SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
ANITA ZHURIYAH AGUSTIN 1110044200025
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
i
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Anita Zhuriyah Agustin 1110044200025
Pembimbing
Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A 195003061976031001
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH
ii
dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Keluarga Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 9 Mei 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Hukum Keluarga Islam.
Jakarta, 9 Mei 2014
Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Dr. H. JM. Muslimin. MA NIP. 196808121999031014
PANITIA UJIAN
1. Ketua Prodi : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. (...) NIP: 195003061976031001
2. Sekretaris Prodi : Hj. Rosdiana, MA. (...) NIP: 19690610200312201
3. Pembimbing : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. (...) NIP: 195003061976031001
4. Penguji I : Prof. Dr. H. Ahmad Sutarmadi (...) NIP: 194008051962021001
iii
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) di Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Sumber-sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 14 Maret 2014
iv
TERHADAP SUAMI PENGGUNA NARKOBA (Analisis Putusan Nomor 0338/Pdt.G/2013/PAJS )”, Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam, Program
Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H/2014 M. ix + 67 halaman+halaman lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui mengetahui dasar hukum yang digunakan oleh majelis hakim dalam memutuskan perkara ini yang sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang melatar belakangi penelitian ini adalah alasan gugat cerai istri terhadap suami pengguna narkoba yang didalam Undang-Undang Perkawinan dan KHI tidak disebut secara
jelas kata “narkotika maupun prekursor narkotika”.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yang menekankan pada kualitas dengan pemahaman deskriptif pada putusan tersebut. Pendekatan yang penulis lakukan menggunakan pendekatan yuridis-normatif dengan melihat objek hukum berkaitan dengan undang-undang. Adapun bahan hukum yang dipakai adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Adapun pengelolaan bahan hukum dilakukan dengan cara deduktif yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan yang konkret yang dihadapi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hakim dalam memutus perkara perceraian ketika alasan perceraian terutama terkait dengan narkoba tidak diatur dalam undang-undang maupun peraturan lainnya, maka hakim melandaskan putusan berdasarkan poin-poin lain yang berkaitan pada putusan tersebut.
Kata Kunci : Perceraian, Narkoba.
Pembimbing : Drs.H.A.Basiq Djalil, S.H, M.A
v
Segala puji, dan syukur diucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan taufik, hidayat dan rahmat-Nya kepada seluruh hambanya.
Shalawat serta salam semoga tercurah pada junjungan Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya serta kaum muslimin yang senantiasa mengikuti jejaknya hingga akhir zaman.
Selanjutnya penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat diselesaikan karena mendapat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu sebagai ungkapan rasa hormat yang dalam, penulis menyampaikan terimakasih kepada Bapak:
1. Dr. H. JM. Muslimin, MA. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. H.A. Basiq Djalil, S.H, M.A, selaku ketua Jurusan Prodi SAS
sekaligus Dosen pembimbing skripsi, dan Ibu Hj. Rosdiana, M.A selaku sekretaris jurusan SAS yang telah memberikan motivasi dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Dr. Moh. Ali Wafa, S.Ag, M.Ag, Selaku Dosen Pembimbing Akademik dan seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tidak lupa juga kepada staf perpustakaan,
karyawan.
4. Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang menjadi objek penelitian skripsi ini yang telah membantu dalam memberikan informasi yang dibutuhkan penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
5. Kedua orang tua Ayahanda tercinta Suwondo dan Ibunda tersayang
Siti Mu’minah, sujud abdiku kepada kalian atas doa, pengorbanan dan
memberikan motivasi terbesar kalian selama ini, “allahummagfirlii
waliwalidayya warhamhuma kama rabbayani sogiro”. Adikku
vi
Azhar, Dea, Syawal, Sasa, Dini, Dira, Salmi, Teh Ade, Wiwin, dan lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu, untuk para senior Ka
Karim Munthe, Ka Zoeky Nasution, Ka Najwa, Ka Evi dan seluruh keluarga SAS Angkatan 2010 yang tak pernah lelah menyemangati dan membantu dalam kelancaran penulisan skripsi ini.
7. Keluarga besar Moot Court Community (MCC) yang telah berbagi ilmu yang tidak ternilai, hingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
8. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun telah memberikan kontribusi yang cukup besar dalam penyusunan skripsi ini.
Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat digunakan
sebagai rujukan penyusunan skripsi lainnya di masa mendatang. Penulis pun
sangat menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini
selanjutnya.
Ciputat, 14 Maret 2014
vii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI... ii
LEMBAR PERNYATAAN... iii
ABSTRAK... iv
KATA PENGANTAR... v
DAFTAR ISI... vii
BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Identifikasi Batasan dan Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8
D. Review Studi Terdahulu... 10
E. Kerangka Teori... 11
F. Metode Penelitian... 13
G. Sistematika Penulisan ... 14
BAB II: PERCERAIAN A. Pengertian Perceraian... 16
B. Sebab-Sebab Perceraian ... 17
C. Jenis Perceraian ... 20
D. Akibat Perceraian ... 22
BAB III: NARKOBA DALAM HUKUM POSITIF DAN FIKIH A. Pengertian Narkoba ... 27
B. Jenis Narkoba ... 29
C. Faktor Pendorong ... 31
viii
C. Analisis Putusan ... 54
D. Analisis Penulis... 60
BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ... 65
B. Saran... 66
DAFTAR PUSTAKA... 68
LAMPIRAN-LAMPIRAN 1. Surat Bimbingan Skripsi... 71
2. Surat Wawancara ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan... 72
3. Tanda Penerimaan Surat Wawancara... 73
4. Salinan Putusan Nomor 0338/Pdt.G/2013/PAJS... 74
5. Surat Hasil Wawancara... 139
1
A. Latar Belakang Masalah
Kata “nikah atau zawaj” berasal dari bahasa Arab dilihat dari etimologi
(bahasa) berarti “berkumpul & menindih”, atau dengan ungkapan lain bermakna “aqad & setubuh” dalam arti yang sebenarnya & hubungan badan dalam arti majazi
(metafora). Dengan demikian itu berdasarkan firman Allah:
Artinya:“Sebagian kamu adalah dari sebagian yang lain”(Q.S An-Nisa:25)
Secara terminologi (istilah) “nikah atau zawaj” adalah:
1. Aqad yang mengandung kebolehan memperoleh kenikmatan biologis dari
seorang wanita dengan jalan ciuman, pelukan dan persetubuhan.
2. Aqad yang ditetapkan Allah bagi seorang lelaki atas diri seorang
perempuan atau sebaliknya untuk dapat menikmati secara biologis antara
keduanya.1
Perkawinan merupakan pertemuan dua hati yang saling melengkapi satu sama
lain dan dilandasi dengan rasa cinta (mawaddah) dan kasih sayang (warahmah). Pada
dasarnya setiap calon pasangan suami isteri yang akan melangsungkan atau akan
membentuk suatu rumah tangga akan selalu bertujuan menciptakan keluarga yang
1
bahagia dan sejahtera serta kekal untuk selamanya, namun impian semua itu tak
selamanya indah.
Agar cita-cita dan tujuan tersebut dapat terlaksana dengan sebaik-baiknya,
maka suami isteri yang memegang peranan utama dalam mewujudkan keluarga yang
sakinah perlu meningkatkan pengetahuan dan pengertian tentang bagaimana
membina kehidupan keluarga sesuai dengan tuntunan agama dan ketentuan hidup
bermasyarakat. Sebagaimana firman Allah dalam surat Ar-Ruum ayat 21:
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”(Q.S Ar-Rumm: 21)
Pernikahan seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 bab I adalah
“Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.2
Untuk mengadakan ikatan suci dengan tujuan rumah tangga yang bahagia dan
kekal itu harus dipenuhi prinsip-prinsip tertentu yang dinamakan keluarga adalah
minimal terdiri atas seorang suami dan seorang istri yang selanjutnya muncul adanya
anak atau anak-anak dan seterusnya.
2
Maka, sudah semestinya di dalam sebuah keluarga juga dibutuhkan adanya
seorang pemimpin keluarga yang tugasnya membimbing dan mengarahkan sekaligus
mencukupi kebutuhan baik itu kebutuhan yang sifatnya dhohir maupun yang
sifatnyabathiniyahdi dalam rumah tangga tersebut supaya terbentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.
Ketika akad nikah telah berlangsung dan sah memenuhi syarat rukunnya,
maka akan menimbulkan akibat hukum. Dengan demikian, akan menimbulkan hak
dan kewajiban sebagai suami isteri dalam keluarga. Jika suami istri sama-sama
menjalankan tanggung jawabnya masing-masing, maka akan terwujudlah
ketentraman dan ketenangan hati, sehingga terwujudlah kebahagian hidup dalam
berumah tangga. Dalam Kompilasi Hukum Islam kewajiban suami isteri dijelaskan di
dalam pasal 77 dan pasal 78.3
Perkawinan juga bertujuan untuk menata keluarga sebagai subjek untuk
membiasakan pengalaman-pengalaman ajaran agama. Fungsi keluarga adalah
menjadi pelaksana pendidikan yang paling menentukan. Sebab keluarga salah satu di
antara lembaga pendidikan informal, ibu-bapak yang dikenal mula pertama oleh
putra-putrinya dengan segala perlakuan yang diterima dan dirasakannya, dapat
menjadi dasar pertumbuhan pribadi/kepribadian sang putra-putri itu sendiri. 4
Sebagaimana Sabda Nabi Muhammad Saw:
3
Abdul Rahman Ghozali, fiqih munakahat,( Jakarta: Kencana, 2003), h.155,157.
4
Artinya: “Tiada bayi yang dilahirkan melainkan lahir di atas fitrah maka
ayah dan ibundanya yang menjadikan ia yahudi, nasrani atau majusi”
(H.R. Bukhari dari Abu Hurairah)
Sebagai pemimpin keluarga, seorang suami atau ayah mempunyai tugas dan
kewajiban yang tidak ringan yaitu memimpin keluarganya. Allah menuntut kendali
keluarga ditangan lelaki karena kekuatan dan kegigihan yang dikaruniakan Allah
kepadanya, serta kemampuan mencari rezeki di muka bumi. Hal ini berarti
mengharuskan lelaki bekerja keras, mendorongnya untuk berbuat, berjuang dan
merupakan beban serta tanggung jawab, ia sejalan dan selaras dengan fitrahnya.6
Allah berfirman: karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”(Q.S Annisa: 34)
Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kenyataan hidup yang
terdapat didalam masyarakat roda kehidupan berjalan dengan dinamis, tidak lepas
dari perselisihan antara anggota keluarga tersebut terlebih antara suami dan istri.
5
M. Nashiruddin Al- Albani,Ringkasan Terjemah Shahih Bukhari, Penerjemah As’ad Yasin,
Elly Latifa (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), h. 437
6
Kenyataan hidup seperti itu menimbulkan bahwa memelihara kelestarian
kesinambungan hidup bersama suami isteri itu bukanlah hal yang mudah.
Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami,
baik dalam kehidupan rumah tangga, maupun dalam pergaulan masyarakat. Dengan
demikian, segala sesuatu dalam rumah tangga (keluarga) dapat dirundingkan dan
diputuskan bersama oleh suami dan istri. Adakalanya suatu halangan yang sangat
besar sudah sangat sulit dicarikan jalan keluarnya, sehingga perceraian sebagai jalan
akhir yang ditempuh untuk menghindari perselisihan di antara keduanya.
Salah satu munculnya permasalahan ketika suami sebagai seorang kepala
keluarga yang mempunyai tanggungjawab yang besar akan tetapi berperilaku buruk
seperti menggunakan obat-obatan terlarang atau narkoba. Para ulama telah sepakat
bahwa menyalahgunakan narkoba itu haram, karena dapat merusak jasmani dan
rohani umat manusia melebihi khamar.
Secara terminologi dalam kamus besar bahasa Indonesia, narkoba atau
narkotika adalah obat yang dapat menenangkan syaraf, menghilangkan rasa sakit,
menimbulkan rasa mengantuk atau merangsang. Orang yang mengkonsumsi narkoba
akan mengalami gangguan mental dan perilaku, sebagai akibat dari
ketergantungannya sistem neurotransmier tersebut mengakibatkan terganggunya
fungsi kognitif, afektif, dan psikomotorik.7
7
Pada awalnya, narkotika digunakan untuk kepentingan umat manusia,
khususnya untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan. Namun, dengan semakin
berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, peruntukan narkotika mengalami
perluasan hingga kepada hal-hal yang negatif. Oleh karena itu, agar penggunaan
narkotika dapat memberikan manfaat bagi umat manusia, peredarannya harus diawasi
secara ketat. Sebagaimana dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, yang menyebutkan Pengaturan Narkotika bertujuan untuk:
a. Menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan
kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
b. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari
penyalahgunaan Narkotika.
c. Memberantas peredaran gelap Narotika dan Prekursor Narkotika.
d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalah
guna dan pecandu Narkotika.8
Pentingnya peredaran narkotika diawasi secara ketat karena saat ini
pemanfaatannya banyak untuk hal-hal yang negatif. Harus diakui bahwa masalah
penyalahgunaan narkoba merupakan salah satu persoalan yang tidak mudah untuk
ditemukan solusinya. Penggunaan narkotika sangat beragam dan menjangkau semua
lapisan masyarakat. Efek negatif yang ditimbulkan akibat penggunaan narkotika
secara berlebihan dalam jangka waktu lama serta tidak diawasi oleh ahlinya, dapat
8
menimbulkan berbagai dampak negatif pada penggunanya, baik secara fisik maupun
psikis.9
Ketika seorang suami menggunakan narkoba maka akan hilang rasa
tanggungjawab terhadap keluarganya, maka akan berakibat hancurnya kehidupan
rumah tangga. Selain itu akan berdampak pada timbulnya pengaruh negatif pada diri
anak. Oleh karena itu, penulis berkeyakinan bahwa permasalahan yang akan diteliti
layak untuk dilakukan dan penulis bermaksud mengangkat permasalahan tersebut
kedalam sebuah skripsi yang berjudul Cerai Gugat Terhadap Suami Pengguna Narkoba (Analisis Putusan nomor: 0338/Pdt.G/2013/PAJS). Pada awalnya penulis menggunakan putusan nomor 1998/Pdt.G/2010/PAJS dengan subtansi yang sama
mengenai narkoba namun dikarenakan Majelis Hakim yang memutuskan perkara
tersebut telah dimutasi di luar Pulau Jawa sehingga penulis tidak dapat
mewawancarai hakim tersebut.
B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Masalah apa sajakah yang terkait dalam perceraian, berikut di bawah ini
uraiannya:
1) Bagaimanakah tata cara perceraian?
2) Faktor apa saja yang menyebabkan perceraian?
3) Bagaimanakah cerai gugat karena narkoba?
9
4) Bagaimanakah pelaksanaan cerai gugat dan cerai talak?
5) Bagaimanakah cerai gugat menurut hukum positif?
6) Apa landasan hukum yang digunakan dalam cerai gugat?
2. Batasan Masalah
Agar penulisan skripsi ini tidak meluas dan tidak terarah
pembahasannya, maka penulis membatasi lingkup penelitian yang berkenaan
dengan perceraian yang disebabkan narkoba, dan putusan perkara nomor
0338/Pdt.G/2013/PAJS.
3. Rumusan Masalah
Dalam Undang-Undang Perkawinan, Peraturan Pemerintah dan KHI,
tidak ditemukan secara jelas kata narkoba sebagai alasan perceraian. Namun
terdapat kata “pemadat” akan tetapi faktanya di dalam putusan ini hakim tidak menafsirkan kata “pemadat” sebagai narkoba. Adapun perumusan masalah diatas maka penulis merincikan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1) Apakah suami pengguna narkoba dapat diajukan perceraian?
2) Apa dasar hukum yang digunakan oleh majelis hakim dalam memutuskan
perkara No.0338/Pdt.G/2013/PAJS?
3) Apakah putusan No.0338/Pdt.G/2013/PAJS sudah sesuai dengan KHI dan
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
Setiap penelitian pasti mempunyai tujuan dan kegunaannya yang bermanfaat
1. Untuk mengetahui duduk perkara perceraian akibat suami pengguna
narkoba.
2. Untuk mengetahui dasar hukum yang digunakan oleh majelis hakim dalam
memutuskan perkara No.0338/Pdt.G/2013/PAJS.
3. Untuk mengetahui putusan No.0338/Pdt.G/2013/PAJS sudah sesuai
dengan KHI dan Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan
khususnya dalam bidang keperdataan islam
2. Segi Praktis
Memberikan penjelasan kepada masyarakat pada umumnya tentang
ketentuan hukum dan perundang-undangan yang mengatur tentang gugat
cerai istri kepada suami sebagai pengguna narkoba.
3. Segi Ilmu Pengetahuan
Untuk memberikan kajian dalam memperkaya literatur serta penelitian
secara mendalam lebih lanjut dan sebagai kontribusi pemikiran terhadap
kajian hukum keluaga Islam serta dijadikan bahan rujukan pada
D. Riview Studi Terdahulu
Dalam karya ilmiah ini, penulis menemukan data yang berhubungan dengan
bahasan mekanisme cerai gugat terhadap suami pecandu narkoba:
No Identitas Terdahulu Substansi Perbedaan
gugat cerai yang terkait
dengan unsur narkoba
dari tahun 2005-2008.
2. Menjelaskan
jenis-jenis perceraian
1. Menjelaskan perkara
gugat cerai karena suami
Hukum, 2012 Undang-undang Narkotika
terbaru dan efek negative
yang ditimbulkan.
E. Kerangka Teori
Bila istri melihat sesuatu pada diri suaminya sesuatu yang tidak diridhai oleh
Allah SWT untuk melanjutkan perkawinan, seperti halnya istri mengetahui bahwa
suaminya menggunakan narkoba dan suami tidak bisa lagi diingatkan dengan usaha
yang telah dilakukan istri kepada suaminya untuk berhenti menggunakan narkoba,
maka istri bisa mengajukan gugatan cerai kepada suami. Karena efek yang
ditimbulkan akibat penggunaan narkotika dapat menimbulkan berbagai dampak
negatif pada penggunanya.
Islam memberikan jalan keluar ketika suami istri yang tidak dapat lagi
meneruskan perkawinan, dalam artian ketidak cocokan pandangan hidup dan
perselisihan rumah tangga yang tidak bisa didamaikan lagi, maka diberikan jalan
keluar yang dalam istilah fiqih disebut dengan thalaq (Perceraian). Agama islam membolehkan suami istri bercerai, tentunya dengan alasan-alasan tertentu, walaupun
perceraian itu sangat dibenci oleh Allah SWT.10
10
Mengenai Putusnya perkawinan, Undang-Undang No. 1 tahun 1974 BAB VIII
pasal 38 dikenal adanya tiga macam cara putusnya perkawinan, yaitu: kematian,
perceraian dan keputusan pengadilan. Pasal 39 UU No. 1 tahun 1974 menegaskan
bahwa perceraian hanya dapat dilakukan dengan sidang pengadilan setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan antara
kedua belah pihak, dan untuk melakukan perceraian harus ada alasan yang cukup
sehingga dapat dijadikan landasan yang wajar bahwa suami dan istri tidak ada
harapan lagi untuk hidup bersama sebagai suami istri.11
Alasan dimaksud dalam Pasal 39 UU No.1 tahun 1974 ini diperinci lebih
lanjut dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, yaitu ada enam alasan
untuk perceraian, sebagai berikut:
1. Salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabuk, penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahu berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
11
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.
6. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga.12
F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan oleh penulis yaitu menggunakan
metode-metode pada umumnya berlaku pada penelitian, yaitu:
1) Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian dengan pendekatan kualitatif.
Jenis penelitian ini menekankan pada kualitas dengan pemahaman
deskriptif. Selain itu penelitian ini berupa analisis putusan Nomor
0338/Pdt.G/2013/PAJS di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
2) Kriteria dan Sumber Data
Berdasarkan jenis dan bentuknya, data yang diperlukan dalam penelitian
ini adalah:
a. Data primer: Wawancara mendalam dengan hakim yang memutus
perkara ini.
b. Data skunder: Untuk melengkapi atau mendukung analisis, tetap
diperlukan analisis data sekunder yaitu dengan penelitian
kepustakaan (Library Search) dengan cara mengkaji buku-buku,
12
literatur-literatur, maupun artikel-artikel yang berkaitan baik dari
surat kabar, jurnal yang masih berhubungan dengan judul penelitian.
3) Pendekatan
Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah
pendekatanYuridis-normatif. Pendekatan yuridis penting digunakan dalam melihat objek
hukum berkaitan dengan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA dan
UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN.
G. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun berdasarkan buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012” dengan
sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri atas beberapa
sub bab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun perinciannya sebagai
berikut
BAB PERTAMA Tentang Pendahuluan, memuat: Latar Belakang
Masalah, Identifikasi Batasan dan Rumusan Masalah,
Tujuan dan Manfaat Penelitian, Review Studi
Terdahulu, Kerangka Teori, Metode Penelitian,
Sistematika Penulisan.
BAB KEDUA Tentang Gambaran Umum Perceraian pada bab ini
Penyebab Perceraian, Jenis Perceraian, Akibat
Perceraian
BAB KETIGA Tentang Narkoba Dalam Pandangan Hukum Positif
dan Fikih. Pada bab ini penulis membahas tentang:
pengertian narkoba, jenis narkoba dan dampak
negatif narkoba
BAB KEEMPAT Analisis Putusan Perkara: Profil Pengadilan, analisis
duduknya perkara, analisis putusan, analisis penulis.
BAB KELIMA Penutup, bab ini merupakan bab terakhir dari
penulisan skripsi ini, untuk itu penulis menarik
beberapa kesimpulan dari hasil penelitian,
disamping itu pula penulis memberikan saran dan
kritik yang dianggap perlu pada permasalahan yang
16
A. Pengertian Perceraian
Akad perkawinan dalam hukum Islam bukanlah perkara perdata semata,
melainkan ikatan suci (misaqan galiza) yang terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada Allah. Namun sering kali apa yang menjadi tujuan perkawinan kandas di
perjalanan yang mengakibatkan putusnya perkawinan baik karena sebab kematian,
perceraian ataupun karena putusnya pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang telah
ditetapkan oleh undang-undang.1
Perceraian didefinisikan sebagai melepas tali perkawinan dengan kata talak
atau kata yang sepadan artinya dengan talak. Talak adalah menghilangkan ikatan
perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu isteri tidak lagi halal
bagi suaminya, dan ini terjadi dalam hal talak ba’in, sedangkan arti mengurangi
pelepasan ikatan perkawinan ialah berkurangnya hak talak bagi suami yang
mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga menjadi
dua, dan dua menjadi satu, dan satu menjadi hilang hak talak itu, yaitu terjadi dalam
talak raj’i.2
1
Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, hukum perdata islam di indonesia (studi kritis perkembangan hukum islam dari fikih UU No 1/1974 sampai KHI), (Jakarta: Kencana, 2006), Cet. Ke-3, h. 206, 216.
2
Perceraian dalam hukum positif ialah suatu keadaan di mana antara seorang
suami dan seorang isteri telah terjadi ketidakcocokan batin yang berakibat pada
putusnya suatu perkawinan, melalui putusan pengadilan setelah tidak berhasil
didamaikan. Sebagaimana dikatakan dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974
tentang Perkawinan pasal 38 dikatakan bahwa perkawinan dapat putus karena:
a. Kematian
b. Perceraian
c. Keputusan Pengadilan.3
KHI Instruksi Presiden RI Nomor 1 tahun 1991 juga memuat masalah
Putusnya Perkawinan pada Bab XVI pasal 113 dinyatakan Perkawinan dapat putus
karena:
a. Kematian
b. Perceraian, dan
c. Atas putusan Pengadilan.4
B. Sebab-Sebab Perceraian
Pembagian peran secara kaku tanpa disadari atau tidak, selain dinilai
diskriminatif, dalam banyak kasus sering kali menyebabkan kekerasan terhadap
perempuan. Otoritas suami sebagai pemimpin seringkali mengantar mereka kepada
tindakan sewenang-wenang. Kemudian, keikut sertaan istri mencari nafkah baik
3
Yayan Sopyan, Islam-Negara (transformasi hukum perkawinan islam dalam hukum nasional), (Ciputat: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) cet. Ke-1, h. 174
4
secara terpaksa maupun karena motivasi yang lain, pada umumnya melahirkan peran
ganda bagi istri. Dalam bahasa Wahbah Zuhaili selain mengais rejeki dengan tangan
kanannya, ia juga harus mengguncang ayunan dengan tangan kirinya. Rumah tangga
yang semestinya dibangun laksana surga bagi semua penghuninya justru terwujud
bagai neraka bagi seorang istri.5
Untuk melakukan perceraian harus memiliki cukup alasan yang kuat dan
dibenarkan oleh Undang-Undang, sebagaimana termuat dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 9 tahun 1975 dalam pasal 19 menyebutkan alasan bagi suami istri untuk
bercerai ialah perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berrturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
5
f. Antara suami istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.6
Karena masalah perceraian akan merugikan semua pihak, baik suami, isteri,
anak-anak, maupun kehidupan masyarakat. Salah satu aturan yang mengatur
dipersulitnya perceraian adalah termuat dalam pasal 39 Undang-Undang Perkawinan,
bahwa:
1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.
2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami
isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
3) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan
perundangan tersendiri.7
Berkenaan dengan sebab-sebab terjadinya perceraian KHI Instruksi Presiden
Nomor 1 tahun 1991 juga mengatur pada pasal 116 yang berbunyi:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi
dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin peihak lain di luar kemampuannya.
6
Republik Indonesia,Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974,pasal 19
7
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajiban sebagai suami istri.
f. Antara suami istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
g. Suami melanggar taklik talak,
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak
rukunan dalam rumah tangga.8
Dari pasal 116 KHI Instruksi Presiden RI Nomor 1 tahun 1991 ini ada
tambahan dua sebab terjadinya perceraian dibanding dengan pasal 19 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 yaitu suami melanggar taklik talak dan murtad,
tambahan ini relatif penting karena sebelumnya tidak ada yang mengatur tentang hal
tersebut.9
C. Jenis Perceraian
Sejalan dengan prinsip atau asas undang-undang perkawinan untuk
mempersulit terjadinya perceraian, maka perceraian hanya dapat dilakukan di depan
8
Ibid, h. 73
9
sidang pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak. Perceraian di pengadilan dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Cerai Talak (Permohonan)
Talak terambil dari kata “ithlaq” menurut bahasa artinya “melepaskan atau meninggalkan”. Menurut istilah syara’ “melepaskan tali
perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri”. Jadi talak itu adalah
menghilangkan tali perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan
perkawinan itu istri tidak halal lagi bagi suaminya.10
Sebagaimana dalam Hadits Ibnu Umar menyatakan, Rasulullah
Saw, bersabda:
Artinya: “Talak merupakan perbuatan halal yang sangat dibenci Allah
Swt”.(HR Abu Daud dan Hakim)
Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut
agama islam, yang akan menceraikan istrinya mengajukan surat ke
pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia
bermaksud menceraikan istrinya disertai dengan alasan-alasannya serta
meminta kepada pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.12
10
Abdul Rahman Ghozali,fiqih munakahat,h.155,157
11
Terjemahan Nailul Authar Himpunan Hadits-Hadits Hukum, Penerjemah Mu’al Hamidy,
dkk, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2001), Cet. Ke-3, h. 2311
12
Menurut Pasal 66 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama menyatakan “Seorang suami yang beragama
Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada
pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak”.13
b. Cerai Gugat
Perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan
tebusan atau iwad kepada dan atas persetujuan suaminya.14Hal ini
dijelaskan di dalam Al-Qur’ansurat al-Baqarah ayat 229:
ð
Artinya:“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya
tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.”
(Q.S. Al-Baqarah: 229 )
Gugatan perceraian yang diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada
pengadilan harus menyangkut alasan-alasan dan dukungan alat bukti yang
berdasar pada pasal 74, 75 dan 76 UU Nomor 7 tahun 1989 dan pasal 133,
134 dan 135 KHI.15
D. Akibat Perceraian
Apabila perkawinan yang diharapkan tidak tercapai dan perceraian yang
diambil sebagai jalan keluarnya maka akan timbul akibat dari perceraian itu. Dalam
13
Dedi Supriyadi, mustofa, Perbandingan hukum perkawinan di dunia islam (Bandung: pustaka al-fikriis, 2009) Cet. Ke-1, h. 193
14
Hasanudin AF,Perkawinan dalam perspektif Al-Qur’an (nikah, talak, cerai, ruju’), h. 75
15
hal ini baik Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan atau
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 mengatur hal
tersebut pada pasal-pasal berikut ini, yaitu:
a. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
Pasal 41: Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
a) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak,
bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,
Pengadilan memberi keputusan.
b) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam
kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut pengadilan
dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut.
c) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu
kewajiban bagi bekas istri.16
b. Kompilasi Hukum Islam (KHI) Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991
Pasal 149: Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami
wajib:
16
a) Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa
uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul.
b) Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama
dalam iddah, kecuali bekas istri telah di jatuhi talak ba’in atau
nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
c) Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separuh
apabila qobla al dukhul.
d) Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum
mencapai umur 21 tahun.
Pasal 150: Bekas suami berhak melakukan ruju’ kepada bekas istrinya
yang masih dalam iddah.
Pasal 151: Bekas istri selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya, tidak
menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain.
Pasal 152: Bekas istri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas
suaminya kecuali ia nusyuz.
Pasal 156: Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
a) Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan
ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka
kedudukannya digantikan oleh:
1) wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibu.
2) ayah.
4) saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
5) wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah
b) Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan
hadhanah dari ayah atau ibunya
c) Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin
keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah telah
dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan
pengadilan agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada
kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula
d) Semua biaya hadhanah dan nafkah menjadi tanggung jawab ayah
menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut
dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun)
e) Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak,
penngadilan agama memberikan putusannya berdasarkan huruf
(a),(b), dan (d)
f) Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya
menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan
anak-anak yang tidak turut padanya.17
Bila hubungan perkawinan putus, maka mempunyai akibat hukum sebagai
berikut:
17
a. Hubungan antara keduanya adalah asing dalam arti harus berpisah dan
tidak boleh saling memandang, apalagi bergaul sebagai suami istri,
sebagaimana yang berlaku antara dua orang yang saling asing.
b. Keharusan memberi mut’ah, yaitu pemberian suami kepada istri yang
diceraikannya sebagai suatu kompensasi. (Jumhur berpendapat bahwa
mut’ah itu hanya untuk perceraian yang inisiatifnya berasal dari suami, seperti thalaq, kecuali bila jumlah mahar telah ditentukan dan bercerai
sebelum bergaul).
c. Melunasi hutang yang wajib dibayarnya dan belum dibayarnya selama
masa perkawinan, baik dalam bentuk mahar maupun nafaqah.
d. Berlaku atas istri yang dicerai ketentuan iddah.
e. Pemeliharaan terhadap anak atau hadhanah.18
18
27
A. Pengertian Narkoba
a. Menurut Hukum Pidana Islam
Istilah narkoba dalam konteks hukum Islam tidak disebutkan secara
langsung dalam Al-Qur’an maupun dalam Sunnah. Dalam Al-Qur’an hanya
menyebutkan istilah khamar. Secara etimologis, narkotika diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan kata ت ا ر ّﺪ ﺨ ﻤ ﻟ ا (al-mukhhaddirat) yang berasal dari kata ﺧ (khaddara yukhaddiru takhdir) yang berarti hilang rasa, bingung, membius, tidak sadar, menutup, gelap dan mabuk.1
Melihat dari pengaruh yang ditimbulkan maka narkoba dapat
disejajarkan hukumannya dengan khamar bahkan lebih berat lagi tingkat
keharamannya. Islam telah menjelaskan walaupun khamar memiliki manfaat
terhadap kita namun bahayanya juga sangat besar terhadap kita.2Maka dari
itu Al-Quran mengharamkan khamar tersebut sebagaimana Allah berfirman:
Mardani, penyalahgunaan narkoba dalam perspektif hukum islam dan hukum pidana nasional, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), h. 76
2
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya".
(Q.S Al-Baqarah: 219)
Para ulama sepakat bahwa para konsumen khamar ditetapkan sanksi
hukum had, yaitu hukum dera sesuai dengan berat ringannya pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang. Terhadap pelaku pidana yang mengonsumsi
minuman memabukkan dan/atau obat-obatan yang berbahaya menurut
pendapat Hanafi dan Malik akan dijatuhkan hukuman cambuk sebanyak 80
kali, sedangkan menurut Syafi’I hukumannya hanya 40 kali.3
b. Menurut Hukum Pidana Nasional
Secara etimologis narkoba atau narkotika berasal dari bahasa Inggris
narcose atau narcosis yang berarti menidurkan dan pembiusan. Secara terminologi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia narkoba atau narkotika
adalah obat yang dapat menenangkan syaraf, menghilangkan rasa sakit,
menimbulkan rasa mengantuk atau merangsang.4
Menurut istilah kedokteran, narkotika adalah obat yang dapat
menghilangkan terutama rasa sakit dan nyeri yang berasal dari daerah viresal
atau alat-alat rongga dada dan rongga perut, juga dapat menimbulkan efek
3
Zainuddin Ali,Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), cet.Ke-1, h. 101
4
stupor atau bengong yang lama dalam keadaan masih sadar serta menimbulkan adiksi atau kecanduan.5
Yang dimaksud narkotika menurut Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 35
Tahun 2009 Tentang Narkotika ”Narkotika adalah zat atau obat yang berasal
dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang
dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilang rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana
terlampir dalam Undang-Undang ini.6
B. Jenis Narkoba
Secara umum narkoba dapat dibedakan dalam beberapa jenis:
a. Alami adalah jenis obat atau zat yang diambil langsung dari alam, tanpa
adanya proses fermentasi atau produksi, misalnya: ganja, opium, kokain,
kafein, dan lain-lain.
b. Semisintesis adalah jenis obat atau zat yang diproses sedemikian rupa
melalui proses fermentasi seperti: morfin, kodein, heroin, dan lain-lain.
c. Sintesis adalah jenis obat atau zat yang mulai dikembangkan untuk
keperluan medis dan penelitian sebagai penghilang rasa sakit (analgesik)
dan penekan batuk (antitusif) seperti: amfetamin, deksamfetamin, petidin,
5
Ibid, h. 79
6
meperidin, metadon, dipipanon, dekstropropokasifein, dan LSD. Zat-zat
sintesis juga dipakai oleh dokter untuk terapi penyembuhan kepada para
pecandu.7
Zat atau obat yang dikategorikan sebagai narkotika dalam UU Nomor
35 Tahun 2009 tentang NARKOTIKA digolongkan menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu
sebagai berikut:
a. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi
serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.
b. Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan
digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi
dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai
potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
c. Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan
banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
ketergantungan.8
Selain golongan narkotika diatas menurut UU Nomor 35 Tahun 2009
ditambahkan istilah prekursor narkotika yang mana menurut penjelasan umum di
7
Eny Kusmiran, Kesehatan Reproduksi Remaja dan Wanita, (Jakarta: Salemba Medika, 2011), h. 63
8
dalam undang-undang tersebut adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang
dapat digunakan dalam pembuatan narkotika yang mana prekursor narkotika ini
hanya diperuntukkan bagi industri farmasi.9
C. Faktor Pendorong
Penyalahgunaan narkoba juga disebabkan oleh adanya faktor pendorong yang
dimana dalam hal ini dibedakan menjadi beberapa faktor:
a. Faktor individu
Penyalahgunaan obat dipengeruhi oleh keadaan mental, kondisi
fisik, dan psikologis seseorang. Eksplorasi seksual bisa mendorong
penyalahgunaan zat baik untuk mengurangi hambatan psikologis,
meningkatkan fantasi, sensasi, dan mengatasi rasa bersalah. Nurco
mengemukakan enam faktor yang dapat berdiri sendiri atau bergabung
satu sama lain untuk menjelaskan mengapa seseorang bisa menjadi
penyalahgunaan obat terlarang sedangkan orang lain tidak, yaitu:
a) Kebutuhan untuk menekan frustasi dan dorongan agresif.
b) Ketidak mampuan menunda kepuasan.
c) Tidak ada indentifikasi seksual yang jelas.
d) Kurang kesadaran dan upaya untuk mencapai tujuan-tujuan yang
bisa diterima secara sosial.
9
e) Menggunakan perilaku yang menyerempet bahaya untuk
menunjukkan kemampuan diri.
f) Menekan rasa bosan.
b. Faktor Zat
Di samping pengaruh dari pengalaman, harapan pemakai, serta
dosis yang digunakan, hanya zat yang mempunyai khasiat tertentu dapat
menyebabkan gangguan penyalahgunaan obat terlarang. Hal ini
menunjukkan bahwa suatu prasyarat keadaan psikopatologi tidak selalu
harus ada, baik pada pemakai pertama atau lanjutan.
c. Faktor Lingkungan
Faktor sosiologis yang dianggapa dapat menyebabkan
penyalahgunaan zat antara lain sebagai berikut:
a) Hubungan dalam keluarga, kualitas hubungan anggota keluarga
yang tidak harmonis dapat menyebabkan penyalahgunaan obat/zat
terlarang dan meningkatkan prevalensi depresi serta aktivitas
seksual.
b) Pengaruh teman, bagi terjadinya penyalahgunaa zat/obat terlarang
sangat penting. Hukuman oleh kelompok teman bagi mereka yang
mencoba menghentikan pemakaian zat/obat terlarang tentu
dirasakan lebih berat dari bahaya penyalahgunaan zat itu sendiri.
c) Pengaruh lingkungan, penyalahgunaan zat/obat terlarang sejak lama
seseorang di lingkungan tertentu, dan selanjutnya akan diperkuat
oleh budaya penggunaan yang ada dilingkungan tersebut.10
D. Dampak Negatif Narkoba
Obat-obatan untuk tujuan medis secara ilegal diresepkan oleh dokter atau
apoteker terdidik, guna mencegah dan mengobati penyakit. Namun, pemakaian obat
tanpa petunjuk medis merupakan penyalahgunaan. Seorang yang sudah
ketergantungan atau kecanduan berarti tidak dapat hidup tanpa obat karena ia tidak
dapat hidup secara normal. Orang tersebut akan bertingkah laku aneh dan
menciptakan ketergantungan fisik dan psikologis pada tingkat yang berbeda-beda.11
Hal ini dikarenakan ketergantungan fisik menyebabkan timbulnya rasa sakit
bila ada usaha untuk mengurangi pemakaiannya bila pemakaiannya dihentikan.
Ketergantungan secara psikologis menimbulkan tingkah laku yang kompulsif untuk
memperoleh obat-obatan tersebut. Keadaan ini semakin memburuk jika tubuh sang
pemakai menjadi kebal akan narkoba, sehingga kebutuhan tubuh akan narkoba
menjadi meningkat untuk dapat sampai pada efek yang sama tingginya. Dosis yang
tinggi dan pemakaian yang sering, diperlukan untuk menenangkan keinginan yang
besar. Dan hal ini dapat menyebabkan kematian.12
10
Eny Kusmiran,Kesehatan Reproduksi Remaja dan Wanita, h. 75
11
Badan Kerjasama Sosial Usaha Pembinaan Warga Tama (BERSAMA),Pengawasan serta peran aktif orang tua dan aparat dalam penanggulangan dan penyalahgunaan narkoba, (Jakarta: Badan Kerjasama Sosial Usaha Pembinaan Warga Tama (BERSAMA), 2005), h. 5
12
Narkoba yang disalahgunakan dapat membawa efek-efek terhadap tubuh si
pemakai yang dapat diklasifikasikan tahapannya sebagai berikut:
a. Euphoria
Suatu perasaan yang riang gembira yang dapat ditimbulkan oleh narkoba
yang abnormal dan tidak sepadan dan sesuai terhadap tubuh si pemakai
yang sebenarnya. Efek ini ditimbulkan oleh dosis yang tidak begitu tinggi.
b. Delirium
Menurunnya kesadaran mental si pemakai disertai kegelisahan yang agak
hebat yang terjadi secara mendadak, yang dapat menyebabkan gangguan
koordinasi otot-otot gerak motorik. Efek delirium ini ditimbulkan oleh
pemakai dosis yang lebih tinggi di banding dosis pada euphoria.
c. Halusinasi
Suatu kesalahan persepsi panca indera, sehingga apa yang dilihat, apa
yang didengar tidak seperti kenyataan sesungguhnya.
d. Weakness
Suatu kelemahan jasmani atau rohani atau keduanya yang terjadi akibat
ketergantungan dan kecanduan narkoba.
e. Drowsiness
Kesadaran yang menurun, atau keadaan antara sadar dan tidak sadar,
seperti keadaan setengah tidur disertai fikiran yang sangat kacau dan
f. Collapse
Keadaan pingsan dan jika si pemakai over dosis, dapat mengakibatkan
kematian.13
Tanpa bahan narkotik, hidup terasa gelap, tidak lengkap, serasa dunia mau
tenggelam. Baru apabila orang tersebut mendapatkan supply bahan narkotika lagi, dia
merasa “hidup kembali”, dan merasa jadi makhluk yang paling bahagia serta paling
tinggi derajatnya. Gejala umum secara psikologis yang terjadi pada peristiwa
kecanduan yaitu: menjadi pembohong, pemalas, daya tangkap otak makin melemah,
fungsi inteleknya semakin rusak, tidak bisa berinteraksi dengan cepat, semua tugas
dan pekerjaan disia-siakan, mudah tersinggung, mudah marah, semua tingkah
lakunya hampir tidak terkendali oleh kesadarannya.14
Bagi orang yang sudah mengkonsumsi narkoba secara berlebihan akan
beresiko sebagai berikut:
a. Narkotika dapat menyebabkan kematian karena zat-zat yang terkandung
dalamnya mengganggu sistem kekebalan tubuh sehingga dalam waktu
yang relatif singkat bisa merenggut jiwa si pemakai.
b. Pengguna narkotika dapat bertindak nekat/bunuh diri karena pemakai
cenderung memiliki sifat acuh tak acuh terhadap lingkungannya. Ia
13
Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika dalam hukum pidana untuk mahasiswa dan prkatisi serta penyuluh masalah narkoba, (Bandung: Mandar Maju, 2003), h. 24
14
menganggap dirinya tidak berguna bagi lingkungannya ini yang
memacunya untuk bertindak nekat.
c. Setelah mengkonsumsi narkoba, si pemakai dapat hilang kontrol karena
zat-zat yang terkandung didalamnya langsung menyerang syaraf otak yang
cenderung menjadikan orang tidak sadar dan hilang kontrol.
d. Narkotika menimbulkan penyakit bagi pemakainya. Karena di dalam
narkotika mengandung zat yang mempunyai efek samping yang
menimbulkan penyakit baru.15
Bila seorang anggota keluarga terkena narkoba, berbagai masalah akan
muncul dalam keluarga. Seperti gangguan keharmonisan rumah tangga, masalah
ekonomi karena untuk berobat dalam jangka waktu lama, selain itu sering hilangnya
uang yang dicuri untuk membeli narkoba, munculnya kekerasan dalam rumah
tangga.16
Di samping itu pemakaian narkoba juga berpengaruh pula bagi masyarakat
luas. Akibat-akibat adanya pemakaian narkoba antara lain:
a. Meningkatnya kriminalitas atau gangguan kamtibmas.
b. Menyebabkan timbulnya kekerasan baik terhadap perorangan atau antar
kelompok.
15
Vinieska Rahayu, Penyalahgunaan Narkoba Oleh Anak (Kajian Hukum Islam Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.18/Pid.Anak/2010/PN.JKT.Sel), h. 48
16
c. Timbulnya usaha-usaha yang bersifat ilegal dalam masyarakat, misalnya
pasar gelap narkotika dan sebagainya.
d. Banyaknya kecelakaan lalu lintas
e. Menyebarkan penyakit tertentu lewat jarum suntik yang dipakai pecandu.
Misalnya hepatitis B, hepatitis C dan HIV/AIDS.17
Penyalahgunaan narkotika di Tanah Air ini sangat memprihatinkan sehingga
menimbulkan dampak negatif baik perseorangan maupun negara. BNN menyebutkan
bahwa dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (2005-2010) jumlah kasus tindak pidana
narkoba di Indonesia mengalami peningkatan dengan kenaikan rata-rata 26% setiap
kasusnya.18
Selain itu menurut catatan BNN sekitar 70% dari jumlah tersebut adalah
pengguna dari golongan pekerja, 22% kelompok pelajar atau mahasiswa, 8%
pengangguran. Bila kerusakan tatanan kehidupan ini meluas ke seluruh pelosok
negeri, pembangunan akan terhambat, kemiskinan meluas, kekacauan merata, dan
kejahatan muncul dimana-mana.19
.
17
Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika dalam hukum pidana untuk mahasiswa dan prkatisi serta penyuluh masalah narkoba, h. 24
18
www.jurnas.com/news/44066 diakses pada 16 Januari 2014
19
38 A. Profil Pengadilan
1. Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Agama JAKSEL
Pengadilan Agama Jakarta Selatan sebagai salah satu instansi yang
melaksanakan tugasnya memiliki dasar hukum dan landasan kerja sebagai
berikut:
1. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970
4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
5. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
6. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009
7. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
8. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983
9. Peraturan/Instruksi/Edaran Mahkamah Agung RI
10. Instruksi Dirjen Bimas Islam/Bimbingan Islam
11. Keputusan Menteri Agama RI Nomor 69 Tahun 1963 tentang
12. Peraturan-Peraturan lain yang berhubungan dengan Tata Kerja dan
Wewenang Pengadilan Agama.1
2. Sejarah Pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan dibentuk berdasarkan surat
keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 69 tahun 1963. Pada
mulanya Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta hanya terdapat tiga
kantor yang dinamakan Kantor Cabang, yaitu:
1. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara
2. Kantor Pengadilan Agama Jakarta Tengah
3. Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya sebagai Induk
Semua Pengadilan Agama tersebut di atas termasuk Wilayah Hukum
Cabang Mahkamah Islam Tinggi Surakarta. Kemudian setelah berdirinya
Cabang Mahkamah Islam Tinggi Bandung berdasarkan surat keputusan
Menteri Agama Nomor 71 tahun 1976 tanggal 16 Desember 1976. Semua
Pengadilan Agama di Provinsi Jawa Barat termasuk Pengadilan Agama yang
berada dalam Wilayah Hukum Mahkamah Tinggi Cabang Bandung. Dalam
perkembangan selanjutnya istilah Mahkamah Tinggi menjadi Pengadilan
Tinggi Agama (PTA). Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama Republik
Indonesia Nomor 61 tahun 1985 Pengadilan Tinggi Agama Surakarta
dipindah di Jakarta, akan tetapi realisasinya baru terlaksana pada tanggal 30
Oktober 1987 dan secara otomatis Wilayah Hukum Pengadilan Agama di
1
wilayah DKI Jakarta adalah menjadi Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi
Agama Jakarta.
PA. Jakarta Selatan Berkantor di Gedung Sendiri
Pada bulan September 1979 Kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan
pindah ke gedung baru di Jl. Ciputat Raya Pondok Pinang dengan menempati
gedung baru dengan tanah yang masih menumpang pada areal tanah PGAN
Pondok Pinang dan pada tahun 1979 pada saat pengadilan Agama Jakarta
Selatan dipimpin oleh Bapak H. Alim BA diangkat pula Hakim-Hakim
honorer untuk menangani perkara-perkara yang masuk.
Pada perkembangan selanjutnya yaitu semasa kepemimpinan Drs. H.
Djabir Mansur, S.H., Kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan pindah ke Jl.
Rambutan VII No. 48 Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan dengan
menempati gedung baru. Di gedung baru ini meskipun tidak memenuhi syarat
untuk sebuah Kantor Pemerintah setingkat Walikota, karena gedungnya
berada di tengah-tengah penduduk dan jalan masuk kelas jalan III C. Namun
sudah lebih baik ketimbang masih di Pondok Pinang,
pembenahan-pembenahan fisik terus dilakukan terutama pada masa kepemimpinan Drs. H.
Jayusman, S.H., begitu pula pembenahan-pembenahan pada masa
kepemimpinan Bapak Drs. H. Ahmad Kamil, S.H., pada masa ini pula
pengetikan dan ini terus ditingkatkan pada masa kepemimpinan Bapak Drs.
Rif’at Yusuf.
Pada masa perkembangan selanjutnya tahun 2000 ketika
kepemimpinan dijabat oleh Bapak Drs. H. Zainuddin Fajari, S.H.,
pembenahan-pembenahan semua bidang, baik fisik maupun non fisik
diadakan sistem komputerisasi dengan komputer online dan ini tetrus dibenahi
sampai sekarang oleh Ketua Pengadilan Agama Drs. H. Syed Usman, S.H.,
yang tujuannya untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat pencari
keadilan dan menciptakan peradilan yang mandiri dan berwibawa.
Perkembangan selabjutnya tahun 2007- 2008 ketika kepemimpinan
dijabat oleh Bapak Drs. H. A. Choiri, S.H., M.H. pembenahan-pembenaan
semua bidang, baik fisik maupun non fisik sudah terintegrasi dengan online
komputer, pada periode ini juga Pengadilan Agama Jakarta Selatan berhasil
pengadaan Agama Jakarta Selatan berhasil pengadaan tanah untuk bangunan
gedung baru seluas ± 6000 m2 yang terletak di Jl. Harsono RM, Ragunan,
Jakarta Selatan.
Selanjutnya sejak tahun 2008 telah dibangun gedung baru yang sesuai
dengan purwarupa Mahkamah Agung RI. Pembangunan dilaksanakan 2 tahap,
tahap pertama tahun 2008 dan tahap kedua tahun 2009 pada saat itu
Pengadilan Agama Jakarta Selatan diketahui oleh Bapak Drs. H. Pahlawan
Harahap S.H., M.A. Selanjutnya pada akhir April 2010, gedung baru
gedung-gedung baru lainnya di Pontianak (Kalimantan Barat) oleh Ketua Mahkamah
Agung RI. Kemudian pada awal Mei 2010 diadakan tasyakuran dan sekaligus
dimulainya aktifitas perkantoran di gedung baru tersebut, pada saat itu Ketua
Pengadilan Agama Jakarta Selatan dijabat oleh Drs. H. Ahsin A. Hamid, S.H.
sejak menempati gedung baru yang cukup megah dan representatif tersebut di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan dilakukan pembenahan dalam segala hal,
baik dalam hal pelayanan terhadap pencari keadilan maupun dalam hal
peningkatan T.I ( Teknologi Informasi).
3. Visi dan Misi
Visi : Mewujudkan badan peradilan yang agung
Misi : Peningkatan Pelayanan Penerimaan Perkara
1) Membuka akses publik seluas-luasnya sesuai dengan ketentuan
KMA. 144 Tahun 2008.
2) Meningkatan sistem pelayanan yang cepat dan berkualitas melalui
peningkatan website dan SIADPA.
3) Mewujudkan putusan/penetapan yang memenuhi rasa keadilan,
kepastian hukum dan dapat dilaksanakan (Eksekutabel).
4) Menyiapkan informasi tentang prosedur berpekara, biaya perkara
5) Meningkatkan pelaksanaan pengawasan terhadap kinerja dan
perilaku aparat Pengadilan Agama Jakarta Selatan.2
4. Tugas Pokok dan Fungsi
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menentukan dalam pasal 24 ayat (2) bahwa Peradilan Agama merupakan
salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung
bersama badan peradilan lainnya di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan
Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer, merupakan salah satu badan
peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan hukum dan
keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang
yang beragama Islam.
Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang merupakan Pengadilan
Tingkat Pertama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat,
infaq, shadaqah dan ekonomi syariah sebagaimana diatur dalam pasal 49
Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Di samping tugas
pokok dimaksud di atas, Pengadilan Agama Jakarta Selatan mempunyai
fungsi, antara lain sebagai berikut:
2
1) Fungsi mengadili (Judicial Power), yakni menerima, memeriksa,
mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara yang menjadi
kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat pertama (vide: Pasal
49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006)
2) Fungsi pembinaan, yakni memberikan pengarahan, bimbingan, dan
petunjuk kepada pejabat struktural dan fungsional di bawah
jajarannya, baik menyangkut teknik yudisisal, administrasi
peradilan, maupun pembangunan (vide: Pasal 53 ayat (3)
Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 jo. KMA Nomor KMA/080/VIII/2006).
3) Fungsi pengawasan, yakni mengadakan pengawasan melekat atas
pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris,
Panitera Pengganti, dan Jurusita/Jurusita Pengganti di bawah
jajarannya agar peradilan diselenggarakan dengan seksama dan
sewajarnya (vide: Pasal 53 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 3
Tahun 2006) dan terhadap pelaksanaan administrasi umum
kesekretariatan serta pembangunan (vide: KMA Nomor
KMA/080/VIII/2006).
4) Fungsi Nasehat, yakni memberikan pertimbangan dan nasehat
tentang hukum islam kepada instansi pemerintah di daerah
hukumnya, apabila diminta (vide: Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang
5) Fungsi administratif, yakni menyelenggarakan administrasi
peradilan (teknis dan persidangan), dan administrasi umum
(kepegawaian, keuangan dan umum/perlengkapan) (vide: KMA
Nomor KMA/080/VIII/2006).
6) Fungsi lainnya: Melakukan koordinasi dalam pelaksanaan tugas
hisab dan rukyat dengan instansi lain yang terkait, seperti DEPAG,
MUI, Ormas Islam dan lain-lain (vide: Pasal 52 A Undang-Undang
Nomor 3 tahun 2006). Pelayanan penyuluhan hukum, pelayanan
riset/penelitian dan sebagainya serta memberi akses yang
seluas-luasnya bagi masyarakat dalam era keterbukaan dan transparansi
informasi peradilan sepanjang diatur dalam keputusan Ketua
Mahkamah Agung RI Nomor KMA/144/SK/VIII/2007 tentang
Keterbukaan informasi di Pengadilan.3
5. Wilayah Yuridiksi
No. Kecamatan Kelurahan
1. Kebayoran Lama
a. Kebayoran Lama
Utara
d.
Cipulir
b.
Kebayoran Lama
Selatan
e.
Grogol Selatan
3
c. Pondok Pinang
c. Jati Padang g. Pejaten Barat
d. Ragunan
4. Jagakarsa
a. Ciganjur d. Lenteng Agung
b. Srengseng Sawah e. Tanjung Barat
c. Jagakarsa f. Cimpedak
5. Mampang Prapatan
a. Mampang Prapatan d. Pela Mampang
c. Tegal Parang
6.
Pancoran
a. Pancoran d. Duren Tiga
b. Kalibata e. Pengadegan
c. Rawajati f. Cikoko
7. Kebayoran Baru
a. Gandaria Utara f. Rawa Barat
b. Cipete Utara g. Gunung
c. Pulo h. Selong
d. Petogogan i. Senayan
e. Kramat Pela j. Melawai
8. Tebet
a. Menteng Dalam e. Bukit Duri
b. Tebet Barat f. Manggarai
c. Tebet Timur g. Manggarai Selatan
d. Kebon Baru
9. Setiabudi
a. Setiabudi e. Karet Kuningan
b. Guntur f. Kuningan Timur
c. Karet g. Menteng Atas
d. Karet Semanggi h. Pasar Manggis
b. Cipete Selatan e. Pondok Labu
c. Cilandak Barat
B. Analisis Duduknya Perkara
Menimbang, bahwa Penggugat dengan surat gugatannya tertanggal 27 Januari
2013 telah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor:
0338/Pdt.G/2013/PAJS. Mengemukakan hal-hal yang pada pokoknya sebagai berikut:
1. Bahwa antara Penggugat dan Tergugat telah melakukan perkawinan di
Kantor Urusan Agama Kecamatan Padang Utara, Padang, Sumatera Barat
pada tanggal 11 Maret 2005, dengan kutipan Akta Nikah Nomor
98/12/III/2005;
2. Bahwa, antara Penggugat dan Tergugat telah memiliki tiga anak sah
perempuan yang ketiganya lahir pada tanggal 11 Januari 2011 (kembar
tiga);
3. Bahwa, sebelum perkawinan tersebut, Tergugat telah memiliki anak
laki-laki dari perkawinan Tergugat terdahulu sebelum menikah dengan
Penggugat yang lahir pada tanggal 8 Oktober 1988, dan hingga saat ini
tinggal bersama Penggugat dan Tergugat;
4. Bahwa pada saat gugatan ini dibuat, Penggugat telah melaporkan Tergugat
pada pihak kepolisisan resort Jakarta Selatan di unit PPA, tepatnya pada
tanggal 7 Januari 2013 dengan laporan nomor LP/49/K/I/2013/Resto
Jaksel atas kekerasan yang dilakukan Tergugat pada Penggugat. Dan hal
ini menjadi salah satu penyebab dibuat dan diajukannya gugatan ini. Dan
dengan sangat terpaksa, untuk menyelamatkan dan mengamankan diri,