1
UJI VARIASI SUHU PENGERINGAN BIJI KAKAO
DENGAN ALAT PENGERING TIPE KABINET
TERHADAP MUTU BUBUK KAKAO
SKRIPSI
OLEH :
NOURMAN WILSON SIDABARIBA
PROGRAM STUDI KETEKNIKAN PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
2
UJI VARIASI SUHU PENGERINGAN BIJI KAKAO
DENGAN ALAT PENGERING TIPE KABINET
TERHADAP MUTU BUBUK KAKAO
SKRIPSI
OLEH :
NOURMAN WILSON SIDABARIBA 100308035/KETEKNIKAN PEERTANIAN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana di Program Studi Keteknikan Pertanian Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
PROGRAM STUDI KETEKNIKAN PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
ABSTRAK
NOURMAN WILSON SIDABARIBA : Uji Variasi Suhu Pengeringan Biji Kakao dengan Alat Pengering Tipe Kabinet Terhadap Mutu Bubuk Kakao, dibimbing oleh AINUN ROHANAH dan SAIPUL BAHRI DAULAY
Pada alat pengering tipe kabinet pengaturan suhu pengeringan perlu diperhatikan. Suhu tersebut menentukan kualitas hasil pengeringan biji kakao. Penelitian ini adalah pengujian variasi suhu pengeringan pada alat pengering tipe cabinet terhadap mutu kakao bubuk. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Keteknikan Pertanian Fakultas Pertanian USU dan di Laboratorium Biokimia dan Bahan Pangan FMIPA USU pada bulan Januari hingga April 2015 dengan menggunakan model Rancangan Acak Lengkap non factorial yaitu pada taraf pengujian pada suhu 550C, 600C, 650C. Parameter yang diamati adalah kadar air, kadar lemak dan organoleptik (aroma dan warna). Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap kadar air dan warna, memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap kadar lemak dan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap aroma. Perlakuan terbaik dari penelitian ini adalah perlakuan T2 (600C) yang menghasilkan kadar air 3,13%, dan kadar lemak 38,53%. Warna 2,97 (cokelat), aroma 1,57 (kurang disukai). Kata kunci : alat pengering tipe kabinet, suhu, kakao bubuk.
ABSTRACT
NOURMAN WILSON SIDABARIBA : Drying Temperature Test of Cocoa beans on Cocoa Powder Quality Using a Cabinet Dryer, supervised by AINUN ROHANAH and SAIPUL BAHRI DAULAY
The temperature of cabinet dryer is needed to control. The temperature will affect product quality. This research was testing of variation of drying temperature on cocoa powder quality using a cabinet dryer. Research had been conducted at agricultural engineering laboratory, Agricultural faculty USU and at food and biochemistry laboratory, MIPA faculty USU in January - April 2015by using a non-factorial completely randomized design at 550C, 600C, and 650C. Parameters observed were moisture content, fat content, and organoleptic test (aroma and color). The results showed that the temperature had highly significant effect on moisture content and color, had significant effect on fat content, and had no significant effect on aroma. The best treatment was at T2 (600C) which produced 3,13 % moisture, and 38,53 % fat content. Color 2,97 (brown), and aroma 1,57 (less favored)
5
RIWAYAT HIDUP
Nourman Wilson Sidabariba, dilahirkan di Medan, pada tanggal 22 Mei
1991 dari ayah ISP Sidabariba (alm) dan Ibu Dorianta Sitanggang. Penulis
merupakan anak keempat dari empat bersaudara.
Tahun 2009 penulis lulus dari SMA Mehodist 2 Medan dan pada tahun
2010 lulus seleksi masuk Universitas Sumatera Utara melalui jalur Ujian Masuk
Bersama (UMB). Penulis memilih Program Studi Keteknikan Pertanian Fakultas
Pertanian.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif mengikuti Organisasi Ikatan
Mahasiswa Teknik Pertanian (IMATETA) sebagai anggota Biro Sosial dan
Pengabdian Masyarakat masa bakti 2011/2012. Penulis aktif mengikuti kegiatan
Unit Kegiatan Mahasiswa Kebaktian Mahasiswa Kristen Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara (UKM KMK FP USU) dan menjadi anggota
Organisasi Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Komisariat Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Pabrik
Pengolahan Karet PTPN III Kebun Bandar Betsy, Kabupaten Simalungun,
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas
berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Uji Variasi Suhu Pengeringan Biji Kakao dengan Alat Pengering Tipe
Kabinet terhadap Mutu Bubuk Kakao” yang merupakan salah satu syarat untuk
dapat menyelesaikan studi di Program Studi Keteknikan Pertanian Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya
kepada orang tua yang telah membesarkan dan mendidik penulis hingga saat ini
dan bisa seperti sekarang ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Ibu
Ainun Rohanah, STP, M.Si selaku ketua komisi pembimbing dan kepada Bapak
Ir. Saipul Bahri Daulay, M.Si selaku anggota komisi pembimbing yang telah
banyak membimbing, memberikan saran dan masukan kepada penulis sehingga
dapat menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca yang
bersifat membangun.
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih, semoga skripsi ini
bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Mei 2015
ii
DAFTAR ISI
Hal.
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR GAMBAR ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 3
Hipotesa Penelitian ... 3
Kegunaan Penelitian ... 4
Batasan Masalah ... 4
TINJAUAN PUSTAKA Kakao (Theobroma cacao L.) Deskripsi Tanaman Kakao dan Klasifikasi Kakao ... 5
Syarat Tumbuh ... 6
Tipe Pengering ... 6
Kandungan dan Manfaat Biji Kakao ... 8
Pascapanen Kakao Pemeraman Buah Kakao ... 9
Pemecahan Buah Kakao ... 9
Fermentasi Kakao ... 9
Perendaman dan Pencucian Kakao ... 10
Pengeringan Kakao ... 11
Penyangraian dan Pembuatan Bubuk Kakao ... 12
Standar Mutu Kakao Bubuk ... 14
Pengeringan Kabinet ... 14
Komponen Alat Pengering Tipe Kabinet Ruang pemanas ... 16
Ruang pengeringan ... 18
Keluaran udara ... 19
Pindah Panas ... 19
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ... 21
Bahan dan Alat ... 21
Metode Penelitian ... 21
Model Rancangan Penelitian ... 22
Prosedur Penelitian ... 22
Parameter yang Diamati
iii KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ... 32
Saran ... 32
DAFTAR PUSTAKA ... 33
iv
DAFTAR TABEL
No.
Hal.
1. Mutu Kakao Bubuk Menurut SNI ... 13
2. Skala Uji Aroma ... 21
3. Skala Uji Warna ... 21
4. Pengaruh Suhu Pengeringan terhadap Parameter ... 24
5. Uji DMRT Perlakuan Suhu Pengeringan terhadap Kadar Air ... 25
6. Uji DMRT Perlakuan Suhu Pengeringan terhadap Kadar Lemak ... 27
v
DAFTAR GAMBAR
No. Hal.
1. Cabinet Dryer ... 15
2. Pengering Tipe Rak ... 15
3. Hubungan Suhu Pengeringan terhadap Kadar Air ... 25
4. Hubungan Suhu Pengeringan terhadap Kadar Lemak ... 27
vi
DAFTAR LAMPIRAN
No. Hal.
1. Flowchart penelitian ... 35
2. Data pengamatan kadar air ... 36
3. Data pengamatan kadar lemak ... 37
4. Data pengamatan nilai organoleptik terhadap aroma ... 38
5. Data pengamatan nilai organoleptik terhadap warna ... 39
6. Perhitungan ... 40
7. Gambar alat pengering ... 46
8. Gambar komponen alat pengering ... 47
9. Gambar teknik alat ... 49
10. Gambar tampak penampang pemanas... 50
11. Gambar tampak penampang rak ... 51
12. Gambar Screen radiator ... 52
13. Gambar tampak samping lubang pengeluaran udara ... 53
ABSTRAK
NOURMAN WILSON SIDABARIBA : Uji Variasi Suhu Pengeringan Biji Kakao dengan Alat Pengering Tipe Kabinet Terhadap Mutu Bubuk Kakao, dibimbing oleh AINUN ROHANAH dan SAIPUL BAHRI DAULAY
Pada alat pengering tipe kabinet pengaturan suhu pengeringan perlu diperhatikan. Suhu tersebut menentukan kualitas hasil pengeringan biji kakao. Penelitian ini adalah pengujian variasi suhu pengeringan pada alat pengering tipe cabinet terhadap mutu kakao bubuk. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Keteknikan Pertanian Fakultas Pertanian USU dan di Laboratorium Biokimia dan Bahan Pangan FMIPA USU pada bulan Januari hingga April 2015 dengan menggunakan model Rancangan Acak Lengkap non factorial yaitu pada taraf pengujian pada suhu 550C, 600C, 650C. Parameter yang diamati adalah kadar air, kadar lemak dan organoleptik (aroma dan warna). Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap kadar air dan warna, memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap kadar lemak dan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap aroma. Perlakuan terbaik dari penelitian ini adalah perlakuan T2 (600C) yang menghasilkan kadar air 3,13%, dan kadar lemak 38,53%. Warna 2,97 (cokelat), aroma 1,57 (kurang disukai). Kata kunci : alat pengering tipe kabinet, suhu, kakao bubuk.
ABSTRACT
NOURMAN WILSON SIDABARIBA : Drying Temperature Test of Cocoa beans on Cocoa Powder Quality Using a Cabinet Dryer, supervised by AINUN ROHANAH and SAIPUL BAHRI DAULAY
The temperature of cabinet dryer is needed to control. The temperature will affect product quality. This research was testing of variation of drying temperature on cocoa powder quality using a cabinet dryer. Research had been conducted at agricultural engineering laboratory, Agricultural faculty USU and at food and biochemistry laboratory, MIPA faculty USU in January - April 2015by using a non-factorial completely randomized design at 550C, 600C, and 650C. Parameters observed were moisture content, fat content, and organoleptic test (aroma and color). The results showed that the temperature had highly significant effect on moisture content and color, had significant effect on fat content, and had no significant effect on aroma. The best treatment was at T2 (600C) which produced 3,13 % moisture, and 38,53 % fat content. Color 2,97 (brown), and aroma 1,57 (less favored)
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman kakao (Theobroma cacao) termasuk tanaman tropis. Indonesia
dinilai cukup berpotensi untuk pengembangan kakao ke depan, khususnya dalam
hal budidaya kakao karena didukung oleh kondisi iklimnya. Hal ini dipandang
menjanjikan sehingga kakao menjadi salah satu komoditi ekspor andalan
nonmigas yang memiliki prospek cukup cerah sebab permintaan di dalam negeri
juga semakin meningkat dengan semakin berkembangnya sektor agroindustri.
Selain sebagai penyumbang nilai dan volume ekspor dari sektor nonmigas,
keberadaan kakao juga dapat memenuhi bahan baku untuk industri dalam negeri,
baik dalam hal makanan maupun industri kosmetika dan farmasi. Industri kakao
juga berperan nyata dalam hal penyerapan tenaga kerja karena membutuhkan
tenaga kerja yang cukup besar untuk bekerja pada beberapa tahapan, yaitu dimulai
dari tahap penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, industri, sampai
dengan pemasaran.
Produksi kakao di Indonesia sebagian besar ada di tangan petani kakao
rakyat. Hal ini dibuktikan dengan luas areal tanam kakao yang didominasi oleh
petani kakao rakyat. Menurut Susanto (1994), luas kakao rakyat justru menempati
peringkat paling atas yaitu sekitar 72,07 % dari luas total kakao. Sedangkan luas
perkebunan swasta hanya sekitar 11,23 % dan perkebunan milik Negara hanya
sekitar 16,7 %.
Produksi biji kakao Indonesia secara signifikan terus meningkat. Namun,
Internasional. Hal ini dikarenakan pada saat proses pengolahannya yang kurang
baik sehingga menyebabkan biji kakao yang diolah tidak memenuhi syarat di
pasaran, seperti biji kakao yang tidak terfermentasi dengan baik atau sama sekali
tidak melalui proses fermentasi, tidak cukup kering, citarasa sangat beragam dan
tidak konsisten.
Penanganan pascapanen merupakan salah satu faktor yang sangat
mempengaruhi mutu kakao. Tindakan ini diawali dengan pemanenan buah yang
benar-benar matang, pemeraman buah, fermentasi dan pengeringan. Pemeraman
yang dimaksudkan agar buah kakao yang dipanen mencapai kematangan yang
seragam. Tahap lain yang sangat penting adalah fermentasi yang sempurna agar
biji kakao mengandung citarasa dan aroma yang baik. Setelah fermentasi,
selanjutnya dilakukan pengeringan hingga didapatkan biji kakao dengan kadar air
7,5 persen (Spillane, 1995).
Menurut Winarno (1980) pengeringan adalah cara untuk menghilangkan
sebahagian besar air dari suatu bahan dengan bantuan energi panas dari sumber
alami (sinar matahari) atau bahan buatan (alat pengering). Biasanya kandungan air
tersebut dikurangi sampai batas dimana mikroba tidak dapat tumbuh lagi di
daalamnya. Dengan demikian bahan yang dikeringkan dapat mempunyai waktu
simpan yang lebih lama.
Proses pengeringan yang umum dilakukan oleh petani kakao rakyat
biasanya memanfaatkan sinar matahari dengan cara penjemuran. Pengeringan
dengan matahari ini memerlukan tenaga kerja yang lebih banyak dan sangat
tergantung dari cuaca. Bila cuaca kurang baik misalnya hujan atau berawan, maka
3
Pengeringan merupakan salah satu tahap penting dalam pengolahan kakao
untuk menjamin mutu produk akhir yang prima dari aspek kenampakan, citarasa,
dan kebersihan. Mutu kakao yang dihasilkan petani sebagian besar belum
memenuhi ketiga kriteria tersebut antara lain karena tidak tersedianya sarana
pengeringan yang memadai.
Berdasarkan pentingnya proses pengeringan yang baik yang tidak
tergantung pada cuaca, telah dilakukan penelitian mengenai rancang bangun alat
pengering tipe kabinet di Laboratorium Keteknikan Pertanian Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara. Pengeringan biji kakao yang terlalu cepat atau suhu
pengeringan yang terlalu tinggi akan mengakibatkan biji kakao dengan aroma
asam dan kadar asam lebih tinggi dari biji yang dijemur. Sehingga dibutuhkan
suhu pengeringan yang tepat. Penulis mencoba melakukan penelitian tentang uji
variasi suhu pengeringan biji kakao dengan alat pengering tipe kabinet terhadap
mutu bubuk kakao.
Tujuan Penelitian
Untuk menguji variasi suhu pengeringan biji kakao terhadap mutu bubuk
kakao pada alat pengering tipe kabinet.
Hipotesa Penelitian
Ada pengaruh suhu pengeringan terhadap mutu kakao bubuk yang
Kegunaan Penelitian
1. Bagi penulis yaitu sebagai bahan untuk menyusun skripsi yang merupakan
syarat untuk menyelesaikan pendidikan di Program Studi Keteknikan
Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
2. Bagi mahasiswa, sebagai informasi pendukung untuk melakukan
penelitian lebih lanjut mengenai alat pengering pada alat pengering kakao
tipe kabinet.
3. Bagi masyarakat, sebagai informasi bagi petani tentang pengolahan kakao
yang baik sehingga menghasilkan biji kakao kering yang bermutu tinggi.
Batasan Masalah
Penelitian ini memiliki batasan analisa mutu bubuk kakao yaitu
menganalisa kadar air dan uji organoleptik (warna dan aroma) yang diperoleh dari
5
TINJAUAN PUSTAKA
Kakao (Theobroma cacao L.)
Deskripsi Tanaman Kakao dan Klasifikasi Kakao
Tanaman kakao (Theobroma cacao) berasal dari hutan tropis yang
menyebar dari Meksiko selatan, Brasil sampai ke Bahama; terletak pada 180 LU sampai 150 LS. Populasi yang terbanyak dan diduga sebagai pusatnya adalah
Upper Amazon. Kakao masuk ke Indonesia pada tahun 1560 di Sulawesi Utara
dan berasal dari Filipina; jenisnya adalah Criollo dan jenis ini diduga berasal dari
Venezuella. Pada tahun 1806 perluasan kakao dilakukan di Jawa Timur dengan
kakao jenis Criollo (Soehardjo,dkk., 1996).
Tanaman kakao termasuk marga Theobroma, suku dari Sterculiaceae yang
banyak diusahakan oleh para pekebun, perkebunan swasta dan perkebunan
Negara. Sistematik tanaman kakao menurut Tjitrosoepomo adalah sebagai
berikut:
Divisi : Spermatophyta
Anak divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Anak kelas : Dialypetalae
Bangsa : Malvales
Suku : Sterculiaceae
Jenis : Theobroma cacao.
(Susanto, 1994).
Berdasarkan tipe populasinya, kakao dapat dibagi menjadi tiga kelompok
termasuk jenis kakao mulia (edel), sedangkan forastero termasuk jenis kakao
lindak (bulk). Tipe trinitario merupakan hibrida antara criollo dengan forastero
sehingga di dalam perdagangan dapat masuk ke jenis mulia ataupun jenis lindak,
tergantung dari mutu biji yang dihasilkan. Sebagai contoh klon DR menghasilkan
kakao mulia, sedang klon ICS banyak yang menghasilkan kakao lindak.
(Poedjiwidodo, 1996).
Syarat Tumbuh
Iklim merupakan salah satu faktor lingkungan yang cukup berpengaruh
terhadap pertumbuhan dan keberhasilan budi daya tanaman, termasuk budi daya
kakao. Tanaman kakao dapat tumbuh pada garis lintang 10o LS – 10o LU dan pada ketinggian 0 – 600 m dpl. Untuk pertumbuhan yang optimal, kakao
membutuhkan suhu dengan batasan tertentu, yaitu suhu minimum 18 – 21oC dan maksimum 30 – 32oC. Kisaran curah hujan yang ideal bagi pertumbuhan tanaman kakao adalah 1.500 – 2.500 mm/tahun. Tanaman kakao menghendaki lingkungan
dengan kelembaban tinggi dan konstan, yakni diatas 80%. Tanah yang cocok
untuk tanaman kakao adalah yang bertekstur geluh lempung (clay loam) yang
merupakan perpaduan antara 50% pasir, 10 – 20% debu, dan 30 – 40% lempung
berpasir. (Wahyudi dkk., 2013).
Tipe Pengering
Untuk pengeringan bahan pangan terdapat berbagai tipe pengering yang
digunakan. Pada umumnya pemilihan tipe pengering ditentukan oleh jenis
komoditi yang akan dikeringkan, bentuk akhir produk yang dikehendaki, faktor
ekonomi dan kondisi operasinya. Jenis produk yang dikeringkan dan tipe
7
Pengering Produk
Pengering drum Susu, sari sayuran, kranberri, pisang
Pengering rak hampa Produksi bahan pangan tertentu yang terbatas
Pengering hampa kontinu Buah-buahan dan sayuran Pengering ban berjalan (atmosferik) Sayuran
Pengering bedeng apung Sayuran Pengering busa padat Sari buah Pengering beku Daging
Pengering semprot Telur utuh, kuning telur dan susu
Pengering putar Sebagian produk daging, biasanya tidak digunakan untuk bahan pangan
Pengering kabinet atau kamar Buah-buahan dan sayuran Pengering tungku Apel, sebagian sayuran Pengering terowongan Buah-buahan dan sayuran
Pengering dapat dibedakan dalam dua golongan:
Pengering adiabatis ialah pengering dimana panas dibawa ke dalam
pengering oleh suatu gas yang panas. Gas memberikan panas kepada air di dalam
bahan pangan dan membawa keluar uap air yang dihasilkan. Gas panas dapat
merupakan hasil pembakaran atau pemanasan udara. Pemindahan panas dapat
berlangsung melalui suatu permukaan yang padat, dimana panas dipindahkan
kepada produk melalui suatu plat logam yang juga membawa produk tersebut
(Desrosier, 1988).
Kandungan dan Manfaat Biji Kakao
Riset menemukan indikasi bahwa beberapa komponen yang terkandung
dalam kakao dapat membantu mencegah penyakit cardiovascular dan dapat
mengurangi resiko kanker. Tapi bagaimanapun hal tersebut tenggelam oleh
anggapan bahwa cokelat sebagai penyebab obesitas. Sebagian orang
mengklasifikasikan cokelat sebagai “junk food” karena kandungan kalorinya yang
tinggi. Seiring dengan semakin besarnya perhatian terhadap aspek kesehatan dan
kandungan nutrisi dari kakao dan cokelat, sekretariat ICCO (International Cocoa
untuk menyampaikan kepada publik suatu gambaran obyektif mengenai konsumsi
kakao dan cokelat dipandang dari sisi status kesehatan dan kandungan nutrisi
terhadap konsumen (Departemen Perindustrian, 2007).
Aneka produk kakao yang terdiri atas cocoa liquor, cocoa butter, dan
cocoa powder bisa digunakan sebagai bahan dasar pembuat makanan seperti
snack, confectionery, bakery, minuman/beverages dan saat ini yang sedang tren
adalah sebagai bahan terapi (spa theraphy dan aroma theraphy). Selain rasa dan
aromanya yang dapat membuat addict, cokelat memiliki manfaat untuk kesehatan
karena kandungan senyawa flavonoid (polyphenol) sebagai antioksidan tinggi
yang dapat menurunkan risiko penyakit jantung, kanker dan stroke. Selain itu
produk kakao juga mengandung phenilethylamine yang dapat menstimulasi
perasaan positif dan gembira (Wahyudi, dkk., 2008).
Pascapanen Kakao
Pemeraman Buah Kakao
Buah yang telah dipanen dikumpulkan dan dikelompokkan berdasarkan
kelas kematangannya. Biasanya dilakukan pemeraman untuk memperoleh
keseragaman kematangan buah dan memudahkan pengeluaran biji dari buah
kakao. Pemeraman dilakukan di tempat yang teduh, lamanya sekitar 5-7 hari.
(Departemen Perindustrian, 2007).
Pemecahan Buah Kakao
Pemecahan buah kakao harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak
merusak keping biji. Pemecahan kakao dapat dilakukan dengan alat pemukul,
9
yang baik dipisahkan dari biji-biji yang jelek/rendah dan dihindari tercampurnya
dengan kotoran. Biasanya biji yang rendah difermentasi sendiri (Susanto, 1994).
Fermentasi Kakao
Fermentasi merupakan tahap paling menentukan dalam proses pengolahan
biji kakao. Tujuan utama fermentasi adalah mematikan biji dan melepaskan pulp.
Selama proses fermentasi berlangsung akan terjadi pembentukan citarasa khas
kakao serta pengurangan rasa pahit dan sepat. Fermentasi dilakukan dengan
memasukkan biji kakao ke dalam peti fermentasi dan ditutup dan berlangsung
selama 5-7 hari untuk kakao lindak dan 3-4 hari untuk kakao mulia. Selama
fermentasi diadakan pengadukan agar proses fermentasi merata
(Poedjiwidodo, 1996).
Fermentasi secara tradisional terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu :
fermentasi dengan menggunakan keranjang/tomblok, fermentasi dengan
penimbunan diatas permukaan tanah yang dialasi daun pepaya, dan fermentasi
dengan menggunakan kotak kayu. Penggunaan kotak kayu sebagai wadah
fermentasi memberikan kualitas biji kakao yang lebih baik dari dua cara
fermentasi tradisional lainnya (Hatmi dan Rustijarno, 2012).
Menurut Susanto (1994), di samping proses fermentasi menentukan mutu
biji kakao, fermentasi juga akan mempermudah pengeringan dan menghancurkan
lapisan pulp yang melekat pada biji. Tanda-tanda bahwa proses fermentasi sudah
dapat diakhiri adalah sebagai berikut : Biji kakao sudah tampak kering/lembab,
berwarna cokelat dan berbau asam cuka, lendir yang melekat pada biji sudah
berwarna cokelat untuk kakao mulia dan warna ungu sudah hilang bagi kakao
lindak (Susanto, 1994).
Perendaman dan Pencucian Kakao
Biji yang telah selesai difermentasi ada yang direndam dan dicuci, tetapi
ada yang langsung dijemur. Biji yang dicuci akan kelihatan bersih, tetapi lebih
rapuh dan mudah pecah. Disamping itu, biji akan mengalami penurunan berat
antara 10-15%. Sedang biji yang tidak dicuci, selain memiliki rendemen yang
tinggi dan tidak rapuh, aroma yang dihasilkan juga lebih baik, tetapi warnanya
kurang menarik. Tujuan dari perendaman biji adalah menghentikan proses
fermentasi, memperbaiki penampakan biji, mengurangi asam cuka yang timbul,
dan mengurangi warna hitam pada biji. Perendaman dilakukan pada pagi hari
selama 2-3 jam, kemudian dilakukan pencucian. (Poejiwidodo, 1996).
Pengeringan Kakao
Teknik pengeringan biji kakao ada tiga yaitu : pengeringan dengan sinar
matahari, menggunakan alat pengering dan perpaduan keduanya. Pengeringan
menggunakan sinar matahari memiliki sisi positif dan negatif. Sisi positifnya,
akan diperoleh warna biji kakao coklat kemerahan dan tampak lebih cemerlang.
Warna dan kenampakan yang demikian inilah yang diharapkan dari biji kakao
kering, sehingga pengeringan di bawah sinar matahari lebih disarankan untuk biji
kakao. Namun demikian, pengeringan sinar matahari memiliki kendala yang
disebabkan kondisi cuaca terutama saat hujan. Metode pengeringan ini
memerlukan waktu 5 hingga 7 hari untuk mencapai kadar air dibawah 7,5%.
11
Lama tidaknya proses pengeringan sangat tergantung pada intensitas sinar
matahari yang menyinari (Hatmi dan Rustijarno, 2012).
Secara umum, tujuan pengeringan adalah untuk menurunkan kadar air biji
kakao dari sekitar 60% menjadi 6 – 7%. Yang perlu diperhatikan dalam
pengeringan biji kakao adalah suhu dan waktu pemanasan. Biji kakao tidak
menghendaki pemanasan yang cepat dengan suhu tinggi. Pemanasan hendaknya
dilakukan secara perlahan dengan suhu 500C. Pengeringan yang cepat menyebabkan cashardining (bagian luar kering tetapi bagian dalam masih basah)
(Poedjiwidodo, 1996).
Suhu pengeringan sebaiknya antara 55-66 ºC dan waktu yang dibutuhkan
bila memakai mesin pengering antara 20-25 jam, sedang bila dijemur waktu yang
dibutuhkan ± 7 hari apabila cuaca baik, tetapi apabila banyak hujan penjemuran ±
4 minggu. Bila biji kurang kering pada kandungan air diatas 8% biji mudah
ditumbuhi jamur (Dinas Perkebunan, 2007).
Proses pengeringan adalah kelanjutan dari tahap oksidatif dari fermentasi
yang berperan penting dalam mengurangi kelat dan pahit. Selain itu proses
pengeringan dilakukan untuk menghasilkan biji kakao kering yang berkualitas,
terutama dalam hal fisik, calon cita rasa, dan aroma yang baik. Jika pengeringan
terlalu lambat, hal ini bisa menjadi berbahaya karena bisa menstimulan kehadiran
jamur yang bekembang dan masuk ke dalam biji. Sementara itu, pengeringan
yang terlalu cepat juga bisa mengganggu kesempurnaan reaksi oksidatif yang
berlangsung dan dapat menyebabkan tingkat keasaman yang berlebih.
Peningkatan suhu pengeringan akan meningkatkan kelat dan asamity sehingga
Penyangraian dan Pembuatan Bubuk Kakao
Biji kakao yang sudah kering dengan kadar air sekitar 6% - 7% digoreng
sangan (tanpa menggunakan minyak). Lamanya penggorengan sekitar 40 menit.
Selanjutnya kulit dikupas dengan tangan atau memakai alat. Setelah bersih, biji
kakao tersebut ditumbuk sehingga biji menjadi halus. Tepung yang masih
mengandung lemak berkadar rendah ini selanjutnya dikeringkan lagi secara alami
dengan sinar matahari atau dengan oven, kemudian diayak untuk mendapatkan
tepung yang halus. Bubuk kakao inilah yang dimanfaatkan sebagai campuran
minuman, serta untuk membuat permen cokelat (Susanto, 1994).
Untuk memperbaiki warna dan aroma bubuk kakao yang dihasilkan,
selama pengolahan juga dapat dilakukan proses alkalisasi pada nib, pasta kakao,
atau bungkil kakao. Ada beberapa macam bubuk kakao yang beredar di pasaran,
diantaranya adalah :
a) Bubuk kakao minuman (drinking cocoa)
Bubuk kakao ini biasa digunakan untuk bahan tambahan minum susu dan
untuk pembuatan kue. Beberapa aroma tambahan digunakan pada produk
ini, antara lain vanili atau kayu manis.
b) Bubuk kakao instant (cocoa instant)
Bubuk kakao ini menggunakan bahan tambahan pengemulsi, terutama
lecithin antara 1,5 – 3,0 %, sehingga mudah terdispersi di dalam air.
Bubuk ini dapat digunakan sebagai pemberi aroma susu dan kue.
c) Cokelat minuman (drinking chocolate)
Untuk memperoleh butiran cokelat minuman yang seragam, hasil
13
dan bubuk kakao 30 % serta beberapa aroma tambahan
(Wahyudi dkk., 2008).
Standar Mutu Kakao Bubuk
Syarat mutu kakao bubuk berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI)
No. 3747 : 2013 dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 1. Standar Mutu Kakao Bubuk
No Kriteria Uji Satuan Persyaratan 1. Keadaan
1.1 Bau - Normal
1.2 Rasa - Normal
1.3 Warna - Normal
2. Kehalusan (lolos ayakan mesh 200) % (b/b) min. 99,5 3. Kulit (shell) dihitung dari bahan kering
bebas lemak 8. Cemaran mikroba
8.1 Angka lempeng total koloni/g maks. 5 x 103
Metode ini menggunakan alat pengering untuk sistem batch dengan proses
pengeringan dilakukan pada suhu yang konstan. Pada alat ini kelembaban udara
dapat mengalami penurunan. Alat ini terdiri dari ruang tertutup dengan alat
pemanas, kipas untuk sirkulasi udara, dan alat pengatur kecepatan udara, serta
inlet dan outlet udara. Alat pengering ini biasa digunakan untuk pengembangan
Beberapa contoh alat pengering tipe kabinet :
Gambar 1. Cabinet Dryer
-Dimensi 150 x 110 x 200 cm
- Jumlah rak : 24 buah
- Pemanas Kompor gas
Gambar 2. Pengering tipe rak
• Kapasitas : 4 rak / loyang
• Dimensi : 70x53x104 cm
• Listrik blower : 150 watt , 220 V
• Listrik Heater : 750 watt, 220 V
15
Komponen Alat Pengering (Tipe Kabinet)
Ruang Pemanas
Ruang pemanas terdiri dari beberapa komponen yaitu:
Kompor Gas LPG
Berfungsi sebagai sumber panas. Panas berasal dari pembakaran LPG
(Liquefied Proteleum Gas). Merupakan gas hidrokarbon produksi dari kilang
minyak dan kilang gas dengan komponen utama gas propane (C3H8) dan butane
C4H10. Pada tekanan atmosfer, LPG berbentuk gas, tetapi untuk kemudahan
distribusinya, LPG diubah menjadi fase cair dengan memberi tekanan.Dalam
bentuk cair, LPG mudah didistribusikan dalam tabung maupun tangki.
Plat Rata
Terbuat dari plat besi berukuran 35 cm x 60 cm dengan ketebalan 2 inchi.
Berfungsi sebagai media penghantar panas dari api yang dihasilkan oleh kompor
gas ke udara pada ruang pengering. Suatu plat rata bila dipanaskan akan
membentuk suatu lapisan batas konveksi bebas. Daerah aliran yang terbentuk dari
tepi plat itu, dimana terlihat pengaruh viskositas disebut lapisan batas. Untuk
menandai posisi dimana lapisan batas itu berakhir, dipilih suatu titik sembarang.
Titik sembarang ini dipilih sedemikian rupa pada koordinat dimana kecepatan
menjadi 99 persen dari nilai arus bebas u∞, jadi u=0,99u∞(Koestoer, 2002).
Pada permulaan, pembentukan lapisan batas itu laminar, tetapi pada suatu
jarak kritis sifat-sifat fluida, gangguan-gangguan kecil pada aliran itu membesar
dan mulailah terjadi proses transisi hingga akhirnya aliran menjadi turbulen.
Reynolds. Untuk aliran melintas plat rata, bilangan Reynolds didefinisikan
Berbeda dengan logam cair; fluida yang umum seperti udara (Pr≅ 0.7) atau air
memiliki angka Pr> 1.Oleh karena itu lapisan batas kecepatannya lebih tebal dari
pada lapisan batas kalor. Untuk mendapatkan kalor total yang dilepaskan plat
untuk mencapai suhu fluida yang mengalir diatasnya diperlukan bilangan
Nusselt, yaitu fungsi dari bilangan Reynold dan Prandtl, dapat dituliskan sebagai
berikut:
��= 0,332��1 3⁄ .��1 2⁄ ... (2)
Dimana :Re = Bilangan Reynolds
Pr = Bilangan Prandtl
(Koestoer, 2002).
Perpindahan kalor total dapat dirumuskan menjadi ;
�= ℎ . A (Tω−T∞) ... (3)
Dimana :
h = koefisien perpindahan kalor rata-rata
A = luas penampang
Tω = suhu plat rata
17
Blower
Blower pada dasarnya sama dengan fan, dalam bangun yang lebih besar,
blower sering digunakan karena tekanan hantarannya yang tinggi yang diperlukan
untuk mengatasi turun tekan dalam sistem ventilasi. Sebagian besar blower
berbentuk sentrifugal. Blower juga dapat digunakan untuk memasok udara draft
ke boiler dan tungku (Harahap, 1993).
Fan biasanya digunakan untuk tekanan rendah. Tekanan yang dihasilkan
biasanya kurang dari 0.5 lb/in2 (3.45 kPa). Sebaliknya, blower digunakan pada tekanan yang relatif lebih tinggi, namun biasanya lebih rendah dari 1.5lb/in2 (10.32 kPa), secara umum fan dan blower dapat dikategorikan menjadi dua
bentuk, yaitu aliran sentrifugal dan aliran aksial (Harahap, 1993).
Ruang Pengeringan
Ruang pengeringan terdiri dari beberapa komponen yaitu:
Nampan/ Tray
Nampan pada alat pengering tipe kabinet, terbuat dari alumunium
berbentuk persegi. Nampan dibuat berongga supaya udara panas dapat melalui
bahan yang akan dikeringkan. Pemilihan alumunim sebagai bahan nampan karena
berat jenis alumunium relatif rendah (Sumanto, 1994) sehingga mempermudah
dalam memuat bahan ke ruang pengeringan.
Pintu
Pemasangan pintu bertujuan untuk mempermudah memasukkan dan
mengeluarkan bahan dari ruang pengeringan serta untuk memerangkap panas.
Pada pintu juga dipasang kaca, agar pemakai dapat memeriksa bahan selama
Keluaran Udara
Berupa lubang keluaran udara yang dapat dibuka dan ditutup dengan kisi
yang telah dirancang sedemikian rupa, sehingga udara panas dapat keluar dari
ruang pengeringan sesuai dengan besaran yang diinginkan.
Pindah Panas
Perpindahan panas dapat didefinisikan sebagai berpindahnya energi dari
satu daerah ke daerah lainnya sebagai akibat dari beda suhu antara daerah-daerah
tersebut. Aliran panas bersifat universal yang berkaitan dengan tarikan gravitasi.
Secara umum ada tiga cara perpindahan panas yang berbeda yaitu konduksi
(conduction; dikenal dengan istilah hantaran), radiasi (radiation) dan konveksi
(convection; dikenal dengan istilah ilian). Jika kita berbicara secara tepat, maka
hanya konduksi dan radiasi dapat digolongkan sebagai proses perpindahan panas,
karena hanya kedua mekanisme ini yang tergantung pada beda suhu. Sedang
konveksi, tidak secara tepat memenuhi definisi perpindahan panas, karena untuk
penyelenggaraanya bergantung pada transport massa mekanik pula. Tetapi karena
konveksi juga menghasilkan pemindahan energi dari daerah yang bersuhu lebih
tinggi ke daerah yangbersuhu lebih rendah, maka istilah “perpindahan panas
dengan cara konveksi” telah diterima secara umum (Klara, 2008).
Semakin tinggi suhu udara pengering maka akan semakin besar energi
panas yang dibawa ke udara yang akan menyebabkan proses pindah panas
semakin cepat sehingga pindah massa akan berlangsung juga dengan cepat maka
akan semakin banyak air yang keluar dari bahan yang akan dikeringkan dalam
19
tersebut akan memenuhi atmosfir di sekeliling permukaan bahan sehingga
memperlambat proses pindah massa selanjutnya (Rohanah, 2006).
Pada umumnya, semakin besar perbedaan suhu antara medium pemanas
dengan bahan pangan semakin cepat pindah panas ke bahan pangan dan semakin
cepat pula penguapan air dari bahan pangan. Semakin tinggi suhu, semakin
banyak uap air yang dapat ditampung oleh udara tersebut sebelum terjadi
kejenuhan. Dapat disimpulkan bahwa udara bersuhu tinggi lebih cepat mengambil
air dari bahan pangan sehingga proses pengeringan lebih cepat
20
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Keteknikan Pertanian Fakultas
Pertanian dan Laboratorium Biokimia dan Bahan Pangan Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara pada Bulan Januari -
April 2015.
Bahan dan Alat Penelitian
Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji
kakao, air, gas LPG, n-heksan.
Sedangkan alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat
pengering tipe kabinet, tungku kompor gas, alat tulis, kamera, timbangan digital,
oven, beaker glass, desikator, erlenmeyer, soxhlet, ayakan, blender.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL)
non-faktorial dengan satu faktor yaitu suhu pengeringan dengan tiga kali ulangan
pada tiap perlakuan. Taraf suhu pengeringan (T) pada alat pengering yaitu :
T1 = 550C
T2 = 600C
T3 = 650C
Model Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
21
21
Yij = µ + αi + εij ... (4)
Dimana :
Yij = hasil pengamatan dari faktor T pada taraf ke-i pada ulangan ke-j
µ = nilai tengah sebenarnya
αi = efek faktor T pada taraf ke-i
εij = pengaruh galat (pengacakan)
Prosedur Penelitian
1. Disiapkan biji kakao yang telah difermentasi sebanyak 5 kg.
2. Disusun biji kakao yang telah difermentasi pada nampan.
3. Dimasukkan nampan yang berisi biji kakao pada rak yang tersedia dalam
ruang pengering.
4. Dihidupkan alat pengering dan diatur suhu per siklus pengeringan dengan
variasi suhu mulai dari suhu 550C.
5. Dikeringkan biji kakao selama 7 jam lama waktu pengeringan tiap
perlakuan.
6. Dimatikan alat pengering.
7. Dikeluarkan biji kakao dari alat pengering
8. Disangrai biji kakao selama 10 menit.
9. Dihaluskan biji kakao dengan alat penggiling sampai biji menjadi halus.
10.Diayak bubuk kakao agar diperoleh keseragaman ukuran.
11.Dilakukan analisa parameter kakao bubuk.
22 Parameter yang Diamati
Adapun parameter yang diamati pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Kadar Air
2. Kadar Lemak
3. Uji Organoleptik (Aroma dan Warna)
Kadar Air (Metode Oven)
Ditimbang bahan sebanyak 1-2 gram dalam cawan porselen yang telah
diketahui berat kosongnya. Kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 1050C selama 3 jam lalu didinginkan dalam desikator selama 15 menit lalu ditimbang.
Selanjutnya dipanaskan lagi dalam oven selama 30 menit, lalu didinginkan dalam
desikator dan ditimbang. Perlakuan ini diulang sampai berat konstan.
Pengurangan berat merupakan banyaknya air yang diuapkan dari bahan dengan
perhitungan sebagai berikut :
��������= ����� ��������� (��)��ℎ��−����� ��ℎ�� (��)
(��) � 100% ... (5)
Kadar Lemak
Diukur kertas saring biasa dengan ukuran 20 x 20 cm. dimasukkan sampel
sebanyak 2 gram ke dalam kertas saring kemudian dijahit sampai sampel tertutupi.
Dimasukkan sampel yang telah dijahit ke dalam tabung soklet yang berisi 200 ml
n-heksan kemudian dirangkai keseluruhan alat soklet. Dialirkan air kedalam
kondensor, dipanaskan selama 6 jam pada suhu 75 – 78oC, dirotarievaporator hasil sokletasi, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang bobot
sampel.
Nilai kadar lemak dihitung dengan persamaan berikut :
23
23 Uji Organoleptik Aroma dan Warna
Uji Organoleptik dilakukan dengan uji kesukaan atau uji hedonik,
kemudian dilakukan uji organoleptik terhadap warna dan aroma khas kakao.
Tabel 2. Skala Uji Aroma
Skala Hedonik Skala Numerik
Sangat disukai 4
Disukai 3
Kurang disukai 2
Tidak Disukai 1
Tabel 3. Skala Uji Warna
Skala Hedonik Skala Numerik
Sangat Coklat 4
Coklat 3
Kurang Coklat 2
Tidak Coklat 1
24
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari penelitian yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa suhu pengeringan
berpengaruh terhadap jumlah kadar air, kadar lemak, dan uji organoleptik (aroma
dan warna). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4 berikut.
Tabel 4. Pengaruh suhu pengeringan terhadap parameter Perlakuan Kadar air
Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa kadar air tertinggi diperoleh pada
perlakuan T1 yaitu sebesar 6% dan terendah pada T3 yaitu sebesar 2,1%. Kadar
lemak tertinggi diperoleh pada perlakuan T3 yaitu sebesar 50,77% dan terendah
pada T1 yaitu sebesar 37,14%. Nilai uji organoleptik aroma secara keseluruhan
tertinggi diperoleh pada perlakuan T1 yaitu sebesar 2,83 (disukai) dan terendah
pada T3 yatu sebesar 1,73 (kurang disukai). Nilai uji organoleptik warna secara
keseluruhan tertinggi diperoleh pada perlakuan T1 dan T2 yaitu sebesar 2,97
(coklat) dan terendah pada T3 yatu sebesar 1,97 (kurang coklat)
Kadar Air
Dari hasil analisis sidik ragam (Lampiran 2) dapat dilihat bahwa suhu
pengeringan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap kadar air. Hasil
pengujian menggunakan DMRT (Duncan Multiple Range Test)
menunjukkan pengaruh suhu pengeringan terhadap kadar air untuk tiap perlakuan
25
Tabel 5. Uji DMRT perlakuan suhu pengeringan terhadap kadar air
Jarak DMRT Perlakuan Rataan Notasi
0,05 0,01 0,05 0,01
- - - T3 2,1 a A
2 1,072 1,625 T2 3,13 a A
3 1,111 1,685 T1 6,0 b B
Keterangan : Notasi yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% dan sangat nyata pada taraf 1%
Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa perlakuan T3 berbeda tidak nyata
terhadap perlakuan T2 dan berbeda sangat nyata terhadap perlakuan T1.
Perlakuan T2 berbeda sangat nyata terhadap perlakuan T1.
Hubungan antara perlakuan suhu dengan kadar air dapat dilihat pada
gambar berikut.
Gambar 3. Hubungan suhu pengeringan terhadap kadar air
Gambar 3 diatas menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu pengeringan
maka kadar air yang dihasilkan semakin menurun. Hal ini sesuai dengan literatur
Rohanah (2006) yang menyatakan bahwa semakin tinggi suhu udara pengering
maka akan semakin besar energi panas yang dibawa ke udara yang akan
menyebabkan semakin banyak air yang keluar dari bahan yang akan dikeringkan.
Kadar air terendah dalam penelitian ini diperoleh pada suhu pengeringan
65oC. Hal ini disebabkan oleh panas udara pengeringan yang lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Taib dkk (1988) yang mengatakan bahwa kemampuan
bahan untuk melepaskan air dari permukaannya akan semakin besar dengan
meningkatnya panas udara pengeringan yang digunakan.
Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa perlakuan T2 dan T3
masing-masing menghasilkan kadar air dibawah 5%, yang artinya memenuhi
syarat SNI untuk kadar air kakao bubuk.
Kadar Lemak
Dari hasil analisis sidik ragam (Lampiran 3) dapat dilihat bahwa suhu
pengeringan memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap kadar lemak. Hasil
pengujian menggunakan DMRT (Duncan Multiple Range Test)
menunjukkan pengaruh suhu pengeringan terhadap kadar lemak untuk tiap
perlakuan dapat dilihat pada Tabel 6 berikut.
Tabel 6. Uji DMRT perlakuan suhu pengeringan terhadap kadar lemak
Jarak DMRT Perlakuan Rataan Notasi
0,05 0,01 0,05 0,01
- - - T1 37,14 a A
2 11,254 17,054 T2 38,53 a A 3 11,664 17,692 T3 50,77 b A Keterangan : Notasi yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perlakuan
memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% dan sangat nyata pada taraf 1%
Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa perlakuan T1 berbeda tidak nyata
terhadap perlakuan T2 dan berbeda nyata terhadap perlakuan T3. Perlakuan T2
27
Hubungan antara perlakuan dengan kadar lemak dapat dilihat pada
gambar berikut.
Gambar 4. Hubungan suhu pengeringan terhadap kadar lemak
Gambar 4 diatas menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu pengeringan
maka kadar lemak yang dihasilkan semakin meningkat. Kadar air yang semakin
menurun pada suhu pengeringan yang tinggi mengakibatkan energi panas dari
suhu tersebut menghasilkan kadar lemak yang semakin banyak karena adanya
proses ekstraksi lemak. Hal ini sesuai dengan literatur Buckle dkk (1987) yang
mengatakan bahwa selama proses pengeringan, air menguap dari permukaan
dengan kecepatan tergantung pada suhu pengeringan, tetapi kemudian setelah
kadar air titik kritis tercapai, air yang akan menguap harus berdifusi dari dalam
bahan pangan. Inilah yang menyebabkan kadar lemak meningkat.
Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa masing-masing perlakuan
menghasilkan kadar lemak diatas 10%, yang artinya memenuhi syarat SNI untuk
kadar lemak kakao bubuk.
ŷ = 0,453x - 20,47
Uji Organoleptik
Uji organoleptik merupakan uji yang digunakan untuk mengetahui tingkat
kesukaan panelis terhadap suatu produk. Uji organoleptik yang digunakan dalam
penelitian ini adalah uji hedonik (kesukaan) terhadap kakao bubuk dengan 3 taraf
perlakuan suhu yaitu 55oC, 60oC dan 65oC, dimana untuk setiap taraf perlakuan suhu diulang sebanyak tiga kali ulangan. Uji organoleptik dilakukan terhadap 10
orang panelis dengan parameter aroma dan warna.
Aroma
Pada analisis sidik ragam (Lampiran 4) dapat dilihat bahwa perlakuan
berbagai jenis suhu memberikan pengaruh berbeda tidak nyata terhadap aroma
sehingga pengujian dengan menggunakan analisa DMRT (Duncan Multiple
Range Test) tidak dilanjutkan.
Warna
Penentuan mutu bahan makanan pada umumnya sangat bergantung pada
beberapa faktor diantara cita rasa, warna, tekstur, dan nilai gizinya. Tetapi
sebelum faktor-faktor lain dipertimbangkan, secara visual warna menjadi faktor
pertama yang dilihat konsumen dalam memilih suatu produk (Winarno, 2002).
Pada analisis sidik ragam (Lampiran 5) dapat dilihat bahwa perlakuan
berbagai jenis suhu memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap warna.
Hasil pengujian dengan menggunakan analisa DMRT (Duncan Multiple Range
Test) menunjukkan pengaruh perbedaan suhu terhadap warna untuk tiap perlakuan
29
Tabel 7. Uji DMRT perlakuan suhu pengeringan terhadap warna
Jarak DMRT Perlakuan Rataan Notasi
0,05 0,01 0,05 0,01
- - - T3 1,97 a A
2 0.383 0,579 T1 2,97 b B
3 0,396 0,601 T2 2,97 b B Keterangan : Notasi yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perlakuan
memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% dan sangat nyata pada taraf 1%
Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa perlakuan T3 berbeda sangat nyata
terhadap perlakuan T1 demikian juga terhadap perlakuan T2. Perlakuan T1
berbeda tidak nyata terhadap perlakuan T2.
Hubungan antara perlakuan dengan warna dapat dilihat pada gambar
berikut.
Gambar 5. Hubungan suhu pengeringan terhadap warna
Gambar 5 diatas menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu pengeringan
maka nilai uji organoleptik warna semakin menurun. Pada proses sebelumnya
dihasilkan kadar air yang semakin rendah karena perlakuan suhu pengeringan
yang tinggi mengakibatkan bahan pangan semakin kering sehingga warna kakao
ŷ = -0.1x + 8.6367
bubuk menjadi pudar karena proses pengeringan. Hal ini sesuai dengan literatur
Buckle dkk (1987) yang mengatakan bahwa proses pengeringan dapat
31
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Perlakuan suhu pengeringan memberikan pengaruh sangat nyata terhadap
kadar air dan uji organoleptik warna, memberikan pengaruh nyata terhadap
kadar lemak, tetapi memberikan pengaruh tidak nyata terhadap uji
organoleptik aroma.
2. Kadar air tertinggi terdapat pada perlakuan suhu 550C (T1) yaitu sebesar 6% dan terendah pada perlakuan suhu 650C (T3) yaitu sebesar 2,1%.
3. Persentase kadar lemak tertinggi dihasilkan pada suhu 65oC (T3) yaitu sebesar 50,77% dan terendah pada suhu 55oC (T1) yaitu sebesar 37,14%. 4. Nilai uji organoleptik warna tertinggi terdapat pada perlakuan suhu 55oC (T1)
dan 60oC (T2) yaitu sebesar 2,97 (coklat) dan terendah pada perlakuan suhu 65oC (T3) yaitu sebesar 1,97 (kurang coklat).
5. Nilai uji organoleptik aroma tertinggi pada suhu 55oC (T1) yaitu sebesar 2,83 (disukai) dan terendah pada suhu 60oC (T2) yaitu sebesar 1,57 (kurang disukai).
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang faktor-faktor lainnya yang
mempengaruhi mutu kakao bubuk seperti lama fermentasi, lama penyangraian,
32
DAFTAR PUSTAKA
AOAC, 1995. Official Methods of Anaysis of The Association of Official Analytical Chemists, Washington, D.C.
Badan Standardisasi Nasional. 2013. SNI 3747:2013 Kakao Bubuk. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta
Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet dan M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan Purnomo dan Adiono, UI-Press, Jakarta.
Daywin, F.J., dkk. 2008. Mesin-mesin Budidaya Pertanian di Lahan Kering. Graha Ilmu. Jakarta.
Departemen Perindustrian. 2007. Gambaran Sekilas Industri Kakao. Kementerian Perindustrian. Jakarta.
Desrosier, N.W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Terjemahan M. Muljoharjo. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
Dinas Perkebunan. 2007. Pengolahan Kakao. Dinas Perkebunan Provinsi Jawa
Barat
Estiasih. T, dan K. Ahmadi. 2009. Teknologi Pengolahan Pangan. Bumi Aksara, Jakarta.
Hatmi, R.U., dan Rustijarno, S. 2012. Teknologi Pengolahan Biji Kakao Menuju SNI Biji Kakao 01 – 2323 – 2008. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sleman. Yogyakarta.
Harahap, Z. 1993. Pompa dan Blower Sentrifugal. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Klara, S. 2008. Peningkatan Keaktifan Mahasiswa dengan Penerapan Student Sentre Learning pada Matakuliah Perpindahan Panas. Universitas Hasanudin. Makassar.
Koestoer, R.A. 2002. Perpindahan Kalor. Salemba Teknika. Jakarta.
Poedjiwidodo, Y. 1996. Sambung Samping Kakao. Trubus Agriwidya. Ungaran.
Rohanah, A. 2006. Teknik Pengeringan. Departemen Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian USU. Medan.
33
Soehardjo, H., Harahap, H.H., Hasibuan, N.D., 1996. Vadamecum Kakao. PT. Perkebunan Nusantara IV (PERSERO). Bah Jambi, Pematang Siantar, Sumatera Utara, Indonesia.
Spillane, J.J., 1995. Komoditi Kakao Peranannya dalam Perekonomian Indonesia. Kanisius, Yogyakarta.
Suharto, 1991. Teknologi Pengawetan Pangan. PT. Rineka Cipta. Jakarta.
Sumanto, M.A., 1994. Pengetahuan Bahan untuk Mesin dan Listrik. Penerbit AndiOffset, Yogyakarta.
Susanto, F.X., 1994. Tanaman Kakao Budidaya dan Pengolahan Hasil. Kanisius. Yogyakarta.
Taib, G., Said, G. Dan Wiraatmadja, S., 1988. Operasi Pengeringan Pada Pengolahan Hasil Pertanian, P. T. Mediatama Sarana Perkasa, Jakarta.
Wahyudi, T., T.R. Panggabean dan Pujiyanto. 2013. Panduan Lengkap Kakao. Penebar Swadaya. Jakarta.
Lampiran 1. Flow Chart Pelaksanaan Penelitian
Dihidupkan alat pengering kabinet; suhu pengeringan diatur sesuai perlakuan yang ditentukan
Selesai
Dikeluarkan biji kakao dari alat pengering kabinet
Dilakukan pengujian parameter (kadar air, kadar lemak, organoleptik aroma dan warna
Disangrai lalu dihaluskan biji kakao menjadi bubuk Dioperasikan alat selama 7 jam
Dimasukkan nampan pada alat pengering kabinet Disusun biji kakao pada nampan
35
Lampiran 2. Data pengamatan kadar air
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
T1 5,91 6,0 6,10 18,10 6,0
T2 3,8 2,73 2,87 9,4 3,13
T3 2,49 1,27 2,54 6,3 2,1
Total 12,2 10 11,51 33,8
Rataan 4,06 3,33 3,83 3,74
Analisis sidik ragam kadar air
SK DB JK KT F Hitung F0,05 F0,01
Perlakuan 2 24,540 12,270 42.577 ** 5,14 10,92
Galat 6 1,729 0,288
TOTAL 8 26,269
Ket : tn = tidak nyata * = nyata
Lampiran 3. Data pengamatan kadar lemak
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
T1 37,41 37,5 36,51 111,42 37,14
T2 31,48 38,15 45,97 115,6 38,53
T3 57,24 50,86 44,22 152,32 50,77
Total 126,13 126,51 126,7 379,34
Rataan 42,04 42,17 42,23 42,14
Analisis sidik ragam kadar lemak
SK DB JK KT F Hitung F0,05 F0,01
Perlakuan 2 337,699 168,849 5,319 * 5,14 10,92 Galat 6 190,447 31,741
TOTAL 528,146
Ket : tn = tidak nyata * = nyata
37
Lampiran 4. Data pengamatan organoleptik aroma
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
T1 3,2 3,5 1,8 8,5 2,83
T2 1,5 1,8 1,4 4,7 1,57
T3 2,1 1,4 1,7 5,2 1,73
Total 6,8 6,7 4,9 18,4
Rataan 2,27 2,23 1,63 2,04
Analisis sidik ragam organoleptik aroma
SK DB JK KT F Hitung F0,05 F0,01
Perlakuan 2 2,84 1,42 4,31 tn 5,14 10,92
Galat 6 1,98 0,33
TOTAL 8 4,82
Ket : tn = tidak nyata * = nyata
Lampiran 5. Data pengamatan organoleptik warna
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
T1 3 3 2,9 8,9 2,97
T2 3,2 2,8 2,9 8,9 2,97
T3 2 2,2 1,7 5,9 1,97
Total 8,2 8 7,5 23,7
Rataan 2,73 2,67 2,5 2,63
Analisis sidik ragam warna
SK DB JK KT F Hitung F0,05 F0,01
Perlakuan 2 2 1 27,27 ** 5,14 10,92
Galat 6 0,22 0,04
TOTAL 8 2,22
Ket : tn = tidak nyata * = nyata
39
Kadar air =berat sampel awal−berat sampel kering oven
berat sampel awal x 100 %
= 2 g – 1,8818 g
2 g × 100 %
= 5,91 %
Ulangan 2
Kadar air =berat sampel awal−berat sampel kering oven
berat sampel awal x 100 %
= 2 g – 1,88 g
2 g × 100 %
= 6 %
Ulangan 3
Kadar air =berat sampel awal−berat sampel kering oven
berat sampel awal x 100 %
= 2 g – 1,8781 g
2 g × 100 %
• Kadar air pada suhu 60oC Ulangan 1
Kadar air =berat sampel awal−berat sampel kering oven
berat sampel awal x 100 %
= 2 g – 1,924 g
2 g × 100 %
= 3,8 %
Ulangan 2
Kadar air =berat sampel awal−berat sampel kering oven
berat sampel awal x 100 %
= 2 g – 1,9454 g
2 g × 100 %
= 2,73 %
Ulangan 3
Kadar air =berat sampel awal−berat sampel kering oven
berat sampel awal x 100 %
= 2 g – 1,9427 g
2 g × 100 %
= 2,87 %
• Kadar air pada suhu 65oC Ulangan 1
Kadar air =berat sampel awal−berat sampel kering oven
berat sampel awal x 100 %
= 2 g – 1,9502 g
2 g × 100 %
41
Ulangan 2
Kadar air =berat sampel awal−berat sampel kering oven
berat sampel awal x 100 %
= 2 g – 1,9747 g
2 g × 100 %
= 1,27 %
Ulangan 3
Kadar air =berat sampel awal−berat sampel kering oven
berat sampel awal x 100 %
= 2 g – 1,9493 g
2 g × 100 %
Kadar Lemak
Kadar lemak = berat lemak
berat sampel awalx 100 %
=0,7482 g
2 g x 100 %
= 37,41 %
Ulangan 2
Kadar lemak = berat lemak
berat sampel awalx 100 %
=0, 75g
2 g x 100 %
= 37,5 %
Ulangan 3
Kadar lemak = berat lemak
berat sampel awalx 100 %
=0,7301 g
2 g x 100 %
= 36,51 %
• Kadar lemak pada suhu 60oC Ulangan 1
Kadar lemak = berat lemak
43
=0, 6295 g
2 g x 100 %
= 31,48 %
Ulangan 2
Kadar lemak = berat lemak
berat sampel awalx 100 %
=0,7630 g
2 g x 100 %
= 38,15 %
Ulangan 3
Kadar lemak = berat lemak
berat sampel awalx 100 %
=0,9193 g
2 g x 100 %
= 45,97 %
• Kadar lemak pada suhu 65oC Ulangan 1
Kadar lemak = berat lemak
berat sampel awalx 100 %
=1,1447 g
2 g x 100 %
= 57,24 %
Ulangan 2
Kadar lemak = berat lemak
berat sampel awalx 100 %
=1,0172 g
2 g x 100 %
Ulangan 3
Kadar lemak = berat lemak
berat sampel awalx 100 %
=0,8845 g
2 g x 100 %
45
Lampiran 7. Gambar alat pengering
Alat pengering kabinet
Alat pengering sedang memuat biji kakao
Lampiran 8. Gambar komponen alat pengering kabinet
Blower
Regulator gas bertekanan tinggi
47
Kompor
Screen radiator
Lampiran 9. Gambar teknik alat
49
Lampiran 10. Gambar tampak penampang pemanas
Lampiran 11. Gambar tampak penampang rak
51
Lampiran 12. Gambar screen radiator
Lampiran 13. Gambar tampak samping lubang pengeluaran udara
53
Lampiran 14. Gambar Dokumentasi penelitian
Proses penyangraian biji kakao