• Tidak ada hasil yang ditemukan

Income Distribution Inequality in West Sumatera and The Related Factors

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Income Distribution Inequality in West Sumatera and The Related Factors"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

DI SUMATERA BARAT

DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI

PUTRI IRINA MAYANG SARI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Sumatera Barat dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

PUTRI IRINA MAYANG SARI. Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Sumatera Barat dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi. Dibimbing oleh SRI MULATSIH dan IDQAN FAHMI.

Ketimpangan distribusi pendapatan merupakan masalah yang sering kali menjadi topik penting karena kecenderungannya yang terus mengalami peningkatan. Provinsi Sumatera Barat memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi, walaupun demikian provinsi ini juga mengalami masalah peningkatan nilai Gini ratio yang berarti terjadi peningkatan ketimpangan distribusi pendapatan. Adanya ketimpangan distribusi pendapatan dikhawatirkan akan menyebabkan banyak permasalahan tidak hanya masalah ekonomi tetapi juga masalah sosial bahkan politik. Untuk mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan di Sumatera Barat dapat dilakukan melalui pengurangan ketimpangan distribusi pendapatan di tingkat Kabupaten/Kota karena otonomi daerah ada di tingkat Kabupaten/Kota.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kondisi ketimpangan distribusi pendapatan di tingkat Kabupaten/Kota di Sumatera Barat sejak tahun 2006 sampai 2011. Selanjutnya, penelitian ini juga menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi ketimpangan distribusi pendapatan di Sumatera Barat. Hasil analisis menggunakan perhitungan Gini ratio menunjukkan bahwa ketimpangan distribusi pendapatan di tingkat Kabupaten/Kota di Sumatera Barat sejak tahun 2006 sampai 2011 mengalami kecenderungan peningkatan. Regresi data panel 2006 sampai 2011 digunakan untuk memperoleh faktor-faktor yang memengaruhi ketimpangan distribusi pendapatan. Pertumbuhan ekonomi, pengeluaran pemerintah untuk belanja pegawai dan gempa bumi terbukti memperburuk terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan, sedangkan share sektor industri terhadap PDRB, tenaga kerja sektor industri, pengeluaran pemerintah untuk belanja non pegawai dan pertumbuhan penduduk dapat mengurangi terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan di Sumatera Barat.

Rekomendasi kebijakan yang dapat disarankan dari penelitian ini adalah, pertama, pemerintah tetap mengejar tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi yang berbasis pada pemerataan melalui kontribusi sektor industri yang dominan dan pengeluaran pemerintah untuk pembangunan. Kedua, mendorong sektor industri terutama industri padat karya yang mampu menyerap tenaga kerja lebih besar. Ketiga, mengupayakan masyarakat memperoleh pendidikan dan menyediakan sarana dan prasarana yang layak agar seluruh masyarakat memiliki kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan dan meningkatkan kemampuan untuk dapat bekerja di sektor industri. Keempat, lebih fokus pada peningkatan pengeluaran pemerintah non-belanja pegawai terutama untuk transfer sosial dan pengeluaran publik. Kelima, menciptakan program pertumbuhan penduduk yang lebih produktif. Seperti mencanangkan program, adanya sarjana pada setiap keluarga miskin. Terakhir, mempersiapkan mekanisme bantuan dan transfer sosial yang tepat sasaran ketika terjadi bencana. Efektifitas bantuan dan transfer sosial juga harus dipertajam melalui evaluasi dan pengawasan.

(5)

SUMMARY

PUTRI IRINA MAYANG SARI. Income Distribution Inequality in West Sumatera and The Related Factors. Supervised by SRI MULATSIH and IDQAN FAHMI.

Income distribution inequality is a problem that often becomes important due to its tendency to have an increase. Province of West Sumatera has relatively high economic growth, however, this province also experiencing an increase in Gini ratio value which means income distribution inequality. Income distribution inequality is feared to cause many problems, not only economical but also socio politic. Income distribution inequality in West Sumatera can be reduced by reduction of income distribution inequality in Regencies/Municipalities level due to regional autonomy.

The objective of this research is to analyze income distribution inequality in Regencies/Municipalities level from 2006 to 2011. Moreover, this research also analyzes factors affecting income distribution inequality in West Sumatera. Analysis result using Gini ratio calculation suggests that income distribution inequality in Regencies/Municipalities level in West Sumatera from 2006 to 2011 tends to increase over the year. Panel data regression from 2006 to 2011 is used to obtain factors affecting income distribution inequality. Economic growth,

government’s spending on personal expenditure and earthquake are proved to have negative effect on income distribution inequality, while industrial sector’s

share towards GRDP (Gross Regional Domestic Product), workers on industrial

sector, government’s spending on non-personal expenditure and population growth can reduce income distribution inequality in West Sumatera.

As for policy recommendation from this research; First, The government to keep pursue economic growth which is based on equity through dominant

contribution in industrial sector and government’s spending on development.

Second, to push industrial sector especially in labor intensive part that is able to absorb more workers. Third, to provide adequate education and infrastructure to the people so that everyone has equal opportunity in getting income. Fourth, to

focus more on increment of government’s spending on non-personal expenditure especially for social transfer and public spending. Fifth, to create more productive population growth program, such as initiating a program to have one college graduate from each poor family. Lastly, to prepare accurate assistance mechanism and social transfer in case of natural disaster. The affectivity of assistance and social transfer has to be sharpen through evaluation and monitoring.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

DI SUMATERA BARAT

DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(8)
(9)

Judul Tesis : Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Sumatera Barat dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi

Nama : Putri Irina Mayang Sari NIM : H151114031

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Sri Mulatsih, MSc Agr Ketua

Dr Ir Idqan Fahmi, MEc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi

Dr Ir Nunung Nuryartono, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala berkat, rahmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga penulis berhasil menyelesaikan tesis yang berjudul Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Sumatera Barat dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, penulis akan mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tesis ini.

Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada pihak-pihak yang telah memberikan dukungan moral, spiritual dan material kepada penulis dalam menyelesaikan penyusunan tesis ini, khususnya kepada:

1. Dr Ir Sri Mulatsih, MSc Agr selaku ketua komisi pembimbing dan Dr Ir Idqan Fahmi MEc selaku anggota komisi pembimbing yang selalu memberikan bimbingan, arahan dan masukan yang sangat bermanfaat dalam penyusunan tesis ini.

2. Dr Alla Asmara, SPt MSi selaku penguji luar komisi dan Dr Ir Wiwiek Rindayati, Msi selaku penguji perwakilan Mayor IE FEM SPs IPB atas saran dan kritik yang membangun terkait penyempurnaan tesis ini.

3. Orang tua penulis Dr Ir Muhammad Irnad MSc dan Ir Sevina Rozalen serta saurada penulis Arif Randi Ronaza dan Muhammad Andri Ronaza dan seluruh keluarga besar penulis atas kasih sayang, pengertian, doa dan dukungannya yang tidak pernah putus.

4. Rekan-rekan kelas IE FEM reguler angkatan VI dan V, BPS IE FEM Batch IV serta Kemendag Batch I atas kebersamaan dan kerjasama selama perkuliahan dan penyusunan tesis ini.

5. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan tesis ini meskipun namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Tesis ini diajukan untuk memenuhi tugas akhir dan sebagai prasyarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor IE FEM SPs IPB. Meskipun demikian, penulis sangat menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna dimana dalam penyusunannya terdapat banyak kekurangan yang dikarenakan berbagai keterbatasan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna penyempurnaan tesis ini. Akhir kata, penulis berharap bahwa tesis ini dapat memberikan kontribusi dalam proses pembangunan dan bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, Maret 2014

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

Ruang Lingkup Penelitian 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 5

Tinjauan Teori 5

Tinjauan Empiris 11

Kerangka Pemikiran 16

Hipotesis Penelitian 17

3 METODE PENELITIAN 17

Jenis dan Sumber Data 17

Metode Analisis Data 18

1.Analisis Deskriptif 18

2. Analisis Gini ratio 18

3. Analisis Data Panel 19

Pemilihan Model Data Panel Statis 23

Uji Asumsi 24

Evaluasi Model 25

Spesifikasi Model 26

4 GAMBARAN UMUM 27

Kondisi Geografis 27

Pertumbuhan Ekonomi dan Pendapatan Perkapita 28

Sektor Industri 30

Tenaga Kerja Sektor Industri 32

Pengeluaran Pemerintah 34

Pertumbuhan Penduduk 36

Potensi Gempa Bumi di Sumatera Barat 38

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 40

Ketimpangan Distribusi Pendapatan Masing-Masing Kabupaten/Kota di

Sumatera Barat 40

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Distribusi Pendapatan di

Sumatera Barat 41

6 SIMPULAN DAN SARAN 46

Simpulan 46

(14)

DAFTAR PUSTAKA 48

LAMPIRAN 51

RIWAYAT HIDUP 58

DAFTAR TABEL

1. Jenis data penelitian 18

2. Nilai dan arti statistik Durbin Watson (DW) 25

3. Pertumbuhan riil sektor ekonomi di Sumatera Barat (persen) 30 4. Distribusi persentase sektor industri pengolahan menurut sub-sektor 31 5. Laju pertumbuhan sektor industri pengolahan menurut sub-sektor

(persen) 31

6. Tenaga kerja sektor industri di tingkat Kabupaten/Kota tahun 2012 33 7. Belanja pemerintah daerah dan belanja pegawai di Sumbar tahun 2012 35

8. Pertumbuhan penduduk di Sumatera Barat 36

9.Gini ratio di tingkat Kabupaten/Kota di Sumatera Barat pada

2006-2011 41

10. Hasil uji Hausman 41

11. Hasil estimasi model ketimpangan distribusi pendapatan 42

DAFTAR GAMBAR

1. Gini ratio Sumatera Barat tahun 2008-2012 2

2. Distribusi pendapatan di Sumatera Barat tahun 2012 2 3. Perkembangan pertumbuhan ekonomi dan Gini ratio di Sumatera

Barat tahun 2008-2012 3

4. Kurva Lorenz 7

5. Kurva U-terbalik hipotesis Kuznets 9

6. Kerangka pemikiran 16

7. Peta wilayah Provinsi Sumatera Barat 27

8. PDRB Perkapita Sumatera Barat atas dasar harga berlaku dan konstan

serta pertumbuhannya tahun 2008-2012 28

9. Distribusi persentase PDRB menurut sektor lapangan usaha di

Sumatera Barat tahun 2011-2012 29

10. Perkembangan jumlah tenaga kerja di Sumatera Barat per-sektor

(orang) 32

11. Realisasi belanja apatur pemerintah Sumatera Barat tahun 2012 34 12. Jumlah penduduk menurut golongan umur tahun 2012 36 13. Jumlah penduduk ditingkat Kabupaten/Kota tahun 2012 37

14. Peta potensi gempa Sumatera Barat 38

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Gini ratio masing-masing Kabupaten/kota di Sumatera Barat 51

2. Hasil uji hausman 52

3. Hasil estimasi model ketimpangan distribusi pendapatan menggunakan

metode Random Effect 53

4. Hasil estimasi model ketimpangan distribusi pendapatan menggunakan

metode PLS 54

5. Hasil estimasi model ketimpangan distribusi pendapatan menggunakan

metode Fixed Efeect 55

6. Uji Chow 56

(16)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hubungan ketimpangan distribusi pendapatan dan kinerja perekonomian terus menjadi perdebatan tidak hanya dikalangan ekonom melainkan juga oleh para pembuat kebijakan (Eicher dan García-Peñalosa 2000). Pada satu sisi tingkat pertumbuhan pendapatan perkapita merupakan suatu hal yang sangat penting dan dibutuhkan karena menjadi tolok ukur kemakmuran dan tingkat pembangunan sebuah negara. Pertumbuhan ekonomi menunjukkan proses perubahan kondisi perekonomian suatu negara secara berkesinambungan menuju keadaan yang lebih baik selama periode tertentu. Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan juga sebagai proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Namun demikian, pada sisi lain tingkat pertumbuhan pendapatan perkapita sering dihubungkan dengan peningkatan ketimpangan distribusi pendapatan. Pengaruh pendapatan perkapita terhadap ketimpangan distribusi pendapatan, terkenal dengan hubungan inverted U-shape yang banyak diketahui dengan sebutan kurva Kuznets. Penelitian tentang kurva ini pertama sekali dilakukan oleh Kuznets pada tahun 1955 dan menyatakan bahwa pada tahap awal pembangunan, pertumbuhan pendapatan perkapita cenderung akan mempertinggi ketimpangan distribusi pendapatan (Barro 2008).

(17)

2

Gambar 1. Gini ratio Sumatera Barat tahun 2008-2012 Sumber: BPS 2008-2012

Sekretaris Jenderal Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) menyebutkan adanya ketimpangan distribusi pendapatan merupakan masalah serius yang perlu mendapat prioritas penting bagi pemerintah agar segera diatasi (Beritasore.com 2012). Oleh karena itu, ketimpangan distribusi pendapatan merupakan topik yang penting untuk diteliti.

Tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi yang dikuti oleh peningkatan ketimpangan distribusi pendapatan terjadi di Sumatera Barat. Kajian Ekonomi Regional Sumatera Barat menyatakan pertumbuhan ekonomi provinsi ini pada triwulan I tahun 2013 mencapai 7.2%. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun yang sama yaitu 6.0% (Bank Indonesia 2013). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut juga diikuti oleh peningkatan Gini ratio yang merupakan ratio dalam pengukuran ketimpangan distribusi pendapatan. Badan Pusat Statistik (BPS 2008-2012) mencatat pada tahun 2008, Gini ratio Sumatera Barat berada pada angka 0.29, kemudian meningkat ditahun 2009 menjadi 0.30 dan ditahun 2012 Gini ratio Sumatera Barat mencapai 0.36 (Gambar 1).

Jika dilihat dari data distribusi pendapatan di Sumatera Barat pada tahun 2012, 45% pendapatan dinikmati oleh 20% penduduk golongan pendapatan tinggi, 36% pendapatan dinikmati oleh 40% penduduk golongan pendapatan menengah sedangkan hanya 19% pendapatan yang dinikmati oleh 40% penduduk

Golongan pendapatan

rendah 19%

Golongan pendapatan

menengah 36% Golongan

pendapatan tinggi

45%

Sumber: BPS Susenas 2012

(18)

3 golongan pendapatan rendah (Gambar 2). Ini mencerminkan bahwa, walaupun terjadi pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, namun manfaatnya lebih banyak dinikmati oleh penduduk pada golongan dengan pendapatan tinggi saja.

Perumusan Masalah

Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi menjanjikan kesejahteraan yang lebih baik bagi perekonomian secara keseluruhan. Sumatera Barat merupakan provinsi yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi relatif tinggi. Akan tetapi tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi tersebut diiringi oleh peningkatan ketimpangan distribusi pendapatan yang diukur melalui Gini ratio. Gambar 3 memperlihatkan perkembangan pertumbuhan ekonomi dan Gini ratio di Sumatera Barat. Tingkat pertumbuhan ekonomi di Sumatera Barat sejak tahun 2008 sampai 2012 selalu bernilai positif walaupun mengalami penurunan pada tahun 2009 akibat adanya tekanan krisis ekonomi global. Pada tahun 2008 pertumbuhan ekonomi di Sumatera Barat mencapai 6.88% menurun menjadi 4.28% di tahun 2009 kemudian di tahun 2012 kembali meningkat menjadi 6.35%. Di sisi lain Gini ratio di Sumatera Barat sejak tahun 2008 sampai 2012 juga menunjukkan perkembangan adanya peningkatan (Gambar 3).

Untuk mengurangi terjadinya peningkatan ketimpangan distribusi pendapatan di Sumatera Barat dapat dilakukan melalui pengurangan ketimpangan distribusi pendapatan di tingkat Kabupaten/Kota yang ada di Sumatera Barat. Kabupaten/Kota memiliki peran yang sangat penting sejak diberlakukannya desentralisasi kebijakan melalui otonomi daerah. Otonomi daerah dapat diartikan sebagai kewenangan yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan

Gambar 3. Perkembangan pertumbuhan ekonomi dan Gini ratio di Sumatera Barat tahun 2008-2012

(19)

4

pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Wikipedia 2014). Oleh karena itu, dengan adanya otonomi daerah, pemerintah daerah dapat merespon lebih cepat mekanisme kebijakan yang harus ditetapkan dalam melakukan penanggulangan peningkatan ketimpangan distribusi pendapatan di Sumatera Barat.

Ray (1998) mengungkapkan bahwa, setidaknya terdapat dua faktor yang mendasari penelitian mengenai ketimpangan pendapatan, pertama adalah faktor intrinsik yaitu untuk mengukur tingkat ketimpangan itu sendiri. Ukuran ketimpangan tersebut digunakan sebagai bahan evaluasi dari kebijakan yang bertujuan untuk mengurangi ketimpangan pendapatan. Kedua, keterkaitan antara ketimpangan pendapatan dan variabel-variabel makro ekonomi seperti tingkat pendapatan nasional dan pertumbuhan ekonomi.

Distribusi pendapatan di Sumatera Barat yang bergerak semakin timpang, mengindikasikan adanya peran faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya ketimpangan tersebut. Pemahaman mengenai faktor-faktor mendasar yang memengaruhi ketimpangan distribusi pendapatan akan membantu para pengambil kebijakan, khususnya pemerintah daerah Sumatera Barat dalam merancang pilihan kebijakan untuk memperkecil ketimpangan distribusi pendapatan disamping tetap mempertahankan pola pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Dari uraian pada latarbelakang, permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi ketimpangan distribusi pendapatan pada masing-masing Kabupaten/Kota di Sumatera Barat?

2. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi ketimpangan distribusi pendapatan di Sumatera Barat?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis kondisi ketimpangan distribusi pendapatan di tingkat Kabupaten/Kota di Sumatera Barat.

2. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi ketimpangan distribusi pendapatan di Sumatera Barat.

Manfaat Penelitian

(20)

5 distribusi pendapatan agar setiap masyarakat dapat memperoleh kesejahteraan yang lebih baik.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dalam penelitian ini hanya dibatasi pada ketimpangan distribusi pendapatan di Sumatera Barat yang di proksi menggunakan pengeluran rumah tangga, tanpa melihat ketimpangan antar Kabupaten/Kota di Sumatera Barat. Sehingga bahasan dalam penelitian ini hanya meliputi Sumatera Barat tidak menjelaskan tentang kondisi Kabupaten/Kota di Sumatera Barat.

Keterbatasan dalam penelitian ini adalah ukuran ketimpangan yang digunakan hanya menggunakan pendekatan rumah tangga dengan indikator Gini ratio (ketimpangan distribusi pendapatan), tanpa mempertimbangkan adanya ukuran ketimpangan lainnya. Dimana masalah ketimpangan distribusi pendapatan hanya merupakan bagian kecil dari masalah ketimpangan yang sebenarnya jauh lebih luas, yaitu yang mencakup ketimpangan kekuasaan, prestise, status, gender, kepuasan kerja, kondisi kerja, derajat partisipasi, kebebasan memilih serta dimensi lain dari masalah tersebut yang berkaitan.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Teori Ketimpangan Distribusi Pendapatan

Literatur mengenai evolusi atau perubahan ketimpangan dalam distribusi pendapatan pada awalnya didominasi oleh temuan Simon Kuznets yang disebut dengan Hipotesis Kuznets pada tahun 1955. Dengan menggunakan data antar Negara (cross section) dan data runtun waktu di setiap Negara (time series), Kuznets menemukan relasi antara ketimpangan pendapatan dan partumbuhan

pendapatan per kapita berbentuk “U” terbalik (Inverted U Hypothesis). Beliau berpendapat bahwa mula-mula ketika pembangunan dimulai, distribusi pendapatan akan makin tidak merata, namun setelah mencapai suatu tingkat pembangunan tertentu, distribusi pendapatan makin merata.

(21)

6

seseorang memiliki pilihan sementara individu lain tidak memiliki pilihan yang sama.

David Ricardo yang mengemukakan teori ekonomi klasik menyatakan pendapatan nasional dapat dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu upah sebagai balas jasa tenaga kerja, keuntungan sebagai balas jasa pemilik modal dan sewa sebagai keuntungan pemilik lahan. Ricardo menekankan bahwa aktor ekonomi yang berperan pada pembagian pendapatan nasional adalah pekerja, pemilik modal dan tuan tanah. Hasil analisis Ricardo memperkirakan bahwa ketimpangan akan meningkat seiring proses pertumbuhan ekonomi berdasarkan akumulasi modal dalam perekonomian modern atau industrialisasi karena porsi terbesar dari pertumbuhan ekonomi akan dinikmati oleh para tuan tanah yang kaya selama supply produk pangan bersandar pada produksi domestik.

Setengah abad kemudian, Marx memperkirakan peningkatan ketimpangan sepanjang proses pembangunan dalam perekonomian kapitalis. Perkembangan proses industrialisasi membuat penggunaan lahan pada era Marx tidak sepenting pada era Ricardo, oleh karena itu Marx mengkategorikan distribusi pendapatan nasional pada upah dan keuntungan yang menggambarkan pendapatan yang diperoleh pekerja dan pemilik modal. Marx menemukan bahwa jika peningkatan keuntungan lebih besar dibandingkan kenaikan upah, maka pendapatan nasional lebih banyak dinikmati oleh pemilik modal dan akan meningkatkan kemiskinan pada kelompok pekerja.

Todaro dan Smith (2006) mengungkapkan bahwa distribusi pendapatan merepresentasikan besarnya porsi pendapatan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga dalam suatu wilayah. Besarnya pendapatan yang diterima individu tergantung pada tingkat produktivitas dan peranannya dalam aktivitas perekonomian. Distribusi pendapatan sebagai suatu ukuran dibedakan menjadi dua ukuran pokok, baik untuk tujuan analisis maupun untuk tujuan kuantitatif yaitu:

1. Pendapatan ”personal” atau distribusi pendapatan berdasarkan ukuran atau besarnya pendapatan. Distribusi pendapatan personal berdasarkan besarnya pendapatan adalah ukuran yang paling sering digunakan oleh ahli ekonomi. Distribusi ini hanya membahas orang per orang atau rumah tangga dan total pendapatan yang diterima, sedangkan dari mana pendapatan yang diperoleh tidak diperhitungkan. Selain itu juga diabaikan sumber-sumber pendapatan yang menyangkut lokasi (apakah di wilayah desa atau kota) dan jenis pekerjaan.

2. Distribusi pendapatan “fungsional” atau distribusi pendapatan menurut bagian faktor distribusi. Distribusi fungsional melihat pangsa pendapatan menurut faktor produksi yakni menghitung total pendapatan yang diperoleh setiap faktor produksi baik tanah, tenaga kerja, maupun modal. Sistem distribusi ini mempertimbangkan individu-individu sebagai totalitas yang terpisah-pisah.

Ukuran Ketimpangan Pendapatan

(22)

7 persentil, rasio Kuznets, ukuran Bank Dunia, kurva Lorenz dan Gini ratio. Ukuran kuintil, desil maupun persentil dilakukan dengan mengelompokkan pendapatan perkapita penduduk yang telah diurutkan dari yang terendah sampai yang tertinggi serta dibagi ke dalam 5 kelompok (kuintil), 10 kelompok (desil) dan 100 kelompok (persentil). Pangsa pendapatan dari setiap kelompok dihitung dari persentase jumlah pendapatan yang diterima oleh setiap kelompok dibagi dengan total pendapatan penduduk di wilayah tersebut.

Rasio Kuznets merupakan rasio jumlah pendapatan yang diterima oleh 20% penduduk berpenghasilan tinggi dibagi dengan jumlah pendapatan 40% penduduk berpenghasilan rendah. Semakin tinggi nilai rasio Kuznets menunjukkan tingkat ketimpangan dalam distribusi pendapatan yang semakin tinggi atau tingkat pemerataan yang semakin rendah. Hampir sama dengan rasio Kuznets, ukuran Bank Dunia membagi pendapatan yang diterima penduduk menjadi tiga kelompok, yakni 40% penduduk berpenghasilan rendah, 40% penduduk berpenghasilan menengah, dan 20% penduduk berpenghasilan tinggi. Kategori ketimpangan ditentukan dengan melihat besarnya proporsi pendapatan yang diterima oleh 40% penduduk yang berpendapatan rendah. Kriterianya adalah ketimpangan tinggi jika proporsinya < 12%; ketimpangan sedang jika berkisar 12-17%; dan ketimpangan rendah jika >17% (Todaro dan Smith, 2006).

Kurva Lorenz menggambarkan hubungan kuantitatif antara penduduk atau rumah tangga sebagai penerima pendapatan dengan jumlah pendapatan yang diterima selama periode tertentu (Gambar 4). Sumbu horizontal menunjukkan jumlah populasi penduduk atau rumah tangga penerima pendapatan dan sumbu vertikal menunjukkan jumlah persentase pendapatan yang diterima oleh setiap kelompok yang disusun secara kumulatif (dari kelompok penduduk atau rumah tangga yang berpendapatan terendah hingga yang tertinggi). Garis diagonal utama

(23)

8

mencerminkan garis pemerataan pendapatan. Kurva Lorenz yang semakin mendekati garis diagonal utama, menunjukkan distribusi pendapatan yang semakin merata atau ketimpangan yang semakin rendah. Kurva Lorenz yang berimpit dengan garis pemerataan menunjukkan tingkat pemerataan yang sempurna atau tidak terjadi ketimpangan dalam distribusi pendapatan. Sebaliknya, jika kurva Lorenz semakin menyimpang atau semakin menjauh dari garis pemerataan maka ketidakmerataan semakin besar atau ketimpangan semakin meningkat.

Ukuran formal kesenjangan pendapatan yang diturunkan dari kurva Lorenz adalah Gini ratio. Gini ratio merupakan rasio luas wilayah bidang I pada kurva Lorenz dengan luas wilayah segitiga dibawah garis 450 (bidang I+II). Gini ratio merupakan ukuran ketimpangan yang memenuhi empat prinsip pengukuran, sehingga dapat digunakan untuk membandingkan ketimpangan distribusi pendapatan antar waktu maupun antar wilayah (Todaro dan Smith, 2006). Keempat kriteria atau prinsip pengukuran tersebut didefinisikan sebagai berikut:

1. Prinsip anonimitas (anonimity principle), artinya ukuran ketimpangan seharusnya tidak tergantung pada siapa yang mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi atau apakah itu orang kaya atau miskin.

2. Prinsip independensi skala (scale independence pronciple), ukuran ketimpangan tidak tergantung pada ukuran perekonomian suatu negara dan cara mengukur pendapatannya. Artinya, tidak tergantung apakah kondisi negara kaya atau miskin serta diukur dalam dolar atau mata uang lainnya. 3. Prinsip independensi populasi (population independence principle), ukuran

ketimpangan tidak tergantung pada jumlah penduduk suatu negara/wilayah, sehingga perekonomian Indonesia tidak boleh dikatakan lebih merata/timpang dari Vietnam hanya karena jumlah penduduk Indonesia lebih banyak.

4. Prinsip transfer Pique-Dalton (Pique-Dalton transfer principle), jika diasumsikan semua pendapatan lain konstan maka dengan mentransfer sejumlah pendapatan dari orang kaya kepada orang miskin maka akan dihasilkan distribusi pendapatan yang baru dan lebih merata.

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Distribusi Pendapatan

Adanya kecenderungan peningkatan ketimpangan distribusi pendapatan setiap tahunnya mengakibatkan banyak peneliti mencoba menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi ketimpangan tersebut. Pada penelitian ini, faktor-faktor-faktor-faktor yang memengaruhi ketimpangan dikelompokkan menjadi beberapa bagian utama, yaitu:

1) Pertumbuhan dan tingkat pembangunan

(24)

9 ketimpangan ekonomi. Perubahan ini yang banyak dikenal dengan sebutan inverted U-shaped (kurva U-terbalik) yang menghubungkan antara GDP perkapita dan ketimpangan distribusi pendapatan (Gambar 5).

Kuznets menyatakan bahwa pertanian mewakili sebagian besar perekonomian dan juga ditandai oleh rendahnya tingkat ketimpangan pada periode awal pembangunan. Seiring terjadinya proses pembangunan, maka struktur perekonomian secara berangsur-angsur beralih pada sektor sekunder bahkan tersier. Perubahan menuju sektor sekunder dan tersier pada dasarnya memiliki dua efek dalam jangka pendek (Nikoloski 2009). Efek pertama adalah perubahan itu akan mempercepat pertumbuhan ekonomi yang mengarah pada peningkatan PDB perkapita. Efek kedua dan yang paling dramatis adalah bahwa perubahan tersebut akan menyebabkan peningkatan tingkat ketimpangan. Akibatnya, pada tahap awal pembangunan, PDB per kapita dan ketimpangan akan berkorelasi positif. Seiring proses pembangunan, terjadi pengalihan sumber daya yang lebih banyak dari sektor pertanian ke sektor industri, bahkan jasa dan berangsur-angsur akan mengurangi ketimpangan pendapatan antara sektor industri dan pertanian karena terjadi perpindahan tenaga kerja ke sektor industri. Akibatnya, tercipta hubungan jangka panjang yang negatif antara ketimpangan pendapatan dan PDB perkapita.

2) Faktor Makroekonomi

Pada kelompok ini yang termasuk faktor yang memengaruhi ketimpangan distribusi pendapatan salah satunya adalah tingkat pengeluaran pemerintah. Peran pengeluaran pemerintah terhadap ketimpangan distribusi pendapatan dipengaruhi oleh komposisi pengeluaran tersebut, terutama pada bagian transfer sosial untuk pengeluaran public (Cornia dan Kiiski 2001). Sebagai contoh, apabila hutang external meningkat, maka bunga pembayaran juga akan meningkat yang menyebabkan berkurangnya transfer sosial dan terjadi efek redistribusi pada pengeluaran sektor publik yang juga akan mengalami penurunan. Sehingga dalam

Gambar 5. Kurva U-terbalik hipotesis Kuznets ketimpangan

meningkat

ketimpangan menurun

Gini

rati

o

(25)

10

kasus ini, pengeluaran pemerintah justru tidak memiliki pengaruh terhadap pengurangan ketimpangan distribusi pendapatan.

Dalam Wells (2006), Sylwester pada tahun 2002 melaporkan terdapat hubungan yang negatif antara ketimpangan dan pengeluaran pemerintah bidang pendidikan. Sedangkan penelitian lain oleh Checchi pada tahun 2000 dan Deininger & Squire pada tahun 1998 menemukan pengeluaran pemerintah dalam bidang pendidikan berhubungan positif terhadap ketimpangan, walaupun hubungan sebab akibat yang dihasilkannya sangat ambigu. Penelitian lain juga dilakukan oleh Shanahan pada tahun 1994 yang bahkan mengemukakan bahwa tidak terdapat hubungan antara pengeluaran bidang pendidikan dengan ketimpangan pendapatan. Namun, Bouillon, Legovini, & Lustig pada tahun 2001 menyatakan ekspansi pendidikan (pengeluaran pemerintah bidang pendidikan) dapat memperlebar kesenjangan tingkat pendidikan yang pada akhirnya juga akan berkontribusi terhadap terjadinya peningkatan dalam ketimpangan distribusi pendapatan.

3) Faktor Demografi

Kelompok ini meliputi proses pembangunan demografi, seperti pertumbuhan penduduk, kepadatan penduduk dan tingkat modal manusia (termasuk pada tingkat pendidikan dan kondisi kesehatan penduduk). Ketimpangan cenderung lebih rendah pada negara yang penduduknya lebih padat dibandingkan dengan negara dengan tingkat kepadatan yang lebih rendah. Daerah dengan jumlah penduduk rendah akan mengalami kemungkinan yang kuat untuk terjadinya konsentrasi lahan yang mendorong peningkatan ketimpangan melalui capital income (Kaasa 2003). Sylwester (2003) menyatakan daerah dengan tingkat kepadatan yang tinggi mencermikan keadaan penduduk yang lebih beragam dan produktifitas tinggi sehingga akan tercipta mobile society pada wilayah tersebut yang berakibat pada distribusi pendapatan yang akan lebih merata.

(26)

11

4) Bencana Alam

Pada dasarnya, bencana alam dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu yang dapat diprediksi sampai batas tertentu dan yang tidak dapat diprediksi. Bencana alam seperti angin topan, banjir dan tsunami merupakan bencana alam yang dapat diprediksi dan diketahui sejak dini akan lebih menguntungkan masyarakat atau kelompok dengan tingkat pendapatan lebih tinggi. Yamamura (2013) berpendapat bahwa masyarakat dengan tingkat pendapatan tinggi akan cenderung memilih untuk tinggal pada daerah yang jarang mengalami bencana. Disisi lain, masyarakat yang berpendapatan rendah ataupun miskin tidak dapat memilih untuk tinggal di daerah yang aman dari bencana. Akibatnya mereka akan cenderung langsung terkena bencana alam. Selain itu, sebelum terjadinya bencana masyarakat miskin cederung tidak mampu berinvestasi untuk melakukan pencegahan bencana karena mereka memiliki keterbatasan penghasilan. Bencana alam juga cenderung akan menyebabkan peningkatan kemiskinan (Rodriguez-Oreggia et al. 2013).

Jenis bencana lain yang memiliki tipe berbeda dengan angin topan, banjir dan tsunami yaitu gempa bumi yang kurang terprediksi dengan baik juga memperburuk keadaan masyarakat dengan tingkat pendapatan rendah. Masyarakat dengan penghasilan tinggi memiliki peluang lebih besar untuk dapat mempersiapkan tindakan yang harus dilakukan untuk menghadapi bencana yang tidak dapat diprediksi seperti membangun bangunan tahan gempa, bahkan apabila sulit untuk mengetahui area mana yang akan terkena gempa (Yamamura 2013). Oleh karena itu, baik itu bencana alam yang dapat diprediksi sejak awal maupun bencana alam yang tidak dapat diprediksi hanya akan lebih merugikan kelompok atau masyarakat dengan tingkat pendapatan rendah. Yang terpenting, dampak ini tidak tergantung pada apakah bencana alam dapat diprediksi atau tidak. Besar kemungkinan bagi masyarakat miskin terluka parah bahkan meninggal dunia sehingga tidak mampu bekerja yang menyebabkan penurunan pendapatannya, dan disisi lain masyarakat cenderung lebih aman dan tetap bisa melakukan pekerjaan seperti biasa setelah terjadinya bencana, yang mana ini berarti bahwa tingkat pendapatannya tidak dipengaruhi oleh bencana alam. Maka dapat disimpulkan bahwa ketimpangan distribusi pendapatan akan semakin melebar setelah terjadinya bencana alam.

Tinjauan Empiris

(27)

12

Kassa (2003) dalam penelitiannya mencoba menemukan faktor-faktor yang memengaruhi ketimpangan distribusi pendapatan pada negara yang mengalami transisi ekonomi. Kassa menggunakan Principal Component Analysis (PCA) dalam menganalisis banyak variabel yang berbeda disamping untuk menghindari terjadinya multikolinieritas. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini mencakup GDP perkapita, pertumbuhan penduduk, persentase penduduk perkotaan, kepadatan penduduk, persentase penduduk dibawah 15 tahun, inflasi, pengangguran, persentase sektor privat, persentase sektor industri, persentase sektor pertanian, dan sektor jasa terhadap GDP, pengeluaran pemerintah, pengeluaran pemerintah untuk human capital sebagai persentase terhadap GDP dan partisipasi sekolah dasar. Variabel tersebut dipilih menggunakan analisis korelasi dan kemudian dikelompokkan menggunakan analisis PCA. PCA menghasilkan empat komponen utama, yaitu tingkat proses pembangunan demografi, tingkat pembangunan negara, tingkat proses transisi dan modal manusia sebagai indikator utama yang berkontribusi terhadap terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan.

Penelitian lain yang juga membahas tentang ketimpangan pendapatan adalah yang dilakukan oleh Yamamura (2013). Penelitian ini sedikit berbeda dengan penelitian-penelitian lainnya dimana Yamamura melihat pengaruh bencana alam terhadap ketimpangan pendapatan. Yamamura mengungkapkan bahwa, walaupun benca alam ditemukan memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, akan tetapi dampaknya terhadap ketimpangan pendapatan belum banyak dibahas, oleh karena itu Yamamura menggunakan data cross-country panel selama periode 1965 sampai 2004 untuk mengkaji bagaimana bencana alam memengaruhi ketimpangan pendapatan. Hasil penelitiannya menemukan bahwa, walaupun bencana alam memiliki efek jangka pendek terhadap peningkatan ketimpangan pendapatan, efek ini akan menghilang dalam jangka menengah.

Nikoloski (2009) dalam penelitiannya yang berjudul Economic and Political Determinants of Income Inequality menggunakan metode GMM untuk mencari hubungan ketimpangan distribusi pendapatan dengan faktor ekonomi dan politik. Nikoloski tidak menemukan adanya hubungan antara meningkatnya demokrasi terhadap penurunan ketimpangan. Sedangkan terdapat hubungan yang kuat antara sumber daya alam yang melimpah, diukur menggunakan produksi minyak dan gas serta eksport logam dan biji besi terhadap meningkatnya ketimpangan pendapatan. Selain itu, ditemukan juga hubungan yang kuat antara industrialisasi terhadap penurunan ketimpangan. Nikoloski juga menemukan hubungan untuk keberadaan kurva Kuznets. Dimana beliau menemukan bukti bahwa GDP perkapita dalam jangka pendek meningkatkan tingkat ketimpangan distribusi pendapatan dan kemudian akan menurun dalam jangka panjang. Beliau juga membangun hubungan positif antara ketimpangan dan pengembangan sektor keuangan serta keterbukaan perdagangan berhubungan dengan penurunan ketimpangan.

(28)

13 dengan tingkat kepadatan tinggi diprediksi memiliki tingkat ketimpangan pendapatan relatif lebih rendah. Hasil penelitian ini didukung oleh alasan bahwa wilayah dengan tingkat kepadatan tinggi memiliki keberagaman lebih tinggi yang mendorong terjadinya mobile society yang berdampak pada pengurangan ketimpangan distribusi pendapatan.

Gustafsson dan Johansson (1997) melakukan penelitian yang berjudul

What Makes Income Inequality Vary Over Time in Different Countries?”.

Gustafsson dan Johansson berusaha menemukan faktor yang memengaruhi perkembangan distribusi pendapatan di negara-negara OECD menggunakan analisis “unbalanced panel” untuk 16 negara pada tahun 1966 sampai 1994. Ketimpangan pendapatan yang digunakan diukur melalui rasio Gini atau setara dengan pendapatan disposable. Gustafsson dan Johansson mengungkapkan bahwa terdapat banyak faktor yang memengaruhi perkembangan ketimpangan. Penurunan dalam sektor industri menjadi pendorong terjadinya ketimpangan. Hasil tersebut lebih signifikan dibandingkan dengan hubungannya dengan inflasi dan tingkat PDB. Selanjutnya, ditemukan bahwa meningkatnya perdangangan dari negara sedang berkembang akan mendorong peningkatan pula dalam ketimpangan. Terakhir, tingkat ketimpangan yang rendah muncul apabila sebagian besar tenaga kerja bergabung dalam serikat buruh serta adanya sektor publik yang lebih besar.

Penelitian lainnya tentang faktor yang memiliki dampak terhadap distribusi pendapatan dilakukan Sarel (1997). Sarel, mengembangkan kerangka penelitian cross-section untuk memeriksa hubungan antara variabel makroekonomi dengan tren pada distribusi pendapatan. Variabel makroekonomi yang secara signifikan memiliki efek negative terhadap ketimpangan adalah tingginya pertumbuhan ekonomi, tingkat pendapatan yang tinggi, tingkat investasi yang tinggi, depresiasi real (akan lebih penting pada negara dengan pendapatan rendah) dan peningkatan dalam term of trade.

Afonso et al. (2008) dalam penelitiannya tentang determinan distribusi pendapatan dan efisiensi pengeluaran publik. Penelitian ini menguji dampak dari pengeluaran publik, pendidikan dan institusi pada distribusi pendapatan pada wilayah dengan ekonomi maju. Afonsi juga mengevaluasi efisiensi pengeluaran publik dalam redistribusi pendapatan dengan menggunakan pendekatan non parametric yaitu DEA (Data Envelopment Analysis). Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa kebijakan publik secara signifikan memengaruhi distribusi pendapatan terutama melalui pengeluaran sosial, secara tidak langsung melalui kualitas yang tinggi pada tingkat pendidikan/modal manusia dan lembaga-lembaga ekonomi yang sehat.

Jaumotte et al. (2008) juga mengkaji tentang peningkatan ketimpangan pendapatan dengan judul penelitian, “Rising Income Inequality: Technology, or

(29)

14

Investment) justru berkaitan dengan peningkatan ketimpangan. Temuan utama dalam penelitian ini adalah, globalisasi dan kemajuan tekhnologi mengakibatkan peningkatan penerimaan pada modal manusia, sehingga hal ini menekankan pentingnya pendidikan dan pelatihan baik pada negara maju maupun sedang berkembang dalam rangka mengatasi meningkatnya ketimpangan.

Kemudian pada tahun 2006, Wells melakukan penelitian dengan judul

“Education’s Effect on Income Inequality : A Further Look”. Wells mengemukakan bahwa pendidikan memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap ketimpangan pendapatan. Efek pendidikan terhadap ketimpangan pendapatan dipengaruhi oleh tingkat kebebasan ekonomi suatu negara dan secara spesifik kebebasan ekonomi akan memengaruhi tingkat partisipasi sekolah.

Penelitian lain dilakukan oleh Bulir pada tahun 1998. Dalam penelitiannya, Bulir menjadikan model Kuznets sebagai tolok ukur dalam ketimpangan distribusi pendapatan. Bulir menemukan bahwa stabilitas harga, financial deepening, tingkat pembangunan, tenaga kerja dan redistribusi fiskal dapat mempertinggi pemerataan pendapatan pada suatu negara. Sementara, efek stabilitas harga seragam untuk semua tingkat PDB per kapita, efek pada financial deepening ditemukan meningkat sejalan dengan adanya peningkatan pada tingkat pembangunan. Selain itu, pengetatan kebijakan moneter tidak menunjukkan adanya efek yang dominan, seperti rendahnya tingkat inflasi justru memperkuat bukannya menetralkan pemerataan pendapatan pada redistribusi fiskal.

Penelitian yang juga membahas tentang ketimpangan distribusi pendapatan adalah yang dilakukan oleh Addison dan Cornia (2001). Addison dan Cornia mengungkapkan bahwa ketimpangan distribusi pendapatan merupakan penghambat dalam penurunan tingkat kemiskinan. Penelitian ini memperoleh hasil dimana terdapat concave relationship antara ketimpangan distribusi pendapatan dan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi akan rendah pada tingkat ketimpangan yang rendah (karena disincentive effect) dan akan rendah pula pada tingkat ketimpangan tinggi (karena efek pengurangan investasi privat untuk konflik sosial yang akan mengakibatkan ketimpangan tinggi). Sumber tradisional dari ketimpangan dapat ditanggulangi melalui land reform, dan peningkatan pengeluaran publik untuk human capital bagi masyarakat miskin.

Barro (2008) dalam penelitiannya yang berjudul Inequality and Growth Revisited memperbarui temuannya pada tahun 2000. Data internasional mengkonfimasi hubungan antara ketimpangan pendapatan dan pendapatan perkapita (kurva Kuznets) terbukti stabil sejak tahun 1960 sampai 2000. Selain itu, ditemukan juga efek langsung dari keterbukaan internasional terhadap ketimpangan distribusi pendapatan yang berhubungan positif. Di sisi lain pertumbuhan pertumbuhan ekonomi ditemukan berhubungan negatif terhadap terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan.

(30)

15 Cummins menemukan selain memperlambat pertumbuhan ekonomi, ketimpangan akan berdampak pada kesehatan dan masalah sosial yang akan mendorong terjadinya ketidakstabilan politik. Sebagai alternatif, Ortiz dan Cummins merangkum agenda pembangunan PBB yang bertujuan untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan proses pembangunan.

Selain penelitian yang diadakan di luar negeri, masalah ketimpangan distibusi pendapatan juga telah banyak dibahas didalam negeri. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Prapti (2006) yang meneliti tentang keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan untuk 35 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah tahun 2000-2004. Prapti membandingkan hubungan pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan dengan mengkorelasikannya pada hipotesis

“U” terbalik yang diajukan Simon Kuznets. Sedangkan pola keterkaitannya dilihat melalui diagram tipologi yang terdiri dari 4 kuadran. Adapun hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan yang tinggi antara pertumbuhan ekonomi dengan kesenjangan pendapatan. Apabila terjadi peningkatan dalam pertumbuhan ekonomi maka akan diikuti dengan meningkatnya tingkat kesenjangan pendapatan penduduk di sebagian besar Kabupaten/Kota di Jawa Tengah.

Penelitian serupa juga dilakukan oleh Hartono (2008) yang menganalisis ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah dalam kurun waktu 1981 sampai 2005, serta mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi ketimpangan pembangunan. Hartono menggunakan Indeks Williamson sebagai variabel yang menggambarkan ketimpangan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ketimpangan di Jawa Tengah cenderung meningkat setiap tahunnya. Peningkatan ini dikarenakan investasi swasta perkapita, ratio angkatan kerja, dan alokasi dana pembangunan perkapita yang secara signifikan berpengaruh pada ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah.

Selain itu, penelitian lain juga dilakukan oleh Sihotang (2006) tentang faktor-faktor yang memengaruhi ketimpangan pendapatan antar provinsi di Indonesia. Dalam thesisnya Sihotang menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) serta data time series dari tahun 1984 sampai 2003. Berdasarkan estimasi, maka disimpulkan bahwa, ketimpangan pengeluaran pemerintah daerah, ketimpangan persebaran industri dan ketimpangan jumlah siswa tamat SMA berpengaruh positif dan signifikan terhadap ketimpangan pendapatan antar provinsi di Indonesia.

(31)

16

Kerangka Pemikiran

Pertumbuhan ekonomi adalah tolok ukur adanya peningkatan kesejahteraan dan kesempatan kerja bagi perekonomian secara keseluruhan apabila diiringi oleh pemerataan distribusi pendapatan. Sumatera Barat merupakan provinsi yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi relatif tinggi dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi nasional. Akan tetapi pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat yang tinggi tersebut diikuti oleh peningkatan Gini ratio yang menggambarkan indeks ketimpangan distribusi pendapatan. Jika dibandingkan dengan tingkat nasional, Gini ratio Sumatera Barat masih dapat dikatakan relatif rendah, akan tetapi perkembangannya dari waktu ke waktu bisa menjadi hal yang sangat mengkhawatirkan. Peningkatan Gini ratio yang terjadi di Sumatera Barat erat kaitannya dengan tingkat ketimpangan yang terjadi di Kabupaten/Kota yang ada di dalamnya, oleh karena itu untuk mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan yang terjadi di Sumatera Barat dapat dilakukan melalui pengurangan ketimpangan distribusi pendapatan di tingkat Kabupaten/Kota.

(32)

17 Penelitian ini betujuan untuk menganalisis kondisi ketimpangan distribusi pendapatan di Sumatera Barat melalui perhitungan Gini ratio pada 19 Kabupaten/Kota yang ada. Kemudian melalui data Gini ratio tersebut dilakukan analisis data panel untuk menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan di Sumatera Barat. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan distribusi pendapatan di Sumatera Barat didekati melalui beberapa data, pertama, pertumbuhan dan tingkat pembangunan ekonomi dengan menggunakan kriteria pertumbuhan ekonomi, struktur perekonomian dan ketenagakerjaan, kedua, faktor makroekonomi dengan kriteria pengeluaran pemerintah, ketiga, faktor demografi dengan kriteria kependudukan dan terakhir bencana alam dengan kriteria gempa bumi. Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi masukan dalam strategi pengambilan kebijakan pembangunan yang efektif terkait mengenai pengurangan ketimpangan distribusi pendapatan di Sumatera Barat (Gambar 6).

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan teori-teori yang mendasari penelitian dan hasil penelitian-penelitian sebelumnya maka hipotesis yang digunakan dalam penelitian-penelitian ini adalah:

1. PDRB perkapita, pengeluaran pemerintah untuk belanja pegawai dan dummy gempa secara signifikan memperparah terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan di Sumatera Barat

2. Share sektor industri terhadap PDRB, jumlah tenaga kerja sektor industri, pengeluaran pemerintah untuk belanja non pegawai dan pertumbuhan penduduk secara signifikan mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan di Sumatera Barat.

3

METODE PENELITIAN

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS 2007-2012) dan Kementrian Keuangan Indonesia. Data yang digunakan merupakan gabungan dari data time series tahun 2006-2011 dan cross section Kabupaten dan Kota di Sumatera Barat. Selain itu digunakan juga data Susenas untuk menghitung Gini ratio pada 19 Kabupaten/Kota di Sumatera Barat.

(33)

18

Pengeluaran pemerintah  Belanja pegawai

 Belanja non pegawai Faktor demografi Kependudukan  Pertumbuhan

penduduk

Bencana alam Gempa bumi  Dummy gempa

Metode Analisis Data

Metode analisis data dalam penelitian ini terbagi menjadi 3 bentuk analisis, yaitu:

1. Analisis Deskriptif

Dalam penelitian ini, analisis deskriptif digunakan untuk memaparkan kondisi ketimpangan distribusi pendapatan di Sumatera Barat baik menggunakan tabel, grafik dan diagram. Serta memberi penjelasan berkaitan tentang faktor-faktor yang memengaruhi ketimpangan distribusi pendapatan di Sumatera Barat.

2. Analisis Gini ratio

Dilakukan perhitungan Gini ratio untuk menjawab permasalahan pertama mengenai kondisi ketimpangan distribusi pendapatan di Sumatera Barat. Perhitungan Gini ratio dilakukan sejak tahun 2006 sampai 2010 menggunakan data Susenas sedangkan untuk tahun 2011 data Gini ratio diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) untuk 19 Kabupaten/Kota di Sumatera Barat. Untuk menjaga konsistensi analisis, perhitungan Gini ratio sejak tahun 2006 sampai 2010 menggunakan metode dan rumus yang sama dengan yang digunakan Badan Pusat Statistik.

Nilai Gini ratio dihitung berdasarkan perbandingan luas daerah I dengan luas daerah (I+II) dalam kurva Lorenz (Gambar 4). Kurva Lorenz menggambarkan hubungan kuantitatif antara penduduk atau rumah tangga sebagai penerima pendapatan dengan jumlah pendapatan yang diterima selama periode tertentu. Sumbu horizontal menunjukkan jumlah populasi penduduk atau rumah tangga penerima pendapatan dan sumbu vertikal menunjukkan jumlah persentase pendapatan yang diterima oleh setiap kelompok yang disusun secara kumulatif (dari kelompok penduduk atau rumah tangga yang berpendapatan terendah hingga yang tertinggi). Garis diagonal utama mencerminkan garis pemerataan pendapatan. Kurva Lorenz yang semakin mendekati garis diagonal utama, menunjukkan distribusi pendapatan yang semakin merata atau ketimpangan yang semakin rendah. Kurva Lorenz yang berimpit dengan garis pemerataan menunjukkan tingkat pemerataan yang sempurna atau tidak terjadi ketimpangan dalam distribusi pendapatan. Sebaliknya, jika kurva Lorenz semakin menyimpang

(34)

19 atau semakin menjauh dari garis pemerataan maka ketidakmerataan semakin besar atau ketimpangan semakin meningkat.

Secara matematis, Ray (1998) menyajikan formula untuk menghitung Gini ratio sebagai berikut. Rumus Gini ratio yang digunakan Ray (1998) juga digunakan oleh BPS (Badan Pusat Statistik) untuk menghitung Gini ratio ditingkat Kabupaten/Kota di Sumatera Barat pada tahun 2011.

dimana:

: Gini ratio,

: persentase penduduk dalam kelas pengeluaran ke-i,

: persentase kumulatif dari total pengeluaran dalam kelas pengeluaran ke-i, : persentase kumulatif dari total pengeluaran dalam kelas pengeluaran ke i-1 Nilai Gini ratio berkisar antara nol sampai satu, semakin mendekati nol menunjukkan tingkat distribusi pendapatan yang semakin merata. Sebaliknya, jika nilai Gini ratio semakin mendekati satu menunjukkan distribusi pendapatan yang semakin tidak merata atau semakin timpang.

3. Analisis Data Panel

Analisis regresi data panel digunakan untuk menjawab permasalah kedua mengenai faktor-faktor apa saja yang memengaruhi ketimpangan distribusi pendapatan di Sumatera Barat. Data panel (panel data) merupakan gabungan data cross section dan data time series atau dengan kata lain, data panel merupakan unit-unit individu yang sama yang diamati dalam kurun waktu tertentu (Nachrowi dan Usman, 2006). Jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time series yang sama maka disebut sebagai balanced panel dan jika jumlah waktu observasi berbeda untuk setiap unit cross section maka disebut unbalanced panel. Gujarati (2004) menyebutkan bahwa data panel adalah data yang memiliki dimensi ruang (individu) dan waktu. Secara umum, data panel dicirikan oleh T periode waktu (t = 1,2,...,T) yang kecil dan n jumlah individu (i = 1,2,...,n) yang besar.

Regresi dengan menggunakan data panel disebut dengan model regresi data panel. Analisis regresi secara terpisah, menggunakan cross section saja atau time series saja, akan memberikan beberapa kelemahan dalam hasil estimasi. Sehingga pendekatan data panel menggunakan informasi dari gabungan pendekatan cross section dan time series akan meminimalisir kelemahan masing-masing pendekatan. Baltagi (2005) mengemukakan bahwa penggunaan data panel memberikan banyak keuntungan, diantaranya:

1. Mampu mengontrol heterogenitas individu. Dengan menerapkan metode ini, estimasi yang dilakukan dapat secara eksplisit memasukkan unsur heterogenitas individu.

2. Dapat memberikan data yang informatif, mengurangi kolinearitas antar peubah, meningkatkan derajat bebas dan lebih efisien.

(35)

20

4. Lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diatasi dalam data cross section saja atau data time series saja.

Selain keuntungan yang diperoleh dari penggunaan data panel, metode ini juga memiliki keterbatasan, yaitu:

1. Masalah dalam desain survei panel, pengumpulan dan manajemen data. Masalah yang sering dihadapi diantaranya adalah cakupan (coverage), nonresponse, kemampuan daya ingat responden (recall), frekuensi dan waktu wawancara.

2. Distorsi kesalahan pengamatan (measurement errors) yang pada umumnya terjadi karena respon yang tidak sesuai.

3. Masalah selektivitas (selectivity) yang mencakup:

a. Self-selectivity: permasalahan yang muncul karena data-data yang dikumpulkan untuk suatu penelitian tidak sepenuhnya dapat menangkap fenomena yang ada.

b. Nonresponse: permasalahan yang muncul dalam panel data ketika ada ketidaklengkapan data atau jawaban yang diberikan oleh responden. c. Attrition: jumlah responden yang cenderung berkurang pada survey

lanjutan yang biasanya terjadi karena responden pindah, meninggal dunia, atau biaya menemukan responden yang terlalu tinggi.

4. Dimensi waktu (time series) yang pendek.

5. Cross-section dependence. Sebagai contoh, apabila macro panel dengan analisis negara atau wilayah dengan deret waktu yang panjang mengabaikan cross-country dependence akan mengakibatkan inferensi yang salah (misleading inference).

Data panel memiliki karakteristik jumlah unit cross section lebih dari 1 (N>1) dan unit time series lebih dari satu (T>1). Jika unit cross section sama dengan satu (N=1) dan unit time series banyak (T>1) maka dikenal data time series murni atau sebaliknya jika unit cross section banyak (N>1) dan unit time series sama dengan satu (T=1) maka dikenal dengan struktur data cross section murni. Pengamatan dengan analisis data cross section hanya dilakukan pada satu titik waktu saja, sehingga perkembangan setiap unit individu tidak dapat diamati. Sebaliknya, model time series menggunakan satu unit individu yang diamati sepanjang waktu t sehingga menimbulkan permasalahan jika peubah yang diobservasi merupakan data hasil agregasi karena memiliki kemungkinan untuk menghasilkan estimasi yang bias. Analisis data panel mampu menggabungkan keduanya untuk mereduksi kekurangan dari kedua jenis data.

Notasi yang digunakan dalam data panel terdiri dari dua subscript pada setiap peubahnya. Misalkan ��� merupakan nilai peubah tak bebas (dependent variable), maka � menyatakan unit cross section yang dapat berupa individu, rumah tangga, perusahaan, wilayah, negara atau yang lainnya (�=1,2,…,�) dan � menyatakan unit waktu dalam bulan, triwulan, tahun atau yang lainnya (�=1,2,…,�). Jika � menyatakan jumlah peubah bebas yang masing-masing diberi

(36)

21

�� menyatakan nilai peubah tak bebas ke-i pada period ke-t; ��menyatakan nilai peubah bebas ke-i pada period ke-t; � menyatakan gangguan acak unit ke- � pada waktu ke- �. Struktur data panel dengan jumlah peubah bebas sebanyak K adalah:

Penulisan notasi matrik dalam persamaan (3.1) dapat disederhanakan menjadi: � [

β merupakan matriks berukuran NTx1 yang dapat diekspresikan sebagai:

[ ]

Secara garis besar, pendekatan dalam analisis data panel dibedakan menjadi dua, yaitu panel statis dan panel dinamis. Analisis data panel dinamis dicirikan oleh regressor yang mengandung lag dari variabel tak bebas. Pemilihan metode statis maupun dinamis sangat tergantung pada jenis variabel yang digunakan dan pertimbangan hubungan secara ekonomi (Firdaus 2011).

Regresi Data Panel Statis

(37)

22

digunakan adalah PLS atau dikenal sebagai metode kuadrat terkecil seperti yang digunakan pada model cross section dan time series murni. Karena data panel memiliki jumlah observasi lebih banyak dibandingkan data cross section dan time series murni, maka ketika data digabungkan menjadi pool data regresi yang dihasilkan cenderung lebih baik dibandingkan dengan regresi yang menggunakan data cross section dan time series murni. Meskipun demikian, penggabungan data akan menyebabkan variasi atau perbedaan keragaman baik antara individu maupun antar waktu menjadi tidak dapat dibedakan. Permasalahan ini kurang sesuai dengan tujuan penggunaan metode data panel, sehingga untuk banyak kasus penduga least square dapat menjadi bias akibat kesalahan spesifikasi data.

Permasalahan tersebut dapat diatasi melalui dua pendekatan metode data panel yang lain, yakni FEM dan REM. Kedua metode dibedakan berdasarkan dan/atau efek waktu �� dengan variabel bebas ���. Untuk menentukan penggunaan metode FEM atau REM dilakukan dengan uji Hausman.

1. Fixed Effect Model (FEM)

Apabila �� diperlakukan sebagai parameter tetap atau konstanta dan nilainya bervariasi untuk setiap individu ke-i (i= 1, 2,…, N), maka model ini disebut sebagai FEM. Pendekatan FEM mengasumsikan efek individu dan variabel bebas memiliki korelasi atau memiliki pola yang sifatnya tidak acak. Asumsi ini membuat komponen error dari efek individu dan waktu dapat menjadi bagian dari intersep. Pada umumnya pendekatan FEM terjadi ketika jumlah individu N relatif kecil dan periode waktu T relatif besar. Secara umum persamaan FEM dapat diekspresikan dalam persamaan berikut:

 untuk one way error component model: ���=��+�’�� + ��

 untuk two way error component model: ���=��+��+�’�� + ��

dengan asumsi bahwa ��~���(�, ) dan �’�� memiliki korelasi dengan ��.

Pendugaan parameter dalam metode FEM dapat dilakukan dengan beberapa cara. i. Pooled Least Square (PLS)

(38)

23 Tehnik ini digunakan dengan menggunakan data deviasi dari rata-rata individu. Tehnik ini menghasilkan parameter yang unbiased tetapi akan menghilangkan intersep.

iii. Least Square Dummy Variable (LSDV)

Tehnik ini digunakan dengan menambahkan dummy variable sebanyak n-1, tetapi akan mengurangi derajat bebas dan membuat ketidakefisienan.

iv. Two Way Error Component FEM

Tehnik ini memasukkan variasi antar waktu sehingga model dasarnya menjadi � � � � .

2. Random Effect Model / REM)

Pendekatan REM muncul dengan asumsi efek individu (��) dan peubah bebas tidak memiliki korelasi atau �� diperlakukan sebagai parameter random. Asumsi tersebut membuat komponen efek individu maupun efek waktu dimasukkan ke dalam error term. Pendekatan REM umumnya digunakan bila unit cross section N relatif besar dan unit time series T relatif kecil. Secara umum bentuk model REM dapat diekspresikan dalam persamaan berikut:

� �

�=�� untuk one way error component model dan �=��+�� untuk two way error component model serta menggunakan asumsi ��~(�, ) dan �~���(�, ). Beberapa asumsi yang biasa digunakan dalam REM adalah :

E ( | ) = 0

Asumsi yang terpenting diantara semua asumsi dalam REM adalah nilai harapan dari �� untuk setiap � adalah nol atau ( �| ��) = 0 atau tidak ada korelasi antara variabel independen dengan �. Estimator dalam REM dapat dilakukan melalui dua pendekatan yakni:

i. Between Estimator

Tehnik ini mengasumsikan bahwa peubah bebas dengan error tidak saling berkorelasi.

ii. Generalized Least Square (GLS)

Tehnik ini mengombinasikan informasi antar dan dalam data secara efisien. GLS dipandang sebagai rata-rata yang dibobotkan dari estimasi between dan within, dengan persamaan:

Pemilihan Model Data Panel Statis

Pemilihan antara model fixed effect dengan random effect dapat dilakukan dengan pengujian terhadap asumsi ada tidaknya korelasi antara regressor dan efek individu. Pengujian tersebut adalah Uji Chow untuk memilih antara PLS dan FEM serta Uji Hausman untuk memilih antara FEM dan REM.

1. Uji Chow

Beberapa buku menyebut uji Chow dengan pengujian F statistik. Dalam pengujian ini dilakukan hipotesis sebagai berikut:

(39)

24 diperoleh dari estimasi data panel dengan metode fixed effect.

N = Jumlah data cross section T = Jumlah data time series K = Jumlah variabel penjelas

Pengujian ini mengikuti distribusi F dengan derajat bebas N-1 dan NT-N-K. Jika nilai Chow Statistics (F stat) hasil pengujian lebih besar dari F tabel, maka cukup bukti bagi kita untuk melakukan penolakan terhadap hipotesis nol sehingga model yang digunakan adalah model fixed effect, begitu juga sebaliknya.

2. Uji Hausman

Dalam uji ini dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H0: E(τi xit) = 0 atau REM adalah model yang tepat

H1: E(τi xit)≠ 0 atau FEM adalah model yang tepat

Sebagai dasar penolakan H0 maka digunakan statistik Hausman dan

membandingkannya dengan chi square. Statistik Hausman dirumuskan dengan:

H = (βREM–βFEM )’ (MFEM–MREM)-1(βREM–βFEM) ~

dimana:

M= matriks kovarians untuk parameter β

k = degrees of freedom

Jika nilai H hasil pengujian lebih besar dari χ2 tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0 sehingga model yang digunakan adalah

model fixed effects, begitu juga sebaliknya.

Uji Asumsi

Uji asumsi dilakukan untuk memenuhi persyaratan sebuah model yang akan digunakan. Setelah kita memutuskan untuk menggunakan suatu model tertentu (FEM atau REM) berdasarkan Hausman Test, maka kita dapat melakukan uji terhadap asumsi klasik yang digunakan dalam model.

1. Uji Multikolinearitas

Salah satu asumsi dari model regresi ganda adalah bahwa tidak ada hubungan linear sempurna antar peubah bebas dalam model tersebut, jika hubungan tersebut ada maka peubah bebasnya dikatakan multikolinearitas sempurna. Apabila hal tersebut terjadi maka dugaan parameter koefisien regresi masih mungkin dapat diperoleh, tapi interpretasinya menjadi sulit. Untuk mendeteksi adanya multikolinearitas dapat dilakukan dengan uji korefisien korelasi sederhana antar peubah bebas dalam model, jika korelasinya sangat tinggi dan nyata maka berarti terjadi multikolinearitas. (3.17)

(40)

25 Selain itu juga dapat dilihat dari statistik uji F dan nilai koefisien determinasi, apabila nilai Rj2 tinggi atau dari uji F modelnya signifikan

berarti ada multikolinearitas. 2. Uji Heteroskedastisitas

Salah satu asumsi yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi adalah bahwa taksiran parameter dalam model regresi bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimate) maka var ( ) harus sama dengan σ2 (konstan), atau semua error mempunyai varians yang sama (Juanda 2009). Kondisi ini disebut dengan homoskedastisitas. Sedangkan bila varian tidak konstan atau berubah-ubah disebut heteroskedastisitas. Untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas dapat menggunakan metode General Least Square (Cross Section Weights) yaitu dengan membandingkan Sum Square Residu pada Weighted Statistics dengan Sum Square Residu Unweighted Statistics. Jika Sum Square Residu pada Weighted Statistics lebih besar dari Sum Square Residu Unweighted Statistics, maka terjadi heteroskedastisitas.Metode lain dengan uji Goldfeld-Quandt, uji Breusch-Pagan dan uji White.

3. Uji Autokorelasi

Autokorelasi adalah korelasi yang terjadi antar observasi dalam satu peubah atau korelasi antar error masa yang lalu dengan error masa yang sekarang. Terjadinya autokorelasi dapat berpengaruh terhadap efisiensi dari estimator yang diperoleh. Untuk mendeteksi adanya autokorelasi dapat menggunakan statistik Durbin Watson (DW). Untuk mengetahui ada autokorelasi atau tidak dilakukan dengan embandingkan nilai statistik DW dengan nilai DW-tabel. Gujarati (2004) mengelompokkan nilai DW-tabel untuk identifikasi autokorelasi (Tabel 2).

Nilai DW Arti/Hasil

4-dl < DW < 4 Terdapat korelasi serial negatif 4-du < DW < 4-dl Hasil tidak dapat ditentukan 2 < DW < 4-du Tidak ada korelasi serial du < DW < 2 Tidak ada korelasi serial dl < DW < du Hasil tidak dapat ditentukan 0 < DW < dl Terdapat korelasi serial positif

Evaluasi Model

Untuk mengevaluasi model yang diperoleh, beberapa uji yang dilakukan sebagai berikut:

1. Uji-F

Uji-F digunakan untuk menguji hipotesis koefisien regresi (slope) secara simultan. Hipotesis yang diuji adalah:

H0 : (j adalah jumlah variabel bebas) H1 : Paling sedikit ada satu

Tabel 2. Nilai dan arti statistik Durbin Watson (DW)

Gambar

Gambar 1. Gini
Gambar 3 memperlihatkan perkembangan pertumbuhan ekonomi dan Gini 2008 sampai 2012 selalu bernilai positif walaupun mengalami penurunan pada tahun 2009 akibat adanya tekanan krisis ekonomi global
Gambar 4. Kurva Lorenz
Gambar 5. Kurva U-terbalik hipotesis Kuznets
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini dapat terlihat melalui peran ibu rumah tangga yang bekerja sebagai pegawai negeri, pedagang kue dalam bentuk pesanan besar, pedagang makanan dalam bentuk

Fokus dalam penelitian ini adalah bagaimana Penguasaan Kosakata, Kemampuan Membaca Pemahaman dan Prestasi Belajar Bahasa Indonesia Siswa Kelas IV di SD Negeri Kecamatan

Dari gambar 8 dapat dilihat bahwa Total Suspend Solid yang paling sedikit adalah pada kondisi lama waktu deasetilasi 75 menit dengan bahan baku tidak direbus

Identitas budayanya dianggap sebagai deskripsi dari generalisasi jatidiri individual maupun komunal etnik Madura dalam berperilaku dan berkehidupan (Taufiqurrahman,

Tujuan utama network policy adalah untuk mengamankan Jaringan Komputer, mengamankan jaringan pada dasarnya bukanlah tujuan utama dari network policy, yang menjadi

Bom ikan kebanyakan dibuat dengan pupuk buatan (kimia) seperti ammonium- dan potassium nitrate (NH4NO3; KNO3), yang dicampur dengan minyak bakar di dalam botol. Nelayan

Pancasila 2 Achmad Saptono, S.Sos Selasa 11.00 - 12.30 R.. &amp;

Laporan kinerja ini merupakan media pertanggungjawaban kinerja Pemerintah Kabupaten Solok yang berisi pencapaian target indikator Sasaran Strategis Rencana