badan Perlindungan Konsumen Nasional telah diatur dalam pasal

36 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999.

Sebelum lahirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen, upaya

Referensi

Dokumen terkait

Meskipun meyakini pentingnya pengalaman empiris sebagai saluran ilmu pengetahuan yang absah, Islam tidak berpegang pada pendapat yang saat ini berlaku di Barat, bahwa kebenaran itu

Kirby-Bauer. Kontrol positif menggunakan siprofloksasin 5 μg/disk sedangkan kontrol negatif menggunakan DMSO 10%. Hasil : Berdasarkan skrining fitokimia, ekstrak etanol daun

Sekalipun dalam beberapa kasus hukum dikemukakan bahwa seorang direktur nominee dapat bertindak untuk kepentingan pihak yang menunjuknya, hal ini hanyalah merupakan

Dari pengertian pekerja tersebut jelas bahwa tenaga kerja yang sudah bekerja yang dapat disebut pekerja/buruh.Istilah buruh/pekerja yang sekarang disandingkan muncul karena

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Pengaruh Harga,

pengembangan jahe menjadi produk olahan pangan yang sangat disukai oleh masyarakat dan bernilai gizi tinggi sehingga dapat meningkatkan kekebalan tubuh dan

Wakil Gubernur Mahasiswa Himpunan Mahasiswa Jurusan mempunyai tugas yaitu membantu dan menggantikan Gubernur Mahasiswa yang berhalangan hadir dalam menjalankan kegiatan HMJ

Keluaran yang akan dicapai dalam penelitian tugas akhir ini adalah menghasilkan model dan kerangka dasar (blueprint) yang meliputi arsitektur bisnis,