PENGARUH TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK
SOSIALISASI TERHADAP KEMAMPUAN SOSIALISASI
PASIEN ISOLASI SOSIAL DI RUANG KAMBOJA
RUMAH SAKIT JIWA DAERAH PROVINSI
SUMATERA UTARA MEDAN
SKRIPSI Oleh
Dewi Rahmadani Lubis 071101027
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PRAKATA
Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayahNya sehingga
penulis dapat menyelesaikan proposal skripsi dengan judul “Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi terhadap Ketidakmampuan Bersosialisasi pasien Isolasi Sosial di Ruang Kamboja Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera
Utara Medan”.
Dalam penyusunan proposal ini penulis mendapakan bantuan,
bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak dengan memberikan butir-butir pemikiran yang sangat berharga bagi penulis baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih khususnya kepada
Ibunda dan Ayahanda tercinta yang telah memberikan kasih sayang yang tulus, yang menjadi penyemangat dikala penulis merasa lelah dan yang selalu
mengirimkan beribu doa disetiap sujudnya.
Terimakasih juga penulis ucapkan kepada abang dan adikku yaitu Amiruddin Pratama Lubis, Nurhamidah Rizki Lubis dan sepupu tercinta, Kak
Lina dan Fitri yang selalu mendoakan dan memberikan semangat dan dukungan kepada penulis. Kepada semua keluarga besar penulis ucapkan terima kasih, tanpa
kalian keberhasilan ini tidak akan pernah tercapai.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada :
1. Ibu Sri Eka Wahyuni, S.Kep, Ns, M.Kep. selaku dosen pembimbing yang
telah memberikan pengetahuan, bimbingan, masukan, arahan, dukungan serta telah bersedia meluangkan waktunya yang sangat membantu penulis sehingga
2. Bapak Dr. Dedi Ardinata M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Erniyati, S.Kp, MNS sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara.
4. Ibu Mahnum L. Nasution, S.Kep, Ns., Bapak Dudut Tanjung, S.Kp, M.Kep. Sp.KMB dan Ibu Diah Arrum, S.Kep., Ns. selaku dosen pembimbing
akademik yang telah memberikan bimbingan selama penulis menjalani proses akademik di Fakultas Keperawatan USU.
5. Ibu Wardiyah Daulay S.Kep, Ns., M.Kep dan Ibu Nur Afi Darti S.Kp, M.Kep. selaku dosen penguji. Terima kasih atas masukan yang telah diberikan demi perbaikan skripsi ini.
6. Seluruh dosen dan staf pengajar serta civitas akademika Fakultas Keperawatan USU yang telah memberikan bimbingan selama masa perkuliahan. Semoga
Allah membalas ilmu yang telah kalian berikan dengan keberkahan.
7. Teristimewa dan terkhusus kepada sahabat-sahabat yang paling kucintai, Riskina, Nuraidar, Dirayati, Fitri, Meli, Yuliana, Melinda, Dina, Sari, Fanry,
Indra, Rudi, Ari dan Yadi. Terimakasih atas kebersamaan, bantuan serta semangat yang tiada hentinya selalu kalian berikan.
8. Teman-teman dari stambuk 2007, Rahmi, Melati, Hafizhoh dan juga yang lainnya yang tidak bisa disebutkan namanya satu-persatu, terimakasih atas kebersamaan dan kerja samanya selama empat tahun ini.
9. Adik-adik tercinta dari stambuk 2009, Putri Purnama, Putri Mariati, Katri, Irma, Nisa, Sylvi, dan adik asuh Melisa. Terimakasih atas keceriaan, bantuan
10.Kepala Bidang Keperawatan, Kepala Ruangan Ruang Kamboja, dan seluruh
responden di RSJD Provsu Medan yang telah bersedia meluangkan waktu dan kesempatan untuk partisipasinya dalam penelitian ini.
11.Teman-teman dari Akper Haji Medan, Resti, Leni dan Sito yang telah memberikan bantuan selama proses penelitian di RSJD Provsu Medan.
Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang keperawatan dan bagi pihak-pihak yang membutuhkan serta penulis sangat mengharapkan adanya saran yang bersifat
membangun untuk perbaikan yang lebih baik di masa yang akan datang.
Medan, Juni 2011
Penulis
DAFTAR ISI
BAB 2. Tinjauan Pustaka 1. Isolasi Sosial 1.1 Definisi ... 7
1.2 Etiologi ... 8
1.2.1 Faktor Predisposisi ... 8
1.2.1.1 Faktor Perkembangan ... 8
1.2.1.2 Faktor Komunikasi Dalam Keluarga... 11
1.2.1.3 Faktor Sosial Budaya... 11
1.2.1.4 Faktor Biologis ... 11
1.2.2 Faktor Presipitasi... 12
1.2.2.1 Stresor Sosial Budaya... 12
1.2.2.2 Stresor Biokimia ... 12
1.2.2.3 Stresor Biologik dan lingkungan Sosial ... 13
1.2.2.4 Stresor Psikologis ... 13
1.3 Tanda dan Gejala ... 14
2. Ketidakmampuan Bersosialisasi ... ... 14
2.1 Gambaran Umum Individu yang Mengalami ... 17
2.2 Ciri Individu yang Mengalami Ketidakmampuan ... 18
2.3 Aspek-Aspek Ketidakmampuan Bersosialisai ... 18
2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Timbulnya ... 22
3. Terapi... 23
3.3.6 Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Sosialisasi... 27
3.3.8 Aktivitas dan Indikasi ... 28
3.3.9 Sesi-Sesi Dalam Pelaksanaan TAK Sosialisasi... 28
BAB 3. Kerangka Penelitian 1. Kerangka Konseptual ... 29
2. Definisi Operasional ... 30
3. Hipotesa ... 31
BAB 4. Metodologi Penelitian 1. Desain Penelitian ... 32
7. Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian ... 36
8. Pengumpulan Data... 37
9. Analisa Data ... 39
9.1 Analisa Univariat ... 39
9.2 Analisa Bivariat ... 39
BAB 5. Hasil dan Pembahasan 1. Hasil Penelitian ... 41
1.1 Karakteristik Demografi Responden ... 43
1.2 Kemampuan Sosialisasi Responden Pre TAKS ... 44
1.3 Kemampuan Sosialisasi Responden Post TAKS ... 44
1.4 Pengaruh TAKS terhadap Kemampuan Sosialisas ... 44
2. Pembahasan ... 46
2.1 Karakteristik Demorafi Responden ... 46
2.2 Kemampuan Sosialisasi Responden Pre TAKS ... 47
2.3 Kemampuan Sosialisasi Responden Post TAKS ... 47
2.4 Pengaruh TAKS terhadap Kemampuan Sosialisas ... 49
BAB 6. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan ... 52
2. Saran ... 53
2.1 Praktek Keperawatan di Rumah Sakit ... 53
2.2 Pendidikan Keperawatan ... 54
2.3 Penelitian Keperawatan... 54
Daftar Pustaka ... 56
Lampiran-Lampiran 1. Modul Pelaksanaan TAK Sosialisasi ... 59
2. Lembar Observasi TAKS ... 71
3. Lembar Persetujuan Menjadi Responden ... 74
4. Instrumen Penelitian ... 75
DAFTAR SKEMA
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Defenisi Operasional... 30 Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Umur Responden……... 43 Tabel 5.2
Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi Karakteristik Demografi Responden...
Distribusi Kemampuan Sosialisasi Responden Pre TAKS... 43
44 Tabel 5.4 Distribusi Kemampuan Sosialisasi Responden Post TAKS.. 44
Title : The Influence of Group Activity Therapy: Socialization to Social Skills of Patients with Social Isolation at Kamboja Room, North Sumatera Psychiatric Hospital Medan
Name of Student : Dewi Rahmadani Lubis N I M : 071101027
Faculty : Bachelor of Nursing (S.Kep) Year of Academic : 2010/2011
__________________________________________________________________ Abstract
One of the therapies used to overcome the social isolation is a group activities therapy: socialization. Purpose of this research is to determine the influence of group activity therapy socialization of social skills of social isolation of patients.This research design is pre-experimental kind of one group pretest-posttest design. The sample in this study amounted to 7 people. The sampling technique using a purposive sampling technique. Test results of paired t-test statistics showed that there was a significant effect on therapeutic activity against the social skills group socialization of social isolation of patients. The effect is shown by the p-value = 0.000 (p <0.005). Therapy group socialization activities recommended to be implemented routinely in hospitals by taking into account the homogeneity of the patient's age and give Strategy Meeting (SP) before the implementation of group activity therapy.
__________________________________________________________________ Key Word : Group Socialization Activities, Social Skills,Social Isolation
Judul : Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok: Sosialisasi terhadap Kemampuan Sosialisasi Pasien Isolasi Sosial di Ruang Kamboja Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan
Nama Mahasiswa : Dewi Rahmadani Lubis N I M : 071101027
Fakultas : Keperawatan USU Tahun Akademik : 2010/2011
__________________________________________________________________ Abstrak
Salah satu terapi yang digunakan untuk mengatasi isolasi sosial ialah terapi aktivitas kelompok: sosialisasi. Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui pengaruh terapi aktivitas kelompok sosialisasi terhadap kemampuan sosialisasi pasien isolasi sosial. Desain penelitian ini adalah pre eksperimen jenis one group pretest-posttest design. Sampel pada penelitian ini berjumlah 7 orang. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling. Hasil uji statistik paired t-test menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan pada terapi aktivitas kelompok sosialisasi terhadap kemampuan sosialisasi pasien isolasi sosial. Pengaruh tersebut ditunjukkan dengan nilai p = 0,000 (p < 0,005). Terapi aktivitas kelompok sosialisasi direkomendasikan untuk dilaksanakan di rumah sakit secara rutin dengan memperhatikan homogenitas umur pasien dan memberikan Strategi Pertemuan (SP) sebelum pelaksanaan terapi aktivitas kelompok.
__________________________________________________________________ Kata kunci: Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi, Kemampuan Sosialisasi,
Title : The Influence of Group Activity Therapy: Socialization to Social Skills of Patients with Social Isolation at Kamboja Room, North Sumatera Psychiatric Hospital Medan
Name of Student : Dewi Rahmadani Lubis N I M : 071101027
Faculty : Bachelor of Nursing (S.Kep) Year of Academic : 2010/2011
__________________________________________________________________ Abstract
One of the therapies used to overcome the social isolation is a group activities therapy: socialization. Purpose of this research is to determine the influence of group activity therapy socialization of social skills of social isolation of patients.This research design is pre-experimental kind of one group pretest-posttest design. The sample in this study amounted to 7 people. The sampling technique using a purposive sampling technique. Test results of paired t-test statistics showed that there was a significant effect on therapeutic activity against the social skills group socialization of social isolation of patients. The effect is shown by the p-value = 0.000 (p <0.005). Therapy group socialization activities recommended to be implemented routinely in hospitals by taking into account the homogeneity of the patient's age and give Strategy Meeting (SP) before the implementation of group activity therapy.
__________________________________________________________________ Key Word : Group Socialization Activities, Social Skills,Social Isolation
Judul : Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok: Sosialisasi terhadap Kemampuan Sosialisasi Pasien Isolasi Sosial di Ruang Kamboja Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan
Nama Mahasiswa : Dewi Rahmadani Lubis N I M : 071101027
Fakultas : Keperawatan USU Tahun Akademik : 2010/2011
__________________________________________________________________ Abstrak
Salah satu terapi yang digunakan untuk mengatasi isolasi sosial ialah terapi aktivitas kelompok: sosialisasi. Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui pengaruh terapi aktivitas kelompok sosialisasi terhadap kemampuan sosialisasi pasien isolasi sosial. Desain penelitian ini adalah pre eksperimen jenis one group pretest-posttest design. Sampel pada penelitian ini berjumlah 7 orang. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling. Hasil uji statistik paired t-test menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan pada terapi aktivitas kelompok sosialisasi terhadap kemampuan sosialisasi pasien isolasi sosial. Pengaruh tersebut ditunjukkan dengan nilai p = 0,000 (p < 0,005). Terapi aktivitas kelompok sosialisasi direkomendasikan untuk dilaksanakan di rumah sakit secara rutin dengan memperhatikan homogenitas umur pasien dan memberikan Strategi Pertemuan (SP) sebelum pelaksanaan terapi aktivitas kelompok.
__________________________________________________________________ Kata kunci: Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi, Kemampuan Sosialisasi,
BAB 1 PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Gangguan kejiwaan atau skizofrenia adalah suatu gangguan psikosis
fungsional berupa gangguan mental berulang yang ditandai dengan gejala-gejala psikotik yang khas seperti kemunduran fungsi sosial, fungsi kerja, dan perawatan
diri. Skizofrenia Tipe I ditandai dengan menonjolnya gejala-gejala positif seperti halusinasi, delusi, dan asosiasi longgar, sedangkan pada Skizofrenia Tipe II ditemukan gejala-gejala negatif seperti penarikan diri, apatis, dan perawatan diri
yang buruk (Forum Sains Indonesia, 2010).
Salah satu tanda dan gejala dari klien yang mengalami skizofrenia ialah
terjadinya kemunduran sosial. Kemunduran sosial tersebut terjadi apabila seseorang mengalami ketidakmampuan ataupun kegagalan dalam menyesuaikan diri (maladaptif) terhadap lingkungannya, seseorang tersebut tidak mampu
berhubungan dengan orang lain atau kelompok lain secara baik, sehingga menimbulkan gangguan kejiwaan yang mengakibatkan timbulnya perilaku
maladaptif terhadap lingkungan di sekitarnya.
Kemunduran fungsi sosial yang dialami seseorang di dalam diagnosa keperawatan jiwa disebut isolasi sosial. Isolasi sosial adalah keadaan dimana
sosial memiliki kemampuan sosialisasi yang rendah karena sifatnya yang selalu
menarik diri dari lingkungannya.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Medical Record Rumah Sakit Jiwa
Daerah Provsu Medan, diketahui pasien yang mengalami gangguan jiwa yang menjalani rawat jalan pada tahun 2009 berjumlah 12.377 pasien dan yang mengalami skizofrenia paranoid berjumlah 9.532 pasien. Sedangkan pasien yang
menjalani rawat inap berjumlah 1.929 pasien dan yang mengalami skizofrenia paranoid berjumlah 1.581 pasien. Dan berdasarkan hasil survey awal peneliti di
Ruang Kamboja Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan, pasien yang mengalami isolasi sosial sebanyak 54% dari seluruh pasien yang ada di ruangan tersebut.
Upaya yang dapat dilakukan dalam peningkatan kesehatan kejiwaan seseorang dapat dilakukan melalui pendekatan secara promotif, preventif dan
rehabilitatif. Upaya rehabilitatif untuk meningkatkan kemampuan sosialisasi pada pasien yang mengalami isolasi sosial dapat dilakukan dengan berbagai terapi keperawatan jiwa, diantaranya dengan melakukan terapi modalitas yang terdiri
dari terapi individu maupun terapi kelompok. Namun terapi yang dapat meningkatkan kemampuan sosialisasi pada pasien isolasi sosial ialah dengan
terapi aktivitas kelompok (TAK) yang merupakan salah satu terapi modalitas dalam bentuk terapi kelompok yang ditujukan untuk mengatasi klien dengan masalah yang sama. TAK merupakan salah satu cara yang digunakan untuk
meningkatkan kemampuan sosialisasi pasien sehingga diharapkan pasien dapat kembali bersosialisasi di masyarakat. TAK dibagi ke dalam empat jenis, yaitu
Orientasi Realitas. Jenis TAK yang paling tepat digunakan untuk meningkatkan
kemampuan sosialisasi pasien isolasi sosial adalah TAK Sosialisasi (TAKS). TAKS adalah upaya memfasilitasi sosialisasi sejumlah klien dengan perilaku
menarik diri secara kelompok (Keliat, 2005).
Pengaruh TAK pernah diteliti sebelumnya terhadap peningkatan harga diri, komunikasi maupun penurunan perilaku menarik diri, depresi dan halusinasi
pada pasien. Hasil penelitian mengenai pengaruh TAK terhadap peningkatan harga diri pada pasien menarik diri di RS. Jiwa DR. Radjiman Wediodiningrat
Lawang, menunjukkan adanya penurunan tanda gejala harga diri rendah setelah dilakukan TAK (Widowati, dkk. 2010). Penelitian Rusjini (2007) dengan judul “Pengaruh Konseling dan TAK terhadap Perubahan Psikososial pada Wanita
Dewasa Pasca Gempa di Desa Wonokersono, Pleret, Bantul, Yogyakarta menunjukkan bahwa konseling dan TAK berpengaruh terhadap psikososial pada
wanita dewasa pasca gempa.
Penelitian mengenai TAKS oleh Purnomo (2008) dengan judul “ Pengaruh TAKS terhadap Perubahan Perilaku Pasien Menarik Diri di Rumah
Sakit Jiwa Daerah Surakarta” menunjukkan adanya perubahan perilaku menarik diri klien. Penelitian Susilowati (2009) mengenai Pengaruh TAKS terhadap
tingkat depresi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta menunjukkan adanya pengaruh TAK Sosialisasi terhadap penurunan tingkat depresi pada klien di Rumah Sakit tersebut. Pengaruh TAKS terhadap kemampuan komunikasi pasien
isolasi sosial di RSJD Provsu Medan telah diteliti oleh Pasaribu (2008) dan menunjukkan adanya peningkatan kemampuan komunikasi pasien isolasi sosial
Walaupun penelitian mengenai TAK telah terbukti banyak memberikan
manfaat dalam mengatasi berbagai masalah gangguan jiwa, namun TAK masih sangat jarang dilakukan di rumah sakit jiwa. Menurut hasil penelitian yang
dilakukan Keliat (1997 dikutip dari Keliat, 2005) tentang pelaksanaan TAK, TAK masih jarang dilakukan karena kemampuan perawat dalam menjalankan kegiatan TAK belum memadai, pedoman pelaksanaan dan perawatan yang mewajibkan
pelaksanaan TAK di Rumah Sakit juga belum ada. Selain itu referensi yang menjelaskan model TAK, faktor-faktor yang mempengaruhi dan dampak TAK
terhadap klien belum diketahui secara jelas di Indonesia. Dari uraian di atas, maka dipandang perlu untuk dilakukan penelitian untuk mengetahui sejauh mana pengaruh TAK terhadap kemampuan sosialisasi pasien isolasi sosial dan dapat
membuktikan bahwa terapi ini bermanfaat bagi klien.
Berdasarkan pemaparan diatas, penulis merasa tertarik untuk mengetahui
bagaimana pengaruk TAKS terhadap kemampuan sosialisasi pada pasien yang mengalami isolasi sosial.
2. Pertanyaan Penelitian
Bagaimana pengaruh terapi aktivitas kelompok sosialisasi terhadap
kemampuan bersosialisasi pasien isolasi sosial di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan?
3. Tujuan Penelitian 3.1 Tujuan Umum
Adapun tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui pengaruh terapi
aktivitas kelompok sosialisasi terhadap kemampuan sosialisasi pasien isolasi sosial di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan.
3.2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui karakteristik pasien isolasi sosial di Ruang Kamboja Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan.
b. Mengetahui kemampuan sosialisasi pasien isolasi sosial di Ruang Kamboja Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan sebelum diberikan intervensi TAKS.
c. Mengetahui kemampuan sosialisasi pasien isolasi sosial di Ruang Kamboja Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan setelah diberikan intervensi TAKS.
4. Manfaat Penelitian
4.1 Bagi Praktek Keperawatan
Hasil penelitian ini telah dapat digunakan sebagai bahan masukan dan informasi bagi perawat mengenai pentingnya manfaat terapi aktivitas kelompok
4.2 Bagi Pendidikan Keperawatan
Sebagai bahan masukan untuk pengembangan ilmu keperawatan, khususnya ilmu keperawatan jiwa, sehingga dapat meningkatkan mutu asuhan
keperawatan jiwa selanjutnya.
4.3 Bagi Penelitian Keperawatan
Penelitian ini telah dapat dijadikan masukan ataupun panduan bagi
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1. Isolasi Sosial 1.1 Definisi
Isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang individu mengalami
penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak
mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Purba, dkk. 2008). Berikut beberapa pengertian isolasi sosial yang dikutip dari Pasaribu (2008). Menurut Townsend, isolasi sosial merupakan keadaan kesepian yang
dialami oleh seseorang karena orang lain dianggap menyatakan sikap negatif dan mengancam bagi dirinya. Kelainan interaksi sosial adalah suatu keadaan dimana
seorang individu berpartisipasi dalam suatu kuantitas yang tidak cukup atau berlebih atau kualitas interaksi sosial tidak efektif. Menurut Depkes RI penarikan diri atau withdrawal merupakan suatu tindakan melepaskan diri, baik perhatian
maupun minatnya terhadap lingkungan sosial secara langsung yang dapat bersifat sementara atau menetap. Menurut Carpenito, Isolasi sosial merupakan keadaan di
mana individu atau kelompok mengalami atau merasakan kebutuhan atau keinginan untuk meningkatkan keterlibatan dengan orang lain tetapi tidak mampu untuk membuat kontak. Menurut Rawlins & Heacock, isolasi sosial atau menarik
diri merupakan usaha menghindar dari interaksi dan berhubungan dengan orang lain, individu merasa kehilangan hubungan akrab, tidak mempunyai kesempatan
Menurut Dalami, dkk. (2009), isolasi sosial adalah gangguan dalam
berhubungan yang merupakan mekanisme individu terhadap sesuatu yang mengancam dirinya dengan cara menghindari interaksi dengan orang lain dan
lingkungan. 1.2 Etiologi
Berbagai faktor dapat menimbulkan respon yang maladaptif. Menurut
Stuart & Sundeen (1998), belum ada suatu kesimpulan yang spesifik tentang penyebab gangguan yang mempengaruhi hubungan interpersonal. Faktor yang
mungkin mempengaruhi antara lain yaitu: 1.2.1 Faktor Predisposisi
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan isolasi sosial adalah:
1.2.1.1Faktor Perkembangan
Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui individu
dengan sukses, karena apabila tugas perkembangan ini tidak dapat dipenuhi, akan menghambat masa perkembangan selanjutnya. Keluarga adalah tempat pertama yang memberikan pengalaman bagi individu dalam menjalin hubungan dengan
orang lain. Kurangnya stimulasi, kasih sayang, perhatian dan kehangatan dari ibu/pengasuh pada bayi bayi akan memberikan rasa tidak aman yang dapat
menghambat terbentuknya rasa percaya diri. Rasa ketidakpercayaan tersebut dapat mengembangkan tingkah laku curiga pada orang lain maupun lingkungan di kemudian hari. Komunikasi yang hangat sangat penting dalam masa ini, agar anak
tidak mersaa diperlakukan sebagai objek.
Menurut Purba, dkk. (2008) tahap-tahap perkembangan individu dalam
a. Masa Bayi
Bayi sepenuhnya tergantung pada orang lain untuk memenuhi kebutuhan biologis maupun psikologisnya. Konsistensi hubungan antara ibu dan anak,
akan menghasilkan rasa aman dan rasa percaya yang mendasar. Hal ini sangat penting karena akan mempengaruhi hubungannya dengan lingkungan di kemudian hari. Bayi yang mengalami hambatan dalam mengembangkan rasa
percaya pada masa ini akan mengalami kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain pada masa berikutnya.
b. Masa Kanak-Kanak
Anak mulai mengembangkan dirinya sebagai individu yang mandiri, mulai mengenal lingkungannya lebih luas, anak mulai membina hubungan
dengan teman-temannya. Konflik terjadi apabila tingkah lakunya dibatasi atau terlalu dikontrol, hal ini dapat membuat anak frustasi. Kasih sayang yang tulus,
aturan yang konsisten dan adanya komunikasi terbuka dalam keluarga dapat menstimulus anak tumbuh menjadi individu yang interdependen, Orang tua harus dapat memberikan pengarahan terhadap tingkah laku yang diadopsi dari
dirinya, maupun sistem nilai yang harus diterapkan pada anak, karena pada saat ini anak mulai masuk sekolah dimana ia harus belajar cara berhubungan,
berkompetensi dan berkompromi dengan orang lain. c. Masa Praremaja dan Remaja
Pada praremaja individu mengembangkan hubungan yang intim dengan
teman sejenis, yang mana hubungan ini akan mempengaruhi individu untuk mengenal dan mempelajari perbedaan nilai-nilai yang ada di masyarakat.
hubungan intim dengan lawan jenis. Pada masa ini hubungan individu dengan
kelompok maupun teman lebih berarti daripada hubungannya dengan orang tua. Konflik akan terjadi apabila remaja tidak dapat mempertahankan
keseimbangan hubungan tersebut, yang seringkali menimbulkan perasaan tertekan maupun tergantung pada remaja.
d. Masa Dewasa Muda
Individu meningkatkan kemandiriannya serta mempertahankan hubungan interdependen antara teman sebaya maupun orang tua. Kematangan ditandai
dengan kemampuan mengekspresikan perasaan pada orang lain dan menerima perasaan orang lain serta peka terhadap kebutuhan orang lain. Individu siap untuk membentuk suatu kehidupan baru dengan menikah dan mempunyai
pekerjaan. Karakteristik hubungan interpersonal pada dewasa muda adalah saling memberi dan menerima (mutuality).
e. Masa Dewasa Tengah
Individu mulai terpisah dengan anak-anaknya, ketergantungan anak-anak terhadap dirinya menurun. Kesempatan ini dapat digunakan individu untuk
mengembangkan aktivitas baru yang dapat meningkatkan pertumbuhan diri. Kebahagiaan akan dapat diperoleh dengan tetap mempertahankan hubungan
yang interdependen antara orang tua dengan anak. f. Masa Dewasa Akhir
Individu akan mengalami berbagai kehilangan baik kehilangan keadaan
akan meningkat, namun kemandirian yang masih dimiliki harus dapat
dipertahankan.
1.2.1.2 Faktor Komunikasi Dalam Keluarga
Masalah komunikasi dalam keluarga dapat menjadi kontribusi untuk mengembangkan gangguan tingkah laku.
a. Sikap bermusuhan/hostilitas
b. Sikap mengancam, merendahkan dan menjelek-jelekkan anak
c. Selalu mengkritik, menyalahkan, anak tidak diberi kesempatan untuk
mengungkapkan pendapatnya.
d. Kurang kehangatan, kurang memperhatikan ketertarikan pada pembicaananak, hubungan yang kaku antara anggota keluarga, kurang tegur sapa, komunikasi
kurang terbuka, terutama dalam pemecahan masalah tidak diselesaikan secara terbuka dengan musyawarah.
e. Ekspresi emosi yang tinggi
f. Double bind (dua pesan yang bertentangan disampaikan saat bersamaan yang membuat bingung dan kecemasannya meningkat)
1.2.1.3Faktor Sosial Budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan faktor
pendukung terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga disebabkan oleh karena norma-norma yang salah yang dianut oleh satu keluarga.seperti anggota tidak produktif diasingkan dari lingkungan sosial.
1.2.1.4 Faktor Biologis
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa. Insiden
menderita skizofrenia. Berdasarkan hasil penelitian pada kembar monozigot
apabila salah diantaranya menderita skizofrenia adalah 58%, sedangkan bagi kembar dizigot persentasenya 8%.
Kelainan pada struktur otak seperti atropi, pembesaran ventrikel, penurunan berat dan volume otak serta perubahan struktur limbik, diduga dapat menyebabkan skizofrenia.
1.2.2 Faktor Presipitasi
Stresor presipitasi terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh
faktor internal maupun eksternal, meliputi: 1.2.2.1 Stresor Sosial Budaya
Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan,
terjadinya penurunan stabilitas keluarga seperti perceraian, berpisah dengan orang yang dicintai, kehilangan pasangan pada usia tua, kesepian karena ditinggal jauh,
dirawat dirumah sakit atau dipenjara. Semua ini dapat menimbulkan isolasi sosial. 1.2.2.2 Stresor Biokimia
a. Teori dopamine: Kelebihan dopamin pada mesokortikal dan mesolimbik serta
tractus saraf dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia.
b. Menurunnya MAO (Mono Amino Oksidasi) didalam darah akan meningkatkan
dopamin dalam otak. Karena salah satu kegiatan MAO adalah sebagai enzim yang menurunkan dopamin, maka menurunnya MAO juga dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia.
oleh dopamin. Hypertiroidisme, adanya peningkatan maupun penurunan
hormon adrenocortical seringkali dikaitkan dengan tingkah laku psikotik. d. Viral hipotesis: Beberapa jenis virus dapat menyebabkan gejala-gejala psikotik
diantaranya adalah virus HIV yang dapat merubah stuktur sel-sel otak. 1.2.2.3 Stresor Biologik dan Lingkungan Sosial
Beberapa peneliti membuktikan bahwa kasus skizofrenia sering terjadi
akibat interaksi antara individu, lingkungan maupun biologis.
1.2.2.4 Stresor Psikologis
Kecemasan yang tinggi akan menyebabkan menurunnya kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain. Intesitas kecemasan yang ekstrim dan memanjang disertai terbatasnya kemampuan individu untuk mengatasi
masalah akan menimbulkan berbagai masalah gangguan berhubungan pada tipe psikotik.
Menurut teori psikoanalisa; perilaku skizofrenia disebabkan karena ego tidak dapat menahan tekanan yang berasal dari id maupun realitas yang berasal dari luar. Ego pada klien psikotik mempunyai kemampuan terbatas untuk
mengatasi stress. Hal ini berkaitan dengan adanya masalah serius antara hubungan ibu dan anak pada fase simbiotik sehingga perkembangan psikologis individu
terhambat.
Menurut Purba, dkk. (2008) strategi koping digunakan pasien sebagai usaha mengatasi kecemasan yang merupakan suatu kesepian nyata yang
a. Tingkah laku curiga: proyeksi
b. Dependency: reaksi formasi
c. Menarik diri: regrasi, depresi, dan isolasi
d. Curiga, waham, halusinasi: proyeksi, denial e. Manipulatif: regrasi, represi, isolasi
f. Skizoprenia: displacement, projeksi, intrijeksi, kondensasi, isolasi, represi dan
regrasi.
1.3 Tanda dan Gejala
Menurut Purba, dkk. (2008) tanda dan gejala isolasi sosial yang dapat ditemukan dengan wawancara, adalah:
a. Pasien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain
b. Pasien merasa tidak aman berada dengan orang lain
c. Pasien mengatakan tidak ada hubungan yang berarti dengan orang lain
d. Pasien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu e. Pasien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan f. Pasien merasa tidak berguna
g. Pasien tidak yakin dapat melangsungkan hidup
2. Ketidakmampuan Bersosialisasi
Menurut World Health Organization (WHO, 1989) ketidakmampuan bersosialisasi (social disability) adalah ketidakmampuan individu dalam
melakukan hubungan sosial secara sehat dengan orang-orang di sekitarnya. Karena ketidakmampuan mereka untuk bersosialisasi, beberapa individu memiliki
untuk melakukan semua aktivitas seperti yang dilakukan oleh individu normal
yang ada di sekitarnya (Purba, 2009)
Menurut Kuntjoro (1998 dikutip dari Purba, 2009) menjelaskan bahwa
kemunduran sosial atau ketidakmampuan bersosialisasi adalah ketidakmampuan individu untuk bersikap dan bertingkah laku yang dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Individu yang dalam kehidupannya menuruti kemauan sendiri tanpa
mengidentifikasikan norma sosial dan mengganggu lingkungan dianggap tidak terampil secara sosial atau disebut mengalami ketidakmampuan bersosialisasi atau
kemunduran sosial. Individu hidup dalam dunianya sendiri (autistik) yang tidak dapat dimengerti dan tidak dapat diterima oleh orang lain. Hal ini berarti pula individu tidak mengindahkan tuntutan lingkungan sosialnya atau tidak mampu
menyesuaikan diri yang selanjutnya oleh WHO disebut sebagai cacat psikososial (psychosocial disability).
Pengertian yang lebih rinci mengenai ketidakmampuan bersosialisasi diungkapkan oleh Direktorat Kesehatan Jiwa, yaitu suatu keadaan di mana individu bertingkah laku yang tidak lazim, kacau atau secara sosial tidak dapat
diterima atau tidak pantas muncul. Tingkah laku yang tidak lazim adalah tingkah laku yang diperlihatkan oleh pasien yang sifatnya tidak biasa, aneh dan
kadang-kadang tidak dapat diterima oleh masyarakat. Namun perlu diperhatikan pula bahwa gaya hidup individu berbeda dari gaya hidup orang lain, terutama jika ia berasal dari suku atau masyarakat kebudayaan tertentu (Purba, 2009).
Menurut Purba (2009) di Indonesia istilah cacat mempunyai arti dari ketiga keadaan berikut: impairment, disabilities dan handicap, karena sangat
penggunaan definisi-definisi yang ditetapkan oleh WHO tahun 1989 dengan
maksud untuk memudahkan kepentingan komunikasi. Istilah-istilah tersebut didefinisikan sebagai berikut:
a. Impairment
Impairment adalah hilangnya atau adanya kelainan (abnormalitas) dari
pada struktur atau fungsi yang bersifat psikologik, fisiologik atau anatomik.
Cacat dapat bersifat sementara (temporer) ataupun menetap (permanen). Termasuk di sini apa saja yang biasa disebut dengan anomali defect yang
terjadi pada anggota gerak, organ, jaringan atau struktur tubuh, termasuk sistem fungsi mental. Kondisi cacat merupakan eksteriorasi keadaan patologik yang prinsipnya mencerminkan gangguan kesehatan yang terjadi pada tingkat
organ.
b. Disabilities (disability)
Disability merupakan keterbatasan atau kurangnya kemampuan (akibat
dari adanya cacat) untuk melakukan kegiatan dalam batas-batas dan cara yang dianggap normal bagi manusia. Kondisi ini dapat bersifat sementara, menetap
dan membaik atau memburuk. Dapat timbul sebagai akibat langsung adanya cacat atau secara tak langsung sebagai reaksi individu, khususnya secara
psikologik pada cacat fisik dan sensorik. c. Handicap
Handicap adalah kemunduran pada seseorang akibat adanya cacat atau
disabilitas yang membatasi atau mencegahnya untuk dapat berperan normal bagi individu (sesuai umur, sex dan faktor sosial budaya). Kondisi ini ditandai
harapannya atau kelompoknya. Handicap merupakan sosialisasi dari pada
cacat atau disabilitas dan mencerminkan konsekuensi bagi individu dalam budaya, sosial, ekonomi dan lingkungannya yang berpangkal pada adanya
cacat dan disabilitas.
2.1 Gambaran Umum Individu yang Mengalami Ketidakmampuan Bersosialisasi
Individu yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi digambarkan oleh WHO pada tahun 1989, bahwa angka rata-rata kematian diantara individu
yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi lebih banyak dibanding individu yang normal. Seringkali kekurangan perhatian dalam sosialisasi tentang faktor lingkungan dapat menyebabkan dan menggandakan ketidakmampuan
bersosialisasi. Individu yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi tidak memiliki kunci masuk kedalam kelompok masyarakat dan kesempatan untuk
bersama-sama dengan masyarakat lain, seperti lembaga kesehatan, sekolah dan institusi pendidikan, program pelatihan keahlian, program pelatihan kerja dan pekerjaan (Purba, 2009).
Di beberapa negara, wanita dewasa yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi dapat ditolak suami dan diasingkan oleh anak-anaknya, bahkan
individu dewasa yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi hanya mempunyai pendidikan yang rendah dibandingkan individu dewasa yang normal. Pemisahan secara sosial terhadap individu yang mengalami ketidakmampuan
bersosialisasi semakin memperburuk keadaannya. Di kebanyakan lingkungan masyarakat individu yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi dipisahkan
setempat. Sikap negatif dan perilaku yang mendiskriminasikan individu yang
mengalami ketidakmampuan bersosialisasi dianggap sebagai suatu keharusan (Purba, 2009).
2.2 Ciri Individu yang Mengalami Ketidakmampuan Bersosialisasi
WHO tahun 1989 menetapkan bahwa individu mengalami ketidakmampuan bersosialisasi jika ia tidak dapat melakukan aktivitas yang
biasanya dapat dilakukan oleh individu normal berupa: tidak dapat makan dan minum sendiri, tidak bisa menjaga kebersihan diri, tidak mampu memakai pakaian
sendiri, tidak mengerti instruksi yang mudah/simpel, tidak mampu atau merasa sulit dalam mengekspresikan kebutuhan, pikiran dan perasaannya, tidak mengerti gerakan dan tanda-tanda untuk komunikasi, tidak mampu menggunakan
gerakan-gerakan dan tanda-tanda untuk komunikasi yang dimengerti oleh individu lain, tidak dapat berkomunikasi dengan berbicara dan menggunakan bahasa dengan
individu lain di sekelilingnya, tidak ikut bergabung dalam aktivitas keluarga, tidak turut melakukan aktivitas dalam masyarakat, tidak mempunyai pekerjaan dan tidak mempunyai penghasilan yang memadai untuk membiayai kebutuhan hidup
sehari-hari, kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari dalam rumah tangga (Purba, 2009).
2.3 Aspek-Aspek Ketidakmampuan Bersosialisasi
Menurut Kuntjoro (1989 dikutip dari Purba, 2009), aktivitas pasien yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi secara garis besar dapat dibedakan
a. Activity Daily Living (ADL)
Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang meliputi:
1) Bangun tidur, yaitu semua tingkah laku/perbuatan pasien sewaktu bangun tidur.
2) Buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK), yaitu semua bentuk
tingkah laku/perbuatan yang berhubungan dengan BAB dan BAK.
3) Waktu mandi, yaitu tingkah laku sewaktu akan mandi, dalam kegiatan
mandi dan sesudah mandi.
4) Ganti pakaian, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan keperluan berganti pakaian.
5) Makan dan minum, yaitu tingkah laku yang dilakukan pada waktu, sedang dan setelah makan dan minum.
6) Menjaga kebersihan diri, yaitu perbuatan yang berhubungan dengan kebutuhan kebersihan diri, baik yang berhubungan dengan kebersihan pakaian, badan, rambut, kuku dan lain-lain.
7) Menjaga keselamatan diri, yaitu sejauhmana pasien mengerti dan dapat menjaga keselamatan dirinya sendiri, seperti, tidak menggunakan/menaruh
benda tajam sembarangan, tidak merokok sambil tiduran, memanjat ditempat yang berbahaya tanpa tujuan yang positif.
8) Pergi tidur, yaitu perbuatan yang mengiringi seorang pasien untuk pergi
gangguan jiwa. Dalam hal ini yang dinilai bukan gejala insomnia (gangguan
tidur) tetapi bagaimana pasien mau mengawali tidurnya. b. Tingkah laku sosial
Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan kebutuhan sosial pasien dalam kehidupan bermasyarakat yang meliputi:
1) Kontak sosial terhadap teman, yaitu tingkah laku pasien untuk melakukan
hubungan sosial dengan sesama pasien, misalnya menegur kawannya, berbicara dengan kawannya dan sebagainya.
2) Kontak sosial terhadap petugas, yaitu tingkah laku pasien untuk melakukan hubungan sosial dengan petugas seperti tegur sapa, menjawab pertanyaan waktu ditanya, bertanya jika ada kesulitan dan sebagainya.
3) Kontak mata waktu berbicara, yaitu sikap pasien sewaktu berbicara dengan orang lain seperti memperhatikan dan saling menatap sebagai tanda adanya
kesungguhan dalam berkomunikasi.
4) Bergaul, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan kemampuan bergaul dengan orang lain secara kelompok (lebih dari dua orang).
5) Mematuhi tata tertib, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan ketertiban yang harus dipatuhi dalam perawatan rumah sakit.
6) Sopan santun, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan tata krama atau sopan santun terhadap kawannya dan petugas maupun orang lain.
7) Menjaga kebersihan lingkungan, yaitu tingkah laku pasien yang bersifat
mengendalikan diri untuk tidak mengotori lingkungannya, seperti tidak meludah sembarangan, tidak membuang puntung rokok sembarangan dan
c. Tingkah laku okupasional
Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan kegiatan seseorang untuk melakukan pekerjaan, hobby dan rekreasi sebagai salah satu kebutuhan
kehidupannya yang meliputi:
1) Tertarik pada kegiatan/pekerjaan, yaitu timbulnya rasa tertarik untuk berbuat sesuatu, baik berupa pekerjaan, hobi dan rekreasi, seperti menyapu,
membantu orang lain, bermain, menonton dan sebagainya.
2) Bersedia melakukan kegiatan/pekerjaan, yaitu bentuk kegiatan yang
dilakukan pasien untuk bekerja, berekreasi, melaksanakan hobi atau melakukan kegiatan positif lainnya, seperti sembahyang dan membaca. 3) Aktif/rajin melakukan kegiatan atau pekerjaan, yaitu tingkah laku pasien
yang bersedia melakukan kegiatan dengan menunjukkan keaktifan/kerajinannya.
4) Produktif dalam melakukan kegiatan, yaitu adanya hasil perbuatan yang dapat diamati/observasi, baik kualitas maupun kuantitasnya.
5) Terampil dalam melakukan kegiatan/pekerjaan, yaitu sejauhmana pasien
memiliki kemampuan, kecakapan dan keterampilan dalam melakukan tindakannya (wajar, tidak kaku, enak dilihat orang sehingga tidak
menimbulkan rasa khawatir bagi petugas/orang lain).
6) Menghargai hasil pekerjaan dan milik pribadi, yaitu tingkah laku pasien untuk menghargai (punya tenggang rasa) terhadap hasil pekerjaannya
sendiri dan hasil pekerjaan orang lain.
7) Bersedia menerima perintah, larangan dan kritik, yaitu sikap dan perbuatan
perbuatan tersebut berupa reaksi pasien bila diperintah/disuruh,
dilarang/dikritik, reaksi tersebut dapat lambat, cepat, menolak, tak mengindahkan dan sebagainya.
2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Ketidakmampuan Bersosialisasi pada Pasien Skizofrenia
Birchwood (1987, dikutip dari Purba, 2009) membuktikan bahwa
munculnya gejala-gejala kekambuhan dan ketidakmampuan adaptasi sosial pada penderita skizofrenia adalah berhubungan dengan cara dan efektivitas keluarga
dalam mengatasi permasalahan, hilangnya kohesi dalam keluarga, cara mengambil keputusan yang tidak konsisten dan beban keluarga yang dirasa berlebihan. Liberman (1989) menambahkan bahwa yang mengakibatkan makin
buruknya ketidakmampuan bersosialisasi diantara penderita skizofrenia adalah jumlah dan bentuk stressor dalam kehidupan, ketidakmampuan menyelesaikan
masalah dan dukungan sosial yang kurang.
Penelitian Klerman pada tahun 1971 menggambarkan bahwa timbulnya social functioning impairment diakibatkan oleh tingkah laku simptomatik yang
dialami oleh penderita skozofrenia tersebut. Weissman dan Bothwell pada tahun 1976 melanjutkan penelitian tersebut dan menambahkan bahwa semakin buruk
simptomatik psikiatriknya akan semakin buruk juga social functioning (Purba, 2009).
Direktorat Kesehatan Jiwa (1997, dikutip dari Purba, 2009) menyatakan
ketidakmampuan bersosialisasi yang diderita oleh penderita skizofrenia. Hal ini
disebabkan oleh bermacam faktor, diantaranya adalah:
a. Sebagian masyarakat percaya kecacatan akibat hukuman Tuhan, pengaruh
makhluk halus dan akibat berhubungan dengan penderita skizofrenia, karenanya keluarga dan masyarakat menempatkan penderita di rumah. Kondisi ini akan mengakibatkan penderita mempunyai perasaan bahwa kedudukannya
dalam keluarga kurang penting dibandingkan lainnya.
b. Akibat gangguan yang dideritanya beberapa penderita skizofrenia terlihat
berbeda dalam penampilan, cara berbicara dan tingkah lakunya, sehingga keluarga dan masyarakat sering mempunyai pendapat bahwa penderita skizofrenia berbeda dengan mereka.
c. Anak-anak atau orang dewasa terkadang tidak memperhatikan apa yang dikatakan penderita atau menertawakan kesulitan penderita. Mereka
memandang penderita kurang penting dibandingkan masyarakat lain.
d. Keluarga dan masyarakat yang menetawarkan penderita skozofrenia karena mereka tidak mengerti penderita skizofrenia dan tidak mengetahui mengenai
kecacatan dan penyebabnya.
3. Terapi
3.1 Terapi Psikofarmaka 3.1.1 Clorpromazine
Mengatasi sindrom psikis yaitu berdaya berat dalam kemampuan menilai realitas, kesadaran diri terganggu, daya ingat norma sosial dan tilik diri terganggu,
dan perilaku yang aneh atau tidak terkendali, berdaya berat dalam fungsi
kehidupan sehari-hari, tidak mampu bekerja, berhubungan sosial dan melakukan kegiatan rutin. Mempunyai efek samping gangguan otonomi (hypotensi)
antikolinergik/parasimpatik, mulut kering, kesulitan dalam miksi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intra okuler meninggi, gangguan irama jantung. Gangguan ekstra pyramidal (distonia akut, akathsia sindrom parkinson).
Gangguan endoktrin (amenorhe). Metabolic (Soundiee). Hematologik, agranulosis. Biasanya untuk pemakaian jangka panjang. Kontraindikasi terhadap
penyakit hati, penyakit darah, epilepsy, kelainan jantung (Andrey, 2010). 3.1.2 Haloperidol (HLP)
Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam fungsi mental
serta dalam fungsi kehidupan sehari-hari. Memiliki efek samping seperti gangguan miksi dan parasimpatik, defeksi, hidung tersumbat mata kabur , tekanan
infra meninggi, gangguan irama jantung. Kontraindikasi terhadap penyakit hati, penyakit darah, epilepsy, kelainan jantung (Andrey, 2010).
3.1.3 Trihexyphenidil ( THP )
Segala jenis penyakit Parkinson, termasuk pasca ensepalitis dan idiopatik, sindrom Parkinson akibat obat misalnya reserpina dan fenotiazine.
Memiliki efek samping diantaranya mulut kering, penglihatan kabur, pusing, mual, muntah, bingung, agitasi, konstipasi, takikardia, dilatasi, ginjal, retensi urine. Kontraindikasi terhadap hypersensitive Trihexyphenidil (THP), glaukoma
3.2 Terapi Individu
Terapi individu pada pasien dengan masalah isolasi sosial dapat diberikan strategi pertemuan (SP) yang terdiri dari tiga SP dengan masing-masing
strategi pertemuan yang berbeda-beda. Pada SP satu, perawat mengidentifikasi penyebab isolasi social, berdiskusi dengan pasien mengenai keuntungan dan kerugian apabila berinteraksi dan tidak berinteraksi dengan orang lain,
mengajarkan cara berkenalan, dan memasukkan kegiatan latihan berbiincang-bincang dengan orang lain ke dalam kegiatan harian. Pada SP dua, perawat
mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien, memberi kesempatan pada pasien mempraktekkan cara berkenalan dengan satu orang, dan membantu pasien memasukkan kegiatan berbincang-bincang dengan orang lain sebagai salah satu
kegiatan harian. Pada SP tiga, perawat mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien, memberi kesempatan untuk berkenalan dengan dua orang atau lebih dan
menganjurkan pasien memasukkan ke dalam jadwal kegiatan hariannya (Purba, dkk. 2008)
3.3 Terapi Kelompok 3.3.1 Definisi
Kelompok adalah kumpulan individu yang memiliki hubungan satu
dengan yang lain, saling bergantung dan mempunyai norma yang sama (Stuart & Laraia, 2001 dikutip dari Keliat, 2005). Terapi kelompok adalah terapi psikologi yang dilakukan secara kelompok untuk memberikan stimulasi bagi pasien dengan
kegiatan untuk menyelesaikan masalah dan mengubah perilaku
maladaptif/destruktif menjadi adaptif/ konstruksi (Keliat, 2005).
3.3.2 Tujuan dan Fungsi Kelompok
Tujuan kelompok adalah membantu anggotanya berhubungan dengan orang lain serta mengubah perilaku yang destruktif dan maladaptif. Kelompok berfungsi sebagai tempat berbagi pengalaman dan saling membantu satu sama
lain, untuk menemukan cara menyelesaikan masalah (Keliat, 2005).
3.3.3 Besar Kelompok
Jumlah anggota kelompok yang nyaman adalah kelompok kecil yang anggotanya berkisar antara 5-12 orang. Jumlah anggota kelompok kecil menurut Stuart & Laraia adalah 7-10 orang, menurut Lancester adalah 10-12 orang,
sedangkan menurut Rawlins, Williams, dan menurut Beck adalah 5-10 orang. Jika anggota kelompok terlalu besar akibatnya tidak semua anggota mendapat
kesempatan mengungkapkan perasaan, pendapat, dan pengalamannya. Jika terlalu kecil, tidak cukup variasi informasi dan interaksi yang terjadi (Keliat, 2005).
3.3.4 Lamanya Sesi
Menurut Stuart & Laraia waktu optimal untuk satu sesi adalah 20-40 menit bagi fungsi kelompok yang rendah dan 60-120 menit bagi fungsi kelompok
yang tinggi. Biasanya dimulai dengan pemanasan berupa orientasi, kemudian tahap kerja dan finishing berupa terminasi. Banyaknya sesi bergantung pada tujuan kelompok, dapat satu kali / dua kali per minggu, atau dapat direncanakan
3.3.5 Jenis-Jenis Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)
Terapi aktivitas kelompok dibagi empat jenis, yaitu terapi aktivitas kelompok stimulasi kognitif/persepsi, terapi aktivitas kelompok stimulasi
sensoris, terapi aktivitas kelompok orientasi realitas, dan terapi aktivitas kelompok sosialisasi (Keliat, 2005).
3.3.6 Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi (TAKS)
Terapi aktivitas kelompok (TAK) sosialisasi ( TAKS ) adalah upaya memfasilitasi kemampuan sosialisasi sejumlah klien dengan masalah hubungan
sosial (Keliat, 2005). 3.3.7 Tujuan TAKS
Menurut Keliat (2005), tujuan umum TAK sosialisasi yaitu klien dapat
meningkatkan hubungan sosial dalam kelompok secara bertahap. Sementara, tujuan khususnya adalah:
a. Klien mampu memperkenalkan diri
b. Klien mampu berkenalan dengan anggota kelompok c. Klien mampu bercakap-cakap dengan anggota kelompok
d. Klien mampu menyampaikan dan membicarakan topik percakapan
e. Klien mampu menyampaikan dan membicarakan masalah pribadi pada orang lain
f. Klien mampu bekerja sama dalam permainan sosialisasi kelompok
3.3.8 Aktivitas dan Indikasi
Aktivitas TAKS dilakukan sebanyak tujuh sesi yang melatih kemampuan sosialisasi klien (terlampir). Klien yang mempunyai indikasi TAKS adalah klien
dengan gangguan hubungan sosial berikut:
a. Klien menarik diri yang telah mulai melakukan interaksi interpersonal.
b. Klien kerusakan komunikasi verbal yang telah berespons sesuai dengan
stimulus.
3.3.9 Sesi-Sesi Dalam Pelaksanaan TAKS
Sesi pertama bertujuan agar klien mampu memperkenalkan diri dengan menyebutkan nama lengkap, nama panggilan, asal, dan hobi. Sesi kedua bertujuan agar klien mampu berkenalan dengan anggota kelompok. Sesi ketiga bertujuan
agar klien mampu bercakap-cakap dengan anggota kelompok. Sesi keempat bertujuan agar klien mampu menyampaikan topik pembicaraan tertentu dengan
anggota kelompok. Sesi kelima bertujuan agar klien mampu menyampaikan dan membicarakan masalah pribadi dengan orang lain. Sesi keenam bertujuan agar klien mampu bekerja sama dalam permainan sosialisasi kelompok. Sesi ketujuh
BAB 3
KERANGKA PENELITIAN
1. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual penelitian adalah suatu hubungan atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya dari masalah yang ingin diteliti
(Setiadi, 2007). Kerangka konseptual pada penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan terapi aktivitas kelompok sosialisasi yang mempengruhi
kemampuan sosialisasi pasien isolasi sosial di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan.
Penelitian ini terdiri dari dua variabel, yakni variabel independen dan
variabel dependen. Variabel independen (variabel bebas) merupakan variabel yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel dependen (terikat),
variabel ini dikenal dengan nama variabel bebas yang artinya bebas dalam mempengaruhi variabel lain. Variabel dependen merupakan variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat karena variabel bebas (Alimul, 2003). Variabel
Skema 3.1 Kerangka Konseptual Variabel Independen
Variabel Dependen Variabel Dependen
2. Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No. Variabel Definisi Alat Ukur Skala Skor
1. Sesi 1 : memperkenalkan diri
2. Sesi 2 : berkenalan dengan anggota kelompok 3. Sesi 3 : bercakap-cakap dengan anggota kelompok
4. Sesi 4 : menyampaikan dan membicarakan topik percakapan 5. Sesi 5 : menyampaikan dan membicarakan masalah pribadi pada
orang lain
(TAKS) hubungan sosial yang terdiri dari 7 sesi.
2. Variabel
Ordinal Baik Sekali Baik
Cukup Kurang Kurang Sekali
3. Hipotesa
Hipotesa adalah jawaban sementara dari suatu penelitian yang
kebenarannya masih perlu diuji (Setiadi, 2007). Hipotesa penelitian (Ha) pada penelitian ini, yakni : Ada pengaruh terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS)
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
1. Desain Penelitian
Desain penelitian merupakan bentuk rancangan yang digunakan dalam melakukan prosedur penelitian. Desain yang digunakan dalam penelitian ini
adalah desain pre eksperimen jenis one group pretest-posttest design yang hanya terdiri dari 1 kelompok. Pada rancangan ini dilakukan observasi awal (pretest)
terlebih dahulu sebelum diberikan intervensi, setelah itu diberikan intervensi dan kemudian dilakukan observasi akhir (posttest) (Alimul, 2003).
2. Populasi Penelitian
Populasi merupakan seluruh subjek atau objek dengan karakteristik
tertentu yang akan diteliti, bukan hanya objek atau subjek yang dipelajari saja (Alimul, 2003). Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien isolasi sosial yang di rawat inap di Ruang Kamboja Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Provsu
Medan. Berdasarkan survey penelitian yang dilakukan peneliti, populasi pasien isolasi sosial yang di rawat inap di Ruang Kamboja RSJD Provsu Medan
berjumlah 26 orang.
3. Sampel Penelitian
Besarnya jumlah sampel pada penelitian ini adalah 7 orang. Penentuan
jumlah sampel menggunakan table “power analysis” untuk “t-test”. Dalam penelitian ini ditetapkan “level of significance” dengan lambang α sebesar 0.05
“power” sebesar 80% (Portney, 2000).
Sampel yang berjumlah 7 orang akan dikelompokkan menjadi satu kelompok yang akan diberikan intervensi terapi aktivitas kelompok sosialisasi.
Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling, yaitu suatu teknik pengambilan sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi
yang sesuai dengan kriteria peneliti (Setiadi, 2007).
Kriteria peneliti dalam menentukan sampel pada penelitian ini adalah: pasien yang dirawat inap di Ruang Kamboja Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu
Medan yang berjenis kelamin perempuan, dengan diagnosa keperawatan isolasi sosial, pernah mendapatkan strategi pertemuan (SP) isolasi sosial, pasien yang
berusia 20-40 tahun, mampu berbahasa Indonesia, memiliki kemampuan baca tulis yang baik, tidak mengalami retardasi mental dan mau bekerja sama (kooperatif).
4. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di Ruang Kamboja Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan. Pemilihan Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan sebagai tempat penelitian dengan pertimbangan bahwa Rumah Sakit Jiwa Daerah
sakit jiwa pendidikan yang merupakan lahan praktek tenaga kesehatan dan
memiliki fasilitas dan pelayanan jiwa yang memadai.
Penelitian ini dilaksanakan selama 10 hari, yakni mulai dari tanggal 5
Januari 2011 sampai dengan 14 Januari 2011.
5. Pertimbangan Etik
Penelitian ini dilakukan setelah proposal penelitian selesai di uji dan mendapatkan surat permohonan izin penelitian dari Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara. Selanjutnya peneliti mengirimkan surat permohonan izin penelitian untuk mendapatkan surat izin penelitian dari Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan. Setelah mendapat izin dari Direktur Rumah Sakit Jiwa
Daerah Provsu Medan, peneliti memulai pengumpulan data dan menentukan calon responden yang sesuai dengan kriteria yang sebelumnya telah dibuat oleh peneliti.
Sebelum mengumpulkan data, peneliti menjelaskan kepada kepala perawat di Ruang Kamboja sebagai wakil dari responden mengenai maksud, tujuan, dan proses penelitian yang akan dilaksanakan.
Setelah itu peneliti akan menanyakan kesediaan kepala perawat ruangan tersebut untuk mengikutsertakan pasien yang akan dipilih sesuai dengan kriteria
peneliti untuk berpartisipasi dalam penelitian dengan menandatangani lembar persetujuan (informed consent). Apabila perawat menolak untuk mengikutsertakan pasien berpartisipasi dalam penelitian, maka peneliti tidak akan
memaksa dan tetap menghormati hak-hak perawat sebagai wakil responden. Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak akan mencantumkan nama
responden). Kerahasiaan informasi responden (confidentiality) dijamin oleh
peneliti dan hanya kelompok data tertentu saja yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian (Hamid, 2007).
6. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan pada penelitian ini berupa lembar kuesioner.
Bagian pertama instrumen penelitian berisi data demografi pasien yang berjumlah enam pertanyaan yang terdiri dari: nomor responden, usia, tingkat pendidikan,
status perkawinan, pekerjaan dan lama hari rawat.
Bagian kedua instrumen berisi kuesioner yang terdiri dari 13 pernyataan mengenai ketujuh aspek tingkah laku sosial yang masing-masing dari 6 aspek
terdiri dari dua pernyataan dan 1 aspek terdiri dari 1 pernyataan, yang merupakan aspek yang menggambarkan kemampuan bersosialisasi yang dimodifikasi dari
Purba (2009). Penilaian kuesioner ini menggunakan rating scale dengan tingkatan skor 4,3,2,1,0 dan dievaluasi dengan menggunakan skala ordinal dengan tingkatan baik sekali, baik, cukup, kurang dan kurang sekali.
Penilaian kuesioner dilakukan oleh peneliti sendiri yang menempatkan diri pasien pada salah satu posisi dari nilai yang paling sesuai dengan keadaan
pasien yang sebenarnya saat dilakukan penelitian. Kuesioner tidak dapat diisi oleh pasien/ responden langsung dikarenakan kondisi pasien yang masih diliputi oleh simptom-simptom psikologis negatif, sehingga tidak memungkinkan untuk
7. Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian
Uji validitas dilakukan untuk mengetahui tingkat kesahian suatu instrumen. Suatu instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang
diinginkan dan dapat mengungkapkan data dari variable yang diteliti secara tepat (Arikunto, 2005).
Untuk menguji validitas, dapat digunakan pendapat dari ahli (judgment
experts). Pendapat orang yang ahli diminta pendapatnya mengenai instrumen yang
telah disusun (Riduwan, 2006).
Setelah dilakukan uji validitas oleh salah seorang Dosen Keperawatan Jiwa Fakultas Keperawatan USU, maka didapatkan hasil bahwa instrumen penelitian yang digunakan telah valid dan dapat digunakan untuk penelitian
selanjutnya.
Untuk mengetahui kepercayaan (reliabilitas) instrumen maka dilakukan
uji reliabilitas. Uji reliabilitas adalah suatu kesamaan hasil apabila pengukuran dilaksanakan oleh orang yang berbeda ataupun pada waktu yang bebeda (Setiadi, 2007). Menurut Nazir (1989) suatu bagian alat ukur mempunyai reliabilitas tinggi
atau dapat dipercaya serta stabil dan dapat dihandalkan jika alat ukur tersebut digunakan berkali-kali maka akan memberikan hasil yang relatif sama.
Uji reabilitas penelitian ini dilakukan terhadap 10 orang pasien isolasi sosial di RSJD Provsu Medan yang telah memenuhi kriteria sampel peneliti. Kemudian jawaban dari responden diolah dengan menggunakan program SPSS.
Berdasarkan uji realiabilitas apabila diperoleh nilai cronbach’s alpha diatas 0,70 maka instrumen dinyatakan reliabel (Polit & Hungler, 1999). Setelah
yang artinya instrumen kuesioner kemampuan sosialisasi telah reliabel dan dapat
digunakan untuk penelitian selanjutnya.
8. Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan cara: a. Persiapan
Peneliti memperoleh izin penelitian dari institusi pendidikan (Fakultas Keperawatan USU), lalu memberikan permohonan izin yang diperoleh dari
institusi pendidikan ke tempat penelitian (Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan).
Setelah mendapat izin dari Direktur Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu
Medan, Pada hari pertama penelitian, peneliti terlebih dahulu meminta persetujuan kembali dari Kepala Ruangan Kamboja untuk melakukan
penelitian dan menjelaskan tujuan dan rincian kegiatan dari penelitian yang akan dilakukan.
b. Pelaksanaan
Setelah mendapatkan persetujuan dari Kepala Ruangan, peneliti memilih responden yang sesuai dengan kriteria sampel yang telah ditentukan oleh
peneliti yang kemudian dijadikan sampel dalam penelitian ini. Peneliti memilih 7 orang responden yang akan dilibatkan dalam kegiatan penelitian dan menjelaskan maksud, tujuan, jadwal kegiatan yang akan dilakukan, dan
persetujuan atas ketersediaan responden dalam mengikuti kegiatan penelitian dari awal sampai akhir kegiatan. Pada hari yang sama peneliti mengumpulkan
melakukan wawancara kepada responden dan memvalidasi hasil wawancara
mengenai data demografi responden dengan melihat buku status responden. Setelah responden terpilih dan menyatakan bersedia dalam kegiatan yang akan
dilakukan, pada hari kedua peneliti melakukan Strategi Pertemuan (SP) Isolasi Sosial kepada 7 orang responden yang terpilih sebelum dilaksanakannya TAKS.
Pada hari kedua, peneliti melakukan pre test dengan menggunakan kuesioner kemampuan sosialisasi kepada ketujuh orang responden. Selanjutnya
pada hari ketiga, peneliti mulai melaksanakan TAKS sesi 1 dengan tujuan kegiatan responden mampu memperkenalkan dirinya. Pada hari keempat, dilaksanakan TAKS sesi 2 dengan tujuan kegiatan responden mampu
berkenalan dengan anggota kelompoknya dalam TAKS. Pada hari kelima dilaksanakan TAKS sesi 3 dengan tujuan kegiatan responden mampu
bercakap-cakap dengan anggota kelompoknya. Pada hari keenam dilaksanakan TAKS sesi 4 dengan tujuan kegiatan responden mampu menyampaikan dan membicarakan topik percakapan. Pada hari ketujuh dilaksanakan TAKS sesi 5
dengan tujuan kegiatan responden mampu menyampaikan dan membicarakan masalah pribadinya. Pada hari kedelapan, dilaksanakan TAKS sesi 6 dengan
tujuan kegiatan responden mampu bekerja sama dalam permainan sosialisasi kelompok. Pada hari kesembilan dilaksanakan TAKS sesi 7 dengan tujuan kegiatan responden mampu menyampaikan pendapat mengenai manfaat
kegiatan TAKS yang telah dilakukan.
TAKS pada penelitian ini dilaksanakan selama ± 45 menit dalam 1 sesi.
pukul 10.00 WIB - 10.45 WIB. TAKS dilaksanakan di Ruang Makan Ruangan
Kamboja RSJD Provsu Medan. c. Posttest
Pada hari terakhir (hari kesepuluh), peneliti melakukan post test dengan menggunakan kuesioner kemampuan sosialisasi terhadap 7 orang responden yang telah mengikuti kegiatan TAKS dari sesi 1 sampai dengan TAKS sesi 7.
9. Analisa Data
Setelah semua data dikumpulkan, peneliti memeriksa apakah semua daftar pertanyaan telah diisi atau editing. Kemudian peneliti melakukan koding yaitu memberikan kode/angka pada masing-masing lembar kuesioner, dan
selanjutnya dilakukan analisa terhadap data tersebut.
Berdasarkan tujuan pada penelitian ini, maka teknik analisa yang dapat
digunakan untuk membuktikan hipotesis penelitian ialah: 9.1 Analisa Univariat
Untuk mengetahui karakteristik klien isolasi sosial di ruang Kamboja
Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan digunakan tabel distribusi frekuensi karakteristik responden dan persentase data-data demografi yang meliputi umur,
jenis kelamin, pendidikan dan lama hari rawat. 9.2 Analisa Bivariat
Untuk mengetahui kemampuan sosialisasi responden sebelum dan setelah
dilakukan intervensi terapi aktivitas kelompok sosialisasi dan pengaruh terapi aktivitas kelompok sosialisasi terhadap kemampuan sosialisasi pasien isolasi
Data yang diperoleh telah berdistribusi normal, maka uji hipotesis yang
BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan diuraikan hasil penelitian dan pembahasan mengenai Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi (TAKS) terhadap kemampuan responden bersosialisasi di Ruang Kamboja Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Provinsi
Sumatera Utara Medan.
1. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 10 hari, yakni mulai dari tanggal 5 Januari 2011 sampai dengan 14 Januari 2011. Pada hari pertama, peneliti terlebih
dahulu meminta persetujuan dari Kepala Ruangan Kamboja untuk melakukan penelitian dan menjelaskan tujuan dan rincian kegiatan dari penelitian yang akan
dilakukan. Setelah mendapatkan persetujuan dari Kepala Ruangan, peneliti memilih responden yang sesuai dengan kriteria sampel yang telah ditentukan oleh peneliti yang kemudian dijadikan sampel dalam penelitian ini. Peneliti memilih 7
orang responden yang akan dilibatkan dalam kegiatan penelitian dan menjelaskan maksud, tujuan, jadwal kegiatan yang akan dilakukan, dan persetujuan atas
ketersediaan responden dalam mengikuti kegiatan penelitian dari awal sampai akhir kegiatan. Pada hari yang sama peneliti mengumpulkan data demografi dari masing-masing ketujuh responden tersebut dengan melakukan wawancara kepada
responden dan memvalidasi hasil wawancara mengenai data demografi responden dengan melihat buku status responden. Setelah responden terpilih dan menyatakan
Strategi Pertemuan (SP) Isolasi Sosial kepada 7 orang responden yang terpilih
sebelum dilaksanakannya TAKS.
Pada hari kedua, peneliti melakukan pre test dengan menggunakan
kuesioner kemampuan sosialisasi kepada ketujuh orang responden. Selanjutnya pada hari ketiga, peneliti mulai melaksanakan TAKS sesi 1 dengan tujuan kegiatan responden mampu memperkenalkan dirinya. Pada hari keempat,
dilaksanakan TAKS sesi 2 dengan tujuan kegiatan responden mampu berkenalan dengan anggota kelompoknya dalam TAKS. Pada hari kelima dilaksanakan
TAKS sesi 3 dengan tujuan kegiatan responden mampu bercakap-cakap dengan anggota kelompoknya. Pada hari keenam dilaksanakan TAKS sesi 4 dengan tujuan kegiatan responden mampu menyampaikan dan membicarakan topik
percakapan. Pada hari ketujuh dilaksanakan TAKS sesi 5 dengan tujuan kegiatan responden mampu menyampaikan dan membicarakan masalah pribadinya. Pada
hari kedelapan, dilaksanakan TAKS sesi 6 dengan tujuan kegiatan responden mampu bekerja sama dalam permainan sosialisasi kelompok. Pada hari kesembilan dilaksanakan TAKS sesi 7 dengan tujuan kegiatan responden mampu
menyampaikan pendapat mengenai manfaat kegiatan TAKS yang telah dilakukan. Dan pada hari terakhir, peneliti melakukan post test dengan menggunakan
kuesioner kemampuan sosialisasi terhadap 7 orang responden yang telah mengikuti kegiatan TAKS dari sesi 1 sampai dengan TAKS sesi 7.
TAKS pada penelitian ini dilaksanakan selama ± 45 menit dalam 1 sesi.
TAKS dilaksanakan pada pagi hari sebelum responden makan siang yakni dari pukul 10.00 WIB - 10.45 WIB. TAKS dilaksanakan di Ruang Makan Ruangan
Pada hasil penelitian ini akan dipaparkan karakteristik demografi
responden, kemampuan sosialisasi responden sebelum (pre) TAKS, kemampuan sosialisasi responden setelah (post) TAKS dan pengaruh dari TAKS yang telah
dilaksanakan.
1.1 Karakteristik Demografi Berdasarkan Usia, Pendidikan, Status Perkawinan, Pekerjaan dan Lama Hari Rawat Responden Isolasi Sosial di RSJD Provsu Medan
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Usia Responden
Karakteristik Jumlah (n) Mean Std.Deviation Min-Maks
Usia 7 34,29 3,592 27 - 38
Berdasarkan tabel 5.1 diketahui bahwa rata-rata usia responden dalam penelitian ini rata-rata berumur 34 tahun dengan usia termuda 27 tahun dan usia tertua 38 tahun.
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Demografi Responden No. Karakteristik Responden Jumlah (n) Persentase (%)
1. Pendidikan 2. Status Perkawinan
Menikah
Karakteristik demografi dari ketujuh responden dalam penelitian ini adalah responden dengan jenis kelamin perempuan yang mengalami isolasi sosial yang dirawat di Ruang Kamboja RSJD Provsu Medan. Pada tabel 5.2 ditunjukkan
bahwa berdasarkan karakteristik dari tingkat pendidikan responden dalam penelitian ini sebagian besar tingkat pendidikan responden mencapai tingkat SMU
(57,1%). Status pekerjaan responden umumnya tidak bekerja (71,4%). Rata-rata
lama hari rawat keseluruhan responden adalah kurang dari 6 bulan (100%) .
1.2 Kemampuan Sosialisasi Responden Pre TAKS
Tabel 5.3 Distribusi Kemampuan Sosialisasi Responden Pre TAKS
Kategori Jumlah (n) Persentase (%)
Kurang
Tabel 5.2 memperlihatkan bahwa kemampuan responden dalam
bersosialisasi sebelum intervensi TAKS (pre test) mayoritas berada dalam kategori kurang, yakni sebanyak 5 orang responden (71,4%).
1.3 Kemampuan Sosialisasi Responden Post TAKS
Tabel 5.4 Distribusi Kemampuan Sosialisasi Responden Post TAKS
Kategori Jumlah (n) Persentase (%)
Baik
Tabel 5.3 memperlihatkan bahwa kemampuan responden dalam
bersosialisasi setelah intervensi TAKS (post test) mayoritas berada dalam kategori baik, yakni sebanyak 6 orang responden (85,7%).
1.4 Pengaruh TAKS terhadap Kemampuan Sosialisasi Responden
Uji statistik yang digunakan untuk membandingkan data pre dan post digunakan uji t berpasangan (paired t-test). Uji statistik paired t-test digunakan
apabila data tersebut merupakan data yang diperoleh dari dua kelompok berpasangan dan syarat data tersebut harus berdistribusi normal.
Data yang diuji perbedaan kemampuan sosialisasi pada data ini berasal