1
PREVALENSI NYERI PASCA OPERASI MATA DENGAN GENERAL ANESTESI BERDASARKAN JENIS OPERASI MATA DI RUMAH SAKIT
SUMATERA MEDICAL EYE CENTRE (SMEC)
KARYA TULIS ILMIAH
Karya Tulis Ilmiah Ini Diajukan Sebagai Satu Syarat Untuk Memperoleh Kelulusan Sarjana Kedokteran
Oleh:
WAN ANIS BINTI WAN LOKMAN 120100466
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2
PREVALENSI NYERI PASCA OPERASI MATA DENGAN GENERAL ANESTESI BERDASARKAN JENIS OPERASI MATA DI RUMAH SAKIT
SUMATERA MEDICAL EYE CENTRE (SMEC)
Oleh:
WAN ANIS BINTI WAN LOKMAN 120100466
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ii
ABSTRAK
Nyeri merupakan salah satu keluhan pasca operasi yang paling sering dilaporkan pasien dan bisa mengenai semua orang, tanpa memandang jenis kelamin, umur, ras, status sosial, dan pekerjaan. Penanganan nyeri pasca operasi yang tidak adekuat dapat menyebabkan kualitas tidur terganggu dan timbulnya perasaan tidak nyaman baik mental maupun fisik pada pasien sehingga penanganan yang efektif sangat diperlukan. Tingkat nyeri dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya adalah jenis operasi. Seperti halnya pada jenis operasi mata yang secara umum terbagi menjadi dua, yaitu intraokuler dan ekstraokuler yang keduanya mempunyai tingkat nyeri yang berbeda. Hal tersebut membuat peneliti tertarik untuk meneliti prevalensi nyeri pasca operasi mata dengan general anestesi berdasarkan jenis operasi mata di Rumah Sakit Sumatera Medical Eye Centre (SMEC) Medan. Metode penelitian ini adalah deskriptif observasional dengan menggunakan data primer dari wawancara pasien. Sampel diambil dengan menggunakan metode total sampling pada pasien rawat inap Rumah Sakit Sumatera Medical Eye Centre (SMEC) yang menjalani operasi mata dengan general anestesi sehingga didapatkan sebanyak 51 orang yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dari September 2015 sehingga November 2015. Penilaian nyeri dilakukan menggunakan Visual Analogue Scale (VAS) dengan cara bertanya pada sampel mengenai seberapa besar nyeri pasca bedah dirasakan dengan menggunakan skala numeric 1-10 yang diambil pada 8 jam, 16 jam dan 24 jam pasca operasi. Hasil penelitian ini diperoleh prevalensi nyeri pasca operasi mata dengan general anestesi adalah cukup tinggi yaitu sebanyak 42 orang (82,3%), yang terdiri dari 64,7% pada operasi intraokuler dan 17,6% pada operasi ekstraokular. Pada pasien yang mengeluhkan nyeri pasca operasi, didapati skor
Visual Analogue Scale (VAS) terbanyak adalah diantara 1-3 yaitu nyeri ringan. Onset dari nyeri pasca operasi yang paling banyak adalah pada 8 jam pertama pasca operasi mata yaitu sebanyak 76,5% dan semakin berkurang dengan bertambahnya jam.
iii uncomfortable feeling in both mental and physical aspect. Therefore, management of post operative pain is absolutely needed for those patients with pain. The level of pain is influenced by several aspects, including type of operation. Generally, type of eye surgery is divided into two, namely intraocular and extraocular in which both are differ in terms of pain level. Therefore, researcher are interested to study about prevalence of postoperative pain of eye surgery with general anesthesia based on the type of eye surgery at Hospital of Sumatera Medical Eye Centre (SMEC) Medan .The method of this study was observational descriptive by
using primary data from patient’s interview. Sample were collected by using total sampling method to all patients who had undergone eyes surgery with general anesthesia where 51 patients were identified to fit with the inclusion and exclusion criteria from September 2015 until November 2015. The evaluation of pain was made by using Visual Analogue Scale (VAS) and the sample were asked about the level of post operative pain using numeric scale from 1-10 taken in the period of 8 hours, 16 hours and 24 hours of post eye surgery. The results showed that the prevalence of postoperative pain of eye surgery with general anesthesia were high enough which include 42 people (82,3%) complained having postoperative pain
consisted of 64,7% in intraocular surgery and 17,6% in the extraocular surgery. Patient with postoperative pain complained with the most score of Visual Analogue Scale (VAS) is between 1-3 which is mild pain. Most patients which is 76,5% complained having post operative pain in the first 8 hours and decreasing from times to times.
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini. Adapun judul proposal ini adalah “Prevalensi Nyeri Pasca Operasi Mata dengan General Anestesi Berdasarkan Jenis Operasi Mata di Rumah Sakit Sumatera Medical Eye Centre (SMEC)”.
Penulisan penelitian ini terselesai tidak terlepas dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp. PD, KGED selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2. dr. Adriamuri Primaputra Lubis, M Ked(An), Sp An selaku dosen
pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dan pikiran dalam
memberi bimbingan kepada penulis sehingga penulisan proposal KTI ini
dapat diselesaikan.
3. Seluruh staf pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama masa
pendidikan.
4. Ibunda, ayahanda tercinta dan seluruh keluarga, yang telah susah payah
untuk memberikan dukungan baik moral atau materil sehingga penulis
dapat menyelesaikan penulisan proposal KTI ini
5. Teman-teman seperjuangan, Emmanuella Irene Gracia, Astri Gartika dan
teman-teman yang lainnya yang telah memberikan saran dan bantuan
v
6. Semua pihak yang memberikan bantuan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa isi maupun susunan karya tulis ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena keterbatasan yang ada pada penulis. Oleh karena itu, penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran demi kesempurnaan karya tulis ini.
Medan, 7 Desember v2015
Penulis,
Wan Anis Wan Lokman
vi
2.3 Operasi Mata dengan General Anestesi ... 13
2.3.1 Pembagian Operasi Mata ... 14
2.3.2 General Anestesi pada Operasi Mata ... 14
2.3.3 Jenis Operasi Mata dengan General Anestesi ... 15
vii
2.4.1 Definisi General Anestesi... 19
2.4.2 Obat-obatan dalam General Anestesi ... 20
2.4.3 Keuntungan dan Kerugian General Anestesi ... 20
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 22
3.1 Kerangka Konsep ... 22
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 28
5.1 Hasil Penelitian ... 28
5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 28
5.1.2. DeskripsiKarakteristikSampel ... 28
5.1.3. Hasil Analisis Data... 29
viii
5.1.5. Deskripsi Nyeri Pasca Operasi Mata dengan General
Anestesi Berdasarkan Jenis Operasi Mata ... 31
5.2 Pembahasan ... 35
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 39
6.1 Kesimpulan ... 39
6.2 Saran ... 40
ix
DAFTAR SINGKATAN
ASA American Society of Anaesthesiology Classification ECC EEktraksi Katarak Ekstrakapsular
IV Intra Vena
IOL Intra Ocular Lens
ICCE Ekstraksi Katarak Intrakapsular MAC Monitored Anesthesia Care NRS Numerical Rating Scale NSAID Anti Inflamasi Non-Steroid TIO Tekanan Intra-Ocular VAS Visual Analogue Scale VRS Verbal Rating Scale
x
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
Gambar 2.1 Perjalanan Nyeri ... 8
Gambar 2.2 Wong Baker Faces Pain Rating Scale ... 11
Gambar 2.3 Verbal Rating Scale ... 12
Gambar 2.2 Numerical Rating Scale ... 12
Gambar 2.3 Visual Analogue Scale ... 13
xi
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
Tabel 2.1 Perbedaan Nyeri Akut dan Nyeri Kronik 10
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Jenis
Tindakan Operasi Mata dengan General Anestesi 29
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Operasi
Mata dengan General Anestesi 29
Tabel 5.3 Keluhan Tingkat Nyeri 8 Jam Pasca Operasi Mata 30
Tabel 5.4 Keluhan Tingkat Nyeri 16 Jam Pasca Operasi Mata 30
Tabel 5.5 Keluhan Tingkat Nyeri 24 Jam Pasca Operasi Mata 31
Tabel 5.6 Distribusi Prevalensi Nyeri Pasca Operasi Mata
Berdasarkan Jenis Operasi Mata 31
Tabel 5.7 Distribusi Prevalensi Tingkat Nyeri setelah 8 Jam
Operasi Mata Berdasarkan Jenis Operasi Mata 32
Tabel 5.8 Distribusi Prevalensi Tingkat Nyeri setelah 16 Jam
Operasi Mata Berdasarkan Jenis Operasi Mata 33
Tabel 5.9 Distribusi Prevalensi Tingkat Nyeri setelah 24 Jam
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1. Daftar Riwayat Hidup
2. Lembar Ethical Clearence
3. Surat Izin Penelitian (FK USU)
4. Surat Permohonan Izin Penelitian
5. Lembar Penjelasan Kepada Subjek Penelitian
6. Lembar Persetujuan Subjek Penelitian
7. Formula Pengambilan Data
8. Visual Analogue Scale
9. Data Induk
ii
ABSTRAK
Nyeri merupakan salah satu keluhan pasca operasi yang paling sering dilaporkan pasien dan bisa mengenai semua orang, tanpa memandang jenis kelamin, umur, ras, status sosial, dan pekerjaan. Penanganan nyeri pasca operasi yang tidak adekuat dapat menyebabkan kualitas tidur terganggu dan timbulnya perasaan tidak nyaman baik mental maupun fisik pada pasien sehingga penanganan yang efektif sangat diperlukan. Tingkat nyeri dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya adalah jenis operasi. Seperti halnya pada jenis operasi mata yang secara umum terbagi menjadi dua, yaitu intraokuler dan ekstraokuler yang keduanya mempunyai tingkat nyeri yang berbeda. Hal tersebut membuat peneliti tertarik untuk meneliti prevalensi nyeri pasca operasi mata dengan general anestesi berdasarkan jenis operasi mata di Rumah Sakit Sumatera Medical Eye Centre (SMEC) Medan. Metode penelitian ini adalah deskriptif observasional dengan menggunakan data primer dari wawancara pasien. Sampel diambil dengan menggunakan metode total sampling pada pasien rawat inap Rumah Sakit Sumatera Medical Eye Centre (SMEC) yang menjalani operasi mata dengan general anestesi sehingga didapatkan sebanyak 51 orang yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dari September 2015 sehingga November 2015. Penilaian nyeri dilakukan menggunakan Visual Analogue Scale (VAS) dengan cara bertanya pada sampel mengenai seberapa besar nyeri pasca bedah dirasakan dengan menggunakan skala numeric 1-10 yang diambil pada 8 jam, 16 jam dan 24 jam pasca operasi. Hasil penelitian ini diperoleh prevalensi nyeri pasca operasi mata dengan general anestesi adalah cukup tinggi yaitu sebanyak 42 orang (82,3%), yang terdiri dari 64,7% pada operasi intraokuler dan 17,6% pada operasi ekstraokular. Pada pasien yang mengeluhkan nyeri pasca operasi, didapati skor
Visual Analogue Scale (VAS) terbanyak adalah diantara 1-3 yaitu nyeri ringan. Onset dari nyeri pasca operasi yang paling banyak adalah pada 8 jam pertama pasca operasi mata yaitu sebanyak 76,5% dan semakin berkurang dengan bertambahnya jam.
iii uncomfortable feeling in both mental and physical aspect. Therefore, management of post operative pain is absolutely needed for those patients with pain. The level of pain is influenced by several aspects, including type of operation. Generally, type of eye surgery is divided into two, namely intraocular and extraocular in which both are differ in terms of pain level. Therefore, researcher are interested to study about prevalence of postoperative pain of eye surgery with general anesthesia based on the type of eye surgery at Hospital of Sumatera Medical Eye Centre (SMEC) Medan .The method of this study was observational descriptive by
using primary data from patient’s interview. Sample were collected by using total sampling method to all patients who had undergone eyes surgery with general anesthesia where 51 patients were identified to fit with the inclusion and exclusion criteria from September 2015 until November 2015. The evaluation of pain was made by using Visual Analogue Scale (VAS) and the sample were asked about the level of post operative pain using numeric scale from 1-10 taken in the period of 8 hours, 16 hours and 24 hours of post eye surgery. The results showed that the prevalence of postoperative pain of eye surgery with general anesthesia were high enough which include 42 people (82,3%) complained having postoperative pain
consisted of 64,7% in intraocular surgery and 17,6% in the extraocular surgery. Patient with postoperative pain complained with the most score of Visual Analogue Scale (VAS) is between 1-3 which is mild pain. Most patients which is 76,5% complained having post operative pain in the first 8 hours and decreasing from times to times.
1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Menurut The International Association for the Study of Pain( IASP ) tahun
2011, definisi nyeri adalah suatu pengalaman sensoris dan emosional yang tidak
menyenangkan, dihubungkan dengan kerusakan jaringan yang nyata atau
potensial terjadi kerusakan jaringan atau digambarkan dalam keadan yang
berkaitan dengan kerusakan tersebut. Definisi tersebut dapat juga menjelaskan
bahwa persepsi nyeri sangat subjektif tergantung impuls nyeri respon emosional
terhadap nyeri, dan tingkah laku berdasarkan pengalaman nyeri
sebelumnya.Menurut the American Pain Society(APS) pada tahun 1996, dampak
nyeri pada perasaan sejahtera pasien sudah sedemikian luas diterima sehingga banyak institusi sekarang menyebut nyeri sebagai “tanda vital kelima” (fifth vital sign), dan mengelompokkannya bersama tanda-tanda klasik suhu, nadi,
pernapasan, dan tekanan darah.
Saat ini semakin banyak pasien yang mendapatkan tindakan operasi
sebagai salah satu pilihan pengobatan. Hal ini terlihat dengan adanya
kecenderungan peningkatan jumlah tindakan operasi pada beberapa rumah sakit
dari waktu ke waktu(Windiarto, 2010). Berkaitan dengan itu, salah satu hal
terpenting yang harus diperhatikan dalam tindakan operasi adalah anestesi.
Tindakan general anestesi merupakan salah satu jenis anestesi yang sering
dilakukan pada pasien yang akan menjalani operasi (Windiarto, 2010).
General anestesi adalah ketidaksadaran yang dihasilkan oleh medikasi.
Inilah sebab mengapa pembedahan dan pengobatan lain yang sebenarnya
menyebabkan rasa yang sangat sakit dapat dilakukan (Torpy, 2011). Selama
dalam keadaan anestesi, pasien tidak dapat dibangunkan, sekalipun diberikan
stilmulasi yang menyakitkan, dan kemampuan untuk mempertahankan fungsi
ventilasi serta sistem kardiovaskular sering mengalami gangguan (BlueCross
2
Untuk melakukan pembedahan diperlukan tindakan anestesi yang dapat
berupa anestesi umum atau regional. Masing‐masing teknik anestesi ini
mempunyaikeuntungan dan kerugian . Salah satu komplikasidan keluhan yang paling seringterjadi pada pasien setelah pembedahan adalah rasa nyeriyang
bervariasi walaupun nyeri pembedahan dikontrol dengan baikmenggunakan
analgesia sistemik(Rüsch, 2010).The Royal Collage of Surgeons
(RCS)melaporkan nyeri pasca operasi ditemukan pada 30-70% pasien dengan
derajat sedang sampai berat. Penelitian lain menunjukkan bahwa meskipun
insidensi nyeri pasca operasi telah berkurang 2% tiap tahun selama 30 tahun
terakhir, namun 30% pasien masih merasakan nyeri sedang dan 11% pasien
lainnya mengeluhkan nyeri berat (Anita Holdcroft, 2005).Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Nurhafizah dan Erniyati pada tahun 2012 di RSUP
H. Adam Malik Medan, menunjukkan bahwa sebagian besar pasien pasca operasi
abdomen merasakan intensitas nyeri sedang (57,4%), diikuti dengan intensitas
nyeri ringan (22,2%), dan sisanya pasien dengan intensitas nyeri berat (20,4%). Hasil penelitian ini sesuai dengan Meinhart dan McCaffery, 1983; NIH, 1986
dalam Potter & Perry, 2006 yang menyatakan bahwa nyeri akibat pembedahan
dan trauma diklasifikasikan sebagai nyeri akut yang intensitasnya bervariasi mulai
dari yang ringan sampai dengan berat.
Nyeri disebabkan karena terangsangnya nosiseptor yang terdapat di dalam
jaringan tubuh. Rangsang termal, mekanis atau kimia yang kuat dapat
menyebabkan teraktivasinya nosiseptor. Kerusakan jaringan menyebabkan
terlepasnya mediator-mediator kimiawi seperti prostaglandin, kinin dan ion
potassium yang dapat merangsang nosiseptor. Nyeri dapat dibagi menjadi nyeri
nosiseptif dan nyeri neurologik, nyeri somatic/superficial, dan nyeri visceral.
Nyeri nosiseptif dapat dibagi lagi menjadi nyeri cepat dan nyeri lambat. Lokasi
nyeri cepat tepat terlokalisasi di daerah yang terstimulasi, sedangkan pada nyeri
lambat lokasi nyeri juga terlokalisasi baik tetapi lebih difus. Nyeri pasca operasi
dapat dikategorikan sebagai nyeri somatic karena nyerinya yang timbul pada
3
Pada penelitian yang dilakukan di Kuopio University Hospital, Kuopio,
Finland tahun 2013, yang meneliti nyeri pasca operasi mata dengan general
anestesimelaporkan 67 ( 34 % ) pasien mengalami nyeri pasca operasi yang terjadi
pada 8 jam pertama. Setelah keluar dari rumah sakit, prevalensi terjadinya nyeri
pada mata menurun pada 24 jam , 1 minggu , dan 6 minggu yaitu masing-masing
18 (10 %) , 15 (9 %) dan 12 (7 %). Kebanyakan pasien dengan penyakit mata
yang sudah dioperasi mengeluhkan nyeri yang signifikan, yaitu dengan VAS skor ≥4 pada skala nyeri 0-10 , tetapi sebagian dari pasien tersebut telah mendapatkan analgesik untuk mengatasi nyeri mata. Gejala iritasi mata lainnya yang umum
terjadi setelah operasi yaitu sensasi - benda asing yang ditemukan pada 40 pasien (
22 % ) , sensitivitas cahaya pada 29 pasien ( 16 % ) , rasa terbakar pada 15 pasien
( 8 % ) , dan gatal-gatal pada 15 pasien ( 8 % ) (Porela-Tiihonen S.et al., 2013).
Prevalensi nyeri pasca operasi mata dengan general anestesi di Indonesia
sampai sekarang belum banyak diketahui dengan jelas. Melihat kondisidan data
data yang dikemukakan di atas, yaitu masih tingginya angka kejadian nyeri pasca
operasi mata dengan general anestesi di seluruh dunia serta masih sedikitnya
penelitianyang membahas tentang prevalensi nyeri pasca operasi mata di
Indonesia. Maka, peneliti tertarikuntuk melakukan penelitian tentang “Prevalensi
Nyeri Pasca Operasi Mata dengan General Anestesi Berdasarkan Jenis Operasi
Mata di Rumah Sakit Sumatera Medical Eye Center(SMEC)”.Peneliti melakukan
penelitian di Rumah Sakit Sumatera Medical Eye Centre(SMEC)karena jika
dinilai dari jumlah dan frekuensi operasi mata yang telah dilakukan, di rumah
sakit ini lebih banyak dan lebih sering dibanding rumah sakit lain di Medan yaitu
sebanyak 180 operasi intraokular dan 101 operasi ekstraokular dari Januari
4
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan pemasalahannya
adalah berapakah prevalensi nyeri pasca operasi mata dengan general anestesi
berdasarkan jenis operasi mata di Rumah Sakit Sumatera Medical Eye Centre
(SMEC).
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui prevalensi nyeri pasca operasi mata dengan general
anestesi berdasarkan jenis operasi mata di Rumah Sakit Sumatera Medical Eye
yang menjalani operasi mata dengan diberikan general anestesi
berdasarkan jenis operasi mata.
3. Menilai skor Visual Analogue Scale (VAS) 16 jam pasca operasi pasien
yang menjalani operasi mata dengan diberikan general anestesiberdasarkan
jenis operasi mata.
4. Menilai skor Visual Analogue Scale (VAS) 24 jam pasca operasi pasien
yang menjalani operasi mata dengan diberikan general anestesiberdasarkan
jenis operasi mata.
5. Menganalisis perbedaan skor Visual Analogue Scale (VAS) pre operasi
dengan8 jam , 16 jam dan 24 jam pasca operasi pasien yang menjalani
operasi mata dengan diberikan general anestesiberdasarkan jenis operasi
5
1.4. Manfaat Penelitian
1. Dapat digunakan sebagai data dasar dan masukan bagi Rumah Sakit
Sumatera Medical Eye Centre (SMEC) serta pihak lain untuk melakukan
penelitian lebih lanjut mengenai keterkaitan kejadian nyeri pasca operasi
mata dengan general anestesi berdasarkan jenis operasi mata.
2. Menambah pengetahuan peneliti mengenai perbedaan tingkat nyeri pre
operasi dan post operasi mata dengan general anestesi berdasarkan jenis
operasi mata.
3. Memberikan kontribusi ilmiah, menambah pengetahuan para pekerja medis
maupun peneliti dan dapat dijadikan bahan informasi tentang kejadian nyeri
pasca operasi mata dengan general anestesi berdasarkan jenis operasi mata
6
maupun berat. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi
seseorang dan eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya
(Tamsuri, 2012). Menurut International Association for Study of Pain(IASP),
nyeri sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman perasaan emosional yang
tidak menyenangkan akibat terjadinya kerusakan aktual maupun potensial, atau
menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan.
2.1.2 Fisiologi nyeri
Nyeri merupakan suatu mekanisme pertahanan tubuh manusia yang dapat
mengindikasikan bahwa tubuh seorang mengalami masalah. Nyeri dapat berasal
dari fisik atau psikologis (Avidan, M, 2003).
1. Reseptor nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima
ransangan nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung
syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara
potensial merusak. Reseptor nyeri juga nosireseptor, berdasarkan letaknya,
nosireseptor dapat dikelompokan dalam beberapa bagian tubuh yaitu pada kulit
(kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena
letaknya berbeda-beda inilah nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang
berbeda. Nosireseptor kutaneus berasal dari kulit dan subkutan, nyeri yang berasal
dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan (Tamsuri, 2012).
Reseptor jaringan kulit terbagi dua dalam dua komponen menurut Tamsuri
7
1) Serabut A delta
Merupakan komponen cepat (kecepatan transmisi 6-30 m/ detik) yang
mungkin timbulnya nyeri tajam, yang akan cepat hilang apabila penyebab
nyeri dihilangkan.
2) Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan transmisi 0,5 m/detik)
yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri bersifat tumpul dan
sulit dialokasikan.
2. Transmisi nyeri
Menurut Tamsuri (2012). Terdapat beberapa teori yang menggambarkan
bagaimana nosiseptor dapat menghasilkan ransangan nyeri, yaitu :
1. Teori Spesivisitas (Specivicity Theory)
Teori dirasakan pada kepercayaan bahwa terdapat organ tubuh yang secara
khusus menstransmisi rasa nyeri.
2. Teori Pola (Pattern Theory)
Teori ini menerangkan bahwa ada dua serabut nyeri, yaitu serabut yang
mampu mengantar ransangan dengan cepat dan serabut yang mengantar
rangsangan dengan lambat. Kedua serabut syaraf tersebut bersinapsis pada
medula spinalis dan merusakan informasi ke otak mengenai jumlah,
intensitas, dan tipe input sensori nyeri menafsirkan karakter dan kuantitas
input sensori nyeri.
3. Teori Gerbang Kendali Nyeri (Gate Control Theory)
Teori gerbang kendali nyeri menyatakan terdapat semacam “pintu gerbang" yang dapat memfasilitasi atau memperlambat transmisi sinyal
nyeri.
3. Perjalanan Nyeri
Ada empat proses yang terjadi pada perjalanan nyeri yaitu transduksi,
8
1) Transduksimerupakan proses perubahan rangsang nyeri menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf. Rangsang ini dapat
berupa stimulasi fisik, kimia, ataupun panas. Dan dapat terjadi di seluruh
jalur nyeri.
2) Transmisiadalah proses penyaluran impuls listrik yang dihasilkan oleh proses transduksi sepanjang jalur nyeri, dimana molekul molekul di celah
sinaptik mentransmisi informasi dari satu neuron ke neuron berikutnya.
3) Modulasiadalah proses modifikasi terhadap rangsang. Modifikasi ini dapat terjadi pada sepanjang titik dari sejak transmisi pertama sampai ke
korteks serebri. Modifikasi ini dapat berupa augmentasi (peningkatan)
ataupun inhibisi (penghambatan).
4) Persepsiadalah proses terakhir saat stimulasi tersebut sudah mencapai korteks sehingga mencapai tingkat kesadaran, selanjutnya diterjemahkan
dan ditindaklanjuti berupa tanggapan terhadap nyeri tlersebut.
9
2.1.3Klasifikasi Nyeri
1. Berdasarkan Sumber Nyeri
Dapat dibagi diklasifikasikan menjadi(Benzon et al., 2005):
a) Nyeri somatik luar
Nyeri yang stimulusnya berasal dari kulit, jaringan subkutan dan
membran mukosa. Nyeri dirasakan seperti terbakar dan terlokalisasi.
b) Nyeri somatic dalam
Nyeri tumpul (dullness) dan tidak terlokalisasi dengan baik akibat
rangsangan pada otot rangka, tulang, sendi, jaringan ikat.
c) Nyeri viseral
Nyeri karena perangsangan organ visceral atau membran yang
menutupinya (pleura parietalism, pericardium, peritoneum). Nyeri
tipe ini dibagi lagi menjadi nyeri viseral terlokalisai, nyeri parietal
terlokalisasi, nyeri alih viseral dan nyeri alih parietal.
2. Berdasarkan Jenisnya Nyeri
Dapat diklasifikasikan menjadi(Benzon et al., 2005):
a) Nyeri nosiseptif
Karena kerusakan jaringan baik somatik maupun visceral. Stimulasi
nosiseptor baik secara langsung maupun tidak langsung akan
mengakibatkan pengeluaran mediator inflamasi dari jaringan, sel imun
dan ujung saraf sensoris dan simpatik.
b) Nyeri neurogenik
Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer
pada system saraf perifer. Hal ini disebabkan oleh cedera pada jalur
serat saraf perifer, infiltrasi sel kanker pada serabut saraf, dan
terpotongnya saraf perifer. Sensari yang dirasakan adalah rasa panas
dan seperti ditusuk-tusuk dan kadang disertai hilangnya rasa atau
adanya rasa tidak enak pada perabaan.
c) Nyeri psikogenik
Nyeri ini berhubungan dengan adanya gangguan jiwa misalnya cemas
10
Tabel 2.1 Perbedaan Nyeri Akut dan Nyeri Kronis Sumber : Benzon et al., 2005
Karakteristik Nyeri Akut Nyeri Kronis
Awitan Mendadak Terus menerus/intermittent
Durasi Durasi singkat (kurang dari enam bulan)
Nyeri postoperasi adalah nyeri yang dirasakan akibat dari hasil
pembedahan. Kejadian, intensitas, dan durasi nyeri postoperasi berbeda-beda dari
pasien ke pasien, dari operasi ke operasi, dan dari rumah sakit ke rumah sakit
yang lain. Lokasi pembedahan mempunyai efek yang sangat penting yang hanya
dapat dirasakan oleh pasien yang mengalami nyeri postoperasi. Nyeri postoperasi
biasanya ditemukan dalam pengkajian klinikal, nyeri postoperasi merupakan topik
yang menarik untuk dibahas dalam lingkup kedokteran. Dengan menggali nyeri
postoperasi akan membantu orang lain untuk mengerti dan dapat mengaplikasikan
nyeri postoperasi kepada pasien yang mengalami pembedahan. Aspek dari nyeri
postoperasi adalah untuk menyelidiki adanya pengalaman nyeri yang mencakup
persepsi dan perilaku tentang nyeri (Suza, 2007).
Nyeri insisi umumnya terasa tajam dan terlokalisir dengan jelas karena
kulit dan jaringan subkutis memiliki banyak nosiseptor. Apabila struktur yang
terletak lebih dalam dengan reseptor nyeri yang lebih sedikit mengalami cedera,
maka nyeri yang timbul cenderung tumpul dan kurang terlokalisir atau mungkin
dirujuk apabila struktur-struktur visceral terlihat. Rasa takut dan cemas sering
11
memperkuat satu sama lain. Dengan demikian, tindakan-tindakan untuk
mengurangi nyeri juga mengurangi rasa cemas, yang cenderung mengurangi
nyeri. Nyeri paska operasi akut biasanya menghilang seiring dengan
menyembuhnya luka(Prince, 2006).
2.2.2 Penilaian Nyeri
Penilaian nyeri merupakan elemen yang penting untuk menentukan terapi
nyeri pasca operasi yang efektif. Skala penilaian nyeri dan keterangan pasien
digunakan untuk menilai derajat nyeri. Intensitas nyeri harus dinilai sedini
mungkin selama pasien dapat berkomunikasi dan menunjukkan ekspresi nyeri
yang dirasakan.
Ada beberapa skala penilaian nyeri pada pasien sekarang ini:
1. Wong-Baker F aces Pain Rating Scale
Banyak digunakan pada pasien pediatrik dengan kesulitan atau
keterbatasan verbal. Dijelaskan kepada pasien mengenai perubahan mimik wajah
sesuai rasa nyeri dan pasien memilih sesuai rasa nyeri yang
dirasakannya(GarraG.et al., 2010).
Gambar 2.2Wong Baker F aces Pain Rating Scale
2. Verbal Rating Scale (VRS)
VRS adalah cara pengukuran nyeri dengan menanyakan respon pasein
terhadap nyeri secara verbal dengan memberikan 5 pilihan yaitu tidak nyeri, nyeri
12
Skala pada VRS merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata
yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pada penggunaannya,
pemeriksa akan menunjukkan kepada klien tentang skala tersebut dan meminta
pasien untuk memilih skala nyeri berdasarkan intensitas nyeri yang dirasakannya.
VRS akan membantu pasien untuk memilih sebuah kategori untuk
mendeskripsikan rasa nyeri yang dirasakannya (Benzon et a.l, 2005).
Gambar 2.3Verbal Rating Scale
3. Numerical Rating Scale (NRS)
Metode ini menggunakan angka-angka untuk mengambarkan range dari
intensitas nyeri. Pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan dengan
menunjukkan angka 0 – 5 atau 0 – 10, dimana angka 0 menunjukkan tidak ada
nyeri dan angka5 atau 10 menunjukkan nyeri yang hebat. NRS digunakan untuk
menilai intensitas atau derajat keparahan nyeri dan memberi kesempatan kepada
pasien untuk mengidentifikasi keparahan nyeri yang dirasakan (Benzon et al.,
2005).
13
4. Visual Analogue Scale (VAS)
Cara lain untuk menilai intensitas nyeri yaitu dengan menggunakan Visual
Analogue Scale(VAS). Skala berupa suatu garis lurus yang panjangnya biasaya 10
cm (atau 100 mm), dengan penggambaran verbal pada masing-masing ujungnya,
seperti angka 0 (tanpa nyeri) sampai angka 10 (nyeri terberat). Nilai VAS 0 - <4 =
nyeri ringan, 4-<7 = nyeri sedang dan 7-10 = nyeri berat.(Jensen MP., 2003).
Gambar 2.5 Visual Analogue Scale
2.3 Operasi Mata dan General Anestesi
Penggunaan general anestesi ataupun lokal harus dibuat pilihan bersama
oleh pasien, anestesiologis, dan ahli bedah. Beberapa pasien menolak lokal
anestesi karena takut akan kemungkinan terjaga saat prosedur bedah dan
mendapat ingatan rasa sakit selama teknik regional. Meskipun tidak ada bukti
yang menunjukkan bahwa salah satu bentuk anestesi lebih aman, regional anestesi
tampaknya lebih kurang menyebabkan stress. General anestesi diindikasikan pada
anak-anak dan pasien tidak kooperatif, karena bahkan gerakan kepala yang kecil
14
2.3.1. Pembagian Operasi Mata
Menurut Smith (2004),operasi mata dapat dibagi menjadi dua kategori yang berbeda: ekstraokular dan intraokular.
Operasi ekstraokular, dilakukan pada struktur sekitar mata itu sendiri, seperti kelopak mata dan konjungtiva. Jaringan ini memiliki suplai darah yang sangat baik. Oleh karena itu jaringan sembuh dengan baik dan jarang terinfeksi serius. Jaringan tersebut berada pada permukaan tubuh sehingga paparan terhadap pembedahan biasanya tidak menjadi masalah. Jaringan dapat dibius dengan mudah dengan infiltrasi jaringan menggunakan regional anestesi. Adrenalin (1 dalam 100.000) selalu digunakan dalam regional anestesi untuk mengurangi perdarahan karena jaringan ini sangat vaskular. Dengan semua alasan tersebut, prinsip-prinsip operasi ekstraokular adalah sama dengan untuk operasi umum. Namun jaringan ekstraokular agak kecil dan melakukan pembesaran biasanya membantu dokter bedah. Contoh operasi ekstraokuler adalah strabismus, trabekulektomi, repair ptosis, eksisi tumor, hecting palpebra dan lain lain.
Operasi intraokular, dilakukan pada mata itu sendiri. Struktur mata selain yang sangat kecil, juga sangat khusus dan rentan. Karena itu ada beberapa aturan dasar atau prinsip-prinsip lainnya untuk setiap jenis operasi intraokular. Karena bersifat khusus, mata hanya memiliki kekuatan terbatas dari pemulihan cedera termasuk cedera dari operasi. Bagian lain dari tubuh akan sering sembuh sepenuhnya sekalipun dari penanganan yang kasar pada operasi atau dari komplikasi seperti infeksi. Ataupun secara alternatif dapat dilakukan operasi lain untuk memperbaiki komplikasi pasca-operasi. Namun, hal tersebut tidak berlaku pada mata. Operasi yang buruk atau komplikasi pascaoperasi sering akan menyebabkan kehilangan penglihatan secara permanen. Contoh operasi intraokuler adalah operasi katarak, glaukoma, vitrektomi, reposisi IOL, eviserasi, trauma okuli dan lain lain
2.3.2. General Anestesi pada Operasi Mata
General Anestesi digunakan pada sekitar 35 % dari kasus operasi mata,
dan yang paling umum digunakan adalah lengthy retinal surgery dan operasi
strabismus pada pediatrik.
Indikasi untuk general anestesi meliputi berikut (Basta, 2008):
1. Ketidakmampuan pasien untuk bekerja sama dengan monitoredanesthesia
care (MAC) misalnya, anak-anak, orang dewasa dengan defisit mental
atau psikologis, tremor, ketidakmampuan untuk berbaring terlentang.
15
3. Prosedur yang panjang (> 3-4 jam).
4. Bagian bedah tidak setuju untuk regional anestesi, lokal, atau topikal
(misalnya, koagulopati).
5. Keinginan dokter bedah atau pasien.
Tujuan dari general anestesi untuk operasi mata mencakup induksi yang
lancar dengan tekanan intra okular (TIO) yang stabil, penghindaran atau
pengobatan refleks okulokardiak yang parah, dan pemeliharaan lapangan
bergerak. Tujuan ini dapat dicapai dalam berbagai cara, yaitu dengan
menggunakan anestesi inhalasi, agen IV, atau teknik gabungan (Basta, 2008).
Relaksan otot terutama berguna selama bedah mikro intraokular, ketika gerakan
pasien yang sedikit saja dapat menjadi bencana (Basta, 2008).
2.3.3. Jenis Operasi Mata dengan General Anestesi 1. Strabismus
Strabismus berarti misalignment okuler atau penyimpangan dari satu mata
relatif terhadap sumbu visual yang lain. Etiologinya mungkin berhubungan
dengan kelainan penglihatan binokular atau masalah neuromuskular dari motilitas
okular (Basta, 2008).
Koreksi bedah strabismus adalah reposisi otot ekstraokular. Koreksi ini
memerlukan berbagai macam teknik untuk melemahkan otot ekstraokular dengan
memindahkan insersinya pada bola mata atau untuk memperkuat otot ekstraokular
dengan mengeliminasi sebuah strip pendek dari tendon atau otot (Barash, et al.,
2009). Untuk memperkuat otot, dilakukan reseksi. Untuk melemahkan otot,
dilakukan resesi. Pada kasus yang parah, reseksi mungkin dilakukan pada satu
otot dan resesi pada otot yang berlawanan. Karena pematangan visual terjadi pada
usia 5 tahun, koreksi strabismus biasanya dicoba pada awal masa kanak-kanak.
Jika tidak dikoreksi, amblyopia, atau cacat dalam penglihatan sentral, dapat terjadi
(Aitkenhead et al., 2013).
Jahitan yang dapat disesuaikan kadang-kadang digunakan untuk
16
dilakukan langsung dalam periode pasca operasi, ketika pasien sepenuhnya terjaga
dan bisa fokus. Pada pasien yang mempunyai riwayat operasi strabismus atau
trauma orbital sebelumnya, dokter bedah mungkin perlu untuk membedakan
antara pergerakan mata paretik dan restriksi dengan melakukan forced duction test
(Aitkenhead et al., 2013). Pasien anak banyak dan sering menjalani operasi
strabismus dan membutuhkan general anesthesia. Beberapa pasien dewasa cukup
baik dengan teknik regional dan sedasi secara intravena (Basta, 2008).
Kebanyakan pasien lebih memilih general anesthesia dan memberikan
hasil yang sangat memuaskan dengan propofol, remifentanil, antagonis 5HT3,
dan/atau deksametason ,dan non-opiat untuk nyeri (Basta, 2008).
2. Penetrating Keratoplasty
Penetrating Keratoplasty mengacu pada bedah penggantian sebagian
kornea dengan jaringan donor. Jaringan donor yang berasal dari pasien disebut
autograft. Jaringan yang berasal dari lain orang disebut allograft. Indikasi
untukprosedur ini banyak yaitu opasitas kornea, keratokonus, infeksi, dan jaringan
parut adalah beberapa diantaranya. Baik regional anesthesia maupun general
anesthesia mungkin tepat untuk prosedur ini (Basta, 2008).
3. Katarak
Katarak adalah penyebab umum gangguan penglihatan pada orang tua.
Karena tingginya prevalensi katarak, ekstraksi katarak adalah operasi mata yang
paling umum(Uhr, 2003). Patogenesis katarak adalah multifaktorial tetapi pada
dasarnya menghasilkan opasitas dari lensa. Lensa tertutup dalam lapisan yang
disebut kapsul lensa. Operasi katarak memisahkan katarak dari kapsul lensa.
Dalam kebanyakan kasus, lensa akan diganti dengan implan lensa intraokular
(IOL). Jika IOL tidak dapat digunakan, lensa kontak atau kacamata harus dipakai
untuk mengkompensasi kurangnya kemampuan lensa alami (Romito K. dan Karp,
2013).
Ekstraksi katarak ekstrakapsular (ECCE) adalah metode yang paling
disukai dari ekstraksi katarak rutin. Prosedur dilakukan melalui insisi yang lebih
kecil dan kurang traumatis bagi endothelium kornea. Pengangkatan lensa dengan
17
intraokular. Fakoemulsifikasi adalah teknik ECCE yang dilakukan melalui insisi
3-4mm. Inti katarak terfragmentasi dengan jarum ultrasonik dan kemudian
diaspirasi. Ekstraksi katarak intrakapsular (ICCE) adalah teknik yang secara
komplit menghilangkan lensa dengan kapsul melalui insisi yang jauh lebih besar.
ICCE dilakukan pada kasus tertentu dan di lokasi di mana peralatan canggih tidak
tersedia. Ekstraksi katarak biasanya dilakukan dengan injeksi retrobulbar atau
peribulbar dan, jika diperlukan, blok saraf wajah. Sedasi intravena dan analgesia
harus diberikan untuk menetapkan blok tersebut. Prosedur tersebut dapat
dilakukan di bawah topical anestesi pada pasien tertentu (Basta, 2008). Walau
demikian, saat ini pada pasien katarak pediatrik dan beberapa orang dewasa
(misalnya, retardasi mental), general anestesi masih berperan dan digunakan
(Shah, 2010).
4. Glaukoma
Glaukoma adalah istilah umum untuk kelompok penyakit mata yang
ditandai dengan peningkatan tekanan intraokular. Goniotomi adalah prosedur
dilakukan untuk mengobati glaukoma infantil. Sebuah sayatan dangkal dibuat di
trabecular meshwork untuk meningkatkan aliran aqueous humor dari ruang
anterior. Bayi dan anak-anak memerlukan general anestesi untuk prosedur ini.
Trabekulektomi adalah paling umum dilakukan pada orang dewasa. Sebuah blok
jaringan limbal akan diangkat di bawah scleral flap, memungkinkan aliran
aqueous. Antimetabolit, seperti di mitomisin, dapat disuntikkan intraoperatif
untuk membantu mencegah kegagalan bedah sekunder terhadap jaringan paru.
Iridektomi biasanya dilakukan dengan sebuah laser yttrium - aluminium garnet –
(YAG)namun, sebuah iridektomi insisional kadang-kadang diperlukan. Iridektomi
adalah pengobatan definitif untuk glaukoma sudut tertutup. Anestesi untuk operasi
glaukoma pada orang dewasa biasanya dilakukan dengan injeksi retrobulbar atau
peribulbar dan , jika diperlukan , blok saraf wajah (Basta, 2008).
5. Bedah Vitreoretinal
Vitrektomi mengacu pada pembedahan ekstraksi isi ruang vitreous dan
penggantian mereka dengan larutan fisiologis. Vitrektomi segmen anterior
18
posterior diindikasikan untuk pengangkatan badan asing di intraokular,
manajemen dari retinal detachment yang sulit dengan membran intraokular,
penghapusan kekeruhan media, dan pengentasan traksi vitreous pada retina.
Karena operasi dapat diperpanjang dan banyak pasien memiliki kondisi medis
yang menyertai (misalnya, diabetes, penyakit ginjal, atau penyakit jantung),
vitrektomi dapat memberikan tantangan yang sulit untuk para anestesiologis
(Basta, 2008).
General anestesi telah secara tradisional digunakan untuk operasi
vitreoretinal. Namun, dengan menggunakan regional anestesi dengan MAC telah
menjadi alternatif yang menarik. General anestesi sesuai untuk kasus operasi
dengan jangka yang lebih lama (Basta, 2008).
6. Bedah Orbital
Kebanyakan operasi orbital membutuhkan general anestesi kecuali
prosedur terbatas pada anterior bola mata dan tidak melibatkan tulang orbita .
a) Orbitotomi
Orbitotomi dilakukan untuk mendapatkan akses bedah ke bola mata.
Pendekatan yang dilakukan termasuk transkonjungtival, transseptal, dan
transperiosteal. Indikasi untuk orbitotomi termasuk tumor, abses, benda
asing, dan patah tulang orbital (Basta, 2008).
b) Dekompresi Orbital
Dekompresi orbital diindikasikan untuk koreksi eksoftalmus yang
dihasilkan penyakit Graves. Akses ke orbita diperoleh dengan pendekatan
transkonjungtival atau transperiosteal. Beberapa ahli bedah menggunakan
sayatan koronal dengan refleksi dari kulit kepala secara anterior ke tingkat
se-level orbita. Kasus bisa panjang (4+ jam), dan kehilangan darah bisa
cukup besar untuk memerlukan transfusi (Basta, 2008).
2.4 Konsep General Anestesi 2.4.1 Definisi General Anestesi
General anestesi adalah ketidaksadaran yang dihasilkan oleh medikasi
19
ditandai dengan hilangnya kesadaran reversibel, analgesia dari seluruh tubuh,
amnesia, dan beberapa derajat relaksasi otot (Morgan et al., 2006).
Ketidaksadaran tersebut memungkinkan pasien untuk mentolerir prosedur bedah
yang akan menimbulkan rasa sakit tidak tertahankan pada pasien dan akan
menghasilkan ingatan yang tidak menyenangkan. Selama tindakan general
anestesi, pasien tidak dalam keadaan sadar dan tidak juga dalam keadaan tidur
yang alami. Seorang pasien yang dibius dengan general anestesi dapat
dianggapsebagai berada dalam keadaanterkontrol, keadaantidak sadar yang
reversibel (Press, 2013).
General anestesi tidak terbatas padapenggunaan ageninhalasi sahaja.
Banyakobat yangdiberikan secara oral, intramuskular, danintravena yang dapat
menambah ataumenghasilkankeadaananestesidalamrentang dosisterapi (Morgan et
al., 2006).Tetapi saat ini general anestesi biasanya
menggunakansediaanintravenadaninhalasiuntuk memungkinkan aksesbedahyang
memadaike tempat yang akan dioperasi. Hal yang perludicatat adalah general
anestesimungkintidak selalu menjadi pilihan terbaik karena penggunaannya yang
tergantung padapresentasiklinispasien, dan anestesilokal atau regionalmungkin
lebih tepat(Press, 2013).
2.4.2Obat-obatan dalam General Anestesi
Menurut Torpy (2011), beberapaobatyang paling umum digunakanuntuk
general anestesi adalah:
1. Propofol, menghasilkanketidaksadaran pada pasien (induksi general
anestesi). Pada dosiskecil, dapat digunakanuntuk memberikansedasi.
2. Benzodiazepin, mengurangi kecemasansebelum operasi. Beberapa
obat-obatan yangmengurangi kecemasanjuga dapat membantumenahan
terjadinya ingatan darisebuah kejadian.
3. Narkotika, mencegah ataumengobati rasa sakit.
4. Agen anestesi volatil (mudah menguap), terhirupdalam campurangas yang
20
intravena(IV) pada bayidan anak-anak, agen volatile diberikanmelalui
maskeruntuk induksi general anestesi.
5. Obat laintermasuk agenantiemetik(untuk melindungi terhadap mual dan
muntah), relaksan otot, obat-obatanuntuk mengontroltekanan darahatau
heart rate, dan sebagai obatantiinflamasi nonsteroid(NSAID).
2.4.3 Keuntungan dan Kerugian General Anesthesia
Penyedia anestesi bertanggung jawab untuk menilai semua faktor yang
mempengaruhi kondisi medis pasien dan memilih teknik anestesi yang
optimalsesuai. Atribut general anestesi meliputi (Press, 2013):
1. Keuntungan
a) Mengurangi kesadaran dan ingatan intraoperatif pasien.
b) Memungkinkan relaksasi otot yang diperlukan untuk jangka waktu
yang lama.
c) Memfasilitasi kontrol penuh terhadap jalan napas, pernapasan, dan
sirkulasi.
d) Dapat digunakan dalam kasus-kasus alergi terhadap agen anestesi
lokal.
e) Dapat diberikan tanpa memindahkan pasien dari posisi terlentang.
f) Dapat disesuaikan dengan mudah dengan durasi prosedur yang tak
terduga.
g) Dapat diberikan dengan cepat dan bersifat reversibel.
2. Kekurangan
a) Membutuhkan peningkatan kompleksitas perawatan dan biaya terkait.
b) Membutuhkan beberapa derajat persiapan pasien sebelum operasi.
c) Dapat menyebabkan fluktuasi fisiologis yang memerlukan intervensi
aktif.
d) Terkait dengan komplikasi yang kurang serius seperti mual atau
muntah, sakit tenggorokan, sakit kepala, menggigil, dan tertunda
21
Dengan kemajuan modern di obat-obatan, teknologi pemantauan, dan
sistem keamanan, serta penyedia anestesi yang berpendidikan tinggi, resiko yang
disebabkan oleh anestesi kepada pasien yang menjalani operasi rutin sangat kecil.
Kematian disebabkan general anethesia dikatakan terjadi pada tingkat kurang dari
1:100.000. Komplikasi minor terjadi pada tingkat yang dapat diprediksi, bahkan
pada pasien yang sebelumnya dalam keadaan sehat.
Frekuensi gejala yang terkait anestesi selama 24 jam pertama setelah
operasi rawat jalan adalah sebagai berikut (Press, 2013):
a) Muntah: 10-20 %
b) Mual: 10-40 %
c) Sakit tenggorokan: 25 %
22
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian
ini adalah :
Variabel Independen Variable Dependen
Gambar 3.1.Kerangka Konsep Penelitian
3.2 Definisi Operasional 3.2.1 General Anestesi
Definisi : Tindakan menghilangkan nyeri saat operasi secara general
yang diikuti dengan kehilangan kesadaran yang bersifat
reversible. Komponen anestesi yang ideal terdiri dari,
hipnotik, analgesia dan relaksan otot.
Cara pengukuran : Pengumpulan data
Alat ukur : Rekam Medis
Hasil pengukuran : General anestesi atau tidak
Nyeri Pasca Operasi Mata Operasi Mata dengan
23
3.2.2 Operasi mata
Definisi : Operasi mata merupakan tindakan pengobatan yang
menggunakan cara invasif dengan membuka atau
menampilkan pada bagian mata yang akan diakhiri
dengan penutupan dan penjahitan luka baik operasi
intraokuler maupun ekstraokuler dengan menggunakan
general anestesi pada pasien di Rumah Sakit Sumatera
Medical Eye Centre (SMEC).
Cara pengukuran : Pengumpulan data
Alat ukur : Rekam Medis
Hasil pengukuran : Jenis operasi
3.2.3 Nyeri Pasca Operasi Mata.
Definisi : Nyeri pasca operasi merupakan sensasi nyeri yang
dirasakan oleh pasien terjadi dalam 24 jam setelah operasi.
Pada penelitian ini dilihat tingkat nyeri pada pasien setelah
menjalani berbagai jenis operasi mata yang menggunakan
general anestesi.
Cara pengukuran : Wawancara.
Alat ukur : Visual Analogue Scale (VAS)
Hasil pengukuran : Positif nyeri atau tidak nyeri.
VAS 0 : tidak nyeri
VAS 1-3 : nyeri ringan
VAS 4-6 : nyeri sedang
VAS 7-10 : nyeri berat
24
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif
observasional. Penelitian digunakan dengan menggunakan data primer, dimana
penelitian telah dilakukan dengan wawancara menggunakan Visual Analog Scale
(VAS) untuk menilai prevalensi nyeri pasca operasi mata dengan general anestesi
berdasarkan jenis operasi mata yang berkunjung ke Rumah Sakit Sumatera
Medical Eye Centre (SMEC) Medan.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Sumatera Medical Eye Centre
(SMEC) Medan, propinsi Sumatera Utara. Rumah Sakit ini dipilih sebagai tempat
yang dilaksanakan penelitian berdasarkan evaluasi pendahuluan yang dilakukan oleh
peneliti. Pada rumah sakit ini, terdapat berbagai jenis operasi mata yang dilakukan
dengan menggunakan general anestesi. Selain itu, populasinya juga cukup banyak
serta terdapat variasi dalam hal asal lingkungan dan sosial budaya. Peneliti
melakukan penelitian di Rumah Sakit Sumatera Medical Eye Centre (SMEC)
karena jika dinilai dari jumlah dan frekuensi operasi mata yang telah dilakukan, di
rumah sakit ini lebih banyak dan lebih sering dibanding rumah sakit lain di Medan
yaitu sebanyak 180 operasi intraokular dan 101 operasi ekstraokular dari Januari
25
4.2.2 Waktu Penelitian
Pengambilan dan pengumpulan data dilakukan selama tiga bulan, yaitu
dari September hingga November 2015. Pemilihan waktu penelitian adalah
berdasarkan waktu dan dana peneliti.
4.3 Populasi dan Sampel 4.3.1 Populasi
Dalam penelitian populasi adalah sejumlah besar subjek yang mempunyai
karakteristik tertentu (Wahyuni, 2011). Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh pasien yang menjalani operasi mata dengan menggunakan general anestesi
di Rumah Sakit Sumatera Medical Eye Centre (SMEC) Medan dari September
2015 s/d November 2015.
4.3.2 Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu
sehingga dapat mewakili populasinya (Wahyuni, 2011). Sampel dalam penelitian
ini adalah pasien Rumah Sakit Sumatera Medical Eye Centre (SMEC) dari
September 2015 s/d November 2015 yang menjalani operasi mata dengan general
anestesi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pengambilan sampel
penelitian dipilih dengan menggunakan teknik total sampling dimana jumlah
sampel sama banyak dengan populasi. Total sampling dipilih untuk penelitian ini
karena diperkirakan jumlah pasien dan waktu penelitian terbatas.
4.3.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 1. Kriteria Inklusi
a) Pasien yang menjalani operasi mata dengan general anestesi.
b) Pasien dewasa laki-laki atau wanita usia 18-65 tahun.
c) Pasien yang dapat berkomunikasi dengan peneliti.
d) Pasien yang bersedia menjadi subjek penelitian
e) Pasien yang memenuhi criteria ASA I dan ASA II (American Society
26
f) Pasien menjalani rawat inap selama ≥ 24 jam.
2. Kriteria Eksklusi
Pasien yang mempunyai riwayat gangguan psikiatrik dan
psikogenik,seizure disorders, riwayat penyalahgunaan obat-obatan, drug
induced, serta nyeri sebelum operasi.
4.4. Teknik Pengumpulan Data
Data yang digunakan pada penelitian ini berupa data primer yaitu
wawancara dengan pasien pasca operasi mata dengan general anestesi
menggunakan penilaian Visual Analogue Scale (VAS). Data ini diperoleh melalui
wawancara langsung di Rumah Sakit Sumatera Medical Eye Centre (SMEC)
Medan.
4.5. Cara Penilaian Visual Analog Scale
Penilaian skor VAS dilakukan dengan cara bertanya pada sampel
mengenai seberapa besar nyeri pasca bedah yang ia rasakan dengan menggunakan
VAS nyeri skala numeric 1-10. Sampel benar-benar tidak merasakan nyeri diberi nilai 0 dan sampel merasakan nyeri yang begitu hebat diberi nilai 10. Pengukuran
skor VAS ini dilakukan pada 8 jam, 16 jam dan 24 jam pasca operasi.
4.6. Pengolahan dan Analisa Data
Pengolahan data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1) editing, dilakukan untuk memeriksa ketepatan dan kelengkapan data;
2) coding, data yang telah terkumpul dikoreksi, kemudian diberi kode oleh
peneliti secara manual sebelum diolah dengan komputer;
3) entry, data tersebut dimasukkan ke dalam program komputer;
4) cleaning data, pemeriksaan semua data yang telah dimasukkan ke dalam
computer guna menghindari terjadinya kesalahan dalam pemasukan data;
5) saving, penyimpanan data untuk siap dianalisis dan analisis data
27
Data kemudian diolah dengan menggunakan progam komputer SPSS
(Statistical Product and Service Solution) dan disajikan dalam bentuk table
dengan perhitungan distribusi frekuensi sesuai dengan tujuan penelitian yaitu
untuk mengetahui prevalensi nyeri pasca operasi mata dengan general anestesi
berdasarkan jenis operasi mata yang berkunjung ke Rumah Sakit Sumatera
28
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Penelitian
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Sumatera Medical Eye Centre
(SMEC) Medan yang berlokasi di Jalan Iskandar Muda No. 278/280, Kelurahan
Medan Petisah, Kecamatan Petisah Tengah. Rumah Sakit SMEC Medan
merupakan rumah sakit khusus yang menangani berbagai jenis operasi mata baik
intraokuler maupun ekstraokuler, baik dengan pembiusan umum dan pembiusan
lokal, dan dapat dijumpai berbagai pasien dengan latar belakang yang sangat
bervariasi. Rumah Sakit Mata SMEC ini memiliki 4 kategori ruang inap, yang
terdiri dari 1 ruang VIP, 1 ruang Kelas I, 1 ruang Kelas II, dan 2 ruang Kelas III
(Kelas IIIA dan IIIB). Selain itu juga terdapat fasilitas ruang tunggu, optik,
apotek, mushola, ruang pertemuan, lahan parkir, dan pelayanan IGD 24 jam.
5.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel
Dalam penelitan ini sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
diperoleh sebanyak 51 orang yang di ambil menggunakan teknik total sampling.
Pasien yang terdiri dari 33 orang (64,7%) dengan jenis kelamin laki-laki dan 18
orang (35,3%) dengan jenis kelamin perempuan. Kelompok usia sampel terbanyak
yang diperoleh pada penelitian ini adalah di antara 50-65 tahun. Dari keseluruhan
sampel yang diamati, gambaran karakteristik sampel yang dapat didistribusikan
menurut karakteristik jenis tindakan operasi mata dengan general anestesi dan
tingkat keluhan nyeri setelah 8 jam, 16 jam dan 24 jam pasca operasi seperti tabel
29
5.1.3. Hasil Analisis Data
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Jenis Tindakan Operasi Mata dengan General Anestesi
sebaran terbanyak terdapat pada operasi intraokuler yaitu sebanyak 39 orang
(76,5%), dan diikuti oleh operasi ekstraokuler sebanyak 12 orang (23,5%).
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Operasi Mata dengan General Anestesi
Berdasarkan operasi mata dengan general anestesi pada tabel 5.2, sebaran
terbanyak terdapat pada operasi vitrektomi (intraokuler) yaitu sebanyak 22 orang
30
5.1.4. Deskripsi Keluhan Nyeri Pasca Operasi Mata dengan General Anestesi Tabel 5.3 Keluhan Tingkat Nyeri 8 Jam Pasca Operasi Mata
No. Tingkat Nyeri Frekuensi (n) Persentase (%)
1. Tidak Nyeri 12 23,5
2. Nyeri Ringan 33 64,7
3. Nyeri Sedang 6 11,8
4. Nyeri Berat 0 0
Jumlah 51 100
Berdasarkan keluhan tingkat nyeri 8 jam pasca operasi mata seperti pada
tabel 5.3, tingkat nyeri yang paling banyak dirasakan sampel adalah nyeri ringan
sebanyak 33 orang (64,7%), sedangkan yang merasakan keluhan tidak nyeri
sebanyak 12 orang ( 23,5%), dan tidak ada sampel yang merasakan nyeri berat.
Tabel 5.4 Keluhan Tingkat Nyeri 16 Jam Pasca Operasi Mata
No. Tingkat Nyeri Frekuensi (n) Persentase (%)
1. Tidak Nyeri 17 33,3
2. Nyeri Ringan 30 58,8
3. Nyeri Sedang 4 7,8
4. Nyeri Berat 0 0
Jumlah 51 100
Berdasarkan keluhan tingkat nyeri 16 jam pasca operasi mata seperti pada
tabel 5.4, sebagian besar sampel sebanyak 30 orang (58,8%) mengeluhkan nyeri
ringan. Selanjutnya diikuti 17 orang (33,3%) yang tidak mengeluhkan gejala nyeri
pada 16 jam setelah menjalani operasi mata dengan general anestesi, dan
sebanyak 4 orang (7,8%) mengeluhkan gejala nyeri ringan sedangkan tidak ada
31
Tabel 5.5 Keluhan Tingkat Nyeri 24 Jam Pasca Operasi Mata
No. Tingkat Nyeri Frekuensi (n) Persentase (%)
1. Tidak Nyeri 22 43,1
2. Nyeri Ringan 28 54,9
3. Nyeri Sedang 1 2,0
4. Nyeri Berat 0 0
Jumlah 51 100
Berdasarkan tabel 5.5, keluhan tingkat nyeri setelah 24 jam pasca operasi
mata dengan general anestesi pada sampel paling banyak mengeluhkan gejala
nyeri ringan sebanyak 28 orang (54,9%), diikuti tidak nyeri sebanyak 22 orang
(43,1%), seterusnya nyeri sedang sebanyak 1 orang (2,0%) dan tidak ada nyeri
berat dikeluhkan.
5.1.5. Deskripsi Nyeri Pasca Operasi Mata dengan General Anestesi Berdasarkan Jenis Operasi Mata
Tabel 5.6 Distribusi Prevalensi Nyeri Pasca Operasi Mata Berdasarkan Jenis Operasi Mata
Jenis Operasi
Diagnosis Nyeri Intraokuler Ekstraokuler Total Nyeri n (%) 33 (64,7%) 9 (17,6%) 42 (82,3%)
Tidak Nyeri n (%) 6 (11,8%) 3 (5,9%) 9 (17,7%)
Jumlah n (%) 39 (76,5%) 12 (23,5%) 51 (100%)
Dalam tabel 5.6, dapat dilihat sebanyak 42 orang (82,3%) pasien
mengeluhkan mengalami nyeri pasca operasi mata yaitu sebanyak 33 orang
(64,7%) pasien pada operasi intraokuler dan 9 orang (17,7%) pasien pada operasi
32
Tabel 5.7 Distribusi Prevalensi Tingkat Nyeri 8 Jam Pasca Operasi Mata Berdasarkan Jenis Operasi Mata
Jenis Operasi
TINGKAT NYERI 8 JAM Intraokuler Ekstraokuler Total Tidak nyeri n (%) 8 (15,7%) 4 (7,8%) 12 (23,5%)
Nyeri ringan n (%) 29 (56,9%) 4 (7,8%) 33 (64,7%)
Nyeri sedang n (%) 2 (3,9%) 4 (7,8%) 6 (11,8%)
Nyeri berat n (%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%)
Jumlah n (%) 39 (76,5%) 12 (23,5%) 51 (100%)
Berdasarkan tabel 5.7, prevalensi nyeri 8 jam pasca operasi mata dengan
general anestesi pada sampel, paling banyak mengeluhkan gejala nyeri ringan
sebanyak 33 (64,7%) yaitu pada jenis tindakan operasi intraokuler sebanyak 29
keluhan (56,9%) dan ekstraokuler sebanyak 4 keluhan (7,8%). Diikuti tidak nyeri
sebanyak 12 keluhan (23,5%) yaitu pada jenis tindakan operasi intraokuler
sebanyak 8 keluhan (15,7%) dan pada operasi ekstraokuler sebanyak 4 keluhan
(7,8%). Seterusnya pada nyeri sedang sebanyak 6 keluhan (11,8%) yaitu pada
jenis tindakan operasi intraokuler sebanyak 2 keluhan (3,9%) dan pada tindakan
operasi ekstraokuler sebanyak 4 keluhan (7,8%). Sedangkan pada tingkat nyeri
33
Tabel 5.8 Distribusi Prevalensi Tingkat Nyeri 16 Jam Pasca Operasi Mata Berdasarkan Jenis Operasi Mata
Jenis Operasi
TINGKAT NYERI 16 JAM Intraokuler Ekstraokuler Total Tidak nyeri n (%) 13 (25,5%) 4 (7,8%) 17 (33,3%)
Nyeri ringan n (%) 25 (49,0%) 5 (9,8%) 30 (58,8%) Nyeri sedang n (%) 1 (2,0%) 3 (5,9%) 4 (7,8%)
Nyeri berat n (%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%)
Jumlah n (%) 39 (76,5%) 12 (23,5%) 51 (100%)
Dalam tabel 5.8, dapat dilihat prevalensi nyeri 16 jam pasca operasi mata
dengan general anestesi pada sampel, paling banyak mengeluhkan gejala nyeri
ringan sebanyak 30 keluhan (58,8%) yaitu pada jenis tindakan operasi intraokuler
sebanyak 25 keluhan (49,0%) dan ekstraokuler sebanyak 5 keluhan (9,8%).
Diikuti tidak nyeri sebanyak 17 keluhan (33,3%) yaitu pada jenis tindakan operasi
intraokuler sebanyak 13 keluhan (25,5%) dan pada operasi ekstraokuler sebanyak
4 keluhan (7,8%). Seterusnya pada nyeri sedang sebanyak 4 keluhan (7,8%) yaitu
pada jenis tindakan operasi intraokuler sebanyak 1 keluhan (2,0%) dan pada
tindakan operasi ekstraokuler sebanyak 3 keluhan (5,9%). Sedangkan nyeri berat
34
Tabel 5.9 Distribusi Prevalensi Tingkat Nyeri 24 Jam Pasca Operasi Mata Berdasarkan Jenis Operasi Mata
Jenis Operasi
TINGKAT NYERI 24 JAM Intraokuler Ekstraokuler Total Tidak nyeri n (%) 19 (37,7%) 3 (5,2%) 22 (43,1%)
Nyeri ringan n (%) 20 (39,2%) 8 (15,7%) 28 (54,9%)
Nyeri sedang n (%) 0 (0%) 1 (2,0%) 1 (2,0%)
Nyeri berat n (%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%)
Jumlah n (%) 39 (76,5%) 12 (23,5%) 51 (100%)
Berdasarkan prevalensi nyeri 24 jam pasca operasi mata dengan general
anestesi pada tabel 5.9, paling banyak mengeluhkan gejala nyeri ringan sebanyak
28 keluhan (54,9%) yaitu pada jenis tindakan operasi intraokuler sebanyak 20
keluhan (39,2%) dan ekstraokuler sebanyak 8 keluhan (15,7%). Diikuti tidak nyeri
sebanyak 22 keluhan (43,1%) yaitu pada jenis tindakan operasi intraokuler
sebanyak 19 keluhan (37,7%) dan pada operasi ekstraokuler sebanyak 3 keluhan
(5,2%). Seterusnya pada nyeri sedang sebanyak 1 keluhan (2,0%) yaitu pada jenis
tindakan operasi intraokuler tidak ada keluhan nyeri dan pada tindakan operasi
ekstraokuler sebanyak 1 keluhan (2,0%). Sedangkan nyeri berat tidak ada keluhan
35
5.2. Pembahasan
Nyeri merupakan salah satu gejala pasca operasi yang paling sering
dilaporkan pasien. Henzler et al. (2004), mengatakan bahwa pasien yang menjalani jenis operasi mata tertentu, terutama dengan menggunakan general
anestesi, lebih sering mengalami nyeri pasca operasi yang serius. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui prevalensi nyeri pasca operasi mata dengan general
anestesi berdasarkan jenis operasi mata yang merupakan salah satu faktor resiko
dari nyeri yaitu jenis operasi mata, di Rumah Sakit Mata SMEC Medan.
Penelitian dilakukan dengan menilai skor Visual Analogue Scale (VAS) pada 8
jam, 16 jam dan 24 jam pasca operasi pada pasien yang menjalani operasi mata
dengan general anestesi.
Dalam penelitian ini, sebanyak 51 pasien yang terdiri dari 39 pasien
(76,5%) dengan jenis tindakan operasi intraokuler dan 12 pasien ( 23,5%) dengan
jenis tindakan operasi ekstraokuler. Berdasarkan tabel 5.2, didapatkan operasi
paling banyak yang dilakukan menggunakan general anestesi adalah pada
tindakan operasi intraokuler yaitu operasi vitrektomi sebanyak 22 orang (43,1%),
diikuti operasi katarak sebanyak 8 orang (15,7%). Pada tindakan operasi
ekstraokuler, didapatkan operasi paling banyak adalah pada operasi eksisi tumor
yaitu sebanyak 6 orang (11,8%) diikuti operasi lasik sebanyak 3 orang (5,9%). Hal
ini menunjukkan bahwa tindakan operasi intraokuler jauh lebih banyak dibanding
jenis tindakan operasi ekstraokuler sesuai dengan penelitian Mladen et al. (2014)
yang mengatakan jenis yang paling umum dari operasi mata dengan general
anestesi selama periode 5 tahun yang dianalisis di University Hospital Split,
Croatia adalah plana pars vitrektomi , diikuti oleh operasi katarak yaitu jenis
tindakan operasi masing masing adalah tindakan intraokuler.
Dari hasil keseluruhan keluhan nyeri pasca operasi, didapatkan sebanyak
42 orang (82,3%) mengeluhkan nyeri pasca opersi mata yaitu sebanyak 33 orang
(64,7%) pasien pada operasi intraokuler dan 9 orang (17,7%) pasien pada operasi
ekstraokuler. Banyaknya keluhan nyeri pasca operasi yang dikeluhkan ini