• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2014 DALAM PENANGANAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KOTA YOGYAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2014 DALAM PENANGANAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KOTA YOGYAKARTA"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana Strata-1 pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah

Yogyakarta Disusun oleh:

Nama : Musa Akbar

NIM : 20100610087

FAKULTAS HUKUM

(2)

I

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana Strata-1 pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah

Yogyakarta Disusun oleh:

Nama : Musa Akbar

NIM : 20100610087

FAKULTAS HUKUM

(3)

IV

(QS: Al Isra’: 36).

Barangsiapa berjalan di suatu jalan untuk mencari ilmu, niscaya Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga.

(H.R Muslim)

Kecintaan atau ketulusan teman itu, akan tampak pada waktu kesempitan. (Mahfudzod)

Biasakan yang BENAR, janagn MEMBENARKAN yang biasa. (Muhammad Zukri)

(4)

V

(5)

VI

Nama : Musa Akbar

N I M : 20100610087

Judul Skripsi : PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR

1 TAHUN 2014 DALAM PENANGANAN

GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KOTA YOGYAKARTA

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa penulisan Skripsi ini berdasarkan

hasil penelitian, pemikiran dan pemaparan asli dari saya sendiri. Jika terdapat karya orang lain, saya akan mencantumkan sumber yang jelas. Apabila di kemudian hari ternyata terdapat penyimpangan dan ketidak benaran dalam

pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar sarjana S-1 yang telah diperoleh karena karya tulis ini, dan

sanksi lain sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya, tanpa

adanya paksaan dari pihak manapun.

Yogyakarta, 14 November 2016 Yang Menyatakan,

(6)

VII

Shalawat beriring Salam untuk tuntunan dan suri tauladan Rasulullah SAW. beserta keluarga dan sahabat beliau yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai Islam yang sampai saat ini dapat dinikmati oleh seluruh manusia di penjuru dunia.

Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk mendapat gelar Sarjana Hukum dari Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Judul skripsi ini adalah“Pelaksanaan Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 dalam Penangan Gelandangan dan Pengemis di Kota Yogyakarta”.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak dapat terlaksana dengan baik jika tanpa bantuan dan kerjasama dari semua pihak, sehingga Penulis ingin mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya dengan penuh kerendahan hati Penulis mengucapkannya. Kepada semua pihak yang sudah membatu dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi ini terutama kepada:

1. Kedua Orang Tua Penulis, Muhammad Kasah Asa dan Rasmi Damai. Abang dan Kakak Penulis, Muslim Karada, Sungkawati, Musdarika dan Fikri Rahmadian yang tidak pernah bosan-bosannya memberikan kasih sayang, dukungan-dukungan, bimbingan, nasehat-nasehat, kebutuhan materil dan yang paling utama adalah Do’a yang selalu diperuntukan untuk Penulis. Sehingga Penulis dapat menyelesaikan pembelajaran ini. Penulis slalu berharap dengat sangat, beliau slalu diberikan kesehatan, keselamatan, dan rahmat oleh Allah SWT. (Aamin)

2. Bpk. Dr. Bambang Cipto, M.A Selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

3. Bpk. Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.Hum Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

4. Bpk. Anang Sya’roni, S.H., M.H. selaku Wali Dosen dan Dosen Pembimbing I Fakultas hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing Penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini.

(7)

VIII

dalam pengambilan data.

8. Kakanda Supangat, Kakanda Joko Upoyo Wicaksono, Kakanda Budi Darmadi, Kakanda Irwansyah, Kakanda Gusti Randa, Kakanda Keliwon. Terimakasih atas dukungan, bimbingan serta nasihat yang telah diberikan kepada Penulis.

9. Adik-adik Dwi Kurniaji, Mega Sulistiowati, Aan Dwi Saputra, Rouf Widiantoro, Davit Airlanto, Ade Suryadi, Dimico Rajawali, Asep Widodo, Tripurnanto, Rio Cahyandaru, Dima Santika, Hasfara Indah, Neni Kartini, Faisyal Rifai, Abdul Mubarok, Julian Dwi Prasetia semuanya cc.

10. Abang-abang dan rekan-rekan Lembaga Bantuan Hukum dan Studi Kebijakan Publik (LBH SIKAP) Yogyakarta. Bang Detkri, Bang Wandy, Bang Tuson, Bang Bimo, Bang Dhani, Bang Sapto, Bang Akir, Bang Umro, Budi, Christin dan Dhina.

11. Saudara-saudara semuanya, Saudara- saudara Asrama Lut Tawar (Gayo) Bang Fahribi, Bang Raden, Bang Rifai, Bang Aulia, Bang Sara Afari, Bang Yusri, Bang Razikin, Ruhdiko, Endi Ariadi, Bang Eko Parjiono, Dondi, semua saudara yang tidak bisa Penulis sebutkan satu persatu. 12. Randi Ilmah, Kak Poppy, Tante Mira, Om Khaidir, Tante Yuli, Om Zukri,

Tante Shinta dan semua keluarga besar Opa dan Oma. Terimakasih atas semua dukungan, motivasi dan bimbingan serta doa yang diperuntukan kepada Penulis.

13. Teman-teman Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Khususnya angkatan 2010 yang telah mengamanahkan Penulis menjadi Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 2013-2014.

14. Teman-teman seperjuangan PERMAHI khususnya DPC PERMAHI D.I.Yogyakarta yang mengamanahkan Penulis menjadi Ketua I Bidang Internal. Tetap semangat, PERMAHI??? JAYA!!!

15. Teman-teman Oraganisasi Himpunan Mahasiswa Islam yang memerikan arti kehidupan menjadi Insan Ulil Albab.

(8)

IX

Yogyakarta, Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan dapat bermanfaat juga bagi pembangunan Hukum Nasional.

Yogyakarta, 16 Desember 2015 Penulis

(9)

XI

Halaman pengesahan ... III Halaman motto ... IV Halaman persembahan ... V Pernyataan Keaslian Penulis Skripsi ... VI Halaman kata pengantar ... VII Abstrak ... X Halama daftar isi... XI

BAB I Pendahuluan ... 1

A. Latar Belakang ………... 1

B. Rumusan Masalah ………... 6

C. Tujuan Peneliti ……… 6

D. Manfaat Peneliti ……….. 6

BAB II Tinjauan Pustaka……….. 7

A. Gelandangan dan Pengemis………... 7

1. Pengertian Gelandangan danPengemis ……… 7

2. Kriteria Gelandangan danPengemis ………. 13

3. Faktor Munculnya Gelandangan danPengemis ……… 15

B. Pemerintah Kota Yogyakarta dan Upayanya Dalam Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014………... 29

1. Upaya Pemerintah Kota Yogyakarta Dalam Penanganan Gelandangan danPengemis ………... 30

2. Sosialisasi Peraturan Daerah DIY Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Penanganan Gelandangan danPengemis ………. 35

3. Tujuan Penanganan Gelandangan danPengemis ……….. 38

(10)

XII

D. Teknik Pengumpulan Data……...……… 42

E. Teknik PengelolaanData ……….. 48

F. Analisis Data ... 49

BAB IV Hasil PenelitiandanPembahasan ……….... 50

A. Pelaksanaan Peraturan Daerah DIY Nomor 1 Tahun 2014 Dalam Penanganan Gelandang dan Pengemis di Kota Yogyakarta …... 50

B. Faktor Pendukung dan Faktor penghambat Pelaksanaan Peraturan Daerah DIY Nomor 1 Tahun 2014 Dalam Penanganan Gelandangan dan Pengemis Di Kota Yogykarta……… 65

BAB V Penutup ……… 71

A. Kesimpulan……….. 71

B. Saran ……… 73

(11)
(12)
(13)

Gelandang dan pengemis (Gepeng) dapat dikatakan penyakit sosial dalam masyarakat, dikarenakan keberadaan gepeng di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta khususnya kota Yogyakarta sangat meresahkan masyarakat, selain mengganggu aktifitas masyarakat di jalan raya, mereka juga merusak keindahan kota Yogyakarta. Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menerbitkan Peraturan Daerah No 1 Tahun 2014 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis, dalam rangka menjamin dan memajukan kesejahteraan setiap warga negara serta melindungi kelompok-kelompok masyarakat yang rentan dan untuk melaksanakan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis.

Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis telah terbit sebagai payung hukum mulai efektif berlaku 1 Januari 2015 Silam. Dalam Pelaksanaan Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis, Satuan Kerja Perangkat Daerah masing-masing bidang melaksanakan peraturan tersebut sesuai dengan Pasal 7 Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis, yaitu: Preventif, Koersif, Rehabilitatif, dan Reintegrasi Sosial.

Dalam pelaksanaannya, Hingga kini tidak kunjung tiba Peraturan Gubernur (Pergub) tentang Prosedur Penanganan Gelandangan dan Pengemis (Standar Operasional Prosedur) sebagai standarisasi prosedur penanganannya yang telah diatur dan tertulis dalam Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis Pasal 17 ayat (1) dan (2), sehingga Peraturan Daerah tersebut terkesan mandul. Tanpa Pergub para satuan kerja perangkat daerah terkait sebagai pembantu pelaksanaan peraturan memicu akan timbulnya kesewenangan prosedur penanganan Gelandangan dan Pengemis.

(14)

1

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dikatagorikan sebagai

salah satu Negara berkembang berupaya meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, hal ini sudah menjadi amanah yang tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Alinea IV menegaskan bahwa tujuan dibentuknya pemerintah Negara Republik Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan

seluruh tumpah darah Indonesia, Memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tentunya

pembangunan nasional dan pembangunan daerah harus berjalan beriringan agar tujuan mulia tersebut dapat berjalan dan terlaksana sebagaimana

mestinya,

Kemudian, menurut ketentuan Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, menyatakan

bahwa fakir miskin dan anak-anak yang terlantar di pelihara oleh negara.Selanjuatnya ketentuan Pasal 34 ayat (2) menegaskan bahwa negara

(15)

bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 Pasal 3 Ayat (1) tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial menyebutkan tugas-tugas

pemerintah dalam pembangunan Bidang Kesejahteraan Sosial adalah menentukan garis kebijakan yang diperlukan untuk memelihara, membimbing dan meningkatkan kesejahteraan sosial, melaksanaan

pembinaan (memupuk, memelihara, membimbing) dan meningkatkan kesadaran serta tanggung jawab sosial masyarakat, serta melakukan

pengamanan dan pengawasan pelaksanaan usaha-usaha kesejahteraan sosial. Pemerintah telah menetapkan kebijakan dan peraturan perundangan lainnya dalam rangka menanggulangi gelandangan dan pengemis. Di dalam

KUHP Pasal 504 dan 505 tindakan menggelandang dan mengemis adalah tindakan Pelanggaran terhadap Ketertiban Umum. Pemerintah juga

menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis. Di dalam Peraturan Pemerintah tersebut ditegaskan bahwa gelandangan dan pengemis tidak

sesuai dengan kehidupan bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, karena itu perlu diadakan usaha-usaha penanganan.

(16)

kehidupan, dan penghidupan yang layak sebagai seorang warganegara Republik Indonesia.

Gelandang dan pengemis (Gepeng) yang sudah menajdi fenomena merebak dan melanda di Indonesia, Fenomena ini mulai merebak pada

tahun 1990an yang jumlahnya makin membesar disetiap kota1, khususnya di kota Yogyakarta. Gepeng juga dapat dikatakan menjadi penyakit sosial dalam masyarakat, dikarenakan keberadaan gepeng di kota Yogyakarta

sangat meresahkan masyarakat, selain mengganggu aktifitas masyarakat di jalan raya, mereka juga merusak keindahan kota.

Dewasa ini, Permasalahan Gepeng saat ini masih tetap menjadi beban pembangunan nasional, untuk itu peran pemerintah dan masyarakat untuk menanggulangi permasalahan ini tentunya harus dilakukan secara

bersama-sama, sehingga mampu mengurangi kesenjangan sosial yang ada, gelandangan dan pengemis merupakan kantong kemiskinan yang hidup

diperkotaan, hal ini disebabkan karena faktor ekonomi dan kebutuhan hidup yang semakin mendesak.

Menurut ketentuan, Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta

No. 1 Tahun 2014 tentang penanganan gelandang dan pengemis, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta menetapkan peraturan daerah ini, Dalam

rangka menjamin dan memajukan kesejahteraan setiap warga negara serta melindungi kelompok-kelompok masyarakat yang rentan dan untuk

1

Alan Darmasaputra, “Kebutuhan-Kebutuhan Pisikologis Gepeng”, Skripsi S1 Kearsipan

(17)

melaksanakan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis2.

Selain itu, diamati dari keberadaan Perda No. 1 Tahun 2014 tentang penanganan gelandang pengemis hadir tidak serta mata melakukan razia

oleh dinas terkait untuk menciptakan DIY khusunya kota Yogyakarta bebas dari gepeng, akan tetapi Perda ini pun member solusi kepada gepeng tersebut, berupa sebuah desa binaan bagi para gepeng yang kini disiapkan

oleh Dinas Sosial DIY bekerjasama dengan kementrian Sosial yang bertajuk Desaku Menanti, di sana para gepeng usia produktif bisa mendapatkan

rumah tinggal dan kesempatan usaha yang baru. Hal itu menyusul ditetapkan Perda Penanganan Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) pada 20 Februari 2014 lalu. “Ya kami mencoba tegas (menegakkan Perda) tapiharus solutif. Kami tegas, tapi tidak semena-mena,” ucap Kepala Dinas Sosial DIY Untung Sukaryadi usai pemaparan konsep Desaku Menanti di hadapan

Gubernur DIY di Kepatihan, Senin (9/6).3

Akan tetapi, diungkapkan Ahmad Syaifuddin dari Save Street Children Jogja dalam jumpa pers di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jogja,

Kamis (16/4/2015). Kaukus dari 19 komunitas di DIY menuntut Perda Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis

dibatalkan. Pasalnya, implementasi dan isi perda dinilai sarat kekerasan

2

BPK RI Perwakilan Provinsi D.I.Yogyakarta, “Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta No. 1, Gubernur DIY 2014”. 18 September 2014.19 Maret 2015

<http://yogyakarta.bpk.go.id/?p=7087; [19 Maret 2015]

3

(18)

serta melanggar hak asasi manusia (HAM). Tidak hanya itu, ungkapnya, keberadaancamp assessment[panti rehabilitasi sosial] tidak layak ditambah

dengan pelaksana perda, Satpol PP dan Dinas Sosial, tidak memadai. Fasilitas camp, urainya, tidak kayak karena tidak tersedianya ruangan yang

nyaman, tidak menyediakan alat kebersihan yang layak, pemenuhan kebutuhan makan tidak layak, dan sebagainya. Sedangkan jumlah pekerjasosial atau pendamping hanya 12 orang yang masing-masing

mendampingi lima sampai 20 orang.4

Berdasarkan pada asas penanganan gelandang dan pengemis menurut

Pasal 2 Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang penanganan gelandang dan pengemis menegaskan: a. Penghormatan pada martabat dan harga diri, b. Non diskriminasi, c. Non

kekerasan, d. Keadilan, e. Perlindungan, f. Kesejahteraan, g. Pemberdayaan, h. Kepastian Hukum. Berdasarkan latar belakang masalah di atas,sesuai

dengan Pasal 19 poin a Peraturan Daerah Daerah IstimewaYogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang penangan gelandang dan pengemis yang berbunyi peran serta masyarakat dalam penanganan gelandang dan

pengemis sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 18 juga dilakukan oleh: a. Perguruan tinggi melalui penelitian dan pengabdian masyarakat, maka

penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “Pelaksanaan Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 Dalam Penanganan Gelandangan dan Pengemis di Kota Yogyakarta.

4

(19)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka rumusan masalah

penelitian ini adalahBagaimana Pelaksanaan Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 dalam Penanganan

Gelandangan dan Pengemis di Kota Yogyakarta?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah Untuk

mengetahui dan mengkajiPelaksanaan Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 dalam Penanganan Gelandangan dan

Pengemis di Kota Yogyakarta.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi ilmu pengetahuan yaitu penelitian ini diharapkan dapat

memberikan kontribusi bagi pengembangan dalam bidang ilmu Hukum khususnya dalam hukum tata negara pada Fakultas Hukum Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta.

2. Bagi pembangunan yaitu penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan atau saran untuk Pemerintah Kota Yogyakarta semoga dapat

(20)

7 A. Gelandangan dan Pengemis

1. Pengertian Gelandangan dan Pengemis

Kata gelandangan dan pengemis disingkat dengan “gepeng”, masyrakat Indonesia secara umum sudah sangat akrab dengan singkatan “gepeng” tersebut yang mana tidak hanya menjadi kosa kata umum dalam percakapan sehari-hari dan topik pemberitaan media massa, tetapi juga sudah menjadi istilah dalam dalam kebijakan Pemerintah merujuk

peda sekelompok orang tertentu yang lazim ditemui dikota-kota besar khususnya di Kota Yogyakarta..

Kosa kata lain yang juga sering digunakan untuk menyebutkan

keberadaan gelandangan dan pengemis tersebut dimasyarakat Indonesia adalah Tunawisma.1 Kemudian kita lihat dan bandingkan dengan

fenomena gelandangan dan pengemis yang terjadi di luar Negeri seperti Amerika Serikat, maka istilah populer yang sering digunakan di Amerika Serikat untuk menyebut gelandangan dan pengemis adalah

Homeless.2

1

Magfud Ahmad, 2010, Strategi Kelangsungan Hidup Gelandangan dan Pengemis (Gepeng),Jurnal Penelitia STAIN Pekalongan: Vol. 7. No. 2, Pekalongan, hlm 2.

2

(21)

Menurut Peraturan Pemerintah Republik IndonesiNomor 31 Tahun 1980Tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis, Gelandangan

adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak

mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum. Sedangkan, pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di

muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.

Kemudian Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 Pasal 1 ayat (2) tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis. Menjelaska, ”gelandangan adalah orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan tetap di

wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum”. Kemudian Pasal 1 ayat (5) menjelaskan, “pengemis adalah orang-orang yang mendapat penghasilan dengan meminta-minta dimuka umum dengan

berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain”.

(22)

bertualang”. 3 Berikutnya, pengemis adalah “orang yang meminta-minta”.4

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2009 Pasal 5 ayat (1) tentang Kesejahteraan Sosial. Menjelaskan,

Penyelenggaran kesejahteran sosial ditujukan kepada: perseorangan. Keluarga, kelompok, masyarakat. gelandangan dan pengemis dikatagorikan sebagai kelompok masyarakat yang mengalami disfungsi

sosial atau Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Sebagai aturan hukum tentang kesejahteraan sosial di Indoensia, maka

Undang-undang ini menekankan kegiatan pokok yaitu penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi masyarakat yang diprioriraskan kepada mereka yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan

memiliki kriteria masalah sosial: kemiskinan, ketelantaran, kecacatan, keterpencilan, keturunan sosial dan penyimpangan pelaku, korban

bencana, dan atau korban tidank kekerasan, ekploitasi dan diskriminasi. Dalam lingkup ini gelandangan dan pengemis jelas sebagai kelompok masyarakat yang mengalami masalah kemiskinan sehingga masalah

kegiatan penyelenggaraan kesejahteraan sosial tersebut haruslah menyentuh gelandangan dan pengemis.

Kemudian, menurut Muthalib dan Sudjarwo dalam Iqbali 2005 gelandangan dan pengemis adalah kelompok yang berpola hidup agar

3

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Bahasa, 2012,Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-3 , Balai Pustaka, Jakarta, hlm 281.

4

(23)

mampu bertahan dalam kemiskinan dan keterasingan, merekasudah terbiasa hidup dengan kemiskinan dan ketebatasan.5

Selanjutnya, menurut Pasurdi Suparlan, Gelandangan berasal dari kata gelandang dan mendapat akhiran “an”, yang selalu bergerak, tidak tetap dan berpindah-pindah. Suparlan juga mengemukakan pendapatnya tentang apa yang dimaksud dengan masyarakat gelandangan adalah sejumlah orang yang bersama-sama mempunyai tempat tinggal yang

relatif tidak tetap dan mata pencariannya relatif tidak tetap serta dianggap rendah dan hina oleh orang-orang diluar masyarakat kecil yang

merupakan suatu masayarakat yang lebih luas.Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh anggota-anggotanya serta norma-norma yang ada pada masyarkat gelandang tersebut tidak pantas dan tidak dibenarkan oleh

golongan-golongan lainnya dalam masyarakat yang lebih luas yang mencakup masyarakat kecil itu.6

Kemudian, Ali Marpuji dkk menyatakan bahwa gelandangan berasal dari gelandang yang berarti selalu mengembara, atau berkelana (lelana). Mengutip pendapat Wirosardjono maka Ali Marpuji, dkk juga

menyatakan bahwagelandangan merupakan lapisan sosial, ekonomi dan budaya paling bawah dalam stratifikasi masyarakat kota. Dengan strata

demikian maka gelandangan merupakan orang-orang yang tidak mempunyai tempat tinggal atau rumah dan pekerjaan yang tetap atau

5

Isma Riskawati, Abdul Syani, “Faktor Penyebab Terjadinya Gelandangan dan Pengemis

(Studi Pada Gelandangan dan Pengemis Di Kecamatan Tanjung Karang Pusat Kota Bandar

Lampung)”,Jurnal Sociologie, Vol. 1, No. 1, (September 2013), hlm. 43.

6

(24)

layak, berkeliaran di dalam kota, makan-minum serta tidur di sembarang tempat.7

Begitu juga Menurut Y. Argo Twikromo, Gelandangan adalah orang yang tidak tentu tempat tinggalnya, pekerjaannya dan arah tujuan

kegiatannya.8 Dalam keterbatasan ruang lingkup sebagai gelandangan tersebut, mereka berjuang untuk mempertahankan hidup di daerah perkotaan dengan berbagai macan strategi, seperti menjadi pemulung,

pengemis, pengamen, dan pengasong. Perjuangan hidup sehari-hari mereka mengandung resiko yang cukup berat, tidak hanya karna tekanan

ekonomi, tetapi juga tekan sosial budaya dari masyarakat, kerasnya kehidupan jalanan, dan tekanan dari aparat ataupun petugas ketertiban kota.9

Selanjutnya menurut Dimas Dwi Irawan, Khusus untuk kata pengemis lazim digunakan untuk sebutan bagi orang yang membutuhkan

uang, makan, tempat tinggal, atau hal lainnya dari orang yang ditemuinya dengan cara meminta. Berbagai atribut mereka gunakan, seperti pakaian compang-camping dan lusuh, topi, gelas plastik, atau

bungkus permen, atau kotak kecil untuk menempatkan uang yang mereka dapatkan dari meminta-minta. Mereka menjadikan mengemis

sebagai pekerjaan mereka dengan berbagai macam alasan, seperti

7

Ali Marpuji, dkk, 1990, Gelandangan di Kertasura, Monografi 3 Lembaga Penelitian Universitas Muhammadiyah. Surakarta.

8

Y. Argo Twikromo, Gelandangan Yogyakarta: Suatu kehidupan dalam bingkai tatanan Sosial-Budaya “Resmi”, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 1999, hlm. 6.

9

(25)

kemiskinan dan ketidak berdayaan mereka karna lapangan kerja yang sempit.10

Dengan mengutip definisi operasional Sensus Penduduk maka gelandangan terbatas pada mereka yang memiliki tempat tinggal yang

tetap, atau tempat tinggal tetapnya tidak berada pada wilayah pencacahan. Karena wilayah pencacahan telah habis membagi tempat hunia rumah tinggal yang lazim, maka yang dimaksud dengan

gelandangan dalam hal ini adalah orang-orang yang bermukim pada daerah-daerah bukan tempat tinggal seperti dibawah jembatan, kuburan,

pinggiran sungai, emper took, sepanjang rel kereta api, taman, pasar, dan konsentrasi hunian gelandangan yang lain.11

Pengertian gelandangan tersebut memebrikan pengertian bahwa

mereka termasuk golongan yang mempunyai kedudukan lebih terhormat dari pada pengemis. Gelandangan pada umumnya mempunyai pekerjaan

tetapi tidak memiliki tempat tinggal yang tetap (berpindah-pindah). Sebaliknya pengemis hanya mengharapkan belas kasihan orang lainserta tidak tertutup kemungkinan golongan ini mempunyai tempat tinggal

yang tetap.12

Dari beberapa pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa

gelandangan adalah seseorang yang menjalankan hidup dalam

10

Dimas Dwi Irawan, 2013,Pengemis Undercover Rahasia Seputar Kehidupan Pengemis, Titik Media Publisher, Jakarta, hlm. 1.

11

Saptono Iqbali, ”Studi Kasus Gelandang dan Pengemis (Gepeng) Di Kecamatan Kubu kabupaten Karang Asem”, Jurnal Piramida, Vol. 4, No. 1, (Juli 2008), diambil dari http://ojs.unud.ac.id/index.php/piramida/article/view/2972/2130 [17/05/2015]

12

(26)

lingkungan masyarakatdengan keadaan kehidupan sosial yang tidak normal serta mengembara untuk mencari pekerjaan da tempat tinggal

walupun itu tidak tetap. Sedangkan pengemis adalah seseorang yang menjalankan hidupnya dengan meminta-minta di muka umum untuk

penghasilannya.

2. Kriteria Gelandangan dan Pengemis

Menurut Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1

Tahun 2014 Pasal 5 dan pasal 6tentang penangan gelandangan dan pengemis menjelaskan, gelandangan adalah orang-orang dengan criteria

antara lain:

a. Tanpa kartu tanda penduduk.

b. Tanpa tempat tinggal yang pasti/tetap.

c. Tanpa penghasilan yang tetap.

d. Tanpa rencana hari kedepan anak-anaknya maupun dirinya.

Pengemis adalah orang-orang dengan kriteria, antara lain:

a. Mata pencarian tergantung pada belas kasihan orang lain. b. Berpakaian kumuh, compang camping, dan tidak wajar.

c. Berada di tempat-tempat umum.

d. Memperalat sesame untuk merangsang belas kasihan orang

lain.

(27)

a. Karakteristik Gelandangan

1) Anak sampai usia dewasa (laki-laki/perempuan) usia 18-59

tahun, tinggal disembarang tempat dan hidup mengembara atau menggelandang di tempat-tempat umum, biasanya di

kota-kota besar.

2) Tidak mempunyai tanda pengenal atau identitas diri, berprilaku kehidupan bebas dan liar, terlepas dari

normakehidupan masyarakatpada umumnya.

3) Tidak mempunyai pekerjaan tetap, meminta-minta atau

mengambil sisa makanan bau atau barang bekas. b. Karakteristik Pengemis

1) Anak sampai usia dewasa (laki-laki/perempuan) usia 18-59

tahun.

2) Meminta minta di rumah-rumah penduduk, pertokoan,

persimpangan jalan, lampu lalu lintas, pasar, tempat ibadah, dan tempat umum lainnya.

3) Bertingkah laku untuk mendapat belas kasihan,

berpura-pura sakit, merintih dan kadang mendoakan, sumbangan untuk organisai tertentu.

4) Biasanya mempunyai tempat tinggal tertentu atau tetap, membaur pada penduduk pada umumnya.13

13

Brain Harefa, “Makalah Gepeng”,

(28)

3. Faktor-Faktor Munculnya Gelandangan dan Pengemis

Gelandangan dan pengemis disebut sebagai salah satu penyakit

sosial atau penyakit sosial (Patologi Sosial). Segala bentuk tingkah laku dan gejala-gejala sosial yang dianggap tidak sesuia, melanggal

norma-norma umum, adat istiadat, hukum fromal, atau tidak bisa dintegrasiakan dalam pola tingkah laku umum dikatagorikan sebagai penyakit sosial atau penyakit masyaarakat.14

Pada umunya penyebeb munculnya gelandangan dan pengemis bisa dilihat dari faktor internal dan ekternal. Faktor internal berkaitan

dengan kondisi diri yang peminta-minta, sedangkan faktor ekternal berkaitan dengan kondisi diluar yang bersangkutan.15

Menurtu Dimas Dwi Irawan, ada beberapa faktor yang

menyebabkan orang-orang melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis tersebut, yaitu;16

a. Merantau dengan modal nekad

Dari gelandangan dan pengemis yang berkeliaran dalam kehidupan masyarakat khususnya di kota-kota besar, banyak

dari mereka yang merupakan orang desa yang ingin sukses di kota tanpa memiliki kemampuan ataupun modal yang kuat.

Sesampainya di kota, mereka berusaha dan mencoba meskipun

14

Kartini Kartono, 2003, Patologi Sosial II Kenakalan Remaja, Ed. 1, Cet. 5, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 4.

15

Maghfur Ahmad, “Strategi Kelangsungan Hidup Gelandang-Pengemis (Gepeng)”,Jurnal Penelitian, Vol. 7, No. 2, November 2010, E-Journal on line, <http://e-journal.stain-pekalongan.ac.id/index.php/Penelitian/article/view/108/87> , [20/5/2015].

16

(29)

hanya dengan kenekatan untuk bertahan menghadapi kerasnya hidup di kota. Belum terlatihnya mental ataupun kemampuan

yang terbatas, modal nekat, dan tidak adanya jaminan tempat tinggal membuat mereka tidak bisa berbuat apa-apa di kota

sehingga mereka memilih menjadi gelandangan dan pengemis. b. Malas Berusaha

Prilaku dan kebiasaan meminta-minta agar mendapatkan

uang tanpa usaha, payah cendrung membuat sebagian masyarakat menjadi malas dan ingin enaknya saja tanpa

berusaha terlebih dahulu. c. Cacat fisik

Adanya keterbatasan kemampuan fisik dapat juga

mendorong seseorang untuk memilih seseorang menjadi gelandangan dan pengemis dibidang kerja. Sulitnya lapangan

kerja dan kesempatan bagi penyandang cacat fisik untuk medapatkan pekerjaan yang layak membuat mereka pasrah dan bertahan hidup dengan cara menjadi gelandangan dan

pengemis.

d. Tidak adanya lapangan pekrjaan

(30)

minta-minta sebagai satu-satunya pekerjaan yang bisa dilakukan.

e. Tradisi yang turun temurun

Menggelandangn dan mengemis merupakan sebuah tradisi

yang sudah ada dari zaman kerajaan dahulu bahkan berlangsung turun temurun kepada anak cucu.

f. Mengemis dari pada menganggur

Akibat kondisi kehidupan yang serba sulit dan didukung oleh keadaan yang sulit untuk mendapatkan pekerjaan

membuat beberapa orang mempunyai mental dan pemikiran dari pada menganggur maka lebih baik mengemis dan menggelandang.

g. Harga kebutuhan pokok yang mahal

Bagi sebagian orang, dalam menghadapi tingginya harga

kebutuhan pokok dan memenuhi kebutuhannya adalah dengan giat bekerja tanpa mengesampingkan harga diri, namun ada sebagian yang lainnya lebih memutuskan untk mengemis

karena berfikir tidak ada cara lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup.

h. Kemiskinan dan terlilit masalah ekonomi yang akut

Kebanyakan gelandangan dan pengemis adalah orang tidak mampu yang tidak berdaya dalam menghadapi masalah

(31)

sudah akut mengakibatkan orang-orang hidup dalam krisis ekonomi hidupnya sehingga menjadi gelandangan dan

pengemis adalah sebagai jalan bagi mereka untuk bertahan hidup.

i. Ikut-ikutan saja

Kehadiran pendatang baru bagi gelandangan dan pengemis sangat sulit dihindari, apalagi didukung oleh adanya

pemberitaan tentang gelandangan dan pengemis yang begitu mudahnya mendapat uang di kota yang akhirnya membuat

mereka yang melihat fenomena tersebut ikut-ikutan dan mengikuti jejak teman-temannya yang sudah lebig dahulu menjadi gelandangan dan pengemis.

j. Disuruh orang tua

Biasanya alasan seperti ini ditemukan pada pengemis yang

masih anak-anak mereka bekerja karena diperintahkan oleh orangtua nya dan dalam kasus seperti inilah terjadi eksploitasi anak.

k. Menjadi korban penipuan

Penyebab seseorang menjadi gelandangan dan pengemis tidak

menutup kemungkinan disebabkan oleh karena kondisi mereka yang menjadi korban penipuan. Hal ini biasanya terjadi di kota besar yang memang rentan terhadap tindak kejahatan apalagi

(32)

ini sering mengalami penipuan seperti yang disebabkan oleh hipnotis dan obat bius. Peristiwa seperti itu dapat membuat

trauma bagi yang mengalaminya dan akibat tidak adanya pilihan lain akhirnya merekapun memutuskan untuk menjadi

peminta-minta untuk bisa pulang dan bertahan hidup di kota. Sementara itu, Artidjo Alkostar dalam penelitiannya tentang kehidupan gelandangan melihat bahwa terjadinya gelandangan dan

pengemis dapat dibedakan menjadi dua faktor penyebab, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi sifat-sifat malas,

tidak mau bekerja, mental yang tidak kuat, adanya cacat fisik ataupun cacat psikis. Sedangkan faktor eksternal meliputi faktor sosial, kultural, ekonomi, pendidikan, lingkungan, agama dan letak geografis.17

Permasalahan penyebab munculnya masalah sosial seperti gelandangan, pengemis dan anak jalanan dapat di uraikan sebagai

berikut :

a. Masalah Kemiskinan

Secara garis besar gelandangan dan pengemis tersebut

terbagi menjadi dua tipe yaitu gelandangan pengemis miskin materi dan gelandangan pengemis miskin mental. Gepeng yang

miskin materi adalah mereka yang tidak mempunyai uang atau harta sehingga memutuskan untuk melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis. Berbeda jauh dengan gepeng

17

(33)

miskin materi, dalam hal ini gepeng miskin mental masih mungkin memiliki harta benda namun mental yang dimiliki

membuat atau mendorong mereka menggelandang dan mengemis. Maksud dari mental disini adalah mental malas

untuk melakukan sesuatu. Malas adalah sebuah sikap dan sifat apabila lama dipendam dan diikuti akan mempengaruhi mental, karena terbiasa malas atau mendapat kemudahan secara instan

membuat seseorang bermental seperti ini.18

Kemiskinan merupakan faktor dominan yang menyebabkan

banyaknya gelandangan, pengemis dan anak jalanan. Dalam Perspektif mikro, kompleksitas kemiskinan terkait dengan keadaan individu yang relatif memiliki keterbatasan untuk

keluar dari jerat kemiskinan. Diantaranya, seperti lamban dalam bekerja, tidak memiliki keahlian, keterbatasan finansial

dan lain sebagainya. Sedangkan dalam tatanan makro, kemiskinan dipengaruhi oleh struktur sosial yang ada, itu ditandai dengan adanya keterbatasan peluang dan kesempatan

untuk bekerja.19

Menurut Amien Rais, Pembangunan Indonesia khususnya

dalam 25 tahun terakhir ini telah menunjukkan berbagai hasil fisik dalam bentuk aset-aset pembangunan yang cukup

18

Engkus Kuswarno, 2008, Metode Penelitian Komunikasi Contoh-Contoh Penelitian

Kualitatif Dengan Pendekatan Praktis: “Manajemen Komunikasi Pengemis”, PT. Remaja

Rosdakarya, Bandung, hlm. 91.

19

(34)

menakjubkan. Akan tetapi, kalau dilihat lebih lanjut, maka masih banyak juga berbagai liabilities yang muncul dalam

bentuk pengorabana-pengorbanan (sosial cost) baik sosial, ekonomi, politik, san budaya. Antara lain kemiskinan dan

kesenjangan masih merajalela. Dari pengamatan mengenai kelompok-kelompok miskin di indonesia, maka dapat dibedakan menjadi 6 (enam) kelompok:20

a) Kelompok fakir miskin (termasuk keluarga dan anak yang terlantar)

b) Kelompok informal (termasuk kaki lima, asongan dll) c) Kelompok petani dan nelayan

d) Kelompok pekerja pasar (termasuk kuli di pelabuhan)

e) Kelompok pegawai negri dan ABRI, khusus golongan bawah, dan

f) Kelompok pengangguran (termasuk Sarjana)

Sedangkan Parsudi Suparlan menggambarkan dengan terperinci bahwa kemiskinan merupakan salah satu masalah

yang selalu dihadapi oleh manusia. Masalah kemiskinan itu sama tuanya dengan usia kemanusian itu sendiri dan implikasi

permasalahannya dapat melibatkan keseluruhan aspek kehidupan manusia, walaupun seringkali tidak disadari keadilannya sebagai masalah oleh orang yang bersangkutan.

20

(35)

Bagi mereka yang tergolong miskin (gelandangan dan pengemis), kemiskinan merupakan suatu yang nyata ada dalam

kehidupan mereka sehari-hari, karena mereka itu merasakan dan menjalani sendiri sebagaimana hidup dalam kemiskinan.21

Sedangkan menurut Ketut Sudhana Astika, kebudayaan kemiskinan merupakan suatu adaptasi atau penyesuaian dan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka

dalam massyarakat yang berstrata kelas, sangat individualistis berciri kapitalisme. Sehingga yang mempunyai kemungkinan

besar untuk memiliki kebudayaan kemiskinan adalah kelompok masyarakat yang berstrata rendah, mengalami perubahan sosial yang drastis yang ditunjukkan oleh ciri-ciri:

a) Pertama, Kurang efektifnya partisipasi dan integrasi kaum miskin ke dalam lembaga-lembaga utama

masarakat, yang berakibat munculnya rasa ketakutan, kecurigan tinggi, apatis dan perpecahan.

b) Kedua, pada tingkat komunitas lokal secara fisik

ditemui rumah-rumah dan pemukiman kumuh, penuh sesak, bergerombol, dan rendahnya tingkat organisasi

diluar keluarga inti dan keluarga luas.

c) Ketiga, pada tingkat keluarga ditandai oleh masa kanak-kanak yang singkat dan kurang pengasuhan oleh

21

(36)

orang tua, cepat dewasa, atau perkawinan usia dini, tingginya angka perpisahan keluarga, dan

kecenderungan terbentuknya keluarga matrilineal dan dominannya peran sanak keluarga ibu pada

anak-anaknya.

d) Keempat, pada tingkat individu dengan ciri yang menonjol adalah kuatnya perasaan tidak berharga, tidak

berdaya, ketergantungan pada tingkat dan rasa rendah diri.

e) Kelima, tingginya rasa tingkat kesengsaraan, karna beratnya penderitaan ibu, lemahnya struktur pribadi, kurangnya kendali diri dan dorongan nafsu, kuatnya

orientasi msa kini, dan kurangnya kesabaran dalam hal menunda keinginan dan rencana masa depan, perasaan

pasrah/tidak berguna, tingginya anggapan terhadap lelaki, dan berbagai jenis penyakit kejiwaan lainnya. f) Keenam, budaya kemiskinan juga membentuk orientasi

yang sempit bagi kelompoknya, mereka hanya tahu kesulitan-kesulitan, kondisi setempat, lingkungan

(37)

kesadaran kelas walau mereka sangat sensitif terhadap perbedaan-perbedaan status.22

Oleh sebab itu, Kemiskinan dapat memaksa seseorang menjadi gelandangan karena tidak memiliki tempat tinggal

yang layak, serta menjadikan mengemis sebagai pekerjaan. Selain itu anak dari keluarga miskin menghadapi risiko yang lebih besar untuk menjadi anak jalanan karena kondisi

kemiskinan yang menyebabkan mereka kerap kali kurang terlindungi.

b. Masalah Pendidikan

Pada umumnya tingkat pendidikan gelandangan dan pengemis relatif rendah sehingga menjadi kendala bagi mereka

untuk memperoleh pekerjaan yang layak. Rendahnya pendidikan sangat berpengaruh pada terhadap kesejahteraan

seseorang. Pendidikan sangat berpengaruh terhadap persaingan di dunia kerja, oleh sebab itu pendidikan yang terlampau rendah dapat menimbulkan kemiskinan.23

Dalam dunia kerja, kualitas sumber daya manusia dapat diukur melalui jenjang pendidikan yang mereka tempuh.

Apabila seseorang berpendidikan rendah dalam arti hanya memiliki ijazah sekolah dasar akan sangat sulit untuk mendapat

22

Ketut Sudhana Astika, “Budaya Kemiskina di Masyarakat: Tinjauan Kondisi Kemiskinan dan Budaya Miskin di Masyarakat”,Jurnal Ilmiah, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Udayana Vol. I No. 1, Tahun 2010, hlm. 23-24.

23

(38)

sebuah pekerjaan yang layak. Sedangkan gelandangan dan pengemis juga memerlukan biaya untuk mencukupi kebutuhan

hidupnya.24

Dari rendahnya tingkat pendidikan gelandangan dan

pengemis inilah yang menbuat mereka terpaksa hidup dalam keterbatasan yang sampai mengakibatkan mereka harus tinggal di alam terbuka dan bekerja dengan cara meminta-minta.

c. Masalah Keterampilan Kerja

Keterampilan sangatlah pening dalam kehidupan, dengan

keterampilan dapat mempengaruhi kesuksesan seseorang dan dapat menciptakan kehidupan yang lebih baik khususnya pada diri sendiri dan umumnya pada lingkungan sekitar. Potensi diri

dapat digalih di dunia pendidikan. Oleh sebab itu, pendidikan sangat erat kaitaannya dengan keterampilan, orang yang

memiliki pendidikan rendah cendrung memiliki keterampilan rendah juga. Keterampilan sangatlah penting dalam kehidupan, dengan keterampilan seseorang dapat mengahasilkan dan

memiliki aset produksi.25

Pada umumnya gelandangan dan pengemis tidak memiliki

keterampilan yang sesuai dengan tuntutan pasar kerja, ciri-ciri orang yang berada dalam garis kemiskinan adalah orang hidup

24

Isma Riskawati, Abdul Syani, “Faktor Penyebab Terjadinya Gelandangan dan Pengemis

(Studi Pada Gelandangan dan Pengemis Di Kecamatan Tanjung Karang Pusat Kota

BandarLampung)”,Jurnal Sociologie, Vol. 1, No. 1, (September 2013), hlm. 50.

25

(39)

di kota dengan usia muda namun tidak memiliki keterampilan.26 Sehingga tidak ada jalan lain baginya untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya yang pada akhirnya mereka pun harus mengemis di tempat-tempat umum.

Oleh karena itu, kegiatan menggelandang dan mengemis adalah pilihan yang paling gampang untuk dilaksanakan guna memperoleh penghasilan secara mudah. Tetapi menurut

mereka, mengemis itu terkadang agak sulit untuk memperoleh uang karena harus berkeliling dan mencoba serta mencoba

untuk meminta-minta, dimana tidak semua calon pemberi sedekah langsung memberikannya, dan bahkan tidak memperdulikannya.

d. Masalah Sosial Budaya

Kondisi sosial budaya terjadi karna dipikiran para gepeng

muncul kecendrungan bahwa pekerjaan yang dilakukan tersebut adalah sesuatu yang biasa-biasa saja, selayaknya pekerjaan lain yang bertujuan untuk memperoleh penghasilan.

Sehingga membudaya oleh para gepeng untuk memperoleh penghasilan di muka umum.

Gelandangan dan pengemis sudah menjadi buadaya yang melekat dalam diri mereka, budaya malu dan harga diri sudah

26

(40)

tidak di pertahankan lagi. Dengan begitu harga diri sudah tidak menjadi hal yang berharga bagi mereka.27

Hal ini didukung oleh lingkungan sekitar dan para pemberi sedekah. ada beberapa faktor sosial budaya yang

mengakibatkan seseorang menjadi gelandangan dan pengemis,yaitu:

1) Rendahnya harga diri pada sekelompok orang,

mengakibatkan tidak dimilikinya rasa malu untuk meminta-minta.

2) Sikap pasrah pada nasip, menganggap bahwa kemiskinana dan kondisi mereka sebagai gelandangan dan pengemis adalah nasip, sehingga tidak ada kemauan

untuk melakukan perubahan.

3) Kebebasan dan kesenangan hidup mengelandang, ada

kenikmatan tersendiri bagi sebagian besar gelandangan dan pengemis, karna mereka merasa tidak terikat oleh aturan atau norma yang kadang-kadang membenahi

mereka, sehingga mengemis menjadi salah satu mata pencariian.28

27

Isma Riskawati, Abdul Syani, “Faktor Penyebab Terjadinya Gelandangan dan Pengemis

(Studi Pada Gelandangan dan Pengemis Di Kecamatan Tanjung Karang Pusat Kota

BandarLampung)”,Jurnal Sociologie, Vol. 1, No. 1, (September 2013), hlm. 51.

28

(41)

Uraian di atas menunjukan bahwa benar adanya beberapa faktor sosial budaya yang menjadi penyebab munculnya gelandangan dan

pengemis dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Seperti yang telah dikemukakan oleh Dirjen Bina Rehabilitasi

Sosialmelalui bukunya yang berjudul Pedoman Pelayanan dan Rehabilitasi

Sosial Gelandangan Berbasis Masyaraka,faktor terjadinya gelandangan dan pengemis disebabkan sikap masyarakat sekitar gelandangan yang kurang

peduli. Faktor ini berkaitan dengan masalah lingkungan dan hukum, gelandangan pada umumnya tidak memiliki tempat tinggal. Mereka

tinggal di wilayah yang sebetulnya dilarang dijadikan tempat tinggal dan hidup berkeliaran di jalan-jalan atau tempat umum serta tidak memiliki kartu identitas (KTP/KK) yang dicatat dikelurahan, RT/RW setempat.29

Dari semua faktor-faktor penyebab terjadinya gelandangan dan pengemis yang diuraikan diatas, maka tidak dapat dipungkiri bahwa

faktor kemiskinan adalah faktor yang krusial yang menyebabkan terjadinya dan timbulnya/lahirnya gelandangan dan pengemis.

29

(42)

B. PemerintahKota Yogyakarta dan Upayanya dalam Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014.

Kota Yogyakarta merupakan salah satu kabupaten/kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, meskipun luas wilayahnya tidak begitu luas

jika dibandingkan dengan kabupaten lainnya, namun tak dapat dipungkiri Kota Yogyakarta merupakan episentrum dari pelbagai aktivitas, seperti ekonomi, sosial, pendidikan, dan kebudayaan. Bisa dikatakan, bahwa Kota

Yogyakarta adalah ibukota dan pusat pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta, hal itu bisa dibuktikan dengan keberadaan Sultan Yogyakarta

dan Adipati Pakualaman yang bertempat di wilayah ini.30

Konsekuensi menjadi Ibu Kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, pembangunan Kantor-kantor, tempat perbelanjaan, dan sarana hibuan menjadi

suatu keniscayaan, tak heran faktor ini menjadi pendorong kaum urban untuk mengadu nasib. Bagi mereka yang memiliki keterampilan dan ilmu

pengetahuan, tentunya tak akan sulit jika hanya sekedar menafkahi keluarga dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, namun sebaliknya bagi mereka yang belum beruntung bukan tidak mungkin akan cepat tereliminasi dan

dengan terpaksa mencari rezki dengan menggelandang dan mengemis.31 Di dalam Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1

Tahun 2014 pasal 21 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis, menyebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan pergelandangan

30

Id.wikipedia.org/wiki/Kota_Yogyakarta, [01/12/2015]

31

Faiz Amrizal SD, Implementasi Perda Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis (Studi di UPT Panti Karya Kota Yogyakarta),

(43)

dan/atau pengemisan baik perorangan atau berkelompok dengan alasan, cara, dan alat apapun untuk menimbulakan belas kasihan dari orang lain.Oleh

karna itu dalam, rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat, Pemerintah Kota Yogyakarta melalui Satuan Kerja Perangkat Daerah

dibidang Sosial dan ketertiban sangat diharapkan, selain dari masyarakat tentunya dengan bersama-sama berupaya menangani gelandangan dan pengemis di Wilayah Kota Yogyakarta.

1. Upaya Pemerintah Kota Yogyakarta dalam Penanganan Gelandangan dan Pengemis.

Penangan adalah penetapan tujuan jangka panjang yang luas bagi resolusi masalah yang ditargetkan. 32 Pernyataan ini tidak perlu dikembangkan dalam istilah tetapi dalam sifat global dan jangka panjang

seperti untuk menunjukan suatu hasil positif yang diinginkan dalam prosedur penanganan.33

Nitha Citrasari dalam skripsinya mengemukakan bahwa, penanganan di kota cilegon masih sangat minim, kinerja suatu organisasi bisa dilihat dari produktivitas, kualitas layanan, responsivitas,

responsibilitas, dan akuntabilitas. Umumnya kegiatan menggepeng dan pengemis ini dilakukan oleh ibu-ibu dan disertai dengan anak-anaknya,

mereka umumnya relatif muda dan termasuk tenaga kerja yang produktif. Dalam skripsi ini, peneliti bisa membagi kesimpulan dari hasil

32

Albert R. Roberts dan Gilbert J. Greene,Buku Pintar Pekerja Sosial-Jilid 2, Terjemahan Juda Damanik dan Chinthia Pattiasina, Jakarta: Gunung Mulia, cet.1, 2009, hlm. 32.

33

(44)

penelitian sesuai dengan indikator-indikator yang telah peneliti gunakan.34

Dalam usaha mengatasi dan menyelesaikan berbagai bentuk permasalahan sosial dalam masyarakat ada 3 (tiga) tahapan yang harus

yaitu Tahap Identifikasi, Diagnisis, dan Treatent.35Proses identifikasi diperlukan untuk mengetahui bahwa di dalam masyarakat ada terdapat masalah-masalah sosial. Pada tahapan diagnosis, kita mencoba

memahami sebab-sebab munculnya masalah sosial, berbagai faktor yang memiliki hubungan dengan masalah tersebut sampai pada menemukan

sumber masalah. Kemudian ketika sumber-sumber masalah telah ditemukan melalui proses diagnosis barulah diadakan upaya ketiga yaitu penyembuhan atau treatment.36

Ketiga hal tersebut merupakan kunci untuk menyelesaikan permasalahan sosial, yang sudah dibungkus dalam suatu proses

penyelenggaraan melalui upaya-upaya yang sudah ditentukan dalam Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Daerah Daerah IstimewaYogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang penanganan Gelandang dan Pengemis, menegaskan

bahwa penanganan adalah suatu proses atau cara serta tindakan yang ditempuh melalui upaya preventif, koersif, rehabilitatif, dan reintegrasi

34

Nitha Citrasari, “Kinerja Dinas Sosial kota Cilegon dalam Penanganan Gelandangan dan

Pengemis di KotaCilegon”, Skripsi, Universitas Sultan Agung Tirtayasa, 2012.

35

Soetomo, 2008,Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hlm. 29.

36

Zainul M. Asror, (2015) “Fenomena Pengemis Di Kota Jogja”,

(45)

sosial dalam rangka melindungi dan memberdayakan gelandangan dan pengemis.

Pemberdayaan sosial Menurut pasal 1 ayat (10) Undang-undang Nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial berbunyi semua

upaya yang diarahkan untuk menjadikan warga negara yang mengalami masalah sosial mempunyai daya, sehingga mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Pada intinya, pemberdayaan sosial ini berorientasi bagaimana

cara memberdayakan seseorang, keluarga, kelompok dan masyarakat seperti gelandangan dan pengemis yang mengalami masalah

kesejahteraan sosial agar mereka mampu memenuhi kebutuhan hidup secara mandiri.

Dari beberapa definisi diatas, maka dapat disimpulkan mengenai

penanganan yaitu pada intinya suatu cara atau tindakan yang ditempuh dengan penetapan tujuan jangka panjang melalui upaya-upaya preventif,

koersif, rehabilitatif, dan reintegrasi sosial bagi resolusi masalah yang ditargetkan. Yang menjadi targetan adalah gelandangan dan pengemis, dalam tujuan jangka panjang menunjukan suatu hasil positif yang

diinginkan dalam prosedur penanganan yaitu melindungi dan memberdayakan gelandangan dan pengemis.

(46)

diselenggarakan melalui upaya yang bersifat: preventif, koersif, rehabilitatif, dan reintegrasi sosial.

a. Preventif

Pasal 8 Ayat (1) Peraturan Daerah Daerah Istomewa

Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang penanganan Gelandang dan Pengemis mejelaskan, Upaya Preventif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a dilakukan

melalui:

1) Pelatihan keterampilan, magang dan perluasan kesempatan kerja.

2) Penigkatan derajat kesehatan 3) Fasilitas tempat tinggal

4) Peningkatan pendidika

5) Penyuluhan dan edukasi masyarakat

6) Pemberian informasi melalui baliho di tempat umum

7) Bimbingan sosial 8) Bantuan sosial

b. Koersif.

Pasal 9Ayat (1) Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang penanganan

Gelandang dan Pengemis mejelaskan, Upaya Preventif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b dilakukan

(47)

1) Penertiban 2) Penjangkauan

3) Pembinaan di RPS 4) Pelimpahan

c. Rehabilitative.

Pasal 10 Ayat (1) Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang penanganan

Gelandang dan Pengemis mejelaskan,Upaya rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c dilakukan

melalui:

1) Motivasi dan diagnosa psikososial 2) Perawatan dan pengasuhan

3) Pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan 4) Bimbingan mental spiritual

5) Bimbingan fisik

6) Bimbingan sosial dan konseling psikososial 7) Pelayanan aksesibilitas

8) Bantuan dan asistensi sosial 9) Binbingan resosialisasi

(48)

Pasal 13 Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang penanganan Gelandang dan

Pengemis mejelaskan,Upaya Reintegrasi sosial sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 7 huruf d dilakukan melalui:

1) Bimbingan resosialisasi

2) Kordinasi dengan pemerintah kabupaten atau kota 3) Pemulangan

4) Pembinaan lanjutan

2. Sosialisasi Peraturan daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1

Tahun 2014 tentang Penangan Gelandangan dan Pengemis

Sosialisasi adalah suatu proses bagaimana seorang individu belajar menghayati berbagai macam nilai, norma, sikap, dan pola-pola prilaku

dalam masyarakatnya sehingga ia dapat menjadi anggota masyarakat yang berpartisipasi.37Dengan adanya sosialisasi ini bertujuan untuk :

a. Memanamkan nilai dan norma yang ada di masyarakat kepada individu.

b. Memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada

individu sebagai bekal hidup bermasyarakat.

c. Membentuk anggota masyarakat yang penuh dengan

pribadi yang utuh sehingga berguna bagi dirinya dan masyarakat.38

37

Waluya Bagja, 2007,Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat untuk kelas x, Bandung, PT. Setia Purna Inves, hlm. 66.

38

(49)

Dengan begitu dalam rangka akses informasi, pemerintah daerah harus menyebarluaskan rancangan atau Peraturan Perundang-undangan

tingkat daerah. Penyebarluasan bagi Peraturan Daerah atau Peraturan Perundang-undangan dibawahnya dilakukan sesuai dengan ketentuan

pasal 94 sebagai mana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang menegaskan bahwa“Penyebarluasan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang telahdiundangkan dalam Lembaran Daerah dilakukan bersama oleh DPRD dan Pemerintah

Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota”.Penyebarluasan dimaksudkan agar khalayak ramai mengetahui Peraturan Perundang-undangan di daerah yang bersangkutan dan mengerti/memahami isi serta maksud

yang terkandung di dalamnya. Penyebarluasan dapat dilakukan melalui media elektronik, atau media cetak yang terbit di daerah yang

bersangkutan serta media komunikasi langsung.

Setelah peraturan daerah disahkan, maka sosialisasi menjadi bagian penting serta menentukan sukses pelaksanaan Peraturan Daerah di

lapangan. Begitu penting sosialisasi hingga tidak ada ukuran lainmenentukan keberhasilan pelaksanaan, sebelum perda itu

(50)

namun Pemerintah daerah harus melakukan metode-metode sosialisasi dengan cara:

a. Pengumuman melalui berita daerah (RRI, TV Daerah)oleh kepala biro hukum provinsi atau oleh kepala bagian hukum

kabupaten atau kota

b. Sosialisasi secara langsung dilakukan oleh kepala biro hukum/kepala bagian hukum atau dapat pula dilakukan oleh

unit kerja pemrakarsa, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat yang berkompeten

c. Sosialisasi melalui seminar dan lokakarya

d. Sosialisasi melalui sarana Internet (E-Parliament). Untuk ini PEMDA dan DPRD hendaknya memiliki fasilitas web situs

agar masyarakat mudah mengakses segala perkembangan kegiataan kedua lembaga.39

Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta melalui Dinas Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta berkolaborasi dengan Satuan Polisi Pamong Praja(Satpol PP) terus melakukan sosialisasi Peratura Daerah

Daerah Istimewa Yogyakarta No 1 Tahun 2014. Seperti yang dilakukan kedua instansi tersebut dibeberapa ruas jalan di Kota Yogyakarta mulai

dari Tugu sampai dengan Titik Nol Kilometer yang dibagi dalam tiga kelompok. Setiap kelompok memberikan selebaran dan sosialisasi di

39

Muhammad Ihsan, “Pengesahan dan Sosialisasi Peraturan”

(51)

jalan-jalan yang dilewati. setelah selesai melakukan kegiatan sosialisasi tersebut dilanjutkan kegiatan pembinaan kepada gepeng.40

Begitu juga pemerintah Kota Yogyakarta, melalui Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta dalam satu tahun pertama ini akan fokus

menyosialisasikan Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis. sosialisasi kepada masyarakat tersebut diperlukan karena warga yang

berada di Yogyakarta tidak hanya warga yang tinggal di wilayah tersebut tetapi ada juga wisatawan yang berkunjung dan memberikan uang atau

barang dalam bentuk apapun kepada gelandangan atau pengemis. "Oleh karena itu, sosialisasi perlu terus dilakukan. Tidak hanya sekali atau dua kali saja,"kata Kepala Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta Nurwidi

Hartana di Yogyakarta. Jumat, 16 Januari 2015.41 3. Tujuan Penanganan Gelandangan dan Pengemis

Menurut ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik IndonesiNomor 31 Tahun 1980Tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis, menyatakan Penanggulangan gelandangan dan

pengemisan yang meliputi usaha-usaha preventif, represif, rehabilitatif bertujuan agar tidak terjadi pergelandangan dan pengemisan, serta

mencegah meluasnya pengaruh akibat pergelandangan dan pengemisan

40

“SOSIALISASI PERDA DAN PEMBINAAN GELANDANGAN PENGEMIS

(GEPENG) TERUS DILAKUKAN” http://sosial.bantulkab.go.id/berita/152 -sosialisasi-perda-dan-pembinaan-gelandangan-pengemis-gepeng-terus-dilakukan [26/06/2015].

41

Eka Arifa Rusqiyati, “Yogyakarta fokus sosialisasikan perda penanganan gelandangan”

(52)

di dalam masyarakat, dan memasyarakatkan kembali gelandangan dan pengemis menjadi anggota masyarakat yang menghayati harga diri, serta

memungkinkan pengembangan para gelandangan dan pengemis untuk memiliki kembali kemampuan guna mencapai taraf hidup, kehidupan,

dan penghidupan yang layak sesuai dengan harkat martabat manusia. Kemudian, ketentuan Pasal 3 Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang penanganan Gelandang dan

Pengemis, menegaskan bahwa penanganan gelandangan dan pengemis bertujuan untuk;

a. Mencegah terjadinya gelandangan dan pebgemisan. b. Memberdayakan gelandangan dan pengemis.

c. Mengembalikan gelandangan dan pengemis dalam kehidupan

yang bermartabat.

d. Menciptakan ketertiban umum.

Menurut Kepala Dinas Sosial Daerah Istimewa YogyakartaDrs. Untung Sukaryadi, M.M., tujuan Perda ini dibuat untuk menciptakan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai daerah tujuan wisata bebas dari

gelandangan dan pengemis. Dengan demikian, para pengunjung akan nyaman menikmati suasana Kota Yogyakarta yang bersih dari

gelandangan dan pengemis.42

42

Ivan Aditya, “Beri uang Kepada Gepeng, Denda Rp 1 Juta”, (Online)

(53)

4. Peran Masyarakat Dalam Penanganan Gelandangan dan Pengemis Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan penanganan

gelandangan dan pengemis sangat diperlukan untuk mensukseskan Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014

tentang Penanganan Gelandang dan Pengemis,karena dapat membantu Pemerintah dalam hal-hal teknis penyelenggaraan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (1) Peraturan Daerah Daerah Istimewa

Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penanganan Gelandang dan Pengemis, yang berbunyi bahwa: Peran serta masyarakat dalam

penanganan gelandangan dan pengemis dapat dilakukan melalui:

a. Mencegah terjadinya tindakan pergelandangan dan pengemisan dilingkungannya.

b. Melaporkan kepada Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan/atau Pemerintah Desa apabila mengetahui

keberadaan gelandangan dan pengemis.

c. Melaksanakan dan memberikan dukungan dalam penyelenggaraan pelayanan kesejahteraan sosial.

d. Melaksanakan upaya penjangkauan bersama-sama dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah dibidang sosial.

e. Menyelenggarakan kegiatan rehabilitasi sosial sesuai dengan Setandar Operasional Prosedur (SOP).

Dilanjutkan dengan Pasal 19 Peraturan Daerah Daerah Istimewa

(54)

Pengemis berbunyi Peran serta masyarakat dalam penanganan gelandangan dan pengemis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18

Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis juga dilakukan oleh:

a. Perguruan Tinggi melalui kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat.

b. Dunia usaha melalui kegiatan tanggung jawab sosial

perusahaan.

Kepala Dinas Sosial Daerah Istimewa YogyakartaDrs. Untung

Sukaryadi, M.M. meminta dukungan kepada masyarakat sebagai peran serta masyarakat dengan melakukan upaya preventif dengan cara memasang rambu-rambu larangan bagi warga untuk memberi sesuatu

kepada gepeng di wilayahnya masing-masing. Kemudian melakukan penjangkauan dengan cara melapor kepada aparat jika terdapat

gelandangan dan pengemis di wilayahnya. "Masyarakat juga bisa membangun rumah singgah atau Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) sendiri di wilayahnya masing-masing", tandasnya.43

43

Kanwil Yogyakarta, “Jangan Beri Uang Receh Bagi Gepeng”,

(55)

✁ ✂ A. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini penulis melakukan dua jenis penelitian hukum,

yaitu penelitian hukum normatif dan empiris.

1. Jenis penelitian hukum normatif yaitu suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin

hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.1

2. Jenis penelitian hukum empiris, menurut Ronny Hanitijo Soemitroyaitu

penelitianhukum yang memperoleh datanya dari data primer atau data atau data yang diperoleh langsung dari masyarakat.2

Sedangkan pendekatan penelitian yang dilakukan peneliti yaitu

pendekatan perundang-undangan (Statue Approach) dalam penelitian hukum normatif dan pendekatan kualitatif dalam penelitian hukum empiris.

1. Pendekatan Perundang-undangan yaitu pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.3

2. Pendekatan kualitatif yaitu suatu cara analisis hasil penelitian yang menghasilkan data deskritif analisis, yaitu data yang dinyatakan oleh

1

Peter Mahmud Marzuki, 2010,Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, hlm 35.

2

Ronny Hanitijo Soemitro, dalam bukunya Mukti Fajar & Yulianto Achmad, 2010,

Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hlm 154.

(56)

responden secara tertulis ataupun lisan serta juga tingkah laku yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai suatu yang utuh.4

Oleh karena itu, penulis harus dapat menentukan data mana atau bahan hukum mana yang memiliki kualitas sabagai data, bahan hukum

mana yang yang relevan dan ada hubungannya dengan materi penelitian. Dengan begitu, dalam analisis dengan pendekatan kualitatif ini yang dipentingkan adalah kualitas data.

B. SumberData dan Bahan Hukum Penelitian

Sebagaimana jenis penelitian yang digunakan penulis adalah

penelitian hukum normatif dan empiris, maka sumber data dan bahan hukum penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Sumber Data

Dalam penelitian hukum terdapat dua jenis data yang diperlukan, jenis data yang pertama disebut sebagai data primer dan jenis data yang kedua

disebut data sekunder. 1) Data primer

Data Primer dalam penelitian hukum adalah data yang

diperoleh terutama dari hasil penelitian empiris, yaitu penelitian yang dilakukan langsung di dalam masyarakat.5 Sumber data

primer yaitu data yang diambil dari sumbernya atau dari lapangan, melalui wawancara dengan pihak berkepentingan atau

4

Mukti Fajar & Yulianto Achmad, 2010,Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hlm 192.

5

(57)

responden yang dapat memberikan informasi yang dibutuhkan berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti.

2) Data Sekunder

Data sekunder berfungsi sebagai pelengkap atau pendukung

data primer. Menurut Soerjo Soekamto menyatakan menyatakan bahwa data sekunder merupakan data yang antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, bahkan

hasil-hasil penelitian yang bersifat laporan Soerjono Sukamto menyatakan bahwa data sekunder merupakan data yang antara

lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, dan hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan.6

2. Sumber Bahan Hukum Penelitian

Terdapat tiga macam bahan pustaka yang digunakan penulis dalam penelitia, yakni :

1. Bahan Hukum Primer

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad7 menjelaskan bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif

artinya mempunyai otoritas, yaitu merupakan hasil dari tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang

untuk itu. Bahan hukum primer dapat berupa :

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

6

Soejono Soekamto, 2007,Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hlm 12.

(58)

2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1947 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial.

3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial.

5) Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1980 Tentang

Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis.

6) Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor

1 Tahun 2014 Tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis.

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer. Bahan

hukum sekunder dapat berupa :

1) Buku-buku Hukum dan ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti.

2) Jurnal-jurnal Hukum dan sosial yang berkaitan dengan permasalahan yang akanditeliti.

3) Hasil Penelitian yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti.

4) Makalah-makalah, artikel-artikel, dan karya tulis yang

(59)

5) Internet yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu, bahan hukum yang memberikan

petunjuk merupakan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan skunder yang terdiri dari:

1) Kamus Hukum.

2) Kamus Bahasa Indonesia.

C. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang dilakukan oleh penulis yaitu Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.Kota Yogyakarta adalah Ibukota dan pusat pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi ini dipilih karena

Kota Yogyakartayang menjadi titik pusat sindikat gelandangan dan pengemis serta pusat lokasi kaum urban bagi gelandangan dan pengemis

untuk mengadu nasib di Kota Yogyakarta. D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam melakukan

penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Dalam Penelitian Hukum Normatif

Gambar

Tabel 4.1.Penaganan Gelandangan dan Pengemis
Tabel. 4.2.
Tabel 4.3.Data Gelandangandan Pengemis yang MendapatPerawatan/Rujukan

Referensi

Dokumen terkait

Pembangunan jaringan transportasi darat yang memadai di Kota Depok adalah mampu meningkatkan pertumbuhan sektor ekonomi masyarakat, meningkatnya nilai

Dari wawancara mendalam terhadap 6 informan diatas, yang menilai tentang Pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan di Kelurahan

Kegiatan pengabdian kepada masyarakat dalam bentuk Pelatihan dan Pendampingan Penyusunan RPP Bermuatan Kebudayaan Lokal dan Pendidikan Karakter Bangsa Untuk

Pengumpulan datanya melalui interview (wawancara) dan dokumentasi. Setelah data terkumpul dianalisis dengan menggunakan deskriptif analisis. Hasil pembahasan menunjukkan

Pemberian dosis pupuk NPK pada semua perlakuan memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap parameter yang diamati yaitu jumlah daun, jumlah anak cabang, jumlah bunga, jumlah

Sehingga keberhasilan pendidikan bukan saja menjadi tugas dan tanggung jawab institusi pendidikan saja tetapi yang lebih penting adalah bagaimana masyarakat dapat

Pemberian formula enteral labu kuning sebanyak 20 g/kg berat badan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kadar glukosa darah postprandial tikus diabetes melitus..

Sangat rendahnya dukungan keluarga inti terlihat implisitnya dukungan keluarga inti pada faktor eksternal prokrastinasi akademik, tidak disebutkan secara