• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyelenggaraan Makanan, Status Gizi dan Kesehatan Lansia di Rumah Perlindungan Tresna Werdha Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penyelenggaraan Makanan, Status Gizi dan Kesehatan Lansia di Rumah Perlindungan Tresna Werdha Bogor"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

PENYELENGGARAAN MAKANAN, STATUS GIZI

DAN KESEHATAN LANSIA DI RUMAH

PERLINDUNGAN SOSIAL TRESNA WERDHA BOGOR

V I C I

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penyelenggaraan Makanan, Status Gizi dan Kesehatan Lansia di Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2013

Vici

(4)
(5)

ABSTRAK

VICI. Penyelenggaraan Makanan, Status Gizi dan Kesehatan Lansia di Rumah Perlindungan Sosial Tresna Wedha Bogor. Dibimbing oleh ALI KHOMSAN dan KARINA RAHMADIA EKAWIDYANI

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui status gizi, status kesehatan, pola konsumsi dan daya terima lansia terhadap makanan di Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha Bogor. Desain studi yang digunakan pada penelitian ini adalah desain cross sectional. Penelitian ini dilaksanakanpada bulan Oktober 2013. Contoh dalam penelitian ini adalah 34 orang lansia yang berusia lebih dari 60 tahun. Hasil penelitian rata-rata konsumsi energi dan protein lansia sebesar 1454 kkal dan 41.7 g. Daya terima lansia tergolong cukup baik terhadap rasa makanan (52.9%) maupun porsi makanan (61.8 %). Tingkat kecukupan energi dan protein sebagian besar lansia tergolong defisit. Sebagian besar lansia (41.2%) memiliki status gizi normal. Sebagian besar lansia (67.6%) menderita penyakit hipertensi dengan kategori terbanyak adalah mild hypertension

(hipertensi ringan). Hasil uji korelasi menunjukkan tidak ada hubungan signifikan (p>0.05) antara tingkat kecukupan energi dan zat gizi dengan status gizi lansia. Hasil uji Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tekanan darah (p>0.05) dengan status gizi

Kata kunci: lansia, pola konsumsi, daya terima, status gizi, status kesehatan.

ABSTRACT

VICI. Food Service Management, Nutrition and Health Status of the Elderly at Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha Bogor. Supervised by ALI KHOMSAN and KARINA RAHMADIA EKAWIDYANI

The objectives of this study were to determine the nutritional status, health status, consumption pattern and food acceptance of the elderly at Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha Bogor. This study used cross sectional design. Research was done in October 2013. The subjects of this study were 34 elderly people with age over 60 years. Results showed that the average energy and protein consumption in elderly were 1454 kkal and 41.7 g. Food acceptance of elderly were adequate for taste of food (52.9%) as well as the portion of food (61.8%). The adequacy level of energy and protein mostly were deficit. Most of the elderly (41.2%) had normal nutritional status. The majority of the elderly (67.6%) were suffering from hypertension with mild hypertension. Correlation test results showed no significant relationship (p>0.05) between the adequacy level of energy and nutrient with nutritional status. Pearson correlation test results showed no significant relationship between blood preasure (p>0.05) and nutritional status.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi

dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

PENYELENGGARAAN MAKANAN, STATUS GIZI

DAN KESEHATAN LANSIA DI RUMAH

PERLINDUNGAN SOSIAL TRESNA WERDHA BOGOR

V I C I

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Penyelenggaraan Makanan, Status Gizi dan Kesehatan Lansia di Rumah Perlindungan Tresna Werdha Bogor

Nama : V I C I NIM : I14114011

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS Pembimbing I

dr Karina Rahmadia Ekawidyani, M Sc Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Rimbawan Ketua Departemen

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya sehingga skripsi dengan judul “Penyelenggaraan Makanan, Status Gizi dan Kesehatan Lansia di Rumah Perlindungan Sosial

Tresna Werdha Bogor” dapat teselesaikan. Penyusunan skripsi ini merupakan syarat bagi penulis untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS dan dr. Karina Rahmadia Ekawidyani, M.Sc selaku dosen pembimbing skripsi yang telah menyempatkan waktu luang untuk memberikan ide dan saran bagi penulis

2. Prof. Dr. drh. Clara M Kusharto, M. Sc selaku dosen pemandu seminar 3. Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS selaku dosen penguji skripsi

4. Drs. Harry Yulianto selaku kepala panti, seluruh staff dan lansia di Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha Bogor yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian

5. Dr. Yvone M I selaku kepala laboratorium gizi Universitas Indonesia yang telah memberikan izin untuk peminjaman alat pengukur tinggi lutut untuk keperluan penelitian.

6. Kedua orang tua, kakak dan adik penulis yang telah memberikan doa, dukungan dan perhatian sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini

7. Ayu helmi, Ernawati, Mira sri wahyuni, Humaira, Andari Sih Estu Jati, Wahyu Dewanti, Riska Tri Rahmawati, Nugrahaning dan Fitriana Sundari yang telah membantu dalam pengumpulan data penelitian. 8. Teman-teman Alih Jenis Gizi angkatan 5, atas dukungan dan

kerjasamanya.

9. Semua pihak yang telah membantu yang belum disebutkan diatas. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan

Bogor, Desember 2013

(13)
(14)

DAFTAR ISI

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

KERANGKA PEMIKIRAN 3

METODE PENELITIAN 5

Desain, Waktu dan Tempat Penelitian 5

Cara Penarikan Contoh 5

Jenis dan Cara Pengumpulan Data 5

Pengolahan dan Analisis Data 6

DEFINISI OPERASIONAL 8

HASIL DAN PEMBAHASAN 9

Keadaan Umum Lokasi Penelitian 9

Karakteristik Contoh 10

Penyelenggaraan Makanan 11

Daya Terima 16

Konsumsi Pangan 17

Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi 18

Konsumsi Suplemen dan Cairan 20

Status Gizi 21

Status Kesehatan 22

Hubungan Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi dengan Status Gizi 25

Hubungan Tekanan Darah dengan Status Gizi 26

SIMPULAN DAN SARAN 26

Simpulan 26

Saran 27

DAFTAR PUSTAKA 27

LAMPIRAN 30

(15)

DAFTAR TABEL

1 Jenis dan cara pengumpulan data 6

2 Variabel dan indikator data yang dianalisis 7

3 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik contoh 10 4 SDM dalam proses penyelenggaraan makanan di RPSTW Bogor 11

5 Perencanaan di RPSTW Bogor 12

6 Pembelian dan penyimpanan makanan di RPSTW Bogor 14

7 Pengolahan bahan makanan di RPSTW Bogor 15

8 Distribusi makanan di RPSTW Bogor 16

9 Higiene dan sanitasi di RPSTW Bogor 16

10Sebaran lansia berdasarkan tingkat kesukaan terhadap jenis hidangan 17

11Sebaran lansia berdasarkan kebiasaan makan 17

12Konsumsi makan lansia 18

13AKG, konsumsi dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi pada lansia 19 14Sebaran lansia berdasarkan tingkat kecukupan energi dan zat gizi 20 15Sebaran lansia berdasarkan konsumsi suplemen 21

16Sebaran lansia berdasarkan status gizi 21

17Sebaran lansia berdasarkan jenis penyakit 23

18Sebaran lansia berdasarkan kategori hipertensi 24 19Korelasi antara tingkat kecukupan energi, protein dengan status gizi 25 20Korelasi antara tingkat kecukupan vitamin, mineral dengan status gizi 25

DAFTAR LAMPIRAN

1 Struktur Organisasi Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha 30

(16)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Peningkatan jumlah penduduk lanjut usia menjadi salah satu indikator keberhasilan pembangunan sekaligus sebagai tantangan dalam pembangunan. Populasi penduduk dunia yang berusia diatas 65 tahun meningkat lebih dari dua kali lipat dari total populasi penduduk dunia selama periode tahun 1996-2020. Kantor Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (KESRA) melaporkan jika tahun 1980 usia harapan hidup (UHH) 52,2 tahun dan jumlah lansia 7.998.543 orang (5,45%) maka pada tahun 2006 menjadi 19 juta orang (8,90%) dan UHH juga meningkat (66,2 tahun). Pada tahun 2010 perkiraan penduduk lansia di Indonesia akan mencapai 23,9 juta atau 9,77 % dan UHH sekitar 67,4 tahun. Sepuluh tahun kemudian atau pada 2020 perkiraan penduduk lansia di Indonesia mencapai 28,8 juta atau 11,34 % dengan UHH sekitar 71,1 tahun (Kemsos 2007).

Semakin meningkatnya jumlah lansia di Indonesia, maka perhatian yang harus diberikan kepada kelompok ini juga akan semakin besar. Masalah gizi lansia adalah salah satu yang harus diperhatikan. Menurut Sharkey (2002) kekurangan zat gizi menunjukkan sebuah ancaman potensial bagi kesehatan pada seluruh populasi lansia. Penambahan usia menimbulkan beberapa perubahan baik secara fisik maupun mental. Perubahan ini mempengaruhi kondisi seseorang baik aspek psikologis, fisiologis, dan sosio-ekonomi. Dengan gizi yang baik, usia produktif mereka dapat ditingkatkan sehingga tetap dapat ikut serta berperan dalam pembangunan (Fatmah 2010).

Menua atau menjadi tua (aging) merupakan proses yang akan dialami oleh semua orang dan tidak dapat dihindari. Proses menua dipengaruhi oleh faktor eksogen dan endogen yang dapat menjadi faktor risiko penyakit degeneratif yang biasa dimulai pada usia muda atau produktif, namun bersifat subklinis. Secara alami, fungsi fisiologis dalam tubuh lansia menurun seiring pertambahan usianya. Penurunan fungsi ini tentunya akan menurunkan kemampuan lansia tersebut untuk menanggapi datangnya ransangan baik dari luar maupun dari dalam tubuh lansia itu sendiri. Perubahan fisiologis yang terjadi pada lansia meliputi penurunan kemampuan sistem saraf, yaitu pada indera penglihatan, peraba, perasa dan penciuman. Selanjutnya penurunan ini juga mengakibatkan penurunan sistem pencernaan, sistem saraf, sistem pernapasan, sistem endokrin, sistem kardiovaskular hingga penurunan kemampuan muskuloskeletal (Fatmah 2010).

(17)

2

Peningkatan jumlah lansia dan beragamnya masalah kesehatan serta gizi yang dihadapi oleh lansia, maka sudah selayaknya kelompok ini mendapat perhatian dari berbagai kalangan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian di Panti Tresna Werdha khususnya di Kota Bogor guna memberi gambaran status gizi dan kesehatan pada kelompok tersebut. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Penyelenggaraan Makanan, Status Gizi dan Kesehatan Lansia di Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha Bogor”.

Tujuan Penelitian Tujuan Umun

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui status gizi, status kesehatan, pola konsumsi dan daya terima pasien lansia terhadap makanan di Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha Bogor

Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi karakteristik contoh

2. Mengidentifikasi penyelenggaraan makanan di Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha Bogor

3. Mengidentifikasi daya terima contoh terhadap makanan di Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha Bogor

4. Mengidentifikasi konsumsi pangan contoh

5. Mengidentifikasi tingkat kecukupan energi dan zat gizi 6. Mengidentifikasi status gizi dan status kesehatan

7. Menganalisis hubungan tingkat kecukupan energi dan zat gizi dengan status gizi

8. Menganalisis hubungan tekanan darah dengan status gizi

Manfaat Penelitian

(18)

3

KERANGKA PEMIKIRAN

Penyelenggaraan makanan yang ada di Panti Tresna Werdha didasarkan atas kebutuhan para lansia yang membutuhkan makanan akibat kebutuhan biologis tubuhnya yang tidak dapat dipenuhi oleh berbagai hal. Penyelenggaraan makanan sebagai suatu sistem manajemen yang terdiri dari tiga komponen, meliputi input (masukan), proses dan output (hasil). Input penyelengaraan makanan meliputi tenaga, dana, sarana fisik dan peralatan. Proses penyelenggaraan makanan meliputi perencanaan, pembelian, penerimaan, penyimpanan, persiapan, pengolahan hingga distribusi. Output yang dihasilkan meliputi daya terima, konsumsi pangan dan status gizi lansia.

Penyelenggaraan makanan bertujuan untuk menghasilkan makanan yang sesuai dengan perencanaan, kualitas, cita rasa serta sanitasi yang tinggi. Perencanaan menu merupakan suatu rangkaian kegiatan untuk menyusun suatu hidangan dalam variasi yang serasi. Perencanaan menu sangat penting dalam sistem pengelolaan makanan. Hal ini disebabkan karena menu berhubungan dengan kebutuhan dan penggunaan sumber daya lainnya didalam sistem pengelolaan makanan.

Pengadaan bahan makanan merupakan proses yang meliputi perencanaan, pemesanan, pembelian dan penerimaan bahan makanan, baik bahan makanan kering maupun bahan makanan basah. Produksi makanan dibedakan berdasarkan waktu makan lansia yaitu makan pagi, siang, dan malam.

Kebiasaan makan pada lansia menjadi faktor yang dapat mempengaruhi daya terima makanan yang disajikan. Pengukuran daya terima meliputi pengukuran terhadap citarasa (rasa, aroma dan tekstur) dan penampilan (warna, besar porsi/ukuran). Daya terima akan mempengaruhi konsumsi pangan baik konsumsi dari dalam panti ataupun dari luar panti.

Pengukuran konsumsi pangan dapat dilihat dari tingkat kecukupan energi dan zat gizi. Konsumsi pangan secara langsung berpengaruh terhadap status gizi. Status gizi lansia akan saling mempengaruhi dengan status kesehatan. Terdapat pola interaksi antara status kesehatan (terutama penyakit infeksi) dan status gizi. Status kesehatan juga secara langsung dapat mempengaruhi konsumsi pangan. Seseorang yang mengalami penyakit, terutama infeksi akan kehilangan nafsu makan sehingga menurunkan asupan energi dan zat gizi lainnya.

(19)

4

Keterangan:

: Variabel yang diteliti : Garis hubungan yang diteliti

Penyelenggaraan Makanan

Daya Terima Makanan

Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan dari dalam panti Konsumsi pangan dari luar panti

Tingkat Kecukupan

Status Gizi

Status Kesehatan Karakteristik Contoh :

-Usia

-Jenis kelamin -Tingkat pendidikan -Pekerjaan

-Sumber pendapatan

Kebiasaan Makan : -Sarapan

-Selingan -Jajan diluar -Suplemen -Cairan

(20)

5

METODE PENELITIAN

Desain, Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study. Penelitian dilakukan di Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha Bogor. Pengumpulan data penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2013. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive dengan pertimbangan bahwa panti memiliki jumlah lansia yang relatif banyak, kemudahan akses dan perizinan serta populasi contoh yang beragam.

Cara Penarikan Contoh

Keseluruhan lansia di Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha Bogor berjumlah 60 orang. Contoh dalam penelitian ini adalah lansia yang menetap di Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha Bogor dengan kriteria lansia berusia

≥ 60 tahun, tidak pikun, dalam keadaan sehat, tidak mengalami gangguan

pendengaran dan mampu menjawab semua pertanyaan yang diajukan dengan baik. Mengacu pada kriteria inklusi tersebut didapatkan jumlah contoh sebanyak 34 orang.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Jenis dan cara pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 1. Data primer meliputi karakteristik contoh, daya terima, kebiasaan makan, konsumsi pangan (food weighing dan recall) data antropometri dan status kesehatan. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi denah lokasi penelitian dan keadaan umum tempat penelitian, daftar menu makanan serta konsumsi suplemen yang disediakan panti.

Berat badan adalah massa tubuh dalam satuan kilogram yang ditimbang menggunakan timbangan bathroom scale dengan kapasitas 130 kg dan ketelitian 1 kg. Pengukuran tinggi badan diukur secara langsung menggunakan prediksi tinggi lutut dengan alat knee height calliper dengan posisi duduk.

Data konsumsi pangan diketahui dengan melalui metode food weighing dan

food recall. Metode food weighing digunakan untuk mengetahui data konsumsi pangan lansia di dalam panti dan metode food recall dipilih untuk mengetahui data konsumsi pangan lansia di luar panti. Food weighing yang dilakukan hanya melakukan penimbangan pada porsi awal dan sisa makanan kemudian dikurangi untuk mendapatkan porsi yang dikonsumsi. Food weighing menggunakan alat ukur timbangan merk CAMRY dengan kapasitas 5kg.

(21)

6

Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data

No Jenis Data Variabel Instrumen

1 Karakteristik

contoh

Nama, usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan sebelum dan sumber pendapatan.

4 Kebiasaan makan Kebiasaan sarapan, selingan, jajan

diluar, konsumsi suplemen dan cairan)

Kuesioner dan wawancara

4 Konsumsi pangan Jumlah (porsi awal dan sisa

makanan), jenis dan frekuensi makan

Food Weighing dan food recall

5 Data antropometri Berat badan (BB), Tinggi lutut (TL) Tinggi lutut menggunakan

knee height calliper dan

penimbangan berat badan

menggunakan timbangan

bathroom scale

6 Status kesehatan Tekanan darah

Riwayat Penyakit

Diukur dengan Tensi digital

merk OMRON model HEM-7111 lengan

Kuesioner dan melihat catatan perawat

Pengolahan dan Analisis Data

Data primer yang telah didapatkan dianalisis secara statistik. Tahapan pengolahan data dimulai dari pengkodean (coding), pemasukan data (entry), pengecekan ulang (cleaning), dan selanjutnya dilakukan analisis. Tahapan pengkodean (coding) dilakukan dengan cara menyusun code book sebagai panduan entri dan pengolahan data. Setelah dilakukan pengkodean (coding)

kemudian data dimasukan ke dalam tabel yang telah ada (entry). Setelah itu, dilakukan pengecekan ulang (cleaning) untuk memastikan tidak ada kesalahan dalam memasukkan data. Untuk tahapan analisis data diolah dengan menggunakan program computer Microsoft Excel 2007 dan SPSS versi 16.0. Korelasi tingkat kecukupan energi dan protein dengan status gizi menggunakan uji korelasi Pearson. Alasannya karena data terdistribusi normal dan jumlah sampel lebih dari 30.

(22)

7

version 16.0. Pengkategorian variable-variabel dalam penelitian disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Variabel dan indikator data yang dianalisis

Variabel Indikator Literatur

Karakter contoh usia 1.Usia 60-74 tahun (elderly)

2.Usia 75-90 tahun (old)

3.Diatas 90 tahun (very old)

WHO

Pekerjaan sebelum 1.Tidak Bekerja

2.PNS

Daya terima makanan 1.Kurang Bagus

2.Cukup

1.Defisit tingkat berat <70% AKG

2.Defisit tingkat sedang 70-79% AKG

3.Defisit tingkat ringan 80-89% AKG

4.Normal 90-119% AKG

2.Cukup ≥77% AKG Gibson 2005

Tekanan darah 1.Normal (<140/<90)

2.Mild Hypertension (140-159/90-99)

Pengukuran tinggi badan diukur secara langsung menggunakan prediksi tinggi lutut dengan alat knee height calliper dengan posisi duduk. Konversi tinggi badan dari tinggi lutut didapat melalui rumus Chumlea (1984) berikut:

Tinggi badan wanita (cm) = 84.88 + 1.83 x {tinggi lutut (cm)}-{0,24 x umur (th)}

Data konsumsi pangan diketahui dengan melalui metode food weighing

(23)

8

dan zat besi menggunakan DKBM. Konversi dihitung dengan menggunakan rumus (Hardinsyah dan Briawan 2002) sebagai berikut:

KGij = (Bj/100) x Gij x (BDDj/100) Keterangan:

KGij = Kandungan zat gizi i dalam bahan makanan j Bj = Berat makanan j yang dikonsumsi (g)

Gij = Kandungan zat gizi dalam 100 gram BDD bahan makanan j BDDj = Bagian bahan makanan j yang dapat dimakan

Setelah mengetahui zat-zat gizi dari pangan yang dikonsumsi lansia, maka disesuaikan dengan AKG (2004) masing-masing zat gizi. Zat gizi makro (energi dan protein) dikatakan cukup apabila berada pada rentang 90-119%, dikatakan defisit berat apabila hanya memenuhi <70% AKG, defisit sedang apabila memenuhi 70-79%, defisit ringan apabila memenuhi 80-89%, berlebih apabila memenuhi >120% AKG. Zat gizi mikro dikatakan cukup apabila memenuhi >77% AKG dan kurang apabila <77% AKG (Gibson 2005).

DEFINISI OPERASIONAL

Angka kecukupan gizi adalah banyaknya tiap-tiap zat gizi esensial yang harus dipenuhi dari makanan sehari-hari untuk mencegah defisiensi zat gizi. Antropometri adalah pengukuran ukuran, berat dan proporsi tubuh. Komposisi

tubuh menunjukkan distribusi penyusunan tubuh (massa otot dan lemak tubuh) sebagai bagian dari berat badan.

Contoh adalah lansia yang berusia 60 tahun ke atas yang tinggal di Panti Werdha yang mampu berkomunikasi dengan baik, tidak pikun, tidak mengalami gangguan pendengaran serta dalam keadaan sehat.

Daya terima makanan adalah daya terima terhadap suatu makanan ditentukan oleh rangsangan yang ditimbulkan makanan melalui indera penglihatan, penciuman, pencicip dan juga indera pendengaran.

Konsumsi adalah suatu kegiatan untuk memasukkan makanan dalam tubuh untuk keberlangsungan kegiatan sehari-hari.

Lansia (lanjut usia) adalah seseorang yang karena usianya mengalami perubahan biologis, fisik, kejiwaan dan sosial yang nantinya akan mempengaruhi fungsi dan kemampuan badan secara keseluruhan usianya diatas 60 tahun.

Metode penimbangan langsung adalah metode survei konsumsi pangan yang paling akurat, karena dilakukan penimbangan secara cermat dan tepat terhadap makanan yang dikonsumsi.

Pendidikan adalah tingkatan sekolah yang pernah dialami oleh lansia dalam kegiatan belajar mengajar dan menuntut ilmu di pendidikan formal berdasarkan kategori SD/sederajat, SMP/sederajat, SMA/sederajat dan Perguruan Tinggi/sederajat.

(24)

9

seperti kebutuhan pangan, sandang, papan, transportasi, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya.

Pendapatan adalah jumlah uang yang diperoleh lansia untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari berupa kebutuhan pangan, transportasi, pendidikan, kesehatan, tabungan dan lainnya.

Panti werdha adalah tempat merawat dan menampung lansia.

Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh contoh yang dipengaruhi oleh asupan zat gizi masa lampau yang ditentukan berdasarkan IMT (kg/m2) yang mengacu pada Depkes (2005).

Status kesehatan adalah kondisi kesehatan lansia yang dilihat dari persepsi status kesehatan, disabilitas fisik, penyakit yang dialami, kemampuan dan perawatan kesehatan yang dilakukan.

Tekanan darah adalah kuatnya darah menekan dinding pembuluh darah saat dipompa dari jantung menuju keseluruhan jaringan.

Tinggi lutut adalah prediktor tinggi badan pada seseorang yang berusia 60 tahun ke atas.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha Bogor (RPSTW) adalah salah satu pelaksana UPTD Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha Ciparay Bandung dan Pemeliharaan Taman Makam Pahlawan di bawah naungan Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat, yang menangani, membina dan memberi pelayanan masalah sosial lanjut usia (Lansia).

Sejak beroperasinya RPSTW Bogor tahun 1956 sampai dengan 1997 setelah beberapa kali mengalami perubahan nama maka dengan terbitnya Surat Keputusan Gubernur No. 38 Tahun 1997 tentang pembentukan organisasi dan tata kerja RPSTW Sosial di lingkungan Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat, yaitu penyempurnaan dari Peraturan Daerah No. 09/Tj/78, kewenangan pengelolaan instalansi RPSTW Bogor diserahkan dari cabang Dinas Sosial Kota Bogor kepada Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat. Terakhir berdasarkan Pergub no.113 Tahun 2009 Instalansi RPSTW Sukma Raharja Bogor berubah namanya menjadi Sub Unit Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha Bogor.

Lokasi RPSTW beralamat di Jalan Raya R. Aria Suriawinata Kota Bogor, Gang Sukma Raharja RT. 04/05 Kelurahan Paledang, Bogor Tengah. Lokasi ini cukup strategis baik untuk hubungan dengan masyarakat lingkungan sekitarnya, pusat perbelanjaan dan Pemerintah Kota Bogor sehingga penghuni panti tidak merasa diasingkan. RPSTW dikelilingi oleh perumahan penduduk dan terdapat pasar pagi yang berlokasi di alur jalan masuk ke panti.

(25)

10

bangunan terdiri atas kantor, 13 ruang untuk tempat tinggal lansia, aula, gazebo, 1 unit mushola, 1 unit poliklinik, dapur/rumah makan, kamar mandi 9 buah dan 2 unit emergency room. Pembangunan sarana dan prasarana dibiayai oleh Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Jawa Barat yang tertuang dalam Dokumen Pelaksana Anggaran (DPA) pada Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat.

Kapasitas lansia yang dilayani di RPSTW sebanyak 60 orang dan pada umumnya adalah lansia perempuan. Jumlah tenaga kerja yang ada di RPSTW sebanyak 19 orang yang terdiri atas 7 orang Pegawai Negeri Sipil, 3 orang pramuwerdha, 3 orang perawat, 2 orang satpam, 2 orang cleaning service dan 2 orang juru masak.

Berdasarkan struktur organisasi nya kewenangan di RPSTW Bogor berbentuk lini. Pelaksanaan sistem produksi, yaitu dari kegiatan perencanaan sampai penyajian makanan merupakan tanggung jawab pelaksana kepegawaian dibantu oleh pelaksana pengelola makanan yang diawasi oleh kepala panti, pelaksana pelayanan sosial, pelaksana bagian tata usaha dan bagian keuangan. Struktur organisasi di RPSTW Sukma Raharja Bogor dapat dilihat pada Lampiran 1.

Karakteristik Contoh

Contoh dalam penelitian ini adalah lansia perempuan yang berusia >60 tahun. Mengacu pada kriteria inklusi (lansia berusia ≥ 60 tahun, tidak pikun, dalam keadaan sehat, tidak mengalami gangguan pendengaran dan mampu menjawab semua pertanyaan yang diajukan dengan baik) didapatkan jumlah contoh sebanyak 34 orang. Sebagian besar lansia (79.4%) tergolong lanjut usia

(elderly) dengan kisaran umur 60-74 tahun.

Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar lansia (32.4%) adalah lulusan sekolah dasar. Pendidikan lansia tergolong rendah karena jumlah sekolah masih terbatas, keterbatasan ekonomi serta akses menuju sekolah yang sulit dijangkau. Rendahnya pendidikan ini juga berbanding lurus dengan mata pencahariannya, dimana sebanyak 35.3% lansia bekerja sebagai buruh, asisten rumah tangga dan pengasuh anak. Lansia di RPSTW Bogor sebagian besar (35.3%) berasal dari kota Bogor dan memiliki sumber pendapatan yang sebagian besar berasal dari sosial (donatur).

Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik contoh

Karakteristik Keterangan n %

Usia (Th) Elderly (60-74) 27 79.4

Old (75-90) 7 20.6

Pendidikan Tidak Sekolah 14 41.2

SD 11 32.4

SMP 5 14.7

SMA 3 8.8

PT 1 2.9

Pekerjaan sebelum Tidak Bekerja 11 32.4

PNS 2 5.9

Karyawan Swasta 2 5.9

Wiraswasta 7 20.6

(26)

11

Penyelenggaraan Makanan

Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha Bogor mengelola penyelenggaraan makanan sendiri tanpa menggunakan jasa katering. Penyelenggaraan dilaksanakan di dapur panti oleh tenaga pengolah. Setiap hari Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha Bogor menyediakan makanan untuk 60 orang lansia (untuk makan pagi, siang dan malam) dan 10 orang tenaga kerja di Panti (untuk makan siang). Makanan yang disajikan merupakan makanan lengkap yang terdiri dari makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati dan sayur.. Makanan selingan juga terkadang diberikan, disesuaikan dengan dana yang ada. Selingan yang diberikan umumnya berupa kue atau buah. Makanan selingan umumnya diberikan di antara waktu makan siang dan makan malam.

Makanan yang di sajikan di RPSTW Bogor tidak berdasarkan diet dan jenis penyakitnya. Hal ini berbeda dengan penelitian Manasik (2011), mengenai penyelenggaraan makanan lansia di RS DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor yang membedakan pengaturan makan berdasarkan jenis diet, jenis penyakit dan kelas perawatan. Frekuensi makan lansia RS DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor sebanyak tiga kali makanan utama dan dua kali selingan. Susunan menu makan utama terdiri atas makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayur dan buah.

Sumber Daya Manusia

Tenaga Pengolah bahan makanan di RPSTW Bogor berjumlah dua orang. Jam kerja mulai pukul 04.00-17.00 WIB. Tidak ada pembagian waktu kerja, kedua tenaga pengolah ini bersama-sama dalam mengolah makanan baik makan pagi, siang dan malam. Namun untuk pembagian kerja terdapat pembagian, dimana seorang khusus memegang untuk makanan pokok dan sayur sedangkan seorang lagi bertugas untuk mengolah lauk nabati dan lauk hewani.

Aspek yang dilihat pada sumber daya penyelenggaraan makanan di panti yaitu pembagian dalam bekerja, status pendidikan tenaga pengolah serta kesesuaian jumlah tenaga pengolah (Depkes 2011). Sumber daya manusia dalam proses penyelenggaraan makanan di RPSTW Bogor dapat dilihat pada Tabel 4.

Berdasarkan Tabel 4, sumber daya manusia di RPSTW Bogor hanya memenuhi aspek pembagian dalam bekerja. Aspek lainnya, seperti status pendidikan dan kesesuaian jumlah tenaga belum terpenuhi. Jumlah tenaga kerja di RPSTW dalam proses penyelenggaraan makanan sangat sedikit. Tenaga pengolah berjumlah dua orang. Jumlah ini masih sangat sedikit karena para pekerja harus bekerja setiap hari tanpa memiliki hari libur tersendiri. Tenaga pengolah makanan umumnya bukan lulusan dari bidang tata boga.

Tabel 4 SDM dalam proses penyelenggaraan makanan di RPSTW Bogor

No Aspek Sumber Daya Manusia Penerapan

Memenuhi Tidak Memenuhi

1 Memperhatikan pembagian kerja dalam bekerja 1 0

2 Memperhatikan status pendidikan 0 1

3 Memperhatikan kesesuaian jumlah tenaga 0 1

Total 1 2

(27)

12

Dana Penyelenggaraan Makanan

Proses penyelenggaraan makanan di RPSTW Bogor dapat berjalan dengan adanya Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Jawa Barat yang tertuang dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) pada Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat serta bantuan lain (donatur) yang tidak mengikat. Adapun anggaran dana untuk makan lansia sebesar Rp 30.000/orang untuk tiga kali waktu makan per hari. Hal ini sangat berbeda dengan dana penyelenggaraan makanan di Panti Werdha milik swasta seperti pada penelitian Andrini (2012) yang menyatakan bahwa dana penyelenggaraan makanan berasal dari iuran bulanan masing-masing lansia yang disesuaikan dengan wisma yang ditempati dan sumbangan donatur kepada pihak panti. Adapun rincian biaya yang dikeluarkan berkisar Rp 750.000-2.800.000 per bulan per lansia.

Perencanaan Menu

Kegiatan penyelenggaraan makanan di RPSTW Bogor diawali dengan kegiatan perencanaan menu. Perencanaan menu adalah suatu kegiatan penyusunan menu yang akan diolah untuk memenuhi selera konsumen atau pasien dan kebutuhan zat gizi yang memenuhi prinsip gizi seimbang (PGRS 2005). Perencanaan menu di RPSTW Bogor dilakukan setiap dua bulan sekali oleh bagian pelayanan sosial dan kasir yang sebelumnya telah didiskusikan dan disetujui oleh kepala panti. Menu yang ada di RPSTW Bogor telah mempertimbangkan beberapa faktor, diantaranya peralatan dan jumlah tenaga kerja yang ada, ketersediaan bahan makanan dipasaran dan anggaran yang disediakan.

Perencanaan menu dapat dinilai dari berbagai aspek, seperti adanya petugas perencanaan menu, memperhatikan siklus menu, ketersediaan bahan makanan, dana yang tersedia, kebutuhan gizi konsumen, evaluasi menu serta keterlibatan ahli gizi dalam proses perencanaan menu (Depkes 2011). Penilaian perencanaan menu di RPSTW Bogor dapat terlihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Perencanaan di RPSTW Bogor

No Perencanaan Menu Penerapan

Memenuhi Tidak Memenuhi

1 Adakah petugas perencanaan menu 1 0

2 Memperhatikan siklus menu 0 1

3 Memperhatikan ketersediaan bahan yang ada di pasar 1 0

4 Memperhatikan dana yang tersedia 1 0

5 Memperhatikan kebutuhan gizi konsumen 0 1

6 Memperhatikan evaluasi menu 1 0

7 Melibatkan ahli gizi 0 1

Total 4 3

Nilai (%) 57.1 42.9

(28)

13

ahli gizi yang khusus membantu merencanakan menu lansia yang sesuai dengan kebutuhan gizi dan kondisi lansia. Berbeda dengan perencanaan menu di RS DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor yang melibatkan ahli gizi dalam perencanaan sehingga kebutuhan gizi pasien (lansia) terpenuhi (Manasik 2011).

Siklus ialah pergantian atau perputaran. Siklus menu ialah suatu pergantian berbagai susunan menu yang direncanakan dengan matang untuk jangka waktu tertentu dan berulang setelah jangka waktu itu selesai. Siklus menu yang digunakan di RPSTW Bogor adalah siklus menu sepuluh hari dengan satu hari khusus untuk tanggal 31 yang dapat dilihat pada Lampiran 2. Alasan menggunakan siklus menu sepuluh hari adalah agar tidak terjadi kebosanan atau pengulangan menu. Namun terkadang siklus menu yang telah ada tidak diterapkan dengan baik, seperti halnya pada siklus menu terdapat buah dan snack namun pada saat pengamatan tidak ada buah atau snack yang disajikan. Hal ini dikarenakan dana dari Dinas terkait terlambat diberikan. RPSTW Bogor dalam menyelenggarakan makanan lebih memperhatikan dana yang tersedia dibandingkan dengan menu yang telah dibuat.

Siklus menu di RPSTW Bogor sudah baik karena sudah menggunakan siklus sepuluh hari dan satu hari khusus untuk tanggal 31 sehingga memudahkan dalam perputaran dan pengulangan menu. Hal ini berbeda dengan siklus menu yang ada di Panti Werdha Bogor milik swasta yang menerapkan siklus menu tujuh hari (Andrini 2012). Siklus menu tujuh hari akan menyulitkan dalam perputaran khususnya pada tanggal-tanggal dibulan berikutnya berbeda dengan siklus menu 10 hari ditambah satu hari khusus yang memudahkan pada pergantian bulan berikutnya, dimana di awal bulan hari pertama akan menggunakan siklus menu pertama dan hari selanjutnya akan menggunakan siklus hari berikutnya. Selain itu siklus menu tujuh hari lebih cepat dalam pengulangan menu dibandingkan dengan siklus sepuluh hari sehingga dapat menyebabkan kebosanan.

Pembelian, Penerimaan dan Penyimpanan Bahan Makanan

Pembelian bahan makanan untuk bahan makanan basah seperti sayur dan bahan pangan hewani serta nabati dilakukan setiap hari. Pembelian umumnya dilakukan di pasar tradisional, seperti : Pasar Bogor dan Pasar SukmaRaharja. Pembelian sayuran seperti jagung, wortel dan sayuran lainnya sebanyak 5 kg/hari. Pembelian pangan hewani, untuk ikan kering seperti tongkol sebanyak 60 buah/hari (20 keranjang), daging dan ayam sebanyak 5-6 kg/hari, telur 4-5 kg/hari. Pangan nabati seperti tempe sebanyak 3-4 papan/hari dan untuk tahu 10-15 bungkus/hari. Pembelian umumnya dilakukan oleh kepala dapur atau staff di RPSTW Bogor. Pembelian bahan pangan dilaksanakan pada sore atau pagi hari.

(29)

14

kali pembelian sebanyak ±800 kg/bulan, susu sebanyak 80 dus/bulan, mie 1dus/minggu (jika ada menu yang menggunakan mie) dan minyak goreng ±10kg/minggu. Pembelian bahan kering maupun basah dilakukan oleh juru masak atau staff di RPSTW Bogor. Penyimpanan bahan kering disimpan pada gudang penyimpanan sedangkan bahan basah langsung diolah pada hari itu namun untuk bahan yang lebih atau tidak diolah pada saat itu disimpan dalam lemari pendingin. Pembelian dan penyimpanan bahan makanan dapat dilihat dari berbagai aspek yaitu memperhatikan jangka waktu dan kualitas bahan makanan pada saat pembelian, penerapan sistem FIFO (First In First Out), tempat dan suhu dalam penyimpanan bahan makanan (Depkes 2011). Pembelian dan penyimpanan bahan makanan di panti dapat dilihat pada Tabel 6.

Berdasarkan Tabel 6 pembelian dan penyimpanan makanan di RPSTW Bogor masih kurang baik. Hal ini dikarenakan pembelian bahan lebih memperhatikan pada dana yang disediakan. Selain itu, pada penyimpanan bahan makanan, suhu dan masuk keluarmya bahan dari gudang penyimpanan kurang diperhatikan. Pencatatan pada saat barang masuk ataupun keluar dari gudang tidak dilakukan secara berkala. Pencatatan dan pelaporan yang dilakukan dalam pelaksanaan pengelolaan di RPSTW Bogor hanyalah pelaporan tentang keuangan.

Tabel 6 Pembelian dan penyimpanan makanan di RPSTW Bogor

No Pembelian & Penyimpanan Penerapan

Memenuhi Tidak Memenuhi

Pembelian

1 Memperhatikan jangka waktu pembelian bahan

makanan 1 0

2 Memperhatikan kualitas bahan makanan 0 1

Penyimpanan

3 Memperhatikan sistem FIFO 0 1

4 Memperhatikan tempat penyimpanan makanan 1 0

5 Memperhatikan suhu penyimpanan bahan makanan 0 1

Total 2 3

Nilai (%) 40.0 60.0

Pengolahan Bahan Makanan

Kegiatan pengolahan bahan makanan menjadi tanggung jawab pelaksana juru masak yang berjumlah dua orang. Tempat pengolahan makanan juga harus memenuhi persyaratan teknis higiene sanitasi untuk mencegah resiko pencemaran terhadap makanan dan dapat mencegah masuknya lalat, kecoa, tikus dan hewan lainnya. Pengolahan bahan makanan di panti dapat dilihat dari pembagian proses dalam pengolahan (persiapan dan pemasakan), memperhatikan standar porsi serta penggunaan bahan tambahan pangan dalam proses penyelenggaraan makanan (Depkes 2011). Pengolahan bahan makanan di panti dapat dilihat pada Tabel 7.

(30)

15

bahan makanan dan pemorsian makanan. Makan pagi di RPSTW Bogor diolah pada pukul 04.30, makan siang sudah mulai diolah pada pukul 08.00 dan makan malam mulai diolah pukul 15.00. Sebelum makan pagi lansia diberikan teh manis, kopi atau susu. Khusus hari kamis setiap selesai senam pagi para lansia diberikan susu.

Tabel 7 Pengolahan bahan makanan di RPSTW Bogor

No Pengolahan Penerapan

Memenuhi Tidak Memenuhi

1 Pengolahan terbagi dalam dua tahap 1 0

2 Memperhatikan standar porsi 0 1

3 Memperhatikan pemakaian bahan tambahan pangan 0 1

Total 1 2

Nilai (%) 33.3 66.7

Distribusi Makanan

Distribusi makanan merupakan proses kegiatan penyaluran makanan sesuai dengan jumlah porsi dan jenis makanan pasien yang dilayani. Kegiatan distribusi meliputi pengisian, pengepakan dan transportasi. Makanan yang telah diolah kemudian ditempatkan pada wadah untuk didistribusikan kepada lansia. Lansia di RPSTW Bogor dikategorikan menjadi dua yaitu mandiri dan tidak mandiri. Lansia mandiri (tidak pikun dan sehat fisik) akan mengambil makanannya sendiri diruang penyajian. Ketika jam waktu makan tiba, lansia akan berbaris di ruang penyajian, kemudian lansia akan mengambil nasinya sendiri dan untuk sayur, lauk hewani serta lauk nabati akan diporsikan oleh petugas (juru masak).

Makan pagi didistribusikan pukul 06.30, makan siang pukul 11.30 dan makan malam pukul 17.00. Pendistribusian untuk lansia yang tidak mandiri (pikun, mengalami gangguan fisik, sakit berat) dilakukan oleh pramuwerdha. Pramuwerdha dan juru masak memorsikan makanan menggunakan plato pastik bersekat di ruang pengolahan kemudian didistribusikan ke kamar-kamar lansia yang tidak mandiri. Namun untuk porsi tidak distandarkan. Pramuwerdha di RPSTW Bogor berjumlah tiga orang yang dibagi dalam dua shift kerja yaitu pagi dan sore. Shift pagi mulai pukul 06.00-14.00 dan shift sore mulai pukul 14.00 keatas. Hal ini berbeda dengan pendistribusian makanan di Panti Werdha milik swasta berdasarkan pada penelitian Andrini (2012), pemorsian dan pendistribusian makanan di Panti Sosial Tresna Werdha Salam Sejahtera Bogor dilakukan oleh perawat dari masing-masing wisma sedangkan pendistribusian makan lansia di RS DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor dari dapur pusat dibawa ke masing-masing pantry

ruangan selanjutnya makanan didistribusikan sesuai dengan diet masing-masing pasien dan diberi label (Manasik 2011).

(31)

16

Tabel 8 Distribusi makanan di RPSTW Bogor

No Distribusi Makanan Penerapan

Memenuhi Tidak Memenuhi

1 Memperhatikan ketepatan waktu 1 0

2 Memperhatikan ketepatan jumlah 1 0

3 Memperhatikan temperatur makanan 0 1

Total 2 1

Nilai (%) 66.7 33.3

Higiene dan Sanitasi

Aspek sanitasi lingkungan di RPSTW Bogor dalam menjaga kualitas makanan sangat diperhatikan, namun hal ini tidak sejalan dengan higiene perorangan. Aspek higiene dan sanitasi dapat dinilai dari kelengkapan pakaian dan alat yang digunakan serta perilaku tenaga pengolah selama proses penyelenggaraan makanan berlangsung. Selain itu juga dapat dinilai dari ketersediaan alat penunjang kebersihan (Depkes 2011). Higiene dan sanitasi di panti dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Higiene dan sanitasi di RPSTW Bogor

No Aspek Higiene dan Sanitasi Penerapan

Memenuhi Tidak Memenuhi

Higiene

1 Menggunakan penjepit makanan 0 1

2 Memakai pelindung kepala 0 1

3 Menggunakan celemek 0 1

4 Tidak merokok selama memasak 1 0

5 Tenaga pengolah bebas dari penyakit 1 0

Sanitasi

6 Halaman bersih 1 0

7 Ruang pengolahan dalam keadaan bersih 1 0

8 Tersedia tempat sampah yang cukup 1 0

Total 5 3

Nilai (%) 62.5 37.5

Tabel 9 menggambarkan bahwa higiene dan sanitasi di RPSTW Bogor hanya memenuhi aspek higiene perorangan, yaitu tidak merokok dan bebas dari penyakit. Hal ini dapat terlihat selama pengamatan tenaga pengolah tidak menggunakan pakaian memasak atau alat pelindung diri seperti celemek, cempal dan penutup kepala. Namun untuk kebersihan lingkungan di sekitar area dapur sudah terjaga. Petugas selalu membersihkan ruangan dapur setiap selesai kegiatan pengolahan makanan. Higiene perorangan harus dipenuhi agar tidak menimbulkan pencemaran terhadap makanan yang akan disajikan. Menurut Moehyi (1997), untuk penerapan higiene, karyawan perlu dilengkapi dengan pakaian kerja khusus seperti sarung tangan, alat penjepit makanan dan alat penutup kepala serta badan.

Daya Terima

(32)

17

indera pendengaran. Daya terima makanan dapat dilihat dari organoleptik makanan yang disajikan. Daya terima contoh ditentukan dari tingkat kesukaan contoh terhadap jenis hidangan serta karakteristik makanan yang disajikan seperti pada Tabel 10.

Tabel 10 Sebaran lansia berdasarkan tingkat kesukaan terhadap jenis hidangan

Tingkat kesukaan Rasa Porsi

n % n %

Kurang 1 2.9 2 5.9

Cukup 18 52.9 21 61.8

Baik 15 44.1 11 32.4

Total 34 100 34 100

Berdasarkan Tabel 10, Sebagian besar lansia (52.9%) cukup menyukai rasa dan porsi makanan (61.8 %) yang disediakan di panti. Porsi yang disediakan cukup baik karena untuk nasi, lansia mengambil sendiri sedangkan untuk lauk pauk telah diporsikan oleh petugas. Kategori rasa cukup baik pada semua waktu makan. Rasa masakan telah disesuaikan dengan selera sebagian lansia. Selain itu, adanya tambahan sambal pada setiap hidangan membangkitkan selera makan pada lansia. Penilaian lansia terhadap makanan yang disediakan sangat terkait dengan penerimaan makanan yang akan berpengaruh pada kemampuan mengonsumsinya.

Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan adalah informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dimakan seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Menurut Arisman (2009), lansia memerlukan pangan yang relatif kecil jumlahnya tetapi tinggi mutunya. Penilaian konsumsi pangan dapat menggambarkan kualitas dan kuantitas asupan dan pola makan lansia melalui pengumpulan data dalam survei konsumsi makanan. Pengukuran konsumsi pangan menggunakan metode penimbangan langsung dengan pengamatan. Frekuensi makanan yang disediakan panti adalah 3 kali makan utama. Konsumsi juga erat kaitannya dengan kebiasaan makan lansia, dimana sebagian lansia ada yang mengkonsumsi makanan diluar panti, mengkonsumsi suplemen, konsumsi cairan dan selingan. Berikut tabel sebaran berdasarkan kebiasaan makan.

Tabel 11 Sebaran lansia berdasarkan kebiasaan makan

Kategori n %

Sarapan 34 100

Selingan 34 100

Jajan diluar 21 62

Konsumsi suplemen 26 76

Cairan <6 gls/hari 25 74

Cairan ≥6 gls/hari 9 26

Konsumsi Makanan Dalam Panti

(33)

18

karbohidrat yang disediakan panti, meliputi nasi putih dan nasi goreng. Pangan hewani yang umumnya disediakan yaitu ikan, ayam, daging dan telur sedangkan untuk pangan nabati meliputi tahu dan tempe. Hidangan sayur yang disajikan

Lansia selain mengkonsumsi makanan dalam panti juga mengonsumsi hidangan di luar panti. Berdasarkan hasil pengamatan sebanyak 62% lansia mengonsumsi makanan diluar panti. Sebagian besar lansia jajan di luar karena rasa lapar, mengingat panti hanya menyediakan tiga kali makan utama. Jenis makanan yang umumnya dikonsumsi dari luar panti adalah roti, biskuit dan gorengan. Konsumsi makanan diluar panti umumnya pada waktu selingan antara pagi dan siang hari serta antara siang dan sore hari. Rata-rata konsumsi makan lansia diluar panti per harinya sebesar 140 kkal dan 2.3 g protein.

Tabel 12 Konsumsi makan lansia

Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi

Energi yang dibutuhkan oleh lansia berbeda dengan energi yang dibutuhkan oleh orang dewasa karena perbedaan aktivitas fisik yang dilakukan. Selain itu, energi juga dibutuhkan oleh lansia untuk menjaga sel-sel maupun organ-organ dalam tubuh agar bisa tetap berfungsi dengan baik walaupun fungsinya tidak sebaik seperti saat masih muda.

Kebutuhan kalori pada lansia akan menurun sekitar 5% pada usia 40-49 tahun dan 10% usia 50-59 tahun serta 60-69 tahun. Kecukupan gizi yang dianjurkan untuk lansia (>60 tahun) pada pria adalah 2200 kalori dan pada wanita adalah 1850 kalori. Menurut WHO, seseorang yang telah berusia 40 tahun sebaiknya menurunkan konsumsi energi sebanyak 5% dari kebutuhan sebelumnya, kemudian pada usia 50 tahun dikurangi lagi sebanyak 5%. Selanjutnya, pada usia 60-70 tahun, konsumsi energi dikurangi lagi 10% dan setelah berusia diatas 70 tahun dikurangi 10%.

(34)

19

Tingkat kecukupan energi dan zat gizi seseorang atau kelompok orang dapat diketahui dengan cara membandingkan kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang dengan kebutuhannya. Angka kecukupan zat gizi didasarkan pada jenis kelamin dan berat badan pada masing-masing kelompok umur. AKG, konsumsi dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi pada lansia dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 13 AKG, konsumsi dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi pada lansia

Energi dan zat gizi Rata-rata

AKG Konsumsi Tk. Kecukupan (%) Energi (kkal) 1676±371 1482±328 90±23 Protein (g) 43.5±9.6 42.1±9.6 99±26 Vitamin A (RE) 453.1±100.3 149.2±39.1 34±10 Kalsium (mg) 453±100.3 182.7±1670.3 90±333 Besi (mg) 12.7±2.8 5.9±1.6 45±12

Konsumsi energi lansia sehari berkisar antara 1082-2601 kkal/hari dengan rata-rata 1482 kkal/hari. Rata-rata AKG gizi lansia adalah 1676 kkal/hari. Keseluruhan konsumsi energi lansia yang tinggal di RPSTW Bogor lebih rendah daripada kebutuhan yang seharusnya dipenuhi oleh lansia. Hal ini disebabkan karena pada lansia terjadi penurunan fungsi sistem gastrointestinal seperti tanggalnya gigi yang mempengaruhi kenyamanan untuk makan, penurunan sensitivitas indera penciuman dan perasa yang dapat menurunkan selera makan, penurunan sekresi saliva yang mengakibatkan pengeringan rongga mulut yang dapat mempengaruhi cita rasa. Selain itu pada lansia juga terjadi penurunan produksi asam lambung dan enzim pencernaan serta penurunan kemampuan mencerna dan menyerap zat gizi (absorpsi) serta penurunan motilitas usus yang dapat menyebabkan gangguan pada saluran pencernaan.

Menurut Fatmah (2010), salah satu faktor yang mempengaruhi kebutuhan gizi pada lansia adalah perubahan hormon. Pertambahan usia menyebabkan terjadinya peningkatan sensitivitas hormon kolesistokinin (CCK) yaitu hormon yang mengontrol nafsu makan. Kombinasi antara peningkatan CCK dalam tubuh dan peningkatan sesitivitas CCK terhadap rasa kenyang pada lansia menyebabkan terjadinya anoreksia. Pada lansia, waktu yang dibutuhkan untuk mengosongkan lambung lebih lama. Hal ini menjelaskan mengapa lansia memiliki efek kenyang lebih lama dibandingkan usia yang lebih muda. Selain CCK, hormon yang mempengaruhi anoreksia dan penurunan berat badan pada lansia yaitu leptin, opioid, nitrit oksida dan sitokin.

(35)

20

yang berlebih akan memaksa kerja ginjal yang fungsinya telah menurun akibat penuaan.

Tabel 14 Sebaran lansia berdasarkan tingkat kecukupan energi dan zat gizi

Kategori Energi Protein Kategori Vit A Kalsium Besi

n % n % n % n % n %

Defisit Tk. Berat 2 5.9 3 8.8 Kurang 34 100 33 97.1 33 97.1

Defisit Tk. Sedang 6 17.6 8 23.5 Cukup 0 0 1 2.9 1 2.9

Defisit Tk. Ringan 4 11.8 7 20.6

Normal 12 35.3 9 26.5

Kelebihan 10 29.4 7 20.6

Total 34 100 34 100 Total 34 100 34 100 34 100

Rata-rata asupan vitamin A pada lansia berkisar 149.2 RE/hari. Tingkat kecukupan rata-rata vitamin A dalam kategori kurang. Kekurangan ini dapat dikarenakan rendahnya konsumsi pangan yang mengandung vitamin A. Vitamin A memegang peranan penting dalam sistem imunitas tubuh. Vitamin A pada lansia juga memiliki fungsi untuk melawan radikal bebas yang menyebabkan penuaan. Kekurangan vitamin A akan menyebabkan respons kekebalan yang menurun (sering terkena penyakit infeksi), terhambatnya perkembangan mental dan terjadinya xeroftalmia (Fatmah 2010).

Konsumsi kalsium pada lansia berkisar 111.1-981.2 mg/hari dengan rata-rata sebesar 182.7 mg/hari. Konsumsi kalsium pada lansia tergolong kurang (97.1%) dari yang dianjurkan yaitu sebesar 500 mg/hari. Hal ini diduga karena rendahnya konsumsi pangan sumber kalsium yang dikonsumsi lansia. Salah satu sumber kalsium yang terbesar dan mudah diserap adalah susu. Lansia yang tinggal di RPSTW Bogor dalam kesehariannya sangat jarang mengkonsumsi susu. Umumnya lansia mengkonsumsi susu setiap hari Kamis pagi setelah selesai mengikuti kegiatan olahraga. Menurut Flynn dan Cashman (1999), peningkatan asupan kalsium dari makanan yang biasa dikonsumsi akan memberi keuntungan untuk perkembangan dan pemeliharaan tulang dan dapat mengurangi risiko osteoporosis pada usia lanjut.

Kisaran konsumsi besi sebesar 3.5-9.4 mg/hari dengan rata-rata 5.9±1.6 mg/hari. Konsumsi besi pada lansia masih kurang dari yang dianjurkan sebesar 14 mg/hari. Zat besi umumnya paling banyak terdapat pada daging. Berdasarkan siklus menu, hidangan dengan bahan dasar daging jarang disediakan. Hal ini dapat menyebabkan asupan zat besi lansia menjadi rendah. Zat besi diperlukan tubuh untuk pembentukan hemoglobin dan myoglobin yang diperlukan dalam metabolisme tubuh mengangkut dan menyimpan oksigen serta sintesis DNA. Rendahnya status mineral pada lansia dapat terjadi karena asupan mineral yang tidak cukup, perubahan fisiologis dan pengobatan (Harris 2004).

Konsumsi Suplemen dan Cairan

(36)

21

kemungkinan besar kebutuhan vitamin dan mineral dari makanan tidak mencukupi sehingga perlu adanya tambahan suplemen yang sangat dibutuhkan oleh tubuh pada usia 50 tahun ke atas (Fatmah 2010).

Berdasarkan hasil pengamatan sebagian besar lansia di RPSTW Bogor mengonsumsi suplemen seperti vitamin dan mineral. Sebaran lansia yang mengonsumsi suplemen dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 menunjukkan bahwa sebagian besar lansia (76%) mengonsumsi suplemen. Suplemen yang umumnya dikonsumsi berupa vitamin dan mineral seperti vitamin B1, vitamin B6, vitamin B kompleks, vitamin C, zinc (Zn) dan Besi (Fe). Menurut Fatmah (2010), konsumsi suplemen bagi lansia dianjurkan 1 buah atau 1 tablet per hari. Suplemen ini berfungsi sebagai antioksidan yang dapat menghambat kerusakan membran sel yang disebabkan oleh oksidator.

Tabel 15 Sebaran lansia berdasarkan konsumsi suplemen

Jenis Suplemen n %

Vitamin 19 55.9

Mineral 4 11.8

Vitamin & mineral 2 5.9

Minyak ikan 1 2.9

Cairan sangat dibutuhkan oleh manusia karena sebagian besar tubuh manusia itu sendiri terdiri dari air atau cairan. Berdasarkan Tabel 11, diketahui sebagian besar lansia (74%) mengonsumsi cairan kurang dari 6 gelas/hari. Menurut Fatmah (2010), konsumsi cairan yang direkomendasikan untuk lansia sebesar 6 gelas/hari pada keadaan sehat. Kurangnya konsumsi cairan pada lansia dapat dikarenakan terjadinya perubahan-perubahan yang dialami lansia, diantaranya adalah penurunan fungsi ginjal untuk memekatkan urin dan penurunan rasa haus. Kekurangan cairan dapat mengakibatkan peningkatan resiko penyakit pada sistem ekskresi. Menurut penelitian Yulizawati (2013), frekuensi minum air putih antara lansia yang tinggal di Panti lebih banyak dibandingkan dengan lansia yang tinggal bersama keluarga. Hal ini diduga karena lansia lebih terbiasa mengonsumsi air putih dan keterbatasan jenis minuman yang disediakan di Panti.

Status Gizi

Penilaian status gizi lansia diukur dengan antropometri yaitu tinggi badan (TB) dan berat badan (BB). Akan tetapi, pengukuran tinggi badan lansia sangat sulit dilakukan mengingat adanya masalah postur tubuh seperti terjadinya kifosis atau pembengkokan tulang punggung, sehingga lansia tidak dapat berdiri tegak. Oleh karena itu, perkiraan tinggi badan dapat menggunakan pengukuran tinggi lutut. Sebaran lansia berdasarkan status gizi dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16 Sebaran lansia berdasarkan status gizi

Kategori n %

Underweight 13 38.2

Normal 14 41.2

Overweight 4 11.8

Obesitas 3 8.8

(37)

22

Berdasarkan Tabel 16, sebagian lansia (41.2%) memiliki status gizi normal. Namun masih ada yang memiliki status gizi kurang (38.2%). Status gizi berkaitan dengan tinggi badan dan berat badan. Hal yang diduga menjadi alasan adanya masalah gizi kurang pada lansia adalah perubahan komposisi tubuh yang terjadi pada lansia (tahap penuaan) yang dapat mempengaruhi antropometri yang selanjutnya akan berdampak pada status gizi. Selain itu, pada lansia juga terjadi perubahan fisiologi tubuh, seperti terjadinya penurunan sekresi saliva mengakibatkan pengeringan rongga mulut yang dapat mempengaruhi cita rasa, penurunan sensitivitas indera penciuman dan perasa yang dapat menurunkan selera makan serta tanggalnya gigi yang mempengaruhi kenyamanan untuk makan yang akan berdampak pada penurunan berat badan pada lansia (Fatmah 2010).

Menurut Patriasih et al. (2013), menyatakan bahwa indeks massa tubuh dan lingkar pinggang pada lansia yang tinggal di non panti lebih besar dibandingkan dengan lansia yang tinggal di panti. Hal ini dapat dikarenakan asupan gizi yang berlebihan. Peningkatan indeks massa tubuh berkaitan erat dengan peningkatan penyakit degeneratif kronis, seperti DM tipe 2, penyakit kardiovaskular dan kanker.

Hal ini berbeda dengan penelitian Yuizawati (2013), yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara lansia yang tinggal di panti dengan yang non panti. Sebagaian besar lansia di Kota Bandung yang tinggal di Panti memiliki status gizi normal (37%), namun masih ada sebagian lansia yang memiliki status gizi kurang sebesar (8.7%).

Masalah gizi kurang juga dapat dipengaruhi oleh adanya penyakit yang dialami oleh lansia tersebut. Jika seorang lansia memiliki penyakit degeneratif, maka asupan gizinya menjadi berkurang. Selain itu pengobatan juga dapat mempengaruhi gizi pada lansia. Obat-obatan yang dikonsumsi untuk menyembuhkan penyakit dapat menimbulkan efek samping dan menghasilkan interaksi negatif dengan zat gizi dalam tubuh. Keadaan ini dapat berakibat buruk pada status gizi pasien. Menurut Bray (1991), untuk mencapai status gizi yang baik diperlukan pangan yang mengandung cukup zat gizi, aman untuk dikonsumsi dan dapat memenuhi kebutuhan seseorang.

Sebanyak 20.6% lansia juga mengalami gizi berlebih. Hal ini dapat dikarenakan faktor genetik juga asupan yang berlebih. Sumber energi yang dikonsumsi lansia umumnya berupa nasi, mie dan kentang. Menurut Gross et al

(2004), asupan energi yang berlebihan dan tertimbun didalam tubuh, terutama dalam jaringan adiposa dalam bentuk lemak dapat menimbulkan obesitas yang pada akhirnya akan menyebabkan resistensi insulin dan sindroma metabolik.

Status Kesehatan

Salah satu indikator dalam mengukur status kesehatan dapat dilihat dari skor morbiditas. Semakin bertambahnya usia maka akan lebih mudah untuk terserang berbagai penyakit degeneratif seperti hipertensi, diabetes mellitus, jantung, kanker, osteoporosis (Jauhari 2003). Sebaran lansia berdasarkan status kesehatan berdasarkan jenis penyakit dapat dilihat pada Tabel 17.

(38)

23

peka terhadap efek makanan tinggi garam (natrium). Kepekaan yang meningkat pada lansia ini menyebabkan menurunnya pengeluaran natrium melalui air seni. Tingginya intake garam, lemak dan protein dapat meningkatkan resiko hipertensi, selain itu tingginya intake lemak jenuh ganda akan menurunkan tekanan darah. Erlinger (2000) menyatakan bahwa kelebihan gizi dapat meningkatkan resiko penyakit hipertensi, lansia yang menderita hipertensi 61% kelebihan berat badan. Venkatraman (2002) juga menyatakan bahwa kelebihan berat badan berhubungan erat dengan terjadinya penyakit hipertensi.

Tabel 17 Sebaran lansia berdasarkan jenis penyakit

Kategori n %

Sebagian besar lansia juga menderita penyakit GOUT atau asam urat. Hal ini dapat dikarenakan konsumsi makanan yang mengandung tinggi purin. Selain itu dapat disebabkan karena tubuh juga menghasilkan asam urat yang merupakan metabolisme akhir purin. Di dalam tubuh perputaran purin akan terjadi secara terus menerus seiring dengan sintesis dan penguraian DNA serta RNA sehingga apabila tidak mengkonsumsi makanan yang mengandung purin tubuh akan tetap membentuk asam urat dalam jumlah yang substansial (Kumalasari et al. 2009).

Persentase penyakit berikutnya yang diderita oleh lansia adalah anemia (20.6%). Menurut Patriasih et al. (2013), menyatakan prevalensi anemia pada lansia yang tinggal di Panti lebih tinggi (45.1%) dibandingkan dengan yang tidak tinggal di Panti (28.9%). Anemia didefinisikan sebagai keadaan di mana kadar Hb rendah karena kondisi patologis. Anemia gizi adalah keadaan ketika kadar hemoglobin, hematokrit dan sel darah merah lebih rendah dari normal sebagai akibat dari defisiensi salah satu atau beberapa zat gizi (Fatmah 2010). Anemia dapat disebabkan oleh defisiensi Fe, asam folat dan vitamin B12 yang semuanya berakar pada asupan yang tidak cukup dan ketersediaan yang rendah.

Lansia di RPSTW juga ada yang menderita anoreksia. Hal ini dikarenakan pertambahan usia yang menyebabkan terjadinya peningkatan sensitivitas hormon kolesistokinin (CCK). Kombinasi antara peningkatan konsentrasi CCK dalam tubuh dan peningkatan sensitivitas CCK terhadap rasa kenyang pada lansia menyebabkan terjadinya anoreksia.

Sebanyak (11.8%) lansia di RPSTW Bogor menderita diabetes mellitus. Hasil penelitian Erlinger (2000), menyatakan bahwa kelebihan gizi dapat meningkatkan penyakit diabetes mellitus. Sebanyak 25.2% penderita diabetes adalah obes dan 26.8% penderita diabetes adalah overweight. Penurunan berat badan merupakan pengobatan terbaik untuk pasien diabetes yang gemuk. Kegemukan menyebabkan jumlah insulin tidak cukup untuk mempertahankan kadar glukosa dalam batas normal, akibatnya kadar glukosa dalam darah menjadi tinggi.

(39)

24

berkurang dibandingkan pada saat dewasa, selain itu terjadi penurunan daya tahan paru-paru karena asap rokok dan polusi udara yang menjadikan lansia rentan terhadap berbagai gangguan paru-paru dan pernafasan (Fatmah 2010)

Persentase hipertensi yang cukup besar (67.6%) pada lansia menjadi perhatian untuk mencegah timbulnya komplikasi. Berikut sebaran lansia berdasarkan tekanan darah. Berdasarkan Tabel 18, sebagian lansia (54%) mengalami hipertensi. Menurut penelitian Andriani dalam Venny, Zaimah (2013) salah satu masalah kesehatan yang sering terjadi pada lansia adalah hipertensi atau tekanan darah tinggi. Beberapa faktor resiko yang dapat mempengaruhi hipertensi antara lain: umur, jenis kelamin, merokok, stress, konsumsi alkohol, konsumsi garam, pendapatan, status gizi, dan obesitas. Menurut Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure, umumnya tekanan darah bertambah secara perlahan dengan

bertambahnya umur. Risiko untuk menderita hipertensi pada populasi ≥ 55 tahun

yang tadinya tekanan darahnya normal adalah 90%.

Tabel 18 Sebaran lansia berdasarkan kategori hipertensi

Kategori n %

Normal 16 47

Mild Hypertension 8 24

Moderate Hypertension 5 15

Severe Hypertension 5 15

Total 34 100

Menurut Hayens (2003), tekanan darah timbul ketika bersikulasi di dalam pembuluh darah. Organ jantung dan pembuluh darah berperan penting dalam proses sirkulasi dimana jantung sebagai pompa muskular yang menyuplai tekanan untuk menggerakan darah dan pembuluh darah yang memiliki dinding elastis dengan ketahanan yang kuat. Menurut Krummel (2004), Tekanan sistolik terus meningkat sampai usia 80 tahun dan tekanan diastolik terus meningkat sampai usia 55-60 tahun, kemudian berkurang secara perlahan atau bahkan menurun drastis.

(40)

25

Hubungan Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi dengan Status Gizi Hasil uji korelasi Pearson pada Tabel 19 menunjukkan bahwa tingkat kecukupan energi dan protein tidak memiliki hubungan yang nyata dengan status gizi (p>0.05). Status gizi merupakan keadaan kesehatan seseorang atau sekelompok orang yang disebabkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat gizi makanan masa lalu. Food weighing ataupun food recall 1x 24 jam tidak dapat menggambarkan status gizi seseorang pada saat itu. Penelitian Fauziah (2012) menyatakan bahwa konsumsi pangan serta asupan energi tidak memiliki hubungan yang signifikan dikarenakan food recall tidak dapat menggambarkan status gizi pada saat itu.

Menurut Sukandar (2007), pada dasarnya keadaan gizi ditentukan oleh konsumsi pangan dan kemampuan tubuh dalam menggunakan zat gizi tersebut. Penelitian ini mengambil contoh lansia yang merupakan kelompok yang telah mengalami penurunan fungsi dan metabolisme tubuh, sehingga penyerapan zat gizi dalam tubuh tidak optimal untuk menyediakan cadangan dalam tubuh. Hubungan asupan energi, protein dengan status gizi dapat dilihat pada Tabel 19.

Tabel 19 Korelasi antara tingkat kecukupan energi, protein dengan status gizi

Peubah Status Gizi

r p

TKE 0.254 0.147

TKP 0.184 0.296

Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan pada Tabel 20 bahwa tingkat kecukupan vitamin dan mineral seperti Vitamin A, kalsium, zat besi tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan status gizi. Hasil penelitian yang sama juga diperoleh oleh Yulizawaty (2013), yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan vitamin dan mineral dengan status gizi. Hal ini diduga karena konsumsi lansia terhadap sumber makanan vitamin dan mineral seperti protein hewani, sayuran dan buah masih sangat terbatas. Selain itu adanya kebiasaan lansia mengonsumsi teh manis, sayur bayam secara bersamaan sehingga zat gizi yang terserap ke dalam tubuh hanya sedikit disebabkan oleh sifat inhibitor yang terdapat pada setiap jenis pangan.

Menurut Thankachan et al (2008), menyatakan zat yang menghambat penyerapan zat besi antara lain asam fitat, asam oksalat dan polifenol seperti tannin yang terdapat pada teh dan kopi. Berikut hasil uji korelasi antara tingkat kecukupan vitamin dan mineral dengan status gizi pada Tabel 20.

Tabel 20 Korelasi antara tingkat kecukupan vitamin, mineral dengan status gizi

Peubah Status Gizi

r p

TK Vit A -0.318 0.066

TK Kalsium -0.279 0.110

(41)

26

Hubungan Tekanan Darah dengan Status Gizi

Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (r = -0.219 dan p = 0.214) antara tekanan darah dengan status gizi. Hasil penelitian yang sama juga diperoleh oleh Destyana (2009), yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara indeks massa tubuh dengan tekanan darah di Kecamatan Purwokerto Timur. Hal ini diduga karena tekanan darah dipengaruhi oleh banyak faktor seperti faktor genetik, aktivitas saraf simpatis, konsumsi garam yang berlebihan dan aktivitas fisik.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Lansia di RPSTW Bogor memiliki pendidikan yang tergolong rendah yaitu sebanyak 32.4% adalah lulusan Sekolah Dasar. Rendahnya pendidikan ini juga berbanding lurus dengan mata pencahariannya yang sebagian besar bekerja sebagai buruh dan asisten rumah tangga. Para lansia umumnya berasal dari kota Bogor dan memiliki sumber pendapatan sebagian besar dari sosial (donatur)

RPSTW Bogor mengelola penyelenggaraan makanan sendiri tanpa menggunakan jasa katering. Siklus menu yang dipakai adalah siklus 10 hari ditambah 1 hari khusus untuk tanggal 31. Frekuensi makan sebanyak 3 kali waktu makan utama dengan anggaran dana Rp 30.000 per lansia. Penyelenggaraan makanan di RPSTW Bogor mulai dari perencanaan hingga distribusi makanan masih tergolong kurang karena ada beberapa kriteria penyelenggaraan makanan (mengacu pada Depkes) yang belum dipenuhi yaitu tidak memperhatikan kebutuhan gizi lansia pada saat menyusun menu dan siklus menu, serta kurang memperhatikan higiene perorangan.

Daya terima contoh terhadap rasa dan porsi hidangan yang disajikan cukup baik. Status gizi lansia sebagian besar normal (56%). Sebagian besar lansia (67.6%) menderita hipertensi dengan persentase terbesar (24%) tergolong mild hypertension (hipertensi ringan).

Konsumsi energi lansia sehari berkisar antara 1082-2601 kkal/hari dengan rata-rata 1482 kkal/hari sedangkan konsumsi protein lansia berkisar 29.9-76.8 g dengan rata-rata 42.1g/hari. Selain konsumsi pangan, lansia juga mengkonsumsi suplemen. Sebagian besar lansia (58.8%) mengkonsumsi suplemen jenis vitamin, seperti vitamin B1, B6, B kompleks dan vitamin C.

Tingkat kecukupan baik energi maupun protein masih defisit begitu juga dengan tingkat kecukupan vitamin dan mineral masih kurang. Hasil uji korelasi

Gambar

Gambar 1 Kerangka Pemikiran
Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data
Tabel 2 Variabel dan indikator data yang dianalisis
Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik contoh
+4

Referensi

Dokumen terkait

 Hak akses owner antara lain penjualan, pembelian, retur penjualan, retur pembelian, lihat retur, user, pelanggan, supplier, barang, strata harga, jenis

integral of absolute error between actual engine torque output with desired engine torque input which calculated from engine torque mapping for economical vehicle

tertarik untuk mengkaji tentang pengelolaan pembelajaran kelas inklusi, dengan judul Pe gelolaa pembelajaran kelas inklusi di SDN Ronggo 03 Kecamatan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan adapun saran yang dapat diajukan yaitu: (1) Sebaiknya pendidik selalu memperhatikan aspek pembelajaran dari

Terhadap upaya penegakan kode etik atas tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota kepolisian dalam penanganan perkara pidana sebagaimana kasus yang dilukiskan

Kemudian menurut pendapat Thoha (2007) dijelaskan bahwa gaya kepemimpinan merupakan cara yang dihgunakan oleh seorang pemimpin dalam mempengaruhi bawahan agar

Diketahui bahwa event ESMOD Festival 2012 ber- tujuan untuk mempromosikan dunia fashion terutama di kalangan mahasiswa/i, responden yang mengatakan setuju sebanyak sebanyak 15

Konsep tentang Locus of Control yang digunakan Rotter (1966) memiliki empat konsep dasar, yaitu a) Potensi perilaku yaitu setiap kemungkinan yang secara relatif