• Tidak ada hasil yang ditemukan

Study of Rice Distribution in Regional Jakarta through Cipinang Rice Market Center

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Study of Rice Distribution in Regional Jakarta through Cipinang Rice Market Center"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN DISTRIBUSI BERAS DI WILAYAH DKI JAKARTA

MELALUI PASAR INDUK BERAS CIPINANG

TATIEK KARTIKA SWARA MAHARDIKA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Distribusi Beras di Wilayah DKI Jakarta Melalui Pasar Induk Beras Cipinang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

TATIEK KARTIKA SWARA MAHARDIKA. Kajian Distribusi Beras di Wilayah DKI Jakarta Melalui Pasar Induk Beras Cipinang. Dibimbing oleh KUKUH MURTILAKSONO dan KHURSATUL MUNIBAH.

DKI Jakarta merupakan wilayah konsumen karena defisit produksi padi di wilayah tersebut dibandingkan dengan jumlah penduduk yang ada, sehingga ketergantungan DKI Jakarta terhadap wilayah lain akan pangan khususnya beras sangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat interaksi dalam hal penyaluran/distribusi beras antara Jakarta dan wilayah sekitarnya. Penyaluran dan distribusi beras di DKI Jakarta telah diatur oleh Pemerintah Daerah dengan menugaskan Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) yang dikelola oleh PT. Food Station Tjipinang Jaya sebagai badan usaha milik daerah yang menjaga ketahanan pangan dalam hal ini beras di wilayah DKI Jakarta. Sebagai pasar utama penyalur beras di wilayah DKI Jakarta, PIBC menjadi pengendali dalam stabilitas harga beras di wilayah ini dan secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi harga beras di wilayah lain. Fluktuasi harga cenderung sering terjadi dan bersifat musiman akibat tekanan permintaan dan penawaran pada periode-periode tertentu. Bahkan karena inefisiensinya saluran distribusi beras, sering terjadi rentang harga yang sangat jauh antara harga beras di tingkat produsen di wilayah sentra produksi dengan harga beras di tingkat konsumen.

Penelitian ini bertujuan untuk 1) Menganalisis distribusi beras di DKI Jakarta melalui PIBC, 2) Menganalisis interaksi spasial distribusi beras dari daerah pemasok beras ke DKI Jakarta dan mengidentifikasi daerah pemasok utama dengan daya dorong tertinggi, 3) Menganalisis daya dukung lahan daerah pemasok utama beras ke wilayah Jakarta, 4) Menganalisis pola harga beras di PIBC dan daerah pemasok utama, marjin pemasaran, dan tingkat sebaran penerimaan yang diterima petani di daerah pemasok utama, dan 5) Merumuskan arahan kebijakan pembangunan sektor pertanian dan distribusi beras di DKI Jakarta.

(5)

Hasil analisis menunjukkan bahwa alur pemasaran/distribusi beras di DKI Jakarta yang melalui PIBC melibatkan berbagai lembaga pemasaran mulai pedagang daerah sebagai pemasok ke PIBC, agen di dalam wilayah Jakarta, dan pengecer yang terdiri atas pengecer di supermarket, perumahan, dan pasar tradisional di Jakarta. Pasokan beras ke PIBC terutama berasal dari wilayah Jawa Barat seperti Karawang, Bandung, Cianjur, Cirebon dan Serang Banten. Penyaluran beras dari PIBC ke dalam wilayah Jakarta dari total pengeluaran beras oleh PIBC mencapai 49 persen pada tahun 2012 dengan jumlah penyebaran tertinggi di wilayah Jakarta Timur, diikuti oleh Jakarta Barat, Jakarta Selatan, Jakarta Utara, Jakarta Pusat, dan Kepulauan Seribu.

Interaksi antar wilayah menunjukkan bahwa pemasaran beras di PIBC sangat dipengaruhi oleh daya dorong dari wilayah asal berupa produksi beras dan jumlah petani di wilayah asal. Populasi penduduk di wilayah tujuan juga menjadi daya tarik namun tidak secara nyata dalam pemasaran beras ke PIBC, sedangkan jarak mengurangi interaksi pemasaran antar wilayah. Wilayah asal yang memiliki daya dorong tertinggi dalam hal pengiriman beras ke PIBC Jakarta adalah Karawang, yaitu sebesar 0.56.

Fluktuasi harga beras di PIBC untuk beras medium terjadi pada periode Februari-April, walaupun secara umum trend harga beras di PIBC untuk kualitas medium cenderung meningkat. Selama periode Januari 2008 sampai Agustus 2012, harga beras kualitas medium (IR-64 II) di PIBC rata-rata meningkat sekitar 0.66 persen per bulan. Perbandingan harga konsumen dengan harga yang diterima petani rata-rata memiliki nilai share masih rendah, yaitu hanya sekitar 47.04 persen dari semua saluran pemasaran yang ada. Hasil kajian menunjukkan bahwa saluran 8 merupakan saluran terpendek melalui pasar tradisional dengan nilai marjin terendah (Rp 1 306) dan nilai farmer’s share tertinggi, yaitu 50.43%. Secara keseluruhan, saluran pemasaran melalui PIBC memiliki marjin lebih rendah dibanding melalui agen di luar PIBC.

Analisis daya dukung lahan wilayah sentra produsen menunjukkan terdapat 11 kecamatan di wilayah Kabupaten Karawang yang memiliki nilai daya dukung lahan surplus, yaitu Kecamatan Pangkalan, Tegalwaru, Talagasari, Rawamerta, Tempuran, Kutawaluya, Cilebar, Cibuaya, Tirtajaya, Batujaya, dan Pakisjaya, sedangkan 19 kecamatan lainnya memiliki nilai defisit. Secara keseluruhan Karawang memiliki nilai daya dukung lahan defisit (0.63). Namun, dihitung dari daya dukung lahan khusus beras diperoleh status surplus (3.78).

Wilayah pertanian di Jakarta berada di beberapa kecamatan yang ada di kota Jakarta Utara (Cilincing, Marunda, Kamal dan Kamal Muara), Jakarta Barat (Pegadungan) dan Jakarta Timur (Pasar Rebo, Ciracas, dan Cipayung). Sebaiknya wilayah tersebut dapat dipertahankan keberadaannya, mengingat fungsi dari lahan pertanian di Jakarta sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH), serta mata pencahariaan sebagian penduduk dan sumber pemenuhan kebutuhan beras di wilayah tersebut. Kepemilikan lahannya harus dipertimbangkan karena umumnya petani di Jakarta merupakan petani penggarap.

(6)

SUMMARY

TATIEK KARTIKA SWARA MAHARDIKA. Study of Rice Distribution in Regional Jakarta through Cipinang Rice Market Center. Supervised by KUKUH MURTILAKSONO and KHURSATUL MUNIBAH.

DKI Jakarta is classified as rice consumer area based on its deficiency in rice production as compared to the number of population. Therefore, its dependency to other food producer area, particularly rice producer area, is relatively high. This condition leads to a mutual interaction in food/rice distribution between DKI Jakarta and its surrounding areas. Government of DKI Jakarta has appointed Pasar Induk Beras Cipinang/Cipinang Rice Market (PIBC) as the rice distributor in Jakarta Area. PIBC is managed by a local-owned enterprise, PT. Food Station Tjipinang Jaya, that maintains food security (rice) in Jakarta Area. As a main rice market in Jakarta Area, PIBC controls rice price stability in Jakarta and it will influence the price directly or indirectly in other areas. Price fluctuations often occur and tend to be seasonal due to supply and demand pressures during certain period. Because of inefficiency in rice distribution channels, there is a large disparity between producers and consumers prices.

This study aims to: 1) analyze the rice distribution in Jakarta area through PIBC, 2) analyze the spatial interaction of rice distribution between regions, that is from the hinterland to PIBC in Jakarta, to identify the producer area that having the highest driving force, 3) analyze the land carrying capacity in the producer area, 4) analyze the patterns of price data and the level of revenue distribution obtained by farmer in the highest driving force areas, and 5) formulate the policy direction of agricultural sector and rice distribution in DKI Jakarta.

Rice distribution mapping was made based on income and expenditure data of PIBC in 2011 and 2012 and treated with spatial analysis using geographic information system applications, while marketing flow and the involved institutions were obtained from interviews with entrepreneurs in PIBC and literature study. Analysis of interaction between regions is carried out using gravity model analysis. The information on the area that has the highest driving force to send its rice production to Jakarta was obtained from the analysis of interaction between regions. Based on these results, an analysis of the land carrying capacity in the rice production area was conducted to determine its ability to further supply the rice to Jakarta. The analysis of price data patterns was performed to reveal the price fluctuations and the price disparity between farmer and consumers prices. The analysis of marketing margins and the farmer's share was used to determine the efficiency of the rice marketing from producers to consumers.

(7)

reached 49 percent of PIBC total expenditures in 2012 with the highest spread in East Jakarta, followed by West Jakarta, South Jakarta, North Jakarta, Central Jakarta and the Thousand Islands respectively.

Based on spatial interaction analysis, the rice marketing in PIBC is strongly influenced by rice production and the number of farmers in producer areas. Although population in destination area could be one of the tractions for rice marketing, but its influence is not significant. On the other hand, the distance reduces the marketing interaction between regions. Karawang, as one of the rice producer areas, has the highest interaction value of 0.56. The value indicated that Karawang has the highest driving force for sending its rice production to PIBC Jakarta.

Although the price trend in PIBC for medium quality rice tends to increase, price fluctuations of medium rice often occur in the period of February to April. In the period of January 2008 until August 2012, the price of medium quality rice (IR-64 II) in PIBC increased approximately 0.66 percent per month. However, from all existing marketing channels, the comparison between the price paid by consumer and received by farmer has relatively low share, which is about 47.04 percent. From the results, it was shown that channel 8, which is the line via traditional market is the shortest line, has the lowest margins of Rp 1 306 and the highest farmer's share of 50.43%. In general, it can be concluded the PIBC‟s marketing channel has a lower margin than other marketing channels via agents outside the PIBC.

The analysis of the land capacity in producer areas showed that 11 sub-districts in Karawang Regency have surplus land carrying capacity. It is Pangkalan, Tegalwaru, Talagasari, Rawamerta, Tempuran, Kutawaluya, Cilebar, Cibuaya, Tirtajaya, Batujaya, and Pakisjaya, while the other 19 sub-districts have deficit land carrying capacity. In general, Karawang Regency has deficit land carrying capacity (0.63). Especially, for rice land carrying capacity Karawang, however has surplus 3.78 points.

Agricultural areas in Jakarta lies on several sub-districts i.e North Jakarta (Cilincing, Marunda, Kamal and Kamal Muara), West Jakarta (Pegadungan), and East Jakarta (PasarRebo, Cakung, Ciracas, and Cipayung). The area should be able to be protected, given the function of agricultural land in Jakarta as a green open space (RTH), as well as livelihood, and source of the availability of rice for most of the population in that area. Property right of the land should be considered due to the most farmers are sharecroppers in Jakarta.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

KAJIAN DISTRIBUSI BERAS DI WILAYAH DKI JAKARTA

MELALUI PASAR INDUK BERAS CIPINANG

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(10)
(11)

Judul Tesis : Kajian Distribusi Beras di Wilayah DKI Jakarta Melalui Pasar Induk Beras Cipinang

Nama : Tatiek Kartika Swara Mahardika NIM : A156110324

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS Ketua

Dr. Khursatul Munibah, MSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir Dahrul Syah, MSc.Agr

(12)

PRAKATA

Perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT bahwa atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga rangkaian karya ilmiah ini, mulai dari penyusunan proposal, penelitian hingga penulisan tesis berjudul Kajian Distribusi Beras di Wilayah DKI Jakarta Melalui Pasar Induk Beras Cipinang dapat diselesaikan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS selaku ketua komisi pembimbing atas arahan dan bimbingannya selama ini.

2. Dr. Khursatul Munibah, MSc selaku anggota komisi pembimbing atas dukungan, arahan, dan bimbingannya dari awal hingga penyelesaian tesis ini. 3. Dr. Ir. Suwarto, M.Si yang berkenan menjadi penguji luar komisi pada ujian

tesis ini.

4. Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus selaku ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB beserta seluruh staf pengajar dan staf manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB atas dorongan, bimbingan dan kerjasamanya. 5. Didit Pribadi, SP. M.Si atas saran dan diskusi jarak jauhnya kepada penulis. 6. Pusbindiklatren Bappenas atas beasiswa yang diberikan dan Badan Ketahanan

Pangan Kementerian Pertanian yang memberikan izin tugas belajar.

7. Pelaku pemasaran dan manajemen di Pasar Induk Beras Cipinang, Pemerintah Daerah DKI Jakarta dan Karawang beserta Instansi sektor terkait yang memberikan kesempatan penulis untuk penelitian di wilayahnya.

8. Orangtua tercinta Bapak Aning Soeripno (alm) dan Mama Endang Sulistiawati, Keluarga besar Bapak Tojibun (alm) dan Ibu Sastiyah, serta motivator utamaku suami tersayang Hery Eddy Purwanto dan ananda Danish Aulia, beserta semua anggota keluarga yang dengan sabar memberikan dorongan serta segala doanya.

9. Rekan-rekan sekalian baik yang di kampus maupun di tempat kerja, serta pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu dalam membantu penyelesaian tesis ini.

Semoga semua kebaikan dibalas oleh Allah SWT dan karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pembaca.

Bogor, April 2013

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Jumlah penduduk Indonesia berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2010 telah mencapai angka 237.6 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 1.49 per tahun atau 3.4% penduduk dunia, Indonesia menempati peringkat keempat setelah Cina, India, dan Amerika Serikat dan berpotensi menjadi tiga besar sedunia setelah China dan India jika laju pertumbuhannya tidak dapat ditekan secara signifikan. Meskipun laju pertumbuhan penduduk Indonesia masih tergolong rendah, tapi tetap menimbulkan berbagai konsekuensi logis yang semakin kompleks. Salah satu permasalahan yang muncul adalah pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat yang tentunya secara linier mengikuti pertumbuhan penduduk. Jumlah penduduk Indonesia yang terus bertambah tersebut secara otomatis akan meningkatkan permintaan akan pangan, sementara lahan-lahan pertanian banyak mengalami perubahan fungsi.

Berdasarkan data Kementerian Pertanian (2010a), selama rentang tahun 2009 – 2010 banyak terjadi pengurangan luas panen padi sebesar 44 286 ha. Di Jawa terjadi pengurangan sebesar 60 652 ha, sementara di luar jawa terjadi penambahan 16 366 ha. Masalahnya adalah di Jawa tidak ada lagi potensi perluasan sawah, sementara alih fungsi lahan di pulau ini tidak dapat dikendalikan, padahal tingkat produktivitas lahan sawah di Jawa melebihi produktivitas lahan sawah di pulau-pulau lain, yaitu sekitar satu setengah kali lipatnya. Semakin menurunnya kontribusi sektor pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi di beberapa negara berkembang menjadikan sektor tersebut dianggap tidak terlalu penting sehingga banyak terjadi alih fungsi lahan pertanian untuk kegiatan lain yang lebih menguntungkan secara ekonomis (Timmer 1998).

Sistem ketahanan pangan merupakan persoalan tentang penyediaan bahan pangan pokok dalam dimensi kuantitas, kualitas, ruang dan waktu bagi seluruh masyarakat. Secara ekonomi masalah ketahanan pangan menyangkut persoalan ekonomi produksi, distribusi dan konsumsi. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi 95 persen penduduk Indonesia. Ketersediaan beras dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu luas areal panen (usaha tani), produksi beras atau gabah, jumlah penduduk, dan distribusinya.

Salah satu upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan baik di tingkat nasional dan wilayah adalah kelancaran distribusi pangan dari produsen ke konsumen. Distribusi pangan yang baik diharapkan menjadikan pangan dapat tersedia dalam jumlah yang cukup bagi masyarakat baik dari segi jumlah, mutu, dan keragamannya sepanjang waktu. Kecukupan pangan juga meliputi ketersediaan pangan secara terus menerus, merata disetiap daerah, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat (BKP-Kementan 2010).

(14)

dalam subsistem distribusi pangan mencakup terbatasnya prasarana dan sarana perhubungan untuk menjangkau seluruh wilayah terutama daerah terpencil, keterbatasan sarana dan kelembagaan pasar, banyaknya pungutan resmi dan tidak resmi, tingginya biaya angkutan dibandingkan negara lain, gangguan keamanan serta pengaturan dan kebijakan (BKP-Kementan 2010).

Ketahanan pangan sesuai Peraturan Pemerintah RI Nomor 68 tahun 2002 (Kementan 2002) tentang Ketahanan Pangan perlu terus dimantapkan karena peranannya sangat penting dalam rangka pembangunan nasional untuk membentuk manusia Indonesia yang berkualitas, mandiri, dan sejahtera. Saat ini, peluang untuk pengembangan sistem pangan daerah mendapatkan momen yang tepat seiring dengan kebijakan otonomi daerah yang bergulir sejak tahun 1999 yang kemudian di revisi menjadi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Kemendagri 2004), dimana setiap daerah otonom diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kebutuhan pangan masyarakatnya sesuai dengan kemampuan wilayah. Berkaitan dengan hal tersebut maka sangat penting bagi setiap daerah (provinsi, kabupaten, kota) untuk menyusun perencanaan pangan yang memenuhi prinsip kuantitas maupun kualitas yang didasarkan pada potensi lokal.

Salah satu kewenangan pemerintah pusat yang dilimpahkan ke daerah adalah kewenangan dalam pembangunan pangan. Namun demikian, tidak semua daerah dapat dengan mudah mewujudkan keterpaduan sistem ketahanan pangan sebagaimana disyaratkan oleh pemerintah pusat, terutama untuk daerah perkotaan seperti DKI Jakarta yang tidak memiliki lahan pertanian yang signifikan untuk penanaman tanaman pangan. Sebagai konsekuensinya adalah rendahnya produksi pangan setempat.

Produksi padi sawah di DKI Jakarta selama kurun waktu 5 tahun terakhir sejak 2006 sampai 2010 bergerak naik sedikit demi sedikit dengan rata-rata laju peningkatan sebesar 17 persen dan produksi pada tahun 2010 mencapai 11 164 ton atau menghasilkan sekitar 7 004 ton beras dengan asumsi konversi padi ke beras sekitar 62.74 persen. Namun dengan total jumlah penduduk (saat malam) di DKI Jakarta yang mencapai 9 607 787 jiwa berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010, maka sudah dipastikan DKI Jakarta mengalami defisit yang cukup besar dalam hal pemenuhan pangan pokok beras di wilayahnya.

Kekurangan/defisit beras di Jakarta tersebut akan dipenuhi dari impor (wilayah lain atau luar negeri). Pemenuhan kebutuhan beras di DKI Jakarta sebagian besar berasal dari PIBC (462 950 ton) dan sebagian berasal dari pengadaan dan penyaluran oleh Bulog untuk TNI/PNS/Operasi Pasar/RT miskin (159 359 ton), serta sisanya melalui pasar-pasar lain di luar PIBC dan Bulog (BPS 2011).

(15)

sekitarnya) seperti: Cianjur, Cirebon, Bandung, Karawang, dan Serang (BPS 2011). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara Jakarta dan wilayah-wilayah sekitarnya, termasuk dalam hal penyaluran/distribusi beras.

Perumusan Masalah

Ketahanan pangan umumnya diasosiasikan dengan pemenuhan kebutuhan makanan masyarakat, terutama berkaitan dengan kebutuhan pokok makanan (pemenuhan karbohidrat). DKI Jakarta membutuhkan sekitar 876 912 ton beras untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakatnya pada tahun 2010 dan sudah dipastikan DKI Jakarta hanya mampu memenuhi sekitar kurang dari 1 persen dari kebutuhan berasnya karena mengalami defisit yang cukup besar dan sisanya diperoleh dari wilayah lain.

Penduduk DKI Jakarta relatif mampu mengakses pangan jika dilihat dari sisi aksesibilitas (daya beli masyarakat), namun jika ketersediaannya terganggu akan mengakibatkan fluktuasi harga, sehingga dapat mengganggu daya beli masyarakat dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan tersebut. Fluktuasi harga cenderung sering terjadi karena Jakarta merupakan pintu gerbang perdagangan nasional serta akibat ketergantungan yang besar terhadap produk dari daerah sekitar. Fluktuasi tersebut juga bersifat musiman akibat tekanan permintaan dan penawaran pada periode-periode tertentu, bahkan karena inefisiensinya saluran distribusi beras, sering terjadi rentang harga yang sangat jauh antara harga beras di tingkat produsen di wilayah sentra produksi dengan harga beras di tingkat konsumen.

Distribusi merupakan salah satu subsistem dalam ketahanan pangan yang sangat penting dan berfungsi untuk menyalurkan bahan pangan dari produsen hingga ke tangan konsumen. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDKI Jakarta Nomor Eb. 12/2/8/72 tanggal 23 Juni 1972 tentang penunjukan PT. Food Station Tjipinang Jaya (Setda 1972) sebagai badan usaha yang diberi wewenang mengurus, membina dan mengembangkan PIBC, sehingga PIBC berfungsi sebagai pasar utama di Jakarta dalam pendistribusian beras sebagai bahan pangan pokok. Menurut Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi DKI Jakarta dan PIBC, hingga saat ini belum ada informasi tentang penyaluran beras dari PIBC ke dalam wilayah DKI Jakarta.

Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:

1) Belum teridentifikasi penyaluran beras untuk pemenuhan kebutuhan beras DKI Jakarta melalui PIBC dan bagaimana saluran pemasarannya.

2) Belum teridentifikasi seberapa besar interaksi spasial antara wilayah DKI Jakarta dan wilayah pemasok beras di sekitarnya (wilayah hinterland) dalam pendistribusian beras melalui PIBC dan wilayah mana yang memiliki daya dorong terbesar sebagai pemasok utama beras ke PIBC.

3) Belum teridentifikasi daya dukung dan kemampuan wilayah pemasok utama beras ke DKI Jakarta tersebut dalam memenuhi kebutuhan beras di Jakarta. 4) Terjadinya fluktuasi harga beras di Jakarta belum tentu memberikan nilai

(16)

5) Belum ada analisis tentang kebijakan pertanian dan distribusi beras di wilayah penelitian.

Kerangka Pemikiran

DKI Jakarta sebagai wilayah konsumen memiliki nilai produksi padi yang relatif jauh lebih rendah dibandingkan dengan jumlah penduduknya, sehingga wilayah ini mengalami defisit beras setiap tahunnya (BPS 2011). PIBC sebagai pasar utama dalam pendistribusian beras di Jakarta menjadi sarana utama dalam mendistribusikan beras dari daerah pemasok beras PIBC ke dalam wilayah Jakarta. Di sisi lain, daerah pemasok beras ke PIBC merupakan wilayah hinterland Jakarta, padahal di wilayah tersebut banyak terjadi penurunan luas panen karena konversi lahan sawah ke kegiatan non pertanian (Kementan 2010a). Interaksi antara Jakarta selaku wilayah konsumen dengan daerah pemasok beras selaku wilayah produsen menjadi menarik untuk dilihat berdasarkan konsep interaksi wilayah diantara keduanya. Aspek yang akan dilihat terkait dengan aspek pasokan, harga, dan pemasaran beras dari wilayah produsen ke wilayah konsumen.

Aspek pasokan melihat kondisi aktual dan eksisting pemetaan distribusi beras yang masuk dan keluar PIBC, interaksi spasial antara daerah pemasok dengan Jakarta sehingga diperoleh informasi wilayah mana yang merupakan daerah pemasok dengan daya dorong tertinggi. Interaksi tersebut juga digunakan untuk melihat bagaimana daya dukung lahan wilayah hinterland khususnya daerah pemasok utama yang memiliki daya dorong tertinggi dalam interaksinya dengan Jakarta terhadap penyediaan beras untuk pemenuhan mereka sendiri ataupun untuk pemenuhan kebutuhan beras Jakarta dilihat dari daya dukung lahan yang dimiliki daerah pemasok utama beras tersebut.

Kondisi harga beras di setiap tingkat pemasaran, yaitu di tingkat produsen, konsumen, PIBC dan pelaku pemasaran lainnya juga menjadi hal menarik untuk dianalisis, karena adanya kesenjangan yang cukup tinggi diantara keduanya. Hal ini menarik untuk diketahui seberapa besar marjin pemasaran yang ada pada pemasaran beras dan bagaimana tingkat penerimaan petani di wilayah produsen.

Aspek pemasaran melihat kondisi aktual saluran pemasaran beras di Jakarta melalui PIBC, bagaimana beras bisa sampai ke tangan konsumen dan dilihat pelaku distribusi yang terlibat di dalam saluran tersebut serta regulasi terkait dengan pendistribusian beras di Jakarta.

(17)

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian DKI Jakarta:

- Produksi padi Jumlah penduduk (defisit beras 5 tahun terakhir, BPS 2011)

- Pemenuhan kebutuhan pangan pokok

(beras)  ketergantungan dari wilayah lain melalui PIBC

- Fluktuasi harga beras daya beli masyarakat

- Belum teridentifikasinya pendistribusian beras dari PIBC ke pasar pengecer di wilayah Jakarta (PIBC, Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi DKI Jakarta, dan BKP-Kementan)

Daerah Pemasok Beras ke Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC):

- Wilayah hinterland Jakarta (Provinsi Banten dan Jawa Barat), Jawa Tengah, Jawa Timur, antar pulau (PIBC 2011)

- Terjadinya penurunan luas panen  konversi lahan sawah ke kegiatan non pertanian (Kementan 2010a)

- Belum teridentifikasi tingkat penerimaan petani padi dan daya dukung lahan pertanian dalam hal kemampuan menyediakan beras untuk

antara daerah pemasok dengan DKI Jakarta (PIBC)

(18)

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada:

1. Interaksi spasial antara DKI Jakarta dengan daerah pemasok utama dengan pasokan lebih dari 1000 ton per tahun berdasarkan data penyaluran beras di PIBC.

2. Komoditas beras digunakan jumlah seluruh beras yang diproduksi dan didistribusikan berdasarkan data yang tersedia di PIBC, tidak dipisahkan menurut kualitas dan jenisnya.

3. Konsumsi beras merupakan kebutuhan konsumsi masyarakat per kapita per tahun sesuai Data Susenas Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Tahun 2002 – 2011.

4. Harga beras yang digunakan adalah data harga jenis beras IR, jenis dan kualitas lain (Cianjur, Ciherang, Setra, Muncul, Saigon, dll) tidak dianalisis pada penelitian ini.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian dan latar belakang serta perumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah untuk:

1) Menganalisis distribusi beras di DKI Jakarta melalui PIBC.

2) Menganalisis interaksi spasial distribusi beras dari daerah pemasok beras ke DKI Jakarta dan mengidentifikasi daerah pemasok utama dengan daya dorong tertinggi.

3) Menganalisis daya dukung lahan daerah pemasok utama beras ke wilayah Jakarta.

4) Menganalisis pola harga beras di PIBC Jakarta dan daerah pemasok utama, marjin pemasaran dan tingkat sebaran penerimaan yang diterima petani di daerah pemasok utama.

5) Merumuskan arahan kebijakan pembangunan sektor pertanian dan distribusi beras di DKI Jakarta.

Manfaat Penelitian

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Ketahanan Pangan dan Distribusi Pangan

Menurut Undang - Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (Kementan 2013), ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Kondisi ketahanan pangan dapat diwujudkan melalui pemanfaatan sumberdaya pangan, kelembagaan dan budaya lokal. Hal ini berarti kebutuhan pangan penduduk dapat dipenuhi dari kemampuan produksi atau perdagangan antar wilayah, melalui hasil kerja suatu sistem ekonomi. Pangan yang terdiri atas subsistem ketersediaan (availability); subsistem keterjangkauan (accessibility) baik secara fisik maupun ekonomi serta subsistem stabilitas ketersediaan dan keterjangkauan. Aspek penting dalam perwujudan ketahanan pangan adalah pengembangan agribisnis pangan dan pengembangan kelembagaan pangan yang dapat menjamin keanekaragaman produksi, ketersediaan dan konsumsi pangan penduduk.

Keberhasilan pembangunan ketahanan pangan tidak hanya bergantung pada keberhasilan meningkatkan produksi, tetapi perlu ditakar secara komprehensif berdasarkan tiga pilar utama, yakni produksi yang cukup, distribusi yang lancar dan merata, serta konsumsi pangan yang aman dan berkecukupan gizi bagi seluruh individu masyarakat. Distribusi memegang peranan penting dalam membawa suatu produk dari produsen hingga dapat diterima oleh konsumen akhir sebagai pengguna produk tersebut (Dewan Ketahanan Pangan 2006).

Distribusi pangan berkaitan erat dengan situasi kecukupan pangan, yaitu stabilitas kecukupan pangan dari waktu ke waktu (distribusi temporal) dan tingkat pemerataan pangan di setiap wilayah (distribusi spasial). Keberadaan subsistem distribusi pangan yang berfungsi untuk mewujudkan sistem distribusi yang efektif dan efisien akan memungkinkan masyarakat di seluruh pelosok mampu mengakses pangan secara fisik dan ekonomi sehingga seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu. Kinerja subsistem distribusi dipengaruhi oleh kondisi prasarana dan sarana, kelembagaan dan peraturan perundangan yang berlaku di masing-masing wilayah. Berdasarkan hasil studi kasus di Bangladesh, Khan dan Jamal (1998) menyimpulkan bahwa di beberapa negara berkembang sistem distribusi pangannya sangat tidak efisien dan membutuhkan biaya yang cukup tinggi, selain itu sistem tersebut tidak dapat melindungi petani dari fluktuasi harga musiman, di sisi lain sistem gagal untuk melindungi penduduk miskin dari kerawanan pangan.

(20)

terdekat dengan konsumen akhir. Sistem distribusi yang efisien menjadi prasyarat untuk menjamin agar seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu, dengan harga yang terjangkau.

Kondisi Ketahanan Pangan DKI Jakarta

Data Susenas Tahun 2002 menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi energi penduduk perkotaan (1 954.25 kkal/kap/hari atau sekitar 89.7 kg beras/kap/tahun) relatif lebih rendah dibandingkan penduduk pedesaan (2 013.43 kkal/kap/hari atau setara 109.6 kg beras/kap/tahun), Jakarta diasumsikan sebagai wilayah perkotaan dengan konsumsi beras per kapita per tahun rata-rata sekitar 92 kg (Kementan 2010b). Berdasarkan perhitungan asumsi tersebut, maka kebutuhan pangan wilayah DKI Jakarta dalam kurun waktu 5 tahun ke belakang berdasarkan data produksi dan perhitungan ketersediaan padi (BPS 2011) dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Data produksi dan kebutuhan beras di DKI Jakarta Tahun Produksi Sumber: diolah dari BPS Provinsi DKI Jakarta (2011)

DKI Jakarta memenuhi kebutuhan pangannya dari hasil produksi daerah sekitarnya seperti Bogor, Serang, Karawang, Cianjur, Subang, dan sentra padi di Pulau Jawa lainnya serta dari luar pulau dan bahkan luar negeri melalui PIBC. Berdasarkan data di PIBC sebagai pasar utama dalam pendistribusian beras di Jakarta, jumlah beras yang masuk dan disalurkan ke wilayah DKI Jakarta dari PIBC adalah sekitar 462 950 ton beras. Tingkat kebergantungan pasokan beras yang sangat tinggi pada wilayah lain tersebut sangat beresiko terhadap kondisi ketahanan pangan DKI Jakarta, walaupun secara daya beli masyarakatnya mampu membeli beras, namun secara ketersediaan harus juga diperhatikan aksesibilitasnya. Kondisi ini diperbesar lagi dengan semakin banyaknya alih fungsi lahan pertanian di wilayah sentra produksi yang menjadi andalan dalam pemasukan beras ke DKI Jakarta (Surjasa 2011).

(21)

ketahanan pangan, yaitu: (i) ketersediaan pangan; (ii) akses terhadap pangan; dan (iii) pemanfaatan pangan (Tabel 2).

Tabel 2 Indikator peta ketahanan dan kerentanan pangan Provinsi DKI Jakarta tahun 2011

No Aspek Indikator

1 Ketersediaan pangan 1. Prasarana penyedia pangan 2 Akses pangan 2. Persentase penduduk miskin

3. Angka pengangguran

4. Jumlah rumah tangga miskin – penduduk miskin (RTM-PM)

5. Jumlah beras yang disalurkan (kg) 6. Persentase pekerja sektor informal

3 Pemanfaatan pangan 7. Berat badan balita di bawah standar (underweight): 8. Persentase perempuan buta huruf

9. Tingkat kepadatan penduduk 10. IRT tidak tamat SD

4 Transien 11. Data kejadian kebakaran 12. Data kejadian kriminalitas

Sumber: Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) Provinsi DKI Jakarta (DKP dan WFP 2012)

Peta ketahanan dan kerentanan pangan DKI Jakarta tahun 2011 menunjukkan dari total 44 kecamatan, terdapat 7 (15.90%) kecamatan Prioritas 1, 5 (11.36%) kecamatan Prioritas 2, 15 (34.09%) kecamatan Prioritas 3, 6 (13.64%) kecamatan Prioritas 4, 9 (20.45%) kecamatan Prioritas 5 dan 2 (4.55%) kecamatan Prioritas 6 (Gambar 2).

(22)

Gambar 2 Kondisi ketahanan pangan di DKI Jakarta

Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) dan Keterkaitan Antar Wilayah DKI Jakarta dengan Daerah Sentra Produksi Padi di sekitarnya

PIBC didirikan sebagai upaya realisasi dari Pola Induk Pengadaan dan Penyaluran Bahan Pangan untuk DKI Jakarta tahun 1965 – 1985 yang merupakan bagian dari Rencana Induk DKI Jakarta tahun 1965 – 1985. Perusahaan yang ditunjuk sebagai pengelola dan pembina PIBC adalah PT. Food Station Tjipinang Jaya (FSTJ) yang didirikan dengan Akte Notaris Soeleman Ardjasasmita SH, Nomor 46 tanggal 28 April 1972, TBNRI Nomor 39 tanggal 16 Mei 1975 dan diperbarui dengan Akte Notaris Rachmad Umar, SH Nomor 25 tanggal 30 Maret 2000 serta terakhir diperbaharui dengan Akte Notaris Rachmad Umar SH, Nomor 3 tanggal 22 November 2007 tentang pendirian PT. Food Station Tjipinang Jaya. Secara operasional PT. Food Station Tjipinang Jaya didukung juga oleh beberapa surat keputusan lainnya seperti Surat Keputusan Gubernur KDKI Jakarta Nomor Eb. 12/2/8/72 tanggal 23 Juni 1972 tentang penunjukan PT. Food Station Tjipinang Jaya sebagai badan usaha yang diberi wewenang mengurus, membina dan mengembangkan PIBC.

PIBC merupakan satu area pergudangan dan transaksi perberasan yang merupakan pusat pemasaran beras terbesar di Indonesia dibandingkan dengan pasar induk beras yang berada di daerah lainnya. Selain FSTJ, Pemerintah Daerah DKI Jakarta juga memiliki dua badan usaha lainnya untuk menangani masalah pangan, yaitu PD. Pasar Jaya yang mengelola sayuran dan palawija yang jumlahnya sebanyak 152 pasar di DKI Jakarta serta PD. Dharma Jaya yang mengelola rumah pemotongan hewan (RPH) Cakung yang menangani pemotongan sapi dan unggas. PIBC yang menampung sekitar 700 pengusaha

PETA KETAHANAN DAN KERENTANAN PANGAN PEMERINTAH PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2011

(23)

beras, telah bekerja sama dengan para pemasok beras dari berbagai daerah sentra produksi beras dari berbagai provinsi di Indonesia. PIBC merupakan pusat perdagangan beras terbesar di Indonesia yang memperdagangkan komoditas beras mencapai 900 000 ton per tahun, oleh karena itu PIBC melakukan monitoring data pasokan, distribusi dan harga beras sehingga berguna sebagai pedoman para pengusaha dan pedagang beras serta para pembuat kebijakan di instansi pemerintah, baik pemerintah pusat/departemen, pemerintah daerah maupun lembaga riset serta bahan berita di media masa nasional dan internet.

Menurut Sukidi dalam Surjasa (2011), PIBC adalah pasar beras di Provinsi DKI Jakarta yang dapat menyerap semua jenis beras untuk diperdagangkan sehingga peluang perdagangan komoditas beras masih terbuka luas. Konsumen atau ritel dari FSTJ terdiri atas pasar tradisional (Pasar Jaya) yang jumlahnya 152 pasar di wilayah DKI Jakarta, pasar modern seperti carrefour atau giant, restoran, rumah sakit, instansi negeri maupun swasta, katering dan industri (pabrik). Saham FSTJ merupakan saham gabungan antara pihak Pemda DKI Jakarta, pihak swasta, perorangan dan koperasi.

Jumlah permintaan beras umumnya dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti perbedaan pendapatan masyarakat, jumlah penduduk dan konsumsi per kapita di suatu wilayah. Perbedaan pendapatan masyarakat akan berpengaruh pada kualitas beras yang diminta, pada akhirnya hal ini akan berpengaruh pada sistem penyaluran beras. Penyaluran beras bagi konsumen di Jakarta dilakukan oleh Dolog DKI Jakarta dan PIBC seperti ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3 Penyaluran beras di DKI Jakarta oleh Dolog dan PIBC Tahun negeri dan pembelian dari luar negeri (impor). Pengadaan dalam negeri dilakukan pada saat panen raya, sedangkan impor dilakukan jika persediaan di PIBC tidak mencukupi. Ini menunjukkan permintaan lebih besar dari penawaran beras di pasaran. Pengadaan dimaksudkan untuk menahan naiknya harga eceran beras di PIBC yang akan berakibat naiknya harga beras di pasar-pasar wilayah DKI Jakarta (Andrida 1993).

(24)

besar dipasarkan untuk wilayah DKI Jakarta (di atas 70 persen), sisanya untuk disalurkan ke luar Jakarta. Tangerang merupakan kota terbesar yang menyerap beras dari PIBC untuk penyerapan di luar wilayah Jakarta, disusul oleh Bogor, Bekasi, dan kota-kota di Irian. Penyaluran ini menunjukkan adanya keterkaitan antara Jakarta dengan wilayah sekitarnya dalam hal pendistribusian beras.

Tabel 4 Rekapitulasi pemasukan beras dari daerah sentra produksi tahun 1983 – 1992 di PIBC (ton)

Sumber: PT. Food Station Tjipinang Jaya dalam Andrida (1993)

Hasil penelitian Mansyur (2006) juga menunjukkan bahwa PIBC merupakan pusat perdagangan beras di Jakarta. Lebih dari 60 persen kebutuhan beras penduduk DKI Jakarta masuk ke Jakarta melalui PIBC. Pemasok beras ke pasar ini berasal dari berbagai daerah produsen beras di Pulau Jawa seperti Karawang, Cianjur, Cirebon, Bandung, Solo, dan sentra produksi beras lainnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur (Tabel 5).

Tabel 5 Pemasukan beras ke PIBC berdasarkan daerah asal (2002-2006) Tahun Ex dolog

Karawang, Cirebon,

Pantura, dsk Bandung, Cianjur, dsk

Surabaya,

Tahun Solo, Demak, Pati, dsk Antar Pulau Ex-Impor Jumlah

(25)

Penelitian Sebelumnya

Aspek pasokan/ketersediaan beras dan aspek harga merupakan 2 aspek penting dalam pendistribusian beras di DKI Jakarta. Terkait dengan aspek pasokan beras, Provinsi DKI Jakarta memiliki Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) yang dikelola oleh PT. Food Station Tjipinang Jaya (FSTJ). FSTJ/PIBC sebagai pasar utama pemasaran beras diharapkan dapat menjadi pihak yang dapat mengatur dan mengendalikan ketahanan pangan, khususnya untuk komoditas beras di wilayah DKI Jakarta (Surjasa et al. 2011). Menurut Andrida dalam penelitiannya tentang keterpaduan pasar (1993), wilayah sekitar DKI Jakarta yang menjadi pemasok utama ke PIBC adalah Karawang, Subang, Cianjur, dan Serang. Wilayah penerima utamanya selain wilayah Jakarta sendiri adalah wilayah hinterland-nya yaitu Tangerang, Bogor, Serang, dan Bekasi. Berdasarkan alasan tersebut PIBC perlu mengelola pasokan beras baik yang masuk ke PIBC maupun pasokan beras yang ke luar dari PIBC guna menjaga ketersediaan beras.

Gandhi (2008) dalam penelitiannya di Kabupaten Cianjur menunjukkan bahwa pola tataniaga beras dari tingkat petani hingga konsumen akhir melibatkan berbagai lembaga tataniaga dalam satu saluran tataniaga. Akibatnya, terjadi perbedaan harga produk yang cukup besar/signifikan antara harga produk yang diterima oleh petani dan harga produk yang dibayarkan oleh konsumen akhir, atau dengan kata lain nilai marjin pemasaran komoditas beras masih tinggi. PIBC sebagai sentra/indikator pemasaran beras perlu mengantisipasi harga beras yang berfluktuasi guna menjaga harga yang dapat terjangkau warga DKI Jakarta. Selain itu, Pemerintah baik Pusat ataupun Daerah juga perlu memastikan kesejahteraan petani dengan memperhatikan harga jual yang diterima oleh petani.

Menurut Amadou dan Sanogo (2010), kebijakan stabilisasi harga di Nepal terkait dengan defisit pangan dan ketergantungan negara tersebut terhadap impor, tidak akan berdampak apapun terhadap harga pangan kecuali ada usaha lebih lanjut meningkatkan stok pangan nasional untuk intervensi ketahanan pangan jangka pendek. Dalam jangka panjang, peningkatan infrastruktur transportasi antarnegara akan mengurangi biaya transport dan memberi insentif lebih baik bagi petani dan pelaku usaha perdagangan pangan di negara tersebut.

Herdy (2005), menyimpulkan bahwa aliran barang ke Jakarta lebih besar peluangnya berasal dari daerah periphery (pinggirannya) dibanding wilayah lain yang jaraknya lebih jauh. Interaksi cukup kuat terjadi antara Jakarta dengan Kabupaten Tangerang, Bekasi, dan Bogor disusul kemudian dengan Karawang, Serang, Sukabumi, dan Cianjur untuk pergerakan kendaraan. Seperti halnya yang terjadi di Bangkok – Thailand, menurut Vagneron (2007) kota tersebut sangat bergantung pada daerah peri-urban untuk pemenuhan kebutuhan pangannya. Bangkok sejak tahun 1990an menjadi pusat konsentrasi penduduk dengan laju urbanisasi yang cukup tinggi sehingga banyak terjadi konversi lahan pertanian untuk kegiatan usaha yang lebih menguntungkan di kota tersebut, namun hal ini berakibat usaha pertanian bergeser ke wilayah hinterlandnya, sehingga di wilayah tersebut terjadi persaingan penggunaan lahan non pertanian dan lahan pertanian dengan sistem pertanian intensif yang seringkali berefek negatif terhadap lingkungan sekitarnya.

(26)

wilayah tujuan, populasi, jarak antar negara, nilai tukar, harga ekspor komoditi di wilayah tujuan, dan ekspor komoditi ke wilayah tujuan satu tahun sebelumnya. Faktor-faktor pada berbagai negara tujuan tersebut berlaku sebagai faktor gravity atau faktor penarik terjadinya aliran perdagangan komoditi dari suatu wilayah pemasok ke titik konsumsi (wilayah tujuan/pengimpor).

(27)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilaksanakan di Provinsi DKI Jakarta sebagai wilayah konsumen yang mencakup 6 kabupaten/kota, yaitu Kepulauan Seribu, Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, dan Jakarta Utara, khususnya di PIBC (Gambar 3) dan wilayah hinterland dari Jakarta yang menjadi pemasok utama dan pemilik daya dorong tertinggi dalam penyaluran beras ke Jakarta. Penelitian dilaksanakan selama 5 bulan, sejak bulan Agustus 2012 sampai dengan Desember 2012.

Gambar 3 Lokasi wilayah penelitian

Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

Penelitian menggunakan dua jenis data, yaitu data sekunder dan data primer. Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan cara:

1) Studi data sekunder

Data sekunder meliputi data pasokan beras, harga beras, konsumsi beras per kapita, kependudukan, peta dasar kabupaten di Indonesia, serta regulasi tentang kebijakan distribusi beras di Jakarta. Data tersebut dikumpulkan dari PIBC, Badan Ketahanan Pangan – Kementerian Pertanian, Badan Pusat

Sumber:

Peta Digital DKI Jakarta 2009, Bappeda DKI Jakarta (diolah)

Kepulauan Seribu PIBC (Pasar Induk Beras Cipinang) Kepulauan Seribu

Laut Jawa

Kep.Seribu

(28)

Statistik, Dinas Pertanian dan Kehutanan, dan Bappeda Provinsi DKI Jakarta.

2) Wawancara

Data primer berupa data penyaluran beras dari PIBC ke pengecer di Jakarta, harga beras dan biaya di setiap tingkat pemasaran. Data diperoleh dari wawancara dengan pelaku pemasaran beras dan petani serta stakeholder terkait (Kepala Bidang Analisis Harga Pangan di Badan Ketahanan Pangan Kementan, Kepala Bidang Distribusi Pangan di Badan Ketahanan Pangan Kementan, Kasubid Urusan Ketahanan Pangan di Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi DKI Jakarta, Kasie Perdagangan PT. Food Station Tjipinang Jaya) yang memahami tentang kebijakan sektor pertanian dan distribusi beras di wilayah penelitian. Pemilihan responden pedagang menggunakan metode purposive sampling yang dipilih secara sengaja, yaitu 40 pedagang grosir di PIBC dan 226 pedagang pengecer di 20 pasar yang tersebar di Jakarta. Pasar di wilayah Jakarta Timur (Cawang Kapling, Rawamangun, Klender, Kramat Jati, Gembrong, dan Cipinang), Jakarta Barat (Jembatan Lima, Grogol, Citra Garden, Palmerah, dan Cengkareng), Jakarta Selatan (Pasar Minggu, Pondok Labu, Tebet Barat, dan Pondok Indah), Jakarta Utara (Pademangan Barat, Sindang, Teluk Gong, dan Sunter), dan Jakarta Pusat (Cempaka Putih dan Bendungan Ilir).

Penelitian terdiri dari beberapa tahapan, yaitu:

1) Pemetaan data aliran pasokan dan penyaluran beras ke dan dari PIBC.

2) Pemetaan data aliran beras dari PIBC ke kota/kabupaten di wilayah DKI Jakarta.

3) Analisis saluran pemasaran beras dari PIBC ke konsumen di Jakarta

4) Analisis interaksi spasial antara lima daerah pemasok utama (Cirebon, Karawang, Cianjur, Bandung dan Serang) dengan PIBC di Jakarta.

5) Analisis daya dukung lahan/CCR (carrying capacity ratio) di wilayah pemasok utama pemilik daya dorong tertinggi dalam menyediakan beras untuk wilayahnya atau untuk pengiriman pasokan ke PIBC ke depannya.

6) Analisis pola harga beras di setiap tingkat pemasaran, marjin pemasaran, dan tingkat penerimaan petani dan marjin pemasaran di setiap pelaku pemasaran beras.

7) Sintesis dari hasil analisis sebelumnya dengan membandingkan kebijakan dan regulasi terkait distribusi beras yang berlaku di wilayah DKI Jakarta dan dirumuskan untuk dapat menghasilkan arahan lebih lanjut terhadap pengembangan distribusi beras di wilayah DKI Jakarta.

(29)

Tahapan Penelitian

Gambar 4 Diagram alir tahapan penelitian

Tujuan, jenis, sumber data, teknik analisis, dan keluaran yang dihasilkan dirangkum pada Tabel 6. Alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa komputer dengan software pembantu alat analisa berupa ArcGIS Ver. 10, E-Views 6, MS-Office 2007.

Tabel 6 Matriks tujuan, jenis, sumber data, analisis data, dan keluaran No Tujuan Jenis Data dan

Analisis daya dukung berbasis neraca lahan di daerah pemasok utama dengan daya dorong

tertinggi (Permen LH No.17 thn 2009)

Aliran pemasaran beras dari PIBC ke pasar pengecer di wilayah DKI Jakarta (peta distribusi beras dari

PIBC ke kab/kota di DKI Jakarta dengan SIG

Analisis distribusi beras di PIBC Jakarta

Analisis Marjin Pemasaran dan farmer’s share

Pasokan Beras ke PIBC Aliran pemasaran beras dari daerah pemasok ke PIBC (peta distribusi beras ke dan dari PIBC)

(30)
(31)

Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan pengolahan data dengan beberapa metode analisis, yaitu: analisis deskriptif, analisis gravitasi, analisis daya dukung lahan, analisis marjin pemasaran dan farmer’s share, serta analisis sintesis. Secara rinci, dijelaskan analisis per tujuan sebagai berikut:

Analisis Distribusi dan Saluran Pemasaran Besar di DKI Jakarta

Analisis deskriptif menggunakan contain analysis dan sintesis analysis. Data yang digunakan berupa data sekunder, yaitu distribusi beras menurut peruntukan di Jakarta dan penyaluran beras ke PIBC, rata-rata konsumsi beras per kapita di Jakarta, peta administrasi wilayah penelitian, serta berbagai pustaka dan referensi diperoleh dari berbagai instansi penyedia data seperti BPS Provinsi DKI Jakarta, Pusat Pengkajian dan Perencanaan Pengembangan Wilayah (P4W-IPB), BPS Pusat (Data Survei Sosial Ekonomi Nasional), IPB, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertanian (Litbang-Kementan). Selain itu, digunakan juga data primer berupa data penyaluran beras dari PIBC ke pasar eceran di Jakarta, dan alur rantai pemasaran beras dari PIBC ke konsumen di Jakarta. Data ini diperoleh dari hasil wawancara pelaku usaha (pedagang grosir) di PIBC dan pedagang pengecer yang datang ke PIBC. Responden pedagang grosir di PIBC berjumlah 40 orang dan 226 pengecer di 20 pasar yang tersebar di wilayah DKI Jakarta.

Selain secara deskriptif, pemetaan distribusi juga digambarkan dengan menggunakan program SIG (Sistem Informasi Geografis) yang mencerminkan pergerakan distribusi beras secara spasial ke dan dari PIBC Jakarta. Pemetaan menggunakan peta tematik, untuk melihat pola pendistribusian beras yang masuk dan keluar PIBC ke dalam wilayah kabupaten/kota di Jakarta.

Analisis spasial yang digunakan dalam penelitian ini memanfaatkan aplikasi Sistem Informasi Geografis dengan menggunakan software Arcgis 10. Analisis yang digunakan adalah analisis extract dan overlay (tumpang tindih). Pada analisis extract operasi yang digunakan adalah select yaitu memilih peta dari peta yang sudah ada, sedangkan pada analisis overlay operasi yang digunakan adalah spatial joint yaitu penggabungan dua atau beberapa peta sekaligus, operasi intersect untuk memotong peta input dan secara otomatis meng-overlay antara peta yang dipotong dengan peta pemotongnya dengan output peta memiliki atribut data dari kedua peta tersebut, serta operasi joint attribute untuk menggabungkan data atribut dengan peta. Analisis tumpang tindih dengan operasi spatial joint dilakukan pada peta administrasi. Joint atributte digunakan pada analisis aliran pemasaran beras dari wilayah asal ke PIBC dan dari PIBC ke kabupaten/kota di dalam wilayah DKI Jakarta.

(32)

Pos PIBC. Wawancara tersebut menghasilkan persentase pengiriman beras ke pengecer di sekitar wilayah Jakarta baik itu supermarket, perumahan, maupun pasar tradisional. Persentase yang diperoleh dibandingkan dengan hasil estimasi dugaan kebutuhan beras per kabupaten/kota berdasarkan pendekatan angka konsumsi beras per kapita per tahun di wilayah Jakarta, yaitu sekitar 92 kg per kapita per tahun (Kementan 2010b). Dengan demikian, akan diperoleh jumlah pengiriman beras ke setiap kabupaten/kota di Jakarta pada tahun 2011 dan 2012 (hingga bulan Agustus). Keluaran yang dihasilkan dari analisis ini berupa peta distribusi beras ke dalam wilayah Jakarta.

Analisis Interaksi Spasial dari Daerah Pemasok Beras ke DKI Jakarta Analisis interaksi spasial antar wilayah dari daerah pemasok beras ke DKI Jakarta dilakukan menggunakan model gravitasi untuk menjawab tujuan penelitian yang kedua. Secara klasik, konsep gravitasi interaksi manusia mendalilkan bahwa kekuatan yang membuahkan interaksi di antara dua wilayah dari aktivitas manusia diciptakan oleh massa populasi kedua wilayah dan jarak kedua wilayah.

Menurut Pribadi et al. (2011), Model Gravitasi adalah salah satu model yang umum dipakai untuk menjelaskan fenomena interaksi spasial. Model ini pada dasarnya merupakan bentuk analogi fenomena Hukum Fisika Gravitasi Newton yang kemudian dikembangkan untuk ilmu sosial. Hukum gravitasi universal yang dikemukakan oleh Newton menyatakan bahwa daya tarik menarik antara dua benda akan berbanding lurus dengan massanya dan berbanding terbalik dengan nilai kuadrat jarak diantara keduanya.

Perhitungan menggunakan panel data berupa data aliran distribusi beras (Tij) dari 5 (lima) daerah pemasok beras utama (Karawang, Cirebon, Cianjur, Bandung, dan Serang) ke Jakarta selama 5 (lima) tahun terakhir, dan sebagai faktor yang dianggap dapat menjadi pendorong/penarik adalah: jumlah petani di wilayah asal (Pi), jumlah populasi di wilayah tujuan (Pj), produksi beras di wilayah asal (Mi), kebutuhan/penyaluran beras ke wilayah tujuan (Mj), harga beras di wilayah asal (Hi), harga beras di wilayah asal (Hj), serta jarak (dij) yang digunakan yaitu panjang jalan dari wilayah asal ke PIBC Jakarta yang dilihat melalui google map. Sehingga persamaan gravitasi yang digunakan pada penelitian ini adalah:

=

∝1 1

�∝2 2

�∝3 3 �

dimana:

= interaksi spasial i dan j (aliran beras/pasokan dari wilayah asal ke PIBC)

= produksi beras di wilayah asal (massa wilayah asal i)

= kebutuhan/penyaluran beras di wilayah tujuan (massa wilayah tujuan j) � = populasi petani di wilayah asal (massa wilayah asal i)

� = populasi di wilayah tujuan (massa wilayah tujuan j) � = harga beras di wilayah asal (massa wilayah asal i) � = harga beras di wilayah tujuan (massa wilayah tujuan j)

= panjang jalan dari wilayah asal ke wilayah tujuan (jarak antara wilayah i

(33)

, ,� = koefisien peubah massa wilayah asal i, massa wilayah tujuan j, dan jarak d

= konstanta

Nilai Tij sebagai hasil observasi, bersama nilai Mi, Mj, Pi, Pj, Hi, Hj, dan dij kemudian akan digunakan untuk menduga nilai , , dan b. Nilai dari parameter inilah yang akan menggambarkan karakteristik dari suatu wilayah. Apabila nilai α lebih besar dari β, maka interaksi antar wilayah terutama ditimbulkan oleh aktivitas produksi di wilayah asal (model potensial), sedangkan jika β lebih tinggi dari α, maka interaksi antar wilayah lebih disebabkan oleh daya tarik aktivitas pasar di wilayah tujuan (model persaingan pasar).

Hasil analisis tersebut akan menghasilkan faktor pendorong dan penarik masing-masing wilayah dan tinggi-rendahnya intensitas interaksi spasial antara Jakarta dengan daerah pemasok beras di sekitarnya. Pemilihan daerah pemasok berdasarkan data PIBC dengan pasokan lebih dari 1 000 ton per tahun (Karawang, Cianjur, Cirebon, Bandung, dan Serang).

Masing-masing variabel pada model gravitasi, yaitu Tij, Mi, Mj, Pi, Pj, Hi, Hj, dan dij, dihitung nilai ln-nya, kemudian diperoleh data baru dan diregresikan dimana ln Tij sebagai dependent variabel sedangkan ln Mi, ln Mj, ln Pi, ln Pj, ln Hi, ln Hj dan ln dij sebagai independent variabel, sehingga diperoleh persamaan:

ln = + 1 + 1 + 2 � + 2 � + 3 � + 3 � − �

Nilai koefisien α1, β1, α2, β2, α3, β3, b, dan k diperoleh dari hasil regresi tersebut. Kemudian diperoleh nilai total α dan total β untuk dilihat koefisien mana yang memiliki nilai lebih tinggi. Namun nilai koefisien tersebut masih merupakan nilai koefisien untuk agregat wilayah. Artinya dari lima wilayah asal belum diketahui wilayah mana yang memiliki potensi daya dorong paling tinggi, untuk mengetahuinya digunakan varian dari model gravitasi yaitu model potensial.

Model gravitasi memiliki 2 varian, yaitu model potensial dan model persaingan pasar. Kedua model merupakan salah satu bentuk spatial choice model yang dapat digunakan untuk menentukan wilayah asal mana yang mampu mengakses wilayah lain dan wilayah tujuan mana yang mampu bersaing dengan wilayah lainnya dalam menyediakan pelayanan (Pribadi 2011).

Penelitian ini hanya menggunakan model potensial, karena dalam penelitian terdapat beberapa wilayah asal dan hanya satu wilayah tujuan, yaitu DKI Jakarta. Model potensial merupakan model yang bertujuan untuk melihat kemampuan dari setiap wilayah asal ke-i untuk mengakses wilayah lain sebagai wilayah tujuan. Dalam konteks aliran barang, semakin besar nilai Vi menunjukkan semakin besar jumlah produk yang dapat masuk ke wilayah tujuan j. Kemampuan mengakses ke wilayah lain yang cukup tinggi mengindikasikan bahwa wilayah asal ke-i memiliki kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah asal lainnya. Secara matematis model potensial dapat dinyatakan dalam persamaan berikut (Pribadi 2011):

� = 1

(34)

dimana:

Vi = potensi wilayah asal ke-i untuk mengakses wilayah lain (pemilik daya dorong tertinggi)

D = total aliran barang dari wilayah asal ke wilayah tujuan = 1� 2� 3 total perkalian massa wilayah tujuan j

dij = jarak dari wilayah asal ke wilayah tujuan

β = β1 + β2 + β3 yaitu total koefisien peubah massa wilayah tujuan b = koefisien peubah jarak

Mj = kebutuhan/penyaluran beras di wilayah tujuan (massa wilayah tujuan j) Pj = populasi di wilayah tujuan (massa wilayah tujuan j)

Hj = harga beras di wilayah tujuan (massa wilayah tujuan j)

Analisis regresi dilakukan menggunakan software Eviews 6.0 dan untuk menghitung nilai daya dorong daerah pemasok utama digunakan Microsoft Excel 2007. Keluaran dari hasil analisis ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah pasokan beras ke PIBC dan daerah pemasok beras utama ke PIBC pemilik daya dorong tertinggi.

Analisis Daya Dukung Lahan Pertanian dan Kondisi Surplus/Defisit Beras di Daerah Pemasok Utama

Berdasarkan hasil analisis keterkaitan antar wilayah terlihat wilayah mana yang mempunyai daya dorong besar untuk mengirimkan hasil produksi berasnya ke wilayah DKI Jakarta. Selanjutnya dilakukan analisis daya dukung lahan dari wilayah sentra produksi beras tersebut untuk mengetahui kemampuan dan keberlanjutannya dalam mensuplai kebutuhan beras Jakarta.

Daya dukung lahan dihitung dari total nilai produksi biohayati aktual yang ada pada lahan di wilayah tertentu, dibandingkan dengan kebutuhan lahan per hektar yang diperlukan oleh sejumlah penduduk yang tinggal di suatu wilayah tersebut yang diasumsikan setara dengan luas lahan untuk menghasilkan satu ton setara beras per tahun berdasarkan Permen Nomor 17 tahun 2009 (Kemeneg LH 2009). Metode ini digunakan untuk mengetahui gambaran umum apakah daya dukung lahan suatu wilayah dalam keadaan surplus atau defisit. Keadaan surplus menunjukkan bahwa ketersediaan lahan setempat di suatu wilayah masih dapat mencukupi kebutuhan akan produksi hayati di wilayah tersebut, sedangkan keadaan defisit menunjukkan bahwa ketersediaan lahan setempat sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan akan produksi hayati di wilayah tersebut.

Ketersediaan lahan ditentukan berdasarkan data total produksi aktual setempat dari setiap komoditas di suatu wilayah, dengan menjumlahkan produk dari semua komoditas yang ada di wilayah tersebut. Penjumlahan ini menggunakan harga sebagai faktor konversi karena setiap komoditas memiliki satuan yang beragam. Sementara itu, kebutuhan lahan dihitung berdasarkan kebutuhan hidup layak.

(35)

1) Menentukan unit wilayah yang akan dianalisis, pada penelitian ini unit yang akan dianalisis adalah kecamatan di daerah pemasok utama pemilik daya dorong tertinggi.

2) Penghitungan ketersediaan (supply) lahan pertanian secara keseluruhan dengan menggunakan rumus:

= (� ��)

�� �

1

����

dimana:

SL = Ketersediaan lahan (ha)

Pi = Produksi aktual tiap jenis komoditi (satuan tergantung kepada jenis

komoditas). Komoditas yang diperhitungkan meliputi pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan

Hi = Harga satuan tiap jenis komoditas (Rp/satuan) di tingkat produsen

Hb = Harga satuan beras (Rp/kg) di tingkat produsen (Rp 5 200/kg)

Ptvb= Produktivitas beras (kg/ha)

Faktor konversi yang digunakan dalam perhitungan untuk menyetarakan produk non beras dengan beras adalah harga.

Perhitungan supply beras menggunakan rumus daya dukung lahan seperti di atas, namun yang dihitung hanya produksi beras.

= �

dimana:

SB = Ketersediaan beras (kg)

PB = Produksi aktual beras (kg)

3) Penghitungan permintaan (demand) lahan, menggunakan rumus:

= � �

dimana:

DL = Total kebutuhan lahan setara beras (ha)

N = Jumlah penduduk (jiwa)

KHLL = Luas lahan yang dibutuhkan untuk kebutuhan hidup layak per

penduduk

 Luas lahan yang dibutuhkan untuk kebutuhan hidup layak per penduduk adalah kebutuhan hidup layak per penduduk dibagi produktivitas beras total.

 Kebutuhan hidup layak per penduduk diasumsikan sebesar 1 ton setara beras/kapita/ton.

Perhitungan demand beras berdasarkan kebutuhan beras penduduk per kapita per tahun di setiap kecamatan.

= �

dimana:

(36)

N = Jumlah penduduk (jiwa)

KB = Kebutuhan beras di wilayah tersebut (kg/kapita)

 Kecamatan yang termasuk wilayah perkotaan berdasarkan PODES 2011 diasumsikan mengkonsumsi beras 94.45 kg/kapita/tahun, sedangkan kecamatan yang termasuk wilayah perdesaan sebesar 106.66 kg/kapita/tahun (Kementan 2010b).

4) Penentuan status surplus/defisit dengan menghitung selisih supply dengan demand.

Status daya dukung lahan diperoleh dari pembandingan antara ketersediaan lahan (SL) dan kebutuhan lahan (DL). Berdasarkan ketentuan Permen 17/2009:

Bila SL > DL, maka daya dukung lahan dinyatakan surplus.

Bila SL < DL, maka daya dukung lahan dinyatakan defisit atau terlampaui (overshoot).

Perbandingan nilai supply beras (SB) dan nilai demand beras (DB) lebih dari 1 menunjukkan wilayah tersebut surplus beras, sebaliknya jika kurang dari 1 wilayah tersebut mengalami defisit beras.

5) Penentuan status “tingkat keberlanjutan”.

Hasil perhitungan dengan metode ini dapat dijadikan bahan masukan/pertimbangan dalam penyusunan rencana tata ruang dan evaluasi pemanfaatan ruang, terkait dengan penyediaan produk hayati secara berkelanjutan melalui upaya pemanfaatan ruang yang menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup.

Keluaran dari analisis ini adalah diketahuinya nilai kapasitas daya dukung lahan pertanian di daerah pemasok utama dengan nilai daya dorong tertinggi. Namun hasil analisis ini masih bersifat umum untuk kondisi lahan pertanian di wilayah pemasok utama tersebut, sedangkan untuk melihat kemampuan daerah pemasok tersebut untuk memenuhi kebutuhan beras di wilayahnya dan memasok beras ke Jakarta melalui PIBC dihitung berdasarkan perbandingan nilai produksi beras dengan kebutuhan beras di wilayah tersebut.

Analisis Pola Harga Beras, Marjin Pemasaran, dan Farmer’s Share

Analisis pola harga beras di tingkat produsen, penggilingan, PIBC, dan konsumen di daerah pemasok utama dan di Jakarta untuk melihat bagaimana pola harga beras selama satu tahun terakhir menggunakan data rata-rata harga beras per bulan di setiap level tersebut pada tahun 2012.

(37)

beras yang mereka jual dan biaya-biaya yang dikeluarkan. Formulasi perhitungan marjin pemasaran menggunakan rumus (Ilham dalam Yuhendra 2009):

= + �

=1 =1

dimana:

M = Marjin pemasaran

Ci = Biaya pemasaran i (i = 1, 2, 3, …m) m = Jumlah jenis biaya

πj = Keuntungan yang diperoleh lembaga pemasaran j (j = 1, 2, 3, …n) n = Jumlah lembaga pemasaran yang terlibat dalam saluran pemasaran

Analisis farmer’s share digunakan untuk menjawab tujuan penelitian yang keempat, terkait penerimaan petani di wilayah produsen, analisis ini merupakan indikator yang dapat digunakan untuk menentukan efisiensi tataniaga suatu komoditas selain marjin tataniaga. Farmer’s share adalah salah satu indikator yang sering dinyatakan dalam persentase dengan membandingkan harga yang diterima petani dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir. Farmer’s share mempunyai hubungan negatif dengan marjin tataniaga sehingga semakin tinggi marjin tataniaga, maka bagian yang akan diperoleh petani semakin rendah. Secara matematis farmer’s share dapat dirumuskan sebagai berikut (Azzaino, 1981):

� = �

� � 100%

dimana :

FS = farmer’s share

Hj = Harga jual di tingkat petani (Rp per kg)

He = Harga eceran di tingkat konsumen per pengecer (Rp per kg)

(38)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Distribusi Beras di DKI Jakarta Melalui PIBC

Pasokan dan Distribusi Beras ke dan dari PIBC

Saluran pemasaran dalam perdagangan beras di wilayah DKI Jakarta terdiri dari dua saluran, yaitu saluran pemasaran swasta dan saluran pemerintah. Pemerintah daerah DKI Jakarta menyerahkan pengelolaan Pasar Induk Besar Cipinang (PIBC) sebagai penyalur utama beras di Jakarta ke PT. Food Station Tjipinang Jaya (FSTJ) pada saluran pemasaran swasta. PIBC memiliki 801 ruang usaha terdiri atas toko/los tertutup dan terbuka dengan kapasitas tampung sekitar 25 000 ton beras. Lembaga pemasaran yang ada di PIBC yaitu pedagang grosir sebanyak 700 pedagang melayani dan menampung beras dari daerah produksi yang dibawa pemasok dan menjual secara grosir ke pasar - pasar wilayah DKI Jakarta dan daerah hinterlandnya (Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) maupun antar pulau dengan rata-rata penjualan 2 919 ton per hari pada tahun 2011. Pedagang tersebut mendapat pasokan beras dari pedagang daerah langganan yang datang langsung ke PIBC, namun ada juga pedagang grosir PIBC yang mendatangi daerah-daerah sentra produksi beras seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Rata-rata jumlah pasokan beras tahun 2011, sekitar 3 102 ton/hari dari total pasokan 924 419 ton (Tabel 7). Pasokan diantar oleh sekitar 300 truk/hari. Tonase truk berkisar antara 8 sampai 10 ton (tipe kendaraan adalah colt diesel) untuk beras yang berasal dari Subang, Karawang, Indramayu dan Cirebon. Truk besar 15 ton untuk pasokan berasal dari Bandung, Garut, Tasik dan Sumedang juga dari Lampung dan Palembang. Tronton 25 sampai 30 ton untuk pasokan dari Jawa Tengah dan truk gandeng 40 ton untuk pasokan beras dari Jawa Timur, sedangkan pasokan beras dari Makasar menggunakan peti kemas 20 ton melalui pelabuhan Tanjung Priuk. Pemasok yang masuk ke PIBC 71% dari Jawa Barat (Subang, Karawang, Indramayu, Cirebon, Bandung, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, dan Sumedang). Sisanya sekitar 29% dipasok dari Banten (Serang), Jawa Tengah (Tegal, Solo, Demak, Pati), Jawa Timur (Kediri, Lumajang, Surabaya), Lampung, Palembang dan Makasar. Pedagang pemasok PIBC ini berasal dari daerah Pantura Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Luar Jawa (Lampung, Palembang dan Sulawesi Selatan).

Masuknya beras dari luar Jawa seperti Sumatera dan Sulawesi sangat tergantung dari kondisi harga yang terjadi di DKI Jakarta dan kondisi panen/surplus daerah sentra produksi padi di luar Jawa tersebut. Jika harganya cukup bagus, dan di daerah sentra produksi sedang mengalami panen raya, maka banyak juga beras yang berasal dari luar Jawa masuk ke PIBC. Pangsa pasar dari luar Jawa yang masuk PIBC terbesar berkisar antara 10 hingga 15 persen.

(39)
(40)

Wilayah hinterland Jakarta (Provinsi Jawa Barat dan Banten) yang menjadi pemasok utama ke PIBC dengan pasokan melebihi 1 000 ton per tahun pada tahun 2011 adalah Kabupaten Cirebon, Karawang, Bandung, dan Cianjur dari Provinsi Jawa Barat, dan dari Provinsi Banten adalah Kabupaten Serang (Gambar 5). Pemasok tertinggi adalah Kabupaten Cirebon (32.50%) diikuti oleh Karawang (26.38%), hal ini disebabkan kedua wilayah tersebut merupakan sentra produksi beras di wilayah Jawa Barat. Persentase yang cukup tinggi juga terdapat pada jumlah beras yang tersisa di gudang PIBC dan sisa BULOG yang mencapai 16.21 persen (149 833 ton).

Selain dari lima wilayah tersebut, Jawa Tengah merupakan wilayah pemasok dari luar provinsi yang cukup tinggi (97 624 ton atau 10.56% dari total pasokan beras di PIBC), sedangkan Jawa Timur hanya memasok sekitar 1.5 persen (13 861 ton). Namun Jawa Tengah tidak dimasukkan ke dalam analisis spasial interaksi antar wilayah, karena wilayah tersebut bukan merupakan wilayah hinterland dari Jakarta.

Gambar 5 Pasokan beras ke PIBC tahun 2011

Data hingga bulan Agustus 2012 menunjukkan hal yang sama, dimana Jawa Barat tetap sebagai pemasok utama (72%) dengan persentase pasokan tertinggi dari wilayah hinterland Jakarta adalah Cirebon (25%), Karawang (21%), Bandung (9%), dan Cianjur (<1%), serta dari Serang Banten kurang dari 1 persen (Gambar 6). Pasokan dari Jawa Tengah meningkat hingga mencapai 19.14 persen (109 685 ton), jauh lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya. Demikian juga dari Jawa Timur yang meningkat menjadi 3.85 persen atau 22 065 ton, sedangkan jumlah beras di gudang PIBC dan sisa BULOG mengalami sedikit peningkatan menjadi 17.67 persen dari total beras di PIBC tahun 2012 (Tabel 7).

Gambar

Gambar 1  Kerangka pemikiran penelitian
Tabel 1  Data produksi dan kebutuhan beras di DKI Jakarta
Tabel 2  Indikator peta ketahanan dan kerentanan pangan Provinsi DKI Jakarta tahun 2011
Gambar 2  Kondisi ketahanan pangan di DKI Jakarta
+7

Referensi

Dokumen terkait

LABORATORIUM PROSES KIMIA 2013 14 Dari gambar 4.2 dapat dilihat bahwa terjadi kenaikan nilai konstanta kGa (konstanta perpindahan massa antar fase gas-cair) seiring

Jika pernah dilakukan oleh beliau, pasti diketahui dan masyhur, dan tentunya akan disampaikan oleh para sahabat kepada kita, karena mereka telah menyampaikan dari Nabi

Mengingat banyaknya permasalahan yang mencakup kajian ini, maka untuk mempermudah dalam melakukan penelitian, penulis membatasi masalah yang akan di teliti sehingga

Penelitian dan perancangan ini merupakan usaha untuk menghasilkan konsep rancang yang menggabungkan ruang-ruang pada tempat tinggal dulu dan kini agar dapat memecahkan kedua

Insisi kornea dibuat pada bagian kornea sebelah sentral dari limbus, yaitu kornea yang sudah bebas pembuluh darah dari arkade limbus, sehingga insisi tidak menyebabkan

Dengan pendekatan berbasis aset, setiap orang didorong untuk memulai proses perubahan, karena ABCD merupakan sebuah pendekatan dalam pengembangan masyarakat yang berada

Adapun ahli media terdiri dari 2 dosen UIN Raden Intan Lampungyaitu bapak Iip Suganda, M.Pd, beliau merupakan salah seorang ahli desain grafis pada setiap even-even di

Jumlah planet dalam Tata Surya berkurang menjadi 8 benda besar yang berhasil “membersihkan lingkungannya” (Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Yupiter, Saturnus, Uranus dan Neptunus),