REZIM AIR TANAH DAN EMISI GAS RUMAH KACA
DI HUTAN RAWA GAMBUT PT. RIMBA MAKMUR UTAMA,
KATINGAN, KALIMANTAN TENGAH
ANGGI RUSTINI
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Rezim Air Tanah dan Emisi Gas Rumah Kaca di Hutan Rawa Gambut PT. Rimba Makmur Utama, Katingan, Kalimantan Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
ABSTRAK
ANGGI RUSTINI, Rezim Air Tanah dan Emisi Gas Rumah Kaca di Hutan Rawa Gambut PT. Rimba Makmur Utama, Katingan, Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh DANIEL MURDIYARSO.
Hutan rawa gambut memberikan jasa ekosistem berupa penyeimbang sistem hidrologi bagi kawasan di sekitarnya yang ditandai oleh kemampuannya untuk mempertahankan tinggi muka air tanah. Pengukuran rezim air tanah penting dilakukan untuk memahami responnya terhadap kesetimbangan fluks gas rumah kaca di lahan gambut. Pada penelitian ini, pengukuran tinggi muka air tanah dilakukan dengan menggunakan HOBO U20 yang ditempatkan di dalam sumur pemantauan. Selain itu juga dilakukan pengukuran fluks CO2, N2O dan CH4
dengan metode sungkup tertutup. Rezim air tanah dipengaruhi oleh curah hujan dan karakteristik tanah gambut termasuk jenis tutupan lahan. Hasil menunjukkan bahwa gambut mengalami keterlambatan dalam merespon curah hujan kurang lebih selama satu bulan dalam analisis curah hujan bulanan. Tinggi muka air tanah berkorelasi negatif dengan emisi CO2 gambut ke atmosfer, mencapai 0.75±0.06
gr/m2/jam (semak) dan 0.46±0.02 gr/m2/jam (hutan sekunder) pada kondisi gambut terdrainase. Emisi CH4 yang lebih tinggi pada kondisi gambut tergenang
mencapai 24.57±5.95 mg/m2/jam (semak) dan 17.10±3.76 mg/m2/jam (hutan sekunder). Sementara N2O tidak menunjukkan keterkaitan yang jelas dengan
rezim air tanah.
Kata kunci : Fluks gas , hutan sekunder, ketinggian air tanah, semak
ABSTRACT
ANGGI RUSTINI, Soil Water Regimes and Greenhouse Gases Emission of Peat Swamp Forest in PT. Rimba Makmur Utama, Katingan, Central Kalimantan. Supervised by DANIEL MURDIYARSO.
Peat swamp forests provide ecosystem services such as hydrological system balancing for the surrounding area which is characterized by its ability to maintain water level. Measurements of soil water rezime is important to understand its response of equilibrium greenhouse gases flux in peatland. In this research, water level measurements performed using HOBO U20 placed in the 4 observation wells. In addition, the CO2, N2O and CH4 flux measurements by the closed
chamber method. Soil water rezime was affected by rainfall and peat soil characteristics including land cover types. Results showed that there was delay in peat to response the rainfall for about one month in the rainfall monthly analysis. Water level was negatively correlated with the CO2 emissions into the
atmosphere, 0.75±0.06 gr/m2/hr (bush) and 0.46±0.02 gr/m2/hr (secondary forest) in dry condition. Methane (CH4)fluxes were higher in waterlogger peat condition
reached 24.57±5.95 mg/m2/hr (bush) and 17.10±3.76 mg/m2/hr (secondary forest),
while N2O did not show a significant affected by soil water rezimes.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains
pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi
REZIM AIR TANAH DAN EMISI GAS RUMAH KACA
DI HUTAN RAWA GAMBUT PT. RIMBA MAKMUR UTAMA,
KATINGAN, KALIMANTAN TENGAH
ANGGI RUSTINI
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Skripsi : Rezim Air Tanah dan Emisi Gas Rumah Kaca di Hutan Rawa Gambut PT. Rimba Makmur Utama, Katingan, Kalimantan Tengah Nama : Anggi Rustini
NIM : G24100058
Disetujui oleh
Prof Dr Ir Daniel Murdiyarso, MS Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Tania June, MSc Ketua Departemen
PRAKATA
Segala puji dan syukur dicurahkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan karunia-Nya sehingga penulis berkesempatan untuk melakukan penelitian lapang dan menyesaikan karya ilmiah ini dalam rangka tugas akhir program sarjana Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA IPB. Penelitian yang dilaksanakan penulis berjudul “Rezim Air Tanah dan Emisi Gas Rumah Kaca di Hutan Rawa Gambut PT.Rimba Makmur Utama, Katingan, Kalimantan Tengah”.
Penulis mengucapkan terima kasih yang luar biasa kepada Prof. Daniel Murdiyarso atas bimbingan dan arahan kepada penulis dalam melaksanakan penelitian lapang, kegiatan magang di CIFOR (Center for International Forestry Research) hingga diselesaikannya studi ini. Kemudian ungkapan terima kasih kepada Bpk. Muh. Taufik, SSi, MSi dan Bpk. Dr Ir Sobri Effendy, MSi sebagai dosen penguji pada ujian tertutup. Penulis menghaturkan banyak terima kasih kepada CIFOR dan ICCC, yang melalui program IPN (Indonesian Peatland Network) telah memberi dukungan pendanaan pada kegiatan penelitian ini, Bu Eli Nurmalasari (ICCC) yang telah memberi saran dalam mempersiapkan penelitian lapang, Bu Satria Oktarita (CIFOR Research Officer), Kak Sigit (CIFOR Research Assisstant), Bu Novi (CIFOR Project Officer), Bu Rosita (CIFOR), Kak Meli serta asisten Laboratorium CIFOR di Jambi (Kak Mely, Kak Ivo, Kak Ucok dan Kak Dwi) yang telah menjadi pembimbing lapang dan banyak membantu dalam menyukseskan penelitian ini. Kemudian ucapan terima kasih kepada jajaran direksi dan staff PT. Rimba Makmur Utama (RMU); Pak Dharsono, Pak Rezal, Pak Taryono, Pak Rudi Kurdul, Mas Jaya, Pak Rudi Ces, Pak Maryanto, Pak Supri atas izin dan bantuan sehingga penulis dapat melaksanakan kegiatan penelitian lapang di hutan rawa gambut PT. RMU di Katingan, Kalimantan Tengah dengan lancar, serta Pak Alpiansyah, Pak Hermanto, Pak Piter, Pak Yamin, dan Uji yang membantu kegiatan penulis ketika di lapang. Kemudian atas kerjasama dan kontibusi dari Fikriyatul Falashifah, dukungan moril dari Irza, Shailla, Ica, Pipit, Disti, Uni, Duwi, Ricky, Rifki, Alan, Mani, Dewi Sulis, Lira, teman-teman GFM 47, Kak Noya, Kak Fitrie, dan teman-teman Wisma Queen 1, penulis mengucapkan terima kasih.
Karya tulis ini dedikasikan untuk Mamah dan Bapak serta Zian Mulandi (adik penulis) yang menjadi sumber semangat setiap saat. Penulis menghargai segala bentuk kritik dan saran yang membangun untuk menyempurnakan karya ilmiah ini. Semoga menjadi informasi yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di masa mendatang.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 1
TINJAUAN PUSTAKA 2
Definisi Rezim Air Tanah 2
Gambut 2
Emisi Gas Rumah Kaca 2
Neraca Air Kawasan 3
METODE 4
Waktu dan Tempat Penelitian 4
Alat 5
Bahan 5
Prosedur Percobaan 6
Analisis Data 8
HASIL DAN PEMBAHASAN 9
Identifikasi Wilayah Penelitian 9
Rezim Air Tanah 10
Curah Hujan terhadap Rezim Air Tanah 12
Rezim Air tanah terhadap Fluks CO2, N2O dan CH4 di
Hutan Rawa Gambut PT. Rimba Makmur Utama, Katingan 13
KESIMPULAN DAN SARAN 20
Kesimpulan 20
Saran 20
DAFTAR PUSTAKA 20
LAMPIRAN 24
DAFTAR TABEL
1 Neraca air wilayah Katingan selama periode 2002-2012 3 2 Jarak penempatan sungkup dari sumur pengamatan tinggi muka air
tanah 7
3 Jumlah pengukuran fluks CO2, CH4 dan N2O 7
4 Rancangan perlakuan water filled pore space (WFPS) contoh gambut 8 5 Fluks CO2 di hutan rawa gambut PT. Rimba Makmur Utama, Katingan
selama periode Mei dan Agustus 2014 13
6 Analisis regresi tinggi muka air tanah terhadap fluks CO2 (gr/m2/jam),
CH4 dan N2O (mg/m2/jam) 15
7 Hasil perlakuan persentase WFPS terhadap emisi CH4 danN2O 19
8 Kadar air aktual contoh tanah semak dan hutan sekunder 19
DAFTAR GAMBAR
1 Sebaran nilai curah hujan di Stasiun BMKG H. Asan, Sampit selama
periode 2003-2013 4
2 Lokasi pengumpulan data primer 6
3 Penempatan titik pemantauan tinggi muka air tanah 6 4 Sebaran sungkup pengukuran fluks CO2, CH4 dan N2O 7
5 Rata-rata tinggi muka air tanah harian di tutupan semak (Plot 1,2) dan hutan sekunder (Plot 3,4) dan curah hujan harian selama periode
bulan Mei hingga Agustus 2014 11
6 Fluktuasi curah hujan dan tinggi muka air tanah di titik pengamatan semak dan hutan sekunder rawa gambut Katingan selama periode
Mei-Agustus 2014 12
7 Rata-rata dan galat baku rata rata fluks CO2 harian di tutupan semak
dan hutan sekunder selama bulan Mei 2014 14
8 Rata-rata dan galat baku rata rata fluks CO2 harian di tutupan semak
dan hutan sekunder selama bulan Agustus 2014 14 9 Rata rata dan galat baku rata rata emisi CH4 harian terhadap
dinamika tinggi muka air tanah selama bulan Mei dan Agustus 2014 16 10 Rata-rata dan galat baku rata rata emisi N2O harian terhadap dinamika
tinggi muka air tanah selama bulan Mei dan Agustus 2014 18
DAFTAR LAMPIRAN
1 Contoh data tinggi muka air tanah per 15 menit 24 2 Curah hujan harian di BMKG H. Asan Sampit periode Mei-Agustus
3 Kadar air dan kelembaban tanah selama periode Mei dan Agustus
2014 26
4 Suhu tanah selama periode Mei dan Agustus 2014 27
5 Fluks CO2 bulan Mei 2014 28
6 Fluks CO2 bulan Agustus 2014 28
7 Fluks CH4 dan N2O dan tinggi muka air tanah 29
8 Perlakuan water filled pore space terhadap konsentrasi emisi CH4 dan
N2O 30
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan rawa gambut memberikan jasa ekosistem berupa penyeimbang sistem hidrologi. Fungsi gambut dalam hidrologi adalah menyimpan air yang besar terutama gambut yang masih mentah (fibrik) dapat menyimpan air antara 500%-1000% bobot (Noor 2001). Hutan dengan keragaman kanopi dan sistem perakaran, menentukan besaran intersepsi, infiltrasi, perlokasi dan transpirasi dari curah hujan yang jatuh di wilayah tersebut. Sedangkan lahan gambut adalah zona transisi antara lingkungan akuatik dan terrestrial sehingga lahan gambut juga mendapat masukan air dari pengaruh pasang surut.
Neraca air kawasan mengalami perubahan selama musim kemarau dan musim hujan. Ketika memasuki musim kemarau kawasan berpotensi mengalami penurunan tinggi muka air pada tanah gambut. Pada kondisi alami, lahan gambut mampu menjaga kesetimbangan hidrologi dengan mempertahankan tinggi muka air tanah. Penurunannya tidak akan melebihi 100 cm di bawah permukaan, namun pada kondisi hutan gambut yang terganggu, fluktuasi air lebih besar yaitu akan turun lebih rendah dari 40 cm selama curah hujan rendah (Page et al. 2008). Penurunan tinggi muka air tanah dalam jangka panjang menyebabkan gambut mengalami penurunan daya menahan atau menyangga beban, subsidensi, mengering tak balik dan pada akhirnya akan kehilangan perannya sebagai penyedia jasa lingkungan dalam kesetimbangan hidrologi.
Gambut juga berperan sebagai penyerap sekaligus sumber emisi gas rumah kaca karena mengandung karbon dan nitrogen dalam jumlah besar (Inubushi et al 2003). Berbeda dengan tanah mineral, gambut terbentuk akibat proses pelapukan sempurna sisa-sisa tanaman dalam kondisi jenuh air. Tingkat kejenuhan tanah gambut dipengaruhi oleh air tanah. Perubahan respon hidrologi dapat mengubah kesetimbangan karbon dan nitrogen dalam tanah gambut. Oleh sebab itu pemahaman tentang sifat dan besarnya respon ini sangat penting. Pada penelitian ini dilakukan pengukuran rezim air tanah pada tutupan semak dan hutan sekunder yang berada di hutan rawa gambut PT. Rimba Makmur Utama, Katingan, Kalimantan Tengah serta mengkaji respon rezim air tanah terhadap kesetimbangan karbon dan nitrogen melalui pengukuran fluks CO2, CH4 dan N2O.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengkaji rezim air tanah kawasan hutan rawa gambut Katingan dan kaitannya dengan fluktuasi curah hujan.
2. Membandingkan karakteristik tutupan lahan semak dan hutan sekunder kaitannya dengan rezim air tanah dan fluks CO2, N2O dan CH4 .
3. Mengkaji korelasi antara rezim air tanah dan fluks CO2, N2O dan CH4 di
2
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Rezim Air Tanah
Air tanah disebut air yang tersimpan di dalam tanah. Berdasarkan persamaan routing, perubahan volume simpanan per satuan waktu sama dengan selisih volume aliran yang masuk dan aliran yang keluar. Aliran masuk dapat berasal langsung dari curah hujan dan aliran bawah permukaan sedangkan aliran keluar terjadi dari dalam tanah ke badan air atau sungai melalui aliran permukaan atau bawah permukaan tanah. Rezim air tanah menggambarkan pola temporal tinggi muka air tanah atau ketinggian air tanah. Teori dasar Lindley (1919) dalam McCuen (1998) mendefinisikan konsep rezim sebagai perubahan, gradien, dan kesetimbangan yang dicapai. Dalam hal ini, peningkatan dan penurunan muka air tanah akan terjadi ketika adanya perubahan kesetimbangan dalam masukan dan keluaran air dari dalam tanah. Menurut Evan et al. (1999) perubahan rata-rata tinggi muka air tanah dalam jangka waktu panjang dapat disebabkan karena perubahan karakteristik tanah.
Gambut
Tanah gambut terbentuk di area tergenang yang permanen. Area tergenang permanen ditandai oleh air tanah yang selalu dekat dengan permukaan. Menurut Wosten et al. (2006) faktor yang menyebabkan pembentuk gambut adalah drainase yang buruk, tergenang permanen, curah hujan tinggi dan pengasaman substrat akibat laju akumulasi sisa tanaman lebih tinggi dari proses dekomposisi. Gambut tropis secara umum memiliki berat jenis yang rendah yaitu sekitar 0.1-0.3 gr/cm3 dan porositas yang tinggi mencapai 70-95% (Murdiyarso et al. 2003). Tanah gambut mengandung karbon dan nitogen. Kandungan karbon gambut sangat tinggi yang tersimpan di atas permukaan tanah gambut terdiri atas biomassa dan nekromas sedangkan karbon di bawah permukaan atau di dalam tanah tersimpan dalam bentuk gambut, akar tanaman dan mikrobia (Dariah et al. 2011). Kemampuan lahan gambut memendam karbon sangat besar dan berpotensi terjadi pelepasan karbon ke atmosfer dalam bentuk CO2 dan CH4 sebagai
konsekuensi dari peran gambut sebagai fungsi hidrologi dan biogeokimia (Noor 2001). Perbandingan kandungan C dan N tanah gambut berkisar 20-45 dan semakin meningkat dengan meningkatnya kedalaman (Radjagukguk 1997 dalam Hartatik et al. 2011). Rasio C/N mengindikasikan derajat humifikasi gambut dan kemungkinan konsumsi nitrogen oleh mikroorganisme ketika fertilisasi gambut. Masukan nitrogen pada ekosistem gambut berasal dari deposit basah dan fiksasi nitrogen oleh tanaman (Kuhry dan Vitt 1996).
Emisi Gas Rumah Kaca
Karbon dioksida (CO2), nitrogen oksida (N2O) dan metana (CH4)
merupakan komponen kimia penting di atmosfer dan berperan dalam kesetimbangan panas bumi (Nykanen et al. 1995). Ekosistem gambut menjadi sumber CH4 ke atmosfer tetapi sekaligus pada saat yang sama berperan sebagai
3 diperkirakan dengan perhitungan perubahan cadangan karbon atau fluks karbon (IPCC 2006). Pendekatan perubahan fluks dihitung dengan memperkirakan penyerapan karbon dari dan ke atmosfer. Berdasarkan hukum difusi Fick, fluks gas adalah proporsional (berbanding langsung) dengan konsentrasi gas tersebut. Perpindahan karbon antara tanah dan atmosfer dapat terjadi akibat mekanisme fotosintesis, respirasi, dan dekomposisi oleh mikroorganisme sedangkan perpindahan nitrogen terjadi akibat penambatan oleh vegetasi atau mikroorganisme dan kebocoran dari proses nitrifikasi dan denitrifikasi. Lahan gambut yang terdrainase dapat mengganggu kesetimbangan siklus biogeokimia yang mengakibatkan emisi karbon dan nitrogen menjadi gas rumah kaca di atmosfer (Whittington and Price 2006).
Neraca Air Kawasan
Neraca air didasarkan pada hukum kekekalan massa, perubahan jumlah atau volume air yang disimpan di dalam tanah pada suatu periode yang spesifik harus sama dengan selisih jumlah air yang ditambahkan dengan jumlah air yang dikeluarkan (Lu Zang et al. 2002). Jumlah air masukan di hutan rawa gambut Katingan utamanya berasal dari curah hujan dan pasang surut air dari sungai Katingan dan Mentaya yang bermuara di laut Jawa. Sementara jumlah air yang dikeluarkan ditentukan oleh besarnya penguapan air atau evapotranspirasi potensial di wilayah tersebut. Hasil analisis neraca air berdasarkan data dari stasiun BMKG H. Asan Sampit selama periode 2002-2012, wilayah Katingan mengalami surplus air hampir sepanjang tahun dan hanya mengalami defisit air pada bulan Agustus.
Tabel 1 Neraca air wilayah Katingan selama periode 2002-2012
4
Berdasarkan Gambar 1, distibusi curah hujan di wilayah kajian memiliki pola hujan ekuatorial yang ditandai dengan adanya dua puncak hujan (bimodal) yang terjadi pada bulan April dan Desember masing-masing sebesar 438.6 mm dan 451.9 mm diikuti dengan variasi intensitas curah hujan bulanan yang tinggi. Sementara curah hujan terendah terjadi pada bulan Agustus sebesar 61.9 mm dengan variasi intensitas curah hujan cukup rendah. Selang hujan maksimum dan minimum semakin lebar, terutama ketika rata-rata curah hujan bulanan mengalami penurunan menjelang pertengahan tahun (Juni-Oktober).
Gambar 1 Sebaran nilai curah hujan di Stasiun BMKG H. Asan, Sampit selama periode 2003-2013
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian mengenai rezim air tanah dan emisi gas rumah kaca dilaksanakan di kasawan restorasi dan konservasi PT. Rimba Makmur Utama, Katingan, Kalimantan Tengah, Center for International Forestry Research (CIFOR) dan Laboratorium Hidrometeorologi Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB yang berlangsung pada bulan Mei sampai Januari 2015 meliputi studi pustaka, kegiatan lapang, percobaan di laboratorium, analisis data dan penyusunan laporan. Kegiatan lapang hanya dilaksanakan selama bulan Mei dan Agustus 2014.
Letak titik pengamatan berada pada 2.93˚LS - 113.15˚BT (Plot 1), 2.93˚LS – 113.14˚BT (Plot 2), 2.92˚LS - 113.15˚BT (Plot 3), dan 2.92˚LS – 113.14˚BT (Plot 4). Keempatnya mewakili 2 jenis tutupan lahan yang berada di hutan rawa gambut PT. Rimba Makmur Utama yaitu semak belukar (Plot 1,2) dan hutan sekunder (Plot 3,4). Menurut klasifikasi Oldeman, wilayah pengamatan memiliki bulan basah yang panjang dan tidak memiliki bulan kering, melainkan bulan lembab. Bulan basah terjadi pada bulan Oktober-Juli dan bulan lembab terjadi pada bulan Agustus-September berdasarkan hasil analisis historis selama periode tahun 2003-2013.
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nop Des
5 Alat
Peralatan yang diperlukan dalam penelitian di Hutan Rawa Gambut PT Rimba Makmur Utama dan laboratorium adalah :
1. Lima buah HOBO U20 water level data logger, empat buah sumur pemantauan masing-masing sepanjang 4 meter, laptop, HOBOware Pro softwar, HOBO Waterproof Shuttle (U-DTW-1) dengan COUPLER2-B berfungsi sebagai USB dalam kalibrasi dan pembacaan data logger. Peralatan ini digunakan untuk pengukuran tinggi muka air tanah di lokasi penelitian di Hutan Rawa Gambut, Katingan.
2. Sungkup besar dan kecil (PVC) sebanyak 32 buah, lid, 3840 buah vials, EGM-4, dua set barometer beserta rangkaian, stopwatch dan kipas. Peralatan ini digunakan untuk pengukuran fluks CO2, CH4 dan N2O di lapang
3. Termometer dan alat ukur kelembaban udara, barometer, dan digital soil temperature. Peralatan ini digunakan untuk mengukur komponen parameter lingkungan.
4. Infrared Gas Analyzer systems (IRGA); EGM-4 dan Gas Chromatograph (GC), gelas inkubator dan peralatan laboratorium analisis tanah dan gas. Peralatan ini digunakan untuk percobaan inkubasi contoh gambut dan analisis contoh gas. 5. Microsoft Office dan software analisis statistik MINITAB untuk mengolah dan
menganalisis data.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Data temporal tinggi muka air tanah (lokasi penelitian di Hutan Rawa Gambut, Katingan).
2. Data curah hujan harian stasiun BMKG H. Asan, Sampit, Kalimantan Tengah selama periode pengamatan (Mei-Agustus 2014).
3. Data konsentrasi gas CO2, N2O dan CH4 lokasi penelitian di Hutan Rawa
Gambut, Katingan dan percobaan inkubasi gambut di Laboratorium Analisis Tanah.
4. Data suhu udara di dalam sungkup, suhu lingkungan (lokasi penelitian di Hutan Rawa Gambut, Katingan) dan suhu ruangan (Laboratorium Analisis Tanah). 5. Data tekanan udara di dalam sungkup, tekanan udara di lingkungan (lokasi
penelitian di Hutan Rawa Gambut, Katingan), tekanan udara di dalam ruangan (Laboratorium Analisis Tanah).
6. Data diameter, kedalaman efektif sungkup, tinggi genangan dalam sungkup (lokasi penelitian di Hutan Rawa Gambut, Katingan), tinggi tanah dalam gelas inkubator, volume gelas inkubator (Laboratorium Analisis Tanah).
7. Data berat basah dan berat kering contoh gambut
8. Data kelembaban tanah sekitar sungkup (lokasi penelitian di Hutan Rawa Gambut).
6
Prosedur Percobaan
Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan antara lain kegiatan lapangan untuk pengumpulan data primer fluktuasi tinggi muka air tanah, fluks CO2, N2O
dan CH4, percobaan di laboratorium, pengolahan data hingga selesai.
Gambar 2 Lokasi pengumpulan data primer 1. Pengukuran tinggi muka air tanah
Monitoring tinggi muka air tanah wilayah kajian dilakukan di 4 titik (2 titik mewakili tutupan semak belukar dan 2 titik mewakili tutupan hutan sekunder). Sumur pemantauan ditempatkan di antara sungkup pengukuran fluks CO2, N2O
dan CH4. Pengukuran ini bertujuan untuk mengetahui fluktuasi tinggi muka air
tanah selama periode bulan Mei sampai Agustus 2014. Prinsip kerja HOBO U20 water level data logger adalah merekam perubahan tekanan barometrik air di dalam sumur pemantauan dan perubahan tekanan atmosfer (reference sensor) kemudian dikonversi menjadi data tinggi muka air tanah menggunakan bantuan software HOBOware. Sensor (water level data logger) diatur agar mampu merekam perubahan tinggi muka air tanah setiap interval waktu 15 menit.
Gambar 3 Penempatan titik pemantauan tinggi muka air tanah 2. Pengukuran fluks CO2, CH4 dan N2O
Pengukuran emisi CO2 dilakukan meliputi konsentrasi (C dalam ppm) dan
7 Sementara pengukuran fluks N2O dan CH4 dilakukan dengan mengambil
contoh gas dari sungkup tertutup sebanyak 4 kali ulangan setiap interval 10 menit; T0, T10, T20 dan T30. Sistem sungkup tertutup menjadikan sirkulasi gas hanya terjadi antara sungkup dan IRGA sehingga konsentrasi gas merupakan fungsi dari waktu (Norman et al. 1997).
Gambar 4 Sebaran sungkup pengukuran fluks CO2, CH4 dan N2O
Tabel 2 Jarak penempatan sungkup dari sumur pengamatan tinggi muka air tanah Posisi sungkup berdasarkan arah mata angin Plot Tutupan lahan
Bulan Pengukuran fluks Ulangan (per sungkup)
CO2 CH4 N2O CO2 CH4 N2O
Mei 9 x 4 x 4 x 1 x 4 x 4 x
Agustus 9 x 5 x 5 x 1 x 4 x 4 x
3. Pengukuran parameter lingkungan
Parameter lingkungan yang diukur meliputi suhu udara, tekanan udara, suhu tanah dan kelembaban tanah pada saat pengukuran fluks CO2, CH4 dan N2O di
setiap plot serta kadar air aktual dan berat jenis contoh gambut. 4. Inkubasi contoh (sample) tanah
Pengukuran fluks CO2 CH4 dan N2O juga dilakukan pada contoh gambut
8
Tabel 4 Rancangan perlakuan water filled pore space (WFPS) contoh gambut
Jumlah Keterangan
pada bulan Agustus 2014 di Katingan dibandingkan dengan data hasil penelitian yang sama yang telah dilakukan selama bulan Mei 2014. Nilai fluks CO2
diketahui langsung dari alat EGM-4, sementara perhitungan CH4 dan N2O
didasarkan pada persamaan yang mengacu pada Khalil et al. (1991) dan nilai fluks yang diperoleh kemudian dikalikan dengan 0.06 sebagai unit faktor koreksi, mengacu pada penelitian Husin et al. (1995)
ɸ= ᴦ
dimana :
ɸ = Fluks (mg/m2/jam) M = Berat molekul (gr/mol)
N0 = Bilangan Avogadro (molekul/mol) ᴦ = Densitas udara (molekul/cm3) A = Luas tutupan tertutup sungkup (cm2)
V =Volume efektif sungkup yang telah dikoreksi dengan kedalaman berdirinya air (cm3)
δC/δt = Laju peningkatan konsentrasi gas didalam sungkup (ppbv/menit)
Nilai densitas udara (ᴦ) dikoreksi dengan nilai rata-rata suhu udara di dalam sungkup selama 30 menit periode sampling:
ᴦ= 0.34848
( 273 + )
P = Tekanan (1013.25 milibar)
T = Rata-rata temperatur di dalam sungkup (˚C)
2. Fluks CO2, CH4 dan N2O (percobaan di laboratorium)
Fluks N2O dan CH4 data inkubasi contoh tanah gambut tidak terganggu
merupakan gradien konsentrasi gas pada T0, T2, T4 dan T6. Satuan nilai fluks yang diperoleh yaitu N2O (ng N g-1 berat kering/hari) dan CH4 (ng C g-1 berat
kering/hari). Nilai konsentrasi diperoleh dari persamaan:
9
[ CH4] = 1000 x Konsentr asi dalam ppm x 475 x VolHeadspace Ber at ker ing
dimana:
[N2O] dan [CH4] merupakan konsentrasi gas N2O (ng N g-1 berat kering), gas
CH4 (ng C g-1 berat kering)
VolHeadspace ( cm ) = Volume gelas inkubator − Volume contoh gambut
Ber at ker ing ( g) = Ber at basah ( ber at tar get + 1)
Berat target disesuaikan dengan perlakuan WFPS, antara lain: WFPS 40% 1.48 g g-1 berat kering
WFPS 60% 2.21 g g-1 berat kering WFPS 80% 2.95 g g-1 berat kering WFPS 100% 3.69 g g-1 berat kering 3. Pengukuran karakteristik contoh tanah
Pengukuran ini antara lain berat jenis tanah (g/cm3) dan kadar aktual tanah (g g-1 berat kering.).
Ber at jenis = Ber at ker ing contoh tanah Volume contoh tanah
Kadar air aktual = ( Ber at basah−ber at ker ing) Ber at ker ing tanah
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Wilayah Penelitian
Wilayah kajian pada penelitian ini terdiri dari tutupan semak dan hutan sekunder rawa gambut PT. Rimba Makmur Utama, Katingan, Kalimantan Tengah. Semak dicirikan dengan vegetasi dengan kecepatan tumbuh yang cepat, tumbuhan tingkat rendah dan tumbuh dengan ketinggian yang seragam pada lahan terbuka terdegradasi. Titik pengamatan, tutupan semak didominasi oleh tumbuhan paku-pakuan. Sedangkan hutan sekunder merupakan kawasan hutan bekas tebangan (antropogenik) dengan penurunan keanekaragaman tegakan atau vegetasi penyusunnya. Hutan sekunder yang menjadi wilayah pengamatan berada di perbatasan dengan tutupan semak. Perbedaan jenis tutupan lahan gambut mempengaruhi karakteristik tanah antara lain suhu tanah, kelembaban tanah dan kadar air.
10
Mei selama 5.2 jam dan perlahan meningkat hingga mencapai puncak pada bulan Agustus menjadi 5.4 jam. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa suhu tanah perlahan meningkat dari tutupan plot pengukuran hutan sekunder terdalam menuju plot terluar pada tutupan semak belukar. Untuk bulan Mei, suhu tanah pada hutan sekunder berada pada kisaran 24.8-25.3˚C (Plot 4) dan 25.0-26.7˚C (Plot 3) sedangkan pada semak belukar mencapai 25.1-26.7˚C (Plot 2) dan 26.0-28.4˚C (Plot 1). Pengukuran pada bulan Agustus juga menunjukkan bahwa suhu tanah di tutupan semak belukar lebih tinggi (26.3-27.6˚C dan 25.8-26.6˚C) dari tutupan hutan sekunder yang nilainya yang relatif sama yaitu 25.0-25.6˚C (Plot 3) dan 25.0-25.9˚C (Plot 4).
Di sisi lain, kelembaban tanah gambut di tutupan semak belukar lebih tinggi dari pada tutupan hutan sekunder baik selama periode pengamatan (Mei dan Agustus 2014) yaitu 28-51% (Plot 1), 27% (Plot 2), 42% (Plot 3) dan 25-43% (Plot 3). Namun tercatat bahwa kadar air tanah pada plot di hutan sekunder relatif lebih konstan dibandingkan dengan kadar air tanah pada tutupan semak yang lebih fluktuatif. Tercatat kadar air minimum dan maksimum ketika bulan Mei 2014 mencapai 46.9-64.5% (Plot 1), 17.3-47.3% (Plot 2), 37.0-51.1% (Plot 3) dan 37.9-67% (Plot 4), sedangkan pada bulan Agustus mencapai 32.7-49.5% (Plot 1), 24.2-44.8% (Plot 2), 34.3-43.2% (Plot 3) dan 33.6-45.6% (Plot 4).
Rezim Air Tanah
Curah hujan menjadi sumber masukan bagi proses infiltrasi dan perkolasi pada wilayah penelitian. Hal ini mempengaruhi karakteristik fluktuasi tinggi muka air tanah. Hasil pengukuran tinggi muka air tanah yang mewakiliki tutupan semak dan hutan sekunder di hutan rawa gambut PT. Rimba Makmur Utama, Katingan, Kalimantan Tengah diperlihatkan oleh Gambar 5. Data yang ditampilkan merupakan data harian tinggi muka air tanah. Hasil menunjukkan bahwa fluktuasi tinggi muka air tanah dipengaruhi oleh kondisi curah hujan. Pada 4 titik pengamatan yang tersebar di lokasi penelitian, terlihat kecenderungan yang sama bahwa selama bulan basah (bulan Mei sampai pertengahan Juni) tinggi muka air stabil di atas permukaan tanah pada kisaran 9.6-22.8 cm pada tutupan semak dan 18.2-32.3 cm pada tutupan hutan sekunder.
11
Gambar 5 Rata-rata tinggi muka air tanah harian di tutupan semak (Plot 1,2) dan hutan sekunder (Plot 3,4) dan curah hujan harian selama periode bulan Mei hingga Agustus 2014
Rezim air tanah di hutan rawa gambut PT. Rimba Makmur Utama, Katingan, Kalimantan Tengah mengikuti pola kesetimbangan hidrologi. Hal ini ditandai dengan penurunan tinggi muka aiar tanah mengikuti penurunan intensitas curah hujan di wilayah pengamatan. Adanya perubahan masukan curah hujan, mempengaruhi kesetimbangan hidrologi kawasan sehingga tinggi muka air tanah mengalami peningkatan dan penurunan. Kondisi ini ditunjukkan dengan fluktuasi tinggi muka air tanah pada tututan semak dan hutan sekunder yang memiliki pola hampir serupa. Pola pada bulan Mei hingga Agustus 2014 memperlihatkan kecenderungan penurunan tinggi muka air tanah yang mengindikasikan terjadi peralihan musim. Sampai akhir bulan Agustus, tinggi muka air pada titik pengamatan di tutupan semak adalah lebih rendah dari pada tutupan hutan sekunder.
Gambar 5 menunjukkan bahwa selama periode pengamatan, tinggi muka air tanah di tutupan semak lebih rendah dari pada tutupan hutan sekunder. Selain pengaruh masukan dan keluaran air pada lahan, rezim air tanah juga dipengaruhi oleh karakteristik tutupan lahan. Dengan distribusi curah hujan yang sama pada kedua lahan, tutupan semak lebih tinggi mengalami drainase melalui proses aliran permukaan maupun aliran bawah permukaan menuju kanal, mengingat bahwa posisi sumur pengamatan di tutupan semak lebih dekat dengan kanal. Selain itu, proses kehilangan air juga terjadi akibat tingginya evapotranspirasi lahan. Menurut Ngudiantoro et al. (2010) tinggi muka air tanah dapat berubah karena pengisian dari air hujan, penurunan tinggi muka air tanah karena evapotranspirasi dan pengaruh pasang surut di saluran.
0
12
Curah Hujan terhadap Rezim Air Tanah
Distribusi curah hujan menurun dari bulan Mei hingga Agustus 2014. Jumlah hari hujan pada bulan Mei sebanyak 18 hari dan 15 hari pada bulan Juni. Penurunan jumlah hari hujan cukup signifikan pada bulan Juli dan Agustus yaitu sebanyak 8 hari kejadian hujan. Namun jika dilihat dari data rata-rata bulanan maka bulan Juli masih termasuk bulan basah. Selanjutnya pada Agustus 2014 mulai ada kecenderungan peningkatan curah hujan.
Gambar 6 Fluktuasi curah hujan dan tinggi muka air tanah di titik pengamatan semak dan hutan sekunder rawa gambut Katingan selama periode Mei-Agustus 2014
Curah hujan dan kaitannya dengan fluktuasi tinggi muka air tanah dianalisis dalam interval waktu bulanan. Gambar 6 menunjukkan bahwa kondisi tergenang dan tidak tergenang dipengaruhi oleh curah hujan bulanan di lokasi penelitian. Pada bulan Mei saat curah hujan bulanan sebesar 223 mm, rata-rata tinggi muka air tanah tercatat 13.8 cm (plot 1), 10.5 cm (plot 2), 22.7 cm (plot 3) dan 19.3 cm (plot 4), sedangkan di bulan Agustus saat curah hujan bulanan hanya mencapai 73.9 mm, tinggi muka air tanah turun drastis yaitu secara berturut-turut 33.8 cm (plot 1), 30 cm (plot 2), 17.4 cm (plot 3) dan 16.6 cm (plot 4) di bawah permukaan tanah.
Curah hujan bulanan mempengaruhi rezim air tanah yang ditandai dengan fluktuasi tinggi muka air pada wilayah pengamatan. Tinggi muka air terendah sebesar -2.2 cm (plot 1), -0.1 cm (plot 2), 10.8 cm (plot 3) dan 8.8 cm (plot 4) yang tercapai pada bulan Juli 2014, ketika curah hujan bulanan mulai meningkat sebesar 35.8 mm di bulan Juli menjadi sebesar 73.9 mm di bulan Agustus. Kondisi ini menunjukkan bahwa rezim air tanah di lahan gambut (tutupan semak dan hutan sekunder) mengalami keterlambatan selama sekitar satu bulan dalam merespon peningkatan dan penurunan curah hujan akibat adanya perubahan kesetimbangan masukan dan keluaran air pada kasawan. Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Runtunuwu et al. (2011) mengenai dinamika elevasi ketinggian air pada lahan dan saluran di lahan gambut yang menyatakan kecenderungan elevasi ketinggian air lahan mengikuti pola curah hujan bulanan dan terdapat keterlambatan waktu respon ketinggian air terhadap curah hujan sekitar satu bulan.
13 Rezim Air Tanah terhadap Fluks CO2, N2O dan CH4 di Hutan Rawa
Gambut PT. Rimba Makmur Utama, Katingan
1. Fluks CO2 (Pengukuran dengan EGM-4)
Emisi CO2 bervariasi pada setiap tutupan lahan dan setiap musim.
Menurut Dariah et al. (2011) emisi CO2 yang tinggi pada hutan dibandingkan
lahan terbuka dapat dipicu karena rendahnya intensitas radiasi matahari yang sampai di lantai hutan, menyebabkan penambatan CO2 untuk aktivitas vegetasi
lebih rendah dari respirasi autotrof pada akar-akar tanaman. Selain itu, penempatan posisi sungkup pada plot di dalam hutan sekunder hampir seluruhnya pada hummock, yang menurut Jauhiainen et al. (2008) lebih banyak menyumbangkan emisi dari pada hollow di tutupan yang terdrainase. Hummock utamanya terbentuk dari akar tanaman mati dan masih hidup yang mengalami pelapukan sedangkan hollow adalah tutupan yang berdekatan dengan vegetasi (Jauhiainen et al. 2005). Ketika tinggi muka air tanah menurun sejak tanggal 12 Mei 2014, emisi CO2 menurun perlahan pada kedua jenis tutupan lahan. Hasil
pengamatan ini berbeda kontras dengan temuan Hooijer et al. (2010) yang menunjukkan bahwa penurunan curah hujan atau kondisi ketinggian air tanah yang lebih rendah, membuka stok karbon lahan gambut pada kondisi aerob sehingga memicu meningkatnya dekomposisi dan emisi CO2 ke atmosfer.
Tabel 5 Fluks CO2 di hutan rawa gambut PT. Rimba Makmur Utama, Katingan
selama periode Mei dan Agustus 2014
Tutupan lahan
pengamatan di tutupan semak lebih dekat dengan kanal dibandingkan dengan tutupan hutan sekunder. Tabel 5 menunjukkan bahwa semakin menjauhi kanal (plot hutan sekunder), fluks CO2 semakin menurun. Tercatat rataan fluks CO2
pada semak mencapai 0.75±0.06 gr/m2/jam sementara hutan sekunder sebesar 0.46±0.02 gr/m2/jam. Ketika tinggi muka air tanah turun hingga di bawah permukaan pada bulan Agustus, emisi CO2 meningkat signifikan pada tutupan
semak belukar sementara tutupan hutan sekunder relatif konstan. Hal ini sebagai respon dari kedalaman air tanah yang semakin dalam. Menurut Bridgham dan Richardson (1992) tinggi muka air tanah akan signifikan meningkatkan emisi CO2
14
Gambar 7 Rata-rata dan galat baku rata rata fluks CO2 harian di tutupan semak
dan hutan sekunder selama bulan Mei 2014
Gambar 8 Rata-rata dan galat baku rata rata fluks CO2 harian di tutupan semak
dan hutan sekunder selama bulan Agustus 2014 2. Respon Fluks terhadap Tinggi Muka Air Tanah
Tinggi muka air tanah merupakan pengontrol yang penting dalam respirasi dan dekomposisi bahan organik pada permukaan gambut selain dari suhu tanah (Lafleur et al 2005 dan Comeau et al. 2013). Pada studi ini ditemukan hubungan linier negatif antara tinggi muka air tanah dan fluks CO2 tanah gambut, terutama
pada bulan Agustus. Menurut Purwanto dan Gintings (2011), ketika tinggi muka air menurun hingga di bawah permukaan tanah, bahan organik yang sebagian besar tersusun atas polimer glukosa akan mengalami dekomposisi secara aerobik
-1,5
Semak 1 Semak 2 Hutan Sekunder 1 Hutan Sekunder 2
0,0
15 dengan reaksi biokimia sebagai berikut:
6O2 + C6H12O6 6 CO2 + 6H2O + energi signifikan dari dinamika tinggi muka air tanah pada selang kepercayaan 95%
Hubungan linear menginterpretasikan bahwa ketika tinggi muka air tanah mencapai nilai terendah (bulan Agustus), setiap 1 cm peningkatan tinggi muka air tanah menghasilkan penurunan emisi CO2 sebanyak 0.01 gr/m2/jam. Kondisi
sebaliknya ketika tinggi muka air tanah mencapai nilai tertinggi selama periode pengukuran, dimana setiap 1 cm peningkatan tinggi muka air tanah meningkatkan emisi CO2 sebanyak 0.02 gr/m2/jam dengan nilai korelasi yang lemah (r =29%)
dan nilai P-value (0.104) > α (0.05) yang berarti korelasi yang tidak signifikan. Kecederungan emisi yang meningkat di bulan Mei akibat dari kontribusi nilai emisi CO2 yang tinggi pada tutupan hutan sekunder (Plot 3, 4). Hal ini
diperkirakan karena aktivitas respirasi autotrof akar-akar tanaman lebih tinggi pada lantai hutan dan posisi penempatan sungkup pengukuran pada hummock di sekitar vegetasi hutan. Secara keseluruhan dari studi ini, emisi berkorelasi negatif dengan tinggi muka air tanah selama periode pengukuran (Mei dan Agustus) yang diekspresikan dengan persamaan linier berikut:
Emisi CO2 = -0.002*tinggi muka air tanah +0.535
3. Respon Fluks CH4 terhadap Tinggi Muka Air tanah (Analisis Gas Chromatograph)
Sampling gas dengan metode sungkup tertutup pada interval waktu menit ke-0, ke-10, ke-20 dan ke-30 dilakukan untuk mengetahui emisi CH4 dan N2O
dari tanah gambut pada titik pengamatan di hutan sekunder dan semak serta kaitannya dengan dinamika tinggi muka air tanah. Berdasarkan hasil analisis dari Tabel 6, dinamika tinggi muka air tanah harian cukup signifikan mempengaruhi besarnya emisi gas terutama CH4 namun nilai korelasinya lemah, sementara emisi
N2O tidak jelas keterkaitannya dengan dinamika tinggi muka air tanah. Kondisi
ini didukung oleh temuan Inubushi et al. (2003) dalam penelitiannya mengenai perubahan seasonal emisi gas dari lahan gambut tropis kaitannya dengan perubahan penggunaan lahan dan kondisi air, menemukan hasil bahwa CH4
berkorelasi positif dengan tinggi kolom air sedangkan faktor pengontrol N2O
belum menemukan kejelasan bahkan pada pengamatan musiman.
Metana (CH4) diemisikan dari tanah gambut dalam jumlah yang lebih
kecil dari pada CO2 dan keduanya saling berkorelasi negatif. Sementara produksi
CO2 menurun dalam kondisi gambut anaerob (rendah oksigen), produksi CH4
16
semakin meningkat. Hal ini terjadi karena pada kondisi tersebut hanya golongan bakteri anaerob yang aktif, diantaranya bakteri penghasil metan/metanogen (metanogenesis activity) dengan CO2 sebagai salah satu substrat (Widyati 2011
dan Nazaries et al. 2013). Berdasarkan Gambar 9, emisi CH4 ketika tanah
tergenang adalah jauh lebih besar dari emisi ketika ketinggian air berada di bawah permukaan tanah baik pada jenis tutupan semak maupun hutan sekunder. Hasil analisis regresi juga menunjukkan bahwa fluks CH4 berkorelasi positif dan
signifikan dengan dinamika tinggi muka air tanah.
Gambar 9 Rata-rata dan galat baku rata rata emisi CH4 harian terhadap dinamika
tinggi muka air tanah selama bulan Mei dan Agustus 2014
Mineralisasi karbon anaerobik merupakan faktor pengontrol utama emisi CH4 ke atmosfer (Segers 1998; Paul et al. 2005), sehingga nilai fluksnya akan
lebih tinggi ketika tanah tergenang dari kering. Pada musim hujan, rata-rata emisi CH4 mencapai 24.57±5.95 mg/m2/jam (semak) dan 17.10±3.76 mg/m2/jam (hutan
sekunder) sedangkan pada musim kemarau hanya 9.26±2.22 mg/m2/jam (semak) dan 0.96±3.96 mg/m2/jam (hutan sekunder). Studi ini menunjukkan kekonsistenan
emisi CH4 dari tutupan tutupan semak yang lebih tinggi dari tutupan tutupan hutan
sekunder pada kedua musim. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat komponen parameter lingkungan lain yang mengontrol laju emisi CH4 selain tinggi muka air
tanah. Golongan bakteri metanogen beraktivitas tergantung pada beberapa faktor fisik diantaranya air, suhu, kedalaman tanah, pH, tekstur tanah serta konsentrasi gas metana, oksigen dan CO2 di atmosfer (Shukla et al. 2013). Tutupan semak
lebih memiliki suhu tanah dan suhu udara yang lebih tinggi dari tutupan hutan sekunder sehingga memicu peningkatan reaksi enzimatik bakteri metanogen dalam memproduksi CH4. Selain itu, lapisan teratas tanah gambut pada tutupan
semak diperkirakan merupakan gambut mentah (fibrik) karena didominasi tumbuhan paku-pakuan. Menurut (Widyati 2011) gambut fibrik lebih berpotensi tinggi melepaskan CO2 dan CH4 karena memiliki kandungan serat, C organik dan
rasio C/N yang lebih tinggi dibandingkan gambut hemik dan saprik.
Fluks CH4 pada kedua jenis tutupan lahan (semak dan hutan sekunder)
menurun dan cenderung uptake dari atmofer bersamaan dengan menurunnya
17 tinggi muka air tanah. Kadar oksigen dalam tanah yang tinggi, meningkatkan aktivitas metanotropik dan menurunkan aktivitas metanogenesis. Golongan bakteri metanotrof banyak mengkonsumsi CH4 sebagai substrat untuk
menghasilkan energi sehingga CH4 yang diemisikan akan lebih rendah dan uptake
seiring dengan menurunnya soil water content tanah gambut (Czepiel et al. 1995). Nilai CH4 uptake tertinggi terjadi pada tutupan semak dengan nilai fluks 15.72
mg/m2/jam dengan tinggi muka air 47.5 cm di bawah permukaan sedangkan uptake terbesar pada tutupan hutan sekunder mencapai 8.14 mg/m2/jam dengan tinggi muka air 37.8 cm di bawah permukaan tanah.
4. Respon Fluks N2O terhadap Tinggi Muka Air Tanah (Analisis Gas Chromatograph)
Hasil pengamatan fluks Nitrous Oksida (N2O) selama bulan Mei dan
Agustus 2014 pada dua jenis tutupan lahan disajikan pada Gambar 10. Berbeda dengan CH4, fluks N2O tidak menunjukkan keterkaitan yang jelas dengan rezim
air tanah dan tutupan lahan yang dibuktikan dengan hasil analisis regresi bahwa P-value (0.164) > α (0.05) bahwa tidak adanya korelasi signifikan N2O yang
diemisikan dengan dinamika tinggi muka air tanah. Pada tinggi muka air tanah berada di atas permukaan tanah selama bulan Mei 2014, emisi rata-rata N2O di
tutupan semak mencapai 7.22±3.85 mg/m2/jam sedangkan pada hutan sekunder lebih rendah yaitu 0.60±3.58 mg/m2/jam. Namun ketika tinggi muka air tanah turun hingga di bawah permukaan (Agustus), tutupan semak mengalami uptake N2O sebesar 1.74±1.16 mg/m2/jam. Sedangkan hutan sekunder mengemisikan
N2O sebesar 3.42±1.37 mg/m2/jam. Hal ini membuktikan bahwa tinggi muka air
tanah tidak secara langsung mempengaruhi emisi N2O tanah gambut, melainkan
terdapat parameter lingkungan lain yang lebih signifikan. Menurut Fumiaki et al. (2006) dalam penelitiannya mengenai emisi N2O di lahan gambut tropis
Kalimantan dengan metode sungkup tertutup menyatakan bahwa perubahan kelembaban tanah adalah lebih mengontrol emisi N2O. Nilai kelembaban tanah
pada tutupan hutan sekunder yang lebih rendah dibandingkan tutupan semak menyebabkan rendahnya aktivitas mikrobial pada tutupan tersebut dalam mereduksi dan mengoksidasi N.
Emisi dan uptake N2O terjadi akibat proses reduktif dan oksidatif oleh
mikroba (Wahyuni dan Wihardjaka 2007) namun tidak dipengaruhi oleh dinamika tinggi muka air tanah. Pernyataan tersebut dibuktikan oleh temuan dari penelitian ini bahwa emisi N2O tertinggi terjadi pada tutupan semak (11.69 mg/m2/jam)
ketika tinggi muka air tanah mencapai 13.4 cm di atas permukaan dan uptake yang tertinggi (7.79 mg/m2/jam) juga terjadi pada tutupan hutan sekunder dengan kondisi air tanah yang tidak jauh berbeda yaitu 14.7 cm di atas permukaan.
Sementara itu, menurut Agustiyani et al. (2011), rendahnya produksi N2O pada
jenis tutupan hutan dapat disebabkan karena tingginya densitas populasi bakteri denitrifikasi dan aktivitas denitrifikasi. Aktivitas bakteri denitrifikasi yang tinggi akan menurunkan jumlah oksigen dalam tanah sehingga kondisi tanah semakin anaerob dan mendorong hilangnya N dalam bentuk N2 dari pada N2O (Indriyati et
al. 2008). Proses tersebut terjadi akibat reaksi kimia:
18
Gambar 10 Rata-rata dan galat baku rata rata emisi N2O harian terhadap dinamika
tinggi muka air tanah selama bulan Mei dan Agustus 2014
5. Pengaruh water filled pore space (WFPS) terhadap fluks CH4 dan N2O Persentasi pori tanah yang terisi oleh air (water filled pore space) ditentukan oleh kadar air aktual atau water content dan posositas tanah (Linn dan Doran 1984). Keduanya menentukan aktivitas mikrobial yang selanjutnya mempengaruhi fluks CH4 dan N2O. Pengamatan fluks gas didasarkan pada prinsip
difusi (transfer materi ke materi lain) yang secara formal dinyatakan dalam hukum difusi Ficks pertama bahwa fluks dari materi yang berdifusi sebanding dengan gradien konsentrasi. Variasi konsentrasi menunjukkan bahwa material karbon dan nitrogen berdifusi dari tanah gambut ke atmosfer dan sebaliknya. Untuk mengetahui pengaruhnya, pengamatan ini dilakukan dengan metode inkubasi terhadap contoh tanah gambut tidak terganggu dari tutupan semak dan hutan sekunder yang diberi perlakuan air berupa persentase WFPS sebanyak 40%, 60%, 80% dan 100% dengan interval waktu pengukuran hari ke-0, ke-2, ke-4 dan ke-6 pada suhu ruangan sekitar 30.7˚C. Pengaruh water filled pore space terhadap emisi dapat dilihat pada Tabel 7.
Berdasarkan hasil yang tertera pada Tabel 7, kesetimbangan fluks CH4
antara tanah dan atmosfer secara kuat dikontrol oleh WFPS. Semakin jenuh, tanah semakin tinggi memproduksi CH4. Akumulasi konsentrasi gas terjadi dari hari ke
hari dengan puncaknya pada hari ke 6 pada gas CH4, terjadi pada semua jenis
WFPS pada percobaan. Pada WFPS 80%, fluks metana mengalami uptake sebesar 1.33 ng C g-1 berat kering/hari dari contoh tanah semak karena penurunan konsentrasi CH4 yang diproduksi pada hari ke 6 sebesar 23.67% dari konsentrasi
pada hari pengamatan sebelumnya. Pada WFPS yang sama, contoh tanah hutan sekunder juga mencapai nilai minimum yaitu 0.71 ng C g-1 berat kering/hari karena terjadi penurunan konsentrasi CH4 yang diproduksi pada hari ke 4
pengamatan sebesar 1.25%. Fluks maksimum contoh semak dan hutan sekunder dicapai pada WFPS 100%. Pada hari ke nol, contoh memproduksi CH4 dengan
19 (1.13) ng C g-1 berat kering/hari dari pada hutan sekunder (5.26) ng C g-1 berat kering/hari. Produksi CH4 yang tinggi pada contoh gambut tutupan semak di hari
ke nol diperkirakan akibat kontribusi dari nilai berat jenis yang lebih rendah 0.34 g/cm3 dari pada contoh gambut tutupan hutan sekunder 0.35 g/cm3. Menurut FAO dan Wetlands International (2012) tanah gambut dengan nilai berat jenis 0.34-0.35 g/cm3 memiliki kandungan bahan C organic 29-40%. Semakin tinggi berat jenis,
tingkat kepadatan tanah semakin tinggi sehingga aliran kapiler air lambat menembus pori-pori tanah. Selain itu, kadar air aktual contoh tanah tutupan semak adalah lebih tinggi dari contoh tanah tutupan hutan sekunder yang ditunjukkan pada Tabel 8. Semakin tinggi kadar air tanah, contoh tanah dengan perlakuan WFPS akan lebih cepat mencapai tingkat jenuh.
Tabel 7 Hasil perlakuan persentase WFPS terhadap emisi CH4 danN2O
Jenis tutupan
Tabel 8 Kadar air aktual contoh tanah semak dan hutan sekunder Keterwakilan
terhadap fluks N2O. Contoh hutan sekunder didominasi oleh aktivitas uptake N2O
dan kondisi sebaliknya pada contoh semak. Hal ini bertolak belakang dengan hasil pengukuran fuks harian di lapang, yang menunjukkan bahwa tutupan semak lebih banyak mengalami uptake N2O terutama ketika air tanah berada di bawah
permukaan tanah Sementara itu, hutan sekunder dominan mengemisikan N2O
20
untuk diproses menjadi N2O melalui aktivitas denitrifikasi. Fluks maksimum N2O
contoh semak terjadi pada WFPS 80% yaitu mencapai 0.71 ng N g-1 berat kering/hari sedangkan uptake terendah contoh hutan sekunder terjadi pada WFPS 60% yaitu sebesar 0.11 ng N g-1 berat kering/hari.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Rezim air tanah di hutan rawa gambut PT. Rimba Makmur Utama, Katingan, Kalimantan Tengah mengikuti kesetimbangan masukan dan keluaran air pada kawasan dan mendapat pengaruh dari karakteristik tutupan lahan. Hal ini ditandai dengan fluktuasi tinggi muka air tanah pada tutupan semak dan hutan sekunder yang memiliki pola sama selama waktu pengamatan. Namun tinggi muka air tanah pada tutupan semak relatif lebih rendah dari pada tutupan hutan sekunder akibat drainase melalui evapotransporasi, proses aliran permukaan maupun aliran bawah permukaan menuju kanal. Gambut mengalami keterlambatan dalam merespon curah hujan kurang lebih selama satu bulan. Tinggi muka air tanah terendah dicapai pada bulan Agustus 2014 ketika curah hujan bulanan kembali meningkat dari bulan sebelumnya. Tinggi muka air tanah berkorelasi negatif dengan emisi CO2 gambut ke atmosfer, mencapai 0.75±0.06
gr/m2/jam (semak) dan 0.46±0.02 gr/m2/jam (hutan sekunder) pada kondisi gambut terdrainase. Emisi gas CH4 yang lebih tinggi pada kondisi gambut
tergenang mencapai 24.57±5.95 mg/m2/jam (Semak) dan 17.10±3.76 mg/m2/jam (Hutan Sekunder). Sementara emisi N2O tidak menunjukkan keterkaitan yang
jelas dengan rezim air tanah.
Saran
Ketepatan dalam penempatan sungkup pengamatan sangat penting diperhatikan dengan mempertimbangkan mikrotopografi (hummock dan hollow) agar merepresentasikan keragaman wilayah kajian. Selain itu, metode sampling gas (analisis gas chromatograph) lebih akurat memberikan hasil pengukuran fluks. Pada pengukuran fluks dengan EGM 4 dan metode sampling gas, sebaiknya terlebih dahulu menguji kompatilibitas kedua alat untuk menilai akurasi alat.
DAFTAR PUSTAKA
Agustiyani D, Laili N, Imamiddin H dan Sulistinah N. 2011. Populasi dan aktivitas denitrifikasi serta emisi gas N2O pada lahan pertanian organik,
pertanian intensif dan hutan. J Berk. Penel. Hayati. Vol 17(1): 15-19.
Andriesse JP. 1988. Nature and Management of Tropical Peat Soils. Rome: Food and Agriculture Organization of the United Nations.
21 Boelter DH. 1974. The hydrologic characteristics of undrained organic soils in
Lake States. J Soil Science Society of America. Vol 6: 33-46 doi:10.2136/ssaspecpub6.c4 .
Bridgham SD, Richardson CJ. 1992. Mechanism controlling soil respiration (CO2
and CH4) in Southern peatlands. J Soil Biol Biochem. Vol 24: 1089-1099.
Comeau LP, Hergoualc’h, K. Smith JU, Verchot L. 2013. Conversion of Intact Peat Swamp Forest to Oil Palm Plantation: Effects on Soil CO2 Fluxes in Jambi, Sumatera. BOGOR: Center for International Forestry Research. Czepiel PM, Crill PM, and Harriss RC. 1995. Environmental factors influencing
the variability methan oxidation in temperate zone soils. J Geophysical Research. Vol 100(D5): 9359-9364.
Dariah A, Susanti E, Agus F. 2011. Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan: Simpanan Karbon dan Emisi CO2 Lahan Gambut. Bogor: Balai Penelitian
Tanah.
[FAO and Wetlands International]. 2012. Peatlands-Guidance for Climate Change Mitigation throuh Concervation, Rehabilitation and Sustainable Use. In: Joosen H, Bistrom MLT, Tol S. editor. Mitigation of Climate Change in Agriculture Series 5. Rome: FAO and Wetlands International.
Fumiaki T, Tomoaki M, Yasuyuki H, Darung U, Kanta K, Dohong S, Limin SH, Ryusuke H. 2006. Effects of agricultural land-use change and forest fire on N2O emission from tropical peatlands, Central Kalimantan, Indonesia. J Soil
Science and Plant Nutrition. Vol 52(5):662-674. doi:10.1111/j.1747-0765.2006.00084.x
Furukawa Y, Inubushi K, Ali M, Itang AM and Tsuruta H. 2005. Effect of changing groundwater levels caused by land-use change on greenhouse gas fluxes from tropical peat lands. J Nutrient Cycling in Agroecosystems. Vol 71:81-91. doi:10.1007/s10705-004-5286-5.
Hooijer A, Page S, Canadell JG, Silvius M, Kwadijk J, Wosten H and Jauhiainen J. 2010. Current and future CO2 emissions from drainage peatlands in Southeast Asia. J Biogeoscience. Vol 7:1505-1514. doi:10.5194/bg-7-1505-2010.
Hooijer A, Page S, Jauhiainen J, Lee WA, Lu XX, Idris A, Anshari G. 2012. Subsidence and carbon loss in drained tropical peatlands. J Biogeosciences. Vol 9:1053-1071. doi:10.5194/bg-9-1053-2012.
Husin YA, Murdiyarso D, Khalil MAK, Rasmussen RA, Shearer MJ, Sabiham S, Sunar A and Adijuwana H. 1995. Methan flux from Indonesian wetland rice: The effect of water management and rice variety. J Chemosphere. Vol
[IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2006. IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories. Hayama : Institute for Global Environmental Strategies.
22
Jauhiainen J, Hidenori T, Heikkinen JE, Martikainen PJ and Vasander H. 2005. Carbon fluxes from a tropical peat swamp forest floor. J Global Change Biology. Vol 11(10):1778-1797. doi:10.1111/j.1365-2486.2005.001031.x Jauhiainen J, Limin S, Silvennoinen H and Vasander H. 2008. Carbon dioxide and
methan fluxes in drained tropical peat before and after hydrological restoration.J Ecology. Vol 89:3603-3614.
Khalil MAK, Rasmussen RA, Ming XW, Lixin R . 1991. Methan emissions from rice fields in China. J Environ. Sci. Technol. Vol 25(5) : 979-981.
Lafleur PM, Moore TR, Roulet NT, Frolking S. 2005. Ecosystem respiration in a cool temperate bog depends on peat temperature but not water table. J Ecosystem. Vol 8:619-629. doi:10.1007/s10021-003-0131-2.
Linn DM and Doran JW. 1984. Effect of water-filled pore space on carbon dioxide and nitrous oxide production in tilled and nontilled soils. J Soil science Society of America Journal. Vol 48:1267-1272. doi:10.2136/sssaj1984.03615995004800060013x .
Lu Zhang, Walker GR, Dawes WR. 2002. Water balance modeling: concept and application. Monograph. 84: 31-47.
McCuen R. 1998. Hydrologic Analysis and Design: Second Edition. New Jersey (US): Prentice Hall, Inc.
Murdiyarso D, Rosalia U, Hairiah K, Muslihat L, Suryadiputra INN, Jaya A. 2003. Petunjuk Lapang: Pendugaan Cadangan Karbon pada Lahan Gambut. Bogor: Wetlands International.
Nazaries L, Colling MJ, Millard P, Baggs L, and Singh BK. 2013. Metana, microbes and models: fundamental understanding pf the soil metana cycle for future predictions. J Environmental Microbiology. Vol 15(9):2396-2417. doi://10.1111/1462-2920.12149.
Ngudiantoro, Pawitan H, Ardiyansyah M, Yanuar M, Purwanto J dan Susanto RH. 2010. Pemodelan fluktuasi ketinggian air tanah lahan rawa pasang surut tipe B/C: Kasus Sumatera Selatan. J Forum Pascasarjana. Vol 33(2): 101-112. Noor M. 2001. Pertanian Lahan Gambut: Potensi dan Kendala.Yogyakarta:
Kanisius.
Norman JM, Kucharik CJ, Gower ST, Baldocchi DD, Crill PM, Rayment M, Savage K, Striegl RG. 1997. A comparison of six methods for measuring soil-surface carbon dioxide fluxes.. J Geophisics Research. Vol 102(D241): 771-777.
Nykenen H, Alm J, Lang K, Silvola J and Martikainen PJ. 1995. Emission of CH4,
N2O and CO2 from a virgin fen and a fen drained for grassland in Finland. J
Biogeography. Vol 22(1995): 351-357.
Page SE, Banks CJ, Rieley JO, Wust R. 2008. Extent, significant and vulnerability of the tropical peatland carbonpool: Past, present and future prospects. Papers presented at the special session on tropical Southeast at the 13th international peat congress Tullamore, Ireland, 10th June 2008. Future of tropical peatlands in Southeast Asia as carbon pools and sinks.
Paul A, Giorgio D, Peter J and Williams EB. 2005. Respiration in Aquatic Ecosystems. United Kingdom: Oxford University Press.
23 [PUSAIR]. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Air. 2014. Data
Curah Hujan dalam (mm). Bandung
Runtunuwu E, Kartiwa B, Kharmilasari, Sudarman K, Nugroho WT, dan Firmansyah A. 2011. Dinamika elevasi ketinggian air pada lahan dan saluran di lahan gambut. J Riset Geologi dan Pertambangan. Vol 21(2): 63-74. Segers R. 1998. Metana production and metana consumption: a review of
processes underlying wetland metana fluxes. J Biogeochemistry. Vol 41(1): 23-51.
Shukla PN, Pandey KD, Mishra VK. 2013. Environmental determinants of soil metana oxidation and Methanotrophs. J Environmental Science and Technology. Vol 43(8):1945-2011.
Wahyuni S dan Wihardjaka A. 2007. Pengelolaan lahan sawah tadah hujan dalam menekan emisi gas nitro-oksida (N2O). J Sumberdaya Lahan. Vol 1(3)
Widyati E. 2011. Kajian optimasi pengelolaan lahan gambut dan isu perubahan iklim. Bogor: Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi.
24
LAMPIRAN
25 Lampiran 2 Curah hujan harian di BMKG H. Asan Sampit periode Mei-Agustus
2014
Tanggal Curah hujan (mm)
Lampiran 5 Fluks CO2 bulan Mei 2014
Tgl Fluks CO2 (gr/m2/jam) Galat baku rata rata
1 2 3 4 1 2 3 4
06-Mei 0.28 0.82 0.93 0.41 0.06 0.34 0.39 0.13 08-Mei 0.61 0.89 1.83 0.27 0.25 0.49 0.80 0.09 10-Mei 0.26 0.71 0.45 1.28 0.11 0.52 0.08 0.70 12-Mei 0.89 0.54 0.92 1.16 0.58 0.42 0.50 0.25 14-Mei 0.61 0.15 0.27 0.14 0.43 0.03 0.09 0.04 16-Mei 0.27 0.21 0.22 0.28 0.13 0.07 0.05 0.07 18-Mei 0.32 0.20 0.20 -0.36 0.10 0.05 0.11 0.58 20-Mei 0.24 0.17 0.25 0.19 0.07 0.06 0.06 0.04
22-Mei 0.19 0.23 0.20 0.07 0.04 0.05
Lampiran 6 Fluks CO2 bulan Agustus 2014
Tgl Fluks CO2 (gr/m2/jam) Galat baku rata rata
1 2 3 4 1 2 3 4
06-Ags 0.49 0.45 0.42 0.52 0.16 0.09 0.09 0.07 10-Ags 1.24 1.05 0.45 0.39 0.61 0.38 0.10 0.08 12-Ags 0.60 0.50 0.38 0.48 0.16 0.10 0.07 0.09 16-Ags 0.75 0.81 0.40 0.42 0.21 0.28 0.08 0.07 18-Ags 0.68 0.83 0.43 0.52 0.15 0.23 0.09 0.07 22-Ags 1.25 0.61 0.48 0.53 0.54 0.15 0.10 0.08 24-Ags 0.49 0.69 0.71 0.46 0.12 0.19 0.43 0.10 28-Ags 0.90 0.46 0.40 0.48 0.25 0.10 0.08 0.07 01-Sep 0.71 0.99 0.33 0.42 0.16 0.21 0.07 0.06
29 Lampiran 7 Fluks CH4 dan N2O dan tinggi muka air tanah
Hutan Sekunder
CH4
(mg/m2/jam)
N2O
(mg/m2/jam)
SE CH4
SE N2O
TMA (m)
04/05/2014 8.35 6.65 5.65 5.40 17.89
25/05/2014 3.38 -7.79 6.21 11.41 14.69
27/05/2014 18.29 0.68 8.42 6.53 13.38
29/05/2014 38.39 2.86 6.92 2.44 13.04
09/08/2014 8.97 7.45 6.94 2.89 -16.74
14/08/2014 2.04 2.14 3.74 2.22 -23.24
20/08/2014 2.81 5.39 13.13 2.89 -23.41
26/08/2014 -8.14 3.24 4.65 1.46 -37.85
30/08/2014 -0.88 -1.12 12.06 4.78 -47.52
Semak
25/05/2014 27.62 10.62 14.55 8.15 14.69
27/05/2014 21.44 11.69 6.99 8.07 13.38
29/05/2014 24.66 -0.64 8.45 1.35 13.04
09/08/2014 10.73 -2,18 7.69 3.09 -16.74
14/08/2014 30.69 -1.01 22.21 2.74 -23.24
20/08/2014 21.86 -1.94 32.00 1.93 -23.41
26/08/2014 -1.22 1.24 8.98 1.38 -37.85
32
RIWAYAT HIDUP
Anggi Rustini lahir di Sumedang pada 16 Agustus 1992 dari ayah Yayat Suyatna dan ibu Aminah. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Pada tahun 2010, penulis lulus dari SMAN 1 Subang kemudian diterima sebagai mahasiswa Departemen Geofisika dan Meteorologi melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).