• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Cara Pengolahan Tepung Ikan Dari Limbah Industri Pengolahan Ikan Nila Terhadap Energi Metabolisme Ayam Kampung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Cara Pengolahan Tepung Ikan Dari Limbah Industri Pengolahan Ikan Nila Terhadap Energi Metabolisme Ayam Kampung"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH CARA PENGOLAHAN TEPUNG IKAN DARI

LIMBAH INDUSTRI PENGOLAHAN IKAN NILA

TERHADAP ENERGI METABOLISME PADA

AYAM KAMPUNG

SKRIPSI

Oleh :

JONATHAN A LASE 090306032

PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PENGARUH CARA PENGOLAHAN TEPUNG IKAN DARI

LIMBAH INDUSTRI PENGOLAHAN IKAN NILA

TERHADAP ENERGI METABOLISME PADA

AYAM KAMPUNG

SKRIPSI

Oleh :

JONATHAN A LASE 090306032

PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

PENGARUH CARA PENGOLAHAN TEPUNG IKAN DARI

LIMBAH INDUSTRI PENGOLAHAN IKAN NILA

TERHADAP ENERGI METABOLISME PADA

AYAM KAMPUNG

SKRIPSI

Oleh :

JONATHAN A LASE 090306032/PETERNAKAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(4)

Judul : Pengaruh Cara Pengolahan Tepung Ikan Dari Limbah Industri Pengolahan Ikan Nila Terhadap Energi Metabolisme Ayam Kampung

Nama : Jonathan Anugerah Lase

NIM : 090306032

Program Studi : Peternakan

Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing

(Dr. Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si) (Dr. Ir. Nurzainah Ginting, M.Sc) Ketua Anggota

Mengetahui,

(5)

ABSTRAK

JONATHAN ANUGERAH LASE, 2O14 : “Pengaruh Cara Pengolahan Tepung Ikan dari Limbah Industri Pengolahan Ikan Nila Terhadap Energi Metabolisme Pada Ayam Kampung”. Dibimbing oleh MA’RUF TAFSIN dan NURZAINAH GINTING.

Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh cara pengolahan tepung ikan dari limbah industri pengolahan ikan nila (LIPIN) terhadap energi metabolisme ayam kampung. Penelitian ini dilaksanakan di Compost Centre Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara pada bulan Agustus sampai dengan bulan November 2013 menggunakan 27 ekor ayam kampung umur 12 minggu. Rancangan yang dipakai dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap dengan 6 perlakuan dan 4 ulangan.Perlakuan penelitian terdiridari :tepungikankomersial (R0), tepung

ikan dipres dengan pengeringan oven (R1)dan matahari (R2),tanpa dipres oven

(R3),tanpa pres matahari (R4) dan silase fermentasi (R5).

Pengolahan LIPIN ditinjau dari energi metabolisme, retensi nitrogen dan konversi energi menyatakan bahwa perlakuan tanpa pres dengan pengeringan oven menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan dipres dengan pengeringan matahari, perlakuan silase fermentasi lebih baik dibandingkan dengan perlakuan secara dipres dan tanpa pres baik pengeringan secara oven maupun matahari, serta kualitas tepung ikan komersial lebih baik dibandingkan tepung ikan dari LIPIN. Kesimpulan dari penelitian ini adalah perbedaan pengepresan, pengeringan serta silase fermentasi tepung ikan dari limbah industri pengolahan ikan nila berpengaruh terhadap retensi nitrogen, energi metabolisme dan konversi energi metabolisme dari energi bruto pakanayam kampung.

(6)

ABSTRACT

JONATHAN ANUGERAH LASE, 2O14 : “Influence Processing of Tilapia Fish Industry by Product Meal Metabolism Energy onLocal Chicken”. Under

supervisied by MA’RUF TAFSIN and NURZAINAH GINTING.

The research aimed to objective the influence of tilapia fish processing industry by product meal (LIPIN)metabolism Energy on local chicken. The research had been conducted in Compost Centre, Agriculture Faculty the Univesity of Sumatera Utara,starter August 2013 to November 2013. The design in this research used completely randomized design with 6 treatments and 4 replications. The treatments research consists of : commercial fish meal (R0),

LIPIN meal pressed and drying with oven 40 0C(R1) and sunlight (R2), LIPIN non

pressed anddrying with oven 40 0C (R3), non pressed and drying with sunlight

(R4) and fermentation silage (R5).

The result showed the best way processing of LIPIN in terms of metabolism energy, nitrogen retention, and energy conversion, stated that

treatment no pressedwith drying oven 400C better than treatment pressed with

drying sunlight, fermentation silage treatment better than treatment pressed and

non pressed sun drying and 400C oven drying, and commercial fish meal quality

is better than fish meal from LIPIN. The conclusion of this research is influence ways processing of tilapia fish industry by product meal take effect nitrogen retention, metabolism energy and metabolisc energy conversion off gross energy range local chicken feed.

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Gunungsitoli pada tanggal 14 September 1991 dari

Ayah Martinus Lase dan Ibu Merlina Gea. Penulis merupakan putera pertama dari

dari 4 bersaudara.

Penulis lulus dari SMAN 3 Gunungsitoli pada tahun 2009 dan pada tahun

yang sama masuk ke Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas

Sumatera Utara melalui jalur ujian tertulis Ujian Masuk Bersama (UMB).

Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif sebagai anggota Ikatan

Mahasiswa Peternakan (IMAPET), anggota Ikatan Mahasiswa Kristen Peternakan

(IMAKRIP), dan pernah menjabat sebagai ketua umum periode 2011-2013 dari

organisasi Generasi Muda Nias (GEMA NIAS).

Penulis melaksanakan praktek kerja lapangan (PKL) di Desa Pardugul

Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir dimulai dari bulan Juli sampai

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas

rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Adapun

judul dari skripsi ini adalah “Pengaruh Cara Pengolahan Tepung Ikan dari Limbah

Industri Pengolahan Ikan Nila Terhadap Energi Metabolisme Pada Ayam

Kampung”.

Pada kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih sebesar-besarnya

kepada kedua orangtua penulis atas doa, semangat dan pengorbanan material

maupun moril yang telah diberikan selama ini. Penulis mengucapkan terimakasih

kepada bapak Dr. Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si selaku ketua komisi pembimbing dan

ibu Dr. Ir. Nurzainah Ginting, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing, juga

kepada bapak Ir. Armyn Hakim Daulay, MBA dan bapak Usman Budi Spt, M.Si

selaku dosen undangan yang telah membimbing dan memberikan berbagai

masukan kepada penulis.

Pada kesempatan ini juga, penulis mengucapkan terimakasih kepada

semua civitas akademika Fakultas Pertanian terkhusus Program Studi Peternakan

serta semua rekan mahasiswa yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah

(9)

DAFTAR ISI

Teknologi Pengolahan Tepung Ikan ... 10

(10)

Konversi EMSn/EB ... 25

Pelaksanaan Penelitian ... 25

Persiapan Kandang dan Peralatannya ... 25

Persiapan Bahan ………. .... 26

Limbah Industri Pengolahan Ikan Nila (LIPIN)...………... 26

Silase Fermentasi……… 26

Metode Pemberian Perlakuan Secara Paksa ... 27

Prosedur Pengambilan/Pengolahan Dara ... 29

HASIL DAN PEMBAHASAN Retensi Nitrogen ... 30

Energi Metabolisme ... 33

Konversi EMSn/EB ... 39

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 44

Saran ... 44

DAFTAR PUSTAKA

(11)

DAFTAR TABEL

No. Hal.

1. Kebutuhan Gizi Ayam Kampung ... 5

2. Kebutuhan Pakan Ayam Kampung Pedaging ... 6

3. Kandungan Nutrisi Tepung Ikan... 10

4. Rataan Retensi Nitrogen Ayam Kampung …….………... 30

5. Uji Ortogonal Kontras Terhadap Retensi Nitrogen ... 31

6. Rataan Energi Metabolisme Ayam Kampung………... 34

7. Uji Ortogonal Kontras Terhadap Energi Metabolisme Semu dan Murni... ... ... 35

8. Rataan Energi Metabolisme Terkoreksi Nitrogen Ayam Kampung... 37

9. Uji ortogonal kontras terhadap energi metabolisme semu terkoreksi Nitrogen dan murni terkoreksi nitrogen... 38

10. Nilai konversi EMSn terhadap energi bruto tepung ikan ... 39

(12)

DAFTAR GAMBAR

No. ... Hal.

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Hal.

1. Rataan Retensi Nitrogen ... 49

2. Uji Ortogonal Kontras Retensi Nitrogen... 50

3. Rataan Energi Metabolisme Semu... 51

4. Uji Ortogonal Kontras Energi Metabolisme Semu ....…….………... 52

5. Rataan Energi Metabolisme Murni... ... . 53

6. Uji Ortogonal Kontras Energi Metabolisme Murni ……….... . 54

7. Rataan Energi Metabolisme Semu Terkoreksi Nitrogen... . ... 55

8. Uji Ortogonal Kontras EMSn... ... ... 56

9. Rataan Energi Metabolisme Murni Terkoreksi Nitrogen... .. 57

10. Uji Ortogonal Kontras EMMn... ... 58

11. Rataan Konversi EMSn/EB... ... 59

(14)

ABSTRAK

JONATHAN ANUGERAH LASE, 2O14 : “Pengaruh Cara Pengolahan Tepung Ikan dari Limbah Industri Pengolahan Ikan Nila Terhadap Energi Metabolisme Pada Ayam Kampung”. Dibimbing oleh MA’RUF TAFSIN dan NURZAINAH GINTING.

Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh cara pengolahan tepung ikan dari limbah industri pengolahan ikan nila (LIPIN) terhadap energi metabolisme ayam kampung. Penelitian ini dilaksanakan di Compost Centre Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara pada bulan Agustus sampai dengan bulan November 2013 menggunakan 27 ekor ayam kampung umur 12 minggu. Rancangan yang dipakai dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap dengan 6 perlakuan dan 4 ulangan.Perlakuan penelitian terdiridari :tepungikankomersial (R0), tepung

ikan dipres dengan pengeringan oven (R1)dan matahari (R2),tanpa dipres oven

(R3),tanpa pres matahari (R4) dan silase fermentasi (R5).

Pengolahan LIPIN ditinjau dari energi metabolisme, retensi nitrogen dan konversi energi menyatakan bahwa perlakuan tanpa pres dengan pengeringan oven menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan dipres dengan pengeringan matahari, perlakuan silase fermentasi lebih baik dibandingkan dengan perlakuan secara dipres dan tanpa pres baik pengeringan secara oven maupun matahari, serta kualitas tepung ikan komersial lebih baik dibandingkan tepung ikan dari LIPIN. Kesimpulan dari penelitian ini adalah perbedaan pengepresan, pengeringan serta silase fermentasi tepung ikan dari limbah industri pengolahan ikan nila berpengaruh terhadap retensi nitrogen, energi metabolisme dan konversi energi metabolisme dari energi bruto pakanayam kampung.

(15)

ABSTRACT

JONATHAN ANUGERAH LASE, 2O14 : “Influence Processing of Tilapia Fish Industry by Product Meal Metabolism Energy onLocal Chicken”. Under

supervisied by MA’RUF TAFSIN and NURZAINAH GINTING.

The research aimed to objective the influence of tilapia fish processing industry by product meal (LIPIN)metabolism Energy on local chicken. The research had been conducted in Compost Centre, Agriculture Faculty the Univesity of Sumatera Utara,starter August 2013 to November 2013. The design in this research used completely randomized design with 6 treatments and 4 replications. The treatments research consists of : commercial fish meal (R0),

LIPIN meal pressed and drying with oven 40 0C(R1) and sunlight (R2), LIPIN non

pressed anddrying with oven 40 0C (R3), non pressed and drying with sunlight

(R4) and fermentation silage (R5).

The result showed the best way processing of LIPIN in terms of metabolism energy, nitrogen retention, and energy conversion, stated that

treatment no pressedwith drying oven 400C better than treatment pressed with

drying sunlight, fermentation silage treatment better than treatment pressed and

non pressed sun drying and 400C oven drying, and commercial fish meal quality

is better than fish meal from LIPIN. The conclusion of this research is influence ways processing of tilapia fish industry by product meal take effect nitrogen retention, metabolism energy and metabolisc energy conversion off gross energy range local chicken feed.

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Usaha ternak unggas khususnya peternakan ayam kampung merupakan

salah satu sektor usaha yang memiliki peranan penting dalam memenuhi

kebutuhan masyarakat akan protein hewani. Ayam kampung merupakan sumber

penghasilan yang cukup menjanjikan. Tak heran jika makin hari makin banyak

orang yang tertarik memeliharanya.

Di dalam menyusun pakan ternak ayam kampung selalu berpatokan dalam

imbangan protein dan energi. Menurut sumbernya protein dalam pakan ayam

kampung dibedakan menjadi dua, yaitu : protein hewani dan protein nabati

(protein dari tanaman atau sisa tanaman). Secara umum sumber protein hewani

dalam pakan ayam kampung dipenuhi dengan penambahan tepung ikan di dalam

formula ransum.

Tepung ikan merupakan bahan makanan ternak yang berkadar protein

tinggi, mudah dicerna dan kaya akan asam amino essensial terutama lisin dan

metionin sehingga dapat digunakan sebagai penutup kekurangan yang terdapat

pada bii-bijian. Disamping itu tepung ikan kaya akan vitamin B, mineral dan

kandungan lemak yang cukup juga merupakan sumbangan dalam memenuhi

kebutuhan ternak akan energi (metabolis) dan juga vitamin yang larut dalam

lemak yaitu vitamin A dan D.

Permintaan masyarakat terhadap pakan tepung ikan yang cenderung

(17)

tepung ikan menyebabkan terjadinya peningkatan harga tepung ikan secara

signifikan. Kita ketahui bahwa tepung ikan komersial di pasaran berada pada

kisaran harga yang cukup tinggi. Tepung ikan ini terus meningkat harganya.

Pasalnya di Indonesia tepung ikan merupakan bahan yang diimpor dari luar negeri

seperti Thailand, Brasil dan Chili. Untuk menyiasati masalah ini sangat perlu

tentunya pemanfaatan limbah, misalnya pemanfaatan tepung ikan dari limbah

industri pengolahan ikan nila (LIPIN) yang selama ini di Indonesia tidak begitu

diperhatikan padahal sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak.

Tepung ikan yang berasal dari limbah industri pengolahan ikan nila

(LIPIN) sangat potensial dan efektif dijadikan pakan dengan berbagai perlakuan

atau metode pengolahan untuk ayam kampung. Tepung ikan jenis ini tidak susah

untuk mendapatkannya, bisa juga didapatkan dari limbah-limbah atau sisa dari

industri keluarga. Kelebihan pakan dari tepung ikan sudah jelas berkadar protein

tinggi, mudah dicerna dan kaya akan asam amino essensial terutama lisin dan

metionin sehingga dapat digunakan sebagai penutup kekurangan yang terdapat

pada bii-bijian.

Tepung ikan bukan berarti ikan utuh dikeringkan lalu digiling.

Sebagaimana dikemukakan bahwa bagian yang utama untuk konsumsi manusia

dan untuk ternak diambil sisa dari industri pengolahan ikan atau kelebihan hasil

tangkapan. Oleh karena itu tepung ikan ini berasal dari berbagai ragam jenis

varietas ikan sehingga beragam pula kandungan nutrisinya. Selain itu cara

pengolahan tepung ikan juga memberikan pengaruh terhadap nutrisi tepung ikan.

Berdasarkan uraian diatas, timbul pemikiran untuk melakukan penelitian

(18)

dengan berbagai metode terhadap energi metabolisme pada ternak ayam

kampung.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dari

perbedaan pengolahan tepung ikan dari limbah industri pengolahan ikan nila

(LIPIN) terhadap retensi nitrogen, energi metabolisme dan konversi energi

metabolisme dari energi bruto pakan ayam kampung.

Hipotesis Penelitian

Perbedaan pengepresan, pengeringan serta silase fermentasi tepung ikan

dari LIPIN berpengaruh terhadap retensi nitrogen, energi metabolisme dan

konversi energi metabolisme dari energi bruto pakan ayam kampung.

Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi

kepada peternak ayam kampung tentang pemanfaatan LIPIN sebagai pakan ayam

kampung dimana untuk menghemat biaya dalam pengadaan pakan serta

memberikan informasi tentang pengaruh pengolahan tepung ikan dengan cara

dipres, kering matahari, kering oven serta dengan pemberian pakan dalam bentuk

silase tepung ikan terhadap retensi nitrogen, energi metabolisme dan konversi

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Ayam Kampung

Secara zoologis klasifikasi ayam kampung adalah Filum : Chordata, Sub Filum :Vertebrata, Kelas: Aves, Ordo: Galliformes, Famili: Phasianidae, Genus: Gallus-gallus, Species: Gallus-gallus domesticus. Ayam kampung adalah ayam yang jinak yang telah terbiasa hidup di tengah-tengah masyarakat yang

padat penduduknya. Daya adaptasinya tinggi karena ayam ini mampu

menyesuaikan diri dengan berbagai situasi lingkungan dan iklim yang ada

(Sarwono, 1997). Menurut Murtidjo (1994) di Indonesia ayam kampung

merupakan salah satu jenis ternak yang telah tersebar luas di seluruh pelosok

nusantara dan mempunyai peranan besar dalam mendukung perekonomian

pedesaan. Jika dibandingkan dengan ternak lain ayam kampung memiliki

kelebihan karena mempunyai kecepatan adaptasi terhadap lingkungan dan daya

tahan terhadap penyakit juga relatif tinggi.

Hampir semua ayam kampung yang terdapat di Indonesia memiliki bentuk

badan yang kompak dan baik sekali susunan otot-ototnya. Bentuk jari kakinya

begitu panjang, tetapi kuat dan ramping, kukunya tajam, tinggi paha dan betisnya

sedang tetapi kokoh. Semakin pesatnya perkembangan usaha ternak ayam ras

sama sekali tidak menurunkan pamor produk ayam kampung di mata masyarakat

sebagai konsumen (Rasyaf, 1992).

Ransum Ayam Kampung

Ransum adalah makanan yang terdiri dari satu atau lebih bahan makanan

(20)

dikatakan berkualitas apabila ransum ini mengandung semua zat gizi yang

diperlukan oleh ayam. Untuk kelompok ayam yang umurnya tertentu diternakkan

dengan tujuan tertentu akan membutuhkan ransum yang berbeda kandungan

gizinya dengan ransum yang dibutuhkan pada sekelompok umur yang lain dengan

tujuan yang lain pula (Aisyah dan Rahmat, 1989).

Ransum dimakan oleh ayam dalam bentuk tepung lengkap, butiran pecah

dan dikunyah di dalam tubuhnya dan diubah dengan enzim-enzim pencernaan

menjadi unsur gizi yang dibutuhkannya yaitu protein dan asam-asam amino,

energi, vitamin dan mineral. Unsur-unsur gizi itulah yang kelak akan digunakan

oleh ayam untuk kehidupan pokoknya dan untuk produksi. Oleh karena itu jelas

bahwa baik atau buruknya produksinya sangat bergantung pada ransum yang

dimakan ayam tersebut (Rasyaf, 1991). Kebutuhan gizi ayam kampung dapat

dilihat pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Kebutuhan Gizi Ayam Kampung

Minggu 0-12 12-22 22 keatas

Sumber : Nawawi dan Norrohmah (1997)

Konsumsi pakan dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas ransum serta

faktor-faktor lainnya seperti umur, palatabilitas, aktivitas ternak, tingkat produksi

dan pengelolaannya. Konsumsi ternak ayam kampung dapat dilihat dari Tabel 2

(21)

Tabel 2. Kebutuhan Pakan Ayam Kampung Pedaging

Umur (Minggu) Konsumsi (g/ekor/hari) Berat Badan (g)

1 9 45

Sumber a. Sudaryani dan Santosa (1995) b. Murtidjo (1994)

Protein berguna untuk membentuk jaringan tubuh, memperbaiki jaringan

yang rusak untuk keperluan berproduksi dan kelebihannya akan dibuah menjadi

energi (Aisyah dan Rahmat, 1989). Menurut Nawawi dan Nurromah (1997) ayam

kampung umur 0-4 minggu atau fase starter membutuhkan protein sekitar 19-20

%, umur 4-8 minggu atau fase grower I membutuhkan protein sekitar 18-19 %,

umur 8-12 minggu atau fase grower II membutuhkan protein sekitar 16-18 %,

umur 12-18 minggu membutuhkan protein sekitar 16-17 % dan umur 18-24

minggu membutuhkan protein sekitar 16-17 %.

Saluran Pencernaan Ayam

Pada ayam kemampuan adaptasi saluran pencernaan berdasarkan atas

fungsi fisiologis tergantung pada pasokan nutrisi yang diberikan pada periode

perkembangan awal setelah menetas. Menurut Zhou et al. (1990), status nutrisi dan pola pemberian ransum dapat memodifikasi fungsi saluran pencernaan.

Ayam tidak mengeluarkan urine cair. Urine pada unggas mengalir ke

(22)

dalam ekskreta ayam sebagian besar adalah asam urat, sedangkan nitrogen urine

mamalia kebanyakan adalah urea. Saluran pencernaan yang relatif pendek pada

unggas digambarkan pada proses pencernaan cepat (lebih kurang empat jam)

(Anggorodi, 1985).

Kapasitas saluran pencernaan pada ayam periode awal dalam

memanfaatkan nutrisi (asam amino dan gula) telah dilaporkan oleh

Rovira et al. (1994). Pemberian protein atau asam amino dalam jumlah banyak dapat meningkatkan daya serap usus atau berakibat sebaliknya dengan

pembatasan ransum. Kemampuan usus dalam memanfaatkan nutrisi ditentukan

oleh perkembangan saluran percernaan secara fisiologis yang dilihat dari segi

aktivitas enzim.

Meskipun aktivitas enzim pencernaan pada umumnya dapat dipengaruhi

oleh berbagai faktor antara lain : Genetis, komposisi ransum dan intake (Nitsan et al., 1991). Intake lebih berpengaruh terhadap produksi dan aktivitas enzim pencernaan.

Pencernaan adalah penguraian makanan ke dalam zat - zat makanan dalam

saluran pencernaan untuk dapat diserap dan digunakan oleh jaringan-jaringan

tubuh (Anggorodi, 1985). Ayam merupakan ternak non ruminansia yang artinya

ternak yang mempunyai lambung sederhana atau monogastrik. Pada umumnya

bagian - bagian penting dari alat penceernaan adalah mulut, farinks, esofagus,

lambung, usus halus dan usus besar. Makanan yang bergerak dari mulut sepanjang

saluran pencernaan oleh gerakan peristaltik yang disebabkan karena adanya

(23)

Seperti kita ketahui bahwa ayam tidak mempunyai gigi geligi untuk

mengunyah ransum sebagaimana ternak lainnya, namun punya paruh yang dapat

melumatkan makanan. Oleh karena itu, daya cerna ayam terhadap ransumnya

lebih rendah 10% dari pada ternak lain (Kartadisastra, 1994).

Pencernaan secara mekanik tidak terjadi di dalam mulut melainkan di

gizzard (empedal) dengan menggunakan batu - batu kecil atau grid yang sengaja

dimakan, lalu masuk ke dalam usus halus. Disini terjadi proses penyerapan

pencernaan dengan menggunakan enzim - enzim pencernaan yang disekresikan

oleh usus halus seperti cairan duodenum, empedu, pankreas dan usus. Di dalam

usus besar terjadi proses pencernaan yang dilakukan oleh jasad renik yang

berfungsi sebagai penghancur protein yang tidak dapat diserap oleh usus halus

(proteolitik) (Tillman et al., 1991).

Didalam empedal bahan - bahan makanan mendapat proses pencernaan

secara mekanis. Partikel - partikel yang besar secara mekanik akan diperkecil

dengan tujuan memudahkan proses pencernaan enzimatis di dalam saluran

pencernaan berikutnya. Untuk memudahkan proses pencernaan mekanis maupun

enzimatis dalam mempersiapkan pakan banyak dilakukan dengan menggiling

bahan - bahan pakan tersebut (Parakkasi, 1985).

Pencernaan Ransum

Daya cerna juga merupakan presentasi nutrien yang diserap dalam saluran

pencernaan yang hasilnya akan diketahui dengan melihat selisih antara jumlah

nutrisi yang dimakan dan jumlah nutrien yang dikeluarkan dalam feses. Nutrisi

yang tidak terdapat dalam feses inilah yang diansumsikan sebagai nilai yang

(24)

atau nilai cerna suatu ransum adalah usaha menentukan jumlah nutrisi dari suatu

ransum yang didegradasi dan diserp dalam saluran pencernaan.

Penentuan kecernaan/daya cerna dari suatu ransum dapat diketahui dimana

harus dipahami terlebih dahulu dua hal penting yaitu : jumlah nutrien yang

terdapat dalam ransum dan jumlah nutrien yang dapat dicerna da dapat diketahui

bila ransum telah mengalami proses pencernaan (Tilman et al., 1991).

Tepung Ikan

Tepung ikan merupakan salah satu bahan baku sumber protein hewani

dan mineral yang dibutuhkan dalam komposisi makanan ternak. Tepung ikan

adalah produk berkadar air rendah yang diperoleh dari penggilingan ikan.

Kandungan proteinnya relatif tinggi tersusun oleh asam-asam amino esensial yang

kompleks (methionin dan lysin) dan mineral (Ca dan P,serta vitamin B12). Bahan yang digunakan yaitu ikan, dan biasanya berbagai jenis ikan laut dapat diolah

menjadi tepung ikan, akan tetapi yang paling ekonomis adalah ikan-ikan kecil

(rucah) yang kurang disukai untuk dikonsumsi dan harganya relatif murah

(Boniran, 1999).

Tepung ikan merupakan bahan makanan ternak yang berkadar protein

tinggi, mudah dicerna dan kaya akan asam amino essensial terutama lisin dan

metionin sehingga dapat digunakan sebagai penutup kekurangan yang terdapat

pada bii-bijian. Disamping itu tepung ikan kaya akan vitamin B, mineral dan

kandungan lemak yang cukup juga merupakan sumbangan dalam memenuhi

(25)

Adapun penggunaan tepung ikan ini terdiri dari berbagai jenis yang

beredar di pasaran. Tepung ikan yang beredar dipasaran disebut sebagai tepung

ikan pabrik (komersil) yang telah mengalami pengolahan dan pencampuran

dengan bahan lain. Namun ternyata tepung ikan tidak hanya bisa didapat dari

pabrik, tepung ikan juga dapat diproduksi sendiri yang murni berasal dari

limbah-limbah ikan (sempengan) yang tidak dipergunakan oleh manusia lagi dan bahkan

kandungan proteinnya sendiri masih utuh dibanding tepung ikan produksi parbrik

(Sunarya, 1998).

Kandungan nutrisi tepung ikan tertera pada tabel 3 berikut :

Tabel. 3 Kandungan nutrisi tepung ikan

Uraian Kandungan Nutrisi

Tepung ikan adalah suatu produk padat yang diperoleh dengan

mengeluarkan sebagian air atau seluruh lemak dari ikan atau limbah

(Martosubroto, 1985). Pengolahan tepung ikan pada prinsipnya adalah perubahan

bentuk dari ikan utuh atau limbahnya menjadi bentuk tepung ikan. Sedangkan

metode yang digunakan dapat dilakukan secara konvensional maupun sederhana

(Erlina et al., 1985; Ilyas et al., 1985).

Teknologi Pengolahan tepung ikan yang dipilih dapat ditentukan

berdasarkan ketersediaan bahan mentah yang akan diolah. Jika bahan mentah

(26)

digunakan cara konvensional yang lazim digunakan dalam industri tepung ikan.

Sebaliknya jika bahan mentah tersedia dalam jumlah kecil dan tidak teratur

pengadaannya maka dapat diolah menggunakan metode sederhana. Selain

pemilihan teknologi pengolahan juga harus disesuaikan dengan jenis ikan yang

akan diolah, karena ikan yang berkadar lemak tinggi lebih sulit mengolahnya

daripada ikan yang berkadar lemak rendah. Pada pengolahan tepung ikan selain

dihasilkan tepung ikan, juga didapat minyak ikan yang mempunyai nilai ekonomis

cukup baik (Ilyas et al., 1985).

Pembuatan Tepung Ikan

Tepung ikan di pasaran berasal dari hasil olahan industri pabrik tepung

ikan dan industri kecil yang keduanya berbeda baik secara pengolahan, peralatan

maupun mutu produk. Pada industri kecil/rumah tepung ikan diolah dengan cara

dan peralatan yang sederhana (Sunarya, 1998). Adapun prinsip dasar pengolahan

tepung ikan adalah pengukusan, pengepresan, pengeringan dan penggilingan.

a. Pengukusan

Bahan baku dikukus terlebih dahulu agar protein terkoagulasi sehingga air

dan minyak dikeluarkan. Pengukusan merupakan tahap menetukan dalam

pengolahan tepung ikan. Tingkat pengukusan harus tepat, sehingga seluruh bahan

mentah akan menggumpal (terkoagulasi). Jika tidak terjadi penggumpalan total

maka akan dihasilkan press cake dengan kadar air dan lemak yang masih tinggi.

Akibatnya pemisahan menyak dari cairan juga sukar. Tujuan pengukusan agar

(27)

dimaksudkan untuk menghambat kegiatan enzim dan pertumbuhan mikroba

penyebab pembusukan (Departemen Pertanian, 1987).

b. Pengepresan

Pengepresan dilakukan untuk memisahkan antara padatan dan cairan (air

dan minyak). Pada pengepresan diperkirakan akan menurunkan kadar air menjadi

50 % dan kadar minyak 4-5%. Pada industri kecil/rumah tangga pengepresan

dilakukan dengan cara dinjak-injak. Hal tersebut dapat mengakibatkan tepung

ikan menjadi kotor dan pengeluaran air menjadi tidak sempurna serta mudah

diserang serangga, jamur karena kadar air dan lemak masih tinggi. warna dan bau

akan cepat berubah sehingga mutu tepung ikan cepat turun (Saleh, 1990).

c. Pengeringan

Pengeringan bahan padatan yang didapat kemudian dikeringkan. Pada

industri tepung ikan skala besar pengeringan dilakukan dengan dua cara yaitu

pengeringan secara langsung dan tidak langsung. Pengeringan langsung dilakukan

dengan cara preess cake kedalam ruangan yang dialiri udara panas 5000C. Keuntungan cara ini adalah cepat, namun panas yang berlebihan akan merusak

kandungan nutrisi bila tidak dikontrol dengan baik. Cara pengeringan tidak

langsung dengan memanaskan bahan yang dipres (pada conveyor) dalam silinder

yang diselimuti uap panas, pengeringan dilakukan sampai kadar air mencapai

6-9%. sedangakan pada industri kecil, pengeringan dilakukan dengan sinar

(28)

d. Penggilingan

Penggilingan dan penepungan bahan yang telah dikeringkan selanjutnya

digiling dan ditepungkan dengan alat penepung dan dilakukan pengepakan ke

dalam kantung plastik. Selama penggudangan dan distribusi mungkin terjadi

proses oksidasi minyak (lemak) yang dapat berakibat terjadi ketengikan dan

perubahan warna. Untuk mencegahnya dapat ditambahkan antioksidan misalnya

ethoxyginin antara 200-1000 mg/kg tepung ikan (Saleh, 1990).

Silase Tepung Ikan

Silase ikan adalah ikan utuh atau sisa-sisa ikan yang diawetkan dalam

kondisi asam dengan penambahan asam (silase kimia) atau dengan fermentasi

(silase biologi), silase ikan ini dihasilkan dalam bentuk cair karena protein ikan

dan jaringan struktur lainnya didegradasi menjadi unit larutan yang lebih kecil

oleh enzim yang ada pada ikan (Kompiang, 1990).

Prinsip pembuatan silase adalah dengan menurunkan nilai pH (derajat

keasaman) bahan yang diawetkan sedemikian rupa sehingga pertumbuhan

mikroorganisme pembusuk dan perusak dapat dihambat/dimatikan

(Windsor, 1974). Penurunan nilai pH tersebut dapat dilakukan dengan dua cara,

yaitu secara kimiawi dengan penambahan asam dan secara biologi dengan proses

fermentasi dengan penambahan karbohidrat (Kompiang, 1985).

Pada hakekatnya prinsip pembuatan silase biologi sama dengan silase

kimiawi, hanya saja asam yang digunakan sebagai bahan pengawet dihasilkan

(29)

sehingga terbentuk asam laktat yang dapat menurunkan nilai pH dan berfungsi

sebagai bahan pengawet silase ikan tersebut (Kompiang, 1980).

Gambar 1. Proses pembuatan silase ikan secara biologi

Energi Bruto

Ternak umumnya memperoleh energi dari pakan yang dikonsumsi. Akan

tetapi tidak semua energi pakan tersebut dapat digunakan oleh tubuh ternak.

Penggunaan energi pakan untuk tubuh unggas sangat penting untuk diketahui

terutama untuk memenuhi kebutuhannya sesuai dengan tujuan pemeliharaan. Hal

ini lebih penting lagi karena tidak semua bahan pakan yang mempunyai energi

bruto yang sama mempunyai daya guna yang sama (Wahju, 1985).

Ikan dicincang

Digiling

Penambahan biokult plain (as.laktat), tetes tebu/dedak padi

Disimpan/difermentasi Dimasukkan kedalam kantong

(30)

Energi dibutuhkan oleh semua ternak hampir dalam semua proses

kehidupan, didalam proses metabolisme antara lain mengatur tekanan darah,

tekanan jantung, penyerapan dan ekskresi serta sintesis komponen tubuh

(Parakkasi, 1983). Nilai energi pakan dapat dinyatakan dalam bentuk energi bruto,

energi dapat dicerna, energi metabolis, dan energi netto (NRC, 1994). Energi

bruto adalah jumlah panas yang dilepaskan jika suatu zat mengalami suatu

oksidasi sempurna menjadi CO2 dan air. Menurut Blakely dan Bade (1991),

energi bruto merupakan kandungan seluruh energi yang terdapat dalam bahan

pakan atau ransum yang tidak seluruhnya dipergunakan oleh tubuh.

Energi Metabolisme

Energi berasal dari dua kata Yunani yaitu : En yang berarti dalam, dan

Ergon yang berarti kerja. Energi yang terdapat dalam bahan makanan tidak

seluruhnya digunakan oleh tubuh. Untuk setiap bahan makanan minimal ada 4

nilai energi yaitu energi bruto (gross energy atau combustible energi), energi dapat dicerna, energi metabolisme dan energi neto (Wahju, 1997). Metabolisme

merupakan keseluruhan proses perubahan kimiawi yang dikendalikan oleh enzim

yang terjadi dalam sel, organ atau organisme yang bertujuan mensintesis makro

molekul dalam bahan makanan untuk melaksanakan suatu fungsi tertentu dalam

sel (Rifai et al., 1990), untuk produksi energi, kemudian sebagian disimpan dan sisanya dibuang sebagai limbah kotoran (Stauffer, 1989).

Energi metabolisme adalah perbedaan antara kandungan energi bruto

(31)

dipengaruhi oleh kandungan energi bruto dalam pakan atau ransum, jumlah

ransum yang dikonsumsi, dan jenis ternak (Storey dan Allen, 1982). Energi

metabolis juga dipengaruhi oleh kemampuan ternak untuk memetabolis ransum

atau bahan pakan didalam tubuhnya (Sibbald, 1980). Energi neto adalah energi

yang dapat dimanfaatkan untuk fungsi-fungsi tubuh (Blakely dan Bade, 1991).

Proses pencernaan dan metabolisme di dalam tubuh ternak akan mengolah

sebagian senyawa kimia yang masuk menembus dinding usus menjadi energi

yang tersedia, yang kemudian akan digunakan untuk berbagai keperluan baik

untuk hidup pokok, aktivitas maupun untuk menghasilkan produk

(Amrullah, 2003). Gas yang dihasilkan oleh ternak unggas biasanya diabaikan

sehingga energi metabolisme merupakan energi bruto bahan pakan atau ransum

dikurangi dengan energi bruto feses dan urin (NRC, 1994). Banyaknya feses

tergantung pada kuantitas bahan yang tidak tercerna seperti selulosa, hemiselulosa

dan lignin (Anggorodi, 1985).

Penentuan kandungan energi metabolisme bahan makanan secara biologis

dilakukan pertama kali oleh Hill et al. (1960). Metode Hill pada dasarnya mengukur konsumsi energi dengan energi ekskreta. Metode ini menggunakan

Cr2O3 sebagai indikator. Selain itu, metode ini menampilkan prinsip penentuan

energi metabolisme melalui substitusi glukosa dalam ransum basal yang diketahui

energi metabolismenya dengan bahan yang akan diuji dalam proporsi tertentu.

Sibbald dan Slinger (1963); Valdes dan Leeson (1992) mengembangkan metode

substitusi dengan suatu rumus turunan untuk menghitung energi metabolisme

bahan pakan dalam ransum perlakuan. Sibbald (1976) mengembangkan metode

(32)

feses dan energi bruto endogenous. Metode ini dapat mengetahui nilai energi

metabolisme murni (EMM), yaitu energi metabolisme yang sudah dikoreksi

dengan energi endogenous. Akan tetapi metode ini mengandung unsur pemberian

makanan secara paksa.

Parsons et al. (1984) menyatakan bahwa metode Sibbald mempunyai beberapa kelemahan, diantaranya beberapa bahan pakan/ransum mungkin sulit

dimasukkan secara paksa. McNab (2000) menambahkan bahwa metode ini dapat

menimbulkan stres pada ternak. Akan tetapi, kelebihan dari metode Sibbald

diantaranya adalah jumlah bahan makanan uji yang dibutuhkan sedikit,

melibatkan sedikit analisis kimia, waktu singkat dan biaya yang murah

(Farrel, 1978). Metode Farrell lebih memperhatikan kesejahteraan hewan karena

tidak ada unsur pemaksaan. Ayam yang digunakan juga tidak memerlukan

pemulihan kondisi. Melatih ayam untuk makan terus menerus dalam waktu satu

jam dan pembuatan pellet dalam jumlah besar merupakan pembatas metode

Farrell. Pelleting ransum juga akan mempengaruhi nilai energi metabolisme ransum tersebut (McNab, 2000).

Jumlah energi yang dapat dimanfaatkan sewaktu ransum masuk ke tubuh

unggas bergantung pada komposisi bahan makanan dan zat makanan dalam

ransum, spesies, faktor genetis, umur unggas, juga kondisi lingkungan

(Amrullah, 2003).

Daya cerna suatu bahan pakan dipengaruhi oleh kandungan serat kasar,

keseimbangan zat - zat makanan dan faktor ternak (bobot badan) yang selanjutnya

(33)

terhadap suatu bahan pakan mengakibatkan banyaknya energi yang hilang dalam

bentuk ekskreta sehingga nilai energi metabolisme menjadi rendah.

Menurut Sibbald (1979), energi metabolisme semu (EMS) merupakan

perbedaan antara energi ransum dengan energi feses dan urin, dimana pada

unggas feses dan urin bercampur menjadi satu dan disebut ekskreta. Energi

metabolisme semu terkoreksi nitrogen (EMSn) biasanya paling banyak digunakan

untuk memperkirakan nilai energi metabolisme. EMSn berbeda dengan EMS

karena EMSn telah dikoreksi oleh retensi nitrogen (RN) dimana RN bisa bernilai

positif atau negatif. Energi metabolisme murni (EMM) merupakan EM yang

dikoreksi dengan energi endogenous. Energi metabolisme murni terkoreksi

nitrogen (EMMn) memiliki hubungan yang sama dengan EMM seperti halnya

EMSn terhadap EMS. Menurut Sibbald dan Wolynetz (1985) energi metabolisme

dapat dinyatakan dengan empat peubah, yaitu EMS, EMSn, EMM dan EMMn.

Retensi Nitogen

Retensi nitrogen adalah sejumlah nitrogen dalam protein ransum yang

masuk ke dalam tubuh kemudian diserap dan digunakan oleh ternak

(Sibbald dan Wolynetz, 1985). Retensi nitrogen itu sendiri merupakan hasil

konsumsi nitrogen yang dikurangi ekskresi nitrogen dan nitrogen endogenous.

Sibbald (1980) menyatakan bahwa nitrogen endogenous ialah nitrogen

yang terkandung dalam ekskreta yang berasal dari selain bahan pakan yang terdiri

dari peluruhan sel mukosa usus, empedu dan peluruhan sel saluran pencernaan.

Genetik, umur dan bahan pakan merupakan faktor yang mempengaruhi retensi

nitrogen karena tidak semua protein yang masuk kedalam tubuh dapat diretensi

(34)

Selain itu menurut NRC (1994), nilai retensi nitrogen berbeda untuk setiap

jenis ternak, umur dan faktor genetik. Banyaknya nitrogen yang diretensi dalam

tubuh ternak akan mengakibatkan ekskreta mengandung sedikit nitrogen urin dan

energi dibandingkan dengan ternak yang tidak meretensi nitrogen.

Pengukuran retensi nitrogen ransum bertujuan untuk mengetahui nilai

kecernaan protein ransum. Retensi nitrogen dapat bernilai positif atau negatif

tergantung pada konsumsi nitrogen. Ewing (1963) menyatakan bahwa retensi

nitrogen yang menurun dengan meningkatnya protein ransum mungkin

disebabkan sebagian kecil digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi. Hal ini

menunjukkan pentingnya energi yang cukup dalam ransum jika ayam digunakan

untuk mengevaluasi kualitas protein berdasarkan keseimbangan protein. Retensi

nitrogen akan negatif apabila nitrogen yang dikeluarkan melebihi konsumsi

nitrogen, sebaliknya retensi nitrogen akan positif apabila nitrogen

yang dikonsumsi melebihi nitrogen yang dikeluarkan melalui ekskreta

(35)

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Compost Centre Program Studi Peternakan

Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Jl. Dr. A. Sofyan No.3 Medan.

Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan dimulai Juli 2013 sampai dengan

Oktober 2013, dimana lama penelitian ini dihitung dari mulai persiapan kandang

sampai pengambilan sampel untuk dianalisis di laboratorium.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan

Ayam kampung umur 12 minggu sebanyak 27 ekor sebagai objek

penelitian, limbah industri pengolahan ikan nila (LIPIN) sebagai perlakuan

dimana limbah diperoleh dari PT. Aqua Farm. Bahan fermentasi berupa

bakteri asam laktat dari biokul plain dan juga dedak dalam pembuatan perlakuan silase tepung ikan.

Alat

Kandang biologis ayam kampung yang mempunyai ukuran p x l x t = 52 x

25 x 45 cm sebanyak 27 petak, masing-masing kandang terdiri dari 1 ekor ayam

kampung. Tempat air minum serta plastik penampung ekskreta, rodalon untuk

mencuci tempat air minum, timbangan digital ohause dengan skala 2 kg dengan

ketelitian 2 g, oven 400 C, label penanda kandang, sendok dan kantong plastik.

(36)

mengetahui suhu, terpal dengan ukuran ± 3 x 6 m sebanyak 4 buah sebagai

penutup dinding ruangan (kandang) dan peralatan kebersihan kandang.

Metode Penelitian

Rancangan acak lengkap (RAL) merupakan rancangan yang digunakan

dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan 6 perlakuan dan 4 ulangan.

Perbedaan dari masing – masing perlakuan terletak pada cara pengeringan dan

pengepresan tepung ikan serta dengan perlakuan silase tepung ikan fermentasi.

Perlakuan yang diteliti :

R0 = tepung ikan komersil

R1 = tepung ikan (dipres) dengan pengeringan oven 400 C R2 = tepung ikan (dipres) dengan pengeringan matahari

R3 = tepung ikan (tanpa dipres) dengan pengeringan oven 400 C R4 = tepung ikan (tanpa dipres) dengan pengeringan matahari R5 = tepung ikan dengan silase fermentasi

Model matematik untuk rancangan acak lengkap yang digunakan dalam

penelitian ini adalah

Yij = µ + Ti+ εij

Keterangan :

i = 1, 2, 3,…i (perlakuan) j = 1, 2, 3,…j (ulangan)

Yij = respon atau nilai pengamatan dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

µ = nilai tengah umum

γi = pengaruh perlakuan ke-i

εij = efek j galat pada perlakuan ke-i, ulangan ke-j

(37)

Adapun susunan atau denah kandang penelitiannya seperti dibawah ini :

Data yang diperoleh selama penelitian dari setiap perlakuan dianalisis

dengan setiap pembandingan linier ortogonal kontras sehingga diperoleh

informasi perlakuan yang terbaik. Dari 6 perlakuan dapat disusun 5

pembandingan linier ortogonal kontras sebagai berikut :

Perlakuan Keterangan

R0 VS R12345 Tepung ikan komersial dibandingkan dengan tepung

ikan dari limbah pengolahan ikan nila dengan berbagai metode pengolahan dan silase fermentasi R12 VS R34 Tepung ikan dari limbah ikan nila dengan metode

pengepresan kering oven dan kering matahari dibandingkan dengan tepung ikan dari limbah ikan nila metode tanpa pres kering oven dan kering matahari

R13 VS R24 Tepung ikan dari limbah ikan nila dengan metode

kering oven dipres maupun tanpa pres dibandingkan dengan tepung ikan dari limbah ikan nila metode kering matahari dengan pres dan tanpa pres

R1234 VS R5 Tepung ikan dari limbah ikan nila dengan metode

oven pres, matahari pres, oven tanpa pres dan matahari tanpa pres dibandingkan dengan tepung ikan dengan perlakuan silase fermentasi

R0 VS R5 Tepung Ikan komersial dibandingkan dengan tepung

(38)

Pembandingan linier ortogonal kontras menggunakan persyaratan sebagai

berikut :

1. Jumlah koefisien pembanding sama dengan nol (�ki = 0)

2. Jumlah perkalian koefisien dua pembanding sama dengan nol (�ki ki = 0)

3. Jumlah kuadrat ��

�����

Qi = Jumlah perkalian koefisien pembanding dengan total tiap perlakuan

r = Ulangan

�ki = Kuadrat koefisien pembanding (Sastrosupadi, 2000)

Sidik Ragam

SV DB JK KT Fhit Ftabel

0,05 0,01

Perlakuan t-1 JK perl JKP/db KTP/KTG

R0 VS R12345 1 JK1 JK1 JK1/G

R12 VS R34 1 JK2 JK2 JK2/G

R13 VS R24 1 JK3 JK3 JK3/G

R0 VS R5 1 JK4 JK4 JK4/G

R1234 VS R5 1 JKG T-P/rt-t -

Galat 18 JKT - -

Kaidah Keputusan

• Bila Fhit < F0,05 perlakuan tidak berbeda nyata (terima H0/H1)

• Bila Fhit > F0,05 perlakuan berbeda nyata (tolak H0/H1)

(39)

Peubah yang diamati

Retensi Nitrogen (%)

Retensi nitrogen diperoleh dengan melakukan pengukuran protein kasar

tepung ikan, endogenous dan ekskreta ayam kampung. Retensi nitrogen

menunjukkan nilai nitrogen yang digunakan oleh tubuh ternak. Nilai ini dapat

diperoleh dari selisih antara nilai konsumsi protein kasar (KP) dengan nilai

protein yang diekskresikan (EP) setelah dikoreksi dengan nilai ekskresi protein

endogenous (ENP). Dengan kata lain retensi nitrogen (RN) yaitu selisih antara

nilai konsumsi protein kasar dengan nilai protein kasar yang diekskresikan setelah

dikoreksi dengan nilai ekskresi protein endogenous.

RN (%) =

KN – (EN - ENN)

x 100% KN

Keterangan :

KN : Konsumsi nitrogen (g/ekor)

EN : Ekskresi nitrogen (g/ekor)

ENN : Endogenous nitrogen (g/ekor)

Energi Metabolisme (kkal/kg)

Energi metabolisme adalah selisih antara kandungan energi bruto tepung

ikan dengan energi bruto yang hilang melalui ekskreta. Energi metabolisme

dinyatakan dengan 4 peubah (Sibbald dan Wolynetz, 1985) yaitu :

a. Energi Metabolisme Semu (EMS) (kkal/kg) :

EMS = (EB x X) – (Ebe x Y) X

b. Energi Metabolisme Murni (EMM) (kkal/kg)

(40)

c. Energi Metabolisme Semu Terkoreksi Nitrogen (EMSn) (kkal/kg)

EMSn = (Eb x X) - [(Ebe x Y) + (8.22 x RN)] X

d. Energi Metabolisme Murni Terkoreksi Nitrogen (EMMn (kkal/kg)

EMMn = (EB x X) – [(Ebe x Y) – (Ebk x Z) + (8.22 x RN)] X

Keterangan :

EB : Energi bruto tepung ikan (kkal/kg)

Ebe : Energi bruto ekskreta (kkal/kg) Ebk : Energi bruto endogenous (kkal/kg)

X : Konsumsi tepung ikan (gram)

Y : Berat ekskreta ayam yang diberi tepung ikan (gram)

Z : Berat ekskreta ayam yang dipuasakan (gram)

RN : Retensi nitrogen (gram)

8,22 : Nilai yang terkoreksi sebagai asam urat (kkal/kg) (Sibbald, 1980)

Konversi EMSn/EB

Total kandungan energi metabolisme bukan ditentukan oleh nilai energi

metabolisme baik semu (EMS), murni (EMM), semu terkoreksi nitrogen (EMSn)

ataupun murni terkoreksi nitrogen (EMMn), akan tetapi ditentukan oleh konversi

EMSn terhadap energi bruto atau rasio EM/EB ransum.

EMSn/EB = EMSn

EB

Keterangan :

EMSn : Energi metabolisme semu terkoreksi nitrogen (kkal/kg)

EB : Energi bruto tepung ikan (kkal/kg)

Pelaksanaan Penelitian

Persiapan Kandang Beserta Peralatannya

Kandang biologis yang digunakan sebanyak 27 petak dengan setiap petak

berukuran 52 x 25 x 45 cm, dimana seluruh instalasi penerangan telah dipasang.

(41)

Persiapan Bahan

Limbah Industri Pengolahan Ikan Nila (LIPIN)

Limbah yang digunakan dalam penelitian ini didapatkan dari

PT Aquafarm Nusantara. Setiap harinya PT. Aquafarm Nusantara mengolah 73

ton ikan nila yang masih hidup dan segar kemudian diekspor ke berbagai Negara.

Tingginya jumlah ikan nila yang diekspor akan menyebabkan limbah industri

pengolahan ikan nila (LIPIN) yang dihasilkan juga tinggi. Limbah inilah yang

dipergunakan dalam penelitian ini.

Silase Fermentasi

Perlakuan silase dalam penelitian ini berasal dari ikan nila utuh yang

dicincang kecil kemudian dilakukan metode fermentasi (silase biologi). Bahan

fermentasi yang digunakan berupa bahan yang kaya akan karbohidrat sebagai

sumber energi bagi pertumbuhan bakteri. Bakteri tersebut akan

memfermentasikan gula sehingga terbentuk asam laktat yang dapat menurunkan

nila pH yang berfungsi sebagai bahan pengawet silase ikan tersebut. Bahan

fermentasi yang digunakan dalam penelitian ini yakni bahan baku ikan nila, susu

murni biokult plain dengan perbandingan ikan banding biokult plain 1:0,1 dan dedak 30 g sebagai sumber makanan untuk bakteri.

Langkah-langkah pembuatan silase fermentasi adalah :

1. Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan mencuci ikan yang

digunakan sebagai bahan baku, dengan tujuan untuk membersihkan ikan

dari kotoran dan benda keras yang mungkin terdapat pada ikan terutama

(42)

ukuran 1-2 cm. Setelah dicincang sesuai ukuran, kemudian digiling dengan

alat grinder (penggiling).

2. Ikan yang telah digiling halus kemudian dimasukkan kedalam wadah

(ember) yang bersih untuk melakukan fermentasi.

3. Tambahkan susu biokult plain kemudian ditabur dengan dedak, diaduk rata kemudian dibungkus dengan kantong plastik dengan sifat anaerob.

4. Disimpan kemudian dibolak-balik selang 3 hari untuk mengatur

kelembaban ikan yang difermentasi selama 14 hari fermentasi.

Metode Pemberian Perlakuan Secara Paksa (Force Feeding)

Metode pemberian perlakuan secara paksa dilakukan dengan menerapkan

metode Sibbald dan Wolynetz (1985). Pada saat percobaan dimulai, digunakan 24

ekor ayam ditambah 3 ekor koreksi yang dipuasakan selama 24 jam. Perlakuan

diberikan secara paksa sebanyak 24 g/ekor dengan bantuan corong (dicekok)

setelah selesai masa pemuasaan. Setelah 24 jam pemberian perlakuan, ekskreta

dikumpulkan dan penanganan berikutnya sama halnya seperti pada teknik

(43)

Alur pengukuran energi metabolis ditampilkan pada Gambar 2.

Pemuasaan (24 jam)

Koleksi ekskreta

- Dikumpulkan dan ditimbang - Dibekukan selama 24 jam

- Dicairkan pada suhu ruang

- Dioven 400C selama 24 jam

- Dihaluskan

- Dibersihkan dari kotoran dan bulu

- Dianalisis energi bruto, dan RN

Gambar 2. Alur pengukuran retensi nitrogen dan energi metabolisme dengan

metode force feeding

Ayam kampung umur 12 minggu

Force Feeding 1 hari

24 g/ekor

Ekskreta

(44)

Prosedur Pengambilan/Pengolahan Data

1. Berat Ekskreta (g/ekor)

Berat ekskreta diperoleh setelah ekskreta dikeringkan dalam oven 40ºC.

2. Energi Bruto Ekskreta/EB (kkal/kg)

Energi bruto ekskreta diperoleh dari analisis energi menggunakan bomb

kalorimeter.

3. Konsumsi Protein Kasar/KP (g/ekor)

Konsumsi protein kasar merupakan hasil perkalian dari jumlah ransum yang

dikonsumsi (K) dengan kandungan protein kasarnya (PK).

4. Protein Kasar Ekskreta/EP (g/ekor)

Nitrogen ekskreta diperoleh dari analisis protein kasar laboratorium.

5. Protein Kasar Endogenous/ENP (g/ekor)

(45)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Retensi Nitrogen

Retensi nitrogen diperoleh dengan melakukan pengukuran protein kasar

tepung ikan, endogenous dan ekskreta ayam kampung. Retensi nitrogen

menunjukkan nilai nitrogen yang digunakan oleh tubuh ternak. Perbedaan cara

pengolahan tepung ikan dari limbah industri pengolahan ikan nila dapat

menyebabkan perbedaan nitrogen yang diretensi sehingga menghasilkan

perbedaan dalam nilai energi metabolis. Rataan retensi nitrogen tepung ikan

disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Rataan retensi nitrogen ayam kampung (%)

Perlakuan Ulangan Total Rataan + Sd

Hasil rataan retensi nitrogen tertinggi pada perlakuan R0 sebesar

83,3691% dan rataan retensi nitrogen terendah terdapat pada perlakuan R1 sebesar

53,9374%. Perbedaan dari nitrogen yang diretensi tersebut merupakan dampak

awal dari pengaruh perbedaan cara pengolahan tepung ikan dari limbah industri

pengolahan ikan nila. Ayam kampung yang diberi tepung ikan komersial

meretensi nitrogen lebih tinggi dibandingkan dengan ayam kampung yang

diberikan tepung ikan LIPIN yang mengalami pengolahan terutama pada

(46)

Analisis keragaman retensi nitrogen (Lampiran 1) menunjukkan bahwa

perbedaan pengolahan tepung ikan memberikan pengaruh yang sangat berbeda

nyata terhadap retensi nitrogen. Perbedaan dari masing-masing perlakuan dapat

dilihat jelas pada uji ortogonal kontras. Untuk melihat informasi perlakuan terbaik

disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Uji ortogonal kontras terhadap retensi nitrogen

SV DB JK KT Fhit Ftabel

tn : menunjukan pengaruh yang tidak nyata

Uji ortogonal kontras diatas menunjukkan bahwa perlakuan R0 tepung

ikan komersial sangat berbeda nyata lebih tinggi (P<0,01) dibandingkan dengan

perlakuan R1, R2, R3, R4 dan R5 yaitu tepung ikan dengan oven dipres, matahari

dipres, oven tanpa pres, matahari tanpa pres dan silase fermentasi. Hal ini

disebabkan karena kandungan protein dari tepung ikan komersial lebih tinggi dari

limbah pengolahan ikan nila dibuktikan dengan analisis kimia laboratorium dan

juga komponen penyusun perlakuan R0 berupa daging dengan kandungan protein

tinggi, sedangkan perlakuan R1, R2, R3, R4 dan R5 dari tulang dan hanya sedikit

daging. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Amrullah (2003) yang menyatakan

bahwa jumlah energi yang dapat dimanfaatkan sewaktu ransum masuk ke tubuh

(47)

Uji ortogonal kontras menunjukkan perlakuan tepung ikan dipres (R12)

memberikan pengaruh yang tidak nyata (P>0,01) terhadap perlakuan tepung ikan

tanpa pres (R34). Hal ini disebabkan karena tepung ikan yang dipres menurunkan

kadar air menjadi 50% dan kadar minyak 4-5% sedangkan perlakuan dengan

tanpa pres menyebabkan kadar minyak tinggi dan airnya juga tinggi sehingga

mudah diserang serangga dan jamur dan mempengaruhi kandungan protein

didalam tepung ikan tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Saleh (1990)

yang menyatakan bahwa tepung ikan yang tidak dipres menjadi kotor dan

pengeluaran air menjadi tidak sempurna serta mudah diserang serangga, jamur

karena kadar air dan lemak masih tinggi.

Dalam pembanding ortogonal kontras perlakuan dengan sumber

pengeringan yang berbeda antara pengeringan oven (R13) memberikan pengaruh

yang sangat berbeda nyata lebih rendah (P<0,01) dengan pengeringan matahari

R24. Hal ini karena pada pengeringan oven dengan suhu 400 C tidak merusak

kandungan nutrisi pada tepung ikan karena suhunya tetap sedangkan pada

pengeringan matahari mempengaruhi kandungan nutrisinya karena suhu matahari

tidak stabil atau sewaktu waktu berubah. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari

Sunarya (1988) yang menyatakan bahwa cara pengeringan tidak langsung dengan

memanaskan bahan yang dipres dengan uap panas harus mencapai 6-9%,

sedangkan pada industri kecil, pengeringan dilakukan dengan sinar matahari.

Uji pembanding ortogonal kontras tepung ikan komersial (R0)memberikan

pengaruh yang sangat berbeda nyata lebih tinggi (P<0,01) terhadap tepung ikan

dengan silase fermentasi (R5). Perbedaan ini disebabkan karena tepung ikan

(48)

tinggi, sedangkan pada perlakuan silase yang difermentasikan berupa tulang dan

hanya sedikit daging segar yang melekat pada tulang ikan dan pada proses

fermentasi yang berlangsung tersebut menurunkan nilai pH dan hanya berfungsi

sebagai bahan pengawet silase ikan tersebut. Adapun hal ini sesuai dengan

pernyataan dari Kompiang (1980), yang menyatakan bahwa pada pembuatan

silase biologi, bakteri akan memfermentasikan gula sehingga terbentuk asam

laktat yang dapat menurunkan nilai pH dan berfungsi sebagai bahan pengawet

silasi ikan itu.

Hasil uji ortogonal kontras perlakuan oven dipres maupun tanpa dipres dan

matahari dipres maupun tanpa pres (R1234)menunjukan pengaruh yang tidak nyata

(P>0,01) terhadap perlakuan silase fermentasi R5. Hal ini disebabkan karena pada

perlakuan R1234 dengan pengolahan pres dan tanpa pres baik pengeringan secara

oven maupun matahari tidak merubah kandungan proteinnya sedangkan pada

silase perlakuan fermentasi yang diberikan hanya menurunkan pH dan berfungsi

sebagai bahan pengawet.

Energi Metabolisme

Perhitungan energi metabolisme dinyatakan dengan 4 peubah yaitu energi

metabolisme semu, energi metabolisme murni, energi metabolisme semu

terkoreksi nitrogen dan energi metabolisme murni terkoreksi nitrogen. Energi

metabolisme murni (EMM) merupakan energi metabolisme yang

memperhitungkan energi endogenous sebagai faktor koreksi (Sibbald, 1980). Hal

(49)

dan sebagian lagi berasal dari produk akhir yang mengandung nitrogen

(Wolynetz dan Sibbald, 1984). EMS tidak memperhitungkan metabolic faecal dan

endogenous urinary (Sibbald, 1989). Rataan energi metabolisme semu dan murni

dapat dilihat pada Tabel 6 berikut.

Tabel 6. Rataan energi metabolisme ayam kampung (kkal/kg)

Perlakuan Energi metabolisme (kkal/kg)

Semu (EMS) Murni (EMM)

R0 1673,70 + 58,75 2195,49 + 58,75

R1 2597,61 + 416,65 3119,39 + 416,65

R2 2502,82 + 289,83 3024,61 + 289,83

R3 3108,40 + 127,81 3630,19 + 127,81

R4 3000,54 + 402,65 3522,32 + 402,65

R5 4620,57 + 500,47 5142,35 + 500,47

Tabel 6 di atas menunjukkan bahwa energi metabolisme semu dan murni

tertinggi terdapat pada perlakuan R5 yaitu tepung ikan silase fermentasi sebesar

4620,5720 kkal/kg dan 5142,3575 kkal/kg. Energi semu dan murni terendah

terdapat pada perlakuan R0 yaitu sebesar 1673,7093 kkal/kg dan 2195,4948

kkal/kg. Hal ini menunjukkan bahwa proses fermentasi sangat berpengaruh dalam

metabolisme tepung ikan oleh ayam kampung.

Analisis sidik ragam energi metabolisme semu dan murni (Lampiran 2 dan

3) menunjukkan bahwa pengaruh perbedaan cara pengolahan tepung ikan LIPIN

memberikan pengaruh yang sangat berbeda nyata pada ayam kampung. Setelah

dilakukan uji ortogonal kontras dapat dilihat informasi perlakuan yang terbaik

(50)

Tabel 7. Uji ortogonal kontras terhadap energi metabolisme semu dan murni

Ket : ** : menunjukan pengaruh yang sangat berbeda nyata

tn : menunjukan pengaruh yang tidak nyata

Tabel diatas menunjukkan uji pembandingan ortogonal kontras energi

metabolisme semu dan murni perlakuan tepung ikan komersial (R0) sangat

berbeda nyata lebih rendah (P<0,01) dengan perlakuan R1, R2, R3, R4 dan R5 yaitu

tepung ikan dengan oven dipres, matahari dipres, oven tanpa pres, matahari tanpa

pres dan silase fermentasi. Perbedaan ini karena pada perlakuan R0 yang tanpa

melalui perlakuan apapun sehingga tidak mengganggu komponen penyusun

tepung ikannya yaitu berupa daging dengan kandungan protein tinggi

dibandingkan dengan R12345 dengan berbagai metode pengolahan yang

mempengaruhi kandungan protein dan lemak dalam tepung ikan tersebut. Hal ini

sesuai dengan pernyataan dari Sibbald (1976), yang menyatakan bahwa penentuan

energi bruto bahan pakan yaitu dengan mengukur energi bruto feses dan energi

bruto endogenous serta dapat mengetahui nilai energi metabolisme murni (EMM).

Hasil uji ortogonal kontras energi metabolisme semu dan murni dari

perlakuan tepung ikan dipres (R12) memberikan pengaruh yang sangat berbeda

nyata lebih rendah (P<0,01) terhadap perlakuan tepung ikan tanpa pres (R34).

Perbedaan ini karena pada perlakuan R12 kadar lemaknyalebih rendah akibat dari

(51)

Pada perlakuan dengan sumber pengeringan yang berbeda, pengeringan

oven (R13)menunjukan pengaruh yang tidak nyata (P>0,01) terhadap pengeringan

dengan matahari (R24). Hal ini dikarenakan sumber pengeringan yang berbeda

baik secara oven maupun matahari relatif stabil sehingga tidak mempengaruhi

total energi metabolisme terhadap perlakuan tersebut.

Uji ortogonal kontras energi metabolisme semu dan murni dari perlakuan

tepung ikan komersial (R0)memberikan pengaruh yang sangat berbeda nyata lebih

rendah (P<0,01) terhadap perlakuan R5 yakni pakan secara silase fermentasi. Hal

ini karena pada perlakuan R0 tidak mengalami metode pengolahan sehingga tidak

mengganggu susunan atau kandungan protein dan lemak didalam tepung ikan

tersebut dibandingkan dengan perlakuan R5 dengan metode tepung ikan

difermentasi dengan tujuan untuk meningkatkan kandungan protein yang

terkandung didalam tepung ikan tersebut, sehingga nilai energi metabolisme

diantara keduanya berbeda.

Uji pembanding ortogonal kontras energi metabolisme semu dan murni

dari perlakuan tepung ikan yang dipres dan tidak dipres baik dari sumber

pengeringan oven dan matahari (R1234)menunjukan pengaruh yang sangat berbeda

nyata lebih rendah (P<0,01) terhadap perlakuan tepung ikan secara silase

fermentasi (R5). Adapun hal ini disebabkan oleh metode pengolahan yang

berbeda-beda berpengaruh meningkatkan ataupun menurunkan kandungan protein

maupun kadar lemak tepung ikan dibandingkan dengan R5 yang ditambahkan

bakteri yang membentuk asam laktat sebagai bahan pengawet silase ikan tersebut.

Hal ini sesuai dengan pernyataan dari ahlli yakni Storey dan Allen (1982), yang

(52)

bruto dalam pakan atau ransum tersebut, jumlah pakan atau ransum yang

dikonsumsi, dan juga jenis ternak, serta juga dipengaruhi oleh kemampuan ternak

untuk memetabolis pakan atau ransum atau bahan pakan didalam tubuhnya.

Nilai energi metabolisme semu terkoreksi nitrogen (EMSn) dan energi

metabolisme murni terkoreksi nitrogen (EMMn) merupakan nilai energi metabolis

yang dikoreksi dengan nitrogen, sehingga nilainya lebih kecil dari EMS dan

EMM. Rataan energi metabolisme terkoreksi nitrogen disajikan ada Tabel 8

berikut.

Tabel 8. Rataan energi metabolisme terkoreksi nitrogen ayam kampung (kkal/kg)

Perlakuan Energi metabolisme terkoreksi nitrogen (kkal/kg)

Semu (EMSn) Murni (EMMn)

Tabel 8 di atas menunjukkan bahwa energi metabolisme semu dan murni

terkoreksi nitrogen tertinggi terdapat pada perlakuan R5 yaitu tepung ikan silase

fermentasi sebesar 4620,3216kkal/kg dan 5142,1071kkal/kg. Energi semu dan

murni terkoreksi nitrogen terendah terdapat pada perlakuan

R0 yaitu sebesar 1673,3716 kkal/kg dan 2195,1571 kkal/kg. Hal ini menunjukkan

bahwa pengolahan pada tepung ikan LIPIN terutama dengan proses fermentasi

sangat berpengaruh dalam metabolisme ayam kampung.

Daya cerna terhadap tepung ikan yang tinggi ditunjukan dari tingginya

(53)

tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Storey dan Allen (1982) yang menyatakan

bahwa semakin tinggi konsumsi energinya, maka energi metabolis semakin tinggi.

Analisis sidik ragam energi metabolisme semu dan murni (Lampiran 4

dan 5) menunjukkan bahwa pengaruh perbedaan cara pengolahan tepung ikan

LIPIN memberikan pengaruh yang sangat berbeda nyata.

Uji pembandingan ortogonal kontras untuk energi metabolisme semu

terkoreksi nitrogen (EMSn) dan energi metabolisme murni terkoreksi nitrogen

(EMMn) dapat dilihat pada Tabel 9 berikut.

Tabel 9. Uji ortogonal kontras terhadap energi metabolisme semu terkoreksi nitrogen (EMSn) dan murni terkoreksi nitrogen (EMMn)

Ket : ** : menunjukan pengaruh yang sangat berbeda nyata

tn : menunjukan pengaruh yang tidak nyata

Hasil pembanding uji ortogonal kontras energi metabolisme semu

terkoreksi nitrogen (EMSn) dan murni terkoreksi nitrogen (EMMn) diatas

menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat berbeda nyata lebih rendah

(P<0,01) antara setiap pembandingan ortogonal kontras kecuali pada

pembandingan antara tepung ikan yang diolah dengan sumber pengeringan yang

berbeda (R13 vs R24). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ayam dengan

penampilan akhir yang baik memberikan gambaran bahwa tingkat energi

metabolismenya yang semakin tinggi. Nilai energi metabolisme semu terkoreksi

nitrogen (EMSn) dan energi metabolisme murni terkoreksi nitrogen EMMn yang

(54)

lebih rendah dari energi metabolisme semu (EMS) dan energi metabolisme murni

(EMM) pada teknik force feeding disebabkan oleh adanya faktor koreksi nitrogen yang diretensi tubuh. Menurut McDonald et al. (2002) dalam penentuan energi metabolis perlu dikoreksi terhadap jumlah nitrogen yang diretensi, karena

kemampuan ternak dalam memanfaatkan energi bruto dari protein kasar sangat

bervariasi. Selanjutnya NRC (1994) menjelaskan bahwa semakin bertambah umur

dan bobot badan ternak, maka energi metabolisnya akan semakin tinggi.

Konversi EMSn/EB

Daya cerna energi bukan ditentukan oleh nilai energi metabolisme baik

semu (EMS), murni (EMM), semu terkoreksi nitrogen (EMSn) ataupun murni

terkoreksi nitrogen (EMMn), akan tetapi ditentukan oleh konversi EMSn terhadap

energi bruto atau rasio EM/EB tepung ikan. Nilai konversi EMSn terhadap energi

bruto tepung ikan perlakuan disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Nilai konversi EMSn terhadap energi bruto tepung ikan

Perlakuan Ulangan Total Rataan + Sd

Rasio EMSn/EB tepung ikan tertinggi pada penelitian ini diperoleh pada

(55)

mempengaruhi konversi EMSn terhadap energi bruto tepung ikan. Hal ini dapat

diartikan bahwa ayam kampung yang diberikan tepung ikan yang berbeda cara

pengolahannya mempengaruhi efisiensi penggunaan energi bruto menjadi energi

metabolis dibandingkan dengan tepung ikan komersial. Perbedaan nilai konversi

terbaik dapat dilihat pada tabel 11 berikut.

Tabel 11. Uji ortogonal kontras terhadap konversi EMSn/EB

SV DB JK KT Fhit F Tabel

** : menunjukan pengaruh yang sangat berbeda nyata

tn : menunjukan pengaruh yang tidak nyata

Hasil uji ortogonal kontras perlakuan tepung ikan komersial (R0)

memberikan pengaruh yang sangat berbeda nyata lebih tinggi (P<0,01) terhadap

perlakuan R1, R2, R3, R4 dan R5 yaitu tepung ikan dengan oven dipres, matahari

dipres, oven tanpa pres, matahari tanpa pres dan silase fermentasi. Hal ini

disebabkan karena perlakuan tepung ikan komersial R0 dengan komponen

penyusun lebih banyak daging dan proteinnya juga tinggi dibandingkan perlakuan

lain yang telah dipres dengan kadar lemaknya diangkat maupun dengan tepung

ikan yang difermentasikan sehingga penggunan energi bruto menjadi energi

metabolis dapat semaksimal mungkin.

Uji ortogonal kontras konversi energi diatas menunjukan perlakuan tepung

ikan dengan dipres (R12)memberikan pengaruh yang sangat berbeda nyata lebih

(56)

karena perlakuan tepung ikan dipres (R12)menurunkan kadar air menjadi 50% dan

kadar minyak 4-5% sedangkan perlakuan dengan tanpa pres menyebabkan kadar

minyak tinggi dan airnya juga tinggi sehingga mudah diserang serangga dan

jamur dan mempengaruhi kandungan protein didalam tepung ikan tersebut,

sehingga mempengaruhi penggunan energi bruto menjadi energi metabolis tidak

maksimal. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Saleh (1990), yang menyatakan

bahwa pengepresan yang dilakukan dengan tidak baik menyebabkan kadar air dan

lemak masih tinggi, warna dan bau akan cepat berubah sehingga mutu tepung ikan

akan cepat turun.

Perlakuan tepung ikan dengan sumber pengeringan oven (R13)

memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap perlakuan tepung ikan

dengan pengeringan matahari (R24). Hal ini disebabkan karena pengeringan

dengan sumber panas yang berbeda baik oven dan matahari yang relatif stabil

tidak terlalu signifikan berpengaruh terhadap nilai energi metabolisme untuk

konversi energi.

Perlakuan tepung ikan komersial R0 memberikan pengaruh sangat berbeda

nyata lebih tinggi (P<0,01) terhadap perlakuan tepung ikan silase fermentasi (R5).

Perbedaan ini disebabkan karena tepung ikan komersial komponen penyusunnya

berupa daging dengan kandungan protein tinggi, sedangkan pada perlakuan silase

yang difermentasikan berupa tulang dan hanya sedikit daging segar yang melekat

pada tulang ikan dan pada proses fermentasi yang berlangsung tersebut

menurunkan nilai pH dan hanya berfungsi sebagai bahan pengawet silase ikan

Gambar

Tabel 1. Kebutuhan Gizi Ayam Kampung
Tabel 2. Kebutuhan Pakan Ayam Kampung Pedaging
Tabel. 3  Kandungan nutrisi tepung ikan
Gambar 1. Proses pembuatan silase ikan secara biologi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Maka dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa Hipotesis 4 diterima atau terbukti kebenarannya, artinya motivasi kerja, komitmen kerja dan kemampuan kerja berpengaruh secara

Gerardus Polla, M.App.Sc., selaku Rektor Universitas Bina Nusantara yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk menuntut ilmu dalam Jurusan Sistem

tetapi dia sendiri adalah kebebasannya akan memaksa peserta didik hanya.. 4) Adanya pengakuan dan penerimaan bahwa manusia itu pada dasarnya baik. Jean Jacques Rosseau (filosof

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul “ Dakwah

Melihat permasalahan yang terjadi pada proses pemilahan hasil cutting dowel maka dilakukan penelitian untuk memperbaiki posisi kerja operator yang dapat

Tujuan : Untuk mengetahui perbedaan pengaruh pemberian contract relax stretching dan deep transverse friction terhadap penurunan nyeri tekan pada myofascial

Client Terhadap Kelangsungan Usaha Auditee (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia pada Tahun 2011 sampai dengan 2016.. Tuhan Yesus Kristus yang

Berikut ini disajikan dalam gambar 4.8 Nilai tertinggi, Terendah dan rata-rata hasil belajar siswa setelah diberikan tindakan pada siklus II. Gambar 4.8