• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kontekstualisasi sufisme dalam kemoderenan dan keindonesiaan : studi atas relevansi pemikiran sufisme nurcholish madjid di indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kontekstualisasi sufisme dalam kemoderenan dan keindonesiaan : studi atas relevansi pemikiran sufisme nurcholish madjid di indonesia"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

Jurusan Akidah Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I.)

Oleh

M. Leliyanto

NIM. 104033101057

PROGRAM STUDI AQIDAH-FILSAFAT

FAKULTAS USHULUDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

terselesaikan, meskipun kekurangan dan kesalahan tentunya masih menghiggapi

penulisan skripsi ini. Salawat dan salam senantiasa terlimpah kepada Nabi

Muhammad Saw., keluaraga, sahabat, serta para pengikutnya yang senantiasa

setia kepada ajarannya hingga akhir zaman.

Tidak dapat dipungkiri, bahwa dalam penyelesaian skripsi ini, penulis

banyak melibatkan banyak pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung,

ikut memberikan partisipasinya dalam penyusunan atau pun dalam pengumpulan

data yang dibutuhkan dalam skripsi ini. Untuk itu, sudah selayaknya penulis

memberikan penghargaan kepada semua pihak yang tulus telah memberikan

konstribusi, dengan ucapan terima kasih yang tak terhingga.

Sebagai pihak yang ditunjuk selaku pembimbing dan pengarah kepada

penulis, penghargaan dan ucapan terima kasih penulis haturkan kepada Bapak Dr.

Syamsuri, M.Ag., yang dengan tulus dan sabar membimbing dan memberikan

semangat dalam menyelesaikan skripsi ini. Selanjutnya Kepada pihak dekanat dan

jajarannya, penulis haturkan terima kasih khususnya kepada Bapak Prof. Dr.

Zainun Kamaluddin, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Fisafat, juga

kepada Bapak Drs. Agus Darmaji, M.Fils., selaku ketua jurusan Akidah Filsafat

beserta Ibu Dra. Tien Rahmatin, M.Ag., selaku sekretaris jurusan.

Segenap dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah

yang telah banyak berjasa memberikan motivasi serta bimbingan dalam

(3)

referensi berupa buku-buku karya Nurcholish Madjid kepada penulis, sehingga

penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.

Teman-teman di bangku perkuliahan kelas AF angkatan 2004 yang telah

memberikan dukungan dan informasi selama berdiskusi di kelas dan dalam

penyelesaian skripsi ini. Teman-teman Organsisasi Pemuda 16 (Gebang Raya),

dan teman spesial penulis Wiwin yang memberi penulis semangat baru dalam

menjalani kehidupan.

Rasa syukur dan bakti penulis haturkan kepada Ayahanda Uja bin Juki,

serta Ibunda tercinta Siti Maemunah yang tak henti-hentinya bekerja keras, sabar

dalam mendidik, penuh kasih sayang dalam mengasuh, dan ikhlas dalam berdo’a

yang senantiasa diperuntukkan kepada penulis. Terima kasih semuanya.

Akhirnya, dengan segala keterbatasan dan kekurangan, penulis menyadari

betul bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, sumbangsih

berupa saran dan kritik sangat penulis harapkan. Namun penulis berharap, semoga

dengan skripsi ini, sedikit banyak dapat memberikan manfaat dan konstribusi

yang positif khususnya bagi penulis dan umumnya bagi para pembaca. Amin.

Tangerang, 15 Maret 2010

Penulis,

M. Leliyanto

(4)

م

ب

= b = m

ن

ت

= t = n

و

ث

= ts = w

ه

ج

= j = h

ء

ح

=

h = ’

ي

خ

= kh = y

د

= d

ذ

= dz

ر

= r

ز

= z

ش

= sy

ص

= sh

ض

=

dl

ط

=

th

ظ

=

zh

ع

=

غ

=

gh

ف

=

f

ق

=

q

ك

=

k
(5)

=

î

iv

ْيا

= ay

ْوا

= aw

Ta Marbûthah ( )

dalam posisi di-mudlaf-kan = “t”

Contoh: rawdat al-jannah, wahdat al-wujûd

dalam posisi tidak di-mudlaf-kan = “h”

ة

ة

ة

(6)

KATA PENGANTAR ………... i

PEDOMAN TRANSLITERASI ………... iii

DAFTAR ISI ……….. v

BAB I PENDAHULUAN ………... 1

A. Latar Belakang Masalah ……….. 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ………... 7

C. Tinjauan Pustaka ………. 7

D. Tujuan Penulisan ………. 9

E. Metode Penelitian ………... 9

F. Sistematika Penulisan ……….. 10

BAB II BIOGRAFI INTELEKTUAL NURCHOLISH MADJID …… 12

A. Riwayat Hidup dan Pendidikan ……… 12

B. Corak Pemikiran dan Iklim Intelektual yang Mempengaruhinya15 C. Karier Kepnulisan dan Karya-karya ………. 21

BAB III SUFISME DALAM PANDANGAN NURCHOLISH MADJID 26 A. Makna dan Hakikat Sufisme serta Kedudukannya dalam Islam 26 B. Tradisi Awal Sufisme dan Perkembangannya ……….. 31

C. Tarekat dan Korelasinya dengan Sufisme ……… 38

D. Sufisme Baru ……… 43

(7)

vi

1. Makna Kemodernan ………. 50

2. Sufisme dan Kemodernan ……… 54

B. Sufisme dalam Konteks Keindonesiaan ……….. 60

1. Sufisme dan Kebudayaan Lokal ……… 60

2. Sufisme dan Kebhinekaan ………. 64

3. Sufisme dan Politik ……… 69

4. Sufisme dan Pendidikan Moral Bangsa ………... 75

5. Sufisme dan Dunia Usaha ………. 80

BAB V PENUTUP ……… 87

A. Kesimpulan ……… 88

B. Saran-Saran ……… 90

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Peradaban dunia kahir-akhir ini tengah menjalankan proyek modernisme dimana penekanan individualisme dan rasionalisme empirisme serta sikapnya yang sangat agresif terhadap kemajuan menjadi salah satu ciri masyarakatnya yang paling menonjol. Harus diakui bahwa modernisme telah memacu perkembangan msyarakat dalam bebagai bidang kehidupan. Namun pada saat yang sama, modernisme meggiring manusia memasuki masa-masa krisis bagi kualitas nilai kemanusiaannya. Hal ini ditandai dengan fenomena perilaku dan pola pikir manusia yang semakin menjauh dari eksistensi kemanusiaanya. Nilai-nilai kemanusiaa telah banyak diabdikan dan dikorbankan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Supremasi rasionalisme, empirisme, positivisme dan pragmatisme tampil dengan gagahnya di permukaan bumi ini, seraya dianggap telah berhasil menggeser dogmatisme agama.1

Dengan didorong oleh berbagai prestasi yang dicapai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, masyarakat modern berusaha mematahkan mitos kesakralan alam raya. Realitas alam raya yang oleh doktrin-doktrin agama selalu dikaitkan dengan selubung metafisika dan kebesaran Sang Pencipta, kini hanya dipahamai semata-mata sebagai benda otonom yang tidak ada kaitannya dengan

1

Nurcholish Madjid et. Al., Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern: Respon dan Transformasi Nilai-Nilai Islam Menuju Masyarakat Madani, (Jakarta: Mediacita, 2000), h. 97.

(9)

Tuhan.2 Akibatnya, kehidupan masyarakat modern menjadi kehilangan salah satu aspeknya yang paling fundamental yaitu aspek spiritual. Pada gilirannya, manusia lupa akan eksistensi dirinya sebagai ‘âbid (hamba) di hadapan Tuhan, karena mereka sudah terputus dari akar-akar spiritualitas. Ini merupakan fenomena yang menunjukkan betapa manusia modern spiritualitasnya begitu akut, yang mengakibatkan mereka cenderung tidak mampu menjawab berbagai persoalan hidupnya, kemudian terperangkap dalam “kehampaan spiritual”, atau yang dalam bahasa sosiolog disebut alienasi.3

Masalah alienasi adalah masalah kejiwaan dimana manusia mengalami keterasingan jiwa. Dalam konteks ajaran Islam, untuk mengatasi keterasingan jiwa manusia dan sekaligus membebaskannya dari derita aliensi, jusru dengan menjadikan Tuhan sebagai tujuan akhirnya (ultimate goal), karena Tuhan Maha Wujud (omnipresent) dan Maha Absolut. Segala eksistensi yang relatif dan nisbi akan tidak berarti di hadapan eksistensi Yang Absolut. Keyakinan dan perasaan inilah yang akan memberikan kekuatan, kendali, dan kedamaian jiwa seseorang sehingga yang bersangkutan merasa senantiasa berada dalam “orbit” Tuhan, yang selalu menjadi pegangan hakiki.4 Dengan kata lain, manusia tidak bisa dipahami tanpa ketergantungan dengan Tuhan sekaligus keterkaitan dengan manusia lain baik secara individual maupun komunal. Pemahaman seperti ini sesungguhnya berada dalam wacana spritualitas dan dalam khazanah intelektual Islam yang biasa disebut “tasawuf” atau “sufisme”.

2

Nurcholish et. Al., Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern: h. 99. 3

M. Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), h. 3.

4

(10)

Tasawuf, sebagai aspek mistisisme dalam Islam, pada intinya adalah kesadaran akan adanya hubungan komunikasi manusia dengan Tuhannya, yang selanjutnya mengambil bentuk rasa dekat (qurb) dengan Tuhan.5 Selanjutnya tasawuf atau sufisme menjadi salah satu khazanah Islam yang menarik perhatian kaum intelkutaual baik di Timur maupun di Barat. Doktrin-doktrin sufisme terus merembes – terlepas dari beberapa golongan dari tradisi keilmuan Islam yang menolak doktrin tasawuf6 – ke dalam ranah intelektual para pemikir besar Islam.

Dalam pada itu, sekalipun sufisme berkembang dan dapat bertahan hingga berabad-abad, namun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam perkembangannya, terdapat pula pergeseran dalam ajaran-ajaranya. Karena dalam masa perkembangannya tasawuf menerima, atau barangkali lebih tepat memasukkan unsur-unsur dari luar. Hal ini terjadi karena adanya kontak antara kaum Muslim dengan bangsa-bangsa taklukannya di Syiria dan Persia yang dalam beberapa hal, khususnya di bidang filsafat lebih dulu maju daripada kaum Muslim sendiri.7 Namun demikian, Kenyataannya sufisme terus berkembang pesat dan masih tetap hidup selama berabad-abad hingga mencapai kepulauan Indonesia.

Kehadiran ajaran tasawuf berikut lembaga-lembaga tarekatnya di Indonesia, sama tuanya dengan kehadiran Islam itu sendiri sebagai agama yang masuk di kawasan ini. Sufisme secara langung terlibat dalam penyebaran Islam di

5

Harun Nasutian, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, jilid II, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 71.

6

Dalam perkembangannya, terdapat hubungan yang senantiasa tidak harmonis antara tasawuf dengan kedua cabang ilmu-ilmu keislaman lainnya, yaitu ilmu kalam dan ilmu fiqh atau syari’ah. Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina,1997), h. 47.

7

(11)

Indonesia.8 Aktivitas para pendakwah sufi bertindak sebagai motor dalam penyebaran Islam hingga akhirnya sufisme tersebar di berbagai kepulauan Indonesia. Tasawuf memainkan peranan besar dan menentukan dalam membentuk pandangan religius, spiritual, dan intelektual di Kepulauan Indonesia. Bukan hanya dalam proses islamisasi semata, tasawuf juga menunjukkan peranannya yang cukup signifikan dalam pergerakan perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.9

Namun demikian, perlu diingat bahwa Islam bukanlah agama pertama yang masuk di Indonesia. Pra-Islam, Indonesia telah memiliki “agama asli”10 yakni berupa konsep-konsep keruhanian dalam masyarakat suku yang secara internal tumbuh, berkembanga dan mencapai kesempurnaannya sendiri tanpa imitasi atau pengaruh eksternal. Selanjutnya, agama yang kemudian dianut orang-orang Indonesia adalah Hindu-Budha yang dibawa oleh para pedagang India.11 Jadi, sebelum Islam datang, Indonesia telah memiliki tradisi dan kebudayaan lokal yang sudah melekat dalam keyakinan mereka, yakni tradisi dan kebudayaan agama asli serta Hindu-Budha. Kebudayaan lokal inilah yang nantinya akan berdampingan dan berkolaborasi dengan ajaran-ajaran Islam [baca:sufisme].

8

Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia,

(Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2007), h. 252. 9

Ajid Thohir, Gerakan Politik Kaum Tarekat; Telaah Histori Gerakan Politik Antikolonialisme Tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah di Pulau Jawa, (Bandung:Pustaka Hidayah, 2002), h. 27.

10

Agama asli tersebut tidak jauh berbeda dengan agama-agama berhala yang melakukan pemujaan atas dasar pandangan bersahaja terhadap fenomena-fenomena alam. Mereka mempercayai adanya Ruh Tuhan yang mengalir dalam setiap makhluk. Kekuatan tubuh sesuai dengan kapasitas Ruh Tuhan yang mengalir di dalamnya sehingga di antara mereka ada yang memuja dan mengultuskan leluhur atas dasar keyakinan bahwa ruh leluhur lebih kuat daripada ruh mereka sendiri. Bahkan ada yang menyembah binatang buas. Alwi Shihab, Islam Sufistik: Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia, (Bandung: Mizan, 2001), h. 2.

11

(12)

Sufisme hadir dalam bentuk yang menarik terutama dengan menekankan kontinuitas daripada perubahan dalam kepercayaan dan praktik tradisi keagamaan lokal. Karenanya, model Islam yang tersebar di kawasan ini selama periode awal Islam di Indonesia adalah model sufisme-sinkretis yang dalam beberapa hal tidak sesuai dengan ajaran syariah.12 Hal inilah yang nantinya menjadi sasaran kritik tokoh-tokoh intelektual Muslim modernis.

Terkait dengan hal tersebut dan dalam konteks itu pula, Nurcholish Madjid merupakan salah satu tokoh intelektual muslim modernis yang patut diperhitungkan pemikirannya. Beliau menaruh perhatian yang cukup tinggi dan memiliki pandangan tersendiri mengenai konsep tasawuf serta memiliki pandangan positif terhadap ajaran tasawuf (sufisme) di tengah-tengah habitat modernitas. Nurcholish Madjid menganggap bahwa tasawuf – yang merupakan inti keagamaan (religiusitas) yang bersifat esoteris – masih, dan akan tetap relevan dalam konteks kemodernan dan keindonesiaan.

Menurut Nurcholish Madjid kita harus lebih mencermati dan memahami dengan seksama konsep ajaran dan tradisi-tradisi sufisme sehingga tidak terjadi penyelewengan dari ajaran Al-Quran dan hadis. Sufisme tidak harus terkungkung dalam teks-teks kuno yang diwariskan oleh tokoh-tokoh sufi terdahulu. Kerena sufisme tradisional – seiring dengan perkembangannya – dalam beberapa hal banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur asing.13 Oleh karena itu, sufisme perlu dipahami secara kontekstual, namun tetap terjaga kemurniannya. Dalam pada itu, sebagai bentuk pembaruan konsep ajaran sufisme tradisional, Nurcholish Madjid

12

Huda, Islam Nusantara, h. 253. 13

(13)

menawarkan sebuah konsep sufisme baru atau yang biasa disebut dengan “neo-sufisme”.14

Relevansi tasawuf dalam kehidupan manusia modern diungkapkan oleh Nurcholish Madjid, misalnya, dalam sebuah pengantar pada Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, karya M. Solihin. Nurcholish Madjid (dalam buku itu) menegaskan betapa pentingnya tasawuf dalam dimensi kehidupan mayarakat Indonesia-modern karena tasawuf dapat mewarnai segala aktivitas baik yang berdimensi sosial, politik, ekonomi maupun kebudayaan bangsa ini. Ia bisa diamalkan oleh setiap Muslim, dari lapisan sosial mana pun dan di tempat mana pun.15

Dengan demikian, penulis tertarik untuk mengkaji lebih mendalam dan melakukan penelitian lebih lanjut tentang pandangan sufisme Nurcholish Madjid ini. Dalam pada itu, sesunggunya konsep sufisme yang ditawarkan Nurcholish Madjid ini sangatlah relevan bila dikaitkan dalam konteks kemodernan dan keindonesiaan mengingat masyarakat Indonesia saat ini telah terkungkung dalam pola hidup modern, dimana manusia menjadi serba dilayani perangkat teknologi yang serba otomatis dan canggih, yang pada gilirannya akan membuat manusia lengah dan tidak menyadari bahwa dimensi spiritualnya terdistorsi. Akibatnya, manusia lupa eksistensi dirinya sebagai ‘âbid (hamba) di hadapan Tuhan. Demikianlah yang mejadi latar belakang masalah penulisan skripsi ini dengan

14

Istilah neo-sufisme berasal dari Fazlur Rahman, seorang pengkaji Ibn Taimîyah yang sangat bergairah. Neo-sufisme yang dia maksud adalah suatu paham kesufian yang tidak terlalu banyak terkungkung oleh sufisme tradisonal (poluler). Budhy Munawar Rachman, Ahmad Gaus AF, et.all. (e.d), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, (Bandung: Mizan, 2006), h. 3311.

15

(14)

judul “Kontekstualisasi Sufisme dalam Kemodernan dan Keindonesiaan (Studi atas Relevansi Pemikiran Sufisme Nurcholish Madjid di Indonesia)”.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Dalam penulisan skripsi ini agar tidak terjadi kerancuan dan pembahasan yang melebar, penulis tidak membahas seluruh aspek pemikiran Nurcholish Madjid, namun dibatasi hanya seputar pandangan sufisme, yang menurut anggapan penulis mempunyai relevansi yang cukup signifikan dalam konteks kemodernan dan keindonesiaan.

Setelah membatasi permasalahan penulis merumuskan masalah dalam skripsi ini, rumusannya adalah pertama, bagaimana pandangan Nurcholish Madjid tentang sufisme? Kedua, bagaimana memahami konsep sufisme secara kontekstual sehingga terlihat relevansi yang cukup signifikan dalam konteks kemodernan dan keindonesiaan menurut Nurcholish Madjid?

C. Tinjauan Pustaka

(15)

Untuk menunjukkan asumsi tersebut, maka di sini penulis akan menguraikan beberapa karya tulis, yang penulis anggap sudah cukup mewakili karya-karya tulis lainnya. Pertama, buku yang ditulis oleh Sudirman Tebba dengan judul Orientasi Sufistik Cak Nur: Komitmen Moral Seorang Guru Bangsa

(Jakarta: Paramadina, 2004). Dalam buku tersebut dibahas secara gamblang sisi religiusitas Nurcholish Madjid, dimana iman dan tauhid merupakan dasar dari pandangan dan sikap sufistik Nurcholish Madjid. Kedua, tulisan Mahmud Afifi dengan judul Teologi Islam Agama-Agama: Analisa Kritis Pemikiran Nurcholish Madjid (tesis, UIN Jakarta, 2003). Dalam penelitiannya, Mahmud Afifi ingin melihat sejauh mana keabsahan pandangan teologi Nurcholish Madjid tentang agama-agama (yang benar), dilihat dari kacamata doktirn Islam (Al-Quran) serta relevansi dalam konteks saat ini. Ketiga, karya Anwar Sodik Tauhid dan Nilai-nilai Kemanusiaan dalam Pandangan Nurcholish Madjid (skripsi, UIN Jakarta, 2008). Tidak jauh berbeda dengan pembahasan sebelumnya, Anwar Sodik pun ingin mengangkat sisi religiusitas Nurcholish Madjid. Dalam penelitiannya, Anwar Sodik menilai bahwa konsep tauhid Nurcholish Madjid sarat dengan dimensi nilai-nilai kemanusian.

(16)

menguji kebenaran hipotesis tersebut. Maka, masih terbuka lebar bagi penulis untuk melakukan penelitan (skripsi) ini, di samping juga belum ada yang meneliti sebelumnya sebagaimana telah penulis kemukakan di atas.

D. Tujuan Penulisan

1. Tujuan untuk melengkapi tugas akademi, sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Strata satu (S1) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Mengetahui secara jelas pemahaman Nurcholish Madjid tentang sufisme dan relevansinya dalam konteks kemodernan dan keindonesiaan.

E. Metode Penelitian

Dalam upaya memaparkan penelitian ini, penulis menggunakan metode

(17)

Adapun pendekatan metodologi penelitan ini besifat deskriptif dan analisis kritis. Pendekatan deskriptif ini mengandaikan sebuah uraian yang cermat dan objektif berdasarkan beberapa sumber yang digunakan. Artinya, penelitian ini ingin mengungkapkan pemikiran sufisme yang memiliki relevansi dengan konteks kemodernan dan keindonesiaan semata-mata apa adanya (objektif). Sedangkan pendekatan analisis kritis adalah menganalisa serta menilai scara kritis keseluruhan data yang telah diperoleh melalui pendekatan deskriptif tersebut, sehingga dapat terungkap akan kekuatan dan begitu pula kelemahan dari konsep sufisme Nurcholish Madjid.

Terakhir berkaitan dengan teknik penulisan, penulis merujuk pada buku

Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan oleh Ceqda Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Cetakan I, 2007.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh gamabaran yang jelas tentang apa yang menjadi topik kajian dalam skripsi ini, maka penulis merasa perlu untuk memaparkan sistematika penulisannya.

Bab I, menjelaskan latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tinjauan pustaka, tujuan penulisan, metode penelitan, dan sistematika penulisan.

(18)

Bab III, memaparkan tentang pandangan Nurcholish Madjid tentang sufisme secara umum. Bab ini meliputi: makna dan hakikat sufisme serta kedudukannya dalam Islam, tradisi awal sufisme dan perkembangannya, Tarekat dan Korelasinya dengan sufisme, kemudian Sufisme Baru.

Bab IV, menjelaskan pandangan Nurcholish Madjid tentang kontekstualisasi sufisme dalam kemodernan dan keindonesaan. Bab ini meliputi:

Pertama, sufisme dalam konteks kemodernan, di dalamnya mencakup makna kemodernan, serta kedudukan tasawuf dalam kemodernan. Kedua, sufisme dalam konteks keindonesiaan, mencakup relevansi sufisme dan kebudayaan lokal, sufisme dan kebhinnekaan, sufisme dan politik, sufisme dan pendidikan, serta sufisme dan dunia usaha.

(19)

BAB II

BIOGRAFI INTELEKTUAL NURCHOLISH MADJID

A. Riwayat Hidup dan Pendidikan

Nurcholish Madjid (yang populer dipanggil Cak Nur) – selanjutnya dalam tulisan ini akan disebut Nurcholish – adalah seorang cendikiawan muslim yang merupakan ikon pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Ia dilahirkan pada 17 Maret 1939, bertepatan dengan 26 Muharam 1358 H. di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur.1 Ia dibesarkan dari latar keluarga pesantren. Ayahnya (Abdul Madjid), seorang kiai jebolan Pesantren Tebuireng, Jombang, yang didirikan dan dipimpin oleh pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Hadratus Syaikh Hasyim Asy‘ari.2 Meskipun ayahnya berlatar belakang pendidikan NU, namun dalam segi politik, ayahnya, begitu pula ibunya adalah tokoh pendukung MASYUMI yang tulus.

Nurcholish, pertama kali mendapatkan pelajaran agama lewat ayah dan ibunya serta di madrasah yang didirikan oleh keluarganya pada 1948. Selain itu, ia juga mengikuti Sekolah Rakyat (SR) di kampungnya.3 Setelah tamat Sekolah Rakyat, Kemudian melanjutkan pendidikannya (tingkat menengah SMP) di pesantren Dârul ‘Ulûm, Rejoso, Jombang selama dua tahun,4 dan kemudian

1

Budhy Munawar Rachman, Ahmad Gaus AF, et.all. (e.d), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, (Bandung: mizan, 2006), h. iv.

2

Dedy Djamaludin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam: Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amin Rais, Nurcholish Madjid, dan Jalaluddin Rakhmat,

(Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), h. 121. 3

Dedy, Zaman Baru Islam, h. 122. 4

Ada dua alasan, yang menurut Nurcholish Madjid, mengapa ia hanya bertahan selama dua tahun nyantri di Rejoso. Pertama, karena alasan kesehatan, dan kedua, karena alasan ideologi atau politik. Dedy, Zaman Baru Islam, 123.

(20)

akhirnya ia pindah ke pesantren KMI (Kulliyatul Mu‘allimîn Al-Islâmiyyah), Pesntren Dâr al-Salâm di Gontor, Ponorogo.5

Pondok “modern” Gontor dimana Madjid mengenyam pendidikan Islam tingkat SLTP/SLTA, adalah pondok pesantren yang berkecenderungan “modernis”.6 Di tempat inilah Nurcholish mendapatkan pengetahuan lebih mendalam tentang dasar-dasar agama Islam, serta pelajaran untuk berpikir kritis, tidak memihak pada salah satu mazhab secara fanatik.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di Pesantren Gontor, Nurcholish melanjutkan pendidikannya di IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.7 Di masa inilah Nurcholish berjodoh dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), organisasi yang dibesarkan dan sekaligus membesarkannya. Setiap jenjang organisasi dilaluinya dengan penuh semangat. Karirnya di HMI dimulai dari komisariat, lalu menjadi Katua Umum HMI Cabang Jakarta, hingga akhirnya berhasil menjadi Katua Umum PB-HMI selama dua periode berturut-turut, yakni pada 1966-1968 dan 1968-1970.8 Dalam masa itu pula, ia menjadi presiden pertama PEMIAT (Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara), dan Wakil Sekjen IIFSO (International Islamic Federation of Students Organizations), 1969-1971.9

5

Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. iv. 6

Disebut “modernis” karma pendidikan di pesantren Gontor berbeda dengan pesantren “tradisional”. Pembeda dari pondok-pondok yang “tradisional”, adalah di Gontor, kitab-kitab kuning yang dikaji sudah bersifat majemuk. Hal ini menjadi pembeda, karena di pesantren “tradisional”, kitab kuning tertentu saja yang dikaji. Jadi, ada tradisi dan sikap untuk kaji banding yang mengisyaratkan adanya peluang luas menumbuhkan sikap dan cara pikir “ijtihad”, yang bersifat sintesis, yang memunculkan asumsi bahwa pendapat masa lampau ditempatkan secara non-mutlak. Muhammad Hari Zamharir, Agama dan Negara: Analisis Kritis Pemikiran Politik Nurcholish Madjid, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), h. 96.

7

Zamharir, Agama dan Negara, h. 101. 8

Dedy, Zaman Baru Islam, h. 125. 9

(21)

Masih dalam dunia akademik, pada tahun 1978 Nurcholish pergi ke Amerika untuk mendalami ilmu politik dan filsafat Islam di Universitas Chicago, Kemudian pada tahun 1984 ia kembali ke Indonesia10 dengan meraih gelar Ph.D. dalam bidang filsafat Islam dengan disertasi mengenai filsafat dan kalam (teologi) menurut Ibn Taimiyah (Ibn Taymiya on Kalam and Falsafah: Problem of Reason and Revelatiaon in Islam).11

Intelektualitas Nurcholish tidak dapat diragukan, dan eksistensinya dalam ranah pemikiran Islam bersinar hingga taraf internasional sejak tahun 1970-an. Tahun 1977, ia menjadi sarjana tamu dan pembicara pada konferensi tahunan MESA (Middle East Studies Association) di San Fransisco, AS. Juga masih dalam posisi dan peran yang sama, pada AAR (American Academy or Religion).12 Pada tingkat nasional, Nurcholish mulai berkiprah tahun 1980-an, antara lain dengan ditandai oleh kedudukannya sebagai: (1) anggota Dewan Pers (1991-1997); (2) Anggota Komnas HAM (1993-1998); (3) Anggota Dewan Riset Nasional (1994-1998); dan (4) Anggota Dewan Penasihat Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), 1995-1998. Pada tahun 1998, Nurcholish dikukuhkan sebagai Guru Besar Luar Biasa dalam bidang Falsafah dan Kalam pada Fakultas Ushuluddin, IAIN (kini UIN) Jakarta.13

Gagasan Nurcholish terus berkembang, khususnya setelah ia bersama tokoh-tokoh pembaru Islam yang lain mendirikan Yayasan Wakaf Paramadina

10

Ketika Nurcholish Madjid pulang dari Amerika pada 1984, lebih dari 100 orang menyambutnya di Pelabuhan Udara Internasional Halim Perdana Kusuma, Jakarta. http:/www.kampusislam.com/index?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=426, artikel diakses tanggal 4 November 2009.

11

Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. vi. 12

Zamharir, Agama dan Negara, h. 102. 13

(22)

pada Oktober 1986.14 Sejak Paramadina didirikan, aktivitas dakwah dan menulisnya dalam bidang keislaman pun semakin menjadi, hingga akhirnya, ikon pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia ini, menghembuskan nafas terakhir dengan wajah damai setelah melafalkan nama Allah pada Senin 29 Agustus 2005 pukul 14.05 WIB di Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI), Jakarta Selatan.15 Beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta, 30 Agustus 2005, dengan upacara militer dipimpin oleh Ketua MPR-RI, Dr. Hidayat Nurwahid, MA.16

B. Corak Pemikiran dan Iklim Intelektual yang Mempengaruhinya

Jika kita kategorikan pemikiran Islam di Indonesia kepada dua golongan, yakni Islam tradisional dan Islam modern, maka Nurcholish adalah sosok pemikir Islam yang berada pada keduanya sekaligus. Karena dilihat dari lingkungan keluarga, ia berasal dari keluarga – dimana untuk pertama kalinya ia mendapatkan pelajaran agama – yang berkultur keagamaan NU. Dalam hal ini ia menulis:

“…….bolehlah dikatakan bahwa saya ini adalah seorang (dengan kultur) NU, meskipun bukan anggota NU! Sebab sampai dengan sekitar umur 15 tahun, kegiatan utama saya adalah mempelajari kitab-kitab kuning……”.17

Namun, ditinjau dari dari jenjang pendidikan, ia banyak mengenyam pengetahuan tentang Islam modern, mulai dari pesantren Gontor, IAIN (sekarang UIN) Jakarta, dan Universitas Chicago. Karier intelektualnya, sebagai pemikir

14

Dedy, Zaman Baru Islam, h. 137. 15

Nurcholish Madjid meninggal akibat penyakit hati yang dideritanya. http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/n/nurcholish-madjid/biografi/index.html, artikel diakses tanggal 4 November 2009.

16

Marwan Saridjo, Cak Nur di antara Sarung dan Dasi dan Musdah Mulia Tetap Berjilbab, (Jakarta: Penamadani, 2005), h. 62.

17

(23)

Muslim, dimulai ketika ia menjadi mahasiswa UIN Jakarta, khususnya ketika menjadi Ketua Umum PB-HMI (Himpunan Mahasiswa Islam).18 Dalam masa inilah Nurcholish membangun citra dirinya sebagai seorang pemikir muda Islam.

Bahkan karena karya-karya ilmiahnya di masa ini – dan terutama bakat intelektualnya yang luar biasa, dan pemikirannya yang berkecenderungan modern, tetapi sekaligus sosialis religius – ia pun oleh generasi Masyumi yang lebih tua, sangat diharapkan dapat menjadi pemimpin Islam di masa mendatang, menggantikan Mohamad Natsir, sehingga di masa ini ia pun dikenal sebagai “Natsir Muda”, sampai saatnya pada 1970, mereka, dolongan tua, kecewa akibat makalah Nurcholish yang mempromosikan paham sekularisasi.19

Intelektualitas Nurcholish semakin terbentuk ketika ia belajar di Universitas Chicago, dimana ia secara leluasa bisa berjumpa dengan kepustakaan Islam klasik abad pertengahan yang bergitu luas dan kaya langsung di bawah bimbingan ilmuwan neo-Modernis asal Pakistan Prof. Fazlur Rahman. Fazlur Rahman barangkali bisa disebut sebagai “guru utama” yang penting dalam pematangan intelektual Nurcholish Madjid. 20

Selain kepada Fazlur Rahman, ia tentu saja mengagumi orang-orang yang paling dekat dalam kehidupannya. Mereka, diantaranya adalah ayahnya sendiri, pamannya,21 dan beberapa pejuang nasional yang kapasitas kecendikiaan dan komitmen keislamannya cukup kuat seperti K.H. Agus Salim dan Bung Hatta.

18

Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. vi. 19

Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. ix. 20

Dedy, Zaman Baru Islam, h. 128. 21

(24)

Namun demikian, di antara sekian banyak tokoh yang mempengaruhi pemikirannya, Nurcholish rupanya merasa berhutang budi kepada almarhum Buya Hamka. Lebih dari itu, “…Beliau (Hamka) adalah tempat saya berdiskusi dan menyelsaikan problem pribadi…” tulis Nurcholish.22

Dari berbagai unsur-unsur di atas, teramu sosok intelektual muslim Indonesia yang – acap kali menemukakan gagasan – konteoversial,23 yakni Nurcholish Madjid. Pola pemikiran keagamaannya dapat dilacak sejak pembaruannya melalui ide “Islam yes, partai Islam no.” Kemudian dilanjutakan dengan ide tentang sekularisasi, yang kemudian disalah pahami kebanyakan orang kerena disamakan begitu saja dengan sekularisme.24

Dalam pada itu, Nurcholish menegaskan bahwa terdapat konsistensi antara sekularisasi dan rasionalisasi. Sebab, inti sekularisasi ialah: pecahkan dan pahami masalah-masalah duniawi ini dengan mengerahkan kecerdasan atau rasio. Kemudian, terdapat pula konsistensi antara rasionalisasi dan desakralisasi. Sebab, pendekatan rasional kepada seuatu benda atau masalah yang telah menjadi sakral,

22

Nurcholish Madjid sangat berterimakasih kepada Hamka karena tradisi menulisnya semakin berkembang tatkala ia bertempat tinggal di Masjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta. Sebuah bilik di masjid tersebut yang sengaja disediakan Hamka untuk tempat tinggal perantau muda ini. Dedy, Zaman Baru Islam, 129.

23

Setidaknya, terdapat dua buah buku sengaja ditulis untuk membantah dan mengoreksi pendapat Nurcholish Madjid yang membuat kontroversi ini semakin menghangatkan iklim intelektual Islam Indonesia. Pertama, yang ditulis Rasjidi, Sekularisme dalam Persoalan Lagi: Suatu Koreksi atas Tulisan Drs. Nurcholish Madjid, (Jakarta: Yayasan Bangkit, 1972) dan Suatu Koreksi Lagi Bagi Drs. Nurcholish Madjid, (Jakarta: DDII, 1973), semuanya kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku oleh Bulan Bintang; kedua, yang ditulis oleh Endang Saefudin Anshari,

Kritik atas Paham dan Gerakan Pembaruan Drs. Nurcholish Madjid, (Bandung: Bulan Bintang, 1973), yang merupakan kritik paling panjang dari rekan segenerasi Nurcholish Madjid. Budhy,

Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. xxvii. 24

(25)

tabu, dan lain-lain menjadi tidak mungkin. Sebelum kita mengadakan pemecahan dan pemahaman rasional atas sesuatu, maka sesuatu tersebut harus bebas dari bungkus ketabuan dan kesakralan. Maka dalam hal ini, untuk kembali kepada prisip tauhid dalam kalimat syahadat, orang harus mantap untuk tidak men-tabu-kan sesuatu. Tuhan-lah yang tabu, dan karenanya tak mungkin dimengerti oleh manusia dengan rasionya itu. Artinya, dengan bertitik tolak dari syahadat itu, manusia dapat memecahkan masalah-masalah kehidupannya dengan mempertaruhkan kemampuan potensial yang ada pada dirinya sendiri, yaitu kecerdasan.25

Bedasarkan gambaran di atas, jelas corak pemikiran Nurcholish berada pada psosisi seimbang dalam menilai tradisi dan modernitas. Oleh karena itu, Nurcholish juga dikenal sebagai tokoh neo-modernisme Islam Indonesia.26 Ia mencoba untuk mengkombinasikan dua unsur penting dalam peradaban Islam Indonesia: moderinisme dan tradisionalisme. Nurcholish menganggap bahwa Kehadiran modernisme memang tidak mungkin dihindari. Tetapi, dengan mengakomodasikan ide-ide modernisme tersebut tidak berarti bahwa tradisionalisme harus dibuang. Dalam neo-modernisme, kedua ide yang berbeda ini dapat dipertemukan dalam satu sintesis. Neo-Modernisme jauh lebih siap untuk menerima ide-ide paling maju yang dikembangkan kalangan modernis, dan, pada saat yang sama, juga bisa mengakomodasi pandangan kaum tradisionalis.27

25

Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, h. 229. 26

Lihat, misalnya, Ahmad Amir Aziz, Neo-Modernisme Islam di Indonesia: Gagasan Sentral Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid, (Jakarta: Rineka, 1999), h.22.

27

(26)

Dalam potret demikian, ia merumuskan apa yang harus dibangun oleh ide pembaruan Islam, yaitu usaha penyegaran pemahaman. Jadi, inti makna pembaruan adalah up dating pemahaman orang atas ajaran agamanya dan cara mewujudkan ajaran itu dalam masyarakat. Sedangkan tujuan pembaruan itu sendiri adalah untuk membuat agama yang diyakini itu lebih fungsional dalam memberi jawaban terhadap tantangan modern.

Selanjutnya, corak pemikiran Nurcholish pada masa belakangan ini lebih mengarah ke usaha menampilkan Islam secara inklusif, dalam rangka untuk lebih mengaktualkan nilai-nilai keislaman masa meodern. Ciri mendasar teologi inklusif adalah penegasan bahwa Islam itu agama terbuka, dan penolakan ekslusifisme dan absolutisme. Paradigma terpenting dari teologi inklusif adalah komitmen pada pluralisme. Dengan pluralisme, kita ingin menumbuhkan suatu sikap kejiwaan yang melihat adanya kemungkinan orang lain itu benar. Ini penting sekali (menurut Nurcholish) dalam agama kita. Ketika dalam agama disebutkan bahwa manusia itu diciptakan dalam keadaan fitrah (suci, sacred), maka setiap orang pada dasarnya suci dan benar. Potensi untuk benar adalah primer. Inklusivisme, dengan demikian adalah suatu kemanusiaan universal yang dalam Al-Qur’ân, surat ar-Rûm, ayat 30,28 disebutkan sebagai agama yang benar.29

Jikalau ini kita jadikan dasar, maka inklusivisme akan menjadi suatu konsekuensi logis. Karena logika dari kemanusiaan universal adalah inklusivisme itu sendiri. Juga termasuk di sini adalah pluralisme. Dunia ini, sebetulnya, secara

28

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. al-Rûm:30).

29

(27)

sejati mengalami mayarakat yang pluralistik. Atau yang pluralis dalam arti menerima plurlitas sebagai satu kenyataan positif.30

Dari sini kita bisa melihat misi Madjid yang mengupayakan penghadiran Islam dan memberi isi, serta peranannya di tengah masyarakat yang sedang berubah. Maksudnya mengadirkan Islam dalam tuntutan kemodernan. Dengan kata lain, gerakan Madjid, terutama ialah mendorong kepada tegaknya subtansi Islam. Sementara tokoh-tokoh Islam yang lain banyak yang sibuk membicarakan wadah gerakan Islam, seperti Negara Islam, partai Islam, syariat Islam, dan institusi-institusi lain yang diharapkan dapat membawa kepada kemajuan Islam. Sementara Nurcholish lebih mengedepankan substansi daripada wadah atau kulit. Itulah sebabnya selama ini ia sering melontarkan pernyataan yang terkesan kontroversial dan mengagetkan orang, terutama orang yang sibuk mengurus wadah dari pada substansi.

Mengembangkan substansi adalah cara berpikir tasawuf. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Nurcholish bahwa tasawuf sangat banyak menekankan pentinganya pengahayatan ketuhanan melaui pengalaman-pengalaman nyata dalam olah rohani (spiritual exercise) yang mengutamakan intuisi.31 Jadi, tasawuf merupakan orientasi keagamaan yang lebih esoteris.32

Cara berpikir tasawuf bersifat utuh dan padu, di mana iman, ibadah, amal saleh, dan akhlak yang mulia itu merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan

30

Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, h. xiv. 31

Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina,1997), h. 47.

32

(28)

satu sama lain. Keterpaduan dan keutuhan pemikiran itu akan melahirkan kekuatan untuk membangun umat dan peradaban manusia umumnya.

C. Karier Kepenulisan dan Karya-karya

Sebagaimana yang telah disinggung di atas, karier intelektual Nurcholish sebagai pemikir muslim dimulai pada masa di IAIN Jakarta, khususnya ketika menjadi Ketua Umum PB-HMI. Namun demikian, Nurcholish tidak menonjol di lapangan sebagai demonstran. Bahkan namanya juga tidak berkibar di lingkungan politik sebagai pengurus Komite Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), kumpulan mahasiswa yang dianggap berperan menumbangakan Presiden Soekarno dan mendudukkan Mayor Jenderal Soeharto sebagai penggantinya. Prestasi Nurcholish lebih terukir di pentas pemikiran.33

Pada masa ini (1968) ia menulis “Modernisasi ialah Rasionalisasi, Bukan Westernisasi”, sebuah karangan yang dibicarakan di kalangan HMI seluruh Indonesia. Setahun kemudian, 1969, ia menulis sebuah buku pendoman ideologis HMI, yang disebut “Nilai-nilai Dasar Perjuangan” (NDP) yang sampai sekarang masih dipakai sebagai buku dasar keislman HMI, dan bernama nilai-nilai identitas kader (NIK).34 buku kecil ini merupakan pengembangan dari artikel Nurcholish yang pada awalnya dipakai sebagai bahan training kepemimpinan HMI, yaitu dasar-dasar islamisme.35

33

http:/www.kampusislam.com/index?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=426, artikel diakses tanggal 4 November 2009.

34

Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. vi. 35

(29)

Gagasan Nurcholish “muda” memang sudah mulai menggelindingkan isu-isu demokrasi, keadilan sosial, kebebasan berbicara dan berpikir, teloransi agama, dunia intelektual, dan masalah figur pemimpin yang diyakinya ideal baik menurut pendangan Islam atau pun bedasarkan kriteria demokrasi modern. Namun, yang paling dominan pada masa itu adalah kentalnya gagasan Nurcholish tentang persamaan manusia dan pembelaannya terhadap kaum lemah.

Gagasan Nurcholish “muda”, seperti tampak lewat tulisan-tulisannya yang dimuat di Pos Bangsa, Tribun dan Mimbar sekitar tahun 1970-an merupakan contoh dari pergumulan pemikiran dalam merespons tentang pertumbuhan yang diperdebatkan di awal masa pembangunan politik ekonomi Orde-Baru.36 Juga dari tulisan-tulisan Nurcholish pada kurun itu, kita bisa melihat bagaimana komitmen seorang intelektual muda Islam yang hadir dalam kapasitasnya sebagai pembela kaum lemah.37

Keprihatinan Nurcholish terhadap nasib kaum lemah yang sudah sejak awal muncul, misalnya, bisa kita lihat dari salah satu tulisannya berjudu “kaum buruh seluruh Indonesia, bersatulah”. Tulisan itu tampaknya akan tetap relevan dalam konteks Indonesia mutakhir saat persoalan nasib buruh kecil dan kaum penggiran merupakan agenda kebangsaan yang belum sepenuhnya tuntas.38

kurang bagus tentang Islam sendiri. Kebangkitan gerakan pembaruan pemikiran ini juga merupakan gambaran dari adanya krisis identitas yang dialami kalangan intelektual Muslim pada saat loyalitas pada ideologi primordial menjadi bertentangan dengan cita-cita para penguasa di pemerintahan. Formulasi yang ditawarkan Madjid tentang pembaruan ini merupakan upaya menyelesaikan persoalan ketegangan internal di kalangan umat Islam. Fauzan, Teologi Pembaruan, h.321.

36

Amir, Neo-Modernisme Islam di Indonesia, h.22. 37

Dedy, Zaman Baru Islam, h. 130. 38

(30)

Selanjutnya, Nurcholish menulis artikel yang berjudu “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”.39 Sebuah artikel yang dipresentasikan Madjid pada pertemuan silaturahim antara para aktivis, anggota, dan keluarga dari empat organisasi Islam, yaitu PERSAMI, HMI, GPI, dan PII yang diselenggarakan oleh PII cabang Jakarta, di Jakarta 3 Januari 1970.40

Dalam artikel ini, Madjid menggambarkan persoalan-persoalan yang sangat mendesak untuk dipecahkan, khususnya menyakngkut integrasi umat akibat terpecah belah oleh paham-paham dan kepartaian politik. Nurcholish dengan jargon “sekularisasi”-nya dan “Islam yes, partai Islam no” hendak mengajak umat Islam untuk mulai melihat kemandekan-kemandekan berpikir dan kreativitas yang telah terpasung oleh berbagai bentuk kejumudan. Karena itulah, ia menyarankan suatu kebebasan berpikir, pentingnya the idea of progress, sikap terbuka, dan kelompok pembaruan yang liberal, yang bisa menumbuhkan suatu istilah Nurcholish sendiri, psychological striking force (daya tonjok psikologis) yang menumbuhkan ikiran-pikiran segar.41

Karena artikel ini sangat subtansial, dan menimbulkan kontroversi besar, – bahkan sempat membuat Nurcholish kehilangan reputasi baik di kalangan tua yang konservatif – maka Nurcholish merasa perlu memeberikan penjelasan lebih mendalam tentang artikelnya itu. Kemudian ia pun menulis “Beberapa Catatan Sekitar Masalah Pembaruan Pemikiran Islam”, yang muncul tidak lama setelah heboh kertas kerja 3 Januari 1970 itu, dan “Sekali Lagi Tentang Sekularisasi”

39

Artikel inilah yang kemudian menimbulkan perdebatan besar di kalangan intelektual Muslim Indonesia mengenai sekularisasi-sekularisme.

40

Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. x. 41

(31)

(1972) dan “Perspektif Pembaruan Pemikiran dalam Islam” (artikel ditampilkan dalam acara sastra Dewan Kesenian Jakarta, 20 Oktober 1972).42

Selanjutnya, setelah kembali dari Chicago, pada 1984, dengan menggondol gelar Doktornya, Nurcholish mencoba mengaktualkan kembali gagasan-gagasan pembaruan 1970-an itu dengan subtansi yang lebih mendalam. Tulisan pertamanya yang sangat mendalam terbit bebarapa saat sebelum kedatangannya, yaitu wawancara tertulis yang diberi judul “Cita-cita Politik Kita”. Dalam tulisan tersebut, Nurcholish memberi substansi atas gagasan sekularisasi politiknya yang dulu dirumuskan dalam jargon “Islam Yes, Partai Islam No.” dalam tulisan inilah, Madjid terlihat mempergunakan perspektif hermeneutika Neo-Modernisme dalam melihat persoalan kemodernan Islam.43 Pada saat yang hampir bersamaan, terbit pula buku pertama Nurcholish yang merupakan karya terjemahan dan diberi kata pengantanya sendiri, yaitu Khazanah Intelktual Islam, diterbitkan Bulan Bintang, Jakarta bekerja sama dengan Yayasan Obor Indonesia.44 Pada 1987, terbit pula bukunya yang lain – kumpulan tulisan Nurcholish selama 20 tahun – yaitu Islam Kemodernan dan Keindonesiaan,

diterbitkan oleh penerbit Mizan, Bandung. Lewat buku ini kita bisa melihat bagaimana pergolakan pemikiran Madjid dalam mengaitkan persoalan keislaman dalam konteks keindonesiaan.45

Tulisan Nurcholish yang lain yang tak kalah pentingnya juga terkoleksi dalam bunga rampai karya Gloria Dabis, What is Modern Indonesia?, 1979. Di

42

Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. xii. 43

Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. xxix. 44

Dedy, Zaman Baru Islam, h. 131. 45

(32)

situ Nurcholish menyumbangkan tulisan dengan topik “The Issues of Modernization Among Muslims in Indonesia”. Di kesempatan lain, ia juga telah menuangkan gagasan tentang: “Islam in Indonesia: Challenges and Opportunities” yang ikut menghiasi kumpulan karangan Cyriac K. Pullapilly,

Islam in The Contemporary World, terbit 1980.46

Gagasan Nurcholish terus berkembang, khususnya setelah ia dan kawan-kawannya yang lain mendirikan Yayasan Wakaf Paramadina, pada Oktober 1986. Maka sejak Paramadina didirikan hampir setiap bulan ia menulis paper untuk keperluan diskusi di Klub Kajian Agama (KKA). Sebagian makalah-makalah Madjid kemudian menjadi buku seperti Islam: Doktrin dan Peradaban (1992),

Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (1994), Islam Agama Peradaban

(1995), Islam Agama Kemanusiaan (1995), dan bebarapa buku lain yang tidak terkait dengan KKA, tetapi merupakan pengisian lebih detail ide-ide dalam KKA itu, seperti Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan (1987) Islam, Kerakyatan dan Keindonesiaan (1993), Pintu-Pintu Menuju Tuhan (1994), Kaki Langit Peradaban Islam (1997) Bilik-Bilik Peasntren (1997), Perjalanan Religius Umrah dan Haji

(1997), dan Dialog Keterbukaan (1997).47

46

Dedy, Zaman Baru Islam, h. 133. 47

(33)

BAB III

SUFISME DALAM PANDANGAN NURCHOLISH MADJID

A. Makna dan Hakikat Tasawuf serta Kedudukannya dalam Islam

Sebagai sistem ajaran keagamaan yang lengkap dan utuh, Islam memberi tempat kepada jenis penghayatan keagaman eksoterik (zhâhirî, lahiri) dan esoterik (bâthinî, batini) sekaligus. Tapi meskipun tekanan yang berlebihan kepada salah satu dari kedua aspek pengahayaan itu akan menghasilkan kepincangan yang menyalahi prinsip ekuilibirium (tawâzun) dalam Islam, namun kenyataanya banyak kaum Muslim yang pengahayatan keislamannaya lebih mengarah kepada yang lahiri (lalu disebut ahl al-zhawâhir) dan banyak pula yang lebih mengarah kepada yang batini (dan disebut ahl al-bawâthin). Kaum syarî’ah, yaitu mereka yang lebih menitik beratkan perhatian kepada segi-segi syarî’ah atau hukum, sering juga disebut kaum lahiri. Sedangkan kaum tharîqah, yaitu mereka yang berkecimpung dalam amalan-amalan “tarekat”, dinamakan kaum batini.1

“Esoterik” juga biasa disebut mistik atau mistisme. Kita harus ingat bahwa diam atau tutup mulut adalah makna dasar kata Yunani muo yang menjadi akar kata mysterion dan mistisme.2 Dengan demikian orang dapat mengaitkannya dalam konteks Islam dengan istilah-istilah seperti asrâr (misteri-misteri) atau

bâthin (esoterik atau batin), mengingat bahwa kaum Sufi menyebut diri mereka

1

Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, Cet. 2, (Jakarta: Paramadina, 2000), h. 77.

2

Lihat. Lorrens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2002), h. 216.

(34)

sebagai para penjaga misteri-misteri atau asrâr Ilahi.3 Mistisisme dalam Islam diberi nama tasawuf dan oleh kaum orientaslis disebut sufisme. Kata sufisme dalam istilah orientalis khusus dipakai untuk mistisme Islam. Sufisme tidak dipakai untuk mistisme yang terdapat dalam agama-agama lain.4

Jadi, tasawuf adalah salah satu cabang ilmu Islam yang menekankan dimensi atau aspek spiritual dari Islam. Spiritualitas ini dapat mengambil bentuk yang beraneka di dalamnya. Dalam kaitannya dengan manusia, tasawuf lebih menekankan aspek rohaniya ketimbang aspek jasmaninya; dalam kaitannya dengan kehidupan, ia lebih menekankan kehidupan akhirat ketimbang kehidupan dunia yang fana; sedangkan dalam kaitannya dengan pemahaman keagamaan, ia lebih menekakan aspek esoterik ketimbang eksoterik, lebih menekankan penafsiran batini ketimbang penafsiran lahiriah. Karena para ahli taswuf, yang kita sebut sufi, secara ontologis mereka percaya bahwa dunia spiritual lebih hakiki dan real dibanding dengan dunia jasmani. Bahkan sebab terakhir dari segala yang ada ini, yang kita sebut Tuhan, juga bersifat spiritual. Karena itu, realitas sejati bersifat spiritual.5 Dari pengertian ini terlihat perbedaan orientasi keagamaan yang signifikan antara kaum lahiri dan batini.

Sebagaimana yang menjadi pengetahuan kita, bahwa inti dari keseluruhan sistem agama Islam adalah ajaran tawhîd, dan inti ajaran al-Qur’an adalah tawhîd

3

Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Buku Kedua, terj. Tim Penerjemah Mizan, (Bandung: Mizan, 2003) h. 459.

4

Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan bintang, 2006), h. 43.

5

(35)

merupakan sesuatu yang tidak boleh diragukan.6 Tawhîd kemudian termanifestasikan dalam bentuk ibadah serta amal-perbuatan sebagai bentuk institusi iman. Penghayatan dan pengamalan akan iman inilah yang berbeda penekannya antara kaum lahiri dan kaum batini. Perbedaan atara kedua orientasi keagamaan yang lahiri dan batini itu kemudian mewujudkan diri dalam divergensi sistem-sistem penalaran masing-masing pihak pendukungnya. Maka dalam kedua-duanya kemudian tumbuh cabang ilmu keislaman yang berbeda satu dari yang lain, bahkan dalam beberapa hal tidak jarang bertentangan. Kedua-duanya seolah hendak merebut sumber legitimasi dari al-Qur’an dan menganggap paham serta jalan yang mereka tempuh par excellence.7

Sama halnya – perbedaan orientasi keagamaan – tasawuf dengan fiqih, demikian pula halnya tasawuf dengan ilmu kalam. Bisa dikatakan antara tasawuf dengan kedua cabang ilmu-ilmu keislaman lainnya, yaitu ilmu kalam dan ilmu fiqih atau syari‘ah memang tidak senantiasa harmonis. Tetapi harus dikatakan di sini bahwa pada awalnya perbedaan atara ketiga cabang ilmu itu, terutama antara tasawuf dengan kalam, lebih terletak pada masalah tekanan daripada isi ajarannya. Dikatakan bahwa perbedaan itu lebih terletak pada masalah tekanan dari pada isinya, sebab baik ilmu kalam maupn ilmu tasawuf keduanya berpangkal tolak pada kalimat syadadat lâ ilâha illa Allâh. Menurut kaum sufi, dari kalimat syahadat itu dapat disimpulkan bahwa kenyataan yang benar atau al-Haqq

hanyalah Tuhan semata, sedangkan selain Dia hanyalah nisbi belaka. Kaum sufi

6

Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina,1997), h. 45.

7

(36)

bertujuan untuk sampai pada al-Haqq itu.8 Karenanya, para sufi menyebut diri mereka “ahl al-haqîqah”. Penyebutan ini mencerminkan obesesi mereka terhadap kebenaran yang hakiki. Maka, mudah dipahamai kalau mereka menyebut Tuhan dengan “al-Haqq”, seperti yang tercermin dalam ungkapan al-Hallaj (w. 922 H.),

“anâ al-Haqq”.9 Dari sini terlihat immanensi Tuhan dalam ajaran tasawuf.

Selain persoalan transendealisme10, ilmu kalam juga lebih mengutamakan pemahaman masalah-masalah ketuhanan dalam pendekatan yang rasional dan logis. Sedangkan tasawuf sangat banyak menekankan pentingnya penghayatan ketuhanan melalui pengalaman-pengalaman nyata dalam olah rohani (spiritual exercise) yang mengutamakan intuisi.11 Yang dilakukan kaum sufi – untuk sampai kepada al-Haqq – dengan hanya mencontoh perihidup Nabi Muhammad yang merupakan prototype kehidupan ruhani dalam Islam. Dalam pada itu, mereka pun menempuh jalan dalam mencari pengalaman ruhani yang ukuran sempurnanya adalah mi‘raj Nabi.

Bagi kaum sufi, pengalaman Nabi dalam Isrâ’-Mi’râj itu adalah sebuah contoh puncak pengalaman ruhani yang bisa dipunyai oleh seorang Nabi. Namun kaum sufi berusaha untuk meniru dan mengulanginya bagi diri mereka sendiri, dalam dimensi, skala dan format yang sepadan dengan kemampuan mereka. Sebab inti pengalaman itu ialah penghayatan yang pekat akan situasi diri yang

8

Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 48. 9

Mulyadi, Menyelami Lubuk Tasawuf, h. 6. 10

Dalam teologi aliran ilmu kalam (khususnya teologi Asy’ari) sangat ditekenkan ajaran bahwa Tuhan adalah transendental, mengatasi dan terpisah dari apa pun yang merupakan ciptaan-Nya. Perincian tentang sifat-sifat Tuhan yang dua puluh mencakup sifat mukhâlafat li al-hawâdits,

bahwa Tuhan berbeda dari seluruh makhluk atau alam ciptaan-Nya. Sedangkan dalam tasawuf sebaliknya, bahwa Tuhan adalah serba immanent, senantiasa hadir bersama hamba-Nya dan selalu

mawjûd di mana-mana. Lihat. Madjid, Bilik-bilik Pesantren, h. 43-45. 11

(37)

sedang berada di hadapan Tuhan, dan bagaimana ia “bertemu” dengan Dzat Yang Mahatinggi itu. “Pertemuan” dengan Tuhan adalah dengan sendirinya juga merupakan puncak kebahagiaan, yang dilukiskan dalam sebuah Hadîts sebagai “sesuatu yang tak pernah terlihat oleh mata, tak terdengar oleh telinga, dan tak terbetik dalam hati manusia”. Sebab dalam “pertemuan” itu, segala rahasia kebenaran “tersingkap” (kasyf) untuk sang hamba, dan sang hamba pun lebur dan sirna (fanâ) dalam Kebenaran.12

Tasawuf lebih merupakan kumpulan perilaku daripada rumusan doktrin-doktrin. Tasawuf ini seringkali bersifat sangat pribadi. Oleh karena itu pengalaman mistis kaum sufi hampir mustahil dikomunikasikan kepada orang lain, dan selamanya akan lebih merupakan milik pribadi si empunya sendiri. Karenanya sering terjadi adanya tingkah laku eksentrik dan “di luar garis”, dan orang lain, lebih-lebih sesama sufi sendiri, akan memandangnya dengan penuh pengertian, bahkan kekaguman.13

Pengalaman mistis tertinggi menghasilkan situasi kejiwaan yang disebut ekstase. Dalam perbedaharaan kaum sufi, ekstase itu sering dilukiskan sebagai keadaan mabuk kepayang oleh minuman kebenaran. Kebenaran (al-haqq) digambarkan sebagai minuman keras atau khamar. Bahkan untuk sebagaian mereka minuman yang memabukkan itu tidak lain ialah apa yang mereka namakan “dlamîr al-sya’n”, yaitu kata-kata “an” yang berarti “bahwa” dalam kalimat syadat pertama, Asyhadu an lâ ilâh illa Allâh (aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah). Pelukisan ini untuk menunjukkan betapa intensnya

12

Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 257. 13

(38)

mereka menghayati tawhîd, sehingga mereka tidak menyadari apa pun yang lain selain Dia Yang Mahaada.14

Selanjutnya, di dalam al-Qur’an juga banyak ditegaskan tentang pentingnya orientasi keruhanian yang bersifat ke dalam dan mengarah kepada pribadi, termasuk ketika al-Qur’an berbicara tentang hukum. Seorang Muslim harus merasakan ketentuan hukum itu sebagai sesuatu yang berakar dalam komitmen spiritualnya. Kenyataan ini tercermin dalam susunan kitab-kitab fiqih yang selalu dimulai dengan bab pensucian (thahârah) lahir, sebagai awal pensucian batin.15 Di sini Madjid ingin mengatakan bahwa tasawuf merupakan “faktor pengimbang” bagi fiqh yang banyak menekankan segi hukum yang lahiri, bagi kalam yang lebih berorientasi kepada pembahasan rasional-dialektis, dan bagi falsafah yang banyak mengandalkan kemampuan rasio atau akal lebih daripada kalam.16

B. Tradisi Awal Sufisme dan Perkembangannya

Jika melacak tradisi awal sufisme, rasanya sulit untuk memastikan kapan tepatnya mucul tradisi sufisme ini. Terlebih jika kita mengartikan tasawuf sebagai “cara atau jalan – yang lebih mengarah kepada segi esoterik atau batini – bagaimana seseorang dapat berada sedekat mungkin dengan Allah (al-Haqq)”.

14

Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 260. 15

Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, 255. 16

(39)

Sebab sejak manusia menyadari hubungannya dengan Yang Mahabenar (al-Haqq), maka ia mencari kebenaran.17

Sebagaimana telah disinggung di atas, di dalam Islam yang menjadi pokok pangkal agamanya adalah ajaran tawhîd atau pengesaan Tuhan, suatu monoteisme yang keras dan tidak mengenal kompromi. Dalam pada itu, sepanjang ajaran al-Qur’an, tawhîd adalah inti ajaran dan agama yang dianut para rasul dan nabi sepanjang zaman. Di kalangan bangsa Arab sebelum Nabi Muhammad, agama Nabi Ibrâhîm18 sudah dikenal, khususnya oleh penduduk kota Makkah suku Quraisy. Para pengamal agama itu disebut “orang-orang hanîf” atau “hunafâ”, yang berarti orang-orang yang memelihara dan memegang kebenaran. Sebelum ditutusnya Nabi Muhammad, para pendahulu kaum sufi disebut sebagai hunafâ.19 Muhammad yang kelak menjadi nabi itu termasuk seorang hunafâ.20 Jadi, menurut Nurcholish, kita bisa mengatakan bahwa sebelum Islam “tasawuf” tidak ada, namun banyak terdapat tokoh-tokoh yang dianggap penempuh jalan sufi yang biasa disebut para ahli zuhud (zâhid) atau ahli ibadah (âbid).

Kenyataannya, dalam tradisi tasawuf mengakui beberapa diantara sahabat-sahabat Nabi sebagai nenek moyang rohani tasawuf. Kita sering mendengar apa yang dikenal sebagai ahl as-suffah – salah-satu kata yang dirujuk sebagai asal

17

Syekh Khaled Bentounes, Tasawuf Jantung Islam: Nilai-nilai Universal dalam Tasawuf, terj. Andityas, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), h. 24.

18

Ada petunjuk bahwa yang pertama mengememukakan ajara tawhîd itu dengan jelas dan sistematis adalah Nabi Ibrahim yang kelak mewariskan agama-agama menoteistis utama. Tiga di antaranya tetap hidup sampai sekarang, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam. Lihat, Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan, (Jakarta: Paramadina, 1996),h. 57-58.

19

Bentounes, Tasawuf Jantung Islam, h.25. 20

(40)

etimologi kata “sufi”21 – yakni anggota masyarakat yang miskin dan saleh yang hidup di masjid Madinah. Sahabat-sahabat Nabi itu sering melontarkan ucapa-ucapan tentang kemiskinan, dan ia muncul sebagai prototipe fakir sejati, si miskin yang tidak memiliki apa pun tetapi sepenuhnya dimiliki Tuhan, menikmati harta-Nya yang abadi.22

Namun demikian, – menurut Nurcholish – pada masa Nabi Muhammad sendiri, dan selama satu abad sepeninggal beliau, dunia Islam belum mengenal adanya kaum sufi, kaum mutakallimîn atau ahli kalam, maupun ahli hukum fiqih. Tetapi dengan semakin meningkatnya kegiatan intelektual dan semakin dikenalnya cara-cara pembahasan filosofis telah melahirkan paling tidak dua hal penting. Pertama, sistem hukum yang terorganisikan, dan kedua teologi yang sistematis. Maka melalui suatu proses yang sejajar dan oleh sebab kewajaran serta keperluan adanya faktor pengimbang atas rasionalisasi lahiriah daripada agama itu, persepsi keagamaan yang intuitif menjadi semakin peka dan sadar-diri. Usaha-usaha dari kaum asketik dan zuhud yang telah ada sebelumnya untuk memperoleh kesempurnaan etis tidak ditinggalkan samasekali, bahkan berangsur-angsur dimurnikan dan ditransformasikan. Cita-cita etis yang dinyatakan melalui ajaran

“takhallaqû bi akhlâq Allâh” (berbudi-pekertilah kamu dengan budi-pekerti Tuhan) tidak lagi terpuaskan dengan hanya melaksanakan aturan-aturan yang

21

Harun Nasution menyatakan terdapat lima teori yang dianggap sebagai asal etimologi kata “sufi”: ahl al-suffah,saff,sûfî,sophos, dan shûf. Lihat, Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 43-44.

22

(41)

dipaksakan dari luar, tetapi menuntut adanya keserasian dengan makna pengalaman ruhani yang mendalam dan nyata.23

Dari sudut pandang lain, menurut Nurcholish, tasawuf juga nampak sebagai reaksi terhadap gejala kehidupan lahiriah atau material yang mewah dan menyimpang dari ukuran kewajaran. Ini dapat dilihat dengan cukup jelas dari latar belakang sosial-ekonomi dan politik serta budaya bagi lahirnya orientasi kesufian yang sangat kuat justru di zaman keemasan Islam pada masa kekhalifahan Hârûn al-Rasyîd (786 M.). Agaknya gejala ini juga dapat ditelusuri sejak masa Umayyah (705 M.) di Damaskus, yang mendorong lahirnya gerakan-gerakan oposisi suci

(pious opposition) di kalangan tertentu, khususnya di Bashrah, Irak. Di zaman Hârûn al-Rasyîd kota Bashrah menjadi saingan kota Kufah dalam tradisi intelektual Islam. Jika Kufah banyak melahirkan ahli-ahli hukum (al-fuqahâ) yang terkenal, sementara Bashrah banyak menampilkan “orang-orang suci” (al-nussâk

–para ahli nusuk atau ibadah; atau al-zuhhâd -para ahli zuhud atau asketik). Dalam pada itu, Nurcholish menegaskan ada indikasi bahwa persaingan itu cukup tajam, dengan masing-masing pihak mengaku lebih benar atau malah paling benar daripada lainnya.24

Nama yang melambangkan awal sikap pertapa dan anti-pemerintah ini adalah Hasan al-Basri (110 H./728 M.). Ketokohan Hasan cukup hebat, sehingga kelompok-kelompok penentang rezin Umayyah banyak yang mengambil ilham dan semangatnya dari Hasan. Begitu pula para ulama dengan orientasi Sunnî dan orang-orang Muslim dengan kecenderungan hudup zuhud (asketik). Mereka yang

23

Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 46. 24

(42)

tersebut terakhir inilah, sejak munculnya di Bashrah, yang disebut kaum sufi

(shûfî), konon karena pakaian mereka yang terdiri dari bahan wol (Arab: shûf) yang kasar sebagai lambang kezuhudan mereka. Dari kata-kata shûf itu pula terbentuk kata-kata tashawwuf (tasawuf), yaitu, kurang lebih, ajaran kaum sufi.25

Dalam perkembangannya lebih lanjut, tasawuf tidak lagi bersifat tertutama sebagai gerakan oposisi politik. Meskipun semangat melawan atau mengimbangi susunan mapan dalam masyarakat selalu merupakan ciri yang segera dapat dikenali dari tingkah laku kaum sufi, tetapi itu terjadi pada dasarnya karena dinamika perkembangan gagasan kesufian sendiri, yaitu setelah secara sadar sepenuhnya berkembang menjadi mistisisme. Tingkat perkembangan ini dicapai sebagai hasil pematangan dan pemuncakan rasa kesalehan pribadi.26 Karena apa yang diajarkan tasawuf tidak lain adalah bagaimana menyembah Allah dengan suatu kesadaran penuh bahwa kita berada di dekat-Nya sehingga kita “melihat”-Nya atau bahwa Dia senantiasa mengawasi kita dan kita senantiasa berdiri di hadapan-Nya.

Namun demikian, Nurcholish melanjutkan, sekalipun sufisme mendasarkan ajaran-ajarannya pada al-Qur’an dan al-Sunnah, khususnya dalam soal-soal doktrin, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa dalam perkembangannya, esoterisme Islam ini menerima, atau barangkali lebih tepat memasukkan, unsur-unsur asing dari luar. Hal ini terjadi karena adanya kontak antara kaum muslim dengan bangsa-bangsa taklukannya di Syria dan Persia yang dalam beberapa hal,

25

Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 250. 26

(43)

khususnya di bidang filsafat, lebih dulu maju daripada kaum muslim sendiri.27 Kenyataannya, memang keberadaan unsur-unsur asing yang timbul baik karena pengaruh langsung maupun tidak langsung, tidak seluruhnya dapat dicegah. Tekanan ajaran tasawuf pada aspek imanensi Tuhan telah memungkinkan terbukanya pintu bagi masuknya paham-paham panteisme.28 Sebut saja, misalnya, paham seorang sufi dari Persia Abû Yazîd al-Bustâmî (w. 874 M.) tentang fanâ

(terleburnya diri pribadi dalam Tuhan) dan baqâ (mengekalnya diri pribadi dalam kesatuan dengan Tuhan) berseru dengan kalimat subhânî (Maha Suci Aku), atau paham hulûl pada al-Hallâj (858 M.) yang termasyhur dengan ucapannya Anâ al-Haqq, yang dihukum mati di Bagdad pada tahun 922 M.29

Namun menurut Nurcholish, tidak adil rasanya jika kita mengatakan bahwa tasawuf itu sesat. Karena jika kita menghukum unsur asing yang menyusup, maka yang kita sedang hukum bukanlah tasawuf Islam, tapi unsur asing tersebut. Tasawuf Islam ialah ruh yang terdapat dalam Qur’an dan al-Sunnah, hal ini merupakan pernyataan yang keluar dari para imam-imam sufi dan hal ini pula yang diakui oleh para ulama yang bersikap objektif ketika mereka berbicara masalah sufi. Mereka telah mencoba memberikan definisi tentang tasawuf dengan puluhan definisi sesuai dengan pemahaman mereka dan pengalaman spiritual mereka.30

27

Hal inilah yang menyebabkan para orientalis dalam membahas tentang tasawuf sering mengesankan ketidak-aslian sufisme sebagai berasal dari Islam. Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren,

h. 48. 28

Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 50. 29

Lihat, misalnya, Julian Baldick, Islam Mistik: Mengantar Anda ke Dunia Tasawuf, terj. Satrio Wahono, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002), h. 66-69.

30

Muhammad Zaki Ibrahim, Tasawuf Salafi: Menyucikan Tasawuf dari Noda-noda,

(44)

Bentuk yang sangat populer dari pengaruh luar terhadap sufisme adalah praktek-praktek pemujaan kepada para wali. Praktek ini bersumber dari ajaran tentang adanya kemampuan para wali untuk memberi berkah kepada orang lain, baik semasa hidup maupun sesudah meninggal dunia. Ajaran ini mendorong tumbuhnya kebiasaan mengagungkan makam orang-orang suci yang kemudian dijadikan tempat perantara dalam berdo’a. Bahkan tidak jarang dijadikan tempat tumpuan harapan bagi orang-orang yang memiliki ambisi tertentu.31 Hal inilah yang menjadi sasarang kritik para pemikir modern Islam nantinya.

Tidak lama kemudian muncullah al-Qusyayrî dengan karyanya yang terkenal Risâlah, dan al-Ghazâlî (w. 505 H./1111 M.) dengan karyanya yang terkenal Ihyâ Ulûm al-Dîn yang merupakan seruan bagi dihidupkannya kembali tasawuf. Al-Ghazâlî berperan besar dalam memberikan penyelesaian pada sebagian besar pertikaian paham di kalangan kaum Muslimin (mutakallimîn,

fuqqahâ, dan sufi), sehingga ia memperoleh gelar Hujjah al-Islâm yang bisa diartikan “argumentasi Islam” atau “pembela Islam”.32

Namun demikian, betapa pun besarnya jasa al-Ghazali, ia tidak luput dari kritikan-kritikan tokoh-tokoh Islam setelahnya. Kritikan paling keras adalah yang datang dari Ibnu Taymîyah, seorang ulama yang banyak mengilhami tokoh-tokoh pergerakan pembaruan dalam Islam. Kecamannya terutama ditujukan pada pandangan hidup al-Ghazâlî yang sangat mementingkan kehidupan asketik atau zuhud sehingga menjadikan seseorang mengasingkan diri dari kehidupan duniawi

(’uzlah).

31

Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 51. 32

(45)

Menurut Nurcholish, sekarang ini sikap dunia Islam terhadap tasawuf seolah-olah terbagi dua, ada yang lebih berorientasi kepada imam al-Ghazâlî dan mereka yang lebih merorientasi kepada Ibnu Taymîyah. Mungkin tidak bisa dibuat garis pemisah yang tegas antara keduanya, tetapi perbedaan tekanan orientasi itu sangat jelas terasa.

C. Tarekat dan Korelasinya dengan Sufisme

Kehidupan tasawuf dapat dilaksanakan baik dengan cara individual maupun cara kolektif. Melaksanakan tasawuf secara individual ialah mengamalkan sikap-siakp sufistik, seperti takwa, tawakal, sabar, syukur, ikhlas, rida, dan sebagainya. Sedangkan mengamalkan tasawuf secara kolektif ialah melaksanakannya secara bersama-sama melalui persaudaraan sufi yang biasa disebut tarekat.33

Sebenarnya perkataan “tarekat” (tharîqah) itu sendiri – menurut Madjid – secara harfiah berarti “jalan”, sama dengan arti perkataan “syarîa’ah”, “sabîl”,

“shirâth”, dan “manhaj”. Dalam hal ini yang dimaksud ialah jalan menuju kepada Allah guna mendapatkan ridla-Nya, dengan menaati ajaran-ajaran-Nya. Semua perkataan yang berarti “jalan” itu terdapat dalam kitab suci al-Qur’an:34

“Kalau saja mereka berjalan dengan terguh di atas thariqah, maka Kami (Allah) akan melimpahkan kepada mereka air (kehidupan sejati) yang melimpah”. (Q.S. al-Jinn: 16)

Perkataan tharîqah dalam firman tersebut menunjuk pada agama secara keseluruhan, bukan hanya suatu wujud atau institusi keagamaan seperti yang kita

33

Sudirman Tebba, Orientasi Sufistik Cak Nur: Komitmen Moral Seorang Guru Bangsa,

(Jakarta: Paramadina, 2004), h. 177. 34

(46)

lihat sekarang sebagai “tarekat”.35 Agama memang selalu digambarkan sebagai jalan. Sama dengan Marga atau Darma dalam bahasa Sansekerta, atau Tao dalam bahasa Cina.36

Jadi dengan menempuh jalan yang benar secara mantap dan konsisten, manusia dijanjikan Tuhan akan memperoleh karunia hidup bahagia yang tiada terkira. Hidup bahagia itu ialah hidup sejati, yang dalam ayat suci tersebut diumpamakan dengan air yang melimpah ruah. Dalam literatur kesufian, air karunia Ilahi itu disebut “air kehidupan” (mâ’u al-hayâti). Inilah yang secara simbolik dicari oleh para pengamal tarekat, yang wujud sebenarnya tidak lain ialah “pertemuan” dengan Tuhan dengan ridla-Nya. Harapan kepada ridla Allah itu juga dicerminkan dalam sebuah wirid tarekat yang berbunyi “Ilahî Anta maqshûdî a ridlâ-Ka mathlûbî”37

Tarekat juga bisa didefiniskan sebagai sebuah persaudaraan kaum sufi yang memiliki silsilah guru spiritual yang sama, tempat bagi para syekh atau mursyid untuk mewisuda murid-muridnya dan memberikan mereka ijin resmi untuk melanjutkan mazhab pemikiran dan amalan yang umum. Terekat ini ada yang memiliki – ada yang tidak – organisasi. Namun, pada tingkat lokal terdapat kegiatan yang terorganisir.38

Salah satu aspek penting dari suatu tarekat adala silsilah, yakni mata-rantai para guru sufi yang berpangkal pada Nabi Muhammad. Ciri ini begitu penting,

35

Budhy Munawar Rachman, Ahmad Gaus AF, et.all. (e.d), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, (Bandung: Mizan, 2006),h. 3297.

36

Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h.3300. 37

Nurcholish, Islam Agama Peradaban, h. 92. 38

(47)

sehingga pada tingkatan yang lebih luas, tarekat adalah sisilah itu sendiri: suatu ekspresi hidup dari kesinambungan dari generasi ke generasi.39

Namun, menurut Nurcholish, penggunaan istilah “tharîqah” dalam arti persaudaan kesufian (shûfî brotherhood) adalah hasil perkembangan makna semantik perkataan itu, sama dengan yang terjadi pada perkataan “syarî’ah”

untuk ilmu hukum Islam (juga dapat disebut “fiqh” dalam pengertian yang sedikit lebih sempit – sementara makna “fiqh” itu menurut asalnya ialah pemahaman agama secara keseluruhan, tidak terbatas hanya kepada bidang hukum dan peribadatan semata).40

Selanjunya, Nurcholish menegaskan, setiap ajaran esoterik atau batini tentu memiliki segi-segi ekslusif. Jadi tidak dapat dibuat untuk orang umum. Segi-segi eksklusif itu menyangkut hal-hal yang “rahasia”, yang bobot keruhaniannya yang berat membuatnya sukar dimengerti oleh kaum awam (orang umum), atau mudah menimbulkan salah paham pada mereka. Kerena itu segi-segi eksklusif tersebut seyogyanya tidak dipahamai seseorang melalui kegiatan pribadinya semata, melainkan dipahamai melalui tarekat dari seorang guru pembimbing (mursyid) yang sudah diakui kewenangannya.41

Namun, segi-segi ekslusif seperti ini menimbulkan masalah “keabsahan” tarekat – dalam pengertian – sebagai ikatan persaudaraan kaum sufi. Pengalaman dalam sejarah agama-agama, termasuk Islam sendiri, menunjukkan bahwa

39

Semenjak abad ke-10, daftar guru sufi hanya merujuk sampai para tabiin, generasi Islam yang hidup pada masa sesudah sahabat Nabi dan diangap memiliki otoritas kolektif. Baru setelah masa tabiin inilah mulai muncul penyebutan nama individu.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan Tabel 4 menunjukan bahwa Sektor perekonomian di Kabupaten Kubu Raya yang memiliki keunggulan kompetitif dengan peningkatan pertumbuhan sektor

Bidang reka bentuk dan teknologi merupakan perkara yang perlu diberi penekanan dalam sistem pendidikan negara yang membolehkan murid mengaplikasikan pengetahuan,

Ada beberapa upacara adat yang masih digunakan sampai saat ini di masyarakat Klaci. Mereka masih memegang kuat kebudayaan tersebut sebagai keyakinan pada diri mereka bahwa

Data yang diperoleh pada Penurunan berat badan kelompok perlakuan etil asetat lebih baik dibandingkan dengan kelompok lainnya dengan mean difference - 97.750,

(progeny) dapat digunakan sebagai kriteria seleksi calon pejantan sapi Aceh di BPTU-HPT Sapi Aceh Indrapuri karena memiliki nilai kecermatan relatif yang

Mencegah atau mengurangi timbulnya kerusakan komponen lingkungan hidup yang menimbulkan dampak turunan (lanjutan) pada komponen lingkungan lainnya. Sebagai bahan

Efek selain saham dan/atau instrumen pasar uang tidak memenuhi Prinsip Syariah di Pasar Modal, dengan ketentuan selisih lebih harga jual dari Nilai Pasar Wajar pada saat