• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemeliharaan Larva Tuna Sirip Kuning Thunnus Albacares Dengan Posisi Titik Aerasi Berbeda Dan Studi Awal Perkembangan Morfologi, Organ Dalam Serta Tingkah Laku Larva

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemeliharaan Larva Tuna Sirip Kuning Thunnus Albacares Dengan Posisi Titik Aerasi Berbeda Dan Studi Awal Perkembangan Morfologi, Organ Dalam Serta Tingkah Laku Larva"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

PEMELIHARAAN LARVA TUNA SIRIP KUNING

Thunnus

albacares

DENGAN POSISI TITIK AERASI BERBEDA DAN

STUDI AWAL PERKEMBANGAN MORFOLOGI, ORGAN DALAM

SERTA TINGKAH LAKU LARVA

YULIANA ASRI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pemeliharaan Larva Tuna Sirip Kuning Thunnus albacares dengan Posisi Titik Aerasi Berbeda dan Studi Awal Perkembangan Morfologi, Organ Dalam serta Tingkah Laku Larva adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, April 2016

Yuliana Asri

(4)

RINGKASAN

YULIANA ASRI. Pemeliharaan Larva Tuna Sirip Kuning Thunnus albacares

dengan Posisi Titik Aerasi Berbeda dan Studi Awal Perkembangan Morfologi, Organ Dalam serta Tingkah Laku Larva. Dibimbing oleh KUKUH NIRMALA dan TRI HERU PRIHADI.

Ikan tuna sirip kuning merupakan salah satu komoditas perikanan yang memiliki permintaan dan nilai ekonomis yang tinggi. Indonesia menjadi negara penghasil tuna terbesar kedua di dunia dengan memasok lebih dari 16% total produksi tuna. Pembenihan tuna sirip kuning telah berhasil dilakukan tetapi teknologi budidaya untuk pemeliharaan larva membutuhkan perbaikan dan kemajuan guna peningkatan kelangsungan hidup larva. Masalah utama adalah tingginya mortalitas larva dengan kelangsungan hidup kurang dari 0,05% pada 10 hari setelah penetasan hingga mencapai juvenil.

Pola kematian larva hingga hari ke 10 setelah menetas (D10) yaitu surfacing death (larva terjebak oleh tegangan permukaan) dan sinking death (larva dan dinding dasar bak berbenturan). Hal ini diduga akibat faktor pergerakan atau perputaran air. Pola kematian sinking death pada larva dapat diminimalkan dengan mengurangi dan mencegah kecepatan tenggelam larva. Pengurangan dan pencegahan kecepatan tenggelam larva dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain dengan mengatur posisi titik aerasi, peningkatan sirkulasi dan medan arus yang terbentuk dalam bak pemeliharaan. Distribusi aerasi, bentuk sirkulasi dan arus yang ideal pada bak dapat mencegah dan mengurangi terjadinya sinking death.

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektifitas pemeliharaan larva tuna sirip kuning dengan posisi titik aerasi yang berbeda terhadap derajat kelangsungan hidup larva, apakah penentuan titik aerasi yang berbeda berdampak pada perkembangan embriologi, kemampuan penyerapan kuning telur dan jumlah pakan yang dimakan. Selain itu penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi perkembangan morfologi, organ dalam dan tingkah laku larva ikan tuna sirip kuning. Hasil penelitian diharapkan dapat diterapkan dalam kegiatan budidaya dan dijadikan acuan untuk penelitian selanjutnya.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli hingga Oktober 2015, bertempat di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut (BBPPBL) Gondol, Bali. Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan posisi titik aerasi yang berbeda dan tiga ulangan. Perlakuan pertama sebagai kontrol yaitu titik aerasi diletakkan pada keempat sisi bak dan dengan posisi menggantung yaitu 30 cm dari dasar bak pemeliharaan (A). Perlakuan kedua yaitu empat titik aerasi diletakkan pada dasar bak dengan posisi berada di tengah bak (B). Perlakuan ketiga merupakan kombinasi perlakuan pertama dan kedua, yaitu dua titik aerasi diletakkan di dasar bak dan dua titik aerasi lainnya menggantung (C).

(5)

dilakukan saat larva berumur 8 hari yaitu sebanyak 5% dan saat larva berumur 12 hari 10%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan B dan C, yaitu posisi titik aerasi di dasar dan kombinasi memberikan nilai terbaik terhadap kelangsungan hidup larva tuna sirip kuning (0,31±0,04% dan 0,30±0,06%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap laju penyerapan kuning telur, bukaan mulut, laju pertumbuhan panjang harian, koefisien keragaman dan jumlah rata–rata isi pakan dalam lambung. Perlakuan A, B dan C memberikan nilai laju penyerapan kuning telur sebesar 0,70%, 0,51% dan 0,57 % hari-1, laju pertumbuhan panjang sebesar 6,00%, 5,69% dan 5,62% dengan koefisien keragaman 4,66%, 4,34% dan 4,79%. Pada umur tiga hari setelah menetas, mulut mulai terbuka dengan ukuran bukaan mulut 0,19–0,23 mm pada bukaan 90o dan 0,10–0,12 mm pada bukaan 45o. Ukuran bukaan mulut larva pada hari ke 13 setelah menetas adalah 0,59–0,71 mm pada bukaan 90o dan 0,32–0,39 mm pada bukaan 45o. Jumlah rata–rata isi lambung larva menunjukkan bahwa terdapat perbedaan jumlah rata–rata isi lambung larva pada saat pertama kali diberi pakan dan pada akhir pemeliharan. Jumlah rotifer yang dikonsumsi larva tuna sirip kuning umur 5 dan 10 hari yaitu 10,80 dan 28,70 ind.larva-1. Kualitas air selama penelitian masih tergolong dalam kisaran optimum kualitas air pemeliharaan larva ikan tuna, yaitu suhu 29–30,7 oC, pH 8,13–8,3, NH3 0,0028– 0,01 mg.L-1, DO 6,86–7,02, kecepatan arus 3,5 cm.s-1 dan kecepatan aerasi 500 mL.min-1. Pengamatan mikroskopis menunjukkan bahwa larva tuna sirip kuning menyerap habis kuning telur, mulai mengambil makanan dari luar tubuh dan retina mata sudah terlihat jelas pada umur tiga hari. Umur tiga hari bakal calon gelembung renang pada larva sudah mulai terlihat dan tampak jelas setelah larva berumur lima hari setelah menetas.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan perlakuan terbaik pada penelitian adalah pemeliharaan larva tuna sirip kuning dengan posisi titik aerasi di dasar (B) dan kombinasi (C). Pengamatan laju penyerapan kuning telur, laju pertumbuhan panjang harian, koefisien keragaman panjang, bukaan mulut larva dan sisa pakan dalam bak menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan. Terdapat perbedaan yang nyata terhadap isi pakan dalam lambung pada saat pertama kali diberikan pakan (hari ke tiga) dan pada akhir pemeliharaan (hari ke 13).

(6)

SUMMARY

more than 16% supply thunnus production worldwide. The spawning of yellowfin tuna has been a success but still needed farming technology and hatchery techinques for tuna larvae to increase its survival rate. The most important problem is the high level of larval mortality with survival rate < 0,05% from 10 days after hatching to weaned juvenile.

Two patterns of mortality for larvae up to 10 days after hatching are

surfacing death (occurs when larvae are brought to the surface layers by aerations and are subsequently trapped by surface tension) and sinking death (occurs when tuna larvae sink and touch the tank bottom during the night). Its expected as the result of trubulence or water flow factor. Sinking velocity decreased and prevention can be done by several ways: setting up the aeration center, increasing the water circulation and the flowing pattern in the rearing tank. Ideal aeration distribution, circulation and flowing pattern in the rearing tank can prevent and reduce sinking death.

This study was aimed to find out the effectiveness of rearing of yellowfin tuna larvae by different centre of aeration, have the impact to embryology development, yolk absorption rate and amount of feed in the stomach. The result of this study was expected to be applied and used as the reference for further research. In addition, this study is aimed to find out morphology, internal organ and behavior development of yellowfin tuna larvae (Thunnus albacares) through visual observation and mikroskopik (histology).

This experiment was conducted in Juli–Oktober 2015, at Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut (BBPPBL) Gondol, Bali. The design used in this study was Completely Randomized Design (CRD) with three treatments and three replications which was A (four center of aeration hang up 30 cm in the rearing tank as a control), B (four center of aeration in the bottom of the rearing tank B) and C (combination of two centers of aeration hang up and two centers at the bottom).

Larva yellowfin tuna with 0 day after hatching cultured in each of nine 1 m3 cylindrical fibre tank, height 1 m and water volume capacity 700 L with 10.000 ind.tank-1 stocking density, this larva was rearing for 13 days after hatching. During the research, larva fed by natural fed Nannochlropsis sp., rotifer and artemia. Water circulation was done at eight days after hatching with the percentage 5% and 12 days after hatching with the percentage 10%.

(7)

rate of length 6%, 5,69% and 5,62% with coefficient of diversity 4,66%, 4,34% and 4,79%. In the three days after hatching, the period of mouth opening was occurred with mouth opening of 90o as large as 0,19–0,23 mm and of 45o as large as 0,10–0,12 mm. In 13 days after hatching the mouth opening of 90o as large as 0,59–0,71 mm and of 45o as large as 0,32–0,39 mm. The average of amount of feed in the stomach of larvae showed that there were differences in the amount of feed in the stomach during the first feeding stage and end or rearing (days 13). Amount of rotifer were consumed at five days after hatching and 10 days after hatching 10,80 and 28,70 ind.larva-1. The water quality during the research was classified as a category of water quality that deserves to the culture of yellowfin tuna larvae, which was the temperature 29–30,7 oC, pH 8,13–8,3, NH3 0,0028– 0,01 mg.L-1, DO 6,86–7,02, flow velocity 3,5 cm.s-1 dan aeration velocity 500 mL.min-1. Analysis microscopic showed the constituent layers of the retina of the eye were seen, captivating the yolk and the first feeding of yellowfin larvae were occurred in three days after hatching.

Based on the result, the conclusion is the best treatment of the research is the position of aeration in the bottom (B) and combination (C). Observation of yolk absorption rate, daily long growth rate, coefficient of diversity, mouth opening and food remains in the tank showed not significantly different. There are differences in the amount of feed in the stomach during the first feeding stage and the end of rearing (days 13).

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Akuakultur

PEMELIHARAAN LARVA TUNA SIRIP KUNING

Thunnus

albacares

DENGAN POSISI TITIK AERASI BERBEDA DAN

STUDI AWAL PERKEMBANGAN MORFOLOGI, ORGAN DALAM

SERTA TINGKAH LAKU LARVA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia dan berkah-Nya sehingga serangkaian karya ilmiah yang berjudul Pemeliharaan Larva Tuna Sirip Kuning Thunnus albacares dengan Posisi Titik Aerasi Berbeda dan Studi Awal Perkembangan Morfologi, Organ Dalam serta Tingkah Laku Larva ini dapat diselesaikan dengan baik.

Terima kasih penulis ucapkan dengan hormat kepada Dr Ir Kukuh Nirmala, MSc serta Dr Ir Tri Heru Prihadi, MSc selaku pembimbing selayaknya orang tua yang telah banyak memberikan arahan dan masukan baik tekhnis maupun non tekhnis kepada penulis sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Terimakasih juga penulis ucapkan untuk Dr Ir Dinar Tri Soelistyowati, DEA selaku dosen penguji luar komisi pada ujian tesis serta Dr Ir Mia Setiawati, MSi selaku ketua program studi Ilmu Akuakultur atas segala saran yang diberikan sehingga tesis ini menjadi lebih baik.

Penulis juga mengucapkan terima kasih dan rasa hormat kepada ayahanda Tahriruddin dan ibunda Kasmiati beserta kakak Rihul Jannah, SPd; Himayati Asri,

Asri Faradis, Shaufiana Asri, SPd; Islahun Naily, SKom; dan Nikmatun Naiyironi, STP; atas segala dukungan, kesabaran, pengertian, doa dan kasih sayangnya selama penulis menjalani studi.

Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan–rekan yang selama masa studi dapat menjadi motivasi dan memberikan pengaruh yang positif bagi penulis; Septiana Dwiyanti, SPi; Prawita Anggeni, SPi; Aminatul Zahra, SPi; Zahroul Firdaus, SPd; Nian Rimayanti, SP; Asih Makarti Muktitama, SPi; Fahmi Akbar, SPi MSi; Vandra Kurniawan, SP; serta keluarga besar Program Studi Ilmu Akuakultur lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Spesial terimakasih penulis sampaikan kepada Lalu Hizbulloh, SSTPi; atas segala motivasi dan kesabaran yang diberikan selama penulis menjalani masa studi.

Penelitian ini dapat terlaksana atas bantuan dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut Gondol, Bali. Terimakasih penulis ucapkan dengan hormat kepada Ir John Harianto Hutapea, MSc dan semua tim tuna Bapak Ananto, Bapak Ody, Bapak Arif, Bapak Gunawan, Bapak Jafar, Bapak Putu, Bapak Komang dan Ibu Made atas masukan, bimbingan dan bantuan selama penulis melaksanakan penelitian.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2016

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan dan Manfaat Penelitian 3

Hipotesis 3

2 METODE 3

Waktu dan Tempat 3

Rancangan Percobaan 3

Pelaksanaan Penelitian 3

Parameter Uji 4

Analisis Data 7

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 7

Hasil 7

Kelangsungan Hidup 7

Laju Penyerapan Kuning Telur 7

Perkembangan Bukaan Mulut Larva 8

Laju Pertumbuhan Panjang Harian 9

Koefisien Keragaman 9

Jumlah Pakan dalam Lambung Larva 10

Sisa Pakan dalam Bak Pemeliharaan 10

Kualitas Air 11

Morfologi 11

Histologi 13

Pembahasan 18

4 SIMPULAN DAN SARAN 24

Simpulan 24

Saran 25

DAFTAR PUSTAKA 25

LAMPIRAN 28

(14)

DAFTAR TABEL

1 Parameter kualitas air pemeliharaan larva tuna sirip kuning Thunnus albacares pada posisi titik aerasi berbeda; A (menggantung/kontrol), B

(dasar) dan C (kombinasi A dan B) 6

2 Kualitas air pemeliharaan larva tuna sirip kuning perlakuan posisi titik aerasi berbeda A (menggantung/kontrol), B (dasar) dan C (kombinasi A

dan B) 11

3 Tingkah laku larva tuna sirip kuning terhadap posisi titik aerasi, respon terhadap pakan dan respon terhadap cahaya pada pemeliharaan dengan perlakuan posisi titik aerasi A (menggantung/kontrol), B (dasar) dan C

kombinasi (kombinasi A dan B) 16

DAFTAR GAMBAR

1 Kelangsungan hidup larva ikan tuna sirip kuning pada perlakuan posisi titik aerasi berbeda A (menggantung/kontrol), B (dasar) dan C

(kombinasi A dan B) 7

2 Laju penyerapan kuning telur larva ikan tuna sirip kuning selama tiga hari sejak penetasan perlakuan posisi titik aerasi berbeda A (menggantung/kontrol), B (dasar) dan C (kombinasi A dan B) 8 3 Grafik perkembangan bukaan mulut larva ikan tuna sirip kuning pada

bukaan 90o selama 13 hari sejak penetasan, pada perlakuan posisi titik aerasi berbeda A (menggantung/kontrol), B (dasar) dan C (kombinasi A

dan B) 8

4 Grafik perkembangan bukaan mulut larva ikan tuna sirip kuning pada bukaan 45o selama 13 hari sejak penetasan pada perlakuan posisi titik aerasi berbeda A (menggantung/kontrol), B (dasar) dan C (kombinasi A

dan B) 9

5 Laju pertumbuhan panjang harian larva ikan tuna sirip kuning yang dipelihara selama 13 hari sejak masa penetasan pada perlakuan posisi titik aerasi berbeda A (menggantung/kontrol), B (dasar) dan C

(kombinasi A dan B) 9

6 Koefisien keragaman panjang larva ikan tuna sirip kuning pada hari ke 13 sejak penetasan pada perlakuan posisi titik aerasi berbeda A (menggantung/kontrol), B (dasar) dan C (kombinasi A dan B) 10 7 Jumlah rata-rata isi lambung larva tuna sirip kuning pada perlakuan

posisi titik aerasi berbeda A (menggantung/kontrol), B (dasar) dan C (kombinasi A dan B) sejak pertama pemberian pakan sampai hari ke 10 10 8 Jumlah rata-rata sisa pakan dalam bak larva tuna sirip kuning pada

perlakuan posisi titik aerasi berbeda A (menggantung/kontrol), B (dasar) dan C (kombinasi A dan B) sejak pertama pemberian pakan

sampai hari ke 13 11

(15)

13 Morfologi larva ikan tuna sirip kuning D10 perlakuan A, B dan C 13 14 Morfologi larva ikan tuna sirip kuning D13 perlakuan A, B dan C 13 15 Irisan histologi larva ikan tuna sirip kuning D1 14 16 Irisan histologi larva ikan tuna sirip kuning D3 14 17 Irisan histologi larva ikan tuna sirip kuning D5 15 18 Irisan histologi larva ikan tuna sirip kuning D7, D10 dan D13 15 19 Sirkulasi arus vertikal dan horizontal yang terbentuk pada bak

pemeliharaan larva tuna sirip kuning Thunnus albacares dengan (1) posisi titik aerasi menggantung (perlakuan A), (2) di dasar (perlakuan B) dan (3) kombinasi (perlakuan C). Tanda panah menunujukkan arah kecepatan arus dalam bak. Lingkaran hitam menunujukkan lokasi titik

aerasi. 18

DAFTAR LAMPIRAN

1 Prosedur pengukuran panjang dan pengamatan morfologi larva 29

2 Prosedur pembuatan preparat histologi 29

3 Analisis statistik kelangsungan hidup larva tuna sirip kuning pada perlakuan posisi titik aerasi berbeda A (menggantung/kontrol), B

(dasar) dan C (kombinasi A dan B) 30

4 Analisis statistik laju penyerapan kuning telur larva tuna sirip kuning pada perlakuan posisi titik aerasi berbeda A (menggantung/kontrol), B

(dasar) dan C (kombinasi A dan B) 31

5 Analisis statistik bukaan mulut 90o larva tuna sirip kuning pada perlakuan posisi titik aerasi berbeda A (menggantung/kontrol), B

(dasar) dan C (kombinasi A dan B) 31

6 Analisis statistik bukaan mulut 45o larva tuna sirip kuning pada perlakuan posisi titik aerasi berbeda A (menggantung/kontrol), B

(dasar) dan C (kombinasi A dan B) 33

7 Analisis statistik laju pertumbuhan panjang larva tuna sirip kuning pada perlakuan posisi titik aerasi berbeda A (menggantung/kontrol), B

(dasar) dan C (kombinasi A dan B) 35

8 Analisis statistik koefisien keragaman panjang larva tuna sirip kuning pada perlakuan posisi titik aerasi berbeda A (menggantung/kontrol), B

(dasar) dan C (kombinasi A dan B) 36

9 Analisis statistik jumlah pakan dalam lambung larva tuna sirip kuning pada perlakuan posisi titik aerasi berbeda A (menggantung/kontrol), B

(dasar) dan C (kombinasi A dan B) 37

10 Analisis statistik sisa pakan dalam lambung larva tuna sirip kuning pada perlakuan posisi titik aerasi berbeda A (menggantung/kontrol), B

(dasar) dan C (kombinasi A dan B) 38

(16)
(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tuna merupakan salah satu komoditas perikanan yang menyumbang devisa bagi Indonesia, dikarenakan tuna sebagai komoditas ekspor utama setelah udang dan rumput laut. Ekspor tuna sirip kuning dari pelabuhan Benoa (Indonesia) ke Jepang, Hongkong dan Amerika dalam bentuk segar dan beku sebesar 6.821 ton pada tahun 2008. Tercatat dalam lima tahun terakhir, Indonesia menjadi negara penghasil tuna terbesar kedua di dunia dengan memasok lebih dari 16% total produksi tuna dunia (FAO 2014). Tingginya nilai produksi tidak terlepas dari aktifitas penangkapan, dimana produksi perikanan tangkap sekitar 4,73 juta ton dengan nilai produksi mencapai Rp 39 triliun (West Pacipic East Asia Oceanic Fisheries Management 2012). Apabila eksploitasi dilakukan secara terus menerus dikhawatirkan bisa membahayakan kelestariannya (Andamari et al. 2012).

Tahun 2003 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut (BBPPBL) Gondol mulai merintis usaha budidaya tuna sirip kuning dan melakukan penelitian terkait upaya pembenihan tuna serta pemeliharaan larva tuna (Hutapea et al. 2010). Pembenihan tuna sirip kuning telah berhasil dilakukan tetapi teknologi budidaya untuk pemeliharaan larva membutuhkan perbaikan dan kemajuan guna peningkatan kelangsungan hidup larva (Buentello et al. 2011). Patridge et al. (2011) menyatakan bahwa masalah utama dalam pembenihan adalah kelangsungan hidup larva yang sangat rendah yaitu kurang dari 0,5% pada saat 10 hari setelah penetasan hingga mencapai juvenil. Berdasarkan hasil wawancara dengan Hutapea (2015) kelangsungan hidup larva tuna sirip kuning yang dibudidaya di BBPPBL Gondol hanya mencapai 0,05% pada saat 10 hari setelah penetasan hingga mencapai juvenil. Kematian pada 10 hari pertama sejak menetas hingga juvenil merupakan faktor pembatas untuk budidaya masal, fase larva pada beberapa ikan laut termasuk ikan tuna merupakan fase yang sangat kritis (Sawada et al. 2005).

(18)

2

Terbentuknya arus atau perputaran dari aerasi sangat penting untuk menghasilkan oksigen dan mengedarkan pakan alami maupun buatan. Sebaliknya medan arus air dalam bak pemeliharaan dapat menjadi faktor utama penyebab stres larva ikan secara fisik. Pada beberapa penelitian terdahulu, adanya peningkatan sirkulasi dan medan arus yang terbentuk dari aerasi mengurangi

sinking larva dalam bak pemeliharaan. Nakagawa et al. (2011) menyatakan bahwa peningkatan sirkulasi pada larva tuna sirip biru yang dipelihara selama sembilan hari setelah menetas dengan posisi titik aerasi pada tengah dasar bak dapat menahan larva dalam kolom air sehingga tidak tenggelam ke dasar bak dan mengurangi kematian dengan nilai kelangsungan hidup sebesar 43,2±4,5 48,6±4,2%. Menurut Sakakura et al. (2006), aerasi dapat mengurangi mortalitas dan terjadinya larva sinking serta meningkatkan kelangsungan hidup larva

Epinepelus septemfasciatus umur 10 hari setelah menetas. Larva dipelihara dengan aerasi yang diletakkan pada tengah dasar bak dan hasilnya memberikan nilai yang lebih baik yaitu 61,5±5,1% dibandingkan dengan pemeliharaan larva dengan beberapa aerasi yang diletakkan di berbagai titik secara sembarang yaitu sebesar 21,2±13,7%. Hal ini berkaitan dengan distribusi oksigen dan bentuk sirkulasi pada bak.

Perumusan Masalah

Teknologi pengembangan pembenihan dan budidaya tuna sirip kuning saat ini masih belum optimal dan membutuhkan perbaikan. Hal tersebut disebabkan oleh masih rendahnya nilai produksi karena terdapat kendala dalam usaha budidaya yaitu rendahnya kelangsungan hidup larva pada umur 10 hari setelah menetas hingga mencapai juvenile.

Rendahnya nilai kelangsungan hidup (berkisar 0,05%–0,5% pada 10 hari setelah menetas) antara lain disebabkan belum optimalnya media pemeliharaan dalam kegiatan budidaya. Larva tuna yang dipelihara pada media pemeliharaan dengan posisi titik aerasi menggantung dan sembarang akan menyebabkan kurangnya sirkulasi karena tidak ada aerasi dasar bak pemeliharaan, adanya akumulasi plankton (pakan yang tidak termakan) mati di dasar dan tingkah laku larva yang cenderung diam di permukaan atau di kolom air sedangkan pakan yang diberikan berupa rotifer yang relatif terus bergerak dan ada di kolom air. Pada kondisi demikian, akan meningkatkan kecepatan sinking larva selain itu juga akan mempengaruhi kualitas air serta pakan tidak termanfaatkan dengan baik sehingga menyebabkan larva kemungkinan mati akibat malnutrisi atau kontak langsung dengan dasar bak.

(19)

3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektifitas pemeliharaan larva tuna sirip kuning dengan posisi titik aerasi yang berbeda terhadap derajat kelangsungan hidup larva, apakah penentuan titik aerasi berbeda berdampak pada perkembangan embriologi, kemampuan penyerapan kuning telur dan jumlah pakan yang dimakan. Selain itu penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi perkembangan morfologi, organ dalam dan tingkah laku larva ikan tuna sirip kuning. Hasil penelitian diharapkan dapat diterapkan dalam kegiatan budidaya dan dijadikan acuan untuk penelitian selnjutnya

Hipotesis

Penempatan titik aerasi di dasar dan kombinasi antara dasar dan menggantung pada bak pemeliharaan larva tuna sirip kuning (Thunnus albacares) dapat menurunkan sinking death dan kematian sehingga diharapkan nilai kelangsungan hidup larva tuna sirip kuning menjadi lebih baik.

2

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli–Oktober 2015. Pemeliharaan larva dilakukan di hatchery tuna Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut Gondol, Bali, sedangkan analisis kualitas air di Laboraturium Kimia Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut Gondol, Bali.

Rancangan Percobaan

Penelitian ini dilakukan dengan metode eksperimental. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan posisi titik aerasi yang berbeda masing–masing diulang sebanyak tiga kali. Perlakuan pertama sebagai kontrol yaitu titik aerasi diletakkan pada keempat sisi bak dan dengan posisi menggantung yaitu 30 cm dari dasar bak pemeliharaan (A). Perlakuan kedua yaitu empat titik aerasi diletakkan pada dasar bak dengan posisi berada di tengah bak (B). Perlakuan ketiga merupakan kombinasi perlakuan pertama dan kedua, yaitu dua titik aerasi diletakkan di dasar bak dan dua titik aerasi lainnya menggantung (C).

Pelaksanaan Penelitian Persiapan

Wadah yang digunakan untuk pemeliharaan larva tuna adalah bak berukuran 1 m3 dan kedalaman 1 m dengan volume 700 L.bak-1, jumlah bak yang digunakan untuk penelitian ini adalah 9 unit. Tahapan persiapan penelitian meliputi pembersihan bak, pengeringan bak, penempatan titik aerasi dan pengisian air.

(20)

4

tertutup yang dilengkapi dengan lampu untuk menjaga suhu agar tetap hangat di dalam ruangan. Pengisian air dilakukan melalui saluran pipa inlet yang terdapat pada tandon air yang bersumber dari air laut yang terdapat di Gondol.

Pemeliharaan Ikan Uji

Larva tuna sirip kuning yang digunakan adalah larva dari telur yang baru menetas atau D0, telur diperoleh dari indukan tuna hasil pemijahan secara alami yang terdapat pada keramba jaring apung (KJA) tuna di BBPPBL. Padat tebar pada setiap bak yaitu 10.000 ekor larva.bak-1 (Partridge et al. 2011). Pakan yang diberikan berupa pakan alami Nannochloropsis sp., rotifer dan artemia. Pemberian pakan dilakukan sejak larva berumur dua hari setelah menetas dan diberikan pada pukul 08.00 dan 14.00 WITA, dengan jumlah pakan yang diberikan disesuaikan dengan ketersediaaan pakan di dalam bak pemeliharaan. Menurut Patridge et al. (2011), jumlah Nannochlropsis sp. yang diberikan 2–3 x 105 sel.mL-1, rotifer 5–10 individu.mL-1 dan artemia 0,25–0,50 individu.mL-1 mulai diberikan saat larva berumur 10 hari setelah penetasan.

Ketersediaan pakan dalam bak dapat diketahui dengan cara mengambil sampel di dalam bak sebanyak 30 mL pada tiga titik pengambilan. Setelah itu jumlah rotifer di hitung di bawah proyektor untuk mengetahui sisa pakan yang tersedia di dalam bak pemeliharaan. Perhitungan dilakukan sebelum pemberian pakan, pakan yang diberikan dihitung berdasarkan rumus:

Keterangan :

Rn = Kebutuhan pakan yang akan diberikan (mL) Rt = Kepadatan pakan yang akan ditentukan (ind.mL-1) Rr = Kepadatan sisa pakan dalam wadah (ind.mL-1) Rs = Kepadatan pakan yang tersedia (ind.mL-1) V = Volume wadah pemeliharaan

Pergantian air dilakukan saat larva berumur delapan hari sebanyak 5% dan saat larva berumur 12 hari sebanyak 10%. Lama pemeliharaan larva dilakukan sampai umur 13 hari setelah penetasan.

Parameter Uji

Kelangsungan Hidup

Tingkat kelangsungan hidup (SR) dihitung dengan cara menghitung total larva yang hidup di akhir perlakuan, dan digunakan rumus Goddard (1996) :

Keterangan :

SR = Derajat kelangsungan hidup (%)

(21)

5 Laju Penyerapan Kuning Telur

Laju penyerapan kuning telur pada larva ikan tuna sirip kuning diamati pada saat penetasan (D0) sampai tiga hari setelah menetas (D3) dan dihitung dengan

Pengukuran bukaan mulut larva ikan menggunakan formula seperti dalam Shirota (1970) yaitu:

Laju pertumbuhan panjang harian larva ikan tuna sirip kuning dihitung dengan rumus Huisman (1987) : dinyatakan dalam koefisien keragaman yang dihitung menggunakan rumus Steel dan Torrie (1982) : objek, kemudian gelas penutup objek diletakkan di atas larva diamati dan jumlah pakan dihitung dibawah mikroskop. Jumlah sampel yang diamati setiap perlakuan

(22)

6

adalah 5 ekor larva.perlakuan-1. Pengamatan isi saluran pencernaan dilakukan satu jam setelah dilakukan pemberian pakan alami dan pada hari yang sama pada saat pengamatan perkembangan larva yaitu pada D3, D5, D7 dan D10.

Jumlah Sisa Pakan dalam Bak Pemeliharaan

Jumlah sisa pakan dalam bak pemeliharaan dihitung sehingga diperoleh hasil perhitungan jumlah rata–rata sisa pakan alami pada bak pemeliharaan larva ikan tuna sirip kuning. Penghitungan jumlah sisa pakan dalam bak dilakukan sebelum pemberian pakan, bertujuan untuk mengetahui sisa pakan yang tersedia dan sebagai acuan dalam jumlah penambahan pakan.

Parameter Kualitas Air

Parameter kualitas air yang diukur antara lain salinitas, suhu, oksigen terlarut, pH, amonia, kecepatan arus dan kecepatan (Tabel 1).

Tabel 1. Parameter kualitas air pemeliharaan larva tuna sirip kuning Thunnus albacares pada posisi titik aerasi berbeda; A, B dan C.

Parameter Satuan Alat ukur/Metode Frekuensi

Suhu oC Termometer batang 2 kali sehari

Oksigen terlarut mg.L-1 DO–meter 2 kali sehari

pH - pH–meter 1 kali 5 hari

NH3 mg.L-1 Spektrofotometer 1 kali 5 hari

Salinitas ppt Refraktometer 2 kali sehari

Kecepatan arus cm.detik-1 Stopwatch dan sterofoam 1 kali 3 hari Kecepatan aerasi ml.menit-1 Stopwatch dan baker glass 1 kali 3 hari Pengamatan Tingkah Laku, Morfologi dan Preparat Histologi

Pengamatan tingkah laku larva dilakukan pada pagi hari, siang hari dan sore hari di setiap bak perlakuan. Tingkah laku yang diamati adalah tingkah laku larva terhadap aerasi, tingkah laku larva pada saat pemberian pakan dan tingkah laku larva terhadap cahaya.

Sampel larva diambil untuk pengamatan morfologi dan histologi pada umur D1, D3, D5, D7, D10, dan D13 hari masing–masing sebanyak 15 ekor. Sebelum diamati dalam mikroskop, larva direndam dalam media mengandung obat bius MS–222. Data dan foto morfologi larva ikan diperoleh menggunakan metode pengambilan gambar dengan mikroskop dengan perbesaran 2 kali dan 4 kali untuk pengamatan morfologi serta perbesaran 10 kali, 20 kali dan 40 kali untuk pengamatan preparat histologi. Sampel untuk histologi diambil dan direndam dalam larutan fiksatif atau bouins selama 4–6 jam, selanjutnya dipindahkan dalam alkohol 70%. Semua sampel didehidrasi dalam larutan alkohol secara bertingkat dengan konsentrasi 70%, 80%, 90%, 95%, 100%, dijernihkan dalam xylene dan diresapkan dalam paraffin. Sampel ditanam dalam paraffin dan dipotong menggunakan microtome dengan ketebalan 4–5 μm. Pewarnaan dilakukan dengan

(23)

7 Analisis Data

Data yang diperoleh ditabulasi dengan Microsoft Excel 2007. Parameter kelangsungan hidup, laju penyerapan kuning telur, laju pertumbuhan panjang harian, koefisien keragaman panjang, bukaan mulut, jumlah isi pakan dalam lambung dan sisa pakan dalam bak dianalisis ragam (ANOVA) pada selang kepercayaan 95% dengan bantuan perangkat lunak SPSS 17.0. Apabila data berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji Duncan. Parameter kualitas air dianalisis secara deskriptif yang disajikan dalam bentuk tabel. Parameter morfologi dan organ dalam disajikan dalam bentuk gambar.

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Kelangsungan hidup

Hasil pengamatan kelangsungan hidup larva tuna sirip kuning pada hari ke 13 setelah penetasan disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Kelangsungan hidup larva ikan tuna sirip kuning pada perlakuan posisi titik aerasi berbeda A (menggantung/kontrol), B (dasar) dan C (kombinasi A dan B). Huruf supperscript yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (p < 0,05) pada taraf uji 5% (uji Duncan)

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan posisi titik aerasi berbeda memberikan pengaruh nyata (p < 0,05) terhadap kelangsungan hidup larva ikan tuna sirip kuning. Gambar 1 menunjukkan bahwa kelangsungan hidup larva ikan tuna sirip kuning yang dipelihara selama 13 hari sejak penetasan memperoleh nilai persentase kelangsungan hidup tertinggi pada perlakuan B (dasar) sebesar 0,31%, selanjutnya perlakuan C (kombinasi) sebesar 0,30% dan terakhir perlakuan A (kontrol) sebesar 0,19%.

Laju Penyerapan Kuning Telur

Gambar 2 menunjukkan bahwa pada perlakuan A, B dan C memiliki laju penyerapan yang tidak berbeda nyata (p > 0,05) yaitu 0,70% hari-1, 0,51% hari-1

(24)

8

dan 0,57% hari-1. Hal tersebut menunjukkan bahwa perlakuan penempatan titik aerasi yang berbeda tidak memberikan pengaruh terhadap laju penyerapan kuning telur.

Gambar 2 Laju penyerapan kuning telur larva ikan tuna sirip kuning selama tiga hari sejak penetasan perlakuan posisi titik aerasi berbeda A (menggantung/kontrol), B (dasar) dan C (kombinasi A dan B). Huruf

supperscript yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (p < 0,05) pada taraf uji 5% (uji Duncan)

Perkembangan Bukaan Mulut Larva

Perkembangan bukaan mulut larva ikan tuna sirip kuning disajikan pada Gambar 3 dan 4. Hasil analisis ragam pada hari ke 13 setelah menetas menunjukkan bahwa pemberian perlakuan tidak berpengaruh nyata (p > 0,05), ukuran bukaan mulut adalah 0,59–0,71 mm pada bukaan 90o (Gambar 3) dan 0,32–0,39 mm pada bukaan 45o (Gambar 5). Pada umur tiga hari setelah menetas, mulut mulai terbuka dengan ukuran bukaan mulut 0,19–0,23 mm pada bukaan 90o dan 0,10–0,12 mm pada bukaan 45o. Ukuran bukaan mulut semakin lebar pada umur lima hari dan berkembang sangat cepat hingga larva mencapai umur 10 hari. Nilai ukuran bukaan mulut hari kelima pada 90o 0,25–0,42 mm, sedangkan bukaan mulut 45o 0,13–0,23 mm.

(25)

9

Gambar 4 Perkembangan bukaan mulut larva ikan tuna sirip kuning pada bukaan 45o selama 13 hari sejak penetasan pada perlakuan posisi titik aerasi berbeda A (menggantung/kontrol), B (dasar) dan C (kombinasi A dan B)

Laju Pertumbuhan Panjang Harian

Gambar 5 menunjukkan bahwa perlakuan A, B dan C tidak memberikan pengaruh nyata (p > 0,05) terhadap laju pertumbuhan panjang harian larva tuna sirip kuning. Pengukuran laju pertumbuhan panjang dilakukan selama 13 hari sejak penetasan, perlakuan A menghasilkan laju pertumbuhan panjang larva sebesar 6%, perlakuan B sebesar 5,69% dan pada perlakuan C sebesar 5,62%.

Gambar 5 Laju pertumbuhan panjang harian larva ikan tuna sirip kuning yang dipelihara selama 13 hari sejak masa penetasan pada perlakuan posisi titik aerasi berbeda A (menggantung/kontrol), B (dasar) dan C (kombinasi A dan B). Huruf supperscript yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (p < 0,05) pada taraf uji 5% (uji Duncan)

Koefisien Keragaman

(26)

10

Gambar 6 Koefisien keragaman panjang larva ikan tuna sirip kuning pada hari ke 13 sejak penetasan pada perlakuan posisi titik aerasi berbeda A (menggantung/kontrol), B (dasar) dan C (kombinasi A dan B). Huruf

supperscript yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (p < 0,05) pada taraf uji 5% (uji Duncan)

Koefisien keragaman (KK) menggambarkan tingkat keragaman panjang ikan pada akhir pemeliharaan, yaitu semakin tinggi nilai KK maka tingkat keseragaman panjang menjadi semakin rendah.

Jumlah Pakan dalam Lambung dan Sisa Pakan dalam Bak

Pengamatan pakan dalam lambung larva tuna sirip kuning dari umur tiga sampai 10 hari merupakan gambaran mengenai jumlah pakan alami yang termakan pada awal pemeliharaan. Jumlah rata–rata isi lambung larva menunjukkan bahwa terdapat perbedaan jumlah rata–rata isi lambung larva pada saat pertama kali diberikan pakan dan pada akhir pemeliharan berbeda pada taraf nyata 5%. Sedangkan jumlah sisa pakan dalam bak pemeliharaan menunjukkan bahwa pada saat pertama kali pemberian pakan sampai hari ke 13 setelah penetasan jumlah sisa pakan tidak berbeda pada taraf nyata 5%. Jumlah isi pakan dalam lambung larva dan jumlah sisa pakan dalam bak disajikan dalam Gambar 7 dan 8.

(27)

11

Gambar 8 Jumlah rata–rata sisa pakan dalam bak larva tuna sirip kuning pada perlakuan posisi titik aerasi berbeda sejak pertama pemberian pakan sampai hari ke 13. A (menggantung/kontrol), B (dasar) dan C (kombinasi A dan B)

Kualitas Air

Parameter kualitas air yang diukur dalam penelitian meliputi salinitas, suhu, pH, oksigen terlarut, amonia, kecepatan arus dan kecepatan aerasi yang disajikan pada Tabel 2 dan selengkapnya pada Lampiran 11.

Tabel 2 Kualitas air pemeliharaan larva tuna sirip kuning perlakuan posisi titik aerasi berbeda A (menggantung/kontrol), B (dasar) dan C (kombinasi A dan B)

Parameter Posisi titik aerasi Kisaran optimum

A B C

Perkembangan morfologi larva tuna sirip kuning disajikan pada Gambar 9, 10, 11, 12, 13 dan 14. Pengamatan morfologi larva tuna sirip kuning pada D1, D3, D5, D7, D10 dan D13 antara perlakuan A, B dan C tidak ada perbedaan, ini mengindikasikan bahwa penempatan posisi titik aerasi yang berbeda tidak mempengaruhi morfologi dan embriologi larva tuna sirip kuning.

(28)

12

Gambar 9 Larva ikan tuna sirip kuning D1 perlakuan A (a), D1 perlakuan B (b) dan D1 perlakuan C (c) pada perbesaran 4 kali

Gambar 10 Larva tuna sirip kuning perlakuan A D3 (a) D3 prlakuan B (b) dan D3 (c) pada perbesaran 4 kali

Gambar 11 Larva tuna sirip kuning D5 perlakuan A (a) pada perbesaran 3 kali, D5 perlakuan B (b), D5 perlakuan C (c) pada perbesaran 2 kali

a b

b a

b a

c

c

(29)

13

Gambar 12 Larva tuna sirip kuning D7 perlakuan A (a), D7 perlakuan B (b), D7 perlakuan C (c) pada perbesaran 2 kali

Gambar 13 Larva tuna sirip kuning D10 perlakuan A (a), D10 perlakuan B (b), D10 perlakuan C (c) pada perbesaran 2 kali

Gambar 14 Larva tuna sirip kuning D13 perlakuan A (a) D13 perlakuan B (b) D13 perlakuan C (c) pada perbesaran 4 kali

Histologi

Perkembangan organ dalam larva tuna sirip kuning pada saat D1, D3, D5, D7, D10 dan D13 disajikan pada Gambar 15, 16, 17 dan 18. Hasil pengamatan histologi menunjukkan bahwa organ dalam larva tuna sirip kuning terus berkembang sesuai perkembangan umur larva. Hasil pengamatan histologi menunjukkan bahwa sehari setelah larva menetas (D1) perkembangan organ dalam larva tuna sirip kuning masih belum lengkap, dimana sebagian rongga perut dipenuhi oleh kuning telur. Usus masih berbentuk sederhana seperti tabung lurus dengan ujung yang membuka serta mulut belum terbuka. Lapisan retina mata larva sudah mulai terlihat dan telah berkembang dengan baik saat larva berumur 3 hari (D3). Saluran pencernaan usus dan rektum terlihat jelas pada umur D3. Kuning telur telah terserap habis dan sudah terlihat mengambil makanan dari luar tubuh yang ditandai dengan adanya jaringan pakan alami di dalam usus.

a b

a b c

c

(30)

14

Gambar 15 Irisan histologi larva ikan tuna sirip kuning umur D1, retina mata belum terbentuk sempurna F: membran kulit, Gr: germinal retina, M: medulla oblongata, d: saluran pencernaan, perbesaran 10 kali

Gambar 16 Irisan histologi larva tuna sirip kuning umur D3 saluran pencernaan sudah terbentuk, sisa–sisa kuning telur dan butiran minyak masih terlihat. Volume usus semakin besar dan ditemukan jaringan pakan alami dalam usus (a dan b) perbesaran 20 kali (c dan d) perbesaran 40 kali. E: rongga telinga dalam, H: hypothalamus, usus, M: medulla oblongata, O: lobus optikus, R: rektum, Rt: retina, pa: pankreas, mg: mid gut, mv: mikro villi, hg: hind gut, bsb: bakal calon swim bladder, st: perut, sq: sel epitelium, gc: sel goblet

d

Y

M

Gr

F

O H

M E

he li

mg st

bsb

hg

mg st

sb

gc

sq

R a

d c

b R mv

(31)

15

Gambar 17 Irisan histologi larva tuna umur D5, otak sudah berkembang dengan baik dan pelipatan epitelium saluran pencernaan mulai terlihat. LO: lobus olfaktorius, M: medulla oblongata, O: lobus optikus, H: hypothalamus, I: usus, R: rektum, sb: gelembung renang.

Gambar 18 Irisan larva ikan tuna sirip kuning umur D7 pada perbesarann 10x (a) ginjal depan dan belakang sudah berkembang. (b) irisan larva tuna sirip kuning D10 pada perbesran 20 kali. (c dan d) irisan larva tuna sirip kuning D13 pada perbesaran 10 kali. I: usus, L: hati, K: ginjal, PK: ginjal belakang, R: rectum, st: perut, sb: gelembung renang Pelipatan epitel saluran pencernaan mulai terlihat pada larva umur lima hari dan akan semakin jelas terlihat dan kompleks bersamaan dengan pertumbuhan

M

H O

LO

R sb

I

K

sb

L

I R

st PK

K

L R

sb N

R

I L

sb

a b

(32)

16

larva. Lipatan akan semakin dalam dan tebal seiring dengan pertambahan umur larva, lipatan ini disebut dengan vili, yang merupakan tonjolan gepeng menyerupai daun terdapat di sepanjang usus dan berfungsi dalam meningkatkan permukaan penyerapan mukosa pembatas (Kaji et al. 1999). Organ hati, ginjal depan dan pankreas pada larva tuna sirip kuning mulai berkembang pada umur tiga hari, ginjal belakang terlihat jelas pada saat larva berumur tujuh hari.

Larva tuna sirip kuning umur 12 menuju umur 14 hari setelah menetas mengalami flexion larva, dimana sel mukosa dalam mulut rongga perut masih berceceran. Di dalam eshopagus sel eptelium dan sel mukosa meningkat terutama pada bagian ujung. Kelenjar gastrik pada perut pertama kali nampak pada perut bagian belakang.

Tingkah Laku

Pengamatan tingkah laku larva tuna sirip kuning D1, D3, D5, D7, D10 dan D13 terhadap posisi titik aerasi, respon terhadap cahaya dan respon terhadap pakan ditampilkan pada Tabel 3.

(33)

17

B Berenang aktif Lebih menyukai

arah datangnya

C Berenang aktif Lebih menyukai

arah datangnya

B Berenang aktif Lebih menyukai

arah datangnya

C Berenang aktif Lebih menyukai

arah datangnya cahaya

Aktif makan Menyebar

D13 A Berenang

lemah

Mendekati cahaya Aktif makan Berkumpul dan diam pada sisi bak

B Berenang aktif Mendekati cahaya Aktif makan Menyebar

(34)

18

Pembahasan

Kelangsungan hidup larva tuna sirip kuning pada perlakuan titik aerasi di dasar (B) dan kombinasi titik aerasi dasar dan menggantung (C) memberikan nilai yang lebih baik dari pada perlakuan kontrol atau titik aerasi menggantung 30 cm dari dasar bak (A). Pola arus yang terbentuk dari posisi titik aerasi B dan C diduga mampu menahan larva untuk tetap berada di kolom air dan tidak tenggelam ke dasar, sehingga dapat mengurangi tingkat kematian. Sakamoto et al. (2005) menyatakan, terdapat dua pola kematian larva hingga 10 hari setelah menetas (D10) yaitu surfacing death dan sinking death. Surfacing death terjadi ketika aerasi membawa larva kearah lapisan permukaan sehingga larva terjebak oleh tegangan permukaan. Sinking death terjadi karena larva dan dinding dasar bak berbenturan. Faktor yang mempengaruhinya yaitu berat jenis tubuh larva dan kecepatan renang larva yang semakin meningkat. Menurut Nakagawa et al. (2011), berat jenis tubuh larva meningkat seiring dengan pertumbuhan larva, begitu pula kecepatan sinking meningkat sesuai dengan berat jenis larva. Hal ini berkaitan dengan tingkah laku larva pada saat mulai makan pertama kali, larva lebih suka berenang pada kolom air selama seharian untuk mendapatkan makanan, tetapi aktivitas berenang berkurang pada malam hari. Adanya sirkulasi yang ditimbulkan oleh aerasi yang diletakkan di dasar bak dapat menahan larva untuk tetap berada pada kolom air dan terjadi keseimbangan antara larva yang tenggelam ke bawah dan kecepatan arus ke atas sehingga mengurangi kematian. Arus vertikal yang dihasilkan dari gelembung aerasi yang diletakkan di tengah– tengah dasar bak pemeliharaan membawa air ke atas hingga gelembung sampai ke permukaan. Pada permukaan, arus berubah dari vertikal membentuk arus horizontal. Arus air horizontal melewati permukaan dari sisi bak kemudian mengalir ke bawah melalui sisi dinding bak. Setelah mencapai dasar, arus berpindah ke arah tengah bak dan melengkapi pola sirkulasi. Kecepatan sirkulasi meningkat dan ketebalan batas lapisan zona pergolakan dan dasar bak berkurang (Nakagawa et al. 2011).

Gambar 19 Sirkulasi arus vertikal dan horizontal yang terbentuk pada bak pemeliharaan larva tuna sirip kuning Thunnus albacares dengan (1) posisi titik aerasi menggantung (perlakuan A), (2) di dasar (perlakuan B) dan (3) kombinasi (perlakuan C). Tanda panah menunujukkan arah kecepatan arus dalam bak. Lingkaran hitam menunujukkan lokasi titik aerasi.

3,5 cm.s

-1

500 ml.min

-1

100

(35)

19 Berdasarkan ilustrasi Gambar 19 pada setiap perlakuan A, B dan C terlihat perbedaan fisik air yang terbentuk dari posisi titik aerasi yang berbeda. Terdapat beberapa titik mati yang terbentuk di dalam bak pemeliharaan larva tuna sirip kuning pada posisi titik aerasi yang menggantung (perlakuan A). Hal tersebut diduga karena tidak adanya sirkulasi air maupun arus yang terbentuk di dasar bak akibat dari posisi titik aerasi yang menggantung. Terbentuknya luasan titik mati di dasar bak dan tidak adanya sirkulasi air atau arus menyebabkan larva terdorong ke bawah dasar bak dan akhirnya tenggelam. Sedangkan pada perlakuan B dan C, dari penempatan titk aerasi di dasar dan kombinasi antara titik aerasi di dasar dan menggantung dapat menahan larva untuk tetap berada pada kolom air, sehingga mengurangi kecepatan tenggelam larva. Sirkulasi air dan arus yang terus bergerak dan menggerakkan tubuh larva sehingga mampu menahan larva tidak tenggelam ke dasar, berkaitan juga dengan adanya sifat fisiologi tuna sirip kuning, dimana tubuhnya harus selalu panas dan tuna sirip kuing mampu menyimpan panas tubuh dengan baik. Tuna sirip kuning akan terus bergerak agar kondisi tubuhnya tetap panas dan apabila terhenti atau tidak berenang maka dapat menyebabkan tuna mati. Graham dan Dickson (2004) menyatakan bahwa tuna sirip kuning merupakan spesies yang sangat aktif, memiliki kemampuan dalam menyimpan panas tubuh sehingga menjadikan tuna sirip kuning perenang cepat dan berenang secara terus menerus.

Gelembung udara aerasi berpengaruh dalam pembentukan arus dan menciptakan kondisi lingkungan dengan arus sirkulasi vertikal yang tenang untuk pemeliharaan larva. Aerasi yang diletakkan di dasar bak pemeliharaan mampu menyebabkan arus dari bawah naik ke atas melalui permukaan air (Sakakura et al.

2006). Larva mengalami kematian karena adanya kontak langsung dengan dasar, (Miyashita 2006) atau dikarenakan berkurangnya tingkat oksigen di dasar bak (Kayaba et al. 2003).

Fase pro larva adalah fase dimana larva masih memiliki cadangan makanan berupa kuning telur, yang merupakan bekal bagi larva untuk beberapa hari sebelum larva mendapatkan makanan dari luar. Akhir dari fase pro larva adalah empat hari setelah telur menetas, sedangkan awal dari fase post larva adalah ketika kuning telur telah habis (Nugraha 2004). Hasil pengamatan laju penyerapan kuning telur larva tuna sirip kuning menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antar perlakuan (p > 0,05) yaitu berkisar antara 0,51%.hari-1 sampai 0,70%.hari-1. Secara mikroskopis kuning telur terserap habis pada umur tiga hari setelah menetas. Hal tersebut mengindikasikan bahwa larva tuna sirip kuning mempunyai laju penyerapan kuning telur yang sama dan mampu menyerap kuning telur dengan baik terhadap perlakuan titik aerasi yang diterapkan untuk meningkatkan kelangsungan hidupnya. Berdasarkan penelitian Kaji et al. (1999), pada saat baru menetas (D0) sebagian besar rongga perut larva ikan tuna sirip kuning diisi oleh kuning telur, hari pertama (D1) setelah menetas ukuran kuning telur semakin mengecil dan pada hari kedua (D2) setelah menetas masih terdapat sedikit sisa kuning telur. Perubahan dari fase kuning telur ke fase post larva terjadi pada hari keempat.

(36)

20

endogenous feeding, yang dimulai saat fertilisasi dan berakhir saat larva sudah memperoleh pakan dari luar tubuhnya. Pergerakan aktivitas larva akan mempengaruhi laju penyerapan kuning telur saat larva berkembang dari pro larva

menuju post larva. Penyerapan kuning telur yang tinggi dapat terjadi akibat dari aktivitas larva yang rendah, sehingga kuning telur lebih banyak terserap untuk pertumbuhan (Waynarovich dan Horvath 1980).

Pada pemeliharaan larva, kelangsungan hidup larva sangat ditentukan oleh ketersediaan makanan yang ukurannya sesuai dengan ukuran bukaan mulut larva (Affandi et al. 2009). Satu hari setelah menetas mulut larva tuna sirip kuning belum terbuka. Umur dua hari setelah menetas rahang atas dan rahang bawah sudah dapat dibedakan dan mulut sudah terbuka secara keseluruhan (Kaji et al. 1999). Hasil penelitian pada Gambar 3 dan 4 menunjukkan bahwa perlakuan memberikan nilai ukuran bukaan mulut (90o dan 45o) tidak berbeda nyata (p > 0,005). Umur tiga hari setelah menetas mulut lava tuna sirip kuning mulai terbuka dengan rata–rata ukuran bukaan mulut yaitu 0,19–0,23 mm, pada bukaan 90o dan 0,10–0,12 mm pada bukaan 45o. Ukuran bukaan mulut semakin lebar pada umur lima hari setelah menetas dan terus berkembang cepat seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan larva.

Kohno et al. (1986) ukuran rotifer yang disukai oleh larva ikan kakap ketika pertama kali makan adalah 33–35% dari bukaan mulut maksimalnya. Ikan baronang menyukai makanan yang berukuran 62,5% dari ukuran bukaan mulutnya (Kohno et al. 1988). Bukaan mulut larva kerapu bebek pada umur tiga hari dengan bukaan 45o sebesar 0,103 mm dan 90o sebesar 0,156 mm. Larva kerapu bebek mulai dapat memanfaatkan makanan dari luar setelah umur empat hari setelah menetas sampai dengan umur 10 hari setelah menetas, bukaan mulut semakin lebar (Andriyanto dan Marzuki 2012).

Pertumbuhan panjang harian larva ikan tuna sirip kuning pada setiap perlakuan tidak berbeda nyata hal ini diduga karena larva baru beradaptasi dengan pakan dari luar (exogeneous feeding). Energi yang diperoleh dari pakan digunakan untuk perkembangan dan penyempurnaan organ. Hasil pengamatan menunjukkan nilai laju pertumbuhan panjang harian larva tuna sirip kuning pada hari ke 13 setelah menetas adalah A (6%), B (5,69%) dan C (5,62%). Hal tersebut mengindikasikan bahwa larva tuna sirip kuning mempunyai laju pertumbuhan panjang yang sama dan mampu tumbuh dengan baik terhadap perlakuan titik aerasi yang diterapkan untuk meningkatkan kelangsungan hidupnya. Kobayashi (2015), melaporkan nilai panjang total larva tuna sirip kuning yang dipelihara pada umur 10 dan 14 hari setelah menetas yaitu 5,0 mm dan 6,2 mm. Panjang total larva tuna sirip kuning pada hari ke 13 setelah menetas adalah 7 mm (Buentello et al. 2011). Berdasarkan penelitian Nurhidayat (2001), larva ikan kerapu yang dipelihara selama 31 hari dengan diberikan perlakuan peningkatan persentase pergantian air tidak mempengaruhi panjang mutlaknya, karena larva akan tumbuh dan berkembang jika pakan yang dikonsumsi sudah memenuhi kebutuhan untuk perkembangan organ.

(37)

21 Nilai parameter fisik kimia air selama penelitian masih layak untuk mendukung pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva tuna sirip kuning (Wexler

et al. 2011 dan Nakagawa et al. 2011). Suhu merupakan salah satu parameter kualitas air yang merupakan faktor pengendali utama lamanya stadia larva dan telur, laju proses pencernaan, laju metabolisme, pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan laut (Blaxter 1992). Wexler et al. (2011), menguatkan hal tersebut bahwa larva tuna sirip kuning mampu makan dan bertahan hidup selama tiga hari pertama setelah memperoleh makanan pada kisaran suhu optimal yaitu tidak kurang dari 21 oC dan tidak lebih dari 33 oC. Peningkatan suhu media hingga batas maksimal toleransi akan diiringi dengan terjadinya peningkatan laju metabolisme. Metabolisme merupakan suatu proses fisiologis yang dilakukan oleh ikan dalam rangka mempertahankan homeostasis tubuh dalam penyesuaian terhadap faktor stress oleh perubahan lingkungan yang terjadi. Jika metabolisme ikan berjalan dengan baik, maka ikan akan mampu mencapai titik homeostasis

yang berdampak terhadap terjadinya peningkatan derajat kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan. Suhu pada media pemeliharaan larva tuna sirip kuning adalah 29–30,7oC. Kondisi tersebut masih dalam kisaran optimal seperti yang dinyatakan Wexler et al. (2011), bahwa suhu optimal pada media pemeliharaan larva tuna sirip kuning adalah 21–33 oC. Fluktuasi suhu yang terjadi masih dalam kisaran fluktuasi yang baik, yaitu tidak lebih dari 2 oC.

Derajat keasaman (pH) suatu perairan mencirikan ekspresi dari konsentrasi ion H+ yaitu keseimbangan antara asam dan basa (Saeni 1989). Derajat Keasaman

(pH) tersebut berpengaruh terhadap aktivitas enzim‒enzim yang bekerja pada organ insang misalnya ATP‒ase, karbonie anhidrase dan Na+/K+ ATP‒ase.

Aktivitas enzim pada insang tersebut berkaitan dengan laju respirasi, osmoregulasi dan ekskresi (Affandi dan Tang 2002). Nilai pH yang rendah (pH asam) pada perairan dapat berdampak terhadap menurunnya laju konsumsi oksigen, sebaliknya jika nilai pH tinggi (pH basa), maka akan terjadi peningkatan kadar NH3 yang tidak terionisasi yang bersifat toksik bagi kehidupan ikan. Nilai pH selama penelitian berkisar antara 8,13–8,3. Nilai tersebut masih termasuk dalam nilai kisaran optimal pemeliharaan larva tuna sirip kuning, yaitu menurut Nakagawa et al. (2011) kisaran pH optimal pemeliharaan larva tuna sirip kuning adalah 7,96–8,31.

(38)

22

Oksigen dibutuhkan oleh ikan dalam beberapa proses fisiologis di dalam tubuh, antara lain dalam metabolisme dan sebagai pembawa nutrisi di dalam aliran darah. Pada proses metabolisme, oksigen berperan dalam membantu oksidasi bahan buangan dan pembakaran makanan untuk menghasilkan energi. Keberadaan oksigen terlarut pada media seringkali menjadi faktor pembatas sehingga keberadaannya harus selalu tersedia pada jumlah minimum tertentu. Kekurangan oksigen terlarut pada media pemeliharaan dapat berdampak terhadap hilangnya nafsu makan pada ikan. Larva ikan tuna sirip kuning lebih sensitif terhadap kondisi perairan dengan oksigen terlarut rendah jika dibandingkan dengan larva ikan laut lainnya (Miller et al. 2002). Pada fase pro larva hingga mulai mendapat makanan dari luar (exogeneus feeding) larva tuna lebih sensitif daripada larva ikan laut lainnya dan tidak mampu untuk mengatur respirasi serta akan melakukan penyesuaian secara fisiologis selama kondisi oksigen terlarut yang rendah. Rata–rata konsumsi oksigen dan aktifitas metabolisme pada larva tuna sirip biru meningkat secara cepat selama pemeliharaan dan metamorfosis dari larva ke benih, kira–kira selama 30 hari setelah penetasan. Rata–rata konsumsi oksigen pada larva tuna sirip biru diperkirakan mirip dengan perkembangan larva ikan tuna sirip kuning selama stadia awal (Wexler 2011). Kandungan oksigen terlarut selama penelitian berkisar antara 6,70–7,02 mg.L-1. Nilai tersebut masih termasuk dalam kisaran optimum kebutuhan larva tuna sirip kuning terhadap oksigen terlarut, yaitu lebih besar dari 2,2 mg.L-1 (Wexler et al. 2011). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wexler et al. (2011), kondisi letal untuk oksigen terlarut larva tuna sirip kuning adalah < 2,2 mg.L-1 (34% saturasi oksigen) dan 2,65 mg.L-1 (saturasi oksigen 40,4%).

Larva tuna sirip kuning yang baru menetas atau berumur nol hari (D0) berwarna bening transparan. Larva masih dalam tahap planktonik, yakni melayang–layang mengikuti pergerakan arus air, terdapat pigmentasi

melanophore pada sekujur tubuh. Bagian rongga perut larva tuna sirip kuning yang baru menetas sebagian besar diisi oleh kuning telur. Usus masih sederhana dan hampir menyerupai tabung yang lurus dengan bagian belakang terbuka. Mulut masih belum terbuka (Kaji et al. 1999). Larva tuna sirip kuning yang berumur satu hari setelah menetas (D1), memiliki cupula (bulu–bulu) pada bagian ujung mulut yang berfungsi sebagai alat sensor sebelum mata berfungsi. Sistem peredaran darah sudah mulai berkembang, pigmen melanophore masih ada dan kuning telur sudah mulai menipis. Larva D1 banyak mengalami surfacing death, dimana larva yang mati mengambang dan berkumpul pada titik–titik tertentu di permukaan. Surfacing death terjadi pada waktu pagi, siang dan sore hari.

Dua hari setelah menetas (D2), mulai tumbuh sirip pectoral dan usus. Mulut mulai terbuka namun belum dapat berfungsi secara sempurna. Cupula dan pigmen

melanophore masih ada dalam jumlah sedikit, kuning telur telah habis dan masih tersisa oil globule. Pada hari kedua masih terjadi surfacing death. Pagi hari larva cenderung mendekati sisi–sisi bak dan berkumpul pada titik–titik tertentu dengan posisi kepala membelakangi arah datangnya cahaya. Siang hari larva berkumpul pada satu titik tertentu pada sisi bak, cenderung menjauhi titik aerasi, posisi kepala larva pada siang hari menghadap cahaya matahari dan terlihat seperti hampir muncul di permukaan.

(39)

23

death. Respon larva pada saat diberikan pakan pertama kali adalah gerakannya seperti terhenti kemudian dengan sekali gerakan langsung menangkap pakan dengan cepat.

Posisi kepala pada saat larva berumur empat dan lima hari setelah menetas (D4 dan D5) larva berkumpul pada satu titik yaitu pada sisi bak, respon larva terhadap pakan masih bagus. Pagi dan siang hari masih sama dengan larva D1–D3 tetapi surfacing death terlihat mulai berkurang dan digantikan dengan sinking death. Menurut Nakagawa et al. (2011) sinking death terjadi ketika larva tuna bersentuhan dengan dasar bak malam hari, hal ini disebabkan karena berat jenis larva meningkat seiring dengan pertumbuhan larva dan kecepatan sinking larva meningkat sesuai dengan berat jenis larva. Pada saat larva mulai memperoleh pakan alami dari luar tubuhnya, larva lebih menyukai bagian kolom air dan berenang selama seharian untuk mendapatkan makanan, tetapi aktifitas berenang ini akan berkurang pada malam hari karena energi sudah terpakai pada saat siang hari, sehingga larva akan mudah tenggelam. Larva sudah mulai terlihat tidak berbentuk planktonik lagi dan larva yang mati tidak mengambang tetapi tenggelam ke dasar bak.

Larva umur enam dan tujuh hari setelah menetas (D6 dan D7) semakin aktif, pada pagi hari pukul tujuh hingga delapan larva tidak terlihat di permukaan. Tetapi pukul sembilan pagi sampai 10 pagi larva menyebar dengan posisi tidak

Larva umur delapan, sembilan dan 10 hari setelah menetas penyebaran lebih merata, berada disekitar dinding bak dan hanya beberapa larva yang terlihat di tengah–tengah bak. Respon terhadap pakan masih bagus, menurut Kaji et al. (1999) pada saat larva tuna sirip kuning berumur 10 hari gigi pada rongga tenggorokan bagian atas dan bawah mulai berfungsi dengan sempurna. Umur 10 dan 12 hari setelah penetasan (D11 dan D12), posisi larva menyebar di beberapa titik, pada siang hari tetap berkumpul pada titik tertentu dan di sisi bak. Larva umur 13 hari setelah penetasan (D13) ekor dan sirip punggung mulai berkembang sehingga kemampuan berenang meningkat. Ikan sudah mulai mencari makan lebih banyak, sehingga muncul sifat kanibalisme. Pada umur 12 hari setelah menetas gigi pada rahang larva mulai terlihat dan semakin jelas pada hari ke 13 (Kaji et al. 1999).

Kaji et al. (1999) menyatakan bahwa bagian lumen pada usus larva tuna sirip kuning pada umur D1 mulai sedikit membesar terutama pada bagian lubang rongga perut. Berdasarkan penelitian Asih et al. (2010), kuning telur yang merupakan cadangan makanan masih terlihat dan organ mata belum sempurna karena penyusunan lapisan retina (germinal retina) belum dapat dibedakan dengan jelas. Pada awal stadia larva, saluran pencernaan hanya berupa saluran seperti tabung. Setelah umur 12 jam, terbentuk lekukan yang menyerupai huruf

“S” (Affandi et al. 2009).

Lapisan retina mata terdiri atas 10 lapisan yaitu epitel pigmen, lapisan sel

(40)

24

ganglion, syaraf fiber dan membran dalam. Lapisan sel fotoreseptor terdiri dari dua jenis sel yaitu sel batang dan sel kerucut untuk melihat dalam keadaan terang. Kelengkapan sel–sel penyusun retina tersebut menunjukkan kemampuan larva ikan dalam melihat (Asih et al. 2010).

Larva umur tiga hari (D3), gelembung renang sudah mulai berkembang, dibatasi oleh sel–sel kuboid yang akan mensekresi gas (gas secreting cell). Dalam perkembangannya sel–sel ini akan berubah menjadi kelenjar pensekresi gas (Miyazaki et al. 1991). Berdasarkan penelitian Nakagawa et al. (2011), perkembangan swim bladder atau gelembung renang pada larva ikan tuna sirip biru dimulai pada hari ke empat setelah menetas. Larva tuna sirip biru akan mengikuti kecepatan arus dan tidak ada perlawanan pada hari pertama hingga ketiga setelah menetas, hal ini menyebabkan terjadinya floating death pada bak pemeliharaan. Setelah gelembung renang mulai berkembang yaitu pada hari ke empat hingga ke sembilan larva mulai berenang normal. Larva kerapu bebek pada umur tujuh hari akan mengambil udara dan memasukkannya ke dalam gelembung renang. Kegagalan dalam pengambilan udara ini akan menyebabkan ketidaksempurnaan pada kolom tulang belakang. Salah satu penyebab kegagalan adalah intensitas aerasi, aerasi yang terlalu kuat akan menyebabkan larva terhalang naik ke permukaan (Tridjoko et al. 2005 dan Asih et al. 2010).

Kematian pada larva banyak terjadi pada fase perkembangan tertentu, yang pertama terjadi pada saat beberapa hari setelah permulaan makan yang dapat disebabkan oleh kualitas pakan atau kualitas telur. Pada larva tuna sirip kuning terdapat dua titik kritis dari perkembangan sistem pencernaan selama periode larva. Pertama, terjadi pada saat larva berumur empat hari setelah menetas yang dicirikan dengan pembentukan sistem pencernaan yang sederhana dimana larva tidak dapat mengambil nutrien dari luar tubuhnya. Titik kritis yang kedua adalah pada fase flexion larva yang dicirikan dengan perbedaan fungsi perut dengan adanya kelenjar gastrik (Kaji et al. 1999).

4

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

(41)

25 Saran

Larva tuna yang baru menetas sebaiknya dipelihara pada media pemeliharaan dengan posisi titik aerasi di dasar (B) dan kombinasi (C). Diperlukan sistem sirkulasi air yang lebih baik untuk mencegah sinking death dan peningkatan kelangsungan hidup larva tuna sirip kuning.

DAFTAR PUSTAKA

Affandi R, Tang M. 2002. Fisiologi Hewan Air. Jakarta (ID): Unri Press.

Affandi R, Sjaefi DS, Raharjdo MF, Sulistiono. 2009. Fisiologi Ikan Pencernaan dan Penyerapan Makanan. Bogor (ID): IPB Pr, Bogor.

Andamari R, Jhon HH, Budi IP. 2012. Reproduction aspects of the yellowfin tuna

(Thunnus albacares).Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 4(1):89-96.

Andriyanto W, Marzuki M. 2012. Periode bukaan mulut dan laju serapan kuning telur kaitannya dengan aktifitas enzim pencernaan pada stadia awal kerapu bebek hasil pembenihan induk turunan ke 2. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 4(2):198-207.

Asih YN, Ketut M, Indah M, Suko I. 2010. Perkembangan organ dalam larva kerapu bebek Cromileptes altivelis. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur. hlm 345-349.

Bernabe G. 2005. Aquaculture biologi and ecology of cultured species.

Ellishorwood: Taylor and Francis E-Library.

Boyd CE, 1982. Water Quality Management in Pond Fish Culture. New York (US): Elsevier Scientific Publishing Company.

Blaxter, JHS. 1992. The effect of temperature on larval fishes. Neth J. Zool. 42: 336–357.

Buentello JA, Camilo P, Daniel M, Vernon P, Scholey, Jeanne B, Wexler, Dariel TR, William H, Neill, Patricia HB, Delbert M, Gatlin. 2011. Preliminary study of digestive enzyme activities and amino acid composition of early juvenile yellowfin tuna (Thunnus albacares).Aquaculture. 312:205–211. Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan

Lingkungan Perairan. Yogyakarta (ID): Kanisius. [FAO]. 2014. Tuna as a global food source. www.fao.org.

Goddard S. 1996. Feed Management in Intensive Aquaculture. New York (US): Chapman and Hall.

Graham JB, Dickson KA. 2004. Tuna comparative physiology. The Journal of Experimental Biology, 207:4015–4024.

Huisman EA. 1987. The Principles of Fish Culture Production. Chapman and Hall. New York.

Gambar

Gambar 2 Laju penyerapan kuning telur larva ikan tuna sirip kuning selama tiga
Gambar 4 Perkembangan bukaan mulut larva ikan tuna sirip kuning pada bukaan
Gambar 6 Koefisien keragaman panjang larva ikan tuna sirip kuning pada hari ke
Gambar 8 Jumlah rata–rata sisa pakan dalam bak larva tuna sirip kuning pada
+6

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian terbukti bahwa variabel-variabel bebas yang terdiri dari luas lahan, benih, pupuk, modal, tenaga kerja, harga jual, produksi beras hitam

Teori kebudayaan akan menghuraikan secara langsung lingkungan aspek- aspek budaya yang mempengaruhi aktitiviti aktiviti pembentukan ‘kolam’ di kalangan masyarakat India di

 Kemudian di tahun 2022, ditargetkan satu proyek rampung dikerjakan yaitu landed house di wilayah Ouargia, proyek milik Ministre De LHabitat, De LUrbanisme Et De La Ville dengan

Sebelum medan seni menjadi sangat inklusif, sebenarnya wacana pameran ‘seniman muda’ sudah banyak digalakkan sejak dekade 2010-an, hal tersebut dipicu dari adanya

Berdasarkan tabel 4.2 bahwa kelompok fungsional pustakawan ahli sebanyak 30 orang (71.43%) dan pustakawan terampil 20 orang (66.67%) dinyatakan dalam katagori baik

adapun fokus skripsi ini telah diarahkan kepada studi tentang transaksi ( akad ) produk- produk yang ada di KPRI Al- Ukhuwwah Kabupaten Blitar dalam tinjauan

Berdasarkan Firman Tuhan ini, sebagai pelayan Yesus Kristus, kami memberitakan bahwa pengampunan dosa telah berlaku dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus... Semua

Kontribusi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Sumber Keuangan Daerah Provinsi DKI Jakarta. Tahun 1994, 1997, 2004