• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Kebijakan Perberasan Terhadap Pengentasan Kemiskinan Di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak Kebijakan Perberasan Terhadap Pengentasan Kemiskinan Di Indonesia"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK KEBIJAKAN PERBERASAN TERHADAP

PENGENTASAN KEMISKINAN DI INDONESIA

DUDI SEPTIADI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertas berjudul Dampak Kebijakan Perberasan terhadap Pengentasan Kemiskinan di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(3)
(4)

RINGKASAN

DUDI SEPTIADI. Dampak Kebijakan Perberasan Terhadap Pengentasan Kemiskinan di Indonesia. Dibimbing oleh HARIANTO sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan SUHARNO sebagai Anggota Komisi Pembimbing.

Kemiskinan merupakan salah satu masalah utama di Indonesia yang belum terselesaikan. Kemiskinan merupakan ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Beras adalah komoditas pangan utama yang mempengaruhi kesejahteraan puluhan juta penduduk Indonesia. Beras menjadi sumber utama kalori sebagian besar rakyat Indonesia. Pangsa beras pada konsumsi kalori total adalah 54.3 persen, sehingga setengah kalori bersumber dari beras. Tidak mengherankan bila permintaan beras di Indonesia sangat besar. Porsi belanja beras dalam pendapatan penduduk miskin masih relatif besar, maka jika terjadi goncangan ekonomi yang disebabkan oleh perubahan harga beras akan sangat berpengaruh terhadap jumlah penduduk miskin. Begitu krusialnya masalah kerawanan pangan (beras) sehingga ketahanan pangan bukan sekedar komoditas ekonomi, tetapi sudah menjadi komoditas politik.

Studi ini memiliki tujuan untuk: (1) Menganalisis faktor - faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Indonesia, (2) Menganalisis faktor - faktor yang mempengaruhi penawaran dan permintaan beras di Indonesia, (3) Menganalisis dampak kebijakan perberasan terhadap pengentasan kemiskinan di Indonesia. Spesifikasi model penelitian menggunakan persamaan simultan dan diduga dengan metode Two Stages Least Squares (2SLS). Data yang digunakan adalah data sekunder dengan rentang waktu (time series) dari tahun 1981sampai 2014.

Hasil pendugaan model menunjukkan bahwa penurunan harga beras eceran mampu mengurangi kemiskinan. Tetapi pengaruhnya relatif kecil atau tidak terlalu besar. Kenaikan 1 persen harga beras eceran riil akan meningkatkan kemiskinan sebesar 0.037 persen dalam jangka pendek dan sebesar 0.124 persen dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi menjadi satu-satunya variabel yang berpengaruh nyata terhadap kemiskinan. Kenaikan 1 persen pertumbuhan ekonomi akan menurunkan kemiskinan sebesar 0.090 persen dalam jangka pendek dan sebesar 0.306 persen dalam jangka panjang. Dalam upaya mengurangi jumlah penduduk miskin, kebijakan harga pembelian pemerintah sebaiknya diikuti kebijakan perberasan lain, seperti kebijakan meningkatkan luas areal irigasi dan kebijakan harga pupuk urea.

(5)

SUMMARY

DUDI SEPTIADI. Impact of Rice Policy to Poverty Reduction in Indonesia. Supervised by HARIANTO as a chairman of the supervising commission and SUHARNO as a mamber of the supervising commission.

Poverty is one of the major problems in Indonesia unresolved. Poverty is an economic inability to meet the basic needs of food and non-food which is measured from the expenditure side. Rice is the main food commodities that affect the welfare of million people in Indonesia. Rice is a major source of calories most of the Indonesian people. The share of rice in total calorie consumption is 54.3 percent, so that half the calories derrived from rice. Demand for rice in Indonesia is very large. Shares of rice in the income of the poor is still relatively large, so if the economic shocks caused by changes in the price of rice will greatly affect to increased poverty. Food insecurity (rice) is a crucial issue, so that food security is not just an economic commodity, but has become a political commodity.

The objective of this study was to: (1) analyze of factors affecting poverty in Indonesia, (2) analyze of factors affecting supply and demand for rice in Indonesia, and (3) analyze the impact of rice policy on poverty reduction in Indonesia. Specifications of research model using simultaneous equations and allegedly with the method Two Stages Least Squares (2SLS). The data used is secondary data with the time span from 1981 to 2014.

The results of prediction models suggest that a decrease in the retail price of rice is able to reduce poverty. But the effect is relatively small. Real retail rice price increase 1 percent would increase poverty by 0.037 percent in the short term and amounted to 0.124 percent in the long term. Economic growth to be the only variable that significantly affect poverty. Increase economic growth by 1 percent would reduce poverty by 0.090 percent in the short term and amounted to 0.306 percent in the long term. In an effort to reduce the number of poor people, government purchasing price policy should be followed by other rice policy, such a policy increase the acreage irrigation and fertilizer price policy.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

DAMPAK KEBIJAKAN PERBERASAN TERHADAP

PENGENTASAN KEMISKINAN DI INDONESIA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2015 ini ialah kemiskinan di Indonesia, dengan judul Dampak Kebijakan Perberasan terhadap Pengentasan Kemiskinan di Indonesia.

Penulis menyadari bahwa tesis ini dapat diselesaikan dengan baik karena bimbingan, arahan, curahan ilmu, masukan, dan dorongan dari komisi pembimbing yaitu kepada Bapak Dr Ir Harianto MS sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Suharno, M.Adev selaku Anggota Komisi Pembimbing, serta masukan dari berbagai pihak. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPRAN ... xiii

I. PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang ... 1

Masalah Penelitian ... 7

Tujuan Penelitian ... 9

Manfaat Penelitian ... 9

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

Definisi dan Konsep Kemiskinan ... 11

Indikator Kemiskinan ... 14

Faktor Faktor yang mempengaruhi Kemiskian di Indonesia ... 15

Pendapatan Perkapita Penduduk ... 15

Kondisi Ekonomi ... 15

Angka Ketergantungan Penduduk ... 18

Infrastruktur ... 18

Urgensi Kebijakan Perberasan dalam Pengentasan Kemiskinan ... 21

Kebijakan Harga ... 23

Kebijakan Tarif dan Kuota Impor ... 25

Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 26

III. KERANGKA TEORI... 28

Dimensi Ekonomi Beras dan Kemiskinan ... 28

Permintaan Beras ... 29

Penawaran Beras ... 31

Peningkatan Produksi Beras dan Dampaknya terhadap Kemiskinan ... 31

IV. METODOLOGI PENELITIAN ... 33

Spesifikasi Model ... 33

Jenis dan Sumber Data ... 38

Identifikasi Model ... 38

Metode Pengujian Model ... 39

Validasi Model ... 40

Konsep Elastisitas ... 40

(12)

Simulasi Kombinasi ... 42

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43

Keragaan Umum Hasil Estimasi Pendugaan Model Ekonometrika ... 43

Blok Penawaran Beras Indonesia... 44

Luas Areal Panen ... 44

Produktivitas Padi ... 45

Jumlah Impor Beras ... 47

Harga Beras Impor ... 49

Blok Permintaan Beras Indonesia ... 50

Permintaan Beras Indonesia untuk Konsumsi ... 50

Harga Beras Eceran Indonesia ... 51

Blok Kemiskinan Indonesia ... 53

VI. ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN ... 57

Validasi Model Penelitian ... 57

Evaluasi Kebijakan Perberasan dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia . 58 Simulasi Kombinasi Kebijakan Perberasan dalam Pengentasan Kemiskinan ... 58

Rekapitulasi Simulasi Kombinasi Kebijakan Perberasan ... 66

VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 68

Kesimpulan ... 68

Saran ... 69

DAFTAR PUSTAKA ... 70

LAMPIRAN ... 75

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Klasifikasi Penduduk Rawan Pangan Indonesia Tahun 2010 – 2013 ... 5

Tabel 2. Nilai Elastisitas Silang Perubahan Harga Beras dan Harga Non-beras ... 9

Tabel 3. Indeks Gini Indonesia (2008-2014) ... 17

Tabel 4. Hasil Pendugaan Parameter Variabel Luas Areal Panen ... 45

Tabel 5. Hasil Pendugaan Parameter Variabel Produktivitas ... 46

Tabel 6. Hasil Pendugaan Parameter Variabel Jumlah Impor Beras ... 48

Tabel 7. Hasil Pendugaan Parameter Variabel Harga Beras Impor ... 49

Tabel 8. Hasil Pendugaan Parameter Variabel Permintaan Beras ... 51

Tabel 9. Hasil Pendugaan Parameter Variabel Harga Beras Eceran Indonesia ... 52

Tabel 10. Hasil Pendugaan Variabel Kemiskinan... 55

Tabel 11. Hasil Pengujian Validasi Model Penelitian ... 57

Tabel 12. Dampak Kebijakan Menaikkan Harga Pembelian Pemerintah dan Luas Areal Irigasi, Serta Menurunkan Harga Pupuk Urea ... 59

Tabel 13. Dampak Kebijakan Menurunkan Harga Pupuk Urea serta Menaikkan Kredit Usahatani dan Luas Areal Irigasi ... 61

Tabel 14. Dampak Kebijakan Penghapusan Harga Pembelian Pemerintah bersama dengan Menurunkan Harga Pupuk Urea dan Menaikkan Luas Areal Irigasi ... 62

Tabel 15. Dampak Kebijakan Penghapusan Harga Pembelian Pemerintah dan Tarif Impor Bersamaan dengan Kebijakan Penurunan Harga Pupuk Urea dan Menaikkan Kredit Usahatani ... 64

Tabel 16. Dampak Kebijakan Penghapusan Harga Pembelian Pemerintah dan Tarif Impor Bersamaan dengan Kebijakan Menaikkan Harga Pupuk Urea dan Luas Areal Irigasi ... 65

Tabel 17. Rekapitulasi Hasil Simulasi Kombinasi Kebijakan Perberasan Indonesia Periode 1981 – 2014 ... 66

DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Persentase penduduk miskin Indonesia tahun 1998 – 2014 ... 3

Gambar 2 Dinamika Produksi Padi dan Impor beras Indonesia 1998-2014 (ton) ... 8

Gambar 4. Kurva Lorenz... 16

(14)

DAFTAR LAMPRAN

Lampiran 1. Nama variabel yang digunakan dalam model ... 76

Lampiran 2. Data variabel yang digunakan dalam model ... 77

Lampiran 3. Program pendugaan parameter model penelitian ... 81

Lampiran 4. Hasil pendugaan parameter model penelitian ... 84

Lampiran 5. Program validasi model penelitian ... 91

Lampiran 6. Hasil validasi model penelitian ... 92

Lampiran 7. Contoh program simulasi. ... 95

Lampiran 8. Contoh hasil simulasi. ... 96

Lampiran 1. Nama variabel yang digunakan dalam model ... 76

Lampiran 2. Data variabel yang digunakan dalam model ... 77

Lampiran 3. Program pendugaan parameter model penelitian ... 81

Lampiran 4. Hasil pendugaan parameter model penelitian ... 84

Lampiran 5. Program validasi model penelitian ... 91

Lampiran 6. Hasil validasi model penelitian ... 92

Lampiran 7. Contoh program simulasi menaikkan harga pembelian pemerintah sebesar 20 persen. ... 95

(15)

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kemiskinan merupakan masalah dalam perekonomian yang dialami oleh masyarakat global. Kemiskinan menjadi isu penting karena bukan hanya dialami oleh negara berkembang, tetapi juga dialami oleh negara-negara maju. Kemiskinan merupakan kondisi absolut dan relatif yang menyebabkan seseorang atau kelompok masyarakat dalam suatu wilayah tidak mempunyai kemampuan untuk mencukupi kebutuhan dasarnya sesuai dengan tata nilai atau norma tertentu yang berlaku di dalam masyarakat karena sebab-sebab natural, kultural dan struktural (Nugroho dan Dahuri 2004). Pengukuran tingkat kemiskinan dilakukan oleh Badan Pusat Statisik dengan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Pendekatan ini memandang kemiskinan sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi penduduk miskin merupakan penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan.

United Nation Development Program (UNDP) mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan memperluas pilihan-pilihan dalam hidup, antara lain memasukkan penilaian tidak adanya partisipasi dalam pengambilan keputusan publik sebagai suatu ukuran agregat, tingkat kemiskinan di suatu wilayah lazim digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan wilayah tersebut. Kemiskinan menjadi salah satu tujuan pembangunan dan dijadikan sebagai ukuran keberhasilan pembangunan. Sehingga seringkali keberhasilan pembangunan dilihat berdasarkan perubahan pada tingkat kemiskinan. World Bank melaporkan bahwa seperempat penduduk dunia dewasa ini tergolong miskin. Sementara Kemiskinan di Indonesia jika dihitung berdasarkan standar hidup minimum dengan pengeluaran per kapita per hari US$ 2 maka penduduk yang tergolong miskin mencapai 59.99 persen (World Bank 2007).

(16)

Secara historis dimasa orde baru Indonesia cukup berhasil dalam penanganan masalah kemiskinan, Badan Pusat Statistik (2015) menunjukkan bahwa dari tahun 1976-1996 persentase penduduk miskin Indonesia menurun drastis dari 40.10 persen atau sebanyak 54.2 juta penduduk menjadi 17.47 persen atau sebanyak 34.01 juta penduduk. Pada masa ini Indonesia dianggap sebagai salah satu negara yang telah berhasil menurunkan kemiskinan dengan persentase penurunan yang cukup tinggi, yaitu 22.63 persen (sekitar 20.19 juta penduduk).

Capaian positif dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia ternyata tidak bisa bertahan lama. Goncangan ekonomi Asia pada tahun 1997-1998 ternyata berdampak kepada goncangan ekonomi dan politik di Indonesia, sehingga kembali meningkatkan kemiskinan di Indonesia. Pada tahun 1998, angka kemiskinan meningkat menjadi 24.2 persen atau sebanyak 49.5 juta penduduk miskin. Pulihnya pertumbuhan ekonomi memasuki era Reformasi telah membawa pergeseran tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor jasa, sehingga terciptanya lapangan kerja di kota-kota. Tren ini telah berkontribusi pada berkurangnya kemsikinan dari 24 persen pada tahun 1999 menjadi 11.47 persen pada awal 2013. Penurunan kemiskinan tidak mampu menggambarkan kondisi yang sebenarnya. Diperparah dengan masalah tingkat penurunan kemiskinan mulai melambat. Pada tahun 2012 dan 2013, kemiskinan turun hanya sebesar 0.5 persen tiap tahun, penurunan terkecil dalam satu dekade terakhir. Melambatnya tren penurunan kemiskinan tidak bisa dipisahkan dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia dan diperkuat dengan kondisi ketimpangan pendapatan yang dialami Indonesia.

(17)

24,20

1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012 2013 2014

P

Gambar 1. Persentase penduduk miskin dan Ketimpangan Indonesia Periode tahun 1998 – 2014

Berdasarkan Gambar 1, dapat dilihat bahwa perkembangan angka kemiskinan Indonesia sangat berfluktuatif, meskipun ada kecenderungan penurunan tetapi angkanya masih terbilang cukup tinggi dan trend penurunnya menunjukkan perlambatan. Fluktuasi angka kemiskinan ditunjukkan pada tahun 2006, dimana angka kemskinan kembali naik menjadi 17.8 persen atau sebanyak 39.3 juta penduduk miskin. Angka ini naik dari tahun 2004 sebesar 16.7 persen atau sebanyak 36.15 juta penduduk miskin. Kenaikan ini dipicu oleh kenaikan harga BBM di tahun 2005 yang berdampak kepada kenaikan barang-barang pokok lain. Implikasinya adalah penurunan daya beli masyarakat yang diikuti kenaikan jumlah penduduk miskin di Indonesia. Terkait dengan kenaikan jumlah penduduk miskin dari tahun 2005 ke tahun 2006 ini juga dijelaskan berdasarkan laporan Bank Dunia (2008) menunjukkan adanya bukti pemerintah Indonesia menghadapi trade off, dimana adanya tekanan untuk larangan impor beras untuk mencegah penurunan harga tingkat produsen yang berimbas kepada kerugian petani, tetapi larangan impor justru menjadi penyebab tingginya harga pangan di dalam negeri dikarenakan kelangkaan stok pangan yang berimplikasi langsung kepada masyarakat sebagai net consumer beras, sehingga berdampak terhadap peningkatan angka kemiskinan dari 16.7 persen pada tahun 2005 menjadi 17.8 persen pada 2006.

(18)

termasuk penduduk yang rentan miskin, penduduk rentan berada dibawah 1.5 kali garis kemiskinan yaitu dengan pendapatan sekitar US$ 1.90 perhari. Guncangan kecil bisa dengan mudah membuat mereka jatuh miskin. Masih banyak penduduk yang keluar-masuk dari perangkap kemiskinan. Berdasarkan data tahun 2010, hampir setengah penduduk Indonesia termasuk kategori miskin, meskipun tidak termasuk penduduk miskin pada tahun sebelumnya. Bahkan orang yang tidak rentan pun dapat terkena dampak buruk guncangan seperti penyakit atau pemutusan hubungan kerja jika mereka tidak punya akses pada asuransi atau mekanisme penanggulangan lainnya.

Guncangan dapat memengaruhi aset mendasar yang menghasilkan pendapatan. Sebagai contoh adalah guncangan karena bencana alam yang dapat menimbulkan kerugian ternak atau kerusakan peralatan yang dipakai untuk mencari nafkah. Guncangan juga bisa mengurangi pendapatan yang berasal dari aset tersebut, contohnya kekeringan dapat mengurangi hasil panen petani. Kemudian guncangan juga dapat mengurangi manfaat pendapatan jika terjadi perubahan harga pangan melalui penurunan daya beli masyarakat. Guncangan juga dapat mengurangi pendapatan masa depan dengan menguras aset masa kini, contohnya menjual mesin jahit untuk membayar biaya rumah sakit atau mencegah pengumpulan aset untuk masa depan, contohnya tidak mendapatkan penghasilan karena kehilangan pekerjaan.

Khusus terkait masalah pangan (beras) yang tidak bisa ditunda dalam konsumsinya perlu dijamin baik ketersediaan maupun kemampuan untuk mengaksesnya agar masyarakat miskin dan rentan tidak terjebak dalam kemiskinan ketika terjadi guncangan. Seperempat penduduk Indonesia mengalami kemiskinan setidaknya satu kali dalam tiga tahun akibat guncangan tersebut. Temuan Bank Dunia tersebut tentu menjadi fakta yang memprihatikan karena masih banyak penduduk Indonesia yang tidak miskin menurut data BPS tetapi sangat rentan jatuh miskin ketika terjadi goncangan, karena hidup sedikit diatas garis kemisknan.

Temuan ini didukung Booth (2000) dalam penelitiannya yang mengkaji kemiskinan dan pemerataan pendapatan pada era kepemimpinan Presiden Soeharto dalam kurun waktu tahun 1966 sampai dengan tahun 1998. Hasil penelitian menjelaskan bahwa nilai head count ratio Indonesia masih di atas Malaysia dan Thailand, namun di bawah Philippines pada akhir tahun 1980-an. Pernyataan Booth memperkuat alasan bahwa pembangunan pertanian dan perdesaan menjadi hal penting untuk mengurangi masalah kemiskinan di Indonesia dengan catatan program-progran pembangunan lebih diarahkan tidak hanya untuk pengembangan tanaman pangan tetapi juga kebutuhan spesifik bagi penduduk miskin. Kemudian Timmer (1997) juga mengemukakan bahwa dampak pertumbuhan sektor pertanian terhadap pengentasan kemiskinan tergantung pada distribusi pendapatan. Disisi lain, Anriquez dan Stamoulis (2007) menilai bahwa sektor pertanian merupakan komponen penting dari ekonomi pedesaan yang berkembang di negara-negara berkembang.

(19)

pertanian. Dimana menurut laporan Kementerian Pertanian (2015) kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) pertanian dalam arti sempit (di luar perikanan dan kehutanan) pada tahun 2014 sebesar 879.23 triliun rupiah atau 10.26 persen dari PDB nasional yang besarnya 8568.12 triliun rupiah (berdasarkan harga konstan tahun 2010). Tidak berimbang dengan penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian pada tahun 2014 sebanyak 35.76 juta tenaga kerja atau 30.27 persen. Tidak seimbangnya antara kontribusi sektor pertanian terhadap PDB dan kontribusinya terhadap tenaga kerja menimbulkan masalah kemisikinan.

Masalah kemiskinan sangat terkait erat dengan masalah kerawanan pangan yang masih melanda beberapa wilayah Indonesia, khususnya di daerah-daerah yang jauh dari pusat perkotaan. Kerawanan pangan ditinjau dalam dua dimensi: (a) kedalaman dengan kategori ringan, sedang, dan berat; serta (b) jangka waktu/periode kejadian dengan katagori kronis untuk jangka panjang dan transien untuk jangka pendek/fluktuasi. Ditinjau dari tingkat kedalaman, kerawanan pangan ditunjukkan dengan indikator kecukupan konsumsi kalori perkapita perhari dengan nilai Angka Kecukupan Gizi (AKG) sebesar 2000 kkal/hari. Jika konsumsi perkapita adalah kurang atau lebih kecil dari 70 persen dari AKG dikategorikan sangat rawan pangan, sekitar 70 hingga 90 persen dari AKG dikategorikan rawan pangan, dan lebih dari 90 persen dari AKG termasuk katagori tahan pangan.

Tabel 1. Klasifikasi Penduduk Rawan Pangan Indonesia Tahun 2010 – 2013

Rincian 2010 2011 2012 2013

3. Jumlah Penduduk Tahan Panganc) :

(20)

Angka rawan tersebut sangat tinggi, dimana pertumbuhan rawan pangan pertahunnya sebesar 3.23 persen. Peningkatan yang terjadi pada kategori penduduk rawan dan sangat rawan pangan justru berbanding terbalik dengan pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia dalam kategori tahan pangan. Trennya justru terus mengalami penurunan, dimana pertumbuhannya -1.95 persen pertahun. Pada tahun 2013 jumlah penduduk tahan pangan Indonesia sebanyak 116.31 juta jiwa atau 47.09 persen penduduk Indonesia tahan pangan.

Kondisi yang memprihatinkan, berdasarkan Tabel 1 penduduk Indonesia yang tahan pangan hanya kurang dari separuh penduduk. Sedangkan lebih dari 50 persen penduduk Indonesia hidup dalam kondisi rawan dan sangat rawan pangan. Temuan ini sangat penting, karena menjelaskan keterkaitan yang erat antara kondisi ketersediaan dan kemampuan akses pangan (beras) dalam hal kecukupan gizi dan dampaknya terhadap kemiskinan. Ketika harga pangan (beras) naik sedikit saja, maka jumlah penduduk yang rawan pangan pasti semakin banyak, artinya jumlah penduduk miskin semakin bertambah. Daerah yang harus mendapat perhatian penting terutama pada berbagai daerah yang terisolir dan pada waktu-waktu tertentu terkena musim kering, musim ombak besar, dan sebagainya. Penduduk di daerah rawan bencana tersebut, perlu ditangani secara komprehensif sebagai upaya antisipasi timbulnya kasus kerawanan pangan dan mengantisipasi bertambahnya penduduk miskin.

Khusus dalam bidang pertanian dan pangan masalah yang dihadapi adalah masalah produksi dan kestabilan harga. Masalah produksi pangan/pertanian yang terjadi adalah belum dapat terpenuhinya kebutuhan pangan (beras) dalam negeri sehingga masih dilakukan impor, masalah daya saing produk pangan yang lemah baik di pasar lokal maupun internasional dan masalah tingkat kesejahteraan petani yang jauh dari memadai. Masalah harga di sektor pertanian dan pangan adalah seringnya harga pangan yang tidak stabil. Pada saat panen raya harga beras turun drastis sehingga petani mengalami kerugian dan dikala paceklik atau terjadi bencana, harga beras sering kali melambung tinggi. Tingginya harga beras sangat merugikan masyarakat, baik masyarakat yang berprofesi sebagai petani maupun non-petani, karena hampir intake kalorinya berasal dari beras. Kesetabilan harga bisa dicapai dengan cara menjami ketersediaan beras, tetapi nyatanya produksi beras nasional belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Padahal selama ini kebijakan pemerintah dibidang pertanian difokuskan kepada pencapaian swasembada pangan dan stabilitas harga (Godoy dan Dewbre 2010), sehingga sangat penting kebijakan pemerintah harus berorientasi kepada peningkatan produksi beras.

Beras merupakan makanan utama rakyat Indonesia. Sekitar 95 persen dari 230 juta rakyat Indonesia menjadikan beras sebagai makanan pokok. Beras menjadi sumber utama kalori sebagian besar rakyat Indonesia. Pangsa beras pada konsumsi kalori total adalah 54.3 persen, sehingga setengah intake kalori bersumber dari beras. Tidak mengherankan bila permintaan beras di Indonesia sangat besar, bahkan konsumsi beras Indonesia adalah konsumsi terbesar di dunia (Surono 2007). Menurut Kasryno et al (2001) dalam penelitiannya memperkirakan bahwa laju permintaan beras di Indonesia sebesar 2.3 persen/tahun.

(21)

politik. Dikatakan bagi bangsa Indonesia kornoditas beras tidak hanya komoditas ekonomi, melainkan juga komoditas politik dimana kelangkaan beras akan dapat berakibat pada terjadinya political unrest seperti yang terjadi pada masa menjelang keruntuhan rejim Orde Lama (Manning 1987). Kerawanan pangan bisa menimbulkan gejolak ekonomi kemudian disusul terjadinya gejolak politik. Fenomena ini menandakan begitu pentingnya beras bagi keberlanjutan kehidupan rakyat Indonesia. Relatif besarnya porsi belanja beras dalam pendapatan penduduk miskin, menjadikan perubahan harga beras akan sangat berpengaruh terhadap jumlah penduduk miskin. Setiap kenaikan harga beras sebesar 10 persen akan menyebabkan pertambahan penduduk miskin sebesar satu persen (Malian et al 2004).

Masalah Penelitian

Upaya pengurangan kemiskinan dalam rangka peningkatan kesejahteraan bangsa secara berkeadilan dapat tercapai apabila strategi penanggulangan dan pengentasan kemiskinan dilakukan secara simultan melalui beberapa indikator pembangunan yang relevan seperti pertumbuhan ekonomi yang cepat yang dibarengi dengan pemerataan distribusi pendapatan, sehingga akan mampu mendorong penurunan tingkat pengangguran dan mengurangi kemiskinan. Kebijakan pertanian di Indonesia untuk mengatasi kemiskinan mengalami banyak modifikasi. Baik kebijakan yang bertujuan untuk melindungi produsen maupun konsumen.

(22)

Sumber: BPS (2015)

Gambar 2 Dinamika Produksi Padi dan Impor beras Indonesia 1998-2014 (ton)

Berdasarkan Gambar 2, dalam kurun waktu tahun 1998 – 2014 Indonesia terus melakukan kebijakan impor beras. Impor beras tertinggi terjadi tahun 2000 yaitu sebanyak 4751398 ton, kebijakan impor tertinggi kedua terjadi tahun 2011 yaitu sebanyak 2750476 ton. Kebijakan impor yang rutin dilakukan pemerintah perlu dianalisis lebih jauh, apakah kebijakan impor yang terus dilakukan pemerintah Indonesia sudah tepat atau tidak. Apakah kebijakan ini menguntungkan masyarakat dengan berkurangnya kemiskinan atau justru sebaliknya.

Disaat yang sama dinamika kebijakan perberasan dari segi produsen yang diambil pemerintah untuk meningkatkan produksi juga terus dilakukan, misalnya dengan menerapkan kebijakan subsidi input, kebijakan harga dasar pembelian pemerintah, kredit usahatani, peningkatan luas areal irigasi hingga tarif impor. Kebijakan perberasan dari sisi konsumen juga dilakukan dengan memberikan kompensasi kepada masyarakat miskin dengan program beras miskin (Raskin). Penting untuk diketahui, bagaimana implikasi dari kebijakan-kebijakan perberasan tersebut, apakah cukup untuk meningkatkan tingkat pendapatan petani dan mengurangi kemiskinan.

Fenomena ini penting untuk dijadikan prioritas untuk diteliti lebih lanjut terkait dengan dinamika dari kebijakan perberasan yang dilakukan pemerintah serta bagaimana responnya terhadap kondisi permintaan dan penawaran beras dan dampaknya terhadap pengentasan kemiskinan. Dampak langsung dari beragam kebijakan perberasan tersebut adalah terhadap kuantitas dan harga beras. Pengeluaran yang cukup besar untuk membeli beras menyebabkan perubahan harga beras dapat mempengaruhi daya beli konsumen. Pada saat berbagai harga pangan non-beras meningkat, maka dampaknya terhadap konsumsi beras relatif sangat kecil. Sebaliknya, apabila harga beras meningkat, maka pengaruhnya terhadap konsumsi berbagai pangan non-beras cukup besar. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2. Posisi penting beras dalam porsi makanan penduduk menjadikan

1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012 2014

(23)

kebijakan stabilisasi harga beras dan kebijakan untuk menjamin akses penduduk terhadap beras tetap menjadi perhatian utama (Harianto 2013).

Tabel 2. Nilai Elastisitas Silang Perubahan Harga Beras dan Harga Non-beras

Berdasarkan uraian masalah penelitian diatas, maka komoditas beras adalah masalah krusial bagi masyarakat miskin, sehingga sangat penting untuk mengetahui kondisi permintaan dan penawaran beras di Indonesia serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Informasi yang valid tentang perkembangan dan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran diperlukan untuk menetukan formulasi kebijakan perberasan yang tepat untuk mengurangi kemiskinan. Sehingga perlu dikaji dan diteliti lebih mendalam tentang:

1. Faktor- faktor apa saja yang mempengaruhi kemiskinan di Indonesia?

2. Faktor- faktor apa saja yang mempengaruhi penawaran dan permintaan beras di Indonesia?

3. Bagaimana dampak kebijakan perberasan dalam mengentaskan kemiskinan di Indonesia?

Tujuan Penelitian

1. Menganalisis faktor - faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Indonesia. 2. Menganalisis faktor - faktor yang mempengaruhi penawaran dan permintaan

beras di Indonesia.

3. Menganalisis dampak kebijakan perberasan terhadap pengentasan kemiskinan Indonesia.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Sebagai masukan dan bahan evaluasi bagi pemerintah dalam mengembangkan masyarakat/petani.

2. Memberikan informasi mengenai faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Indonesia

3. Memberikan informasi/masukan bagi pemerintah dalam pengurangan kemiskinan melalui kebijakan perberasan yang tepat.

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

(24)

kebijakan harga, kebijakan tarif impor, kebijakan kredit usahatani dan kebijakan perluasan areal irigasi. Kredit Usaha tani yang dianalisis dalam penelitian merupakan angka kredit untuk pertanian secara agregat. Tarif impor yang dimaksud dalam penelitan merupakan tarif impor beras Indonesia.

(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Definisi dan Konsep Kemiskinan

Definisi dan pengertian kemiskinan yang lebih lengkap dalam arti sesuai dengan kenyataan dan secara konseptual secara jelas dikemukakan oleh Chambers. Menurut Chambers (1996) inti dari masalah kemiskinan sebenarnya terletak pada apa yang disebut deprivation trap atau perangkap kemiskinan. Secara rinci, deprivation trap terdiri dari lima unsur, yaitu: (1) kemiskinan itu sendiri, (2) kelemahan fisik, (3) keterasingan atau kadar isolasi, (4) kerentanan, dan (5) ketidakberdayaan. Kelima unsur ini seringkali saling berkait satu dengan yang lain sehingga merupakan perangkap kemiskinan yang benar-benar berbahaya dan mematikan peluang hidup orang atau keluarga miskin. Dari kelima dimensi tersebut, kerentanan dan ketidakberdayaan perlu mendapat perhatian yang utama. Kerentanan, dapat dilihat dari ketidakmampuan keluarga miskin untuk menyediakan sesuatu guna menghadapi situasi darurat seperti datangnya bencana alam, kegagalan panen, atau penyakit yang tiba-tiba menimpa keluarga miskin itu. Kerentanan ini sering menimbulkan poverty rackets atau roda penggerak kemiskinan yang menyebabkan keluarga miskin harus menjual harta benda dan asset produksinya sehingga mereka menjadi makin rentan dan tidak berdaya.

Definisi kemiskinan juga bisa dilihat dari pendekatan berbasis hak yang mengakui bahwa masyarakat miskin, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai hak-hak dasar yang sama dengan anggota masyarakat lainnya. Kemiskinan tidak lagi dipahamianya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan pemenuhan hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Hal ini dikarenakan Kemiskinan merupakan suatu konsep yang cair, dan bersifat multidimensional. Disebut cair karena kemiskinan bisa bermakna subyektif, bermakna relatif, tetapi sekaligus juga bermakna absolut, sedangkan disebut multidimensional selain kemiskinan itu dapat dilihat dari sisi ekonomi, juga dari segi sosial, budaya dan politik (Akhmadi 2008).

Definisi kemiskinan telah mengalami perluasan, seiring dengan semakin kompleksnya faktor penyebab, indikator maupun permasalahan lain yang melingkupinya. Kemiskinan tidak lagi hanya dianggap sebagai dimensi ekonomi melainkan telah meluas hingga dimensi sosial, kesehatan, pendidikan dan politik. Dalam penelitian Sri (2010), Pada dasarnya definisi kemiskinan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu:

1. Kemiskinan absolut, Kemiskinan yang dikaitkan dengan perkiraan tingkat pendapatan dan kebutuhan yang hanya dibatasi pada kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan seseorang untuk hidup secara layak. Berdasarkan konsep ini, kemiskinan diukur dengan membandingkan tingkat pendapatan orang dengan tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memperoleh kebutuhan dasarnya yakni makanan, pakaian dan perumahan agar dapat menjamin kelangsungan hidupnya. 2. Kemiskinan relatif, Kemiskinan dilihat dari aspek ketimpangan sosial,

(26)

pula jumlah penduduk yang dapat dikategorikan miskin, sehingga kemiskinan relatif erat hubungannya dengan masalah distribusi pendapatan. Pada penelitian ini diputuskan untuk melihat kemiskinan sebagai kemiskinan absolut yang diukur dengan kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan seseorang untuk hidup secara layak. Pada penelitian ini, diputuskan bahwa kemiskinan yang dimaksud adalah kemiskinan absolut.

Pengentasan kemiskinan dimaknai sebagai sebuah pemunuhan hak-hak dasar yang dipahami masyarakat miskin sebagai hak mereka untuk dapat menikmati kehidupan yang bermartabat dan hak yang diakui dalam peraturan perundang-undangan. Hak-hak dasar yang diakui secara umum antara lain meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Hak-hak dasar tidak berdiri sendiri tetapi saling mempengaruhi satu sama lain sehingga tidak terpenuhinya satu hak dapat mempengaruhi pemenuhan hak lainnya. Diakuinya konsep kemiskinan berbasis hak, maka kemiskinan dipandang sebagai suatu peristiwa penolakan atau pelanggaran hak dan tidak terpenuhinya hak. Kemiskinan dipandang sebagai proses perampasan atas daya rakyat miskin.

Konsep ini memberikan pengakuan bahwa orang miskin terpaksa menjalani kemiskinan dan seringkali mengalami pelanggaran hak yang dapat merendahkan martabatnya sebagai manusia. Bahkan konteks di Indonesia, anak-anak miskin seringkali tidak memiliki kesempatan awal yang adil dalam hidup, sehingga mengurangi kemampuan mereka untuk sukses di masa depan. Kemiskinan dan ketimpangan disebabkan faktor-faktor di luar kendali individu. Anak-anak yang lahir dari keluarga miskin sulit untuk melakukan mobilitas vertikal dalam merubah nasib dimasa depan. Mereka sulit mengakses pendidikan tinggi terlebih lagi pendidikan yang berkualitas agar memiliki keterampilan untuk mendapatkan pekerjaan lebih baik dimasa mendatang. Di Indonesia pasar tenaga kerja terbagi menjadi pekerja berketerampilan tinggi yang upahnya semakin meningkat, dan pekerja yang tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan keterampilan tersebut sehingga terjebak dalam pekerjaan berproduktivitas rendah, informal, dan berupah rendah. Oleh karena itu, konsep ini memberikan penegasan terhadap kewajiban negara untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin.

(27)

kebutuhan minimum untuk masing-masing komponen. Indikator kebutuhan minimum untuk masing-masing komponen tersebut dapat dijelaskan berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) sebagai berikut:

1. Pangan, dinyatakan dengan kebutuhan gizi minimum yaitu perkiraan kalori dan protein.

2. Sandang, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk keperluan pakaian, alas kaki, dan tutup kepala.

3. Perumahan, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk sewa rumah, listrik, minyak tanah, kayu bakar, arang dan air.

4. Pendidikan, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk keperluan biaya sekolah (uang sekolah, iuran sekolah, alat tulis, dan buku). 5. Kesehatan, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk penyediaan obat-obatan di rumah, ongkos dokter, perawatan, termasuk obatobatan.

Terminologi lain tentang kemiskinan juga diungkapkan oleh Friedman (1979) mendefinisikan kemiskinan sebagai kurangnya kesempatan untuk mengakumulasikan aset-aset produktif, organisasi sosial dan politik yang mampu mewujudkan kepentingan umum, sosialisasi yang dapat memberikan kesempatan untuk bekerja, informasi dan pendidikan serta teknologi yang menjadi tuntutan hidup. Terminologi tentang kemiskinan yang diungkap Friedman pada waktu yang sama diperkuat oleh pernyataa Scott (1979) yang mengartikan kemiskinan dari sudut pandang pendapatan, baik dalam bentuk materi maupun nonmateri. Scott mengemukakan tiga definisi kemiskinan. Pertama, kemiskinan merupakan buruknya kondisi seseorang karena kurangnya pendidikan, kesehatan dan transportasi. Hal ini mengakibatkan kemampuan dan produktivitas kerja menurun sehingga pendapatan yang diperoleh tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kedua, definisi miskin yang disebabkan karena kurangnya aset produktif seseorang, seperti uang, tanah, rumah dan fasilitas lainnya. Ketiga, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi kehidupan seseorang atau masyarakat yang tidak dipenuhi kebutuhan nonmaterinya, seperti hak kebebasan, hak untuk memperoleh pekerjaan yang layak, hak untuk merdeka dan kebutuhan nonmateri lainnya. Kesimpulannya, kemiskinan bisa dipandang sebagai suatu keadaan yang kompleks, tidak hanya berkenaan dengan tingkat pendapatan, tetapi juga dari aspek sosial, lingkungan bahkan keberdayaan dan tingkat partisipasinya.

Dalam perspektif lain, Sayogyo (1978) mendefinisikan batas garis kemiskinan sebagai tingkat konsumsi perkapita setahun yang sama dengan beras. Sayogyo menguraikan konsep kemiskinan berdasarkan kecukupan dalam konsumsi beras dengan membedakan antara daerah perdesaan dan perkotaan Dengan kata lain, garis kemiskinan versi Sajogyo adalah nilai rupiah yang setara dengan 20 kg beras untuk daerah pedesaan dan 30 kg beras untuk perkotaan. Pendekatan Sajogyo memiliki kelemahan mendasar yaitu tidak mempertimbangkan perkembangan tingkat biaya riil (Kuncoro 2002).

(28)

pedesaan dengan mata pencaharian pokok di bidang pertanian. Data kemiskinan BPS menunjukan bahwa sekitar 77 persen penduduk miskin di daerah pedesaan bekerja di sektor pertanian. Oleh karena itu perlu dikaji potensi produksi pertanian dan faktor faktor yang mempengaruhi. Kemudian Tambunan (2004) menyatakan bahwa penyebab utama dari kemiskinan di Indonesia adalah kemiskinan atau ketertinggalan ekonomi di pedesaan. Pembangunan ekonomi pedesaan di Indonesia kurang berkembang dibandingkan dengan pembangunan ekonomi perkotaan. Ekonomi pedesaan didominasi oleh sektor pertanian, ketika lahan pertanian semakin banyak terkonversi untuk tujuan lain mendorong peningkatan migrasi desa ke kota.

Indikator Kemiskinan

Pengukuran kemiskinan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) adalah dengan cara menetapkan nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan maupun bukan makanan yang harus dipenuhi seseorang untuk hidup secara layak. Nilai standar minimum tersebut digunakan sebagai garis pembatas untuk memisahkan penduduk miskin dan tidak miskin. Garis pembatas tersebut sebagai garis kemiskinan (poverty line) atau batas kemiskinan (poverty treshold). Garis kemiskinan (GK) sesungguhnya merupakan sejumlah rupiah yang diperlukan setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makan setara dengan 2.100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan bukan makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan aneka barang dan jasa lainnya. Biaya untuk membayar kebutuhan makanan dan bukan makanan disebut dengan garis kemiskinan.

Penduduk dengan pengeluaran lebih rendah dari garis kemiskinan disebut sebagai penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan atau penduduk miskin. Garis kemiskinan terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis kemiskinan Non-Makanan, sehingga GK = GKM + GKNM. Garis Kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk masing-masing provinsi daerah perkotaan dan pedesaan. Penggunaan pendekatan kebutuhan minimum mempunyai kelemahan yakni kemiskinan dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar dan diukur hanya dari sisi pengeluaran perkapita. Jika kemiskinan diukur dari tingkat pendapatan penduduk, maka jumlah penduduk miskin di Indonesia akan jauh lebih banyak dibandingkan dengan pengukuran kemiskinan berdasarkan pengeluaran.

(29)

Faktor Faktor yang mempengaruhi Kemiskian di Indonesia Ajakaiye dan Adeyeye (2002) telah melakukan penelitian di negara-negara berkembang. Hasil penelitannya menyatakan bahwa secara makro penyebab kemiskinan adalah (1) Kinerja pertumbuhan ekonomi yang rendah, (2) Kegagalan kebijakan dan goncangan makroekonomi, (3) Pasar tenaga kerja yang kurang bergairah, (4) Migrasi, (5) Pengembangan sumberdaya manusia. Dalam studi ini beberapa variabel yang diduga memengaruhi kemiskinan adalah sebagai berikut: Pendapatan Perkapita Penduduk

Hasil penelitian Iradian (2005) yang dilakukan pada 82 negara untuk tahun 1965-2003. Hasil penelitian-nya menunjukkan bahwa tingginya pertumbuhan pendapatan per kapita tidak akan terlalu berdampak apabila tidak disertai dengan perbaikan dalam hal distribusi pendapatan. Perubahan pendapatan per kapita mempunyai pengaruh yang negatif terhadap kemiskinan dan semakin besar ketimpangan distribusi pendapatan (gini ratio) maka semakin besar tingkat kemiskinan. Hasil penelitian ini mengisyaratkan bahwa peningkatan pendapatan per kapita dan pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai oleh Indonesia hanya dinikmati oleh sebagian kecil penduduk. Sementara sebagian besar penduduk yang saat ini hidup dalam kemiskinan tidak menikmati capai tersebut. Dengan kata lain meskipun ekonomi tumbuh dengan baik, tetapi mereka tetap berada dalam kemiskinan. Peningkatan kontra prestasi (gaji, honor, upah, dan bentuk lain) yang selama ini terjadi di Indonesia hanya dinikmati oleh sebagai orang. Kondisi Ekonomi

Kondisi kemiskinan yang terjadi di Indonesia terutama di daerah-daerah tertinggal adalah karena pengaruh dari kondisi perekonomian yang buruk, seperti pertumbuhan ekonomi yang rendah, kondisi inflasi yang terlalu tinggi dan distribusi pendapatan yang tidak merata. Dibanyak negara berkembang, pertumbuhan ekonomi menjadi faktor penting dalam mengentaskan kemiskinan. Pertumbuhan yang rendah bisa menyebabkan terjadinya kemiskinan. Seperti hasil penelitian yang dilakukan Olowa (2012) yang dilakukan di Negeria, dalam penelitiannya disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tidak memadai adalah penyebab utama kemiskinan di Nigeria. Selain masalah pertumbuhan ekonomi yang rendah, Inflasi yang terlalu tinggi juga menjadi masalah dalam perekonomian dan bisa memicu meningkatnya kemiskinan akibat daya beli yang rendah. Masalah inflasi yang terjadi di Indonesia biasanya disebabkan naiknya harga bahan bakar sebagai input produksi industri dan rumahtangga, serta harga pangan (beras) yang menjadi pangan utama masyarakat Indonesia. Selain pertumbuhan ekonomi yang rendah dan inflasi yang tinggi, masalah distribusi pendapatan yang tidak merata juga bisa menimbulkan kemiskinan. Adanya ketimpangan yang tinggi antara kelompok kaya dan miskin menurut Todaro dan Smith (2006) akan menimbulkan setidaknya dua dampak negatif yaitu:

1. Terjadinya inefisiensi ekonomi.

2. Melemahkan stabilitas dan solidaritas sosial.

(30)

Padahal menurut Adam (2004), pertumbuhan ekonomi yang tinggi bukan merupakan trade-off pemerataan pendapatan dalam upaya mengurangi kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pemerataan pendapatan harus dilakukan secara stimultan menjadi suatu bagian yang terintegrasi, agar dapat mengurangi kemiskinan dalam jangka panjang dan akan meningkatkan kesejahteraan yang berkelanjutan. Di sisi lain, adanya permasalahan kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan juga akan menghambat laju pertumbuhan ekomoni itu sendiri.

Menurut Galor (2000), hal ini terjadi karena akumulasi kapital sebagai efek positif ketidakmerataan pendapatan akan di offset oleh rendahnya akumulasi human capital sebagai efek negatif adanya kemiskinan. Selain itu, kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan juga akan memberikan dampak instabilitas sosial, ketidakpastian, dan tragedi kemanusiaan seperti kelaparan, tingkat kesehatan yang rendah dan gizi buruk. Bila keadaan tersebut terus berlanjut pada akhirnya akan mengganggu stabilitas ekonomi makro dan kelangsungan pemerintahan yang ada.

Dalam proses pembangunan ekonomi, perubahan ketidakmerataan pendapatan senantiasa menyertai pertumbuhan ekonomi. Ketimpangan pendapatan terjadi apabila sebagian besar penduduk memperoleh pendapatan yang rendah dan pendapatan yang besar hanya dinikmati oleh sebagian kecil penduduk. Semakin besar perbedaan pendapatan yang diterima masing-masing kelompok menunjukkan semakin besarnya ketimpangan. Perubahan ketidakmerataan pendapatan dapat digambarkan dengan perubahan angka Indeks Gini. Indeks gini dihitung dengan menggunakan Kurva Lorenz. Indeks gini dirumuskan sebagai rasio antara luas bidang yang terletak antara Kurva Lorenz dan garis diagonal (luas bidang A) dengan luas separuh segi empat dimana Kurva Lorenz berada (luas bidang BCD). Rumusan di ilustrasikan pada Gambar 4.

Sumber : Todaro dan Smith (2006) Gambar 4. Kurva Lorenz

Ketidakmerataan dapat dikelompokan menjadi tiga berdasarkan angka rasio Gini, yaitu:

(31)

2. Ketidakmerataan sedang apabila angka rasio Gini terletak antara 0.3-0.4 3. Ketidakmerataan tinggi apabila angka rasio Gini lebih besar dari 0.4 Perkembangan kondisi ketimpangan pendapatan yang terjadi di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Indeks Gini Indonesia (2008-2014) Tahun Indeks Gini

2008 0.37

2009 0.38

2010 0.38

2011 0.41

2012 0.41

2013 0.41

2014 0.41

Sumber : BPS (2015)

Berdasarkan Tabel 3, sampai pada tahun 2010 menunjukkan tingkat ketidakmerataan pendapatan di Indonesia masih tergolong sedang karena masih berada pada kisaran 0.3-0.4 walaupun dengan angka yang berfluktuasi. Memasuki tahun 2011-2014 kondisinya semakin memprihatinkan, ketidakmerataan pendapatan sudah mencapai taraf yang sangat tinggi. Angka ini mampu menjelaskan bahwa kesenjangan yang tinggi antara penduduk yang berpenghasilan rendah dan tinggi.

Pengukuran ketidakmerataan pendapatan dengan menggunakan data pengeluaran perkapita sebagai proxy data pendapatan perkapita memberikan hasil yang bias. Ketidakmerataan yang diperoleh akan lebih rendah dari yang seharusnya. Hal ini dikarenakan pengeluaran perkapita hanya relevan untuk menggambarkan pendapatan kelompok penduduk yang berpenghasilan rendah. Dalam jangka panjang pengeluaran perkapita penduduk berpenghasilan rendah akan mendekati pendapatan perkapitanya. Sedangkan pendapatan perkapita kelompok penduduk berpenghasilan menengah ke atas pada umumnya lebih tinggi daripada pengeluaran perkapitanya. Dengan demikian, ketidakmerataan pendapatan yang terjadi di Indonesia akan lebih tinggi bila dihitung berdasarkan pendapatan perkapitanya.

(32)

Angka Ketergantungan Penduduk

Sejatinya pertumbuhan produksi pangan harus lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat populasi penduduk. Tingkat produksi pangan akan sangat berpengaruh pada tingkat pendapatan perkapita dan standart hidup masyarakat dalam suatu negara, akan tetapi sebagian besar negara (terutama negara berkembang) mengalami siklus pertumbuhan yang sebaliknya, yakni pertumbuhan penduduk jauh lebih tinggi dari pada pertumbuhan produksi pangannya. Fakta inilah yang menyebabkan standart hidup masyarakat negara berkembang sangat rendah dan mayoritas berkutat dengan kemiskinan. (Kohl dan Uhl 2002).

Faktor utama penyebab munculnya rasio ketergantungan adalah adanya tingkat kelahiran (fertilitas) yang tinggi. Word Bank (1978) menyatakan penyebab kemiskinan adalah adanya ledakan penduduk (population growth) yang tidak terkendali karena ledakan penduduk akan menyebabkan rasio ketergantungan (dependency ratio) yang tinggi. Sementara itu menurut Malthus (1798) dalam Todaro (2004) menyatakan bahwa ledakan penduduk akan menimbulkan pola hidup yang serba pas-pasan (subsisten). Sedangkan pemikiran Neo-Malthus menyatakan bangsa-bangsa yang miskin tidak akan pernah berhasil mencapai taraf hidup yang lebih tinggi dari tingkat subsisten, kecuali apabila mereka mengadakan pemeriksaan pengendalian preventif (preventive checks) terhadap pertumbuhan populasi mereka, atau dengan menerapkan pengendalian kelahiran. Nilai rata-rata Total Vertility Rate (TVR) Indonesia tahun 2010 adalah 2.5. Artinya setiap keluarga memiliki tiga orang anak yang berarti dalam satu keluarga akan terdiri dari lima jiwa.

Beberapa penelitian di negara-negara yang sedang berkembang menunjukan bahwa terdapat korelasi negatif yang kuat antara besaran rumah tangga dengan konsumsi (pendapatan) per orang. Dalam penelitian Ravallion dan Datt (1996) menjelaskan bahwa penduduk yang hidup dengan keluarga besar lebih miskin daripada penduduk yang hidup dengan keluarga yang kecil.

Implikasi dari tidak terkendalinya laju pertumbuhan penduduk adalah dibutuhkan semakin banyaknya kebutuhan akan pangan dalam suatu negara, sehingga produksi pertanian mutlak harus semakin ditingkatkan. Disisi lain, Semakin banyak jumlah anak maka semakin banyak jumlah tanggungan yang harus di tanggung oleh kepala keluarga. Disis lain, semakin besar jumlah penduduk yang berusia tidak produktif dalam suatu negara maka semakin besar tanggungan yang harus di tanggung oleh penduduk usia produktif di negara tersebut. Fenomena ini didukung oleh hasil penelitian dari Islam (2003) yang dilakukan di 23 negara berkembang menunjukkan hasil yang sama yaitu kemiskinan akan meningkat seiring dengan meningkatnya rasio ketergantungan. Infrastruktur

Infrastruktur merupakan barang komplementer yang sangat penting bagi investasi swasta karena dapat menurunkan biaya angkut dan meningkatkan volume perdagangan serta merupakan faktor penentu pertumbuhan jangka panjang yang dominan (Jhingan 2004). Infrastruktur tergolong sebagai social overhead capital. Perluasan infrastruktur tidak hanya menambah stok dari modal tetapi juga meningkatkan produktivitas perekonomian dan taraf hidup masyarakat luas.

(33)

1. Infrastruktur ekonomi, merupakan infrastruktur fisik yang diperlukan untuk menunjang aktivitas ekonomi, meliputi public utilities (tenaga listrik, telekomunikasi, air, sanitasi, gas), public work (jalan, bendungan, kanal, irigasi dan drainase) dan sektor transportasi (jalan, rel, pelabuhan, lapangan terbang dan sebagainya).

2. Infrastruktur sosial, meliputi pendidikan, kesehatan, perumahan dan rekreasi.

3. Infrastruktur administrasi, meliputi penegakan hukum, kontrol administrasi dan koordinasi.

Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu kebijakan fiskal yang dilakukan pemerintah untuk memberikan stimulus dalam perekonomian nasional. Pengeluaran pemerintah untuk ketersediaan infrastruktur baik infrastruktur ekonomi, sosial maupun administratif memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan tingkat pembangunan suatu wilayah. Pembangunan tersebut dicirikan oleh laju pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan wilayah dapat dibuktikan dengan memperhatikan fakta yang terjadi dari suatu daerah yang mempunyai kelengkapan sistem infrastruktur yang lebih baik mempunyai laju pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesejahteraan yang lebih baik pula dibandingkan dengan daerah yang mempunyai kelengkapan infrastruktur yang terbatas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penyediaan infrastruktur merupakan faktor kunci dalam mendukung pembangunan nasional.

Pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur menjadi salah satu instrumen yang dimiliki pemerintah guna menstimulus perekonomaian nasional. Sudah sejak lama investasi pemerintah dalam bentuk pengeluaran untuk infrastruktur dan tingkat konsumsi total menjadi sumber penopang perekonomian nasional. Tidak heran mengapa belanja pemerintah untuk pembangunan infrastruktur menjadi penting, karena infrastruktur mendukung aktivitas semua sektor ekonomi. Mulai dari sektor industri manufaktur, kelautan, kehutanan, peternakan, perkebunan dan pertanian. Infrastruktur jalan yang bagus dapat meningkatkan mobilitas penduduk dan barang yang menghubungkan satu pusat aktivitas dengan pusat aktivitas lain di area yang berbeda.

Pemerintah memiliki peranan yang sangat strategis sebagai regulator dan operator dalam menjalankan perekonomian. Intervensi pemerintah ini menjadi sangat penting jika dalam perekonomian terjadi kegagalan pasar yang menyebabkan mekanisme pasar tidak berjalan sesuai dengan perencanaan dalam mengalokasikan sumber-sumber ekonomi secara efisien dalam menghasilkan barang dan jasa. Campur tangan pemerintah diperlukan untuk memperbaiki alokasi sumber-sumber ekonomi sehingga kondisi pareto optimum dapat tercapai kembali. Rendahnya infrastruktur dalam perekonomian bisa berdampak kepada perlambatan pertumbuhan ekonomi dan tenaga kerja. Sehingga akan banyak perusahaan yang keluar dari bisnis atau membatalkan ekspansinya. Oleh karena itu, infrastruktur sangat berperan dalam proses produksi dan merupakan prasyarat penting bagi sektor swasta untuk menanamkan modalnya dalam perekonomian.

(34)

manusia dan fisik yang lebih besar, serta akses jalan yang lebih baik memiliki tingkat kemiskinan yang lebih rendah. Akses jalan yang lebih baik menjadikan manusia menjadi lebih efektif dan efisien dalam beraktivitas. Kemudahan dalam mobilitias tersebut membuat manusia mampu bekerja lebih produktif, sehingga mampu mengangkat drajat perekonmian dan lepas dari kemiskinan.

Kwon (2001) pernah meneliti mengenai peran infrastruktur jalan desa dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia. Penelitiannya didasari fakta bahwa penduduk miskin pada umumnya terkonsentrasi di pedesaan dan cenderung terisolasi dengan daerah lainnya. Mobilitas yang terbatas bagi masyarakat dalam berkegiatan menyebabkan mereka tidak dapat berpartisipasi dari berbagai kesempatan tenaga kerja yang timbul dari proses pertumbuhan. Kurangnya fasilitas infrastruktur jalan raya bagi masyarakat khususnya di pedesaan yang menjadi basis pertanian akan menghambat mobilitas masyarakat baik dalam proses produksi maupun memasarkan hasil pertanian. Kurangnya infrastruktur jalan akan meningkatkan biaya produksi pertanian. Dampak yang ditimbulkan adalah menurunnnya tingkat keuntungan mereka. Belum meratanya infrastruktur jalan jika tidak segera ditangani dengan serius maka akan sulit bagi para petani untuk lepas dari kemiskinan.

Menurut Malmberg et al. (1997) infrastruktur jalan memiliki dampak pada pertumbuhan ekonomi baik di sektor pertanian maupun bukan pertanian, dan menciptakan kesempatan ekonomi bagi penduduk desa secara keseluruhan, termasuk yang miskin. Menurut World Bank (1994), manfaat pembangunan infrastruktur sangat bsar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pengurangan kemiskinan dan keberlanjutan ekonomi. Semua manfaat itu bisa terwujud hanya jika infrastruktur tersebut mampu memenuhi permintaan secara efektif dan efisien dalam arti bisa memberikan pelayanan yang baik bagi seluruh masyarakat.

Namun demikian, di negara berkembang meski sudah banyak investasi yang dikucurkan untuk membangun infrastruktur. Penggunannya masih belum optimal dan perawatan infrastruktur yang masih belum memadai, hal ini mengakibatkan infrastruktur yang sudah ada tidak terawat dengan baik dan memiliki nilai guna pakai yang singkat. Beberapa penelitian lain menyebutkan bahwa pembangunan infrastruktur sangat penting untuk mendorong aktivitas ekonomi (Perkins et al 2005; Seetanah et al 2009).

Selain infrastruktur jalan, ketersediaan infrastruktur listrik juga berpengaruh besar dalam pembangunan ekonomi, menciptakan pertumbuhan dan meningkatkan pendapatan penduduk. Pengaruh infrastruktur listrik terhadap pendapatan penduduk miskin pernah di teliti oleh Balisacan et al (2002) di Philipina. Hasil penelitian mereka adalah listrik secara positif memengaruhi pendapatan penduduk miskin melalui transmisi tidak langsung (pertumbuhan ekonomi) dan transmisi langsung (produktivitas dan upah).

(35)

akses terhadap teknologi yang berkontribusi secara langsung terhadap kemiskinan dengan meningkatnya lapangan kerja dan pendapatan dari penduduk miskin di Indonesia.

Urgensi Kebijakan Perberasan dalam Pengentasan Kemiskinan Berdasarkan regulasi konstitusi yang tertuang dalam INPRES No. 13 Tahun 2005 tentang kebijakan perberasan. Kebijakan perberasan nasional adalah paket kebijakan yang terdiri dari 5 elemen. Diantaranya adalah elemen peningkatan produksi, diversifikasi, kebijakan harga, kebijakan impor dan distribusi beras untuk keluarga miskin (RASKIN). Kebijakan tersebut dibuat guna melindungi petani dan konsumen dari dampak negatif perdagangan internasional. Pada hakekatnya terdapat tiga aspek yang saling berkaitan dalam kebijakan pangan dan gizi yaitu aspek produksi, distribusi dan konsumsi (Wahab dan Gonarsyah 1989).

Dari sisi upaya peningkatan produksi, sudah cukup banyak kebijakan pertanian pangan (beras) yang dimodifikasi pemerintah untuk mencapai peningkatan produktifitas, mulai dari kebijakan pemerintah untuk mempermudah akses modal dengan program kredit usahatani, atau memberikan kompensasi kepada masyarakat miskin dengan pemberian beras miskin, kebijakan subsidi input, kebijakan harga dasar pembelian pemerintah, hingga tarif impor. tetapi nyatanya hal tersebut belum cukup untuk meningkatkan tingkat pendapatan petani dan mengurangi kemiskinan.

Presiden Sukarno pada suatu pidato kenegaraannya pada tahun 1947 telah menyatakan bahwa pemerintahnya berkeinginan untuk membuat lndonesia swasembada beras (Mears 1984). Presiden Sukarno mengadopsi kebijakan yang sama dengan motivasi dukungan politik. Sukarno ingin memproteksikan kekuasaannya dengan cara mengambil hati pegawai negeri sipil dan militer dengan cara proteksi pendapatan melalui beras sebagai komponen gaji bulanan. Tujuannya yakni rezim yang belia memerlukan kesetiaan dan dukungan politik. Meskipun lndonesia tidak pernah mencapai swsembada beras semasa pemerintahan Orde Lama, bukan berarti pemerintah pada masa itu tidak berusaha untuk mencapai tujuan nasional ini. Berbagai kebijakan perberasan telah dilakukan, muiai dari Program Kesejahteraan Kasimo, Program Sentra Padi hingga Program Bimas.

(36)

mendeklarasikan bahwa Indonesia tidak lagi negeri yang defisit pangan (beras) sebab telah mencapai swasembada beras sejak tahun 1984 (Glassburner 1986).

Belajar dari negara tetangga vietnam yang sudah mampu menjadi negara eksportir beras, dimana Sejak tahun 1989 Vietnam telah mengekspor sekitar 1-2 juta ton beras menjadikannya negara terbesar ketiga pengekspor beras di dunia. Status Vietnam sebagai eksportir beras menjadi kejutan karena sebelumnya telah menjadi negara importir beras sejak tahun 1968. Kemampuan Vietnam untuk mempertahankan tingkat ekspor beras saat ini tergantung pada investasi baru dalam penelitian dan penyuluhan, serta rehabilitasi dan perluasan infrastruktur, terutama irigasi dan drainase. Pemerintah vietnam berfokus pada pemulihan insentif produsen dan pertumbuhan produktivitas padi. Dua set kebijakan berada di balik ledakan ekspor beras baru-baru ini di Vietnam. Set pertama dimulai pada awal 1981 sistem produksi berubah dari sistem produksi pertanian kolektif menjadi sistem kontrak rumah tangga yang berorientasi produksi. Set kedua reformasi kebijakan dimulai pada tahun 1988 membantu lebih meliberalisasi sektor pertanian dan mengembalikan insentif produser (Pingali et al 1997).

Menurut Vanzetti et al (2010), salah satu strategi mencapai swasembada beras yang digunakan termasuk diantaranya adalah penggunaan strategi subsidi kredit produsen dan subsidi input untuk merangsang produksi, tapi secara empiris terbukti tidak efektif. Dana yang besar dalam alokasi program swasembada ini rentan penyalahgunaan wewenang oknum yang tidak bertanggung jawab. Artinya selama ini kebijakan swasembada dengan strategi subsidi input untuk petani tidak efektif, petani tidak mendapatkan manfaat dari kebijakan ini. Kebijakan subsidi input pertanian hanya dinikmati oknum yang mencari rente dalam distribusi pupuk bersubsidi dan subsidi input produksi yang lain.

Idealnya Kebijakan Pertanian Indonesia bukan difokuskan kepada subsidi input, melainkan perbaikan sistem pasar, reformasi kelembagaan dan fokus memperbaiki investasi infrastruktur pertanian seperti saluran irrigasi, investasi di jalan pedesaan yang lebih baik, transportasi dan sistem komunikasi, pengeringan padi, fasilitas penggilingan, fasilitas kesehatan dan pendidikan di pedesaan. Kebijakan harus diodrong untuk meningkatkan insentif petani di pedesaan. Selama ini insentif petani di pedesaan sebagai representasi dari sentra sektor pertanian memang terhitung kecil, sehingga jumlah kemiskinan di pedesaan masih lebih tinggi dibandingkan kemiskinan di perkotaan. Kemiskinan yang tercipta disektor pertanian diduga didasari pada motif pembangunan yang mengedepankan transformsi ke sektor industri tetapi tidak memperhatikan keberlanjutan dari perkembangan sektor pertanian dalam pengentasan kemiskinan di sektor pertanian, hal ini dibuktikan dengan penurunan share dari sektor pertanian terhadap PDB tidak diikuti oleh penurunan tenaga kerja di sektor pertanian. Dimana kontribusi sektor pertanian terhadap PDB sebanyak 10.26 persen tapi tenaga kerja secara agregat masih 30.27 Persen, sehingga menimbulkan masalah kemisikinan disektor pertanian. Belum masifnya pemanfaatan teknologi untuk pembangunan pertanian dan belum optimalnya peran pemerintah mensosialisasikannya menjadikan perkembangan pembangunan pertanian menjadi stagnan.

(37)

harga beras. Perubahan harga akan sangat mempengaruhi harga barang non-beras dan mempengaruhi daya beli masyarakat secara langsung. Hal ini tercermin dari proporsi pengeluaran pendapatannya, penduduk miskin menghabiskan hampir seperempat (24 persen) dari anggaran mereka hanya untuk beras, sedangkan bagi masyarakat non miskin anggaran yang dikeluarkan untuk beras hanyalah sebesar 9.4 persen. Lebih dari tiga perempat masyarakat miskin merupakan konsumen netto dimana mereka mengkonsumsi lebih daripada yang mereka hasilkan, bahkan di daerah pedesaan lebih dari 70 persen masyarakat miskin merupakan konsumen netto. Dengan demikian kenaikan harga beras justru merugikan sebagian besar penduduk. Itulah sebabnya, ketika terjadi kenaikan harga beras pada tahun 2005, maka sebanyak 3.1 juta orang telah terdorong ke dalam kemiskinan.

Menurut Harianto (2001), kedudukan beras dalam pangsa pengeluaran rumahtangga yang menonjol dapat ditunjukkan oleh nilai elastisitas silang antara beras dengan komoditas pangan lainnya. Harga beras mempunyai pengaruh yang besar bagi konsumsi komoditas pangan lainnya. Sebaliknya perubahan harga-harga komoditas non beras berpengaruh relatif kecil terhadap konsumsi beras. Perubahan harga komoditas pangan non beras tidak memiliki dampak yang besar terhadap perubahan konsumsi beras.

Besarnya keterkaitan antara konsumsi beras dengan pendapatan diperkuat dengan data konsumsi Susenas – BPS tahun 1996 dan 1999. Pada tahun 1996 konsumsi beras di kota dan di desa masing-masing adalah 108.89 kg dan 120.97 kg per kapita. Setelah adanya krisis ekonomi, yang diperkirakan menyebabkan turunnya pendapatan rumah tangga, konsumsi beras di kota dan di desa pada tahun 1999 telah berkurang menjadi 96 kg dan 111.78 kg perkapita. Fenomena yang sama ditemukan jika konsumen dipilah dalam kategori pendapatan rendah, sedang dan tinggi. Pada seluruh segmen konsumen tersebut terjadi penurunan konsumsi beras yang cukup berarti, dimana semakin tinggi pendapatan, semakin kecil penurunan konsumsinya. Penurunan konsumsi beras pada konsumen berpendapatan rendah, sedang, dan tinggi diantara 1996 dan 1999, masing-masing adalah 14.96 kg, 6.19 kg dan 4.31 kg. (Ariani et al 2000).

Pengaruh perubahan pendapatan terhadap konsumsi beras memang berbeda di antara ketiga segmen pendapatan. Dapat diperkirakan pengaruh perubahan harga beras juga akan memiliki pola yang serupa. Kenaikan atau penurunan harga akan menyebabkan segmen konsumen yang berpendapatan rendah akan menurunkan atau menaikan konsumsi berasnya dengan magnitude yang relatif lebih besar daripada konsumen yang berpendapatan tinggi.

Fakta-fakta di atas menunjukkan pentingya intervensi pemerintah untuk menjaga stabilitas harga beras, khususnya melalui stabilisasi produksi dan atau pasokan beras serta program penunjuang peningkatan produksi beras, salah satunya adalah kredit usaha tani agar petani mampu meningkatkan skala usahanya dengan harpan tercapainya peningkatan produksi dan perbaikan kesejahteraan petani. Karena itu diperlukan kebijakan beras yang sifatnya komprehensif dan kontekstual namun tetap berorientasi ke depan.

Kebijakan Harga

(38)

kebijakan tersebut merupakan alat utama intervensi pemerintah dalam kontribusi pertanian terhadap pembangunan ekonomi atau meningkatkan kesejahteraan rumah tangga petani.

Kelahiran Badan Urusan Logistik (Bulog) tahun 1967 sejak awal diproyeksikan untuk menjaga ketahanan pangan Indonesia melalui dua mekanisme : stabilisasi harga beras dan pengadaan bulanan untuk PNS dan militer. Bulog berfungsi sebagai pengotrol harga beras dengan cara mematok harga beras domestik secara signifikan lebih tinggi dari harga beras dunia serta mengatur ketersediaan pangan dengan memperbanyak stok di gundang (Timmer 2004).

Menurut Tomek dan Robinson (1990) menyebutkan tujuan dari kebijakan harga antara lain (1) untuk meningkatkan pendapatan petani, (2) melindungi petani (terutama petani kecil) dan menekan tingkat eksodus dari desa ke kota, (3) mencapai swasembada pangan dan mengurangi ketergantungan impor, (4) mengurangi instabilitas harga produk, (5) menekan biaya konsumen dan meningkatkan konsumsi pangan. Kebijakan harga terdiri dari dua jenis kebijakan harga, yaitu harga beras pada batas bawah dikendalikan oleh harga dasar (floor price) dan pada batas atas dengan harga batas tertinggi (ceiling price). Untuk dapat mempertahankan harga pada tingkat harga dasar dilakukan dengan pembelian gabah dan beras pada saat penawaran berlimpah (pada waktu panen) dan dilakukan injeksi beras ke pasar pada waktu paceklik untuk mempertahankan harga agar tidak melampaui harga batas tertinggi (Sapuan 1989).

Tujuan dari penerapan dua instrument yang digunakan dalam kebijakan harga masing-masing memiliki peran yang berbeda. Penetapan harga dasar (floor price) bertujuan untuk meningkatkan produksi beras dan pendapatan petani melalui pemberian jaminan harga (guaranteed price) yang wajar, sedangkan penetapan batasan harga eceran tertinggi (ceiling price) dengan tujuan memberikan perlindungan kepada konsumen. Bulog merupakan lembaga yang dirancang pemerintah untuk melaksanakan kebijakan stabilisasi harga tersebut, dimana Bulog membeli beras pada tingkat tertentu yang telah ditetapkan pemerintah, serta penyaluran beras untuk masyarakat rawan pangan dan emerjensi.

Kebijakan harga dasar yang ditetapkan pemerintah dalam memperbaiki tingkat harga yang diterima petani, setelah tahun 1999 relatif kurang efektif dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kondisi ini disebabkan harga dasar yang ditetapkan pemerintah jauh diatas harga paritas impor, sehingga membanjirnya beras impor yang masuk Indonesia (Kariyasa 2003). Fakta perihal harga beras di pasar dalam negeri yang jauh lebih mahal dari harga beras di pasar internasional menyebabkan pemerintah harus hati-hati dalam menetapkan harga dasar pembelian pemerintah.

Gambar

Gambar 1. Persentase penduduk miskin dan Ketimpangan Indonesia Periode
Tabel 1. Klasifikasi Penduduk Rawan Pangan Indonesia Tahun 2010 – 2013
Gambar 2 Dinamika Produksi Padi dan Impor beras Indonesia 1998-2014
Gambar 4. Kurva Lorenz
+7

Referensi

Dokumen terkait

- Kelebihan dan kekurangan teknologi transportasi tradisional (masa lalu) dan komunikasi modern (masa kini)  Guru bersama siswa merefleksi

Arah daya paduan yang dihasilkan oleh konduktor yang membawa arus dalam medan magnet boleh ditentukan dengan menggunakan petua tangan kiri Fleming. Catapult field is the

Pernyataan mengenai kegiatan-kegiatan yang dapat dipilih sesuai dengan kesukaan Saudara terdiri dari 66 pernyataan.. Pernyataan mengenai kemampuan-kemampuan yang dapat dipilih

mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi [2]. Proses pembelajaran menggunakan KTSP menuntut siswa untuk aktif dalam kegiatan pembelajaran, sehingga dalam proses

Pada siklus II aspek yang diamati dari hasil kemampuan guru melaksanakan pembelajaran semakin meningkat dari siklus sebelumnya hal ini tampak pada kemampuan guru

Penyelesaian hukum kadang tidak dianggap cukup untuk memuaskan rasa keadilan, dan hukum tidak selalu dapat memuaskan kebutuhan masyarakat, oleh karena itu

Dalam kaitan kehidupan berbangsa dan bernegara kerukunan antar umat beragama seperti yang dikutip dari perkataan pendeta weinata sairin, yakni suatu keharusan yang

[r]