STRATEGI ADAPTASI NELAYAN PELABUHANRATU
TERHADAP PERUBAHAN IKLIM
GILANG ANGGA PUTRA
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Strategi Adaptasi Nelayan Pelabuhanratu terhadap Perubahan Iklim adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, 11 April 2014
Gilang Angga Putra
GILANG ANGGA PUTRA. Strategi Adaptasi Nelayan Pelabuhanratu Terhadap Perubahan Iklim. Dibimbing oleh EKAWATI SRI WAHYUNI.
Dampak perubahan iklim dapat dilihat dari fenomena naiknya permukaan air laut, perubahan suhu permukaan air laut, perubahan salinitas air laut serta perubahan pola cuaca, curah hujan dan pola hidrologi. Para nelayan mengalaminya sebagai perubahan cuaca yang cepat, seringnya badai, dan makin sulitnya memperoleh hasil tangkapan. Hal ini mengakibatkan turunnya pendapatan rumahtangga. Untuk mengatasi dampak perubahan iklim, nelayan di Pelabuhanratu melakukan strategi adaptasi yang terdiri atas diversifikasi, intensifikasi, mobilitas anggota rumah tangga, hubungan sosial, serta menggadaikan dan menjual barang berharga. Bentuk-bentuk strategi adaptasi yang dilakukan oleh nelayan berbeda menurut kelasnya, karena karakteristik mereka berbeda. Di Pelabuhanratu dikenal ada tiga kelas nelayan, yang paling tinggi adalah nelayan juragan, kemudian nelayan tradisional dan yang paling rendah adalah nelayan buruh.
Kata-kata kunci: karakteristik sosial nelayan, kelas sosial nelayan, strategi adaptasi, perubahan iklim
ABSTRACT
GILANG ANGGA PUTRA. Adaptation Strategies of Pelabuhanratu Fishermen to Climate Change. Supervised by EKAWATI SRI WAHYUNI.
The impact of climate change can be seen in the phenomenon of rising sea levels, changes in sea surface temperature, sea water salinity and weather patterns, as well as changes in rainfall and hydrological patterns. Fishermen in Pelabuhanratu perceive the climate change impacts as the frequent storms, a sudden weather changes, and reduce of catches. Consequently, it will reduce the household income from fishery activity. To cope with the impact of climate change, fisher communityin Pelabuhanratuperforms adaptation strategiesin various ways, such as: diversification, intensification, mobilization of household members, social relations, and sell and pawn valuables. The types of adaptation strategies perform by the fisher community in Pelabuhanratu are different according to social classes they belong to, as each social class owns different social characteristics. In Pelabuhanratu, fisher communitybelongs to three social classes: modern equip fisher, traditional equip fisher, and none equip fisher or labor.
Keywords: fishermen social characteristics, fishermen social classes, adaptation strategies, climate change
STRATEGI ADAPTASI NELAYAN PELABUHANRATU
TERHADAP PERUBAHAN IKLIM
GILANG ANGGA PUTRA
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2014
Iklim
Nama : Gilang Angga Putra
NIM : I34090130
Bogor, 11 April 2014 Disetujui oleh:
Dr. Ekawati Sri Wahyuni Pembimbing
Mengetahui
Dr. Ir. Siti Amanah, MSc Ketua Departemen
Tanggal Lulus: ________________________
Puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Strategi Adaptasi Nelayan Pelabuhanratuterhadap Perubahan Iklim. Penelitian ini menjelaskan bagaimana masyarakat nelayan di Pelabuhanratu melakukan strategi adaptasi terhadap perubahan iklim yang berpengaruh terhadap kehidupan sosial ekonominya. Karakteristik yang melekat pada nelayan berpengaruh terhadap strategi adaptasi yang dilakukan karena berhubungan dengan ketersediaan sumberdaya yang dimiliki.
Ucapan terima kasih dan hormat penulis sampaikan kepada Dr. Ekawati Sri Wahyuni selaku dosen pembimbing yang telah memberikan saran, masukan ide serta bimbingan selama proses penulisan hingga penyelesaian penelitian. Penulis juga menyampaikan hormat dan terimakasih ayahanda Istar Effendy (alm.), Ibunda Hariyati, Spd yang telah memberikan dukungan dan doa kepada penulis. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada keluarga baru di Institut Pertanian Bogor dan teman-teman SKPM 46 yang namanya tidak bisa disebutkan satu per satu sebagai teman berdiskusi, bertukarpikiran, serta membantu dan selalu memotivasi penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.
Akhir kata semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, 26 Februari 2014
Gilang Angga Putra
Halaman
Konsep Dampak Perubahan Iklim 3
Konsep Kelas Nelayan 4
Pengolahan dan Analisis Data 14
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 17
Letak Geografis dan Kondisi Alam 17
Potensi Alami 17
Kependudukan 18
Sarana dan Prasarana 18
Konteks Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu 20
Perubahan Iklim di Pelabuhanratu 20
KARAKTERISTIK NELAYAN 25
Usia 25
Pendidikan 26
Pengalaman Melaut 26
STRATEGI ADAPTASI NELAYAN 31
Diversifikasi Sebagai Bentuk Strategi Adaptasi 31
Intensifikasi Sebagai Bentuk Strategi Adaptasi 33
Mobilisasi Anggota Keluarga Sebagai Bentuk Strategi Adaptasi 35 Pemanfaatan Hubungan Sosial Sebagai Bentuk Strategi Adaptasi 36 Menggadaikan atau Menjual Barang Berharga Sebagai Bentuk Strategi
Adaptasi 38
SIMPULAN DAN SARAN 41
Simpulan 41
Saran 43
DAFTAR PUSTAKA 43
LAMPIRAN 45
RIWAYAT HIDUP 57
Halaman 1 Penggolongan Nelayan Berdasarkan Daerah Penangkapan 6
2 Jumlah Responden Pada Setiap Kelas Nelayan 14
3 Produksi Ikan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu 18
4 Sarana Pendidikan di Pelabuhanratu 19
5 Sarana Kesehatan di Pelabuhanratu 19
6 Karakteristik pada Kelas Nelayan 25
7 Hubungan Kelas Nelayan dengan Frekuensi Strategi Adaptasi yang
Dilakukan 29
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kerangka Pemikiran 9
2 Kenaikan Permukaan Air Laut Secara Global 21
3 Perubahan Peluang Hujan Ekstrim di Wilayah Jawa Barat, Banten dan Jakarta pada Bulan Desember – Februari Antara Tahun 1990-1999 22 4 Persepsi masyarakat nelayan Pelabuhanratu terhadap fenomena perubahan
iklim 23
5 Distribusi Nelayan Juragan, Nelayan Tradisional dan Nelayan Buruh yang Melakukan Diversifikasi Sebagai Bentuk Strategi Adaptasi 32 6 Distribusi Nelayan Juragan, Nelayan Tradisional dan Nelayan Buruh yang
Melakukan Intensifikasi Sebagai Bentuk Strategi Adaptasi 34 7 Distribusi Nelayan Juragan, Nelayan Tradisional dan Nelayan Buruh yang
Melakukan Mobilisasi Anggota Keluarga Sebagai Bentuk Strategi Adaptasi 35 8 Distribusi Nelayan Juragan, Nelayan Tradisional dan Nelayan Buruh yang
Memanfaatkan Hubungan Sosial Sebagai Bentuk Strategi Adaptasi 37 9 Distribusi Nelayan Juragan, Nelayan Tradisional dan Nelayan Buruh yang
Menjual dan Menggadaikan Barang Berharga Sebagai Bentuk Strategi
Adaptasi 38
Halaman
1 Rencana Kegiatan Penelitian 45
2 Peta Pelabuhanratu 47
3 Dokumentasi Penelitian 50
4 Kerangka Sampling 51
5 Tabel Analisis Hubungan Karakteristik Nelayan dengan Strategi Adaptasi 54
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perubahan iklim merupakan peristiwa alamiah bumi dan terjadi dalam kurun waktu milyaran tahun. Penggunaan bahan bakar fosil yang berlebihan, serta kerusakan lingkungan melalui deforestasi dan degradasi lahan memberi kontribusi yang cukup besar terhadap percepatan terjadinya perubahan iklim ini (Marr et al.. 2009). Penduduk yang semakin bertambah serta penggunaan gas emisi rumah kaca juga menjadi penyumbang terjadinya percepatan perubahan iklim. Efek dari penggunaan gas rumah kaca dalam jangka panjang adalah terkumpulnya gas-gas tersebut dilapisan atmosfer, dan ketika matahari memantulkan gelombang panjang ke bumi, pancaran gelombang panjang ini tertahan oleh gas-gas rumah kaca. Akibatnya, gelombang panjang yang bersifat panas tadi terjebak di dalam rumah kaca, kemudian meningkatkan suhu di dalam atmosfer bumi, sehingga hal inilah yang menyebabkan suhu bumi meningkat dan mengganggu sistem yang ada di bumi dan atmosfernya, dan fenomena ini lazim disebut sebagai pemanasan global (Diposaptono et al. 2009).
Indonesia, sebagai salah satu negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia tentunya tidak lepas dari dampak perubahan iklim. Kawasan pesisir yang luas membuat sebagian besar masyarakat memilih tinggal di pesisir untuk memanfaatkan sumberdaya pesisir yang melimpah, dimana sebagian besar penduduk Indonesia yang tinggal dan bermukim di daerah pesisir. Tingginya jumlah penduduk yang bermukin di daerah pesisir, membuat dampak perubahan iklim menjadi sangat terasa bagi masyarakat nelayan. Dampak perubahan iklim yang terlihat adalah kenaikan permukaan air laut, serta meningkatkan intensitas dan frekuensi badai di lautan dan pesisir (Diposaptono et al. 2009). Masyarakat pesisir dengan ketergantungan yang tinggi terhadap sumberdaya kelautan tentunya harus memiliki strategi adaptasi untuk dapat bertahan hidup dalam menghadapi dampak perubahan iklim yang berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap pendapatan serta sumber mata pencarian mereka.
Pelabuhanratu merupakan salah satu Pusat Pelabuhan Nusantara (PPN) dan menjadi salah satu sentra perikanan laut di pantai utara Jawa. Letaknya yang strategis serta fasilitas yang lengkap seperti adanya tempat pelelangan ikan, gedung pasar grosir ikan, gedung pengecer ikan, kios, gudang, kantor yang dimanfaatkan oleh para pengusaha perikanan, kios penjualan, tempat pengepakan ikan dan berbagai fasilitas penunjang lainnya membuat daerah ini menjadi salah satu daerah pemasok ikan untuk Pulau Jawa dan sekitarnya. Tingginya jumlah penduduk yang bekerja sebagai nelayan, yakni sebanyak 3297 orang (Profil Kecamatan Pelabuhanratu 2011) menjadikan Pelabuhanratu menjadi salah satu sentra perikanan di Jawa Barat. Sebagai salah satu sentra perikanan tangkap, Pelabuhanratu memiliki berbagai macam jenis kapal yang bersandar serta nelayan yang menggantungkan hidupnya dari kekayaan alam laut di kawasan ini.
kelas-kelas, seperti nelayan juragan, nelayan tradisional dan nelayan buruh. Ketiga kelas ini memiliki kemampuan dan cara tersendiri dalam melakukan upaya adaptasi. Penelitian ini nantinya akan menjabarkan bahwa pada setiap kelas nelayan tingkat dan jenis strategi adaptasi yang dilakukan berbeda-beda.
Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka dapat ditarik beberapa permasalahan yang dapat diangkat dalam topik penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana bentuk strategi adaptasi sosial ekonomi yang dilakukan nelayan sebagai dampak perubahan iklim?
2. Bagaimana pengaruh kelas nelayan terhadap strategi adaptasi nelayan? Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah penelitian yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disusun beberapa tujuan sebagai berikut:
1. Mendiskripsikan hubungan karakteristik pada kelas nelayan dengan strategi adaptasi yang dilakukan.
2. Menganalisis strategi adaptasi berdasarkan kelas nelayan. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pengaruh kelas terhadap bentuk strategi adaptasi yang dilakukan masyarakat nelayan. Penelitian ini juga berguna untuk:
1. Bagi akademisi, sebagai literatur mengenai strategi adaptasi masyarakat nelayan.
2. Bagi pemerintah, sebagai acuandalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat nelayan.
3. Bagi swasta, sebagai acuan dalam melakukan investasi pada sektor perikanan dan kelautan.
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Perubahan Iklim
Diposaptono et al. (2009) berpendapat bahwa perubahan iklim terjadi secara alami terkait dengan proses alam yang sangat panjang (evolusi) dalam rentang waktu 4.5 milyar tahun silam. Fenomena yang terjadi saat ini adalah perubahan yang terjadi lebih cepat dari yang seharusnya. Fenomena ini penting disoroti mengingat penyebab-penyebab pemanasan global ini berasal dari faktor-faktor antropogenis yang menghasilkan emisi gas rumah kaca. Peningkatan emisi GRK disebabkan oleh aktivitas ekonomi manusia yang mengkonsumsi energi fosil seperti bahan bakar minyak, batu bara dan sejenisnya serta diperparah oleh deforestasi (Satria 2009), degradasi lahan gambut serta kebakaran hutan (Marr et al.. 2009). Semenjak revolusi industri pertengahan abad 18, intensitas dan inefisiennya pembakaran kayu, arang, minyak dan gas, diikuti oleh konversi lahan besar-besaran telah mengakibatkan meningkatnya konsentrasi GRK di atmosfer. Tumbuhan berperan dalam mengubah CO2 menjadi oksigen. Pengurangan jumlah tumbuhan membuat ketersediaan oksigen juga ikut terbatas, sehingga bakteri memproduksi metana yang menjadi gas pemicu pemanasan global. Penggunaan pupuk buatan di akhir abad 19 juga menyebabkan pelepasan nitrogen oksida, salah satu GRK, ke udara. Semenjak tahun 1920, aktivitas industri mulai menggunakan sejumlah campuran karbon buatan yang digunakan untuk mesin pendingin, fire suppression, dan sebagainya yang menghasilkan GRK yang sangat kuat (UNEP 2009).
Pemanasan global merupakan salah bentuk perubahan iklim yang paling nyata dirasakan. Pemanasan global merupakan suatu keadaan dimana permukaan bumi dan lautan mengalami kenaikan suhu dibanding dengan abad-abad sebelumnya (Tauli-Corpuz et al.. 2009). Emisi gas rumah kaca yang terkumpul di atmosfer sanggup menangkap panas dan memancarkan lagi lagi panas ke bumi. Gas tersebut antara lain adalah karbondioksida (CO2), metana (NH4), klorofluorokarbon atau CFC (Satria 2009), nitrat oksida, ozon, uap air (Diposaptono et al. 2009). Proses efek rumah kaca sebagai kondisi dimana sinar matahari yang memancarkan gelombang pendek leluasa menerobos masuk ke rumah kaca, namun ketika bumi memancarkan gelombang panjang ke atmosfer gelombang ini tertahan oleh gas-gas rumah kaca. Akibatnya, gelombang panjang yang bersifat panas tadi terjebak di dalam rumah kaca, kemudian meningkatkan suhu di dalam rumah kaca, sehingga hal inilah yang menyebabkan suhu bumi meningkat dan mengganggu sistem yang ada di bumi dan atmosfernya (Diposaptono et al. 2009).
Konsep Dampak Perubahan Iklim
gas CO2 oleh perairan laut (UNEP 2009). Dampak yang ditimbulkan akibat dari perubahan ini antara lain:
1. Naiknya Permukaan air laut akibat pemanasan yang dipicu peningkatan suhu atmosfer sehingga lapisan gletse dan es di kutub utara mencair (Diposaptono
et al. 2009; UNEP 2009; Tauli-Corpuz 2009; Satria 2009) yang nantinya
c. Banjir, badai dan gelombang ekstrim (Diposaptono et al. 2009)
d. Intrusi air laut ke daratan (Diposaptono et al. 2009; Tauli-Corpuz 2009) 2. Terjadinya kenaikan suhu permukaan air laut (Diposaptono et al. 2009; UNEP
2009; Chen 2008) yang kemudia memicu timbulnya:
a. Kerusakan terumbu karang, dimana peningkatan suhu memicu matinya jaringan terumbu karang dan berakibat pada munculnya fenomena pemutihan terumbu karang (Satria 2009; UNEP 2009; Chen 2008)
b. Perubahan upwelling atau gerombolan ikan (Chen 2008: Diposaptono et al. 2009)
3. Menurunnya salinitas air laut sehingga memicu migrasi berbagai jenis spesies hewan karena kondisi lingkungan yang berubah (Chen 2008; Satria 2009) 4. Perubahan Curah hujan, pola hidrologi dan pola angin dimana hal ini
menyebabkan peningkatan frekuensi dan intensitas badai dilautan (Chen 2008; Diposaptono et al. 2009; UNEP 2009).
Konsep Kelas Nelayan
Menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang perikanan, pengertian nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Menurut Satria (2002) dilihat dari penguasaan kapital, nelayan dibedakan menjadi nelayan pemilik dan nelayan pekerja (buruh). Nelayan pemilik adalah orang yang memiliki sarana penangkapan seperti kapal/perahu, jaring, dan alat tangkap lainnya. Nelayan pekerja atau buruh adalah orang yang menjual jasa tenaga kerja sebagai buruh dalam kegiatan penangkapan ikan di laut atau sekarang lebih dikenal dengan anak buah kapal (ABK).
Kelas Nelayan adalah suatu kelas yang dibentuk berdasarkan jenis mata pencaharian atau profesi yaitu sebagai nelayan. Setiap kelas nelayan memiliki identitas atau karakter tersendiri. Identitas tersebut merupakan cerminan kondisi internal dari suatu kelas.
Menurut Kinseng (2011) nelayan dapat dibagi menjadi 4 kelas. Keempat kelas tersebut adalah buruh nelayan, atau biasa disebut dengan nelayan buruh, nelayan kecil yakni nelayan yang memiliki kapal dan bekerja sendiri atau mempekerjakan satu sampai tiga orang buruh, nelayan sedang yakni nelayan yang memiliki kapal dan mepekerjakan sampai 10 buruh, dan nelayan besar atau kapitaslis yang mempekerjakan lebih dari 10 buruh.
Menurut Imron (2003) nelayan adalah suatu kelas masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budidaya. Nelayan pada umumnya tinggal di pinggir pantai, sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya. Karakteristik Nelayan merupakan atribut yang melekat pada tiap individu nelayan, dan berbeda-beda pada tiap individu. Adapun karakteristik nelayan dapat dilihat dari:
1. Waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan (Direktorat Jendral Perikanan Tangkap 2001) dapat dibagi atas:
a. Nelayan penuh yaitu nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan/ binatang air lainnya/tanaman air.
b. Nelayan sambilan utama yaitu nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air. Nelayan kategori ini dapat pula mempuyai pekerjaan lain disamping melakukan penangkapan ikan.
c. Nelayan sambilan tambahan yaitu nelayan yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan penangkapan ikan.
2. Jenis armada, daya jangkau serta lokasi penangkapan (Widodo 2008):
a. Nelayan pantai atau biasa atau yang biasa disebut perikanan pantai untuk usaha perikanan skala kecil dengan armada yang umum digunakan adalah perahu tanpa motor atau kapal motor tempel.
b. Nelayan perikanan lepas pantai dengan wilayah perikanan lepas pantai untuk perikanan dengan kapasitas perahu rata-rata 30 GT.
c. Nelayan perikanan samudera didominasi oleh kapal-kapal ukuran besar misalnya 100 GT dengan target perikanan tunggal seperti ikan tuna.
Secara umum penggolongan nelayan berdasarkan armada, alat tangkap dan wilayah penangkapan dapat digambarkan sebagai berikut:
Tabel 1 Penggolongan nelayan berdasarkan daerah penangkapan
Aspek Pantai Lepas Pantai Laut Lepas
Kedalaman 0-2,5 m 2,5-25 m >25 m
Jenis Sasaran Nener, Bener, Ikan Demersal
Udang, ikan demersal, ikan karang
Ikan-ikan pelagis
Macam Armada Tanpa Armada, Perahu Kecil
Perahu berukuran sedang, bagan
Perahu berukuran besar
Alat Tangkap Jala, Perangkap, Serok kail
a. Nelayan Besar (large scale fishermen), dicirikan dengan besarnya kapasistas teknologi penangkapan maupun jumlah armada. Nelayan besar berorientasi pada keuntungan dan melibatkan buruh nelayan sebagai anak buah kapal (ABK) dengan organisasi kerja yang kompleks.
b. Nelayan Kecil (small scale fishermen), beroperasi di daerah kecil yang bertumpang tindih dengan kegiatan budidaya dan bersifat padat karya. Nelayan kecil juga dapat dilihat dari kapasitas teknologi (alat tangkap dan armada) maupun budaya yang keduanya sangat terkait satu sama lain. Selain itu, ciri lain dari nelayan kecil adalah ketiadaan kemampuan untuk memberi pengaruh pada kebijakan publik karena nelayan selalu dalam posisi dependen dan marjinal.
Konsep Strategi Adaptasi
Adaptasi dapat dikatakan sebagai sebuah tingkah laku yang merujuk pada strategi bertahan hidup (Bennet 1978 dalam Mulyadi 2007). Dalam kajian adaptabilitas manusia terhadap lingkungan, ekosistem adalah keseluruhan situasi di mana adaptabilitas berlangsung atau terjadi. Karena populasi manusia tersebar di berbagai belahan bumi, konteks adaptabilitas akan sangat berbeda-beda. Suatu populasi di suatu ekosistem tertentu menyesuaikan diri terhadap kondisi lingkungan dengan cara-cara yang spesifik. Ketika suatu populasi masyarakat mulai menyesuaikan diri terhadap suatu lingkungan yang baru, suatu proses perubahan akan dimulai dan mungkin membutuhkan waktu yang lama untuk dapat menyesuaikan diri (Moran 1982). Sahlins (1968) menekankan bahwa proses adaptasi sangatlah dinamis karena lingkungan dan populasi manusia.
Adaptasi perubahan iklim dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk mengatasi dampak perubahan iklim baik yang sifatnya reaktif maupun antisipatif. Dalam melakukan adaptasi, terdapat tiga konsep penting (Bennet 1976 dalam Saharudin 2007), yakni:
1. Adaptasi perilaku (adaptive behaviour) yang merujuk pada cara aktual dalam menemukan suatu pemecahan masalah dengan mempertimbangkan biaya dengan hasil yang akan dicapai.
2. Adaptasi proses (adaptive process) merujuk suatu bentuk perubahan-perubahan yang dilakukan dengan melalu proses yang panjang dengan menyesuaikan bentuk strategi yang dipilih.
3. Strategi adaptasi (adaptive strategies) merupakan suatu bentuk pola dalam merespon permasalan yang telah terbentuk melalui berbagai proses penyesuaian dengan melakukan evaluasi terhadap alternatif dan konsekuensinya.
Dalam masyarakat nelayan, adaptasi dilakukan dalam beberapa bentuk, yakni: 1. Diversifikasi (Wahyono 2001), yaitu dengan melukan perluasan alternatif mata
pencarian yang dilakukan baik dalam sektor perikanan, maupun sektor non perikanan.
2. Intensifikasi (Wahyono 2001) dengan melakukan investasi pada teknologi penangkapan ikan untuk meningkatkan hasil tangkapan.
3. Jaringan sosial (Kusnadi 2007) dengan membentuk ikatan atau suatu bentuk hubungan khusus yang ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan nelayan dalam pengangkapan ikan.
4. Mobilisasi anggota keluarga (Kusnadi 2007) dengan mengikutsertakan istri dan anak dalam mencari nafkah.
5. Menggadaikan atau menjual barang-barang berharga (Kusnadi 2007) Konsep Persepsi
Persepsi didefinisikan oleh Rakhmat (1999) sebagai pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan. Persepsi sebagai proses menerima, menyeleksi, mengartikan, menguji, dan memberikan reaksi kepada rangsangan pancaindera atau data. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa persepsi adalah suatu proses aktif komunikasi, menyerap, mengatur, dan menafsirkan pengalamannya secara selektif. Beberapa orang dapat mempunyai persepsi yang berbeda dalam melihat suatu objek yang sama, hal ini dipengaruhi oleh faktor antara lain tingkat pengetahuan dan pendidikan seseorang, kombinasi penglihatan, penciuman, pendengaran serta pengalaman masa lalu. Persepsi dapat diartikan juga sebagai proses pengorganisasian stimulus yang diterima oleh indra individu, kemudian diinterpretasikan, sehingga individu menyadari dan mengerti tentang apa yang diterima oleh indera itu. Persepsi merupakan keadaan yang terpadu dari individu terhadap stimulus yang diterimanya, maka apa yang ada dalam diri individu, pengalaman-pengalaman individu akan ikut aktif dalam persepsi individu.
Berdasarkan pernyataan di atas, dapat dijelaskan bahwa persepsi adalah suatu hal yang sangat memberikan pandangan pada seseorang individu atau masyarakat tentang keadaan yang sebenarnya terjadi dalam lingkungannya. Dalam memberikan tanggapan terhadap hal tersebut individu atau masyarakat tidak hanya memandang dengan indera penglihatan dan pikiran tetapi juga dengan perasaan sehingga individu atau masyarakat dapat mengenal dan tahu tentang perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan masyarakat sekarang.
Kerangka Pemikiran
Perubahan iklim menyebabkan terjadinya pemanasan global yang berdampak pada terjadinya kenaikan permukaan air laut, kenaikan suhu permukaan air laut, penurunan salinitas air laut dan perubahan curah hujan, pola hidrologi dan pola angin. Perubahan yang terjadi menyebabkan terjadinya perubahan ekologis pada ekosistem laut dan pesisir. Perubahan yang terjadi adalah intrusi air laut ke daratan, gelombang ekstrim dan peningkatan frekuensi badai, erosi pantai, kerusakan terumbu karang perubahan proses upwelling, gerombolan ikan, perubahan pola migrasi ikan serta peningkatan salinitas air laut.
Perubahan pola hidrologi, pola angin disertai kenaikan permukaan air laut menyebabkan intensitas dan frekuensi badai serta gelombang ekstrim yang terjadi di lautan. Perubahan tingkat keasaman air laut, kenaikan suhu permukaan air laut serta perubahan salinitas air laut dapat memicu kerusakan terumbu karang. Rusaknya terumbu karang menyebabkan perubahan dan terganggunya sistem rantai makanan yang ada di daerah tersebut, sehingga dampak lanjut yang ditimbulkan adalah ikan akan bermigrasi mencari tempat yang memiliki terumbu karang yang lebih baik. Migrasi ikan akibat rusaknya terumbu karang menyebabkan daerah penangkapan ikan mengalami penurunan jumlah pasokan ikan dalam skala besar.
Berbagai dampak perubahan iklim yang terjadi tersebut berpotensi menganggu dan bahkan menghambat proses penangkapan ikan oleh nelayan di laut. Terganggunya proses penangkapan ikan berimplikasi pada menurunnya hasil tangkapan nelayan dan berakibat pada menurunnya tingkat pendapatan nelayan. Penurunan pendapatan yang terjadi berkali-kali dan dalam jangka waktu yang lama meyebabkan nelayan melakukan suatu bentuk adaptasi.
Nelayan di Pelabuhanratu terbagi atas tiga kelas, yakni nelayan juragan, nelayan tradisional dan nelayan buruh. Nelayan juragan adalah nelayan pemilik armada kapal yang digunakan untuk melakukan proses penangkapan ikan dilaut lepas. Umumnya kapal yang dimiliki oleh nelayan pada kelas ini berkisar 50 GT – 150 GT. Kuantitas penangkapan ikan yang besar membuat nelayan juragan mempekerjakan tenaga bantuan, yaitu nelayan buruh. Nelayan buruh merupakan tenaga bantuan yang diupah oleh nelayan juragan berdasarkan pembagian hasil penjualan dari tangkapan ikan yang didapat. Nelayan tradisional adalah kelas nelayan yang pada umumnya bekerja secara perorangan, yang memiliki perahu dengan menggunakan peralatan penangkapan ikan yang lebih sederhana seperti pancing dan jaring.
Keterangan:
pengaruh
Gambar 1 Kerangka pemikiran Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka dapat ditarik beberapa hipotesis penelitian yaitu sebagai berikut:
1. Diduga kelas nelayan dengan modal yang kecil cenderung lebih banyak melakukan strategi adaptasi.
Defiisi Konseptual
1. Perubahan iklim adalah perubahan unsur-unsur iklim yang mempengaruhi berbagai perubahan pada atmosfer (udara), hidrosfer (air), kriosfer (bagian bumi yang membeku), permukaan tanah dan biosfer (bagian bumi yang terdapat kehidupan).
2. Dampak perubahan iklim pada ekosistem laut adalah perubahan abiotik dan biotik yang terdapat dalam cakupan ekosistem laut sebagai dampak langsung dan tidak langsung dari perubahan iklim.
3. Masyarakat nelayan adalah masyarakat yang memiliki ketergantungan ekonomi terhadap sumberdaya kelautan dan secara aktif melakukan kegiatan penangkapan ikan/ binatang air atau tanaman air lainnya serta membentuk
Strategi Adaptasi Sosial Ekonomi Nelayan
Fenomena Perubahan Iklim 1. Kenaikan permukaan air laut 2. Kenaikan suhu permukaan air laut 3. Penurunan salinitas air laut 4. Perubahan curah hujan, pola
hidrologi dan pola angin
Kelas Nelayan 1. Nelayan buruh
2. Nelayan tradisional 3. Nelayan juragan
kebudayaan yang khas terkait dengan ketergantungan akan pemanfaatan sumberdaya pesisir.
4. Penurunan hasil tangkapan ikan adalah dampak lanjutan yang dialami oleh nelayan berupa berkurangnya hasil tangkapan ikan sehingga membuat hasil penjualan ikan menurun dan menyebabkan pendapatan yang didapat oleh nelayan berkurang.
5. Strategi adaptasi sosial ekonomi nelayan adalah upaya untuk mengatasi dampak perubahan iklim yang mempengaruhi aktivitas penangkapan ikan baik secara reaktif maupun antisipatif.
Definisi Operasional
1. Fenomena Perubahan iklim adalah persepsi nelayan terhadap terjadinya perubahan iklim yang ditandai dengan adanya fenomena:
a. Kenaikan permukaan air laut, adalah persepsi nelayan mengenai perubahan ketinggian air laut.
b. Perubahan suhu permukaan air laut, adalah persepsi nelayan berkaitan dengan dampak perubahan suhu air laut berupa terjadinya keruakan terumbu karang dan perubahan daerah gerombolan ikan.
c. Menurunnya salinitas air laut, adalah persepsi nelayan akibat perubahan tingkat keasinan air laut yang ditandai oleh berubahnya pola penyebaran ikan.
d. Perubahan pola cuaca, adalah persepsi nelayan mengenai pergantian cuaca yang sulit diprediksi.Gelombang tinggi, adalah persepsi nelayan mengenai perubahan frekuensi serta ketinggian gelombang air laut.
2. Karakteristik nelayan adalah ciri-ciria atau atribut yang melekat pada diri nelayan
a. Usia adalah lama hidup responden dari sejak lahir sampai pada saat dilakukannya penelitian. Diukur dengan menggunakan skala ordinal. Dibedakan kedalam kategori-kategori yang berbeda dengan menggunakan perhitungan standar deviasi:
1) Muda (25 tahun -35 tahun)
2) Dewasa awal (36 tahun - 46 tahun) 3) Dewasa akhir (47 tahun – 57 tahun)
b. Pendidikan adalah tingkat belajar yang pernah dilalui oleh responden. Tingkat belajar ini meliputi pendidikan formal. Diukur dengan menggunakan skala ordinal. Dibedakan kedalam kategori-kategori yang berbeda dengan menggunakan perhitungan standar deviasi:
1) Rendah, jika tamat SD/ sederajat. 2) Sedang, jika tamat SMP/ sederajat. 3) Tinggi, jika tamat SMA/ sederajat.
c. Pengalaman melaut adalah lamanya responden bekerja sebagai nelayan. Diukur dengan menggunakan skala ordinal. Dibedakan kedalam kategori-kategori yang berbeda dengan menggunakan perhitungan standar deviasi: 1) Rendah, jika responden bekerja sebagai nelayan selama 7 tahun –16
2) Sedang, jika responden bekerja sebagai nelayan selama > 16 tahun - 25 tahun
3) Tinggi, jika responden bekerja sebagai nelayan > 25 tahun – 36 tahun. d. Pendapatan nelayan adalah total uang yang didapatkan nelayan selama
sebulan penuh. Diukur dengan menggunakan skala ordinal. Dibedakan kedalam kategori-kategori yang berbeda dengan menggunakan perhitungan standar deviasi:
1) Rendah, jika responden memiliki total pendapatan Rp700,000 – Rp4000,000,000 perbulan
2) Sedang, jika responden memiliki total pendapatan > Rp4,000,000 – Rp7,300,000 per bulan.
3) Tinggi, jika responden memiliki total pendapatan > Rp7300,000 - Rp10,500,000 perbulan
3. Kelas nelayan adalah pembagian nelayan berdasarkan kepemilikan kapal dan alat tangkap. Responden dibagi menjadi tiga kelas1, yaitu:
a. Nelayan juragan, jika responden memiliki kapal dan mempekerjakan sedikitnya satu orang tenaga tambahan.
b. Nelayan tradisional, jika responden memiliki perahu dan tidak mempekerjakan tenaga tambahan.
c. Nelayan buruh, jika responden tidak memiliki kapal dan perahu.
4. Strategi adaptasi merupakan tindakan yang dilakukan nelayan dalam menyiasati dampak negatif perubahan iklim yang dibagi atas:
a. Diversifikasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh rumah tangga nelayan dalam menambah jenis kegiatan penghasilannya dalam menghadapi dampak langsung dan tidak langsung perubahan iklim. Dikategorikan dalam:
1) Melakukan (kode 1), jika responden melakukan bentuk diversifikasi sebagai bentuk strategi adaptasi.
2) Tidak melakukan (kode 2), jika responden tidak melakukan diversifikasi sebagai bentuk strategi adaptasi.
b. Intensifikasi adalah kegiatan yang dilakukan nelayan dalam rangka meningkatkan kualitas kapasitas usaha penangkapan ikan dalam menghadapi dampak langsung dan tidak langsung perubahan iklim. Dikategorikan dalam:
1) Melakukan (kode 1), jika responden melakukan bentuk intensifikasi sebagai bentuk strategi adaptasi.
2) Tidak melakukan (kode 2), jika responden tidak melakukan intensifikasi sebagai bentuk strategi adaptasi.
c. Jaringan sosial adalah hubungan yang dijalin nelayan dalam menghadapi dampak langsung dan tidak langsung perubahan iklim. Dikategorikan dalam:
1) Melakukan (kode 1), jika responden memiliki jaringan sosial sebagai bentuk strategi adaptasi.
1
2) Tidak melakukan (kode 2), jika responden tidak memiliki jaringan sosial sebagai bentuk strategi adaptasi.
d. Mobilisasi anggota rumah tangga adalah mengikutsertakan anggota rumah tangga nelayan untuk bekerja, baik di sektor perikanan maupun di luar sektor perikanan dalam menghadapi dampak langsung dan tidak langsung perubahan iklim. Dikategorikan dalam:
1) Melakukan (kode 1), jika responden melakukan bentuk mobilisasi anggota rumah tangga sebagai bentuk strategi adaptasi.
2) Tidak melakukan (kode 2), jika responden tidak melakukan mobilisasi anggota rumah tangga sebagai bentuk strategi adaptasi.
e. Menggadaikan atau menjual barang berharga, adalah usaha strategi adaptasi nelayan dengan menjual atau menggadaikan aset yang mereka memiliki untuk tetap mendapat penghasilan. Dikategorikan dalam:
1) Melakukan (kode 1), jika responden melakukan menggadaikan atau menjual barang berharga sebagai bentuk strategi adaptasi.
PENDEKATAN LAPANG
Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung dengan pendekatan kualitatif dalam pengumpulan datanya. Pendekatan kuantitatif dilakukan melalui penelitian survei yaitu penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok (Singarimbun & Effendi 1987). Pengumpulan data kuantitatif dalam penelitian ini dilakukan melalui metode survei kepada masyarakat dengan menggunakan kuesioner. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan pendekatan kualitatif dilakukan melalui teknik observasi dengan terlibat langsung kepada yang diteliti. Melalui pendekatan ini dilakukan observasi, pengambilan dokumen dan wawancara mendalam kepada informan. Pendekatan kuantitatif dan kualitatif ini berguna untuk mengetahui bentuk strategi adaptasi sosial ekonomi yang dilakukan nelayan sebagai dampak perubahan iklim, pengaruh perubahan iklim terhadap strategi adaptasi masyarakat nelayan serta pengaruh kelas nelayan terhadap strategi adaptasi nelayan sebagai dampak perubahan iklim. Observasi adalah melakukan pengamatan secara langsung ke obyek penelitian untuk melihat aktivitas yang dilakukan.
Data yang diperoleh dalam penelitian ini baik secara kuantitatif maupun kualitatif diolah dengan cara mereduksi bagian-bagian terpenting sehingga menjawab masalah penelitian yang diajukan. Data yang diperoleh dari hasil kuesioner responden diolah dan kemudian dianalisa secara deskriptif. Menurut Riduwan dan Sunarto (2011), analisis deskriptif adalah analisis yang menggambarkan suatu data yang akan dibuat baik sendiri maupun secara kelas. Data kualitatif dari wawancara mendalam dan observasi disajikan secara deskriptif untuk mendukung dan memperkuat analisis kuantitatif.
Lokasi dan Waktu
Populasi dan Sampel
Populasi sampling dari penelitian ini adalah nelayan yang beraktifitas di ruang lingkup Tempat Pelelangan Ikan Pelabuhanratu serta nelayan yang berdomisili di sekitar Pelabuhanratu. Pemilihan responden dilakukan dengan metode pengambilan sampel acak yang terlebih dahulu dikelaskan (stratified random sampling) agar dapat secara tepat mengidentifikasi sifat-sifat populasi yang keterogen, sehingga populasi dibagi dalam kelas-kelas pada kelas tertentu, dan dari setiap kelas diambil sampel secara acak. Kerangka sampling diambil dari anggota kelompok nelayan Pelabuhanratu yang berjumlah 133 orang nelayan (dapat dilihat pada lampiran 5) yang terdiri dari kelas nelayan juragan, kelas nelayan tradisional dan kelas nelayan buruh. Penggunaan metode ini untuk mengantisipasi perbedaan sifat antar kelas. Responden dibagi dalam tiga kelas, yakni nelayan juragan, nelayan tradisional serta nelayan buruh. Pada setiap kelas diambil 12 orang responden, sehingga jumlah keseluruhan responden untuk penelitian ini adalah 36 orang responden. Pengambilan jumlah responden yang sama pada ketiga kelas nelayan didasarkan atas pertimbangan jumlah populasi pada ketiga kelas tidak jauh berbeda. Responden diambil secara acak melalui sistem pengocokan, dimana nama responden didapat dari data kelas nelayan Pelabuhanratu.
Tabel 2 Jumlah responden pada setiap kelas nelayan
Kelas Jumlah Responden
Nelayan Juragan 12
Nelayan Tradisional 12
Nelayan Buruh 12
Total 36
Sumber: Laporan Tahunan TPI Pelabuhanratu, 2013
Pengumpulan Data
Pengumpulan data diperoleh melalui berbagai metode pengumpulan data, baik itu data kuantitatif maupun kualitatif, selanjutnya diproses guna mendapat jawaban atas tujuan dari peneltian ini. Tipe data yang digunakan yaitu data ordinal. Pengujian pada tiap-tiap hipotesis menggunakan metode tabel frekuensi.
Pengolahan dan Analisis Data
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Letak Geografis dan Kondisi Alam
Kecamatan Pelabuhanratu termasuk ke dalam wilayah administratif Kabupaten Sukambumi, Provinsi Jawa Barat. Kecamatan Pelabuhanratu merupakan pusat pemerintahan ibukota Kabupaten Sukabumi dengan batas-batas wilayah sebagi berikut:
Sebelah Utara : Kecamatan Cikidang Sebelah Selatan : Kecamatan Simpenan Sebelah Barat : Kecamatan Cikakak
Sebelah Timur : Kecamatan Bantar Gadung
Kecamatan Pelabuhanratu berjarak 0.5 kilometer dari pusat kota kabupaten, 156 kilometer dari ibukota provinsi dan 175 kilometer dari ibukota negara. Perjalan menuju Pelabuhanratu dapat dilakukan dari terminal Baranangsiang, Bogor. Waktu tempuh yang digunakan sekitar 5 jam perjalanan. Kecamatan Pelabuhanratu memiliki luas wilayah 10.287.985 Ha, yang terdiri dari 8 desa, yakni Pelabuhanratu, Citepus, Cibodas, Buniwangi, Citarik, Cikadu, Tonjong dan Pasiruren. Pusat pemerintahan kecamatan Pelabuhanratu terletak di desa Pelabuhanratu, dan juga di desa ini terdapat Pelabuhan Perikanan Nusantara dan tempat pelelangan ikan. Beberapa kantor pemerintahan juga terdapat di wilayah ini, sehingga dengan banyaknya titik vital pemerintahan membuat Pelabuhanratu menjadi salah satu minipolis di Jawa Barat.
Kondisi topografi Kecamatan Pelabuhanratu didominasi oleh dataran rendah dan berikisar pada ketinggian 2 meter diatas permukaan laut. Curah hujan di Pelabuhanratu berkisar antara 2000 – 3000 mm pertahun, dengan kisaran suhu 18 – 36 derajat celcius. Tingginya tingkat curah hujan dan suhu yang hangat membuat kawasan ini sering terkena badai dan banjir. Tingginya frekuensi badai dan banjir membuat beberapa daerah di Pelabuharatu mengalami abrasi.
Potensi Alami
Tabel 3 Produksi ikan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu No. Tahun Jumlah Produksi dan Nilai Produksi Ikan
Pelabuhanratu
Produksi (Kg) Nilai (Rp)
1 2002 3,875,468 15,335,105,315
2 2003 4,625,763 18,335,560,568
3 2004 6,404,179 31,566,769,254
4 2005 12,473,099 66,185,976,723
5 2006 9,933,719 61,648,109,620
6 2007 13,546,684 88,619,812,654
7 2008 8,836,943 78,151,806,675
8 2009 8,716,777 109,655,164,610
9 2010 11,897,548 198,724,195,500
10 2011 13,814,120 212,838,920,819
Sumber: Laporan Tahunan Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu, 2012
Kependudukan
Jumlah penduduk di Kecamatan Pelabuhanratu adalah sebanyak 101.036 jiwa pada tahun 2012. Jumlah penduduk laki-laki sebanyak 51.515 jiwa atau sekitar 52 persen, sedangkan jumlah penduduk wanita sebesar 49.521 jiwa atau sekitar 48 persen dari total penduduk Kecamatan Pelabuhanratu. Mayoritas penduduk Pelabuhanratu berprofesi sebagai petani yakni sebanyak 11.199 jiwa dan nelayan 3.297 jiwa. Jumlah penduduk menurut data statistik demografi kecamatan Pelabuhanratu tahun 2011 yaitu sebesar 101.022 jiwa. Jumlah ini tersebar di 8 desa yang ada di Kecamatan Pelabuhanratu. Jumlah penduduk desa terbanyak berada di Kelurahan Pelabuhanratu yakni sebesar 31.275 jiwa. Hal ini disebabkan olehterkonsentrasinya kegiatan perekonomian di Kelurahan Pelabuhanratu. Dari total jumlah penduduk di Kecamatan Pelabuhanratu sebanyak 50,99% berjenis kelamin laki-laki.
Sarana dan Prasarana
Tabel 4 Sarana pendidikan di Pelabuhanratu
Sarana Pendidikan Jumlah (unit)
PAUD 63
TK 9
SD 31
MI 14
SMP 8
MTs 10
SMA 4
SMK 6
MA 3
Sumber: Profil Kecamatan Pelabuhanratu tahun 2011
Sarana lainnya yang ada di Kecamatan Pelabuhanratu adalah sarana kesehatan, dimana terdapat Rumah Sakit umum Daerah Pelabuhanratu. Berikut jumlah sarana kesehatan yang ada di Pelabuhanratu:
Tabel 5 Sarana kesehatan di Pelabuhanratu
Sarana Kesehatan Jumlah (unit)
Rumah Sakit 1
Puskesmas 2
Puskesmas Pembantu 3
Poskesdes 4
Posyandu 101
Sumber: Profil Kecamatan Pelabuhanratu tahun 2011
Konteks Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu
Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pelabuhanratu termasuk kedalam wilayah administratif Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu adalah salah satu pelabuhan yang dibangun pemerintah pusat guna menunjang aktivitas perikanan yang memanfaatkan sumberdaya perikanan yang ada di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 9 Samudra Hindia, dan melayani kapal-kapal yang sedang melakukan operasi penangkapan ikan di daerah penangkapan ikan (fishing ground) dengan menyampaikan informasi yang dibutuhkan nelayan. Layanan yang biasa diberikan seperti penyampaian informasi mengenai prakiraan potensi daerah penangkapan ikan, harga ikan, kondisi cuaca melalui radio komunikasi atau alat elektronik lainnya, melakukan pelayanan terhadap kapal-kapal perikanan baik pada saat keberangkatan maupun pada saat kedatangan dan saat berada di pelabuhan, memfasilitasi kegiatan pengolahan ikan guna mempertahankan mutu ikan yang didaratkan sehingga layak konsumsi, memfasilitasi kegiatan pemasaran ikan sehingga memperoleh harga yang wajar melalui kegiatan pelelangan ikan di Tempat Pelelangan Ikan Pelabuhanratu. Selain itu fungsi PPN Pelabuhanratu adalah untuk memperlancar kegiatan distribusi ikan ke daerah konsumen, melakukan pembinaan terhadap nelayan melalui pelatihan-pelatihan dan pembinaan usaha nelayan.
PPN Pelabuhanratu mulai beroperasi pada tahun 1993,. Sejak pengembangannya pada periode 1993 – 2008, PPN Pelabuhanratu telah mengalami dua tahap pembangunan yakni pembangunan tahap pertama pada tahun1993 dan beroperasi sampai pada tahun 2002, kemudian dilanjutkan dengan pembangunan tahap kedua selama periode 2003 – 2005 yang merupakan pengembangan pembangunan tahap pertama. Pembangunan Pelabuhan tahap pertama dilakukan untuk menunjang aktifitas perikanan terutama untuk penangkapan ikan dengan ukuran kapal mencapai 30 GT. Pembangunan tahap kedua pelabuhan perikanan ditujukan untuk menunjang aktifitas penangkapan ikan oleh kapal berukuran 30 GT sampai dengan 150 GT.
Perubahan Iklim di Pelabuhanratu
Kondisi iklim tropis di wilayah pesisir Teluk Pelabuhanratu Kabupaten Sukabumi dipengaruhi oleh musim angin barat yang bertiup dari timur ke barat, dan musim angin timur yang bertiup dari barat ke timur. Musim angin barat bertiup dari bulan Desember sampai dengan bulan Maret, sedangkan angin timur berlangsung antara bulan Juni sampai dengan bulan September. Curah hujan tahunan di pesisir Teluk Pelabuhanratu dan sekitarnya berkisar antara 2.500 – 3.500 mm per tahun dan hari hujan antara 110 – 170 hari per tahun. Suhu udara di sekitar wilayah ini berkisar antara 18o – 30o C dan memiliki kelembaban udara yang berkisar antara 70 – 90 %
Pelabuhanratu yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia, iklim dan cuacanya sangat dipengaruhi oleh laut. Adanya peningkatan permukaan air laut global yang diproyeksikan meningkat selama abad ke-21 pada tingkat yang lebih tinggi daripada selama 1961 sampai 2003, seperti saat permukaan air laut global mencapai 0.22 sampai 0.44 m di atas tingkat 1990, dan sedang meningkat sekitar 4 mm/tahun. Seperti di masa lampau, perubahan permukaan air laut di masa depan tidak akan seragam secara geografis, dengan perubahan permukaan laut regional bervariasi sekitar ±0.15 m dari rata-rata proyeksi model tipikal. Hal ini dapat dilihat dari perairan pantai selatan pulau Jawa yang mempunyai nilai rata
– rata kenaikan muka laut sebesar 0,97 mm/tahun.
Gambar 2 Kenaikan permukaan air laut secara global ( Sumber: Sunil 2011) Letak geografis yang berdekatan dengan laut juga membuat Pelabuhanratu rentan terjadi storm surge. Storm surge adalah surge (gelombang) yang disebabkan oleh badai, terutama badai tropis. Storm surge ini merupakan bencana serius di daerah pantai khususnya di zona tropis dan sub tropis, dimana salah satu dampak dari badai tropis adalah naiknya muka air ekstrim akibat angin dan tekanan dari siklon tersebut (BMKG 2013). Storm surges yang dibangkitkan oleh
daerah pengungsian, terganggunya aktivitas pariwisata, dan terganggunya aktivitas ekonomi di pelabuhan.
Dampak perubahan iklim lainnya yang mungkin dirasakan adalah terjadinya hujan ekstrim dan badai. Hal ini dapat dilihat di Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta, peluang kejadian hujan ekstrim dengan intensitas mencapai 500 mm/bulan selama periode tahun 1970 - 1999 meningkat hingga 13%. Padahal, selama periode tahun 1900 - 1929, walaupun peluang kejadian hujan ektrim di ketiga wilayah tersebut hanya 3% , hal tersebut ditunjukkan Gambar 8.
Gambar 3 Perubahan peluang hujan ekstrim (500 mm/bulan) di wilayah Jawa Barat, Banten dan Jakarta pada bulan Desember - Februari antara tahun 1900 - 1999 (Sumber : UNEP 2009)
Dampak perubahan iklim yang dirasakan oleh nelayan Pelabuhanratu dapat dilihat dari kenaikan tinggi air laut, dimana air laut mulai mendekati pemukiman warga. Hal ini dapat dilihat jelas di desa Camara, dimana abrasi menyebabkan kerusakan beberapa rumah warga.
“..dulu air masih jauh, kalau sekarang suka tiba-tiba naik. Kayak tahun lalu aja disini ada yang rumahnya ampe hancur kebawa ombak”( BH, 51 Tahun)
Selain itu, cuaca ekstrim yang ditandai dengan peningkatan frekuensi badai juga terjadi. Cuaca yang buruk dan badai membuat nelayan tidak bisa melaut, atau hanya bisa melaut di daerah yang tidak terlalu jauh dari bibir pantai, sehingga membuat hasil tangkapan ikan tidak maksimal.
“..awal-awal bapak ngelaut paling cuma beberapa jam, langsung balik lagi. Tapi kalau sekarang udah ga bisa. Bapak pernah nyari ikan sampai deket pulau chrismas sangking susahnya nyari ikan.”(UK, 42 Tahun )
“ya asal udah liat langitnya mah udah bisa ngira-ngirain bakal badai dimana. Tapi ya kalau sekarang kadang kita udah liat cerah tapi pas ditengah laut gelombangnya udah tinggi aja kapalnya dibawa balik. Kalau dipaksain takut kenapa-kenapa.” (YS, 37 Tahun)
Alternatif lain yang digunakan oleh nelayan selain pedoman dari ramalan cuaca yang dikeluarkan oleh PPN Pelabuhanratu adalah dengan mengandalkan pengetahuan perbintangan serta intuisi melaut. Nelayan lebih mengandalkan pengetahuan mereka akan rasi bintang dan bentuk awan untuk meramalkan cuaca di tengah laut karena dianggap lebih akurat walau terkadang perkiraan mereka juga sering tidak tepat.
Pada nelayan Pelabuhanratu, fenomena perubahan iklim lebih didasarkan kepada persepsi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi terkait dengan kelautan. Persepsi nelayan pelabuhanratu terhadap perubahan iklim dapat dilihat pada Gambar 4.
Keterangan:
Indeks Dampak perubahan iklim yang dirasakan 1 Permukaan air laut semakin meninggi
2 Terjadi perubahan pola penyebaran ikan 3 Kondisi cuaca semakin sulit diprediksi 4 Gelombang air laut semakin tinggi 5 Gelombang air laut semakin sering terjadi 6 Frekuensi badai laut meningkat
7 Musim ikan semakin sulit diprediksi 8 Jumlah ikan semakin sedikit
9 Semakin sulit menetukan daerah penangkapan ikan
KARAKTERISTIK NELAYAN
Dalam penelitian ini responden dibagi atas tiga kelas, yakni nelayan juragan, nelayan buruh dan nelayan tradisional. Pembagian kelas didasarkan atas kepemilikan kapal dan alat penangkapan ikan. Pada setiap kelas nelayan, terdapat karakteristik yang diangggap berkaitan dengan keputusan nelayan untuk melakukan strategi adaptasi terhadap perubahan iklim. Adapun karakteristik dari setiap kelas nelayan dapat dilihat pada tabel 6.
Tabel 6 Karakteristik pada kelas nelayan
Karakterisitk nelayan Kelas nelayan
generasi muda yang mau bekerja sebagai nelayan tradisional karena pendapatan yang bisa didapatkan relatif rendah dan tidak menentu, tergantung dari cuaca dan badai membuat nelayan pada kelas nelayan tradisional di didominasi oleh nelayan yang sudah berumur. Ketidakmampuan nelayan tradisional dalam mengakses modal membuat nelayan tradisional tidak mampu meningkatkan usaha perikanannya untuk menjadi nelayan juragan, sehingga dengan usia yang relatif sama nelayan yang tidak mampu mengakses modal tetap menjadi nelayan tradisional, sedangkan nelayan tradisional yang mampu mengakses modal mampu menjadi nelayan juragan.
Pada kelas nelayan buruh terlihat yang mendominasi adalah nelayan muda. Dari data wawancara dengan responden diketahui bahwa nelayan yang tidak memiliki modal cenderung memilih menjadi nelayan buruh daripada menjadi nelayan tradisional. Mudahnya akses untuk menjadi nelayan buruh dan tidak diperlukannya modal uang, dan perahu karena hanya menggunakan fasilitas kapal yang dimiliki oleh nelayan juragan membuat nelayan muda lebih memilih menjadi nelayan buruh. Pilihan nelayan buruh ini untuk bekerja kepada nelayan juragan juga didasari oleh mahalnya harga perahu atau kapal, serta pengalaman mereka yang sedikit sehingga akan menyulitkan mereka untuk melakukan penangkapan ikan jika harus menjadi nelayan tradisonal.
Pendidikan
Distribusi pendidikan pada kelas nelayan juragan cukup merata, walaupun sebagian besar berada pada tingkat pendidikan rendah/ SD akan tetapi ada yang telah menempuh pendidikan hingga SMP bahkan SMA. Tingkat pendidikan nelayan juragan yang cenderung lebih tinggi disebabkan latar belakang keluarga yang telah mapan, karena sebagian besar dari nelayan juragan berasal dari keluarga mampu sehingga mereka bisa disekolahkan sampai tingkat yang lebih tinggi dibandingkan dengan nelayan trdisional dan nelayan buruh. Pada nelayan tradisional, tingkat pendidikan cenderung rendah, hal ini disebabkan nelayan tradisional berasal dari keluarga yang tidak mampu, sehingga pada usia dini mereka telah diikutsertakan bekerja guna pemenuhan kebutuhan sehari-hari, atau hanya dibiarkan bermain dengan teman sebaya sambil diajari untuk bekerja sehingga pendidikan formal tidak menjadi prioritas utama.
rentang waktu tertentu, nelayan buruh akan dipkerjakan dengan tugas-tugas lainnya yang berkaitan dengan penangkapan ikan di kapal. Pergantian penugasan ini ditujukan agar nelayan buruh dapat belajar dan mengerti keseluruhan proses penangkapan ikan, sehingga mampu membantu mengerjakan semua pekerjaan yang dibutuhkan oleh nahkoda atau nelayan juragan.
Rendahnya tingkat pendidikan pada nelayan, khususnya pada nelayan tradisional dan beberapa nelayan juragan berkaitan dengan usia mereka. Usia nelayan tradisional dan nelayan juragan cenderung tua, dimana pada saat mereka berada di usia sekolah, fasilitas pendidikan belum ada, berada di daerah yang jauh sehingga sulit untuk diakses serta sekolah yang ada hanya ada pada tingkatan sekolah dasar. Rendahnya tingkat pendidikan formal membuat nelayan lebih mengandalkan informasi yang didapat dari media atau pertukaran informasi sesama nelayan.
Pengalaman Melaut
Pengalaman melaut berkaitan erat dengan umur nelayan, hal ini dikarenakan dengan lamanya pengalaman melaut berarti semakin tua umur seorang nelayan, dimana hal ini disebabkan nelayan juragan dan nelayan tradisional memulai usaha penangkapan ikan dari usia muda, dan untuk menjadi seorang nelayan juragan atau nelayan tradisional, dibutuhkan kemampuan dan
skill yang didapat dari bertahun-tahun melaut. Pengalaman melaut yang cukup tinggi pada nelayan juragan disebabkan karena waktu yang dibutuhkan untuk membuat mereka mampu memiliki kapal dan mengembangkan usahanya relatif lama, sehingga dibutuhkan bertahun-tahun pengalaman melaut hingga mereka memiliki armada kapal dan nelayan buruh yang bekerja kepada mereka.
Pada Kelas nelayan tradisional, distribusi pengalaman melaut cenderung berada pada tingkat tinggi, hal ini karena sebagian besar nelayan tradisional telah melakukan usaha penangkapan ikan dari sejak mereka berusia muda, sehingga pengalaman melaut yang mereka miliki relatif tinggi. Pengalaman melaut yang tinggi merupakan salah satu modal utama nelayan tradisional untuk melakukan proses penangkapan ikan. Proses penangkapan ikan yang dilakukan di lepas pantai, dengan peralatan navigasi yang minim membuat nelayan tradisional mengandalkan pengetahuan serta intuisi yang didapat dari pengalamn melaut selama bertahun-tahun. Kondisi cuaca yang sering berubah serta gelombang tinggi yang datang ketika mereka berada di lepas pantai, atau masalah alinnya yang timbul ketika mereka berada di atas perahu dapat lebih mudah diatasi dengan tingginya pengalaman melaut yang dimiliki.
Pendapatan
Distribusi pendapatan pada kelas nelayan juragan didominasi oleh tingkat pendapatan tinggi, dimana tidak ada yang berada di tingkat rendah. Dengan kepemilikan armada kapal penangkapan ikan, membuat tingkat pendapatan nelayan juragan relatif lebih tinggi daripada nelayan tradisional dan nelayan buruh. Kemampuan nelayan juragan dalam mengakses sumber modal dan melakukan upaya peningkatan kualitas hasil tangkapan dengan peralatan tambahan membuat nelayan juragan tetap mendapatkan hasil penjualan yang maksimal walaupun hasil tangkapan mereka berkurang.
Pada nelayan tradisional, keterbatasan alat tangkap membuat nelayan tradisional tidak mendapatkan hasil yang maksimal ketika hasil tangkapannya menurun, atau ketika mereka tidak bisa melaut karena cuaca dan badai. Distribusi pendapatan yang rendah juga terjadi pada nelayan buruh, karena pendapatan yang mereka dapatkan dari hasil penangkapan ikan akan dibagi rata dengan nelayan buruh lainnya, sehingga walaupun hasil penjualan tangkapan tinggi, hasil yang mereka dapatkan per individu tetap relatif kecil.
Pada kelas nelayan buruh pendapatan yang dimiliki relatif rendah. Nelayan buruh sangat mengandalkan upah yang didapat dari pembagian hasil tangkapan ikan. Ketika nelayan juragan tidak mengoperasikan armada kapalnya karena tingginya frekuensi badai atau gelombang laut membuat nelayan buruh tidak mendapatkan upah. Pekerjaan lainnya yang mereka lakukan cenderung hanya mengandalkan tenaga dan hasil yang didapat relatif kecil.
Hubungan Karakterisitk Nelayan dengan Strategi Adaptasi
Dari keempat karakterisitk yang telah dijabarkan, dapat dilihat bahwa pada masing-masing kelas, yakni nelayan juragan, nelayan tradisional dan nelayan buruh memiliki karakteristik yang sangat berbeda satu dengan yang lain. Perbedaan yang nyata antar kelas membuat penelitian ini dilakukan dengan memisahkan responden berdasarkan kelasnya untuk diuji hubungannya dengan strategi adaptasi, sehingga nantinya akan terlihat strategi adpatasi yang dilakukan oleh nelyan berbeda antar kelas.
Tabel 7 Hubungan Kelas Nelayan dengan frekuensi strategi adaptasi yang
Nelayan tradisonal yang mayoritas berpenghasilan rendah dan memiliki akses modal yang sangat terbatas. Strategi adaptasi pada kelas nelayan ini lebih didssarkan kepada pemenuhan kebutuhan bertahan hidup. Dilihat dari Tabel 7, strategi adaptasi yang cenderung dilakukan adalah diversifikasi pekerjaan serta menggadaikan dan menjual barang berharga. Nelayan tradisional juga melakukan intensifikasi, mobilisasi serta pemanfaatan hubungan sosial, hal ini dilakukan karena dengan terbatasnya modal maka mereka harus melakukan upaya ekstra agar penghasilan mereka yang berkurang karena tidak dapat melaut dapat diatasi dengan strategi adaptasi yang dilakukan.
STRATEGI ADAPTASI NELAYAN
Adaptasi dapat dikatakan sebagai sebuah tingkah laku yang merujuk pada strategi bertahan hidup (Bennet 1978 dalam Mulyadi 2005). Dalam kajian adaptabilitas manusia terhadap lingkungan, ekosistem adalah keseluruhan situasi dimana adaptabilitas berlangsung atau terjadi. Dalam masyarakat nelayan, adaptasi dilakukan dalam beberapa bentuk, yakni diversifikasi (Wahyono 2001), yaitu dengan melukan perluasan alternatif mata pencarian yang dilakukan baik dalam sektor perikanan, maupun sektor non perikanan, intensifikasi (Wahyono) dengan melakukan investasi pada teknologi penangkapan ikan untuk meningkatkan hasil tangkapan, pemanfaatan jaringan sosial (Kusnadi 2007) dengan membentuk ikatan atau suatu bentuk hubungan khusus yang ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan nelayan dalam pengangkapan ikan, mobilisasi anggota keluarga (Kusnadi 2007) dengan mengikutsertakan istri dan anak dalam mencari nafkah atau dengan menggadaikan atau menjual barang-barang berharga (Kusnadi 2007). Ketika strategi adaptasi dikaitkan dengan kelas nelayan, maka akan terdapat hasil yang berbeda pada setiap kelas. Perbedaan kemampuan dalam mengakses modal dan kepemilikan aset serta fasilitas penangkapan ikan membuat nelayan pada setiap kelas memiliki suatu bentuk strategi adaptasi yang lebih cenderung mampu dilakukan.
Diversifikasi Sebagai Bentuk Strategi Adaptasi
Diversifikasi adalah salah satu usaha yang dilakukan nelayan dalam menghadapi dampak perubahan iklim dengan bekerja atau bermatapencarian lebih dari satu. Berdasarkan data yang didapat, responden dibagi atas dua kategori yakni nelayan yang melakukan diversifikasi dan yang tidak melakukan. Pada setiap kelas akan dilihat bentuk strategi adaptasi yang lebih cenderung dipakai. Distribusi nelayan pada setiap kelas berdasarkan diversifikasi dijelaskan sebagai berikut.
Pada Gambar 4a dapat dilihat kecenderungan yang rendah dari nelayan juragan untuk melakukan diversifikasi sebagai bentuk strategi adaptasi. Kepemilikan nelayan juragan atas armada kapal penangkapan ikan menjadi salah satu faktor yang membuat pendapatan nelayan relatif tinggi, sehingga saat terjadi peningkatan frekuensi badai atau anomali cuaca yang menyebabkan armada kapal mereka tidak bisa beroperasi hal ini tidak terlalu berpengaruh terhadap tingkat pendapatan serta perekonomian dari nelayan juragan. Tabungan atau simpanan yang mereka dapatkan dari hasil penjualan tangkapan ikan sebelumnya dapat mereka gunakan guna menunjang keperluan sehari-hari, sehingga mereka tidak perlu melakukan penambahan mata pencarian. Faktor umur juga berpengaruh karena dengan semakin tua nelayan juragan, maka mereka semakin mengurangi kegiatan yang memerlukan banyak tenaga dan lebih mengandalkan hasil dari tangkapan ikan. Ketika cuaca buruk atau terjadi badai, maka nelayan juragan hanya menambatkan kapalnya di dermaga pelabuhan..
menjadi pegawai di tempat pelelangan ikan atau membuka toko baru, seperti yang dilakukan oleh nelayan berikut:
“..kebanyakan yang punya kapal disini mah kalau sedang tidak melaut paling benerin kapalnya aja, atau ngelaut juga tapi jadi jauh nyari ikannya ...” (U, 36th, 2 April 2013)
Gambar 4 Distribusi nelayan juragan, nelayan tradisional dan nelayan buruh yang melakukan diversifikasi sebagai bentuk strategi adaptasi.
Pada nelayan tradisional, tingkat diversifikasi terbilang tinggi, dapat dilihat pada Gambar 4b, sebagian besar dari nelayan tradisional melakukan diversifikasi sebagai suatu bentuk upaya strategi adaptasi. Minimnya fasilitas penunjang untuk melaut yang dimiliki oleh nelayan tradisional membuat mereka rentan terhadap perubahan cuaca dan terjadinya badai. Ketika nelayan tradisional tidak bisa melaut, maka mereka harus mencari alternatif sumber pendanaan lain untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup. Terjadinya hal ini karena sebagian besar nelayan tradisional tidak memiliki tabungan karena hasil tangkapan yang mereka dapatkan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti yang dilakukan oleh nelayan berikut:
92% 8%
Nelayan juragan
25%
75%
Nelayan tradisional
8%
92%
Nelayan buruh a
c
b
“..ya kalau lagi ga ngelaut ya paling dirumah aja. Kadang ada temen yang ngajak buat kerja jadi kuli bangunan gitu, kalau ngga mah ya benerin perahu aja...” (S, 46th, 2 April 2013)
Jenis diversifikasi pekerjaan yang dilakukan oleh nelayan tradisional yang umum dilakukan adalah dengan membeli ikan yang didatangkan dari Jakarta dan menjualnya di pasar tradisional, atau mengolah ikan asin untuk meningkatkan harga jual ikan. Selain itu, pekerjaan lain yang dilakukan adalah menjadi tukang ojeg, membuat bilik dari bambu atau menjadi buruh bangunan
Nelayan buruh merupakan nelayan yang paling banyak melakukan diversifikasi pekerjaan. Upah yang minim, karena hasil penjualan ikan dibagi dengan juragan dan nelayan buruh lainnya dan juga karena ketidakpastian waktu melaut membuat nelayan buruh harus melakukan diversifikasi untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Dari Gambar 4c dapat dilihat 83% nelayan Pelabuhanratu melakukan diversifikasi sehingga dapat disimpulkan bahwa strategi adaptasi diversifikasi adalah strategi adaptasi yang paling banyak dilakukan oleh nelayan buruh. Diversifikasi pekerjaan yang umum dilakukan oleh nelayan buruh adalah menjadi tukang parkir, berjualan ikan di pasar tradisional, menjadi buruh bangunan atau membantu memperbaiki kapal.
Intensifikasi Sebagai Bentuk Strategi Adaptasi
Intensifikasi adalah usaha yang dilakukan nelayan dalam menghadapi dampak perubahan iklim dengan memperbanyak alternatif alat tangkapan ikan guna meningkatkan hasil tangkapan ikan. Berdasarkan data yang didapat responden dibagi menjadi dua kategori, yakni nelayan yang melakukan intensifikasi dan nelayan yang tidak melakukan. Pada setiap kelas akan dilihat bentuk strategi adaptasi yang lebih cenderung dipakai. Distribusi nelayan pada kelas berdasarkan intensifikasi dijelaskan sebagai berikut.
Nelayan tradisional yang melakukan intensifikasi dengan yang tidak melakukan intensifiksi relatif sama. Keterbatasan modal dan perahu dan alat tangkap sederhana membuat intensifikasi yang dilakukan oleh nelayan tradisional juga tergolong sederhana. Intensifikasi dilakukan dengan menambah mata pancing, atau membuat bubu perangkap ikan. Intensifikasi yang tidak bisa dilakukan secara maksimal membuat tidak semua nelayan juragan melakukannya, karena dengan intensifikasi tersebut tidak berdampak besar terhadap hasil tangkapan ikan yang didapat.
Gambar 5 Distribusi nelayan juragan, nelayan tradisional dan nelayan buruh yang melakukan intensifikasi sebagai bentuk strategi adaptasi.
Intensifikasi sebagai strategi adaptasi dilakukan oleh nelayan buruh terkait erat dengan intensifikasi yang dilakukan oleh nelayan juragan. Nelayan buruh yang merupakan pekerja dari nelayan juragan, hanya menggunakan peralatan dan fasilitas penangkapan ikan yang dimiliki oleh nelayan juragan. Bentuk intensifikasi yang mereka lakukan hanya sebatas pada mempelajari penggunaan dan pengoperasian peralatan yang diintensifikasi oleh nelayan juragan. Pada Gambar 5c terlihat seluruh nelayan buruh tidak melakukan intensifikasi karena intensifikasi yang mereka lakukan hanya sebatas mempelajari pengoperasian alat-alat tersebut. Selain itu adanya pembagian kerja saat berada di kapal membuat tidak semua nelayan buruh memiliki akses ke alat-alat tambahan yang digunakan. Dapat disimpulkan bahwa nelayan yang paling banyak melakukan intensifikasi adalah nelayan juragan, hal ini karena nelayan juragan memiliki modal yang lebih
8%
92%
Nelayan juragan
49% 51%
Nelayan tradisional
Nelayan buruh a
c
b
besar sehingga memudahkan mereka untuk melakukan dan membeli peralatan tambahan yang diperlukan dalam rangka mempermudah proses penangkapan ikan.
Mobilisasi Anggota Keluarga Sebagai Bentuk Strategi Adaptasi
Mobilisasi anggota keluarga adalah bentuk strategi adaptasi dilakukan nelayan dalam menghadapi dampak perubahan iklim dengan mempekerjakan anggota keluarga lain (istri, anak). Berdasarkan data yang didapat responden dibagi menjadi dua kategori, yaitu nelayan yang melakukan mobilisasi anggota keluarga, dan nelayan yang tidak melakukan. Pada setiap kelas akan dilihat bentuk strategi adaptasi yang lebih cenderung dipakai. Distribusi nelayan yang melakukan strategi adaptasi pada kelas berdasarkan mobilisasi anggota keluarga dijelaskan sebagai berikut.
Gambar 6 Distribusi nelayan juragan, nelayan tradisional dan nelayan buruh yang melakukan mobilisasi anggota keluarga sebagai bentuk strategi
adaptasi.
Berdasarkan Gambar 6a dapat dilihat bahwa mayoritas dari nelayan juragan tidak melakukan mobilisasi sebagai bentuk strategi adaptasi. Tingginya pendapatan yang bisa didapatkan oleh nelayan juragan membuat sebagian dari mereka tidak melakukan mobilisasi anggota keluarganya. Jika ada anggota keluarga yang telah bekerja hal itu dilakukan karena memang telah cukup umur
92% 8%
Nelayan juragan
41%
59%
Nelayan juragan
50% 50%
Nelayan buruh a
c
b