1
ANALISIS PENGARUH MEKANISME CORPORATE GOVERNANCE,
KONDISI KEUANGAN PERUSAHAAN, DAN UKURAN PERUSAHAAN
TERHADAP OPINI AUDIT GOING CONCERN
(Studi Empiris Pada Perusahaan Real Estate dan Properti yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
Disusun Oleh:
KHULIFA AHDIZIA NIM : 107082001062
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
5
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama Mahasiswa : Khulifa Ahdizia
NIM : 107082001062
Jurusan : Akuntansi
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri yang merupakan hasil penelitian, pengolahan dan analisis saya sendiri serta bukan saduran dari hasil karya atau hasil penelitian orang lain.
Apabila terbukti skripsi ini merupkan plagiat, maka skripsi ini dianggap gugur dan harus melakukan penelitian ulang untuk menyusun skripsi baru dan kelulusan serta gelarnya dibatalkan.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan segala akibat yang timbul di kemudian hari menjadi tanggung jawab saya.
Jakarta, April 2011
6
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. IDENTITAS PRIBADI
1. Nama : Khulifa Ahdizia
2. Tempat tanggal lahir : Tulungagung, 12 Maret 1989
3. Alamat : Villa Pabuaran Indah
Jln. Aira Raya No.26 Rt.01/016 Pabuaran, Bojonggede – Bogor 16320
4. Telepon : 08561600696
5. E-Mail : extraordinarychulz@gmail.com
II. PENDIDIKAN
1. TK Qaryah Thayyibah, Kebun Jeruk Tahun 1993-1995
2. SDN Muaraberes Cibinong Tahun 1995-2001
3. SMP Negeri 5 Bogor Tahun 2001-2004
4. SMA Negeri 3 Bogor Tahun 2001-2007
5. Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007-2011
III. LATAR BELAKANG KELUARGA
1. Ayah : Ir. Khufadi Maslat
2. Ibu : Chusnul Choiriyah, SH,
3. Adik : Khulafi Ahzidi
Khulafi Ahdian
6. Alamat : Villa Pabuaran Indah
Jln. Aira Raya No.26 Rt. 01/016 Pabuaran, Bojonggede – Bogor 16320
7
IV.
PENGALAMAN ORGANISASI1. 2002-2004 : Dewan Kerja Umum (DKU) PMR Unit SMP Negeri 5
Bogor
2. 2005-2007 : Peer Conselor PMR Unit SMA Negeri 3 Bogor
3. 2008-2009 : Staf Divisi Litbang (Penelitian dan Pengembangan) BEM
Jurusan Akuntansi
4. 2008-2010 : Anggota Forum Silaturahmi Mahasiswa (FOSMA) ESQ
165 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5. 2009-2010 : Anggota Tim Saman Fosma Zero ESQ (SAFOZE) 165
6. 2010-2011 : Staf Divisi Kemahasiswaan BEM Jurusan Akuntansi
7. 2008-2010 : Alumni Training Support (ATS) ESQ 165
8. 2008-2010 : Pengurus Karang Taruna Rt.01/016 Villa Pabuarann Indah
V.
PELATIHAN DAN SEMINAR YANG DIIKUTI1. 2004-2006 : Kursus Bahasa Inggris di LBPP LIA Cabang
Pakuan Bogor
2. 6 Desember 2007 : Peserta Studium General “Prospek dan
Tantangan Profesi Akuntansi Menghadapi Era Globalisasi
3. 29-30 November 2008 : ESQ In House Training Basic Mahasiswa UIN
Jakarta Angkatan Ke-6
4. 09-10 Mei 2009 : ESQ In House Training MCB UIN Jakarta
Angkatan Ke-1
5. 26 November 2009 : Peserta Company Visit to Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) RI
6. 8 Mei 2010 : Peserta Seminar dan Workshop ARLOJI
8 THE ANALYSIS OF INFLUENCE CORPORTE GOVERNANCE MECHANISMS, CORPORATE FINANCIAL CONDITION, AND CORPORATE SIZE TO GOING CONCERN AUDIT OPINION (Empirical Study on Real Estate and Property Firms that Listed at
Indonesian Stock Exchange) By: Khulifa Ahdizia
ABSTRACT
This research analyzed the influence of corporate governance mechanisms, corporate financial condition, and corporate size to going concern audit opinion. Corporate governace mechanisms were proxied by board of commissioner turnover, board of director turnover, board of independent commissioner size, and board ownership. Corporate financial condition were proxied by financial ratios, there were leverage, profitability, and activity ratio. Samples of this research were 190 real estate and property firms that listed at Indonesian Stock Exchange for 2005 until 2009. This research used binary logistic regression method to examine hypotheses.
This research indicates that leverage has significantly positive effect and activity ratio has significantly negative effect to going concern audit opinion. Board of commissioner turnover, board of director turnover, board of independent commissioner size, board ownership, profitability ratio, and size don’t have significantly effect to going concern audit opinion.
9
ANALISIS PENGARUH MEKANISME CORPORATE GOVERNANCE,
KONDISI KEUANGAN PERUSAHAAN, DAN UKURAN PERUSAHAAN
TERHADAP OPINI AUDIT GOING CONCERN
(Studi Empiris pada Perusahaan Real Estate dan Properti yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia)
Oleh: Khulifa Ahdizia
ABSTRAK
Penelitian ini menganalisis pengaruh mekanisme corporate governance,
kondisi keuangan perusahaan, dan ukuran perusahaan terhadap opini audit going
concern. Mekanisme corporate governance diproksikan dengan perubahan dewan komisaris, perubahan dewan direksi, ukuran dewan komisaris independen, dan kepemilikan anggota dewan. Kondisi keuangan perusahaan diproksikan dengan
rasio keuangan yaitu rasio leverage, profitabilitas, dan aktivitas. Sampel dalam
penelitian ini adalah 190 perusahaan real estate dan properti yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia untuk periode 2005 sampai 2009. Penelitian ini menggunakan regresi logistik biner untuk menguji hipotesis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa leverage berpengaruh positif
signifikan dan rasio aktivitas berpengaruh negatif signifikan terhadap opini audit
going concern. Perubahan dewan komisaris, perubahan dewan direksi, ukuran dewan komisaris independen, kepemilikan anggota dewan, rasio profitabilitas,
dan ukuran perusahaan tidak berpengaruh signifikan terhadap opini audit going
concern.
10
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim,
Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah yang tiada terkira sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW yang telah menjadi inspirasi dan suri tauladan Umat Muslim di dunia.
Penulis menyadari bahwa penulisan ini tidak dapat terselesaikan tanpa dukungan dari berbagai pihak baik moril maupun materiil. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua penulis, ayahanda Ir. Khufadi Maslat dan ibunda Chusnul
Choiriyah, SH, yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materiil serta doa yang tiada henti kepada penulis.
2. Bapak Prof. Dr. Abdul Hamid, MS, selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan
Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Prof. Dr. Ahmad Rodoni, selaku dosen pembimbing I yang telah
berkenan memberikan bimbingan dan tambahan ilmu sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
4. Bapak Hepi Prayudiawan, SE., Ak., MM, selaku dosen pembimbing II yang
telah memberikan arahan dan solusi pada setiap permasalahan atas kesulitan dalam penulisan skripsi ini.
5. Ibu Rahmawati SE., MM, selaku Ketua Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi
dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Ibu Yessi Fitri SE., M.Si., Ak., selaku Sekretaris Jurusan Akuntansi Fakultas
Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Seluruh Bapak/Ibu dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang telah
memberikan pengetahuan yang sangat bermanfaat selama masa perkuliahan.
11
9. Kedua adik penulis, Khulafi Ahzidi dan Khulafi Ahdian, serta keluarga besar
penulis telah memberikan semangat, doa, dukungan, dan inspirasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Teman-teman seperjuangan dalam penyusunan skripsi dari awal pengajuan
proposal, pencarian jurnal, penyusunan, hingga pengolahan data, Khoirotun Nisa (Mamah I-te-ce-ha-aa), Gustami Ika Windarti (Tamcuy Udjo Jr.), Kodariyah (Jabarbara), Dian Mayasari (Bakti), Iiss Trianingrum (Budeh), dan Wina Kurniawati (Wincewewewew).
11. Teman-teman terbaik AKUNTANSI B 2007, Endang, Ani, Dewi (teman
seperjuangan saat sidang), Amel, Rahay, Koi, Anik (teman seperjuangan saat kompre), Wardah, Dwi, Lita, Indri, Nani, Paul, Nagif, Herdis, Idris, Abloy, Ikhwan, Dio, dan teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas informasi, bantuan, semangat, dan kerja samanya selama masa perkuliahan.
12. Teman-teman AUDIT B 2007 dan yang membantu dan bertukar informasi
tentang sidang dan kompre, Tati, Appri, Dini, Cince, Destya, Mela, Dian Sista, Dania, Eneng Hervi, Vina dan teman-teman lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas informasi dan semangatnya.
13. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, karena keterbatasan kemampuan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun demi penyempurnaan skripsi ini selalu terbuka. Semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak khususnya dalam bidang akuntansi dan auditing.
Jakarta, April 2011 Penulis,
12
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ii LEMBAR PENGESAHAN UJIAN KOMPREHENSIF iii LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI iv
SURAT PERNYATAAN v DAFTAR RIWAYAT HIDUP vi ABSTRACT viii ABSTRAK ix KATA PENGANTAR x DAFTAR ISI xii DAFTAR TABEL xvi DAFTAR GAMBAR xvii DAFTAR LAMPIRAN xviii BAB I PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 11
C. Tujuan Penelitian 11
D. Manfaat Penelitian 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 14
A. Agency Theory (Teori Keagenan) 14
13
C. Tujuan Audit 17
D. Jenis Audit 18
E. Standar Audit 19
F. Opini Audit 21
G. Going Concern 24
H. Opini Audit Going Concern 26
I. Tanggung Jawab Auditor 28
J. Corporate Governance 31
K. Kondisi Keuangan Perusahaan 42
L. Ukuran Perusahaan 45
M. Keterikatan Antar Variabel 46
N. Penelitian Terdahulu 51
O. Kerangka Pemikiran 57
P. Hipotesis 58
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 59
A. Ruang Lingkup Penelitian 59
B. Metode Penentuan Sampel 59
C. Metode Pengumpulan Data 61
D. Metode Analisa Data 61
1. Statistik Deskriptif 62
2. Analisis Inferensial 62
a. Menilai Model Fit 62
14
c. Koefisien Determinasi 64
d. Tabel Klasifikasi 64
e. Pengujian Hipotesis 64
f. Estimasi Parameter dan Interpretasinya 65
E. Operasionalisasi Variabel Penelitian 66
1. Variabel Tidak Terikat (Independent Variable) 66
2. Variable Terikat (Independent Variable) 69
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 72
A. Hasil Penelitian 72
1. Deskripsi Obyek Penelitian 72
2. Deskripsi Sampel Penelitian 74
3. Statistik Deskriptif 75
a. Deskripsi Opini Audit Going Concern 76
b. Deskripsi Variabel Independen 81
4. Analisis Inferensial 84
a. Pengujian Model Fit dan Keseluruhan Model (Overall Model Fit) 85
b. Pengujian Kelayakan Model Regresi 87
c. Koefisien Determinasi 88
d. Tabel Klasifikasi 90
e. Pengujian Hipotesis 91
15
BAB V PENUTUP 106
A. Kesimpulan 106
B. Implikasi 107
C. Keterbatasan dan Saran 111
1. Keterbatasan 111
2. Saran 112
DAFTAR PUSTAKA 114
16
DAFTAR TABEL
Nomor Keterangan Halaman
2.1 Penelitian Terdahulu ... 52
3.1 Proses Seleksi Sampel ... 60
3.2 Operasionalisasi Variabel ... 70
4.1 Deskripsi Populasi Penelitian ... 73
4.2 Proses Seleksi Sampel ... 75
4.3 Distribusi Sampel Berdasarkan Opini Audit ... 76
4.4 Ringkasan Penerimaan Opini Audit ... 78
4.5 Statistik Deskriptif ... 81
4.6 Iteration History 0 ... 86
4.7 Iteration History 1 ... 87
4.8 Hosmer and Lameshow Test ... 88
4.9 Model Summary ... 89
4.10 Classification Table ... 90
4.11 Variables in the Equation ... 91
17
DAFTAR GAMBAR
Nomor Keterangan Halaman
18
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Keterangan Halaman
1. Surat Keterangan Penelitian ... 119
2. Ikhtisar Data Keuangan Perusahaan Sampel
(Dalam Jutaaan Rupiah) ...
120
3. Analisis Data Sampel Perusahaan 2005-2009 ... 129
4. Analisis Rasio Keuangan Perusahaan Sampel ... 134
5. Laporan Auditor Independen Opini Audit Going Concern .. 143
19
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Krisis moneter yang melanda negara-negara di Asia Pasifik pada tahun
1997 telah memberi dampak pada sendi perekonomian Indonesia. Krisis
moneter tersebut telah memporak-porandakan perekonomian Indonesia. Mata
uang Rupiah telah mengalami depresiasi dalam tingkat di luar batas ambang
kewajaran. Dampak memburuknya kondisi perekonomian Indonesia adalah
langkanya likuiditas, tingginya tingkat suku bunga, dan meningkatnya biaya
operasi perusahaan (Iskak, 1998: 1).
Krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998 di Indonesia berawal dari
bulan Juli 1997. Krisis itu dipicu oleh jatuhnya Baht Thailand terhadap USD,
sehingga pada tanggal 21 Juli 1997 nilai tukar Rupiah yang semula Rp.2.500
per USD merosot menjadi Rp.2.650 untuk seterusnya semakin melemah
hingga mencapai Rp.15.000 per USD. Pada 16 September 1997, pemerintah
terpaksa mengumumkan penundaan mega proyek senilai Rp.39 triliun di
dalam upaya “mengencangkan ikat pinggang”. Meski demikian, laju USD
makin tak terbendung. Pada 6 Oktober 1997, Rupiah mencapai Rp.3.845 per
USD dan seterusnya makin merangkak naik melampaui ambang batas
psikologis (Ario Bimo dkk, 1998) sebagaimana dikutip Iskak (1998: 2).
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia yang disusul dengan krisis
20 Perekonomian Indonesia mengalami perubahan yang mendasar, dimana
kemampuan satuan usaha untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya
(going concern) berada pada titik yang mengkhawatirkan. Akibatnya, pada
saat itu, banyak perusahaan yang gulung tikar, baik
perusahaan-perusahaan kecil maupun perusahaan-perusahaan-perusahaan-perusahaan besar.
Salah satu sektor perusahaan yang menjadi dampak dari krisis ekonomi
ini adalah perusahaan yang bergerak dalam sektor real estate dan properti.
Secara umum, sejak tahun 1998, industri real estate di Indonesia mengalami
penurunan tingkat penjualan yang signifikan karena menurunnya daya beli
pelanggan, menurunnya rata-rata tingkat hunian, penghentian atau penundaan
pembangunan proyek-proyek konstruksi tertentu, dan meningkatnya
ketersediaan properti (PT. Sentul City Tbk., 2005).
Sebelum masa krisis, perkembangan perusahaan real estate dan
properti relatif tinggi. Menurut data yang diperoleh, diketahui bahwa pada
tahun 1996 jumlah anggota Real Estate Indonesia (REI) nasional mencapai
2.434 perusahaan sedangakan anggota REI Jakarta mencapai 736 perusahaan.
Akibat krisis ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1997, jumlah tersebut
terus menurun hingga berjumlah 645 perusahaan untuk anggota REI nasional
dan 218 perusahaan untuk anggota REI Jakarta pada tahun 2002 (DPP-REI,
2002) sebagaimana dikutip (Tulung, 2004: 13).
Lingkungan risiko yang merupakan dampak dari memburuknya kondisi
ekonomi yang disebabkan krisis keuangan pada tahun 1997, mengakibatkan
21 penugasan tahun 1998 (Praptitorini dan Januarti, 2007: 4). Beberapa hal yang
memicu masalah going concern pada tahun tersebut umumnya adalah
perusahaan-perusahaan memiliki rasio hutang terhadap modal yang tinggi,
saldo hutang jangka pendek dalam jumlah besar yang segera jatuh tempo,
mengalami penurunan modal (capital deficiency) yang signifikan, kerugian
keuangan (financial losses) yang disebabkan karena kerugian nilai tukar,
menanggung beban-beban keuangan, kerugian operasional dan tidak adanya
action plans yang jelas dari pihak manajemen (Juniarti, 2000 yang dikutip
Praptitorini dan Januarti, 2007: 4).
Tjager, Alijoyo, Djemat, dan Soembodo (2003) dalam Petronila (2007:
128) mengemukakan bahwa krisis keuangan yang melanda kawasan Asia
dipandang sebagai lemahnya praktik Good Corporate Governance (GCG) di
Negara-negara tersebut. Untuk dapat mengelola perusahaan yang baik dan
agar tercapainya Good Corporate Governance (GCG), maka manajemen
perlu memegang teguh prinsip-prinsip transparansi (transparency),
akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility),
kemandirian (independency), dan kewajaran (fairness).
Keberadaan entitas mencerminkan keberadaan suatu lingkungan
ekonomi. Tujuan keberadaan entitas dalam jangka panjang adalah dapat
mempertahankan kelangsungan hidup usahanya (going concern) melalui
asumsi going concern (Praptitorini dan Januarti, 2007: 2). Kelangsungan
hidup usaha selalu dihubungkan dengan kemampuan manajemen dalam
22 Ketika kondisi ekonomi merupakan sesuatu yang tidak pasti, para investor
mengharapkan auditor memberikan early warning akan kegagalan keuangan
perusahaan (Chen dan Church, 1996: 118).
Going concern (kelangsungan hidup) adalah kelangsungan hidup suatu
badan usaha dan merupakan asumsi dalam pelaporan keuangan sutau entitas
sehingga jika suatu entitas mengalami kondisi yang sebaliknya, entitas
tersebut menjadi bermasalah (Petronela, 2004: 46). Asumsi going concern
berarti suatu badan usaha dianggap akan mampu mempertahankan kegiatan
usahanya dalam jangka waktu panjang dan tidak akan dilikuidasi dalam
waktu jangka pendek (Hani, Cleary, dan Mukhlasin, 2003: 3).
Asumsi going concern secara langsung mempengaruhi laporan
keuangan. Laporan keuangan yang disiapkan menggunakan dasar going
concern akan memiliki perbedaan struktural dengan laporan keuangan yang
tidak disiapkan menggunakan dasar going concern. Penilaian going concern
lebih didasarkan pada kemampuan perusahaan untuk melanjutkan operasinya
dalam jangka waktu satu tahun ke depan. Untuk sampai pada kesimpulan
apakah perusahaan akan memiliki going concern atau tidak, auditor harus
melakukan evaluasi secara kritis terhadap rencana-rencana manajemen
(Praptitorini dan Januarti, 2007: 4).
Untuk dapat mengelola perusahaan dengan baik sehingga perusahaan
dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya, maka perusahaan
memerlukan suatu mekanisme. Mekanisme corporate governance adalah cara
23 mengambil keputusan dengan pihak yang akan melakukan pengawasan
terhadap keputusan tersebut (Petronila, 2007: 127). Mekanisme corporate
governance diarahkan untuk menjamin dan mengawasi jalannya sistem
corporate governance dalam suatu perusahaan (Syakhroza, 2002a, 2002b;
World Bank, 1999; Kim dan Nofsinger, 2004) dalam Petronila (2007: 127).
Jika dilihat dari segi pengendalian, mekanisme corporate governance
menurut Syakhroza (2005: 14) terbagi dua jenis, yaitu mekanisme corporate
governance internal dan mekanisme corporate governance eksternal.
Menurut Gunarsih (2003: 160), mekanisme corporate governance internal
didesain untuk menyamakan kepentingan antara manajer dengan pemegang
saham. Sementara itu, mekanisme corporate governance eksternal adalah
pengendalian perusahaan yang dilakukan oleh pasar.
Perubahan dewan komisaris atau Board of Commissioner (BoC)
merupakan salah satu bentuk pengukuran mekanisme corporarate
governance dalam perusahaan. Apabila perusahaan mengambil tindakan
untuk melakukan perubahan BoC dalam kondisi-kondisi yang mempengaruhi
going concern, hal tersebut akan memancing kecurigaan stakeholders
terhadap penerapan transparansi yang dilakukan perusahaan. Kurangnya
penerapan transparansi dapat dijadikan salah satu pertimbangan auditor dalam
memberikan opini going concern pada laporan auditnya (Petronila, 2007:
130)
Petronila (2007: 143) menyatakan bahwa perubahan dewan direksi atau
24 concern oleh auditor. Penelitian tersebut konsisten dengan penelitian Parker,
Peters, dan Turetsky (2005: 5) yang menyatakan bahwa auditor memiliki
kecenderungan dua kali lebih besar untuk memberikan opini audit going
concern apabila terjadi penggantian Chief Executive Officer (CEO).
Faktor lain yang diproksikan dari mekanisme corporate governance
adalah struktur kepemilikan. Menurut Januarti (2009:12) struktur kepemilikan
dalam perusahaan yang diukur dengan kepemilikan anggota dewan dapat
meningkatkan nilai perusahaan, sehingga mengurangi risiko terjadinya
kesulitan keuangan. Jika kemungkinan perusahaan semakin kecil dalam
mengalami kesulitan keuangan, maka akan mengurangi potensi kebangkrutan
perusahaan dan perusahaan dapat terus menjaga kelangsungan usahanya.
Adanya kepemilikan saham oleh anggota dewan dapat memperkecil
terjadinya benturan kepentingan (conflict of interest) antara manajemen
dengan investor. Kepemilikan manajerial erat kaitannya dengan teori
keagenan (agency theory). Teori keagenan menjelaskan tentang hubungan
antara principal dengan agent, dimana principal adalah pihak yang
menanamkan modal dan agent adalah manajemen atau pihak yang mengelola
modal tersebut. Agent mendapat kepercayan dari principal untuk mengelola
modal yang ditanamkannya. Jika agent memiliki sebagian saham perusahaan,
yang dalam hal ini agent berperan sebagai principal, maka akan
menghilangkan konflik kepentingan antara manajer dengan pemegang saham
seperti yang dinyatakan Jensen dan Meckling (1976: 11) bahwa semakin
25 manajemen akan berupaya lebih giat untuk memenuhi kepentingan pemegang
saham yang juga adalah dirinya sendiri.
Adanya komisaris independen merupakan salah satu syarat atau
perangkat dalam perusahaan guna mencapai Good Corporate Governance.
Komisaris independen memiliki tanggung jawab pokok untuk mendorong
diterapkannya prinsip tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate
Governance) di dalam perusahaan melalui pemberdayaan dewan komisaris
agar dapat melakukan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada
direksi secara efektif dan lebih memberikan nilai tambah bagi perusahaan
(Task Force Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance, hal.4).
Apabila komisaris independen dapat melakukan tugasnya dengan baik maka
kinerja perusahaan akan meningkat. Meningkatnya kinerja perusahaan dapat
mengindikasikan bahwa perusahaan dapat bertahan dalam waktu yang lama
dan terlepas dari masalah going concern.
Selain mekanisme corporate governance,kondisi keuangan perusahaan
dapat menentukan kelangsungan hidup usaha suatu entitas. Hal ini
dikarenakan kondisi keuangan perusahaan menggambarkan tingkat kesehatan
perusahaan. Jika tingkat kesehatan keuangan suatu entitas rendah, maka
kemungkinan entitas tersebut bangkrut dan tidak dapat mempertahankan
kelangsungan usahanya pun tinggi.
Ukuran perusahaan mencerminkan besar kecilnya perusahaan.
Perusahaan besar umumnya lebih jarang mendapatkan opini audit going
26 besar lebih mudah menyelesaikan permasalahannya dibandingkan dengan
perusahaan kecil (Mutchler (1985). Namun, besarnya perusahaan tidak
menjamin tidak diperolehnya opini audit going concern. Perusahaan yang
besar belum tentu selalu terlepas dari permasalahan keuangan.
Opini audit going concern merupakan opini yang dikeluarkan auditor
untuk memastikan apakah perusahaan dapat mempertahankan kelangsungan
hidupnya (PSA 341). Para pemakai laporan keuangan merasa bahwa
pengeluaran opini audit going concern ini sebagai prediksi kebangkrutan
suatu perusahaan (Santosa dan Wedari, 2007: 142). Auditor harus
bertanggung jawab terhadap opini audit going concern yang dikeluarkannya
karena akan mempengaruhi keputusan para pemakai laporan keuangan
(Setiawan, 2006: 66). Opini audit atas laporan keuangan menjadi salah satu
pertimbangan yang penting bagi investor dalam mengambil keputusan
berinvestasi. Oleh karena itu, informasi mengenai kelangsungan hidup dari
suatu perusahaan, terutama bagi perusahaan yang telah go public, merupakan
informasi yang sangat bernilai bagi investor, baik investor di pasar modal
maupun pihak bank yang memberikan pinjaman kepada perusahaan
(Setiawati dan Agoes, 2005: 9)
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, peneliti ingin menguji
pengaruh mekanisme corporate governance, kondisi keuangan perusahaan,
dan ukuran perusahaan terhadap opini audit going concern. Oleh karena itu,
tema yang diangkat menjadi judul dalam penelitian ini, yaitu: “Analisis
27
Perusahaan, dan Ukuran Perusahaan Terhadap Opini Audit Going
Concern (Studi Empiris pada Perusahaan Real Estate dan Properti yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia)”.
Penelitian ini mengacu pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Petronila (2007). Tujuan peneliti mengulang penelitian sebelumnya adalah
untuk mengetahui apakah penelitian ini memiliki hasil yang sama dengan
penelitian sebelumnya atau sebaliknya. Namun, penelitian ini memiliki
beberapa perbedaan dengan penelitian sebelumnya. Adapun perbedaan
penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu sebagai berikut:
1. Periode penelitian
Periode penelitian sebelumnya dilakukan pada tahun 2007, sedangkan
penelitian ini dilakukan pada tahun 2010.
2. Variabel independen
Pada penelitian sebelumnya, indikator yang digunakan dalam mekanisme
corporate governance adalah perubahan BoC, perubahan BoD, kualitas
Kantor Akuntan Publik (KAP), kepemilikan anggota dewan, dan risiko
saham. Sedangkan pada penelitian ini, indikator yang digunakan untuk
variabel mekanisme corporate governance adalah perubahan BoC,
perubahan BoD, komisaris independen, dan kepemilikan anggota dewan.
Selain itu, peneliti menambahkan dua variabel independen, yaitu kondisi
keuangan perusahaan dan ukuran perusahaan. Kondisi keuangan
perusahaan diproksikan dengan rasio leverage, profitabilitas dan aktivitas.
28
Linoputri (2010). Rasio leverage, profitabilitas, dan aktivitas sebelumnya
diteliti oleh Januarti dan Fitrianasari (2008). Sementara itu, ukuran
perusahaan sebelumnya diteliti oleh Januarti (2009).
3. Populasi dan sampel
Pada penelitian sebelumnya, Petronila (2007) melakukan penelitian
terhadap perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta
(BEJ) pada tahun 2005 dengan total sampel 193 perusahaan yang dibagi
dalam 12 sektor menurut klasifikasi industri yang telah ditetapkan oleh
BEJ. Sedangkan pada penelitian ini, penelitian dikhususkan terhadap
perusahaan yang bergerak dalam sektor real estate dan properti yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan periode pengamatan tahun
2005-2009. Pemilihan perusahaan sektor real estate dan properti
dikarenakan dewasa ini, perkembangan bisnis di sektor real estate dan
properti kian menggeliat. Jumlah perusahaan real estate dan properti terus
bertambah tiap tahunnya. Berdasarkan laporan properti Asia, pasar sektor
real estate di Indonesia naik 12 persen selama pertengahan tahun 2010
dibandingkan periode yang sama tahun 2009 (Bataviase, 2010). Tahun
2005-2009 dipilih sebagai periode pengamatan dalam penelitian ini karena
peneliti ingin mengetahui kondisi kekinian perusahaan dengan mengamati
perkembangan perusahaan tersebut selama lima tahun terakhir dari tahun
2005 hingga 2009. Periode pengamatan dilakukan lima tahun agar waktu
pengamatan panjang sehingga peneliti dapat menganalisis dan mengamati
29 lima tahun kondisi perusahaan dapat berubah yang dipengaruhi oleh faktor
internal dan eksternal perusahaan.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah mekanisme corporate governance (perubahan BoC, perubahan
BoD, komisaris independen, dan kepemilikan anggota dewan)
berpengaruh signifikan terhadap opini audit going concern?
2. Apakah kondisi keuangan perusahaan (raasio leverage, profitabilitas, dan
aktivitas) berpengaruh signifikan terhadap opini audit going concern?
3. Apakah ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap opini audit
going concern?
C. Tujuan Penelitian
Dari perumusan masalah yang telah peneliti uraikan, maka tujuan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis pengaruh mekanisme corporate governance (perubahan
BoC, perubahan BoD, komisaris independen, dan kepemilikan anggota
dewan) terhadap opini audit going concern.
2. Menganalisis pengaruh kondisi keuangan perusahaan (rasio leverage,
profitabilitas, dan aktivitas) terhadap opini audit going concern.
3. Menganalisis pengaruh ukuran perusahaan terhadap opini audit going
30
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai
berikut:
1. Bagi perusahaan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumber informasi yang
berguna serta sebagai masukan dan dapat memberikan sumbangan
pemikiran mengenai pengaruh mekanisme corporate governance
(perubahan BoC, perubahan BoD, komisaris independen, dan kepemilikan
anggota dewan), kondisi keuangan perusahaan (rasio leverage,
profitabilitas, dan aktivitas), dan ukuran perusahaan terhadap opini audit
going concern.
2. Bagi auditor
Penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan informasi atau masukan
mengenai hal-hal yang dapat dijadikan pertimbangan bagi auditor dalam
mengeluarkan opini audit, khususnya opini audit dengan modifikasi going
concern.
3. Bagi investor
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi atau
masukan mengenai faktor perusahaan memperoleh opini audit going
concern sehingga dapat membantu investor dalam mengambil keputusan
31
4. Bagi pembaca
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dan ilmu
pengetahuan mengenai mekanisme corporate governance (perubahan
BoC, perubahan BoD, komisaris independen, dan kepemilikan anggota
dewan), kondisi keuangan perusahaan (rasio leverage, profitabilitas dan
aktivitas), dan ukuran perusahaan serta pengaruhnya terhadap opini audit
going concern yang diterima perusahaan.
5. Bagi peneliti
Melalui penelitian ini, peneliti dapat menggali pengetahuan yang telah
peneliti peroleh selama menuntut ilmu di bidang Akuntansi sehingga dapat
melakukan perbandingan dengan ilmu yang didapat di bangku kuliah
32
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Agency Theory (Teori Keagenan)
Jensen dan Meckling (1976) menggambarkan hubungan agensi sebagai
suatu kontrak di bawah satu atau lebih prinsipal yang melibatkan agen untuk
melaksanakan beberapa layanan bagi mereka dengan melakukan
pendelegasian wewenang pengambilan keputusan kepada agen. Shareholders
atau prinsipal mendelegasikan pembuatan keputusan mengenai perusahaan
kepada manajer atau agen. Baik prinsipal maupun agen diasumsikan sebagai
orang ekonomi rasional dan semata-mata termotivasi oleh kepentingan
pribadi (Praptitorini dan Januarti, 2007: 5).
Teori keagenan (Agency Theory) merupakan basis teori yang mendasari
praktik bisnis perusahaan yang dipakai selama ini. Teori tersebut berakar dari
sinergi teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Prinsip
utama teori ini menyatakan adanya hubungan kerja antara pihak yang
memberi wewenang (prinsipal) yaitu investor dengan pihak yang menerima
wewenang (agensi) yaitu manajer, dalam bentuk kontrak kerja sama yang
disebut nexus of contract (Elqorni, 2009).
Teori agensi mengasumsikan bahwa semua individu bertindak atas
kepentingan mereka sendiri. Pemegang saham sebagai prinsipal diasumsikan
hanya tertarik kepada hasil keuangan yang bertambah atau investasi mereka
di dalam perusahaan. Sedang para agen diasumsikan menerima kepuasan
33 hubungan tersebut. Karena perbedaan kepentingan ini, masing-masing pihak
berusaha memperbesar keuntungan bagi diri sendiri. Prinsipal menginginkan
pengembalian yang sebesar-besarnya dan secepatnya atas investasi yang salah
satunya dicerminkan dengan kenaikan porsi deviden dari tiap saham yang
dimiliki. Agen menginginkan kepentingannya diakomodasi dengan
pemberian kompensasi, bonus, insentif, atau remunerasi yang memadai atas
kinerjanya. Prinsipal menilai prestasi agen berdasarkan kemampuannya
memperbesar laba untuk dialokasikan pada pembagian deviden. Semakin
tinggi laba, harga saham, dan deviden, maka agen dianggap berhasil
meningkatkan kinerja dengan baik sehingga layak mendapat insentif yang
tinggi (Elqorni, 2009).
Untuk meminimalisasi conflict of interest antara agen dan prinsipal,
maka dibutuhkan pihak ketiga yang independen sebagai mediator pada
hubungan antara prinsipal dan agen. Pihak ketiga ini berfungsi untuk
memonitor perilaku manajer (agen) apakah sudah bertindak sesuai dengan
keinginan prinsipal. Auditor adalah pihak yang dianggap mampu
menjembatani kepentingan pihak prinsipal (shareholders) dengan pihak
manajer (agen) dalam mengelola keuangan perusahaan (Setiawan, 2006: 62).
B. Definisi Audit
Boynton dan Johnson(2006: 6) menurut The Report of The Committee
on Basic Auditing Concept of The American Accounting Association
34 “Auditing is a systematic process of objectively obtaining and evaluating evidence regarding assertions about economic actions and events to ascertain the degree of correspondence between those assertions and established criteria and communicating the result to interested users”.
Menurut Arens, Elder, dan Beasley (2010: 4) definisi auditing
adalah:
“Auditing is accumulation and evaluation of evidence about information to determine and report on the degree of correspondence between the information and established criteria. Auditing should be done by a competent, independent person”.
Definisi auditing menurut Agoes (2008: 3) adalah:
“Suatu pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan sistematis, oleh pihak yang independen, terhadap laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen, beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya, dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut”.
Sementara itu, menurut Mulyadi (2010: 9), definisi auditingadalah:
“Suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai persyaratan-persyaratan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara persyaratan-persyaratan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan”.
Berdasarkan uraian definisi auditing tersebut, dapat ditarik kesimpulan
bahwa auditing adalah suatu proses pemeriksaan yang sistematis terhadap
bukti-bukti yang terkait dengan kejadian-kejadian ekonomi dan bisnis yang
tercatat dalam laporan keuangan auditee dengan mencapai derajat kesesuaian
35 untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan
tersebut kemudian mengkomunikasikan hasilnya kepada para pengguna
laporan keuangan auditee.
C. Tujuan Audit
Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP), PSA 02 (SA 110), (IAI,
2001: 110.1), menyatakan bahwa tujuan audit atas laporan keuangan oleh
auditor independen pada umumnya adalah untuk menyatakan pendapat
tentang kewajaran, dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil
usaha, perubahan ekuitas, dan arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi yang
berlaku umum.
Sedangkan menurut Boynton et. al. (2006: 231) tujuan audit secara
spesifik adalah asersi manajemen, asersi manajemen ini merupakan pedoman
auditor untuk merencanakan pengumpulan bukti audit. Adapun lima asersi
manajemen yang digariskan dalam Generally Accepted Auditing Standards
(GAAS) adalah sebagai berikut:
1. Keberadaan dan Keterjadian (Existence and Occurance)
2. Kelengkapan (Completeness)
3. Hak dan Kewajiban (Right and Obligation)
4. Penilaian atau Alokasi (Valuation or Allocation)
36
D. Jenis Audit
Menurut Boynton et. al. (2006: 8-9) ada tiga jenis audit, yaitu audit
laporan keuangan, audit kepatuhan, dan audit operasional. Jenis audit yang
ada umumnya menunjukkan karakteristik kunci yang tercakup dalam definisi
auditing. Penjelasan mengenai jenis-jenis audit tersebut akan diuraikan
sebagai berikut:
1. Audit Laporan Keuangan
Audit laporan keuangan (financial statement audit) berkaitan dengan
memperoleh dan mengevaluasi bukti tentang laporan-laporan entitas
dengan maksud agar dapat memberikan pendapat apakah laporan-laporan
tersebut telah disajikan secara wajar sesuai dengan kriteria yang telah
ditetapkan, yaitu prinsip-prinsip akuntansi yang berterima umum atau
Generally Accepted Accounting Principles (GAAP). Selain itu, logika
audit yang dikembangkan untuk audit laporan keuangan merupakan dasar
dimana auditor dapat mengembangkan lebih lanjut audit kepatuhan, audit
operasional, serta sejumlah jasa atestasi dan assurance services.
2. Audit Kepatuhan
Audit kepatuhan (compliance audit) berkaitan dengan kegiatan
memperoleh dan memeriksa bukti-bukti untuk menetapkan apakah
kegiatan keuangan atau operasi suatu entitas telah sesuai dengan
persyaratan, ketentuan, dan peraturannya tertentu. Kriteria yang ditetapkan
dalam audit jenis ini berasal dari berbagai sumber. Sebagai contoh,
37 dengan kondisi kerja, partisipasi dan program pensiun, serta pertentangan
kepentingan.
3. Audit Operasional
Audit operasional (operational audit) berkaitan dengan kegiatan
memperoleh dan mengevaluasi bukti-bukti tentang efisiensi dan efektivitas
kegiatan operasi entitas dalam hubungannya dengan pencapaian tujuan
tertentu. Audit jenis ini terkadang disebut juga sebagai audit kinerja atau
audit manajemen. Pada suatu perusahaan bisnis, lingkup audit ini dapat
meliputi seluruh kegiatan dari suatu departemen, cabang, atau divisi.
E. Standar Audit
Menurut (SPAP SA Seksi 150: PSA no.1) dalam proses audit terdapat
tiga standar yang harus dipenuhi dalam rangka menjalankan standar
profesionalnya, yaitu standar umum, standar pekerjaan lapangan dan standar
pelaporan. Berikut adalah uraian mengenai ketiga standar tersebut:
1. Standar Umum
a. Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki
keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor.
b. Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi
dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor.
c. Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib
38 2. Standar Pekerjaan Lapangan
a. Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan
asisten harus disupervisi dengan semestinya.
b. Pemahaman memadai atas pengendalian intern harus diperolah untuk
merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian
yang akan dilakukan.
c. Bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi,
pengamatan, permintaan keterangan, dan konfirmasi sebagai dasar
memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang
diaudit.
3. Standar Pelaporan
a. Laporan auditor harus menyatakan apakah laporan keuangan telah
disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di
Indonesia.
b. Laporan auditor harus menunjukkan atau menyatakan, jika ada,
ketidakkonsistenan penerapan prinsip akuntansi dalam penyusunan
laporan keuangan periode berjalan dibandingkan dengan penerapan
prinsip akuntansi tersebut dalam periode sebelumnya.
c. Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang
memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan auditor.
d. Laporan auditor harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai
laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa
39 keseluruhan tidak dapat diberikan, maka alasannya harus dinyatakan.
Dalam hal nama auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, maka
laporan auditor harus memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat
pekerjaan audit yang dilaksanakan, jika ada, dan tingkat tanggung
jawab yang dipikul oleh auditor.
F. Opini Audit
Auditor memiliki kewajiban untuk memberikan opini atas laporan
keuangan yang telah diauditnya. Menurut (SPAP SA Seksi 508) terdapat lima
tipe opini auditor, yaitu:
1. Pendapat Wajar Tanpa Pengecualian (Unqualified)
Pendapat wajar tanpa pengecualian (Unqualified) dinyatakan bila, menurut
pertimbangan auditor, laporan keuangan secara keseluruhan disajikan
secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di
Indonesia dan di dalamnya tidak terdapat salah saji material yang akan
mempengaruhi para pengguna dari laporan keuangan dalam pengambilan
keputusan.
2. Pendapat Wajar Tanpa Pengecualian dengan bahasa penjelasan yang
ditambahkan dalam laporan keuangan auditor bentuk baku (Unqualified
with Explanatory Paragraph)
Pendapat wajar tanpa pengecualian dengan bahasa penjelasan (Unqualified
with Explanatory Paragraph) dinyatakan bila, menurut pertimbangan
40 auditor menambahkan paragraf penjelasan (atau bahasa penjelasan lain)
dalam laporan keuangan auditor bentuk baku. Keadaan tersebut meliputi:
a. Pendapat auditor sebagian didasarkan atas laporan auditor independen
lain.
b. Laporan Keuangan disajikan menyimpang dari suatu prinsip akuntansi
yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI).
c. Jika terdapat kondisi dan peristiwa yang semula menyebabkan auditor
yakin tentang adanya kesangsian mengenai kelangsungan hidup entitas
(going concern), namun setelah mempertimbangkan rencana
manajemen, auditor berkesimpulan bahwa rencana manajemen tersebut
dapat secara efektif dilaksanakan dan pengungkapan mengenai hal itu
telah memadai.
d. Di antara periode akuntansi terdapat suatu perubahan material dalam
penggunaan prinsip akuntansi atau dalam metode penerapannya
(ketidakkonsistensian).
e. Keadaan tertentu yang berhubungan dengan laporan auditor atas
laporan keuangan komparatif.
f. Data keuangan kuartalan tertentu yang diharuskan oleh Bapepam,
namun tidak disajikan atau direview.
g. Informasi tambahan yang diharuskan oleh Ikatan Akuntan Indonesia
(IAI) – Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) telah dihilangkan,
41 oleh dewan tersebut, dan auditor tidak dapat melengkapi prosedur audit
yang berkaitan dengan informasi tersebut.
h. Informasi lain dalam suatu dokumen yang berisi laporan keuangan
auditan secara material tidak konsisten dengan informasi yang disajikan
dalam laporan keuangan.
3. Pendapat Wajar Dengan Pengecualian (Qualified)
Pendapat wajar dengan pengecualian (Qualified) dinyatakan bila, menurut
pertimbangan auditor, laporan keuangan menyajikan secara wajar, dalam
semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas entitas
tertentu sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia,
kecuali untuk dampak hal-hal yang berhubungan dengan yang
dikecualikan.
Pendapat ini dinyatakan bilamana:
a. Ketiadaan bukti kompeten yang cukup atau adanya pembatasan
terhadap lingkup audit yang mengakibatkan auditor berkesimpulan
bahwa ia tidak dapat menyatakan pendapat wajar tanpa pengecualian
dan ia berkesimpulan tidak menyatakan tidak memberikan pendapat.
b. Auditor yakin, atas dasar auditnya, bahwa laporan keuangan berisi
penyimpangan dari prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia,
yang berdampak material, dan ia berkesimpulan untuk tidak
42
4. Pendapat Tidak Wajar (Adverse)
Pendapat tidak wajar (Adverse) dinyatakan bila, menurut pertimbangan
auditor, laporan keuangan tidak menyajikan secara wajar posisi keuangan,
hasil usaha, dan arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku
umum di Indonesia.
5. Pernyataan Tidak Memberikan Pendapat (Disclaimer)
Pernyataan tidak memberikan pendapat (Disclaimer) menyatakan bahwa
auditor tidak menyatakan pendapat atas laporan keuangan. Auditor dapat
tidak menyatakan suatu pendapat bilamana ia tidak dapat merumuskan
atau tidak merumuskan suatu pendapat tentang kewajaran laporan
keuangan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Jika
auditor menyatakan tidak memberikan pendapat, laporan auditor harus
memberikan semua alasan substantif yang mendukung pernyataan
tersebut. Dalam keadaan auditor menghadapi keraguan signifikan tentang
kelangsungan hidup entitas (going concern issues) auditor dapat tidak
memberikan pendapat.
G. Going Concern
Menurut Belkaoui (2006: 271), dalil kelangsungan usaha (
going-concern postulate), atau dalil kontinuitas, menganggap bahwa entitas bisnis
akan melanjutkan operasinya cukup lama untuk merealisasikan proyek,
komitmen, dan aktivitasnya yang berkelanjutan. Dalil ini mengasumsikan
43 bahwa entitas tersebut akan berlanjut sampai periode yang tidak dapat
ditentukan. Diperlukannya suatu operasi yang berlanjut dan
berkesinambungan untuk menciptakan suatu konsekuensi bahwa laporan
keuangan yang terbit di suatu periode mempunyai sifat sementara sebab
masih merupakan satu rangkaian laporan keuangan yang berkelanjutan.
Going concern dipakai sebagai asumsi dalam pelaporan keuangan
sepanjang tidak terbukti adanya informasi yang menunjukkan hal berlawanan
(contrary information). Biasanya informasi yang secara signifikan dianggap
berlawanan dengan asumsi kelangsungan hidup satuan usaha adalah
berhubungan dengan ketidakmampuan satuan usaha dalam memenuhi
kewajiban pada saat jatuh tempo tanpa melakukan penjualan sebagian besar
aktiva kepada pihak luar melalui bisnis biasa, restrukturisasi utang, perbaikan
operasi yang dipaksakan dari luar dan kegiatan serupa yang lain (IAI, 2001:
Seksi 341, PSA 30).
Masalah going concern terbagi dua, yaitu masalah keuangan dan
masalah operasi. Masalah keuangan meliputi kekurangan (defisiensi)
likuiditas, defisiensi ekuitas, penunggakan utang, dan kesulitan memperoleh
dana. Sedangkan masalah operasi meliputi kerugian operasi yang terus
menerus, propek pendapatan yang meragukan, kemampuan operasi terancam,
dan pengendalian yang lemah atas operasi (Altman dan McGough, 1974
44
H. Opini Audit Going Concern
Auditor sebagai pihak yang independen dalam pemeriksaan laporan
keuangan perusahaan dan akan memberikan opini atas laporan keuangan yang
diauditnya. Opini audit diberikan oleh auditor melalui beberapa tahap audit
sehingga auditor dapat memberi simpulan atas opini yang harus diberikan
atas laporan keuangan yang diauditnya (Petronela, 2004: 47). Opini audit
going concern merupakan opini audit modifikasi yang dalam pertimbangan
auditor terdapat ketidakmampuan atau ketidakpastian signifikan atas
kelangsungan hidup perusahaan dalam menjalankan operasinya (IAI, 2001:
Seksi 341, PSA 30).
Mutchler (1984), dalam Yusnitasari dan Setiawan (2003:69),
menunjukkan keputusan going concern diambil melalui proses tiga tahap
berikut:
1. Identifikasi entitas dengan masalah going concern yang potensial.
2. Menentukan apakahh entitas dengan masalah going concern harus
menerima laporan audit tentang going concern.
3. Memilih diantara dua jenis laporan audit going concern, yaitu modifikasi
laporan audit wajar tanpa syarat atau disclaimer.
Sementara itu, Ellingsen et. al. (1989) dalam Yusnitasari dan Setiawan
(2003: 71), menyarankan prosedur pengambilan keputusan going concern
berdasarkan SAS 59:
1. Apakah hasil prosedur audit mengindikasikan keraguan yang substansial
45 periode waktu yang layak? Jika jawabannya tidak, maka auditor telah
memenuhi tanggung jawabnya sesuai dengan SAS 59. Jika jawabannya ya,
maka auditor akan melakukan tahapan selanjutnya.
2. Menganalisis rencana manajemen dan menilai kemampuan rencana
tersebut dapat diimplementasikan secara efektif.
3. Apakah keraguan yang substansial masih ada? Jika tidak, maka tidak perlu
melakukan modifikasi laporan audit. Jika ya, maka harus dilakukan tahap
empat (4).
4. Mempertimbangkan pengaruh yang mungkin terjadi pada laporan
keuangan dan pengungkapan masalah going concern.
5. Menambah paragraf penjelasan (mengikuti paragraf opini) pada laporan
audit tentang going concern.
Sedangkan dalam (IAI, 2001: Seksi 341, PSA 30) memberikan
pedoman kepada auditor tentang dampak kemampuan satuan usaha dalam
mempertahankan kelangsungan hidupnya terhadap opini auditor sebagai
berikut:
1. Jika auditor yakin bahwa terdapat kesangsian mengenai kemampuan
satuan usaha dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam
jangka waktu pantas, ia harus:
a. Memperoleh informasi mengenai rencana manajemen yang ditujukan
untuk mengurangi dampak kondisi dan peristiwa tersebut.
b. Menetapkan kemungkinan bahwa rencana tersebut secara efektif
46
2. Jika manajemen tidak memiliki rencana yang mengurangi dampak kondisi
dan peristiwa terhadap kemampuan satuan usaha dalam mempertahankan
kelangsungan hidupnya, auditor memepertimbangkan untuk memberikan
pernyataan tidak memberikan pendapat (disclaimer).
3. Jika manajemen memiliki rencana tersebut, langkah selanjutnya yang
harus dilakukan oleh auditor adalah menyimpulkan (berdasarkan
pertimbangannya) efektivitas rencana tersebut.
4. Jika auditor bersimpulan rencana tersebut tidak efektif, auditor
menyatakan tidak memeberikan pendapat (disclaimer).
5. Jika auditor bersimpulan rencana tersebut efektif akan tetapi klien tidak
mengungkapakan keadaan tersebut di dalam catatan laporan keuangan,
auditor menyatakan pendapat wajar tanpa pengecualian (unqualified
opinion).
6. Jika auditor bersimpulan rencana tersebut efektif akan tetapi klien tidak
mengungkapkan keadaan tersebut di dalam laporan keuangan, auditor
menyatakan pendapat tidak wajar (adverse opinion).
I. Tanggung Jawab Auditor
Auditor bertanggung jawab untuk mengevaluasi apakah terdapat
kesangsian besar tehadap kemampuan entitas dalam mempertahankan
kelangsungan hidupnya dalam periode waktu yang pantas, tidak lebih dari
satu tahun sejak tanggal laporan keuangan yang sedang diaudit (selanjutnya
47 berdasarkan atas pengetahuan tentang kondisi dan peristiwa yang ada pada
atau yang telah terjadi sebelum pekerjaan lapangan selesai. Informasi tentang
kondisi dan peristiwa diperoleh auditor dari penerapan prosedur audit yang
direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan audit yang
bersangkutan dengan asersi manajemen yang terkandung dalam laporan
keuangan yang sedang diaudit (IAI, 2001: Seksi 341, PSA 30, Par.02).
Contoh kondisi dan peristiwa tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tren negatif, sebagai contoh, kerugian operasi yang berulang terjadi,
kekurangan modal kerja, arus kas negatif dari kegiatan usaha, rasio
keuangan penting yang jelek.
2. Petunjuk lain tentang kemungkinan kesulitan keuangan, sebagai contoh,
kegagalan dalam memenuhi kewajiban utang atau perjanjian serupa,
penunggakan pembayaran dividen, penolakan oleh pemasok terhadap
pengajuan permintaan pembelian kredit biasa, restrukturisasi utang,
kebutuhan untuk mencari sumber atau metode pendanaan baru, atau
penjualan sebagian besar aktiva.
3. Masalah intern, sebagai contoh, pemogokan kerja atau kesulitan hubungan
perburuhan yang lain, ketergantungan besar atas sukses proyek tertentu,
komitmen jangka panjang yang tidak bersifat ekonomis, kebutuhan untuk
secara signifikan memperbaiki operasi.
4. Masalah luar yang telah terjadi, sebagai contoh, pengaduan gugatan
pengadilan, keluarnya undang-undang atau masalah-masalah lain yang
48
kehilangan franchise, lisensi atau paten penting, kehilangan pelanggan
atau pemasok utama, kerugian akibat bencana besar, seperti gempa bumi,
banjir, kekeringan, yang tidak diasuransikan, namun dengan
pertanggungan yang tidak memadai.
Auditor mempunyai tanggung jawab untuk menilai apakah terdapat
kesangsian besar terhadap kemampuan satuan usaha dalam mempertahankan
kelangsungan hidupnya (Iskak, 1998: 3). Penilaian auditor didasarkan atas
pengetahuan tentang kondisi dan peristiwa yang ada pada atau yang telah
terjadi sebelum pekerjaan lapangan selesai. Namun auditor tidak bertanggung
jawab untuk memprediksi kondisi atau peristiwa yang akan datang (Iskak,
1998: 3).
Menurut SAS No. 59 dalam Akers et. al. (2003) sebagaimana dikutip
Setiawan (2006: 64), auditor bertanggung jawab untuk mengevaluasi
kemampuan klien untuk melanjutkan usahanya (going concern). Syarat-syarat
yang tercantum dalam SAS No. 59 adalah sebagai berikut:
1. Tanggung jawab auditor adalah untuk mengevaluasi apakah entitas going
concern untuk periode tidak lebih dari tahun dari tanggal laporan keuangan
yang diaudit.
2. Auditor tidak bertanggung jawab untuk memprediksi atau meramalkan
kejadian masa depan.
3. Kebangkrutan oleh sebuah perusahaan yang tidak menerima laporan going
concern, walaupun satu tahun dari tanggal neraca, tidak memerlukan
49
4. Auditor tidak harus melaksanakan prosedur spesifik untuk menentukan
entitas going concern. Prosedur audit untuk tujuan audit yang lain
dianggapa cukup.
5. Auditor diharuskan untuk mengevaluasi rencana manajemen untuk
mengurangi kejadian dan kondisi yang mengindikasikan keraguan yang
cukup besar bahwa perusahaan going concern.
6. Jika auditor menyimpulkan adanya keraguan, auditor harus
mempertimbangkan pengaruh laporan keuangan dan penyingkapan, untuk
menentukan dampak opini audit.
J. Corporate Governance
Corporate Governance pertama kali diperkenalkan oleh Cadbury
Committee pada tahun 1992 dalam sebuah laporan yang kemudian dikenal
dengan nama Cadbury Report. Laporan ini kemudian menjadi titik balik yang
menentukan praktik corporate governance di dunia.
Definisi corporate governance yang dikeluarkan oleh Forum for
Corporate Governance in Indonesia (FGCI) (2001), yaitu:
“Seperangkat peraturan yang menetapkan hubungan antara pemegang saham, pengurus, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya sehubungan dengan kata hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain sistem yang
mengarahkan dan mengendalikan perusahaan. Tujuan corporate
governance ialah untuk menciptakan pertambahan nilai bagi pihak pemegang kepentingan”.
Menurut Organization for Economic Co-Operation and Development
50
Bapepam mengenai Corporate Governance (2006), corporate governance
adalah:
“Corporate governance is the system by which business corporation are directed and controlled. The corporate governanace structure specifies the distribution of right and responsibilities among different participant in the corporation such as boards, manager, shareholders, and other stakeholders and spells out the rules and procedures for making decisions corporate affair. By doing this, it also provides the structure through which the company objectives are set, and the means of attaining those objectives ang monitoring performance”.
Tujuan yang dicapai dari tata kelola perusahaan adalah terciptanya
Good Coporate Governance (GCG) yaitu tata kelola perusahaan yang baik.
Asas yang terkandung dalam GCG yang harus diterapkan dan dimiliki pada
setiap perusahaan guna mencapai kesinambungan usaha (sustainability)
perusahaan dengan memperhatikan pemangku kepentingan (stakeholders)
menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) (2006: 5), yaitu:
1. Transparansi (Transparency)
Untuk menjaga objektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus
menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang
mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan
harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah
yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang
penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur, dan
51
2. Akuntabilitas (Accountability)
Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara
transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar,
terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap
memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku
kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan
untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.
3. Responsibilitas (Responsibility)
Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta
melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan
sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang
dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen.
4. Independensi (Independency)
Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola
secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling
mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.
5. Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness)
Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa
memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan
lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.
Menurut Forum for Corporate Governance in Indonesia (2001),
penyelenggaraan Good Corporate Governance, harus didukung oleh
52
1. Jumlah komisaris independen adalah sekurang-kurangnya 30% dari
seluruh jumlah anggota komisaris.
2. Perlunya dibentuk komite audit.
3. Perlunya dibentuk corporate secretary.
Untuk dapat mencapai Good Corporate Governance, maka diperlukan
suatu cara atau mekanisme. Mekanisme corporate governance adalah cara
yang dilakukan atau diterapkan perusahaan untuk mencapai tata kelola
perusahaan yang baik. Menurut Syakhroza (2005: 14), dalam bidang
pengendalian, mekanisme corporate governance terbagi dua, yaitu
mekanisme corporate governance internal (internal corporate governance
mechanism) dan mekanisme corporate governance eksternal (external
corporate governance mechanism).
Mekanisme corporate governance yang bersifat internal merupakan
intraksi antara pihak-pihak pengambil keputusan dalam perusahaan yang
mencakup dewan direksi (Board of Director), dewan komisaris (Board of
Commisioner), Executive Management yang didalamnya termasuk komite
audit (Audit Committee), dan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
(Petronila, 2007: 127). Mekanisme corporate governance internal didesain
untuk menyamakan kepentingan antara manajer dengan pemegang saham.
Dewan direksi perusahaan publik bertanggung jawab pada pengembangan
dan implementasi mekanisme ini (Gunarsih, 2003: 160). Kim dan Nofsinger
53 dimulai dari unit akuntansi yang menghasilkan laporan keuangan dan internal
auditor yang menilai proses penyusunan laporan keuangan.
Mekanisme pengendalian eksternal adalah pengendalian perusahaan
yang dilakukan oleh pasar (Gunarsih, 2003: 160). Mekanisme corporate
governanace yang bersifat eksternal merupakan interaksi antar pihak-pihak
yang mengawasi kinerja perusahaan, antara lain stakeholders (karyawan,
konsumen, pemasok, kreditur, masyarakat) dan reputational agents (akuntan,
pengacara, badan pemeringkat kredit, manajer investasi) (Kim dan Nofsinger,
2004 dalam Petronila, 2007: 127).
1. Dewan Komisaris (BoC)
Menurut UU No. 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas, dewan
komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan
secara umum dan atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi
nasihat kepada direksi. Dewan komisaris atau Board of Commissioner
(BoC) sebagai organ perusahaan bertugas dan bertanggung jawab secara
kolektif untuk melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada
direksi serta memastikan bahwa perusahaan melaksanakan Good
Corporate Governance. Namun demikian, dewan komisaris tidak boleh
turut serta dalam mengambil keputusan operasional. Kedudukan
masing-masing anggota dewan komisaris termasuk komisaris utama adalah setara.
Tugas komisaris utama sebagai primus inter pares adalah
54 dewan komisaris dapat berjalan secara efektif, perlu dipenuhi
prinsip-prinsip berikut:
a. Komposisi dewan komisaris harus memungkinkan pengambilan
keputusan secara efektif, tepat dan cepat, serta dapat bertindak
independen.
b. Anggota dewan komisaris harus profesional, yaitu berintegritas dan
memiliki kemampuan sehingga dapat menjalankan fungsinya dengan
baik termasuk memastikan bahwa direksi telah memperhatikan
kepentingan semua pemangku kepentingan.
c. Fungsi pengawasan dan pemberian nasihat dewan komisaris mencakup
tindakan pencegahan, perbaikan, sampai kepada pemberhentian
sementara (KNKG dalam Pedoman GCG di Indonesia, 2006: 13).
Menurut KNKG (2006: 12), kepengurusan perseroan terbatas di
Indonesia menganut sistem dua badan (two board system) yaitu dewan
komisaris dan direksi yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab
yang jelas sesuai dengan fungsinya masing-masing sebagaimana
diamanahkan dalam anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan
(fiduciary responsibility). Namun demikian, keduanya mempunyai
tanggung jawab untuk memelihara kesinambungan usaha perusahaan
dalam jangka panjang. Oleh karena itu, dewan komisaris dan direksi harus
55 Dalam UU Perseroan Terbatas (PT) Pasal 100 diatur tentang
hubungan tugas dan wewenang dewan komisaris (BoC) dan dewan direksi
(BoD) (Petronila, 2007: 130), yaitu:
a. Dalam Anggaran Dasar dapat ditetapkan pemberian wewenang kepada
BoC untuk memberikan persetujuan dan bantuan kepada BoD dalam
melakukan perbuatan hukum tertentu.
b. Berdasarkan Anggaran Dasar atau keputusan RUPS, BoC dapat
melakukan tindakan pengurusan Perseroan dalam keadaan tertentu
untuk jangka waktu tertentu.
c. Bagi BoC yang dalam keadaan tertentu untuk jangka waktu tertentu
melakukan ti