GAMBARAN PERSAHABATAN PADA REMAJA
PENDERITA LEUKEMIA
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persayaratan
Ujian Sarjana Psikologi
Oleh :
AYU WARDANI
061301043
FAKULTAS PSIKOLOGI
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan dengan
sebenar-benarnya bahwa skripsi saya yang berjudul :
GAMBARAN PERSAHABATAN PADA REMAJA PENDERITA
LEUKEMIA
adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh
gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari
hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan
norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini,
saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera
Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Medan, September 2010
AYU WARDANI
ABSTRAK
Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Juni 2008
Ayu Wardani : 061301043
Gambaran Persahabatan pada Remaja Penderita Leukemia X + 174 halaman + 3 Tabel + 2 Lampiran
Bibliografi (1978-2006)
Persahabatan adalah hubungan dyadic, personal dan informal, dimana melibatkan hubungan timbal balik dan adanya saling ketertarikan, yang disengaja, bertahan lama dan positif, dan tidak melibatkan seksualitas (Auhagen, dalam Fraser & Burchell, 2004). Persahabatan yang diberikan kepada penderita leukemia akan membantu mereka untuk coping dengan permasalahan-permasalahan yang muncul disebabkan penyakitnya, dimana sahabat akan menghabiskan waktu bersama, sahabat memberikan informasi, kegembiraan, dan hiburan, sahabat juga dapat bertindak sebagai sumber bantuan, sumber dukungan, dan sumber semangat, dan lain-lain (Gottman & Parker, dalam Santrock, 2002). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran persahabatan pada remaja penderita leukemia. Pengambilan data menggunakan metode kualitatif dengan jumlah responden sebanyak tiga orang remaja yang menderita leukemia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perubahan fungsi utama persahabatan pada saat sebelum dan setelah menderita leukemia. Fungsi utama persahabatan setelah emnderita leukemia adalah sebagai sumber stimulation dan ego support.
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah segala puji penulis panjatkan ke-hadirat Allah SWT,
karena atas berkat, rahmat, dan karunia-Nya penulis dapat merampungkan skripsi
ini serta salawat beriring salam atas junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, M. Si selaku Dekan Fakultas Psikologi USU.
2. Ibu Silviana Realyta selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan sabar,
telah banyak meluangkan waktu, pikiran dan memberikan petunjuk, saran,
semangat untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
3. Ibu Eka Ervika, M. Si sebagai pembimbing akademis, dan Ibu Silviana
Realyta sebagai pembimbing skripsi, terima kasih untuk masukan, saran,
kesempatan dan waktunya.
4. Keluarga besar Psikologi USU. Pak Iskandar, Pak Aswan, Kak Ari, Kak
Devi, Bang Ronal dan Kak Ade. Terima kasih untuk waktu serta
jawaban-jawaban ketika saya bertanya.
5. Keluarga besar tersayang khususnya untuk Bapak Mulyono dan Mamak
Maimunah yang telah memberikan kehidupan dan memberikan dukungan
serta kepercayaan hingga peneliti bisa sampai pada tahap ini.
Kakak-kakakku Iwan-Yani, Yuni-Roy, Budi-Linda, dan Dedi yang telah
memberikan berbagai “bantuan”, baik yang membuat peneliti tertawa
ataupun menangis.
6. Hardiansyah (calon sarjana tekhnik), terima kasih atas segala bentuk
dukungan yang diberikan kepada peneliti sehingga memudahkan peneliti
dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Sahabat-sahabatku Eky, Indah, dan Yasra, terima kasih atas bantuan,
dukungan, gosip-gosip dan semua cerita yang menghibur dan membuat
peneliti tetap berada pada jalur kewarasan. Teman-teman seperjuangan
angkatan 2006, Paidi, Jimmy, Dini, Imel, Mute’, Yeni, Daeng, Rosya,
penulis sebutkan satu per satu atas perhatian, saran, kritik, bantuan secara
fisik maupun psikologis yang sangat berarti bagi penulis.
8. Teman-teman semua, Adib (brontosaurus), Ucub (mBar), Taufan, Redo,
Fajar, Ishak, Freddy, Irfan, Alvin, Mira, Sharfina, Dinda, Jannah, dan
teman-teman lain yang telah bersedia mendengarkan keluh kesah penulis
serta memberikan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.
9. Keluarga di Tangerang, tante Dewi, oom Popeye, tante Dian, oom Hari,
oom Etet, makasih udah mau nerima dan menganggap peneliti keluarga
walaupun kita hanya kenal selama beberapa minggu. Keluarga di Jakarta,
Pak Jono, Bu Atik, Bu Iyah, Bang Bobby, yang mau membantu peneliti
walaupun tidak benar-benar mengenal peneliti. Pihak Rumah Sakit Kanker
Dharmais, Dr. Slamet, pak Kiki, mbak Hilfah, mas Pri, dan
perawat-perawat lantai 4, lantai 5, dan ruangan RIM.
10.Partisipan penelitian , pasien dan keluarga pasien Rumah Sakit Kanker
Dharmais, Kak Aini, Kiki (Aa’), Ade, Ardi, Ayu, Rifka, Joshua, Ido,
Jamur, Mas Tri, Pak Haji, dan lainnya yang tidak bisa peneliti sebutkan
satu per satu yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk peneliti.
11.Terima kasih juga penulis ucapkan pada semua pihak yang telah
memberikan dukungan moril dan materil kepada penulis, sehingga skripsi
ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk
itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
kesempurnaan penelitian ini serta penulis berharap kiranya hasil dari penelitan ini
nantinya dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu psikologi
Medan, September 2010
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK
KATAPENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian... 9
1. Manfaat teoritis ... 9
2. Manfaat praktis... 9
E. Sistematika Penulisan ... 9
BAB II LANDASAN TEORI A. Persahabatan ... 11
3. Tahapan persahabatan... 13
4. Aturan dalam persahabatan ... 14
5. Fungsi Persahabatan... 15
B. Remaja ... 17
1. Definisi remaja ... 17
2. Tugas perkembangan remaja... 17
3. Ciri-ciri masa remaja ... 18
C. Leukemia (Kanker Darah) ... 20
1. Gambaran umum kanker ... 20
2. Definisi Leukemia ... 22
3. Faktor resiko penyebab leukemia ... 23
4. Keluhan leukemia... 24
5. Pengobatan pasien leukemia... 25
6. Kondisi psikologis yang dialami penderita leukemia ... 26
D. Persahabatan pada remaja dengan leukemia ... 28
BAB III METODE PENELITIAN A. Penelitian Kualitatif ... 32
B. Responden Penelitian ... 33
1. Karakteristik responden penelitian ... 33
2. Jumlah Partisipan Penelitian ... 34
3. Prosedur Pengambilan Responden Penelitian ... 34
C. Metode Pengumpulan Data ... 35
D. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 36
1. Pedoman wawancara ... 36
2. Alat Perekam (tape recorder) ... 37
F. Kredibilitas Penelitian ... 37
F. Prosedur Penelitian ... 39
1. Tahap Persiapan Penelitian ... 39
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 40
3. Tahap Analisis Data ... 41
G. BAB IV ANALISA DATA A. Analisa Data ... 43
1. Latar belakang responden ... 43
a. Responden I ... 44
b. Responden II ... 45
c. Responden III ... 46
2. Data Observasi ... 47
a. Responden I ... 47
b. Responden II ... 50
c. Responden III ... 52
3. Data Wawancara ... 54
a. Responden I ... 54
2. Reaksi responden... 58
3. Dampak penyakit dan pengobatan ... 61
4. Persahabatan pada responden ... 62
b. Responden II ... 72
1. Riwayat kesehatan responden ... 72
2. Reaksi responden... 76
3. Dampak penyakit dan pengobatan ... 77
4. Persahabatan pada responden ... 78
c. Responden III ... 87
1. Riwayat kesehatan responden ... 87
2. Reaksi responden... 91
3. Dampak penyakit dan pengobatan ... 93
4. Persahabatan pada responden ... 95
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 108
B. Saran ... 110
1. Saran Praktis ... 110
2. Saran Penelitian Lanjutan ... 110
DAFTAR PUSTAKA ... 111
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Identitas Diri Responden
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN A
Pedoman Wawancara
LAMPIRAN B
Pedoman Observasi
LAMPIRAN C
Lembar Persetujuan
LAMPIRAN D
ABSTRAK
Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Juni 2008
Ayu Wardani : 061301043
Gambaran Persahabatan pada Remaja Penderita Leukemia X + 174 halaman + 3 Tabel + 2 Lampiran
Bibliografi (1978-2006)
Persahabatan adalah hubungan dyadic, personal dan informal, dimana melibatkan hubungan timbal balik dan adanya saling ketertarikan, yang disengaja, bertahan lama dan positif, dan tidak melibatkan seksualitas (Auhagen, dalam Fraser & Burchell, 2004). Persahabatan yang diberikan kepada penderita leukemia akan membantu mereka untuk coping dengan permasalahan-permasalahan yang muncul disebabkan penyakitnya, dimana sahabat akan menghabiskan waktu bersama, sahabat memberikan informasi, kegembiraan, dan hiburan, sahabat juga dapat bertindak sebagai sumber bantuan, sumber dukungan, dan sumber semangat, dan lain-lain (Gottman & Parker, dalam Santrock, 2002). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran persahabatan pada remaja penderita leukemia. Pengambilan data menggunakan metode kualitatif dengan jumlah responden sebanyak tiga orang remaja yang menderita leukemia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perubahan fungsi utama persahabatan pada saat sebelum dan setelah menderita leukemia. Fungsi utama persahabatan setelah emnderita leukemia adalah sebagai sumber stimulation dan ego support.
BAB I
PENDAHULUAN
I. A. LATAR BELAKANG MASALAH
Individu dalam perkembangannya melalui berbagai tahap perkembangan.
Tahap yang cukup berkesan bagi sebagian besar individu adalah masa remaja.
Individu mulai terbebas dari berbagai aturan yang mengikatnya sejak masa
kanak-kanak ketika menginjak usia remaja. Individu juga sudah mulai merasakan
pengaruh lingkungan sosial terutama teman sebaya terhadap dirinya. Kaczman
dan Riva (dalam Yusuf, 2004) menyatakan bahwa masa remaja merupakan
segmen kehidupan yang penting dalam siklus perkembangan individu. Masa
remaja merupakan masa yang ditandai dengan berkembangnya: (1) sikap
dependen kepada orangtua kearah independen, (2) minat seksualitas, dan (3)
kecenderungan untuk merenung atau memperhatikan diri sendiri, nilai-nilai etika,
dan isu-isu moral (Salzman & Pikunas, dalam Yusuf, 2004).
Remaja hampir selalu mengalami luapan emosi yang tinggi dalam
kesehariannya, yang menjadikan kehidupan remaja dipenuhi dengan gejolak
kehidupan. Hurlock (1999) menyebut gejolak tersebut dengan “badai” dan
“tekanan” yang terjadi sebagai akibat dari perubahan fisik, kelenjar, serta
munculnya tekanan sosial dan kondisi-kondisi baru yang harus dihadapinya.
Hal-hal seperti ini yang kemudian akan membuat kehidupan remaja berkesan tetapi
Remaja menghabiskan lebih banyak waktu dengan kelompok daripada
dengan keluarganya (Papalia, 2007). Hal ini bukan dikarenakan remaja menolak
keluarganya namun lebih dikarenakan kebutuhan akan perkembangan (Larson,
dalam Papalia, 2007). Orangtua juga menginginkan anak yang sudah remaja untuk
dapat mandiri sehingga memberikan kesempatan kepada remaja untuk
mengembangkan kemandiriannya (Papalia,2007).
Teman sebaya mempunyai peran yang penting dalam kehidupan remaja.
Papalia (2007) menyatakan bahwa kelompok teman sebaya merupakan sumber
afeksi, simpati, dan pembimbing moral bagi remaja. Kelompok teman sebaya juga
merupakan tempat bagi remaja dalam mengembangkan hubungan yang akrab,
yang merupakan kebutuhan bagi mereka.
Menurut Mappiare (dalam Jayantini, 2007) ketika merasa cocok dengan
teman yang telah dikenalnya, seorang remaja akan membentuk berbagai macam
komunitas. Salah satunya muncul bentuk ikatan yang disebut sebagai hubungan
persahabatan. Hal serupa juga dinyatakan oleh Papalia (2007) bahwa salah satu
jenis hubungan yang dialami oleh remaja adalah persahabatan. Ikatan dalam
hubungan persahabatan banyak ditemui atas dasar minat yang sama dan adanya
kemiripan satu dengan lainnya.
Persahabatan merupakan hubungan yang bersifat timbal balik, seimbang,
dan stabil. Remaja cenderung memilih teman yang mirip dengan mereka, baik itu
dalam hal gender, ras, dan aspek-aspek lainnya. Selain itu mereka juga saling
mempengaruhi satu sama lain (Papalia, 2007). Remaja dapat mengekspresikan
memungkinkan untuk berani menyampaikan opini, kelemahan, dan memperoleh
bantuan ketika berada dalam masalah (Buhrmester, dalam Papalia, 2007). Hal ini
sesuai dengan pernyataan N, seorang remaja penderita leukemia:
“Dari awal, sebelum sakit, sahabat itu udah penting. Mereka yang perhatian ma kita, mereka jadi tempat curhat kita, tempat berbagi, segala macam lah....”
(Komunikasi personal, 5 Desember 2009)
”… Mungkin ya, secara psikologis karena kedekatan karakter itu bisa mendekatkan orang. Jadi kami karakter kami gak jauh-jauh beda amat gitu. Kesukaanya sama, orangnya juga... Gimana ya? Kami di sekolah tuh ada 7 orang. Kami sampe-sampe dibilang genk akhwat. Emang terkadang ada marahannya tapi dikit-dikit. Jadi itu kesamaan karakter tadi yang bisa mendekatkan, kesamaan ide, nyambung di ajak ngomong, ngerti, peduli...”
(Komunikasi personal, 5 Desember 2009)
Berdasarkan wawancara di atas dapat dilihat bahwa peran sahabat bagi
responden itu penting. Sahabat merupakan tempat bagi responden untuk
mencurahkan pikiran dan perasaannya. Menurut responden hal yang membuatnya
menjalin persahabatan adalah adanya kesamaan-kesamaan diantara mereka,
seperti kesamaan karakter, kesamaan ide, adanya saling pengertian, dan lain-lain.
Sahabat adalah orang yang mempunyai kedudukan tertentu dalam suatu
hubungan dan biasanya menjadi prioritas utama bagi remaja. Individu akan
menempatkan seseorang sebagai sahabat ketika mereka telah menaruh rasa
percaya dan harapan kepada sahabat sebagai seseorang yang perhatian terhadap
dirinya. Cutrona dan Rock (dalam Myers, 1996) menyatakan bahwa dengan
memiliki sahabat berarti individu mempunyai seseorang yang akan siap
Myers, 1996) menemukan bahwa sahabat menjadi salah satu hal penting bagi
kebahagiaan individu dan membuat hidup menjadi lebih berarti.
Remaja yang memiliki penyakit kronis berbeda dengan remaja pada
umumnya. Mereka hidup dengan penyakit hampir di sepanjang kehidupannya.
Mereka juga sering merasakan kesulitan dalam menerima penyakitnya. Penyakit
kronis dapat mempengaruhi remaja dengan berbagai cara, misalnya remaja
dengan penyakit asma memiliki keterbatasan dalam bidang olahraga. Selain itu,
meskipun remaja yang memiliki penyakit kronis memiliki kemampuan sosial
yang baik, mereka cenderung mengambil bagian kecil dalam aktivitas di luar
rumah (Sawyer, Couper, Martin, & Kennedy, 2003). Hal ini disebabkan oleh
keterbatasan fisik yang mereka alami. Misalnya saja N, dimana kondisi fisiknya
yang lemah membuat N tidak dapat keluar rumah. Hal ini dikarenakan N tidak
mampu bertahan pada cuaca panas yang membuat N merasa ingin pingsan. N juga
terbatas dalam aktivitasnya, dimana N tidak dapat melakukan aktivitas yang
banyak dilakukan oleh remaja normal lainnya. Hal tersebut dapat dilihat dari
komunikasi personal yang dilakukan peneliti tehadap N:
”Kalo persahabatan si enggak ada. Yang berpengaruh itu karna kakak terbatas, jadi aktivitas kakak juga terbatas. Jadi itu dipengaruhi kondisi fisik kakak yang lemah. Kayak kalo cuaca panas kayak gini ni, kalo keluar bawaannya mau pingsan. Kakak juga gak bisa kerja, cuma bisa diam. Kan ada perasaan gak enak, kalo ngeliat orang kerja, kitanya cuma bisa diam...”
(Komunikasi personal, 5 Desember 2009)
Diagnosa penyakit kronis pada tahap manapun dalam kehidupan akan
mempengaruhi fungsi psikologis, spiritual, sosial, dan emosional individu
dengan penyakit kronis merasa ‘berbeda’, ‘kesepian’, ‘sakit, ‘menjijikkan’, dan
‘menderita’, karena pengalaman mereka yang ‘menakutkan’, ‘keras’,
‘mengekang’, dan ‘tidak normal’ (Venning, Elliot, Wilson, & Kettler).
Kondisi-kondisi tersebut akan mendorong individu untuk melakukan berbagai bentuk
coping yang adaptif, seperti mencari dukungan sosial, mencari alternatif
pengobatan, berpikir positif dan lain-lain, yang dapat mengurangi efek negatif dari
penyakitnya. Namun tidak semua individu dapat melakukan coping yang adaptif.
Bradford (dalam Swanston, Williams, dan Nunn, 2000) menyatakan bahwa
kondisi kronis dapat mendorong pada coping yang maladaptive, seperti menutup
diri, pasrah dengan penyakitnya, tidak berusaha mencari kegiatan positif, dan lain
sebagainya. Coping yang maladaptif diasosiasikan dengan peningkatan intensitas
penyakit yang diderita individu.
Salah satu dari sekian banyak penyakit kronis adalah leukemia. Leukemia
merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal dari sumsum tulang, yang
ditandai oleh proliferasi sel-sel darah putih, dengan manifestasi adanya sel-sel
abnormal dalam sel darah tepi (Permono, dkk, 2005).
Penelitian yang dilakukan oleh Mehta, et al (1995) menunjukkan bahwa
individu dengan penyakit kronis memiliki berbagai masalah perilaku, seperti
agresif, social withdrawal, kecemasan berlebihan, dan sebagainya. Hal tersebut
berhubungan dengan tingkat keparahan serta durasi penyakit yang dialami
individu. Seperti juga coping yang maladaptif, masalah perilaku juga dapat
meningkatkan efek negatif dari penyakit. Oleh karena itu diperlukan adanya peran
dengan penelitian yang dilakukan oleh Varni, et al (dalam Helgeson, Reynolds,
Shestak, dan Wei, 2005) yang menunjukkan bahwa pada remaja dengan penyakit
kronis, adanya dukungan sahabat mendorong pada masalah perilaku yang lebih
sedikit.
Salah satu peran sahabat bagi individu adalah sebagai pemberi dukungan
sosial (Shaffer, 2005). Seseorang yang sedang menjalani penyembuhan suatu
penyakit memerlukan dukungan sosial yang seringkali sulit mereka peroleh
karena tidak semua orang dapat memperoleh dukungan sosial yang ia butuhkan
(Sarafino, 2006). Taylor (2003) mengemukakan bahwa dukungan sosial dapat
menurunkan kemungkinan penyakit, meningkatkan kecepatan untuk segera pulih
dari penyakit yang diderita, dan mengurangi resiko kematian yang disebabkan
oleh penyakit. Kobasa (dalam Sarafino, 2006) menambahkan bahwa dukungan
sosial memiliki kemungkinan untuk dapat mengurangi rasa sakit dan
mempercepat penyembuhan. Hal ini dapat dilihat dari komunikasi personal yang
dilakukan peneliti terhadap N:
“… Ketika keluar vonis itu, seperti kita jatuh dari lantai tingkat tinggi. Ancur semuanya... Jadi butuh proses untuk mengumpulkan puing-puingnya. Dan sahabat-sahabat kakak mencoba melakukan apapun unuk membantu kakak. Dan itu membuat kakak terpacu. Kakak berpikir, mereka udah berjuang, masak aku kayak gini aja? Kasian dong perjuangannya jadi sia-sia? Jadi kakak pun berpacu dengan hal itu. Kan ada juga yang mereka sakit, tapi keluarga, teman, sahabat mereka gak ada yang peduli…”
(Komunikasi personal, 5 Desember 2009)
”... Kami yang leukemia kan harus rutin transfusi darah. Pemasok-pemasoknya itu ya dari kawan-kawan kakak juga...”
... Malah kakak dapat dukungan gak hanya moril, tapi juga materiel. Mereka menyumbang darah untuk kakak, mereka menggalang dana untuk membantu kakak, ya semampu mereka.”
(Komunikasi personal, 5 Desember 2009)
Berdasarkan wawancara di atas dapat diketahui bahwa sahabat memberikan
berbagai fungsi bagi responden. Sahabat berusaha untuk memenuhi apa yang
menjadi kebutuhan responden. Sahabat membuat responden bangkit ketika
didiagnosa leukemia, memberikan sumbangan dana, juga mendonorkan darah
mereka untuk diberikan kepada responden.
Theofanidis (2009), mengemukakan bahwa dukungan sosial merupakan
faktor yang sangat penting bagi individu dalam mengkonfrontasi penyakit kronis.
Hal ini sesuai dengan studi yang dilakukan pada 30 anak yang baru didiagnosa
dengan kanker pada usia 8-13 tahun, menemukan adanya hubungan yang kuat dan
konsisten antara penyesuaian pasien dengan dukungan dari teman. Pasien dengan
penerimaan dukungan yang tinggi merasa kurang depresi, kurang cemas, memiliki
self-esteem yang lebih tinggi, dan lebih sedikit masalah perilaku dibandingkan
dengan individu yang menerima lebih sedikit dukungan dari teman (Varni, Katz,
Colegrove, & Dolgin, dalam Suzuki & Kato, 2009). Hal ini juga sesuai dengan
komunikasi personal yang dilakukan peneliti terhadap salah seorang remaja
penderita leukemia:
”Sebenarnya dibanding masa awal kakak didiagnosa, kondisi kakak udah sangat jauh berbeda. Kalo dulu sampe tinggal tulang sama kulit. Terus kakak juga gak bisa bergerak. Pokoknya semua kakak mulai dari nol. Tapi kakak kemudian semakin semangat, dengan adanya dukungan dari keluarga dan sahabat-sahabat kakak, kakak belajar untuk menggerakkan badan kakak. Mulai belajar dari kepala, sampai kakak bisa berjalan sampai sekarang. ”
”Itu di awal kakak didiagnosa. Rambut kakak gugur, fisik juga lemah. Itulah badan jadi kurus. Tapi yah itu, adanya sahabat-sahabat kakak membuat kakak gak merasa sendirian...”
(Komunikasi personal, 5 Desember 2009)
”... kami gak pernah loosing contact. Selalu tanya kabar... Makanya walaupun gini, kakak nggak pernah merasa sendirian.”
(Komunikasi personal, 5 Desember 2009)
Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melihat fenomena
persahabatan yang dimiliki oleh remaja penderita leukemia. Oleh karena itu dalam
penelitian ini peneliti ingin mengetahui bagaimana gambaran persahabatan pada
remaja penderita leukemia.
I. B. PERUMUSAN MASALAH
Adapun yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana gambaran persahabatan pada remaja penderita leukemia?
2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi persahabatan pada remaja
penderita leukemia?
3. Aturan-aturan apa saja yang terdapat dalam persahabatan pada remaja
penderita leukemia?
4. Apa fungsi persahabatan pada remaja penderita leukemia?
5. Apakah ada perubahan persahabatan pada remaja penderita leukemia?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah ingin mengetahui gambaran persahabatan
I. D. MANFAAT PENELITIAN
I. D. 1. Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam bidang
psikologi, khususnya mengenai persahabatan pada remaja, sehingga dapat
dijadikan sebagai referensi untuk melakukan penelitian selanjutnya.
I. D. 2. Manfaat Praktis
Hasil dari penelitian ini secara khusus diharapkan dapat menjadi informasi
bagi remaja yang menderita leukemia, untuk mengetahui peran sahabat sebagai
bagian dari kebutuhan perkembangan dan sebagai faktor yang turut berperan
dalam mengurangi efek negatif dari penyakit leukemia yang mereka derita.
Peneliti juga berharap agar hasil penelitian ini dapat berguna bagi
psikolog/konselor kesehatan, dokter, orang tua, saudara, sahabat, dan pihak-pihak
lainnya yang terkait.
I. E. SISTEMATIKA PENULISAN
Penulisan ini dirancang dengan susunan sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan
Berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penulisannya.
BAB II : Landasan Teori
Berisikan teori-teori yang menjelaskan data penelitian yaitu teori
mengenai persahabatan, remaja, dan leukemia.
Berisikan pendekatan yang digunakan, responden penelitian,
metode pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data,
kredibilitas penelitian, dan prosedur penelitian.
Bab IV : Analisa Data dan Interpretasi
Bab ini menguraikan mengenai data pribadi partisipan, data
observasi, data wawancara yang berupa analisa data
perpartisipan dan interpretasinya.
Bab V : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran
Bab ini menguraikan mengenai kesimpulan, diskusi dan saran
mengenai proses pengambilan keputusan pembuatan mini video
pornografi. Kesimpulan berisikan hasil dari penelitian yang
telah dilaksanakan dan terdapat diskusi terhadap data-data yang
tidak dapat dijelaskan dengan teori atau penelitian sebelumnya
karena merupakan hal baru, serta saran yang berisi saran-saran
praktis sesuai dengan hasil dan masalah-masalah penelitian serta
saran-saran metodologis untuk penyempurnaan penelitian
BAB II
LANDASAN TEORI
II.A. PERSAHABATAN
II. A. 1. Definisi Persahabatan
Auhagen (dalam Fraser & Burchell, 2004), mendefinisikan persahabatan
sebagai hubungan dyadic, personal dan informal, dimana melibatkan hubungan
timbal balik dan adanya saling ketertarikan, yang disengaja, bertahan lama dan
positif, dan tidak melibatkan seksualitas.
Menurut Corsini (2002), persahabatan adalah hubungan antara dua orang
yang dikarakteristikkan dengan saling ketertarikan dan kerjasama, yang mana di
dalamnya tidak terdapat ketertarikan seksual. Selanjutnya menurut Fehr (dalam
Brehm, 2002), bahwa persahabatan adalah hubungan yang sifatnya personal dan
suka rela, hubungan ini menyediakan keintiman dan bantuan (pertolongan), yang
mana dua pihak suka satu sama lain. Basow (1992) menambahkan bahwa di
dalam persahabatan terdapat kepedulian, biasanya saling berbalasan (reciprocity),
saling menguntungkan, ada rasa percaya, loyalitas, dan kebutuhan.
Berdasarkan uraian di atas persahabatan adalah hubungan antara dua orang
atau lebih, yang sifatnya personal dan informal, dan dikarakteristikkan dengan
adanya saling ketertarikan, keintiman, kepedulian, dan juga rasa percaya, serta
tidak melibatkan seksualitas.
II.A. 2. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Terbentuknya Persahabatan
Terdapat beberapa faktor yang mendasari terbentuknya sebuah persahabatan
(Hogg & Vaughan, 2002), yaitu:
a. Fisik yang menarik (Physical Attractiveness)
Individu yang menarik dinilai lebih positif daripada individu yang tidak
menarik, bahkan bagi orang-orang yang sudah mengenal mereka.
b. Kedekatan (Proximity)
Kedekatan menjadi faktor yang berperan pada awal terbentuknya
persahabatan. Menurut Festinger (dalam Hogg & Vaughan, 2002), bahwa individu
akan memilih sahabat yang tinggal lebih dekat dengannya, dibandingkan individu
yang tinggal lebih jauh jaraknya. Hal ini dikarenakan kedekatan bisa
menghasilkan keakraban dan individu mengetahui dimana keberadaan sahabatnya
saat dibutuhkan. Selain itu, kedekatan juga bisa menumbuhkan harapan untuk
berlanjutnya interaksi yang telah terjalin.
c. Saling berbalasan (Reciprocity)
Saling berbalasan adalah sebuah aturan ”melakukan hal yang sama seperti
yang pernah dilakukan orang lain terhadap diri individu”. Prinsip saling
berbalasan ini berbeda antara satu individu dengan individu yang lain, tergantung
pada attachment style, kemampuan menerima umpan balik dan harga diri serta
faktor situasi.
d. Persamaan (Similarity)
Persamaan sikap dan nilai adalah faktor paling penting dalam ketertarikan.
kepribadian (Stevens, dkk, dalam Hogg & Vaughan, 2002), sosiabilitas, minat,
dan aktivitas waktu luang yang cocok akan semakin memudahkan untuk saling
tertarik (Sprecher, dalam Hogg & Vaughan, 2002).
e. Kebutuhan melengkapi (Need Complementary)
Winch (dalam Hogg & Vaughan, 2002), mengungkapkan bahwa individu
akan menilai orang lain atau yang berlawanan bisa memuaskan kebutuhannya
dengan baik. Menurut Myers (1996), saling melengkapi merupakan konsep dasar
bahwa adanya perbedaan antar individu bisa dijadikan dasar untuk saling
melengkapi satu sama lain.
f. Pengaruh Keterbukaan (Effect of Self-disclosure)
Keterbukaan diri (self-disclosure) adalah berbagi informasi tentang perasaan
dan pikiran pribadi kepada orang lain. Keterbukaan diri penting dalam keintiman
jangka panjang sebuah hubungan. Menurut Social Penetration Model Taylor
(Hogg & Vaughan, 2002), bahwa individu akan berbagi topik yang lebih pribadi
dengan sahabatnya daripada dengan teman biasa atau orang asing.
II. A. 3. Tahapan Persahabatan
Selman (dalam Papalia, 2007) menyatakan bahwa perkembangan
persahabaatn melalui 5 (lima) tahap yang overlap, yaitu:
1. Stage 0: momentary playmateship (usia 3 – 7 tahun)
Undifferentiated level, dimana anak bersifat egosentris dan memiliki
masalah dalam memahami sudut pandang orang lain. Mereka cenderung hanya
2. Stage 1: one-way assistance (usia 4 – 9 tahun)
Unilateral level, dimana “good friend” melakukan apa yang diinginkan oleh
anak.
3. Stage 2: two-way fair-weather cooperation (usia 6 – 12 tahun)
Reciprocal level, dimana dalam tahap ini melibatkan proses “memberi dan
menerima”, tapi tetap dengan ketertarikan yang saling berbeda.
4. Stage 3: intimate, mutually shared relationship (usia 9 – 15 tahun)
Mutual level, dimana anak melihat persahabatan sebagai kepemilikan
terhadap kehidupannya sendiri. Hubungan yang ada menjadi posesif dan
eksklusif.
5. Stage 4: autonomous interdependence (dimulai sejak usia 12 tahun)
Interdependent level, dimana anak perduli dengan kebutuhan sahabat, baik
untuk mandiri, ataupun bergantung. Hubungan dibangun atas dasar rasa saling
percaya.
II. A. 4. Aturan Dalam Persahabatan
Argyle dan Henderson (dalam Fraser, Colin & Burchell, 2004)
mengidentifikasi aturan-aturan yang harus dimiliki dalam suatu persahabatan.
Aturan-aturan tersebut dapat dijadikan dasar dalam menjaling hubungan
persahabatan yang ada. Aturan-aturan tersebut yaitu:
a. Pertukaran (exchange), dengan aspek-aspeknya yaitu:
1) Berusaha membalas setiap hal yang diberikan sahabat
3) Menunjukkan dukungan emosional kepada sahabat
4) Memberikan bantuan saat sahabat membutuhkannya
5) Berusaha membuat sahabat senang saat mereka merasa sedih
b. Keintiman (intimacy), dengan aspek-aspeknya, yaitu:
1) Saling percaya satu sama lain
c. Koordinasi (coordination), dengan aspek-aspeknya, yaitu:
1) Menghargai privacy sahabat
2) Tidak mengganggu sahabat saat mereka tidak ingin diganggu
d. Pihak ketiga, dengan aspeknya yaitu:
1) Tidak mengomel kepada sahabat di depan orang lain
2) Menjaga kepercayaan yang diberikan sahabat
3) Tetap bertindak sebagai sahabat, baik ketika teman tersebut ada maupun
tidak ada.
4) Toleransi terhadap sahabat
5) Tidak merasa cemburu terhadap teman-teman sahabat.
Aturan-aturan tersebut tidak harus dimiliki keseluruhannya. Namun ketika
tidak dimiliki dapat menyebabkan kemunduran dalam hubungan persahabatan.
Selain itu aturan-aturan tersebut juga akan menentukan bagaimana pihak luar
harus berperilaku terhadap hubungan persahabatan.
II. A. 5. Fungsi Persahabatan
Gottman & Parker (dalam Santrock, 2002), menyatakan bahwa persahabatan
a. Companionship. Persahabatan memberi individu seseorang yang akan
menghabiskan waktu bersama dan bergabung dalam aktivitas yang sama.
b. Stimulation. Persahabatan sebagai sumber informasi, kegembiraan, dan
hiburan.
c. Physical support. Persahabatan sebagai sumber daya dan bantuan.
d. Ego support. Persahabatan memberikan harapan akan dukungan, semangat,
dan umpan balik yang akan membantu dalam mempertahankan kesan sebagai
individu yang kompeten, menarik, dan berguna.
e. Social comparison. Persahabatan memberikan informasi mengenai dimana
posisi individu dalam berhubungan dengan orang lain dan apakah mereka
melakukan hal yang benar.
f. Intimacy/affection. Persahabatan memberikan hubungan yang hangat, dekat
dan mempercayakan dengan individu lain, hubungan yang melibatkan
keterbukaan diri.
Peran sahabat lainnya menurut Shaffer (2005) adalah sebagai pemberi
dukungan sosial. Wils & Fegan (dalam Sarafino, 2006) menyatakan bahwa
dukungan sosial merupakan perasaan nyaman, diperhatikan, dihargai, atau
menerima pertolongan dari orang atau kelompok lain. Keterikatan secara sosial
dan hubungan dengan orang lain yang berlangsung lama diterima sebagai aspek
kepuasan secara emosional dalam kehidupan. Hal ini dapat menghentikan efek
dari stres, menolong seseorang menghadapi peristiwa yang membuat stres, dan
kemungkinan mengurangi stres akibat keadaan kesehatan yang memprihatinkan
II. B. REMAJA
II. B. 1. Definisi Remaja
Istilah Adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere (kata
Belanda, alolescentia yang berarti remaja) yang berarti tumbuh atau tumbuh
menjadi dewasa (dalam Hurlock, 1999). Piaget (dalam Hurlock, 1999),
mengatakan bahwa secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu
berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak langsung merasa
di bawah tingkat orang – orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan
yang sama.
Papalia (2007), mengatakan bahwa remaja adalah peralihan masa
perkembangan antara masa kanak – kanak dan dewasa meliputi perubahan fisik,
kognitif, dan psikososial. Menurut Monks, dkk (1999) remaja adalah individu
yang berusia antara 12-21 tahun yang sedang mengalami masa peralihan dari
masa anak-anak ke masa dewasa, dengan pembagian 12-15 tahun masa remaja
awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun masa remaja akhir.
Berdasarkan uraian di atas remaja merupakan merupakan masa peralihan,
dari masa kanak-kanak menuju ke masa dewasa, yang mana ditandai dengan
perubahan fisik, kognitif, dan psikososial, dimana individu tumbuh dan
berkembang, dan mulai berintegrasi dengan masyarakat dewasa.
II. B. 2. Tugas Perkembangan Remaja
Tugas – tugas Perkembangan Remaja menurut Havinghurst (dalam Hurlock,
a. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik
pria maupun wanita
b. Mencapai peran sosial pria, dan wanita
c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif
d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggungjawab
e. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang-orang dewasa
lainnya
f. Mempersiapkan karier ekonomi
g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga
h. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis.
II. B. 3. Ciri-Ciri Masa Remaja
Hurlock (1999), seperti halnya dengan semua periode yang penting selama
rentang kehidupan, masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang
membedakannya dengan periode sebelum dan sesudahnya, yaitu:
a. Masa remaja sebagai periode yang penting
Remaja mengalami perkembangan fisik dan mental yang cepat dan penting
dimana semua perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan
pembentukan sikap, nilai dan minat baru.
b. Masa remaja sebagai periode peralihan
Peralihan tidak berarti terputus dengan atau berubah dari apa yang telah
terjadi sebelumnya. Tetapi peralihan merupakan perpindahan dari satu tahap
diartikan bahwa apa yang telah terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekas pada
apa yang terjadi sekarang dan yang akan dating, serta mempengaruhi pola
perilaku dan sikap yang baru pada tahap berikutnya.
c. Masa remaja sebagai periode perubahan
Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar
dengan tingkat perubahan fisik. Perubahan fisik yang terjadi dengan pesat diikuti
dengan perubahan perilaku dan sikap yang juga berlangsung pesat. Perubahan
fisik menurun, maka perubahan sikap dan perilaku juga menurun.
d. Masa remaja sebagai usia bermasalah
Setiap periode mempunyai masalahnya sendiri-sendiri, namun masalah
masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak laki-laki
maupun anak perempuan. Ada dua alas an bagi kesulitan ini, yaitu:
1) Sepanjang masa kanak-kanak, masalah anak-anak sebagian diselesaikan oleh
orangtua dan guru-guru, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman
dalam mengatasi masalah.
2) Remaja merasa diri mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya
sendiri, menolak bantuan orang tua dan guru-guru.
e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas
Pencarian identitas dimulai pada akhir masa kanak-kanak, penyesuaian diri
dengan standar kelompok lebih penting daripada bersikap individualistis.
Penyesuaian diri dengan kelompok pada remaja awal masih tetap penting, namun
lambat laun mereka mulai mendambakan identitas diri, dengan kata lain ingin
f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan
Anggapan stereotype budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak
rapi, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak dan berperilaku merusak,
menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasi kehidupan
remaja bersikap tidak simpatik terhadap perilaku remaja yang normal.
g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik
Remaja pada masa ini melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana
yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-cita.
Semakin tidak realistik cita-citanya, ia semakin menjadi marah. Remaja akan sakit
hati dan kecewa apabila orang lain mengecewakannya atau kalau ia tidak berhasil
mencapai tujuan yang ditetapkannya sendiri.
h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa.
Semakin mendekatnya usia kematangan, para remaja menjadi gelisah untuk
meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa
mereka sudah hamper dewasa, remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang
dihubungkan dengan status dewasa yaitu merokok, minum minuman keras,
menggunakan obat-obatan, dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka
menganggap bahwa perilaku ini akan memberi citra yang mereka inginkan.
III.C. LEUKEMIA (Kanker Darah)
II. C. 1. Gambaran Umum Kanker
Kanker adalah penyakit sel yang ditandai dengan pembelahan sel yang tak
berbahaya karena dapat menyebabkan kematian baik secara langsung maupun
tidak langsung. Secara langsung, sel kanker menyebar sampai ke organ vital
seperti otak atau paru lalu mengambil nutrisi yang dibutuhkan oleh organ tersebut,
akibatnya organ itu rusak dan kahirnya mati. Secara tidak langsung kanker dapat
mengakibatkan kematian melalui dua cara. Pertama, penyakit itu sendiri
melemahkan penderitanya. Kedua, baik penyakit maupun pengobatannya dapat
menurunkan gairah hidup dan kemampuan tubuh untuk melawan penyakit (Laszlo
dalam Sarafino, 2006).
Secara umum penyakit kanker disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor
eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal merupakan pengaruh luar terhadap
tubuh, yaitu gaya hidup dan faktor lingkungan. Faktor eksternal yang
berhubungan dengan kanker contohnya antara lain merokok, penggunaan alkohol
yang berlebihan, makanan tidak sehat, radiasi matahari dan sumber lain, serta zat
kimia seperti benzena dan asbestos (Hartmann & Loprinzi, 2005).
American Cancer Societym (ACS) mendefinisikan kanker sebagai
kelompok penyakit yang ditandai dengan pertumbuhan dan penyebaran sel
abnormal yang tidak terkontrol (Kaplan, 1993). Menurut John dkk (dalam
Sarafino, 1998) meskipun ada lebih dari dua ratus jenis kanker, tetapi mayoritas
kanker yang diderita orang ada empat jenis kanker, yaitu:
1. Leukemia, yakni kanker yang terjadi pada organ pembentuk darah seperti
sumsum tulang, kelenjar getah bening, dan limfa. Kanker ini ditandai dengan
2. Carcinomas, yakni kanker yang terjadi pada sel-sel epitel seperti pada kulit
atau sel-sel organ dalam tubuh, misalnya usus, paru, rahim, dan payudara.
3. Lymphoma, yakni kanker pada sel-sel lymphalic seperti leher, lipatan paha,
dan lipatan lengan.
4. Sarcomas, yakni kanker yang berasal dari sel-sel non epitel seperti tulang,
tulang rawan, getah bening, dan sendi.
Leukemia merupakan salah satu dari sekian banyak penyakit kronis.
Penyakit kronis didefinisikan sebagai kondisi fisik atau mental, yang
mempengaruhi fungsi keseharian individu untuk interval waktu lebih dari 3 bulan
dalam satu tahun, atau masa perawatan di rumah sakit lebih dari satu bulan. Selain
leukemia, yang termasuk penyakit kronis antara lain Cerebral Palsy, Diabetes,
Epilepsi, Down’s Syndrome, Kanker, kondisi Jantung, Asma, berbagai tipe
Anemia, dan lain sebaginya, yang semuanya diketahui mempengaruhi kondisi
fisik dan psikologis individu (Theofanidis, 2009).
II. C. 2. Definisi Leukemia
Leukemia merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal dari
sumsum tulang, ditandai oleh proliferasi sel-sel darah putih, dengan manifestasi
adanya sel-sel abnormal dalam darah tepi (Permono, dkk, 2005). Menurut
Supandiman (1997), leukemia adalah suatu keadaan dimana terjadi pertumbuhan
yang bersifat irreversibel dari sel induk dari darah.
Hoffbrand, dkk (2001), menyatakan bahwa leukemia adalah sekumpulan
tulang dan darah. Sel-sel abnormal ini menyebabkan timbulnya gejala karena: (a)
kegagalan sumsum tulang (yaitu anemia, netropenia, trombositopenia); dan (b)
infiltrasi organ (misalnya hati, limpa, kelenjar getah bening, otak, kulit, atau
testis).
Berdasarkan uraian di atas leukemia merupakan suatu keadaan yang
ditandai dengan proliferasi sel-sel darah putih, dimana terjadi pertumbuhan yang
bersifat irreversibel dari sel induk dari darah.
III.C. 4. Faktor Resiko Penyebab Leukemia
Penyebab leukemia belum diketahui secara pasti. Namun penelitian telah
menunjukan bahwa orang-orang dengan faktor-faktor risiko tertentu lebih
mungkin daripada yang lain untuk mengembangkan leukemia. Suatu faktor risiko
adalah apa saja yang meningkatkan kesempatan seseorang mengembangkan suatu
penyakit. Faktor-faktor tersebut antara lain :
a. Radiasi ionisasi
Bukti-bukti penelitian menunjukkan bahwa radiasi ionisasi bersifat
leukemogenik pada manusia, misalnya ledakan bom atom dan kecelakaan
bangunan tenaga nuklir (Hoffbrand & Pettit, 1996).
b. Zat kimia
Faktor lainnya yang diperkirakan mnejadi faktor resiko leukemia adalah
terpaparnya populasi terhadap zat-zat kimia tertentu seperti polutan lingkungan
produk-produk yang berasal dari minyak bumi, cat dan pestisida berperan sebagai
etiologi dari leukemia (Jones & Wickramasinghe, 1995).
c. Infeksi virus
Penelitian menunjukkan bahwa terdapat dua jenis virus yang dapat beresiko
terhadap leukemia, yaitu retrovirus HTLV-1 dan cRNA, dimana virus tersebut
dapat menyebabkan infeksi yang menyebabkan terganggunya pengaturan sel T
(Hoffbrand & Pettit, 1996).
d. Faktor genetik
Faktor genetik menjadi faktor resiko dalam berkembangnya leukemia
didasarkan pada hasil penelitian terhadap anak kembar leukemia dan pada
beberapa penyakit genetik. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa insiden
leukemia meningkat pada dua kasus tersebut (Hoffbrand, Pettit, & Moss, 2001).
II. C. 5. Keluhan Leukemia
Keluhan dari leukemia bermacam-macam akan tetapi dapat digolongkan
sebagai berikut (Supandiman, 1997):
a. Infeksi
Keluhan dan gejala infeksi leukemia adalah sama seperti keadaan infeksi
lainnya, yaitu: panas, menggigil, berkeringat.
b. Hipermetabolisme
Gejala dan keluhan hipermetabolisme adalah: berkeringat banyak, penurunan
berat badan, tanda defisiensi vitamin, peninggian kadar asam urat.
Infiltrasi ke otak akan menyebabkan keluhan sakit kepala, infiltrasi ke tulang
menimbulkan sakit tulang, infiltrasi ke gusi akan menimbulkan hipertrofi gusi
dan sering disertai pendarahan gusi.
d. Manifestasi anemia
Keluhan akibat adanya anemia: lemah badan dan cepat lelah, dan
keluhan-keluhan kardiovaskuler lainnya.
e. Keluhan akibat trombositopenia
Trombositopenia menimbulkan pendarahan baik di kulit berupa ptechiae,
selaput lendir dan alat-alat dalam.
II. C. 6. Pengobatan Pasien Leukemia
Penanganan leukemia meliputi kuratif dan suportif. Penanganan suportif
meliputi pengobatan penyakit lain yang menyertai leukemia dan pengobatan
komplikasi antara lain berupa pemberian transfusi darah/trombosit, pemberian
antibiotik, pemberian obat untuk meningkatkan granulosit, obat anti jamur,
pemberian nutrisi yang baik, dan pendekatan aspek psikososial. Terapi
kuratif/spesifik bertujuan untuk menyembuhkan leukemianya berupa kemoterapi
yang meliputi induksi remisi, intensifikasi, profilaksis susunan saraf pusat dan
rumatan (Permono, dkk, 2005).
Ada empat bentuk umum treatment yang diberikan pada penderita
leukemia (Gunz & Henderson, 1983), yaitu:
a. Chemotherapy, kebanyakan pasien-pasien dengan leukemia menerima
membunuh sel-sel leukemia. Tergantung pada tipe dari leukemia, pasien mungkin
menerima suatu obat tunggal atau suatu kombinasi dari dua atau lebih obat-obat.
b. Immunotherapy, dimana treatment-nya telah dievaluasi dan memiliki
kesuksesan yang paling banyak. Tipe perawatan ini memperbaiki
pertahanan-pertahanan alami tubuh terhadap kanker. Terapi diberikan dengan suntikan
kedalam suatu vena.
c. Stem cell transplantation, beberapa pasien leukemia melakukan transplantasi
sel induk. Pencangkokan sel induk dilakukan dengan memberikan pasien
perawatan dengan dosis obat-obatan yang tinggi, radiasi, atau kedua-duanya.
Dosis-dosis yang tinggi menghancurkan sel-sel leukemia dan sel-sel darah normal
didalam sumsum tulang. Kemudian, pasien menerima sel-sel induk yang sehat
melalui suatu tabung yang lentur yang ditempatkan didalam suatu vena yang besar
pada leher atau area dada. Sel-sel darah baru berkembang dari sel-sel induk yang
dicangkokan.
d. Radiotherapy.
Terapi radiasi menggunakan sinar-sinar bertenaga tinggi untuk membunuh
sel-sel leukemia. Untuk kebanyakan pasien-pasien, radiasi diarahkan pada limpa,
otak, atau bagian-bagian lain dari tubuh dimana sel-sel leukemia telah berkumpul.
II. C. 7. Kondisi Psikologis yang Dialami Penderita Leukemia
Penderita penyakit kronis seperti leukemia dapat mengalami tiga akibat
dari penyakit yang dideritanya atau pengobatan yang dijalaninya (Radley, 1994),
a. Impairment, yaitu kehilangan atau mengalami abnormalitas fungsi fisiologis
atau anatomis. Misalnya tidak bisa menggerakkan tangan atau tidak bisa
berjalan.
b. Disability, yaitu keterbatasan dalam kemampuan untuk mengerjakan suatu
tugas atau untuk menjalankan peran secara normal. Misalnya tidak bisa mandi
atau buang air kecil sendiri, tidak bisa bekerja, dan tidak bisa memasak.
c. Handicap, yaitu kerugian yang bersifat sosial berupa perlakuan orang lain
kepada orang dengan impairment atau disability tertentu. Misalnya dikucilkan
oleh orang lain.
Ketiga hal di atas dapat mempengaruhi kehidupan penderitanya. Lebih
lanjut Charmaz (dalam Radley, 1994) menyatakan bahwa ada empat kondisi
psikologis yang dapat dialami oleh orang yang hidup dengan penyakit kronis
seperti leukemia yaitu:
a. Kehidupan yang terbatas (restricted life). Hal ini terjadi jika seseorang
terpaksa “terpuruk” di rumah, baik karena sakit yang dirasakan maupun
pengobatan yang sedang dijalani.
b. Keterasingan sosial (social isolation). Hal ini merupakan akibat dari penyakit
seseorang atau pengobatannya sehingga penderita terpaksa tidak dapat
melakukan interaksi sosial dengan orang lain atau dapat juga berasal dari
perasaan penderita sendiri bahwa orang lain akan memperlakukan mereka
berbeda.
c. Definisi diri yang tidak baik (discrediting definition of self). Hal ini terjadi jika
bersahabat atau rasa tidak nyaman saat berhubungan dengan penderita. Selain
itu dapat terjadi jika penderita tidak dapat lagi melakukan pekerjaan yang
sederhana seperti dulu. Keadaan-keadaan ini dapat menjadi sumber
meningkatnya penilaian negative terhadap diri sendiri.
d. Merasa menjadi beban bagi orang lain (becoming a burden on others). Hal ini
terjadi bila seseorang menderita sakit yang berat sehingga tidak dapat lagi
menjalankan tugasnya seperti dulu. Hal ini dapat menimbulkan perasaan tidak
berguna baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
II. D. PERSAHABATAN PADA REMAJA PENDERITA LEUKEMIA
Usia remaja merupakan masa dimana seseorang berkembang menjadi
dewasa dan masa yang sangat penting dalam pembentukan kepribadian seseorang
(Dunkel-Schetter, Feinstein, Taylor, & Falke, dalam Suzuki & Kato). Untuk itu,
remaja perlu terlibat dalam aktivitas yang akan membantu mereka dalam transisi
ke peran dewasa, yaitu hidup mandiri. Studi kualitatif longitudinal pada remaja
yang mengalami penyakit kronis melaporkan adanya kesadaran remaja yang
tinggi akan keterbatasan tubuh mereka yang baru, yang memerlukan bantuan
dalam aktivitas sehari-hari (Law, 2002; Law et al., 1998; Passmore, 2003, dalam
Berg, Neufeld, Harvey, Downes & Hayashi, 2008).
Ketika didiagnosa dengan leukemia, remaja akan bertanya-tanya, mengapa
hal itu terjadi pada mereka, dan mungkin akan mengembangkan perasaan bersalah
bahwa penyakit tersebut muncul sebagai hasil dari apa yang telah mereka lakukan
Diagnosa leukemia pada remaja membawa berbagai perubahan dalam
kehidupannya. Penyakit leukemia akan mempengaruhi semua aktivitas dan
kepribadiannya. Mereka secara tiba-tiba ditempatkan pada posisi yang
mengharuskan mereka coping dengan berbagai situasi, seperti rasa sakit dan
ketakutan yang mereka alami, dan juga perubahan dalam hubungan sosial
(Dunkel-Schetter, Feinstein, Taylor, & Falke, dalam Suzuki & Kato).
Leukemia adalah kanker pada jaringan pembentuk darah (sum-sum tulang).
Penyakit tersebut menyebabkan tubuh dilimpahi oleh sel darah putih dengan
jumlah yang tidak normal, dan produksi sel darah merah, yang berfungsi sebagai
pembawa oksigen, dan platelet, yang mencegah pendarahan, mengalami
penurunan (Keene, 2002). Ketidaknormalan sel darah tersebut menyebabkan
penderita leukemia mengalami berbagai simptom, termasuk di dalamnya
kelelahan, infeksi, mudah memar, pendarahan, dan sakit kepala. Semakin
berkembangnya penyakit ini, penderita akan mengalami: berkeringat di malam
hari, sulit bernafas, dan berkurangnya berat badan (Bozzone, 2009).
Leukemia merupakan penyakit yang tidak dapat diprediksi. Pada beberapa
individu kondisi leukemia berkembang dengan lambat, sehingga penderita dapat
hidup untuk beberapa dekade. Namun pada kondisi yang berbeda, penderita
memerlukan berbagai bentuk terapi, dan dapat menyebabkan kematian dalam
beberapa tahun (Rai & Chiorazzi, dalam Falvo, 2005).
Penderita leukemia diharuskan untuk menerima treatment yang biasanya
diberikan segera setelah remaja didiagnosa dengan leukemia. Treatment diberikan
Namun, hal itu memiliki konsekuensi bagi diri remaja itu sendiri, yang biasanya
menimbulkan pertanyaan akan kualitas hidup mereka setelah treatment tersebut
diberikan. Selain itu diagnosa leukemia juga biasanya diasosiasikan dengan
perasaan hopelessness, rasa takut dan premature death pada penderitanya,
termasuk remaja (Mughal, Goldman, & Mughal, 2006). Treatment leukemia,
seperti kemoterapi ataupun radioterapi memiliki berbagai efek samping seperti
nausea, kehilangan nafsu makan, cepat merasa lelah, yang kemudian akan
mempengaruhi kehidupan sehari-hari penderita selama ataupun setelah treatment
tersebut diberikan (Falvo, 2005).
Leukemia dapat mempengaruhi remaja secara emosional, mental, dan fisik.
Hal yang paling umum dari kondisi fisik penderita leukemia adalah lemah, lelah,
dan cenderung mengembangkan berbagai infeksi (Mughal, Goldman, & Mughal,
2006), dan hampir sama seperti penderita penyakit kronis lainnya, penderita
leukemia memiliki level yang tinggi dalam kemarahan, ketakutan, dan kesedihan
(Fernandez, et al, dalam Sarafino, 2006), serta kecemasan, depresi, juga emosi
negative lainnya (Ridder, et al, 2008).
Leukemia merupakan salah satu penyakit kronis. Penyakit kronis
merupakan gangguan yang muncul untuk jangka waktu yang lama dan
mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berfungsi secara normal. Seperti juga
penyakit kronis lainnya, leukemia berpotensi untuk membuat suatu perubahan
yang sangat besar dalam kehidupan seseorang, yang berdampak negatif pada
kualitas hidup dan kesejahteraannya. Begitu juga yang terjadi pada remaja, ketika
mengharuskannya coping dengan perubahan-perubahan tersebut. Untuk mampu
melakukan itu, sangat penting bagi remaja untuk menemukan dukungan sosial dan
dukungan emosional (Jay, dkk, dalam Suzuki & Kato).
Black (dalam Nancy, 1997) mendukung pernyataan ini dengan menyatakan
bahwa peran dukungan sosial sama pentingnya dengan peran pengobatan medis.
Salah satu sumber dimana remaja dapat memperoleh dukungan tersebut adalah
sahabat. Dengan sahabat, remaja dapat mengekspresikan pikiran dan perasaan
pribadi mereka. Remaja juga memperoleh tempat yang memungkinkan mereka
untuk menyampaikan kelemahan dan memperoleh bantuan ketika berada dalam
masalah (Buhrmester, dalam Papalia, 2007). Sahabat merupakan sumber
dukungan emosional utama bagi remaja (La Greca, et al; Thomas & Hauser,
dalam Helgeson, Reynolds, Shestak, dan Wei, 2005).
Persahabatan yang diberikan kepada penderita leukemia akan membantu
mereka untuk coping dengan permasalahan-permasalahan yang muncul
disebabkan penyakitnya, dimana sahabat akan menghabiskan waktu bersama,
sahabat memberikan informasi, kegembiraan, dan hiburan, sahabat juga dapat
bertindak sebagai sumber bantuan, sumber dukungan, dan sumber semangat, dan
lain-lain (Gottman & Parker, dalam Santrock, 2002).
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat
deskriptif, yakni menggambarkan pepersahabatan pada remaja penderita
leukemia.
IV. A. PENDEKATAN KUALITATIF
Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005) mendefinisikan metode
kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
David dan Williams (dalam Moleong, 2005) menulis bahwa penelitian kualitatif
adalah pengumpulan data pada suatu latar alamiah, dan dilakukan oleh orang atau
peneliti yang tertarik secara alamiah. Data diperoleh dengan wawancara,
observasi, dokumen pribadi.
Melalui penelitian kualitatif, diharapkan peneliti memperoleh pemahaman
yang menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti dan akan dapat melihat
permasalahan ini dengan lebih mendalam karena turut mempertimbangkan
dinamika, perspektif, alasan, dan faktor-faktor eksternal yang turut mempengaruhi
responden penelitian (Poerwandari, 2007).
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena yang ingin diteliti
adalah pengalaman subjektif individu dalam membentuk persahabatan dalam
memfokuskan variasi pengalaman dari individu-individu atau
kelompok-kelompok yang berbeda (Poerwandari, 2007).
III. B. RESPONDEN PENELITIAN
III. B. 1. Karakteristik Responden Penelitian
Pemilihan responden penelitian didasarkan pada karakteristik tertentu.
Adapun karakteristik responden dalam penelitian ini adalah:
1) Remaja akhir, berusia 18-21 tahun
Peneliti memiliki pertimbangan dalam menentukan usia responden,
yaitu: remaja akhir sudah mampu mengevaluasi alasan mereka membentuk
ikatan persahabatan, aturan-aturan yang mereka miliki dalam persahabatan,
fungsi sahabat baginya, serta arti sahabat itu sendiri bagi diri mereka. Selain
itu penentuan usia remaja akhir adalah untuk mengurangi variasi data yang
disebabkan adanya perbedaan rentang usia yang terlalu jauh.
2) Memiliki sahabat
Hal ini sesuai dengan tujuan penelitian peneliti yaitu ingin mengetahui
gambaran persahabatan pada remaja penderita leukemia.
3) Menderita leukemia
Hal ini sesuai dengan tujuan penelitian peneliti yaitu ingin mengetahui
4) Diagnosa leukemia diterima di usia remaja
Peneliti menentukan usia awal didiagnosa leukemia dengan
pertimbangan untuk mengurangi kebervariasian dinamika persahabatan yang
muncul di dalam penelitian.
III. B. 2. Jumlah Responden Penelitian
Menurut Poerwandari (2007), penelitian kualitatif bersifat relatif luwes.
Oleh sebab itu, tidak ada aturan yang pasti dalam jumlah sampel yang harus
diambil untuk penelitian kualitatif. Jumlah sampel pada penelitian kualitatif
diarahkan pada kecocokan konteks (Sarantakos, dalam Poerwandari 2007) dan
tergantung pada apa yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu
dan sumber daya yang tersedia. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 3
(tiga) orang karena mempertimbangkan keterbatasan dari peneliti sendiri baik dari
segi waktu, biaya maupun kemampuan peneliti.
III. B. 3. Prosedur Pengambilan Responden Penelitian
Prosedur pengambilan responden dalam penelitian ini berdasarkan konstruk
operasional (operational construct sampling). Responden dipilih berdasarkan
kriteria yang telah ditetapkan, berdasarkan teori atau konstruk operasional sesuai
III. B. 4. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan memilih responden yang berdomisili di
Medan dan Jakarta. Pengambilan daerah penelitian tersebut adalah dengan alasan
kemudahan untuk mendapatkan partisipan penelitian.
III. C. METODE PENGUMPULAN DATA
Tipe-tipe pengumpulan data dalam penelitian kualitatif sangat beragam,
disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian dan sifat objek yang diteliti.
Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data melalui wawancara dan
observasi. Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk
mencapai tujuan tertentu (Poerwandari, 2007). Menurut Banister dkk. (dalam
Poerwandari, 2007) wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk
memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu
berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud mengadakan eksplorasi
terhadap isu tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti dilengkapi dengan pedoman
wawancara. Pedoman wawancara berisi open-ended question yang bertujuan agar
arah wawancara tetap sesuai dengan tujuan penelitian (Poerwandari, 2007).
Berdasarkan teori, pedoman wawancara disusun untuk memperoleh data tentang
persahabatan pada remaja penderita leukemia. Peneliti akan menggali perasaan
yang dihadapi penderita leukemia akibat kondisi fisik dan psikologis yang
dideritanya, serta bagaimana persahabatan yang dimiliki penderita.
Selama wawancara berlangsung akan dilakukan observasi terhadap situasi
Poerwandari, 2007) menegaskan bahwa observasi merupakan metode
pengumpulan data esensial dalam penelitian, apalagi penelitian menggunakan
pendekatan kualitatif.
Hal yang sangat penting dalam melakukan observasi adalah peneliti
melaporkan hasil observasinya secara deskriptif, tidak interpretatif. Pengamat
tidak mencatat kesimpulan atau interpretasi melainkan data konkrit berkenaan
dengan fenomena yang diamati (Poerwandari, 2007). Adapun hal-hal yang akan
diobservasi adalah lingkungan fisik tempat dilakukannya wawancara, kondisi fisik
dan emosional responden saat menjawab setiap pertanyaan dalam wawancara,
serta hal-hal yang mengganggu jalannya wawancara.
III. D. ALAT BANTU PENGUMPULAN DATA
Menurut Poerwandari (2007), dalam metode wawancara, alat yang
terpenting adalah peneliti sendiri. Untuk memudahkan pengumpulan data, peneliti
membutuhkan alat bantu. Alat bantu yang akan digunakan dalam penelitian ini
yaitu:
1. Pedoman Wawancara
Pedoman wawancara disusun berdasarkan teori-teori dalam BAB II,
sehingga peneliti mempunyai kerangka pikiran tentang hal-hal yang ingin
ditanyakan. Pedoman wawancara memuat isu-isu yang berkaitan dengan tema
penelitian. Pertanyaan akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat
wawancara berlangsung tanpa melupakan aspek-aspek yang harus ditanyakan.
harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek
tersebut telah dibahas atau dinyatakan (Poerwandari, 2007). Tema-tema yang
dapat menjadi pedoman wawancara adalah bagaimana persahabatan individu
sebelum dan setelah didiagnosa leukemia.
Pedoman wawancara tidak digunakan secara kaku, karena tidak tertutup
kemungkinan peneliti menanyakan hal-hal diluar pedoman wawancara agar data
yang dihasilkan lebih akurat dan lengkap.
2. Alat perekam
Penggunaan alat perekam dilakukan setelah mendapat persetujuan dari
responden. Menurut Poerwandari (2007), sedapat mungkin suatu wawancara perlu
direkam dan dibuat transkripnya secara verbatim (kata demi kata). Tidak
bijaksana hanya mengandalkan ingatan saja, karena indera manusia terbatas, yang
memungkinkan peneliti untuk melewatkan hal-hal yang tidak terseleksi oleh
indera yang dapat mendukung penelitian. Dengan alat perekam peneliti tidak perlu
sibuk mencatat jalannya pembicaraan. Selain itu peneliti dapat melakukan
observasi terhadap partisipan selama wawancara berlangsung.
III. E. KREDIBILITAS PENELITIAN
Dalam pendekatan kualitatif dikenal istilah kredibilitas, yaitu istilah yang
paling banyak dipilih untuk mengganti konsep validitas yang dimaksudkan untuk
merangkum bahasan menyangkut kualitas penelitian kualitatif. Kredibilitas studi
masalah atau mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi
yang kompleks (Poerwandari, 2007).
Menurut Sarantakos (dalam Poerwandari, 2007), ada empat jenis validitas
yang digunakan dalam penelitian kualitatif. Dalam penelitian ini akan digunakan
validitas komunikatif, dimana validitas ini diperoleh melalui konfirmasi kembali
data dan analisis pada subjek penelitian.
Patton (dalam Poerwandari, 2007) mengusulkan beberapa cara untuk
meningkatkan kredibilitas penelitian kualitatif, antara lain:
1. Mencatat bebas hal-hal penting serinci mungkin, mencakup catatan
pengamatan objektif terhadap setting, subjek penelitian ataupun hal-hal yang
terkait. Catatan ini sangat penting dalam memudahkan, mengembangkan
analisis dan interpretasi.
2. Mendokumentasikan secara lengkap dan rapi data yang terkumpul, proses
pengumpulan data dan strategi analisisnya.
3. Memanfaatkan langkah-langkah dan proses yang diambil peneliti sebelumnya
sebagai masukan bagi peneliti untuk melakukan pendekatan terhadap
penelitiannya dan menjamin pengumpulan data yang berkualitas untuk
penelitiannya sendiri.
4. Menyertakan ”partner” atau orang yang dapat berperan sebagai pengkritik
yang dapat memberikan saran-saran dan pembelaan yang akan memberikan
pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap analisis yang dilakukan oleh peneliti.
5. Melakukan upaya-upaya konstan untuk menemukan kasus-kasus negatif,
identifikasikan akan meningkat bila juga memberikan perhatian pada
kasus-kasus yang tidak sesuai dengan pola tersebut.
6. Melakukan pengecekan dan pengecekan kembali (checking dan rechecking)
data, dengan usaha menguji kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda
peneliti perlu mengembangkan pengujian-pengujian untuk mengecek analisis,
dengan mengaplikasikannya pada data, serta mengajukan pertanyaan tentang
data.
III. F. PROSEDUR PENELITIAN
Terdapat tiga tahapan dalam prosedur penelitian kualitatif, yaitu tahapan
pralapangan, pekerjaan lapangan, tahapan analisa data.
1. Tahap Persiapan Penelitian
Pada tahap persiapan penelitian, peneliti melakukan sejumlah hal yang
diperlukan untuk melaksanakan penelitian (Moleong, 2005) yaitu sebagai berikut:
a. Mengumpulkan berbagai fenomena yang terjadi di masyarakat
Peneliti mengumpulkan berbagai fenomena yang trejadi di masyarakat
yang berhubungan dengan remaja yang menderita leukemia, baik melalui
orang-orang di sekitar, teman-teman, dosen, artikel, internet untuk
meyakinkan peneliti mengenai aspek-aspek psikologis yang terjadi pada
remaja penderita leukemia. Setelah itu, peneliti merumuskan masalah yang
b. Mempersiapkan landasan teoritis
Peneliti mengumpulkan berbagai informasi dan teori yang berhubungan
dengan persahabatan, dukungan sosial, remaja, penyakit kronis, dan leukemia.
c. Menyusun pedoman wawancara
Peneliti menyusun butir-butir pertanyaan berdasarkan kerangka teoritis
untuk menjadi pedoman wawancara.
d. Persiapan untuk pengumpulan data
Peneliti mencari beberapa orang responden yang sesuai dengan kriteria
yang telah ditentukan, meminta kesediaannya (inform concent) untuk menjadi
responden penelitian.
e. Membangun rapport
Setelah memperoleh kesediaan dari responden penelitian (tanda tangan
responden pada lembar inform concent, peneliti memulai untuk membangun
rapport.
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian
Setelah diadakan kesepakatan maka peneliti mulai melakukan wawancara,
namun sebelumnya membina rapport agar responden penelitian merasa nyaman
dan tidak merasa asing. Wawancara akan dilakukan di tempat yang
memungkinkan responden untuk melakukan sesi wawancara. Percakapan akan
direkam dengan menggunakan alat perekam mulai dari awal hingga akhir,
dan/atau mencatat percakapan dan bahasa non-verbal responden saat wawnacara
3. Tahap analisis data
Menurut Poerwandari (2007) proses analisis data adalah sebagai berikut:
a. Koding
Koding adalah proses membubuhkan kode-kode pada materi yang
diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan
mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga dapat
memunculkan dengan lengkap gambaran tentang topic yang dipelajari.
b. Organisasi data
Highlen dan Finley (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa
organisasi data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk (a) memperoleh
data yang baik, (b) mendokumentasikan analisis yang dilakukan, serta (c)
menyimpan data dan analisis yang berkaitan dengan penyelesaian penelitian.
Hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisasikan adalah data mentah
(catatan lapangan, dan kaset hasil rekaman), data yang sudah selesai diproses,
data yang sudah ditandai/dibubuhi kode-kode khusus dan dokumentasi umum
yang kronologis mengenai pengumpulan data dan langkah analisis.
c. Analisis tematik
Penggunaan analisis tematik memungkinkan peneliti menemukan pola
yang pihak lain tidak bisa melihatnya secara jelas. Pola atau tema tersebut
tampil seolah secara acak dalam tumpukan informasi yang tersedia. Analisis
tematik merupakan proses mengkode informasi, yang dapat menghasilkan