HAMBATAN PELAKSANAAN GANTI RUGI TANAH UNTUK
PEMBANGUNAN PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN
ACEH TIMUR
TESIS
Oleh
NONI GUSVITA
107011122/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
HAMBATAN PELAKSANAAN GANTI RUGI TANAH UNTUK
PEMBANGUNAN PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN
ACEH TIMUR
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
NONI GUSVITA
107011122/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul Tesis : HAMBATAN PELAKSANAAN GANTI RUGI
TANAH UNTUK PEMBANGUNAN PUSAT
PEMERINTAHAN KABUPATEN ACEH TIMUR Nama Mahasiswa : NONI GUSVITA
Nomor Pokok : 107011122 Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)
Pembimbing Pembimbing
(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, MHum) (Chairani Bustami, SH, SpN, MKn)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
Telah diuji pada
Tanggal : 30 Agustus 2012
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS, CN Anggota : 1. Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, MHum
2. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : NONI GUSVITA
Nim : 107011122
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : HAMBATAN PELAKSANAAN GANTI RUGI TANAH UNTUK PEMBANGUNAN PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN ACEH TIMUR
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
i ABSTRAK
Pelaksanaan Ganti Rugi Tanah untuk Pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur diawali dengan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum disebabkan karena Kabupaten tersebut mengalami Pemekaran berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, terletak di Provinsi Aceh. Akibatnya Ibukota Kabupaten Aceh Timur yang berada di wilayah Kota Langsa pindah ke Kecamatan Idi Rayeuk Kabupaten Aceh Timur berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2007. Pelaksanaan Ganti Rugi Tanahnya sejak tahun 2006 dan sampai tahun 2012 belum tuntas akibat mengalami beberapa hambatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan pelaksanaan ganti rugi tanah untuk Pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur telah sesuai dengan ketentuan Pengadaan tanah saat ini, faktor-faktor penghambat pelaksanaan ganti rugi tanahnya dan upaya yang ditempuh dalam mengatasi hambatan Pelaksanaan Ganti Rugi.
Penelitian menggunakan penelitian deskriptif analitis, yang bertujuan untuk mendiskripsikan atau menggambarkan dan menganalisis data yang diperoleh secara sistematis, faktual, dan akurat tentang kasus hambatan pelaksanaan ganti rugi tanah untuk Pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur, dengan mempergunakan metode secara analisis yuridis normatif dan yuridis sosiologis.
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan ganti rugi tanah untuk pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur sudah sesuai dengan Ketentuan Pengadaan Tanah saat ini, walaupun perhitungan besarnya ganti rugi tidak di dasarkan pada Nilai Jual Objek Pajak atau nilai nyata/sebenarnya. Hal ini tidak bertentangan dengan Pasal 15 huruf (a) Perpres Nomor 65 Tahun 2006. Faktor besarnya nilai ganti rugi tanah di atas harga pasar, sehingga ganti rugi tanahnya sampai saat ini belum selesai. Upaya penyelesaian yang ditempuh adalah Ganti Rugi dilakukan secara bertahap selama 6 Tahun mulai Tahun 2006 sampai tahun 2012, dan Pemerintah terpaksa membayar ganti rugi diatas harga pasar akibat keadaan yang tidak kondusif dan dibutuhkan dana yang besar untuk membebaskan tanah seluas 55.000 M². Disarankan kepada Pemerintah Kabupaten Aceh Timur, dalam pelaksanaan ganti rugi tanah untuk Pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur semestinya mengacu pada Peraturan Presiden RI Nomor 36 tahun 2005 dan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006. Pelaksanaan ganti rugi tanah harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penunjukan Lembaga/Tim penilai harga tanah dilakukan dengan selektif dan profesional sehingga menghasilkan Tim Penilai Harga Tanah yang betul-betul memiliki kemampuan dalam melaksanakan tugasnya.
ii
ABSTRACT
The implementation of land compensation for the construction of the Administration Center of Aceh Timur District begins with the Procurement of Land for Public Use because that district experienced a regional division based on the Indonesian Government Regulation No. 78/2007 on the Regional Forming, Eliminating and Merging Procedures located in the province of Aceh. The consequence is that the capital city of Aceh Timur District located in the area of the City of Langsa moved to Idi Rayeuk Subdistrict, Aceh Timur District based on the Indonesian Government Regulation No. 5/2007. The implementation of land compensation commenced in 2006, until 2012, has not yet finalized due to several barriers. The purpose of this study was to find out and describe whether or not the implementation of land compensation for the construction of the Administration Center of Aceh Timur District has been in accordance with the currently existing land procurement provision, what factors inhibited the implementation of land compensation, and what attempts have been done to solve the barriers to the implementation of land compensation.
This analytical descriptive study described and analyzed the data about the cases of the barriers to the implementation of land compensation for the construction of the Administration Center of Aceh Timur District which were systematically, factually and accurately obtained through normative juridical and sociological juridical method of analysis.
The result of this study showed that the implementation of land compensation for the construction of the Administration Center of Aceh Timur District was in accordance with the currently existing land procurement provision, although the calculation for the amount of compensation was not based on the selling value of tax object or the actual value. This is not contrary to Article 15 (a) of Presidential Decree No. 65/2006. The amount of the compensation was above the market price that the land compensation has not been solved until today. The attempt done to solve the problem of land compensation was the payment for the compensation was gradually done for 6 (six) years from 2006 to 2012 and the government had to pay the above-market-price compensation due to the non-conducive situation and the great amount of fund to release the land area of 55,000 m². In the implementation of land compensation for the construction of the Administration Center, the District Government of Aceh Timur should have referred to the Presidential Decrees No. 36/2005 and No. 65/2006. The implementation of land compensation should be done according to the currently existing land procurement provision. The appointment of the agency/land price appraisal team should be selectively and professionally done that the team selected is the one which is capable of doing its duty.
iii
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan berkat
dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul
HAMBATAN PELAKSANAAN GANTI RUGI TANAH UNTUK
PEMBANGUNAN PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN ACEH TIMUR.
Shalawat beriring salam penulis hadiahkan kepada Rasulullah SAW yang selalu
menjadi suri tauladan dan yang syafa’atnya selalu diharapkan seluruh umatnya.
Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar
Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah
memberikan bantuan serta dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga
penulisan tesis dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima
kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan
amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, Bapak Prof.
Dr. H. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum.,danIbu Hj. Chairani Bustami, SH., SpN,
MKn. selaku Komisi Pembimbing dan Dosen Penguji Bapak Dr. Hasyim Purba,
SH, M.HumdanIbu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum. yang telah
dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan
penulisan tesis ini.
Kemudian juga, semua pihak yang telah berkenan memberi masukan dan
arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil
sampai pada tahap ujian tertutup sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna
dan terarah.
Selanjutnya ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K)
iv
diberikan dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum, Program Studi
Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung SH., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada
penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin SH., MS, CN., selaku Ketua Program
Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang
telah memberikan dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan
penulisan tesis ini.
4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A., SH., CN., M.Hum., selaku Sekretaris Program
Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang
telah memberikan dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan
penulisan tesis ini.
5. Bapak dan Ibu Dosen Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta ilmu yang
sangat bermanfaat selama penulis mengikuti proses kegiatan belajar mengajar di
bangku kuliah.
6. Seluruh Staf/Pegawai di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis selama
menjalani pendidikan.
7. Pemerintah Kabupaten Aceh Timur yang telah memberikan kesempatan Tugas
Belajar kepada Penulis untuk mengikuti pendidikan pada Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
8. Rekan-rekan Mahasiswa Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara Angkatan Tahun 2010, khususnya Grup B.
9. Motivator Terbesar dalam hidup Penulis yang selalu memberikan cinta, kasih
sayang, dukungan dan doa yang tak putus-putusnya Suami serta Anak-anakku
v
10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis berharap
semoga perhatian dan bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan yang
sebaik-baiknya dari Allah SWT.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna,
namun penulis berharap kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua
pihak, terutama para pemerhati hukum perdata pada umumnya dan ilmu kenotariatan
pada khususnya.
Aamiin Ya Rabbal ‘Alamin.
Medan, Agustus 2012 Penulis,
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. IDENTITAS PRIBADI
Nama : Noni Gusvita
Tempat/Tanggal lahir : Banda Aceh/28 Agustus 1973
Jenis Kelamin : Perempuan
Status : Menikah
Agama : Islam
Alamat : Jl. T. M. Zein, Gampong Meutia Langsa
II. KELUARGA
Nama Ayah : Alm. Sidik Abdurrahman
Nama Ibu : Almh. Darma Taksia
Nama Suami : Fuadi
Nama Anak : Rafiqah Adibah
Rafiqah Adilah
III. PEKERJAAN
- Pegawai Negeri Sipil pada Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Timur Tahun 1998-Sekarang
IV. PENDIDIKAN
SD Negeri Inpres Calang pada Tahun 1979 s/d 1985
SMP Negeri Calang pada Tahun 1985 s/d 1988
SMA Negeri 1 Banda Aceh pada Tahun 1988 s/d 1991
Perguruan Tinggi (S1) Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh pada Tahun 1991 s/d 1996
vii DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 12
C. Tujuan Penelitian ... 12
D. Manfaat Penelitian ... 13
E. Keaslian Penelitian ... 13
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 15
1. Kerangka Teori ... 15
2. Konsepsi ... 22
G. Metode Penelitian ... 23
1. Sifat dan Jenis Penelitian ... 23
2. Pendekatan Penelitian ... 25
3. Sumber Data ... 26
4. Teknik Pengumpulan Data ... 27
5. Analisis Data ... 29
BAB II PENGATURAN PELAKSANAAN GANTI RUGI TANAH UNTUK PEMBANGUNAN PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN ACEH TIMUR ... 29
A. Gambaran Umum Kabupaten Aceh Timur ... 29
viii
2. Penetapan Lokasi Kabupaten Aceh Timur ... 30
B. Pengaturan Pelaksanaan Ganti Rugi Tanah untuk Kepentingan Umum ... 34
C. Proses Pelaksanaan Ganti Rugi Tanah unuk Kepentingan Umum ... 56
BAB III FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT PELAKSANAAN GANTI RUGI PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN ACEH TIMUR ... 76
A. Faktor Keadaan Sosial Ekonomi Pemegang Hak Atas tanah 76 B. Faktor Tidak adanya Kesepakatan dalam Proses Musyawarah ... 88
C. Faktor Tuntutan Ganti Rugi di atas Harga Pasar ... 96
BAB IV UPAYA HUKUM YANG DITEMPUH UNTUK MENGATASI HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN PENETAPAN GANTI RUGI TANAH UNTUK PEMBANGUNAN PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN ACEH TIMUR ... 111
A. Upaya Penyelesaian dengan Pendekatan Sosiologis terhadap Masyarakat Pemegang Hak Atas Tanah ... 111
B. Upaya Pembayaran Harga Ganti Rugi di Atas Harga Pasar... 119
C. Upaya penyelesaian ganti rugi secara bertahap karena terbatasnya Anggaran pada APBK Aceh Timur ... 121
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 133
A. Kesimpulan ... 133
B. Saran ... 134
DAFTAR PUSTAKA
ix
DAFTAR TABEL
Halaman TABEL 1: Letak, Luas dan Jumlah pemegang hak atas tanah dalam
pembebasan tanah untuk Pembangunan Pusat
Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur ... 58
TABEL 2 : Daftar Harga Tanah menurut NJOP, Harga Pasar, Harga Pemegang Hak Atas Tanah, dan Harga yang disepakati ... 66
TABEL 3 : Tingkat Pendidikan Responden ... 77
TABEL 4 : Tingkat Pekerjaan Responden ... 78
TABEL 5 : Luas Tanah yang dimiliki/dikuasai Responden... 79
TABEL 6 : Lamanya responden menguasai tanah ... ... 80
TABEL 7 : Status Tanah Responden ... 81
TABEL 8 : Keterlibatan Responden dalam proses Musyawarah ... 89
TABEL 9 : Penentuan harga ganti rugi berdasarkan musyawarah ... 95
TABEL 10: Susunan Panitia Pengadaan Tanah kabupaten Aceh Timur Tahun Anggaran 2012 ... 99
TABEL 11: Susunan Tim Penilai/Penaksir Harga Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum dalam Wilayah Kabupaten Aceh Timur Tahun 2012 .... 103
TABEL 12 : Bentuk dan Besarnya ganti rugi Tanah dan Bangunan untuk Lokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur ... 107
i ABSTRAK
Pelaksanaan Ganti Rugi Tanah untuk Pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur diawali dengan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum disebabkan karena Kabupaten tersebut mengalami Pemekaran berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, terletak di Provinsi Aceh. Akibatnya Ibukota Kabupaten Aceh Timur yang berada di wilayah Kota Langsa pindah ke Kecamatan Idi Rayeuk Kabupaten Aceh Timur berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2007. Pelaksanaan Ganti Rugi Tanahnya sejak tahun 2006 dan sampai tahun 2012 belum tuntas akibat mengalami beberapa hambatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan pelaksanaan ganti rugi tanah untuk Pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur telah sesuai dengan ketentuan Pengadaan tanah saat ini, faktor-faktor penghambat pelaksanaan ganti rugi tanahnya dan upaya yang ditempuh dalam mengatasi hambatan Pelaksanaan Ganti Rugi.
Penelitian menggunakan penelitian deskriptif analitis, yang bertujuan untuk mendiskripsikan atau menggambarkan dan menganalisis data yang diperoleh secara sistematis, faktual, dan akurat tentang kasus hambatan pelaksanaan ganti rugi tanah untuk Pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur, dengan mempergunakan metode secara analisis yuridis normatif dan yuridis sosiologis.
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan ganti rugi tanah untuk pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur sudah sesuai dengan Ketentuan Pengadaan Tanah saat ini, walaupun perhitungan besarnya ganti rugi tidak di dasarkan pada Nilai Jual Objek Pajak atau nilai nyata/sebenarnya. Hal ini tidak bertentangan dengan Pasal 15 huruf (a) Perpres Nomor 65 Tahun 2006. Faktor besarnya nilai ganti rugi tanah di atas harga pasar, sehingga ganti rugi tanahnya sampai saat ini belum selesai. Upaya penyelesaian yang ditempuh adalah Ganti Rugi dilakukan secara bertahap selama 6 Tahun mulai Tahun 2006 sampai tahun 2012, dan Pemerintah terpaksa membayar ganti rugi diatas harga pasar akibat keadaan yang tidak kondusif dan dibutuhkan dana yang besar untuk membebaskan tanah seluas 55.000 M². Disarankan kepada Pemerintah Kabupaten Aceh Timur, dalam pelaksanaan ganti rugi tanah untuk Pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur semestinya mengacu pada Peraturan Presiden RI Nomor 36 tahun 2005 dan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006. Pelaksanaan ganti rugi tanah harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penunjukan Lembaga/Tim penilai harga tanah dilakukan dengan selektif dan profesional sehingga menghasilkan Tim Penilai Harga Tanah yang betul-betul memiliki kemampuan dalam melaksanakan tugasnya.
ii
ABSTRACT
The implementation of land compensation for the construction of the Administration Center of Aceh Timur District begins with the Procurement of Land for Public Use because that district experienced a regional division based on the Indonesian Government Regulation No. 78/2007 on the Regional Forming, Eliminating and Merging Procedures located in the province of Aceh. The consequence is that the capital city of Aceh Timur District located in the area of the City of Langsa moved to Idi Rayeuk Subdistrict, Aceh Timur District based on the Indonesian Government Regulation No. 5/2007. The implementation of land compensation commenced in 2006, until 2012, has not yet finalized due to several barriers. The purpose of this study was to find out and describe whether or not the implementation of land compensation for the construction of the Administration Center of Aceh Timur District has been in accordance with the currently existing land procurement provision, what factors inhibited the implementation of land compensation, and what attempts have been done to solve the barriers to the implementation of land compensation.
This analytical descriptive study described and analyzed the data about the cases of the barriers to the implementation of land compensation for the construction of the Administration Center of Aceh Timur District which were systematically, factually and accurately obtained through normative juridical and sociological juridical method of analysis.
The result of this study showed that the implementation of land compensation for the construction of the Administration Center of Aceh Timur District was in accordance with the currently existing land procurement provision, although the calculation for the amount of compensation was not based on the selling value of tax object or the actual value. This is not contrary to Article 15 (a) of Presidential Decree No. 65/2006. The amount of the compensation was above the market price that the land compensation has not been solved until today. The attempt done to solve the problem of land compensation was the payment for the compensation was gradually done for 6 (six) years from 2006 to 2012 and the government had to pay the above-market-price compensation due to the non-conducive situation and the great amount of fund to release the land area of 55,000 m². In the implementation of land compensation for the construction of the Administration Center, the District Government of Aceh Timur should have referred to the Presidential Decrees No. 36/2005 and No. 65/2006. The implementation of land compensation should be done according to the currently existing land procurement provision. The appointment of the agency/land price appraisal team should be selectively and professionally done that the team selected is the one which is capable of doing its duty.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kabupaten Aceh Timur merupakan salah satu kabupaten yang mengalami
pemekaran berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 tahun
2007 tentang tata cara pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah, terletak
di provinsi Aceh. Kabupaten Aceh Timur mengalami pemekaran 3 (tiga) Kabupaten,
yaitu Kabupaten Aceh Timur, Pemerintah Kota Langsa dan Kabupaten Aceh
Tamiang.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2007
tentang Pemindahan Ibukota Kabupaten Aceh Timur dari Wilayah Kota Langsa ke
Wilayah Idi Rayeuk Kabupaten Aceh Timur dimana Pusat Pemerintah Kabupaten
Aceh Timur yang sebelumnya berada di Kota Langsa pindah ke Kecamatan Idi
Rayeuk Kabupaten Aceh Timur. Sehingga relokasi pusat pemerintahan dan semua
kegiatan pemerintahan pindah ke Kecamatan Idi Rayeuk. Dengan pertimbangan
bahwa letak kecamatan Idi Rayeuk merupakan letak yang strategis dan dapat
terjangkau oleh semua kecamatan dalam kabupaten Aceh Timur. Selain itu Lokasi
Pembangunan Pusat pemerintahan yang dekat dengan jalan Lintas Sumatera,
sehingga nantinya dapat mendukung perekonomian dan pembangunan masyarakat
Aceh Timur ke depan.
Mengingat pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur adalah
Baro dan Desa Seunebok Teungoh Kecamatan Idi Rayeuk Kabupaten Aceh Timur
harus terlebih dahulu dilakukan pelepasan hak atau pembebasan hak atas tanah.
Pembangunan merupakan upaya manusia dalam mengolah dan memanfaatkan
sumber daya yang dipergunakan bagi pemenuhan kebutuhan dan peningkatan
kesejahteraan hidup manusia itu sendiri. Dengan memiliki cipta, rasa, dan karsa,
manusia telah mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam untuk meningkatkan
kemakmuran baik untuk generasi sekarang maupun untuk generasi yang akan datang.
Dalam arti bahwa pemanfaatan sumber daya alam bagi kebutuhan generasi sekarang
juga mempertimbangkan dan memperhatikan generasi mendatang dalam memenuhi
kebutuhannya. Hal tersebut sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan.
Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang penting untuk
kelangsungan hidup umat manusia, hubungan manusia dengan tanah bukan hanya
sekedar tempat hidup, tetapi lebih dari itu tanah memberikan sumber daya bagi
kelangsungan hidup umat manusia.
Bagi bangsa Indonesia tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan kekayaan nasional, serta hubungan antara bangsa Indonesia dengan tanah
bersifat abadi. Oleh karena itu harus dikelola secara cermat pada masa sekarang
maupun untuk masa yang akan datang. Masalah tanah adalah masalah yang
menyangkut hak rakyat yang paling dasar. Tanah disamping mempunyai nilai
ekonomis juga berfungsi sosial, oleh karena itulah kepentingan pribadi atas tanah
tersebut dikorbankan guna kepentingan umum. Ini dilakukan dengan pelepasan hak
atas tanah dengan mendapat ganti rugi yang tidak berupa uang semata akan tetapi
Pelepasan dan pembebasan hak atas tanah harus sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, karena pembebasan tanah adalah status perbuatan hukum yang
bertujuan melepaskan hubungan hukum antara pemilik atau pemegang hak dengan
tanah, dengan pembayaran harga atau uang ganti rugi.1
Pada dasarnya, secara filosofis tanah sejak awalnya tidak diberikan kepada
perorangan. Jadi tidak benar seorang yang menjual tanah berarti menjual miliknya,
yang benar dia hanya menjual jasa memelihara dan menjaga tanah selama itu
dikuasainya.2
Hal tersebut adalah benar apabila dikaji lebih dalam bahwa tanah di samping
mempunyai nilai ekonomis, juga mempunyai nilai sosial yang berarti hak atas tanah
tidak mutlak. Namun demikian negara harus menjamin dan menghormati atas
hak-hak yang diberikan atas tanah kepada warga negaranya yang dijamin oleh
undang-undang.
Hal ini berarti nilai ekonomis hak atas tanah akan berbeda dengan hak yang
melekat pada tanah tersebut, dengan demikian ganti rugi yang diberikan atas tanah itu
juga menentukan berapa besar yang harus diterima dengan adanya hak berbeda itu.
Namun demikian negara mempunyai wewenang untuk melaksanakan pembangunan
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan baik dengan pencabutan
hak maupun dengan pengadaan tanah.
Masalah pengadaan tanah sangat rawan dalam penanganannya, karena di
dalamnya menyangkut hajat hidup orang banyak, apabila dilihat dari kebutuhan
pemerintah akan tanah untuk keperluan pembangunan, dapatlah dimengerti bahwa
tanah negara yang tersedia sangatlah terbatas. Oleh karena itu satu-satunya cara yang
dapat ditempuh adalah dengan membebaskan tanah milik masyarakat, baik yang telah
di kuasai dengan hak berdasarkan Hukum Adat maupun hak-hak lainnya menurut
UUPA.
Proses pengadaan tanah tidak akan pernah lepas dengan adanya masalah ganti
rugi, maka perlu diadakan penelitian terlebih dahulu terhadap segala keterangan dan
data-data yang diajukan dalam mengadakan taksiran pemberian ganti rugi. Sehingga
apabila telah tercapai suatu kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi,
maka baru dilakukan pembayaran ganti rugi kemudian dilanjutkan dengan pelepasan
atau penyerahan hak atas tanah yang bersangkutan. Namun dalam prosesnya hal ini
sering mengalami banyak hambatan.
Pengadaan tanah merupakan perbuatan pemerintah untuk memperoleh tanah
untuk berbagai kegiatan pembangunan, khususnya bagi kepentingan umum. Pada
prinsipnya pengadaan tanah dilakukan dengan cara musyawarah antara pihak yang
memerlukan tanah dan pemegang hak atas tanah yang tanahnya diperlukan untuk
kegiatan pembangunan.
Kebijakan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam
perkembangannya, sebagai landasan hukum diatur dalam Peraturan Menteri Dalam
Negeri (Permendagri) Nomor 15 Tahun 1975 yang kemudian digantikan dengan
Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 55 Tahun 1993, yang kemudian juga
digantikan dengan Peraturan presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun 2005 tentang
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah
bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Guna melengkapi
ketentuan tersebut diterbitkanlah Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 36
Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum sebagaimana Telah Diubah dengan Peraturan Presiden Nomor
65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005
Tentang Pengadaan Tanah Bagi pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum, dan terakhir dikeluarkanlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi pembangunan untuk Kepentingan Umum
yang diundangkan pada tanggal 14 Januari 2012. Sampai saat ini Ketentuan
Pelaksanaannya masih dalam proses.
Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 65 Tahun 2006
tentang perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 tentang pengadaan
tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum :
tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi, waduk bendungan, bendungan irigasi dan bangunan, pengairan lainnya, pelabuhan bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal. Fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana, tempat pembuangan sampah, cagar alam dan cagar budaya, pembangkit, tranmisi, distribusi tenaga listrik.3
Peraturan Presiden yang dimaksudkan sebagai pedoman tentang tata cara yang
harus diikuti pejabat pelaksana dalam rangka memperoleh tanah untuk kegiatan
pembangunan itu, dampaknya langsung dirasakan masyarakat yang tanahnya
diperlukan untuk kegiatan tersebut.4
Kebijakan-kebijakan tersebut dikeluarkan agar pembangunan nasional
khususnya pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah dapat
dilakukan dengan sebaik-baiknya dalam pelaksanaan pengadaan tanahnya.
Prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan hukum haruslah tetap dijadikan landasan sesuai
dengan prinsip bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.
Namun demikian berdasarkan kenyataan yang terjadi selama ini dalam
praktek pengadaan tanah bagi kepentingan umum hak dan kepentingan masyarakat
pemilik tanah kurang mendapat perlindungan hukum dan belum ada pengertian serta
sikap yang sama diantara pelaksanaan termasuk badan peradilan dalam melaksanakan
kebijakan yang dituangkan dalam peraturan tersebut, sehingga timbul kesan
seakan-akan hukum tidak atau kurang memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat
yang tanahnya diperlukan untuk pembangunan bagi kepentingan umum.
3 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas
Peraturan Presiden RI Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
4Maria S.W.Sumardjono,Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Kompas,
Pelaksanaan pengadaan tanah tersebut dilakukan dengan memperhatikan
peran dan fungsi tanah dalam kehidupan manusia serta prinsip penghormatan
terhadap hak-hak yang sah atas tanah. Dengan demikian pengadaan tanah untuk
kepentingan umum diusahakan dengan cara yang seimbang dan ditempuh dengan
jalan musyawarah langsung dengan para pemegang hak atas tanah.
Apabila pengadaan tanah melalui musyawarah tidak mendapatkan jalan keluar
antara pemerintah dengan pemegang hak atas tanah, sedangkan tanah tersebut akan
digunakan untuk kepentingan umum, maka dapat ditempuh dengan cara pencabutan
hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961.
Berdasarkan Perpres Nomor 36 Tahun 2005, dalam Pasal 5 huruf (m)
disebutkan Kantor Pemerintah termasuk salah satu bidang pembangunan untuk
kepentingan umum yang dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
Perpres Nomor 65 Tahun 2006 telah merubah Pasal 5 (lima) tersebut dari 21(dua
puluh satu) bidang pembangunan untuk kepentingan umum menjadi 7 (tujuh) bidang
dan Kantor Pemerintah dihapus dari kategori salah satu bidang pembangunan untuk
kepentingan umum. Setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 pada
Pasal 10 huruf (n) kembali menyebutkan ”Kantor Pemerintah/Pemerintah
Daerah/Desa” merupakan Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud
dalam pasal 4 ayat (1)5digunakan untuk pembangunan.
Hal ini terjadi pula dalam pemberian ganti rugi pengadaan tanah untuk
Pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur. Pengadaan tanahnya
5Lihat Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
dilaksanakan mulai tahun 2006 yang hingga saat ini belum selesai karena terganjal
masalah pemberian ganti kerugian atas tanahnya. Tidak semua pemilik tanah
menerima ganti kerugian yang ditawarkan oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Timur
dan proses pembangunan fisik Pusat Pemerintahannya juga belum terlaksana secara
tuntas. Tanah yang sebahagian besar telah dibebaskan tersebut terletak di Desa Titi
Baro dan Seunebok Tengoh Kecamatan Idi seluas 55 Ha.
Penentuan harga besarnya pemberian ganti kerugian telah dilakukan oleh Tim
pengadaan tanah yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Bupati Aceh Timur
Nomor 590/59/2012 tentang Pembentukan Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten Aceh
Timur Tahun Anggaran 2012 dan Keputusan Bupati Aceh Timur Nomor
590/109/2012 tentang Pembentukan Tim Penilai Harga Tanah Kabupaten Aceh
Timur Tahun Anggaran 2012 dengan warga masyarakat pemilik tanah yang terkena
Pembangunan Pusat pemerintahan, melalui pertemuan yang telah diadakan.
Proses ganti rugi harga tanah dibedakan atas 3 (tiga) Ring. Ring I dimulai dari
pinggir jalan hitam dengan jarak 0-50 meter dengan harga Rp. 175.000,-/m², Ring II
berjarak 50-100 meter dengan harga Rp. 125.000/m², dan Ring III jaraknya 100 meter
dan seterusnya dengan harga Rp. 75.000/m². Tetapi masyarakat pemilik hak atas
tanah setelah mengetahui pembebasan tanah tersebut untuk pembangunan pusat
pemerintahan Kabupaten Aceh Timur, berkesempatan menjual dengan harga yang
tinggi padahal mereka tahu bahwasanya pembangunan tersebut untuk kepentingan
umum.
Dampaknya terjadi pada pelaksanaan ganti rugi harga tanah yang sampai saat
setiap tahunnya. Akhirnya Pemerintah Kabupaten Aceh Timur melakukan Ganti rugi
hak atas tanah tersebut dengan harga yang ditetapkan masyarakat pemilik hak atas
tanah.
“Menurut Ahmad Husein Hasibuan ada 2 (dua) kendala yang terdapat dalam pelaksanaan pembebasan tanah : Faktor Psikologis masyarakat dan Faktor Dana. Kendala yang merupakan faktor psikologis masyarakat adalah :6
1). Masih ditemui sebagian pemilik yang menguasai tanah beranggapan Pemerintah tempat bermanja-manja meminta ganti rugi, karenanya meminta ganti rugi yang tinggi, tidak memperdulikan jiran/tetangga yang bersedia menerima ganti rugi yang dimusyawarahkan;
2). Masih ditemui pemilik yang menguasai tanah beranggapan pemilikan tanahnya adalah mulia dan sakral, sehingga sangat enggan melepaskannya walau dengan ganti rugi, karenanya mereka bertahan meminta ganti rugi yang sangat tinggi.
3). Kurangnya kesadaran pemilik yang menguasai tanah tentang pantasnya mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan sendiri.
Selanjutnya, kendala yang merupakan faktor dana adalah keterbatasan dana pembebasan tanah sehingga tidak mampu membayar ganti kerugian dengan harga wajar menurut pasar umum setempat.”
Pengadaan tanah membawa konsekuensi pada berkurang harapan pemegang
hak atas tanah terhadap tanah dan benda-benda berada di atasnya yang selama ini
dikuasainya. Lazim terjadi pada pengadaan tanah untuk kepentingan umum terjadi
konflik antara yang memerlukan tanah (pemerintah) dengan masyarakat pemegang
hak atas tanah, karena pemegang hak atas tanah akan menerima ganti rugi harga
tanah, bangunan dan tanaman tidak sesuai dengan nilai sebenarnya.
Konflik antara pemegang hak atas tanah dengan panitia pengadaan tanah
terjadi bilamana proses pengadaan tanah tidak mempertimbangkan penetapan harga
ganti rugi berdasarkan proses musyawarah. Menurut Dadang Juliantoro menyatakan
bahwa masalah-masalah pengadaan tanah yang dapat menyulut sengketa pada
umumnya karena :
a. Ganti rugi yang tidak memadai.
b. Proses pembebasan yang tidak demokratis dan cenderung manipulatif. c. Penolakan pemilik tanah untuk menyerahkan tanahnya atau tanah miliknya. d. Ketidakpastian hidup pasca penggusuran.
e. Penggunaan atau melakukan kekerasan dalam proses pembebasan/pengadaan tanah.7
Menurut Abdurrahman, tanah dapat dinilai sebagai harta yang bersifat
permanen karena tanah dapat dicadangkan untuk kehidupan mendatang, dan tanah
pula sebagai tempat persemayaman terakhir bagi seseorang meninggal dunia.8 Oleh
karena itu segala masalah tanah yang muncul dalam proses pengadaan tanah harus
ditangani secara konseptual dan terencana untuk memberikan kesejahteraan kepada
masyarakat yang tanahnya turut dibebaskan.
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum pembangunan Pusat Pemerintahan
Kabupaten Aceh Timur dilakukan secara bertahap karena keterbatasan dana yang
tersedia dalam Anggaran Pendapatan Belanja Kabupaten (APBK) Aceh Timur.
Mengenai besarnya ganti rugi dan bentuk ganti rugi diatur dalam Pasal 15
ayat (1) huruf a Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Dengan tegas dinyatakan
bahwa dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan atas Nilai Jual Objek Pajak
(NJOP) atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan Nilai Jual Objek Pajak
7Dadang Juliantoro, Sengketa Agraria, Modal dan Transformasi Tanah Rakyat dan Demokrasi,forum LSM/LPSM, Yogyakarta, 1995. Hal. 117-118.
8Abdurrahman,Aneka Masalah Hukum agraria Dalam Pembangunan di Indonesia, Alumni,
tahun berjalan berdasarkan penilaian Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang
ditunjuk oleh Panitia. Disamping itu, bentuk dan besarnya ganti rugi ditetapkan dalam
musyawarah. Musyawarah dalam penetapan harga ganti rugi merupakan hal yang
mutlak harus dilaksanakan panitia pengadaan tanah. Menurut Peraturan Presiden
Nomor 36 Tahun 2005 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan
untuk kepentingan umum, disebutkan musyawarah dapat diartikan sebagai proses
atau kegiatan saling mendengar dengan sikap saling menerima pendapat dan
keinginan yang didasarkan atas kerelaan antara pihak pemegang hak atas tanah dan
pihak yang memerlukan tanah, untuk memperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan
besarnya ganti rugi.
Pelaksanaan ganti rugi pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh
Timur, sebenarnya disadari oleh masyarakat untuk kelanjutan pembangunan di
Kabupaten Aceh Timur yang mengalami pemekaran. Makanya ada yang secara ikhlas
menyerahkan tanahnya untuk pembangunan agar terwujud kesejahteraan masyarakat
lahir dan bathin. Ada pula masyarakat yang tidak dapat menerima tanahnya diambil
oleh pemerintah dengan kesewenangannya dan membayar harga ganti rugi tidak
sesuai dengan harga sebenarnya. Hal ini menyebabkan pemegang hak atas tanah
berusaha mempertahankan dengan alasan tidak sesuai harga tanah yang sebenarnya
dan khawatir untuk memulai kehidupan ditempat yang baru.
Berdasarkan uraian di atas dan ketentuan-ketentuan yang ada, maka peneliti
berkeinginan mengkaji permasalahan tersebut dalam Tesis dengan judul“Hambatan
Pelaksanaan Ganti Rugi Tanah Untuk Pembangunan Pusat Pemerintahan
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, maka yang menjadi
permasalahan pokok dalam penulisan Tesis ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah Pelaksanaan ganti rugi tanah untuk Pembangunan Pusat Pemerintahan
Kabupaten Aceh Timur telah sesuai dengan ketentuan Pengadaan tanah saat ini ?
2. Faktor-faktor apa yang menjadi penghambat pelaksanaan ganti rugi tanah untuk
Pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur ?
3. Bagaimana upaya yang ditempuh untuk mengatasi hambatan dalam Pelaksanaan
Ganti Rugi Tanah untuk Pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh
Timur ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian merupakan bagian pokok ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk
lebih mendalami segala aspek kehidupan, disamping itu juga merupakan sarana untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan, baik dari segi teoritis maupun praktis.9
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan pelaksanaan ganti rugi tanah untuk
Pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur telah sesuai dengan
ketentuan Pengadaan tanah saat ini.
2. Untuk mengetahui dan menjelaskan faktor-faktor penghambat pelaksanaan ganti
rugi tanah untuk Pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur.
3. Untuk mengetahui dan menjelaskan upaya yang ditempuh dalam mengatasi
hambatan Pelaksanaan Ganti Rugi tanah untuk Pembangunan Pusat Pemerintahan
Kabupaten Aceh Timur.
C. Manfaat Penelitian
Melalui pelaksanaan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik
secara teoritis maupun secara praktis, sebagaimana dijelaskan dibawah ini :
1. Secara teoritis
Dalam penelitian ini, diharapkan hasilnya mampu memberikan sumbangan
dan bahan masukan serta pengkajian lebih lanjut terhadap perkembangan
pembangunan Hukum Agraria khususnya Hukum Pertanahan tentang ganti rugi
tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum.
2. Secara praktis
Selain kegunaan secara teoritis, diharapkan hasil penelitian ini juga mampu
memberikan sumbangan secara praktis, yaitu :
- Memberi sumbangan pemikiran kepada semua pihak yang terkait dalam
pelaksanaan pembangunan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur.
- Memberikan sumbangan pemikiran dalam upaya penyelesaian sengketa yang
timbul berkaitan Pelaksanaan Ganti Rugi Tanah untuk pembangunan pusat
pemerintahan Kabupaten Aceh Timur.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik
berdasarkan penelitian sebelumnya, khususnya pada Magíster Kenotariatan
sejauh yang telah diketahui bahwa penelitian tentang ini belum ada yang meneliti
sebelumnya, sehingga peneliti mencoba untuk mengangkatnya dalam sebuah tesis,
mengingat Penelitian ini asli baik dari segi lokasi, ruang lingkup permasalahan dan
materinya sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Adapun beberapa judul penelitian yang mendekati yang pernah dilakukan
sebelumnya dengan judul penelitian tesis ini adalah:
1. Tesis saudara Bangun P. Nababan, Mahasiswa Program Pasca Sarjana Magister
Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, pada tahun 2009,
dengan judul: “Penyelesaian ganti rugi tanah untuk pembangunan Bandar Udara
Silangit Siborong-borong Kabupaten Tapanuli Utara”, dengan beberapa
permasalahan yang diteliti yaitu bagaimana status hak atas tanah di areal Bandar
Udara Silangit Siborong-borong, bagaimana pengadaan tanah masyarakat adat
bagi pelaksanaan pembangunan Bandar Udara Silangit Siborong-borong, apakah
faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam menyelesaikan ganti rugi tanah adat
Siborong-borong.
2. Tesis saudara Azwir, Mahasiswa Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan,
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, pada tahun 2009, dengan judul:
“Pelaksanaan ganti rugi hak atas tanah untuk kepentingan umum pengembangan
Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda Provinsi Aceh)”, dengan beberapa
permasalahan yang diteliti yaitu bagaimana pelaksanaan ganti rugi harga tanah
untuk kepentingan umum Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda Provinsi
Aceh, Faktor-faktor penyebab adanya penolakan harga ganti rugi tanah Bandara
dalam penyelesaian masalah ganti rugi harga tanah pengembangan Bandara
Internasional Sultan Iskandar Muda Provinsi Aceh.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat,
teori, thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan
perbandingan, pegangan teoritis.10 Teori diperlukan untuk menerangkan dan
menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,11 dan satu teori
harus diuji dengan menghadapkannya dengan fakta-fakta yang dapat menunjukkan
ketidakbenarannya.12
Kerangka teori yang digunakan adalah teori keadilan pemikiran Roscoe Pound
yang menganut teori Sociological Jurisprudence, hukum yang baik haruslah hukum
yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) di masyarakat.13Teori Roscoe Pound dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya berjudul
Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, dimana hukum sebagai sarana
pembaharuan masyarakat (a tool of social engineering). Disamping itu juga dikembangkan bahwa hukum dapat pula dipakai sebagai sarana dalam proses
10M.Solly Lubis,Filsafat dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal 80.
11J.J.J. M. Wuisman, dengan penyunting M. Hisyam,Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, FE
UI, Jakarta, 1996, hal 203.
12Ibid, halaman 16.
pembangunan. Demikian pula halnya bahwa hukum secara potensial dapat digunakan
sebagai sarana pembangunan dalam berbagai sektor atau bidang kehidupan.14
Pembangunan yang dilaksanakan selama ini telah membawa konsekwensi
kepada dampak terhadap lingkungan hidup. Dampak tersebut semakin besar dengan
berkembangnya kehidupan ekonomi dan teknologi, sehingga dirasakan perlu
mengelola dampak kegiatannya pada lingkungan hidup. Demikian pula halnya
dengan pengembangan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur yang telah
berdampak kepada pembebasan lahan masyarakat dengan melakukan pembayaran
ganti rugi harga tanah, bangunan dan tanaman yang berada di atasnya kepada
pemegang hak atas tanah dengan harga yang layak.
Hak-hak atas tanah berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan
dan Hak Pakai yang ketentuan pokoknya diatur dalam UUPA serta hak lain dalam
hukum adat setempat, yang merupakan hak penguasaan atas tanah yang memberi
wewenang kepada pemegang haknya untuk memakai status bidang tanah tertentu
dalam memenuhi kebutuhan hidup dan usahanya. Hak-hak atas tanah tersebut diatur
dalam Pasal 4,9, 16 dan BAB II UUPA.15 Dengan diberikan hak atas tanah, maka
akan terjalin hubungan hukum dan dapat melakukan perbuatan hukum oleh
pemegang hak atas tanah kepada pihak lain. Diantara perbuatan hukum tersebut,
berupa jual-beli, tukar menukar dan lain-lain.16Dalam penggunaannya menurut Boedi
Harsono yang dikutip Sofyan Ibrahim meliputi tubuh bumi serta air serta ruang
14 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, PT.Alumni,
Bandung, 2006, hal 20-21 dan hal 24.
15 Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Universitas Trisakti,
Jakarta, 2005, hal 41.
angkasa yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung
berhubungan dengan tanah tersebut.17
Dalam perkembangannya Istilah “Pengadaan tanah” menjadi popular setelah
Pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993 tanggal 17 Juni
1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan
Umum, lalu istilah tersebut berlanjut pemakaiannya pada Peraturan Presiden Nomor
36 tahun 2005 dan Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006.18 Pada tanggal 14
Januari 2012, kembali Pemerintah mengundangkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum,
sampai saat ini masih menunggu Ketentuan Pelaksanaannya.
Menurut Maria SW Sumardjono yang dikutip Muhammad Yamin, Istilah
Pengadaan Tanah ini menjadi pengganti dari istilah “Pembebasan Tanah” yang
mendapat respons kurang positif di tengah-tengah masyarakat sehubungan dengan
banyaknya permasalahan yang ditimbulkan dalam pelaksanaannya di lapangan,
sekaligus bermaksud untuk menampung aspirasi berbagai kalangan dalam
masyarakat sebagai reaksi terhadap eksist-eksist pembebasan tanah yang selama ini
terjadi.19
Dalam pembebasan tanah untuk kepentingan umum, yang berhak atas ganti
rugi ialah mereka yang berhak atas tanah bangunan dan tanaman yang ada di atasnya,
dengan berpedoman dengan hukum adat setempat, sepanjang tidak bertentangan
17 Sofyan Ibrahim, Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Dilihat dari Aspek Yuridis Sosiologis, Hukum, Volume 5 Nomor 1, Februari 2000-1-152, hal.153
18 Muhammad Yamin Lubis, Pencabutan Hak, Pembebasan dan Pengadaan Tanah, CV.
Mandar Maju, Bandung, 2011, halaman 53.
dengan ketentuan dalam Undang-Undang Pokok Agraria dan Kebijakan Pemerintah.
Hak-hak adat yang mereka miliki atas tanah janganlah dipandang berbeda dengan hak
lain, seperti hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, untuk itu terlebih dahulu
harus mengetahui status tanah dan riwayat tanah, apakah tanah adat yang berstatus
hak milik. Maka dalam kaitan ini hak milik adat sudah dikesampingkan oleh
pemerintah walaupun tanah yang mereka miliki sudah turun temurun dikuasai secara
fisik dan terdapat bukti-bukti yang kuat adanya bangunan dan tanaman. Hal ini sesuai
dengan pendapat Sajuti Thalib, Undang-undang Pokok Agraria sebagai hukum
agraria nasional telah menjamin bahwa semua warga negara Indonesia mempunyai
kesempatan yang sama untuk memperoleh suatu hak dan manfaat atas tanah.20
Oleh karena itu sebagaimana disebut di atas hak milik adat yang dikuasai oleh
masyarakat dan pada lokasi tersebut akan dilaksanakan pembangunan untuk sarana
kepentingan umum tetap dibayar ganti rugi yang wajar sesuai dengan ketentuan yang
berlaku, sama dengan pembayaran ganti rugi terhadap hak-hak lainnya atas tanah,
bangunan dan tanaman dengan tata cara yang diatur dalam Perpres Nomor 65 Tahun
2006. Pada asasnya jika diperlukan tanah dan/atau benda lainnya kepunyaan orang
lain untuk sesuatu keperluan haruslah lebih dahulu diusahakan agar tanah itu dapat
diperoleh dengan persetujuan pemiliknya yaitu dengan cara jual-beli, tukar menukar
dan sebagainya. Tetapi cara tersebut tidak selalu membawa hasil yang diharapkan,
kemungkinan pemilik tanah meminta harga yang terlampau tinggi atau tidak bersedia
sama sekali untuk melepaskan tanahnya yang diperlukan itu. Dengan demikian jika
hal tersebut memang benar-benar untuk kepentingan umum, dalam keadaan yang
memaksa, yaitu dengan jalan musyawarah tidak membawa hasil yang diharapkan,
haruslah ada wewenang pemerintah untuk bisa mengambil dan menguasai tanah yang
bersangkutan. Pengambilan itu dilakukan dengan jalan mengadakan pencabutan hak
sebagai yang dimaksud dalam pasal 18 Undang-undang Pokok Agraria.21
Ganti rugi tanah dapat dikaji dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) dan Undang-undangPokok Agraria (UUPA), yaitu:
Pertama, menurut KUHPerdata tinjauan ganti rugi meliputi persoalan
menyangkut maksud ganti rugi, bilamana ganti rugi dilakukan, bagaimana urusan
ganti rugi dan bagaimana peraturan diatur dalam undang-undang.
Kedua, dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) berkaitan dengan
pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum dan karena penyerahan hak
secara sukarela oleh pemiliknya. Dimana diatur dalam pasal 18, yang berbunyi :
“Untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi
ganti rugi yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang.”
Masalah pembebasan tanah, tidak dapat dicampur adukkan antara pencabutan
hak atas tanah dengan pengadaan tanah. Dimana pencabutan hak atas tanah secara
tegas diatur dalam pasal 18 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961.
Peraturan yang mengatur tentang pencabutan hak atas tanah untuk
kepentingan umum dan pembebasan tanah tersebut dapat dilihat dari dua segi. Disatu
21Syafruddin Kalo,Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum,Pustaka
pihak merupakan suatu landasan hukum bagi pihak pemerintah untuk memperoleh
tanah penduduk yang diperlukan untuk penyelenggaraan kepentingan umum dan
kepentingan pembangunan atau untuk kepentingan yang dapat menunjang
kepentingan nasional, sedangkan dipihak lain adalah merupakan suatu jaminan bagi
warga masyarakat tentang hak atas tanah daripada tindakan sewenang-wenang dari
pihak penguasa.22
Sedangkan Pengadaan tanah diatur dengan Peraturan Presiden Nomor 65
Tahun 2006 dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 2007, tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden
Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi pelaksanaan pembangunan
untuk kepentingan umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden
Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 36 tahun
2005 tentang Pengadaan Tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum, yang dalam Pasal 74 dinyatakan bahwa Peraturan Menteri Negara Agraria /
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1994 dinyatakan tidak berlaku.23
Oleh karenanya dalam rangka mengisi dan melaksanakan pembangunan untuk sarana
kepentingan umum perlu adanya pengaturan pengadaan tanah yang merupakan
langkah pertama yang dilakukan untuk meningkatkan/menunjang pembangunan
melalui musyawarah dan mufakat dengan pemilik/pemegang hak atas tanah dan
benda-benda yang ada di atasnya.
22Ibid, Hal. 33.
Menurut Budi Harsono, dimana pengadaan tanah bagi pelaksanaan
kepentingan umum harus dilakukan dengan musyawarah sesuai maksud Pasal 1
angka 5 Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005, yaitu proses atau kegiatan saling
mendengar dengan sikap saling menerima pendapat dan keinginan yang di dasarkan
atas kerelaan antara pihak pemegang hak atas tanah dan pihak yang memerlukan
tanah untuk memperoleh kesepakatan menguraikan bentuk ganti rugi dan besarnya
ganti kerugian.24
Upaya pengadaan tanah oleh pemerintah untuk kegiatan yang menunjang
kepentingan umum, dalam Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas Perpres Nomor 36 tahun 2005 tentang pengadaan tanah bagi
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum telah memberikan definisi
kepentingan umum adalah ”kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat”25 dan
kegiatannya haruslah dilakukan oleh pemerintah, kemudian dimiliki atau akan
dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
Dalam upaya pengadaan tanah tersebut sudah barang tentu harus diberikan
ganti kerugian yang adil bagi para pemegang hak yang tentunya tidak sama dengan
harga tanah di pasaran bebas. Aktivitas pemerintah dalam melakukan pengadaan
tanah untuk kepentingan umum tersebut merupakan campur tangan pemerintah
terhadap pasar tanah.26
24Boedi Harsono,Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, Jambatan, Jakarta, 1995 hal 191.
25 Lihat pasal 1 angka 5 Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan tanah Bagi
pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
26 Maria S.W.Sumardjono, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya,
2. Konsepsi
Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan
sebagai usaha membawa sesuatu yang abstrak menjadi status yang kongkrit, yang
disebut denganoperacional definition.27Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.28 Oleh karena itu dalam penelitian ini didefinisikan beberapa
konsep dasar, agar secara opersional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan
tujuan yang ditentukan, yaitu:
a. Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara
memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah,
bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.29
b. Pemegang hak atas tanah adalah seseorang atau badan hukum yang telah
mendapat hak atas sebidang tanah dan melakukan perbuatan hukum sebagaimana
di atur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agaria.
b. Ganti Rugi merupakan penggantian kerugian baik bersifat fisik dan/atau non fisik
sebagai akibat pengadaan tanah untuk pembangunan Pusat Pemerintahan
Kabupaten Aceh Timur kepada pemegang hak atas tanah.
27 Sutan Remy Syahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993. Hal. 10.
28 Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fidusia ; Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, Medan, PPS-USU, 2002, hal. 35.
29Lihat Ketentuan Pasal 1 angka (3)Perpres Nomor 65 Tahun 2006tentang Perubahan Atas
c. Hak atas tanah adalah hak atas sebidang tanah sebagaimana di atur dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria.
d. Panitia Pengadaan tanah merupakan panitia yang dibentuk oleh Bupati Aceh
Timur untuk membantu pengadaan tanah bagi pembangunan Pusat Pemerintahan
Kabupaten Aceh Timur.
e. Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah adalah Lembaga/Tim yang profesional dan
Independen untuk menentukan nilai/harga tanah yang akan digunakan sebagai
dasar guna mencapai kesepakatan atas jumlah/besarnya ganti rugi dalam
pengadaan tanah bagi pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur.
f. Musyawarah merupakan kegiatan yang mengandung proses saling mendengar,
saling memberi dan saling menerima pendapat, serta keinginan untuk mencapai
kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi untuk Pembangunan Pusat
Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur.
g. Kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat untuk
Pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur.
G. Metode Penelitian
1. Sifat dan Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian diskriptif analitis yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk mendiskripsikan atau menggambarkan dan menganalisis data yang
diperoleh secara sistimatis, faktual, dan akurat tentang kasus hambatan pelaksanaan
Penelitian yang bersifat deskriptif analitis atau analisa umum dengan sumber
kepustakaan untuk menjawab permasalahan dan menggunakan logika berfikir yang
ditempuh melalui penalaran induktif, deduktif, dan sistematis dalam penguraiannya.
Dalam penelitian ini dipergunakan metode studi kasus analisis secara yuridis normatif
dan secara yuridis sosiologis. Penelitian hukum empiris dan sosiologis merupakan
gejala masyarakat, disatu pihak dapat dipelajari sebagai suatu variable penyebab
(independent variable) yang menimbulkan akibat-akibat pada berbagai kehidupan sosial.
Mengingat bahwa penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian
pendekatan yuridis normatif dan yuridis sosiologis, maka mengkaji bahan-bahan
kepustakaan, buku-buku, dan perundang-undangan, dokumen-dokumen yang
berkaitan dengan kasus pelaksanaan ganti rugi tanah dalam proses pengadaan tanah
oleh pemerintah atas kepunyaan masyarakat, kemudian norma-norma dari
perundang-undangan tersebut dikaitkan dengan kasus-kasus yang diperoleh dilapangan tentang
pelaksanaan ganti rugi tanah untuk Pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten
Aceh Timur.
Sifat dan Jenis Penelitian ini adalah normatif dan sosiologis yaitu penelitian
buku-buku, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen, yurisprudensi, dan
bahan-bahan lainnya dan penelitian yuridis sosiologis untuk menyelidiki dan
mempelajari gejala-gejala sosial mengenai hambatan pelaksanaan ganti rugi tanah
dan benda-benda diatasnya dalam proses pengadaan tanah untuk pembangunan Pusat
primer yang dihubungkan secara langsung dari kasus-kasus yang ditemukan dari
responden dan informan di lapangan.
2. Pendekatan Penelitian
Alat pengumpul data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
penyebaran kuisioner serta studi terhadap bahan-bahan dokumen lainnya.
a. Kuisioner dengan menggunakan pedoman daftar kuisioner dan wawancara
dengan menggunakan pedoman wawancara. Langkah pertama dilakukan daftar
kuisioner bersifat tertutup dan terbuka terhadap para pemegang hak atas tanah
yang terkena proyek pembangunan sebagai responden dan informan untuk
memperoleh informasi data primer. Wawancara dilakukan wawancara bagi nara
sumber dan informan untuk melengkapi data dan untuk menjawab permasalahan
yang ada. Responden dan Informan dimaksud yaitu :
- 50 warga masyarakat yang tanahnya terkena proyek pembangunan pusat
pemerintahan.
- Kepala Kantor Pertanahan (BPN) Aceh Timur.
- Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU), Kepala Bappeda, Kepala Bagian
Administrasi Pertanahan Setdakab Aceh Timur, Ketua Panitia Pengadaan
Tanah, dan Ketua Tim Penilai/Penaksir Harga Tanah.
b. Bahan-bahan dokumen atau bahan pustaka.
Bahan-bahan dokumentasi diperoleh dari berita koran, mempelajari dan
menganalisis literatur atau buku-buku, dan peraturan perundang-undangan. Studi
kepustakaan sebagai bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan
pula dikaji bahan hukum sekunder berupa karya hasil penelitian. Untuk
melengkapi bahan hukum tersebut didukung oleh bahan tersier seperti kamus,
ensiklopedia, media massa dan lain sebagainya.
3. Sumber Data
Bahan penelitian ini bersumber dari data primer dan data sekunder yaitu
berupa :
a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh langsung dilapangan dengan
menyebarkan kuisioner kepada nara sumber dan informan ditambah dengan
data wawancara, jika dirasa data yang didapat dengan kuisioner belum
mencukupi untuk menjawab permasalahan yang ada.
b. Data Sekunder dilakukan dengan menghimpun bahan berupa :
1. Bahan hukum primer yang merupakan peraturan perundang-undangan,
yurisprudensi, dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pertanahan khususnya
pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
2. Bahan hukum sekunder yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer
antara lain berupa tulisan atau pendapat pakar hukum dibidang pertanahan
mengenai asas-asas berlakunya hukum pertanahan terutama dalam menetapkan
kebijakan pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
3. Bahan hukum tersier yang memberikan informasi lebih lanjut mengenai bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder antara lain, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, dan berbagai majalah yang berkaitan dengan pelaksanaan pengadaan
4. Teknik Pengumpulan Data
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pemegang hak atas tanah yang
tanahnya mengalami pelepasan hak, dimana antara satu populasi dengan populasi lain
mempunyai karakteristik sama yang menyebabkan sampel identik dengan populasi.
Penentuan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling, yaitu
dengan menentukan sendiri sampel mana yang dapat mewakili populasi.30 Tahapan
penentuan terlebih dahulu ditetapkan ciri atau karakteristik dari sampel, menurut jenis
dan status tanah yang dikuasai responden, letak geografis, tahapan pelepasan hak,
kemudian ciri-ciri tersebut diterapkan pada sampel, kemudian dipilih mana yang
memenuhi kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.31
Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang diteliti
dilaksanakan dua tahap penelitian yaitu penelitian kepustakaan dan studi lapangan.
Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder, baik berupa
bahan hukum primer dan sekunder maupun bahan hukum tersier. Setelah
diinventarisasi dilakukan penelaahan untuk membuat intisari dari setiap peraturan
yang berhubungan dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Selanjutnya
dilakukan studi lapangan terhadap responden dalam rangka memperoleh data primer
melalui alat pengumpulan data yang merupakan bahan utama dalam penelitian ini.
5. Analisis Data
Data dianalisis secara deskriptif analitis. Data yang diperoleh baik dari studi
lapangan maupun studi dokumen pada dasarnya merupakan data tataran yang
dianalisis secara pendekatan kualitatif, yaitu setelah data terkumpul kemudian
dituangkan dalam bentuk uraian logis dan sistematis, selanjutnya dianalisis untuk
memperoleh kejelasan penyelesaian masalah, kemudian ditarik kesimpulan dengan
menggunakan metode deduktif, yaitu dari hal yang bersifat umum menuju hal yang
bersifat khusus.32 Dengan metode deduktif dapat menggambarkan
ketentuan-ketentuan pelaksanaan ganti rugi terhadap hak atas tanah dan benda-benda yang ada
diatasnya dalam proses hambatan pelaksanaan ganti rugi tanah untuk Pembangunan
Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Timur
dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
32Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, cetakan 3, 1998, Hal.
BAB II
PENGATURAN PELAKSANAAN GANTI RUGI TANAH UNTUK PEMBANGUNAN PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN ACEH
TIMUR
A. Gambaran Umum Kabupaten Aceh Timur.
1. Letak Geografis
Kabupaten Aceh Timur merupakan salah satu kabupaten dari 24
Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh, yang memiliki letak yang sangat strategis sebagai
penghubung antara ibukota Pemerintahan Aceh dengan Provinsi Sumatera Utara.
Secara geografis Kabupaten Aceh Timur terletak di antara koordinat 4°09’21,08”
-5°06’02,16 Lintang Utara dan 97°15’22,07” - 97º34’47,22” Bujur Timur.33
Aceh Timur memiliki luas wilayah 6.040,60 Km² atau 10,53% dari Luas Pemerintah
Aceh dengan batas-batas wilayahnya sebagai berikut :34
- Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka.
- Sebelah Timur berbatasan dengan Kota Langsa dan Kabupaten Aceh Tamiang
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Gayo Lues.
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Aceh Utara dan Kabupaten Bener Meriah.
Secara Administratif Kabupaten Aceh Timur terdiri dari 24 Kecamatan, 511
Desa (Gampong) dari 45 Mukim yang terdiri atas 1596 Dusun. Adapun kecamatan yang terluas dari 24 Kecamatan yang ada di Kabupaten Aceh Timur adalah
Kecamatan Serbajadi (Lokop) dengan luas wilayah 1.903,40 KM² atau sekitar 31,51% dari luas wilayah Kabupaten Aceh Timur. Sedangkan kecamatan yang terkecil
adalah Kecamatan Darul Falah (Ulee Gajah) dengan luas wilayah 42,40 KM² atau 0,70% dari luas wilayah Kabupaten Aceh Timur.35
2. Penetapan Lokasi Kabupaten Aceh Timur
Kabupaten Aceh Timur merupakan salah satu Kabupaten yang mengalami
pemekaran berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 tahun
2007 tentang tata cara pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah, terletak
di provinsi Aceh. Kabupaten Aceh Timur mengalami pemekaran 3 (tiga) Kabupaten,
yaitu Kabupaten Aceh Timur, Pemerintah Kota Langsa dan Kabupaten Aceh
Tamiang.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 5 Tahun 2007 tentang Pemindahan
Ibukota Kabupaten Aceh Timur dari Wilayah Kota Langsa ke Wilayah Kecamatan Idi
Rayeuk Kabupaten Aceh Timur. Pusat Pemerintah Kabupaten Aceh Timur yang
sebelumnya berada di Kota Langsa pindah ke Kecamatan Idi Rayeuk Kabupaten
Aceh Timur. Sehingga relokasi pusat pemerintahan dan semua kegiatan pemerintahan
pindah ke Kecamatan Idi Rayeuk. Dengan pertimbangan yang didasarkan pada letak
kecamatan Idi Rayeuk merupakan letak yang strategis dan dapat terjangkau oleh
semua kecamatan dalam kabupaten Aceh Timur dan Lokasi Pembangunan Pusat
pemerintahan yang dekat dengan jalan Lintas Sumatera, sehingga nantinya dapat
mendukung perekonomian dan pembangunan masyarakat Aceh Timur ke depan.36